Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
"Kau mau
membawaku kemana?" Maya melipat tangan di depan dada begitu Masumi
menjalankan mobil meninggalkan pelataran studio.
Sejenak melirik ke
arah samping, Masumi menahan diri untuk tidak tersenyum. "Tentu saja
membawamu pulang ke rumah. Memang kau mau kemana, hm?"
Tentu saja Maya
tidak percaya begitu saja dengan ucapan Masumi. "Rumahku?" Wanita itu
menoleh dengan kening berkerut.
Masumi mengangguk.
"Tapi aku tidak keberatan kalau kau mau pulang ke rumah kita,
bagaimana?"
Malas menjawab
godaan Masumi, Maya langsung memalingkan wajah dan menatap ke luar jendela.
"Bibi Mayuko
berpesan agar aku menjemputmu besok pagi. Apa kau sudah diberitahu?" Masumi
mengalihkan topik pembicaraan.
Maya langsung
teringat perkataan Rei mengenai bridal salon. "Hm."
"Aku akan
menjemputmu pukul sembilan tiga puluh." Masumi menoleh pada Maya yang
hanya diam lalu kembali fokus pada jalan di depannya. Dia pun tidak lagi bicara
sampai mobil tiba di depan gerbang kediaman Ozaki.
Seperti biasa,
begitu mobil berhenti Maya langsung mengucapkan terima kasih lalu bergegas
keluar. Masumi hanya bisa menggeleng dengan sikap calon istrinya. Dia mengamati
Maya yang disambut oleh pelayan lalu menghilang di balik pintu ganda besar.
Menghela napas panjang, Masumi kembali menyalakan mobil dan meninggalkan
pelataran kediaman Ozaki. Tanpa Masumi tahu, Maya mengamati mobil calon
suaminya dari balik tirai jendela ruang tamu.
“Kenapa tidak
mempersilakan Tuan Muda masuk, Nona?”
Maya hampir
menjerit karena terkejut saat mendengar suara Genzo Kobayashi, kepala pelayan
di kediaman Ozaki. “Paman mengejutkanku,” keluhnya sembari mengusap dada.
“Maaf jika
mengejutkan Nona.” Genzo tersenyum. Sejak tadi dia sengaja mengamati Maya yang
mengintip dari jendela.
Tidak mau menjawab
pertanyaan Genzo, Maya memilih untuk melarikan diri. “Aku akan ke kamar,”
katanya kemudian seraya bergegas meninggalkan ruang tamu.
Melihat sikap sang
nona membuat Genzo hampir tertawa. Dia tahu kalau Maya keberatan dengan ide
perjodohan. Dia juga tahu kalau sebenarnya wanita muda itu tertarik dengan
calon suaminya. Tapi siapa yang tidak tahu kalau Maya itu keras kepala? Genzo
yakin nyonyanya punya alasan tersendiri sampai menjodohkan putri semata
wayangnya.
Sementara itu di
dalam kamar, Maya langsung menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur, mengubur
wajahnya di atas bantal dan berteriak. “Masumi Hayami menyebalkan!!”
***
Makan malam di
kediaman Hayami berlangsung tenang. Aya melihat putranya sudah berada di rumah
dan ikut makan malam merasa senang. Biasanya Masumi lebih banyak menghabiskan
waktu di apartemennya. Dan lagi ekspresi Masumi juga tampak sedang dalam
suasana hati yang baik.
“Bagaimana
pekerjaanmu hari ini, Masumi?” Aya bertanya pada putra semata wayangnya.
Masumi mengulas
senyum pada sang ibu. “Baik Ibu.”
“Apa ada hal
menyenangkan di kantor? Kau tampak sedang senang.”
Pertanyaan sang
ibu membuat Masumi tersedak sop yang baru saja dicicipinya. Dia segera menyeka
mulut dengan serbet saat sang ayah menatapnya heran. “Maaf,” ucapnya pelan.
“Apa pertanyaan
ibu salah?” Alis Aya berkerut dan menatap putranya khawatir.
“Tidak Ibu,”
Masumi langsung tersenyum untuk menenangkan ibunya. “Di kantor juga semua
berjalan seperti biasa.” Dia segera menjelaskan.
“Oh begitu, baguslah.
Ibu juga senang jika kau bisa pulang awal dan bisa lebih sering makan malam
bersama keluarga.”
Masumi tidak
berani menjanjikan apa pun pada ibunya dan hanya bisa kembali tersenyum sebagai
jawaban. Dia meraih gelas tinggi berisi air dan meneguknya perlahan, meredakan
tenggorokannya yang tidak nyaman karena tersedak sop.
“Kata Mizuki kau
keluar dari kantor sejak pukul empat sore. Kau pergi kemana sampai membatalkan
meeting?” Eisuke masih menatap putranya.
Sialnya Masumi
kembali tersedak.
“Ada apa denganmu
Masumi?” Aya tampak khawatir. Putranya tidak pernah terlihat sekonyol ini.
Menyeka mulutnya
dengan serbet, Masumi menatap ayah dan ibunya bergantian dan meminta maaf lagi.
“Apa ada yang
salah dengan pertanyaan ayahmu?” Aya kembali bertanya.
“Dia hanya malu,”
celetuk Eisuke yang kemudian melanjutkan makan malamnya dan mengabaikan telinga
putranya yang memerah.
Jawaban Eisuke
membuat wajah Aya berbinar. “Apa kau menemui Maya?”
Mau tak mau Masumi
mengangguk. Ayahnya ini memang sesuatu. Dia melirik Eisuke yang jelas
menyembunyikan seringainya sembari menyuap makanan. “Aku menjemputnya setelah
syuting dan mengantarnya pulang.”
“Ah, senang
mendengarnya. Ternyata hubungan kalian berjalan baik. Aku harus menceritakan
hal ini pada Mayuko.”
Melihat antusias sang
ibu membuat Masumi meringis dalam hati. Hubungannya dan Maya tidaklah seindah
yang ibunya bayangkan. Nona keras kepala itu selalu berwajah masam saat
bersamanya. Tapi tentu saja Masumi tidak bisa mengatakannya.
“Oh ya, bukankah
kalian besok harus menemui designer pakaian pengantin?”
“Iya Ibu.”
“Bagus, bagus,”
Aya benar-benar terlihat bahagia. “Setelah itu ajak dia kencan dengan benar.
Buat hati Maya senang. Belikan dia hadiah yang bagus. Kau harus mulai belajar
memanjakan wanita. Jangan sampai Maya merasa menyesal karena sudah menjadi
istrimu.”
Oh, perkataan Aya
sungguh menusuk tajam hati Masumi.
“Kau ini bicara
apa? Putramu itu justru terkenal suka memanjakan banyak wanita. Mulai sekarang
suruh dia berhenti dan hanya boleh memanjakan calon istrinya.” Eisuke
melayangkan protes karena predikat playboy putranya.
“Ayah, selama ini
aku bersama para artis atau Nona Muda itu hanya untuk masalah pekerjaan, tidak
lebih.” Masumi membela diri.
“Benar, Anata. Aku
tahu bagaimana putraku. Itu hanya rumor murahan di luar sana. Masumi tidak
berkencan dengan semua temannya itu. Semua hanya karena pekerjaan, dia adalah
Vice President Daito Group tentu saja harus bersikap ramah pada semua orang,
terutama wanita.” Ibu mana yang rela anak laki-lakinya dihina? Tentu saja Aya
membelanya.
Eisuke memilih
untuk diam. Berdebat dengan istrinya bukanlah hal yang bijak. Apalagi yang
diperdebatkan adalah putra semata wayang mereka. President Daito Group itu sudah
pasti akan kalah. Meski sukses dalam dunia bisnis, tapi nasibnya dalam rumah
tangga tidak jauh beda dengan Ichiren, sungguh malang. Dan sepertinya nasib
Masumi juga akan mengikutinya, dalam hati Eisuke menyeringai.
Melihat ekspresi
sang ayah membuat Masumi menggerutu dalam hati dan yakin kalau saat ini tengah
ditertawakan. Ya, seperti ayahnya, Maya juga harus diluruskan mengenai image-nya di luar sana. Sampai saat ini
memang hanya ibunya dan Mayuko saja yang percaya kalau dia bukan playboy.
Sungguh menyedihkan.
“Nah Masumi, besok
Ibu akan membuat makan malam istimewa. Jadi kau harus mengajak calon menantu
kesayanganku.”
Ide cemerlang, batin Masumi senang. Dia pun menjawab
dengan senyum lebar. “Baik, Ibu.”
***
Pagi datang dengan
cepat. Maya duduk di balkon kamarnya dan menatap matahari pagi. Dia baru saja
selesai bicara dengan ayahnya di telepon. Ichiren masih berada di Osaka dan
menyempatkan untuk mengobrol dengan putri kesayangannya sebelum jadwal syuting
padatnya di mulai. Maya mencurahkan kekesalan hatinya karena Masumi dan membuat
sang ayah tertawa.
Kau harus belajar membuka hati, begitu kata sang
ayah. Dan Maya tidak tahu harus menjawab apa. Wanita itu menghela napas lelah.
Hari masih pagi dan dia sudah terbebani dengan banyak pikiran. “Masumi,” bibir
merah mudanya menggumamkan nama itu lirih.
Sebenarnya Maya
tidak membenci Masumi. Kesal, mungkin, tapi tidak membencinya. Maya justru merasa
takut. Dia merasa Masumi memiliki sesuatu yang membuat hatinya merasa aneh.
Selama ini, pria yang dekat dengannya hanyalah Koji, sahabat sekaligus pacar
main-mainnya.
Maya pernah
menolak Ryo Majima, aktor drama yang merupakan lawan mainnya dalam Wuthering Heights. Juga pernah menolak
Satomi Shigeru, aktor film yang sedang naik daun. Maya berada satu frame
dengannya dalam sebuah drama seri MBA berjudul Glittering Sky yang tayang sepanjang musim gugur. Dan banyak aktor
lain ditolak Maya meski hanya untuk sebuah makan malam. Semua pria muda itu
tidak pernah membuat perasaannya seperti ini. Rata-rata semua jatuh cinta
dengan perannya di atas panggung atau di layar kaca. Mereka lupa kalau setelah
pementasan berakhir maka dia akan kembali menjadi Maya Ozaki.
Matahari semakin
tinggi dan akhirnya Maya beranjak dari balkon. Ibunya pasti akan marah kalau
dia tidak segera bersiap. Menyingkirkan perasaan melankolisnya, Maya pun masuk
ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Pukul tujuh tiga
puluh pagi, Maya keluar dari kamarnya dan menyapa Mayuko yang sudah menunggunya
di ruang makan. Genzo dan beberapa pelayan tengah sibuk menyajikan sarapan.
“Aya tadi
meneleponku dan meminta ijin untuk mengajakmu makan malam bersama di rumahnya.
Apa Masumi sudah memberitahumu?” Mayuko meletakkan cangkir tehnya dengan anggun
lalu menatap putrinya.
“Makan malam?”
Maya menggeleng pelan, “Masumi belum memberitahuku.”
Mayuko pun
mengangguk pada putrinya. “Setelah bertemu dengan desainer kau punya waktu
sepanjang siang untuk menyiapkannya. Aya suka mochi isi kacang merah dari toko
langgananmu.”
“Bisakah aku
menolaknya saja? Aku baru bertemu Bibi Aya dua hari yang lalu di pesta keluarga
Takamiya.” Maya memohon.
Melirik putrinya,
Mayuko masih tetap berwajah datar. “Kau telepon Aya jika memang ingin
menolaknya.”
“Ibu~,” Maya
merengek. Bagaimana mungkin dia menolaknya sendiri? Maya ingin ibunya yang membatalkan
makan malam itu.
Alih-alih
menjawab, Mayuko justru menangkupkan kedua tangan dan berdoa untuk memulai
sarapannya. Maya yang tahu kalau dia tidak bisa merengek lagi pun akhirnya ikut
berdoa dan menikmati sarapannya dengan tenang.
Selesai dengan
sarapan, Maya kembali ke kamar sementara Mayuko duduk di ruang keluarga dan
membaca beberapa naskah. Sebagai aktris besar Mayuko memang selalu mendapat
banyak tawaran peran hingga harus selektif dalam memilih. Ketenangannya
terganggu saat Genzo datang memberi hormat dan menyampaikan kedatangan Masumi.
Dia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas.
“Selamat pagi,
Bibi,” sapa Masumi yang baru saja masuk setelah Genzo mempersilakannya untuk
menemui Mayuko.
“Pagi, Masumi.”
Wanita itu kemudian menyuruh pelayan memanggil Maya di kamarnya.
“Bibi tetap sibuk
di hari libur.” Masumi duduk di sofa, di hadapan calon ibu mertuanya, melihat
banyak naskah berjajar di meja.
“Tidak juga,
justru aku banyak menganggur seminggu belakangan. Ada banyak tawaran tapi aku
baru membacanya sebagian.” Mayuko meletakkan naskah yang tadi dibacanya lalu
duduk dengan anggun.
“Sekarang Bibi
lebih fokus mengajar di Akademi Seni. Aku jadi rindu melihat Bibi di atas
panggung lagi.” Masumi mengulas senyum lalu mengambil sebuah naskah di atas
meja.
“Dasar mulut manis,
aku tahu kau lebih suka melihat pertunjukan Maya daripada aku.”
Masumi langsung
tertawa melihat wajah datar Mayuko. “Jangan berkata begitu Bibi, aku juga
pengagummu.”
Mayuko hanya
tersenyum tipis pada calon menantunya. Dia jelas tahu kalau Masumi memuja putri
semata wayangnya. Fakta yang baru saja diketahui Mayuko dan membuatnya
memutuskan untuk menjodohkan mereka berdua. Beruntung Aya tidak menolak idenya.
Dia merasa lega jika melepas Maya bersama Masumi. Pria muda itu pasti akan
menjaga putrinya dengan baik.
“Maya itu meski
jenius dalam akting tapi terkadang tingkahnya konyol dan juga keras kepala. Kau
harus bersabar menghadapinya.”
Perkataan Mayuko
langsung mengubah atmosfer di dalam ruangan.
“Aku tahu, Bi.”
Masumi tersenyum, “Terima kasih sudah menginjinkanku untuk mencintainya.”
“Aku percaya
padamu, jaga dia.” Sekilas Mayuko melirik ke arah ambang pintu lalu kembali
menatap Masumi. Sudut bibirnya tertarik menjadi sebuah senyum.
“Aku berjanji akan
selalu menjaganya.”
Yang tidak Masumi
tahu adalah Maya berdiri dengan gemetar dan tangan meremas dada saat jatungnya
berdebar kencang. Wanita itu mendengar percakapan mereka tapi memilih untuk
bersembunyi. Sekarang bagaimana dia harus menghadapi Masumi?
***
Kota Tokyo cerah
hari ini. Masumi duduk di belakang kemudi dan sesekali melirik calon istrinya
yang sejak tadi hanya diam menatap ke luar jendela. Sebenarnya bukan hal baru
kalau Maya diam saat bersamanya tapi kali ini wanita itu tampak sedikit aneh.
“Maya, apa kau
sedang tidak enak badan?” Masumi berhenti di lampu merah lalu menoleh pada calon
istrinya.
“Tidak,” jawab
Maya singkat tanpa menatap lawan bicaranya.
“Apa aku membuatmu
marah?” tanya Masumi lagi.
Maya ingin menoleh
tapi menahan diri dan kembali menjawab dengan nada datar. “Tidak.”
Lampu berubah
hijau, Masumi menekan pedal gas, dan mobil pun kembali melaju. Akhirnya sisa
perjalanan mereka habiskan dalam diam.
Plakat BB Bridal &
Formal Boutique terpampang besar dengan tinta emas dan merah. Bangunan
bernuansa glamour itu terlihat memikat dengan banyak manekin terpajang di
jendela kaca, menampilkan deretan gaun malam maupun pengantin yang indah juga
mewah.
Masumi turun lebih
dulu dan merasa aneh saat Maya tidak keluar menyusulnya. Memanfaatkan
kesempatan, dia segera memutari mobil dan membukakan pintu untuk calon
istrinya. Tak hanya itu, Masumi juga mengulurkan tangan dan kembali terkejut
ketika Maya menyambutnya, menggenggam tangannya. Jantungnya berdebar kencang. Apa Maya salah minum obat pagi ini?
batin Masumi konyol.
Maya masih diam
tapi tidak menolak ketika Masumi melingkarkan tangan mungil itu ke lengannya.
Keduanya pun berjalan memasuki butik. Seorang karyawan wanita menyambut mereka.
Karyawan itu tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat melihat artis
idolanya. Maya pun mengulas senyum untuk pertama kalinya hari itu. Dia menjawab
dengan ramah sapaan karyawan toko yang menyambutnya.
“Silakan Tuan,
Nona. Nyonya Haruna sudah menunggu.” Karyawan itu pun mempersilakan Masumi juga
Maya untuk mengikutinya.
Keduanya sampai
pada sebuah ruangan besar dengan puluhan gaun pengantin yang tergantung rapi.
Beberapa juga terpasang pada manekin. Wanita paruh baya menyapa mereka dengan
senyum ramah. Dia lah Haruna, desainer gaun pengantin ternama di Jepang.
“Selamat datang
Tuan Muda Hayami, Nona Ozaki.”
“Selamat siang
Nyonya Haruna,” balas Masumi dan Maya bersamaan, membuat wanita itu tampak
semakin senang.
“Kalian berdua
memang pasangan yang serasi,” pujinya. “Senang bertemu dengan Anda lagi Tuan
Muda Hayami.”
Lagi? Batin Maya heran. Apa Masumi sudah datang sebelumnya? Ah, bodohnya aku, dia pasti sering
membeli setelan pestanya disini. Aku penasaran berapa banyak wanita yang pernah
di bawanya. Dan percakapan Masumi bersama sang ibu yang kembali terngiang
di kepalanya membuat Maya berhenti bertanya-tanya.
“Silakan duduk.”
Haruna melambaikan tangan ke arah sofa panjang di tengah ruangan.
Setelah duduk,
Maya mengambil kesempatan untuk mengamati sekekeliling ruangan, menahan diri
untuk tidak berdecak kagum pada gaun-gaun indah yang terpajang di sana. Sampai
matanya menemukan sebuah gaun cantik dan berkilau dengan gradasi warna ungu
muda. Tanpa sadar wanita itu berdiri lalu berjalan ke arah manekin.
Masumi dan Haruna
sempat terkejut saat Maya tiba-tiba beranjak tapi kemudian tersenyum begitu
melihat kemana wanita itu berjalan. Maya menyentuh gaun itu dengan hati-hati,
merasakan kelembutan kain di telapak tangannya. Dia tidak menyadari kalau
Masumi dan Haruna sudah berdiri di belakangnya.
“Apa Anda
menyukainya Nona Ozaki?” Pertanyaan Haruna membuat Maya berjenggit. “Ah, maaf,
maaf, apa saya mengejutkan Anda?” Wanita itu merasa tidak enak hati.
“Tidak, maafkan
saya yang melamun,” jawab Maya canggung. “Gaunnya cantik sekali,” pujinya
kemudian dengan senyum lebar.
“Wah, ternyata
Anda benar Tuan Muda Hayami, Nona Ozaki menyukai gaunnya.” Kali ini Haruna
tertawa dengan cara yang anggun. Melihat Maya menatap calon suaminya mambuat
Haruna kembali bicara. “Kemarin Tuan Muda datang dan meminta saya menyiapkan
beberapa katalog juga contoh gaun pengantin dengan nuansa ungu. Lalu Tuan Muda
melihat saya sedang mengerjakan finishing untuk gaun itu dan mengatakan kalau
Anda pasti menyukainya, ternyata memang benar. Sepertinya kalian sudah memahami
satu sama lain.”
Memahami satu sama lain? Aku bahkan tidak mengenalnya
sama sekali,
batin Maya miris. Wanita itu tidak berkomentar tapi hanya tersenyum pada Haruna
yang mengajaknya untuk kembali duduk. Sesaat Maya menatap ke arah gaun lagi
sebelum beralih pada calon suaminya yang ternyata sedang menatapnya.
“Ayo duduk,”
Masumi mengulurkan tangannya dan lagi-lagi tanpa protes Maya menerimanya.
Mereka kembali berpegangan tangan dan duduk bersebelahan. Haruna tampak sedang
bicara dengan dua orang karyawannya.
“Jadi kemarin kau
sudah datang?” tanya Maya lirih. Dia melepas tangan Masumi lalu mengambil
sebuah katalog di atas meja. Membukanya sekedar untuk melihat-lihat.
“Aku ada kunjungan
ke galeri seni di Hotel Gajoen Tokyo kemarin. Jaraknya tidak jauh dari sini,
jadi aku mampir untuk bertemu dengan Nyonya Haruna. Sebelumnya hanya Bibi
Mayuko atau Mizuki yang menghubunginya lewat telepon.” Masumi menjelaskan.
Matanya terus mengamati gerak gerik Maya yang menurutnya terlalu tenang.
“Mizuki?” Maya
menoleh dengan alis bertaut.
“Sekretarisku.”
“Oh,” bibir Maya
membulat dan tampak menggemaskan di mata Masumi. Sayangnya wanita kembali
memalingkan wajah dan menikmati katalognya.
Masumi ingin
bertanya tapi Haruna yang datang bersama seorang karyawan membuatnya
mengurungkan niatnya. Karyawan itu membawa nampan berisi dua cangkir teh juga
hidangan kecil, menyajikannya dengan hati-hati di meja. Masumi hampir
mendengkus melihat karyawan itu mencuri pandang ke arahnya juga Maya.
“Nona Ozaki, boleh
saya bertanya, gaun pengantin seperti apa yang Anda inginkan?” Haruna menatap
lembut calon pengantin itu.
“Bagaimana jika
gaun itu saja? Tidak perlu lagi mendesain ulang.” Maya menunjuk gaun yang sudah
membuatnya jatuh hati hanya dalam sekali lihat.
“Eh?!” Haruna
terkejut tapi Masumi justru tersenyum. “Apa Anda yakin Nona Ozaki? Tidak ingin
membuat desain khusus yang sesuai dengan keinginan Anda?”
Wanita itu
menggeleng. “Saya menyukai gaunnya.”
“Sebenarnya saya
membuat gaun itu untuk pameran musim semi, tidak menyangka Anda benar-benar
menyukainya dan tidak ingin membuat yang baru. Bagaimana Tuan Muda Hayami?”
Haruna menatap Masumi, meminta persetujuan.
“Tidak masalah
asal Maya menyukainya.”
Jawaban Masumi membuat
hati Maya kembali merasakan getaran aneh. Apa
dia terbiasa bermulut manis seperti ini? Berapa banyak wanita yang jatuh dalam
kalimat memabukkan itu?
“Baiklah, kalau
begitu untuk gaun pengantin kita hanya tinggal melakukan fitting, mungkin sedikit
perbaikan. Untuk Tuan Muda, silakan memilih tuxedo yang Anda inginkan lalu kita
akan mengambil ukuran.” Haruna menunjuk tumpukan katalog di sebelah katalog
Maya. “Nikmati waktu Anda, saya akan menyiapkan ruang fitting untuk Nona
Ozaki.”
Keduanya
mengucapkan terima kasih sebelum Haruna meninggalkan ruangan. Masumi segera
mengalihkan perhatiannya pada Maya yang mengambil salah satu katalog tuxedo dan
mulai membukanya.
“Kau mau
memilihkan tuxedo untukku?” tanya Masumi kemudian.
“Tidak juga, hanya
ingin melihat-lihat,” jawab Maya santai.
Alih-alih
mengambil katalog lain, Masumi justru melihat isi katalog di atas pangkuan
Maya. Keduanya memang duduk cukup dekat hingga Masumi bisa melihat dengan
jelas. Saat Maya membuka halaman baru matanya tertuju pada salah satu model tuxedo.
(Pict From Pinterest)
“Ini bagus.”
“Itu bagus.”
Keduanya langsung
menoleh saat tanpa sengaja bicara bersamaan. Maya merasakan pipinya menghangat
dan segera memalingkan wajahnya. Sementara Masumi tersenyum senang.
“Kau juga
menyukainya?” tanya Masumi untuk mencairkan suasana canggung diantara mereka.
Maya berdeham
pelan. “Kurasa bagus jika kau yang memakainya,” katanya kemudian sembari
kembali mengamati foto tuxedo yang dipilihnya. Jasnya berwarna hitam, dipadukan
dengan vest berwarna ungu yang senada dengan gaun pengantinnya.
Masumi ingin
menggoda Maya tapi takut merusak mood baiknya, jadi dia hanya tersenyum dan
menyetujui pilihannya. Tak lama kemudian Nyonya Haruna masuk dan mereka mulai
membicarakan tuxedo pilihan Masumi. Keduanya kemudian di bawa ke ruangan berbeda
untuk mengambil ukuran juga untuk fitting gaun.
***
“Kau mau makan
siang dimana?” tanya Masumi setelah keduanya masuk ke dalam mobil. Masumi
memasang sabuk pengaman sembari melirik Maya yang juga sedang melakukan hal
yang sama.
“Aku ingin makan
seafood,” jawab Maya santai.
“Seafood ya,”
Masumi tampak berpikir sejenak. “Kau mau oyster?”
Maya menoleh lalu
mengangguk sebagai jawaban.
“Kau bawa kaca
mata atau masker?” Masumi melirik tas jinjing di atas pangkuan Maya.
“Keduanya.”
Masumi mengangguk
lalu memutar kunci mobil dan segera meninggalkan pelataran parkir. Keduamya lagi-lagi
tidak bicara sepanjang perjalanan. Hampir tiga puluh menit kemudian, mobil Masumi
parkir di depan sebuah restoran dengan gaya Amerika, Grand Central Oyster Bar
& Restaurant.
“Tempat ini biasanya
tidak begitu ramai saat jam makan siang. Tapi tetap pakai masker dan kaca
matamu,” perintah Masumi sembari melepas sabuk pengamannya lalu keluar dari
mobil.
Maya memakai masker
juga kaca mata hitamnya. Dia melihat Masumi yang memutari bagian depan mobil
juga sudah memakai masker. Maya sengaja menunggu Masumi membukakan pintu mobil
untuknya. Hari ini dia ingin melihat bagaimana sikap Masumi dan mengamatinya
dalam diam.
Pintu mobil di
buka dan Masumi mengulurkan tangannya. Tidak seperti sebelumnya yang
mengalungkan tangan itu ke lengannya, kali ini Masumi memilih menggenggam
tangan Maya. Keduanya berjalan dengan santai memasuki restoran. Tiba di meja resepsionis,
Masumi menanyakan tempat yang kosong.
“Kami memiliki
tamu di Raw Bar juga Dinning Hall. Saat ini tempat yang benar-benar kosong
hanya di terrace, disana ada dua belas meja. Apa Anda berencana membuat
reservasi untuk pesta?” Resepsionis itu menjelaskan dengan sopan.
Alih-alih menjawab
pertanyaan resepsionis, Masumi justru bertanya pada calon istrinya. “Kau
keberatan kita makan di tempat terbuka?”
“Tidak masalah,
cuaca hari ini cukup bagus.”
Senang dengan
jawaban Maya membuat Masumi langsung mengeluarkan Black Card-nya. “Masumi
Hayami, tolong untuk terrace selama dua jam.”
Wajah resepsionis
langsung cerah begitu menerima Black Card dari Masumi. “Baik Tuan Hayami, berapa
tamu yang akan datang?”
“Hanya kami berdua.”
Resepsionis itu
menahan diri untuk tidak meringis lebar. “Saya akan meminta pelayan mengantar
Anda.” Dengan cepat dia memanggil seorang pelayan untuk mengantar Masumi juga
Maya ke terrace lalu menghubungi manejernya.
Duduk di ruang
terbuka dengan semilir angin musim semi membuat Maya merasa senang. Dia membuka
masker juga kacamata dan memasukkannya ke dalam tas. Vice President Daito itu
tentunya sangat berpengalaman untuk menjamu para artis. Privasi adalah yang
utama atau mereka tidak akan bisa makan dengan tenang. Dan menyewa seluruh
terrace hanya untuknya cukup membuat Maya terkesan.
Tak lama kemudian
menejer restoran datang dan menyambut Masumi dengan keramahan tingkat tinggi. Tentu
saja dia tahu siapa Masumi. Setelah basa-basi dengan dalih sopan santun,
menejer restoran meninggalkan mereka dan membiarkan pelayan memberikan menu
juga menyajikan hidangan pembuka sebagai hadiah selamat datang.
Maya mengamati
menu dan melihat belasan oyster segar yang ditawarkan. Dia pun memilih Kaipara oyster
dari New Zealand yang berukuran kecil, memiliki rasa sedikit asin tapi manis
setelah dimakan. Maya juga memesan Risotto dengan udang sebagai hidangan utama
dan Hot Fudge Sundae sebagai hidangan penutup.
Mendengar pesanan wanita
itu membuat Masumi memilih hidangan lainnya. Kecuali Hot Fudge Sundae, pesanan
Maya juga merupakan favoritnya. Masumi akhirnya memilih Akkeshi oyster dari Hokkaido
yang memiliki ukuran besar dan memiliki tekstur lembut dengan rasa creamy. Menimbang
dalam hati kalau Maya juga pasti akan menyukainya dan memikirkan untuk bertukar
rasa nanti. Dia lalu memilih Pasta Seafood sebagai hidangan utama dan caramel
custard sebagai hidangan penutup.
“Maya kau mau wine?” Masumi tahu kalau calon istrinya
ini juga penggemar anggur dan cocktail.
“Sauvignon Blanc?” Wanita itu mencoba memberi pilihan yang langsung dijawab dengan
anggukan juga senyum oleh Masumi. White
wine memang teman yang cocok untuk
makan tiram mentah dan hidangan seafood. Pelayan meninggalkan meja setelah
mereka selesai dengan pesanannya.
“Kau sering ke
sini?”
Satu lagi keanehan
yang Masumi rasakan, Maya membuka pembicaraan lebih dulu. “Tidak juga, hanya sesekali
bersama Karato. Dia pecinta Oyster dan restoran ini milik temannya.”
“Karato?” Maya
mencoba mengingat nama itu, “Ah, sepupumu?” Dia menikmati red velvet cake yang
disajikan sebagai hidangan pembuka.
Masumi mengangguk.
“Bibi Aiko, Ibu Karato adalah adik ibuku. Bibi meninggal saat melahirkan Karato
dan kami dibesarkan bersama. Sekarang dia mengelola aset keluarga Fujimura
sementara ayahnya memegang perusahaan keluarga Hijiri.”
“Apa keluarga
Fujimura tidak memiliki anak laki-laki?” ternyata Maya cukup tertarik dengan
topik bahasan mengenai keluarga Masumi.
“Hanya ada saudara
jauh dari pihak nenek. Kakek dari ibuku hanya memiliki dua putri, Ibuku dan Bibi
Aiko, itulah kenapa Karato menjadi ahli waris keluarga Fujimura.”
“Bagaimana dengan
keluarga Hayami?”
Masumi cukup
terkejut mendengar pertanyaan Maya tapi menganggap itu sebagai angin baik dan
menanggapinya dengan tenang. “Ayahku sudah tinggal di Tokyo sejak usianya empat
belas tahun bersama Nenek. Mereka tidak begitu cocok dengan keluarga Hayami
yang berada di Okayama. Nenek kandungku adalah istri kedua tapi menjadi kesayangan
Tuan Besar Hayami. Karena itulah Kakek mendidik Ayah sebagai ahli waris dan
membuat saudara tirinya iri. Sejak Kakek dan Nenek meninggal kami tidak pernah
mengunjungi rumah utama di Okayama.”
“Apa bisnis
keluarga Hayami di Okayama? Apa sama seperti Daito Group?”
“Tidak, mereka
menjalankan bisnis transportasi juga biro perjalanan. Ayah mendirikan Daito di
masa mudanya dengan modal bantuan dari kakek. Setahuku ayahmu juga berperan
besar dalam perkembangan Daito pada awalnya. Itulah kenapa mereka menjadi
sahabat dekat. Juga sama-sama mencintai drama dan film.”
Oh, Maya tidak
pernah tahu mengenai hal itu. Sejak kecil dia hanya tertarik soal akting dan
drama. Pada awalnya sang ibu mendidiknya sebagai aktris panggung drama. Maya
memulai karirnya di layar kaca saat remaja.
Pelayan yang
datang membawa makanan menjeda percakapan keduanya. Dua nampan disajikan berisi
oyster segar bersama tiga varian saus sebagai pilihan.
“Jeruk?” Masumi
menawarkan dan mendapat anggukan sebagai jawaban. Dia pun memeras jeruk ke atas
Kaipara oyster dan memberikannya pada Maya.
“Terima kasih.” Wanita
itu mengulas senyum lalu mengambil garpu kecil untuk melepas daging oyster dari
cangkang sebelum mendekatkannya ke bibir dan memakannya. Maya hampir berdecak
nikmat saat merasakan sensasi lembut dimulutnya juga rasa asam yang segar. “Ini
enak,” pujinya dengan mata berbinar.
“Aku senang kau
menyukainya,” ucap Masumi yang sejak tadi hanya melihat Maya. “Sekarang cobalah
ini.” Dia mengambil satu Akkeshi oyster, menambahkan sedikit cuka apel lalu
kembali memberikannya pada Maya.
Tanpa sungkan Maya
menerimanya dan mulai mencicipinya. “Hm, ini juga enak,” katanya dengan wajah girang.
Dan begitulah
mereka menikmati makan siang dengan saling bertukar makanan. Mencicipi hidangan
satu sama lain. Entah karena mendengar pembicaraan tadi pagi atau karena memang
sudah memutuskan untuk gencatan senjata dengan Masumi, Maya merasa harinya
tidak terlalu buruk. Masumi memperlakukannya dengan sangat baik dan itu terasa
menyenangkan. Apa memang seharusnya dia menyerah saja? Menerima hubungan ini
dengan hati terbuka? Ah, Maya jadi ingat pesan ayahnya. Tapi … Entahlah.
***
12 Comments
Liat mrk makan jd ikut laveerrr
ReplyDeleteTetep yaaa Masumi c bucin 🤣🤣
as always dia mah. tapi bucinnya masih diem2 ini. makin kesana nanti bucinnya makin kesini wkwkwkwk. btw makasih udah baca n komen ya. lope2 you :D
DeleteUwaaaaa kangeeeennn banget .... akhirnyaaaaaaa.... terima kasih banyaaaak kak nes...
ReplyDeleteMakasih juga masih setia nunggu ya 🙏
DeleteAkhirnya yang ditunggu, makasih banyak. Bagus banget
ReplyDeleteMakasih banyak sudah mampir n baca :D
DeleteWah, KuDet aku smpe Kelewatan...makasih mbk Agnes..selalu Kunanti Part selanjutnya.., salam Kenal dr Penggemar MM🤗🤗🤗
ReplyDeleteSalam kenal juga, makasih banyak sudah baca ya :D
Deleteselalu suka sih baca fanfic topeng kaca versi agnes, ceritanya manis n bikin makin gregetan, tp dapet banget feeling maya n masumi nya.. thank u yaaa
ReplyDeleteAduhh *blushing* makasih banyak ya :D
DeleteAkhirnya bisa baca kembali, selalu di tunggu loh mba Agnes, terima kasih sdh mulai menulis lg , 🤗
ReplyDeleteMakasih banyak udah baca n masih setia menunggu :D
Delete