Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Sepanjang perjalanan pulang menuju
apartemen, suasana di dalam mobil tampak tenang. Masumi membiarkan Maya
tenggelam dalam dunianya, duduk termenung menatap ke luar jendela. Dia tahu
wanita itu masih belum bisa menerima hubungan mereka. Ditambah masalah Shiori,
Masumi yakin kalau saat ini Maya pasti tengah memikirkan banyak hal.
Tanpa terasa mobil sudah memasuki basement
apartemen Grand Star Seven. Sama seperti sebelumnya, Maya tidak membiarkan
Masumi membukakan pintu untuknya. Dia keluar lebih dulu dan segera berjalan
menuju lift, lagipula Maya membawa kunci duplikat pemberian Masumi.
Setelah memerintahkan Wada untuk pulang,
Masumi bergegas menyusul calon istrinya. Dia tiba di sebelah Maya tepat saat
pintu lift terbuka. Keduanya masuk bersamaan, masih tidak saling bicara.
Memasuki ruang tamu yang gelap, Maya
berhenti sejenak, menunggu Masumi menyalakan lampu.
“Kulihat kau tidak makan apapun selama pesta.
Apa kau ingin makan sesuatu sekarang?”
Pertanyaan Masumi membuat Maya menyadari
kalau perutnya terasa lapar. Tapi mana mungkin dia mengatakannya? “Aku tidak
lapar,” jawabnya sembari berjalan menuju kamar.
Melihat Maya masuk ke kamar tanpa menoleh
membuat Masumi hanya bisa menggeleng. Dia tidak menyangka kalau menghadapi Maya
akan sesulit ini. Biasanya Masumi tidak akan peduli pada sikap wanita padanya,
tapi Maya jelas sebuah pengecualian. Melonggarkan dasinya, Masumi menjatuhkan
diri di sofa panjang ruang tamu. Dia menghela napas sembari memijat pelipisnya
yang berdenyut.
Menit berlalu dalam kesunyian. Suara pintu
yang terbuka membuat Masumi mengalihkan pandangannya. Dia yang kini tengah
berdiri di balik meja bar mengerutkan kening saat melihat Maya di ambang pintu
kamar dengan tas tersandang di bahu.
“Kau mau pulang?” Kalimat tanya itu
meluncur begitu saja dari mulut Masumi.
“Apa kau berharap aku menginap?” tanya Maya
sembari melengkungkan alisnya.
“Jika kau mau, aku tidak keberatan.” Pria
muda itu lalu menghampiri calon istrinya.
Menghindari Masumi, Maya segera menutup
pintu kamar dan berniat segera pergi. Sayangnya, Masumi bisa membaca niatnya
dan segera menangkap pergelangan tangan wanita itu.
“Aku akan mengantarmu.”
“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri
dengan taksi.”
Masumi kembali menghela napas. Dia tidak
mau berdebat tapi juga tidak mungkin membiarkan Maya pulang sendiri. “Ini sudah
malam, Maya. Dan aku juga sudah berjanji pada Bibi Mayuko untuk mengantarmu.”
“Aku tidak mau,” jawab Maya, matanya
menatap tajam pria yang masih memegang tangannya.
“Apa kau selalu keras kepala seperti ini?”
Masumi melembutkan suaranya, berharap bisa membujuk calon istrinya.
“Oh, bagus kalau kau mulai memahami
sifatku. Silakan batalkan pernikahan jika Anda tidak berkenan,
Tuan-Muda-Hayami,” jawab Maya dengan nada sing
a song dan mengeja nama Masumi di akhir kalimat dengan wajah cemberut.
Masumi melepaskan pergelangan tangan Maya
lalu berjalan ke arah pintu. Dengan cepat dia mengunci pintu dan mengambil
kartu yang tersemat di alat sensor, itu adalah kunci duplikat yang diberikannya
pada Maya.
“Apa yang kau lakukan?” seru Maya begitu melihat
Masumi memasukkan kunci ke dalam saku kemejanya.
Alih-alih menjawab Maya, Masumi justu
berjalan ke arah meja bar.
Menghentakkan kaki menghampiri Masumi, Maya
menarik lengan pria itu agar berhenti dan berbalik untuk melihatnya. “Berikan
kuncinya!” Tangan Maya teracung di depan dada Masumi.
“Tidak,” tegas Masumi dengan wajah datar.
“Berikan!”
“Tidak.”
“Aku mau pulang!”
“Kau tidak boleh pulang jika tidak
kuantar!”
Maya langsung terdiam.
“Maaf.” Masumi yang sadar sudah berteriak
langsung melembutkan suaranya. Dia melepas tangan Maya dari lengannya lalu
menarik wanita muda itu untuk duduk di bar.
“Kau tidak bisa memaksaku untuk tinggal.”
Maya kembali dengan mode keras kepalanya.
“Aku tidak memaksamu. Aku hanya tidak
mengijinkanmu pulang sendiri.”
“Aku bukan anak kecil yang tidak bisa
pulang sendiri!” Suara Maya kembali meninggi.
“Kapan aku mengatakan kau anak kecil?”
Masumi melengkungkan alis menatap calon istrinya heran.
“Kau memperlakukanku seperti itu,” gerutu
Maya sembari berdecak kesal.
Masumi mencoba menahan diri agar tidak
terpancing dengan sikap Maya. “Ini pukul sebelas malam, kau aktris terkenal,
bagaimana jika ada paparazzi yang melihatmu keluar dari apartemenku sendirian?
Mereka jelas tahu kalau kau bersamaku.”
“Oh, jadi ini semua demi reputasimu?” Maya
melipat tangan di depan dada dengan ekspresi kesal.
“Reputasi?”
“Ya, kau tidak mau orang menganggapmu
sebagai pria tidak bertanggung jawab. Kau tidak mau media menulis headline besar tentang ‘Vice President
Daito Yang Membiarkan Calon Istrinya Pulang Sendiri Tengah Malam’, begitu?”
“Astaga Maya, seburuk itukah aku dimatamu?”
Masumi menggeleng lalu memijat pelipisnya yang berdenyut.
“Apa aku salah?”
“Tentu saja, aku khawatir padamu bukan reputasiku.
Aku tidak peduli orang bicara apa tentangku.”
Memalingkan wajah dengan kesal, Maya enggan
menanggapi perkataan pria di depannya. Keduanya terdiam sampai Masumi kembali
bicara.
“Hubungan kita tidak akan berhasil kalau
kau terus keras kepala seperti ini. Bisakah kau mencoba berpikir positif
tentangku?”
“Kita akhiri saja sebelum semuanya berjalan
lebih jauh. Lagipula aku sudah cukup mengenalmu,” ucap Maya dengan nada datar.
Tidak mendapat respon atas pernyataannya membuat Maya kembali menatap lawan bicaranya.
“Kenapa? Kau keberatan?” Ekspresi wajah Masumi yang datar membuat Maya
mengerutkan kening.
“Tentu saja.”
“Aku tidak mau menikah dengan-,”
“Tapi aku mau!” tegas Masumi. Pria itu
berjalan memutari meja bar lalu berhenti tepat di samping Maya. Dia menarik
lengan wanita itu hingga tubuhnya berputar dan mereka saling berhadapan. “Aku
mau menikah denganmu,” ucapnya tepat di depan wajah Maya yang kini menengadah
menatapnya.
Kedekatan mereka membuat Maya terpaku. Dia
menatap mata Masumi dan mencoba menebak apa yang tengah dipikirkan pria itu.
Anehnya, mulut Maya terasa berat untuk bicara, lidahnya kelu melihat ekspresi
dingin dari pria yang adalah calon suaminya.
“Beri aku kesempatan,” lirih Masumi sembari
menangkup wajah Maya dengan kedua tangannya. “Cobalah untuk mengenalku secara
pribadi, bukan berdasar apa yang media katakan. Aku di sini, di hadapanmu.”
Mulut Maya terbuka tapi tak satu pun kata
dapat diucapkannya. Kesungguhan yang tersirat di mata Masumi kembali mengunci
bibirnya.
“Aku akan mencoba untuk memahamimu, belajar
mencintaimu jika memang itu yang kau inginkan. Tapi beri aku waktu, cinta tidak
tumbuh dalam hitungan menit. Kumohon-.”
Suasana kembali hening. Keduanya tidak
bicara dan hanya saling menatap. Jemari Masumi mengusap pipi Maya yang memerah
dengan lembut, menghantarkan getaran yang belum pernah dirasakan wanita itu.
“Apa kau tahu kalau aku selalu mengagumi
aktingmu?” lirih Masumi kemudian. “Akting pertamamu sebagai Beth yang kemudian
membawamu pada ratusan peran yang luar biasa. Satu-satunya aktris yang diakui
oleh Ayumi Himekawa sebagai saingannya. Deretan piala penghargaan yang kau raih
tanpa campur tangan nama ibu dan ayahmu. Kau meraih gelar sebagai aktris nomor
satu dengan usahamu, tidak ada yang meragukan itu. Kau, Si Badai Di Atas
Panggung.” Masumi tersenyum saat Maya berkedip menatapnya.
“Kau-,” Wanita itu menelan ludah perlahan
karena suaranya gemetar.
“Aku tahu semua dramamu. Aku juga sudah menonton
semua film dan pertunjukan panggungmu,” kata Masumi.
Hati Maya berdebar mendengarnya. Tapi dia
tidak percaya begitu saja. “Kau hapal semua peranku? Menonton film dan pertunjukan
panggungku?”
Masumi mengangguk meski dalam hati
mengumpati mulutnya sendiri yang terlalu banyak bicara. Tidak seharusnya dia
mengatakan semua itu pada Maya, setidaknya bukan sekarang. “Kau selalu luar
biasa baik di layar ataupun di atas panggung.”
Maya menggigit bibir bawahnya, ragu
bagaimana dia harus merespon pujian Masumi. Matanya berkedip karena terkejut
saat Masumi menarik dagu bawahnya hingga bibirnya terpisah.
“Kebiasaanmu saat gugup?”
Malu dengan sikap Masumi membuat Maya
segera menarik tangan pria itu dan memalingkan wajahnya. Jantungnya berdebar
kencang. “To-tolong … antar aku pulang.”
Tahu kalau penolakannya akan menjadi
perdebatan, Masumi pun berjalan ke arah sofa ruang tamu dan memakai mantelnya.
“Ayo,” katanya kemudian dan Maya mengikutinya dalam diam.
>>**<<
Suara ketukan pintu mengusik Maya dari
tidur tenangnya. “Masuk,” serunya dengan suara parau.
“Apa kau sakit?”
Maya berkedip lalu menggosok matanya. Dia
melihat Mayuko sudah berdiri di samping tempat tidurnya dan seorang pelayan
tampak meletakkan nampan di meja kamar. “Tidak, hanya ingin tidur lebih lama,”
jawabnya saat melihat sang ibu masih menunggu jawabannya.
“Kau ada jadwal syuting siang nanti,
bukan?” Kini Mayuko duduk di tepi tempat tidur lalu memeriksa kening putrinya.
“Hm,” gumam Maya pelan. “Aku baik-baik saja
Ibu, hanya mengantuk.”
“Kau pulang larut dan tidak segera tidur,
tentu saja mengantuk.”
“Bagaimana Ibu tahu?”
“Lampu kamarmu masih menyala sampai pukul
tiga dini hari.”
“Oh,” Maya berbalik lalu kembali bergelung
dengan selimut tebalnya.
“Bangun Maya. Makan sarapanmu lalu kau
boleh melanjutkan tidurmu.” Mayuko menarik selimut tebal yang membungkus tubuh
putrinya.
“Aku tidak lapar Ibu,” jawabnya sembari
kembali menarik selimut.
“Masumi bilang kau tidak makan apapun
semalam, jadi kau harus makan pagi ini. Ingat jadwal kerjamu yang padat Maya,
jangan sampai kau sakit.”
Mendengar nama Masumi disebut langsung
membuat mata Maya terbuka lebar. Bayangan akan kejadian semalam membuatnya
menggeleng tanpa sadar. “Kenapa dia mengadu pada ibu?”
“Mengadu?” Mayuko mengerutkan kening
melihat putrinya duduk dengan wajah tertekuk. “Masumi tidak mengadu apapun, dia
hanya bilang kalau semalam kau menolak untuk makan.”
“Bukankah itu mengadu?”
Mayuko menggeleng dengan sikap putrinya.
“Aku tidak suka berdebat. Bersihkan dirimu dan segera makan. Ayahmu berpesan
untuk meneleponnya siang nanti. Dia sudah berangkat ke Osaka untuk persiapan
syuting film barunya.”
“Ah, Ayah bahkan tidak berpamitan padaku.”
Maya meraih handphone di atas nakas
lalu memeriksa pesan masuk. Sayangnya Mayuko mengambil handphone-nya sebelum Maya sempat membaca satu pesan pun.
“Baik Ibu.” Tahu kalau dirinya tidak bisa
membantah, Maya segera beranjak dan berjalan ke kamar mandi.
Mayuko melihat layar handphone yang menunjukkan beberapa pesan masuk. Salah satunya
adalah pesan dari Masumi. Sepenggal teks terbaca dan hanya membuat Mayuko
menghela napas panjang. “Mereka bertengkar?” Meletakkan kembali handphone di atas nakas, Mayuko pun
meninggalkan kamar putrinya.
>>**<<
Masumi memijat pelipisnya yang berdenyut.
Dia butuh tidur, sebenarnya. Hanya saja kepalanya yang penuh dengan berbagai
macam persoalan membuat matanya enggan terpejam, sejak semalam. Dan sekarang, pria
dingin dan gila kerja itu sudah duduk di balik meja kerjanya ditemani dengan
secangkir kopi pahit nan pekat bersama tumpukan dokumen disebelahnya. Ya, dia berharap
agar cairan kafein itu bisa membantunya tetap berkonsentrasi untuk
menyelesaikan pekerjaan.
"Saya tidak mengerti."
Kalimat itu membuat Masumi sejenak
mengalihkan perhatiannya ke arah sang sekretaris, Saeko Mizuki, yang dia yakin
sejak tadi mengamatinya. Hanya sekilas, Masumi kemudian berusaha kembali fokus
pada dokumen di atas pangkuannya. "Hm?" gumam Masumi tanpa arti.
"Bagian mana dari dokumen itu yang
menurut anda sulit Tuan Masumi?" pertanyaan Mizuki menyiratkan ketidak sabarannya.
"Tidak ada," jawab Masumi datar
tanpa mengalihkan perhatiannya.
"Tidak ada? Tapi Anda belum
menyelesaikan satu dokumen pun," erang Mizuki frustasi. "Demi Tuhan
Tuan Masumi, ini sudah lima belas menit sejak Anda memandang halaman dokumen
itu tanpa membaliknya dan hanya sibuk memijat pelipis lalu menghela napas
panjang. Apa Anda berniat menyiksa saya yang berdiri di sini sejak tadi?"
Kali ini Masumi mengangkat wajahnya demi
mendapati wajah masam Mizuki. Catat, hanya Mizuki satu-satunya karyawan Daito
Grup yang berani melotot tajam padanya bahkan memarahinya.
"Kau boleh duduk kalau mau,"
jawab Masumi datar lalu membali menatap dokumennya. Dia sama sekali tidak
terpengaruh aura gelap yang kini menguar disekitar sekretarisnya. Oh jangan
bercanda, Masumi bisa mengeluarkan aura yang berkali-kali lipat lebih
menyeramkan dari itu, jadi tidak ada alasan baginya untuk terintimidasi dengan
Mizuki.
"Astaga, saya pasti cepat mati kalau
terus bekerja dengan Anda," keluh Mizuki yang mendramatisasi
penderitaannya. Bertahun-tahun bekerja di dunia entertainment membuatnya tertular virus hiperbola yang sering
digunakan dalam naskah drama.
"Aku tidak akan mengijinkanmu mati
secepat itu-," kata Masumi seolah dialah yang memegang takdir hidup dan
mati sekretarisnya, "-setidaknya sampai aku bisa menemukan
penggantimu," lanjutnya tanpa dosa.
Pernyataan Masumi sukses membuat Mizuki
menganga. Dengan kesal dia duduk di depan meja kerja Masumi. "Percayalah,
Anda tidak akan pernah menemukannya," katanya dengan mata memincing tajam.
"Kalau begitu jangan mati.” Masumi
kembali menimpali dengan nada datar.
Arghhh! Mizuki mengutuki sosok atasannya dalam
hati. Ya, dia masih waras untuk tidak memaki bosnya secara langsung. Percayalah,
Masumi terkadang bisa lebih menyeramkan daripada malaikat maut.
"Aku tidak mengerti Mizuki," kata
Masumi kemudian. Dia menutup dokumen dan meletakkannya di bagian paling atas
gunungan pekerjannya. Masumi menatap lekat sekretarisnya dengan dagu bertopang
pada kedua tangannya yang bertaut.
Mau tidak mau Mizuki memberikan atensi
penuh pada atasannya. Tidak mau juga dicap sebagai sekretaris durhaka. “Apa
yang Anda tidak mengerti Tuan Masumi?”
"Kenapa sulit sekali menaklukkan hati
wanita?"
Mizuki hampir tersedak mendengarnya. “Anda
kesulitan menaklukkan wanita? Apakah wanita yang Anda bicarakan itu berasal
dari bumi Tuan?”
Mata Masumi menatap tajam Mizuki yang kini
menyembunyikan senyumnya di balik telapak tangan. “Kau berasal dari Venus?”
“Ah, itu-,” Mizuki tentu saja tertawa
mendengar sarkasme atasannya. Dia memang termasuk ke dalam daftar wanita yang
tidak takluk pada pesona Masumi. Itu juga salah satu alasan kenapa dia bisa
bekerja lama sebagai sekretaris Masumi. Vice President Daito itu sebenarnya tidak
suka dengan tipe wanita genit dan penggoda. Sungguh rumor di luar sana adalah
omong kosong belaka. Mereka tidak tahu bagaimana Masumi Hayami yang sebenarnya.
“Mizuki, kau tahu aku sedang tidak
bercanda.” Masumi mulai kesal karena sekretarisnya masih asik menertawakannya.
“Maaf Tuan, tapi ini sungguh lucu. Saya
tidak pernah membayangkan Anda akan berada dalam situasi ini.” Mizuki berusaha
menahan tawanya lalu kembali duduk dengan tegap. “Apa ini berkaitan dengan
rencana perjodohan Anda dengan Nona Ozaki? Semua media ramai membicarakan Anda
pagi ini.”
“Hm.” Masumi bersandar lebih santai pada
kursi kerjanya lalu menatap wallpaper laptopnya.
“Tapi foto Anda berdua terlihat mesra.”
Tatapan mata Masumi membuat Mizuki merasa bersalah, “Maaf saya lupa kalau Nona Ozaki
adalah aktris.”
“Kau tidak menjawab pertanyaanku, Mizuki.”
Masumi mulai kesal dengan jawaban sekretarisnya.
“Jawabannya saya tidak tahu.”
Senyum wanita itu membuat Masumi semakin
kesal.
“Tuan, saya belum pernah bertemu dengan
Nona Ozaki selain dari menonton pertunjukan atau filmya. Sejauh ini saya
bertegur sapa hanya masalah pekerjaan dan Anda tiba-tiba bertanya seperti itu.”
Sekretaris cantik itu tidak kurang akal untuk memberi alasan. “Lagipula dia termasuk
wanita cerdas jika menolak pesona Anda,” cicitnya lagi dengan suara lirih.
Tentu saja Masumi tidak tuli dan
mendengarnya dengan jelas. Tapi bukan Mizuki namanya jika mulutnya tidak
membuat Masumi kesal. Menyerah untuk bertanya, Masumi akhirnya kembali mengambil
dokumen dan memeriksanya. Dia melambaikan tangan sebagai isyarat untuk Mizuki
meninggalkan ruangannya.
“Ah iya, mungkin Anda bisa mencoba untuk
melakukan hal-hal yang disukainya,” kata Mizuki tiba-tiba sebelum membuka
pintu.
“Hal yang disukainya?” Masumi mengerutkan
kening.
Mizuki mengulas senyum. “Anda pasti tahu
maksud saya. Jadilah Masumi yang mengenal dan memahaminya, bukan Masumi Hayami
yang selama ini Anda tampakkan di depan media.”
Karena Masumi tidak menjawab lagi, Mizuki
pun keluar dari ruangan dengan senyum yang lebih lebar. Sepertinya setelah ini
dia bisa menambah kartu AS baru sebagai senjata untuk menggoda atasannya.
Sungguh menyenangkan.
>>**<<
Music jazz mengalun merdu, menemani Rei
yang tengah bersiap di kamarnya. Wanita tomboy itu terlihat asik bernyanyi
sembari memakai kemeja di depan cermin hingga dering handphone mengalihkan perhatiannya. Mengecilkan volume music, Rei
pun menjawab panggilan telepon setelah membaca nama yang muncul di layar.
“Pagi, Rei,” sapa suara berat di seberang
sana.
Melirik ke arah jam dinding, Rei tersenyum
karena sudah bisa menebak maksud dari pria yang meneleponnya. “Aku tidak
menyangka kau akan menelepon secepat ini.”
“Jangan mengejekku, aku hanya ingin
mengonfirmasi berita pagi ini,” jawab pria itu dengan nada kesal.
“Oh, tentang Maya dan calon suaminya?” Rei
tertawa saat lawan bicaranya berdecak kesal. “Menyerahlah, dua bulan lagi
mereka akan menikah. Nyonya Mayuko sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Bahkan jika Maya menolak sekali pun, pernikahan akan tetap dilaksanakan.”
“Kau pikir menyerah itu mudah?
Bertahun-tahun aku berusaha mendekatinya, meski setahun belakangan dia mau
menjadi kekasihku, tapi hubungan kami hanyalah main-main. Maya hanya
menganggapku sebagai tameng agar tidak banyak pria yang mendekat karena melihat
kedekatan kami. Dia bahkan tidak tahu kalau aku benar-benar mencintainya.”
“Kalau begitu berhentilah Koji. Semua ini
akan semakin menyakitimu. Maya hanya menganggapmu sebagai sahabat dan sampai
kapanpun hal itu tidak akan berubah.” Rei menghela napas. Dia tidak habis pikir
dengan kekeras kepalaan Koji.
“Aku-,”
“Kau bisa mendapatkan kebahagiaan lain
Koji. Maya bukan untukmu, jangan memaksakan kehendakmu,” lanjut Rei saat lawan
bicaranya tak lagi bisa menjawab. “Tenangkan dirimu, oke?”
“Hm.”
“Bagus, boleh kumatikan teleponnya? Aku
harus berangkat kerja sekarang.”
“Hm, terima kasih Rei.”
“Sama-sama, telepon aku lagi saat kau butuh
teman untuk minum.” Rei tersenyum meski Koji tak dapat melihatnya dan
percakapan mereka pun berakhir. Wanita itu kemudian menatap cermin dan menilai
tampilannya sembari berpikir.
“Suatu hari nanti, semoga ada yang
mengejarku seperti Koji mengejar Maya,” gumamnya dan kemudian tertawa keras,
menertawakan kekonyolannya.
>>**<<
“Ini syuting terakhir bukan?” Maya menyeka
keringat di dahi dengan tissue dan meminta Taiko untuk memperbaiki make up nya.
“Hm,” gumam Rei sebagai jawaban sementara
tangannya sibuk membuka handphone dan
menulis catatan di buku agendanya.
“Besok aku libur?” Maya menoleh dan menatap
penuh harap pada managernya.
Mengangkat wajah untuk melihat ekspresi
Maya, Rei justru tersenyum geli. “Besok kau memang libur tapi Nyonya Mayuko
sudah memasukkan jadwal ke dalam agendaku. Pukul sepuluh pagi, kau dan Tuan
Muda Hayami harus pergi ke BB Bridal & Formal Boutique.”
“Hah?! Untuk apa aku kesana?” protes Maya
dengan konyolnya yang langsung ditanggapi tawa renyah Rei juga Taiko.
“Nona Maya, kau akan menikah, apa kau lupa?”
jawab Taiko sembari menggeleng dengan ekspresi geli.
Melihat manager dan asistennya tertawa
membuat wajah Maya semakin masam. “Aku masih berharap pernikahannya batal.”
“Ah, itu sama saja kau berharap langit dan
bumi bertukar tempat.” Rei memainkan pena ditangannya dan kembali tertawa
melihat Maya melotot padanya.
“Tapi itu memang benar, bukan?” Taiko
menambahi yang dijawab dengan anggukan mantap Rei.
“Kalian berdua tidak ada yang mendukungku,”
gerutu Maya kemudian seraya beranjak dari kursi. Dia baru saja berniat menemui
sutradara agar mempercepat syuting tapi kru yang datang menghentikan niatnya.
“Nona Ozaki, ada yang mencari Anda.”
Maya melirik seorang pria yang memakai
setelan jas formal berdiri di belakang kru produksi. “Wada?” Dia mengenali pria
yang adalah supir pribadi Masumi.
Wada pun memberi salam pada Maya dengan
sebelumnya mengucapkan terima kasih pada kru produksi yang sudah mengantarnya.
“Maaf jika mengganggu waktu Nona. Tuan Muda meminta saya mengirimkan ini untuk
Anda.”
Maya menerima kotak berwarna biru dan
membuka isinya, tiramisu dengan banyak serutan coklat di atasnya. Dia pun
membaca kartu ucapan dengan kening berkerut.
Semoga
pekerjaanmu hari ini selesai dengan baik.
Reflek Maya menoleh pada Rei dan memberikan
kartu ucapan itu padanya. Sang manajer hanya tersenyum seraya menggaruk
pelipisnya. “Sampaikan terima kasihku pada Masumi.”
“Baik Nona, kalau begitu saya permisi.”
Wada pun membungkuk hormat lalu bergegas meninggalkan studio.
“Kau yang memberitahunya, bukan?” Maya
langsung melotot pada manajernya seraya berkacak pinggang.
“Hm, Tuan Muda Hayami hanya bertanya kapan
syuting selesai. Aku tidak menyangka kalau dia akan mengirim hadiah untukmu.
Lagipula apa salahnya? Bukankah itu bagus?” Rei berusaha membela diri.
“Apanya yang bagus? Kau tahu dia sedang
berusaha merayuku.” kata Maya kemudian.
“Ah, kau mulai lagi.” Rei tersenyum masam.
“Nona Maya, kau lucu sekali.” Lagi-lagi
Taiko menertawakannya.
“Biarkan saja Taiko, aku hanya ingin lihat
bagaimana sikapnya nanti saat sudah menikah dengan Tuan Muda Hayami.” Rei dan
Taiko tertawa sembari ber hi five
ria, membuat Maya menghela napas panjang.
“Kalian berdua memang senang kalau melihatku
menderita,” gerutu Maya kemudian.
“Hei, Nona Ozaki, bagian mana dari hidupmu
yang menderita, hum? Diluar sana ratusan wanita sedang berdoa agar bisa
menggantikan tempatmu,” kata Rei sembari melambaikan tangannya di depan wajah
Maya.
“Kalau begitu kau gantikan tempatku saja,”
Maya masih bersikeras.
Dan Rei pun tertawa mendengarnya. “Andai
Tuan Muda Hayami memilihku, tentu aku tidak akan keberatan. Aku tidak perlu
lagi bekerja keras menjadi manajermu dan bisa menikmati hidup dengan tenang.
Sayangnya tidak mungkin Tuan Muda Tampan itu memilihku Maya. Benar kan Taiko?”
Rei mencari teman untuk mendukung argumennya. Berdebat dengan Maya terkadang
melelahkan.
“Tentu saja, aku pun tidak keberatan kalau
Tuan Muda Hayami memilihku. Sayangnya itu sama mustahilnya dengan meminta ayam
melahirkan anak itik,” jawab Taiko meyakinkan.
“Ayam bertelur Taiko,” Maya mencebik.
“Makanya kubilang itu mustahil Nona Maya,”
kata Taiko lagi.
“Sudahlah Maya, kau jalani saja dulu. Siapa
tahu kau bisa benar-benar jatuh cinta pada Tuan Muda Hayami.” Rei kembali
menambahkan.
“Yang benar saja,” jawab Maya tidak terima.
Seolah jatuh cinta pada Masumi adalah sama mustahilnya dengan ayam melahirkan
anak itik.
“Hei, siapa yang tahu.” Rei mengendikkan
bahu sementara Taiko hanya menggeleng pasrah.
>>**<<
Hari menjelang senja saat Maya selesai
dengan pekerjaannya. Rei kembali mengingatkan Maya mengenai jadwalnya besok.
Manejer cantik itu tidak mau mendapat amukan Mayuko. Taiko sudah selesai mengepak
semua perlengkapan dan ketiganya berjalan keluar studio.
“Ah, sepertinya aku tidak perlu mengantarmu
pulang hari ini.” Rei menunjuk pada mobil mewah yang terparkir tak jauh dari
mereka saat Maya memandangnya dengan tatapan tanya.
Melepas kaca mata hitam yang dikenakannya,
Maya memincingkan mata pada sosok pria yang keluar dari pintu depan mobil. “Mau
apa dia kesini?” desisnya kesal.
“Tentu saja menjemput calon istrinya,”
jawab Rei sembari tersenyum. “Aw, jangan memukulku, Maya. Pukul saja Tuan Muda itu
kalau kau memang tidak suka dengannya,” cicit sang manajer itu sembari mengusap
lengannya. “Ah, selamat sore, Tuan Muda Hayami.” Rei segera menegakkan tubuh
lalu mengangguk hormat pada calon suami atasannya.
“Selamat sore Nona Aoki, Nona Kasuga,”
jawabnya yang juga ditanggapi dengan salam hormat oleh Taiko. “Halo Maya, kau
sudah selesai?” tanyanya kemudian.
“Belum, aku masih ada kerjaan setelah ini.
Benar kan Rei?” Maya menyunggingkan senyum simpul seraya menginjak kaki Rei.
Melihat kerutan di kening Masumi membuat
Rei dilema. “Ah, itu-,” tentu saja dia tidak berani berbohong.
Masumi mengulas senyum begitu melihat kaki
Rei yang terinjak. “Tidak apa-apa, biar aku yang mengantarmu, Maya. Tidak
keberatan Nona Aoki? Kau tunjukkan saja jalannya, aku akan mengikuti dari
belakang.”
“Tidak, tidak, aku-,” Maya langsung
tergagap mendengar jawaban Masumi.
“Pe-pekerjaannya tidak terlalu penting.
Saya, saya, masih bisa menundanya untuk lusa atau bahkan minggu depan.” Rei
segera menyela dan terkekeh dengan nada datar seraya mendorong Maya untuk
mendekat pada Masumi. Dia tidak mau Maya membuat kebohongan lagi yang bisa
membahayakan keselamatan jiwa juga karirnya. “Kau pulang saja Maya, biar aku
dan Taiko yang menemui mereka sore ini. Benar kan Taiko?”
“Benar, benar, biar kami yang menyelesaikan
semuanya.” Taiko juga terpaksa tersenyum garing. Biarlah setelah ini Maya
merajuk padanya. Kemarahan Maya masihlah aman dibanding dengan ultimatum Mayuko
atau bahkan Tuan Muda di depannya itu.
“Apa tidak akan ada masalah?” tanya Masumi
tenang, tentu saja dia tahu kalau mereka berbohong.
“Tidak, tentu saja tidak. Maya, pulanglah
dengan tenang.” Rei tersenyum dan kembali mendorong Maya agar segera pergi.
“Apa maksudmu ‘pulang dengan tenang?’, kau
ini!” sungut Maya kesal, tapi mau tidak mau dia memang harus ikut dengan
Masumi. Berbohong tidak akan ada gunanya.
“Baiklah kalau memang tidak masalah. Ayo
Maya, sebaiknya kita segera pulang.” Masumi kembali mengulas senyum pada calon
istrinya.
Bibir Maya mengerucut lalu kembali memukul
lengan Rei sebelum akhirnya menghentakkan kaki menuju mobil Masumi. Dia
melewati Masumi begitu saja dan membuat Rei juga Taiko harus tersenyum canggung
di hadapan sang tuan muda.
“Ng, dia-,”
“Tidak apa-apa, Maya justru semakin manis
jika merajuk. Baiklah kami pulang. Sampai jumpa Nona Aoki, Nona Kasuga.” Masumi
melambaikan tangan lalu berbalik untuk menyusul calon istrinya yang sudah duduk
di kursi belakang mobil, meninggalkan manajer dan asisten Maya yang menganga
karena terkejut.
“Manis katanya?” gumam Rei yang akhirnya
membuat Taiko tertawa saat mobil Masumi meninggalkan pelataran studio.
>>**<<
>>Bersambung<<
7 Comments
Mizuki msh sama wkwkkw
ReplyDeleteDuhhh maya jangan kelamaan marah2nya ntr diembat shiori
Disini shiori paati normal , ga penyakitan mo mati 😁😁😁
Lbh berbahaya
seterong dia disini mah nanti. siap jambak2an sama Maya wkwkkw
DeleteSeneng nya, melepas kangen mm dimari😘😍
ReplyDeletemakasih udah baca mba
DeleteMba Agnes, Love story Miss Rei koq gk bs ak buka y?😩
ReplyDeletenggak sabar nunggu kelanjutnya chapter 6... mantap kak agnes
ReplyDeleteeh 5 yak... astaga...
Delete