Serial "Kau Milikku"
The Last Chapter.
Maya masih menangkupkan kedua tangan di mulutnya. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Masumi menyatakan cintanya dan membuka identitasnya di depan umum? Dengan rangkaian bunga raksasa dihari pementasan perdana Bidadari Merah? Maya bahkan tidak pernah bermimpi sebelumnya.
Maya akhirnya mengalihkan pandangannya pada pria yang membuat semua imajinasi indah menjadi nyata itu. Pria yang sejak tadi berdiri di bawah rangkaian bunga. Menunggu jawabannya. Pria itu berlutut ditempatnya mengulurkan tangannya kedepan yang membawa setangkai mawar ungu.
The Last Chapter.
Suasana kamar Maya sangat tidak nyaman.
Maya terisak dalam pelukan Christ. Pucat. Terguncang atas berita yang baru saja
di dengarnya.
"Katakan...kalau...ini...hiks...hanya...mimpi...hiks...," kata Maya terbata.
Christ mengeratkan pelukannya di bahu Maya. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Apa yang terjadi sungguh di luar prediksinya.
Ryan, Rose dan Alex terpaku di tempat masing-masing menyaksikan nonanya yang sedang berduka. Tidak ada yang bicara karena memang mereka tidak tahu apa-apa.
Selama Maya tidak sadar Christ dan Ryan sudah mencoba mencari tahu dengan menelepon pihak kepolisian. Tapi hasilnya nihil. Tim penyelamat baru akan mengevakuasi mobil dari sungai siang ini, jadi tidak ada satupun pihak yang berani memastikan siapa yang sebenarnya mengendarai mobil itu. Dan jika yang mengemudikan mobil itu memang benar Masumi, maka.....
Christ diam seribu bahasa. Mencoba mengenyahkan kemungkinan terburuk dalam pikirannya. Berharap ada sebuah keajaiban yang terjadi. Tapi melihat adiknya terpuruk seperti ini, membuat logikanya mengabur. Maya yang sedih, terluka dan rapuh. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia pun tidak tahu.
"Christ....katakan...sesuatu...itu semua...bohong kan?" Maya mengiba pada kakaknya.
"Maya...," Christ menggigit bibirnya sendiri.
"Kak...," Maya kembali di ambang sadar.
"Maya, ku mohon kuatkan hatimu. Semuanya belum pasti sayang. Masih ada harapan," Christ mencoba menguatkan Maya yang tubuhnya kembali oleng karena kesadarannya mengabur. Berita itu sungguh menghantamnya dengan sangat keras.
"Masumi masih...hidup kan?" Maya memastikan.
"Maya...itu...," Christ kembali terdiam. Tidak mungkin juga dia memberi jawaban yang bahkan dirinya ragu akan kebenarannya.
"Maya," Christ membelai kepala adiknya dengan lembut,
"Katakan...kalau...ini...hiks...hanya...mimpi...hiks...," kata Maya terbata.
Christ mengeratkan pelukannya di bahu Maya. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Apa yang terjadi sungguh di luar prediksinya.
Ryan, Rose dan Alex terpaku di tempat masing-masing menyaksikan nonanya yang sedang berduka. Tidak ada yang bicara karena memang mereka tidak tahu apa-apa.
Selama Maya tidak sadar Christ dan Ryan sudah mencoba mencari tahu dengan menelepon pihak kepolisian. Tapi hasilnya nihil. Tim penyelamat baru akan mengevakuasi mobil dari sungai siang ini, jadi tidak ada satupun pihak yang berani memastikan siapa yang sebenarnya mengendarai mobil itu. Dan jika yang mengemudikan mobil itu memang benar Masumi, maka.....
Christ diam seribu bahasa. Mencoba mengenyahkan kemungkinan terburuk dalam pikirannya. Berharap ada sebuah keajaiban yang terjadi. Tapi melihat adiknya terpuruk seperti ini, membuat logikanya mengabur. Maya yang sedih, terluka dan rapuh. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia pun tidak tahu.
"Christ....katakan...sesuatu...itu semua...bohong kan?" Maya mengiba pada kakaknya.
"Maya...," Christ menggigit bibirnya sendiri.
"Kak...," Maya kembali di ambang sadar.
"Maya, ku mohon kuatkan hatimu. Semuanya belum pasti sayang. Masih ada harapan," Christ mencoba menguatkan Maya yang tubuhnya kembali oleng karena kesadarannya mengabur. Berita itu sungguh menghantamnya dengan sangat keras.
"Masumi masih...hidup kan?" Maya memastikan.
"Maya...itu...," Christ kembali terdiam. Tidak mungkin juga dia memberi jawaban yang bahkan dirinya ragu akan kebenarannya.
"Maya," Christ membelai kepala adiknya dengan lembut,
"Kita harus bersabar, mereka pasti
akan segera memberitahu kita semua perkembangannya."
Maya tertunduk, menyurukkan wajahnya didada Christ. Menangis. Hatinya merapal rangkaian doa, mengharapkan sebuah keajaiban terjadi seperti apa yang dikatakan kakaknya.
Maya terkulai dalam pelukan kakaknya, kesadarannya kembali menghilang.
"Kalian keluarlah," perintah Christ seraya membaringkan kembali adiknya di tempat tidur.
Rose dan Alex keluar dari kamar tapi Ryan tetap tinggal.
"Apa tidak sebaiknya memanggil dokter Tuan?" Ryan menyarankan.
Christ menggeleng, "Maya tidak butuh dokter Ryan." Jawabnya seraya menyelimuti adiknya.
Tanpa kata dia berjalan ke luar kamar.
"Apa Hijiri juga belum bisa dihubungi?" Tanya Christ saat sudah berada di luar kamar Maya.
"Belum Tuan. Anak buah saya masih mencari informasi."
"Kenapa semua jadi seperti ini? Ada apa sebenarnya?! Masumi dan Hijiri tiba-tiba menghilang," keluh Christ frustasi.
"Jika tuan ijinkan saya...,"
"Tidak Ryan. Jangan sekarang. Aku sangat memerlukanmu disini. Jika kau pergi aku tidak bisa fokus memikirkan masalah ini karena aku tidak bisa sepenuhnya percaya pada Alex atau Rose. Masumi dan Hijiri menghilang dan aku tidak mau mempertaruhkan keselamatan Maya,"
Keduanya kemudian terdiam cukup lama. Yang terdengar hanyalah suara terlevisi. Berita tentang kecelakaan yang diduga korbannya adalah Masumi, Direktur Utama Grup Daito, menghebohkan semua media. Christ dan Ryan juga mengikuti perkembangannya melalui berita di televisi.
Sebuah jeritan memecah ketenangan siang itu. Christ berlari kekamar Maya.
"Maya! Bangun Maya?!" Christ mengguncang bahu adiknya. Menyadarkannya dari mimpi buruk yang menyebabkannya berteriak histeris.
Maya membuka matanya yang merah, "Masumi...dia...Shiori...," Maya masih meracau.
"Semua akan baik-baik saja. Tenanglah," Christ mengusap lembut kedua lengan adiknya.
"Aku tidak bisa hidup tanpanya! Aku tidak bisa! Temukan dia kak! Kumohon!" Giliran Maya yang mengguncang lengan kakaknya, matanya yang beruraian air mata memohon.
"Maya, tenangkan dirimu. Kau gadis yang kuat. Aku tahu itu," Christ benar-benar tidak tega melihat adiknya seperti itu.
"Tidak! Tidak! Dialah yang selalu memberiku kekuatan! Selama ini hanya dia! Jika dia tidak ada...jika dia tidak ada....tidak! Tidak! Aku mau dia kembali!" Maya meracau, semakin membuat Christ bingung.
Maya tertunduk, menyurukkan wajahnya didada Christ. Menangis. Hatinya merapal rangkaian doa, mengharapkan sebuah keajaiban terjadi seperti apa yang dikatakan kakaknya.
Maya terkulai dalam pelukan kakaknya, kesadarannya kembali menghilang.
"Kalian keluarlah," perintah Christ seraya membaringkan kembali adiknya di tempat tidur.
Rose dan Alex keluar dari kamar tapi Ryan tetap tinggal.
"Apa tidak sebaiknya memanggil dokter Tuan?" Ryan menyarankan.
Christ menggeleng, "Maya tidak butuh dokter Ryan." Jawabnya seraya menyelimuti adiknya.
Tanpa kata dia berjalan ke luar kamar.
"Apa Hijiri juga belum bisa dihubungi?" Tanya Christ saat sudah berada di luar kamar Maya.
"Belum Tuan. Anak buah saya masih mencari informasi."
"Kenapa semua jadi seperti ini? Ada apa sebenarnya?! Masumi dan Hijiri tiba-tiba menghilang," keluh Christ frustasi.
"Jika tuan ijinkan saya...,"
"Tidak Ryan. Jangan sekarang. Aku sangat memerlukanmu disini. Jika kau pergi aku tidak bisa fokus memikirkan masalah ini karena aku tidak bisa sepenuhnya percaya pada Alex atau Rose. Masumi dan Hijiri menghilang dan aku tidak mau mempertaruhkan keselamatan Maya,"
Keduanya kemudian terdiam cukup lama. Yang terdengar hanyalah suara terlevisi. Berita tentang kecelakaan yang diduga korbannya adalah Masumi, Direktur Utama Grup Daito, menghebohkan semua media. Christ dan Ryan juga mengikuti perkembangannya melalui berita di televisi.
Sebuah jeritan memecah ketenangan siang itu. Christ berlari kekamar Maya.
"Maya! Bangun Maya?!" Christ mengguncang bahu adiknya. Menyadarkannya dari mimpi buruk yang menyebabkannya berteriak histeris.
Maya membuka matanya yang merah, "Masumi...dia...Shiori...," Maya masih meracau.
"Semua akan baik-baik saja. Tenanglah," Christ mengusap lembut kedua lengan adiknya.
"Aku tidak bisa hidup tanpanya! Aku tidak bisa! Temukan dia kak! Kumohon!" Giliran Maya yang mengguncang lengan kakaknya, matanya yang beruraian air mata memohon.
"Maya, tenangkan dirimu. Kau gadis yang kuat. Aku tahu itu," Christ benar-benar tidak tega melihat adiknya seperti itu.
"Tidak! Tidak! Dialah yang selalu memberiku kekuatan! Selama ini hanya dia! Jika dia tidak ada...jika dia tidak ada....tidak! Tidak! Aku mau dia kembali!" Maya meracau, semakin membuat Christ bingung.
Ryan pun hanya terpaku dan tidak bisa melakukan apa-apa. Anak
buahnya juga belum menemukan Masumi dan Hijiri.
"Maya...," bujuk Christ.
"Seandainya saja semalam aku menemuinya...seandainya saja semalam aku tidak marah padanya! Seandainya aku kembali ke apartemenku...dia pasti datang menemuiku. Seandainya aku tidak menginap disini...aku bodoh! Benar-benar bodoh," Maya terus meracau dengan banyak pengandaian, memeluk kedua kakinya, meringkuk putus asa.
Christ mengernyit mendengar perkataan Maya yang tidak karuan itu.
"Apa maksudmu?"
Maya mendongak dan melihat Christ yang menatapnya dengan tatapan ingin tahu.
"Semalam aku melihatnya bersama Nona Shiori di restoran tempat aku makan bersama Koji. Karena itulah aku marah dan menginap disini. Aku tidak mau dia datang menemuiku di apartemen Rei. Handphonenya mati dan aku kesal karena dia tidak mengatakan apa-apa padaku." Kata Maya lirih disela-sela tangisnya.
Wajah Christ mengeras seketika. Masumi tidak mengatakan apapun padanya soal itu. Diapun langsung melempar pandangannya pada Ryan dan pengawal pribadi itu langsung menghilang di balik pintu.
"Ada apa?" Tanya Maya.
"Kenapa kau tidak mengatakannya sejak semalam Maya?"
"Aku...aku marah...kau tahu...aku tidak suka melihatnya bersama...wanita lain, terutama...Nona Shiori," kata Maya menyesal.
Christ menghela napas. Mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Kau istirahatlah, tenangkan dirimu. Kita masih bisa berharap, keajaiban masih bisa terjadi. Satu persen, ingat? Bukankah dulu kau memperjuangkan satu persen milikmu dan kau berhasil," Christ menyemangati adiknya.
Maya tertunduk, "Tapi dulu...dialah yang membuatku kuat untuk memperjuangkan satu persen itu,"
"Maya, ku mohon jadilah kuat. Aku tidak bisa berpikir jernih jika melihatmu seperti ini. Demi Masumi, demi aku, demi mama dan papa. Ku mohon, kuatlah,"
Kedua mata kakak dan adik itu saling bertaut memberi penguatan satu sama lain. Maya memeluk Christ.
"Terima kasih," gumam Maya.
Christ tersenyum lega dan akhirnya keluar dari kamar menyusul Ryan, membiarkan Maya menenangkan dirinya.
Mulut Maya tidak berhenti bergerak. Masih duduk di atas tempat tidurnya, memeluk fotonya bersama Masumi lalu dengan khusyuk mengucapkan doa untuk kekasihnya. Sekali lagi, sekali lagi dia ingin merangkai sebuah harapan. Harapan dimana Masumi-nya masih hidup. Di suatu tempat. Selamat. Dan akan kembali...padanya. Untuk mewujudkan harapan mereka berdua. Hidup behagia.
"Kalau kau selamat, aku tidak akan membiarkanmu menjauh lagi sayang. Aku akan turuti keinginanmu, kita akan segera menikah. Andai kau kembali....," air mata Maya kembali berderai, "Kita akan langsung menikah. Aku dan kau, bersatu, selamanya,"
Maya mengusapkan jarinya pada wajah Masumi yang tersenyum dalam bingkai foto, kemudian memeluknya erat. Hatinya sakit, belahan jiwanya menghilang.
Maya tersentak dan jantungnya berdegub kencang saat dia mendengar handphonenya berdering. Syair lagu Love Me Like You Do menggema dikamarnya. Harapannya membuncah.
"Halo! Masumi! Kau dimana, baga....,"
Suara tawa menghentikan kalimat Maya. Dunia serasa berhenti di bawah telapak kakinya.
"Kau terdengar begitu khawatir Nona Anderson,"
"A...anda...?.. Apa yang...anda inginkan?!" Bibir Maya bergetar.
Maya tahu lawan bicaranya tersenyum senang sekarang.
"Ingin bertemu kekasihmu? Datanglah sendiri ke tempat yang sudah kusiapkan untukmu. Sendiri! Jangan libatkan kakakmu atau Masumi akan benar-benar hanya tinggal nama," ancaman dari suara lembut itu bagai sebuah kereta barang yang menabrak Maya. Menghentikan logikanya bekerja.
"B...baik...ka...takan dimana? Saya akan datang, jangan...jangan lukai Masumi." Maya mengeratkan genggamannya pada handphone yang dipegangnya. Takut handphone itu terjatuh karena tangannya yang gemetar.
Suara tawa kembali terdengar, "Bagus, ingat tinggalkan handphonemu. Aku tidak mau ada alat pelacak apapun,"
"Iya." Jawab Maya cepat.
Maya akhirnya menutup telepon setelah memastikan sudah menghapal instruksi dan alamat lokasinya dengan tepat. Dia tidak berpikir lagi, lompat dari tempat tidurnya dan langsung berganti pakaian. Kaos, jaket, celana jeans, dia berpikir akan cepat bergerak dengan mengenakan pakaian itu.
Instruksinya sangat jelas. Cepat dan Pergi sendiri.
Jantung Maya kembali berpacu saat dia mengintip ke luar kamarnya. Ruang tengah kosong dan ruang makan yang tak jauh dari kamarnya pun kosong. Ruang kerja ada di lantai dua apartemen itu, kalau Christ disana berarti dia bisa keluar dengan aman.
Maya melangkahkan kakinya perlahan. Berjingkat menyeberangi ruang tengah, menuju ruang tamu. Matanya membulat dan dia langsung bersembunyi di balik lemari buku yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat mendengar suara Rose dan Alex mendekat.
"Setidaknya dengan begini masih ada harapan,"
Suara Rose terdengar, Maya sedikit mengintip. Menejer dan pengawal pribadinya itu menaiki tangga. Maya bernapas lega, dugaannya benar, kakaknya berada di ruang kerjanya, lantai dua. Tidak membuang waktu lagi. Maya segera berlari ke luar saat Rose dan Alex tak terlihat lagi.
Maya sudah berada di dalam taksi saat mengatur napasnya dan menenangkan dirinya.
"Aku akan datang. Masumi...,"
***
"Maya...," bujuk Christ.
"Seandainya saja semalam aku menemuinya...seandainya saja semalam aku tidak marah padanya! Seandainya aku kembali ke apartemenku...dia pasti datang menemuiku. Seandainya aku tidak menginap disini...aku bodoh! Benar-benar bodoh," Maya terus meracau dengan banyak pengandaian, memeluk kedua kakinya, meringkuk putus asa.
Christ mengernyit mendengar perkataan Maya yang tidak karuan itu.
"Apa maksudmu?"
Maya mendongak dan melihat Christ yang menatapnya dengan tatapan ingin tahu.
"Semalam aku melihatnya bersama Nona Shiori di restoran tempat aku makan bersama Koji. Karena itulah aku marah dan menginap disini. Aku tidak mau dia datang menemuiku di apartemen Rei. Handphonenya mati dan aku kesal karena dia tidak mengatakan apa-apa padaku." Kata Maya lirih disela-sela tangisnya.
Wajah Christ mengeras seketika. Masumi tidak mengatakan apapun padanya soal itu. Diapun langsung melempar pandangannya pada Ryan dan pengawal pribadi itu langsung menghilang di balik pintu.
"Ada apa?" Tanya Maya.
"Kenapa kau tidak mengatakannya sejak semalam Maya?"
"Aku...aku marah...kau tahu...aku tidak suka melihatnya bersama...wanita lain, terutama...Nona Shiori," kata Maya menyesal.
Christ menghela napas. Mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Kau istirahatlah, tenangkan dirimu. Kita masih bisa berharap, keajaiban masih bisa terjadi. Satu persen, ingat? Bukankah dulu kau memperjuangkan satu persen milikmu dan kau berhasil," Christ menyemangati adiknya.
Maya tertunduk, "Tapi dulu...dialah yang membuatku kuat untuk memperjuangkan satu persen itu,"
"Maya, ku mohon jadilah kuat. Aku tidak bisa berpikir jernih jika melihatmu seperti ini. Demi Masumi, demi aku, demi mama dan papa. Ku mohon, kuatlah,"
Kedua mata kakak dan adik itu saling bertaut memberi penguatan satu sama lain. Maya memeluk Christ.
"Terima kasih," gumam Maya.
Christ tersenyum lega dan akhirnya keluar dari kamar menyusul Ryan, membiarkan Maya menenangkan dirinya.
Mulut Maya tidak berhenti bergerak. Masih duduk di atas tempat tidurnya, memeluk fotonya bersama Masumi lalu dengan khusyuk mengucapkan doa untuk kekasihnya. Sekali lagi, sekali lagi dia ingin merangkai sebuah harapan. Harapan dimana Masumi-nya masih hidup. Di suatu tempat. Selamat. Dan akan kembali...padanya. Untuk mewujudkan harapan mereka berdua. Hidup behagia.
"Kalau kau selamat, aku tidak akan membiarkanmu menjauh lagi sayang. Aku akan turuti keinginanmu, kita akan segera menikah. Andai kau kembali....," air mata Maya kembali berderai, "Kita akan langsung menikah. Aku dan kau, bersatu, selamanya,"
Maya mengusapkan jarinya pada wajah Masumi yang tersenyum dalam bingkai foto, kemudian memeluknya erat. Hatinya sakit, belahan jiwanya menghilang.
Maya tersentak dan jantungnya berdegub kencang saat dia mendengar handphonenya berdering. Syair lagu Love Me Like You Do menggema dikamarnya. Harapannya membuncah.
"Halo! Masumi! Kau dimana, baga....,"
Suara tawa menghentikan kalimat Maya. Dunia serasa berhenti di bawah telapak kakinya.
"Kau terdengar begitu khawatir Nona Anderson,"
"A...anda...?.. Apa yang...anda inginkan?!" Bibir Maya bergetar.
Maya tahu lawan bicaranya tersenyum senang sekarang.
"Ingin bertemu kekasihmu? Datanglah sendiri ke tempat yang sudah kusiapkan untukmu. Sendiri! Jangan libatkan kakakmu atau Masumi akan benar-benar hanya tinggal nama," ancaman dari suara lembut itu bagai sebuah kereta barang yang menabrak Maya. Menghentikan logikanya bekerja.
"B...baik...ka...takan dimana? Saya akan datang, jangan...jangan lukai Masumi." Maya mengeratkan genggamannya pada handphone yang dipegangnya. Takut handphone itu terjatuh karena tangannya yang gemetar.
Suara tawa kembali terdengar, "Bagus, ingat tinggalkan handphonemu. Aku tidak mau ada alat pelacak apapun,"
"Iya." Jawab Maya cepat.
Maya akhirnya menutup telepon setelah memastikan sudah menghapal instruksi dan alamat lokasinya dengan tepat. Dia tidak berpikir lagi, lompat dari tempat tidurnya dan langsung berganti pakaian. Kaos, jaket, celana jeans, dia berpikir akan cepat bergerak dengan mengenakan pakaian itu.
Instruksinya sangat jelas. Cepat dan Pergi sendiri.
Jantung Maya kembali berpacu saat dia mengintip ke luar kamarnya. Ruang tengah kosong dan ruang makan yang tak jauh dari kamarnya pun kosong. Ruang kerja ada di lantai dua apartemen itu, kalau Christ disana berarti dia bisa keluar dengan aman.
Maya melangkahkan kakinya perlahan. Berjingkat menyeberangi ruang tengah, menuju ruang tamu. Matanya membulat dan dia langsung bersembunyi di balik lemari buku yang tak jauh dari tempatnya berdiri saat mendengar suara Rose dan Alex mendekat.
"Setidaknya dengan begini masih ada harapan,"
Suara Rose terdengar, Maya sedikit mengintip. Menejer dan pengawal pribadinya itu menaiki tangga. Maya bernapas lega, dugaannya benar, kakaknya berada di ruang kerjanya, lantai dua. Tidak membuang waktu lagi. Maya segera berlari ke luar saat Rose dan Alex tak terlihat lagi.
Maya sudah berada di dalam taksi saat mengatur napasnya dan menenangkan dirinya.
"Aku akan datang. Masumi...,"
***
"Uugghhh!"
"Anda sudar sadar?"
Suara penuh kelegaan menarik kesadaran Masumi.
"Hijiri?" Masumi linglung. Bangun di tempat yang asing baginya. "Dimana ini? Ughh?!" Kepalanya terasa berputar saat mencoba mengingat apa yang terjadi.
"Kita berada di tempat yang aman Tuan." Hijiri meyakinkan sekaligus menenangkan.
Tapi sebaliknya tubuh Masumi menegang saat mulai bisa mengingat apa yang terjadi padanya.
Tidak peduli lagi pada kepalanya yang masih sakit, Masumi segera menyusun rencana bersama Hijiri.
"Handphone. Aku perlu handphone!" Kata Masumi.
"Kita akan mendapatkannya dalam perjalanan," kata Hijiri.
"Tapi bagaimana kita akan kembali?" Masumi mengernyit, sepenuhnya sadar bahwa dia dan Hijiri berada di luar Tokyo dan mobilnya entah ada dimana.
"Saya tidak membuang barang rampasan perang kita Pak," Hijiri menunjukkan kunci mobil yang tergantung ditangannya.
"Bagus! Ayo! Kita harus cepat sebelum wanita itu menyadari kalau anak buahnya menghilang! Maya....sudahlah! Ayo cepat! Maya bisa menjadi begitu bodoh!"
Keduanya bergegas pergi.
"Masumi?!" Pekik Christ.
"Iya ini aku. Semuanya jebakan Christ! Mana Maya? Jangan sampai dia pergi! Maya yang diincarnya!" Masumi menyampaikan maksudnya dengan cepat.
"Maya dikamarnya," jawab Christ, dia melempar pandangan pada Rose, lihat-maya! Itu perintah dalam matanya.
"Dia sangat kacau saat mendengar berita tentangmu. Kau dimana?" Christ kembali fokus pada Masumi.
"Aku dalam perjalanan menuju Tokyo bersama Hijiri," jawab Masumi.
Mata Christ melotot saat melihat ekspresi Rose ketika kembali ke ruang kerjanya.
"Nona Maya tidak ada dikamarnya," kalimat Rose menjelaskan kepanikannya.
"SIAL!! CARI DIA!!" Raung Christ.
Mendengar teriakan Christ, Masumi langsung tahu apa yang terjadi. Tangannya mengepal kuat mengendalikan kekhawatirannya.
"Cepat, Hijiri! Maya menghilang," kata Masumi seraya menutup teleponnya.
"Maya, ku mohon jangan bertindak bodoh, aku masih hidup,"
Masumi sekuat tenaga berusaha tetap tenang dan mengendalikan ke khawatirannya akan Maya. Disebelahnya Hijiri berkonsentrasi penuh mempercepat laju mobil.
Bayangan Shiori yang ingin membunuh Maya tergambar jelas dalam ingatannya. Mata Shiori yang penuh kebencian dan kemarahan tidak pernah bisa dihapusnya. Bagaimanapun dialah yang membuat Shiori menjadi seperti itu. Ingatannya memutar ulang pertemuannya dengan shiori yang tanpa diduganya adalah sebuah jebakan untuk bisa menyakiti Maya.
"Senang akhirnya kau mau menemuiku Masumi," Shiori tersenyum manis saat keduanya berjalan memasuki restoran.
"Kau tahu apa alasan aku mau memenuhi undanganmu," jawab Masumi datar.
"Anda sudar sadar?"
Suara penuh kelegaan menarik kesadaran Masumi.
"Hijiri?" Masumi linglung. Bangun di tempat yang asing baginya. "Dimana ini? Ughh?!" Kepalanya terasa berputar saat mencoba mengingat apa yang terjadi.
"Kita berada di tempat yang aman Tuan." Hijiri meyakinkan sekaligus menenangkan.
Tapi sebaliknya tubuh Masumi menegang saat mulai bisa mengingat apa yang terjadi padanya.
Tidak peduli lagi pada kepalanya yang masih sakit, Masumi segera menyusun rencana bersama Hijiri.
"Handphone. Aku perlu handphone!" Kata Masumi.
"Kita akan mendapatkannya dalam perjalanan," kata Hijiri.
"Tapi bagaimana kita akan kembali?" Masumi mengernyit, sepenuhnya sadar bahwa dia dan Hijiri berada di luar Tokyo dan mobilnya entah ada dimana.
"Saya tidak membuang barang rampasan perang kita Pak," Hijiri menunjukkan kunci mobil yang tergantung ditangannya.
"Bagus! Ayo! Kita harus cepat sebelum wanita itu menyadari kalau anak buahnya menghilang! Maya....sudahlah! Ayo cepat! Maya bisa menjadi begitu bodoh!"
Keduanya bergegas pergi.
"Masumi?!" Pekik Christ.
"Iya ini aku. Semuanya jebakan Christ! Mana Maya? Jangan sampai dia pergi! Maya yang diincarnya!" Masumi menyampaikan maksudnya dengan cepat.
"Maya dikamarnya," jawab Christ, dia melempar pandangan pada Rose, lihat-maya! Itu perintah dalam matanya.
"Dia sangat kacau saat mendengar berita tentangmu. Kau dimana?" Christ kembali fokus pada Masumi.
"Aku dalam perjalanan menuju Tokyo bersama Hijiri," jawab Masumi.
Mata Christ melotot saat melihat ekspresi Rose ketika kembali ke ruang kerjanya.
"Nona Maya tidak ada dikamarnya," kalimat Rose menjelaskan kepanikannya.
"SIAL!! CARI DIA!!" Raung Christ.
Mendengar teriakan Christ, Masumi langsung tahu apa yang terjadi. Tangannya mengepal kuat mengendalikan kekhawatirannya.
"Cepat, Hijiri! Maya menghilang," kata Masumi seraya menutup teleponnya.
"Maya, ku mohon jangan bertindak bodoh, aku masih hidup,"
Masumi sekuat tenaga berusaha tetap tenang dan mengendalikan ke khawatirannya akan Maya. Disebelahnya Hijiri berkonsentrasi penuh mempercepat laju mobil.
Bayangan Shiori yang ingin membunuh Maya tergambar jelas dalam ingatannya. Mata Shiori yang penuh kebencian dan kemarahan tidak pernah bisa dihapusnya. Bagaimanapun dialah yang membuat Shiori menjadi seperti itu. Ingatannya memutar ulang pertemuannya dengan shiori yang tanpa diduganya adalah sebuah jebakan untuk bisa menyakiti Maya.
"Senang akhirnya kau mau menemuiku Masumi," Shiori tersenyum manis saat keduanya berjalan memasuki restoran.
"Kau tahu apa alasan aku mau memenuhi undanganmu," jawab Masumi datar.
Sekarang keduanya sudah duduk di ruang
private room restoran.
Shiori terkekeh, "Kau sangat mencintainya ya? Aku tidak menyangka seleramu adalah gadis kecil seperti itu Masumi,"
"Aku tidak tertarik membicarakan hal itu sekarang. Katakan saja apa tujuanmu mengundangku dengan sebuah ancaman, aku sangat tidak menghormati tindakanmu itu," Masumi benar-benar sudah kehilangan simpati dan empatinya pada Shiori, terlebih saat wanita itu mengundangnya dengan menggunakan Maya sebagai alasan.
Shiori memandang lurus pada pria yang sempat memenuhi hatinya dengan cinta itu.
"Kenapa kalian berdua tega berbuat seperti ini padaku?" Tanya Shiori, matanya berubah sendu untuk sesaat tapi kemudian kembali memancarkan kebencian.
Shiori terkekeh, "Kau sangat mencintainya ya? Aku tidak menyangka seleramu adalah gadis kecil seperti itu Masumi,"
"Aku tidak tertarik membicarakan hal itu sekarang. Katakan saja apa tujuanmu mengundangku dengan sebuah ancaman, aku sangat tidak menghormati tindakanmu itu," Masumi benar-benar sudah kehilangan simpati dan empatinya pada Shiori, terlebih saat wanita itu mengundangnya dengan menggunakan Maya sebagai alasan.
Shiori memandang lurus pada pria yang sempat memenuhi hatinya dengan cinta itu.
"Kenapa kalian berdua tega berbuat seperti ini padaku?" Tanya Shiori, matanya berubah sendu untuk sesaat tapi kemudian kembali memancarkan kebencian.
Masumi sangat mengenal tatapan mata
seperti itu. Mata yang penuh kesakitan dan kebencian, mata yang dulu juga Maya
berikan padanya. Terlebih setelah kematian....!
Masumi kembali diusik oleh rasa bersalahnya. Entah sampai kapan dia bisa mengenyahkan rasa itu. Maya sudah memaafkannya tapi dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Shiori, tidak ada gunanya kau lakukan semua ini. Kau berhak bahagia Shiori. Carilah pria yang mencintaimu dan berbahagialah, aku tidak akan pernah bisa membahagiakanmu." Kata Masumi.
Seringai tipis tersungging di bibir merah Shiori, "Bagaimana jika kebahagianku hanyalah jika aku bisa memilikimu Masumi?"
Masumi terkesiap, Shiori ternyata masih begitu mengharapkannya, "Aku tidak mencintaimu Shiori, kau hanya akan tersiksa jika bersamaku,"
"Aku sudah tersiksa sekarang melihatmu bersama gadis itu,"
"Apa yang sebenarnya kau inginkan Shiori?"
"Aku ingin dia merasakan apa yang ku rasakan, sakitnya hatiku hingga tidak lagi ingin hidup lebih lama di dunia ini,"
"Kau sungguh ingin membunuh Maya?" Masumi merasakan kekhawatiran menusuk-nusuk kulit kepalanya.
Shiori menyeringai, "Kau juga sudah membunuhku Masumi,"
Masumi terdiam. Menegak sake yang sudah dituang pelayan dicawannya. Shiori hanya tersenyum melihatnya.
Terlambat menyadari, pandangan Masumi mengabur.
"Shiori...apa yang kau.....," Masumi tergeletak tak sadar.
"Bawa dia ke mobil, jika ada yang bertanya jawab saja kalau Tuan Hayami mabuk," perintah Shiori.
"Baik Nona," anak buah Shiori segera mengangkat tubuh Masumi.
"Apa kau sudah singkirkan anak buahnya?" Tanya Shiori.
"Berkat bantuan Tuan Besar Hayami kami berhasil menyingkirkannya Nona," jawab anak buah Shiori yang lain.
"Bagus, bawa Masumi jauh dari sini dan sembunyikan dia. Tunggu perintah dariku."
"Baik,"
Shiori pergi meninggalkan restoran setelah mengambil handphone Masumi dan Masumi dibawa dengan menggunakan mobil yang lain.
Entah bagaimana caranya, Hijiri akhirnya bisa lepas dari sekapan anak buah Eisuke. Diapun langsung mengejar Masumi yang dibawa keluar Tokyo. Hari hampir siang saat akhirnya Hijiri bisa menemukan Masumi yang masih dalam keadaan tidak sadar, dibawah pengaruh obat bius.
Masumi menghela napas panjang. Rasa bersalah kembali merayapi hatinya. Andai saja waktu itu dirinya lebih berani dalam mengambil keputusan. Menolak perjodohan dan tidak menjadi seorang pengecut. Andai saja....!
Tapi tidak ada gunanya lagi menyesali semuanya. Masumi menguatkan dirinya sendiri. Dia berharap ketakutannya tidak akan terjadi, sekuat tenaga dia akan melindungi Maya-nya. Meski mungkin harus ditukar dengan nyawanya sendiri.
"Maya, tunggu aku,"
***
Masumi kembali diusik oleh rasa bersalahnya. Entah sampai kapan dia bisa mengenyahkan rasa itu. Maya sudah memaafkannya tapi dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Shiori, tidak ada gunanya kau lakukan semua ini. Kau berhak bahagia Shiori. Carilah pria yang mencintaimu dan berbahagialah, aku tidak akan pernah bisa membahagiakanmu." Kata Masumi.
Seringai tipis tersungging di bibir merah Shiori, "Bagaimana jika kebahagianku hanyalah jika aku bisa memilikimu Masumi?"
Masumi terkesiap, Shiori ternyata masih begitu mengharapkannya, "Aku tidak mencintaimu Shiori, kau hanya akan tersiksa jika bersamaku,"
"Aku sudah tersiksa sekarang melihatmu bersama gadis itu,"
"Apa yang sebenarnya kau inginkan Shiori?"
"Aku ingin dia merasakan apa yang ku rasakan, sakitnya hatiku hingga tidak lagi ingin hidup lebih lama di dunia ini,"
"Kau sungguh ingin membunuh Maya?" Masumi merasakan kekhawatiran menusuk-nusuk kulit kepalanya.
Shiori menyeringai, "Kau juga sudah membunuhku Masumi,"
Masumi terdiam. Menegak sake yang sudah dituang pelayan dicawannya. Shiori hanya tersenyum melihatnya.
Terlambat menyadari, pandangan Masumi mengabur.
"Shiori...apa yang kau.....," Masumi tergeletak tak sadar.
"Bawa dia ke mobil, jika ada yang bertanya jawab saja kalau Tuan Hayami mabuk," perintah Shiori.
"Baik Nona," anak buah Shiori segera mengangkat tubuh Masumi.
"Apa kau sudah singkirkan anak buahnya?" Tanya Shiori.
"Berkat bantuan Tuan Besar Hayami kami berhasil menyingkirkannya Nona," jawab anak buah Shiori yang lain.
"Bagus, bawa Masumi jauh dari sini dan sembunyikan dia. Tunggu perintah dariku."
"Baik,"
Shiori pergi meninggalkan restoran setelah mengambil handphone Masumi dan Masumi dibawa dengan menggunakan mobil yang lain.
Entah bagaimana caranya, Hijiri akhirnya bisa lepas dari sekapan anak buah Eisuke. Diapun langsung mengejar Masumi yang dibawa keluar Tokyo. Hari hampir siang saat akhirnya Hijiri bisa menemukan Masumi yang masih dalam keadaan tidak sadar, dibawah pengaruh obat bius.
Masumi menghela napas panjang. Rasa bersalah kembali merayapi hatinya. Andai saja waktu itu dirinya lebih berani dalam mengambil keputusan. Menolak perjodohan dan tidak menjadi seorang pengecut. Andai saja....!
Tapi tidak ada gunanya lagi menyesali semuanya. Masumi menguatkan dirinya sendiri. Dia berharap ketakutannya tidak akan terjadi, sekuat tenaga dia akan melindungi Maya-nya. Meski mungkin harus ditukar dengan nyawanya sendiri.
"Maya, tunggu aku,"
***
Maya tiba di sebuah gudang tua di dekat
kawasan pelabuhan. Dua orang yang mengenakan setelan gelap datang
menghampirinya.
"Silakan ikut kami," kata salah seorang diantara dua orang itu.
Maya mengangguk lalu berjalan mengikuti mereka. Kedua orang itu tidak membawa Maya masuk ke dalam gudang melainkan berjalan memutar ke samping. Maya melihat ada empat orang lain yang berjaga di samping gudang itu. Ada sebuah gudang lain di belakang gudang yang tadi, ukurannya lebih kecil. Didepan pintu gudang kecil itu juga berjaga sekitar lima atau enam orang, Maya tidak bisa menghitung dengan pasti.
"Banyak sekali penjaga? Apa Masumi disekap disini? Lalu siapa yang mengendarai mobilnya?"
"Silakan ikut kami," kata salah seorang diantara dua orang itu.
Maya mengangguk lalu berjalan mengikuti mereka. Kedua orang itu tidak membawa Maya masuk ke dalam gudang melainkan berjalan memutar ke samping. Maya melihat ada empat orang lain yang berjaga di samping gudang itu. Ada sebuah gudang lain di belakang gudang yang tadi, ukurannya lebih kecil. Didepan pintu gudang kecil itu juga berjaga sekitar lima atau enam orang, Maya tidak bisa menghitung dengan pasti.
"Banyak sekali penjaga? Apa Masumi disekap disini? Lalu siapa yang mengendarai mobilnya?"
Banyak pertanyaan di benak
Maya tapi dia berusaha untuk tetap tenang. Berharap bahwa kedatangannya kali
ini bukan sebuah kesalahan. Berharap bahwa Masumi-nya baik-baik saja.
"Silakan masuk," salah seorang yang mengantar Maya membuka pintu ganda dari besi. Dengan sedikit gemetar Maya masuk. Maya melayangkan pandangannya ke sekitar tempat dia berdiri. Banyak barang diruangan itu. Peti-peti kayu tertumpuk di salah satu sudut ruangan lalu ada seperti matras atau busa yang juga ditumpuk rapi disisi yang lain. Ada sofa, kursi, meja juga sebuah motor yang tampak tidak terawat. Benar-benar sebuah gudang dengan banyak barang usang.
"Akhirnya kau datang juga," suara seorang wanita mengejutkan Maya. Dia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri tadi.
"Silakan masuk," salah seorang yang mengantar Maya membuka pintu ganda dari besi. Dengan sedikit gemetar Maya masuk. Maya melayangkan pandangannya ke sekitar tempat dia berdiri. Banyak barang diruangan itu. Peti-peti kayu tertumpuk di salah satu sudut ruangan lalu ada seperti matras atau busa yang juga ditumpuk rapi disisi yang lain. Ada sofa, kursi, meja juga sebuah motor yang tampak tidak terawat. Benar-benar sebuah gudang dengan banyak barang usang.
"Akhirnya kau datang juga," suara seorang wanita mengejutkan Maya. Dia masih belum beranjak dari tempatnya berdiri tadi.
Wanita yang sangat Maya kenal itu keluar dari
sebuah ruangan yang sepertinya dulu adalah sebuah kantor. Hal mengejutkan
lainnya adalah munculnya seorang pria paruh baya di belakang wanita itu.
Didorong di atas kursi roda oleh seorang pria dengan setelan gelap yang sama
dengan para penjaga yang Maya lihat di luar.
"Apa kabar Maya?" senyum sarkastik yang menusuk hati Maya terurai di wajah wanita cantik itu.
"Nona Shiori....? Tuan Hayami? Anda baik-baik saja?" Maya bingung.
Shiori tertawa, menertawakan kebingungan Maya.
"Kau pasti tidak menyangka kalau permainanmu akan berakhir seperti ini kan?" Tanya Shiori.
Maya melangkah maju, berusaha mendekat, tidak tega melihat pria paruh baya yang menatapnya dengan mata merah itu.
"Jika kau mendekat maka aku tidak akan segan untuk membunuhnya juga," ancam Shiori.
Maya berhenti melangkah. Ditatapnya Eisuke yang duduk terikat di kursi rodanya, mulutnya dibekap dan beberapa memar terlihat diwajahnya.
"Apa yang anda inginkan Nona Shiori? Tidak seharusnya anda melakukan hal seperti ini," wajah Maya memucat. Ketakutan mulai merayapi hatinya. Matanya masih mencoba mencuri pandang ke kanan dan ke kiri, mencari sosok kekasihnya.
"Tidak seharusnya? Apa kau tidak berpikir bahwa yang kau lakukan itu juga tidak seharusnya?" Teriak Shiori.
"Apa yang saya lakukan?" Maya balik bertanya.
"Apa yang kau lakukan?!" Shiori membentak lalu tertawa keras, Eisuke mendongak dan melihat wanita yang berdiri tidak jauh darinya itu. Sepertinya dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihat di depan matanya.
"Kau! Kau merebut Masumi dariku! Meminta Paman membatalkan pernikahan kami. Lalu seolah kau tidak terlibat, kau pergi meninggalkan Jepang! Disana kau berhasil merayu pengusaha kaya. Menjadikan dirimu seperti Ciderella hanya dalam sekejap mata. Dan kau kembali! Menyingkirkan anak buahku dari Daito dengan kekuatan kakakmu dan berusaha mengukuhkan kedudukanmu untuk bersanding bersama Masumi! Kau licik Maya!"
Maya terhenyak. Seperti itukah dirinya? Seperti yang digambarkan Shiori? Maya menggeleng, menepis pikiran negatif tentang dirinya sendiri. Bukan! Bukan seperti itu rencananya. Semua yang dikatakan Shiori berasal dari sudut pandangnya sendiri dan dia harus meluruskan hal itu. Shiori harus mengerti.
"Anda salah Nona Shiori," kata Maya, memberanikan diri membuka mulutnya.
"Salah?! Apa yang salah? Aktris kacangan sepertimu, gadis rendahan yang menyusun rencana besar untuk merebut hati seorang pangeran. Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang kau inginkan?"
"Saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi Cinderella. Kalaupun Masumi bukanlah Direktur Daito saya akan tetap mencintainya. Anda ingat Nona Shiori, apa yang pernah saya katakan pada anda ketika anda datang untuk memberikan undangan pernikahan pada saya?"
Shiori terdiam, matanya tampak berkilat marah. Maya menilai reaksinya dan memutuskan untuk menjelaskan semuanya. Meluruskan semua kesalah pahaman dari semua rencananya.
"Saya pernah mengatakan pada anda bahwa cinta dan benci hanya dipisahkan oleh selumbar yang tipis. Saat itu saya sudah memberikan tanda pada anda. Seperti saya yang dulu sangat membenci Masumi lalu berubah mencintainya, seperti itu jugalah anda. Saat itu saya sudah memperingatkan anda bahwa cinta yang anda simpan untuk Masumi bisa berubah menjadi benci karena sebuah penolakan. Tapi anda tidak mengerti maksud saya. Kepergian saya ke New York bukanlah untuk menghilangkan jejak sebagai orang ketiga dalam hubungan anda dan Masumi. Dan sesungguhnya saya memang tidak pernah merasa menjadi orang ke tiga karena Masumi sudah lebih dulu jatuh cinta kepada saya bahkan sebelum mengenal anda. Dan sepertinya saya juga begitu, hanya saja karena kebodohan saya maka saya harus menunggu sampai anda muncul diantara kami untuk saya bisa mengerti perasaan saya yang sesungguhnya pada Masumi,"
Shiori melotot, "Jadi kau pikir akulah orang ketiga itu?"
Maya menggeleng, "Saya tidak berpikir seperti itu. Saya hanya berpikir betapa kasihannya anda jika anda harus tersiksa oleh rasa cinta anda yang tidak terbalas dan justru berubah menjadi ambisi penuh kebencian untuk menghancurkan kami."
"Tutup mulutmu!!" Hardik Shiori.
"Saya tidak akan diam. Saya akan menjelaskan semuanya. Semuanya berawal dari hari itu, saat anda dirawat di rumah sakit karena percobaan bunuh diri anda yang ternyata hanya sebuah sandiwara untuk tetap membuat Masumi menikahi anda,"
Shiori terkejut bahkan Maya juga menangkap keterkejutan di mata Eisuke.
"Ya Nona Shiori, saya mendengar semua percakapan anda hari itu dan sejak hari itu saya mulai memikirkan semua rencana ini. Bagaimana melepaskan Masumi dari anda, keluarga anda dan Daito terutama anda Tuan Hayami," Maya sejenak melihat Eisuke menyipit padanya tapi kemudian dia mengabaikannya. Kembali fokus pada penjelasannya.
"Apa anda pikir kalau saya tidak memaksa Tuan Hayami untuk membatalkan rencana pernikahan kalian maka anda akan bahagia bersama dengan Masumi sekarang?"
"Kau...," Shiori kalah, dia tahu apa yang dikatakan Maya benar. Masumi tidak pernah mencintainya.
"Anda pasti tahu jawabannya. Pernikahan kalian hanya didasari oleh kepentingan bisnis dan bukan cinta. Dan apa yang anda harapkan dari itu? Keluarga bahagia?"
Maya menarik napas panjang.
"Anda yang membayar orang untuk memperkosa saya kan? Berharap dengan menjadikan saya tidak layak untuk Masumi maka anda bisa kembali padanya. Satu hal yang anda lupa bahwa apapun kondisi saya Masumi tidak akan pernah meninggalkan saya. Keputusan saya untuk pergi adalah karena memang kita membutuhkan waktu. Masumi, anda dan saya, kita membutuhkan waktu untuk merenungkan semuanya. Tapi anda tidak mengerti dan malah kembali ingin membunuh saya dengan memperalat Mia. Dan untuk yang kedua kalinya saya lolos. Saya bersyukur Tuhan masih melindungi saya dengan mengirimkan orang-orang yang baik untuk saya. Ya, saya menjadi bagian dari keluarga Anderson. Maya Anderson, itulah nama saya sekarang,"
Eisuke menatap garang, terkejut? Jelas. Sepertinya Shiori melewatkan satu rahasia itu dari Eisuke. Shiori membuat Eisuke berpikir Maya bekerja sama dengan Christ untuk menghancurkan Daito dan Masumi. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang bahkan bicarapun tidak bisa.
Maya mengalihkan pandangannya pada Eisuke.
"Apa anda juga berpikir kalau saya berniat jahat pada anda dan Masumi?" Maya bertanya meski tahu Eisuke tidak akan bisa menjawab.
Maya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya sendiri.
"Saya tidak pernah berniat seperti itu. Bukankah saya sudah meminta anda merenungkan semua hal ini beberapa hari yang lalu? Sejak awal hak pementasan itu hanyalah sebuah pancingan untuk anda. Agar anda mengerti hal penting dalam hidup anda yang sebenarnya."
Maya kembali menghela napas.
"Jika Christ tidak mengambil alih saham Daito dari adik dan keponakan anda, maka anda sudah benar-benar kehilangan Daito sekarang. Karena Nona Shiori lah yang akan mengambil alih semuanya. Christ datang untuk menyelamatkan Daito, juga untuk...mendesak anda. Selama ini anda menggunakan Masumi sebagai boneka, sadarkah anda bahwa dia putra anda? Saya dan Christ sengaja bersandiwara agar anda mengerti betapa pentingnya Masumi dalam hidup anda. Mungkin anda berpikir bahwa dengan menjadikan Masumi pemilik saham tertinggi itu bisa membuat Daito aman. Tanyakanlah pada nurani anda, itukah tujuannya? Setelah dia menguasai Daito, pernahkah sekali saja Masumi menghianati anda? Pernah dia merugikan anda? Dia tetap setia dan menghormati anda bahkan saat akhirnya semua keluarga anda meninggalkan anda, hanya Masumi lah yang bersedia tetap berada di samping anda Tuan Hayami. Tidakkah anda mengerti itu? Semua ini hanya untuk menyadarkan anda tentang hal itu. Siapa anda dan siapa Masumi. Hubungan kalian terikat pada awalnya hanya karena Daito dan hak pementasan Bidadari Merah. Saya ingin menyingkirkan dua hal itu dan menyadarkan pada anda bahwa Masumi, anak yang sudah anda besarkan itulah yang lebih penting bagi hidup anda Tuan Hayami,"
Eisuke terhenyak dengan penuturan panjang dari Maya. Shiori masih memandangnya marah.
"Kita semua sudah diberikan pilihan dalam menjalani kehidupan ini. Saya memilih untuk mencintai semua orang dan saya ingin kalian juga seperti itu. Jangan lebarkan sayap kebencian kalian. Tidak akan ada gunanya. Berubahlah." Maya mengepalkan tangannya mencari kekuatan bagi dirinya sendiri. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.
"Kau pandai bicara ternyata," kata Shiori.
"Saya hanya mencoba menjelaskan semua yang saya lakukan"
Shiori tertawa. "Jadi kau ingin mencintai semua orang? Apa aku bisa percaya pada perkataanmu itu? Kau memberiku waktu untuk berubah dan mencari cinta yang lain selama kau pergi. Kau berharap aku merubah benci dan sakit hatiku menjadi cinta yang hangat dan lembut? Menggelikan!" Kata Shiori.
"Belum terlambat untuk mencobanya Nona Shiori," Maya masih menjaga kesopanan dalam tutur katanya.
Shiori kembali terbahak, "Bagaimana kalau sekarang aku memintamu untuk membuktikan ucapanmu itu?"
Alis Maya bertaut, "Apa maksud anda?"
Shiori berjalan mendekat pada Maya lalu memberikan sebuah botol kecil padanya. Botol yang seukuran telapak tangan Maya itu berisi cairan berwarna ungu muda.
"Apa ini?"
"Racun bunga Oleander,"
Maya terkesiap, "Ra...cun?" Tanyanya.
"Tadinya aku ingin membunuh Masumi dengan itu tapi nyatanya aku tidak tega,"
"Masumi?" Maya baru ingat bahwa dia belum bertemu kekasihnya itu.
"Dimana Masumi? Bagaimana keadaannya?" Sergah Maya cepat.
"Tenang, dia baik-baik saja. Seingatku dia tertidur pulas saat anak buahku membawanya,"
Maya merasakan kelegaan menjalari seluruh sel tubuhnya. Mendengar Masumi-nya masih hidup membuatnya tenang. Ironinya, sekarang dirinya bahkan sedang menggenggam sebotol racun.
"Aku mau kau membuktikan ucapanmu Maya," kata Shiori.
Maya terdiam, berusaha memahami perkataan Shiori.
"Kau bilang ingin menyatukan ayah dan anak, ingin membuat semua orang mengerti tentang cinta. Aku pernah memujimu bahwa aktingmu sebagai Juliet dalam drama Die sangat bagus. Mati demi cinta. Mengakhiri hidup dalam cinta. Sekarang ajari aku makna cinta itu," Shiori terkekeh dengan perkataannya sendiri.
Maya mencengkeram botol racun dalam tangannya. Shiori ingin dirinya meminum racun itu.
"Kau tidak berani?" Shiori menilai kediaman Maya.
"Jika saya mati apa anda akan memaafkan Masumi dan Tuan Hayami? Melepaskan mereka?"
Shiori tersenyum kali ini, "Tentu,"
"Dan apa anda akan bahagia jika saya mati?"
Shiori terhenyak tapi dengan cepat tawanya kembali meledak.
"Aku akan sangat bahagia. Sangat bahagia," kata Shiori senang.
Maya memandang pada Shiori lalu beralih pada Eisuke. Pandangan pria paruh baya itu melembut sekarang. Seolah ingin melarang Maya melakukan keinginan Shiori.
Tersenyum, Maya hanya tersenyum pada Eisuke. Tiba-tiba Maya bersimpuh dilantai.
"Tuan Hayami, tolong sampaikan permohonan maaf saya pada Masumi karena tidak bisa memenuhi janji saya dan memenuhi keinginanya," Maya tersenyum lagi ditengah kegetiran hatinya. Janji pernikahan itu terpaksa harus diingkarinya. Tapi yang paling penting baginya adalah Masumi dan ayahnya selamat. Menyelamatkan dua nyawa dengan mengorbankan satu nyawa terdengar sangat masuk akal di otak Maya sekarang.
"Dan soal hak pementasan Biadadari Merah, saya sudah membuat surat kuasa untuk Masumi. Sejak awal saya tidak berniat untuk mengingkari janji saya pada anda Tuan Hayami. Dulu dia memang menolaknya tapi sekarang...jika saya sudah tidak ada maka dia pasti mau menerimanya,"
Maya menatap Shiori dan Eisuke bergantian. Eisuke menggelengkan kepala pada Maya. Shiori meradang.
"Kenapa Paman? Paman tersentuh dengan perkataannya?" Bentak Shiori.
"Ayo buktikan Maya! Aku ingin melihatmu menderita meregang nyawa!" Bentaknya lagi.
Maya menelan ludah perlahan, menatap botol kecil ditangannya, menguatkan hatinya. Maya tersenyum lalu membuka penutup botolnya.
"Semoga anda bahagia Nona Shiori," ucap Maya seraya mengangkat botol racunnya seperti hendak bersulang dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Cairan berwarna ungu muda itu melewati tenggorokan Maya tanpa hambatan.
Maya menatap keterkejutan Eisuke dan Shiori dari matanya. Tapi tak lama Shiori terbahak.
"Aku akan menikmati pertunjukan ini Maya!" Serunya.
Maya mulai merasa aneh dengan tubuhnya. Seluruh badannya mulai merasa dingin, dia memeluk dirinya sendiri. Maya limbung dan terbaring di lantai. Meringkuk menahan sakit di sekujur tubuhnya yang mulai gemetar. Napasnya mulai pendek, jantungnya serasa ingin berhenti berdetak. Maya berusaha melihat pada Shiori dan Eisuke. Keduanya sama pucatnya. Mungkin Shiori juga tidak menyangka kalau menyaksikan seseorang yang meregang nyawa rasanya akan sama menyakitkannya dengan apa yang dirasakan orang itu sendiri, sekalipun orang itu sangat dibencinya.
"Aarggghhh!"
"Apa kabar Maya?" senyum sarkastik yang menusuk hati Maya terurai di wajah wanita cantik itu.
"Nona Shiori....? Tuan Hayami? Anda baik-baik saja?" Maya bingung.
Shiori tertawa, menertawakan kebingungan Maya.
"Kau pasti tidak menyangka kalau permainanmu akan berakhir seperti ini kan?" Tanya Shiori.
Maya melangkah maju, berusaha mendekat, tidak tega melihat pria paruh baya yang menatapnya dengan mata merah itu.
"Jika kau mendekat maka aku tidak akan segan untuk membunuhnya juga," ancam Shiori.
Maya berhenti melangkah. Ditatapnya Eisuke yang duduk terikat di kursi rodanya, mulutnya dibekap dan beberapa memar terlihat diwajahnya.
"Apa yang anda inginkan Nona Shiori? Tidak seharusnya anda melakukan hal seperti ini," wajah Maya memucat. Ketakutan mulai merayapi hatinya. Matanya masih mencoba mencuri pandang ke kanan dan ke kiri, mencari sosok kekasihnya.
"Tidak seharusnya? Apa kau tidak berpikir bahwa yang kau lakukan itu juga tidak seharusnya?" Teriak Shiori.
"Apa yang saya lakukan?" Maya balik bertanya.
"Apa yang kau lakukan?!" Shiori membentak lalu tertawa keras, Eisuke mendongak dan melihat wanita yang berdiri tidak jauh darinya itu. Sepertinya dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihat di depan matanya.
"Kau! Kau merebut Masumi dariku! Meminta Paman membatalkan pernikahan kami. Lalu seolah kau tidak terlibat, kau pergi meninggalkan Jepang! Disana kau berhasil merayu pengusaha kaya. Menjadikan dirimu seperti Ciderella hanya dalam sekejap mata. Dan kau kembali! Menyingkirkan anak buahku dari Daito dengan kekuatan kakakmu dan berusaha mengukuhkan kedudukanmu untuk bersanding bersama Masumi! Kau licik Maya!"
Maya terhenyak. Seperti itukah dirinya? Seperti yang digambarkan Shiori? Maya menggeleng, menepis pikiran negatif tentang dirinya sendiri. Bukan! Bukan seperti itu rencananya. Semua yang dikatakan Shiori berasal dari sudut pandangnya sendiri dan dia harus meluruskan hal itu. Shiori harus mengerti.
"Anda salah Nona Shiori," kata Maya, memberanikan diri membuka mulutnya.
"Salah?! Apa yang salah? Aktris kacangan sepertimu, gadis rendahan yang menyusun rencana besar untuk merebut hati seorang pangeran. Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang kau inginkan?"
"Saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi Cinderella. Kalaupun Masumi bukanlah Direktur Daito saya akan tetap mencintainya. Anda ingat Nona Shiori, apa yang pernah saya katakan pada anda ketika anda datang untuk memberikan undangan pernikahan pada saya?"
Shiori terdiam, matanya tampak berkilat marah. Maya menilai reaksinya dan memutuskan untuk menjelaskan semuanya. Meluruskan semua kesalah pahaman dari semua rencananya.
"Saya pernah mengatakan pada anda bahwa cinta dan benci hanya dipisahkan oleh selumbar yang tipis. Saat itu saya sudah memberikan tanda pada anda. Seperti saya yang dulu sangat membenci Masumi lalu berubah mencintainya, seperti itu jugalah anda. Saat itu saya sudah memperingatkan anda bahwa cinta yang anda simpan untuk Masumi bisa berubah menjadi benci karena sebuah penolakan. Tapi anda tidak mengerti maksud saya. Kepergian saya ke New York bukanlah untuk menghilangkan jejak sebagai orang ketiga dalam hubungan anda dan Masumi. Dan sesungguhnya saya memang tidak pernah merasa menjadi orang ke tiga karena Masumi sudah lebih dulu jatuh cinta kepada saya bahkan sebelum mengenal anda. Dan sepertinya saya juga begitu, hanya saja karena kebodohan saya maka saya harus menunggu sampai anda muncul diantara kami untuk saya bisa mengerti perasaan saya yang sesungguhnya pada Masumi,"
Shiori melotot, "Jadi kau pikir akulah orang ketiga itu?"
Maya menggeleng, "Saya tidak berpikir seperti itu. Saya hanya berpikir betapa kasihannya anda jika anda harus tersiksa oleh rasa cinta anda yang tidak terbalas dan justru berubah menjadi ambisi penuh kebencian untuk menghancurkan kami."
"Tutup mulutmu!!" Hardik Shiori.
"Saya tidak akan diam. Saya akan menjelaskan semuanya. Semuanya berawal dari hari itu, saat anda dirawat di rumah sakit karena percobaan bunuh diri anda yang ternyata hanya sebuah sandiwara untuk tetap membuat Masumi menikahi anda,"
Shiori terkejut bahkan Maya juga menangkap keterkejutan di mata Eisuke.
"Ya Nona Shiori, saya mendengar semua percakapan anda hari itu dan sejak hari itu saya mulai memikirkan semua rencana ini. Bagaimana melepaskan Masumi dari anda, keluarga anda dan Daito terutama anda Tuan Hayami," Maya sejenak melihat Eisuke menyipit padanya tapi kemudian dia mengabaikannya. Kembali fokus pada penjelasannya.
"Apa anda pikir kalau saya tidak memaksa Tuan Hayami untuk membatalkan rencana pernikahan kalian maka anda akan bahagia bersama dengan Masumi sekarang?"
"Kau...," Shiori kalah, dia tahu apa yang dikatakan Maya benar. Masumi tidak pernah mencintainya.
"Anda pasti tahu jawabannya. Pernikahan kalian hanya didasari oleh kepentingan bisnis dan bukan cinta. Dan apa yang anda harapkan dari itu? Keluarga bahagia?"
Maya menarik napas panjang.
"Anda yang membayar orang untuk memperkosa saya kan? Berharap dengan menjadikan saya tidak layak untuk Masumi maka anda bisa kembali padanya. Satu hal yang anda lupa bahwa apapun kondisi saya Masumi tidak akan pernah meninggalkan saya. Keputusan saya untuk pergi adalah karena memang kita membutuhkan waktu. Masumi, anda dan saya, kita membutuhkan waktu untuk merenungkan semuanya. Tapi anda tidak mengerti dan malah kembali ingin membunuh saya dengan memperalat Mia. Dan untuk yang kedua kalinya saya lolos. Saya bersyukur Tuhan masih melindungi saya dengan mengirimkan orang-orang yang baik untuk saya. Ya, saya menjadi bagian dari keluarga Anderson. Maya Anderson, itulah nama saya sekarang,"
Eisuke menatap garang, terkejut? Jelas. Sepertinya Shiori melewatkan satu rahasia itu dari Eisuke. Shiori membuat Eisuke berpikir Maya bekerja sama dengan Christ untuk menghancurkan Daito dan Masumi. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang bahkan bicarapun tidak bisa.
Maya mengalihkan pandangannya pada Eisuke.
"Apa anda juga berpikir kalau saya berniat jahat pada anda dan Masumi?" Maya bertanya meski tahu Eisuke tidak akan bisa menjawab.
Maya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya sendiri.
"Saya tidak pernah berniat seperti itu. Bukankah saya sudah meminta anda merenungkan semua hal ini beberapa hari yang lalu? Sejak awal hak pementasan itu hanyalah sebuah pancingan untuk anda. Agar anda mengerti hal penting dalam hidup anda yang sebenarnya."
Maya kembali menghela napas.
"Jika Christ tidak mengambil alih saham Daito dari adik dan keponakan anda, maka anda sudah benar-benar kehilangan Daito sekarang. Karena Nona Shiori lah yang akan mengambil alih semuanya. Christ datang untuk menyelamatkan Daito, juga untuk...mendesak anda. Selama ini anda menggunakan Masumi sebagai boneka, sadarkah anda bahwa dia putra anda? Saya dan Christ sengaja bersandiwara agar anda mengerti betapa pentingnya Masumi dalam hidup anda. Mungkin anda berpikir bahwa dengan menjadikan Masumi pemilik saham tertinggi itu bisa membuat Daito aman. Tanyakanlah pada nurani anda, itukah tujuannya? Setelah dia menguasai Daito, pernahkah sekali saja Masumi menghianati anda? Pernah dia merugikan anda? Dia tetap setia dan menghormati anda bahkan saat akhirnya semua keluarga anda meninggalkan anda, hanya Masumi lah yang bersedia tetap berada di samping anda Tuan Hayami. Tidakkah anda mengerti itu? Semua ini hanya untuk menyadarkan anda tentang hal itu. Siapa anda dan siapa Masumi. Hubungan kalian terikat pada awalnya hanya karena Daito dan hak pementasan Bidadari Merah. Saya ingin menyingkirkan dua hal itu dan menyadarkan pada anda bahwa Masumi, anak yang sudah anda besarkan itulah yang lebih penting bagi hidup anda Tuan Hayami,"
Eisuke terhenyak dengan penuturan panjang dari Maya. Shiori masih memandangnya marah.
"Kita semua sudah diberikan pilihan dalam menjalani kehidupan ini. Saya memilih untuk mencintai semua orang dan saya ingin kalian juga seperti itu. Jangan lebarkan sayap kebencian kalian. Tidak akan ada gunanya. Berubahlah." Maya mengepalkan tangannya mencari kekuatan bagi dirinya sendiri. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.
"Kau pandai bicara ternyata," kata Shiori.
"Saya hanya mencoba menjelaskan semua yang saya lakukan"
Shiori tertawa. "Jadi kau ingin mencintai semua orang? Apa aku bisa percaya pada perkataanmu itu? Kau memberiku waktu untuk berubah dan mencari cinta yang lain selama kau pergi. Kau berharap aku merubah benci dan sakit hatiku menjadi cinta yang hangat dan lembut? Menggelikan!" Kata Shiori.
"Belum terlambat untuk mencobanya Nona Shiori," Maya masih menjaga kesopanan dalam tutur katanya.
Shiori kembali terbahak, "Bagaimana kalau sekarang aku memintamu untuk membuktikan ucapanmu itu?"
Alis Maya bertaut, "Apa maksud anda?"
Shiori berjalan mendekat pada Maya lalu memberikan sebuah botol kecil padanya. Botol yang seukuran telapak tangan Maya itu berisi cairan berwarna ungu muda.
"Apa ini?"
"Racun bunga Oleander,"
Maya terkesiap, "Ra...cun?" Tanyanya.
"Tadinya aku ingin membunuh Masumi dengan itu tapi nyatanya aku tidak tega,"
"Masumi?" Maya baru ingat bahwa dia belum bertemu kekasihnya itu.
"Dimana Masumi? Bagaimana keadaannya?" Sergah Maya cepat.
"Tenang, dia baik-baik saja. Seingatku dia tertidur pulas saat anak buahku membawanya,"
Maya merasakan kelegaan menjalari seluruh sel tubuhnya. Mendengar Masumi-nya masih hidup membuatnya tenang. Ironinya, sekarang dirinya bahkan sedang menggenggam sebotol racun.
"Aku mau kau membuktikan ucapanmu Maya," kata Shiori.
Maya terdiam, berusaha memahami perkataan Shiori.
"Kau bilang ingin menyatukan ayah dan anak, ingin membuat semua orang mengerti tentang cinta. Aku pernah memujimu bahwa aktingmu sebagai Juliet dalam drama Die sangat bagus. Mati demi cinta. Mengakhiri hidup dalam cinta. Sekarang ajari aku makna cinta itu," Shiori terkekeh dengan perkataannya sendiri.
Maya mencengkeram botol racun dalam tangannya. Shiori ingin dirinya meminum racun itu.
"Kau tidak berani?" Shiori menilai kediaman Maya.
"Jika saya mati apa anda akan memaafkan Masumi dan Tuan Hayami? Melepaskan mereka?"
Shiori tersenyum kali ini, "Tentu,"
"Dan apa anda akan bahagia jika saya mati?"
Shiori terhenyak tapi dengan cepat tawanya kembali meledak.
"Aku akan sangat bahagia. Sangat bahagia," kata Shiori senang.
Maya memandang pada Shiori lalu beralih pada Eisuke. Pandangan pria paruh baya itu melembut sekarang. Seolah ingin melarang Maya melakukan keinginan Shiori.
Tersenyum, Maya hanya tersenyum pada Eisuke. Tiba-tiba Maya bersimpuh dilantai.
"Tuan Hayami, tolong sampaikan permohonan maaf saya pada Masumi karena tidak bisa memenuhi janji saya dan memenuhi keinginanya," Maya tersenyum lagi ditengah kegetiran hatinya. Janji pernikahan itu terpaksa harus diingkarinya. Tapi yang paling penting baginya adalah Masumi dan ayahnya selamat. Menyelamatkan dua nyawa dengan mengorbankan satu nyawa terdengar sangat masuk akal di otak Maya sekarang.
"Dan soal hak pementasan Biadadari Merah, saya sudah membuat surat kuasa untuk Masumi. Sejak awal saya tidak berniat untuk mengingkari janji saya pada anda Tuan Hayami. Dulu dia memang menolaknya tapi sekarang...jika saya sudah tidak ada maka dia pasti mau menerimanya,"
Maya menatap Shiori dan Eisuke bergantian. Eisuke menggelengkan kepala pada Maya. Shiori meradang.
"Kenapa Paman? Paman tersentuh dengan perkataannya?" Bentak Shiori.
"Ayo buktikan Maya! Aku ingin melihatmu menderita meregang nyawa!" Bentaknya lagi.
Maya menelan ludah perlahan, menatap botol kecil ditangannya, menguatkan hatinya. Maya tersenyum lalu membuka penutup botolnya.
"Semoga anda bahagia Nona Shiori," ucap Maya seraya mengangkat botol racunnya seperti hendak bersulang dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Cairan berwarna ungu muda itu melewati tenggorokan Maya tanpa hambatan.
Maya menatap keterkejutan Eisuke dan Shiori dari matanya. Tapi tak lama Shiori terbahak.
"Aku akan menikmati pertunjukan ini Maya!" Serunya.
Maya mulai merasa aneh dengan tubuhnya. Seluruh badannya mulai merasa dingin, dia memeluk dirinya sendiri. Maya limbung dan terbaring di lantai. Meringkuk menahan sakit di sekujur tubuhnya yang mulai gemetar. Napasnya mulai pendek, jantungnya serasa ingin berhenti berdetak. Maya berusaha melihat pada Shiori dan Eisuke. Keduanya sama pucatnya. Mungkin Shiori juga tidak menyangka kalau menyaksikan seseorang yang meregang nyawa rasanya akan sama menyakitkannya dengan apa yang dirasakan orang itu sendiri, sekalipun orang itu sangat dibencinya.
"Aarggghhh!"
Maya berteriak saat rasa
sakit merajai seluruh tubuhnya.
Inikah rasanya? Saat roh akan pergi
meninggalkan raga? Seperti inikah rasanya pengorbanan? Tiba-tiba Maya teringat Akoya, Akoya yang berkorban
untuk dunia? Hati Maya hancur, bayangan Masumi dan Bidadari Merah berkelebat di
matanya. Ya, mimpi itu...mimpi Bidadari Merahnya tidak akan pernah terwujud
tapi sekarang dia mengerti, dia tahu perasaan Akoya yang sebenarnya. Menahan
sakit demi menyelamatkan orang yang dicintai.
"Masumi....maafkan aku," gumamnya lirih.
"Masumi....maafkan aku," gumamnya lirih.
Air matanya beruraian dan dia juga melihat Eisuke menangis menatap
tubuhnya yang semakin gemetar. Shiori hanya menatapnya tajam, tak bergeming,
menyaksikan detik demi detik berlalu.
Maya diambang kesadarannya saat rasa sakit yang menguasainya melebihi rasa yang bisa ditahannya. Botol racun itu masih digenggamnya, erat.
Suara ribut dan berisik terdengar di luar. Maya sempat melihat pandangan Shiori teralihkan darinya. Tapi kemudian semuanya tidak jelas, pandangan Maya mengabur.
"Argghhh," Maya mengerang, kepalanya seperti ditusuki ribuan paku. Sakit. Sungguh sakit.
Maya mendengar teriakan. Memanggil namanya. Tapi Maya tidak bisa berpikir lagi. Rasa sakit sudah mengambil alih segalanya. Matanya tidak lagi bisa melihat meski telinganya masih bisa samar mendengar.
"Maya! Maya!" Tubuhnya terguncang. Maya tidak tahu itu karena tubuhnya memang gemetar hebat atau karena seseorang mengguncang tubuhnya.
"Bertahanlah Maya!" Teriak suara itu lagi.
Maya diambang kesadarannya saat rasa sakit yang menguasainya melebihi rasa yang bisa ditahannya. Botol racun itu masih digenggamnya, erat.
Suara ribut dan berisik terdengar di luar. Maya sempat melihat pandangan Shiori teralihkan darinya. Tapi kemudian semuanya tidak jelas, pandangan Maya mengabur.
"Argghhh," Maya mengerang, kepalanya seperti ditusuki ribuan paku. Sakit. Sungguh sakit.
Maya mendengar teriakan. Memanggil namanya. Tapi Maya tidak bisa berpikir lagi. Rasa sakit sudah mengambil alih segalanya. Matanya tidak lagi bisa melihat meski telinganya masih bisa samar mendengar.
"Maya! Maya!" Tubuhnya terguncang. Maya tidak tahu itu karena tubuhnya memang gemetar hebat atau karena seseorang mengguncang tubuhnya.
"Bertahanlah Maya!" Teriak suara itu lagi.
Maya sudah tidak sanggup membuka matanya, tapi dia mengenali suara penuh ke khawatiran itu. Suara yang selalu dirindukannya.
"Apa yang kau lakukan pada adikku?!" Hardik suara lain.
"Kalau sesuatu terjadi padanya aku tidak akan memaafkanmu!" Suara yang syarat dengan kesedihan itu kembali terdengar.
Otak Maya masih berusaha mengurai kesadarannya yang hanya tinggal sedikit. Maya tahu, Masumi dan kakaknya datang. Telinganya juga mendengar teriakan Shiori yang penuh kesedihan.
"Pergi! Pergi! Atau aku bunuh dia!"
Batin Maya semakin mengkerut. Akan ada orang lain yang mati selain dirinya bukanlah tujuannya untuk meminum racun itu. Dia hanya ingin tidak ada lagi yang terluka.
Kali ini Maya merasakan rengkuhan sebuah lengan kokoh di bahunya.
"To...long...Tu...an...Haya...mi...Masu...mi...ayahmu...jangan....sa...ki...ti...! Ma...af...kan...No...na ...Shi..o...ri...di...a...juga...ter...lu...ka...ka..rena...aku....,"
Maya merasa suasana menjadi hening sejenak saat dia memaksakan diri untuk bicara. Dia juga merasakan air jatuh diwajahnya. Ada yang menangis untuknya.
Hal terakhir yang didengar Maya adalah suara ribut yang kembali memenuhi indra pendengarannya.
"Tidak!! Ayah!"
Dan suara tembakan memekakkan telinga.
"PANGGIL AMBULANCE!!!!"
Maya merasa melayang, rasa sakitnya hilang sempurna. Damai dan tenang.
***
"Apa yang kau lakukan pada adikku?!" Hardik suara lain.
"Kalau sesuatu terjadi padanya aku tidak akan memaafkanmu!" Suara yang syarat dengan kesedihan itu kembali terdengar.
Otak Maya masih berusaha mengurai kesadarannya yang hanya tinggal sedikit. Maya tahu, Masumi dan kakaknya datang. Telinganya juga mendengar teriakan Shiori yang penuh kesedihan.
"Pergi! Pergi! Atau aku bunuh dia!"
Batin Maya semakin mengkerut. Akan ada orang lain yang mati selain dirinya bukanlah tujuannya untuk meminum racun itu. Dia hanya ingin tidak ada lagi yang terluka.
Kali ini Maya merasakan rengkuhan sebuah lengan kokoh di bahunya.
"To...long...Tu...an...Haya...mi...Masu...mi...ayahmu...jangan....sa...ki...ti...! Ma...af...kan...No...na ...Shi..o...ri...di...a...juga...ter...lu...ka...ka..rena...aku....,"
Maya merasa suasana menjadi hening sejenak saat dia memaksakan diri untuk bicara. Dia juga merasakan air jatuh diwajahnya. Ada yang menangis untuknya.
Hal terakhir yang didengar Maya adalah suara ribut yang kembali memenuhi indra pendengarannya.
"Tidak!! Ayah!"
Dan suara tembakan memekakkan telinga.
"PANGGIL AMBULANCE!!!!"
Maya merasa melayang, rasa sakitnya hilang sempurna. Damai dan tenang.
***
Christ berdiri bersandar pada dinding
sebelah pintu, memeluk dirinya sendiri. Matanya menatap pilu pada Clara dan
Michael yang tampak begitu sedih, Rose juga hanya diam disamping Clara.
Ketiganya terlihat lelah karena sudah kurang tidur selama dua hari. Disamping
mereka, duduk Eisuke di atas kursi roda dan didampingi Asa. Lebam diwajahnya masih terlihat. Lalu berjajar di kursi tunggu di sisi lain koridor,
Rei, Mina, Taiko dan Sayaka juga guru mereka, Mayuko yang didampingi oleh
Genzo. Ryan dan Alex tampak siaga berdiri tidak jauh dari mereka.
Meski ada begitu banyak orang tapi tidak ada satupun yang bicara. Hanya satu ekspresi yang menggambarkan keseragaman semua wajah itu, kesedihan.
"Aku ingin melihatnya lagi," suara Clara memecah kesunyian.
"Mari ku temani," Michael merengkuh bahu istrinya dan membimbingnya masuk melewati pintu dimana Christ berdiri disebelahnya. Tak lama Christ juga mengikuti kedua orang tuanya masuk.
Clara terisak sementara Michael hanya mengusap lembut lengan istrinya dalam pelukannya. Tidak ada gunanya menenangkan Clara karena dia sendiri juga merasakan kesedihan yang sama. Christ menempatkan dirinya disebelah papanya, menatap ke arah yang sama, dua buah ranjang didepannya. Diatasnya terbaring dua orang yang menjadi alasan semua kesedihan mereka.
"Racun bunga oleander yang diminum Nona Anderson memiliki efek pada jantung dan syaraf pusatnya. Kami sudah menetralkan semua racun di tubuh Nona Anderson. Saat ini detak jantungnya masih lemah dan tekanan darahnya juga masih dibawah normal. Kami akan terus memantau perkembangannya untuk melihat sejauh mana racun itu mempengaruhi syaraf pusatnya,"
"Tuan Muda Hayami mendapat dua tembakan di dada yang hampir mengenai bagian vital tubuhnya. Beruntung dua peluru tersebut dapat diambil. Tapi Tuan Muda Hayami mengalami pendarahan hebat sehingga sempat menyebabkan cardiac arrest -kondisi jantung berhenti berdetak- dan dengan menyesal kami menagatakan kondisinya juga tidak jauh lebih baik dari Nona Anderson. Keduanya dalam kondisi koma saat ini."
Christ menghela napas ketika mengingat perkataan dokter padanya setelah tragedi yang terjadi di gudang tiga hari yang lalu.
Saat dirinya dan Masumi datang lalu berhasil mengalahkan lusinan anak buah Shiori bersama Ryan, Alex dan Hijiri mereka justru menemukan Maya dalam kondisi yang mengenaskan. Terbaring di lantai, wajahnya pucat pasi, gemetar di seluruh tubuhnya, mulutnya terus mengerang kesakitan dan meracau tidak jelas. Terakhir Maya muntah darah dan kesadarannya hilang sempurna.
Sementara Shiori yang kebingungan menghadapi kemarahan Masumi menarik senjatanya tapi sekali lagi dia tidak sanggup melukai Masumi. Dia malah mengarahkan senjatanya pada Eisuke yang terikat di kursi roda. Dua tembakan terlepas tapi justru bersarang di dada Masumi yang bergerak cepat melindungi ayahnya. Shiori yang shock dengan perbuatannya sendiri juga langsung tidak sadarkan diri.
Sekarang terbaring dihadapannya Maya dan Masumi yang masih dalam kondisi koma.
"Kapan mereka akan bangun?" Tanya Clara di tengah isakannya.
"Tenang sayang, dokter akan mengusahakan yang terbaik bagi mereka. Kita harus kuat dan terus berdoa," kata Michael.
Christ melihat kedua orang tuanya, mereka langsung terbang ke Tokyo saat Christ mengabarkan pada mereka tentang apa yang terjadi pada Maya dan Masumi. Mereka baru tiba dua hari yang lalu.
Maya sudah memberikan kebahagiaan baru di tengah keluarga Anderson dan mereka sama sekali tidak ingin kehilangan hal itu.
"Maya...Masumi...sadarlah...bukan ini akhir yang aku harapkan...," hati Christ pilu.
Suara mesin yang tiba-tiba berdenging dan berdetak cepat menyentakkan ketiganya.
"Tidak!! Tidak!!" Clara panik saat melihat monitor yang memantau detak jantung keduanya. Michael berteriak keras memanggil dokter dan Christ bergerak cepat menekan tombol panggil.
Tiiiiiiittttttttttttt!!!!
Hanya garis lurus yang tergambar di kedua monitor.
***
Meski ada begitu banyak orang tapi tidak ada satupun yang bicara. Hanya satu ekspresi yang menggambarkan keseragaman semua wajah itu, kesedihan.
"Aku ingin melihatnya lagi," suara Clara memecah kesunyian.
"Mari ku temani," Michael merengkuh bahu istrinya dan membimbingnya masuk melewati pintu dimana Christ berdiri disebelahnya. Tak lama Christ juga mengikuti kedua orang tuanya masuk.
Clara terisak sementara Michael hanya mengusap lembut lengan istrinya dalam pelukannya. Tidak ada gunanya menenangkan Clara karena dia sendiri juga merasakan kesedihan yang sama. Christ menempatkan dirinya disebelah papanya, menatap ke arah yang sama, dua buah ranjang didepannya. Diatasnya terbaring dua orang yang menjadi alasan semua kesedihan mereka.
"Racun bunga oleander yang diminum Nona Anderson memiliki efek pada jantung dan syaraf pusatnya. Kami sudah menetralkan semua racun di tubuh Nona Anderson. Saat ini detak jantungnya masih lemah dan tekanan darahnya juga masih dibawah normal. Kami akan terus memantau perkembangannya untuk melihat sejauh mana racun itu mempengaruhi syaraf pusatnya,"
"Tuan Muda Hayami mendapat dua tembakan di dada yang hampir mengenai bagian vital tubuhnya. Beruntung dua peluru tersebut dapat diambil. Tapi Tuan Muda Hayami mengalami pendarahan hebat sehingga sempat menyebabkan cardiac arrest -kondisi jantung berhenti berdetak- dan dengan menyesal kami menagatakan kondisinya juga tidak jauh lebih baik dari Nona Anderson. Keduanya dalam kondisi koma saat ini."
Christ menghela napas ketika mengingat perkataan dokter padanya setelah tragedi yang terjadi di gudang tiga hari yang lalu.
Saat dirinya dan Masumi datang lalu berhasil mengalahkan lusinan anak buah Shiori bersama Ryan, Alex dan Hijiri mereka justru menemukan Maya dalam kondisi yang mengenaskan. Terbaring di lantai, wajahnya pucat pasi, gemetar di seluruh tubuhnya, mulutnya terus mengerang kesakitan dan meracau tidak jelas. Terakhir Maya muntah darah dan kesadarannya hilang sempurna.
Sementara Shiori yang kebingungan menghadapi kemarahan Masumi menarik senjatanya tapi sekali lagi dia tidak sanggup melukai Masumi. Dia malah mengarahkan senjatanya pada Eisuke yang terikat di kursi roda. Dua tembakan terlepas tapi justru bersarang di dada Masumi yang bergerak cepat melindungi ayahnya. Shiori yang shock dengan perbuatannya sendiri juga langsung tidak sadarkan diri.
Sekarang terbaring dihadapannya Maya dan Masumi yang masih dalam kondisi koma.
"Kapan mereka akan bangun?" Tanya Clara di tengah isakannya.
"Tenang sayang, dokter akan mengusahakan yang terbaik bagi mereka. Kita harus kuat dan terus berdoa," kata Michael.
Christ melihat kedua orang tuanya, mereka langsung terbang ke Tokyo saat Christ mengabarkan pada mereka tentang apa yang terjadi pada Maya dan Masumi. Mereka baru tiba dua hari yang lalu.
Maya sudah memberikan kebahagiaan baru di tengah keluarga Anderson dan mereka sama sekali tidak ingin kehilangan hal itu.
"Maya...Masumi...sadarlah...bukan ini akhir yang aku harapkan...," hati Christ pilu.
Suara mesin yang tiba-tiba berdenging dan berdetak cepat menyentakkan ketiganya.
"Tidak!! Tidak!!" Clara panik saat melihat monitor yang memantau detak jantung keduanya. Michael berteriak keras memanggil dokter dan Christ bergerak cepat menekan tombol panggil.
Tiiiiiiittttttttttttt!!!!
Hanya garis lurus yang tergambar di kedua monitor.
***
"Kyaaaa! Masumi! Hentikan!
Hentikan!" Maya tergelak-gelak di padang rumput, Masumi terus
mengelitikinya.
"Aku senang mendengarmu tertawa," kata Masumi.
"Tapi aku tidak! Kyaaaa, hentikan!" Maya terbahak dan berguling ke samping. Menjauhkan dirinya dari jangkauan tangan Masumi.
"Aku akan menangkapmu," Masumi tersenyum senang.
Maya berguling lagi di atas rerumputan dan saat lengan Masumi berhasil meraihnya dia berhenti. Keduanya tertawa. Masumi mengurung Maya di bawahnya dengan kedua lengannya.
"Aku suka melihatmu bahagia," Mata Masumi menatap lembut Maya dibawahnya.
Maya mengusapkan tangannya di pipi Masumi dan Masumipun menyandarkan wajahnya dengan manja pada telapak tangan mungil ltu.
"Aku juga suka melihatmu bahagia seperti ini," kata Maya.
"Aku selalu bahagia saat bersamamu,"
"Aku juga,"
"Jangan tinggalkan aku,"
Maya menggeleng, "Tidak akan karena aku juga tidak bisa hidup tanpamu,"
Masumi merendahkan tubuhnya dan menyapukan kecupan-kecupan lembut di wajah Maya.
Maya terkikik geli dan membalas perlakuan Masumi dengan menangkupkan kedua tangannya di wajah Masumi lalu mengecup lembut wajah tampan itu. Masumi tertawa.
"Peluk aku," pinta Maya.
Masumi tergelak, diapun berguling ke samping dan menyangga tubuhnya dengan siku lalu lengannya yang lain menarik tubuh Maya dalam pelukannya. Maya menyurukkan wajahnya didada Masumi.
"Tubuhmu harum," celetuk Maya dengan polosnya.
"Harum?" Masumi tersenyum geli.
Maya mengangguk didada Masumi.
"Aku suka sekali bersandar disini, di dadamu, mencium aroma tubuhmu. Rasanya menenangkan,"
"Apa kau sedang merayuku?"
"Tidak,"
Masumi terkikik, "Apa kau tahu apa efek pujianmu itu padaku?"
"Apa?" Maya tersenyum geli juga seraya mengusap-usap dada Masumi dan mengecupnya beberapa kali.
"Aku ingin membuka bajuku lalu membiarkanmu menciumi seluruh tubuhku,"
Maya terbahak, "Seperti itu?"
Masumi mengangguk.
"Kedengarannya tidak sopan sekali,"
"Tidak sopan ya? Tapi pasti menyenangkan,"
"Menyenangkan bagiku atau bagimu?"
"Ku kira tadi kau bilang kau suka mencium tubuhku,"
"Aku bilang suka mencium A-RO-MA tubuhmu, bukan mencium tubuhmu,"
Masumi tergelak, "Jadi? Kau tidak mau?"
"Mencium tubuhmu?"
Masumi menyeringai.
"Aku mau? Apa kau mau aku melakukannya sekarang?" Maya meraih kancing kemeja Masumi dan tangan Masumi dengan cepat mencekalnya sambil tergelak.
"Aku bercanda sayang,"
Maya tertawa lalu mencium tubuh Masumi yang tersingkap karena Maya berhasil membuka satu kancing baju Masumi.
"Hentikan," kata Masumi disela gelak tawanya.
Entah berapa lama mereka terbaring seperti itu di atas padang rumput hijau. Waktu seakan berhenti bagi keduanya. Kebahagian akan kebersamaan mereka membuat keduanya melupakan semuanya. Hari menjelang senja saat ada suara memanggil keduanya.
"Maya, Masumi! Cepat kemari,"
Dua orang wanita paruh baya memanggil keduanya. Duduk di atas tikar di padang rumput, keduanya sedang menghidangkan makanan.
"Ayo! Ibu sudah memanggil," kata Masumi.
Maya mengangguk dan menurut saat Masumi menarik tangannya.
"Duduklah, kita makan bersama,"
"Iya, Ibu,"
Maya dan Masumi duduk di depan kedua ibu mereka. Aya dan Haru memandang bahagia pada ke duanya.
"Kalian berdua bahagia sekali," kata Aya.
Masumi tersenyum malu pada ibunya.
"Ibu senang melihatmu bahagia seperti ini Masumi," tambah Aya.
"Ibu juga bahagia melihatmu seperti ini Maya," kata Haru kemudian.
Maya juga sama tersipunya dengan Masumi.
"Ibu Haru saya....,"
"Sshhh! Sudahlah Masumi, kita sudah membicarakannya kan? Aku tidak menyalahkanmu atas apa yang terjadi. Biarlah masa lalu tetap menjadi masa lalu. Maafkanlah dirimu sendiri. Sekarang sudah waktunya kau dan Maya menatap masa depan,"
Masumi membungkuk dalam dihadapan Haru, "Maafkan saya bu," ulang Masumi.
Haru menggeser duduknya, menegakkan tubuh Masumi lalu memeluknya.
"Aku sudah memaafkanmu Masumi."
"Terima kasih Bu, terima kasih," kata masumi lega.
"Jaga Maya untukku," bisik Haru.
Masumi mengangguk, "Saya akan menjaganya,"
Aya juga bergeser lalu memeluk Maya, "Anakku memang keras tapi itu semua karena didikan ayahnya. Sebenarnya dia penyayang dan lembut. Terima kasih sudah mengembalikan putraku Maya. Terima kasih,"
Maya tersenyum dalam pelukan Aya.
"Tolong kau juga jaga Masumi ya," bisik Aya lembut.
Maya mengangguk, "Iya bu,"
Aya dan Haru saling menatap lalu tersenyum lega dan melepaskan pelukan mereka.
"Kalian berdua makanlah, setelah ini kalian harus segera kembali." Kata Aya.
"Kembali?" Kata Maya dan Masumi bersamaan.
"Iya, kalian berdua sudah terlalu lama disini. Lihat! Hari hampir gelap, kalian harus kembali sebelum terlambat." Tambah Haru.
"Tapi kami baru saja bertemu dengan ibu," kata Maya sedih.
Aya dan Haru tersenyum.
"Tempat kalian bukan disini. Kami sudah sangat senang bisa melihat kalian." Kata Aya.
"Kalian harus kembali dan hiduplah berbahagia. Kami berdua merestui kalian," Tambah Haru.
Masumi dan Maya saling berpandangan dengan tatapan bingung.
"Sudah tidak usah dipikirkan, kalian makan saja. Ingat, pergilah sebelum hari menjadi gelap," suara Aya dan Haru menggema di telinga Maya dan Masumi.
Suara bising dan teriakan memilukan tiba-tiba terdengar. Maya menutup telinganya, begitu juga Masumi. Tiba-tiba sekeliling mereka menjadi gelap. Maya menjerit ditelan kegelapan dan Masumi berteriak memanggil nama Maya.
"Pasien kritis! Jantungnya berhenti!"
"Tekanan darah juga terus menurun! Pacu jantungnya! Cepat!"
Suasana panik. Empat orang dokter bersiaga menangani kondisi Maya dan Masumi.
"Aku senang mendengarmu tertawa," kata Masumi.
"Tapi aku tidak! Kyaaaa, hentikan!" Maya terbahak dan berguling ke samping. Menjauhkan dirinya dari jangkauan tangan Masumi.
"Aku akan menangkapmu," Masumi tersenyum senang.
Maya berguling lagi di atas rerumputan dan saat lengan Masumi berhasil meraihnya dia berhenti. Keduanya tertawa. Masumi mengurung Maya di bawahnya dengan kedua lengannya.
"Aku suka melihatmu bahagia," Mata Masumi menatap lembut Maya dibawahnya.
Maya mengusapkan tangannya di pipi Masumi dan Masumipun menyandarkan wajahnya dengan manja pada telapak tangan mungil ltu.
"Aku juga suka melihatmu bahagia seperti ini," kata Maya.
"Aku selalu bahagia saat bersamamu,"
"Aku juga,"
"Jangan tinggalkan aku,"
Maya menggeleng, "Tidak akan karena aku juga tidak bisa hidup tanpamu,"
Masumi merendahkan tubuhnya dan menyapukan kecupan-kecupan lembut di wajah Maya.
Maya terkikik geli dan membalas perlakuan Masumi dengan menangkupkan kedua tangannya di wajah Masumi lalu mengecup lembut wajah tampan itu. Masumi tertawa.
"Peluk aku," pinta Maya.
Masumi tergelak, diapun berguling ke samping dan menyangga tubuhnya dengan siku lalu lengannya yang lain menarik tubuh Maya dalam pelukannya. Maya menyurukkan wajahnya didada Masumi.
"Tubuhmu harum," celetuk Maya dengan polosnya.
"Harum?" Masumi tersenyum geli.
Maya mengangguk didada Masumi.
"Aku suka sekali bersandar disini, di dadamu, mencium aroma tubuhmu. Rasanya menenangkan,"
"Apa kau sedang merayuku?"
"Tidak,"
Masumi terkikik, "Apa kau tahu apa efek pujianmu itu padaku?"
"Apa?" Maya tersenyum geli juga seraya mengusap-usap dada Masumi dan mengecupnya beberapa kali.
"Aku ingin membuka bajuku lalu membiarkanmu menciumi seluruh tubuhku,"
Maya terbahak, "Seperti itu?"
Masumi mengangguk.
"Kedengarannya tidak sopan sekali,"
"Tidak sopan ya? Tapi pasti menyenangkan,"
"Menyenangkan bagiku atau bagimu?"
"Ku kira tadi kau bilang kau suka mencium tubuhku,"
"Aku bilang suka mencium A-RO-MA tubuhmu, bukan mencium tubuhmu,"
Masumi tergelak, "Jadi? Kau tidak mau?"
"Mencium tubuhmu?"
Masumi menyeringai.
"Aku mau? Apa kau mau aku melakukannya sekarang?" Maya meraih kancing kemeja Masumi dan tangan Masumi dengan cepat mencekalnya sambil tergelak.
"Aku bercanda sayang,"
Maya tertawa lalu mencium tubuh Masumi yang tersingkap karena Maya berhasil membuka satu kancing baju Masumi.
"Hentikan," kata Masumi disela gelak tawanya.
Entah berapa lama mereka terbaring seperti itu di atas padang rumput hijau. Waktu seakan berhenti bagi keduanya. Kebahagian akan kebersamaan mereka membuat keduanya melupakan semuanya. Hari menjelang senja saat ada suara memanggil keduanya.
"Maya, Masumi! Cepat kemari,"
Dua orang wanita paruh baya memanggil keduanya. Duduk di atas tikar di padang rumput, keduanya sedang menghidangkan makanan.
"Ayo! Ibu sudah memanggil," kata Masumi.
Maya mengangguk dan menurut saat Masumi menarik tangannya.
"Duduklah, kita makan bersama,"
"Iya, Ibu,"
Maya dan Masumi duduk di depan kedua ibu mereka. Aya dan Haru memandang bahagia pada ke duanya.
"Kalian berdua bahagia sekali," kata Aya.
Masumi tersenyum malu pada ibunya.
"Ibu senang melihatmu bahagia seperti ini Masumi," tambah Aya.
"Ibu juga bahagia melihatmu seperti ini Maya," kata Haru kemudian.
Maya juga sama tersipunya dengan Masumi.
"Ibu Haru saya....,"
"Sshhh! Sudahlah Masumi, kita sudah membicarakannya kan? Aku tidak menyalahkanmu atas apa yang terjadi. Biarlah masa lalu tetap menjadi masa lalu. Maafkanlah dirimu sendiri. Sekarang sudah waktunya kau dan Maya menatap masa depan,"
Masumi membungkuk dalam dihadapan Haru, "Maafkan saya bu," ulang Masumi.
Haru menggeser duduknya, menegakkan tubuh Masumi lalu memeluknya.
"Aku sudah memaafkanmu Masumi."
"Terima kasih Bu, terima kasih," kata masumi lega.
"Jaga Maya untukku," bisik Haru.
Masumi mengangguk, "Saya akan menjaganya,"
Aya juga bergeser lalu memeluk Maya, "Anakku memang keras tapi itu semua karena didikan ayahnya. Sebenarnya dia penyayang dan lembut. Terima kasih sudah mengembalikan putraku Maya. Terima kasih,"
Maya tersenyum dalam pelukan Aya.
"Tolong kau juga jaga Masumi ya," bisik Aya lembut.
Maya mengangguk, "Iya bu,"
Aya dan Haru saling menatap lalu tersenyum lega dan melepaskan pelukan mereka.
"Kalian berdua makanlah, setelah ini kalian harus segera kembali." Kata Aya.
"Kembali?" Kata Maya dan Masumi bersamaan.
"Iya, kalian berdua sudah terlalu lama disini. Lihat! Hari hampir gelap, kalian harus kembali sebelum terlambat." Tambah Haru.
"Tapi kami baru saja bertemu dengan ibu," kata Maya sedih.
Aya dan Haru tersenyum.
"Tempat kalian bukan disini. Kami sudah sangat senang bisa melihat kalian." Kata Aya.
"Kalian harus kembali dan hiduplah berbahagia. Kami berdua merestui kalian," Tambah Haru.
Masumi dan Maya saling berpandangan dengan tatapan bingung.
"Sudah tidak usah dipikirkan, kalian makan saja. Ingat, pergilah sebelum hari menjadi gelap," suara Aya dan Haru menggema di telinga Maya dan Masumi.
Suara bising dan teriakan memilukan tiba-tiba terdengar. Maya menutup telinganya, begitu juga Masumi. Tiba-tiba sekeliling mereka menjadi gelap. Maya menjerit ditelan kegelapan dan Masumi berteriak memanggil nama Maya.
"Pasien kritis! Jantungnya berhenti!"
"Tekanan darah juga terus menurun! Pacu jantungnya! Cepat!"
Suasana panik. Empat orang dokter bersiaga menangani kondisi Maya dan Masumi.
Christ, Michael dan Clara bersikeras tidak mau keluar
dari ruang ICU, begitu juga Eisuke dan Asa. Mereka memperhatikan dengan penuh
rasa khawatir. Tadi, tiba-tiba jantung Maya dan Masumi berhenti berdetak secara
bersamaan. Keduanya kritis.
Dokter terus memacu jantung keduanya, segala upaya dilakukan. Mereka mencoba merangsang organ vital keduanya untuk kembali bekerja.
Tiiiiiiiitttttttt!
Dengung panjang dari layar monitor yang tidak juga berubah mengakhiri drama menegangkan itu. Keempat dokter menyerah, menggeleng lemah pada dua pasien yang terbaring tak bergerak.
"Tidak!!" Clara histeris, tersungkur dilantai, "Tuhan! Jangan Kau ambil lagi putriku!!" Jeritnya. Michael memeluk istrinya.
"Maya...bangun Maya!" Teriak Christ dari tempatnya berdiri.
"Masumi!!" Eisuke meraung. Seumur hidupnya baru kali ini dia menangisi putranya itu. Semua perkataan Maya sebelumnya telah menempatkan otaknya dijalan yang benar. Pengorbanan Maya dan Masumi untuknya telah mengajarinya arti cinta.
"Jangan tinggalkan aku Masumi!!" Raung Eisuke lagi.
Semua yang menunggu di luar terhenyak saat mendengar suara ratapan dari dalam ruang ICU. Mayuko bahkan hampir kehilangan kesadarannya mendengar murid kesayangannya pergi.
"Maaf, kami sudah mengusahakan yang terbaik," kata kepala tim dokter dihadapan keluarga Anderson dan Eisuke yang meratap di ujung ruang ICU.
"Kami harap kel....,"
Bip! Bip! Bip! Bip!
"Dokter!!" Pekik para perawat.
Keempat dokter berbalik dan melihat ke arah monitor. Detak jantung keduanya kembali secara bersamaan. Mereka kembali siaga.
"Periksa semuanya!" Kata salah seorang dokter yang langsung berdiri di samping Masumi.
"Catat! Tekanan darah! Detak jantung!" Perintah dokter lain yang berdiri di samping Maya.
"Detak jantung mendekati stabil dokter, tekanan darah terus naik mendekati normal." Salah seorang perawat membaca hasil pencatatannya.
Clara dan Michael bangun dari lantai, Christ menatap penuh harap. Eisuke berhenti meratap dan memperhatikan setiap perkembangan.
Suasana kembali tegang tapi tiba-tiba seorang perawat memekik dan semuanya terdiam.
"Maya....," Masumi menggumam. Bangun dari tidur panjangnya.
"Masu...mi...," Maya juga memanggil nama kekasihnya.
Semua perawat bergeser dari tempatnya, saat kedua pasien saling menoleh ke samping, mencari satu sama lain.
"Selamat datang kembali, Maya," kata Masumi.
"Selamat datang juga Masumi," kata Maya.
Keduanya melempar senyum. Semua ternganga.
***
Dokter terus memacu jantung keduanya, segala upaya dilakukan. Mereka mencoba merangsang organ vital keduanya untuk kembali bekerja.
Tiiiiiiiitttttttt!
Dengung panjang dari layar monitor yang tidak juga berubah mengakhiri drama menegangkan itu. Keempat dokter menyerah, menggeleng lemah pada dua pasien yang terbaring tak bergerak.
"Tidak!!" Clara histeris, tersungkur dilantai, "Tuhan! Jangan Kau ambil lagi putriku!!" Jeritnya. Michael memeluk istrinya.
"Maya...bangun Maya!" Teriak Christ dari tempatnya berdiri.
"Masumi!!" Eisuke meraung. Seumur hidupnya baru kali ini dia menangisi putranya itu. Semua perkataan Maya sebelumnya telah menempatkan otaknya dijalan yang benar. Pengorbanan Maya dan Masumi untuknya telah mengajarinya arti cinta.
"Jangan tinggalkan aku Masumi!!" Raung Eisuke lagi.
Semua yang menunggu di luar terhenyak saat mendengar suara ratapan dari dalam ruang ICU. Mayuko bahkan hampir kehilangan kesadarannya mendengar murid kesayangannya pergi.
"Maaf, kami sudah mengusahakan yang terbaik," kata kepala tim dokter dihadapan keluarga Anderson dan Eisuke yang meratap di ujung ruang ICU.
"Kami harap kel....,"
Bip! Bip! Bip! Bip!
"Dokter!!" Pekik para perawat.
Keempat dokter berbalik dan melihat ke arah monitor. Detak jantung keduanya kembali secara bersamaan. Mereka kembali siaga.
"Periksa semuanya!" Kata salah seorang dokter yang langsung berdiri di samping Masumi.
"Catat! Tekanan darah! Detak jantung!" Perintah dokter lain yang berdiri di samping Maya.
"Detak jantung mendekati stabil dokter, tekanan darah terus naik mendekati normal." Salah seorang perawat membaca hasil pencatatannya.
Clara dan Michael bangun dari lantai, Christ menatap penuh harap. Eisuke berhenti meratap dan memperhatikan setiap perkembangan.
Suasana kembali tegang tapi tiba-tiba seorang perawat memekik dan semuanya terdiam.
"Maya....," Masumi menggumam. Bangun dari tidur panjangnya.
"Masu...mi...," Maya juga memanggil nama kekasihnya.
Semua perawat bergeser dari tempatnya, saat kedua pasien saling menoleh ke samping, mencari satu sama lain.
"Selamat datang kembali, Maya," kata Masumi.
"Selamat datang juga Masumi," kata Maya.
Keduanya melempar senyum. Semua ternganga.
***
"Kau sudah siap?" Tanya Mayuko.
Maya mengangguk. "Saya sudah siap bu,"
"Aku akan melihatmu Maya. Bidadari Merahmu,"
Maya tersenyum saat gurunya meninggalkan ruang gantinya. Berbalik dan menatap dirinya sendiri pada cermin. Bayangan seorang Bidadari cantik terpantul di sana.
Tok! Tok! Tok
Masumi muncul dari balik pintu.
"Akhirnya," gumam Masumi seraya mengulum senyumnya saat melihat Maya dari pantulan cermin.
"Ya, akhirnya. Setelah semua sandiwara panjang dan melelahkan." jawab Maya tanpa membalikkan tubuhnya, keduanya saling berpandangan melalui cermin.
Masumi melingkarkan tangannya di pinggang Maya, memeluknya dari belakang,
Maya mengangguk. "Saya sudah siap bu,"
"Aku akan melihatmu Maya. Bidadari Merahmu,"
Maya tersenyum saat gurunya meninggalkan ruang gantinya. Berbalik dan menatap dirinya sendiri pada cermin. Bayangan seorang Bidadari cantik terpantul di sana.
Tok! Tok! Tok
Masumi muncul dari balik pintu.
"Akhirnya," gumam Masumi seraya mengulum senyumnya saat melihat Maya dari pantulan cermin.
"Ya, akhirnya. Setelah semua sandiwara panjang dan melelahkan." jawab Maya tanpa membalikkan tubuhnya, keduanya saling berpandangan melalui cermin.
Masumi melingkarkan tangannya di pinggang Maya, memeluknya dari belakang,
"Perjalanan yang bahkan menembus ruang dan
waktu. Aku senang kita bisa melewati semua ini sayang dan kita bisa bersama
disini. Utuh," bisik Masumi.
Maya menatap Masumi saat kekasihnya itu memeluknya semakin erat.
"Tidak sakit?" Tanya Maya.
Masumi menggeleng perlahan, "Memelukmu adalah salah satu obat penghilang sakit."
Maya tersenyum lalu berbalik. Mengusap lembut dada Masumi. Dibalik jas dan kemeja itu ada luka yang masih basah tertutup kain kassa.
Keduanya terdiam dan hanya saling memandang. Ya, mereka sudah melewati banyak hal. Dengan sebuah keajaiban mereka selamat dan akhirnya semua masalah terselesaikan.
Saat sadar dari koma, keduanya langsung menjadi berita utama di media. Entah para wartawan mendapat informasi darimana sehingga mereka berhasil menulis berita soal jebakan untuk menghancurkan pementasan Bidadari Merah. Berita itu tidak sepenuhnya benar, tapi cukup membantu memberi alasan pada publik tentang kondisi Maya dan Masumi yang koma secara bersamaan.
Maya menatap Masumi saat kekasihnya itu memeluknya semakin erat.
"Tidak sakit?" Tanya Maya.
Masumi menggeleng perlahan, "Memelukmu adalah salah satu obat penghilang sakit."
Maya tersenyum lalu berbalik. Mengusap lembut dada Masumi. Dibalik jas dan kemeja itu ada luka yang masih basah tertutup kain kassa.
Keduanya terdiam dan hanya saling memandang. Ya, mereka sudah melewati banyak hal. Dengan sebuah keajaiban mereka selamat dan akhirnya semua masalah terselesaikan.
Saat sadar dari koma, keduanya langsung menjadi berita utama di media. Entah para wartawan mendapat informasi darimana sehingga mereka berhasil menulis berita soal jebakan untuk menghancurkan pementasan Bidadari Merah. Berita itu tidak sepenuhnya benar, tapi cukup membantu memberi alasan pada publik tentang kondisi Maya dan Masumi yang koma secara bersamaan.
Media menyebutkan bahwa Masumi dan Maya diculik dalam usaha sabotase pementasan
Bidadari Merah tapi tidak ada satupun wartawan yang berhasil mengetahui siapa dalang dari kejadian itu. Mobil Masumi yang terjun ke sungai bukan dikendarai manusia
melainkan oleh robot. Dan itu adalah faktor pengalih yang sebenarnya disiapkan
Shiori untuk memberikan alibi menghilangnya Masumi karena disekap oleh anak
buahnya.
Maya menolak membeberkan semua cerita pada publik. Dia hanya mengatakan semua masalah sudah terselesaikan dengan baik.
Dia sudah memutuskan menghapus semua ingatannya tentang tragedi di gudang. Christ marah saat Maya memutuskan hal itu. Dia dan Michael sudah menyiapkan setumpuk tuntutan untuk Shiori dan Eisuke tapi Maya bersikeras untuk tidak membawa masalah itu ke meja hukum.
Maya menolak membeberkan semua cerita pada publik. Dia hanya mengatakan semua masalah sudah terselesaikan dengan baik.
Dia sudah memutuskan menghapus semua ingatannya tentang tragedi di gudang. Christ marah saat Maya memutuskan hal itu. Dia dan Michael sudah menyiapkan setumpuk tuntutan untuk Shiori dan Eisuke tapi Maya bersikeras untuk tidak membawa masalah itu ke meja hukum.
Keluarga besar
Takamiya datang dengan hormat mengunjungi Maya dan Masumi di rumah sakit.
Meminta maaf atas perbuatan Shiori dan juga berterima kasih karena Maya telah membantu menjaga kehormatan keluarga mereka dengan tidak melaporkan Shiori ke
polisi. Mereka berjanji untuk membawa Shiori pergi jauh dari Jepang untuk
melakukan terapi. Shiori mengalami goncangan dalam jiwanya dan Maya menganggap
itu sudah layak sebagai sebuah hukuman. Menurutnya, Shiori juga masih berhak
untuk bahagia saat sembuh nanti dan Maya sangat berharap untuk itu. Masumi
tidak berkomentar atas keputusan Maya.
Eisuke berlutut meminta maaf pada Maya dan
Masumi. Ya, meski dia pernah bekerja sama dengan Shiori, akhirnya dia juga
menjadi korban jebakan Shiori. Eisuke sepenuhnya menyadari betapa pentingnya
kehadiran Masumi dalam hidupnya. Diapun meminta maaf pada keluarga Anderson dan
terakhir justru merestui hubungan Masumi dan Maya.
Maya dan Masumi menyimpan rahasia perjalanan
waktu mereka selama koma. Pengalaman supranatural yang mereka berdua alami.
Bertemu ibu mereka, mendapat pengampunan bahkan juga restu. Masumi sangat
bersyukur akan hal itu. Kali ini dia bisa melangkah dengan pasti bersama Maya.
Rasa bersalah di sudut hatinya sudah menghilang. Yang ada hanyalah rasa sayang
dan tanggung jawab yang besar untuk mencintai, menjaga dan membahagiakan Maya.
Status Maya sebagai anak angkat keluarga Anderson telah dipublikasikan. Dan Maya sempat marah saat kemudian Christ memberitahunya bahwa semua saham Daito atas namanya telah dialihkan pada Maya. Kemarahan Maya tidak sampai disitu saja, saat akhirnya Christ memberitahukan bahwa kepemilikan tanah dan gedung sekolah akting Teater Tsukikage adalah atas namanya Maya tidak mau bicara dengan Christ selama dua hari.
Sekarang tiba saatnya karya agung Bidadari Merah dipentaskan setelah sempat ditunda selama dua minggu untuk proses penyembuhan Maya juga Masumi. Dan Maya telah memahami sepenuhnya hati Bidadari Merah. Rasa sakit karena racun yang diminumnya demi untuk melindungi Masumi dan ayahnya membuat Maya mengerti rasa sakit yang dirasakan Akoya saat dirinya harus mati demi tercapainya sebuah perdamaian dunia.
"Kau cantik sekali bidadari-ku," ucap Masumi yang sudah tidak tahan lagi untuk diam.
"Aku akan membuatmu terpesona dengan Bidadari Merah-ku,"
"Kau sudah melakukannya sayang,"
Maya tersenyum.
Masumi mengecup kening Maya.
"Aku mencintaimu, bidadariku,"
***
Saat tirai panggung dibuka, semua mata tidak bisa lagi berpaling dari panggung. Pentas perdana Bidadari Merah digelar di gedung teater Daito. Dengan kerja sama yang baik antara tim Daito dan Kuronuma pementasan karya agung itu benar-benar memukau penonton. Maya sempurna. Bidadari Merah yang sempurna. Berdiri di panggung dan menjadi pusat semesta. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak pesona Bidadari Merah dari seorang Maya.
Maya bergerak, menari, bernyanyi, menyuarakan hati seorang bidadari. Dan cintanya sebagai Akoya membuat semua dada terasa sesak. Pengorbanannya yang terakhir membawa kedamaian, membuat semua penonton menitikkan air mata. Maya dan Koji, Akoya dan Isshin, mampu membawa dunia lain ke panggung malam itu.
Masumi cemburu -tetap saja- tapi kali ini dia yakin yang ditatap Maya dengan pandangan penuh cinta itu bukanlah lawan mainnya. Dia tahu bahwa hanya dirinyalah yang menjadi pusat semesta Maya begitu juga sebaliknya.
Dalam mata cinta Maya, Masumi melihat dirinya.
Standing ovation menggema dan tidak kunjung selesai saat cutain call. Maya tidak hanya mendapat tepuk tangan dari penonton, saat dirinya keluar panggung, semua kru dan pemain bertepuk tangan untuknya di belakang panggung.
Christ, Clara dan Michael, tiga orang pertama yang menemuinya. Peluk dan cium penuh kebanggaan dan haru menyambut Maya.
"Terima kasih, Pa, Ma, Christ,"
"Terima kasih telah kembali untuk kami sayang," ucap Clara yang sekali lagi memeluk dan mencium putrinya.
"Bidadari Merah yang luar biasa, sayang," puji Michael.
Christ terkekeh, "Aku lupa tadi kalau kau adikku. Kau menghipnotisku Maya,"
Maya tersenyum dan menyambut kehangatan itu dengan hati penuh sukacita. Tapi kemudian Maya berkerut. Ada satu orang yang tidak terlihat. Keheranan Maya bukannya tidak diketahui oleh keluarganya.
"Kau pasti mencarinya kan?" Goda clara.
Maya tersipu lalu mengangguk.
"Ayo sayang, ada yang mau kutunjukkan padamu," Michael meraih tangan putrinya dan membimbingnya berjalan.
"Ada apa?" Tanya Maya yang juga sempat melirik Christ yang kemudian mengendikkan bahu padanya.
Status Maya sebagai anak angkat keluarga Anderson telah dipublikasikan. Dan Maya sempat marah saat kemudian Christ memberitahunya bahwa semua saham Daito atas namanya telah dialihkan pada Maya. Kemarahan Maya tidak sampai disitu saja, saat akhirnya Christ memberitahukan bahwa kepemilikan tanah dan gedung sekolah akting Teater Tsukikage adalah atas namanya Maya tidak mau bicara dengan Christ selama dua hari.
Sekarang tiba saatnya karya agung Bidadari Merah dipentaskan setelah sempat ditunda selama dua minggu untuk proses penyembuhan Maya juga Masumi. Dan Maya telah memahami sepenuhnya hati Bidadari Merah. Rasa sakit karena racun yang diminumnya demi untuk melindungi Masumi dan ayahnya membuat Maya mengerti rasa sakit yang dirasakan Akoya saat dirinya harus mati demi tercapainya sebuah perdamaian dunia.
"Kau cantik sekali bidadari-ku," ucap Masumi yang sudah tidak tahan lagi untuk diam.
"Aku akan membuatmu terpesona dengan Bidadari Merah-ku,"
"Kau sudah melakukannya sayang,"
Maya tersenyum.
Masumi mengecup kening Maya.
"Aku mencintaimu, bidadariku,"
***
Saat tirai panggung dibuka, semua mata tidak bisa lagi berpaling dari panggung. Pentas perdana Bidadari Merah digelar di gedung teater Daito. Dengan kerja sama yang baik antara tim Daito dan Kuronuma pementasan karya agung itu benar-benar memukau penonton. Maya sempurna. Bidadari Merah yang sempurna. Berdiri di panggung dan menjadi pusat semesta. Tidak ada seorang pun yang bisa menolak pesona Bidadari Merah dari seorang Maya.
Maya bergerak, menari, bernyanyi, menyuarakan hati seorang bidadari. Dan cintanya sebagai Akoya membuat semua dada terasa sesak. Pengorbanannya yang terakhir membawa kedamaian, membuat semua penonton menitikkan air mata. Maya dan Koji, Akoya dan Isshin, mampu membawa dunia lain ke panggung malam itu.
Masumi cemburu -tetap saja- tapi kali ini dia yakin yang ditatap Maya dengan pandangan penuh cinta itu bukanlah lawan mainnya. Dia tahu bahwa hanya dirinyalah yang menjadi pusat semesta Maya begitu juga sebaliknya.
Dalam mata cinta Maya, Masumi melihat dirinya.
Standing ovation menggema dan tidak kunjung selesai saat cutain call. Maya tidak hanya mendapat tepuk tangan dari penonton, saat dirinya keluar panggung, semua kru dan pemain bertepuk tangan untuknya di belakang panggung.
Christ, Clara dan Michael, tiga orang pertama yang menemuinya. Peluk dan cium penuh kebanggaan dan haru menyambut Maya.
"Terima kasih, Pa, Ma, Christ,"
"Terima kasih telah kembali untuk kami sayang," ucap Clara yang sekali lagi memeluk dan mencium putrinya.
"Bidadari Merah yang luar biasa, sayang," puji Michael.
Christ terkekeh, "Aku lupa tadi kalau kau adikku. Kau menghipnotisku Maya,"
Maya tersenyum dan menyambut kehangatan itu dengan hati penuh sukacita. Tapi kemudian Maya berkerut. Ada satu orang yang tidak terlihat. Keheranan Maya bukannya tidak diketahui oleh keluarganya.
"Kau pasti mencarinya kan?" Goda clara.
Maya tersipu lalu mengangguk.
"Ayo sayang, ada yang mau kutunjukkan padamu," Michael meraih tangan putrinya dan membimbingnya berjalan.
"Ada apa?" Tanya Maya yang juga sempat melirik Christ yang kemudian mengendikkan bahu padanya.
Maya hanya menurut saat
papanya membawanya berjalan keluar. Sepanjang perjalanan semua orang mengucapkan
selamat pada Maya.
"Selamat Maya,"
"Selamat ya Maya,"
Begitulah semua orang menyapanya saat Maya melewati koridor.
"Pa, aku belum ganti baju," kata Maya heran karena papanya melewati ruang gantinya.
"Tidak perlu, nanti saja," jawab Michael.
Clara dan Christ tersenyum penuh teka-teki.
"Aku tidak suka kejutan," kata Maya kemudian.
"Jangan berkomentar dulu," sanggah Christ.
Mereka tiba di lobi. Maya ternganga. Buket bunga raksasa warna ungu dan putih sudah bersanding dengan mewahnya disana.
"Jangan marah, lagipula kejutannya bukan itu," kata Christ saat Maya melotot padanya.
Maya melihat Ayumi dan keluarganya tersenyum padanya. Maya mengangguk dan tersenyum. Lalu berderet teman-teman teaternya, juga Mayuko yang sempat memeluknya. Kuronuma dan Koji juga tim produksi juga berjajar disitu, tersenyum dan memberi selamat. Rose juga memeluk dan menciumnya, sekali lagi memberi selamat.
Dan itu membuat Maya semakin heran. Kenapa semua berjajar memberinya selamat? Apa karena kesuksesan pementasannya?
Michael terus menggenggam tangan Maya hingga keluar gedung dan saat tiba di luar Maya tahu kenapa. Semua deretan tamu, semua ucapan selamat itu, bukan untuk pementasan Bidadari Merahnya tetapi untuk obyek raksasa yang ada didepannya. Michael melepaskan tangannya dan membiarkan Maya berjalan mendekat.
"Selamat Maya,"
"Selamat ya Maya,"
Begitulah semua orang menyapanya saat Maya melewati koridor.
"Pa, aku belum ganti baju," kata Maya heran karena papanya melewati ruang gantinya.
"Tidak perlu, nanti saja," jawab Michael.
Clara dan Christ tersenyum penuh teka-teki.
"Aku tidak suka kejutan," kata Maya kemudian.
"Jangan berkomentar dulu," sanggah Christ.
Mereka tiba di lobi. Maya ternganga. Buket bunga raksasa warna ungu dan putih sudah bersanding dengan mewahnya disana.
"Jangan marah, lagipula kejutannya bukan itu," kata Christ saat Maya melotot padanya.
Maya melihat Ayumi dan keluarganya tersenyum padanya. Maya mengangguk dan tersenyum. Lalu berderet teman-teman teaternya, juga Mayuko yang sempat memeluknya. Kuronuma dan Koji juga tim produksi juga berjajar disitu, tersenyum dan memberi selamat. Rose juga memeluk dan menciumnya, sekali lagi memberi selamat.
Dan itu membuat Maya semakin heran. Kenapa semua berjajar memberinya selamat? Apa karena kesuksesan pementasannya?
Michael terus menggenggam tangan Maya hingga keluar gedung dan saat tiba di luar Maya tahu kenapa. Semua deretan tamu, semua ucapan selamat itu, bukan untuk pementasan Bidadari Merahnya tetapi untuk obyek raksasa yang ada didepannya. Michael melepaskan tangannya dan membiarkan Maya berjalan mendekat.
Maya menutup mulutnya dengan kedua tangannya dengan ekspresi
penuh haru. Air matanya mengalir tanpa diminta.
Sebuah replika buket bunga raksasa setinggi kira-kira lima belas meter menjulang anggun dihadapan Maya. Di dalamnya ada ratusan bunga mawar ungu. Semuanya dirangkai indah, rangkaian paling indah yang pernah di lihat Maya. Ada pita putih panjang tergantung didepannya. Dan rangkaian tulisan itu membuat air mata Maya mengalir semakin deras.
Sebuah replika buket bunga raksasa setinggi kira-kira lima belas meter menjulang anggun dihadapan Maya. Di dalamnya ada ratusan bunga mawar ungu. Semuanya dirangkai indah, rangkaian paling indah yang pernah di lihat Maya. Ada pita putih panjang tergantung didepannya. Dan rangkaian tulisan itu membuat air mata Maya mengalir semakin deras.
Hari
ini ku katakan pada dunia
Bahwa aku mencintaimu
Menikahlah denganku
Mawar ungu-mu
Masumi Hayami
Masumi Hayami
Maya masih menangkupkan kedua tangan di mulutnya. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Masumi menyatakan cintanya dan membuka identitasnya di depan umum? Dengan rangkaian bunga raksasa dihari pementasan perdana Bidadari Merah? Maya bahkan tidak pernah bermimpi sebelumnya.
Maya akhirnya mengalihkan pandangannya pada pria yang membuat semua imajinasi indah menjadi nyata itu. Pria yang sejak tadi berdiri di bawah rangkaian bunga. Menunggu jawabannya. Pria itu berlutut ditempatnya mengulurkan tangannya kedepan yang membawa setangkai mawar ungu.
Maya tahu semua orang melihatnya saat ini, juga media. Mungkin besok wajah
merahnya akan menghiasi berbagai media tapi sekarang dia tidak peduli.
Pangerannya menunggu didepannya. Menantinya. Setelah sekian lama waktu
dihabiskannya dalam kesendirian. Setelah semua hal yang akhirnya bisa mereka
lewati bersama. Maya tidak akan berkata tidak. Sudah terlalu lama dia menunggu,
menantikan hari ini, dimana dunia menjadi saksi cinta bagi keduanya.
Maya mengangguk tanpa kata tapi itu cukup. Cukup untuk mengakhiri semua penantian panjang pangerannya. Maya mendengar tepuk tangan yang meriah dan sorak sorai akibat dari anggukannya. Tapi Maya tidak dapat berpaling dan melihat sekitarnya. Biarlah malam ini dia menjadi bintang. Bintang paling bersinar diantara jutaan bintang diangkasa.
Maya mengangguk tanpa kata tapi itu cukup. Cukup untuk mengakhiri semua penantian panjang pangerannya. Maya mendengar tepuk tangan yang meriah dan sorak sorai akibat dari anggukannya. Tapi Maya tidak dapat berpaling dan melihat sekitarnya. Biarlah malam ini dia menjadi bintang. Bintang paling bersinar diantara jutaan bintang diangkasa.
Masumi berdiri lalu merentangkan kedua tangannya
dan sekali lagi perintah tanpa kata itu menggerakkan tubuh Maya. Dia berlari,
berlari menghampiri pusat semestanya. Melompat ke dalam dekapan hangat
kekasihnya.
"Aku mencintaimu," bisik Masumi mesra.
"Aku juga mencintaimu," balas Maya penuh haru.
Sedetik kemudian suara letupan keras memekakakkan telinga menggema di udara. Maya menengadahkan kepalanya dan belum berhenti terpana. Kerlap kerlip warna indah menghiasi langit malam dan rangkaian kata terukir diangkasa. I LOVE U. Maya kembali menangis dan memeluk kekasihnya.
"Aku mencintaimu, aku mencintaimu," Maya merapal mantra cintanya.
***
"Aku mencintaimu," bisik Masumi mesra.
"Aku juga mencintaimu," balas Maya penuh haru.
Sedetik kemudian suara letupan keras memekakakkan telinga menggema di udara. Maya menengadahkan kepalanya dan belum berhenti terpana. Kerlap kerlip warna indah menghiasi langit malam dan rangkaian kata terukir diangkasa. I LOVE U. Maya kembali menangis dan memeluk kekasihnya.
"Aku mencintaimu, aku mencintaimu," Maya merapal mantra cintanya.
***
Saat pertama aku melihatmu
Kau telah memenangkan hatiku
Saat aku sadar aku mencintaimu
Aku tidak menaruh syarat padamu
Aku tidak memintamu membalas rasaku
Aku tidak memintamu mengerti rasaku
Tapi ternyata aku salah
Aku salah atas semua langkahku
Aku salah atas semua pemikiranku
Sekarang aku tahu
Kaulah tujuan hidupku
Akhir dari segala penantian panjangku
Kekuatan hidupku
Pusat semestaku
Sekarang aku menaruh syarat padamu
Cintailah aku
Lengkapilah jiwaku
Jadilah milikku
Hanya milikku
Kekasihku...
Kau telah memenangkan hatiku
Saat aku sadar aku mencintaimu
Aku tidak menaruh syarat padamu
Aku tidak memintamu membalas rasaku
Aku tidak memintamu mengerti rasaku
Tapi ternyata aku salah
Aku salah atas semua langkahku
Aku salah atas semua pemikiranku
Sekarang aku tahu
Kaulah tujuan hidupku
Akhir dari segala penantian panjangku
Kekuatan hidupku
Pusat semestaku
Sekarang aku menaruh syarat padamu
Cintailah aku
Lengkapilah jiwaku
Jadilah milikku
Hanya milikku
Kekasihku...
KAU MILIKKU
***
"Terkadang aku merasa jalan hidup kita berputar pada sebuah pusaran yang membawa kita pada satu titik akhir. Aku bahagia karena titik akhirku adalah dirimu," kata Masumi seraya menatap Maya yang terbaring disampingnya.
"Kau masih ingat kapan pusaran hidup kita berdua dimulai?" Tanya Maya seraya memiringkan wajahnya. Membalas tatapan mata kekasihnya.
"Pementasan Utako Himekawa dalam drama La Traviata di gedung teater Daito,"
Maya tersenyum, "Kau masih ingat ternyata,"
Masumi juga tersenyum, "Gadis kecil menabrakku karena kebingungan mencari nomor kursinya. Bagaimana aku bisa lupa,"
"Itu pertama kalinya aku menonton sebuah drama panggung dan aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tahukah kau Masumi bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan tiket itu?"
"Perjuangan? Kau berjuang hanya untuk mendapatkan sebuah tiket pertunjukan?" Masumi gagal menyembunyikan keterkejutannya.
Maya justru terkikik, "Ibuku hanya bekerja di toko ramen Masumi dan tiket pertunjukanmu itu tidak murah,"
Masumi tampak menyesal, "Maaf,"
Maya menggeleng, "Tapi aku sama sekali tidak menyesal meski harus berjuang hanya untuk mendapatkan sebuah tiket pertunjukan,"
"Apa yang kau lakukan?"
"Untuk mendapatkan tiket itu?"
Masumi mengangguk.
"Saat itu malam tahun baru. Kedai ramen kami selalu kebanjiran pesanan mie soba tahun baru. Sugiko, putri pemilik kedai berjanji akan memberikanku tiket itu jika aku mau mengantar semua pesanan itu sendiri. Aku setuju dan aku mengantar seratus dua puluh pesanan itu sendiri sampai detik terakhir malam tahun baru,"
"Seratus dua puluh?!" Masumi melotot.
Maya mengangguk.
"Kau gila?"
Maya menggeleng, "Kenyataannya aku melakukannya,"
"Ya, kau selalu melakukan hal gila demi sebuah drama."
"Itu bukan bagian gilanya,"
"Masih ada lagi?" Mata Masumi menyipit.
Maya terkikik, "Sugiko menolak memberikan tiket itu padaku dan membuat tiket itu terbang terbawa angin di pelabuhan Yokohama. Tiketnya jatuh ke laut,"
Masumi berkerut tidak senang, "Cih, tidak menepati janji." Dengusnya kesal, tapi kemudian dengusan itu berubah menjadi kekesalan yang berlipat, "Jangan bilang kalau kau terjun ke laut tengah malam di musim dingin hanya untuk mendapatkan tiket itu?"
Maya memiringkan tubuhnya, menyandarkan kepalanya pada lengannya yang terlipat, melihat Masumi yang sekarang sudah menyangga tubuhnya dengan sikunya dan memandang kesal padanya.
"Kau pikir bagaimana aku bisa sampai di gedung teater Daito jika tidak berenang dan mengambil tiket itu,"
"Tapi kau kan bisa mati karena hipotermia. Mempertaruhkan nyawa hanya untuk sebuah tiket pertunjukan? Ya ampun!" Masumi menggeleng.
"Sudah ku bilang aku tidak menyesalinya. Karena hari itu sebenarnya semua awal kehidupanku dimulai. Aku jatuh cinta pada drama dan aku bertemu denganmu,"
Masumi mendesah panjang lalu tersenyum, "Mulai saat ini maukah kau berjanji padaku untuk berhenti melakukan hal bodoh yang bisa membahayakan nyawamu Maya," Masumi menjalankan jari telunjuknya di garis wajah kekasihnya.
Maya mengendikkan bahunya.
"Ayolah, sekarang kau punya aku. Kau bisa katakan apapun padaku. Melihatmu waktu itu...," Masumi mengeratkan rahangnya, memejamkam matanya, memutar memorinya, "Aku merasa hidupku hancur saat melihatmu terbaring dilantai, gemetar, kesakitan, wajahmu pucat,"
Maya terdiam melihat wajah tampan yang tiba-tiba berubah sendu.
"Aku tidak ingin hal itu terjadi lagi Maya. Membayangkan kau pergi meninggalkanku membuatku bahkan tidak ingin melihat matahari esok pagi,"
Maya mengulurkan tangannya mengusap dada Masumi.
"Ku rasa kau mengerti apa yang aku lakukan saat itu. Semua karena aku mencintaimu, bukankah kau juga melakukan hal yang sama? Ini," kata Maya, menunjuk pada luka dibalik kemeja Masumi.
Masumi tersenyum. Ya, dia dan Maya memang melakukannya. Maya meminum racun hanya agar Shiori melepaskan Masumi dan ayahnya lalu Masumi mengorbankan dirinya menerima dua tembakan didadanya untuk melindungi ayahnya. Semuanya hanya karena cinta. Cinta yang membuat mereka rela berkorban.
"Aku berjanji tidak akan mempertaruhkan nyawaku lagi karena sekarang aku ingin hidup lebih lama di dunia bersamamu," kata Maya lembut.
"Hidupku hanya untukmu," balas Masumi.
"Ternyata kita berdua cukup beruntung ya?" Kata Maya kemudian.
"Beruntung?"
"Iya. Kita bisa bertemu dengan ibu. Hhmmm, kira-kira kalau aku menceritakan hal ini, apa orang akan percaya?"
Masumi terkikik, "Kalau bukan aku sendiri yang mengalaminya, aku juga tidak akan percaya Maya,"
Maya juga terkikik, "Ya, kau benar,"
***
"Terkadang aku merasa jalan hidup kita berputar pada sebuah pusaran yang membawa kita pada satu titik akhir. Aku bahagia karena titik akhirku adalah dirimu," kata Masumi seraya menatap Maya yang terbaring disampingnya.
"Kau masih ingat kapan pusaran hidup kita berdua dimulai?" Tanya Maya seraya memiringkan wajahnya. Membalas tatapan mata kekasihnya.
"Pementasan Utako Himekawa dalam drama La Traviata di gedung teater Daito,"
Maya tersenyum, "Kau masih ingat ternyata,"
Masumi juga tersenyum, "Gadis kecil menabrakku karena kebingungan mencari nomor kursinya. Bagaimana aku bisa lupa,"
"Itu pertama kalinya aku menonton sebuah drama panggung dan aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Tahukah kau Masumi bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan tiket itu?"
"Perjuangan? Kau berjuang hanya untuk mendapatkan sebuah tiket pertunjukan?" Masumi gagal menyembunyikan keterkejutannya.
Maya justru terkikik, "Ibuku hanya bekerja di toko ramen Masumi dan tiket pertunjukanmu itu tidak murah,"
Masumi tampak menyesal, "Maaf,"
Maya menggeleng, "Tapi aku sama sekali tidak menyesal meski harus berjuang hanya untuk mendapatkan sebuah tiket pertunjukan,"
"Apa yang kau lakukan?"
"Untuk mendapatkan tiket itu?"
Masumi mengangguk.
"Saat itu malam tahun baru. Kedai ramen kami selalu kebanjiran pesanan mie soba tahun baru. Sugiko, putri pemilik kedai berjanji akan memberikanku tiket itu jika aku mau mengantar semua pesanan itu sendiri. Aku setuju dan aku mengantar seratus dua puluh pesanan itu sendiri sampai detik terakhir malam tahun baru,"
"Seratus dua puluh?!" Masumi melotot.
Maya mengangguk.
"Kau gila?"
Maya menggeleng, "Kenyataannya aku melakukannya,"
"Ya, kau selalu melakukan hal gila demi sebuah drama."
"Itu bukan bagian gilanya,"
"Masih ada lagi?" Mata Masumi menyipit.
Maya terkikik, "Sugiko menolak memberikan tiket itu padaku dan membuat tiket itu terbang terbawa angin di pelabuhan Yokohama. Tiketnya jatuh ke laut,"
Masumi berkerut tidak senang, "Cih, tidak menepati janji." Dengusnya kesal, tapi kemudian dengusan itu berubah menjadi kekesalan yang berlipat, "Jangan bilang kalau kau terjun ke laut tengah malam di musim dingin hanya untuk mendapatkan tiket itu?"
Maya memiringkan tubuhnya, menyandarkan kepalanya pada lengannya yang terlipat, melihat Masumi yang sekarang sudah menyangga tubuhnya dengan sikunya dan memandang kesal padanya.
"Kau pikir bagaimana aku bisa sampai di gedung teater Daito jika tidak berenang dan mengambil tiket itu,"
"Tapi kau kan bisa mati karena hipotermia. Mempertaruhkan nyawa hanya untuk sebuah tiket pertunjukan? Ya ampun!" Masumi menggeleng.
"Sudah ku bilang aku tidak menyesalinya. Karena hari itu sebenarnya semua awal kehidupanku dimulai. Aku jatuh cinta pada drama dan aku bertemu denganmu,"
Masumi mendesah panjang lalu tersenyum, "Mulai saat ini maukah kau berjanji padaku untuk berhenti melakukan hal bodoh yang bisa membahayakan nyawamu Maya," Masumi menjalankan jari telunjuknya di garis wajah kekasihnya.
Maya mengendikkan bahunya.
"Ayolah, sekarang kau punya aku. Kau bisa katakan apapun padaku. Melihatmu waktu itu...," Masumi mengeratkan rahangnya, memejamkam matanya, memutar memorinya, "Aku merasa hidupku hancur saat melihatmu terbaring dilantai, gemetar, kesakitan, wajahmu pucat,"
Maya terdiam melihat wajah tampan yang tiba-tiba berubah sendu.
"Aku tidak ingin hal itu terjadi lagi Maya. Membayangkan kau pergi meninggalkanku membuatku bahkan tidak ingin melihat matahari esok pagi,"
Maya mengulurkan tangannya mengusap dada Masumi.
"Ku rasa kau mengerti apa yang aku lakukan saat itu. Semua karena aku mencintaimu, bukankah kau juga melakukan hal yang sama? Ini," kata Maya, menunjuk pada luka dibalik kemeja Masumi.
Masumi tersenyum. Ya, dia dan Maya memang melakukannya. Maya meminum racun hanya agar Shiori melepaskan Masumi dan ayahnya lalu Masumi mengorbankan dirinya menerima dua tembakan didadanya untuk melindungi ayahnya. Semuanya hanya karena cinta. Cinta yang membuat mereka rela berkorban.
"Aku berjanji tidak akan mempertaruhkan nyawaku lagi karena sekarang aku ingin hidup lebih lama di dunia bersamamu," kata Maya lembut.
"Hidupku hanya untukmu," balas Masumi.
"Ternyata kita berdua cukup beruntung ya?" Kata Maya kemudian.
"Beruntung?"
"Iya. Kita bisa bertemu dengan ibu. Hhmmm, kira-kira kalau aku menceritakan hal ini, apa orang akan percaya?"
Masumi terkikik, "Kalau bukan aku sendiri yang mengalaminya, aku juga tidak akan percaya Maya,"
Maya juga terkikik, "Ya, kau benar,"
Sedetik kemudian wajahnya berubah.
"Ada apa?" Tanya Masumi saat melihat perubahan wajah Maya.
"Ngg, menurutmu...bagaimana keadaan Nona Shiori sekarang?"
Masumi terdiam, mengusap wajah kekasihnya.
"Masumi?"
Masumi mendesah.
"Dia pasti baik-baik saja Maya. Keluarganya sedang mengusahakan kesembuhannya. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya lagi,"
"Kau tidak menyalahkan keputusanku kan?"
Masumi menggeleng.
"Aku tahu kau merasa bertanggung jawab atas keadaannya terlebih lagi aku. Akulah yang menyebabkan semua kekacauan ini,"
Maya tersenyum.
"Kau selalu ahli dalam menyalahkan dirimu sendiri,"
Masumi menyeringai lalu mengecup kening Maya.
"Ya, dimanapun Nona Shiori berada sekarang, aku berdoa dia baik-baik saja dan bisa menjalani hidup bahagia."
"Ya, aku juga berharap begitu,"
Hatchii!
Maya bersin lalu bergidik.
"Dingin?"
Maya mengangguk.
Masumi melihat jam tangannya.
"Jelas saja, ini hampir tengah malam. Ayo sudah waktunya kita kembali. Kakakmu akan membunuhku kalau kau sampai sakit," kata Masumi seraya bangun.
Maya tertawa. Keduanya beranjak dari padang rumput, merasa cukup dengan kegiatan memandang lautan bintang di angkasa. Meski sebenarnya mereka lebih banyak bercerita dan bermesraan daripada melihat bintang. Maya dan Masumi sedang berada di kampung halaman Bidadari Merah. Bernostalgia di tempat yang sama saat mereka dulu menikmati jutaan bintang.
"Lihat bintang jatuh!" Teriak Maya seraya menunjuk ke langit.
Masumi menghentikan langkahnya dan mendongak ke langit. Lalu menoleh pada Maya yang ternyata mengamatinya.
"Kau tidak mau membuat permohonan?" Tanya Maya.
Masumi menggeleng lalu melanjutkan langkahnya, memaksa Maya untuk mengikutinya karena Masumi menggenggam tangannya.
"Kenapa?" Tanya Maya.
"Aku sudah mendapatkan apa yang ku minta. Aku tidak ingin apa-apa lagi,"
Masumi tahu Maya masih mengamatinya tapi dia tidak menoleh pada Maya.
"Kau sendiri, kenapa tidak membuat permohonan?" Tanya Masumi, masih tidak menatap kekasihnya.
"Ku rasa alasan yang sama. Aku sudah mendapatkan apa yang aku minta," Maya mengulum senyumnya.
Masumi tertawa.
"Aku pasti akan merindukanmu," kata Maya.
"Kalau begitu kau tidak usah pergi,"
Maya terkikik, "Jangan sampai Christ mendengar itu,"
"Ya, setidaknya kita bisa pergi bersama saat upacara pernikahannya,"
"Kau kan tahu itu tidak mungkin. Lagipula semua urusanku sudah selesai. Pementasan dan tur Bidadari Merah sukses selama tiga bulan ini. Lalu pembukaan Teater Niji -Mayuko akhirnya mengganti nama teaternya dengan Niji yang berarti pelangi- juga berjalan dengan lancar. Bu Mayuko sudah kita antar untuk beristirahat di kampung halaman Bidadari Merah. Jadi jadwalku di Jepang sudah selesai,"
Masumi berhenti lalu berbalik, "Sudah selesai?" Keningnya berkerut.
"Oh, itu. Bukankah masih enam bulan lagi,"
"Dan kau akan tinggal di New York selama itu?"
"Keluargaku disana Masumi,"
"Tapi aku disini,"
Maya menarik tangan Masumi, memperkecil jarak diantara mereka.
"Hanya enam bulan,"
"Hanya?"
"Setelah itu kau memiliki seluruh hidupku,"
"Hhhmmm, kau semakin pintar membujuk."
Masumi membungkus Maya dengan lengannya.
"Baiklah, aku akan bersabar enam bulan lagi,"
Maya tersenyum.
"Bersabarlah, hanya enam bulan dan kita akan bersama, selamanya," Maya mengalungkan lengannya di leher Masumi, membuatnya berjinjit.
"Selamanya?" Kata Masumi yang kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Maya, membuat kekasihnya melayang dalam pelukannya.
"Selamanya," jawab Maya.
Ciuman hangat memateraikan janji mereka. Di padang rumput hijau, di bawah lautan bintang hanya ada Masumi untuk Maya dan hanya ada Maya untuk Masumi. Selamanya...Ya, selamanya....
***
Maya bersin lalu bergidik.
"Dingin?"
Maya mengangguk.
Masumi melihat jam tangannya.
"Jelas saja, ini hampir tengah malam. Ayo sudah waktunya kita kembali. Kakakmu akan membunuhku kalau kau sampai sakit," kata Masumi seraya bangun.
Maya tertawa. Keduanya beranjak dari padang rumput, merasa cukup dengan kegiatan memandang lautan bintang di angkasa. Meski sebenarnya mereka lebih banyak bercerita dan bermesraan daripada melihat bintang. Maya dan Masumi sedang berada di kampung halaman Bidadari Merah. Bernostalgia di tempat yang sama saat mereka dulu menikmati jutaan bintang.
"Lihat bintang jatuh!" Teriak Maya seraya menunjuk ke langit.
Masumi menghentikan langkahnya dan mendongak ke langit. Lalu menoleh pada Maya yang ternyata mengamatinya.
"Kau tidak mau membuat permohonan?" Tanya Maya.
Masumi menggeleng lalu melanjutkan langkahnya, memaksa Maya untuk mengikutinya karena Masumi menggenggam tangannya.
"Kenapa?" Tanya Maya.
"Aku sudah mendapatkan apa yang ku minta. Aku tidak ingin apa-apa lagi,"
Masumi tahu Maya masih mengamatinya tapi dia tidak menoleh pada Maya.
"Kau sendiri, kenapa tidak membuat permohonan?" Tanya Masumi, masih tidak menatap kekasihnya.
"Ku rasa alasan yang sama. Aku sudah mendapatkan apa yang aku minta," Maya mengulum senyumnya.
Masumi tertawa.
"Aku pasti akan merindukanmu," kata Maya.
"Kalau begitu kau tidak usah pergi,"
Maya terkikik, "Jangan sampai Christ mendengar itu,"
"Ya, setidaknya kita bisa pergi bersama saat upacara pernikahannya,"
"Kau kan tahu itu tidak mungkin. Lagipula semua urusanku sudah selesai. Pementasan dan tur Bidadari Merah sukses selama tiga bulan ini. Lalu pembukaan Teater Niji -Mayuko akhirnya mengganti nama teaternya dengan Niji yang berarti pelangi- juga berjalan dengan lancar. Bu Mayuko sudah kita antar untuk beristirahat di kampung halaman Bidadari Merah. Jadi jadwalku di Jepang sudah selesai,"
Masumi berhenti lalu berbalik, "Sudah selesai?" Keningnya berkerut.
"Oh, itu. Bukankah masih enam bulan lagi,"
"Dan kau akan tinggal di New York selama itu?"
"Keluargaku disana Masumi,"
"Tapi aku disini,"
Maya menarik tangan Masumi, memperkecil jarak diantara mereka.
"Hanya enam bulan,"
"Hanya?"
"Setelah itu kau memiliki seluruh hidupku,"
"Hhhmmm, kau semakin pintar membujuk."
Masumi membungkus Maya dengan lengannya.
"Baiklah, aku akan bersabar enam bulan lagi,"
Maya tersenyum.
"Bersabarlah, hanya enam bulan dan kita akan bersama, selamanya," Maya mengalungkan lengannya di leher Masumi, membuatnya berjinjit.
"Selamanya?" Kata Masumi yang kemudian melingkarkan tangannya di pinggang Maya, membuat kekasihnya melayang dalam pelukannya.
"Selamanya," jawab Maya.
Ciuman hangat memateraikan janji mereka. Di padang rumput hijau, di bawah lautan bintang hanya ada Masumi untuk Maya dan hanya ada Maya untuk Masumi. Selamanya...Ya, selamanya....
***
>>Selesai<<
38 Comments
Akhirnya selesai juga semuanya. Terima kasih buat teman-teman yang sudah setia baca sampai bagian terakhir ini.
ReplyDeleteSenang rasanya bisa berbagi cerita dengan semua MM Lover n TK Lover....
Sampai ketemu lagi di cerita lainnya ya
Arigatooooo..... *big hug.... :)
Extra part donk kak... Jgn di gantung lg dunk... Di hanger aj. Hehe
DeleteTambahan dong mba Agnes smp mereka menikah
Deleteextra part... extra part... extra part... maya blm married with masumi kan...?😉
ReplyDeleteSukses...Another the best lovely story of mm....saluuuttt, thanks ya mba...
ReplyDeleteterima kasih. di tunggu kisah selanjutnya.
ReplyDeleteKerenn bgt mba...akhirnya happy ending...ekstra part nya blm kan mba agnes?kan MM nya blm meried...ayo mba agnes buat lg ekstra part nya yahh...heheh
ReplyDeleteAkhirnya happy ending, n sukses bikin aq speachlesa and hiks..hiks..hiks... Tinggal nunggu special chp...n another love story kan yaa... xixixixi. Thanx buat mimpi indah ini mba agnes.... c u
ReplyDeleteextra partnya donk..^^ tengkyu mba agnes...:D
ReplyDeleteTengkyu mbaaa.... lanjut ya hehehehehe
ReplyDeleteTengkyu mba Agnes. ...tpi masih penasaran nii...MM blm menikah...
ReplyDeleteAkhirnya setelah seminggu.. bsa jga buka netnya. Lola bgt skr nih net...
ReplyDeleteThx u sist Agnes... Utk akhir yg HE.. :-)
Bikin wedding storynya donk sist... ^_^
Halo Agnez! Sukaaaaa banget sama FFTKnya! Agak fairy tale gitu jalan ceritanya, ...ayooo bikin yang baru lagi ya! ���� Aku suka FFTK yg ngelanjutin cerita terakhir di manga nya kayak begini.
ReplyDelete-Reeka-
Salam kenal mbak Agnes.. saya jatuh cintaaa kereennn banget ceritanya sejak seminggu yang lalu nemu blog ini, gak bisa berhenti bacanya euy... now i'm your fans hehehe :)
ReplyDelete5 jempol buat mba Agness..sampe termehek2 bacanya, jd ikutan jatuh cinta sama Tuan Masumi Hayami
ReplyDeleteSukaaaa... Kereeennn... Smp terhanyut trb
ReplyDeletewa suasana mba agnes,,
Extra part.... Lg y sist... Thanks y sist kisah ny sgt mengharukan... N bag yg plg kusuka adalah maya di adopsi... Itu bag yg plg menarik n mengharukan... Sy penggemar tk. Senang bgt dgn kisah satu ini.... Emmm... Kira kira msh mgkn gak y ada extra story ny... Hehe
ReplyDeleteEntah sudah kubaca berapa kali.
ReplyDeleteTerima kasih banyak ya
DeleteYahh...blm puas nich bacax kn blm menikah masumi sma maya.. Tmbh lgi dech ceritany.
ReplyDeleteExtrapart please........pleaseeeeeeee
ReplyDeleteExtra part pleaseeeeeeee
ReplyDeleteWe want more... we want more... :D ending MM menikah dong. Kesian too long di hanger. Good job and thank you for sharing. You are awesome sis :)
ReplyDeleteUdah kubaca berulang kali,tetep aja mewek pas di bagian mm koma😭😭😭thank say agnes big hug
ReplyDeleteBoleh ada extra part lagi donk.. untuk cerita sampai weddingnya Maya dan Masumi....
ReplyDeleteTerima kasih....baru tau kl ada blog ini. Ngikutin sejak masih kuliah sampai sekarang punya anak 5 akhirnya bisa baca sampai tamat juga.
ReplyDeleteGood job Agnes.....really like your fftk..kapan ya selesai komik ini .....harus happy ending kyak ff nya Agnes nih.....keren
ReplyDeleteSy penggemar TK dan br ketemu FFTK ini bbrp hr yg lalu dan lgsg ga bs berhenti bcnya...akhirnya selesai jg, thanks sis utk ceritanya yg LUAR BIASA, Good Job 😘 sayang ceritanya ga sampe weddingnya MM ya, pdhl itu yg ditunggu 🤗😁
ReplyDeletebegadang untuk baca ini.. terimakasih banyak untuk semangatnya menyelesaikan cerita ini..
ReplyDeleteAku baca TK dr kelas 6 sd di perpus sekolah.... Ampe skrg mash huntink komik2nya n mash menyimpan segudank rasa penasaran.... N big thanks buat mimin..💛aku baru dpt blog ini 2hr yg lalu... N sukses buat aku begadank n ngap2 selaiin baca...untunknku lagi libur cz pemulihan pasca kecelakaan...kalo gak bs setres baca sambil kerja... Btw... Please lanjutan part christ n MM weddink....🍭🍭🍭🍭
ReplyDeleteSukaaaaaaaaaaaaaaaaa
ReplyDeleteMasih banyak yang jadi teka teki ya
ReplyDelete1. Adegan panas Masumi dan Maya
2. Hubungan Ayumi dan pacar bulenya
3. Apakah Eisuke dan Mayuko akan berpacaran di usianya yang sudah senja?
��
Silakan klik halaman glassmask kak. ada list lengkapnya disana. setelah ini ada special chapternya. Terima kasih
DeleteCeritanya keren banget... Thank you, menyelesaikan ceritanya Bidadari merah...
ReplyDeleteTerus berkarya sis.... sukses selalu
You are so talented sist! Sukaaaaaa bingitssss!aku sampe baca berkali2. Terus berkaryaaa yaaa, aku terus menunggu cerita maya masumi������
ReplyDeletesial barukali ini, saya baca komik dalam versi teks tapi bisa terbawa suasana sampai bikin kesal, geregetan, tertawa dan yang paling bagus di ending yg bisa bikin saya menangis... dan terhau...
ReplyDeleteAaa..... kalo di jadikan komik bakal tak beli langsung tu komik....
terimakasih untuk anda.. yg sudah membuat ini cerita..
semoga tetap sehat agar bisa membuat saya bahagia lagi....
hahaha......
Terima kasih banyak ya
DeleteSuka TK dari jaman esde, sampe skrg dah punya anak 3 😀 penasaran krn komiknya gak kelar, sempat liat versi serialnya d YouTube, & bbrp Hari lalu gak sengaja nemu blog ini, langsung terhanyut bacanya. Keren banget! Detailnya luar biasa. gak bisa brenti bacanya sampe selesai. Pastinya happy endingnya memenuhi harapan TK fans semua, tapi, tambahin endingnya lagi boleh yaaaa,,pengen tau spt apa pernikahan Maya Masumi, yg pastinya jg luar biasa, dan moment saat bersatunya dua jiwa, soalnya kalo blm sampe k moment itu kayaknya masih blm sampe ke tujuan,plissss...
ReplyDelete