Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Bidadari
Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci
bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua
itu? Bukan hanya impiannya yang dipertaruhkan tapi juga kehidupan orang
terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan
mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk
menemukan jalannya.
*********************************************************************************
Hari menjelang senja
saat Maya dan Masumi benar-benar selesai memasak. Setelah Maya berhasil
menguras semua air mata Masumi, mereka memutuskan untuk mandi lebih dulu
sebelum makan. Keduanya sama-sama perlu air segar untuk menenangkan semua emosi
yang tidak berhenti bergolak.
Maya terkejut saat
keluar dari kamar. Masumi sudah menunggunya di ruang tengah dan seperti biasa,
tampilannya sudah rapi dengan kemeja juga celana panjang. Di balkon sudah ada
meja yang tertata rapi. Semua makanan sudah siap, di latarbelakangi matahari
sore, pemandangan alam yang indah dan suara deburan ombak, sungguh Maya
terpesona melihatnya.
Untuk pertama kalinya
hari itu dia bersyukur karena Hijiri membelikannya sebuah sundress cantik
berwarna hijau toska dengan motif bunga. Maya tidak lagi terlihat seperti
anak-anak, tubuhnya sudah lebih tinggi, badannya sintal dan kulitnya putih
bersih. Wajahnya tampak cantik dan segar meski dengan make up yang sederhana.
Maya sengaja sedikit berdandan karena tidak mau terlihat seperti anak-anak di depan
Masumi, kali ini dia ingin dianggap sebagai wanita dewasa.
Masumi tertegun melihat
Maya. Sadar sepenuhnya kalau yang ada dihadapannya saat ini adalah wanita
dewasa, bukan lagi si mungil yang dulu sering bertengkar dengannya.
"Kita makan
sekarang?" Masumi memecah keheningan diantara keduanya.
Maya tersenyum dan
mengangguk lalu berjalan ke balkon. Masumi menarik kursi untuk Maya baru
kemudian duduk dikursinya. Maya melihat semua hidangan yang tersaji, semuanya
tampak sempurna.
"Kau tidak akan
kenyang hanya dengan memandangi makanannya," goda Masumi.
"Eh?! Saya hanya
mengaggumi hasil karya anda," balas Maya.
"Hasil karya kita
berdua," Masumi membesarkan hati Maya.
Maya terkikik dan
keduanya mulai makan. "Pemandangannya cantik sekali Tuan Masumi."
Matahari mulai terbenam
dan cahaya oranye berpendar di batas garis cakrawala. Cahayanya masih
menyisakan sedikit kehangatan ditengah terpaan angin laut musim gugur.
"Memang cantik tapi...tidak
secantik dirimu," kata Masumi seraya memandang lembut pada wanita cantik
yang duduk dihadapannya.
"Eh?! Apa anda
sedang mengejekku Tuan Masumi?" Maya tersipu. Jujur, seandainya pun Masumi
berbohong, dia tetap bahagia mendengarnya.
"Aku berkata jujur,
Maya."
Maya tersenyum malu.
"Saat itu, anda mengatakan saya cantik ketika saya mengenakan kostum
bidadari merah dan saya percaya itu. Tapi kalau sekarang-,"
"Kenapa kau
berpikir seperti itu? Kecantikan bukan tentang apa yang kau pakai tapi tentang
bagaimana dirimu yang sebenarnya."
Maya tertegun. Apa Tuan Masumi punya perasaan sehalus itu? Gumamnya
dalam hati.
"Kau cantik Maya,
dengan semua tawamu, kesederhanaanmu, kepolosanmu-,"
"Kebodohan
saya?" potong Maya cepat.
Masumi tergelak.
"Aku tidak bilang kau bodoh." Masumi menggeleng tak percaya melihat
kepolosan Maya.
Dan Maya lega dengan
jawaban Masumi. Keduanya kembali menikmati makanannya. Maya memuji masakan
Masumi yang enak, sebenarnya malu juga karena sebagai wanita dia tidak pandai
memasak. Kalau dipikir lagi selain acting dia memang tidak punya bakat lainnya.
Benar-benar memalukan, masih beruntung dia sekarang artis besar pemeran
Bidadari Merah sehingga segudang kelemahannya bisa dimaafkan. Setidaknya dia
masih punya sesuatu untuk dibanggakan di depan Masumi.
"Boleh aku
bertanya sesuatu?" tanya Masumi disela-sela makan mereka.
"Tentu, Tuan
Masumi."
"Maaf jika aku
harus menanyakan hal ini tapi pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan
Daito. Kenapa kau menunda pementasan Bidadari Merah sampai tiga tahun?"
Dan gadis itu langsung
tersedak, Masumi dengan cepat menuang air dan memberikan pada Maya.
Aduh,
kenapa aku tidak berpikir Tuan Masumi akan menanyakan hal ini? Maya bodoh, gerutunya
dalam hati.
Masumi membaca reaksi
Maya, "Tidak apa-apa kalau kau tidak mau menjawabnya. Aku mengerti."
"Tidak bukan
begitu, saya hanya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya," kata Maya
bingung.
Gawat!
Aku harus memisahkan sosok Tuan Masumi dengan Mawar Ungu. Kalau tidak, dia akan
tahu rencanaku. Hhmm ... mawar ungu tahu aku akan ke Amerika, Tuan Masumi tidak.
Aduh, kenapa jadi membingungkan? Maya berdebat dengan
hatinya sendiri.
Masumi masih mengamati
Maya yang terdiam. "Maya?"
"Ah, iya. Itu ... saya
harus pergi Tuan Masumi," jawab Maya cepat.
"Pergi?"
Masumi pura-pura terkejut, tentu saja dia tahu Maya mau kemana, hanya saja
tidak tahu alasannya dan berapa lama dia akan disana.
"Iya, saya akan
pergi ke Amerika selama tiga tahun."
Dan Masumi langsung
mematung, tidak menyangka Maya akan pergi selama itu. Dia tahu tanggal
keberangkatan Maya dan otaknya dengan cepat menarik kesimpulan. Jadi pertemuan
ini adalah yang terakhir?
"Anda tidak
apa-apa Tuan Masumi?" Maya memiringkan kepalanya menatap Masumi.
"Oh iya, sampai
mana pembicaraan kita tadi?" Masumi kehilangan fokusnya.
"Saya akan pergi
ke Amerika selama tiga tahun," Maya mengulangi perkataannya.
"Selama itu? Untuk
apa?" Masumi berusaha mencari tahu rencana Maya.
Maya menggeleng.
"Saya tidak bisa mengatakannya pada Anda sekarang." Lalu Maya terdiam
dan kembali menyantap makanannya.
"Dimana kau akan
tinggal di Amerika? Dengan siapa kau disana?"
Maya tersenyum dan
sekali lagi menggeleng. Masumi mendesah pelan. Dirinya teringat Hijiri yang
mengatakan kalau ini akan menjadi pertemuan terakhir dirinya dan Maya sebagai
pria yang bebas. Dan sesaat Masumi tersentak.
Hijiri
tahu! Dia tahu kalau Maya akan pergi selama tiga tahun. Sedangkan pernikahanku
hanya tinggal menghitung hari dan saat Maya kembali maka ... statusku? ... statusku
sudah berubah ... ya, saat Maya kembali nanti aku dan Shiori sudah menikah.
Masumi mengepalkan
tangannya, badai didalam hatinya kembali mengamuk. Sial!! Apa yang kau rahasiakan dariku, Hijiri. sepertinya
Masumi memang terlalu pandai untuk bisa dikelabui.
"Tuan Masumi?!"
panggil Maya.
"Maya ... jadi
pertemuan ini adalah-," Masumi gagal melanjutkan kata-katanya.
"Ini pertemuan
terakhir kita, Tuan Masumi." Maya melanjutkan perkataan Masumi, hatinya
juga sama sakitnya jika mengingat hal itu. Dia meletakkan sendoknya. Sekarang
keduanya terdiam.
"Ngg, anda pernah
bercerita tentang pantai. Bisakah anda membawa saya kesana sekarang?" pinta
Maya, berusaha mencairkan kebekuan diantara keduanya.
Masumi melihat matahari
sudah terbenam. "Tapi ini sudah malam."
"Kita bisa melihat
bintang dari sana kan?" Maya bersemangat.
Dan akhirnya senyum
Masumi mengembang. "Baiklah, ayo."
Keduanya sekarang
berjalan keluar vila, menuruni jalanan dan tak lama kemudian mereka sampai di
pantai. Bangunan vila sekarang terlihat seperti rumah-rumahan kecil diatas
bukit. Maya dan Masumi melepaskan alas kaki mereka dan mulai berjalan di tepi
pantai.
Bintang mulai terlihat,
menghiasi luasnya langit. Maya berdiri mengagumi indahnya alam. Suara debur
ombak, angin yang berhembus, air laut yang membasahi kakinya, semua sempurna karena
Masumi ada bersamanya. Maya begitu bahagia malam itu.
"Kau suka?"
Masumi senang melihat ekspresi Maya.
"Iya,
pemandangannya sangat indah Tuan Masumi."
"Syukurlah kalau
kau suka, kukira aku akan membuatmu bosan."
"Saya tidak akan
bosan saat bersama anda justru sebaliknya saya sangat senang." Pipi Maya
merona merah.
Keduanya terdiam,
berdiri berhadapan dan hanya saling memandang satu sama lain. Hanya suara debur
ombak yang terdengar.
"Maya-,"
"Tuan Masumi-,"
Masumi terpaku menatap
pujaan hatinya, tidak tahu bagaimana cara melampiaskan semua kerinduannya.
Kau
makin dewasa Maya. Kau cantik. Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup menahan
diriku malam ini. Melihatmu, membuatku melupakan semua dunia dan menjadikan kau
pusat semestaku, batin Masumi berkecamuk.
Masumi masih terus
memandang wajah polos Maya. Tidak ada satupun dari mereka yang bicara. Keduanya
hanya memandang satu sama lain. Masumi menyusuri garis wajah Maya dengan
tatapan matanya, wajah mungil yang sangat di rindukannya. Sepasang mata indah
yang memandangnya lembut, lalu warna pipi yang merona, tapi kemudian mata Masumi
terpaku pada bibir mungil Maya.
Tanpa sadar tangan
Masumi meraih dagu Maya. Seperti hipnotis, dia mencondongkan tubuhnya,
mendekatkan bibirnya pada bibir Maya.
"Kyaaa!!"
Plak!
Masumi terpaku sambil
memegang pipinya yang terasa panas. Ekspresi Maya bercampur antara bingung dan
takut.
"Ma-ma-maafkan
saya Tuan Masumi. Saya tidak sengaja." Maya meraih tangan Masumi dan
mengelus pipinya.
Masumi justru terbahak
sampai memegangi perutnya. Menertawakan kejadian konyol yang baru saja terjadi.
"Jika anda sedang
mengerjai saya, ini tidak lucu, Tuan Masumi!" pekik Maya kesal sekaligus
malu karena sudah menampar Masumi ketika bibir mereka hampir saja bersentuhan. Masumi
berhenti tertawa dan menyisakan suara cekikan yang indah di telinga Maya.
Masumi terlihat bagitu tampan baginya, membuat pipinya kembali merona.
"Tidak, aku tidak
mengerjaimu. Maafkan aku, tapi kau baru saja membuatku lepas kontrol.
Seharusnya aku berlaku lebih sopan," kata Masumi disela-sela tawanya
sambil mengelus pipinya yang masih terasa panas.
Maya menunduk malu,
menggenggam tangan yang baru saja menampar Masumi. Menyesali reflek bodohnya.
"Maafkan saya Tuan Masumi, saya tak bermaksud-," Maya memberanikan
diri menatap Masumi.
"Tidak apa-apa
Maya, aku yang seharusnya minta maaf padamu. Lagipula aku tidak akan terkejut,
ini bukan yang pertama kali," kata Masumi tersenyum menggoda Maya, berusaha
mengembalikan suasana. Tidak ingin merusak kebersamaan mereka yang singkat.
Memori Maya langsung
melayang pada kejadian di mana dia pernah menampar Masumi. Terakhir kali pada
pesta premier Isadora. Masumi
memancing kemarahannya dan membuatnya berakting sebagai Jane di tengah pesta.
Tanpa sadar air matanya mengalir.
"Eh?" Masumi
terkejut melihat Maya menangis. "Kau kenapa? Apa perkataanku menyakitimu.
Maafkan-,"
"Tidak, Tuan
Masumi," potong Maya. Masumi terdiam. "Bukan karena anda, saya hanya
merasa sedih karena dulu saya selalu bersikap buruk pada anda. Padahal anda
sangat baik pada saya ... sangat baik, Tuan Masumi." Maya tak bisa lagi
menahan air matanya.
Mawar
unguku yang selalu baik, jerit Maya dalam hati.
Masumi tersenyum lalu
meraih wajah Maya dengan kedua tangannya. Dengan lembut disekanya air mata Maya
dengan kedua ibu jarinya.
"Aku memang pantas
menerimanya, kau tidak perlu minta maaf."
"Tuan Masumi-,"
"Aku sangat
bahagia. Melihatmu disini, bersamaku, itu sudah lebih dari cukup. Aku berharap
waktu berhenti sehingga kita bisa terus seperti ini, bersamamu. Tapi kita sama-sama
tahu bahwa itu tidak mungkin. Untuk itu aku mohon padamu Maya, lupakan semua
yang telah terjadi dan tidak usah pikirkan apa yang akan terjadi besok. Selama
disini, jadilah milikku, hanya milikku. Setelah itu aku akan melepaskanmu,
meraih impianmu."
Maya tidak tahan lagi,
dia melompat dan melingkarkan lengannya ke leher Masumi, mendekap erat pria
pujaannya. "Tidak Tuan Masumi, jangan lepaskan saya. Saya tidak mau anda
melepaskan saya. Saya milik anda dan Tuan Masumi juga milik saya, jadi saya
juga tidak akan melepaskan Anda." Maya terisak dibahu Masumi.
Masumi pun merengkuh
pinggang Maya dengan kedua lengannya. "Maya-," bisik Masumi tepat
ditelinga Maya.
"Saya milik anda
kan?"
"Iya."
"Anda milik saya
kan?"
"Iya, Maya."
"Jadi jangan
lepaskan saya."
Kali ini Masumi
terdiam.
"Katakan Tuan
Masumi, katakan kalau Anda tidak akan melepaskan saya. Tidak akan menyerah untuk
menunggu saya kembali."
Masumi membisu,
bayangan Shiori berkelebat di pelupuk matanya.
"Katakan Tuan Masumi-,"
Masa
bodoh dengan wanita itu! Hanya Maya yang kuinginkan!
Batin Masumi mulai berteriak.
"Iya Maya. Aku
tidak akan melepaskanmu. Kau milikku, hanya milikku." Masumi semakin erat
memeluk Maya. Dia merasakan Maya tersenyum di bahunya.
"Anda juga milik
saya dan saya tidak akan pernah melepaskan anda, tidak akan pernah. Masumi
hanya milik Maya," kata Maya, terdengar begitu posesif tapi keduanya
bahagia.
Lama mereka terdiam
dengan saling memeluk, sampai isakan Maya hanya menyisakan dengung yang lucu.
Masumi merasakan tubuh Maya bergidik, akhirnya dia menarik lembut lengan Maya.
Membuat gadis itu melepaskan pelukannya dan mata bingung Maya menatapnya.
"Aku tidak akan
pernah puas memelukmu tapi angin terlalu kencang disini dan kenyataannya
tubuhku tidak cukup menghangatkanmu. Ayo masuk," Masumi menggenggam tangan
Maya dan membimbingnya kembali ke vila.
"Tubuh anda hangat
kok," gumam Maya polos sambil berjalan mengikuti Masumi. Dan Masumi
terbahak lagi.
***
Sekarang Maya dan
Masumi sudah lebih hangat di dalam ruangan. Duduk bersebelahan di ruang tengah,
menonton televisi. Sebenarnya televisi hanyalah faktor pengalih, Maya meminta
Masumi menyalakan televisi karena dia bingung harus bersikap bagaimana. Bakat
actingnya yang luar biasa sama sekali tidak berguna di depan Masumi.
Gadis itu terus
mengaitkan kedua tangannya dan duduk dengan kaku di sofa panjang. Matanya
menatap pada layar televisi meski Masumi tahu Maya tidak benar-benar
melihatnya, karena sejak tadi Masumi bermain dengan remot, terus mengganti
saluran televisi. Masumi duduk bersandar santai di sofa dan menahan tawa sampai
akhirnya tawanya meledak saat melihat Maya semakin kaku duduk di sebelahnya.
Maya mengerutkan kening dan menatap heran pada Masumi.
"Apa yang kau
lihat Maya?"
"Anda," jawab
Maya spontan.
Dan Masumi kembali
tertawa namun kali ini lebih menahannya. "Maksudku apa yang kau lihat
sejak tadi?"
"Oh,
televisi?" Maya menunjuk jarinya ke layar televisi tapi kemudian malu
karena layarnya terus berganti saluran. "Anda mengerjai saya,"
gerutunya pelan, menahan hasratnya untuk berteriak. Dia tidak mau terlihat
seperti anak-anak lagi di depan Masumi.
Masumi tersenyum,
meletakkan remot dan siaran televisi berhenti pada serial drama romantic. Dia
mengalungkan lengannya pada bahu Maya, menariknya mendekat dan mengunci
pelukannya dengan lengan yang lain. Maya tak berkutik dalam dekapan Masumi.
"Kau suka menonton
drama kan?" tanya Masumi. Jarak wajah Masumi terlalu dekat dengan telinga
Maya membuatnya semakin tegang.
"Ehmm, iya,"
jawab Maya canggung.
"Kau takut
padaku?"
Maya menggeleng.
"Tidak Tuan Masumi."
"Lalu kenapa kau
seperti robot sekarang? Kau tadi memelukku di pantai, mengucapkan bahwa kita
saling memiliki satu sama lain, kau bahkan memanggilku dengan namaku," kata
Masumi.
"Ehhmm itu ... anda
membuat saya malu, Tuan Masumi." Maya menutup wajahnya dengan kedua
tangannya.
Masumi melonggarkan
kaitan tangannya dan dengan cepat mengangkat tubuh Maya, membuat gadis itu
menjerit. Tidak mempedulikannya, Masumi justru mendudukkan tubuh mungil Maya diantara
kedua kakinya dan sekali lagi menguncinya dengan pelukan dipinggang.
"Kau
milikku," bisik Masumi di telinga Maya.
Dan dalam hitungan
detik tubuh Maya menjadi rileks, ucapan Masumi seperti obat penenang baginya.
"Kau milikku,
Maya," ulang Masumi.
"Iya, Tuan Masumi."
Masumi mendesah pelan
dan Maya tahu ada sesuatu yang salah.
"Ada apa?"
"Sampai kapan kau
akan bersikap formal padaku?" Masumi menyandarkan dagunya manja di bahu
Maya.
Maya terkikik, kali ini
dia langsung mengerti apa yang di inginkan Masumi. Maya lebih santai
menyandarkan punggungnya di dada Masumi, melipat kedua tangannya di atas tangan
Masumi yang memeluk pinggangnya.
"Maya milik
Masumi," kata Maya seraya memiringkan wajahnya sehingga sekarang mereka
beradu pandang dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan Maya bisa merasakan
hembusan nafas Masumi yang hangat di wajahnya.
"Jangan melihatku
seperti itu," desah Masumi putus asa.
"Kenapa?"
"Aku bukan biksu dan
aku tidak mau mendapat dua kali tamparan malam ini."
"Eh?!" Maya
cemberut dan dengan cepat memalingkan wajahnya pada televisi.
"Nah, lebih baik. Ayo
kita lihat drama kesukaanmu." Masumi kembali bersandar manja di bahu Maya
dan gadis itu bersandar santai pada dada Masumi. Lama mereka terdiam menatap
layar televisi.
"Maya-."
"Hhmm."
"Apa kau
benar-benar harus pergi?"
Maya tertegun sejenak.
"Iya Masumi, aku harus pergi."
"Apa yang
sebenarnya kau rencanakan? Kenapa kau tidak mau mengatakannya? Kau tidak
percaya padaku?"
Maya menggelang pelan.
"Tidak, aku percaya padamu bahkan sangat percaya. Tapi kali ini aku harus
melakukannya sendiri."
Masumi meraih tangan
Maya dan mencium telapak tangannya. "Kadang aku tidak percaya ada kekuatan
yang begitu besar pada tangan ini. Dan semangatmu itu-." Masumi mendesah,
melepaskan tangan Maya lalu kembali mendekap tubuh gadis pujaannya.
"Dimana kau sembunyikan semangat besar itu dalam tubuh mungilmu ini Maya?"
Maya terbuai, dia
begitu menikmati pelukan Masumi, merasakan hangatnya kasih. Andai aku bisa mengatakannya Masumi. Kaulah
yang membuatku kuat, yang membuatku selalu bertahan ... ya, kau. Meski butuh
waktu lama bagiku menyadarinya tapi akhirnya aku tahu, kaulah kekuatanku,
kaulah semangatku. Mungkin dulu aku mencintaimu sebagai mawar ungu tapi
sekarang aku mencintaimu sebagai Masumi. Satu-satunya Masumi milikku, hati
kecil Maya kembali terisak-isak.
"Maya,"
panggil Masumi, tapi Maya masih berada di alam bawah sadarnya.
"Maya," ulang Masumi.
"Ah, iya,"
Maya tersadar dari lamunanya.
"Apa yang sedang
kau pikirkan?" tanya Masumi.
"Kau." Dari
sudut mata Maya melihat seringai Masumi yang masih bersandar di atas bahunya.
"Boleh aku
bertanya sesuatu, lagi?" tanya Masumi.
"Hari ini kau
penuh dengan 'bertanya sesuatu' ya," kata Maya.
"Maya," tegur
Masumi dengan nada memperingatkan.
"Hhmmm, baiklah,
katakan."
"Katakan apa yang
bisa kulakukan untukmu?"
Maya tertegun sejenak. "Percayalah padaku
dan tunggu aku kembali."
"Bukan itu yang
kumaksud. Aku pasti akan menunggumu tapi aku ingin kau-," terang Masumi.
"Kau tidak percaya
padaku Masumi?" Maya memiringkan wajahnya dan menangkap ekspresi ragu
diwajah kekasihnya.
"Bukan begitu,
sebenarnya aku tidak ingin membicarakan hal ini tapi-," Masumi menatap
Maya. "Sampai saat ini aku belum menemukan cara untuk membatalkan
pernikahanku dengan Shiori dan itu berarti saat kau pergi nanti-.” Helaan napas
panjang lolos dari bibir Masumi. Dia terdiam saat Maya meletakkan telunjuk
dibibirnya.
"Tidak perlu
membahas hal itu. Masumi hanya milik Maya, hanya milik Maya," sekali lagi
kalimat posesif Maya membuat Masumi begitu bahagia.
"Ya, kau juga
hanya milikku," Masumi kembali mendekap Maya.
Suasana kembali tenang,
hanya suara televisi yang terdengar. Tanpa terasa drama sudah selesai dan
Masumi baru menyadari kalau Maya sudah tertidur dalam pelukannya.
Dia tersenyum mengamati
Maya yang tampak damai dalam tidurnya. Perlahan dia melepas pelukannya dan
mengangkat Maya dengan hati-hati, membawanya ke kamar. Masumi membaringkan Maya
ditempat tidur lalu menyelimutinya. Sejenak dia tertegun memandang gadis pujaannya
dan saat pikirannya mulai melayang Masumi bergegas meninggalkan kamar Maya.
***
Masumi masih tidak bisa
tidur, padahal sudah hampir pukul dua dini hari. Dia masih menikmati bintang di
balkon, merenungkan semua hal indah yang terjadi padanya hari ini.
Tujuh
tahun, tanpa terasa tujuh tahun aku menunggunya. Tapi kenapa semuanya jadi
seperti ini? Saat perasaanku dan Maya bersatu, kenapa? Apakah hanya sesingkat
ini kebahagiaan yang bisa kurasakan? Aku ingin lebih, aku ingin terus
bersamanya, memilikinya utuh. Menjaganya, saling berbagi dengannya. Aku ingin
memberikan dunia padanya. Hidupnya tidak pernah mudah, dia sebatang kara dan
aku ingin mengubahnya, membahagiakannya, memberikan padanya apa yang tidak
pernah didapatkannya. Dan itu ingin kulakukan sebagai seorang Masumi, bukan
sebagai Mawar ungu.
Masumi menghela napas
panjang. "Sampai kapan aku harus berada di balik bayangan Mawar ungu.
Maya, andai kau tahu."
Suara jeritan
menyadarkan Masumi dari lamunannya. Dengan langkah panjang Masumi berlari ke
kamar Maya. Saat pintu terbuka, Masumi mendapati gadis itu duduk dengan bingung
di atas tempat tidur, wajahnya berurai air mata.
"Ada apa Maya? Kau
kenapa?" Dengan panik Masumi duduk di tepi tempat tidur, memegang kedua
lengan Maya.
"Aku-aku bermimpi …
aku bermimpi kau pergi Masumi. Meninggalkan aku sendirian," kata Maya di tengah
napas yang tersengal dan ekspresi bingung.
Masumi lega saat mendengarnya.
"Hanya mimpi. Aku disini, tenanglah," Masumi memeluk Maya, merebahkan
kepala kekasihnya di dada dan membelai rambut hitamnya. Tak lama kemudian napas
Maya semakin teratur, dia sudah lebih tenang. "Lebih baik?" tanya Masumi
begitu melepaskan pelukannya dan menatap wajah mungil gadis pujaannya.
Maya mengangguk.
"Mau kuambilkan
air minum?"
Maya mengangguk lagi.
Masumi beranjak dan
tanpa sadar Maya mencekal tangan Masumi. "Kenapa?"
"Jangan
pergi," gumam Maya.
Masumi tersenyum, jelas
gadis itu tidak sadar apa yang di lakukannya. Dia pun kembali duduk di tepi
tempat tidur dan melepaskan tangan Maya. "Bagaimana aku bisa mengambil air
jika tidak pergi? Aku akan kembali, hanya sebentar," Masumi membelai pipi
Maya dan gadis itu tersenyum.
Tak lama pergi, Masumi
kembali dengan membawa gelas dan sebuah pitcher.
Menuang air kedalam gelas lalu memberikannya pada Maya.
"Terima
kasih," gumam Maya saat mengembalikan gelas kosong pada Masumi.
"Tidurlah, ini
masih dini hari."
"Jangan pergi,
kumohon. Temani aku," pinta Maya.
Masumi terkejut.
"Maya, aku-,"
"Kumohon,"
pinta Maya lagi.
Apa
kau sadar dengan apa yang kau minta, Maya? Aku pria normal dan sejak tadi aku
sudah menahan diri dari … semua pikiran itu. Dan sekarang kau memintaku
menemanimu? Masumi bergulat dengan dirinya
sendiri sementara Maya masih menatapnya penuh harap. Kepolosan gadis itu memang
tiada tanding.
Tiba-tiba Maya bergeser
dan menyisakan ruang untuk Masumi di tempat tidurnya. Pria itu menggosok kening
dengan telapak tangan, seolah itu hal itu adalah masalah berat –memang,
baginya-.
"Masumi,"
panggil Maya memelas dan Masumi gagal menolak pesona mata bulat yang memohonnya
penuh harap. Dengan ragu dia naik ke atas tempat tidur, menatap kekasihnya yang
kini justru tersenyum.
"Seperti
ini?" Masumi mencoba menciptakan suasana humor untuk mengalihkan
pikirannya. Maya mengangguk senang dan beringsut mendekati kekasihnya. Masumi
menghela napas pelan. "Sekarang tidurlah." Perintah Masumi seraya mengusap
pipi Maya dan menyelipkan rambut hitam panjang itu kebelakang telinga.
Cepatlah
tidur Maya! Kau tidak akan bisa membayangkan apa yang bisa kulakukan jika kau
tidak segera tidur. Kau begitu polos, tidakkah kau sadar kalau aku bisa saja
membahayakanmu? Batin Masumi meraung-raung meski
wajahnya terlihat setenang malaikat.
"Masumi."
Maya justru mengajaknya bicara.
Oh
tidak Maya! Tidurlah!! Jerit Masumi dalam hati tapi
bibirnya berkhianat. "Ya," jawabnya lembut.
"Tadi aku bermimpi
kita berdua menikah."
Raut wajah Masumi
langsung berubah tegang.
"Tapi, kau
tiba-tiba pergi meninggalkanku. Sendirian di altar. Aku memanggilmu tapi kau
tak menoleh lagi. Aku mengejarmu tapi kau menghilang dan meninggalkanku
menangis sendirian." Maya menatap sendu pria yang duduk di sebelahnya.
Hati Masumi seperti di
sayat sembilu. Kekasihnya memimpikan tentang sebuah pernikahan sementara dia
masih belum mendapatkan cara untuk bisa lepas dari cengkraman keluarga
Takamiya.
"Masumi.” Maya
mengulurkan tangan ke wajah Masumi dan mengusapnya lembut. “Jika tiba saatnya
nanti kita menikah, kau tidak akan meninggalkanku kan?"
Masumi tersenyum, mencoba
meredakan kegalauan hatinya. Dia tidak ingin menambah beban Maya. "Tidak
sayang, aku tidak akan meninggalkanmu."
Maya tersenyum dengan
panggilan sayang yang di ucapkan Masumi. Diapun kembali membelai wajah Masumi dengan
tangan mungilnya.
Oh
tidak, kau membuatku gila, Maya. Batin Masumi
kembali meraung. Sentuhan Maya mengaburkan pikiran sehat Masumi.
"Aku senang kau
mengajakku ke vila ini. Menjadi bagian dari kenangan indah di sini, yang hanya
milikmu."
Berhenti
bicara dan tidurlah, Maya! Tapi mulutnya kembali
berkhianat. "Kau akan selalu menjadi bagian terindah dalam hidupku Maya. Bukan
kenangan tapi milikku yang terindah, yang kumiliki secara utuh."
Masumi
bodoh!! Kau malah merayunya!! Masumi justru
memaki dirinya sendiri. Batinnya tidak terima akan penghianatan mulut manisnya.
Sayangnya Maya justru
menyandarkan kepalanya di bahu Masumi. Gadis itu menghela napas panjang hingga
hembusan napasnya menyentuh kulit wajah Masumi. Pria itu membeku. Sekuat tenaga
memasung hasratnya dalam penjara gelap.
Masumi segera meraih
tangan kekasihnya yang bersandar di sisi lain bahunya dan meletakkannya di atas
pangkuan Maya. Berusaha mengantisipasi efek tindakan yang saat ini terbayang
dalam pikirannya. Pria itu sedikit menunduk demi menatap wajah Maya. Tangannya terasa
gatal. Dia pun mengusapkan jemarinya, menyusuri garis wajah kekasih mungilnya.
Maya justru terpejam
dan menikmati sentuhannya. Sukses. Hal itu membuat Masumi sedikit melonggarkan
tali kekangnya. Dia meraih dagu Maya, mengangkatnya perlahan dan tanpa ragu
mendaratkan sebuah ciuman pada bibir mungil itu. Masumi merasakan keterkejutan
Maya tapi mengabaikannya.
Jelas Maya belum pernah
berciuman tapi bibir Masumi yang memaksa melakukannya. Dan nyatanya, paksaan
itu hanya berlangsung sesaat karena kemudian Maya menyerah dan membiarkan
Masumi membuainya. Semakin dalam keduanya terhanyut. Kini tangan Maya sudah
mencengkram kemeja di pinggang Masumi dan dengan saling memeluk, keduanya tidak
berniat untuk berhenti. Sampai kemudian Masumi tersadar ketika mendengar Maya
mengerang dalam mulutnya. Pikiran sehatnya kembali.
Perlahan Masumi melepas
Maya yang entah bagaimana sudah berada di bawahnya, menyisakan desahan pelan,
rambut berantakan dan napas yang tidak beraturan. Baru di sadarinya air mata
mengalir dari sudut mata Maya dan itu membuat penyesalan juga rasa bersalah
langsung merayapi hati Masumi.
"Maafkan aku Maya,"
lirih Masumi seraya menghapus air di sudut mata kekasihnya dengan telunjuk.
Maya masih terpejam dengan pipi merona segar dan terlihat begitu menggoda
dengan bibir terbuka dan sedikit bengkak.
Masumi bangun dan duduk
bersandar pada kepala tempat tidur lalu dengan lembut mengangkat tubuh Maya dan
merengkuhnya dalam pelukan erat. "Maafkan aku sayang."
Maya bersandar di dada
Masumi, masih diam seribu bahasa. Sepertinya Masumi sudah mengirimnya ketempat
yang jauh sampai dia tersesat dan tidak bisa kembali.
"Kumohon katakan
sesuatu, maafkan aku." Masumi memohon pada Maya yang masih diam dalam dekapannya.
"Maya, aku mencintaimu
sayang," bisik Masumi dan bagai sebuah mantra, kalimat itu membuat Maya berkedip
lalu tersenyum tipis. "Aku mencintaimu," bisik Masumi lagi.
"Aku juga
mencintaimu," lirih Maya di dada Masumi. Saat itu juga kelegaan menjalar
di seluruh tubuh Masumi, menggantikan rasa bersalahnya.
"Oh, sayang."
Masumi mengeratkan pelukannya.
"Aku mencintaimu
Masumi," ulang Maya dan kali ini dengan kesadaran yang lebih baik.
"Terima kasih."
Masumi merasakan Maya semakin bersandar di dadanya dan dia membiarkannya
seperti itu. Saat ini keduanya merasakan kebahagian karena perasaan mereka yang
terbebaskan.
***
>>Bersambung<<
Follow me on :
Facebook : Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina
1 Comments
Sebagai pencinta Topeng Kaca, aku baru menemukan karya jeung Kristi ini di tahun 2022. Sungguh menghibur di tengah penantian kelanjutan manga ini. Terima kasih author <3
ReplyDelete