Omiai - Chapter 4

Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi

FanFiction by Agnes Kristi

Summary : Maya Ozaki, aktris terkenal berusia dua puluh tujuh tahun, tidak pernah menyangka akan dipaksa menikah oleh ibunya. Dia dijodohkan dengan pewaris tunggal DAITO Grup, Masumi Hayami. Semua orang menyebutnya beruntung karena bisa menjadi istri Masumi. Sayangnya, Maya tidak melihat pernikahannya sebagai keberuntungan. Bagaimana bisa disebut beruntung jika menikah dengan playboy tampan yang bahkan diincar oleh sebagian besar wanita Jepang. Sstt, diam-diam Maya menaruh hati pada pemuja rahasia yang sudah mendukungnya sejak pertama kali naik panggung, Mawar Ungu. Ah, sepertinya ini akan jadi kisah cinta yang panjang.

=================================================================



Sepanjang perjalanan pulang menuju apartemen, suasana di dalam mobil tampak tenang. Masumi membiarkan Maya tenggelam dalam dunianya, duduk termenung menatap ke luar jendela. Dia tahu wanita itu masih belum bisa menerima hubungan mereka. Ditambah masalah Shiori, Masumi yakin kalau saat ini Maya pasti tengah memikirkan banyak hal.

Tanpa terasa mobil sudah memasuki basement apartemen Grand Star Seven. Sama seperti sebelumnya, Maya tidak membiarkan Masumi membukakan pintu untuknya. Dia keluar lebih dulu dan segera berjalan menuju lift, lagipula Maya membawa kunci duplikat pemberian Masumi.

Setelah memerintahkan Wada untuk pulang, Masumi bergegas menyusul calon istrinya. Dia tiba di sebelah Maya tepat saat pintu lift terbuka. Keduanya masuk bersamaan, masih tidak berbicara.

Memasuki ruang tamu yang gelap, Maya berhenti sejenak, menunggu Masumi menyalakan lampu.

“Kulihat kau tidak makan apapun selama pesta. Apa kau ingin makan sesuatu sekarang?”

Pertanyaan Masumi membuat Maya menyadari kalau perutnya terasa lapar. Tapi mana mungkin dia mengatakannya? “Aku tidak lapar,” jawabnya sembari berjalan menuju kamar.

Melihat Maya masuk ke dalam kamar tanpa menoleh membuat Masumi hanya bisa menggeleng. Dia tidak menyangka kalau menghadapi Maya akan sesulit ini. Biasanya Masumi tidak akan peduli pada sikap wanita padanya, tapi Maya jelas sebuah pengecualian. Melonggarkan dasinya, Masumi menjatuhkan diri di sofa panjang ruang tamu. Dia menghela napas panjang sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.

Menit berlalu dalam kesunyian. Suara pintu yang terbuka membuat Masumi mengalihkan pandangannya. Dia yang tengah berdiri di balik meja bar mengerutkan kening saat melihat Maya di ambang pintu kamar dengan tas tersandang di bahu.

“Kau mau pulang?” Kalimat tanya itu meluncur begitu saja dari mulut Masumi.

“Apa kau berharap aku menginap?” tanya Maya sembari melengkungkan alisnya.

“Jika kau mau, aku tidak keberatan.” Pria muda itu lalu menghampiri calon istrinya.

Menghindari Masumi, Maya segera menutup pintu kamar dan berniat segera pergi. Sayangnya, Masumi bisa membaca niatnya dan segera menangkap pergelangan tangan Maya.

“Aku akan mengantarmu.”

“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri dengan taksi.”

Masumi kembali menghela napas. Dia tidak mau berdebat tapi juga tidak mungkin mengijinkan Maya pulang sendiri. “Ini sudah malam, Maya. Dan aku juga sudah berjanji pada Bibi Mayuko untuk mengantarmu.”

“Aku tidak mau,” jawab Maya keras kepala, matanya menatap tajam pria yang masih memegang tangannya.

“Apa kau selalu keras kepala seperti ini?” Masumi melembutkan suaranya, berharap bisa membujuk calon istrinya.

“Oh, bagus kalau kau mulai memahami sifatku. Silakan batalkan pernikahan jika Anda tidak berkenan, Tuan-Muda-Hayami,” jawab Maya dengan nada sing a song dan mengeja nama Masumi di akhir kalimat dengan wajah cemberut.

Menghela napas perlahan, Masumi melepaskan pergelangan tangan Maya lalu berjalan ke arah pintu. Dengan cepat dia mengunci pintu dan mengambil kartu yang tersemat di alat sensor, itu adalah kunci duplikat yang diberikannya pada Maya.

“Apa yang kau lakukan?” seru Maya begitu melihat Masumi memasukkan kunci ke dalam saku kemejanya.

Alih-alih menjawab Maya, Masumi justu berjalan ke arah meja bar.

Menghentakkan kaki menghampiri Masumi, Maya menarik lengan pria itu agar berhenti dan berbalik untuk melihatnya. “Berikan kuncinya.” Tangan Maya teracung di depan dada Masumi.

“Tidak,” tegas Masumi dengan wajah datar.

“Berikan!”

“Tidak.”

“Aku mau pulang!”

“Kau tidak boleh pulang jika tidak kuantar!”

Maya langsung terdiam.

“Maaf.” Masumi yang sadar sudah berteriak langsung melembutkan suaranya. Dia melepas tangan Maya dari lengannya lalu menarik wanita muda itu untuk duduk di bar.

“Kau tidak bisa memaksaku untuk tinggal.” Maya kembali dengan mode keras kepalanya.

“Aku tidak memaksamu. Aku hanya tidak mengijinkanmu pulang sendiri.”

“Aku bukan anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri!” Suara Maya kembali meninggi.

“Kapan aku mengatakan kau anak kecil?” Masumi melengkungkan alis menatap calon istrinya heran.

“Kau memperlakukanku seperti itu,” gerutu Maya sembari berdecak kesal.

Menghela napas perlahan, Masumi mencoba menahan diri agar tidak terpancing dengan sikap Maya. “Ini pukul sebelas malam, kau aktris terkenal, bagaimana jika ada paparazzi yang melihatmu keluar dari apartemenku sendirian? Mereka jelas tahu kalau kau bersamaku.”

“Oh, jadi ini semua demi reputasimu?” Maya melipat tangan di depan dada dengan ekspresi kesal.

“Reputasi?”

“Ya, kau tidak mau orang menganggapmu sebagai pria tidak bertanggung jawab. Kau tidak mau media menulis headline besar tentang Vice President Daito yang membiarkan calon istrinya pulang sendiri tengah malam, begitu?”

“Astaga Maya, seburuk itukah aku dimatamu?” Masumi menggeleng lalu memijat pelipisnya yang berdenyut.

“Apa aku salah?”

“Tentu saja, aku khawatir padamu bukan reputasiku. Aku tidak peduli orang bicara apa tentangku.”

Memalingkan wajah dengan kesal, Maya enggan menanggapi perkataan pria di depannya. Keduanya terdiam sampai Masumi kembali bicara.

“Hubungan kita tidak akan berhasil kalau kau terus keras kepala seperti ini. Bisakah kau mencoba berpikir positif tentangku?”

“Kita akhiri saja sebelum semuanya berjalan lebih jauh. Lagipula aku sudah cukup mengenalmu,” ucap Maya dengan nada datar yang masih jelas bisa didengar Masumi. Tidak mendapat respon atas pernyataannya membuat Maya kembali menatap lawan bicaranya. “Kenapa? Kau keberatan?” Ekspresi wajah Masumi yang datar membuat Maya mengerutkan kening.

“Tentu saja.”

“Aku tidak mau menikah dengan-,”

“Tapi aku mau!” tegas Masumi. Pria itu berjalan memutari meja bar lalu berhenti tepat di samping Maya. Dia menarik lengan wanita itu hingga tubuhnya berputar dan mereka saling berhadapan. “Aku mau menikah denganmu,” ucapnya tepat di depan wajah Maya yang kini menengadah menatapnya.

Kedekatan mereka membuat Maya terpaku. Dia menatap mata Masumi dan mencoba menebak apa yang tengah dipikirkan pria itu. Anehnya, mulut Maya terasa berat untuk bicara, lidahnya kelu melihat ekspresi dingin dari pria yang adalah calon suaminya.

“Beri aku kesempatan,” lirih Masumi sembari menangkup wajah Maya dengan kedua tangannya. “Cobalah untuk mengenalku secara pribadi, bukan berdasar apa yang media katakan. Aku di sini, di hadapanmu.”

Mulut Maya terbuka tapi tak satu pun kata dapat diucapkannya. Kesungguhan yang tersirat di mata Masumi kembali mengunci bibirnya.

“Aku akan mencoba untuk memahamimu, belajar mencintaimu jika memang itu yang kau inginkan. Tapi beri aku waktu, cinta tidak tumbuh dalam hitungan menit. Kumohon-.”

Suasana kembali hening. Keduanya tidak bicara dan hanya saling menatap. Jemari Masumi mengusap pipi Maya yang memerah dengan lembut, menghantarkan getaran yang belum pernah dirasakan wanita itu.

“Apa kau tahu kalau aku selalu mengagumi aktingmu?” lirih Masumi kemudian. “Akting pertamamu sebagai Beth yang kemudian membawamu pada ratusan peran yang luar biasa. Satu-satunya aktris yang diakui oleh Ayumi Himekawa sebagai saingannya. Deretan piala penghargaan yang kau raih tanpa campur tangan nama ibu dan ayahmu. Kau meraih gelar sebagai aktris nomor satu dengan usahamu, tidak ada yang meragukan itu. Kau, Si Badai Di Atas Panggung.” Masumi tersenyum saat Maya berkedip menatapnya.

“Kau-,” Wanita itu menelan ludah perlahan karena suaranya gemetar, “-kau hapal semua peranku? Menonton film dan pertunjukan panggungku?”

Masumi mengangguk meski dalam hati mengumpati mulutnya sendiri yang terlalu banyak bicara. Tidak seharusnya dia mengatakan semua itu pada Maya, setidaknya bukan sekarang. “Kau selalu luar biasa baik di layar ataupun di atas panggung.”

Maya menggigit bibir bawahnya, ragu bagaimana dia harus merespon pujian Masumi. Matanya berkedip karena terkejut saat Masumi menarik dagu bawahnya hingga bibirnya terpisah.

“Kebiasaanmu saat gugup?”

Malu dengan sikap Masumi membuat Maya segera menarik tangan pria itu dan memalingkan wajahnya. Jantungnya berdebar kencang. “To-tolong … antar aku pulang.”

Tahu kalau penolakannya akan menjadi perdebatan, Masumi pun berjalan ke arah sofa ruang tamu dan memakai mantelnya. “Ayo,” katanya kemudian dan Maya mengikutinya dalam diam.

***

Suara ketukan pintu mengusik Maya dari tidur tenangnya. “Masuk,” serunya dengan suara parau.

“Apa kau sakit?”

Maya berkedip lalu menggosok matanya. Dia melihat Mayuko sudah berdiri di samping tempat tidurnya dan seorang pelayan tampak meletakkan nampan di meja kamar. “Tidak, hanya ingin tidur lebih lama,” jawabnya saat melihat sang ibu masih menunggu jawabannya.

“Kau ada jadwal syuting siang nanti, bukan?” Kini Mayuko duduk di tepi tempat tidur lalu memeriksa kening putrinya.

“Hm,” gumam Maya pelan. “Aku baik-baik saja Ibu, hanya mengantuk.”

“Kau pulang larut dan tidak segera tidur, tentu saja mengantuk.”

“Bagaimana Ibu tahu?”

“Lampu kamarmu masih menyala sampai pukul tiga dini hari.”

“Oh,” Maya berbalik lalu kembali bergelung dengan selimut tebalnya.

“Bangun Maya. Makan sarapanmu lalu kau boleh melanjutkan tidurmu.” Mayuko menarik selimut tebal yang membungkus tubuh putrinya.

“Aku tidak lapar Ibu,” jawabnya sembari kembali menarik selimut.

“Masumi bilang kau tidak makan apapun semalam, jadi kau harus makan pagi ini. Ingat jadwal kerjamu yang padat Maya, jangan sampai kau sakit.”

Mendengar nama Masumi disebut langsung membuat mata Maya terbuka lebar. Bayangan akan kejadian semalam membuatnya menggeleng tanpa sadar. “Kenapa dia mengadu pada ibu?”

“Mengadu?” Mayuko mengerutkan kening melihat putrinya duduk dengan wajah tertekuk. “Masumi tidak mengadu apapun, dia hanya bilang kalau semalam kau menolak untuk makan.”

“Bukankah itu mengadu?”

Mayuko menggeleng dengan sikap putrinya. “Aku tidak suka berdebat. Bersihkan dirimu dan segera makan. Ayahmu berpesan untuk meneleponnya siang nanti. Dia sudah berangkat ke Osaka untuk persiapan syuting film barunya.”

“Ah, Ayah bahkan tidak berpamitan padaku.” Maya meraih handphone di atas nakas lalu memeriksa pesan masuk. Sayangnya Mayuko mengambil handphone-nya sebelum Maya sempat membaca satu pesan pun.

“Baik Ibu.” Tahu kalau dirinya tidak bisa membantah, Maya segera beranjak dan berjalan ke kamar mandi.

Mayuko melihat layar handphone yang menunjukkan beberapa pesan masuk. Salah satunya adalah pesan dari Masumi. Sepenggal teks terbaca dan hanya membuat Mayuko menghela napas panjang. “Mereka bertengkar lagi?” Meletakkan kembali handphone di atas nakas, Mayuko pun meninggalkan kamar putrinya.

***

Masumi memijat pelipisnya yang berdenyut. Dia butuh tidur, sebenarnya. Hanya saja kepalanya yang penuh dengan berbagai macam persoalan membuat matanya enggan terpejam, sejak semalam. Dan sekarang, pria dingin dan gila kerja itu sudah duduk di balik meja kerjanya ditemani dengan secangkir kopi pahit nan pekat bersama tumpukan dokumen disebelahnya. Ya, dia berharap agar cairan kafein itu bisa membantunya tetap berkonsentrasi untuk menyelesaikan pekerjaan.

"Saya tidak mengerti."

Kalimat itu membuat Masumi sejenak mengalihkan perhatiannya ke arah sang sekretaris, Saeko Mizuki, yang dia yakin sejak tadi mengamatinya. Hanya sekilas, Masumi kemudian berusaha kembali fokus pada dokumen di atas pangkuannya. "Hm?" gumam Masumi tanpa arti.

"Bagian mana dari dokumen itu yang menurut anda sulit Tuan Masumi?" pertanyaan Mizuki menyiratkan ketidak sabarannya.

"Tidak ada," jawab Masumi datar tanpa mengalihkan perhatiannya.

"Tidak ada? Tapi Anda belum menyelesaikan satu dokumen pun," erang Mizuki frustasi. "Demi Tuhan Tuan Masumi, ini sudah lima belas menit sejak Anda memandang halaman dokumen itu tanpa membaliknya dan hanya sibuk memijat pelipis lalu menghela napas panjang. Apa Anda berniat menyiksa saya yang berdiri di sini sejak tadi?"

Kali ini Masumi mengangkat wajahnya demi mendapati wajah masam Mizuki. Catat, hanya Mizuki satu-satunya karyawan di Daito Grup yang berani melotot tajam padanya bahkan memarahinya.

"Kau boleh duduk kalau mau," jawab Masumi datar lalu membali menatap dokumennya. Dia sama sekali tidak terpengaruh aura gelap yang kini menguar disekitar sekretarisnya. Oh jangan bercanda, Masumi bisa mengeluarkan aura yang berkali-kali lipat lebih menyeramkan dari itu, jadi tidak ada alasan baginya untuk terintimidasi dengan Mizuki.

"Astaga, saya pasti cepat mati kalau terus bekerja dengan Anda," keluh Mizuki yang mendramatisasi penderitaannya. Bertahun-tahun bekerja di dunia entertainment membuatnya tertular virus hiperbola yang sering digunakan dalam naskah drama.

"Aku tidak akan mengijinkanmu mati secepat itu-," kata Masumi seolah dialah yang memegang takdir hidup dan mati sekretarisnya, "-setidaknya sampai aku bisa menemukan penggantimu," lanjutnya tanpa dosa.

Pernyataan Masumi sukses membuat Mizuki menganga. Dengan kesal dia duduk di depan meja kerja Masumi. "Percayalah, Anda tidak akan pernah menemukannya," katanya dengan mata memincing tajam.

"Kalau begitu jangan mati.” Masumi kembali menimpali dengan nada datar.

Arghhh! Mizuki mengutuki sosok atasannya dalam hati. Ya, dia masih waras untuk tidak memaki bosnya secara langsung. Percayalah, Masumi terkadang bisa lebih menyeramkan daripada malaikat maut.

"Aku tidak mengerti Mizuki," kata Masumi kemudian. Dia menutup dokumen dan meletakkannya di bagian paling atas gunungan pekerjannya. Masumi menatap lekat sekretarisnya dengan dagu bertopang pada kedua tangannya yang bertaut.

Mau tidak mau Mizuki memberikan atensi penuh pada atasannya. Tidak mau juga dicap sebagai sekretaris durhaka. “Apa yang Anda tidak mengerti Tuan Masumi?”

"Kenapa sulit sekali menaklukkan hati wanita?"

Mizuki hampir tersedak mendengarnya. “Anda kesulitan menaklukkan wanita? Apakah wanita yang Anda bicarakan itu berasal dari bumi Tuan?”

Mata Masumi menatap tajam Mizuki yang kini menyembunyikan senyumnya di balik telapak tangan. “Kau berasal dari Venus?”

“Ah, itu-,” Mizuki tentu saja tertawa mendengar sarkasme atasannya. Dia memang termasuk ke dalam salah satu wanita yang tidak takluk pada pesona Masumi. Itu juga salah satu alasan kenapa dia bisa bekerja lama sebagai sekretaris Masumi. Vice President Daito itu sebenarnya tidak suka dengan tipe wanita genit dan penggoda. Sungguh rumor di luar sana adalah omong kosong belaka. Mereka tidak tahu bagaimana Masumi Hayami yang sebenarnya.

“Mizuki, kau tahu aku sedang tidak bercanda.” Masumi mulai kesal karena sekretarisnya masih asik menertawakannya.

“Maaf Tuan, tapi ini sungguh lucu. Saya tidak pernah membayangkan Anda akan berada dalam situasi ini.” Mizuki berusaha menahan tawanya lalu kembali duduk dengan tegap. “Apa ini berkaitan dengan rencana perjodohan Anda dengan Nona Ozaki? Semua media ramai membicarakan Anda pagi ini.”

“Hm.” Masumi bersandar lebih santai pada kursi kerjanya lalu menatap wallpaper laptopnya.

“Tapi foto Anda berdua terlihat mesra.” Tatapan mata Masumi membuat Mizuki merasa bersalah, “Maaf saya lupa kalau Nona Ozaki adalah aktris.”

“Kau tidak menjawab pertanyaanku Mizuki.” Masumi mulai kesal dengan jawaban sekretarisnya.

“Jawabannya saya tidak tahu.”

Senyum wanita itu membuat Masumi semakin kesal.

“Tuan, saya belum pernah bertemu dengan Nona Ozaki selain dari menonton pertunjukan atau filmya. Sejauh ini saya bertegur sapa hanya masalah pekerjaan dan Anda tiba-tiba bertanya seperti itu.” Sekretaris cantik itu tidak kurang akal untuk memberi alasan. “Lagipula dia termasuk wanita cerdas jika menolak pesona Anda,” cicitnya lagi dengan suara lirih.

Tentu saja Masumi tidak tuli dan mendengarnya dengan jelas. Tapi bukan Mizuki namanya jika mulutnya tidak membuat Masumi kesal. Menyerah untuk bertanya, Masumi akhirnya kembali mengambil dokumen dan memeriksanya. Dia melambaikan tangan sebagai isyarat untuk Mizuki meninggalkan ruangannya.

“Ah iya, mungkin Anda bisa mencoba untuk melakukan hal-hal yang disukainya,” kata Mizuki tiba-tiba sebelum membuka pintu.

“Hal yang disukainya?” Masumi mengerutkan kening.

Mizuki mengulas senyum. “Anda pasti tahu maksud saya. Jadilah Masumi yang mengenal dan memahaminya, bukan Masumi Hayami yang selama ini Anda tampakkan di depan media.”

Karena Masumi tidak menjawab lagi, Mizuki pun keluar dari ruangan dengan senyum yang lebih lebar. Sepertinya setelah ini dia bisa menambah kartu As baru sebagai senjata untuk menggoda atasannya. Sungguh menyenangkan.

***

Music jazz mengalun merdu, menemani Rei yang tengah bersiap di kamarnya. Wanita tomboy itu terlihat asik bernyanyi sembari memakai kemeja di depan cermin hingga dering handphone mengalihkan perhatiannya. Mengecilkan volume music, Rei pun menjawab panggilan telepon setelah membaca nama yang muncul di layar.

“Pagi Rei,” sapa suara berat di seberang sana.

Melirik ke arah jam dinding, Rei tersenyum karena sudah bisa menebak maksud dari pria yang meneleponnya. “Aku tidak menyangka kau akan menelepon secepat ini.”

“Jangan mengejekku, aku hanya ingin tahu konfirmasi berita pagi ini,” jawab pria itu dengan nada kesal.

“Oh, tentang Maya dan calon suaminya?” Rei tertawa saat lawan bicaranya berdecak kesal. “Menyerahlah, dua bulan lagi mereka menikah. Nyonya Mayuko sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Bahkan jika Maya menolak sekali pun, pernikahan akan tetap dilaksanakan.”

“Kau pikir menyerah itu mudah? Bertahun-tahun aku berusaha mendekatinya, meski setahun belakangan dia mau menjadi kekasihku, tapi hubungan kami hanyalah main-main. Maya hanya menganggapku sebagai tameng agar tidak banyak pria yang mendekat karena melihat kedekatan kami. Dia bahkan tidak tahu kalau aku benar-benar mencintainya.”

“Kalau begitu berhentilah Koji. Semua ini akan semakin menyakitimu. Maya hanya menganggapmu sebagai sahabat dan sampai kapanpun hal itu tidak akan berubah.” Rei menghela napas. Dia tidak habis pikir dengan kekeras kepalaan Koji.

“Aku-,”

“Kau bisa mendapatkan kebahagiaan lain Koji. Maya bukan untukmu, jangan memaksakan kehendakmu,” lanjut Rei saat lawan bicaranya tak lagi bisa menjawab. “Tenangkan dirimu, oke?”

“Hm.”

“Bagus, boleh kumatikan teleponnya? Aku harus berangkat kerja sekarang.”

“Hm, terima kasih Rei.”

“Sama-sama, telepon aku lagi saat kau butuh teman untuk minum.” Rei tersenyum meski Koji tak dapat melihatnya dan percakapan mereka pun berakhir. Wanita itu kemudian menatap cermin dan menilai tampilannya sembari berpikir.

“Suatu hari nanti, semoga ada yang mengejarku seperti Koji mengejar Maya,” gumamnya dan kemudian tertawa keras, menertawakan kekonyolannya.

***

“Ini syuting terakhir bukan?” Maya menyeka keringat di dahi dengan tissue dan meminta Taiko untuk memperbaiki make up nya.

“Hm,” gumam Rei sebagai jawaban sementara tangannya sibuk membuka handphone dan menulis catatan di buku agendanya.

“Besok aku libur?” Maya menoleh dan menatap penuh harap pada managernya.

Mengangkat wajah untuk melihat ekspresi Maya, Rei justru tersenyum geli. “Besok kau memang libur tapi Nyonya Mayuko sudah memasukkan jadwal ke dalam agendaku. Pukul sepuluh pagi, kau dan Tuan Muda Hayami harus pergi ke BB Bridal & Formal Boutique.”

“Hah?! Untuk apa aku kesana?” protes Maya dengan konyolnya yang langsung ditanggapi tawa renyah Rei juga Taiko.

“Nona Maya, kau akan menikah, apa kau lupa?” jawab Taiko sembari menggeleng dengan ekspresi geli.

Melihat manager dan asistennya tertawa membuat wajah Maya semakin masam. “Aku masih berharap pernikahannya batal.”

“Ah, itu sama saja kau berharap langit dan bumi bertukar tempat.” Rei memainkan pena ditangannya dan kembali tertawa melihat Maya melotot padanya.

“Tapi itu memang benar, bukan?” Taiko menambahi yang dijawab dengan anggukan mantap Rei.

“Kalian berdua tidak ada yang mendukungku,” gerutu Maya kemudian seraya beranjak dari kursi. Dia baru saja berniat menemui sutradara agar mempercepat syuting tapi kru yang datang menghentikan niatnya.

“Nona Ozaki, ada yang mencari Anda.”

Maya melirik seorang pria yang memakai setelan jas formal berdiri di belakang kru produksi. “Wada?” Dia mengenali pria yang adalah supir pribadi Masumi.

Wada pun memberi salam pada Maya dengan sebelumnya mengucapkan terima kasih pada kru produksi yang sudah mengantarnya. “Maaf jika mengganggu waktu Nona. Tuan Muda meminta saya mengirimkan ini untuk Anda.”

Maya menerima kotak berwarna biru dan membuka isinya, tiramisu dengan banyak serutan coklat di atasnya. Dia pun membaca kartu ucapan dengan kening berkerut.

Semoga pekerjaanmu hari ini selesai dengan baik.

Reflek Maya menoleh pada Rei dan memberikan kartu ucapan itu padanya. Sang manajer hanya tersenyum seraya menggaruk pelipisnya. “Sampaikan terima kasihku pada Masumi.”

“Baik Nona, kalau begitu saya permisi.” Wada pun membungkuk hormat lalu bergegas meninggalkan studio.

“Kau yang memberitahunya, bukan?” Maya langsung melotot pada manajernya seraya berkacak pinggang.

“Hm, Tuan Muda Hayami hanya bertanya kapan syuting selesai. Aku tidak menyangka kalau dia akan mengirim hadiah untukmu. Lagipula apa salahnya? Bukankah itu bagus?” Rei berusaha membela diri.

“Apanya yang bagus? Kau tahu dia sedang berusaha merayuku?” kata Maya kemudian.

“Ah, kau mulai lagi.” Rei tersenyum masam.

“Nona Maya, kau lucu sekali.” Lagi-lagi Taiko menertawakannya.

“Biarkan saja Taiko, aku hanya ingin lihat bagaimana sikapnya nanti saat sudah menikah dengan Tuan Muda Hayami.” Rei dan Taiko tertawa sembari ber hi five ria, membuat Maya menghela napas panjang.

“Kalian berdua memang senang kalau melihatmu menderita,” gerutu Maya kemudian.

“Hei Nona Ozaki, bagian mana dari hidupmu yang menderita hum? Diluar sana ratusan wanita sedang berdoa agar bisa menggantikan tempatmu,” kata Rei sembari melambaikan tangannya di depan wajah Maya.

“Kalau begitu kau gantikan tempatku saja,” Maya masih bersikeras.

Dan Rei pun tertawa mendengarnya. “Andai Tuan Muda Hayami memilihku, tentu aku tidak akan keberatan. Aku tidak perlu lagi bekerja keras menjadi manajermu dan bisa menikmati hidup dengan tenang. Sayangnya tidak mungkin Tuan Muda Tampan itu memilihku Maya. Benar kan Taiko?” Rei mencari teman untuk mendukung argumennya. Berdebat dengan Maya terkadang melelahkan.

“Tentu saja, aku pun tidak keberatan kalau Tuan Muda Hayami memilihku. Sayangnya itu sama mustahilnya dengan meminta ayam melahirkan anak itik,” jawab Taiko meyakinkan.

“Ayam bertelur Taiko,” Maya mencebik.

“Makanya kubilang itu mustahil Nona Maya,” kata Taiko lagi.

“Sudahlah Maya, kau jalani saja dulu. Siapa tahu kau bisa benar-benar jatuh cinta pada Tuan Muda Hayami.” Rei kembali menambahkan.

“Yang benar saja,” jawab Maya tidak terima. Seolah jatuh cinta pada Masumi adalah sama mustahilnya dengan ayam melahirkan anak itik.

“Hei, siapa yang tahu.” Rei mengendikkan bahu sementara Taiko hanya menggeleng pasrah.

***

Hari menjelang senja saat Maya selesai dengan pekerjaannya. Rei kembali mengingatkan Maya mengenai jadwalnya besok. Manejer cantik itu tidak mau mendapat amukan Mayuko. Taiko sudah selesai mengepak semua perlengkapan dan ketiganya berjalan keluar studio.

“Ah, sepertinya aku tidak perlu mengantarmu pulang hari ini.” Rei menunjuk pada mobil mewah yang terparkir tak jauh dari mereka saat Maya memandangnya dengan tatapan tanya.

Melepas kaca mata hitam yang dikenakannya, Maya memincingkan mata pada sosok pria yang keluar dari pintu depan mobil. “Mau apa dia kesini?” desisnya kesal.

“Tentu saja menjemput calon istrinya,” jawab Rei sembari tersenyum. “Aw, jangan memukulku Maya. Pukul saja Tuan Muda itu kalau kau memang tidak suka dengannya,” cicit sang manajer itu sembari mengusap lengannya. “Ah, selamat sore Tuan Muda Hayami.” Rei segera menegakkan tubuh lalu mengangguk hormat pada calon suami atasannya.

“Selamat sore Nona Aoki, Nona Kasuga,” jawabnya yang juga ditanggapi dengan salam hormat oleh Taiko. “Halo Maya, kau sudah selesai?” tanyanya kemudian.

“Belum, aku masih ada kerjaan setelah ini. Benar kan Rei?” Maya menyunggingkan senyum simpul seraya menginjak kaki Rei.

Melihat kerutan di kening Masumi membuat Rei dilema. “Ah, itu-,” tentu saja dia tidak berani berbohong.

Masumi mengulas senyum begitu melihat kaki Rei yang terinjak. “Tidak apa-apa, biar aku yang mengantarmu, Maya. Tidak keberatan Nona Aoki? Kau tunjukkan saja jalannya, aku akan mengikuti dari belakang.”

“Tidak, tidak, aku-,” Maya langsung tergagap mendengar jawaban Masumi.

“Pe-pekerjaannya tidak terlalu penting. Saya, saya, masih bisa menundanya untuk lusa atau bahkan minggu depan.” Rei segera menyela dan terkekeh dengan nada datar seraya mendorong Maya untuk mendekat pada Masumi. Dia tidak mau Maya membuat kebohongan lagi yang bisa membahayakan keselamatan jiwa juga dompetnya. “Kau pulang saja Maya, biar aku dan Taiko yang menemui mereka sore ini. Benar kan Taiko?”

“Benar, benar, biar kami yang menyelesaikan semuanya.” Taiko juga terpaksa tersenyum garing. Biarlah setelah ini Maya merajuk padanya. Kemarahan Maya masihlah aman dibanding dengan ultimatum Mayuko atau bahkan Tuan Muda di depannya itu.

“Apa tidak akan ada masalah?” tanya Masumi tenang, tentu saja dia tahu kalau mereka berbohong.

“Tidak, tentu saja tidak. Maya, pulanglah dengan tenang.” Rei tersenyum dan kembali mendorong Maya agar segera pergi.

“Apa maksudmu ‘pulang dengan tenang?’, kau ini!” sungut Maya kesal, tapi mau tidak mau dia memang harus ikut dengan Masumi. Berbohong tidak akan ada gunanya.

“Baiklah kalau memang tidak masalah. Ayo Maya, sebaiknya kita segera pulang.” Masumi kembali mengulas senyum pada calon istrinya.

Bibir Maya mengerucut lalu kembali memukul lengan Rei sebelum akhirnya menghentakkan kaki menuju mobil Masumi. Dia melwati Masumi begitu saja dan membuat Rei juga Taiko harus tersenyum canggung di hadapan Masumi.

“Ng, dia-,”

“Tidak apa-apa, Maya justru semakin manis jika merajuk. Baiklah kami pulang. Sampai jumpa Nona Aoki, Nona Kasuga.” Masumi melambaikan tangan lalu berbalik untuk menyusul calon istrinya yang sudah duduk di kursi belakang mobil, meninggalkan manajer dan asisten Maya yang menganga karena terkejut.

“Manis katanya?” gumam Rei yang akhirnya membuat Taiko tertawa saat mobil Masumi meninggalkan pelataran studio.

***

>> Bersambung <<
>> Omiai - Chapter 5 <<

A/N : Hola, Hola, silakan baca buat yang masih nungguin, hehehehe.
Makasih *deep_bow

Post a Comment

7 Comments

  1. Mizuki msh sama wkwkkw
    Duhhh maya jangan kelamaan marah2nya ntr diembat shiori
    Disini shiori paati normal , ga penyakitan mo mati 😁😁😁
    Lbh berbahaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. seterong dia disini mah nanti. siap jambak2an sama Maya wkwkkw

      Delete
  2. Seneng nya, melepas kangen mm dimari😘😍

    ReplyDelete
  3. Mba Agnes, Love story Miss Rei koq gk bs ak buka y?😩

    ReplyDelete
  4. nggak sabar nunggu kelanjutnya chapter 6... mantap kak agnes

    ReplyDelete