Kelima : Pertemuan Terakhir - Bag 2

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua itu? Bukan hanya impiannya yang dipertaruhkan tapi juga kehidupan orang terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalannya.

*********************************************************************************



Hari menjelang senja saat Maya dan Masumi benar-benar selesai memasak. Setelah Maya berhasil menguras semua air mata Masumi, mereka memutuskan untuk mandi lebih dulu sebelum makan. Keduanya sama-sama perlu air segar untuk menenangkan semua emosi yang tidak berhenti bergolak.
Maya terkejut saat keluar dari kamar. Masumi sudah menunggunya di ruang tengah dan seperti biasa, tampilannya sudah rapi dengan kemeja juga celana panjang. Di balkon sudah ada meja yang tertata rapi. Semua makanan sudah siap, di latarbelakangi matahari sore, pemandangan alam yang indah dan suara deburan ombak, sungguh Maya terpesona melihatnya.

Untuk pertama kalinya hari itu dia bersyukur karena Hijiri membelikannya sebuah sundress cantik berwarna hijau toska dengan motif bunga. Maya tidak lagi terlihat seperti anak-anak, tubuhnya sudah lebih tinggi, badannya sintal dan kulitnya putih bersih. Wajahnya tampak cantik dan segar meski dengan make up yang sederhana. Maya sengaja sedikit berdandan karena tidak mau terlihat seperti anak-anak di depan Masumi, kali ini dia ingin dianggap sebagai wanita dewasa.

Masumi tertegun melihat Maya. Sadar sepenuhnya kalau yang ada dihadapannya saat ini adalah wanita dewasa, bukan lagi si mungil yang dulu sering bertengkar dengannya.

"Kita makan sekarang?" Masumi memecah keheningan diantara keduanya.

Maya tersenyum dan mengangguk lalu berjalan ke balkon. Masumi menarik kursi untuk Maya baru kemudian duduk dikursinya. Maya melihat semua hidangan yang tersaji, semuanya tampak sempurna.

"Kau tidak akan kenyang hanya dengan memandangi makanannya," goda Masumi.

"Eh?! Saya hanya mengaggumi hasil karya anda," balas Maya.

"Hasil karya kita berdua," Masumi membesarkan hati Maya.

Maya terkikik dan keduanya mulai makan. "Pemandangannya cantik sekali Tuan Masumi."

Matahari mulai terbenam dan cahaya oranye berpendar di batas garis cakrawala. Cahayanya masih menyisakan sedikit kehangatan ditengah terpaan angin laut musim gugur.

"Memang cantik tapi...tidak secantik dirimu," kata Masumi seraya memandang lembut pada wanita cantik yang duduk dihadapannya.

"Eh?! Apa anda sedang mengejekku Tuan Masumi?" Maya tersipu. Jujur, seandainya pun Masumi berbohong, dia tetap bahagia mendengarnya.

"Aku berkata jujur, Maya."

Maya tersenyum malu. "Saat itu, anda mengatakan saya cantik ketika saya mengenakan kostum bidadari merah dan saya percaya itu. Tapi kalau sekarang-,"

"Kenapa kau berpikir seperti itu? Kecantikan bukan tentang apa yang kau pakai tapi tentang bagaimana dirimu yang sebenarnya."

Maya tertegun. Apa Tuan Masumi punya perasaan sehalus itu? Gumamnya dalam hati.

"Kau cantik Maya, dengan semua tawamu, kesederhanaanmu, kepolosanmu-,"

"Kebodohan saya?" potong Maya cepat.

Masumi tergelak. "Aku tidak bilang kau bodoh." Masumi menggeleng tak percaya melihat kepolosan Maya.

Dan Maya lega dengan jawaban Masumi. Keduanya kembali menikmati makanannya. Maya memuji masakan Masumi yang enak, sebenarnya malu juga karena sebagai wanita dia tidak pandai memasak. Kalau dipikir lagi selain acting dia memang tidak punya bakat lainnya. Benar-benar memalukan, masih beruntung dia sekarang artis besar pemeran Bidadari Merah sehingga segudang kelemahannya bisa dimaafkan. Setidaknya dia masih punya sesuatu untuk dibanggakan di depan Masumi.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Masumi disela-sela makan mereka.

"Tentu, Tuan Masumi."

"Maaf jika aku harus menanyakan hal ini tapi pertanyaan ini tidak ada hubungannya dengan Daito. Kenapa kau menunda pementasan Bidadari Merah sampai tiga tahun?"

Dan gadis itu langsung tersedak, Masumi dengan cepat menuang air dan memberikan pada Maya.

Aduh, kenapa aku tidak berpikir Tuan Masumi akan menanyakan hal ini? Maya bodoh, gerutunya dalam hati.

Masumi membaca reaksi Maya, "Tidak apa-apa kalau kau tidak mau menjawabnya. Aku mengerti."

"Tidak bukan begitu, saya hanya tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya," kata Maya bingung. 
Gawat! Aku harus memisahkan sosok Tuan Masumi dengan Mawar Ungu. Kalau tidak, dia akan tahu rencanaku. Hhmm ... mawar ungu tahu aku akan ke Amerika, Tuan Masumi tidak. Aduh, kenapa jadi membingungkan? Maya berdebat dengan hatinya sendiri.

Masumi masih mengamati Maya yang terdiam. "Maya?"

"Ah, iya. Itu ... saya harus pergi Tuan Masumi," jawab Maya cepat.

"Pergi?" Masumi pura-pura terkejut, tentu saja dia tahu Maya mau kemana, hanya saja tidak tahu alasannya dan berapa lama dia akan disana.

"Iya, saya akan pergi ke Amerika selama tiga tahun."

Dan Masumi langsung mematung, tidak menyangka Maya akan pergi selama itu. Dia tahu tanggal keberangkatan Maya dan otaknya dengan cepat menarik kesimpulan. Jadi pertemuan ini adalah yang terakhir?

"Anda tidak apa-apa Tuan Masumi?" Maya memiringkan kepalanya menatap Masumi.

"Oh iya, sampai mana pembicaraan kita tadi?" Masumi kehilangan fokusnya.

"Saya akan pergi ke Amerika selama tiga tahun," Maya mengulangi perkataannya.

"Selama itu? Untuk apa?" Masumi berusaha mencari tahu rencana Maya.

Maya menggeleng. "Saya tidak bisa mengatakannya pada Anda sekarang." Lalu Maya terdiam dan kembali menyantap makanannya.

"Dimana kau akan tinggal di Amerika? Dengan siapa kau disana?"

Maya tersenyum dan sekali lagi menggeleng. Masumi mendesah pelan. Dirinya teringat Hijiri yang mengatakan kalau ini akan menjadi pertemuan terakhir dirinya dan Maya sebagai pria yang bebas. Dan sesaat Masumi tersentak.

Hijiri tahu! Dia tahu kalau Maya akan pergi selama tiga tahun. Sedangkan pernikahanku hanya tinggal menghitung hari dan saat Maya kembali maka ... statusku? ... statusku sudah berubah ... ya, saat Maya kembali nanti aku dan Shiori sudah menikah.

Masumi mengepalkan tangannya, badai didalam hatinya kembali mengamuk. Sial!! Apa yang kau rahasiakan dariku, Hijiri. sepertinya Masumi memang terlalu pandai untuk bisa dikelabui.

"Tuan Masumi?!" panggil Maya.

"Maya ... jadi pertemuan ini adalah-," Masumi gagal melanjutkan kata-katanya.

"Ini pertemuan terakhir kita, Tuan Masumi." Maya melanjutkan perkataan Masumi, hatinya juga sama sakitnya jika mengingat hal itu. Dia meletakkan sendoknya. Sekarang keduanya terdiam.

"Ngg, anda pernah bercerita tentang pantai. Bisakah anda membawa saya kesana sekarang?" pinta Maya, berusaha mencairkan kebekuan diantara keduanya.

Masumi melihat matahari sudah terbenam. "Tapi ini sudah malam."

"Kita bisa melihat bintang dari sana kan?" Maya bersemangat.

Dan akhirnya senyum Masumi mengembang. "Baiklah, ayo."

Keduanya sekarang berjalan keluar vila, menuruni jalanan dan tak lama kemudian mereka sampai di pantai. Bangunan vila sekarang terlihat seperti rumah-rumahan kecil diatas bukit. Maya dan Masumi melepaskan alas kaki mereka dan mulai berjalan di tepi pantai.

Bintang mulai terlihat, menghiasi luasnya langit. Maya berdiri mengagumi indahnya alam. Suara debur ombak, angin yang berhembus, air laut yang membasahi kakinya, semua sempurna karena Masumi ada bersamanya. Maya begitu bahagia malam itu.

"Kau suka?" Masumi senang melihat ekspresi Maya.

"Iya, pemandangannya sangat indah Tuan Masumi."

"Syukurlah kalau kau suka, kukira aku akan membuatmu bosan."

"Saya tidak akan bosan saat bersama anda justru sebaliknya saya sangat senang." Pipi Maya merona merah.

Keduanya terdiam, berdiri berhadapan dan hanya saling memandang satu sama lain. Hanya suara debur ombak yang terdengar.

"Maya-,"

"Tuan Masumi-,"

Masumi terpaku menatap pujaan hatinya, tidak tahu bagaimana cara melampiaskan semua kerinduannya.

Kau makin dewasa Maya. Kau cantik. Aku tidak tahu apakah aku akan sanggup menahan diriku malam ini. Melihatmu, membuatku melupakan semua dunia dan menjadikan kau pusat semestaku, batin Masumi berkecamuk.

Masumi masih terus memandang wajah polos Maya. Tidak ada satupun dari mereka yang bicara. Keduanya hanya memandang satu sama lain. Masumi menyusuri garis wajah Maya dengan tatapan matanya, wajah mungil yang sangat di rindukannya. Sepasang mata indah yang memandangnya lembut, lalu warna pipi yang merona, tapi kemudian mata Masumi terpaku pada bibir mungil Maya.
Tanpa sadar tangan Masumi meraih dagu Maya. Seperti hipnotis, dia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya pada bibir Maya.

"Kyaaa!!" Plak!

Masumi terpaku sambil memegang pipinya yang terasa panas. Ekspresi Maya bercampur antara bingung dan takut.

"Ma-ma-maafkan saya Tuan Masumi. Saya tidak sengaja." Maya meraih tangan Masumi dan mengelus pipinya.

Masumi justru terbahak sampai memegangi perutnya. Menertawakan kejadian konyol yang baru saja terjadi.

"Jika anda sedang mengerjai saya, ini tidak lucu, Tuan Masumi!" pekik Maya kesal sekaligus malu karena sudah menampar Masumi ketika bibir mereka hampir saja bersentuhan. Masumi berhenti tertawa dan menyisakan suara cekikan yang indah di telinga Maya. Masumi terlihat bagitu tampan baginya, membuat pipinya kembali merona.

"Tidak, aku tidak mengerjaimu. Maafkan aku, tapi kau baru saja membuatku lepas kontrol. Seharusnya aku berlaku lebih sopan," kata Masumi disela-sela tawanya sambil mengelus pipinya yang masih terasa panas.

Maya menunduk malu, menggenggam tangan yang baru saja menampar Masumi. Menyesali reflek bodohnya. "Maafkan saya Tuan Masumi, saya tak bermaksud-," Maya memberanikan diri menatap Masumi.

"Tidak apa-apa Maya, aku yang seharusnya minta maaf padamu. Lagipula aku tidak akan terkejut, ini bukan yang pertama kali," kata Masumi tersenyum menggoda Maya, berusaha mengembalikan suasana. Tidak ingin merusak kebersamaan mereka yang singkat.

Memori Maya langsung melayang pada kejadian di mana dia pernah menampar Masumi. Terakhir kali pada pesta premier Isadora. Masumi memancing kemarahannya dan membuatnya berakting sebagai Jane di tengah pesta. Tanpa sadar air matanya mengalir.

"Eh?" Masumi terkejut melihat Maya menangis. "Kau kenapa? Apa perkataanku menyakitimu. Maafkan-,"

"Tidak, Tuan Masumi," potong Maya. Masumi terdiam. "Bukan karena anda, saya hanya merasa sedih karena dulu saya selalu bersikap buruk pada anda. Padahal anda sangat baik pada saya ... sangat baik, Tuan Masumi." Maya tak bisa lagi menahan air matanya. 

Mawar unguku yang selalu baik, jerit Maya dalam hati.

Masumi tersenyum lalu meraih wajah Maya dengan kedua tangannya. Dengan lembut disekanya air mata Maya dengan kedua ibu jarinya.

"Aku memang pantas menerimanya, kau tidak perlu minta maaf."

"Tuan Masumi-,"

"Aku sangat bahagia. Melihatmu disini, bersamaku, itu sudah lebih dari cukup. Aku berharap waktu berhenti sehingga kita bisa terus seperti ini, bersamamu. Tapi kita sama-sama tahu bahwa itu tidak mungkin. Untuk itu aku mohon padamu Maya, lupakan semua yang telah terjadi dan tidak usah pikirkan apa yang akan terjadi besok. Selama disini, jadilah milikku, hanya milikku. Setelah itu aku akan melepaskanmu, meraih impianmu."

Maya tidak tahan lagi, dia melompat dan melingkarkan lengannya ke leher Masumi, mendekap erat pria pujaannya. "Tidak Tuan Masumi, jangan lepaskan saya. Saya tidak mau anda melepaskan saya. Saya milik anda dan Tuan Masumi juga milik saya, jadi saya juga tidak akan melepaskan Anda." Maya terisak dibahu Masumi.

Masumi pun merengkuh pinggang Maya dengan kedua lengannya. "Maya-," bisik Masumi tepat ditelinga Maya.

"Saya milik anda kan?"

"Iya."

"Anda milik saya kan?"

"Iya, Maya."

"Jadi jangan lepaskan saya."

Kali ini Masumi terdiam.

"Katakan Tuan Masumi, katakan kalau Anda tidak akan melepaskan saya. Tidak akan menyerah untuk menunggu saya kembali."

Masumi membisu, bayangan Shiori berkelebat di pelupuk matanya.

"Katakan Tuan Masumi-,"

Masa bodoh dengan wanita itu! Hanya Maya yang kuinginkan! Batin Masumi mulai berteriak. 

"Iya Maya. Aku tidak akan melepaskanmu. Kau milikku, hanya milikku." Masumi semakin erat memeluk Maya. Dia merasakan Maya tersenyum di bahunya.

"Anda juga milik saya dan saya tidak akan pernah melepaskan anda, tidak akan pernah. Masumi hanya milik Maya," kata Maya, terdengar begitu posesif tapi keduanya bahagia.

Lama mereka terdiam dengan saling memeluk, sampai isakan Maya hanya menyisakan dengung yang lucu. Masumi merasakan tubuh Maya bergidik, akhirnya dia menarik lembut lengan Maya. Membuat gadis itu melepaskan pelukannya dan mata bingung Maya menatapnya.

"Aku tidak akan pernah puas memelukmu tapi angin terlalu kencang disini dan kenyataannya tubuhku tidak cukup menghangatkanmu. Ayo masuk," Masumi menggenggam tangan Maya dan membimbingnya kembali ke vila.

"Tubuh anda hangat kok," gumam Maya polos sambil berjalan mengikuti Masumi. Dan Masumi terbahak lagi.

***
Sekarang Maya dan Masumi sudah lebih hangat di dalam ruangan. Duduk bersebelahan di ruang tengah, menonton televisi. Sebenarnya televisi hanyalah faktor pengalih, Maya meminta Masumi menyalakan televisi karena dia bingung harus bersikap bagaimana. Bakat actingnya yang luar biasa sama sekali tidak berguna di depan Masumi.

Gadis itu terus mengaitkan kedua tangannya dan duduk dengan kaku di sofa panjang. Matanya menatap pada layar televisi meski Masumi tahu Maya tidak benar-benar melihatnya, karena sejak tadi Masumi bermain dengan remot, terus mengganti saluran televisi. Masumi duduk bersandar santai di sofa dan menahan tawa sampai akhirnya tawanya meledak saat melihat Maya semakin kaku duduk di sebelahnya. Maya mengerutkan kening dan menatap heran pada Masumi.

"Apa yang kau lihat Maya?"

"Anda," jawab Maya spontan.

Dan Masumi kembali tertawa namun kali ini lebih menahannya. "Maksudku apa yang kau lihat sejak tadi?"

"Oh, televisi?" Maya menunjuk jarinya ke layar televisi tapi kemudian malu karena layarnya terus berganti saluran. "Anda mengerjai saya," gerutunya pelan, menahan hasratnya untuk berteriak. Dia tidak mau terlihat seperti anak-anak lagi di depan Masumi.

Masumi tersenyum, meletakkan remot dan siaran televisi berhenti pada serial drama romantic. Dia mengalungkan lengannya pada bahu Maya, menariknya mendekat dan mengunci pelukannya dengan lengan yang lain. Maya tak berkutik dalam dekapan Masumi.

"Kau suka menonton drama kan?" tanya Masumi. Jarak wajah Masumi terlalu dekat dengan telinga Maya membuatnya semakin tegang.

"Ehmm, iya," jawab Maya canggung.

"Kau takut padaku?"

Maya menggeleng. "Tidak Tuan Masumi."

"Lalu kenapa kau seperti robot sekarang? Kau tadi memelukku di pantai, mengucapkan bahwa kita saling memiliki satu sama lain, kau bahkan memanggilku dengan namaku," kata Masumi.

"Ehhmm itu ... anda membuat saya malu, Tuan Masumi." Maya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Masumi melonggarkan kaitan tangannya dan dengan cepat mengangkat tubuh Maya, membuat gadis itu menjerit. Tidak mempedulikannya, Masumi justru mendudukkan tubuh mungil Maya diantara kedua kakinya dan sekali lagi menguncinya dengan pelukan dipinggang.

"Kau milikku," bisik Masumi di telinga Maya.

Dan dalam hitungan detik tubuh Maya menjadi rileks, ucapan Masumi seperti obat penenang baginya.

"Kau milikku, Maya," ulang Masumi.

"Iya, Tuan Masumi."

Masumi mendesah pelan dan Maya tahu ada sesuatu yang salah.

"Ada apa?"

"Sampai kapan kau akan bersikap formal padaku?" Masumi menyandarkan dagunya manja di bahu Maya.

Maya terkikik, kali ini dia langsung mengerti apa yang di inginkan Masumi. Maya lebih santai menyandarkan punggungnya di dada Masumi, melipat kedua tangannya di atas tangan Masumi yang memeluk pinggangnya.

"Maya milik Masumi," kata Maya seraya memiringkan wajahnya sehingga sekarang mereka beradu pandang dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan Maya bisa merasakan hembusan nafas Masumi yang hangat di wajahnya.

"Jangan melihatku seperti itu," desah Masumi putus asa.

"Kenapa?"

"Aku bukan biksu dan aku tidak mau mendapat dua kali tamparan malam ini."

"Eh?!" Maya cemberut dan dengan cepat memalingkan wajahnya pada televisi.

"Nah, lebih baik. Ayo kita lihat drama kesukaanmu." Masumi kembali bersandar manja di bahu Maya dan gadis itu bersandar santai pada dada Masumi. Lama mereka terdiam menatap layar televisi.

"Maya-."

"Hhmm."

"Apa kau benar-benar harus pergi?"

Maya tertegun sejenak. "Iya Masumi, aku harus pergi."

"Apa yang sebenarnya kau rencanakan? Kenapa kau tidak mau mengatakannya? Kau tidak percaya padaku?"

Maya menggelang pelan. "Tidak, aku percaya padamu bahkan sangat percaya. Tapi kali ini aku harus melakukannya sendiri."

Masumi meraih tangan Maya dan mencium telapak tangannya. "Kadang aku tidak percaya ada kekuatan yang begitu besar pada tangan ini. Dan semangatmu itu-." Masumi mendesah, melepaskan tangan Maya lalu kembali mendekap tubuh gadis pujaannya. "Dimana kau sembunyikan semangat besar itu dalam tubuh mungilmu ini Maya?"

Maya terbuai, dia begitu menikmati pelukan Masumi, merasakan hangatnya kasih. Andai aku bisa mengatakannya Masumi. Kaulah yang membuatku kuat, yang membuatku selalu bertahan ... ya, kau. Meski butuh waktu lama bagiku menyadarinya tapi akhirnya aku tahu, kaulah kekuatanku, kaulah semangatku. Mungkin dulu aku mencintaimu sebagai mawar ungu tapi sekarang aku mencintaimu sebagai Masumi. Satu-satunya Masumi milikku, hati kecil Maya kembali terisak-isak.

"Maya," panggil Masumi, tapi Maya masih berada di alam bawah sadarnya. "Maya," ulang Masumi.

"Ah, iya," Maya tersadar dari lamunanya.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Masumi.

"Kau." Dari sudut mata Maya melihat seringai Masumi yang masih bersandar di atas bahunya.

"Boleh aku bertanya sesuatu, lagi?" tanya Masumi.

"Hari ini kau penuh dengan 'bertanya sesuatu' ya," kata Maya.

"Maya," tegur Masumi dengan nada memperingatkan.

"Hhmmm, baiklah, katakan."

"Katakan apa yang bisa kulakukan untukmu?"

Maya tertegun sejenak. "Percayalah padaku dan tunggu aku kembali."

"Bukan itu yang kumaksud. Aku pasti akan menunggumu tapi aku ingin kau-," terang Masumi.

"Kau tidak percaya padaku Masumi?" Maya memiringkan wajahnya dan menangkap ekspresi ragu diwajah kekasihnya.

"Bukan begitu, sebenarnya aku tidak ingin membicarakan hal ini tapi-," Masumi menatap Maya. "Sampai saat ini aku belum menemukan cara untuk membatalkan pernikahanku dengan Shiori dan itu berarti saat kau pergi nanti-.” Helaan napas panjang lolos dari bibir Masumi. Dia terdiam saat Maya meletakkan telunjuk dibibirnya.

"Tidak perlu membahas hal itu. Masumi hanya milik Maya, hanya milik Maya," sekali lagi kalimat posesif Maya membuat Masumi begitu bahagia.

"Ya, kau juga hanya milikku," Masumi kembali mendekap Maya.

Suasana kembali tenang, hanya suara televisi yang terdengar. Tanpa terasa drama sudah selesai dan Masumi baru menyadari kalau Maya sudah tertidur dalam pelukannya.

Dia tersenyum mengamati Maya yang tampak damai dalam tidurnya. Perlahan dia melepas pelukannya dan mengangkat Maya dengan hati-hati, membawanya ke kamar. Masumi membaringkan Maya ditempat tidur lalu menyelimutinya. Sejenak dia tertegun memandang gadis pujaannya dan saat pikirannya mulai melayang Masumi bergegas meninggalkan kamar Maya.

***
Masumi masih tidak bisa tidur, padahal sudah hampir pukul dua dini hari. Dia masih menikmati bintang di balkon, merenungkan semua hal indah yang terjadi padanya hari ini.

Tujuh tahun, tanpa terasa tujuh tahun aku menunggunya. Tapi kenapa semuanya jadi seperti ini? Saat perasaanku dan Maya bersatu, kenapa? Apakah hanya sesingkat ini kebahagiaan yang bisa kurasakan? Aku ingin lebih, aku ingin terus bersamanya, memilikinya utuh. Menjaganya, saling berbagi dengannya. Aku ingin memberikan dunia padanya. Hidupnya tidak pernah mudah, dia sebatang kara dan aku ingin mengubahnya, membahagiakannya, memberikan padanya apa yang tidak pernah didapatkannya. Dan itu ingin kulakukan sebagai seorang Masumi, bukan sebagai Mawar ungu.

Masumi menghela napas panjang. "Sampai kapan aku harus berada di balik bayangan Mawar ungu. Maya, andai kau tahu."

Suara jeritan menyadarkan Masumi dari lamunannya. Dengan langkah panjang Masumi berlari ke kamar Maya. Saat pintu terbuka, Masumi mendapati gadis itu duduk dengan bingung di atas tempat tidur, wajahnya berurai air mata.

"Ada apa Maya? Kau kenapa?" Dengan panik Masumi duduk di tepi tempat tidur, memegang kedua lengan Maya.

"Aku-aku bermimpi … aku bermimpi kau pergi Masumi. Meninggalkan aku sendirian," kata Maya di tengah napas yang tersengal dan ekspresi bingung.

Masumi lega saat mendengarnya. "Hanya mimpi. Aku disini, tenanglah," Masumi memeluk Maya, merebahkan kepala kekasihnya di dada dan membelai rambut hitamnya. Tak lama kemudian napas Maya semakin teratur, dia sudah lebih tenang. "Lebih baik?" tanya Masumi begitu melepaskan pelukannya dan menatap wajah mungil gadis pujaannya.

Maya mengangguk.

"Mau kuambilkan air minum?"

Maya mengangguk lagi.

Masumi beranjak dan tanpa sadar Maya mencekal tangan Masumi. "Kenapa?"

"Jangan pergi," gumam Maya.

Masumi tersenyum, jelas gadis itu tidak sadar apa yang di lakukannya. Dia pun kembali duduk di tepi tempat tidur dan melepaskan tangan Maya. "Bagaimana aku bisa mengambil air jika tidak pergi? Aku akan kembali, hanya sebentar," Masumi membelai pipi Maya dan gadis itu tersenyum.

Tak lama pergi, Masumi kembali dengan membawa gelas dan sebuah pitcher. Menuang air kedalam gelas lalu memberikannya pada Maya.

"Terima kasih," gumam Maya saat mengembalikan gelas kosong pada Masumi.

"Tidurlah, ini masih dini hari."

"Jangan pergi, kumohon. Temani aku," pinta Maya.

Masumi terkejut. "Maya, aku-,"

"Kumohon," pinta Maya lagi.

Apa kau sadar dengan apa yang kau minta, Maya? Aku pria normal dan sejak tadi aku sudah menahan diri dari … semua pikiran itu. Dan sekarang kau memintaku menemanimu? Masumi bergulat dengan dirinya sendiri sementara Maya masih menatapnya penuh harap. Kepolosan gadis itu memang tiada tanding.

Tiba-tiba Maya bergeser dan menyisakan ruang untuk Masumi di tempat tidurnya. Pria itu menggosok kening dengan telapak tangan, seolah itu hal itu adalah masalah berat –memang, baginya-.

"Masumi," panggil Maya memelas dan Masumi gagal menolak pesona mata bulat yang memohonnya penuh harap. Dengan ragu dia naik ke atas tempat tidur, menatap kekasihnya yang kini justru tersenyum.

"Seperti ini?" Masumi mencoba menciptakan suasana humor untuk mengalihkan pikirannya. Maya mengangguk senang dan beringsut mendekati kekasihnya. Masumi menghela napas pelan. "Sekarang tidurlah." Perintah Masumi seraya mengusap pipi Maya dan menyelipkan rambut hitam panjang itu kebelakang telinga.

Cepatlah tidur Maya! Kau tidak akan bisa membayangkan apa yang bisa kulakukan jika kau tidak segera tidur. Kau begitu polos, tidakkah kau sadar kalau aku bisa saja membahayakanmu? Batin Masumi meraung-raung meski wajahnya terlihat setenang malaikat.

"Masumi." Maya justru mengajaknya bicara.

Oh tidak Maya! Tidurlah!! Jerit Masumi dalam hati tapi bibirnya berkhianat. "Ya," jawabnya lembut.
"Tadi aku bermimpi kita berdua menikah."

Raut wajah Masumi langsung berubah tegang.

"Tapi, kau tiba-tiba pergi meninggalkanku. Sendirian di altar. Aku memanggilmu tapi kau tak menoleh lagi. Aku mengejarmu tapi kau menghilang dan meninggalkanku menangis sendirian." Maya menatap sendu pria yang duduk di sebelahnya.

Hati Masumi seperti di sayat sembilu. Kekasihnya memimpikan tentang sebuah pernikahan sementara dia masih belum mendapatkan cara untuk bisa lepas dari cengkraman keluarga Takamiya.

"Masumi.” Maya mengulurkan tangan ke wajah Masumi dan mengusapnya lembut. “Jika tiba saatnya nanti kita menikah, kau tidak akan meninggalkanku kan?"

Masumi tersenyum, mencoba meredakan kegalauan hatinya. Dia tidak ingin menambah beban Maya. "Tidak sayang, aku tidak akan meninggalkanmu."

Maya tersenyum dengan panggilan sayang yang di ucapkan Masumi. Diapun kembali membelai wajah Masumi dengan tangan mungilnya.

Oh tidak, kau membuatku gila, Maya. Batin Masumi kembali meraung. Sentuhan Maya mengaburkan pikiran sehat Masumi.

"Aku senang kau mengajakku ke vila ini. Menjadi bagian dari kenangan indah di sini, yang hanya milikmu."

Berhenti bicara dan tidurlah, Maya! Tapi mulutnya kembali berkhianat. "Kau akan selalu menjadi bagian terindah dalam hidupku Maya. Bukan kenangan tapi milikku yang terindah, yang kumiliki secara utuh."

Masumi bodoh!! Kau malah merayunya!! Masumi justru memaki dirinya sendiri. Batinnya tidak terima akan penghianatan mulut manisnya.

Sayangnya Maya justru menyandarkan kepalanya di bahu Masumi. Gadis itu menghela napas panjang hingga hembusan napasnya menyentuh kulit wajah Masumi. Pria itu membeku. Sekuat tenaga memasung hasratnya dalam penjara gelap.

Masumi segera meraih tangan kekasihnya yang bersandar di sisi lain bahunya dan meletakkannya di atas pangkuan Maya. Berusaha mengantisipasi efek tindakan yang saat ini terbayang dalam pikirannya. Pria itu sedikit menunduk demi menatap wajah Maya. Tangannya terasa gatal. Dia pun mengusapkan jemarinya, menyusuri garis wajah kekasih mungilnya.

Maya justru terpejam dan menikmati sentuhannya. Sukses. Hal itu membuat Masumi sedikit melonggarkan tali kekangnya. Dia meraih dagu Maya, mengangkatnya perlahan dan tanpa ragu mendaratkan sebuah ciuman pada bibir mungil itu. Masumi merasakan keterkejutan Maya tapi mengabaikannya.

Jelas Maya belum pernah berciuman tapi bibir Masumi yang memaksa melakukannya. Dan nyatanya, paksaan itu hanya berlangsung sesaat karena kemudian Maya menyerah dan membiarkan Masumi membuainya. Semakin dalam keduanya terhanyut. Kini tangan Maya sudah mencengkram kemeja di pinggang Masumi dan dengan saling memeluk, keduanya tidak berniat untuk berhenti. Sampai kemudian Masumi tersadar ketika mendengar Maya mengerang dalam mulutnya. Pikiran sehatnya kembali.

Perlahan Masumi melepas Maya yang entah bagaimana sudah berada di bawahnya, menyisakan desahan pelan, rambut berantakan dan napas yang tidak beraturan. Baru di sadarinya air mata mengalir dari sudut mata Maya dan itu membuat penyesalan juga rasa bersalah langsung merayapi hati Masumi.

"Maafkan aku Maya," lirih Masumi seraya menghapus air di sudut mata kekasihnya dengan telunjuk. Maya masih terpejam dengan pipi merona segar dan terlihat begitu menggoda dengan bibir terbuka dan sedikit bengkak.

Masumi bangun dan duduk bersandar pada kepala tempat tidur lalu dengan lembut mengangkat tubuh Maya dan merengkuhnya dalam pelukan erat. "Maafkan aku sayang."

Maya bersandar di dada Masumi, masih diam seribu bahasa. Sepertinya Masumi sudah mengirimnya ketempat yang jauh sampai dia tersesat dan tidak bisa kembali.

"Kumohon katakan sesuatu, maafkan aku." Masumi memohon pada Maya yang masih diam dalam dekapannya.

"Maya, aku mencintaimu sayang," bisik Masumi dan bagai sebuah mantra, kalimat itu membuat Maya berkedip lalu tersenyum tipis. "Aku mencintaimu," bisik Masumi lagi.

"Aku juga mencintaimu," lirih Maya di dada Masumi. Saat itu juga kelegaan menjalar di seluruh tubuh Masumi, menggantikan rasa bersalahnya.

"Oh, sayang." Masumi mengeratkan pelukannya.

"Aku mencintaimu Masumi," ulang Maya dan kali ini dengan kesadaran yang lebih baik.

"Terima kasih." Masumi merasakan Maya semakin bersandar di dadanya dan dia membiarkannya seperti itu. Saat ini keduanya merasakan kebahagian karena perasaan mereka yang terbebaskan.

***

>>Bersambung<<

Follow me on :
Facebook : Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

1 Comments

  1. Sebagai pencinta Topeng Kaca, aku baru menemukan karya jeung Kristi ini di tahun 2022. Sungguh menghibur di tengah penantian kelanjutan manga ini. Terima kasih author <3

    ReplyDelete