Serial "Kau Milikku"
Rate : 20 thn +
Rate : 20 thn +
"Kau adalah belahan jiwaku
Isshin," Maya memeluk Koji dengan mesra.
Koji begitu bahagia, dia mengeratkan pelukannya pada Maya, "Kau juga adalah belahan jiwaku Akoya, Maya-ku,"
"Tidak, tidak! Aku pasti salah lihat...itu bukan Maya-ku...," Masumi terpaku.
Koji begitu bahagia, dia mengeratkan pelukannya pada Maya, "Kau juga adalah belahan jiwaku Akoya, Maya-ku,"
"Tidak, tidak! Aku pasti salah lihat...itu bukan Maya-ku...," Masumi terpaku.
Gemuruh melanda dadanya. Napasnya
memburu, seakan semua oksigen meninggalkan paru-parunya.
Kemarahannya memuncak saat Koji mendaratkan ciuman di bibir Maya.
"Tidak!!" Masumi berlari mendekat, ingin meraih Maya tapi tiba-tiba semua berubah menjadi gelap. Matanya tidak dapat melihat apapun, Maya dan Koji menghilang dari hadapannya.
Suara tawa renyah mengalihkan perhatian Masumi. Dia memutar pandangannya ke semua tempat, tapi sekelilingnya gelap dan dia tidak bisa melihat apa-apa. Suara tawa itu semakin jelas terdengar. Dia tahu pemilik suara itu.
"Maya! Maya!" Panggilnya panik saat tidak juga menemukan sosok yang dicarinya di tengah kegelapan.
"Maya!" Ulangnya.
Tiba-tiba ada sebuah pintu terbuka dihadapannya. Ada cahaya menyinari jalannya, Masumi bergegas menuju pintu itu.
Masumi kembali tercengang berdiri di atas karpet merah yang panjang terbentang. Diujung karpet ada sebuah altar dan suara tawa bahagia itu kembali terdengar.
"Maya!" Panggilnya.
Kali ini yang dipanggil menoleh. Maya tersenyum padanya tapi tidak lama, senyum bahagia itu dilempar ke arah lain. Seorang pria tampan yang berdiri disampingnya, berdiri berdua di altar pernikahan.
"Maya!" Panggil Masumi lagi, dia melangkahkan kaki untuk mendekat tapi jaraknya dan Maya tidak juga berkurang. Maya tetap jauh berada diujung karpet, di atas altar.
"Aku tidak mencintaimu....," gema suara Maya membuat Masumi menghentikan langkahnya. Serasa seluruh hidupnya hancur dibawah kakinya.
"Tidak! Jangan katakan itu, aku mohon! Maya!" Masumi merasakan tubuhnya terbakar. Sakit.
"Aku tidak mencintaimu," suara itu kembali bergema.
Kemarahannya memuncak saat Koji mendaratkan ciuman di bibir Maya.
"Tidak!!" Masumi berlari mendekat, ingin meraih Maya tapi tiba-tiba semua berubah menjadi gelap. Matanya tidak dapat melihat apapun, Maya dan Koji menghilang dari hadapannya.
Suara tawa renyah mengalihkan perhatian Masumi. Dia memutar pandangannya ke semua tempat, tapi sekelilingnya gelap dan dia tidak bisa melihat apa-apa. Suara tawa itu semakin jelas terdengar. Dia tahu pemilik suara itu.
"Maya! Maya!" Panggilnya panik saat tidak juga menemukan sosok yang dicarinya di tengah kegelapan.
"Maya!" Ulangnya.
Tiba-tiba ada sebuah pintu terbuka dihadapannya. Ada cahaya menyinari jalannya, Masumi bergegas menuju pintu itu.
Masumi kembali tercengang berdiri di atas karpet merah yang panjang terbentang. Diujung karpet ada sebuah altar dan suara tawa bahagia itu kembali terdengar.
"Maya!" Panggilnya.
Kali ini yang dipanggil menoleh. Maya tersenyum padanya tapi tidak lama, senyum bahagia itu dilempar ke arah lain. Seorang pria tampan yang berdiri disampingnya, berdiri berdua di altar pernikahan.
"Maya!" Panggil Masumi lagi, dia melangkahkan kaki untuk mendekat tapi jaraknya dan Maya tidak juga berkurang. Maya tetap jauh berada diujung karpet, di atas altar.
"Aku tidak mencintaimu....," gema suara Maya membuat Masumi menghentikan langkahnya. Serasa seluruh hidupnya hancur dibawah kakinya.
"Tidak! Jangan katakan itu, aku mohon! Maya!" Masumi merasakan tubuhnya terbakar. Sakit.
"Aku tidak mencintaimu," suara itu kembali bergema.
"Aku mencintai Christian, aku akan
menikah dengannya," gema lain terdengar.
"Tidak!!! MAYA !!" Masumi meraung.
"MAYA!!!"
Tiiit! Tiiit! Tiiit!
Jam beker berbunyi. Masumi bangun dengan gelisah. Napasnya masih memburu kasar. Peluh membanjiri wajahnya. Tubuhnya membara oleh gejolak emosi yang tak terbendung.
"Maya...," mulutnya terus merapal nama itu seperti sebuah doa.
Masumi masih gelisah, bayangan mimpi buruknya begitu jelas terbayang di kepalanya. Koji yang mencium Maya dan Christ yang berdiri di altar pernikahan.
"Apa-apaan ini....," rutuknya kesal.
Matanya kemudian beralih pada foto-foto yang tersebar di lantai kamarnya. Kekasihnya terlihat bahagia di foto itu. Christ memeluknya, mencium keningnya, mengusap kepalanya, dan keduanya terlihat bahagia.
Masumi kacau. Otaknya buntu. Kemesraan yang sama sekali tidak terbayangkan olehnya.
Mungkinkah Maya mendua? Mengkhianati dirinya? Setelah semua yang mereka lalui selama ini? Maya memilih orang lain sebagai pendamping hidupnya?
Otak Masumi terus berputar. Mencoba menemukan alasan yang tepat untuk setiap foto yang dilihatnya, namun gagal. Kemesraan yang tergambar membuyarkan semua alasannya dan perkataan Christ yang selalu menyudutkannya kembali terngiang.
"Maya milikku! Hanya milikku!" Desisnya marah.
***
Maya bangun dengan mata merah. Tidurnya tidak nyenyak, gelisah memikirkan Masumi yang marah padanya. Padanya? Entah, pada Christ atau Koji, mungkin. Maya lelah memikirkannya.
"Kemarilah," Christ menepuk kursi kosong disebelahnya saat melihat Maya keluar dari kamar dengan lesu.
"Ini," Christ memberikan secangkir teh pada Maya.
Meneguknya perlahan, Maya menikmati sensasi hangat yang menjalari kerongkongannya, sedikit menenangkannya.
"Apa dia masih belum menghubungimu?" Tanya Christ pada adiknya yang masih terdiam.
Maya menggeleng lalu meletakkan cangkirnya di meja.
Christ tersenyum, meraih bahu Maya. Merangkul adiknya dan menyandarkannya pada bahunya.
"Dia pasti sangat marah," gumam Maya lirih.
"Apa kau mau aku bicara padanya?"
Maya mendongak, menatap kakaknya.
"Apa yang akan kau katakan?"
"Hhhmm, mengatakan kalau kau adikku. Menjelaskan kalau semua yang kita lakukan adalah sandiwara untuk mendesak Eisuke, bagian dari rencanamu untuk mengamankan Bidadari Merah?"
Maya tertegun, "Belum saatnya dia tahu, tidak sebelum pementasan selesai dan sebelum aku bertemu dengan Eisuke,"
Christ mendesah, "Lalu?"
Maya menggeleng.
"Oke, kalau begitu berhentilah murung. Cobalah menghubunginya lagi nanti. Sekarang makan, Rose bilang kau tidak makan semalam. Hari ini kau ada latihan dan aku tidak mau kau sakit,"
Maya hanya terdiam.
"Maya," Christ tidak akan berhenti mengoceh sebelum Maya menjawab.
"Iya, kak," jawabnya.
Dan Christ tidak lagi berkomentar saat Maya mulai menyantap sarapannya.
***
"Bagaimana perkembangan rencana pementasan Bidadari Merah?" Tanya Eisuke, keduanya sedang menyantap sarapan pagi.
"Semua berjalan baik ayah," jawab Masumi.
"Tidak!!! MAYA !!" Masumi meraung.
"MAYA!!!"
Tiiit! Tiiit! Tiiit!
Jam beker berbunyi. Masumi bangun dengan gelisah. Napasnya masih memburu kasar. Peluh membanjiri wajahnya. Tubuhnya membara oleh gejolak emosi yang tak terbendung.
"Maya...," mulutnya terus merapal nama itu seperti sebuah doa.
Masumi masih gelisah, bayangan mimpi buruknya begitu jelas terbayang di kepalanya. Koji yang mencium Maya dan Christ yang berdiri di altar pernikahan.
"Apa-apaan ini....," rutuknya kesal.
Matanya kemudian beralih pada foto-foto yang tersebar di lantai kamarnya. Kekasihnya terlihat bahagia di foto itu. Christ memeluknya, mencium keningnya, mengusap kepalanya, dan keduanya terlihat bahagia.
Masumi kacau. Otaknya buntu. Kemesraan yang sama sekali tidak terbayangkan olehnya.
Mungkinkah Maya mendua? Mengkhianati dirinya? Setelah semua yang mereka lalui selama ini? Maya memilih orang lain sebagai pendamping hidupnya?
Otak Masumi terus berputar. Mencoba menemukan alasan yang tepat untuk setiap foto yang dilihatnya, namun gagal. Kemesraan yang tergambar membuyarkan semua alasannya dan perkataan Christ yang selalu menyudutkannya kembali terngiang.
"Maya milikku! Hanya milikku!" Desisnya marah.
***
Maya bangun dengan mata merah. Tidurnya tidak nyenyak, gelisah memikirkan Masumi yang marah padanya. Padanya? Entah, pada Christ atau Koji, mungkin. Maya lelah memikirkannya.
"Kemarilah," Christ menepuk kursi kosong disebelahnya saat melihat Maya keluar dari kamar dengan lesu.
"Ini," Christ memberikan secangkir teh pada Maya.
Meneguknya perlahan, Maya menikmati sensasi hangat yang menjalari kerongkongannya, sedikit menenangkannya.
"Apa dia masih belum menghubungimu?" Tanya Christ pada adiknya yang masih terdiam.
Maya menggeleng lalu meletakkan cangkirnya di meja.
Christ tersenyum, meraih bahu Maya. Merangkul adiknya dan menyandarkannya pada bahunya.
"Dia pasti sangat marah," gumam Maya lirih.
"Apa kau mau aku bicara padanya?"
Maya mendongak, menatap kakaknya.
"Apa yang akan kau katakan?"
"Hhhmm, mengatakan kalau kau adikku. Menjelaskan kalau semua yang kita lakukan adalah sandiwara untuk mendesak Eisuke, bagian dari rencanamu untuk mengamankan Bidadari Merah?"
Maya tertegun, "Belum saatnya dia tahu, tidak sebelum pementasan selesai dan sebelum aku bertemu dengan Eisuke,"
Christ mendesah, "Lalu?"
Maya menggeleng.
"Oke, kalau begitu berhentilah murung. Cobalah menghubunginya lagi nanti. Sekarang makan, Rose bilang kau tidak makan semalam. Hari ini kau ada latihan dan aku tidak mau kau sakit,"
Maya hanya terdiam.
"Maya," Christ tidak akan berhenti mengoceh sebelum Maya menjawab.
"Iya, kak," jawabnya.
Dan Christ tidak lagi berkomentar saat Maya mulai menyantap sarapannya.
***
"Bagaimana perkembangan rencana pementasan Bidadari Merah?" Tanya Eisuke, keduanya sedang menyantap sarapan pagi.
"Semua berjalan baik ayah," jawab Masumi.
Sebenarnya dia sedang tak ingin membicarakan tentang Bidadari Merah.
Bayangan mimpi buruknya langsung menari dalam pikirannya saat bibirnya menyebut
tentang Bidadari Merah, Maya-nya.
"Apa kau sudah memikirkan bagaimana caranya merebut hak pemenasan itu dari Maya?" Pancing Eisuke.
Tangan Masumi menggenggam erat pisau makan ditangannya.
"Jangan bilang kalau kau tidak memiliki rencana apa-apa Masumi!" Eisuke menilai kediaman Masumi.
Masumi tersentak, dia tahu dia harus menjawab pertanyaan jendral tertinggi itu. Meski dia bukan lagi pemegang saham tertinggi Daito tapi di rumah dia tetap memiliki kuasa penuh.
"Aku sudah memiliki rencana, ayah tenang saja," jawabnya.
Eisuke menyeringai tipis. "Bagus, aku akan lihat hasil kerjamu. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai gagal,"
Masumi tidak menanggapinya lagi. Mempercepat makannya dan segera meninggalkan rumah menuju kantornya. Tidak sabar ingin bertemu dengan Christ, dia butuh penjelasan, sangat butuh.
"Apa kau sudah memikirkan bagaimana caranya merebut hak pemenasan itu dari Maya?" Pancing Eisuke.
Tangan Masumi menggenggam erat pisau makan ditangannya.
"Jangan bilang kalau kau tidak memiliki rencana apa-apa Masumi!" Eisuke menilai kediaman Masumi.
Masumi tersentak, dia tahu dia harus menjawab pertanyaan jendral tertinggi itu. Meski dia bukan lagi pemegang saham tertinggi Daito tapi di rumah dia tetap memiliki kuasa penuh.
"Aku sudah memiliki rencana, ayah tenang saja," jawabnya.
Eisuke menyeringai tipis. "Bagus, aku akan lihat hasil kerjamu. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai gagal,"
Masumi tidak menanggapinya lagi. Mempercepat makannya dan segera meninggalkan rumah menuju kantornya. Tidak sabar ingin bertemu dengan Christ, dia butuh penjelasan, sangat butuh.
Awalnya dia ingin
minta Hijiri untuk menyelidikinya tapi hatinya sudah tidak sabar lagi. Dia akan
menanyakannya sendiri pada Christ. Lebih cepat lebih baik, pikirnya.
Mobil melaju dijalan raya, Masumi termenung menatap keluar jendela. Ketenangannya terusik saat suara Maya terdengar, nada dering pribadi Maya di handphonenya.
Tak lama suara itu berhenti, Masumi tidak mengangkatnya. Hanya menatap kosong pada handphone ditangannya.
Sebenarnya dia tidak bermaksud mendiamkan Maya, hanya saja dia belum siap bicara dengan kekasihnya itu. Rasa cemburunya bisa menggelapkan pikirannya, dia tidak mau menyakiti Maya dengan perkataannya. Untuk itu dia harus memastikan dulu semuanya.
Mobil melaju dijalan raya, Masumi termenung menatap keluar jendela. Ketenangannya terusik saat suara Maya terdengar, nada dering pribadi Maya di handphonenya.
Tak lama suara itu berhenti, Masumi tidak mengangkatnya. Hanya menatap kosong pada handphone ditangannya.
Sebenarnya dia tidak bermaksud mendiamkan Maya, hanya saja dia belum siap bicara dengan kekasihnya itu. Rasa cemburunya bisa menggelapkan pikirannya, dia tidak mau menyakiti Maya dengan perkataannya. Untuk itu dia harus memastikan dulu semuanya.
Hati kecilnya memang selalu
memiliki ketakutan Maya akan pergi darinya tapi dia sungguh tidak ingin
kehilangan kekasihnya. Hidup tanpa Maya, baginya sama halnya dengan mati. Dan
sekarang dengan semua yang dilihatnya, semua ketakutan itu menghantamnya.
Masumi semakin mengeratkan tangannya saat handphonenya kembali berdering.
"Halo," sapa Masumi datar.
Akhirnya dia menyerah juga pada dorongan hatinya yang tidak tahan mendiamkan Maya.
"Akhirnya...," suara Maya menggambarkan kelegaan yang teramat sangat.
Sama halnya dengan hati Masumi, lega mendengar suara Maya tapi emosi masih menguasainya. Langsung terbayang dibenaknya, foto Maya yang dipeluk dan dicium Christ ditambah lagi mimpi buruknya, Maya dan Christ di altar.
"Ada apa?" Tanya Masumi kemudian, masih dengan nada datar.
"Aku ingin bertemu," jawab Maya cepat.
"Kau ada latihan hari ini kan?"
"Iya, setelah latihan, aku ingin bertemu. Kau sibuk? Kalau begitu aku akan ke kantor," sergah Maya cepat, dia tidak mau menerima penolakan Masumi.
Masumi menghela napas perlahan, sulit baginya untuk menolak Maya, bahkan saat sedang marah sekalipun.
"Tidak perlu. Aku akan datang melihat latihanmu nanti. Kau fokus saja pada latihannya. Pementasannya sebentar lagi,"
"Benarkah? Kau akan datang?" Maya memekik kegirangan.
"Iya," suara Masumi melembut, kegirangan Maya sedikit meluluhkan kemarahannya.
"Baiklah, aku akan menunggumu,"
"Maya, aku...," Masumi mengatupkan bibirnya.
Masumi semakin mengeratkan tangannya saat handphonenya kembali berdering.
"Halo," sapa Masumi datar.
Akhirnya dia menyerah juga pada dorongan hatinya yang tidak tahan mendiamkan Maya.
"Akhirnya...," suara Maya menggambarkan kelegaan yang teramat sangat.
Sama halnya dengan hati Masumi, lega mendengar suara Maya tapi emosi masih menguasainya. Langsung terbayang dibenaknya, foto Maya yang dipeluk dan dicium Christ ditambah lagi mimpi buruknya, Maya dan Christ di altar.
"Ada apa?" Tanya Masumi kemudian, masih dengan nada datar.
"Aku ingin bertemu," jawab Maya cepat.
"Kau ada latihan hari ini kan?"
"Iya, setelah latihan, aku ingin bertemu. Kau sibuk? Kalau begitu aku akan ke kantor," sergah Maya cepat, dia tidak mau menerima penolakan Masumi.
Masumi menghela napas perlahan, sulit baginya untuk menolak Maya, bahkan saat sedang marah sekalipun.
"Tidak perlu. Aku akan datang melihat latihanmu nanti. Kau fokus saja pada latihannya. Pementasannya sebentar lagi,"
"Benarkah? Kau akan datang?" Maya memekik kegirangan.
"Iya," suara Masumi melembut, kegirangan Maya sedikit meluluhkan kemarahannya.
"Baiklah, aku akan menunggumu,"
"Maya, aku...," Masumi mengatupkan bibirnya.
Kata-katanya tercekat ditenggorokan, dia ingin bertanya soal Christ.
"Ya?"
"Tidak, tidak apa-apa,"
"Baiklah, aku akan menunggumu, aku mencintaimu,"
Maya menutup teleponnya, tidak menunggu Masumi menjawab. Dia pasti tahu Masumi tidak akan menjawab.
"Aku mencintaimu...," kata-kata Maya terngiang.
Masumi menghela napas, "Kenapa aku ini?" Masumi kembali memandang handphone ditangannya.
"Ya?"
"Tidak, tidak apa-apa,"
"Baiklah, aku akan menunggumu, aku mencintaimu,"
Maya menutup teleponnya, tidak menunggu Masumi menjawab. Dia pasti tahu Masumi tidak akan menjawab.
"Aku mencintaimu...," kata-kata Maya terngiang.
Masumi menghela napas, "Kenapa aku ini?" Masumi kembali memandang handphone ditangannya.
"Apa aku layak
meragukannya? Maya sudah begitu banyak menderita karenaku...tapi foto itu?
Kenapa Maya dan Christ...?"
Masumi menggeleng keras. Menepis pikiran negatifnya tentang Maya. Mencoba mempertahankan rasa percayanya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa Maya hanya mencintainya.
***
Mizuki menatap heran saat melihat Masumi tergesa memasuki ruangan. Memberikan instruksi dengan cepat untuk beberapa jadwalnya dan dengan cepat pula meninggalkan ruangan.
Langkah kaki Masumi terhenti di depan ruang kerja Christ. Dia masih menimbang keputusannya untuk yang terakhir kali.
Alasan apa yang akan dikatakannya? Christ tahu dia dan Maya bermusuhan. Haruskah dia membuka semua?
Otak Masumi bekerja, mencoba membenarkan tindakannya. Tanpa sadar tangannya mencengkram kuat amplop yang dipegangnya, membuat kusut salah satu sisinya.
Ragu, Masumi berbalik namun langsung terpaku.
"Masumi," sapa Christ, heran melihat Masumi berdiri di depan kantornya. Dia dan Ryan baru saja datang.
"Kau baru datang?" Tanya Masumi.
Christ melirik jam tangannya, "Pukul tujuh empat lima," tandasnya.
Masumi menggeleng keras. Menepis pikiran negatifnya tentang Maya. Mencoba mempertahankan rasa percayanya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa Maya hanya mencintainya.
***
Mizuki menatap heran saat melihat Masumi tergesa memasuki ruangan. Memberikan instruksi dengan cepat untuk beberapa jadwalnya dan dengan cepat pula meninggalkan ruangan.
Langkah kaki Masumi terhenti di depan ruang kerja Christ. Dia masih menimbang keputusannya untuk yang terakhir kali.
Alasan apa yang akan dikatakannya? Christ tahu dia dan Maya bermusuhan. Haruskah dia membuka semua?
Otak Masumi bekerja, mencoba membenarkan tindakannya. Tanpa sadar tangannya mencengkram kuat amplop yang dipegangnya, membuat kusut salah satu sisinya.
Ragu, Masumi berbalik namun langsung terpaku.
"Masumi," sapa Christ, heran melihat Masumi berdiri di depan kantornya. Dia dan Ryan baru saja datang.
"Kau baru datang?" Tanya Masumi.
Christ melirik jam tangannya, "Pukul tujuh empat lima," tandasnya.
Merasa tersinggung dengan nada bicara Masumi yang
seolah menuduhnya terlambat. Bukan hanya orang Jepang yang tepat waktu,
pikirnya kesal.
"Oh iya," Masumi tersadar kalau dialah yang datang terlalu pagi karena menghindari introgasi ayahnya dan karena ingin segera...bertemu Christ.
"Ada apa? Tidak biasanya kau menemuiku sepagi ini,"
"Oh iya," Masumi tersadar kalau dialah yang datang terlalu pagi karena menghindari introgasi ayahnya dan karena ingin segera...bertemu Christ.
"Ada apa? Tidak biasanya kau menemuiku sepagi ini,"
Dalam hati Christ bertanya-tanya, mungkinkah karena adiknya?
Sekali lagi Masumi menyakinkan hatinya kalau apa yang akan dilakukannya adalah hal yang benar. Dia tidak mau mundur lagi.
"Ada hal penting yang ingin ku bicarakan denganmu, secara pribadi," kata Masumi, menekankan dengan jelas ujung kalimatnya seraya melirik pada Ryan yang berdiri di sebelah Christ.
Semakin yakin dengan dugaannya, Christ menoleh pada Ryan lalu mengangguk.
"Masuklah," Christ mempersilakan seraya melewati Masumi dan membuka pintu.
Sekali lagi Masumi menyakinkan hatinya kalau apa yang akan dilakukannya adalah hal yang benar. Dia tidak mau mundur lagi.
"Ada hal penting yang ingin ku bicarakan denganmu, secara pribadi," kata Masumi, menekankan dengan jelas ujung kalimatnya seraya melirik pada Ryan yang berdiri di sebelah Christ.
Semakin yakin dengan dugaannya, Christ menoleh pada Ryan lalu mengangguk.
"Masuklah," Christ mempersilakan seraya melewati Masumi dan membuka pintu.
Ryan menunggu di luar.
"Ada apa?" tanya Christ lagi saat keduanya sudah duduk berhadapan di kursi tamu.
Masumi tidak mau basa basi. Dia sudah lebih dari siap untuk menjelaskan hubungannya dengan Maya tapi sebelumnya dia juga ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya antara Maya dan Christ.
"Ini," Masumi memberikan amplop yang sejak tadi masih digenggamnya.
Christ mengernyit, "Apa ini?"
"Bukalah,"
Christ tercengang. Foto-fotonya bersama Maya di bandara. Pikiran Christ berputar dengan cepat. Matanya langsung menatap tajam pria yang tampak tenang duduk dihadapannya.
"Darimana kau dapatkan foto-foto ini?"
"Itu tidak penting. Yang penting adalah penjelasan atas apa yang terlihat pada foto itu,"
"Kau memata-mataiku?"
"Tidak,"
"Lalu apa ini?!" Christ mengacungkan lembaran foto di tangannya dengan marah.
"Ada yang mengirimkannya padaku," aku Masumi.
"Ada apa?" tanya Christ lagi saat keduanya sudah duduk berhadapan di kursi tamu.
Masumi tidak mau basa basi. Dia sudah lebih dari siap untuk menjelaskan hubungannya dengan Maya tapi sebelumnya dia juga ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya antara Maya dan Christ.
"Ini," Masumi memberikan amplop yang sejak tadi masih digenggamnya.
Christ mengernyit, "Apa ini?"
"Bukalah,"
Christ tercengang. Foto-fotonya bersama Maya di bandara. Pikiran Christ berputar dengan cepat. Matanya langsung menatap tajam pria yang tampak tenang duduk dihadapannya.
"Darimana kau dapatkan foto-foto ini?"
"Itu tidak penting. Yang penting adalah penjelasan atas apa yang terlihat pada foto itu,"
"Kau memata-mataiku?"
"Tidak,"
"Lalu apa ini?!" Christ mengacungkan lembaran foto di tangannya dengan marah.
"Ada yang mengirimkannya padaku," aku Masumi.
Dia juga heran dan masih bertanya-tanya siapa yang mengirimkan foto
itu. Tapi itu tidak penting jika dibanding dengan penjelasan yang
dibutuhkannya. Dia akan mencari tahu soal itu...nanti. Setelah semuanya jelas
baginya.
"Sial!!" Rutuk Christ, ekspresinya menegang. Otaknya mulai berpikir tentang berbagai kemungkinan.
"Sial!!" Rutuk Christ, ekspresinya menegang. Otaknya mulai berpikir tentang berbagai kemungkinan.
"Kapan kau
mendapat foto ini?" Tanyanya kemudian.
Masumi bingung dengan reaksi Christ, "Ada apa denganmu? Aku ingin penjelasan atas foto itu!" Desak Masumi.
Mata Christ berkilat marah, Masumi masih tidak mengerti kenapa, "Jawab dulu pertanyaanku! Kapan kau dapat foto ini?" Kata Christ setengah berteriak. Dia sudah berdiri di depan Masumi.
"Semalam," akhirnya Masumi mengaku.
"Ryan!!" Teriak Christ kemudian dan Ryan langsung masuk saat mendengar bosnya memanggil. Dia tahu ada yang penting karena sejak di Jepang Christ jarang sekali berteriak memanggilnya.
"Lihat ini!" Christ memberikan foto-foto itu pada pengawal pribadinya.
Ryan sama terkejutnya.
Masumi semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. "Ada apa sebenarnya?"
Christ berbalik dan menatap Masumi yang sudah beranjak dan berdiri dengan gusar.
"BODOH?! Kenapa kau tidak mencari tahu siapa yang mengirim foto itu?" Maki Christ.
Masumi terhenyak, dia tidak berpikir itu lebih penting dari penjelasan tentang hubungan Christ dan Maya. Cemburu sudah membuat otaknya benar-benar buntu dan perkataan Christ telah mengembalikan pikiran Masumi pada tempatnya.
"Apa kau tidak berpikir kalau orang yang mengirim foto itu mungkin tahu rahasiamu dan aku? Dia mau melibatkan Maya dalam hal ini! Apa tujuannya?!" Teriak Christ lagi.
Masumi membenarkan. Siapapun orang itu, dia pasti tahu dampak dari perbuatannya. Ada pihak yang sengaja memancing kemarahannya. Memecah belah antara dirinya dan...Christ? Berarti dia mengincar Daito. Atau mengusik hubungannya dengan Maya? Berarti orang itu tahu hubungannya dengan Maya? Jantung Masumi berpacu.
"Kenapa kau diam?! Otakmu sudah buntu huh? Hubungi orangmu dan cari tahu tentang ini!" Maki Christ kesal.
"Ryan! Hubungi Alex! Perketat penjagaan untuk Maya!" Tambahnya. Dugaan bahwa ada seseorang yang mengincar adiknya membuatnya tidak tenang.
Masumi terkejut mendengar perintah Christ tapi sejenak mengabaikannya. Ada hal penting lain yang harus dilakukannya.
"Temui aku ditempat biasa, sekarang!" kata Masumi singkat di teleponnya. Dia mengambil foto-foto itu dari Ryan lalu kembali memasukkannya ke dalam amplop.
"Aku belum selesai, kita lanjutkan nanti! Permisi," kata Masumi dan dengan tergesa meninggalkan ruang kerja Christ. Mengabaikan Christ yang masih terlihat marah, yang Masumi tidak tahu alasan dibalik kemarahannya.
"Masumi idiot!!" Maki Christ saat Masumi menghilang dibalik pintu.
***
Masumi bingung dengan reaksi Christ, "Ada apa denganmu? Aku ingin penjelasan atas foto itu!" Desak Masumi.
Mata Christ berkilat marah, Masumi masih tidak mengerti kenapa, "Jawab dulu pertanyaanku! Kapan kau dapat foto ini?" Kata Christ setengah berteriak. Dia sudah berdiri di depan Masumi.
"Semalam," akhirnya Masumi mengaku.
"Ryan!!" Teriak Christ kemudian dan Ryan langsung masuk saat mendengar bosnya memanggil. Dia tahu ada yang penting karena sejak di Jepang Christ jarang sekali berteriak memanggilnya.
"Lihat ini!" Christ memberikan foto-foto itu pada pengawal pribadinya.
Ryan sama terkejutnya.
Masumi semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. "Ada apa sebenarnya?"
Christ berbalik dan menatap Masumi yang sudah beranjak dan berdiri dengan gusar.
"BODOH?! Kenapa kau tidak mencari tahu siapa yang mengirim foto itu?" Maki Christ.
Masumi terhenyak, dia tidak berpikir itu lebih penting dari penjelasan tentang hubungan Christ dan Maya. Cemburu sudah membuat otaknya benar-benar buntu dan perkataan Christ telah mengembalikan pikiran Masumi pada tempatnya.
"Apa kau tidak berpikir kalau orang yang mengirim foto itu mungkin tahu rahasiamu dan aku? Dia mau melibatkan Maya dalam hal ini! Apa tujuannya?!" Teriak Christ lagi.
Masumi membenarkan. Siapapun orang itu, dia pasti tahu dampak dari perbuatannya. Ada pihak yang sengaja memancing kemarahannya. Memecah belah antara dirinya dan...Christ? Berarti dia mengincar Daito. Atau mengusik hubungannya dengan Maya? Berarti orang itu tahu hubungannya dengan Maya? Jantung Masumi berpacu.
"Kenapa kau diam?! Otakmu sudah buntu huh? Hubungi orangmu dan cari tahu tentang ini!" Maki Christ kesal.
"Ryan! Hubungi Alex! Perketat penjagaan untuk Maya!" Tambahnya. Dugaan bahwa ada seseorang yang mengincar adiknya membuatnya tidak tenang.
Masumi terkejut mendengar perintah Christ tapi sejenak mengabaikannya. Ada hal penting lain yang harus dilakukannya.
"Temui aku ditempat biasa, sekarang!" kata Masumi singkat di teleponnya. Dia mengambil foto-foto itu dari Ryan lalu kembali memasukkannya ke dalam amplop.
"Aku belum selesai, kita lanjutkan nanti! Permisi," kata Masumi dan dengan tergesa meninggalkan ruang kerja Christ. Mengabaikan Christ yang masih terlihat marah, yang Masumi tidak tahu alasan dibalik kemarahannya.
"Masumi idiot!!" Maki Christ saat Masumi menghilang dibalik pintu.
***
"Tolong selidiki siapa yang mengirim
ini. Security memberikannya padaku semalam," Masumi menyerahkan amplopnya
pada Hijiri.
Hijiri dengan cepat membuka dan melihat isinya. Ekspresinya sama seperti Christ saat melihatnya. Dia tahu hubungan antara Maya dan Christ, dia juga yang membantu Christ untuk menyingkirkan keluarga Hayami lain dari Daito dengan kerja sama berbagi informasi dengan anak buah Christ. Semua dilakukannya demi Masumi dan Maya. Dia pernah berjanji untuk menjadi agen ganda bagi Maya, membantunya untuk bisa bersama dengan Masumi.
"Ini?!" Kening Hijiri berkerut.
Hijiri dengan cepat membuka dan melihat isinya. Ekspresinya sama seperti Christ saat melihatnya. Dia tahu hubungan antara Maya dan Christ, dia juga yang membantu Christ untuk menyingkirkan keluarga Hayami lain dari Daito dengan kerja sama berbagi informasi dengan anak buah Christ. Semua dilakukannya demi Masumi dan Maya. Dia pernah berjanji untuk menjadi agen ganda bagi Maya, membantunya untuk bisa bersama dengan Masumi.
"Ini?!" Kening Hijiri berkerut.
"Ada yang ingin merusak kerja sama anda dengan Tuan Anderson dengan
melibatkan Nona Maya?" Hijiri mencoba menganalisa kemungkinan motif yang
ada.
"Atau orang itu mungkin tahu hubunganku dengan Maya dan mau merusaknya," Tandas Masumi, rahangnya mengetat. Cemas. Menyesal telah begitu bodoh mengabaikan fakta penting dan termakan jebakan hanya karena cemburu.
"Hanya dua orang yang punya kemungkinan itu," jawab Hijiri.
Masumi mengangguk.
"Cari tahu secepatnya, siapa yang ada dibalik ini semua."
"Baik Pak Masumi, saya akan segera mencari tahu. Lalu bagaimana dengan Nona Maya?"
Masumi tertegun sejenak, teringat perintah Christ pada anak buahnya tadi. Mencoba berpikir positif kali ini, yang terpenting adalah Maya aman.
"Anak buah Christian sudah menjaganya. Kau fokus saja mencari tahu tentang hal ini." Masumi kembali menegaskan tugas Hijiri.
Hijiri menilai ekspresi Masumi, "Anda dan Tuan Anderson...,"
"Aku akan mengurusnya nanti!" Potong Masumi cepat.
Hijiri tahu kalau Masumi cemburu pada Christ tapi tidak menyangka bosnya itu bersedia bekerja sama dengan Christ. Mungkin itu karena tujuan keduanya sama, melindungi Maya.
"Baik Tuan. Saya permisi," Hijiri mengangguk hormat lalu meninggalkan basement.
Masumi bergegas kembali ke...kantor Christ. Menyelesaikan urusannya yang tertunda.
"Ayumi," sapa Masumi ramah saat Ayumi masuk ke lift yang sama dengannya.
Ayumi mengangguk hormat, "Pak Masumi, kebetulan sekali. Apa anda ada waktu? Saya ingin bicara," tanyanya sopan.
Tidak biasanya Ayumi mencarinya secara pribadi, tapi Masumi tidak mungkin menolaknya. Ayumi adalah aset terbaik Daito dan bukan hanya karena itu, hubungan Masumi dan kedua orang tua Ayumi juga cukup dekat. Tidak ada salahnya dia menunda 'urusannya' sebentar.
"Tentu, kita kekantorku," jawab Masumi.
Ping!
Pintu lift terbuka dan Ayumi mengikuti Masumi ke kantornya.
"Ada apa Ayumi?"
Ayumi sedikit gelisah duduk dihadapan Masumi dan itu membuat Masumi heran. Ayumi tidak pernah canggung saat bertemu dengannya. Dia selalu tenang dan percaya diri.
"Ini tentang Maya Pak Masumi," kata Ayumi ragu.
"Maya?" Keheranan Masumi semakin berlipat ganda. "Ada apa dengan Maya?"
"Awalnya saya tidak tahu harus menyampaikan hal ini pada siapa. Tapi saat tahu bahwa Daito menjadi PH yang menyelenggarakan pementasan Bidadari Merah maka saya rasa anda bisa membantu. Karena ini menyangkut keselamatan Bidadari Merah,"
Jantung Masumi kembali berpacu, tapi ekspresinya tetap tenang.
"Katakan saja, jika ini menyangkut Bidadari Merah berarti ini hal yang penting," kata Masumi, menyembunyikan motif kekhawatirannya pada Maya.
Ayumi mengangguk, "Saya khawatir...ada yang ingin menyakiti Maya Pak Masumi,"
"Apa?!" Tanpa sadar Masumi memekik.
"Anda masih ingat saat anda mengunjungi saya dirumah sakit?"
Masumi memutar ulang memorinya lalu mengangguk.
"Saat itu keberadaan Maya masih belum diketahui dan saya bertanya pada anda di mana Maya. Sebenarnya...saat itu ada yang menyuruh saya untuk melakukannya," aku Ayumi.
Kerutan di kening Masumi semakin dalam, "Apa maksudmu?" Masumi mencoba mengendalikan keterkejutannya.
"Awalnya saya tidak tahu apa tujuan orang itu untuk mencari Maya. Dia mengancam akan mencelakai mama di lokasi syuting dan mengganggu proyek kerja papa jika saya menolak untuk melakukannya. Dari situ saya menduga dia pasti memiliki tujuan yang tidak baik. Saya lega karena akhirnya saya mendengar Maya baik-baik saja di New York bahkan karirnya sukses disana. Tapi sekarang dengan kembalinya Maya ke Jepang saya menjadi khawatir, mungkin orang itu punya rencana lain untuk Maya. Jadi saya mohon, untuk menebus rasa bersalah saya pada Maya, tolong Pak Masumi lindungi Maya,"
Masumi terhenyak.
"Siapa orang itu Ayumi?" Tanya Masumi tanpa basa basi.
"Ngg dia...," Ayumi memandang Masumi dengan ragu.
"Katakan saja, siapa yang mengancammu untuk melakukan hal itu?"
"Ngg...mantan tunangan anda, Shiori Takamiya,"
"Apa?!" Sebuah teriakan mengejutkan keduanya.
Masumi dan Ayumi langsung menoleh ke pintu. Christ baru saja berteriak marah seraya masuk keruangannya.
"Jadi kau yang memberi tahu keberadaan Maya pada wanita itu?" Sergah Christ cepat pada Ayumi. Mengabaikan keterkejutan Masumi akan kedatangannya, bahkan membuatnya semakin terkejut dengan introgasi tiba-tibanya.
Ayumi mengangguk.
"Kau menguping pembicaraan kami?" Masumi tidak senang dengan ketidak sopanan mitranya itu.
"Aku tidak sengaja mendegar tadi," seperti biasa, berkilah, Christ tidak mau disalahkan.
"Apa ada hal lain yang ingin kau sampaikan Ayumi?" Tanya Masumi sopan dan Ayumi tahu itu adalah kode pengusiran halus ala direktur Daito.
"Tidak Pak, hanya itu. Saya harap Daito akan melindungi Maya," kata Ayumi penuh harap.
"Daito? Aku yang akan melindunginya." Batin Masumi mendesis geram..
"Tentu Ayumi. Terima kasih untuk informasinya,"
Ayumi mengangguk. Permisi pada kedua eksekutif muda itu lalu pergi meninggalkan ruang kerja Masumi.
Sepeninggal Ayumi, Masumi langsung menusuk Christ dengan tatapan matanya.
"Apa?!" Christ menantang tatapan mata Masumi. Christ menampakkan wujud aslinya kali ini.
"Kau yang apa?! Ini kantor ku!" Masumi kesal.
"Berhentilah mengurusi hal yang tidak ada gunanya. Ada hal yang lebih penting harus kau urus,"
"Itukan bukan urusanmu!" Bentak Masumi.
"Semua hal yang menyangkut Maya Kitajima adalah urusanku!" Balas Christ dengan nada yang lebih tinggi. Keduanya berdiri berhadapan dengan marah.
"Dia aktris kelas satu Daito, jadi itu bukan hanya urusanmu! Daito yang akan mengurusnya!"
Buug!!!
Masumi tersungkur di lantai. Tinju Christ merobohkannya seketika.
"JANGAN PERLAKUKAN DIA SEPERTI BARANG DAGANGAN!!" Raung Christ marah. Limit kesabarannya untuk menghadapi Masumi sudah habis.
Masumi semakin berang, 'urusannya' dengan Christ belum selesai dan sepertinya akan semakin panjang.
Masumi bangun, Buugg!!
"Atau orang itu mungkin tahu hubunganku dengan Maya dan mau merusaknya," Tandas Masumi, rahangnya mengetat. Cemas. Menyesal telah begitu bodoh mengabaikan fakta penting dan termakan jebakan hanya karena cemburu.
"Hanya dua orang yang punya kemungkinan itu," jawab Hijiri.
Masumi mengangguk.
"Cari tahu secepatnya, siapa yang ada dibalik ini semua."
"Baik Pak Masumi, saya akan segera mencari tahu. Lalu bagaimana dengan Nona Maya?"
Masumi tertegun sejenak, teringat perintah Christ pada anak buahnya tadi. Mencoba berpikir positif kali ini, yang terpenting adalah Maya aman.
"Anak buah Christian sudah menjaganya. Kau fokus saja mencari tahu tentang hal ini." Masumi kembali menegaskan tugas Hijiri.
Hijiri menilai ekspresi Masumi, "Anda dan Tuan Anderson...,"
"Aku akan mengurusnya nanti!" Potong Masumi cepat.
Hijiri tahu kalau Masumi cemburu pada Christ tapi tidak menyangka bosnya itu bersedia bekerja sama dengan Christ. Mungkin itu karena tujuan keduanya sama, melindungi Maya.
"Baik Tuan. Saya permisi," Hijiri mengangguk hormat lalu meninggalkan basement.
Masumi bergegas kembali ke...kantor Christ. Menyelesaikan urusannya yang tertunda.
"Ayumi," sapa Masumi ramah saat Ayumi masuk ke lift yang sama dengannya.
Ayumi mengangguk hormat, "Pak Masumi, kebetulan sekali. Apa anda ada waktu? Saya ingin bicara," tanyanya sopan.
Tidak biasanya Ayumi mencarinya secara pribadi, tapi Masumi tidak mungkin menolaknya. Ayumi adalah aset terbaik Daito dan bukan hanya karena itu, hubungan Masumi dan kedua orang tua Ayumi juga cukup dekat. Tidak ada salahnya dia menunda 'urusannya' sebentar.
"Tentu, kita kekantorku," jawab Masumi.
Ping!
Pintu lift terbuka dan Ayumi mengikuti Masumi ke kantornya.
"Ada apa Ayumi?"
Ayumi sedikit gelisah duduk dihadapan Masumi dan itu membuat Masumi heran. Ayumi tidak pernah canggung saat bertemu dengannya. Dia selalu tenang dan percaya diri.
"Ini tentang Maya Pak Masumi," kata Ayumi ragu.
"Maya?" Keheranan Masumi semakin berlipat ganda. "Ada apa dengan Maya?"
"Awalnya saya tidak tahu harus menyampaikan hal ini pada siapa. Tapi saat tahu bahwa Daito menjadi PH yang menyelenggarakan pementasan Bidadari Merah maka saya rasa anda bisa membantu. Karena ini menyangkut keselamatan Bidadari Merah,"
Jantung Masumi kembali berpacu, tapi ekspresinya tetap tenang.
"Katakan saja, jika ini menyangkut Bidadari Merah berarti ini hal yang penting," kata Masumi, menyembunyikan motif kekhawatirannya pada Maya.
Ayumi mengangguk, "Saya khawatir...ada yang ingin menyakiti Maya Pak Masumi,"
"Apa?!" Tanpa sadar Masumi memekik.
"Anda masih ingat saat anda mengunjungi saya dirumah sakit?"
Masumi memutar ulang memorinya lalu mengangguk.
"Saat itu keberadaan Maya masih belum diketahui dan saya bertanya pada anda di mana Maya. Sebenarnya...saat itu ada yang menyuruh saya untuk melakukannya," aku Ayumi.
Kerutan di kening Masumi semakin dalam, "Apa maksudmu?" Masumi mencoba mengendalikan keterkejutannya.
"Awalnya saya tidak tahu apa tujuan orang itu untuk mencari Maya. Dia mengancam akan mencelakai mama di lokasi syuting dan mengganggu proyek kerja papa jika saya menolak untuk melakukannya. Dari situ saya menduga dia pasti memiliki tujuan yang tidak baik. Saya lega karena akhirnya saya mendengar Maya baik-baik saja di New York bahkan karirnya sukses disana. Tapi sekarang dengan kembalinya Maya ke Jepang saya menjadi khawatir, mungkin orang itu punya rencana lain untuk Maya. Jadi saya mohon, untuk menebus rasa bersalah saya pada Maya, tolong Pak Masumi lindungi Maya,"
Masumi terhenyak.
"Siapa orang itu Ayumi?" Tanya Masumi tanpa basa basi.
"Ngg dia...," Ayumi memandang Masumi dengan ragu.
"Katakan saja, siapa yang mengancammu untuk melakukan hal itu?"
"Ngg...mantan tunangan anda, Shiori Takamiya,"
"Apa?!" Sebuah teriakan mengejutkan keduanya.
Masumi dan Ayumi langsung menoleh ke pintu. Christ baru saja berteriak marah seraya masuk keruangannya.
"Jadi kau yang memberi tahu keberadaan Maya pada wanita itu?" Sergah Christ cepat pada Ayumi. Mengabaikan keterkejutan Masumi akan kedatangannya, bahkan membuatnya semakin terkejut dengan introgasi tiba-tibanya.
Ayumi mengangguk.
"Kau menguping pembicaraan kami?" Masumi tidak senang dengan ketidak sopanan mitranya itu.
"Aku tidak sengaja mendegar tadi," seperti biasa, berkilah, Christ tidak mau disalahkan.
"Apa ada hal lain yang ingin kau sampaikan Ayumi?" Tanya Masumi sopan dan Ayumi tahu itu adalah kode pengusiran halus ala direktur Daito.
"Tidak Pak, hanya itu. Saya harap Daito akan melindungi Maya," kata Ayumi penuh harap.
"Daito? Aku yang akan melindunginya." Batin Masumi mendesis geram..
"Tentu Ayumi. Terima kasih untuk informasinya,"
Ayumi mengangguk. Permisi pada kedua eksekutif muda itu lalu pergi meninggalkan ruang kerja Masumi.
Sepeninggal Ayumi, Masumi langsung menusuk Christ dengan tatapan matanya.
"Apa?!" Christ menantang tatapan mata Masumi. Christ menampakkan wujud aslinya kali ini.
"Kau yang apa?! Ini kantor ku!" Masumi kesal.
"Berhentilah mengurusi hal yang tidak ada gunanya. Ada hal yang lebih penting harus kau urus,"
"Itukan bukan urusanmu!" Bentak Masumi.
"Semua hal yang menyangkut Maya Kitajima adalah urusanku!" Balas Christ dengan nada yang lebih tinggi. Keduanya berdiri berhadapan dengan marah.
"Dia aktris kelas satu Daito, jadi itu bukan hanya urusanmu! Daito yang akan mengurusnya!"
Buug!!!
Masumi tersungkur di lantai. Tinju Christ merobohkannya seketika.
"JANGAN PERLAKUKAN DIA SEPERTI BARANG DAGANGAN!!" Raung Christ marah. Limit kesabarannya untuk menghadapi Masumi sudah habis.
Masumi semakin berang, 'urusannya' dengan Christ belum selesai dan sepertinya akan semakin panjang.
Masumi bangun, Buugg!!
Limitnya juga sudah
habis, tinju balasan menjatuhkan Christ. 1-1.
"Aku tidak pernah menganggapnya barang dagangan! Kau tidak tahu apa-apa!" Desisnya marah.
Ryan dan Mizuki langsung masuk saat mendengar ada keributan. Keduanya terkejut melihat Christ di lantai dengan tatapan marah Masumi. Ryan mengamati Christ dan Masumi, darah di sudut bibir keduanya menandakan mereka baru saja saling pukul. Ryan pun diam ditempatnya dan melarang Mizuki berkomentar. Mengamati reaksi bosnya. Baru satu atau dua pukulan, semuanya masih aman, pikir Ryan.
"Kau memuakkan Masumi!!" Maki Christ.
"Aku tidak pernah menganggapnya barang dagangan! Kau tidak tahu apa-apa!" Desisnya marah.
Ryan dan Mizuki langsung masuk saat mendengar ada keributan. Keduanya terkejut melihat Christ di lantai dengan tatapan marah Masumi. Ryan mengamati Christ dan Masumi, darah di sudut bibir keduanya menandakan mereka baru saja saling pukul. Ryan pun diam ditempatnya dan melarang Mizuki berkomentar. Mengamati reaksi bosnya. Baru satu atau dua pukulan, semuanya masih aman, pikir Ryan.
"Kau memuakkan Masumi!!" Maki Christ.
Dia bangun dari lantai. Mengepalkan tangannya namun menahannya untuk tidak
melayang. Dia langsung teringat Maya. Adiknya pasti akan mengamuk kalau tahu
dia memukul kekasihnya...dua kali? Sekali saja sudah cukup.
"Jangan ikut campur urusanku!" Hardik Masumi.
"Apa hakmu melarangku! Kau hanya atasannya, tidak berhak mencampuri urusan pribadinya!" Christ memancing Masumi.
"Jangan ikut campur urusanku!" Hardik Masumi.
"Apa hakmu melarangku! Kau hanya atasannya, tidak berhak mencampuri urusan pribadinya!" Christ memancing Masumi.
Dia
tidak akan mengakui hubungannya dengan Maya sebelum Masumi mengakui adiknya
sebagai kekasihnya. Bukan didepan publik, setidaknya mengaku padanya sekarang.
Masumi masih diam dengan mata yang masih menunjukkan kemarahannya. Hatinya sudah tidak tahan lagi menahan semuanya.
"AKU KEKASIHNYA! Tidak akan ku biarkan siapapun mendekatinya! DIA MILIKKU!"
Christ dan Ryan menyeringai bersamaan. Mizuki menangkupkan tangan di mulutnya.
Dan ekspresi Masumi melunak saat melihat reaksi Christ yang justru terlihat senang dengan pengakuannya. Terbalik dengan prediksinya. Diapun melonggarkan kepalan tangannya. Sejak tadi dia juga menahan tangannya untuk tidak melayang. Bayangan Maya menghentikannya. Berkelahi dengan menjadikan Maya sebagai alasannya akan membuat kekasihnya itu mengamuk.
"Akhirnya kau mengaku juga," Christ berjalan ke kursi tamu dan menghempaskan dirinya di sana. Duduk santai, mengeluarkan sapu tangan linen dari saku jasnya dan menyeka darah disudut bibirnya yang mulai mengering.
"Pukulanmu boleh juga, kau bisa karate? Mungkin sesekali kita bisa berlatih bersama,"
Masumi hampir ternganga mendengar perkataan Christ. Begitu juga Mizuki.
"Kau...," Masumi kembali mengatupkan mulutnya. Christ selalu berhasil membuatnya terdiam dan kehilangan kata-kata.
Christ terbahak, "Tenang, aku tidak akan merebut kekasihmu itu, karena....,"
Dering handphone Ryan menyela dan tatapan kesal Christ langsung terlempar pada pengawal pribadinya. Meski interupsi itu bukan salahnya.
Wajah Ryan menegang sesaat, tapi bukan karena tatapan Christ.
"Ada apa?" Christ menilai reaksi Ryan. Dia langsung berdiri. Masumi pun memperhatikan kecemasan sesaat di wajah pengawal pribadi itu.
"Rose, Tuan. Nona Maya mengalami kecelakaan di tempat latihan," katanya tenang setelah menutup teleponnya. Dia harus tenang karena bosnya pasti...
"APA?!" Pekik Christ dan Masumi bersaamaan.
Masumi masih diam dengan mata yang masih menunjukkan kemarahannya. Hatinya sudah tidak tahan lagi menahan semuanya.
"AKU KEKASIHNYA! Tidak akan ku biarkan siapapun mendekatinya! DIA MILIKKU!"
Christ dan Ryan menyeringai bersamaan. Mizuki menangkupkan tangan di mulutnya.
Dan ekspresi Masumi melunak saat melihat reaksi Christ yang justru terlihat senang dengan pengakuannya. Terbalik dengan prediksinya. Diapun melonggarkan kepalan tangannya. Sejak tadi dia juga menahan tangannya untuk tidak melayang. Bayangan Maya menghentikannya. Berkelahi dengan menjadikan Maya sebagai alasannya akan membuat kekasihnya itu mengamuk.
"Akhirnya kau mengaku juga," Christ berjalan ke kursi tamu dan menghempaskan dirinya di sana. Duduk santai, mengeluarkan sapu tangan linen dari saku jasnya dan menyeka darah disudut bibirnya yang mulai mengering.
"Pukulanmu boleh juga, kau bisa karate? Mungkin sesekali kita bisa berlatih bersama,"
Masumi hampir ternganga mendengar perkataan Christ. Begitu juga Mizuki.
"Kau...," Masumi kembali mengatupkan mulutnya. Christ selalu berhasil membuatnya terdiam dan kehilangan kata-kata.
Christ terbahak, "Tenang, aku tidak akan merebut kekasihmu itu, karena....,"
Dering handphone Ryan menyela dan tatapan kesal Christ langsung terlempar pada pengawal pribadinya. Meski interupsi itu bukan salahnya.
Wajah Ryan menegang sesaat, tapi bukan karena tatapan Christ.
"Ada apa?" Christ menilai reaksi Ryan. Dia langsung berdiri. Masumi pun memperhatikan kecemasan sesaat di wajah pengawal pribadi itu.
"Rose, Tuan. Nona Maya mengalami kecelakaan di tempat latihan," katanya tenang setelah menutup teleponnya. Dia harus tenang karena bosnya pasti...
"APA?!" Pekik Christ dan Masumi bersaamaan.
Dan tanpa komando keduanya berlari bersamaan menuju studio.
***
***
Sedan Lexus dan BMW mengkilap milik
Masumi dan Christ berhenti di depan studio latihan Daito. Keduanya keluar dari
mobil masing-masing dan berlari ke dalam, menuju ruang kesehatan.
Beberapa orang yang berkumpul di depan ruang kesehatan segera memberi jalan saat melihat Duo Daito datang. Alex juga terlihat berdiri di luar pintu. Menghalau pengganggu yang mencoba masuk dan mengusik nonanya.
Di dalam sudah berdiri Kuronuma, Rose dan Koji. Masumi mendengus kesal tapi berusaha menahan emosinya. Mayanya lebih penting. Dokter dan seorang perawat sedang memeriksa Maya. Dia sempat melempar senyum saat melihat Christ dan Masumi datang. Namun pandangannya beralih karena dokter menanyakan beberapa hal mengenai apa yang dirasakannya.
"Nona Kitajima tidak apa-apa. Hanya lebam di kaki dan pinggulnya. Tidak ada luka yang serius. Beruntung kepalanya tidak terbentur saat terjatuh. Istirahat dulu satu atau dua jam untuk menenangkan diri dan mengompres lebamnya, setelah itu boleh latihan lagi."
Dokter menjelaskan pada semuanya sebelum meninggalkan ruang kesehatan.
Semua terlihat lega. Christ dan Masumi masih belum bicara.
"Syukurlah kau tidak apa-apa," kata Koji yang langsung menghampiri Maya dan mengusap lengannya.
"Terima kasih Koji." Jawab Maya yang masih berbaring.
Mata Masumi langsung menyipit dan keningnya berkerut dalam. Maya langsung menatapnya penuh arti, aku-hanya-mencintaimu.
Christ menyeringai geli.
Kuronuma menangkap ketidak nyamanan suasana. Masumi-Maya-Koji, bukan kombinasi yang bagus untuk ditempatkan dalam satu ruangan.
"Koji! Kita harus segera kembali, yang lain pasti sudah menunggu," kata Kuronuma.
"Tapi Pak...Maya...,"
"Dia akan menyusul nanti. Kau juga harus latihan. Sudah ada yang menjaganya disini." Tandas Kuronuma, menampik perkataan Koji yang menjadikan Maya sebagai alasan untuk tidak kembali berlatih.
"Pergilah, aku tidak apa-apa." Kata Maya.
Dan Koji tahu Maya mengusirnya.
"Baiklah, kau istirahatlah dengan baik. Cepat kembali ya Akoya," kata Koji dan sekali lagi tangannya mengusap lembut lengan Maya.
Kali ini pupil mata Masumi melebar.
Matanya kemudian menatap tajam Koji saat pemeran Isshin itu melewatinya dan mengangguk padanya sebelum keluar ruangan bersama Kuronuma.
"Aku akan menunggumu diluar Nona Maya. Panggil saja aku kalau kau butuh sesuatu," Kata Rose.
Maya mengangguk, "Terima kasih Rose,"
Sekarang hanya tersisa tiga orang di dalam ruangan.
Beberapa orang yang berkumpul di depan ruang kesehatan segera memberi jalan saat melihat Duo Daito datang. Alex juga terlihat berdiri di luar pintu. Menghalau pengganggu yang mencoba masuk dan mengusik nonanya.
Di dalam sudah berdiri Kuronuma, Rose dan Koji. Masumi mendengus kesal tapi berusaha menahan emosinya. Mayanya lebih penting. Dokter dan seorang perawat sedang memeriksa Maya. Dia sempat melempar senyum saat melihat Christ dan Masumi datang. Namun pandangannya beralih karena dokter menanyakan beberapa hal mengenai apa yang dirasakannya.
"Nona Kitajima tidak apa-apa. Hanya lebam di kaki dan pinggulnya. Tidak ada luka yang serius. Beruntung kepalanya tidak terbentur saat terjatuh. Istirahat dulu satu atau dua jam untuk menenangkan diri dan mengompres lebamnya, setelah itu boleh latihan lagi."
Dokter menjelaskan pada semuanya sebelum meninggalkan ruang kesehatan.
Semua terlihat lega. Christ dan Masumi masih belum bicara.
"Syukurlah kau tidak apa-apa," kata Koji yang langsung menghampiri Maya dan mengusap lengannya.
"Terima kasih Koji." Jawab Maya yang masih berbaring.
Mata Masumi langsung menyipit dan keningnya berkerut dalam. Maya langsung menatapnya penuh arti, aku-hanya-mencintaimu.
Christ menyeringai geli.
Kuronuma menangkap ketidak nyamanan suasana. Masumi-Maya-Koji, bukan kombinasi yang bagus untuk ditempatkan dalam satu ruangan.
"Koji! Kita harus segera kembali, yang lain pasti sudah menunggu," kata Kuronuma.
"Tapi Pak...Maya...,"
"Dia akan menyusul nanti. Kau juga harus latihan. Sudah ada yang menjaganya disini." Tandas Kuronuma, menampik perkataan Koji yang menjadikan Maya sebagai alasan untuk tidak kembali berlatih.
"Pergilah, aku tidak apa-apa." Kata Maya.
Dan Koji tahu Maya mengusirnya.
"Baiklah, kau istirahatlah dengan baik. Cepat kembali ya Akoya," kata Koji dan sekali lagi tangannya mengusap lembut lengan Maya.
Kali ini pupil mata Masumi melebar.
Matanya kemudian menatap tajam Koji saat pemeran Isshin itu melewatinya dan mengangguk padanya sebelum keluar ruangan bersama Kuronuma.
"Aku akan menunggumu diluar Nona Maya. Panggil saja aku kalau kau butuh sesuatu," Kata Rose.
Maya mengangguk, "Terima kasih Rose,"
Sekarang hanya tersisa tiga orang di dalam ruangan.
Christ-Maya-Masumi, bukan kombinasi yang bagus juga menurut Maya,
kecuali jika Masumi sudah tahu kebenaranya. Melihat keduanya datang berdua Maya
sangat berharap semuanya akan selesai dengan damai.
Maya mencoba bangun, meringis sambil mengusap pinggul kanannya.
"Hati-hati!" Kata Christ dan Masumi bersamaan. Keduanya pun saling bertukar pandang.
Maya mencoba bangun, meringis sambil mengusap pinggul kanannya.
"Hati-hati!" Kata Christ dan Masumi bersamaan. Keduanya pun saling bertukar pandang.
Masumi bersyukur dia sudah mengakui perasaanya
tadi, sehingga sekarang dia tidak perlu menahan diri. Berjalan menghampiri
Maya, diapun memeluk Maya dan mengusap lembut kepalanya. Lupa kalau tadi pagi
dia masih marah. Maya heran.
"Aku khawatir sekali tadi. Syukurlah kau baik-baik saja," Masumi memamerkan perhatiannya.
Christ juga berjalan ke sisi lain tempat tidur Maya dan duduk santai di tepinya. Menarik lengan adiknya sehingga terlepas dari dekapan Masumi.
"Aku khawatir sekali tadi. Syukurlah kau baik-baik saja," Masumi memamerkan perhatiannya.
Christ juga berjalan ke sisi lain tempat tidur Maya dan duduk santai di tepinya. Menarik lengan adiknya sehingga terlepas dari dekapan Masumi.
"Jangan dekat-dekat," kata Christ.
Masumi melotot. Maya menatap keduanya bergantian.
"Kau...," Maya menatap penuh tanya pada Masumi.
Masumi mengangguk, mengerti arti tatapan mata itu, "Dia sudah tahu hubungan kita,"
Maya tersenyum lega Masumi mau mengakui hubungan mereka, ya meski hanya pada kakaknya. Setidaknya dia tidak perlu bersandiwara sekarang.
"Dan...," Maya beralih memandang kakaknya.
Christ menyeringai lalu menggeleng, "Aku belum mengatakannya."
Kedua alis Maya bertaut.
"Bagaimana kau bisa jatuh?" Tanya Christ mengabaikan keheranan adiknya.
"Oh, itu...tadi saat adegan di atas balok, hhhmm, aku sedikit melamun dan...terpeleset," Maya setengah berbisik di akhir kalimatnya. Kakaknya pasti marah.
Masumi juga menautkan dua alisnya saat kemudian Christ menatapnya marah.
"Kau melamun gara-gara dia kan?" Tebak Christ.
Maya hanya meringis dan Christ mendesah kesal.
"Bodoh!" Gerutunya.
"Kau...," Maya menatap penuh tanya pada Masumi.
Masumi mengangguk, mengerti arti tatapan mata itu, "Dia sudah tahu hubungan kita,"
Maya tersenyum lega Masumi mau mengakui hubungan mereka, ya meski hanya pada kakaknya. Setidaknya dia tidak perlu bersandiwara sekarang.
"Dan...," Maya beralih memandang kakaknya.
Christ menyeringai lalu menggeleng, "Aku belum mengatakannya."
Kedua alis Maya bertaut.
"Bagaimana kau bisa jatuh?" Tanya Christ mengabaikan keheranan adiknya.
"Oh, itu...tadi saat adegan di atas balok, hhhmm, aku sedikit melamun dan...terpeleset," Maya setengah berbisik di akhir kalimatnya. Kakaknya pasti marah.
Masumi juga menautkan dua alisnya saat kemudian Christ menatapnya marah.
"Kau melamun gara-gara dia kan?" Tebak Christ.
Maya hanya meringis dan Christ mendesah kesal.
"Bodoh!" Gerutunya.
"Apa maksudmu bodoh?" Masumi melotot
lagi padanya.
"Apa?! Gara-gara kau Maya jatuh," tandas Christ pada Masumi.
Diapun mengalihkan perhatiannya pada adiknya, "Sini, aku kompres lebamnya," Dia meraih kompres es di nakas sebelahnya.
Mencekal pergelangan tangan Christ sebelum meletakkan kompres itu di kaki Maya, Masumi mendesis marah, "Aku saja!"
"Kau...,"
"Hei, sudah hentikan." Lerai Maya sebelum kakaknya memaki Masumi.
Keduanya beralih memandang Maya dengan tangan yang masih terkait.
"Ku mohon," Maya menangkupkan kedua tangannya, memohon agar keduanya tidak bertengkar.
Christ menarik tangannya dari cengkraman Masumi dan memempelkan kompres pada kaki Maya yang mulai memperlihatkan bulatan biru disekitar lutut kananya.
"Aww," pekik Maya saat Christ menekan kompres itu.
"Oke, itu menjelaskan keadaanmu," kata Christ, dia sengaja menekannya. Maya tidak akan bilang kalau dia merasa sakit.
Maya hanya meringis melihat kakaknya. Matanya beralih pada Masumi.
"Jadi, kau sudah tidak marah?" Tanya Maya senang. Tangannya mengusap lengan kekar Masumi, merayunya.
"Marah?" Masumi berkerut, melirik pada Christ yang ternyata juga melirik padanya.
"Kau mendiamkanku semalam," Maya setengah cemberut.
Masumi tersenyum, pertama kali sejak...kemarin? Rasanya lama sekali tidak melihat senyumannya, Maya senang melihat ekspresi kekasihnya itu.
"Maaf," gumam Masumi lembut, meraih bahu Maya dan merapatkan tubuh Maya ke dadanya. "Maaf, aku tidak marah padamu sayang," katanya lagi.
Dia benar-benar mengabaikan keberadaan Christ. Tidak peduli lagi apa hubungan Christ dan Maya, dia hanya mau menunjukkan bahwa Maya miliknya. Hanya MILIKNYA!
"Syukurlah kau tidak marah, aku tidak bisa tidur semalam karena terus memikirkannya,"
Aku Maya.
Masumi terkesiap, menyesali perbuatan bodohnya. Dia pun melepas dekapannya, menangkupkan kedua tangannya pada wajah Maya, menatap sepasang mata bulat yang masih terlihat merah.
Menghela napas panjang, diapun kembali mendekap Maya,
"Apa?! Gara-gara kau Maya jatuh," tandas Christ pada Masumi.
Diapun mengalihkan perhatiannya pada adiknya, "Sini, aku kompres lebamnya," Dia meraih kompres es di nakas sebelahnya.
Mencekal pergelangan tangan Christ sebelum meletakkan kompres itu di kaki Maya, Masumi mendesis marah, "Aku saja!"
"Kau...,"
"Hei, sudah hentikan." Lerai Maya sebelum kakaknya memaki Masumi.
Keduanya beralih memandang Maya dengan tangan yang masih terkait.
"Ku mohon," Maya menangkupkan kedua tangannya, memohon agar keduanya tidak bertengkar.
Christ menarik tangannya dari cengkraman Masumi dan memempelkan kompres pada kaki Maya yang mulai memperlihatkan bulatan biru disekitar lutut kananya.
"Aww," pekik Maya saat Christ menekan kompres itu.
"Oke, itu menjelaskan keadaanmu," kata Christ, dia sengaja menekannya. Maya tidak akan bilang kalau dia merasa sakit.
Maya hanya meringis melihat kakaknya. Matanya beralih pada Masumi.
"Jadi, kau sudah tidak marah?" Tanya Maya senang. Tangannya mengusap lengan kekar Masumi, merayunya.
"Marah?" Masumi berkerut, melirik pada Christ yang ternyata juga melirik padanya.
"Kau mendiamkanku semalam," Maya setengah cemberut.
Masumi tersenyum, pertama kali sejak...kemarin? Rasanya lama sekali tidak melihat senyumannya, Maya senang melihat ekspresi kekasihnya itu.
"Maaf," gumam Masumi lembut, meraih bahu Maya dan merapatkan tubuh Maya ke dadanya. "Maaf, aku tidak marah padamu sayang," katanya lagi.
Dia benar-benar mengabaikan keberadaan Christ. Tidak peduli lagi apa hubungan Christ dan Maya, dia hanya mau menunjukkan bahwa Maya miliknya. Hanya MILIKNYA!
"Syukurlah kau tidak marah, aku tidak bisa tidur semalam karena terus memikirkannya,"
Aku Maya.
Masumi terkesiap, menyesali perbuatan bodohnya. Dia pun melepas dekapannya, menangkupkan kedua tangannya pada wajah Maya, menatap sepasang mata bulat yang masih terlihat merah.
Menghela napas panjang, diapun kembali mendekap Maya,
"Maafkan aku," gumamnya lagi.
Maya mengangguk didada Masumi, "Yang penting kau sudah tidak marah,"
Masumi tersenyum, "Sudah kubilang, aku tidak marah padamu. Hanya belum bisa bicara," Masumi menjelaskan arti diamnya semalam.
"Masumi! aku tahu kau kekasihnya tapi jangan bermesraan dihadapanku!" Bentak Christ marah.
Maya terkikik dan mendorong tubuh Masumi menjauh darinya.
"Maaf," kata Maya.
Masumi berkerut saat Maya justru meminta maaf.
"Apa urusanmu?!" Dengus Masumi kesal.
"Sstt, Masumi tenanglah! Kau juga, kak, tenanglah!" Lerai Maya lagi.
"Maya, kau kan tidak harus menuruti...nya...eh?!...kak?!" Masumi memandang Maya dan Christ bergantian setelah menyadari perkataan Maya, tepatnya panggilan Maya pada Christ.
"Maya Anderson, putri angkat keluarga Anderson, adikku,"
Masumi ternganga.
"Ceritanya panjang, nanti ku ceritakan semuanya padamu. Ya tentu saja kalau kau tidak marah dan mau mendengarku," kata Maya.
"Jadi...kalian berdua...fo...,"
"Masumi!" Potong Christ cepat seraya menggelengkan kepalanya saat Masumi hendak menyebut masalah foto yang diterimanya.
Masumi terkesiap, tapi dia mengerti. Maya tidak perlu tahu masalah itu.
"Jadi selama ini? Kalian?"
"Aku akan menjelaskannya nanti."
"Jangan bicarakan hal itu disini." Christ menegaskan.
Maya mengangguk pada Christ lalu mengedipkan sebelah mata padanya. Christ melotot.
"Ku mohon. Aku sulit mencari waktu bersamanya. Sebentar saja," pinta Maya.
Masumi memandang bingung kakak adik itu.
"Ada apa?" Tanyanya.
Mendengus kesal, Christ menatap tajam Masumi.
"Jangan macam-macam dengan adikku, ingat itu!" Ancam Christ sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu.
"Kau menyuruhnya pergi?" Masumi tersenyum senang dengan apa yang dilakukan Maya.
"Kau lebih suka Christ disini? Melihatmu memelukku?" Ejek Maya.
Masumi tertawa lepas, semua kekhawatirannya sudah menguap sekarang. Diapun berjalan ke pintu lalu menguncinya.
"Lho?! Kenapa dikunci," Maya terheran.
"Aku harus memeriksamu, memastikan aktris kelas satu Daito baik-baik saja," Masumi berbalik dan mata gelapnya menatap Maya dengan provokatif. Menggodanya.
Maya tergelak, tahu arti tatapan mata itu.
"Oh, Pak Masumi. Maaf merepotkanmu,"
***
Maya mengangguk didada Masumi, "Yang penting kau sudah tidak marah,"
Masumi tersenyum, "Sudah kubilang, aku tidak marah padamu. Hanya belum bisa bicara," Masumi menjelaskan arti diamnya semalam.
"Masumi! aku tahu kau kekasihnya tapi jangan bermesraan dihadapanku!" Bentak Christ marah.
Maya terkikik dan mendorong tubuh Masumi menjauh darinya.
"Maaf," kata Maya.
Masumi berkerut saat Maya justru meminta maaf.
"Apa urusanmu?!" Dengus Masumi kesal.
"Sstt, Masumi tenanglah! Kau juga, kak, tenanglah!" Lerai Maya lagi.
"Maya, kau kan tidak harus menuruti...nya...eh?!...kak?!" Masumi memandang Maya dan Christ bergantian setelah menyadari perkataan Maya, tepatnya panggilan Maya pada Christ.
"Maya Anderson, putri angkat keluarga Anderson, adikku,"
Masumi ternganga.
"Ceritanya panjang, nanti ku ceritakan semuanya padamu. Ya tentu saja kalau kau tidak marah dan mau mendengarku," kata Maya.
"Jadi...kalian berdua...fo...,"
"Masumi!" Potong Christ cepat seraya menggelengkan kepalanya saat Masumi hendak menyebut masalah foto yang diterimanya.
Masumi terkesiap, tapi dia mengerti. Maya tidak perlu tahu masalah itu.
"Jadi selama ini? Kalian?"
"Aku akan menjelaskannya nanti."
"Jangan bicarakan hal itu disini." Christ menegaskan.
Maya mengangguk pada Christ lalu mengedipkan sebelah mata padanya. Christ melotot.
"Ku mohon. Aku sulit mencari waktu bersamanya. Sebentar saja," pinta Maya.
Masumi memandang bingung kakak adik itu.
"Ada apa?" Tanyanya.
Mendengus kesal, Christ menatap tajam Masumi.
"Jangan macam-macam dengan adikku, ingat itu!" Ancam Christ sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu.
"Kau menyuruhnya pergi?" Masumi tersenyum senang dengan apa yang dilakukan Maya.
"Kau lebih suka Christ disini? Melihatmu memelukku?" Ejek Maya.
Masumi tertawa lepas, semua kekhawatirannya sudah menguap sekarang. Diapun berjalan ke pintu lalu menguncinya.
"Lho?! Kenapa dikunci," Maya terheran.
"Aku harus memeriksamu, memastikan aktris kelas satu Daito baik-baik saja," Masumi berbalik dan mata gelapnya menatap Maya dengan provokatif. Menggodanya.
Maya tergelak, tahu arti tatapan mata itu.
"Oh, Pak Masumi. Maaf merepotkanmu,"
***
"Terima kasih," hanya itu
kalimat yang terucap dari bibir Masumi saat Christ menjelaskan semuanya.
Keduanya sudah kembali ke kantor, bicara di ruang kerja Christ.
"Semua adalah rencana Maya, aku hanya menjalankannya saja." Christ yang berdiri bersandar pada meja kerjanya menatap Masumi yang duduk di kursi sebelahnya.
Masumi menghela napas panjang. Dadanya sempat sesak saat mendengar cerita Christ. Dia tidak menyangka sama sekali kalau Maya, kekasihnya, gadis yang dianggap bodoh dan ceroboh, mampu merencanakan semua ini.
Dia juga terkejut kalau ternyata Maya-lah yang membuat pernikahannya batal dengan Shiori dengan menekan ayahnya. Dan sekarang dia tahu kalau ayahnya sudah lama mengetahui hubungannya dengan Maya. Namun demi hak pementasan Bidadari Merah, Eisuke menahan diri.
Kemarahan berkilat dimatanya saat mendengar apa yang dilakukan Satomi pada Maya, meski semuanya berakhir damai tapi Masumi ingin sekali meninju pria yang berani menyentuh kekasihnya itu.
Fakta lain yang mengejutkannya yaitu tentang Shiori yang mencoba membunuh Maya. Dia tidak berpikir Shiori memiliki dendam sebesar itu pada Maya. Meski diakuinya saat Shiori depresi dulu, wanita itu pernah mengadakan upacara pemakaman untuk Maya.
"Jadi mengenai foto itu, aku pikir kita sudah mendapatkan tersangkanya," kata Masumi.
"Ya, antara ayahmu dan Shiori. Keduanya sama-sama memiliki motif." Tambah Christ.
Masumi merenung sejenak, "Darimana Shiori tahu kalau Maya adalah adikmu?"
Christ terkekeh, "Aku tidak sengaja mengatakannya pada anak buah Shiori saat menyelamatkan Maya,"
Kembali merenung, keningnya berkerut, Masumi menyandarkan siku kirinya di lengan kursi, jari-jari tangannya menyapu keningnya.
"Shiori tahu kalau Maya adalah adikmu jadi kupikir foto itu bukan dari Shiori. Jika dia berencana menjauhkanku dari Maya, fakta bahwa kau adalah kakak angkatnya tidak akan berpengaruh padaku,"
Christ melipat kedua tangannya didada, masih bersandar di meja, dia mengangguk membenarkan penuturan Masumi.
"Semua adalah rencana Maya, aku hanya menjalankannya saja." Christ yang berdiri bersandar pada meja kerjanya menatap Masumi yang duduk di kursi sebelahnya.
Masumi menghela napas panjang. Dadanya sempat sesak saat mendengar cerita Christ. Dia tidak menyangka sama sekali kalau Maya, kekasihnya, gadis yang dianggap bodoh dan ceroboh, mampu merencanakan semua ini.
Dia juga terkejut kalau ternyata Maya-lah yang membuat pernikahannya batal dengan Shiori dengan menekan ayahnya. Dan sekarang dia tahu kalau ayahnya sudah lama mengetahui hubungannya dengan Maya. Namun demi hak pementasan Bidadari Merah, Eisuke menahan diri.
Kemarahan berkilat dimatanya saat mendengar apa yang dilakukan Satomi pada Maya, meski semuanya berakhir damai tapi Masumi ingin sekali meninju pria yang berani menyentuh kekasihnya itu.
Fakta lain yang mengejutkannya yaitu tentang Shiori yang mencoba membunuh Maya. Dia tidak berpikir Shiori memiliki dendam sebesar itu pada Maya. Meski diakuinya saat Shiori depresi dulu, wanita itu pernah mengadakan upacara pemakaman untuk Maya.
"Jadi mengenai foto itu, aku pikir kita sudah mendapatkan tersangkanya," kata Masumi.
"Ya, antara ayahmu dan Shiori. Keduanya sama-sama memiliki motif." Tambah Christ.
Masumi merenung sejenak, "Darimana Shiori tahu kalau Maya adalah adikmu?"
Christ terkekeh, "Aku tidak sengaja mengatakannya pada anak buah Shiori saat menyelamatkan Maya,"
Kembali merenung, keningnya berkerut, Masumi menyandarkan siku kirinya di lengan kursi, jari-jari tangannya menyapu keningnya.
"Shiori tahu kalau Maya adalah adikmu jadi kupikir foto itu bukan dari Shiori. Jika dia berencana menjauhkanku dari Maya, fakta bahwa kau adalah kakak angkatnya tidak akan berpengaruh padaku,"
Christ melipat kedua tangannya didada, masih bersandar di meja, dia mengangguk membenarkan penuturan Masumi.
"Jadi,
menurutmu foto itu dari ayahmu?" Christ menarik kesimpulan atas pernyataan
Masumi.
Masumi mengangguk. "Kemungkinan besar iya,"
"Apa untungnya bagi ayahmu? Bukankah dia mau Maya menyerahkan hak pementasan itu padamu?"
Masumi menyeringai, "Aku menduga ini semacam rencana cadangan baginya."
"Rencana cadangan?"
"Aku sangat mengenalnya Christ, sangat.sangat.mengenalnya. Tadi pagi dia menanyakan padaku soal rencanaku untuk merebut hak pementasan. Dia pasti menilai reaksiku. Dia ingin memastikan apa aku sanggup merebut hak itu dari Maya. Dia tahu aku mencintai Maya. Dia berharap foto itu bisa merubah perasaanku pada Maya,"
Christ terbahak, "Jadi ayahmu berencana merubah cinta menjadi benci?"
Masumi mengangguk, "Dia pasti ingin membuatku membenci Maya hingga bisa menghancurkannya dan merebut hak pementasan darinya. Lalu membuatku membalas dendam padamu karena merebut kekasihku dan mengeluarkanmu dari Daito. Dengan begitu dia mendapat semua yang diinginkannya. Hak pementasan dan kepemilikan Daito,"
Christ membalas seringai Masumi, "Analisa yang luar biasa Masumi. Kau yakin?"
"Tidak seratus persen tapi kalau memang ayahku yang mengirim foto itu maka aku yakin itu adalah tujuannya,"
"Tapi bukankah dia ayahmu?"
Masumi tertawa, menyembunyikan kegetiran di hatinya, "Ayah? Itu hanya ada di lembaran surat keluarga Christ. Dia adalah jendral tertinggi. Tujuannya membesarkanku hanya agar aku bisa meneruskan ambisinya, mengembangkan Daito dan merebut hak pementasan Bidadari Merah."
"Dan sayangnya, pangeran Daito justru jatuh cinta pada Bidadari Merah,"
"Kami berdua sama Christ. Dia juga mencintai Bidadari Merah. Sayangnya Bu Mayuko tidak mencintainya. Itulah yang menjadikannya begitu ingin merebut hak pementasan bahkan sampai...," Masumi merasakan ganjalan besar ditenggorokannya.
"Menyebabkan Ichiren Ozaki bunuh diri dan menghancurkan Bu Mayuko," Christ melanjutkan perkataan Masumi.
"Ya,"
Masumi mengangguk. "Kemungkinan besar iya,"
"Apa untungnya bagi ayahmu? Bukankah dia mau Maya menyerahkan hak pementasan itu padamu?"
Masumi menyeringai, "Aku menduga ini semacam rencana cadangan baginya."
"Rencana cadangan?"
"Aku sangat mengenalnya Christ, sangat.sangat.mengenalnya. Tadi pagi dia menanyakan padaku soal rencanaku untuk merebut hak pementasan. Dia pasti menilai reaksiku. Dia ingin memastikan apa aku sanggup merebut hak itu dari Maya. Dia tahu aku mencintai Maya. Dia berharap foto itu bisa merubah perasaanku pada Maya,"
Christ terbahak, "Jadi ayahmu berencana merubah cinta menjadi benci?"
Masumi mengangguk, "Dia pasti ingin membuatku membenci Maya hingga bisa menghancurkannya dan merebut hak pementasan darinya. Lalu membuatku membalas dendam padamu karena merebut kekasihku dan mengeluarkanmu dari Daito. Dengan begitu dia mendapat semua yang diinginkannya. Hak pementasan dan kepemilikan Daito,"
Christ membalas seringai Masumi, "Analisa yang luar biasa Masumi. Kau yakin?"
"Tidak seratus persen tapi kalau memang ayahku yang mengirim foto itu maka aku yakin itu adalah tujuannya,"
"Tapi bukankah dia ayahmu?"
Masumi tertawa, menyembunyikan kegetiran di hatinya, "Ayah? Itu hanya ada di lembaran surat keluarga Christ. Dia adalah jendral tertinggi. Tujuannya membesarkanku hanya agar aku bisa meneruskan ambisinya, mengembangkan Daito dan merebut hak pementasan Bidadari Merah."
"Dan sayangnya, pangeran Daito justru jatuh cinta pada Bidadari Merah,"
"Kami berdua sama Christ. Dia juga mencintai Bidadari Merah. Sayangnya Bu Mayuko tidak mencintainya. Itulah yang menjadikannya begitu ingin merebut hak pementasan bahkan sampai...," Masumi merasakan ganjalan besar ditenggorokannya.
"Menyebabkan Ichiren Ozaki bunuh diri dan menghancurkan Bu Mayuko," Christ melanjutkan perkataan Masumi.
"Ya,"
Bayangan bahwa dirinyalah yang
menyebabkan ibu Maya meninggal kembali terbesit. Demi Bidadari Merah, dia dulu
rela melakukan segalanya. Mungkin dirinya juga tidak jauh beda dengan ayahnya,
bukankah dengan tangannya juga dia menghancurkan teater Tsukikage dan itu
hampir saja menghancurkan Maya.
Kalau saja...ya kalau saja hari itu dia tidak
bertemu Maya, tidak mengaggumi Maya dan tidak menjadi mawar ungu. Pasti, dia
dapat memastikan bahwa dirinya pasti akan menjalani kehidupan yang sama dengan
ayahnya.
Tidak lelah hatinya bersyukur setiap hari bahwa sang pencipta mempertemukannya dengan Maya. Gadis yang akhirnya mengubah hidupnya. Memberikan makna kehidupan yang sesungguhnya. Dan kali ini dia bertekad untuk memperjuangkannya. Memperjuangkan Maya, memperjuangkan cintanya, memperjuangkan hidupnya...tidak! Hidup mereka.
"Lalu apa rencanamu sekarang?" Pertanyaan Christ menarik Masumi dari lamunannya.
"Aku perlu waktu untuk memikirkannya,"
Tidak lelah hatinya bersyukur setiap hari bahwa sang pencipta mempertemukannya dengan Maya. Gadis yang akhirnya mengubah hidupnya. Memberikan makna kehidupan yang sesungguhnya. Dan kali ini dia bertekad untuk memperjuangkannya. Memperjuangkan Maya, memperjuangkan cintanya, memperjuangkan hidupnya...tidak! Hidup mereka.
"Lalu apa rencanamu sekarang?" Pertanyaan Christ menarik Masumi dari lamunannya.
"Aku perlu waktu untuk memikirkannya,"
Masumi mendongakkan kepalanya, menatap Christ,
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
Christ mengendikkan bahunya.
"Soal saham Daito," kata Masumi singkat.
Christ tertawa, "Apa? Sepertinya kau sudah membaca rencanaku? Benar kata Maya, terlalu berbahaya membiarkanmu tahu rencana kami,"
Masumi menghela napas, "Jadi Maya tidak tahu kau berencana mengalihkan saham Daito padanya?"
"Jangan membangunkan beruang yang sedang tidur Masumi,"
Masumi terbahak, Christ menyamakan adiknya dengan beruang.
"Kau pasti tahu betapa menakutkannya Maya saat sedang marah," kata Christ geli.
"Ya, aku sangat tahu hal itu,"
"Jadi kau jangan coba-coba mengatakan hal itu padanya. Tidak sebelum waktunya," Christ menggoyangkan telunjuknya, memperingatkan.
"Bagaimana dengan teater Tsukikage?" Tanya Masumi lagi.
"Wah, wah. Ternyata kau memang memata-mataiku ya?" Christ berdecak, pura-pura kagum. Baginya tidak heran orang seperti Masumi bisa menyelidiki semuanya dengan cepat.
"Melihatmu di rumah peristirahatan Bu Mayuko membuatku tertarik."
"Kecemburuan membawamu pada semua rencanaku ya,"
"Kebetulan aku punya anak buah yang sangat luar biasa," Masumi memuji Hijiri.
Christ terkikik, "Demi keamanan kita berdua, tolong rahasiakan kepemilikan tanah dan teater Tsukikage yang kubuat atas nama Maya. Dan juga....perkelahian kita tadi."
"Tentu."
"Maaf aku memukulmu tadi,"
Masumi terkekeh, "Ku pikir kita seri sekarang,"
Keduanya tersenyum bersamaan.
***
Christ mengendikkan bahunya.
"Soal saham Daito," kata Masumi singkat.
Christ tertawa, "Apa? Sepertinya kau sudah membaca rencanaku? Benar kata Maya, terlalu berbahaya membiarkanmu tahu rencana kami,"
Masumi menghela napas, "Jadi Maya tidak tahu kau berencana mengalihkan saham Daito padanya?"
"Jangan membangunkan beruang yang sedang tidur Masumi,"
Masumi terbahak, Christ menyamakan adiknya dengan beruang.
"Kau pasti tahu betapa menakutkannya Maya saat sedang marah," kata Christ geli.
"Ya, aku sangat tahu hal itu,"
"Jadi kau jangan coba-coba mengatakan hal itu padanya. Tidak sebelum waktunya," Christ menggoyangkan telunjuknya, memperingatkan.
"Bagaimana dengan teater Tsukikage?" Tanya Masumi lagi.
"Wah, wah. Ternyata kau memang memata-mataiku ya?" Christ berdecak, pura-pura kagum. Baginya tidak heran orang seperti Masumi bisa menyelidiki semuanya dengan cepat.
"Melihatmu di rumah peristirahatan Bu Mayuko membuatku tertarik."
"Kecemburuan membawamu pada semua rencanaku ya,"
"Kebetulan aku punya anak buah yang sangat luar biasa," Masumi memuji Hijiri.
Christ terkikik, "Demi keamanan kita berdua, tolong rahasiakan kepemilikan tanah dan teater Tsukikage yang kubuat atas nama Maya. Dan juga....perkelahian kita tadi."
"Tentu."
"Maaf aku memukulmu tadi,"
Masumi terkekeh, "Ku pikir kita seri sekarang,"
Keduanya tersenyum bersamaan.
***
"Aku menagih janjimu,"
"Pementasannya masih dua belas hari lagi. Setelah pementasan perdana sukses, saya akan memberikannya."
"Kau tidak berencana mempermainkanku kan?"
Maya terkekeh, mengejek, "Apa sekarang anda takut menghadapi anak ingusan Tuan Hayami?"
"Jangan memancing kemarahanku. Kau tahu aku bisa gunakan cara kasar untuk merebutnya darimu!"
"Rupanya anda belum belajar juga. Anda belum juga mengerti maksud dari semua ini?"
"Apa maksudmu?"
"Anda tidak berpikir saya memiliki tujuan lain dalam hal ini Tuan Hayami?"
Eisuke tertawa, "Aku tahu kau bukan lagi Maya yang lugu dan polos. Tidak heran kalau kau memiliki banyak rencana untuk meraih popularitas,"
"Popularitas? Hanya itukah yang terpikir oleh anda? Berpikirlah Tuan Hayami, sekali ini saja, renungkan semua yang saya lakukan dengan hati anda yang tidak pernah anda gunakan itu."
"Lancang kau!!"
"Tidak Tuan Hayami, ini bukan kelancangan."
"Aku akan buat Masumi mencampakkanmu jika kau berani mempermainkanku!"
"Saya sudah kembali lebih cepat dari yang sudah direncanakan. Sekarang kita sudah bicara. Apa anda masih menganggap saya main-main?"
"Tapi kau tidak juga mengalihkan hak itu?!"
"Sabar Tuan Hayami. Setelah pementasan perdana sukses, saya janji. Ini semacam jaminan bagi saya,"
Eisuke terbahak, "Ternyata kau memang pintar,"
"Tentu, jika hak itu dialihkan sekarang maka tidak akan ada pementasan perdana. Maya Kitajima akan tamat dan anda pasti akan membuat Ayumi menjadi Bidadari Merah."
"Analisa yang hebat, andai kau bukan Bidadari Merah, mungkin aku akan setuju kau menikah dengan Masumi,"
Maya mengepalkan tangannya, "Kenapa begitu? Anda iri pada putra anda Tuan Hayami?"
"Tutup mulutmu!"
"Jadi begitu ya, anda ingin putra anda merasakan apa yang anda rasakan? Hidup dalam kubangan kebencian pada Bidadari Merah? Tidak ada kebahagian dan harapan? Hanya ambisi untuk balas dendam dan menghancurkan? Anda tidak lelah Tuan Hayami?"
"Kau...?!"
"Tolong renungkan apa yang saya katakan. Selamat malam."
Klek!
Maya meletakkan telepon kembali pada tempatnya. Tangannya gemetar, wajahnya pucat. Berakting di depan Eisuke selalu membuat adrenalinnya terpacu. Bahkan kakinya pun mati rasa. Maya berbaring di sofa panjang, memejamkan mata dan menenangkan dirinya.
"Kau baik-baik saja?"
Maya terkesiap saat seseorang menyentuh kepalanya. Maya langsung bangun, matanya melebar karena terkejut.
"Ada apa?" Wajah penuh kecemasan menyambutnya.
Maya menghela napas lega lalu menjatuhkan dirinya pada pria tampan yang berlutut didepannya.
"Hei!" Keduanya terjerembab di karpet.
"Aku merindukanmu," bisik Maya dan entah dia mendapat keberanian dari mana, Maya langsung mencium kekasihnya. Tidak membiarkannya berpikir apalagi bertanya.
"Ada apa? Kau kenapa?" Tanya Masumi saat Maya melepaskan bibirnya.
"Aku merindukanmu," jawabnya lagi, dia merebahkan dirinya di atas Masumi. Kening dengan kening, hidung dengan hidung.
Masumi merasa ada yang salah. Belum pernah Maya seagresif ini padanya. Ya, kecuali saat di kantor tempo hari, saat Maya menggodanya, itupun karena dirinya yang mulai. Tapi dia tahu ini berbeda.
"Katakan padaku ada apa?" Nada penuh kecemasan dari Masumi membuat Maya mengurai senyumnya.
"Aku tidak apa-apa," Maya merentangkan kedua tangannya di kedua sisi wajah Masumi. Memandang wajah tampan Masumi di bawahnya. Rambut panjangnya tergerai berantakan.
Masumi berusaha tersenyum, menangkupkan kedua tangannya di wajah cantik yang merona di atasnya.
"Aku khawatir. Aku menekan bel berkali-kali tapi kau tidak juga keluar. Pintu tidak dikunci padahal kau sendiri disini. Aku jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan saat aku masuk, aku lihat kau gemetar di sofa. Lalu...reaksimu..." Masumi menggali ke dalam mata kekasihnya.
"Pementasannya masih dua belas hari lagi. Setelah pementasan perdana sukses, saya akan memberikannya."
"Kau tidak berencana mempermainkanku kan?"
Maya terkekeh, mengejek, "Apa sekarang anda takut menghadapi anak ingusan Tuan Hayami?"
"Jangan memancing kemarahanku. Kau tahu aku bisa gunakan cara kasar untuk merebutnya darimu!"
"Rupanya anda belum belajar juga. Anda belum juga mengerti maksud dari semua ini?"
"Apa maksudmu?"
"Anda tidak berpikir saya memiliki tujuan lain dalam hal ini Tuan Hayami?"
Eisuke tertawa, "Aku tahu kau bukan lagi Maya yang lugu dan polos. Tidak heran kalau kau memiliki banyak rencana untuk meraih popularitas,"
"Popularitas? Hanya itukah yang terpikir oleh anda? Berpikirlah Tuan Hayami, sekali ini saja, renungkan semua yang saya lakukan dengan hati anda yang tidak pernah anda gunakan itu."
"Lancang kau!!"
"Tidak Tuan Hayami, ini bukan kelancangan."
"Aku akan buat Masumi mencampakkanmu jika kau berani mempermainkanku!"
"Saya sudah kembali lebih cepat dari yang sudah direncanakan. Sekarang kita sudah bicara. Apa anda masih menganggap saya main-main?"
"Tapi kau tidak juga mengalihkan hak itu?!"
"Sabar Tuan Hayami. Setelah pementasan perdana sukses, saya janji. Ini semacam jaminan bagi saya,"
Eisuke terbahak, "Ternyata kau memang pintar,"
"Tentu, jika hak itu dialihkan sekarang maka tidak akan ada pementasan perdana. Maya Kitajima akan tamat dan anda pasti akan membuat Ayumi menjadi Bidadari Merah."
"Analisa yang hebat, andai kau bukan Bidadari Merah, mungkin aku akan setuju kau menikah dengan Masumi,"
Maya mengepalkan tangannya, "Kenapa begitu? Anda iri pada putra anda Tuan Hayami?"
"Tutup mulutmu!"
"Jadi begitu ya, anda ingin putra anda merasakan apa yang anda rasakan? Hidup dalam kubangan kebencian pada Bidadari Merah? Tidak ada kebahagian dan harapan? Hanya ambisi untuk balas dendam dan menghancurkan? Anda tidak lelah Tuan Hayami?"
"Kau...?!"
"Tolong renungkan apa yang saya katakan. Selamat malam."
Klek!
Maya meletakkan telepon kembali pada tempatnya. Tangannya gemetar, wajahnya pucat. Berakting di depan Eisuke selalu membuat adrenalinnya terpacu. Bahkan kakinya pun mati rasa. Maya berbaring di sofa panjang, memejamkan mata dan menenangkan dirinya.
"Kau baik-baik saja?"
Maya terkesiap saat seseorang menyentuh kepalanya. Maya langsung bangun, matanya melebar karena terkejut.
"Ada apa?" Wajah penuh kecemasan menyambutnya.
Maya menghela napas lega lalu menjatuhkan dirinya pada pria tampan yang berlutut didepannya.
"Hei!" Keduanya terjerembab di karpet.
"Aku merindukanmu," bisik Maya dan entah dia mendapat keberanian dari mana, Maya langsung mencium kekasihnya. Tidak membiarkannya berpikir apalagi bertanya.
"Ada apa? Kau kenapa?" Tanya Masumi saat Maya melepaskan bibirnya.
"Aku merindukanmu," jawabnya lagi, dia merebahkan dirinya di atas Masumi. Kening dengan kening, hidung dengan hidung.
Masumi merasa ada yang salah. Belum pernah Maya seagresif ini padanya. Ya, kecuali saat di kantor tempo hari, saat Maya menggodanya, itupun karena dirinya yang mulai. Tapi dia tahu ini berbeda.
"Katakan padaku ada apa?" Nada penuh kecemasan dari Masumi membuat Maya mengurai senyumnya.
"Aku tidak apa-apa," Maya merentangkan kedua tangannya di kedua sisi wajah Masumi. Memandang wajah tampan Masumi di bawahnya. Rambut panjangnya tergerai berantakan.
Masumi berusaha tersenyum, menangkupkan kedua tangannya di wajah cantik yang merona di atasnya.
"Aku khawatir. Aku menekan bel berkali-kali tapi kau tidak juga keluar. Pintu tidak dikunci padahal kau sendiri disini. Aku jadi berpikiran yang tidak-tidak. Dan saat aku masuk, aku lihat kau gemetar di sofa. Lalu...reaksimu..." Masumi menggali ke dalam mata kekasihnya.
"Ada
apa sayang? Sudah cukup kau menyembunyikan semuanya dariku selama inii,"
lanjut Masumi.
Maya hanya tersenyum mendengar penuturan Masumi. Dia tidak mau membahas masalah itu. Pembicaraannya dengan Eisuke. Maya tidak mau Masumi tahu. Dan dia tahu bagaimana cara mengalihkan perhatian Masumi.
Menekuk tangannya, kedua siku menyangga tubuhnya di kedua sisi wajah Masumi. Maya masih terbaring di atas tubuh kekar kekasihnya. Sekali lagi dia mendaratkan bibirnya di bibir Masumi. Melumatnya, mendesakkan lidahnya. Kedua tangannya menyelinap di rambut lebat Masumi, menariknya, mencengkeram kulit kepalanya saat masumi membalas ciumannya. Keduanya terbuai. Tersesat. Dunia serasa berhenti berputar. Mereka adalah pusat semesta.
Maya terus mendesak bibirnya, lidahnya, ingin melupakan ketakutannya tadi. Maya mengerang di dalam mulut Masumi saat merasakan sesuatu yang lain di bagian tubuh bawahnya yang berada di atas Masumi. Tanpa sadar dia menggoyangkan pinggulnya dan Masumi terkesiap. Membuka matanya lebar-lebar dan dengan cepat mendekap tubuh Maya lalu berguling ke samping. Membalikkan posisinya, menatap Maya dibawahnya, bersandar dengan siku kirinya.
"Tidak!" Katanya cepat dengan napas terengah. Matanya gelapnya mengedip beberapa kali, mengembalikan kesadarannya.
"Jangan," katanya lagi, kali ini napasnya lebih teratur. Tangan kanannya membelai lembut wajah Maya yang terlihat begitu cantik dibawahnya.
"Kau aneh hari ini," gumamnya lembut.
"Kau tidak suka?" Maya memiringkan wajahnya, menyandarkannya pada telapak tangan lebar di pipinya.
Masumi tersenyum, "Aku suka, tapi...aku tidak yakin bisa menahan diriku jika kau seperti ini,"
"Aku tidak keberatan,"
Masumi terbahak lalu menegakkan dirinya. "Kau menantangku lagi Maya." Katanya disela tawanya.
Dia duduk di samping Maya, tidak menatapnya. Masih tergelak sendiri saat otaknya membayangkan apa yang hampir terjadi. Maya hampir meruntuhkan pertahanan dirinya.
Maya bangun dan duduk bersimpuh di depannya. Masumi kembali menatap wajah cantik yang merona segar didepannya. Meraih kedua tangan Maya di atas lutut.
"Setelah pementasan. Oke?! Aku akan pergi ke New York, meminta ijin dari kedua orang tua angkatmu. Kita menikah dan aku akan memberikan apa yang kau inginkan,"
Maya terkikik.
Masumi menarik tangan Maya. Kekasihnya sekarang duduk bersandar dengan punggung di dada bidangnya.
"Kau yakin baik-baik saja?" Masumi mengusap buku-buku jari Maya.
"Iya, aku hanya lelah." Maya beralasan.
"Apa masih sakit?"
Maya mendongak, matanya menangkap wajah cemas Masumi.
"Seingatku, kau sudah memeriksaku dengan baik siang tadi," Maya berkelakar, mencoba mengurai gurat kecemasan di wajah Masumi.
Dan berhasil, Masumi tergelak saat teringat apa yang dilakukannya siang tadi bersama Maya di ruang kesehatan.
"Aku serius sayang," kata Masumi kemudian di ujung tawanya.
Maya menggeser tubuhnya sedikit lebih naik. Sehingga kali ini dia berbaring miring di bahu Masumi, menjadikan lengan kekar kekasihnya sebagai penyangga.
"Aku baik-baik saja. Memar bukan hal yang aneh bagi tubuhku,"
Wajah Masumi berubah muram, "Jangan bicara seperti itu, aku tidak suka melihatmu terluka." Kata Masumi.
Maya diam dan bersandar manja di bahu. Matanya memang sudah mengantuk. Tidak heran, sudah tengah malam, hampir dini hari.
"Kenapa kau datang malam-malam begini?" Tanya Maya ditengah kantuknya, matanya setengah terpejam.
"Memastikan kau baik-baik saja. Rose bilang Nona Aoki menginap di tempat Mina."
"Ada Rose dan Alex yang menjagaku. Jangan khawatir," kata Maya suaranya makin lirih.
"Iya, tidurlah,"
Perkataan Masumi bagai perintah. Maya terlelap. Masumi membawanya ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur.
Masumi duduk di tepi tempat tidur Maya, menatap lekat wajah tenang kekasihnya. Tidak pernah lelah dia memandang wajah cantik itu.
Rahang Masumi tiba-tiba mengetat, tangannya mengerat dan saling bertaut. Bukan tanpa alasan dia datang mengunjungi Maya tengah malam.
***
"Apalagi yang anda inginkan dari saya Tuan Anderson?" Mata Shiori memandang tidak senang pada lawan bicaranya.
"Tidakkah seharusnya kau bersikap lebih ramah padaku?" Christ melengkungkan alisnya.
"Setelah ancaman anda pada saya?" Sindir Shiori, teringat pertemuan terakhir mereka.
Christ tertawa datar, "Ancaman? Itu hanya peringatan Nona Takamiya,"
"Dan apa anda berniat memperingatkan saya sekali lagi? Dengan mengundang saya ke sini," Memincingkan matanya, Shiori jelas terpaksa memenuhi undangan Christ.
Christ menarik keras sudut bibirnya, "Hanya memastikan kau mangindahkan peringatanku,"
"Saya tidak akan mengganggu adik kesayangan anda itu," kata Shiori ketus.
"Itu sudah seharusnya Nona Takamiya. Sudah-seharusnya! Jangan pernah mencoba untuk mendekati apalagi menyakitinya."
Wajah Shiori mengeras, rasa marahnya membuatnya mengabaikan denyut sakit dikepalanya.
"Anda tahu saya tidak melakukannya. Jadi apa saya bisa pergi sekarang?"
Christ berdiri, sedikit membungkuk dan melambaikan tangannya di udara, "Terima kasih sudah datang. Silakan," katanya penuh ironi.
"Selamat malam, permisi," Shiori berlalu dengan membawa kekesalannya.
Christ kembali duduk di kursinya.
"Dia cukup pintar berakting kan?" Celetuknya.
"Tetap saja masih amatir," jawab Masumi, dia keluar dari balik tirai pembatas private room.
Christ tertawa, "Beruntung dia amatir Masumi. Kalau tidak dia tidak akan terpancing dan kita tidak akan tahu kalau dia terlibat,"
"Hijiri memastikan kalau memang ayahku yang mengirim foto itu. Dugaanku ternyata benar. Tapi ternyata bukan ayah yang mengambil foto itu. Pelayanku bilang menemukan amlop tanpa nama di kotak surat. Dan aku yakin wanita itu yang melakukannya,"
"Tenang saja, kita sudah memancingnya. Dia pasti akan segera menjalankan rencananya. Shiori akan membawa kita pada alatnya. Dia terbiasa menggunakan orang ketiga Masumi. Tidak mau mengotori tangannya sendiri. Sama seperti dia memperalat Mia yang tidak menyukai Maya dan sayangnya mungkin dia menggunakan ayahmu sebagai senjatanya. Wanita itu pintar Masumi,"
"Dia licik Christ,"
"Nyatanya kau pernah berkencan dengannya,"
Masumi berkerut, "Aku hanya menemaninya makan."
Christ terkikik, "Hanya adikku yang mampu membuatmu bergairah ya?" Tanyanya tanpa basa-basi.
Masumi terbahak, "Kau menghinaku ya,"
"Jadi kau belum pernah bercinta dengan wanita itu?" Christ benar-benar tidak mengenal batas saat bicara. Tapi kali ini Masumi tampak santai menanggapinya.
"Aku tidak pernah tertarik padanya," jawab Masumi ringan.
"Bagaimana dengan Maya? Apa kau pernah melakukannya dengan adikku?"
Masumi menggeleng, "Tenang saja, aku akan menjaganya,"
"Baguslah. Aku heran kau bisa menahan hal seperti itu," perkataan Christ terdengar seperti ejekan bagi Masumi.
"Aku hanya akan melakukannya dengan wanita yang ku cintai setelah kami menikah," Masumi beralasan.
Christ terbahak, "Menunggu tujuh tahun untuk seorang gadis kecil menjadi dewasa dan setelah mendapatkan cintanya kau menunggu pernikahan untuk memilikinya. Kau tahu? Kau terdengar seperti pendeta,"
Masumi hanya terbahak menanggapinya.
"Berhentilah mengejekku. Kita harus mulai sekarang," kata Masumi kemudian.
"Oke,"
Masumi mengambil handphonenya.
"Hijiri, sekarang!"
***
Maya hanya tersenyum mendengar penuturan Masumi. Dia tidak mau membahas masalah itu. Pembicaraannya dengan Eisuke. Maya tidak mau Masumi tahu. Dan dia tahu bagaimana cara mengalihkan perhatian Masumi.
Menekuk tangannya, kedua siku menyangga tubuhnya di kedua sisi wajah Masumi. Maya masih terbaring di atas tubuh kekar kekasihnya. Sekali lagi dia mendaratkan bibirnya di bibir Masumi. Melumatnya, mendesakkan lidahnya. Kedua tangannya menyelinap di rambut lebat Masumi, menariknya, mencengkeram kulit kepalanya saat masumi membalas ciumannya. Keduanya terbuai. Tersesat. Dunia serasa berhenti berputar. Mereka adalah pusat semesta.
Maya terus mendesak bibirnya, lidahnya, ingin melupakan ketakutannya tadi. Maya mengerang di dalam mulut Masumi saat merasakan sesuatu yang lain di bagian tubuh bawahnya yang berada di atas Masumi. Tanpa sadar dia menggoyangkan pinggulnya dan Masumi terkesiap. Membuka matanya lebar-lebar dan dengan cepat mendekap tubuh Maya lalu berguling ke samping. Membalikkan posisinya, menatap Maya dibawahnya, bersandar dengan siku kirinya.
"Tidak!" Katanya cepat dengan napas terengah. Matanya gelapnya mengedip beberapa kali, mengembalikan kesadarannya.
"Jangan," katanya lagi, kali ini napasnya lebih teratur. Tangan kanannya membelai lembut wajah Maya yang terlihat begitu cantik dibawahnya.
"Kau aneh hari ini," gumamnya lembut.
"Kau tidak suka?" Maya memiringkan wajahnya, menyandarkannya pada telapak tangan lebar di pipinya.
Masumi tersenyum, "Aku suka, tapi...aku tidak yakin bisa menahan diriku jika kau seperti ini,"
"Aku tidak keberatan,"
Masumi terbahak lalu menegakkan dirinya. "Kau menantangku lagi Maya." Katanya disela tawanya.
Dia duduk di samping Maya, tidak menatapnya. Masih tergelak sendiri saat otaknya membayangkan apa yang hampir terjadi. Maya hampir meruntuhkan pertahanan dirinya.
Maya bangun dan duduk bersimpuh di depannya. Masumi kembali menatap wajah cantik yang merona segar didepannya. Meraih kedua tangan Maya di atas lutut.
"Setelah pementasan. Oke?! Aku akan pergi ke New York, meminta ijin dari kedua orang tua angkatmu. Kita menikah dan aku akan memberikan apa yang kau inginkan,"
Maya terkikik.
Masumi menarik tangan Maya. Kekasihnya sekarang duduk bersandar dengan punggung di dada bidangnya.
"Kau yakin baik-baik saja?" Masumi mengusap buku-buku jari Maya.
"Iya, aku hanya lelah." Maya beralasan.
"Apa masih sakit?"
Maya mendongak, matanya menangkap wajah cemas Masumi.
"Seingatku, kau sudah memeriksaku dengan baik siang tadi," Maya berkelakar, mencoba mengurai gurat kecemasan di wajah Masumi.
Dan berhasil, Masumi tergelak saat teringat apa yang dilakukannya siang tadi bersama Maya di ruang kesehatan.
"Aku serius sayang," kata Masumi kemudian di ujung tawanya.
Maya menggeser tubuhnya sedikit lebih naik. Sehingga kali ini dia berbaring miring di bahu Masumi, menjadikan lengan kekar kekasihnya sebagai penyangga.
"Aku baik-baik saja. Memar bukan hal yang aneh bagi tubuhku,"
Wajah Masumi berubah muram, "Jangan bicara seperti itu, aku tidak suka melihatmu terluka." Kata Masumi.
Maya diam dan bersandar manja di bahu. Matanya memang sudah mengantuk. Tidak heran, sudah tengah malam, hampir dini hari.
"Kenapa kau datang malam-malam begini?" Tanya Maya ditengah kantuknya, matanya setengah terpejam.
"Memastikan kau baik-baik saja. Rose bilang Nona Aoki menginap di tempat Mina."
"Ada Rose dan Alex yang menjagaku. Jangan khawatir," kata Maya suaranya makin lirih.
"Iya, tidurlah,"
Perkataan Masumi bagai perintah. Maya terlelap. Masumi membawanya ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur.
Masumi duduk di tepi tempat tidur Maya, menatap lekat wajah tenang kekasihnya. Tidak pernah lelah dia memandang wajah cantik itu.
Rahang Masumi tiba-tiba mengetat, tangannya mengerat dan saling bertaut. Bukan tanpa alasan dia datang mengunjungi Maya tengah malam.
***
"Apalagi yang anda inginkan dari saya Tuan Anderson?" Mata Shiori memandang tidak senang pada lawan bicaranya.
"Tidakkah seharusnya kau bersikap lebih ramah padaku?" Christ melengkungkan alisnya.
"Setelah ancaman anda pada saya?" Sindir Shiori, teringat pertemuan terakhir mereka.
Christ tertawa datar, "Ancaman? Itu hanya peringatan Nona Takamiya,"
"Dan apa anda berniat memperingatkan saya sekali lagi? Dengan mengundang saya ke sini," Memincingkan matanya, Shiori jelas terpaksa memenuhi undangan Christ.
Christ menarik keras sudut bibirnya, "Hanya memastikan kau mangindahkan peringatanku,"
"Saya tidak akan mengganggu adik kesayangan anda itu," kata Shiori ketus.
"Itu sudah seharusnya Nona Takamiya. Sudah-seharusnya! Jangan pernah mencoba untuk mendekati apalagi menyakitinya."
Wajah Shiori mengeras, rasa marahnya membuatnya mengabaikan denyut sakit dikepalanya.
"Anda tahu saya tidak melakukannya. Jadi apa saya bisa pergi sekarang?"
Christ berdiri, sedikit membungkuk dan melambaikan tangannya di udara, "Terima kasih sudah datang. Silakan," katanya penuh ironi.
"Selamat malam, permisi," Shiori berlalu dengan membawa kekesalannya.
Christ kembali duduk di kursinya.
"Dia cukup pintar berakting kan?" Celetuknya.
"Tetap saja masih amatir," jawab Masumi, dia keluar dari balik tirai pembatas private room.
Christ tertawa, "Beruntung dia amatir Masumi. Kalau tidak dia tidak akan terpancing dan kita tidak akan tahu kalau dia terlibat,"
"Hijiri memastikan kalau memang ayahku yang mengirim foto itu. Dugaanku ternyata benar. Tapi ternyata bukan ayah yang mengambil foto itu. Pelayanku bilang menemukan amlop tanpa nama di kotak surat. Dan aku yakin wanita itu yang melakukannya,"
"Tenang saja, kita sudah memancingnya. Dia pasti akan segera menjalankan rencananya. Shiori akan membawa kita pada alatnya. Dia terbiasa menggunakan orang ketiga Masumi. Tidak mau mengotori tangannya sendiri. Sama seperti dia memperalat Mia yang tidak menyukai Maya dan sayangnya mungkin dia menggunakan ayahmu sebagai senjatanya. Wanita itu pintar Masumi,"
"Dia licik Christ,"
"Nyatanya kau pernah berkencan dengannya,"
Masumi berkerut, "Aku hanya menemaninya makan."
Christ terkikik, "Hanya adikku yang mampu membuatmu bergairah ya?" Tanyanya tanpa basa-basi.
Masumi terbahak, "Kau menghinaku ya,"
"Jadi kau belum pernah bercinta dengan wanita itu?" Christ benar-benar tidak mengenal batas saat bicara. Tapi kali ini Masumi tampak santai menanggapinya.
"Aku tidak pernah tertarik padanya," jawab Masumi ringan.
"Bagaimana dengan Maya? Apa kau pernah melakukannya dengan adikku?"
Masumi menggeleng, "Tenang saja, aku akan menjaganya,"
"Baguslah. Aku heran kau bisa menahan hal seperti itu," perkataan Christ terdengar seperti ejekan bagi Masumi.
"Aku hanya akan melakukannya dengan wanita yang ku cintai setelah kami menikah," Masumi beralasan.
Christ terbahak, "Menunggu tujuh tahun untuk seorang gadis kecil menjadi dewasa dan setelah mendapatkan cintanya kau menunggu pernikahan untuk memilikinya. Kau tahu? Kau terdengar seperti pendeta,"
Masumi hanya terbahak menanggapinya.
"Berhentilah mengejekku. Kita harus mulai sekarang," kata Masumi kemudian.
"Oke,"
Masumi mengambil handphonenya.
"Hijiri, sekarang!"
***
Sebuah mobil terparkir tidak jauh dari
rumah Hayami. Dua pasang mata duduk tenang dan mengamati dari jauh.
Tak lama dua orang pria keluar dari mobil lain yang berhenti tidak jauh dari tempat mobil pertama parkir. Keduanya masuk ke dalam mobil itu.
"Bagaimana?" Tanya Masumi. Dia dan Christ duduk di jok belakang dan langsung memandang ke tempat dimana Hijiri dan Ryan mengamati sejak tadi.
"Nona Shiori mengunjungi Tuan Besar setelah meninggalkan restoran tadi Pak Masumi," jawab Hijiri.
"Sudah ku katakan kalau wanita itu akan menemui alatnya dan akan mulai beraksi,"
Kata Christ.
"Nona Takamiya sepertinya punya rencana besar dengan menggunakan ayah anda Tuan Hayami," Ryan berpendapat.
Masumi mengangguk.
"Masumi, apa kau keberatan kalau malam ini aku memintamu menemani Maya," kata Christ.
Masumi menoleh pada Christ, tatapannya mempertanyakan alasan perkataannya.
"Ada yang ingin aku kerjakan malam ini dengan Ryan. Maya tidak mau menginap di apartemenku dan menolak Rose menemaninya. Jadi malam ini, tinggalah dengannya. Alex akan berjaga di luar tapi aku tidak ingin Maya sendirian,"
Masumi tersenyum masam, "Jadi ini maksud dari pembicaraan di restoran tadi?"
"Tentu, aku mau adikku aman dan sekarang aku yakin dia aman." Kata Christ santai.
Masumi menyeringai. "Aku yakin akan bersenang-senang malam ini," balas Masumi.
Christ terbahak, "Ryan kita pergi sekarang,"
Keduanya pun turun dan beralih ke mobil lain. Meninggalkan Masumi dan Hijiri yang masih mengamati rumah Hayami.
Menjelang pukul sepuluh malam, mobil Shiori meninggalkan rumah Hayami. Masumi dan Hijiri terus mengikutinya.
***
Masumi masih terpaku di sebelah Maya. Matanya belum bisa terpejam. Pengintaiannya dengan Hijiri membawa mereka pada titik terang sekaligus membawa kekhawatiran yang besar baginya.
Shiori dan ayahnya menjalankan sebuah rencana. Dia dan Christ waspada akan itu. Menjelang pementasan semuanya harus tetap aman. Mereka tidak akan membiarkan siapaun menyentuh Maya.
Masumi melepas jas dan dasinya lalu naik ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya disebelah Maya.
Tanpa sadar Maya merapatkan dirinya ke tubuh Masumi, mencari kehangatan dari tubuh kekasihnya.
Masumi tersenyum, merapikan selimut lalu merengkuh maya dalam pelukannya, mengusap lembut kepala hingga punggungnya.
"Tidurlah sayang, aku akan menjagamu. Selalu." Masumi mengecup kening Maya dan mengistirahatkan dirinya sendiri.
***
Tak lama dua orang pria keluar dari mobil lain yang berhenti tidak jauh dari tempat mobil pertama parkir. Keduanya masuk ke dalam mobil itu.
"Bagaimana?" Tanya Masumi. Dia dan Christ duduk di jok belakang dan langsung memandang ke tempat dimana Hijiri dan Ryan mengamati sejak tadi.
"Nona Shiori mengunjungi Tuan Besar setelah meninggalkan restoran tadi Pak Masumi," jawab Hijiri.
"Sudah ku katakan kalau wanita itu akan menemui alatnya dan akan mulai beraksi,"
Kata Christ.
"Nona Takamiya sepertinya punya rencana besar dengan menggunakan ayah anda Tuan Hayami," Ryan berpendapat.
Masumi mengangguk.
"Masumi, apa kau keberatan kalau malam ini aku memintamu menemani Maya," kata Christ.
Masumi menoleh pada Christ, tatapannya mempertanyakan alasan perkataannya.
"Ada yang ingin aku kerjakan malam ini dengan Ryan. Maya tidak mau menginap di apartemenku dan menolak Rose menemaninya. Jadi malam ini, tinggalah dengannya. Alex akan berjaga di luar tapi aku tidak ingin Maya sendirian,"
Masumi tersenyum masam, "Jadi ini maksud dari pembicaraan di restoran tadi?"
"Tentu, aku mau adikku aman dan sekarang aku yakin dia aman." Kata Christ santai.
Masumi menyeringai. "Aku yakin akan bersenang-senang malam ini," balas Masumi.
Christ terbahak, "Ryan kita pergi sekarang,"
Keduanya pun turun dan beralih ke mobil lain. Meninggalkan Masumi dan Hijiri yang masih mengamati rumah Hayami.
Menjelang pukul sepuluh malam, mobil Shiori meninggalkan rumah Hayami. Masumi dan Hijiri terus mengikutinya.
***
Masumi masih terpaku di sebelah Maya. Matanya belum bisa terpejam. Pengintaiannya dengan Hijiri membawa mereka pada titik terang sekaligus membawa kekhawatiran yang besar baginya.
Shiori dan ayahnya menjalankan sebuah rencana. Dia dan Christ waspada akan itu. Menjelang pementasan semuanya harus tetap aman. Mereka tidak akan membiarkan siapaun menyentuh Maya.
Masumi melepas jas dan dasinya lalu naik ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya disebelah Maya.
Tanpa sadar Maya merapatkan dirinya ke tubuh Masumi, mencari kehangatan dari tubuh kekasihnya.
Masumi tersenyum, merapikan selimut lalu merengkuh maya dalam pelukannya, mengusap lembut kepala hingga punggungnya.
"Tidurlah sayang, aku akan menjagamu. Selalu." Masumi mengecup kening Maya dan mengistirahatkan dirinya sendiri.
***
Maya terbangun sebelum jam bekernya
berbunyi karena merasakan hal aneh pada tubuhnya. Mengerjapkan bulu matanya beberapa
kali sebelum matanya benar-benar terbuka.
"Lho?!"
Maya tidur dilengan Masumi sementara lengannya yang lain membelit tubuh Maya, kedua kakinya juga melilit tubuh Maya bak pohon anggur.
Maya tidak bisa bergerak dan memang tidak ingin bergerak. Takut mengusik kedamaian kekasihnya. Maya hanya bisa memutar kepalanya, memandang wajah tampan yang dipahat sang pencipta dengan begitu sempurna.
"Lho?!"
Maya tidur dilengan Masumi sementara lengannya yang lain membelit tubuh Maya, kedua kakinya juga melilit tubuh Maya bak pohon anggur.
Maya tidak bisa bergerak dan memang tidak ingin bergerak. Takut mengusik kedamaian kekasihnya. Maya hanya bisa memutar kepalanya, memandang wajah tampan yang dipahat sang pencipta dengan begitu sempurna.
Masumi terlelap, tenang dan damai. Wajah yang hanya seorang Maya yang
bisa melihatnya. Tentu saja karena tidak ada seorangpun yang pernah tidur
disebelah malaikat tampan itu selain dirinya.
Maya terkejut saat jam bekernya berbunyi. Masumi melonggarkan lengannya, Maya menarik keluar tangannya lalu meraih jam beker di atas nakas. Dengan cepat mematikannya.
"Pagi," sapa Maya saat Masumi menatapnya.
"Pagi," jawab Masumi malas dan menarik kembali tubuh Maya. Membelitnya lebih erat lagi.
"Hei, sudah pagi Pak Direktur," goda Maya.
"Biar saja," jawabnya tak peduli dan malah membenamkan wajahnya di rambut hitam Maya.
"Aku ada latihan pagi ini dan aku tidak mau terlambat,"
"Lalu?"
"Lalu? Ya kita harus bangun dan bersiap. Oh ya, kenapa kau tidur disini?"
Masumi tertawa saat Maya bertanya dengan polosnya. Sejak tadi dia baru bertanya kenapa dirinya menginap.
"Apa yang lucu?"
"Sudahlah, ayo kita bangun."
Masumi menarik lengan Maya dan keduanya duduk berhadapan.
"Jawab dulu, kenapa kau menginap?"
"Karena aku ingin bersamamu,"
Masumi mengerlingkan matanya lalu dengan cepat mencium kening Maya dan turun dari tempat tidur. Maya hanya terbengong saat kemudian Masumi mengambil tasnya dan masuk ke kamar mandi.
"Selamat makan!" Seru Maya dan Masumi bersamaan.
"Hhmm, enak," puji Masumi.
Maya tersipu, dia membuat soup cream ayam pagi itu.
"Siapa yang mengajarimu memasak Maya? Kau semakin pandai saja,"
"Greta, dia kepala pelayan di rumah kami,"
Masumi tersenyum simpul, masih aneh rasanya mendengar Maya memiliki keluarga. Selama ini dia selalu melihat Maya sebatang kara dan yang membuatnya seperti itu adalah....!
Maya terkejut saat jam bekernya berbunyi. Masumi melonggarkan lengannya, Maya menarik keluar tangannya lalu meraih jam beker di atas nakas. Dengan cepat mematikannya.
"Pagi," sapa Maya saat Masumi menatapnya.
"Pagi," jawab Masumi malas dan menarik kembali tubuh Maya. Membelitnya lebih erat lagi.
"Hei, sudah pagi Pak Direktur," goda Maya.
"Biar saja," jawabnya tak peduli dan malah membenamkan wajahnya di rambut hitam Maya.
"Aku ada latihan pagi ini dan aku tidak mau terlambat,"
"Lalu?"
"Lalu? Ya kita harus bangun dan bersiap. Oh ya, kenapa kau tidur disini?"
Masumi tertawa saat Maya bertanya dengan polosnya. Sejak tadi dia baru bertanya kenapa dirinya menginap.
"Apa yang lucu?"
"Sudahlah, ayo kita bangun."
Masumi menarik lengan Maya dan keduanya duduk berhadapan.
"Jawab dulu, kenapa kau menginap?"
"Karena aku ingin bersamamu,"
Masumi mengerlingkan matanya lalu dengan cepat mencium kening Maya dan turun dari tempat tidur. Maya hanya terbengong saat kemudian Masumi mengambil tasnya dan masuk ke kamar mandi.
"Selamat makan!" Seru Maya dan Masumi bersamaan.
"Hhmm, enak," puji Masumi.
Maya tersipu, dia membuat soup cream ayam pagi itu.
"Siapa yang mengajarimu memasak Maya? Kau semakin pandai saja,"
"Greta, dia kepala pelayan di rumah kami,"
Masumi tersenyum simpul, masih aneh rasanya mendengar Maya memiliki keluarga. Selama ini dia selalu melihat Maya sebatang kara dan yang membuatnya seperti itu adalah....!
Masumi menggeleng keras,
mengalihkan pikirannya. Rasa bersalahnya yang masih tersimpan rapi di salah
satu sudut hatinya terkadang muncul tanpa diharapkan.
"Kenapa?" Tanya Maya saat melihat Masumi menggeleng lalu terdiam.
"Ah tidak, ayo cepat makannya. Kita harus segera berangkat,"
"Kau kan yang melamun," protes Maya.
Masumi hanya tersenyum.
Maya membereskan meja dan membawa mangkuk kotor ke wastafel. Dengan cepat mencucinya dan meletakkanya dirak.
"Kya!" Pekik Maya terkejut dan hampir saja menjatuhkan mangkuk terakhir yang dicucinya karena Masumi tiba-tiba melingkarkan tangannya di pinggang Maya, memeluknya dari belakang.
"Kau mengejutkanku! Untung tidak jatuh," keluh Maya kesal lalu meletakkan dengan benar mangkuk di tempatnya.
Masumi hanya diam, menikmati pelukannya. Menciumi rambut Maya yang harum sehabis keramas. Maya meletakkan tangannya di atas tangan Masumi yang terkait di atas perutnya. Mengusapnya lembut.
"Ada apa sayang?" Tanya Maya.
Masumi mengayun pelan tubuh Maya. Bergoyang ke kanan dan kekiri.
"Hei, ada apa sayang? Apa ada yang mengganggumu?"
"Aku hanya sedang berpikir," kata Masumi seraya masih menciumi rambut Maya.
"Berpikir tentang apa?"
"Kapan aku bisa benar-benar memilikimu. Melihatmu bangun disampingku, menyiapkan sarapan untukku, menemaniku makan, seperti ini, setiap hari melihatmu."
Maya tersenyum.
"Maya?"
"Hhmmm,"
"Kau akan menikah denganku kan?"
Maya kembali tersenyum, mengurai tangan Masumi dan berbalik menatapnya. Maya menarik kalung dari balik blousenya, cincin batu garnet ungunya masih tergantung disana.
"Aku sudah menjawab ya dan aku tidak akan berubah pikiran. Jadi berhentilah meragukan cintaku padamu,"
Masumi tersenyum, menangkupkan tangannya di pinggul Maya, mengangkat tubuh itu dan mendudukkannya di meja kitchen set. Wajah keduanya sejajar sekarang.
"Jadi setelah pementasan? Bagaimana?"
Maya tersenyum lalu menggeleng.
"Kenapa?" Masumi mengernyit.
"Christ akan menikah dengan Amanda lebih dulu." Jawab Maya.
"Christ? Aku tidak tahu dia punya tunangan." Masumi terheran.
"Iya, pertunangan mereka memang tidak pernah dipublikasikan. Tapi mereka akan menikah secepatnya. Setelah masalah pementasan Bidadari Merah selesai." Maya mengusap lembut rambut Masumi.
"Oh, kenapa kita tidak menikah bersama saja?"
Maya terkikik, "Kau mau menghebohkan dua negara ya?"
"Maksudmu?"
"Christ dan Amanda akan menikah di New York, sedangkan aku ingin menikah di sini,"
Masumi tersenyum, "Jadi kau mau menikah disini?"
Maya mengangguk.
"Kapan?"
"Kita atur waktunya setelah Christ dan Amanda menikah ya,"
Masumi pura-pura cemberut, "Jadi aku harus bersabar lagi?"
"Setahuku kau pria paling sabar, kenapa sekarang jadi sebaliknya?"
"Aku sudah menunggu tujuh...salah! delapan tahun Maya dan aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Kau memang masih dua puluh satu tahun tapi aku kan tidak bertambah muda setiap harinya. Kau tidak mau dibilang menikah dengan kakek-kakek kan?" Keluhnya.
Maya terbahak.
"Ya ampun. Jadi karena itu? Aku kan tidak menundanya sampai sepuluh atau dua puluh tahun, mana mungkin kau jadi kakek-kakek hanya dalam hitungan satu atau dua tahun,"
"Satu atau dua tahun?!" Pekik Masumi, "Jangan selama itu, aku mohon,"
"Oke, oke. Sebaiknya kita hentikan dulu pembahasan ini. Tidakkah ini masih terlalu pagi untuk membicarakan sebuah rencana pernikahan? Apalagi di dapur," Maya mengerucutkan bibirnya.
Masumi menghela napas, "Baiklah, nanti kita bicarakan lagi,"
"Nanti?!"
"Kau tidak mau?"
"Baiklah, nanti," jawab Maya putus asa. Ada kalanya Maya tidak bisa membantah perkataan kekasihnya itu.
Masumi menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Apa lagi?" Tanya Maya.
"Hhmm, kau tidak menyiapkan dessert untukku?"
"Dessert?" Maya mendesah atas permintaan Masumi, "Baiklah, aku punya beberapa buah di lemari es. Kau mau apa?"
"Boleh aku pilih dan ambil sendiri?"
Maya mengangguk.
"Kalau begitu aku mau dessert yang paling istimewa pagi ini,"
Ugghh... Maya melenguh didalam mulut Masumi.
***
"Kenapa?" Tanya Maya saat melihat Masumi menggeleng lalu terdiam.
"Ah tidak, ayo cepat makannya. Kita harus segera berangkat,"
"Kau kan yang melamun," protes Maya.
Masumi hanya tersenyum.
Maya membereskan meja dan membawa mangkuk kotor ke wastafel. Dengan cepat mencucinya dan meletakkanya dirak.
"Kya!" Pekik Maya terkejut dan hampir saja menjatuhkan mangkuk terakhir yang dicucinya karena Masumi tiba-tiba melingkarkan tangannya di pinggang Maya, memeluknya dari belakang.
"Kau mengejutkanku! Untung tidak jatuh," keluh Maya kesal lalu meletakkan dengan benar mangkuk di tempatnya.
Masumi hanya diam, menikmati pelukannya. Menciumi rambut Maya yang harum sehabis keramas. Maya meletakkan tangannya di atas tangan Masumi yang terkait di atas perutnya. Mengusapnya lembut.
"Ada apa sayang?" Tanya Maya.
Masumi mengayun pelan tubuh Maya. Bergoyang ke kanan dan kekiri.
"Hei, ada apa sayang? Apa ada yang mengganggumu?"
"Aku hanya sedang berpikir," kata Masumi seraya masih menciumi rambut Maya.
"Berpikir tentang apa?"
"Kapan aku bisa benar-benar memilikimu. Melihatmu bangun disampingku, menyiapkan sarapan untukku, menemaniku makan, seperti ini, setiap hari melihatmu."
Maya tersenyum.
"Maya?"
"Hhmmm,"
"Kau akan menikah denganku kan?"
Maya kembali tersenyum, mengurai tangan Masumi dan berbalik menatapnya. Maya menarik kalung dari balik blousenya, cincin batu garnet ungunya masih tergantung disana.
"Aku sudah menjawab ya dan aku tidak akan berubah pikiran. Jadi berhentilah meragukan cintaku padamu,"
Masumi tersenyum, menangkupkan tangannya di pinggul Maya, mengangkat tubuh itu dan mendudukkannya di meja kitchen set. Wajah keduanya sejajar sekarang.
"Jadi setelah pementasan? Bagaimana?"
Maya tersenyum lalu menggeleng.
"Kenapa?" Masumi mengernyit.
"Christ akan menikah dengan Amanda lebih dulu." Jawab Maya.
"Christ? Aku tidak tahu dia punya tunangan." Masumi terheran.
"Iya, pertunangan mereka memang tidak pernah dipublikasikan. Tapi mereka akan menikah secepatnya. Setelah masalah pementasan Bidadari Merah selesai." Maya mengusap lembut rambut Masumi.
"Oh, kenapa kita tidak menikah bersama saja?"
Maya terkikik, "Kau mau menghebohkan dua negara ya?"
"Maksudmu?"
"Christ dan Amanda akan menikah di New York, sedangkan aku ingin menikah di sini,"
Masumi tersenyum, "Jadi kau mau menikah disini?"
Maya mengangguk.
"Kapan?"
"Kita atur waktunya setelah Christ dan Amanda menikah ya,"
Masumi pura-pura cemberut, "Jadi aku harus bersabar lagi?"
"Setahuku kau pria paling sabar, kenapa sekarang jadi sebaliknya?"
"Aku sudah menunggu tujuh...salah! delapan tahun Maya dan aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Kau memang masih dua puluh satu tahun tapi aku kan tidak bertambah muda setiap harinya. Kau tidak mau dibilang menikah dengan kakek-kakek kan?" Keluhnya.
Maya terbahak.
"Ya ampun. Jadi karena itu? Aku kan tidak menundanya sampai sepuluh atau dua puluh tahun, mana mungkin kau jadi kakek-kakek hanya dalam hitungan satu atau dua tahun,"
"Satu atau dua tahun?!" Pekik Masumi, "Jangan selama itu, aku mohon,"
"Oke, oke. Sebaiknya kita hentikan dulu pembahasan ini. Tidakkah ini masih terlalu pagi untuk membicarakan sebuah rencana pernikahan? Apalagi di dapur," Maya mengerucutkan bibirnya.
Masumi menghela napas, "Baiklah, nanti kita bicarakan lagi,"
"Nanti?!"
"Kau tidak mau?"
"Baiklah, nanti," jawab Maya putus asa. Ada kalanya Maya tidak bisa membantah perkataan kekasihnya itu.
Masumi menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Apa lagi?" Tanya Maya.
"Hhmm, kau tidak menyiapkan dessert untukku?"
"Dessert?" Maya mendesah atas permintaan Masumi, "Baiklah, aku punya beberapa buah di lemari es. Kau mau apa?"
"Boleh aku pilih dan ambil sendiri?"
Maya mengangguk.
"Kalau begitu aku mau dessert yang paling istimewa pagi ini,"
Ugghh... Maya melenguh didalam mulut Masumi.
***
"Sampai nanti, hati-hati," Maya
melambaikan tangannya saat Masumi menurunkannya dipintu belakang studio Daito.
Sengaja Maya turun di pintu belakang karena di pintu depan ada beberapa
wartawan. Rose dan Alex juga turun dari mobil dan mengikuti Maya ke ruang
latihan.
Masumi tiba di ruang kerjanya dan Mizuki menyambutnya dengan tumpukan dokumen.
"Apa ini?!" Kata Masumi kesal.
"Pekerjaan yang anda tinggalkan kemarin Pak," jawab Mizuki tenang.
"Kemarin?"
"Anda pergi ke studio Daito begitu mendengar Maya kecelakan lalu menghabiskan sisa hari anda bersama Tuan Anderson." Mizuki mengingatkan.
Masumi menggosok keningnya kesal.
"Baiklah, aku selesaikan semuanya hari ini," desahnya, Menyerah. Sadar bahwa itu adalah kesalahannya.
"Sebelum makan siang, Pak," ralat Mizuki menambahkan dengan seringai lebar.
"Sebelum makan siang? Sebanyak ini? Kau mau membunuhku?"
Mizuki mengangguk, "Tidak seburuk itu Pak. Anda hanya akan kehabisan tinta dan saya sudah menyiapkan cadangannya."
Menghempaskan dirinya di kursi kerja, "Buatkan aku kopi dan tahan semua panggilan untukku sampai SEMUA ini SELESAI," kata Masumi geram.
Mizuki mengulum senyum, "Baik Pak, permisi,"
***
"Maya!"
Maya berbalik dan melihat Koji dengan semangat menghampirinya. Dia baru saja keluar dari ruang ganti usai latihan. Hari sudah menjelang petang.
"Ada apa?" Tanya Maya.
"Ada waktu?"
"Untuk?"
"Mau pergi makan malam denganku?"
"Heh?! Makan malam?" Tanpa sadar Maya memekik.
"Iya," Koji menilai ekspresi Maya dengan hati-hati, takut Maya menolaknya.
Maya merenung sejenak, "Sebentar ya," kata Maya.
Koji mengangguk dan Maya berjalan menjauh seraya mengambil handphonenya. Dari jauh Koji mengamatinya dan menunggu tidak sabar.
Maya kembali dan senyum yang mengembang di wajahnya membuat Koji lega.
"Kau tidak keberatan kalau Rose dan Alex ikut? Mereka tidak akan satu meja dengan kita," kata Maya kemudian dengan hati-hati tanpa mengurangi senyum diwajahnya.
"Tentu," jawab Koji senang.
Keduanya pun segera meninggalkan studio Daito.
"Bagaimana hubunganmu dengan Pak Masumi?" Tanya Koji setengah berbisik setelah dia dan Maya memesan makanan mereka. Koji mengajak Maya makan di sebuah restoran Jepang.
"Hhmm, baik," Maya mengulum senyum. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, takut kalau ada yang mendengar perkataan Koji.
"Kau tidak nyaman ya?"
"Apa?"
"Kalau aku bertanya soal...dia?"
Maya kembali tersenyum lalu mengangguk.
"Kita kan tidak harus membicarakan hal itu," Maya beralasan.
"Ya kau benar, bisa-bisa merusak selera makanku juga." Koji berkelakar.
Maya tertawa.
Saat makanan mereka datang keduanya sudah berganti topik pembicaraan. Mengobrol, tertawa, bercanda, Maya merasa rindu juga seperti ini. Sejak kembali ke Tokyo dia bahkan baru sekali berkumpul dengan teman-teman teater Tsukikage dan teater Ikkakuju. Christ melarangnya untuk pergi seenaknya, selain juga karena jadwalnya padat juga karena para wartawan sering menyulitkan Maya.
Maya dan Koji keluar dari restoran Jepang diikuti Rose dan Alex.
"Terima kasih untuk makan malamnya Koji. Sampai jumpa besok," Maya melambai.
"Terima kasih juga kau mau menemaniku, sampai jumpa," Koji juga melambaikan tangannya dan keduanya berpisah didepan restoran.
Satu kaki Maya baru saja masuk ke dalam mobil di tempat parkir ketika dia melihat sedan Lexus hitam yang sangat dikenalnya melintas dibelakang mobilnya. Menarik kembali kakinya lalu berdiri tegak. Tertegun memandang ke tempat mobil itu parkir.
"Masumi?!" Gumam Maya.
Dugaannya benar, Masumi keluar dari sedannya. Pria itu tidak melihat Maya karena tempat Maya parkir cukup jauh darinya.
Maya hendak melangkahkan kakinya tapi kemudian terdiam, mematung. Seorang wanita tampak berjalan menghampiri Masumi.
Maya jelas tahu siapa dia bahkan ditengah lampu redup tempat parkirpun Maya dapat mengenalinya. Caranya berjalan, model pakaiannya, rambut panjangnya. Shiori Takamiya.
Maya menyipitkan matanya, melihat lebih jelas apa yang pria dan wanita itu lakukan.
Masumi tiba di ruang kerjanya dan Mizuki menyambutnya dengan tumpukan dokumen.
"Apa ini?!" Kata Masumi kesal.
"Pekerjaan yang anda tinggalkan kemarin Pak," jawab Mizuki tenang.
"Kemarin?"
"Anda pergi ke studio Daito begitu mendengar Maya kecelakan lalu menghabiskan sisa hari anda bersama Tuan Anderson." Mizuki mengingatkan.
Masumi menggosok keningnya kesal.
"Baiklah, aku selesaikan semuanya hari ini," desahnya, Menyerah. Sadar bahwa itu adalah kesalahannya.
"Sebelum makan siang, Pak," ralat Mizuki menambahkan dengan seringai lebar.
"Sebelum makan siang? Sebanyak ini? Kau mau membunuhku?"
Mizuki mengangguk, "Tidak seburuk itu Pak. Anda hanya akan kehabisan tinta dan saya sudah menyiapkan cadangannya."
Menghempaskan dirinya di kursi kerja, "Buatkan aku kopi dan tahan semua panggilan untukku sampai SEMUA ini SELESAI," kata Masumi geram.
Mizuki mengulum senyum, "Baik Pak, permisi,"
***
"Maya!"
Maya berbalik dan melihat Koji dengan semangat menghampirinya. Dia baru saja keluar dari ruang ganti usai latihan. Hari sudah menjelang petang.
"Ada apa?" Tanya Maya.
"Ada waktu?"
"Untuk?"
"Mau pergi makan malam denganku?"
"Heh?! Makan malam?" Tanpa sadar Maya memekik.
"Iya," Koji menilai ekspresi Maya dengan hati-hati, takut Maya menolaknya.
Maya merenung sejenak, "Sebentar ya," kata Maya.
Koji mengangguk dan Maya berjalan menjauh seraya mengambil handphonenya. Dari jauh Koji mengamatinya dan menunggu tidak sabar.
Maya kembali dan senyum yang mengembang di wajahnya membuat Koji lega.
"Kau tidak keberatan kalau Rose dan Alex ikut? Mereka tidak akan satu meja dengan kita," kata Maya kemudian dengan hati-hati tanpa mengurangi senyum diwajahnya.
"Tentu," jawab Koji senang.
Keduanya pun segera meninggalkan studio Daito.
"Bagaimana hubunganmu dengan Pak Masumi?" Tanya Koji setengah berbisik setelah dia dan Maya memesan makanan mereka. Koji mengajak Maya makan di sebuah restoran Jepang.
"Hhmm, baik," Maya mengulum senyum. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, takut kalau ada yang mendengar perkataan Koji.
"Kau tidak nyaman ya?"
"Apa?"
"Kalau aku bertanya soal...dia?"
Maya kembali tersenyum lalu mengangguk.
"Kita kan tidak harus membicarakan hal itu," Maya beralasan.
"Ya kau benar, bisa-bisa merusak selera makanku juga." Koji berkelakar.
Maya tertawa.
Saat makanan mereka datang keduanya sudah berganti topik pembicaraan. Mengobrol, tertawa, bercanda, Maya merasa rindu juga seperti ini. Sejak kembali ke Tokyo dia bahkan baru sekali berkumpul dengan teman-teman teater Tsukikage dan teater Ikkakuju. Christ melarangnya untuk pergi seenaknya, selain juga karena jadwalnya padat juga karena para wartawan sering menyulitkan Maya.
Maya dan Koji keluar dari restoran Jepang diikuti Rose dan Alex.
"Terima kasih untuk makan malamnya Koji. Sampai jumpa besok," Maya melambai.
"Terima kasih juga kau mau menemaniku, sampai jumpa," Koji juga melambaikan tangannya dan keduanya berpisah didepan restoran.
Satu kaki Maya baru saja masuk ke dalam mobil di tempat parkir ketika dia melihat sedan Lexus hitam yang sangat dikenalnya melintas dibelakang mobilnya. Menarik kembali kakinya lalu berdiri tegak. Tertegun memandang ke tempat mobil itu parkir.
"Masumi?!" Gumam Maya.
Dugaannya benar, Masumi keluar dari sedannya. Pria itu tidak melihat Maya karena tempat Maya parkir cukup jauh darinya.
Maya hendak melangkahkan kakinya tapi kemudian terdiam, mematung. Seorang wanita tampak berjalan menghampiri Masumi.
Maya jelas tahu siapa dia bahkan ditengah lampu redup tempat parkirpun Maya dapat mengenalinya. Caranya berjalan, model pakaiannya, rambut panjangnya. Shiori Takamiya.
Maya menyipitkan matanya, melihat lebih jelas apa yang pria dan wanita itu lakukan.
Keduanya tidak melakukan apa-apa, mereka
kemudian berjalan beriringan dan masuk ke restoran setelah saling mengangguk
memberi salam. Hanya itu, Maya tentu tidak dapat mendengar sapaan mereka selain
membaca gerak tubuh keduanya.
Maya mengeram dalam hati. Dadanya sesak. Dia cemburu, jelas cemburu.
"Nona Maya," panggilan Rose mengalihkannya. Dia sadar kalau dia harus segera pulang. Ingin rasanya Maya masuk dan bertanya pada Masumi tentang apa yang dilakukannya bersama Shiori. Tapi jelas itu tidak mungkin.
Akhirnya Maya memendam kemarahannya dan segera masuk kedalam mobilnya. Sepanjang perjalan Maya hanya diam, tidak bicara. Hal itu membuat Rose dan Alex heran. Maya selalu mengoceh pada mereka tentang semua kegiatannya yang bahkan sebenarnya Rose dan Alex tahu karena mereka selalu mengikuti Maya kemanapun dia pergi. Tapi tetap saja mereka mendengarkan, semangat Maya saat bercerita bisa menjadi pembunuh kebosanan paling ampuh bagi Rose dan Alex.
"Tidak apa-apa, aku hanya mengantuk," ucap Maya saat Rose menanyakan alasan sikap Maya yang tidak seperti biasanya.
"Aku mau menginap di tempat Christ," celetuk Maya kemudian.
Maya mengeram dalam hati. Dadanya sesak. Dia cemburu, jelas cemburu.
"Nona Maya," panggilan Rose mengalihkannya. Dia sadar kalau dia harus segera pulang. Ingin rasanya Maya masuk dan bertanya pada Masumi tentang apa yang dilakukannya bersama Shiori. Tapi jelas itu tidak mungkin.
Akhirnya Maya memendam kemarahannya dan segera masuk kedalam mobilnya. Sepanjang perjalan Maya hanya diam, tidak bicara. Hal itu membuat Rose dan Alex heran. Maya selalu mengoceh pada mereka tentang semua kegiatannya yang bahkan sebenarnya Rose dan Alex tahu karena mereka selalu mengikuti Maya kemanapun dia pergi. Tapi tetap saja mereka mendengarkan, semangat Maya saat bercerita bisa menjadi pembunuh kebosanan paling ampuh bagi Rose dan Alex.
"Tidak apa-apa, aku hanya mengantuk," ucap Maya saat Rose menanyakan alasan sikap Maya yang tidak seperti biasanya.
"Aku mau menginap di tempat Christ," celetuk Maya kemudian.
Membuat Alex menepikan mobilnya tiba-tiba.
"Kenapa?" Tanya Rose.
Sekali lagi ini diluar kebiasaannya. Biasanya Maya lebih senang tinggal di apartemen Rei dan kakaknya itu kadang harus membujuknya terlebih dahulu agar dia mau menginap di tempatnya. Maya selalu beralasan tentang wartawan yang mungkin membuntutinya dan menyebarkan gosip tak enak jika tahu dia menginap di tempat Christ.
"Tidak apa-apa. Aku mau ketempat kakakku, itu saja," ulang Maya dengan wajah muram.
Alex tidak bertanya dan segera menjalankan kembali mobilnya lalu berputar ke arah apartemen Christ.
Christ dan Ryan terheran saat Maya muncul di apartemen. Maya memang meneleponnya tadi tapi hanya untuk minta ijin keluar dan makan malam bersama Koji lalu mengeluhkan tentang handphone Masumi yang tidak bisa dihubungi. Tidak menyangka kalau adiknya kemudian muncul di apartemennya.
"Ada apa?" Christ merengkuh bahu Maya lalu mengecup keningnya.
"Tidak ada, apa aku tidak boleh kesini?" Maya mendengus kesal.
"Kenapa?" Tanya Rose.
Sekali lagi ini diluar kebiasaannya. Biasanya Maya lebih senang tinggal di apartemen Rei dan kakaknya itu kadang harus membujuknya terlebih dahulu agar dia mau menginap di tempatnya. Maya selalu beralasan tentang wartawan yang mungkin membuntutinya dan menyebarkan gosip tak enak jika tahu dia menginap di tempat Christ.
"Tidak apa-apa. Aku mau ketempat kakakku, itu saja," ulang Maya dengan wajah muram.
Alex tidak bertanya dan segera menjalankan kembali mobilnya lalu berputar ke arah apartemen Christ.
Christ dan Ryan terheran saat Maya muncul di apartemen. Maya memang meneleponnya tadi tapi hanya untuk minta ijin keluar dan makan malam bersama Koji lalu mengeluhkan tentang handphone Masumi yang tidak bisa dihubungi. Tidak menyangka kalau adiknya kemudian muncul di apartemennya.
"Ada apa?" Christ merengkuh bahu Maya lalu mengecup keningnya.
"Tidak ada, apa aku tidak boleh kesini?" Maya mendengus kesal.
Tidak ada yang salah dengan pertanyaan kakaknya,
tapi suasana hatinya yang sedang buruk membuat pertanyaan itu terasa
menyebalkan.
Christ mengerutkan keningnya, "Kau kenapa? Sedang datang bulan ya?"
Maya melotot, "Bicara apa sih?!" Bentak Maya. Diapun bergegas menuju kamarnya.
"Kenapa dia?" Tanya christ pada Rose.
"Saya juga tidak tahu Tuan. Di mobilpun Nona hanya diam saja. Padahal saat berangkat tadi Nona begitu bersemangat," jelas Rose.
"Apa Koji terlihat melakukan sesuatu yang aneh?"
"Setahu saya tidak, meja kami tidak berjauhan. Nona juga terlihat santai dan menikmati makan malamnya,"
Christ menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ada apa ya?" Gumamnya. "Baiklah kalian boleh pergi,"
"Kami permisi," Rose dan Alexpun pergi.
Christ berjalan ke kamar Maya dan mengetuk pintunya.
"Sudah tidur!" Jawab Maya.
"Kau tidak akan berteriak kalau sudah tidur,"
"Sudah mau tidur!" Teriak Maya lagi, masih tidak mau membuka pintu.
"Buka pintunya dan katakan padaku kenapa kau marah? Ada apa?"
"Tidak apa-apa!" Teriak Maya lagi tapi suaranya sudah berubah sekarang.
Christ mengetuk pintu lagi dan berteriak lebih keras, "Kau menangis? Oh, Tuhan! Katakan padaku ada apa Maya? Apa Koji menyakitimu? Aku akan menyeret Koji kesini untuk minta maaf padamu jika dia memang menyakitimu!"
"Tidak! Tidak ada hubungannya dengan Koji!" Maya berteriak lagi, suara seraknya semakin jelas.
"Maya?!"
"Biarkan aku sendiri! Besok saja ceritanya! Besok saja! Aku ingin sendiri!!" Bentak Maya.
Christ mendesah kesal. Menyerah.
"Baiklah, tenangkan dulu dirimu. Kau mau mengatakannya padaku kalau terjadi sesuatu kan?"
"Iya! Sudah pergi saja kak! Jangan khawatirkan aku!"
Christ menggeleng kesal saat Ryan menatapnya.
"Keras kepala!" Dengus Christ.
***
Maya terisak di atas bantalnya. Dia tidak tahu apa maksud dan tujuan Masumi bertemu dengan Shiori. Dia tahu Masumi hanya mencintainya tapi tetap saja dia merasa kesal, cemburu bahkan marah.
Kenapa Masumi tidak memberitahu dirinya jika ingin bertemu Shiori? Kenapa juga handphone Masumi harus mati sehingga dia tidak bisa menghubunginya.
Beragam pertanyaan muncul di kepala Maya. Namun bukannya menemukan jawaban yang tepat, justru itu membuatnya semakin kesal.
"Masumi menyebalkan!!" Teriaknya dan saat itu Maya tahu betapa mengesalkannya rasa cemburu itu.
Maya semakin keras menangis di atas bantalnya.
Keesokan paginya, Maya menggosok matanya yang sedikit bengkak karena semalam menangis. Christ menatapnya tajam saat Maya muncul di ruang tengah dengan mata merah.
"Sudah mau bicara?" Tanya Christ seraya mengulurkan secangkir teh untuk adiknya.
Christ mengerutkan keningnya, "Kau kenapa? Sedang datang bulan ya?"
Maya melotot, "Bicara apa sih?!" Bentak Maya. Diapun bergegas menuju kamarnya.
"Kenapa dia?" Tanya christ pada Rose.
"Saya juga tidak tahu Tuan. Di mobilpun Nona hanya diam saja. Padahal saat berangkat tadi Nona begitu bersemangat," jelas Rose.
"Apa Koji terlihat melakukan sesuatu yang aneh?"
"Setahu saya tidak, meja kami tidak berjauhan. Nona juga terlihat santai dan menikmati makan malamnya,"
Christ menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ada apa ya?" Gumamnya. "Baiklah kalian boleh pergi,"
"Kami permisi," Rose dan Alexpun pergi.
Christ berjalan ke kamar Maya dan mengetuk pintunya.
"Sudah tidur!" Jawab Maya.
"Kau tidak akan berteriak kalau sudah tidur,"
"Sudah mau tidur!" Teriak Maya lagi, masih tidak mau membuka pintu.
"Buka pintunya dan katakan padaku kenapa kau marah? Ada apa?"
"Tidak apa-apa!" Teriak Maya lagi tapi suaranya sudah berubah sekarang.
Christ mengetuk pintu lagi dan berteriak lebih keras, "Kau menangis? Oh, Tuhan! Katakan padaku ada apa Maya? Apa Koji menyakitimu? Aku akan menyeret Koji kesini untuk minta maaf padamu jika dia memang menyakitimu!"
"Tidak! Tidak ada hubungannya dengan Koji!" Maya berteriak lagi, suara seraknya semakin jelas.
"Maya?!"
"Biarkan aku sendiri! Besok saja ceritanya! Besok saja! Aku ingin sendiri!!" Bentak Maya.
Christ mendesah kesal. Menyerah.
"Baiklah, tenangkan dulu dirimu. Kau mau mengatakannya padaku kalau terjadi sesuatu kan?"
"Iya! Sudah pergi saja kak! Jangan khawatirkan aku!"
Christ menggeleng kesal saat Ryan menatapnya.
"Keras kepala!" Dengus Christ.
***
Maya terisak di atas bantalnya. Dia tidak tahu apa maksud dan tujuan Masumi bertemu dengan Shiori. Dia tahu Masumi hanya mencintainya tapi tetap saja dia merasa kesal, cemburu bahkan marah.
Kenapa Masumi tidak memberitahu dirinya jika ingin bertemu Shiori? Kenapa juga handphone Masumi harus mati sehingga dia tidak bisa menghubunginya.
Beragam pertanyaan muncul di kepala Maya. Namun bukannya menemukan jawaban yang tepat, justru itu membuatnya semakin kesal.
"Masumi menyebalkan!!" Teriaknya dan saat itu Maya tahu betapa mengesalkannya rasa cemburu itu.
Maya semakin keras menangis di atas bantalnya.
Keesokan paginya, Maya menggosok matanya yang sedikit bengkak karena semalam menangis. Christ menatapnya tajam saat Maya muncul di ruang tengah dengan mata merah.
"Sudah mau bicara?" Tanya Christ seraya mengulurkan secangkir teh untuk adiknya.
Dia tahu adiknya itu lebih suka
minum teh daripada kopi dan itu baik untuk menenangkan hatinya.
Christ mengganti channel di televisi sementara Maya meneguk tehnya. Tampilan di layar berhenti pada siaran berita pagi.
'Siaran langsung dari lokasi kejadian. Malam tadi telah terjadi kecelakaan di Shouto Expressway no 11 Daiba Route, Rainbow Bridge. Sebuah sedan meluncur dengan kecepatan tinggi, menabrak pagar pembatas dan sempat terbakar sebelum akhirnya jatuh ke sungai. Saksi mata yang menyaksikan kecelakaan tersebut sempat melihat plat mobil korban dan melaporkannya ke pihak berwenang. Baru saja kami menerima informasi bahwa kepemilikan mobil tersebut tercatat atas nama Masumi Hayami yang adalah Direktur Utama Group Daito....,"
Prrraaannnggg!!!
Cangkir di tangan Maya terlepas dan hancur membentur lantai, disusul tubuhnya yang melayang diambang sadar.
"MAYA!!!"
Christ mengganti channel di televisi sementara Maya meneguk tehnya. Tampilan di layar berhenti pada siaran berita pagi.
'Siaran langsung dari lokasi kejadian. Malam tadi telah terjadi kecelakaan di Shouto Expressway no 11 Daiba Route, Rainbow Bridge. Sebuah sedan meluncur dengan kecepatan tinggi, menabrak pagar pembatas dan sempat terbakar sebelum akhirnya jatuh ke sungai. Saksi mata yang menyaksikan kecelakaan tersebut sempat melihat plat mobil korban dan melaporkannya ke pihak berwenang. Baru saja kami menerima informasi bahwa kepemilikan mobil tersebut tercatat atas nama Masumi Hayami yang adalah Direktur Utama Group Daito....,"
Prrraaannnggg!!!
Cangkir di tangan Maya terlepas dan hancur membentur lantai, disusul tubuhnya yang melayang diambang sadar.
"MAYA!!!"
***
>>Bersambung<<
15 Comments
Nah yang nagih THR...ni ya...
ReplyDeleteyang uda baca tinggalin jejak kaki ya
moga suka ama chap ini....
met baca semuanya.....
big hug...muahhhh....
Bkn masumi kan?
ReplyDeleteYaaa ampuuuuunnn..... lebaran aq ga akan konsen ini mah judulnya.... sist agnes udh paling bisa aja deh ngegantung cerita dengan PENASARAAAAAAAANNNNN...... Thx buat THR nya..... ditunggu hadiah lebaran nya... xixixixixixixixi
ReplyDeleteMbaaa teganya.... bukan thr kayak gini yg kumau.... ini mah petasan bukan thr hehehehe.... Masumiku ga kenapa kenapa kan? Uda mau lebaran inih hadddeeeuuh
ReplyDeleteHadohhh mba agnes paling pinter dech motong nya...jgn smpe masumi kenpa2 ya mba...duhh kasian MM...
ReplyDeleteSist Agnes... Motongnya begtu lagi... Tega nian dirimu... Hiks... :'-)
ReplyDeletekapan lanjutannya nih sist....??
##baru d kasih thr minta tambuh lagi..##Gubrakbrak#
THRnya ko ga penuh? tambahannya jangan lama-lama ya sis... penasaran nich pengen tau nasib masumi-ku
ReplyDeleteThr termanis hr ini... bnr2 pengobat rindu ama MM ni blog. Seneng bgt bs nemuuu... mksh bnyk mba agnes... trs menanti kelanjutannya niiii....
ReplyDeletepasti bkn masumi... next chap sist agnes😁
ReplyDeleteMakin penasaran....
ReplyDeleteMasumikah yg kecelakaan? Gak mungkin ah... jangan dong mb agnes. Masalah seberat apapun buat MM tp jgn smpe salah pham... plg gk nhan klo mslahnya udh slg meragukan gtu hehe
ReplyDeleteMksh ya mb agnes... kelanjutannya ditunggu segera :)
Trima kasih sis Agnes...suka bangttt sm jln ceritanya...semangat terus ya buat nulisnya...
ReplyDeleteTrima kasih sis Agnes...suka bangttt sm jln ceritanya...semangat terus ya buat nulisnya...
ReplyDeleteTer baikkkk terimakasihhhh aku sudah lama mencari ternyata kutemukannn Gbu. Kutunggu kelanjutannya
ReplyDeleteGood.... Thanks ya mba Agnes.... Dari dulu nyari baru ketemu skrg.....
ReplyDelete