Setting : Maya 22 tahun - Masumi 33 tahun
"Menikahlah denganku,”
Praangg!! Piring terlepas dari tangan Maya yang kini hanya bisa membatu.
Masumi membiarkan saja gadisnya diam seribu bahasa. Dia masih tetap memeluk Maya dan tidak berniat meralat permintaan gilanya.
Dug!
"Auch!" Masumi mengusap tulang rusuknya yang baru saja disapa oleh siku Maya. Mau tidak mau dia melonggarkan pelukannya dan Maya langsung membasuh tangannya, meloloskan diri dari pelukan Masumi.
"Maya!" Protes Masumi.
Gadisnya masih diam, berjalan ke arah meja makan, menarik kursi dan menghempaskan dirinya dengan kesal.
"Kau gila," desis Maya kesal seraya menopang kepalanya yang terasa berat karena ulah Masumi.
Masumi menarik kursi di sebelah Maya dan duduk menghadap kekasihnya, meminta Maya untuk menatapnya.
"Aku tidak gila," katanya dengan menggenggam ke dua tangan Maya.
"Tidak gila? Lalu apa namanya kalau seorang pria beristri melamar mantan kekasihnya?" Dengus Maya kesal. Ditariknya tangannya dari genggaman Masumi dan melipatnya di depan dada. Berputar pada kursinya, Maya enggan menatap Masumi.
"Ya memang gila kalau kau menjabarkannya seperti itu tapi sungguh Maya, aku masih sangat mencintaimu dan aku tidak tahan lagi dengan semua sandiwara ini." Masumi juga berputar menghadap meja, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi seraya mengacak rambut lebatnya.
"Kau sudah memutuskan Masumi, tidak ada gunanya menyesal sekarang. Kau sudah menikah," kata Maya tenang. Berusaha meletakkan logika dan kenyataan diantara mereka. Meski begitu, dia masih enggan menatap wajah Masumi.
"Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semuanya Maya." Jawab Masumi, kali ini egonya yang berbicara. Dalam kepala Masumi sekarang sudah tersusun berbagai rencana agar dirinya bisa kembali bersama Maya.
Maya mendesah pelan, frustasi.
"Kau masih mencintaiku kan?" Memiringkan kepala, Masumi mencoba membaca ekspresi wajah Maya.
Sepasang mata bulat itu akhirnya menatap Masumi, kesal, "Itu bukan alasan untuk membenarkan ide gilamu."
Mata Masumi mengikuti gerakan Maya yang tiba-tiba berdiri lalu berjalan ke arah lemari es. Mengambil sebuah botol minuman mineral, Maya langsung meneguk setengah isinya, mencoba mendinginkan hati dan kepalanya.
"Aku tidak meminta pembenaran. Setidaknya aku berusaha melakukan hal yang benar," jawab Masumi.
"Hanya kau yang menganggapnya sebuah kebenaran Masumi. Dunia akan melihat itu sebagai sebuah kesalahan," Maya menyipitkan mata saat Masumi kembali menghampirinya dan memeluk pinggangnya, memberinya sebuah kecupan ringan di belakang kepalanya. Sungguh Maya tidak ingin menjadi seorang munafik yang menampik semua kehangatan yang diberikan Masumi hanya saja pikirannya tidak berhenti untuk menyalahkannya, semuanya adalah sebuah kesalahan.
"Aku akan berpisah dengan Shiori," bisik Masumi dari belakang telinga Maya.
Maya tak lagi terkejut dengan pernyataan pria yang tengah memeluknya.
"Jangan mempertaruhkan hidupmu Masumi," Maya balas berbisik.
"Aku tidak peduli, aku hanya ingin bisa bersamamu. Apa aku terlalu egois Maya?" Bisik Masumi lagi.
Ingin rasanya Maya berkata tidak tapi dia tahu pasti apa konsekuensinya jika dirinya sepakat dengan Masumi.
"Sebaiknya kau pulang Masumi. Nyonya Shiori pasti mencarimu," menarik lengan Masumi dari pinggangnya, Maya memberi jarak tubuhnya dengan Masumi.
Masumi hanya bisa diam dan melihat Maya berjalan ke arah sofa ruang tamu, mengambil mantelnya dan kembali menghampirinya.
"Sebaiknya kau berhati-hati saat keluar nanti. Aku tidak mau fotomu terpampang di media saat keluar dari apartemenku terlebih dengan pakaian seperti ini," kata Maya datar seraya mengulurkan mantel Masumi.
Mengerti bahwa bukan saatnya untuk berdebat dengan Maya, Masumi memilih untuk menuruti keinginan gadisnya. Mata Masumi tak lepas memandang Maya meski dirinya tengah sibuk memakai mantel.
"Aku pergi," tanpa meminta ijin, Masumi meraih tengkuk Maya, memberinya sebuah kecupan manis di sudut bibir dan berakhir pada kecupan hangat di puncak kepala. Kakinya segera berjalan ke arah pintu tanpa menoleh lagi pada Maya. Masumi tak lagi melihat saat butiran kristal bening jatuh dari sudut mata gadisnya dan jemari Maya mengusap lembut sudut bibirnya dengan ekspresi penuh luka.
***
Plak!
Telapak tangan Shiori segera menyapa sisi wajah Masumi begitu suaminya memasuki kamar mereka. Sungguh salam penyambutan yang mengejutkan, kilat kemarahan jelas terlihat di mata Shiori.
"Begitukah caramu memperlakukan istrimu Masumi?" Shiori meradang.
Seringai tipis menghias sudut bibir Masumi, "Kau juga menggunakan cara licik untuk menjebakku."
Mata Shiori melebar, "Menjebakmu? Aku istrimu Masumi Hayami! AKU BERHAK ATASMU!"
Seketika Masumi tertawa, sarkastik. Dia berjalan ke arah sofa dan mendudukkan dirinya seraya memegangi perutnya, masih dengan tawa yang sama.
"Sial!" Desis Shiori lirih namun sarat emosi. Membalikkan tubuhnya, Shiori memandang geram suaminya.
"Puas kau mengolok-olokku?!" Tanya Shiori dengan nada ketus, melipat tangannya di depan dada.
"Aku tidak mengolok-olokmu, kau yang mengolok-olok dirimu sendiri Shiori. Ya Tuhan, kau mencampur minuman dengan obat perangsang?" Masumi menggeleng seraya menyeringai, matanya menatap tajam Shiori, "Aku tidak pernah menyangka kau bisa merencanakan semua itu. Tapi seharusnya aku tidak perlu terkejut," Masumi menghela napas, berdiri lalu berjalan menghampiri Shiori, berhenti tepat dua langkah di depan istrinya.
"Seharusnya aku tahu wanita seperti apa dirimu. Wanita yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Apa kau pikir kau bisa memilikiku dengan cara licikmu itu Shiori?" Masumi kembali menyeringai, "Jangan terbang terlalu tinggi, akan sakit rasanya jika terjatuh," desisnya tepat di depan wajah istrinya.
Masumi berputar dan meninggalkan Shiori, baru saja dia akan meraih handle pintu ketika tawa Shiori menggema di dalam kamar. Memiringkan kepalanya, Masumi melihat istrinya tengah terbahak tanpa alasan jelas. Keningnya berkerut begitu mata mereka beradu pandang.
"Ya, kau benar," kata Shiori begitu selesai dengan tawanya, kakinya melangkah untuk mendekat pada suaminya, "Aku memang wanita yang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Dan kau Masumi Hayami, sudah membuatku begitu marah dengan semua permainan ini. Kau pikir-,"
"Kau sendiri yang memulai permainan ini Shiori," potong Masumi cepat. Shiori membelalak marah.
"Kau lupa?" Masumi membalikkan tubuh menghadap Shiori, "Kau yang memaksaku untuk memulai semua permainan ini. Pernikahan palsu ini. Demi obsesi gilamu padaku yang kau atas namakan sebagai cinta." Masumi kembali menyeringai, "Aku hanya mengikuti keinginanmu Shiori. Menjadikanmu istri di atas kertas dan dihadapan masyarakat tapi kau seharusnya tahu bahwa tubuh dan jiwaku bukanlah milikmu. Tidak akan pernah menjadi milikmu," Masumi menekankan kalimat terakhirnya dengan begitu jelas, membuat Shiori mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya.
Sekuat tenaga Shiori menahan diri untuk tidak memaki dan memukul suaminya, rasanya percuma, dia kalah telak. Kesabarannya sudah mencapai puncak, penolakan Masumi atas dirinya sudah meluluhlantakkan rasa yang dulu dia sebut sebagai cinta. Kini hanya amarah yang terasa membakar hatinya, membakar habis cintanya.
"Kau tahu Masumi, cinta dan benci hanya dibatasi oleh selaput tipis. Keduanya sangat mudah bertukar tempat," kata Shiori tenang setelah berhasil meredakan emosinya.
Masumi terdiam.
"Jika karena cinta aku rela melakukan segalanya, apa kau tidak pernah berpikir sebaliknya?" Kali ini Shiori tersenyum tapi Masumi tahu pasti apa makna senyuman itu. Shiori meraih handle pintu dan melawati Masumi begitu saja. Mengabaikan ekspresi keras suaminya yang bergeming di dekat pintu.
Apalagi yang kau rencanakan Shiori?
***
Suara tangis terdengar di ruang tengah apartemen Maya. Apakah Maya menangis? Tidak, dia sedang tidak menangis. Itu adalah suara aktris yang tengah bermain drama di televisi.
Maya berbaring di sofa dengan mata menatap lurus pada layar televisi, mengamati setiap gerak sang aktris.
Entah sudah berapa lama Maya menghabiskan waktu liburnya seperti itu. Sejak Masumi pergi, dia sama sekali tidak berminat untuk melakukan apapun. Berbaring dan mengalihkan pikiran, hanya itu yang dilakukannya. Bersyukurlah kalau drama selalu bisa mengalihkan pikirannya dari masalah hidupnya yang kompleks.
Kredit title yang mulai berjalan di layar menuai desah panjang dari Maya. Matanya beralih dari layar kaca pada langit-langit apartemennya, sekali lagi mendesah panjang. Apa yang dikatakan Masumi pagi tadi kembali menjadi fokus pemikirannya. Pernikahan? Jujur, hati Maya membuncah mendengar lamaran Masumi tapi dia tahu itu hanya sebuah khayalan. Kekasihnya, mawar ungunya, pahlawan hatinya sudah menjadi milik orang lain. Dirinya tidak mungkin menjadi orang ketiga, merusak rumah tangga orang lain. Maya cukup tahu diri, siapa dirinya dan siapa Masumi dan Shiori.
Maya menghela napas lagi. Andai, andai dirinya bisa memutar ulang waktu. Andai dirinya tahu lebih awal tentang semua kebaikan Masumi. Andai kebodohannya tidak menghalangi semua kebenaran mengenai cinta Masumi. Segala pengandaian itu memenuhi kepalanya, berdesak-desakan dengan pemikiran mengenai apa yang dikatakan Masumi. Sungguh terlalu sulit baginya untuk melupakan semua itu.
Dilema. Satu sisi hatinya ingin lamaran itu menjadi kenyataan tapi di sisi lain ada penghakiman dan ketakutan akan konsekuensi yang ada di depan.
Mengusap wajah dengan kedua tangan, Maya duduk dan menyandarkan diri pada sofa. Lelah. Semua pemikiran itu membuatnya lelah. Tak pernah terbayang di benaknya kalau hidupnya akan menjadi serumit ini. Impiannya menjadi Bidadari Merah sudah tercapai tetapi kehidupan nyatanya tak seindah karier dunia panggungnya.
Teet! Teet!
Maya tersentak ketika suara bel apartemen menariknya dari lamunan panjang. Kedua alisnya bertaut begitu matanya melihat angka yang ditunjukkan oleh jarum jam. Pukul dua siang. Siapa yang mengunjunginya di hari libur? Manajernya, Nona Midorikawa, sedang berada di Chiba untuk mengurus masalah kontrak baru Maya dengan perusahaan parfum. Dia tidak memiliki janji dengan Rei atau, hhmm, tidak juga untuk Koji. Maya sangat berharap bukan pemuda itu yang dapat. Dirinya tidak sedang dalam kondisi siap untuk bertemu Koji.
Suara bel kembali berbunyi untuk yang ketiga kalinya. Alih-alih memikirkan lagi siapa yang mungkin datang, Maya akhirnya beranjak dan berjalan ke arah pintu.
"Selamat siang Maya."
Sebuah sapaan ramah langsung menyambutnya begitu Maya membuka pintu. Matanya membulat karena terkejut. Sama sekali tidak terlintas di dalam kepalanya mengenai sosok yang sekarang berdiri di hadapannya. Tanpa sadar Maya menelan ludah perlahan, membasahi tenggorokannya yang terasa kering, membuatnya sulit bersuara -lebih karena terkejut sebenarnya-.
"Apa kau tidak akan mempersilakan tamumu untuk masuk Nona Kitajima?" Kalimat sarkastik itu membuat pipi Maya memerah karena malu.
"Ngh, maaf-, silakan-, masuk Nyonya Hayami." Ucap Maya gugup seraya membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan wanita yang dipanggilnya Nyonya Hayami itu masuk.
Maya mengamati wanita yang mengenakan dress berwarna biru laut dengan renda menghiasi setiap tepiannya itu dengan heran. Apa alasan Nyonya muda itu datang mengunjunginya? Dan tidak biasanya Nyonya muda itu bepergian seorang diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Masumi yang menginap semalam.
Sial! Maya merutuk dalam hati. Dia sama sekali tidak ingin terlibat dalam masalah sekarang. Pikirannya masih begitu penuh dengan dilema yang menyiksanya tanpa perlu ditambah dengan masalah -apapun itu- yang akan dibawa oleh Shiori.
"Apa aku mengganggumu Maya? Kelihatannya kau tidak suka dengan kunjungan mendadakku. Aku minta maaf kalau-,"
"Ah tidak Nyonya. Saya baru saja tidur siang saat anda datang, jadi...ya anda pasti tahu." Maya cepat menjelaskan ketika sepasang mata Shiori tampak setengah menyelidikinya.
Dari sudut mata Shiori melihat layar televisi yang menyala dan senyum tipis segera terulas di bibirnya, tahu Maya berbohong. Tapi Shiori tidak peduli, kedatangannya bukanlah untuk beramah tamah pada 'gadis pujaan' suaminya itu. Shiori merutuk dalam hati ketika istilah itu muncul dalam kepalanya.
"Silakan duduk Nyonya," Maya mempersilakan seraya melambaikan tangan, "apa anda ingin teh?"
Shiori mengangguk sopan, "Jika tidak merepotkan, terima kasih."
Maya mengulas sebuah senyum lalu berjalan ke dapur. Tidak butuh waktu lama untuk maya kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring kue. Meletakkannya di meja ruang tamu, Maya duduk berhadapan dengan Shiori.
"Apartemen yang bagus. Cocok untuk aktris kelas satu sepertimu." Kata shiori setelah menggumamkan terima kasih dan meneguk tehnya perlahan.
"Ng, iya, manajemen Daito yang memilihkannya untuk saya." Jawab Maya sungkan.
Shiori terkekeh, "Tentu saja mereka akan melakukan semua yang terbaik untukmu. Aku sangat mengerti betapa penting arti seorang Maya, ah, maaf, maksudku Bidadari Merah bagi Daito. Bukan begitu?"
Maya hampir saja tersedak tehnya, tahu pasti makna sebenarnya di balik ucapan Shiori.
"Anda terlalu memuji Nyonya." Jawab Maya datar, berusaha tetap tenang dan tidak terpancing ucapan Shiori.
Shiori menyeringai tipis mendengarnya.
"Apa kau tidak ingin bertanya kenapa aku datang menemuimu Maya?" Sepertinya Shiori enggan berbasa-basi sekarang. Sekali lagi meneguk tehnya, meletakkannya kembali ke meja, Nyonya Muda Hayami itu melayangkan pandangannya pada Maya, intens.
Maya menegakkan punggungnya dan membalas tatapan mata Shiori tanpa ragu, "Pasti ada sesuatu yang penting, bukan begitu Nyonya?"
"Tentu Maya, tentu." Shiori tersenyum, "Sesuatu yang penting. Kau pasti bisa menebak itu apa." Mata shiori berputar mengelilingi ruangan dimana dirinya berada, "Aku juga bisa menebak kalau semalam suamiku bermalam di sini."
Maya terhenyak tapi tetap berekspresi datar, diam.
Shiori terkekeh melihat wajah datar lawan bicaranya, "Tidak perlu bersandiwara Maya. Aku tahu pasti kemana tujuan suamiku, terlebih...dengan kondisi seperti semalam," kekehan datar kembali terdengar.
Kening Maya berkerut, tidak mengerti.
"Apa kalian menikmatinya semalam?"
Mata Maya membulat sempurna, "Apa maksud anda Nyonya!" Kata Maya dengan nada suara meninggi.
"Sudah ku katakan jangan berakting di depanku Kitajima!" Shiori balas berteriak. Dia bahkan sudah berdiri dengan jari teracung pada Maya.
"Aku tidak menyangka kau serendah itu. Menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain."
"Cukup Nyonya Hayami!" Maya ikut berdiri dengan marah, "Atas dasar apa anda datang ke tempat ini dan menuduh saya seperti itu!"
"Atas dasar apa?" Shiori terbahak, "Seorang pria yang tengah berada di bawah pengaruh obat perangsang datang mengunjungi simpanannya! Tidak perlu menjadi orang pintar untuk tahu apa yang mereka lakukan! Kau-, gadis murahan! Penggoda suami orang!"
Plak!
Tangan Maya menggantung di udara setelah telapak tangannya memberi warna kemerahan di pipi Shiori.
"Ka, kau...," Shiori tampak begitu shock dengan apa yang dilakukan Maya. Tangannya mengusap perlahan pipinya yang terasa panas.
"Anda tidak berhak merendahkan saya seperti itu Nyonya." Kata Maya kemudian, sepasang mata coklatnya menatap tajam Shiori, "Ya, Tuan Hayami memang datang semalam tapi tidak terjadi apapun diantara kami. Tuan Hayami bahkan tidur di sofa, jadi jangan pernah menuduh saya sebagai orang ketiga dalam rumah tangga anda. Kalau boleh jujur Nyonya, siapa sebenarnya yang menjadi orang ketiga dalam masalah ini?" Maya menyeringai, "lupakanlah, anda yang menang. Jadi tolong jangan injak harga diri saya lebih dari ini. Dengan hormat saya persilakan anda pergi Nyonya," tangan Maya melambai ke arah pintu.
Mata Shiori berkilat penuh amarah, tidak menyangka kalau gadis yang dianggapnya lugu itu bisa bersikap begitu arogan -menurutnya-. Tapi Shiori sadar dirinya tidak memiliki bukti untuk memojokkan Maya lebih jauh lagi. Pengakuan Maya sedikit membuatnya lega, setidaknya suaminya tidak tidur dengan Maya semalam. Shiori percaya? Ya, tentu saja dia percaya. Kesungguhan di mata Maya menegaskan kejujuran gadis itu. Lagipula dialah yang sering bersilat lidah, sehingga bisa dengan baik membedakan mana sebuah kebohongan dan mana sebuah kejujuran.
Shiori menegakkan dirinya di hadapan Maya, memperbaiki ekspresi wajahnya, tidak sudi terlihat lemah di depan rivalnya.
"Ingat Maya, jangan pernah bermimpi untuk bisa memiliki Masumi. Tidak akan pernah! Ingat, aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi!" Shiori menegaskan setiap kalimatnya dengan baik. Maya bergeming.
"Aku tahu kau tidak takut pada semua ancamanku tapi ingat Maya Kitajima, aku akan bermain pintar kali ini." Sudut bibir Shiori tertarik sehingga seringai tipis menghiasi wajahnya, "Kau tahu, kalau kau berani melawanku maka Masumi yang akan menjadi taruhannya."
Maya menggigit bibir bawahnya untuk menahan dirinya tidak berteriak dan memaki Nyonya muda yang ada dihadapannya. Seringai yang mencemooh pun berusaha di abaikannya. Masumi, hanya nama itu yang menjadi fokus pengendalian dirinya saat ini.
Hening seperti mencekik kedua sosok yang kini hanya bisa saling beradu pandang, sampai akhirnya Shiori meninggalkan apartemen Maya tanpa kata. Membiarkan Maya ditelan ketakutan dan kekhawatirannya.
***
Sabtu sore yang cerah dihabiskan Masumi di ruang kerjanya. Dia tengah asik membaca laporan kerja yang dikirim Mizuki, sekretarisnya, melalui email. Masumi tidak memiliki pilihan lain untuk menghabiskan waktu liburnya. Keluar dari ruang kerja hanya akan memberinya dua pilihan, bertemu Shiori atau melarikan diri 'lagi' ke apartemen Maya. Jelas dia akan memilih opsi ke dua. Dan Masumi masih cukup waras untuk tidak melakukannya. Mengunjungi Maya di siang hari memiliki resiko yang besar terlebih Shiori sedang marah sekarang. Masumi yakin kalau istrinya tahu dimana dia bermalam dan dia sudah meminta Hijiri untuk menjaga Maya untuknya. Setidaknya orang kepercayaannya itu akan memberi tahunya jika sesuatu terjadi pada Maya.
Suara ping keras tanda email masuk di handphonenya membuat Masumi mau tidak mau mengalihkan perhatiannya.
"Sial!" Masumi langsung merutuk begitu melihat foto yang terlampir di emailnya. Foto Shiori yang tengah berjalan keluar dari apartemen Maya.
Dengan cepat jemari panjang Masumi menekan sebuah tombol yang langsung tersambung dengan handphone Hijiri.
"Halo, Tuan," suara tenang segera menyapa gendang telinga Masumi.
"Apa yang terjadi?" Tanya Masumi tanpa basa-basi.
"Nyonya mengunjungi Nona Maya tapi tidak lama, dua puluh menit dan Nyonya sudah pergi. Saya sedang menuju lantai atas untuk memeriksa keadaan Nona Maya," jelas Hijiri.
Masumi bisa mendengar suara ping dari lift dan hatinya berharap cemas mengenai keadaan Maya. Keduanya masih siaga dengan handphone berada di telinga tapi tidak satupun dari mereka yang bicara. Hijiri tetap berjalan dengan tenang menuju kamar Maya sementara Masumi -yang telinganya tetap siaga- mencoba menghalau pikiran buruk yang melintas di dalam kepalanya.
Suara pintu yang terbuka membuat Masumi yakin kalau Hijiri sudah sampai di tujuannya.
"Bagaimana?" Tanya Masumi, gagal menyembunyikan kepanikan dalam suaranya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Hijiri terdiam.
"Hijiri!" Desak Masumi tidak sabar.
"Nona Maya baik-baik saja Tuan," ucap Hijiri tenang disambut desahan napas lega dari tuannya. Berpesan untuk tetap waspada pada Hijiri, Masumi mematikan teleponnya.
Menghempaskan diri di kursi kerja, Masumi mengacak rambut dengan jemari panjangnya.
"Shiori, apa yang kau rencanakan? Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Maya." Gumam Masumi menahan amarah.
Sementara Masumi masih berkutat dengan pikirannya dan semua dugaan mengenai rencana istrinya, Hijiri masih bergeming di ambang pintu apartemen Maya. Matanya tidak menangkap sosok gadis yang dijaganya tapi telinganya mendengar suara isak tangis yang dia duga berasal dari ruang tengah.
Hijiri berbohong? Ya, dia tahu pasti kalau tuannya akan hilang akal jika dirinya menceritakan apa yang ada di depan matanya saat ini. Sebagai orang kepercayaan Masumi, Hijiri juga berusaha melakukan yang terbaik untuk tuannya. Akan sangat beresiko jika Masumi lepas kendali di saat yang tidak tepat.
Hijiri menutup pintu dan melangkahkan kakinya masuk. Dugaannya benar, Nonanya tengah berbaring di sofa panjang ruang tengah, terisak memeluk dirinya sendiri. Entah apa yang dilakukan Nyonya mudanya tapi dia tahu itu adalah sesuatu yang tidak baik.
Maya tetap bergeming melihat Hijiri datang. Tidak terkejut, tentu saja, Maya tahu kalau Hijiri masih terus mengawasinya.
Berlutut di dekat sofa, Hijiri mengusap lembut kepala Maya, nona yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri.
"Anda baik-baik saja?" Tanya Hijiri pelan.
Maya hanya mengengguk, menyeka butiran air mata dengan telapak tangannya.
"Minum?" Tanya Hijiri lagi.
Sekali lagi Maya hanya mengangguk.
Hijiri berjalan ke dapur untuk mengambil air dan Maya bangun, bersandar pada kepala sofa.
Hijiri kembali dan memberikan sebuah botol air mineral pada Maya. Nonanya itu langsung menghabiskan setengah isinya dalam sekali teguk.
"Terima kasih," gumam Maya seraya menyerahkan kembali botolnya pada Hijiri.
Meletakkan botol di meja, Hijiri kemudian duduk di sebelah Maya. Diam.
"Aku baik-baik saja," kata Maya kemudian dengan suara paraunya.
"Saya tahu anda akan berkata seperti itu meski keadaan anda mengatakan sebaliknya." Jawab Hijiri.
Maya terdiam beberapa saat sampai akhirnya dia kembali bicara, "Apa kak Hijiri melihatnya? Nyonya datang?"
Hijiri mengangguk, "Saya mengawasi semuanya. Sedikit kesulitan karena Nyonya juga membawa pengawal tapi saya harap Nyonya tidak menyakiti anda,"
Maya menggeleng, "Kami hanya berdebat dan aku...menamparnya," Maya setengah berbisik di akhir kalimatnya.
Hijiri tampak terkejut tapi dengan segera ekspresi datarnya kembali, tenang, "Hanya itu?"
Maya mengangguk.
"Saya rasa anda perlu istirahat sekarang. Boleh saya memanggil Nona Aoki untuk menemani anda malam ini?"
Maya menggeleng. Hijiri menghela napas, mencoba mengerti.
Maya beranjak dan berjalan dengan gontai ke kamarnya sementara Hijiri masih bergeming di sofa. Diam.
Tanpa sepengetahuan Hijiri, seseorang telah mengamati semua drama bisu yang terjadi hari itu dari kejauhan. Seorang pria berbalut jas hitam yang merekam dengan sempurna keluar masuknya Shiori dan digantikan dengan Hijiri. Senyum tipis terulas di bibirnya sebelum dia memacu mobilnya meninggalkan apartemen Maya untuk memberikan laporan kepada tuannya.
***
"Tuan!" Takigawa masuk ke dalam ruang kerja Masumi dengan tergesa, wajahnya menyiratkan kepanikan.
"Ada apa Bi?" Tanya Masumi tenang, sedikit banyak bisa menebak jika sesuatu pasti telah terjadi dengan istrinya.
"Nyo, Nyonya, Tuan! Nyonya pingsan dan sekarang sedang di bawa ke rumah sakit."
Masumi tidak terkejut melainkan justru menggeram menahan marah. Dia tahu apa yang menyebabkan istrinya kolaps.
"Siapkan mobil." Perintah Masumi kemudian. Membereskan dokumennya, Masumi berjalan keluar dari ruang kerja dengan wajah kesal sementara Takigawa dengan kepanikannya menjalankan perintah Masumi.
Shiori masih berada di dalam emergency room ketika Masumi dan Takigawa sampai di rumah sakit. Supir dan pengawal Shiori tampak siaga menunggu kabar tentang Nyonya mereka. Keduanya tampak terkejut begitu melihat Masumi datang.
"Apa yang terjadi?" Tanya Masumi datar pada pengawal Shiori, Hitachi.
"Nyonya tiba-tiba saja pingsan di dalam mobil Tuan. Saya sendiri juga belum tahu apa penyebabnya." Jelas Hitachi.
"Kalian pergi ke mana?" Tanya Masumi basa-basi, jelas dia tahu kemana tujuan pergi istrinya.
"Kami-,"
"Nyonya ingin pergi mengunjungi Tuan juga Tuan Besar di kediaman Takamiya," potong Takigawa cepat, wajahnya diatur sedatar mungkin untuk menutupi kebohongannya. Hitachi tampak bingung tapi kemudian hanya mengangguk dan seringai tipis terulas di sudut bibir Masumi.
Pintu emergency room yang terbuka mengalihkan perhatian semuanya.
"Tuan Hayami," panggil dokter yang keluar dengan didampingi oleh seorang perawat.
"Ya, saya dokter," demi sebuah sopan santun dan tanggung jawabnya sebagai suami, Masumi menghampiri sang dokter, "bagaimana keadaan istri saya?"
"Tekanan darah dan kadar hemoglobin Nyonya Hayami berada di bawah normal. Nyonya Hayami juga sepertinya kelelahan dan tidak mendapat istirahat yang cukup. Saya sarankan malam ini Nyonya opname." Jelas sang dokter.
Masumi mengangguk tanda setuju, "Lakukan yang terbaik dokter."
Sang dokter tersenyum menenangkan, "Tentu Tuan Hayami," jawabnya sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam emergency room bersama sang perawat.
"Bibi, apa kau sudah memberitahu ayah atau kakek?" Tanya Masumi.
"Ngh, su-sudah Tuan," jawab Takigawa gugup.
Masumi hanya mengangguk dalam diam, tidak heran dengan inisiatif yang diambil oleh bibi pengasuh istrinya itu.
"Baiklah, aku akan mengurus administrasinya," Masumi meninggalkan Takigawa dan mendapat tatapan heran dari ketiga orang yang ada di sana, betapa tenang seorang Masumi menghadapi istrinya yang tengah sakit.
Tidak membutuhkan waktu lama sampai Shiori ditempatkan di kamar rawat, sebuah kamar VVIP. Masumi duduk di sebelah tempat tidur istrinya sementara Takigawa berdiri dengan siaga di sisi lainnya.
Apa yang sebenarnya kau lakukan di apartemen Maya, Shiori?
Masumi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Melihat kondisi istrinya yang tengah terlelap membuat Masumi cukup bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Bukankah dirinya sudah merencanakan sebuah perpisahan? Mempertaruhkan segalanya agar bisa bersama Maya? Akh! Ternyata kenyataan memang tak pernah seindah khayalan. Dia tahu kalau istrinya pasti tengah merencanakan sesuatu dan apapun itu, dia tidak ingin Maya-nya dipertaruhkan dalam hal ini.
Suara pintu terbuka membuat Masumi menoleh. Bagus, seluruh keluarganya sudah datang. Dia harus mulai bersandiwara.
"Selamat sore, ayah, ibu, kakek." Sapa Masumi sopan pada kedua orang tua dan kakeknya.
Tuan BesarTakamiya mengangguk dan melewati Masumi begitu saja menuju tempat tidur dimana cucunya terbaring.
"Apa yang terjadi?" Tanya sang ibu.
"Dokter mengatakan kalau Shiori kelelahan," jawab Masumi singkat, menskip rentetan penjelasan dokter padanya dan meringkasnya dalam satu kata 'kelelahan'. Lagipula Masumi juga yakin kalau Shiori juga pasti tidak ingin kalau keluarganya tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya.
"Takigawa, kenapa kau tidak menjaga cucuku dengan baik?" Tanya sang kakek dengan suara tenang namun sarat kemarahan.
Sang pengasuh hanya bisa membungkuk dalam seraya menggumamkan kata maaf.
"Apa dia belum sadar sejak tadi?" Giliran sang ayah yang bertanya.
"Shiori sudah sadar, hanya saja dokter sengaja memberinya obat penenang agar dia bisa beristirahat lebih lama," jelas Masumi.
Kedua orang tua Shiori tampak mengangguk, mengerti. Keduanya kemudian berdiri di sisi tempat tidur putri semata wayang mereka.
Masumi berdiri di sebelah Tuan Besar Takamiya dan mempersilakannya duduk di bangku yang tadi dipakainya.
"Masumi, aku mau kau menjaga cucuku dengan baik. Kondisinya memang lemah tapi aku harap kau bisa bersabar dengannya. Dia anak yang baik." Kata Tuan Besar Takamiya dengan mata tak lepas memandang wajah pucat Shiori.
Beberapa saat Masumi hanya bisa diam sampai akhirnya dia mengangguk, mengatakan bahwa dirinya akan menjaga Shiori dengan kedua tangan terkepal kuat disisi tubuhnya. Sekali lagi kebohongan dibuatnya.
Suasana tetap tenang, Shiori belum juga bangun meski bintang dan bulan sudah mulai bertahta di langit kota Tokyo. Keluarga Takamiya akhirnya pulang dengan sebelumnya berpesan agar Masumi memberi kabar mengenai perkembangan kesehatan Shiori. Takigawa mengantarkan tuan dan nyonyanya sampai ke depan pintu kamar.
Masumi hanya bisa menghempaskan dirinya di atas kursi ketika dirinya kembali ke sisi tempat tidur istrinya. Lelah. Hanya itu yang dirasakannya.
***
Kediaman Hayami.
Eisuke duduk di atas kursi roda, memandang halaman belakang rumahnya yang tertata indah. Dibelakangnya berdiri Asa, sang asisten pribadi, juga seorang pengawal lain yang baru saja datang dan memberikan sebuah amplop coklat sebagai laporan.
"Tuan besar."
"Ya, Asa?"
"Apa yang akan anda lakukan sekarang?"
Eisuke mendesah panjang, "Aku tidak menyangka kalau selama ini Masumi masih memerintahkan Hijiri menjadi pengawal gadis itu. Lebih gila lagi karena Masumi benar-benar mencintai gadis itu sampai mengabaikan istrinya."
Meski tak melihat ekspresi wajah tuannya tapi Asa tahu kalau Eisuke tengah menahan marah. Laporan yang baru saja di bawa oleh orang suruhannya memang sungguh mengejutkan. Siapa yang menyangka kalau ternyata Masumi Hayami, Direktur Utama Daito, pria dewasa yang menjadi incaran banyak wanita yang bahkan sudah menikah dengan pewaris grup Takatsu justru mempertahankan cintanya pada seorang gadis yang usianya lebih muda sepuluh tahun, Maya Kitajima, sang Bidadari Merah. Hal pelik lainnya adalah Shiori sekarang berada di rumah sakit. Takigawa sudah memberinya kabar. Asa tahu masalah ini tidak akan mudah untuk diselesaikan tapi percaya kalau tuannya saat ini pasti sedang memikirkan beberapa jalan keluar.
"Asa."
"Ya Tuan," maju beberapa langkah, Asa kini berdiri di sisi Eisuke.
"Siapkan mobil! Kita akan kerumah sakit untuk mengunjungi Shiori, sebelum itu kau hubungi Hijiri. Minta dia menemuiku malam ini."
"Baik Tuan,"
Asa mengangguk penuh hormat ketika Eisuke berputar pada kursi rodanya dan meninggalkan halaman belakang.
***
Suara air mendidih di dalam panci menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di apartemen Maya senja itu. Hijiri tengah sibuk di dapur membuatkan sup untuk Maya. Wajahnya tampak tenang meski hatinya diliputi kekhawatiran.
Maya yang sama sekali tidak keluar dari kamarnya sejak bertemu dengan Shiori membuat Hijiri tidak tenang. Benar saja,
Betapa terkejutnya Hijiri ketika memasuki kamar Maya dan mendapati nonanya yang tengah terlelap itu ternyata demam tinggi. Hijiri segera mengompres Maya dan sekarang disinilah dirinya, di dapur, menyiapkan makan malam sebelum memberikan obat penurun panas.
Tapi bukan hal itu yang membuat Hijiri khawatir. Demam Maya pasti akan segera turun setelah nonanya itu meminum obat -semoga-. Sebuah panggilan mendadak untuk mengunjungi kediaman Hayami lah yang menjadi sumber kecemasannya. Hijiri merasa saat ini tidak ada hal penting yang bisa membuatnya di panggil untuk menemui Tuan besarnya, Eisuke. Dia mulai menerka-nerka dan semakin banyak dirinya berpikir, perasaannya semakin tidak tenang.
Makan malam untuk Maya sudah selesai. Hijiri menatanya di atas nampan dan membawanya ke kamar. Dilihatnya Maya masih tidur dengan kompres di dahinya. Perlahan dia duduk di tepi tempat tidur dan membangunkan nona mudanya.
"Nona, nona Maya," panggilnya seraya mengusap lembut bahu Maya.
Hanya lenguhan lirih yang terdengar dari bibir Maya dengan kedua mata masih tetap terpejam.
"Nona," sekali lagi Hijiri mencoba untuk membangunkannya.
Kelopak mata Maya membuka perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya dengan cahaya disekitarnya.
"Kak Hijiri," suara Maya seperti pita kaset rusak.
"Makan malam sudah siap. Anda harus makan lalu minum obat," kata Hijiri seraya mengambil kompres dari dahi Maya dan membantunya untuk duduk.
Maya hanya bisa menurut, kepalanya terasa seperti dipukuli dengan palu. Diapun menghabiskan makan malamnya dalam diam lalu meminum obatnya sebelum kembali berbaring.
"Saya akan panggil Nona Aoki untuk menemani Anda," kata Hijiri yang kembali mengompres Maya.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja." Maya menolak. Sepertinya sekarang dia lebih suka jika sendiri.
"Anda yakin?"
"Aku akan menghubungi Kak Hijiri jika terjadi sesuatu," Maya mencoba meyakinkan.
Ada panggilan dari Eisuke dan Hijiri menganggap itu lebih penting. Meski berat akhirnya Hijiri meninggalkan Maya sendiri di apartemennya, tentu saja setelah memberitahu tuannya -Masumi, pastinya- mengenai keadaan Maya.
Maya tak menghiraukan kecemasan Hijiri dan segera kembali terlelap begitu sang penjaganya itu pergi.
***
Masumi memijat pangkal hidung dengan jemari panjangnya. Tangannya menggenggam erat handphone yang hampir saja dia lempar ke dinding karena berita yang baru saja di terimanya.
Eisuke baru saja pulang menjenguk Shiori -yang masih belum sadar- dan setelah itu Hijiri memberinya laporan yang menyebalkan, Maya sakit dan panggilan mendadak dari ayahnya. Masumi mendadak dibuat pusing oleh semua kekacauan hari itu.
Pukul delapan malam, Masumi masih duduk di sisi tempat tidur istrinya, memikirkan jalan keluar dari masalahnya yang pelik.
"Unghh."
Sebuah rintihan menyentakkan Masumi dari lamunannya.
"Shiori?"
Kedua mata Shiori terbuka dan menatap lesu suaminya, "Masumi?"
"Bagaimana keadaanmu?"
Shiori diam, beberapa saat kemudian memalingkan wajah dari suaminya. Ingatannya langsung memutar ulang semua memori sebelum dirinya pingsan. Perdebatannya dengan Maya dan...tamparan gadis itu.
"Kau pergi ke apartemennya kan?" Lirih Shiori tiba-tiba tanpa menatap suaminya.
Masumi mengernyit dengan pertanyaan itu.
"Gadis itu mengatakannya padaku. Kau pergi ke tempatnya semalam," lirih Shiori lagi.
Masumi terhenyak, "Maya?"
Shiori menyeringai.
"Untuk apa kau datang menemuinya?" Tanya Masumi kemudian. Meski sebenarnya tidak ingin memulai pertengkaran dengan istrinya yang masih sakit tapi Shiori sendiri yang sudah membuka pembicaraan itu.
"Hanya ingin memastikan," jawab Shiori dengan suara yang lebih tegas, kali ini matanya menatap Masumi, tajam.
Masumi diam.
"Dimana Bibi?" Tanya Shiori yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Di ruang tamu," jawab Masumi singkat, dalam hati berdecak kesal dengan sikap istrinya.
"Tolong panggilkan bibi dan...," Shiori menghela napas, "sebaiknya kau pulang Masumi. Aku sedang tidak ingin melihatmu."
Tanpa kata Masumi segera berbalik dan meninggalkan istrinya. Berpesan pada Takigawa untuk menjaga istrinya dan memberi kabar kalau terjadi seuatu, Masumi meninggalkan rumah sakit.
"Nyonya," Takigawa yang masuk ke kamar tercekat melihat Shiori menangis.
"Sudah tidak ada harapan Bi. Tidak ada harapan." Lirih Shiori di tengah tangisnya, "Aku akan membalas semuanya Bi, aku akan membalas mereka semua."
Takigawa hanya bisa duduk tanpa berkata apa-apa. Dia tahu apa yang dirasakan Nyonyanya saat ini. Perih.
***
Katakan kalau saat ini Masumi adalah suami brengsek dan tidak bertanggung jawab. Sementara istrinya sakit dia justru berdiri di depan pintu apartemen kekasihnya yang...sayangnya juga tengah sakit. Tapi, bukan salahnya kan? Dia sudah berusaha mengendalikan diri kalau saja Shiori tidak mengusirnya. Anggaplah pria punya banyak alasan untuk mengelak tapi satu yang pasti, rasa cintanya pada Maya tidak sanggup untuk mengabaikan keadaan gadis itu sendirian, di tengah sakitnya. Paling tidak Shiori bersama Takigawa. Alasan yang masuk akal bukan?
Dan bukan Masumi Hayami namanya jika dia tidak bisa dengan mudah masuk ke apartemen Maya. 'Akses tanpa batas' sebut saja begitu. Jangan lupa kalau dialah yang membeli apartemen itu untuk Maya, jadi tidaklah aneh jika sekarang dia mempunyai kunci duplikatnya.
Masuk tanpa menimbulkan suara, Masumi langsung menuju kamar Maya. Di bawah temaram lampu tidur, Masumi bisa melihat wajah pucat gadisnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, mengusap lembut wajah Maya. Jemarinya bisa merasakan panas tubuh Maya, keringat dingin membasahi kening gadis itu. Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Maya dan gadis itu masih saja terlelap, tak terusik dengan ulah Masumi.
"Tuhan, kau boleh menghukumku karena begitu egois mencintai gadis ini tapi jangan minta aku melupakannya."
Kepala Maya bergerak pelan saat Masumi tak berhenti membelainya. Masumi tersenyum.
"Aku mencintaimu, Maya." Bisiknya lirih.
Masumi tahu dirinya gila tapi akal sehatnya sedang tidak berniat untuk mendebat apapun yang sekarang sedang dilakukan tubuhnya. Melepas jasnya, Masumi berbaring di sisi Maya, mendekap tubuh gadisnya dalam kehangatan. Tak lama, Masumi segera tenggelam di alam mimpi, terbuai dalam kehangatan yang dipancarkan tubuh Maya dan ya... meski hanya sesaat Masumi merasa...memiliki.
***
Malam semakin larut tapi Shiori tak juga bisa memejamkan matanya. Pikirannya melayang, memutar semua kisah panjang hidupnya, sampai saat ini. Matanya kemudian menatap bibi pengasuhnya yang tengah tidur di sofa, menemaninya.
Sebuah seringai muncul di tengah tangis tanpa suaranya. Ironis? Tentu saja. Shiori memiliki suami tapi lihat, siapa yang menunggui dirinya yang sedang sakit?
Shiori mengepalkan kedua tangan di atas pangkuannya, menahan geram dalam hati.
Salahkan dirinya? Mencintai seorang Masumi Hayami, menjadikannya suami. Salahkah? Dia hanya mencintai, hanya mencintai. Kalau Maya bisa diijinkan masuk ke dalam hati Masumi...kenapa tidak dengan dirinya? Apa kelebihan gadis itu dibanding dirinya yang adalah cucu pemilik grup Takatsu? Butakah Masumi?
Shiori menyeringai lagi, sepertinya semua memang salahnya. Salah karena sudah memaksakan cintanya. Tapi siapa peduli? Dirinya sudah tersakiti sekarang dan tidak ada yang peduli. Dirinya menangis sekarang dan tak juga ada yang peduli. Bahkan dirinya sakit dan tak ada, sama sekali tidak ada yang peduli.
Tamparan Maya siang tadi sudah membulatkan semua tekadnya. Dia akan membalas semuanya. Membalas semua sakit hatinya. Dia memang tidak bisa memiliki Masumi tapi dia juga tidak akan membiarkan Masumi menjadi milik gadis itu. Semua akan dipertaruhkan sekarang. Harga diri. Kehormatan. Semua rela Shiori pertaruhkan, asal dendamnya terbalas.
"Masumi...kau mencintainya kan?" Shiori terkekeh datar, "Aku ingin melihat, sampai mana kau mencintainya."
Dan malam menjadi saksi betapa cinta dengan mudah berubah menjadi benci di tengah tangis penuh luka seorang wanita yang tersakiti.
***
Maya terbangun karena merasakan hangat yang berlebihan menyelimuti tubuhnya.
"Ahh!" Maya menjerit begitu matanya terbuka dan meilhat seorang pria yang tengah memeluknya. Dengan terkejut Masumi membuka paksa kelopak matanya.
"Masumi!" Maya segera bangun dan melenguh pelan ketika merasakan kepalanya berputar.
"Hei, hati-hati. Demammu baru saja turun," Masumi duduk menghadap Maya dan mengusap lembut kepalanya.
Maya membulatkan matanya begitu sensasi berputar di kepalanya menghilang, "Apa yang kau lakukan di sini? Di kamarku? Kau-,"
"Ssttt," Masumi menyentuhkan telunjuknya di bibir Maya, menghentikan omelan gadis itu, "tenang," ucapnya lembut seraya tersenyum.
"Tenang?" Maya mencibir.
Masumi kembali hanya tersenyum lalu turun dari tempat tidur, mengabaikan kekesalan Maya dan berjalan ke kamar mandi. Sungguh Masumi selalu kagum akan sikap Maya yang satu ini. Tidakkah gadis itu baik? Bersama seorang pria yang mencintainya tapi tidak pernah berniat mengambil kesempatan darinya. Menyadari sepenuhnya bahwa dirinya tidak berhak meski -ya, sekali lagi Masumi adalah pria normal- Masumi sebenarnya tidak akan pernah keberatan. Abaikan setiap fakta bahwa mereka beberapa kali berciuman, itu adalah usaha Masumi, bukan keinginan Maya.
"Katakan apa yang terjadi?" Desak Maya dengan tatapan mengancam begitu Masumi keluar dari kamar mandi pribadinya.
"Tidak ada. Kau tidur dan aku menemanimu. Hanya itu, tidak lebih," jawab Masumi seraya duduk di tepi tempat tidur Maya.
"Bodoh! Bukan itu maksudku!" Maya memukul Masumi dengan bantal yang segera di tepis Masumi dengan lengannya.
"Maksudku kenapa kau bisa ada di sini! Apa yang terjadi?" Bentak Maya.
"Kau sakit Maya, apa salah kalau aku datang menemanimu?" Masumi tersenyum melihat kemarahan Maya yang tampak menggemaskan. Wajah pucat Maya berubah merah karena kesal.
"Berhenti bercanda Tuan Hayami. Kau tahu masalah apa yang bisa kau timbulkan dengan kedatanganmu ini, huh?" Geram Maya lagi.
Masumi terdiam. Shiori. Maya takut dengan Shiori? Tiga detik kemudian Masumi terkekeh.
"Kau takut dengan istriku?"
Maya melotot dan memukul lengan Masumi.
"Auuww," seru Masumi, pura-pura kesakitan.
"Direktur gila." Desis Maya kesal. Merasa tidak ada gunanya bicara dengan Masumi, Maya kemudian turun dan berjalan ke kamar mandi. Sedikit terhuyung saat berdiri tapi dengan tegas menolak tangan Masumi yang berusaha membantunya. Masumi justru terkekeh, dia sudah sangat terbiasa dengan kemarahan Maya. Bahkan bukan sekali dua kali dirinya menerima tamparan dari telapak tangan mungil gadis itu.
Ya, bagi Masumi kemarahan Maya jauh lebih menyenangkan untuk dilihat daripada air mata. Dia tidak pernah tahan melihat Maya menangis. Ingatan Masumi tentang air mata Maya saat mereka berada di Izu sebelum pernikahannya bukanlah hal yang ingin dilihatnya berulang kali. Jangan pernah lagi, kalau dirinya boleh meminta.
"Berhenti melamun dan segeralah pulang Tuan Hayami." Maya sudah berdiri di depan Masumi sambil berkacak pinggang.
"Kau mengusirku?" Masumi menyipitkan matanya memandang Maya, bercanda. Sebenarnya semalam dia berencana untuk pergi secara diam-diam sebelum Maya bangun. Tapi ternyata, tidur bersama Maya membuatnya benar-benar terlelap sampai rasanya enggan untuk bangun. Alhasil, gadisnya terbangun labih dulu dan mendapati kecurangannya lagi.
"Ya Tuan Hayami. Aku mengusirmu." Kata Maya tegas. Berjalan perlahan ke arah pintu kamar, Maya membukanya lebar-lebar dan melambaikan tangannya.
Masumi tertawa.
"Aku tidak sedang bercanda Masumi." Maya menggeram lagi.
"Baiklah Maya, aku pergi." Masumi berdiri dan memakai jasnya, "Demammu sudah turun tapi sebaiknya kau beristirahat hari ini. Besok kau ada jadwal syuting."
Maya membuka mulutnya untuk protes mengenai Masumi yang menghapal jadwalnya tapi kemudian tak satu katapun keluar dan akhirnya menutup kembali mulutnya, mengerucutkannya seraya melipat tangan di dada.
"Jaga dirimu. Aku pergi."
Maya tak bisa mengelak ketika Masumi meraih tengkuknya dan memberikannya sebuah kecupan singkat di kening, pencuri ciuman seperti biasa.
Kesal. Maya menghentakkan kakinya menuju tempat tidur setelah Masumi keluar dari kamarnya. Mengabaikan kepalanya yang berdenyut dan menghempaskan dirinya di tempat tidur.
"KECOA MENYEBALKAN!" Raung Maya yang menyebabkan gema di kamarnya.
Masumi yang baru saja hendak keluar, mematung di ambang pintu depan, menahan tawa.
"Ya, aku memang kecoa tampan menyebalkan," kekehnya.
***
"Rapat pukul sebelas besok dengan bagian produksi sepertinya harus di alihkan pukul dua karena anda harus menghadiri undangan dari Direktur TV Asahi. Pembukaan gedung baru mereka, undangannya memang mendadak tapi anda harus datang." Mizuki mengamati ekspresi Masumi begitu selesai menjelaskan perubahan jadwal yang disusunnya. Sudah merupakan rutinitas pagi bagi keduanya untuk memeriksa ulang semua jadwal sebelum mulai bekerja.
"Baiklah," jawab Masumi singkat, "ada yang lain?"
"Sepertinya tidak untuk saat ini. Apa anda ingin ada perubahan lain?"
Masumi mengernyit dengan pertanyaan sekretarisnya yang terdengar ganjil.
"Maksud saya, bukankah Nyonya baru saja keluar dari rumah sakit kemarin. Apa anda tidak berniat mengambil cuti untuk menemaninya?" Jelas Mizuki.
Masumi menghela napas, "Jangan bercanda." Desahnya kesal.
"Saya tidak sedang bercanda Tuan. Anda seharusnya memasang telinga untuk semua bisikan di luar sana. Anda bahkan tetap berada di kantor saat Nyonya di rumah sakit dan sekarang...maaf, saya mohon, pikirkan juga reputasi anda sebagai menantu dari keluarga Takamiya." Tidak salah jika Mizuki menjadi orang kepercayaan Masumi karena memang otaknya begitu brilian memikirkan banyak hal detail yang tak sempat lagi dipedulikan Masumi.
Setiap perkataan Mizuki berputar di dalam otak Masumi. Ya, sekali lagi sekretarisnya itu tidak salah. Shiori di rawat selama tiga hari dan Masumi hanya mengunjunginya sesekali waktu. Memang tidak sepenuhnya salah Masumi karena memang Shiori tidak menginginkan kehadirannya. Tapi publik tidak tahu hal itu. Masumi tetap berada di kantor seperti biasa dan tidak heran jika orang-orang disekelilingnya kemudian mencibirnya. Predikat gila kerjanya tentu saja tidak bisa menjadi alasan untuk mengabaikan istrinya bukan?
Helaan napas panjang lolos dari bibir sang Direktur Utama, "Biarlah, aku tidak mau memikirkannya."
"Tapi Tuan-,"
Mizuki berhenti saat Masumi mengangkat tangannya.
"Saya permisi."
Masumi menganggukkan kepala dan Mizuki berbalik pergi meninggalkannya. Tak mau memikirkan semuanya lebih lagi, Masumi memilih tenggelam di antara tumpukan pekerjaannya yang menggunung.
Tak terasa pagi beranjak siang. Sungguh waktu adalah sesuatu yang tidak bisa di lawan. Masumi merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Intercomnya yang berdering mendapat lirikan mata Masumi.
"Ya, Mizuki?" Tanyanya datar.
"Nyonya ingin bicara dengan anda di saluran empat," jelas sang sekretaris.
Shiori? "Sambungkan," jawabnya enggan.
"Baik Tuan."
Dan saat terdengar dering lain dari intercomnya, Masumi segera menjawab.
"Halo, Shiori?"
"Aku harap aku tidak mengganggumu,"
Nada sarkastik Shiori hampir membuat Masumi berdecak kesal.
"Tidak, ada apa? Tidak biasanya kau menghubungiku. Ada yang penting?" Tanya Masumi lagi, berusaha tetap tenang.
Kekehan Shiori terdengar, "Apa harus ada yang penting jika seorang istri ingin menghubungi suaminya?" Shiori terkekeh lagi saat Masumi hanya diam.
"Baiklah, lupakan apa yang aku katakan. Kali ini memang ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Boleh aku ke kantormu setelah makan siang? Tidak lama, lima menit?"
"Tentu," jawab Masumi singkat meski sekarang tanda tanya besar menggantung di dalam kepalanya.
"Baiklah, aku janji tidak lebih dari lima menit. Sampai jumpa...suamiku."
Masumi tahu Shiori tengah mengolok-oloknya, "Sampai jumpa," akhirnya hanya itu yang bisa diucapkan Masumi sebelum menutup teleponnya.
Masumi melewatkan jam makan siang dan kembali menekuni pekerjaannya. Mizuki yang menawarinya makan siang pun di tolaknya.
Pukul satu tiga puluh, pintu kantor Masumi diketuk dan dia tidak perlu bertanya siapa tamunya.
"Masuk," seru Masumi.
Mizuki yang pertama terlihat saat pintu terbuka, mengangguk hormat lalu membiarkan tamu, sang Nyonya Muda, masuk.
"Anda ingin secangkir teh Nyonya?" Mizuki menawarkan setelah Shiori duduk di sofa tamu.
"Tidak Mizuki, terima kasih. Aku hanya sebentar, lima menit?" Ucap Shiori seraya melempar sebuah senyum pada Masumi yang berjalan ke arahnya.
Mizuki memandang tidak mengerti pada Masumi dan Shiori. Tahu bukan urusannya, diapun permisi, menghilang di balik pintu yang tertutup.
"Apa kau sudah merasa sehat untuk bepergian seperti ini?" Tanya Masumi yang kemudian duduk di sebelah Shiori.
"Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja." Jawab Shiori, "Baiklah, aku tidak mau berbasa-basi denganmu dan mengganggu jam kerjamu. Ini." Shiori memberikan sebuah amplop besar berwarna putih.
"Apa ini?" Tanya Masumi seraya menerima amplop itu.
"Bacalah, tanda tangani dan pengacaraku akan mengambilnya." Kata Shiori yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Masumi.
Berdiri, Shiori menatap tajam suaminya yang tampak bingung.
"Kau mau pergi?" Masumi semakin merasa bingung dengan sikap Shiori.
"Ya, bukankah aku berjanji tidak akan lama? Lima menit." Tegas Shiori, "Apa kau keberatan aku pergi?" Shiori terkekeh.
Masumi merasakan hal yang berbeda dari istrinya saat ini. Tatapan mata Shiori tampak penuh luka tapi juga ada kemarahan di sana.
Shiori merapatkan dirinya pada Masumi, memeluknya. Sang suami hanya bergeming.
"Setiap hari," lirih Shiori dengan wajah bersandar pada dada suaminya, "Setiap hari aku memimpikan hal ini. Bisa memelukmu, menciummu, merasakan kasih darimu." Shiori menghela napas, "tapi rasanya semua itu memang hanya mimpi. Kau tidak akan melakukannya kan? Memelukku? Menciumku?"
Shiori terkekeh pelan saat suaranya terdengar parau. Masumi tahu istrinya tengah menahan tangis. Rasa bersalah kembali merayapi hati Masumi. Dia tahu dirinya sudah berlaku kejam pada Shiori. Perlahan tangannya bergerak, memeluk tubuh yang kini mulai bergetar. Ya, Shiori menangis dalam pelukan Masumi. Entah kenapa hati Masumi ikut sesak merasakannya. Sejak usaha bunuh dirinya dulu, Shiori tidak pernah lagi terlihat serapuh ini di depannya.
"Masumi, aku mencintaimu, sangat mencintaimu," kata Shiori di tengah isaknya. Masumi mengeratkan pelukannya dan mengusap perlahan kepala istrinya.
"Maafkan aku," bisik Masumi kemudian, hanya itu yang bisa diucapkannya.
Shiori mengangkat wajahnya. Kedua mata mereka bertemu pandang.
"Boleh aku meminta sesuatu? Untuk yang terakhir." Kata Shiori.
Masumi hanya mengangguk, entah karena simpati atau perasaan iba, Masumi berniat akan menuruti apapun itu permintaan Shiori. Sungguh air mata memang menjadi kelemahan seorang Masumi Hayami.
"Cium aku, sebagai istrimu," pinta Shiori.
Masumi bergeming, pelukannya sedikit melonggar dan gurat kecewa langsung tersirat di mata istrinya. Shiori menundukkan kepalanya tapi jemari Masumi meraih dagunya dan kembali menegakkan wajah itu untuk menatapnya.
Masumi menyeka air mata Shiori dengan ibu jarinya. Meraih dengan lembut tengkuk Shiori dengan tangannya yang lain dan meniadakan jarak diantara mereka.
Mata Shiori terpejam saat merasakan hangatnya bibir Masumi yang menekan bibirnya. Sentuhan yang selalu diimpikannya. Tidak sekedar mengecupnya, Masumi melumat lembut bibir istrinya. Shiori membiarkan sebuah desahan lolos dari bibirnya ketika lidah Masumi memasuki mulutnya, memujanya, memberikan apa yang tidak pernah diterimanya. Entah berapa lama bibir keduanya tengah berpagut, saling berbagi kehangatan.
Shiori merasakan hatinya membuncah karena kebahagiaan. Kakinya lemas karena sensasi yang dirasakannya. Shiori hampir saja terduduk di lantai kalau saja Masumi tidak memeluk erat pinggulnya. Napas Shiori yang semakin pendek membuat Masumi melepaskan bibir istrinya.
"Maaf," sekali lagi hanya itu yang bisa diucapkan oleh Masumi. Dirinya juga tidak bisa memberikan lebih daripada apa yang sudah dilakukannya. Dibelainya wajah Shiori yang memerah. Lengannya masih memeluk tubuh istrinya yang ringkih sampai dirasanya wanita itu kembali menegakkan kedua kakinya dengan kokoh. Masumi melepaskan pelukannya.
"Terima kasih," sebuah senyum tulus terurai di bibir Shiori dan Masumi membalas dengan hal yang sama.
Shiori mengambil dua langkah kebelakang lalu membungkukkan tubuhnya, "Selamat tinggal, Masumi."
Masumi tersentak dengan ucapan Shiori. Belum sempat bibirnya terbuka untuk melontarkan pertanyaan, istrinya sudah berbalik dan berlari meninggalkan kantornya.
Suara pintu tertutup menyadarkan Masumi akan apa yang baru saja terjadi. Matanya kemudian beralih pada amplop putih yang tergeletak di meja.
Bacalah, tanda tangani dan pengacaraku akan mengambilnya.
Perkataan Shiori menggema di dalam kepalanya. Tidak perlu membuka isi amplop, Masumi sudah tahu. Mengerti sepenuhnya. Kedua tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuhnya.
Shiori?! Maafkan aku.
Entah bagaimana mendiskripsikan perasaan Masumi saat ini. Sedih? Terluka? Atau bahagia? Entahlah, yang pasti akan ada hal besar yang akan dihadapi Masumi setelah dirinya menandatangani surat...surat pembebasannya.
***
Masumi menghempaskan dirinya di tempat tidur dengan wajah lelah. Namun berbeda dengan kelihatannya, hati Masumi sekarang terasa lega. Mengusap perlahan pipinya yang sekarang tampak merah, Masumi bahkan tersenyum saat teringat rasa panas yang tadi dirasakannya. Kenapa? Bukankah tidak heran jika Masumi mendapat sebuah tamparan dari Tenno Takamiya setelah melihat cucu kesayangannya kembali ke kediaman Takamiya.
Masumi tak menyangka kalau Shiori langsung membereskan barang-barangnya dan meninggalkan rumah setelah menyerahkan surat cerai di kantornya. Alhasil, Masumi harus berhadapan dengan keluarga Takamiya lebih cepat dari apa yang diperkirakannya.
Tak hanya itu, Eisuke ternyata sudah menunggunya di rumah begitu Masumi kembali dari kediaman Takamiya. Tak pelak makian dan tamparan kembali di terimanya. Eisuke menolak mentah-mentah kesepekatan cerai antara Masumi dan Shiori. Dia mendesak Masumi untuk membujuk Shiori kembali. Tak ayal, sebuah ancaman dilayangkan pada putra semata wayangnya itu. Di keluarkan dari keluarga Hayami? Masumi menahan tawanya meledak mendengar kalimat itu terlontar dari ayahnya. Apakah itu ancaman ataukah sebuah berita sukacita. Tentu saja Masumi akan sangat bahagia jika hal itu benar-benar terjadi. Menjadi bagian keluarga Hayami bukanlah impiannya.
Desahan panjang mengakhiri lamunan Masumi. Menoleh untuk melihat sisi lain tempat tidurnya yang kosong, Masumi justru tersenyum. Apakah wajar merasa bahagia atas tuntutan cerai yang baru saja diterimanya? Masumi tidak peduli jika benar-benar di anggap gila oleh keseluruhan masyarakat Jepang. Bukankah ini yang diinginkannya? Sekarang semua jalannya tampak terbuka tanpa perlu memikirkan bagaimana caranya. Hal penting yang harus dipikirkannya saat ini adalah bagaimana caranya melindungi Maya jika hubungannya dan Maya mulai tercium media.
Masumi harus bersabar sedikit lagi, ya, dia harus bersabar. Masumi tidak boleh gegabah sehingga melibatkan Maya dalam masalah peliknya. Setidaknya sampai masalah perceraiannya selesai dan keluarga Takamiya juga ayahnya bisa menerimanya.
Menutup mata tanpa ingin membersihkan dirinya terlebih dulu, Masumi hanya ingin terlelap, melepaskan penatnya agar esok hari dirinya dapat kembali menatap dunia dengan pikiran tenang. Dengan harapan baru. Ya, seterjal apapun jalannya nanti Masumi tidak akan menyerah karena dia tahu, di ujung jalannya Maya menanti. Cintanya, kekasih hatinya, impian dan masa depannya. Maya.
***
Masumi terkejut melihat pintu kantornya mendadak terbuka dan seorang gadis masuk dengan raut wajah penuh amarah. Keningnya berkerut, menatap heran pada gadis yang bertindak di luar kebiasaannya. Oke, dia dan Maya memang sering bertengkar tapi tidak biasanya gadis itu tiba-tiba menerobos masuk ke kantornya terlebih dengan ekspresi seperti hendak menelannya bulat-bulat.
"Maya?" Segera Masumi berdiri dari kursi kerjanya namun ketika hendak melangkah untuk mendekati Maya, gadis itu justru lebih dulu menghampirinya dan melempar surat kabar -yang tampak kusut karena cengkraman tangannya- ke atas meja kerja.
Tidak perlu penjelasan bagi Masumi untuk tahu apa maksud tindakan Maya. Headline surat kabar yang tercetak tebal dengan tinta hitam sudah menjelaskan semuanya.
"Apa artinya ini?" Desis Maya marah.
Masumi melayangkan pandangannya pada sosok wanita di belakang Maya, Mizuki, sekretarisnya yang kini menatap bingung padanya. Dengan sebuah isyarat tangan, Masumi meminta Mizuki keluar. Tanpa kata sang sekretaris mengangguk lalu berbalik meninggalkan ruangan, memikirkan beberapa jadwal yang mungkin harus dialihkannya karena atasannya pasti butuh waktu untuk menyelesaikan 'apapun masalahnya' bersama Maya.
"Jadi," Masumi berjalan memutari meja lalu berdiri di depan gadisnya, "karena masalah ini kau datang?" sebuah senyum tersungging di bibir Masumi.
Maya mendengus kesal, "Ini bukan lelucon Masumi!"
"Aku tidak mengatakan ini lelucon Maya," sanggah Masumi. Entah apa yang dipikirkan Direktur Muda itu, ekspresi senang justru tergambar di wajahnya melihat kemarahan Maya.
"Bukan lelucon? Lalu apa namanya? Hidup bukan sebuah permainan yang bisa kau atur sesuka hati, Masumi." bentak Maya lagi, kedua tangan mungilnya mengepal untuk menahan getaran dan hasrat untuk memukul pria yang justru tersenyum di depannya.
"Duduklah, aku akan jelaskan padamu." kata Masumi.
"Duduk?" Maya kembali mendesis tidak suka.
"Aku tidak bisa menjelaskannya kalau kau tidak tenang say-, Maya," kilah Masumi.
Maya memutar bola matanya dengan kesal. Mau tidak mau dia berjalan ke arah sofa tamu dan menghempaskan dirinya. Dia butuh penjelasan masuk akal atas berita yang menjadi headline di semua media pagi ini.
Masumi mengambil surat kabar dari atas meja lalu duduk di samping Maya, meletakkan kembali surat kabar di atas meja tamu. Maya menahan diri untuk tidak merutuki Masumi yang tampak senang membaca setiap tulisan yang tertera di surat kabar. PERNIKAHAN PANGERAN DAITO DAN PUTRI TAKATSU KANDAS, begitulah bunyi headline yang membuat Maya meradang. Sungguh, meski dalam hati kecilnya saat ini, Maya tengah bersorak gembira tapi akal sehatnya masih bisa berpikir lurus. Dia tahu kalau sesuatu tengah berjalan tidak pada tempatnya dan sebuah konsekuensi besar menanti di depan sana.
Andai Masumi tahu begitu banyak hal yang saat ini tengah di takutkan Maya, bukan tentang dirinya tapi tentang pria yang ada di sampingnya. Maya rela melakukan dan berkorban apapun untuk keselamatan dan kebahagiaan Masumi dan...berita ini...Maya tidak sanggup membayangkan apa yang akan dilakukan Eisuke ataupun keluarga Takamiya ke depannya.
Sebuah desahan putus asa lolos dari bibir mungil Maya, menarik Masumi untuk mengamati gadisnya alih-alih menekuni surat kabar kusut di atas meja.
"Kau takut Maya?" tanya Masumi yang mencoba membaca ekspresi wajah Maya.
Maya terdiam, kepalanya tertunduk dengan kedua tangan bertaut di atas lutut.
"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," ucap Masumi menenangkan seraya mengusap lembut bahu Maya.
Mengusap wajah dengan kedua tangannya, Maya kembali menghela napas panjang, "Aku tidak mau hal buruk menimpamu Masumi." desah Maya.
Masumi diam mencerna perkataan Maya. Sesuatu buruk menimpanya? Masumi mengulang kembali kalimat itu di dalam kepalanya.
"Siapa yang mengancammu Maya?" Sebuah kesimpulan muncul dalam kepala Masumi, ekspresi tenangnya seketika berubah. Garis wajah Masumi berubah keras dan matanya menatap tajam sepasang mata bulat Maya yang tampak sendu menahan air mata.
***
>>Bersambung<<
>>Pure Love - Chapter 3<<
>>Pure Love - Chapter 5<<
"Menikahlah denganku,”
Praangg!! Piring terlepas dari tangan Maya yang kini hanya bisa membatu.
Masumi membiarkan saja gadisnya diam seribu bahasa. Dia masih tetap memeluk Maya dan tidak berniat meralat permintaan gilanya.
Dug!
"Auch!" Masumi mengusap tulang rusuknya yang baru saja disapa oleh siku Maya. Mau tidak mau dia melonggarkan pelukannya dan Maya langsung membasuh tangannya, meloloskan diri dari pelukan Masumi.
"Maya!" Protes Masumi.
Gadisnya masih diam, berjalan ke arah meja makan, menarik kursi dan menghempaskan dirinya dengan kesal.
"Kau gila," desis Maya kesal seraya menopang kepalanya yang terasa berat karena ulah Masumi.
Masumi menarik kursi di sebelah Maya dan duduk menghadap kekasihnya, meminta Maya untuk menatapnya.
"Aku tidak gila," katanya dengan menggenggam ke dua tangan Maya.
"Tidak gila? Lalu apa namanya kalau seorang pria beristri melamar mantan kekasihnya?" Dengus Maya kesal. Ditariknya tangannya dari genggaman Masumi dan melipatnya di depan dada. Berputar pada kursinya, Maya enggan menatap Masumi.
"Ya memang gila kalau kau menjabarkannya seperti itu tapi sungguh Maya, aku masih sangat mencintaimu dan aku tidak tahan lagi dengan semua sandiwara ini." Masumi juga berputar menghadap meja, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi seraya mengacak rambut lebatnya.
"Kau sudah memutuskan Masumi, tidak ada gunanya menyesal sekarang. Kau sudah menikah," kata Maya tenang. Berusaha meletakkan logika dan kenyataan diantara mereka. Meski begitu, dia masih enggan menatap wajah Masumi.
"Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semuanya Maya." Jawab Masumi, kali ini egonya yang berbicara. Dalam kepala Masumi sekarang sudah tersusun berbagai rencana agar dirinya bisa kembali bersama Maya.
Maya mendesah pelan, frustasi.
"Kau masih mencintaiku kan?" Memiringkan kepala, Masumi mencoba membaca ekspresi wajah Maya.
Sepasang mata bulat itu akhirnya menatap Masumi, kesal, "Itu bukan alasan untuk membenarkan ide gilamu."
Mata Masumi mengikuti gerakan Maya yang tiba-tiba berdiri lalu berjalan ke arah lemari es. Mengambil sebuah botol minuman mineral, Maya langsung meneguk setengah isinya, mencoba mendinginkan hati dan kepalanya.
"Aku tidak meminta pembenaran. Setidaknya aku berusaha melakukan hal yang benar," jawab Masumi.
"Hanya kau yang menganggapnya sebuah kebenaran Masumi. Dunia akan melihat itu sebagai sebuah kesalahan," Maya menyipitkan mata saat Masumi kembali menghampirinya dan memeluk pinggangnya, memberinya sebuah kecupan ringan di belakang kepalanya. Sungguh Maya tidak ingin menjadi seorang munafik yang menampik semua kehangatan yang diberikan Masumi hanya saja pikirannya tidak berhenti untuk menyalahkannya, semuanya adalah sebuah kesalahan.
"Aku akan berpisah dengan Shiori," bisik Masumi dari belakang telinga Maya.
Maya tak lagi terkejut dengan pernyataan pria yang tengah memeluknya.
"Jangan mempertaruhkan hidupmu Masumi," Maya balas berbisik.
"Aku tidak peduli, aku hanya ingin bisa bersamamu. Apa aku terlalu egois Maya?" Bisik Masumi lagi.
Ingin rasanya Maya berkata tidak tapi dia tahu pasti apa konsekuensinya jika dirinya sepakat dengan Masumi.
"Sebaiknya kau pulang Masumi. Nyonya Shiori pasti mencarimu," menarik lengan Masumi dari pinggangnya, Maya memberi jarak tubuhnya dengan Masumi.
Masumi hanya bisa diam dan melihat Maya berjalan ke arah sofa ruang tamu, mengambil mantelnya dan kembali menghampirinya.
"Sebaiknya kau berhati-hati saat keluar nanti. Aku tidak mau fotomu terpampang di media saat keluar dari apartemenku terlebih dengan pakaian seperti ini," kata Maya datar seraya mengulurkan mantel Masumi.
Mengerti bahwa bukan saatnya untuk berdebat dengan Maya, Masumi memilih untuk menuruti keinginan gadisnya. Mata Masumi tak lepas memandang Maya meski dirinya tengah sibuk memakai mantel.
"Aku pergi," tanpa meminta ijin, Masumi meraih tengkuk Maya, memberinya sebuah kecupan manis di sudut bibir dan berakhir pada kecupan hangat di puncak kepala. Kakinya segera berjalan ke arah pintu tanpa menoleh lagi pada Maya. Masumi tak lagi melihat saat butiran kristal bening jatuh dari sudut mata gadisnya dan jemari Maya mengusap lembut sudut bibirnya dengan ekspresi penuh luka.
***
Plak!
Telapak tangan Shiori segera menyapa sisi wajah Masumi begitu suaminya memasuki kamar mereka. Sungguh salam penyambutan yang mengejutkan, kilat kemarahan jelas terlihat di mata Shiori.
"Begitukah caramu memperlakukan istrimu Masumi?" Shiori meradang.
Seringai tipis menghias sudut bibir Masumi, "Kau juga menggunakan cara licik untuk menjebakku."
Mata Shiori melebar, "Menjebakmu? Aku istrimu Masumi Hayami! AKU BERHAK ATASMU!"
Seketika Masumi tertawa, sarkastik. Dia berjalan ke arah sofa dan mendudukkan dirinya seraya memegangi perutnya, masih dengan tawa yang sama.
"Sial!" Desis Shiori lirih namun sarat emosi. Membalikkan tubuhnya, Shiori memandang geram suaminya.
"Puas kau mengolok-olokku?!" Tanya Shiori dengan nada ketus, melipat tangannya di depan dada.
"Aku tidak mengolok-olokmu, kau yang mengolok-olok dirimu sendiri Shiori. Ya Tuhan, kau mencampur minuman dengan obat perangsang?" Masumi menggeleng seraya menyeringai, matanya menatap tajam Shiori, "Aku tidak pernah menyangka kau bisa merencanakan semua itu. Tapi seharusnya aku tidak perlu terkejut," Masumi menghela napas, berdiri lalu berjalan menghampiri Shiori, berhenti tepat dua langkah di depan istrinya.
"Seharusnya aku tahu wanita seperti apa dirimu. Wanita yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Apa kau pikir kau bisa memilikiku dengan cara licikmu itu Shiori?" Masumi kembali menyeringai, "Jangan terbang terlalu tinggi, akan sakit rasanya jika terjatuh," desisnya tepat di depan wajah istrinya.
Masumi berputar dan meninggalkan Shiori, baru saja dia akan meraih handle pintu ketika tawa Shiori menggema di dalam kamar. Memiringkan kepalanya, Masumi melihat istrinya tengah terbahak tanpa alasan jelas. Keningnya berkerut begitu mata mereka beradu pandang.
"Ya, kau benar," kata Shiori begitu selesai dengan tawanya, kakinya melangkah untuk mendekat pada suaminya, "Aku memang wanita yang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Dan kau Masumi Hayami, sudah membuatku begitu marah dengan semua permainan ini. Kau pikir-,"
"Kau sendiri yang memulai permainan ini Shiori," potong Masumi cepat. Shiori membelalak marah.
"Kau lupa?" Masumi membalikkan tubuh menghadap Shiori, "Kau yang memaksaku untuk memulai semua permainan ini. Pernikahan palsu ini. Demi obsesi gilamu padaku yang kau atas namakan sebagai cinta." Masumi kembali menyeringai, "Aku hanya mengikuti keinginanmu Shiori. Menjadikanmu istri di atas kertas dan dihadapan masyarakat tapi kau seharusnya tahu bahwa tubuh dan jiwaku bukanlah milikmu. Tidak akan pernah menjadi milikmu," Masumi menekankan kalimat terakhirnya dengan begitu jelas, membuat Shiori mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya.
Sekuat tenaga Shiori menahan diri untuk tidak memaki dan memukul suaminya, rasanya percuma, dia kalah telak. Kesabarannya sudah mencapai puncak, penolakan Masumi atas dirinya sudah meluluhlantakkan rasa yang dulu dia sebut sebagai cinta. Kini hanya amarah yang terasa membakar hatinya, membakar habis cintanya.
"Kau tahu Masumi, cinta dan benci hanya dibatasi oleh selaput tipis. Keduanya sangat mudah bertukar tempat," kata Shiori tenang setelah berhasil meredakan emosinya.
Masumi terdiam.
"Jika karena cinta aku rela melakukan segalanya, apa kau tidak pernah berpikir sebaliknya?" Kali ini Shiori tersenyum tapi Masumi tahu pasti apa makna senyuman itu. Shiori meraih handle pintu dan melawati Masumi begitu saja. Mengabaikan ekspresi keras suaminya yang bergeming di dekat pintu.
Apalagi yang kau rencanakan Shiori?
***
Suara tangis terdengar di ruang tengah apartemen Maya. Apakah Maya menangis? Tidak, dia sedang tidak menangis. Itu adalah suara aktris yang tengah bermain drama di televisi.
Maya berbaring di sofa dengan mata menatap lurus pada layar televisi, mengamati setiap gerak sang aktris.
Entah sudah berapa lama Maya menghabiskan waktu liburnya seperti itu. Sejak Masumi pergi, dia sama sekali tidak berminat untuk melakukan apapun. Berbaring dan mengalihkan pikiran, hanya itu yang dilakukannya. Bersyukurlah kalau drama selalu bisa mengalihkan pikirannya dari masalah hidupnya yang kompleks.
Kredit title yang mulai berjalan di layar menuai desah panjang dari Maya. Matanya beralih dari layar kaca pada langit-langit apartemennya, sekali lagi mendesah panjang. Apa yang dikatakan Masumi pagi tadi kembali menjadi fokus pemikirannya. Pernikahan? Jujur, hati Maya membuncah mendengar lamaran Masumi tapi dia tahu itu hanya sebuah khayalan. Kekasihnya, mawar ungunya, pahlawan hatinya sudah menjadi milik orang lain. Dirinya tidak mungkin menjadi orang ketiga, merusak rumah tangga orang lain. Maya cukup tahu diri, siapa dirinya dan siapa Masumi dan Shiori.
Maya menghela napas lagi. Andai, andai dirinya bisa memutar ulang waktu. Andai dirinya tahu lebih awal tentang semua kebaikan Masumi. Andai kebodohannya tidak menghalangi semua kebenaran mengenai cinta Masumi. Segala pengandaian itu memenuhi kepalanya, berdesak-desakan dengan pemikiran mengenai apa yang dikatakan Masumi. Sungguh terlalu sulit baginya untuk melupakan semua itu.
Dilema. Satu sisi hatinya ingin lamaran itu menjadi kenyataan tapi di sisi lain ada penghakiman dan ketakutan akan konsekuensi yang ada di depan.
Mengusap wajah dengan kedua tangan, Maya duduk dan menyandarkan diri pada sofa. Lelah. Semua pemikiran itu membuatnya lelah. Tak pernah terbayang di benaknya kalau hidupnya akan menjadi serumit ini. Impiannya menjadi Bidadari Merah sudah tercapai tetapi kehidupan nyatanya tak seindah karier dunia panggungnya.
Teet! Teet!
Maya tersentak ketika suara bel apartemen menariknya dari lamunan panjang. Kedua alisnya bertaut begitu matanya melihat angka yang ditunjukkan oleh jarum jam. Pukul dua siang. Siapa yang mengunjunginya di hari libur? Manajernya, Nona Midorikawa, sedang berada di Chiba untuk mengurus masalah kontrak baru Maya dengan perusahaan parfum. Dia tidak memiliki janji dengan Rei atau, hhmm, tidak juga untuk Koji. Maya sangat berharap bukan pemuda itu yang dapat. Dirinya tidak sedang dalam kondisi siap untuk bertemu Koji.
Suara bel kembali berbunyi untuk yang ketiga kalinya. Alih-alih memikirkan lagi siapa yang mungkin datang, Maya akhirnya beranjak dan berjalan ke arah pintu.
"Selamat siang Maya."
Sebuah sapaan ramah langsung menyambutnya begitu Maya membuka pintu. Matanya membulat karena terkejut. Sama sekali tidak terlintas di dalam kepalanya mengenai sosok yang sekarang berdiri di hadapannya. Tanpa sadar Maya menelan ludah perlahan, membasahi tenggorokannya yang terasa kering, membuatnya sulit bersuara -lebih karena terkejut sebenarnya-.
"Apa kau tidak akan mempersilakan tamumu untuk masuk Nona Kitajima?" Kalimat sarkastik itu membuat pipi Maya memerah karena malu.
"Ngh, maaf-, silakan-, masuk Nyonya Hayami." Ucap Maya gugup seraya membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan wanita yang dipanggilnya Nyonya Hayami itu masuk.
Maya mengamati wanita yang mengenakan dress berwarna biru laut dengan renda menghiasi setiap tepiannya itu dengan heran. Apa alasan Nyonya muda itu datang mengunjunginya? Dan tidak biasanya Nyonya muda itu bepergian seorang diri. Apakah ini ada hubungannya dengan Masumi yang menginap semalam.
Sial! Maya merutuk dalam hati. Dia sama sekali tidak ingin terlibat dalam masalah sekarang. Pikirannya masih begitu penuh dengan dilema yang menyiksanya tanpa perlu ditambah dengan masalah -apapun itu- yang akan dibawa oleh Shiori.
"Apa aku mengganggumu Maya? Kelihatannya kau tidak suka dengan kunjungan mendadakku. Aku minta maaf kalau-,"
"Ah tidak Nyonya. Saya baru saja tidur siang saat anda datang, jadi...ya anda pasti tahu." Maya cepat menjelaskan ketika sepasang mata Shiori tampak setengah menyelidikinya.
Dari sudut mata Shiori melihat layar televisi yang menyala dan senyum tipis segera terulas di bibirnya, tahu Maya berbohong. Tapi Shiori tidak peduli, kedatangannya bukanlah untuk beramah tamah pada 'gadis pujaan' suaminya itu. Shiori merutuk dalam hati ketika istilah itu muncul dalam kepalanya.
"Silakan duduk Nyonya," Maya mempersilakan seraya melambaikan tangan, "apa anda ingin teh?"
Shiori mengangguk sopan, "Jika tidak merepotkan, terima kasih."
Maya mengulas sebuah senyum lalu berjalan ke dapur. Tidak butuh waktu lama untuk maya kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring kue. Meletakkannya di meja ruang tamu, Maya duduk berhadapan dengan Shiori.
"Apartemen yang bagus. Cocok untuk aktris kelas satu sepertimu." Kata shiori setelah menggumamkan terima kasih dan meneguk tehnya perlahan.
"Ng, iya, manajemen Daito yang memilihkannya untuk saya." Jawab Maya sungkan.
Shiori terkekeh, "Tentu saja mereka akan melakukan semua yang terbaik untukmu. Aku sangat mengerti betapa penting arti seorang Maya, ah, maaf, maksudku Bidadari Merah bagi Daito. Bukan begitu?"
Maya hampir saja tersedak tehnya, tahu pasti makna sebenarnya di balik ucapan Shiori.
"Anda terlalu memuji Nyonya." Jawab Maya datar, berusaha tetap tenang dan tidak terpancing ucapan Shiori.
Shiori menyeringai tipis mendengarnya.
"Apa kau tidak ingin bertanya kenapa aku datang menemuimu Maya?" Sepertinya Shiori enggan berbasa-basi sekarang. Sekali lagi meneguk tehnya, meletakkannya kembali ke meja, Nyonya Muda Hayami itu melayangkan pandangannya pada Maya, intens.
Maya menegakkan punggungnya dan membalas tatapan mata Shiori tanpa ragu, "Pasti ada sesuatu yang penting, bukan begitu Nyonya?"
"Tentu Maya, tentu." Shiori tersenyum, "Sesuatu yang penting. Kau pasti bisa menebak itu apa." Mata shiori berputar mengelilingi ruangan dimana dirinya berada, "Aku juga bisa menebak kalau semalam suamiku bermalam di sini."
Maya terhenyak tapi tetap berekspresi datar, diam.
Shiori terkekeh melihat wajah datar lawan bicaranya, "Tidak perlu bersandiwara Maya. Aku tahu pasti kemana tujuan suamiku, terlebih...dengan kondisi seperti semalam," kekehan datar kembali terdengar.
Kening Maya berkerut, tidak mengerti.
"Apa kalian menikmatinya semalam?"
Mata Maya membulat sempurna, "Apa maksud anda Nyonya!" Kata Maya dengan nada suara meninggi.
"Sudah ku katakan jangan berakting di depanku Kitajima!" Shiori balas berteriak. Dia bahkan sudah berdiri dengan jari teracung pada Maya.
"Aku tidak menyangka kau serendah itu. Menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain."
"Cukup Nyonya Hayami!" Maya ikut berdiri dengan marah, "Atas dasar apa anda datang ke tempat ini dan menuduh saya seperti itu!"
"Atas dasar apa?" Shiori terbahak, "Seorang pria yang tengah berada di bawah pengaruh obat perangsang datang mengunjungi simpanannya! Tidak perlu menjadi orang pintar untuk tahu apa yang mereka lakukan! Kau-, gadis murahan! Penggoda suami orang!"
Plak!
Tangan Maya menggantung di udara setelah telapak tangannya memberi warna kemerahan di pipi Shiori.
"Ka, kau...," Shiori tampak begitu shock dengan apa yang dilakukan Maya. Tangannya mengusap perlahan pipinya yang terasa panas.
"Anda tidak berhak merendahkan saya seperti itu Nyonya." Kata Maya kemudian, sepasang mata coklatnya menatap tajam Shiori, "Ya, Tuan Hayami memang datang semalam tapi tidak terjadi apapun diantara kami. Tuan Hayami bahkan tidur di sofa, jadi jangan pernah menuduh saya sebagai orang ketiga dalam rumah tangga anda. Kalau boleh jujur Nyonya, siapa sebenarnya yang menjadi orang ketiga dalam masalah ini?" Maya menyeringai, "lupakanlah, anda yang menang. Jadi tolong jangan injak harga diri saya lebih dari ini. Dengan hormat saya persilakan anda pergi Nyonya," tangan Maya melambai ke arah pintu.
Mata Shiori berkilat penuh amarah, tidak menyangka kalau gadis yang dianggapnya lugu itu bisa bersikap begitu arogan -menurutnya-. Tapi Shiori sadar dirinya tidak memiliki bukti untuk memojokkan Maya lebih jauh lagi. Pengakuan Maya sedikit membuatnya lega, setidaknya suaminya tidak tidur dengan Maya semalam. Shiori percaya? Ya, tentu saja dia percaya. Kesungguhan di mata Maya menegaskan kejujuran gadis itu. Lagipula dialah yang sering bersilat lidah, sehingga bisa dengan baik membedakan mana sebuah kebohongan dan mana sebuah kejujuran.
Shiori menegakkan dirinya di hadapan Maya, memperbaiki ekspresi wajahnya, tidak sudi terlihat lemah di depan rivalnya.
"Ingat Maya, jangan pernah bermimpi untuk bisa memiliki Masumi. Tidak akan pernah! Ingat, aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi!" Shiori menegaskan setiap kalimatnya dengan baik. Maya bergeming.
"Aku tahu kau tidak takut pada semua ancamanku tapi ingat Maya Kitajima, aku akan bermain pintar kali ini." Sudut bibir Shiori tertarik sehingga seringai tipis menghiasi wajahnya, "Kau tahu, kalau kau berani melawanku maka Masumi yang akan menjadi taruhannya."
Maya menggigit bibir bawahnya untuk menahan dirinya tidak berteriak dan memaki Nyonya muda yang ada dihadapannya. Seringai yang mencemooh pun berusaha di abaikannya. Masumi, hanya nama itu yang menjadi fokus pengendalian dirinya saat ini.
Hening seperti mencekik kedua sosok yang kini hanya bisa saling beradu pandang, sampai akhirnya Shiori meninggalkan apartemen Maya tanpa kata. Membiarkan Maya ditelan ketakutan dan kekhawatirannya.
***
Sabtu sore yang cerah dihabiskan Masumi di ruang kerjanya. Dia tengah asik membaca laporan kerja yang dikirim Mizuki, sekretarisnya, melalui email. Masumi tidak memiliki pilihan lain untuk menghabiskan waktu liburnya. Keluar dari ruang kerja hanya akan memberinya dua pilihan, bertemu Shiori atau melarikan diri 'lagi' ke apartemen Maya. Jelas dia akan memilih opsi ke dua. Dan Masumi masih cukup waras untuk tidak melakukannya. Mengunjungi Maya di siang hari memiliki resiko yang besar terlebih Shiori sedang marah sekarang. Masumi yakin kalau istrinya tahu dimana dia bermalam dan dia sudah meminta Hijiri untuk menjaga Maya untuknya. Setidaknya orang kepercayaannya itu akan memberi tahunya jika sesuatu terjadi pada Maya.
Suara ping keras tanda email masuk di handphonenya membuat Masumi mau tidak mau mengalihkan perhatiannya.
"Sial!" Masumi langsung merutuk begitu melihat foto yang terlampir di emailnya. Foto Shiori yang tengah berjalan keluar dari apartemen Maya.
Dengan cepat jemari panjang Masumi menekan sebuah tombol yang langsung tersambung dengan handphone Hijiri.
"Halo, Tuan," suara tenang segera menyapa gendang telinga Masumi.
"Apa yang terjadi?" Tanya Masumi tanpa basa-basi.
"Nyonya mengunjungi Nona Maya tapi tidak lama, dua puluh menit dan Nyonya sudah pergi. Saya sedang menuju lantai atas untuk memeriksa keadaan Nona Maya," jelas Hijiri.
Masumi bisa mendengar suara ping dari lift dan hatinya berharap cemas mengenai keadaan Maya. Keduanya masih siaga dengan handphone berada di telinga tapi tidak satupun dari mereka yang bicara. Hijiri tetap berjalan dengan tenang menuju kamar Maya sementara Masumi -yang telinganya tetap siaga- mencoba menghalau pikiran buruk yang melintas di dalam kepalanya.
Suara pintu yang terbuka membuat Masumi yakin kalau Hijiri sudah sampai di tujuannya.
"Bagaimana?" Tanya Masumi, gagal menyembunyikan kepanikan dalam suaranya.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Hijiri terdiam.
"Hijiri!" Desak Masumi tidak sabar.
"Nona Maya baik-baik saja Tuan," ucap Hijiri tenang disambut desahan napas lega dari tuannya. Berpesan untuk tetap waspada pada Hijiri, Masumi mematikan teleponnya.
Menghempaskan diri di kursi kerja, Masumi mengacak rambut dengan jemari panjangnya.
"Shiori, apa yang kau rencanakan? Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Maya." Gumam Masumi menahan amarah.
Sementara Masumi masih berkutat dengan pikirannya dan semua dugaan mengenai rencana istrinya, Hijiri masih bergeming di ambang pintu apartemen Maya. Matanya tidak menangkap sosok gadis yang dijaganya tapi telinganya mendengar suara isak tangis yang dia duga berasal dari ruang tengah.
Hijiri berbohong? Ya, dia tahu pasti kalau tuannya akan hilang akal jika dirinya menceritakan apa yang ada di depan matanya saat ini. Sebagai orang kepercayaan Masumi, Hijiri juga berusaha melakukan yang terbaik untuk tuannya. Akan sangat beresiko jika Masumi lepas kendali di saat yang tidak tepat.
Hijiri menutup pintu dan melangkahkan kakinya masuk. Dugaannya benar, Nonanya tengah berbaring di sofa panjang ruang tengah, terisak memeluk dirinya sendiri. Entah apa yang dilakukan Nyonya mudanya tapi dia tahu itu adalah sesuatu yang tidak baik.
Maya tetap bergeming melihat Hijiri datang. Tidak terkejut, tentu saja, Maya tahu kalau Hijiri masih terus mengawasinya.
Berlutut di dekat sofa, Hijiri mengusap lembut kepala Maya, nona yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri.
"Anda baik-baik saja?" Tanya Hijiri pelan.
Maya hanya mengengguk, menyeka butiran air mata dengan telapak tangannya.
"Minum?" Tanya Hijiri lagi.
Sekali lagi Maya hanya mengangguk.
Hijiri berjalan ke dapur untuk mengambil air dan Maya bangun, bersandar pada kepala sofa.
Hijiri kembali dan memberikan sebuah botol air mineral pada Maya. Nonanya itu langsung menghabiskan setengah isinya dalam sekali teguk.
"Terima kasih," gumam Maya seraya menyerahkan kembali botolnya pada Hijiri.
Meletakkan botol di meja, Hijiri kemudian duduk di sebelah Maya. Diam.
"Aku baik-baik saja," kata Maya kemudian dengan suara paraunya.
"Saya tahu anda akan berkata seperti itu meski keadaan anda mengatakan sebaliknya." Jawab Hijiri.
Maya terdiam beberapa saat sampai akhirnya dia kembali bicara, "Apa kak Hijiri melihatnya? Nyonya datang?"
Hijiri mengangguk, "Saya mengawasi semuanya. Sedikit kesulitan karena Nyonya juga membawa pengawal tapi saya harap Nyonya tidak menyakiti anda,"
Maya menggeleng, "Kami hanya berdebat dan aku...menamparnya," Maya setengah berbisik di akhir kalimatnya.
Hijiri tampak terkejut tapi dengan segera ekspresi datarnya kembali, tenang, "Hanya itu?"
Maya mengangguk.
"Saya rasa anda perlu istirahat sekarang. Boleh saya memanggil Nona Aoki untuk menemani anda malam ini?"
Maya menggeleng. Hijiri menghela napas, mencoba mengerti.
Maya beranjak dan berjalan dengan gontai ke kamarnya sementara Hijiri masih bergeming di sofa. Diam.
Tanpa sepengetahuan Hijiri, seseorang telah mengamati semua drama bisu yang terjadi hari itu dari kejauhan. Seorang pria berbalut jas hitam yang merekam dengan sempurna keluar masuknya Shiori dan digantikan dengan Hijiri. Senyum tipis terulas di bibirnya sebelum dia memacu mobilnya meninggalkan apartemen Maya untuk memberikan laporan kepada tuannya.
***
"Tuan!" Takigawa masuk ke dalam ruang kerja Masumi dengan tergesa, wajahnya menyiratkan kepanikan.
"Ada apa Bi?" Tanya Masumi tenang, sedikit banyak bisa menebak jika sesuatu pasti telah terjadi dengan istrinya.
"Nyo, Nyonya, Tuan! Nyonya pingsan dan sekarang sedang di bawa ke rumah sakit."
Masumi tidak terkejut melainkan justru menggeram menahan marah. Dia tahu apa yang menyebabkan istrinya kolaps.
"Siapkan mobil." Perintah Masumi kemudian. Membereskan dokumennya, Masumi berjalan keluar dari ruang kerja dengan wajah kesal sementara Takigawa dengan kepanikannya menjalankan perintah Masumi.
Shiori masih berada di dalam emergency room ketika Masumi dan Takigawa sampai di rumah sakit. Supir dan pengawal Shiori tampak siaga menunggu kabar tentang Nyonya mereka. Keduanya tampak terkejut begitu melihat Masumi datang.
"Apa yang terjadi?" Tanya Masumi datar pada pengawal Shiori, Hitachi.
"Nyonya tiba-tiba saja pingsan di dalam mobil Tuan. Saya sendiri juga belum tahu apa penyebabnya." Jelas Hitachi.
"Kalian pergi ke mana?" Tanya Masumi basa-basi, jelas dia tahu kemana tujuan pergi istrinya.
"Kami-,"
"Nyonya ingin pergi mengunjungi Tuan juga Tuan Besar di kediaman Takamiya," potong Takigawa cepat, wajahnya diatur sedatar mungkin untuk menutupi kebohongannya. Hitachi tampak bingung tapi kemudian hanya mengangguk dan seringai tipis terulas di sudut bibir Masumi.
Pintu emergency room yang terbuka mengalihkan perhatian semuanya.
"Tuan Hayami," panggil dokter yang keluar dengan didampingi oleh seorang perawat.
"Ya, saya dokter," demi sebuah sopan santun dan tanggung jawabnya sebagai suami, Masumi menghampiri sang dokter, "bagaimana keadaan istri saya?"
"Tekanan darah dan kadar hemoglobin Nyonya Hayami berada di bawah normal. Nyonya Hayami juga sepertinya kelelahan dan tidak mendapat istirahat yang cukup. Saya sarankan malam ini Nyonya opname." Jelas sang dokter.
Masumi mengangguk tanda setuju, "Lakukan yang terbaik dokter."
Sang dokter tersenyum menenangkan, "Tentu Tuan Hayami," jawabnya sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam emergency room bersama sang perawat.
"Bibi, apa kau sudah memberitahu ayah atau kakek?" Tanya Masumi.
"Ngh, su-sudah Tuan," jawab Takigawa gugup.
Masumi hanya mengangguk dalam diam, tidak heran dengan inisiatif yang diambil oleh bibi pengasuh istrinya itu.
"Baiklah, aku akan mengurus administrasinya," Masumi meninggalkan Takigawa dan mendapat tatapan heran dari ketiga orang yang ada di sana, betapa tenang seorang Masumi menghadapi istrinya yang tengah sakit.
Tidak membutuhkan waktu lama sampai Shiori ditempatkan di kamar rawat, sebuah kamar VVIP. Masumi duduk di sebelah tempat tidur istrinya sementara Takigawa berdiri dengan siaga di sisi lainnya.
Apa yang sebenarnya kau lakukan di apartemen Maya, Shiori?
Masumi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Melihat kondisi istrinya yang tengah terlelap membuat Masumi cukup bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Bukankah dirinya sudah merencanakan sebuah perpisahan? Mempertaruhkan segalanya agar bisa bersama Maya? Akh! Ternyata kenyataan memang tak pernah seindah khayalan. Dia tahu kalau istrinya pasti tengah merencanakan sesuatu dan apapun itu, dia tidak ingin Maya-nya dipertaruhkan dalam hal ini.
Suara pintu terbuka membuat Masumi menoleh. Bagus, seluruh keluarganya sudah datang. Dia harus mulai bersandiwara.
"Selamat sore, ayah, ibu, kakek." Sapa Masumi sopan pada kedua orang tua dan kakeknya.
Tuan BesarTakamiya mengangguk dan melewati Masumi begitu saja menuju tempat tidur dimana cucunya terbaring.
"Apa yang terjadi?" Tanya sang ibu.
"Dokter mengatakan kalau Shiori kelelahan," jawab Masumi singkat, menskip rentetan penjelasan dokter padanya dan meringkasnya dalam satu kata 'kelelahan'. Lagipula Masumi juga yakin kalau Shiori juga pasti tidak ingin kalau keluarganya tahu apa yang sudah terjadi sebenarnya.
"Takigawa, kenapa kau tidak menjaga cucuku dengan baik?" Tanya sang kakek dengan suara tenang namun sarat kemarahan.
Sang pengasuh hanya bisa membungkuk dalam seraya menggumamkan kata maaf.
"Apa dia belum sadar sejak tadi?" Giliran sang ayah yang bertanya.
"Shiori sudah sadar, hanya saja dokter sengaja memberinya obat penenang agar dia bisa beristirahat lebih lama," jelas Masumi.
Kedua orang tua Shiori tampak mengangguk, mengerti. Keduanya kemudian berdiri di sisi tempat tidur putri semata wayang mereka.
Masumi berdiri di sebelah Tuan Besar Takamiya dan mempersilakannya duduk di bangku yang tadi dipakainya.
"Masumi, aku mau kau menjaga cucuku dengan baik. Kondisinya memang lemah tapi aku harap kau bisa bersabar dengannya. Dia anak yang baik." Kata Tuan Besar Takamiya dengan mata tak lepas memandang wajah pucat Shiori.
Beberapa saat Masumi hanya bisa diam sampai akhirnya dia mengangguk, mengatakan bahwa dirinya akan menjaga Shiori dengan kedua tangan terkepal kuat disisi tubuhnya. Sekali lagi kebohongan dibuatnya.
Suasana tetap tenang, Shiori belum juga bangun meski bintang dan bulan sudah mulai bertahta di langit kota Tokyo. Keluarga Takamiya akhirnya pulang dengan sebelumnya berpesan agar Masumi memberi kabar mengenai perkembangan kesehatan Shiori. Takigawa mengantarkan tuan dan nyonyanya sampai ke depan pintu kamar.
Masumi hanya bisa menghempaskan dirinya di atas kursi ketika dirinya kembali ke sisi tempat tidur istrinya. Lelah. Hanya itu yang dirasakannya.
***
Kediaman Hayami.
Eisuke duduk di atas kursi roda, memandang halaman belakang rumahnya yang tertata indah. Dibelakangnya berdiri Asa, sang asisten pribadi, juga seorang pengawal lain yang baru saja datang dan memberikan sebuah amplop coklat sebagai laporan.
"Tuan besar."
"Ya, Asa?"
"Apa yang akan anda lakukan sekarang?"
Eisuke mendesah panjang, "Aku tidak menyangka kalau selama ini Masumi masih memerintahkan Hijiri menjadi pengawal gadis itu. Lebih gila lagi karena Masumi benar-benar mencintai gadis itu sampai mengabaikan istrinya."
Meski tak melihat ekspresi wajah tuannya tapi Asa tahu kalau Eisuke tengah menahan marah. Laporan yang baru saja di bawa oleh orang suruhannya memang sungguh mengejutkan. Siapa yang menyangka kalau ternyata Masumi Hayami, Direktur Utama Daito, pria dewasa yang menjadi incaran banyak wanita yang bahkan sudah menikah dengan pewaris grup Takatsu justru mempertahankan cintanya pada seorang gadis yang usianya lebih muda sepuluh tahun, Maya Kitajima, sang Bidadari Merah. Hal pelik lainnya adalah Shiori sekarang berada di rumah sakit. Takigawa sudah memberinya kabar. Asa tahu masalah ini tidak akan mudah untuk diselesaikan tapi percaya kalau tuannya saat ini pasti sedang memikirkan beberapa jalan keluar.
"Asa."
"Ya Tuan," maju beberapa langkah, Asa kini berdiri di sisi Eisuke.
"Siapkan mobil! Kita akan kerumah sakit untuk mengunjungi Shiori, sebelum itu kau hubungi Hijiri. Minta dia menemuiku malam ini."
"Baik Tuan,"
Asa mengangguk penuh hormat ketika Eisuke berputar pada kursi rodanya dan meninggalkan halaman belakang.
***
Suara air mendidih di dalam panci menjadi satu-satunya suara yang memecah keheningan di apartemen Maya senja itu. Hijiri tengah sibuk di dapur membuatkan sup untuk Maya. Wajahnya tampak tenang meski hatinya diliputi kekhawatiran.
Maya yang sama sekali tidak keluar dari kamarnya sejak bertemu dengan Shiori membuat Hijiri tidak tenang. Benar saja,
Betapa terkejutnya Hijiri ketika memasuki kamar Maya dan mendapati nonanya yang tengah terlelap itu ternyata demam tinggi. Hijiri segera mengompres Maya dan sekarang disinilah dirinya, di dapur, menyiapkan makan malam sebelum memberikan obat penurun panas.
Tapi bukan hal itu yang membuat Hijiri khawatir. Demam Maya pasti akan segera turun setelah nonanya itu meminum obat -semoga-. Sebuah panggilan mendadak untuk mengunjungi kediaman Hayami lah yang menjadi sumber kecemasannya. Hijiri merasa saat ini tidak ada hal penting yang bisa membuatnya di panggil untuk menemui Tuan besarnya, Eisuke. Dia mulai menerka-nerka dan semakin banyak dirinya berpikir, perasaannya semakin tidak tenang.
Makan malam untuk Maya sudah selesai. Hijiri menatanya di atas nampan dan membawanya ke kamar. Dilihatnya Maya masih tidur dengan kompres di dahinya. Perlahan dia duduk di tepi tempat tidur dan membangunkan nona mudanya.
"Nona, nona Maya," panggilnya seraya mengusap lembut bahu Maya.
Hanya lenguhan lirih yang terdengar dari bibir Maya dengan kedua mata masih tetap terpejam.
"Nona," sekali lagi Hijiri mencoba untuk membangunkannya.
Kelopak mata Maya membuka perlahan, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya dengan cahaya disekitarnya.
"Kak Hijiri," suara Maya seperti pita kaset rusak.
"Makan malam sudah siap. Anda harus makan lalu minum obat," kata Hijiri seraya mengambil kompres dari dahi Maya dan membantunya untuk duduk.
Maya hanya bisa menurut, kepalanya terasa seperti dipukuli dengan palu. Diapun menghabiskan makan malamnya dalam diam lalu meminum obatnya sebelum kembali berbaring.
"Saya akan panggil Nona Aoki untuk menemani Anda," kata Hijiri yang kembali mengompres Maya.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja." Maya menolak. Sepertinya sekarang dia lebih suka jika sendiri.
"Anda yakin?"
"Aku akan menghubungi Kak Hijiri jika terjadi sesuatu," Maya mencoba meyakinkan.
Ada panggilan dari Eisuke dan Hijiri menganggap itu lebih penting. Meski berat akhirnya Hijiri meninggalkan Maya sendiri di apartemennya, tentu saja setelah memberitahu tuannya -Masumi, pastinya- mengenai keadaan Maya.
Maya tak menghiraukan kecemasan Hijiri dan segera kembali terlelap begitu sang penjaganya itu pergi.
***
Masumi memijat pangkal hidung dengan jemari panjangnya. Tangannya menggenggam erat handphone yang hampir saja dia lempar ke dinding karena berita yang baru saja di terimanya.
Eisuke baru saja pulang menjenguk Shiori -yang masih belum sadar- dan setelah itu Hijiri memberinya laporan yang menyebalkan, Maya sakit dan panggilan mendadak dari ayahnya. Masumi mendadak dibuat pusing oleh semua kekacauan hari itu.
Pukul delapan malam, Masumi masih duduk di sisi tempat tidur istrinya, memikirkan jalan keluar dari masalahnya yang pelik.
"Unghh."
Sebuah rintihan menyentakkan Masumi dari lamunannya.
"Shiori?"
Kedua mata Shiori terbuka dan menatap lesu suaminya, "Masumi?"
"Bagaimana keadaanmu?"
Shiori diam, beberapa saat kemudian memalingkan wajah dari suaminya. Ingatannya langsung memutar ulang semua memori sebelum dirinya pingsan. Perdebatannya dengan Maya dan...tamparan gadis itu.
"Kau pergi ke apartemennya kan?" Lirih Shiori tiba-tiba tanpa menatap suaminya.
Masumi mengernyit dengan pertanyaan itu.
"Gadis itu mengatakannya padaku. Kau pergi ke tempatnya semalam," lirih Shiori lagi.
Masumi terhenyak, "Maya?"
Shiori menyeringai.
"Untuk apa kau datang menemuinya?" Tanya Masumi kemudian. Meski sebenarnya tidak ingin memulai pertengkaran dengan istrinya yang masih sakit tapi Shiori sendiri yang sudah membuka pembicaraan itu.
"Hanya ingin memastikan," jawab Shiori dengan suara yang lebih tegas, kali ini matanya menatap Masumi, tajam.
Masumi diam.
"Dimana Bibi?" Tanya Shiori yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Di ruang tamu," jawab Masumi singkat, dalam hati berdecak kesal dengan sikap istrinya.
"Tolong panggilkan bibi dan...," Shiori menghela napas, "sebaiknya kau pulang Masumi. Aku sedang tidak ingin melihatmu."
Tanpa kata Masumi segera berbalik dan meninggalkan istrinya. Berpesan pada Takigawa untuk menjaga istrinya dan memberi kabar kalau terjadi seuatu, Masumi meninggalkan rumah sakit.
"Nyonya," Takigawa yang masuk ke kamar tercekat melihat Shiori menangis.
"Sudah tidak ada harapan Bi. Tidak ada harapan." Lirih Shiori di tengah tangisnya, "Aku akan membalas semuanya Bi, aku akan membalas mereka semua."
Takigawa hanya bisa duduk tanpa berkata apa-apa. Dia tahu apa yang dirasakan Nyonyanya saat ini. Perih.
***
Katakan kalau saat ini Masumi adalah suami brengsek dan tidak bertanggung jawab. Sementara istrinya sakit dia justru berdiri di depan pintu apartemen kekasihnya yang...sayangnya juga tengah sakit. Tapi, bukan salahnya kan? Dia sudah berusaha mengendalikan diri kalau saja Shiori tidak mengusirnya. Anggaplah pria punya banyak alasan untuk mengelak tapi satu yang pasti, rasa cintanya pada Maya tidak sanggup untuk mengabaikan keadaan gadis itu sendirian, di tengah sakitnya. Paling tidak Shiori bersama Takigawa. Alasan yang masuk akal bukan?
Dan bukan Masumi Hayami namanya jika dia tidak bisa dengan mudah masuk ke apartemen Maya. 'Akses tanpa batas' sebut saja begitu. Jangan lupa kalau dialah yang membeli apartemen itu untuk Maya, jadi tidaklah aneh jika sekarang dia mempunyai kunci duplikatnya.
Masuk tanpa menimbulkan suara, Masumi langsung menuju kamar Maya. Di bawah temaram lampu tidur, Masumi bisa melihat wajah pucat gadisnya. Dia duduk di tepi tempat tidur, mengusap lembut wajah Maya. Jemarinya bisa merasakan panas tubuh Maya, keringat dingin membasahi kening gadis itu. Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir Maya dan gadis itu masih saja terlelap, tak terusik dengan ulah Masumi.
"Tuhan, kau boleh menghukumku karena begitu egois mencintai gadis ini tapi jangan minta aku melupakannya."
Kepala Maya bergerak pelan saat Masumi tak berhenti membelainya. Masumi tersenyum.
"Aku mencintaimu, Maya." Bisiknya lirih.
Masumi tahu dirinya gila tapi akal sehatnya sedang tidak berniat untuk mendebat apapun yang sekarang sedang dilakukan tubuhnya. Melepas jasnya, Masumi berbaring di sisi Maya, mendekap tubuh gadisnya dalam kehangatan. Tak lama, Masumi segera tenggelam di alam mimpi, terbuai dalam kehangatan yang dipancarkan tubuh Maya dan ya... meski hanya sesaat Masumi merasa...memiliki.
***
Malam semakin larut tapi Shiori tak juga bisa memejamkan matanya. Pikirannya melayang, memutar semua kisah panjang hidupnya, sampai saat ini. Matanya kemudian menatap bibi pengasuhnya yang tengah tidur di sofa, menemaninya.
Sebuah seringai muncul di tengah tangis tanpa suaranya. Ironis? Tentu saja. Shiori memiliki suami tapi lihat, siapa yang menunggui dirinya yang sedang sakit?
Shiori mengepalkan kedua tangan di atas pangkuannya, menahan geram dalam hati.
Salahkan dirinya? Mencintai seorang Masumi Hayami, menjadikannya suami. Salahkah? Dia hanya mencintai, hanya mencintai. Kalau Maya bisa diijinkan masuk ke dalam hati Masumi...kenapa tidak dengan dirinya? Apa kelebihan gadis itu dibanding dirinya yang adalah cucu pemilik grup Takatsu? Butakah Masumi?
Shiori menyeringai lagi, sepertinya semua memang salahnya. Salah karena sudah memaksakan cintanya. Tapi siapa peduli? Dirinya sudah tersakiti sekarang dan tidak ada yang peduli. Dirinya menangis sekarang dan tak juga ada yang peduli. Bahkan dirinya sakit dan tak ada, sama sekali tidak ada yang peduli.
Tamparan Maya siang tadi sudah membulatkan semua tekadnya. Dia akan membalas semuanya. Membalas semua sakit hatinya. Dia memang tidak bisa memiliki Masumi tapi dia juga tidak akan membiarkan Masumi menjadi milik gadis itu. Semua akan dipertaruhkan sekarang. Harga diri. Kehormatan. Semua rela Shiori pertaruhkan, asal dendamnya terbalas.
"Masumi...kau mencintainya kan?" Shiori terkekeh datar, "Aku ingin melihat, sampai mana kau mencintainya."
Dan malam menjadi saksi betapa cinta dengan mudah berubah menjadi benci di tengah tangis penuh luka seorang wanita yang tersakiti.
***
Maya terbangun karena merasakan hangat yang berlebihan menyelimuti tubuhnya.
"Ahh!" Maya menjerit begitu matanya terbuka dan meilhat seorang pria yang tengah memeluknya. Dengan terkejut Masumi membuka paksa kelopak matanya.
"Masumi!" Maya segera bangun dan melenguh pelan ketika merasakan kepalanya berputar.
"Hei, hati-hati. Demammu baru saja turun," Masumi duduk menghadap Maya dan mengusap lembut kepalanya.
Maya membulatkan matanya begitu sensasi berputar di kepalanya menghilang, "Apa yang kau lakukan di sini? Di kamarku? Kau-,"
"Ssttt," Masumi menyentuhkan telunjuknya di bibir Maya, menghentikan omelan gadis itu, "tenang," ucapnya lembut seraya tersenyum.
"Tenang?" Maya mencibir.
Masumi kembali hanya tersenyum lalu turun dari tempat tidur, mengabaikan kekesalan Maya dan berjalan ke kamar mandi. Sungguh Masumi selalu kagum akan sikap Maya yang satu ini. Tidakkah gadis itu baik? Bersama seorang pria yang mencintainya tapi tidak pernah berniat mengambil kesempatan darinya. Menyadari sepenuhnya bahwa dirinya tidak berhak meski -ya, sekali lagi Masumi adalah pria normal- Masumi sebenarnya tidak akan pernah keberatan. Abaikan setiap fakta bahwa mereka beberapa kali berciuman, itu adalah usaha Masumi, bukan keinginan Maya.
"Katakan apa yang terjadi?" Desak Maya dengan tatapan mengancam begitu Masumi keluar dari kamar mandi pribadinya.
"Tidak ada. Kau tidur dan aku menemanimu. Hanya itu, tidak lebih," jawab Masumi seraya duduk di tepi tempat tidur Maya.
"Bodoh! Bukan itu maksudku!" Maya memukul Masumi dengan bantal yang segera di tepis Masumi dengan lengannya.
"Maksudku kenapa kau bisa ada di sini! Apa yang terjadi?" Bentak Maya.
"Kau sakit Maya, apa salah kalau aku datang menemanimu?" Masumi tersenyum melihat kemarahan Maya yang tampak menggemaskan. Wajah pucat Maya berubah merah karena kesal.
"Berhenti bercanda Tuan Hayami. Kau tahu masalah apa yang bisa kau timbulkan dengan kedatanganmu ini, huh?" Geram Maya lagi.
Masumi terdiam. Shiori. Maya takut dengan Shiori? Tiga detik kemudian Masumi terkekeh.
"Kau takut dengan istriku?"
Maya melotot dan memukul lengan Masumi.
"Auuww," seru Masumi, pura-pura kesakitan.
"Direktur gila." Desis Maya kesal. Merasa tidak ada gunanya bicara dengan Masumi, Maya kemudian turun dan berjalan ke kamar mandi. Sedikit terhuyung saat berdiri tapi dengan tegas menolak tangan Masumi yang berusaha membantunya. Masumi justru terkekeh, dia sudah sangat terbiasa dengan kemarahan Maya. Bahkan bukan sekali dua kali dirinya menerima tamparan dari telapak tangan mungil gadis itu.
Ya, bagi Masumi kemarahan Maya jauh lebih menyenangkan untuk dilihat daripada air mata. Dia tidak pernah tahan melihat Maya menangis. Ingatan Masumi tentang air mata Maya saat mereka berada di Izu sebelum pernikahannya bukanlah hal yang ingin dilihatnya berulang kali. Jangan pernah lagi, kalau dirinya boleh meminta.
"Berhenti melamun dan segeralah pulang Tuan Hayami." Maya sudah berdiri di depan Masumi sambil berkacak pinggang.
"Kau mengusirku?" Masumi menyipitkan matanya memandang Maya, bercanda. Sebenarnya semalam dia berencana untuk pergi secara diam-diam sebelum Maya bangun. Tapi ternyata, tidur bersama Maya membuatnya benar-benar terlelap sampai rasanya enggan untuk bangun. Alhasil, gadisnya terbangun labih dulu dan mendapati kecurangannya lagi.
"Ya Tuan Hayami. Aku mengusirmu." Kata Maya tegas. Berjalan perlahan ke arah pintu kamar, Maya membukanya lebar-lebar dan melambaikan tangannya.
Masumi tertawa.
"Aku tidak sedang bercanda Masumi." Maya menggeram lagi.
"Baiklah Maya, aku pergi." Masumi berdiri dan memakai jasnya, "Demammu sudah turun tapi sebaiknya kau beristirahat hari ini. Besok kau ada jadwal syuting."
Maya membuka mulutnya untuk protes mengenai Masumi yang menghapal jadwalnya tapi kemudian tak satu katapun keluar dan akhirnya menutup kembali mulutnya, mengerucutkannya seraya melipat tangan di dada.
"Jaga dirimu. Aku pergi."
Maya tak bisa mengelak ketika Masumi meraih tengkuknya dan memberikannya sebuah kecupan singkat di kening, pencuri ciuman seperti biasa.
Kesal. Maya menghentakkan kakinya menuju tempat tidur setelah Masumi keluar dari kamarnya. Mengabaikan kepalanya yang berdenyut dan menghempaskan dirinya di tempat tidur.
"KECOA MENYEBALKAN!" Raung Maya yang menyebabkan gema di kamarnya.
Masumi yang baru saja hendak keluar, mematung di ambang pintu depan, menahan tawa.
"Ya, aku memang kecoa tampan menyebalkan," kekehnya.
***
"Rapat pukul sebelas besok dengan bagian produksi sepertinya harus di alihkan pukul dua karena anda harus menghadiri undangan dari Direktur TV Asahi. Pembukaan gedung baru mereka, undangannya memang mendadak tapi anda harus datang." Mizuki mengamati ekspresi Masumi begitu selesai menjelaskan perubahan jadwal yang disusunnya. Sudah merupakan rutinitas pagi bagi keduanya untuk memeriksa ulang semua jadwal sebelum mulai bekerja.
"Baiklah," jawab Masumi singkat, "ada yang lain?"
"Sepertinya tidak untuk saat ini. Apa anda ingin ada perubahan lain?"
Masumi mengernyit dengan pertanyaan sekretarisnya yang terdengar ganjil.
"Maksud saya, bukankah Nyonya baru saja keluar dari rumah sakit kemarin. Apa anda tidak berniat mengambil cuti untuk menemaninya?" Jelas Mizuki.
Masumi menghela napas, "Jangan bercanda." Desahnya kesal.
"Saya tidak sedang bercanda Tuan. Anda seharusnya memasang telinga untuk semua bisikan di luar sana. Anda bahkan tetap berada di kantor saat Nyonya di rumah sakit dan sekarang...maaf, saya mohon, pikirkan juga reputasi anda sebagai menantu dari keluarga Takamiya." Tidak salah jika Mizuki menjadi orang kepercayaan Masumi karena memang otaknya begitu brilian memikirkan banyak hal detail yang tak sempat lagi dipedulikan Masumi.
Setiap perkataan Mizuki berputar di dalam otak Masumi. Ya, sekali lagi sekretarisnya itu tidak salah. Shiori di rawat selama tiga hari dan Masumi hanya mengunjunginya sesekali waktu. Memang tidak sepenuhnya salah Masumi karena memang Shiori tidak menginginkan kehadirannya. Tapi publik tidak tahu hal itu. Masumi tetap berada di kantor seperti biasa dan tidak heran jika orang-orang disekelilingnya kemudian mencibirnya. Predikat gila kerjanya tentu saja tidak bisa menjadi alasan untuk mengabaikan istrinya bukan?
Helaan napas panjang lolos dari bibir sang Direktur Utama, "Biarlah, aku tidak mau memikirkannya."
"Tapi Tuan-,"
Mizuki berhenti saat Masumi mengangkat tangannya.
"Saya permisi."
Masumi menganggukkan kepala dan Mizuki berbalik pergi meninggalkannya. Tak mau memikirkan semuanya lebih lagi, Masumi memilih tenggelam di antara tumpukan pekerjaannya yang menggunung.
Tak terasa pagi beranjak siang. Sungguh waktu adalah sesuatu yang tidak bisa di lawan. Masumi merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Intercomnya yang berdering mendapat lirikan mata Masumi.
"Ya, Mizuki?" Tanyanya datar.
"Nyonya ingin bicara dengan anda di saluran empat," jelas sang sekretaris.
Shiori? "Sambungkan," jawabnya enggan.
"Baik Tuan."
Dan saat terdengar dering lain dari intercomnya, Masumi segera menjawab.
"Halo, Shiori?"
"Aku harap aku tidak mengganggumu,"
Nada sarkastik Shiori hampir membuat Masumi berdecak kesal.
"Tidak, ada apa? Tidak biasanya kau menghubungiku. Ada yang penting?" Tanya Masumi lagi, berusaha tetap tenang.
Kekehan Shiori terdengar, "Apa harus ada yang penting jika seorang istri ingin menghubungi suaminya?" Shiori terkekeh lagi saat Masumi hanya diam.
"Baiklah, lupakan apa yang aku katakan. Kali ini memang ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Boleh aku ke kantormu setelah makan siang? Tidak lama, lima menit?"
"Tentu," jawab Masumi singkat meski sekarang tanda tanya besar menggantung di dalam kepalanya.
"Baiklah, aku janji tidak lebih dari lima menit. Sampai jumpa...suamiku."
Masumi tahu Shiori tengah mengolok-oloknya, "Sampai jumpa," akhirnya hanya itu yang bisa diucapkan Masumi sebelum menutup teleponnya.
Masumi melewatkan jam makan siang dan kembali menekuni pekerjaannya. Mizuki yang menawarinya makan siang pun di tolaknya.
Pukul satu tiga puluh, pintu kantor Masumi diketuk dan dia tidak perlu bertanya siapa tamunya.
"Masuk," seru Masumi.
Mizuki yang pertama terlihat saat pintu terbuka, mengangguk hormat lalu membiarkan tamu, sang Nyonya Muda, masuk.
"Anda ingin secangkir teh Nyonya?" Mizuki menawarkan setelah Shiori duduk di sofa tamu.
"Tidak Mizuki, terima kasih. Aku hanya sebentar, lima menit?" Ucap Shiori seraya melempar sebuah senyum pada Masumi yang berjalan ke arahnya.
Mizuki memandang tidak mengerti pada Masumi dan Shiori. Tahu bukan urusannya, diapun permisi, menghilang di balik pintu yang tertutup.
"Apa kau sudah merasa sehat untuk bepergian seperti ini?" Tanya Masumi yang kemudian duduk di sebelah Shiori.
"Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja." Jawab Shiori, "Baiklah, aku tidak mau berbasa-basi denganmu dan mengganggu jam kerjamu. Ini." Shiori memberikan sebuah amplop besar berwarna putih.
"Apa ini?" Tanya Masumi seraya menerima amplop itu.
"Bacalah, tanda tangani dan pengacaraku akan mengambilnya." Kata Shiori yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Masumi.
Berdiri, Shiori menatap tajam suaminya yang tampak bingung.
"Kau mau pergi?" Masumi semakin merasa bingung dengan sikap Shiori.
"Ya, bukankah aku berjanji tidak akan lama? Lima menit." Tegas Shiori, "Apa kau keberatan aku pergi?" Shiori terkekeh.
Masumi merasakan hal yang berbeda dari istrinya saat ini. Tatapan mata Shiori tampak penuh luka tapi juga ada kemarahan di sana.
Shiori merapatkan dirinya pada Masumi, memeluknya. Sang suami hanya bergeming.
"Setiap hari," lirih Shiori dengan wajah bersandar pada dada suaminya, "Setiap hari aku memimpikan hal ini. Bisa memelukmu, menciummu, merasakan kasih darimu." Shiori menghela napas, "tapi rasanya semua itu memang hanya mimpi. Kau tidak akan melakukannya kan? Memelukku? Menciumku?"
Shiori terkekeh pelan saat suaranya terdengar parau. Masumi tahu istrinya tengah menahan tangis. Rasa bersalah kembali merayapi hati Masumi. Dia tahu dirinya sudah berlaku kejam pada Shiori. Perlahan tangannya bergerak, memeluk tubuh yang kini mulai bergetar. Ya, Shiori menangis dalam pelukan Masumi. Entah kenapa hati Masumi ikut sesak merasakannya. Sejak usaha bunuh dirinya dulu, Shiori tidak pernah lagi terlihat serapuh ini di depannya.
"Masumi, aku mencintaimu, sangat mencintaimu," kata Shiori di tengah isaknya. Masumi mengeratkan pelukannya dan mengusap perlahan kepala istrinya.
"Maafkan aku," bisik Masumi kemudian, hanya itu yang bisa diucapkannya.
Shiori mengangkat wajahnya. Kedua mata mereka bertemu pandang.
"Boleh aku meminta sesuatu? Untuk yang terakhir." Kata Shiori.
Masumi hanya mengangguk, entah karena simpati atau perasaan iba, Masumi berniat akan menuruti apapun itu permintaan Shiori. Sungguh air mata memang menjadi kelemahan seorang Masumi Hayami.
"Cium aku, sebagai istrimu," pinta Shiori.
Masumi bergeming, pelukannya sedikit melonggar dan gurat kecewa langsung tersirat di mata istrinya. Shiori menundukkan kepalanya tapi jemari Masumi meraih dagunya dan kembali menegakkan wajah itu untuk menatapnya.
Masumi menyeka air mata Shiori dengan ibu jarinya. Meraih dengan lembut tengkuk Shiori dengan tangannya yang lain dan meniadakan jarak diantara mereka.
Mata Shiori terpejam saat merasakan hangatnya bibir Masumi yang menekan bibirnya. Sentuhan yang selalu diimpikannya. Tidak sekedar mengecupnya, Masumi melumat lembut bibir istrinya. Shiori membiarkan sebuah desahan lolos dari bibirnya ketika lidah Masumi memasuki mulutnya, memujanya, memberikan apa yang tidak pernah diterimanya. Entah berapa lama bibir keduanya tengah berpagut, saling berbagi kehangatan.
Shiori merasakan hatinya membuncah karena kebahagiaan. Kakinya lemas karena sensasi yang dirasakannya. Shiori hampir saja terduduk di lantai kalau saja Masumi tidak memeluk erat pinggulnya. Napas Shiori yang semakin pendek membuat Masumi melepaskan bibir istrinya.
"Maaf," sekali lagi hanya itu yang bisa diucapkan oleh Masumi. Dirinya juga tidak bisa memberikan lebih daripada apa yang sudah dilakukannya. Dibelainya wajah Shiori yang memerah. Lengannya masih memeluk tubuh istrinya yang ringkih sampai dirasanya wanita itu kembali menegakkan kedua kakinya dengan kokoh. Masumi melepaskan pelukannya.
"Terima kasih," sebuah senyum tulus terurai di bibir Shiori dan Masumi membalas dengan hal yang sama.
Shiori mengambil dua langkah kebelakang lalu membungkukkan tubuhnya, "Selamat tinggal, Masumi."
Masumi tersentak dengan ucapan Shiori. Belum sempat bibirnya terbuka untuk melontarkan pertanyaan, istrinya sudah berbalik dan berlari meninggalkan kantornya.
Suara pintu tertutup menyadarkan Masumi akan apa yang baru saja terjadi. Matanya kemudian beralih pada amplop putih yang tergeletak di meja.
Bacalah, tanda tangani dan pengacaraku akan mengambilnya.
Perkataan Shiori menggema di dalam kepalanya. Tidak perlu membuka isi amplop, Masumi sudah tahu. Mengerti sepenuhnya. Kedua tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuhnya.
Shiori?! Maafkan aku.
Entah bagaimana mendiskripsikan perasaan Masumi saat ini. Sedih? Terluka? Atau bahagia? Entahlah, yang pasti akan ada hal besar yang akan dihadapi Masumi setelah dirinya menandatangani surat...surat pembebasannya.
***
Masumi menghempaskan dirinya di tempat tidur dengan wajah lelah. Namun berbeda dengan kelihatannya, hati Masumi sekarang terasa lega. Mengusap perlahan pipinya yang sekarang tampak merah, Masumi bahkan tersenyum saat teringat rasa panas yang tadi dirasakannya. Kenapa? Bukankah tidak heran jika Masumi mendapat sebuah tamparan dari Tenno Takamiya setelah melihat cucu kesayangannya kembali ke kediaman Takamiya.
Masumi tak menyangka kalau Shiori langsung membereskan barang-barangnya dan meninggalkan rumah setelah menyerahkan surat cerai di kantornya. Alhasil, Masumi harus berhadapan dengan keluarga Takamiya lebih cepat dari apa yang diperkirakannya.
Tak hanya itu, Eisuke ternyata sudah menunggunya di rumah begitu Masumi kembali dari kediaman Takamiya. Tak pelak makian dan tamparan kembali di terimanya. Eisuke menolak mentah-mentah kesepekatan cerai antara Masumi dan Shiori. Dia mendesak Masumi untuk membujuk Shiori kembali. Tak ayal, sebuah ancaman dilayangkan pada putra semata wayangnya itu. Di keluarkan dari keluarga Hayami? Masumi menahan tawanya meledak mendengar kalimat itu terlontar dari ayahnya. Apakah itu ancaman ataukah sebuah berita sukacita. Tentu saja Masumi akan sangat bahagia jika hal itu benar-benar terjadi. Menjadi bagian keluarga Hayami bukanlah impiannya.
Desahan panjang mengakhiri lamunan Masumi. Menoleh untuk melihat sisi lain tempat tidurnya yang kosong, Masumi justru tersenyum. Apakah wajar merasa bahagia atas tuntutan cerai yang baru saja diterimanya? Masumi tidak peduli jika benar-benar di anggap gila oleh keseluruhan masyarakat Jepang. Bukankah ini yang diinginkannya? Sekarang semua jalannya tampak terbuka tanpa perlu memikirkan bagaimana caranya. Hal penting yang harus dipikirkannya saat ini adalah bagaimana caranya melindungi Maya jika hubungannya dan Maya mulai tercium media.
Masumi harus bersabar sedikit lagi, ya, dia harus bersabar. Masumi tidak boleh gegabah sehingga melibatkan Maya dalam masalah peliknya. Setidaknya sampai masalah perceraiannya selesai dan keluarga Takamiya juga ayahnya bisa menerimanya.
Menutup mata tanpa ingin membersihkan dirinya terlebih dulu, Masumi hanya ingin terlelap, melepaskan penatnya agar esok hari dirinya dapat kembali menatap dunia dengan pikiran tenang. Dengan harapan baru. Ya, seterjal apapun jalannya nanti Masumi tidak akan menyerah karena dia tahu, di ujung jalannya Maya menanti. Cintanya, kekasih hatinya, impian dan masa depannya. Maya.
***
Masumi terkejut melihat pintu kantornya mendadak terbuka dan seorang gadis masuk dengan raut wajah penuh amarah. Keningnya berkerut, menatap heran pada gadis yang bertindak di luar kebiasaannya. Oke, dia dan Maya memang sering bertengkar tapi tidak biasanya gadis itu tiba-tiba menerobos masuk ke kantornya terlebih dengan ekspresi seperti hendak menelannya bulat-bulat.
"Maya?" Segera Masumi berdiri dari kursi kerjanya namun ketika hendak melangkah untuk mendekati Maya, gadis itu justru lebih dulu menghampirinya dan melempar surat kabar -yang tampak kusut karena cengkraman tangannya- ke atas meja kerja.
Tidak perlu penjelasan bagi Masumi untuk tahu apa maksud tindakan Maya. Headline surat kabar yang tercetak tebal dengan tinta hitam sudah menjelaskan semuanya.
"Apa artinya ini?" Desis Maya marah.
Masumi melayangkan pandangannya pada sosok wanita di belakang Maya, Mizuki, sekretarisnya yang kini menatap bingung padanya. Dengan sebuah isyarat tangan, Masumi meminta Mizuki keluar. Tanpa kata sang sekretaris mengangguk lalu berbalik meninggalkan ruangan, memikirkan beberapa jadwal yang mungkin harus dialihkannya karena atasannya pasti butuh waktu untuk menyelesaikan 'apapun masalahnya' bersama Maya.
"Jadi," Masumi berjalan memutari meja lalu berdiri di depan gadisnya, "karena masalah ini kau datang?" sebuah senyum tersungging di bibir Masumi.
Maya mendengus kesal, "Ini bukan lelucon Masumi!"
"Aku tidak mengatakan ini lelucon Maya," sanggah Masumi. Entah apa yang dipikirkan Direktur Muda itu, ekspresi senang justru tergambar di wajahnya melihat kemarahan Maya.
"Bukan lelucon? Lalu apa namanya? Hidup bukan sebuah permainan yang bisa kau atur sesuka hati, Masumi." bentak Maya lagi, kedua tangan mungilnya mengepal untuk menahan getaran dan hasrat untuk memukul pria yang justru tersenyum di depannya.
"Duduklah, aku akan jelaskan padamu." kata Masumi.
"Duduk?" Maya kembali mendesis tidak suka.
"Aku tidak bisa menjelaskannya kalau kau tidak tenang say-, Maya," kilah Masumi.
Maya memutar bola matanya dengan kesal. Mau tidak mau dia berjalan ke arah sofa tamu dan menghempaskan dirinya. Dia butuh penjelasan masuk akal atas berita yang menjadi headline di semua media pagi ini.
Masumi mengambil surat kabar dari atas meja lalu duduk di samping Maya, meletakkan kembali surat kabar di atas meja tamu. Maya menahan diri untuk tidak merutuki Masumi yang tampak senang membaca setiap tulisan yang tertera di surat kabar. PERNIKAHAN PANGERAN DAITO DAN PUTRI TAKATSU KANDAS, begitulah bunyi headline yang membuat Maya meradang. Sungguh, meski dalam hati kecilnya saat ini, Maya tengah bersorak gembira tapi akal sehatnya masih bisa berpikir lurus. Dia tahu kalau sesuatu tengah berjalan tidak pada tempatnya dan sebuah konsekuensi besar menanti di depan sana.
Andai Masumi tahu begitu banyak hal yang saat ini tengah di takutkan Maya, bukan tentang dirinya tapi tentang pria yang ada di sampingnya. Maya rela melakukan dan berkorban apapun untuk keselamatan dan kebahagiaan Masumi dan...berita ini...Maya tidak sanggup membayangkan apa yang akan dilakukan Eisuke ataupun keluarga Takamiya ke depannya.
Sebuah desahan putus asa lolos dari bibir mungil Maya, menarik Masumi untuk mengamati gadisnya alih-alih menekuni surat kabar kusut di atas meja.
"Kau takut Maya?" tanya Masumi yang mencoba membaca ekspresi wajah Maya.
Maya terdiam, kepalanya tertunduk dengan kedua tangan bertaut di atas lutut.
"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," ucap Masumi menenangkan seraya mengusap lembut bahu Maya.
Mengusap wajah dengan kedua tangannya, Maya kembali menghela napas panjang, "Aku tidak mau hal buruk menimpamu Masumi." desah Maya.
Masumi diam mencerna perkataan Maya. Sesuatu buruk menimpanya? Masumi mengulang kembali kalimat itu di dalam kepalanya.
"Siapa yang mengancammu Maya?" Sebuah kesimpulan muncul dalam kepala Masumi, ekspresi tenangnya seketika berubah. Garis wajah Masumi berubah keras dan matanya menatap tajam sepasang mata bulat Maya yang tampak sendu menahan air mata.
***
>>Bersambung<<
>>Pure Love - Chapter 3<<
>>Pure Love - Chapter 5<<
27 Comments
Happy Sunday...hohohohoooo, lama ya?
ReplyDeletebanyak hal terjadi yang buat jari saya mager, wkwkwkw
Happy reading aja lah...jangan lupa habis baca tinggalin komen2nya, biar semangat ni... :D
Arigatoooo
Akkhhhh akhirnya ada yg apdet
ReplyDeleteItu pasti cm akal2n shiodong tuh, masa segampang itu cerai...jgn lengah masumi
Mba agnes...kurang byk lanjutan nya...
ReplyDeleteWaduhhhhh....nanggung sist....hiks..makin keren ceritanya,makin penasaran..jgn lama2 updatenya yah cinnn...
ReplyDeleteAduh mbak.. itu knapa shiomay dpt kiss sih... ishhh..
ReplyDeleteGek di lanjut yo mbak... tengkiyu for the hard work 😊
Kurang panjang mbaakkk.. Hihihi.. Semangat mbak agnes, ak selalu menunggumu..
ReplyDeletePertama" baca, aku cari bacaan adegan mesra"an maya-masumi, eh cuma sedikit 😕. Nyerah. akhirnya aku baca sebaris demi sebaris.. Isinya bikin PENASARAN dengan apa yang ingin dilakukan siodong-odong.. Bikin GERAH!! 😠
ReplyDeleteMudah2an setelah ini apdetan gak Akan lama lagi he3
ReplyDeleteGak suka siomay dksi hot kiss Masumi
ReplyDelete😱 😭 Hrsnya kecup dkit aja 😒 😤
Ditunggu lanjutannya mbak Agnes.. penasaran tingkat dewa nih
ReplyDeleteWkwkwkw, pada kaga terima si odong2 di kasih kiss ya.
ReplyDeleteYa itung2 sedikit icip2 uda jadi istri berbulan2 kaga dipegang.
Mau yang hot sist komaria? Hhmmm, batam lagi panas sih nih..hahahaha
Ditunggu lanjutannya mbak Agnes.. penasaran tingkat dewa nih
ReplyDeleteMasumi menikmati ciumannya dengan Shiory? Hadeeeh ga relaaaa.
ReplyDeleteShiory jg pst ga bakal segampang itu menceraikan Masumi. Ga sabar baca lanjutnya.
Makasih Mbak Agnes. Aku padamuuuuu
setuju....lawan aja maya,pertahan kan bebeb masumi,detil dan elegan...sukaaaaa banget, lanjutin ya mba..😍😍😍
ReplyDeleteHaiiisshh siomay dpt ciuman masumi aduuh koq bisa sedalam itu siih mnciumnya...kak agnes , tidaak,!!!
ReplyDeletePure love 4 sedikit sedih.. jadi kepikiran niat jahat dr rencana shiori apa yah?? Kangen masumi sm maya bermesraan.
ReplyDeleteThanks say...., aku selalu menyukai MM mu. Nice story as always. Can't wait any longer for the next chapter. Wish u can make it soon... :p
ReplyDelete- Fitria GW -
Hihihihihihihi... Jadi setia nih nungguin lanjutan cerita dari mba agnes
ReplyDeleteAiiihhhh tdk menjawab potongan yg kemarin di posting di wall.... huaaaaaaaaa.....😭.... lanjutannyaaaaaaaaaa......
ReplyDeletehahhahaa, sengaja, kan aku suka bikin penasaran orang, XP
Deleteditunggu kelanjutannyaaaaaaaaaaa.........................
ReplyDeleteyaaah...udah abis lagi ajaaa...lama lagi deh nunggu kelanjutannya....=(
ReplyDeleteyeeaayy akhirnya... thanks mba Agnes buat kelanjutan ceritanya,, well shiori emang gak ada matinyeee..wkwkwkwkwk buat Maya dan masumi cemunguuuttt iyyaaa..
ReplyDeleteLanjutkan mba agnes.. Selalu menunggu kelajutan ceritanya.. Jgn yg sdh2 untuk maya n masumi ya tpi jgn terlalu gampang jga wkkwkwkw.. Apa coba maunya saya ya.. Shiori dibuang jauh2 aja dahh..
ReplyDeleteupdetanya di tunggu sist
ReplyDeletepenasaran banget
ma kelanjutan hub MM
Mba agnes lanjutannya jgn lama2 yaaaa ... Kudoakan tiap hr semangat nulis ceritanya :)
ReplyDeleteKereeeen mb Agnes. Salut bs buat cerita seru bgt yg slalu bikin penasaran dan pingin baca terus. Keep writing y sist, dtunggu update-an nya >.<
ReplyDelete