Serial "Kau Milikku"
Rate : 18 thn +
Rate : 18 thn +
"Shiori ingin
menghancurkan Daito agar tidak bisa ikut tender pementasan Bidadari
Merah,"
"Aku akan ke Tokyo dan menemui Masumi-mu,"
"Aku tidak memaksamu tapi aku, mama juga papa sangat berharap kau setuju dengan semua ini,"
"Jika kau menjadi bagian keluarga Anderson maka semuanya akan menjadi lebih mudah. Kau bisa mementaskan Bidadari Merah dengan tanganmu dan tidak akan ada lagi yang akan membandingkanmu dengan Shiori,"
"Kau sebatang kara Maya, jadi biarkan kami menjagamu. Kau tetap seorang Maya bukan Angel,"
Berbaring menatap langit-langit kamar, semua kalimat Christ sore tadi terngiang-ngiang dikepala Maya. Dia melihat map yang terletak di atas nakasnya.
Maya mengacak-acak poninya lalu menghempaskan dirinya kesamping, memeluk gulingnya. Sejak tadi dia berusaha menenangkan pikirannya dan mencoba untuk tidur tapi pikirannya terus melayang. Dia hanya berguling-guling dengan gelisah di tempat tidur. Memikirkan setiap perkataan Christ padanya.
"Menjadi bagian keluarga Anderson? Memiliki orang tua dan seorang kakak?"
Maya mengusap wajahnya dengan kasar. Bingung menjawab pertanyaan hatinya sendiri.
Selama satu bulan ini Michael dan Clara jelas sudah menunjukkan maksud mereka itu dengan jelas, terlebih lagi Christ. Tapi Maya masih ragu dengan keputusan yang akan diambilnya. Akhirnya dia tertidur, lelah dengan pikirannya yang sedang buntu.
Maya terbangun karena dering jam beker pukul enam pagi. Menggeliat panjang, Maya merasa malas untuk bangun dari tempat tidur. Menunda sedikit jadwal bangunnya, Maya meraih tabletnya.
"Pagi sayang," Masumi tersenyum lebar meski wajahnya terlihat lelah dan tampilan dilayar menunjukkan kalau dirinya masih dikantor.
"Aku lebih suka mengingatkanmu selamat malam sayang," kata Maya menandakan ketidak setujuannya pada sifat gila kerja kekasihnya itu.
"Masih pukul delapan dan masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan," Masumi tahu Maya tidak suka dirinya bekerja sampai larut.
"Apa semuanya baik-baik saja?"
Masumi tersenyum, "Hhhmm, kecuali aku sangat merindukanmu, ya, semuanya baik-baik saja."
"Kau bohong!"
"Kau terlihat lelah Masumi," nada cemas tidak tertinggal dalam suara Maya.
Masumi kembali mengembangkan senyumnya, berusaha menenangkan Maya, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,"
Maya hanya tersenyum tipis.
"Apa kau libur hari ini?" Masumi baru sadar, tidak biasanya Maya meneleponnya pagi-pagi jika jadwalnya penuh.
Maya menggeleng, "Aku hanya merindukanmu,"
Dan bibir Masumi kembali memahat senyuman malaikat, "Aku juga, sangat merindukanmu,"
"Baiklah, aku harus segera bersiap sebelum Rose datang. Kau juga harus segera pulang."
"Setelah semuanya selesai, aku pasti segera pulang. Semoga harimu menyenangkan sayang, aku mencintaimu,"
"Selamat malam sayang, aku juga mencintaimu,"
Maya mengakhiri teleponnya dengan desahan berat. Dia tahu Masumi berbohong padanya, hatinya sakit memikirkan Masumi berjuang sendiri menghadapi situasi rumit Daito. Situasi yang disebabkan olehnya.
Maya yang memaksa Eisuke untuk membatalkan pernikahan Masumi dan Shiori. Hatinya dirayapi rasa bersalah, untuk sesaat Maya kalut. Duduk ditempat tidurnya dan memeluk kedua kakinya, menopangkan dagunya di atas lutut.
Maya kembali mendesah panjang dan menguatkan hatinya. Dia meyakinkan dirinya kalau langkah yang diambilnya waktu itu adalah yang terbaik. Jauh lebih baik daripada melihat Masumi menikah dengan Shiori.
Perkataan Christ kembali berdengung di telinga Maya.
"Christ bisa membantu Masumi, ya...tapi...,"
Maya kembali melihat map di atas nakas. Pikiran dan hatinya kembali bergumul. Christ bilang tidak akan memaksanya, dengan atau tanpa tanda tangan dokumen itu Christ tetap menganggap Maya adiknya dan akan tetap membantunya untuk menyelesaikan skenario yang dirancang Maya.
"Mereka hanya minta aku menandatangani dokumen ini, mereka hanya minta aku menjadi bagian dari keluarga...semuanya terdengar luar biasa tapi kenapa aku menjadi begitu bingung. Menjadi bagian dari keluarga konglomerat terkenal di New York...,"
"Aku akan ke Tokyo dan menemui Masumi-mu,"
"Aku tidak memaksamu tapi aku, mama juga papa sangat berharap kau setuju dengan semua ini,"
"Jika kau menjadi bagian keluarga Anderson maka semuanya akan menjadi lebih mudah. Kau bisa mementaskan Bidadari Merah dengan tanganmu dan tidak akan ada lagi yang akan membandingkanmu dengan Shiori,"
"Kau sebatang kara Maya, jadi biarkan kami menjagamu. Kau tetap seorang Maya bukan Angel,"
Berbaring menatap langit-langit kamar, semua kalimat Christ sore tadi terngiang-ngiang dikepala Maya. Dia melihat map yang terletak di atas nakasnya.
Maya mengacak-acak poninya lalu menghempaskan dirinya kesamping, memeluk gulingnya. Sejak tadi dia berusaha menenangkan pikirannya dan mencoba untuk tidur tapi pikirannya terus melayang. Dia hanya berguling-guling dengan gelisah di tempat tidur. Memikirkan setiap perkataan Christ padanya.
"Menjadi bagian keluarga Anderson? Memiliki orang tua dan seorang kakak?"
Maya mengusap wajahnya dengan kasar. Bingung menjawab pertanyaan hatinya sendiri.
Selama satu bulan ini Michael dan Clara jelas sudah menunjukkan maksud mereka itu dengan jelas, terlebih lagi Christ. Tapi Maya masih ragu dengan keputusan yang akan diambilnya. Akhirnya dia tertidur, lelah dengan pikirannya yang sedang buntu.
Maya terbangun karena dering jam beker pukul enam pagi. Menggeliat panjang, Maya merasa malas untuk bangun dari tempat tidur. Menunda sedikit jadwal bangunnya, Maya meraih tabletnya.
"Pagi sayang," Masumi tersenyum lebar meski wajahnya terlihat lelah dan tampilan dilayar menunjukkan kalau dirinya masih dikantor.
"Aku lebih suka mengingatkanmu selamat malam sayang," kata Maya menandakan ketidak setujuannya pada sifat gila kerja kekasihnya itu.
"Masih pukul delapan dan masih ada beberapa hal yang harus aku selesaikan," Masumi tahu Maya tidak suka dirinya bekerja sampai larut.
"Apa semuanya baik-baik saja?"
Masumi tersenyum, "Hhhmm, kecuali aku sangat merindukanmu, ya, semuanya baik-baik saja."
"Kau bohong!"
"Kau terlihat lelah Masumi," nada cemas tidak tertinggal dalam suara Maya.
Masumi kembali mengembangkan senyumnya, berusaha menenangkan Maya, "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,"
Maya hanya tersenyum tipis.
"Apa kau libur hari ini?" Masumi baru sadar, tidak biasanya Maya meneleponnya pagi-pagi jika jadwalnya penuh.
Maya menggeleng, "Aku hanya merindukanmu,"
Dan bibir Masumi kembali memahat senyuman malaikat, "Aku juga, sangat merindukanmu,"
"Baiklah, aku harus segera bersiap sebelum Rose datang. Kau juga harus segera pulang."
"Setelah semuanya selesai, aku pasti segera pulang. Semoga harimu menyenangkan sayang, aku mencintaimu,"
"Selamat malam sayang, aku juga mencintaimu,"
Maya mengakhiri teleponnya dengan desahan berat. Dia tahu Masumi berbohong padanya, hatinya sakit memikirkan Masumi berjuang sendiri menghadapi situasi rumit Daito. Situasi yang disebabkan olehnya.
Maya yang memaksa Eisuke untuk membatalkan pernikahan Masumi dan Shiori. Hatinya dirayapi rasa bersalah, untuk sesaat Maya kalut. Duduk ditempat tidurnya dan memeluk kedua kakinya, menopangkan dagunya di atas lutut.
Maya kembali mendesah panjang dan menguatkan hatinya. Dia meyakinkan dirinya kalau langkah yang diambilnya waktu itu adalah yang terbaik. Jauh lebih baik daripada melihat Masumi menikah dengan Shiori.
Perkataan Christ kembali berdengung di telinga Maya.
"Christ bisa membantu Masumi, ya...tapi...,"
Maya kembali melihat map di atas nakas. Pikiran dan hatinya kembali bergumul. Christ bilang tidak akan memaksanya, dengan atau tanpa tanda tangan dokumen itu Christ tetap menganggap Maya adiknya dan akan tetap membantunya untuk menyelesaikan skenario yang dirancang Maya.
"Mereka hanya minta aku menandatangani dokumen ini, mereka hanya minta aku menjadi bagian dari keluarga...semuanya terdengar luar biasa tapi kenapa aku menjadi begitu bingung. Menjadi bagian dari keluarga konglomerat terkenal di New York...,"
Maya
menggelengkan kepalanya. Menyingkirkan pemikiran aneh dalam kepalanya.
Melirik jam beker, Maya tahu dia sudah banyak melewatkan jadwalnya. Sebelum Rose datang dan memarahinya Maya memutuskan untuk turun dari tempat tidur.
Seperti biasa Rose muncul diapartemennya pukul tujuh tiga puluh, Maya sedang melihat beberapa headline majalah dan tabloid yang mengulas tentangnya.
"Kau sudah putuskan Maya?" Tanya Rose seraya menuang orange juice ke dalam gelas dan mengembalikan botolnya kedalam lemari es.
"Tentang apa?" Maya menerima orange juice dari Rose.
"Dokumen itu," jawab Rose singkat, kali ini tanpa memandang Maya, tangannya sekarang sibuk membolak-balik buku kerjanya.
"Oh,"
Maya meneguk orange juicenya, setengah gelas dalam sekali teguk. Jawaban singkat Maya membuat Rose menatapnya.
"Kau akan menerimanya kan?"
"Kau bertanya atau memerintahku?"
"Keduanya. Aku tidak akan menolaknya kalau jadi kau," Rose meringis sambil mengangkat bahu dan kembali fokus pada buku kerjanya. Menulis beberapa catatan dan mengabaikan wajah berkerut Maya.
"Apa jadwalku hari ini?" Maya mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak ada perubahan, sama seperti yang aku katakan semalam. Kita akan bertemu produser untuk membahas rencana film layar lebarmu lalu bertemu sutradara Black dan Nyonya Anderson untuk membahas peran di drama terbarumu, wawancara dengan tabloid setelah makan siang lalu syuting sebagai bintang tamu di acara talk show pukul tiga. Malamnya kosong karena Tuan Anderson, calon papamu, mengundangmu makan malam dirumahnya,"
Maya menyipitkan mata saat Rose menekankan kalimat terakhirnya.
"Kau memang sangat spesifik dalam memilih kata-kata Rose,"
Rose menyeringai, "Ku pikir itu istilah yang bagus,"
Maya balas menyeringai dan menghabiskan sisa orange juice-nya dalam sekali teguk. Membawa gelasnya ke wastafel, mencucinya dan meletakkannya di rak.
"Ayo berangkat!" Rose beranjak dari meja makan, diikuti Maya.
Melirik jam beker, Maya tahu dia sudah banyak melewatkan jadwalnya. Sebelum Rose datang dan memarahinya Maya memutuskan untuk turun dari tempat tidur.
Seperti biasa Rose muncul diapartemennya pukul tujuh tiga puluh, Maya sedang melihat beberapa headline majalah dan tabloid yang mengulas tentangnya.
"Kau sudah putuskan Maya?" Tanya Rose seraya menuang orange juice ke dalam gelas dan mengembalikan botolnya kedalam lemari es.
"Tentang apa?" Maya menerima orange juice dari Rose.
"Dokumen itu," jawab Rose singkat, kali ini tanpa memandang Maya, tangannya sekarang sibuk membolak-balik buku kerjanya.
"Oh,"
Maya meneguk orange juicenya, setengah gelas dalam sekali teguk. Jawaban singkat Maya membuat Rose menatapnya.
"Kau akan menerimanya kan?"
"Kau bertanya atau memerintahku?"
"Keduanya. Aku tidak akan menolaknya kalau jadi kau," Rose meringis sambil mengangkat bahu dan kembali fokus pada buku kerjanya. Menulis beberapa catatan dan mengabaikan wajah berkerut Maya.
"Apa jadwalku hari ini?" Maya mengalihkan topik pembicaraan.
"Tidak ada perubahan, sama seperti yang aku katakan semalam. Kita akan bertemu produser untuk membahas rencana film layar lebarmu lalu bertemu sutradara Black dan Nyonya Anderson untuk membahas peran di drama terbarumu, wawancara dengan tabloid setelah makan siang lalu syuting sebagai bintang tamu di acara talk show pukul tiga. Malamnya kosong karena Tuan Anderson, calon papamu, mengundangmu makan malam dirumahnya,"
Maya menyipitkan mata saat Rose menekankan kalimat terakhirnya.
"Kau memang sangat spesifik dalam memilih kata-kata Rose,"
Rose menyeringai, "Ku pikir itu istilah yang bagus,"
Maya balas menyeringai dan menghabiskan sisa orange juice-nya dalam sekali teguk. Membawa gelasnya ke wastafel, mencucinya dan meletakkannya di rak.
"Ayo berangkat!" Rose beranjak dari meja makan, diikuti Maya.
Di
depan pintu sudah menunggu pengawal pribadi Maya, Alex, salah satu dari anak
buah Ryan.
Rose memberikan tas besar yang berisi perlengkapan Maya padanya dan dengan tenang mengikuti Rose dan Maya yang berjalan menuju lift.
Baru beberapa langkah Maya keluar lift dan berjalan di basement, tiba-tiba Alex menghentikan langkah Maya dan dengan tegak memasang tubuhnya sebagai perisai didepan Maya.
Maya dan Rose terkejut tapi untuk alasan yang berbeda. Maya memiringkan kepalanya agar bisa melihat objek keterkejutan Rose dan alasan Alex membentengi dirinya. Seketika matanya membulat.
Seorang pria berdiri di dekat mobil Audinya.
"Satomi?" Gumam Maya.
Alex menggumamkan sesuatu pada alat komunikasi yang tersemat di kerah bajunya. Dan Maya tahu dia memanggil rekannya karena kemudian dua orang lain yang mengenakan stelan hitam, yang Maya tidak tahu namanya, muncul dengan berlari dari arah pintu keluar basement.
Maya menyadari adegan apa yang akan terjadi selanjutnya dan dengan cepat berteriak, menghentikan gerakan dua orang rekan Alex sebelum keduanya menyentuh Satomi.
Alex dan Rose langsung menoleh pada Maya. Heran dengan teriakan Maya.
"Ku mohon, jangan sakiti dia," pinta Maya pada Alex, kemudian mengalihkan pandangannya pada Satomi yang tidak bergeming di tempatnya. Tampaknya dia sudah siap dengan konsekuensi yang akan diterimanya karena nekat menemui Maya.
Maya melangkahkan kakinya dan Alex mengulurkan lengannya menjadi palang yang menghentikan langkah Maya.
"Maya," Rose juga memegangi lengan Maya.
"Maaf Nona, Tuan tidak mengijinkan anda bertemu dengan orang ini," Alex menjelaskan tindakannya.
"Kau berani menghalangiku Alex?" Tanya Maya menirukan nada bicara dan gaya Christ yang sudah dihapalnya di luar kepala.
"Maaf Nona, tapi...,"
"Aku hanya mau menemui temanku. Kau boleh mengusirnya jika dia kasar padaku tapi selama dia tidak melakukan apapun aku tidak mengijinkanmu menyentuhnya." Perkataan Maya selaras dengan raut wajahnya yang mengeras.
Maya melepaskan tangan Rose dari lengannya dan saat Alex menurunkan lengannya Maya menghampiri Satomi. Pria itu masih terlihat tenang dan sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Maya melambaikan tangannya ke atas dan dua rekan Alex mundur beberapa langkah.
"Maaf," gumam Maya,
Rose memberikan tas besar yang berisi perlengkapan Maya padanya dan dengan tenang mengikuti Rose dan Maya yang berjalan menuju lift.
Baru beberapa langkah Maya keluar lift dan berjalan di basement, tiba-tiba Alex menghentikan langkah Maya dan dengan tegak memasang tubuhnya sebagai perisai didepan Maya.
Maya dan Rose terkejut tapi untuk alasan yang berbeda. Maya memiringkan kepalanya agar bisa melihat objek keterkejutan Rose dan alasan Alex membentengi dirinya. Seketika matanya membulat.
Seorang pria berdiri di dekat mobil Audinya.
"Satomi?" Gumam Maya.
Alex menggumamkan sesuatu pada alat komunikasi yang tersemat di kerah bajunya. Dan Maya tahu dia memanggil rekannya karena kemudian dua orang lain yang mengenakan stelan hitam, yang Maya tidak tahu namanya, muncul dengan berlari dari arah pintu keluar basement.
Maya menyadari adegan apa yang akan terjadi selanjutnya dan dengan cepat berteriak, menghentikan gerakan dua orang rekan Alex sebelum keduanya menyentuh Satomi.
Alex dan Rose langsung menoleh pada Maya. Heran dengan teriakan Maya.
"Ku mohon, jangan sakiti dia," pinta Maya pada Alex, kemudian mengalihkan pandangannya pada Satomi yang tidak bergeming di tempatnya. Tampaknya dia sudah siap dengan konsekuensi yang akan diterimanya karena nekat menemui Maya.
Maya melangkahkan kakinya dan Alex mengulurkan lengannya menjadi palang yang menghentikan langkah Maya.
"Maya," Rose juga memegangi lengan Maya.
"Maaf Nona, Tuan tidak mengijinkan anda bertemu dengan orang ini," Alex menjelaskan tindakannya.
"Kau berani menghalangiku Alex?" Tanya Maya menirukan nada bicara dan gaya Christ yang sudah dihapalnya di luar kepala.
"Maaf Nona, tapi...,"
"Aku hanya mau menemui temanku. Kau boleh mengusirnya jika dia kasar padaku tapi selama dia tidak melakukan apapun aku tidak mengijinkanmu menyentuhnya." Perkataan Maya selaras dengan raut wajahnya yang mengeras.
Maya melepaskan tangan Rose dari lengannya dan saat Alex menurunkan lengannya Maya menghampiri Satomi. Pria itu masih terlihat tenang dan sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Maya melambaikan tangannya ke atas dan dua rekan Alex mundur beberapa langkah.
"Maaf," gumam Maya,
"Apa
kabarmu Satomi," sapa Maya ramah seolah dia lupa bagaimana pertemuan
terakhirnya dengan Satomi.
Mata Satomi beradu pandang dengan Maya. Dia diam, tidak mengatakan apapun dan tiba-tiba Satomi berlutut di depan Maya, membuatnya terkejut.
"Hei ada apa?" Maya langsung berjongkok didepan Satomi.
"Kau bisa memakiku atau bahkan memukulku, tapi jangan bersikap baik padaku," kata Satomi.
"Kenapa aku harus melakukannya?" Maya tidak menyentuh Satomi tapi dia mencari mata Satomi yang tertunduk.
Satomi mengangkat wajahnya dan memandang Maya, "Kau tahu kenapa," jawabnya lirih.
"Jadi kau sudah sadar?" Maya tersenyum tipis.
"Maafkan aku, seharusnya aku tidak sebodoh itu. Aku seharusnya menjagamu," raut wajah Satomi yang penuh dengan penyesalan membuat Maya tidak tega.
"Sudahlah, biarkan itu berlalu. Aku tidak mau mengingatnya," jawab Maya lirih.
"Aku terus memikirkanmu, berkali-kali aku ingin menemuimu tapi para pengawalmu tidak pernah mengijinkannya. Ku pikir kau sudah membenciku,"
Kening Maya berkerut, melirik Alex yang berdiri tidak jauh darinya.
"Aku tidak membencimu,"
"Kau...memaafkanku?"
Maya mendesah panjang, "Aku marah Satomi, sangat marah. Tapi kau temanku, kau sudah banyak membantuku. Aku hanya berpikir kalau saat itu kau … hilang kendali? Itu karena kau mencintaiku kan? Maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu dan aku tidak mau pertemanan kita berakhir seperti ini. Aku sudah mengatakannya padamu berkali-kali,”
Mata Satomi beradu pandang dengan Maya. Dia diam, tidak mengatakan apapun dan tiba-tiba Satomi berlutut di depan Maya, membuatnya terkejut.
"Hei ada apa?" Maya langsung berjongkok didepan Satomi.
"Kau bisa memakiku atau bahkan memukulku, tapi jangan bersikap baik padaku," kata Satomi.
"Kenapa aku harus melakukannya?" Maya tidak menyentuh Satomi tapi dia mencari mata Satomi yang tertunduk.
Satomi mengangkat wajahnya dan memandang Maya, "Kau tahu kenapa," jawabnya lirih.
"Jadi kau sudah sadar?" Maya tersenyum tipis.
"Maafkan aku, seharusnya aku tidak sebodoh itu. Aku seharusnya menjagamu," raut wajah Satomi yang penuh dengan penyesalan membuat Maya tidak tega.
"Sudahlah, biarkan itu berlalu. Aku tidak mau mengingatnya," jawab Maya lirih.
"Aku terus memikirkanmu, berkali-kali aku ingin menemuimu tapi para pengawalmu tidak pernah mengijinkannya. Ku pikir kau sudah membenciku,"
Kening Maya berkerut, melirik Alex yang berdiri tidak jauh darinya.
"Aku tidak membencimu,"
"Kau...memaafkanku?"
Maya mendesah panjang, "Aku marah Satomi, sangat marah. Tapi kau temanku, kau sudah banyak membantuku. Aku hanya berpikir kalau saat itu kau … hilang kendali? Itu karena kau mencintaiku kan? Maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu dan aku tidak mau pertemanan kita berakhir seperti ini. Aku sudah mengatakannya padamu berkali-kali,”
“Aku
tahu aku bodoh, brengsek, kurang ajar, aku hanya … entahlah. Masih maukah kau
memaafkanku Maya?”
“Iya,
aku sudah memaafkanmu. Lupakan,"
"Sungguh? Setelah apa yang ku lakukan? Kau mau melupakannya?" Satomi seperti tidak percaya dengan perkataan Maya.
"Tidak mudah tapi aku berusaha melupakannya. Aku hanya mencoba berpikir kau sedang tersesat saat itu dan sekarang kau sudah kembali. Aku senang," Maya kembali tersenyum.
"Terima kasih Maya," suara Satomi lembut penuh syukur, ekspresinya terlihat begitu lega.
Maya hanya mengangguk.
"Apa yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku?" Satomi memandang penuh harap.
Maya tertegun sejenak, "Apa kau menceritakan pada seseorang tentang aku dan Masumi?"
Satomi menggeleng.
"Syukurlah, kalau begitu bantulah aku. Rahasiakan hubunganku dengan Masumi."
Satomi melihat jari manis Maya dan cincin yang pernah dilihatnya tidak terlihat disana.
"Baiklah," Satomi heran tapi tidak bertanya tentang alasannya. Dia tidak mau mengintervensi hidup Maya lebih lagi.
"Terima kasih, sekarang berdirilah,"
Maya kemudian bangkit disusul oleh Satomi.
"Aku masih boleh bertemu denganmu?" Tanya Satomi, sejenak melirik pada Alex yang memandangnya tajam.
"Tentu, kau bisa menghubungiku. Kau masih punya nomorku kan?" Maya mengabaikan keberadaan Alex dan Rose, termasuk mengabaikan bayangan reaksi Christ saat menerima laporan dari Alex nanti.
"Tentu aku masih punya. Mereka...,"
"Tenang saja. Mereka anak buah Ryan. Biasa, prosedur keamanan,"
"Oh," Satomi juga enggan untuk bertanya lebih jauh mengenai kedekatan hubungan Maya dengan Christ. Menerima maaf dari Maya sudah lebih dari cukup baginya.
"Kita harus segera berangkat Maya," Rose menginterupsi.
Sadar Rose mengusirnya, Satomi undur diri, "Aku juga harus segera pergi, terima kasih Maya, sampai jumpa,"
"Sampai jumpa," Maya melambai sebelum Satomi berbalik dan meninggalkannya.
Maya memutar tubuh pada tumitnya dan melotot pada Alex.
"Jadi kau memerintahkan rekanmu untuk menghalangi Satomi bertemu denganku?"
Perkataan Satomi tadi memberi tahu alasan keberadaan dua rekan Alex yang Maya tidak pernah tahu.
"Keselamatan anda adalah prioritas kami Nona,"
Maya menggeleng kesal dan jawaban diplomatis Alex tidak bisa dibantah. Mereka juga cuma menjalankan perintah, pikir Maya.
Rose mengomel dan akhirnya Maya menurut untuk segera berangkat. Merasa lega karena masalahnya dengan Satomi sudah selesai dan dia bisa fokus untuk memikirkan masalah Masumi dan...keputusannya? Maya kembali melenguh pelan.
***
"Sungguh? Setelah apa yang ku lakukan? Kau mau melupakannya?" Satomi seperti tidak percaya dengan perkataan Maya.
"Tidak mudah tapi aku berusaha melupakannya. Aku hanya mencoba berpikir kau sedang tersesat saat itu dan sekarang kau sudah kembali. Aku senang," Maya kembali tersenyum.
"Terima kasih Maya," suara Satomi lembut penuh syukur, ekspresinya terlihat begitu lega.
Maya hanya mengangguk.
"Apa yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku?" Satomi memandang penuh harap.
Maya tertegun sejenak, "Apa kau menceritakan pada seseorang tentang aku dan Masumi?"
Satomi menggeleng.
"Syukurlah, kalau begitu bantulah aku. Rahasiakan hubunganku dengan Masumi."
Satomi melihat jari manis Maya dan cincin yang pernah dilihatnya tidak terlihat disana.
"Baiklah," Satomi heran tapi tidak bertanya tentang alasannya. Dia tidak mau mengintervensi hidup Maya lebih lagi.
"Terima kasih, sekarang berdirilah,"
Maya kemudian bangkit disusul oleh Satomi.
"Aku masih boleh bertemu denganmu?" Tanya Satomi, sejenak melirik pada Alex yang memandangnya tajam.
"Tentu, kau bisa menghubungiku. Kau masih punya nomorku kan?" Maya mengabaikan keberadaan Alex dan Rose, termasuk mengabaikan bayangan reaksi Christ saat menerima laporan dari Alex nanti.
"Tentu aku masih punya. Mereka...,"
"Tenang saja. Mereka anak buah Ryan. Biasa, prosedur keamanan,"
"Oh," Satomi juga enggan untuk bertanya lebih jauh mengenai kedekatan hubungan Maya dengan Christ. Menerima maaf dari Maya sudah lebih dari cukup baginya.
"Kita harus segera berangkat Maya," Rose menginterupsi.
Sadar Rose mengusirnya, Satomi undur diri, "Aku juga harus segera pergi, terima kasih Maya, sampai jumpa,"
"Sampai jumpa," Maya melambai sebelum Satomi berbalik dan meninggalkannya.
Maya memutar tubuh pada tumitnya dan melotot pada Alex.
"Jadi kau memerintahkan rekanmu untuk menghalangi Satomi bertemu denganku?"
Perkataan Satomi tadi memberi tahu alasan keberadaan dua rekan Alex yang Maya tidak pernah tahu.
"Keselamatan anda adalah prioritas kami Nona,"
Maya menggeleng kesal dan jawaban diplomatis Alex tidak bisa dibantah. Mereka juga cuma menjalankan perintah, pikir Maya.
Rose mengomel dan akhirnya Maya menurut untuk segera berangkat. Merasa lega karena masalahnya dengan Satomi sudah selesai dan dia bisa fokus untuk memikirkan masalah Masumi dan...keputusannya? Maya kembali melenguh pelan.
***
"Kau
datang tepat waktu Maya,"
David
Black sutradara Scarlet langsung meminta Maya duduk saat dirinya masuk ke
studio latihan.
Mia langsung melambai saat Maya melihat ke arahnya, memberinya isyarat untuk duduk disebelahnya bersama Janet dan Olive tapi Maya hanya mengangguk dan tersenyum, pura-pura tidak mengerti maksudnya dan memilih duduk disebelah Jenifer. Rose akan marah jika dirinya terlalu dekat dengan Mia dan yang lainnya.
Jenifer tidak menoleh pada Maya bahkan juga tidak menyapanya. Keduanya memang jarang berkomunikasi tapi Maya juga tidak mempermasalahkannya, asal Jenifer tidak mengganggunya.
David segera memulai instruksinya setelah semua aktor dan aktris berkumpul. Kali ini untuk pertunjukan musim semi di akhir April teater Scarlet akan mementaskan drama King Lear.
Salah satu drama Shakespeare yang mengisahkan tentang seorang raja dan tiga putrinya. Penghianatan dua putri tertuanya dan kesetiaan putri bungsunya.
David membagikan perannya dan Maya cukup antusias dengan drama ini. Putri pertama King Lear, Genoril diperankan oleh Jenifer. Putri kedua, Regan, oleh Mia dan putri ketiga, Cordelia, diperankan oleh Maya. Kali ini Maya lega karena Jenifer juga mendapat peran utama, jadi dia tidak harus bersaing peran dengannya.
Setelah naskah dan jadwal latihan dibagikan, David meninggalkan ruang studio. Mia langsung menghampiri Maya.
"Hai Maya, kau jarang terlihat akhir-akhir ini," sapa Mia ramah.
Mia langsung melambai saat Maya melihat ke arahnya, memberinya isyarat untuk duduk disebelahnya bersama Janet dan Olive tapi Maya hanya mengangguk dan tersenyum, pura-pura tidak mengerti maksudnya dan memilih duduk disebelah Jenifer. Rose akan marah jika dirinya terlalu dekat dengan Mia dan yang lainnya.
Jenifer tidak menoleh pada Maya bahkan juga tidak menyapanya. Keduanya memang jarang berkomunikasi tapi Maya juga tidak mempermasalahkannya, asal Jenifer tidak mengganggunya.
David segera memulai instruksinya setelah semua aktor dan aktris berkumpul. Kali ini untuk pertunjukan musim semi di akhir April teater Scarlet akan mementaskan drama King Lear.
Salah satu drama Shakespeare yang mengisahkan tentang seorang raja dan tiga putrinya. Penghianatan dua putri tertuanya dan kesetiaan putri bungsunya.
David membagikan perannya dan Maya cukup antusias dengan drama ini. Putri pertama King Lear, Genoril diperankan oleh Jenifer. Putri kedua, Regan, oleh Mia dan putri ketiga, Cordelia, diperankan oleh Maya. Kali ini Maya lega karena Jenifer juga mendapat peran utama, jadi dia tidak harus bersaing peran dengannya.
Setelah naskah dan jadwal latihan dibagikan, David meninggalkan ruang studio. Mia langsung menghampiri Maya.
"Hai Maya, kau jarang terlihat akhir-akhir ini," sapa Mia ramah.
Dia
mengabaikan keberadaan Jenifer disebelah Maya dan Jenifer juga tidak peduli.
Dia langsung pergi, sama sekali tidak berniat untuk menyapa Mia ataupun Maya.
"Iya, jadwalku cukup padat dua minggu ini," Maya berkilah.
"Iya, jadwalku cukup padat dua minggu ini," Maya berkilah.
Padahal
memang dia tidak berniat menemui Mia meski beberapa kali dia ke studio untuk
latihan vokal, tari dan olah tubuhnya.
"Oh, apa kau ada waktu akhir pekan ini Maya?" Tanya Mia.
"Akhir pekan? Memang ada apa?" Maya memasukkan naskahnya ke dalam tas dan menatap Mia yang sekarang duduk disebelahnya.
"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, berbelanja. Aku tahu tempat yang bagus. Kau pasti lelah dengan semua jadwalmu kan? Ambillah libur dan kita akan bersenang-senang," Mia menjelaskan rencananya dengan mata berbinar.
Maya tampak berpikir, jadwalnya memang penuh tapi menolak permintaan Mia...hatinya juga merasa sungkan.
"Maya," sebuah panggilan mengalihkan perhatian keduanya. Maya bersyukur dengan pengalihan yang membuatnya tidak harus menjawab pertanyaan Mia.
"Nyonya Anderson," Mia menyapa dengan cepat seraya tersenyum.
"Mia," Clara tersenyum pada Mia dan pandangannya langsung berpindah pada Maya.
"Selamat siang Nyonya," sapa Maya.
"Siang Maya, ayo kekantorku, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ajaknya.
Hati Maya berdebar, Clara pasti menanyakan keputusannya. Tidak berani menolak, Maya menggumamkan maaf pada Mia dan segera mengikuti Clara. Mia hanya tersenyum menanggapinya dan mengikuti kepergian Maya dengan pandangannya.
Maya keluar dari kantor Clara dengan lega karena ternyata Clara membicarakan kontrak film layar lebarnya. Maya menghela napas panjang dan itu tidak lepas dari pengamatan Rose saat keduanya berjalan di koridor menuju lift.
"Kenapa kau jadi canggung begitu?" Rose memandang Maya aneh.
"Canggung? Aku? Tidak," sanggah Maya.
"Kau tidak bisa membohongiku Nona Kitajima, jelas kau gugup berhadapan dengan Nyonya Anderson tadi."
Maya kembali mendesah, "Aku masih bingung Rose,"
"Apa yang membuatmu bingung?"
"Keluarga Anderson sangat baik Rose, sangat baik. Apa aku pantas?"
Rose tersenyum, "Maya, Maya, terkadang pikiran naifmu itu memang perlu diluruskan,"
"Apa maksudmu?" Maya cemberut.
"Kau berpikir pantas atau tidak? Bukankah seharusnya Keluarga Anderson yang mempertimbangkan masalah itu?"
Maya tercengang mendengar perkataan Rose.
"Benarkan? Mereka tidak akan membuat lelucon dengan menyandangkan nama Anderson pada sembarang orang Maya," Rose kembali menegaskan.
Maya tersenyum tipis.
***
"Oh, apa kau ada waktu akhir pekan ini Maya?" Tanya Mia.
"Akhir pekan? Memang ada apa?" Maya memasukkan naskahnya ke dalam tas dan menatap Mia yang sekarang duduk disebelahnya.
"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, berbelanja. Aku tahu tempat yang bagus. Kau pasti lelah dengan semua jadwalmu kan? Ambillah libur dan kita akan bersenang-senang," Mia menjelaskan rencananya dengan mata berbinar.
Maya tampak berpikir, jadwalnya memang penuh tapi menolak permintaan Mia...hatinya juga merasa sungkan.
"Maya," sebuah panggilan mengalihkan perhatian keduanya. Maya bersyukur dengan pengalihan yang membuatnya tidak harus menjawab pertanyaan Mia.
"Nyonya Anderson," Mia menyapa dengan cepat seraya tersenyum.
"Mia," Clara tersenyum pada Mia dan pandangannya langsung berpindah pada Maya.
"Selamat siang Nyonya," sapa Maya.
"Siang Maya, ayo kekantorku, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ajaknya.
Hati Maya berdebar, Clara pasti menanyakan keputusannya. Tidak berani menolak, Maya menggumamkan maaf pada Mia dan segera mengikuti Clara. Mia hanya tersenyum menanggapinya dan mengikuti kepergian Maya dengan pandangannya.
Maya keluar dari kantor Clara dengan lega karena ternyata Clara membicarakan kontrak film layar lebarnya. Maya menghela napas panjang dan itu tidak lepas dari pengamatan Rose saat keduanya berjalan di koridor menuju lift.
"Kenapa kau jadi canggung begitu?" Rose memandang Maya aneh.
"Canggung? Aku? Tidak," sanggah Maya.
"Kau tidak bisa membohongiku Nona Kitajima, jelas kau gugup berhadapan dengan Nyonya Anderson tadi."
Maya kembali mendesah, "Aku masih bingung Rose,"
"Apa yang membuatmu bingung?"
"Keluarga Anderson sangat baik Rose, sangat baik. Apa aku pantas?"
Rose tersenyum, "Maya, Maya, terkadang pikiran naifmu itu memang perlu diluruskan,"
"Apa maksudmu?" Maya cemberut.
"Kau berpikir pantas atau tidak? Bukankah seharusnya Keluarga Anderson yang mempertimbangkan masalah itu?"
Maya tercengang mendengar perkataan Rose.
"Benarkan? Mereka tidak akan membuat lelucon dengan menyandangkan nama Anderson pada sembarang orang Maya," Rose kembali menegaskan.
Maya tersenyum tipis.
***
"Sial!!
Kenapa dia begitu sulit dikalahkan? Namanya bahkan semakin melambung."
Sebuah majalah yang sudah kusut dan robek-robek tercampak di lantai. Kuku wanita yang melemparnya cukup tajam untuk merusak setiap halaman majalah dengan sempurna.
"Sudah ku bilang kan, kau tidak bisa melakukannya sendiri. Aku bisa membantumu kalau kau mau," kata seorang pria yang wajahnya dihiasi seringai licik.
Sepasang pria dan wanita itu kemudian bertukar pandang.
"Aku tidak percaya padamu," dengus si wanita seraya memalingkan wajahnya.
Pria itu tertawa tapi dengan nada yang terdengar hambar, "Tujuan kita sama,"
"Kenapa kau juga mau menyingkirkan Maya?"
"Aku tidak menyukainya,"
"Hanya itu?"
"Ku pikir kita tidak perlu menyamakan motifnya selama tujuan kita sama,"
"Aku pernah gagal sekali dan kali ini aku tidak mau gagal lagi." Rutuk wanita itu penuh amarah.
Sekali lagi pria itu tertawa, sekarang lebih terdengar seperti ejekan, "Merusak balkon bukan ide yang kreatif menurutku. Justru sangat beresiko. Kau beruntung anak buah Christian Anderson tidak menemukan bukti apapun. Tapi mereka bukan orang bodoh dan kau lihat hasil perbuatanmu, pengamanan atas Maya semakin ketat,"
Menghempaskan dirinya ke kursi, wanita itu melipat tangannya ketat didada, "Aku masih heran kenapa seorang Christian Anderson bisa begitu tertarik pada gadis seperti itu. Dia bahkan tidak lebih cantik dariku. Apa hanya karena aktingnya bagus maka dia berhak diperlakukan seistimewa itu? Menggelikan!" Suaranya terdengar seperti itu adalah suatu hal yang menjijikkan atau semacamnya.
"Tidak ada yang tahu soal itu bahkan media juga tidak berani menyinggung masalah kedekatan Maya dengan keluarga Anderson,"
Sebuah majalah yang sudah kusut dan robek-robek tercampak di lantai. Kuku wanita yang melemparnya cukup tajam untuk merusak setiap halaman majalah dengan sempurna.
"Sudah ku bilang kan, kau tidak bisa melakukannya sendiri. Aku bisa membantumu kalau kau mau," kata seorang pria yang wajahnya dihiasi seringai licik.
Sepasang pria dan wanita itu kemudian bertukar pandang.
"Aku tidak percaya padamu," dengus si wanita seraya memalingkan wajahnya.
Pria itu tertawa tapi dengan nada yang terdengar hambar, "Tujuan kita sama,"
"Kenapa kau juga mau menyingkirkan Maya?"
"Aku tidak menyukainya,"
"Hanya itu?"
"Ku pikir kita tidak perlu menyamakan motifnya selama tujuan kita sama,"
"Aku pernah gagal sekali dan kali ini aku tidak mau gagal lagi." Rutuk wanita itu penuh amarah.
Sekali lagi pria itu tertawa, sekarang lebih terdengar seperti ejekan, "Merusak balkon bukan ide yang kreatif menurutku. Justru sangat beresiko. Kau beruntung anak buah Christian Anderson tidak menemukan bukti apapun. Tapi mereka bukan orang bodoh dan kau lihat hasil perbuatanmu, pengamanan atas Maya semakin ketat,"
Menghempaskan dirinya ke kursi, wanita itu melipat tangannya ketat didada, "Aku masih heran kenapa seorang Christian Anderson bisa begitu tertarik pada gadis seperti itu. Dia bahkan tidak lebih cantik dariku. Apa hanya karena aktingnya bagus maka dia berhak diperlakukan seistimewa itu? Menggelikan!" Suaranya terdengar seperti itu adalah suatu hal yang menjijikkan atau semacamnya.
"Tidak ada yang tahu soal itu bahkan media juga tidak berani menyinggung masalah kedekatan Maya dengan keluarga Anderson,"
"Lalu
apa rencana kita?" Wanita itu memandang tajam lawan bicaranya.
"Kita?" Seringai licik kembali menghiasi wajahnya. "Jadi kau setuju untuk bekerja sama denganku?"
"Tidak ada pilihan lain. Kau benar kalau aku tidak bisa melakukannya sendiri. Bagiku yang penting dia tersingkir dari Scarlet,"
"Oke, berarti kita telah sepakat. Kita hanya tinggal menunggu sekarang,"
Wanita itu mengernyit, "Menunggu?"
"Ya, menunggu waktu yang tepat dan menunggu perhatian Christian Anderson teralihkan dari Maya,"
Wanita itu hanya tertegun dan tak menjawab. Dia tidak keberatan melakukan apapun asalkan bisa menyingkirkan Maya dari Scarlet.
Dan pria itu tersenyum puas. Pihak ketiga yang diincarnya ternyata langsung setuju dan itu akan mempermudah langkahnya. Wanita itupun pergi meninggalkan tempat diskusi jahat itu.
"Kesepakatan telah dibuat Nona," pria itu bicara melalui teleponnya setelah si wanita pergi.
"Bagus James," dan suara tawa seorang wanita terdengar diujung telepon.
***
"Kau ini keras kepala atau bodoh?" Christ memarahi Maya saat dirinya baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, di rumah keluarga Anderson.
"Apa?" Maya mengernyit mendengar sambutan Christ.
"Apa!? Mantan pacar bodohmu itu!" Christ menempelkan telunjuknya di kening Maya.
Maya mengusap-usap keningnya.
"Satomi tidak menyakitiku, dia hanya ingin bertemu dan minta maaf padaku. Itu saja. Kau berlebihan dengan menempatkan banyak sekali pengawal untukku," Maya berkilah.
"Minta maaf? Dan kau memaafkannya?" Bentak Christ.
"Tentu saja! Dia temanku dan dia telah banyak membantuku," Maya balas berteriak.
“Hanya karena dia penah membantumu mengurus apartemen, guru pivat atau ujian masuk universitasmu maka kau bisa memaafkannya begitu saja?! Dia mencoba memperkosamu Maya!”
"Kita?" Seringai licik kembali menghiasi wajahnya. "Jadi kau setuju untuk bekerja sama denganku?"
"Tidak ada pilihan lain. Kau benar kalau aku tidak bisa melakukannya sendiri. Bagiku yang penting dia tersingkir dari Scarlet,"
"Oke, berarti kita telah sepakat. Kita hanya tinggal menunggu sekarang,"
Wanita itu mengernyit, "Menunggu?"
"Ya, menunggu waktu yang tepat dan menunggu perhatian Christian Anderson teralihkan dari Maya,"
Wanita itu hanya tertegun dan tak menjawab. Dia tidak keberatan melakukan apapun asalkan bisa menyingkirkan Maya dari Scarlet.
Dan pria itu tersenyum puas. Pihak ketiga yang diincarnya ternyata langsung setuju dan itu akan mempermudah langkahnya. Wanita itupun pergi meninggalkan tempat diskusi jahat itu.
"Kesepakatan telah dibuat Nona," pria itu bicara melalui teleponnya setelah si wanita pergi.
"Bagus James," dan suara tawa seorang wanita terdengar diujung telepon.
***
"Kau ini keras kepala atau bodoh?" Christ memarahi Maya saat dirinya baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, di rumah keluarga Anderson.
"Apa?" Maya mengernyit mendengar sambutan Christ.
"Apa!? Mantan pacar bodohmu itu!" Christ menempelkan telunjuknya di kening Maya.
Maya mengusap-usap keningnya.
"Satomi tidak menyakitiku, dia hanya ingin bertemu dan minta maaf padaku. Itu saja. Kau berlebihan dengan menempatkan banyak sekali pengawal untukku," Maya berkilah.
"Minta maaf? Dan kau memaafkannya?" Bentak Christ.
"Tentu saja! Dia temanku dan dia telah banyak membantuku," Maya balas berteriak.
“Hanya karena dia penah membantumu mengurus apartemen, guru pivat atau ujian masuk universitasmu maka kau bisa memaafkannya begitu saja?! Dia mencoba memperkosamu Maya!”
Christ
mengacak-acak rambutnya, kesal, "Keras kepala!"
"Kau juga...,"
"Kalau ada pertengkaran pasti gadisku sudah datang," Michael terbahak.
Maya langsung menutup mulutnya saat mendengar Michael dan Clara datang. Keduanya menuruni tangga. Maya berbalik, memunggungi Christ dan memberi salam pada keduanya.
"Selamat malam Tuan, Nyonya," Maya melembutkan suaranya.
"Aku belum selesai denganmu," Christ memutar bahu Maya.
Maya melotot.
"Hentikan Christ. Kau akan membuat Maya tidak betah dirumah ini kalau kau terus memarahinya," kata Clara.
Clara merangkul Maya dan mengajak Maya ke ruang makan, mengabaikan Christ yang masih berkacak pinggang.
"Kenapa dia marah-marah?" Tanya Clara.
"Ngg, tadi saya bertemu dengan Satomi,"
"Heh?!" Clara terkejut lalu menggeleng.
"Pantas saja, kau harus berhati-hati sayang. Apa Alex bersamamu tadi?"
"Iya," Maya jadi merasa bersalah saat Clara menegurnya.
Clara tersenyum. Ketiganya sekarang sudah duduk di ruang makan dan tak lama Christ menyusul lalu duduk disebelah Maya. Wajahnya masih terlihat kesal.
"Akhir-akhir ini kau jarang berkunjung Maya," kata Michael.
"Jadwal saya cukup padat,"
"Hhmmm, begitu ya. Ku dengar kau juga ditawari bermain di film layar lebar produksi Universal Studio," ada rasa bangga tersemat dalam nada suara Michael.
"Iya, kami baru saja membahas kontraknya siang tadi," jawab Maya senang.
"Kau juga...,"
"Kalau ada pertengkaran pasti gadisku sudah datang," Michael terbahak.
Maya langsung menutup mulutnya saat mendengar Michael dan Clara datang. Keduanya menuruni tangga. Maya berbalik, memunggungi Christ dan memberi salam pada keduanya.
"Selamat malam Tuan, Nyonya," Maya melembutkan suaranya.
"Aku belum selesai denganmu," Christ memutar bahu Maya.
Maya melotot.
"Hentikan Christ. Kau akan membuat Maya tidak betah dirumah ini kalau kau terus memarahinya," kata Clara.
Clara merangkul Maya dan mengajak Maya ke ruang makan, mengabaikan Christ yang masih berkacak pinggang.
"Kenapa dia marah-marah?" Tanya Clara.
"Ngg, tadi saya bertemu dengan Satomi,"
"Heh?!" Clara terkejut lalu menggeleng.
"Pantas saja, kau harus berhati-hati sayang. Apa Alex bersamamu tadi?"
"Iya," Maya jadi merasa bersalah saat Clara menegurnya.
Clara tersenyum. Ketiganya sekarang sudah duduk di ruang makan dan tak lama Christ menyusul lalu duduk disebelah Maya. Wajahnya masih terlihat kesal.
"Akhir-akhir ini kau jarang berkunjung Maya," kata Michael.
"Jadwal saya cukup padat,"
"Hhmmm, begitu ya. Ku dengar kau juga ditawari bermain di film layar lebar produksi Universal Studio," ada rasa bangga tersemat dalam nada suara Michael.
"Iya, kami baru saja membahas kontraknya siang tadi," jawab Maya senang.
Suasana
hatinya sudah kembali ringan sekarang, meskipun Christ masih menatapnya kesal.
"Maya seperti magnet sekarang. Banyak sekali tawaran datang padanya. Tapi aku senang Rose menangani semuanya dengan baik," Clara juga tampak begitu puas.
Maya tersenyum dan beberapa pelayan datang menyela obrolan mereka. Makan malam tersaji dan hidangan didepan Maya membuatnya berbinar senang. Diapun menikmati makanannya dengan sukacita.
"Jadi apa kau sudah putuskan," sela Christ.
Sendok Maya menggantung diudara, nafsu makannya langsung menguap.
Melirik dari balik bulu matanya, Michael dan Clara tertegun menatap padanya. Tapi dengan cepat mereka tersenyum, tidak mau mengintimidasi Maya.
Maya menoleh pada Christ dan tatapan mata penuh harap langsung menangkap Maya.
"Uhhmm, bisa kita bicarakan hal ini nanti?" Maya memohon lembut.
"Kau kan hanya tinggal menjawab ya,"
"Itu perintah namanya," Maya cemberut.
"Memang,"
"Nah, kau bilang tidak akan memaksaku,"
"Maya seperti magnet sekarang. Banyak sekali tawaran datang padanya. Tapi aku senang Rose menangani semuanya dengan baik," Clara juga tampak begitu puas.
Maya tersenyum dan beberapa pelayan datang menyela obrolan mereka. Makan malam tersaji dan hidangan didepan Maya membuatnya berbinar senang. Diapun menikmati makanannya dengan sukacita.
"Jadi apa kau sudah putuskan," sela Christ.
Sendok Maya menggantung diudara, nafsu makannya langsung menguap.
Melirik dari balik bulu matanya, Michael dan Clara tertegun menatap padanya. Tapi dengan cepat mereka tersenyum, tidak mau mengintimidasi Maya.
Maya menoleh pada Christ dan tatapan mata penuh harap langsung menangkap Maya.
"Uhhmm, bisa kita bicarakan hal ini nanti?" Maya memohon lembut.
"Kau kan hanya tinggal menjawab ya,"
"Itu perintah namanya," Maya cemberut.
"Memang,"
"Nah, kau bilang tidak akan memaksaku,"
“Kau
tidak akan pernah menjawab kalau tidak dipaksa,”
“Christ,”
kata Michael dan Clara bersamaan.
"Abaikan Christ, Maya. Nikmati saja makan malammu," Michael menyela.
Christ menatap kesal pada interupsi kedua orang tuanya, "Baiklah, habiskan makananmu," katanya pada Maya tanpa melepaskan pandangannya pada ayahnya.
Maya mendesah pada makanan didepannya. Selera makannya sudah hilang.
***
"Abaikan Christ, Maya. Nikmati saja makan malammu," Michael menyela.
Christ menatap kesal pada interupsi kedua orang tuanya, "Baiklah, habiskan makananmu," katanya pada Maya tanpa melepaskan pandangannya pada ayahnya.
Maya mendesah pada makanan didepannya. Selera makannya sudah hilang.
***
Maya
berdiri di balkon apartemennya, memandang kerlap-kerlip malam kota New York.
Melihat langit tapi tidak menemukan lautan bintang disana. Hanya satu dua titik
kecil yang berkelip.
"Kami tidak akan memaksamu sayang tapi cobalah pertimbangkan lagi permintaan kami." Suara Clara begitu lembut.
"Bukan karena kami ingin kau menggantikan pribadi Angel tapi karena kami memang menyangimu Maya. Aku senang jika kau mau menjadi putriku," Mata Michael yang menatap Maya penuh kasih.
"Satu minggu lagi aku berangkat ke Tokyo," dan hanya kalimat itu yang meluncur dari mulut Christ. Namun kalimat itu memiliki makna yang berbeda di otak Maya, Christ ingin Maya menandatangani semua dokumennya sebelum dia pergi. Dan setelah makan malam, Maya kembali ke apartemen dengan hati yang berat.
Menghela napas panjang. Maya meneguk minuman soda dalam kaleng yang sedari tadi digenggamnya. Berharap minuman dingin itu bisa meringankan suasana hatinya yang sedang berat. Bayangan wajah Michael, Clara dan Christ melintas bergantian di otaknya.
Maya ingin meneguk anggur atau sejenisnya, namun mengingat toleransinya yang sangat rendah pada alkohol maka dia mengurungkan niatnya. Dia tidak mau mendengar ocehan Rose kalau besok dirinya terlambat bangun.
"Maya Anderson," gumamnya lirih.
"Kami tidak akan memaksamu sayang tapi cobalah pertimbangkan lagi permintaan kami." Suara Clara begitu lembut.
"Bukan karena kami ingin kau menggantikan pribadi Angel tapi karena kami memang menyangimu Maya. Aku senang jika kau mau menjadi putriku," Mata Michael yang menatap Maya penuh kasih.
"Satu minggu lagi aku berangkat ke Tokyo," dan hanya kalimat itu yang meluncur dari mulut Christ. Namun kalimat itu memiliki makna yang berbeda di otak Maya, Christ ingin Maya menandatangani semua dokumennya sebelum dia pergi. Dan setelah makan malam, Maya kembali ke apartemen dengan hati yang berat.
Menghela napas panjang. Maya meneguk minuman soda dalam kaleng yang sedari tadi digenggamnya. Berharap minuman dingin itu bisa meringankan suasana hatinya yang sedang berat. Bayangan wajah Michael, Clara dan Christ melintas bergantian di otaknya.
Maya ingin meneguk anggur atau sejenisnya, namun mengingat toleransinya yang sangat rendah pada alkohol maka dia mengurungkan niatnya. Dia tidak mau mendengar ocehan Rose kalau besok dirinya terlambat bangun.
"Maya Anderson," gumamnya lirih.
Ketika
dirinya setuju dan menandatangani dokumen itu maka semuanya akan langsung
berubah. Bukan hanya nama tapi juga seluruh jalan hidupnya.
Batin Maya masih bimbang. Sudah lama dia hidup sendiri dan sekarang...dia dihadapkan pada sebuah pilihan untuk memiliki sebuah keluarga. Utuh. Memori Maya kemudian berputar pada kenangannya bersama ibunya. Ibunya yang kemudian meninggal dan meninggalkannya sebatang kara.
Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk memiliki orang tua atau saudara angkat. Satu-satunya bayangan keluarga yang dia harapkan adalah dirinya dan Masumi sebagai suami istri dan...anak suatu saat nanti.
Meneguk kembali minumannya. Angin malam di musim semi yang berhembus membuatnya bergidik. Sudah cukup lama dia diluar, diapun segera masuk, setelah membuang kaleng kosongnya Maya kembali kekamarnya.
Dia ingin mendengar suara Masumi tapi menahan niatnya untuk menghubungi kekasihnya itu. Masih banyak yang harus dipikirkannya dan dia butuh ketenangan. Akhirnya Maya tertidur setelah lama merenung tapi belum juga bisa mengambil keputusan.
Paginya, mata Maya terbuka lebih awal dibanding jam bekernya. Beban pikirannya membuat tidurnya tidak nyenyak. Diapun bergegas bangun dan melakukan rutinitas paginya termasuk mengirim pesan singkat untuk Masumi. Sekedar mengingatkannya untuk pulang ke rumah karena Maya yakin kekasihnya itu masih nyaman duduk dikursi kerja.
Maya membuka lagi jadwalnya setelah dirinya selesai sarapan dan duduk di ruang tamu sambil mendengarkan berita hiburan pagi. Jadwalnya ternyata cukup padat hari ini dan Maya justru tersenyum. Setidaknya seluruh kegiatan itu akan membuatnya tidak memiliki waktu untuk melamun dan itu pasti akan mengalihkan perhatiannya.
Setelah Rose datang keduanya bergegas pergi. Rose melakukan breafing paginya di mobil. Maya mengangguk-angguk tanda sepakat pada semua instruksi yang diberikan menejernya itu.
Lima hari berlalu dan Maya belum juga mengambil keputusan. Ryan juga Bella sedang sibuk mempersiapkan keberangkatan Christ ke Tokyo dan kesibukan Christ juga membuat Maya bernapas lega. Paling tidak calon kakaknya itu tidak mengganggunya.
Siang itu setelah latihan tari dan olah tubuh Maya kembali ke ruang gantinya untuk bersiap latihan drama King Lear pukul satu.
"Maya, aku akan pergi menemui staf produksi Universal Studio untuk membahas jadwal syutingmu bulan depan. Mungkin selama dua jam." Kata Rose sambil membuat beberapa catatan di buku kerjanya.
"Baiklah, latihan King Lear hari ini dua sesi selama empat jam, jadi kau tidak perlu buru-buru." Kata Maya seraya mengganti pakaiannya.
"Oke. Aku pergi sekarang,"
"Terima kasih, sampai nanti Rose,"
Saat Maya berjalan menyusuri koridor menuju studio latihan dia bertemu dengan Mia. Alex masih setia mengekorinya dan matanya selalu siaga melihat keadaan sekitar.
"Apa dia selalu seperti itu?" Tanya Mia seraya memberi tanda dengan matanya menunjuk Alex yang berjalan dibelakang mereka.
"Alex maksudmu?"
Mia mengangguk.
"Oh, memang tugasnya," jawab Maya singkat.
"Apa kau nyaman seperti ini? Kemanapun kau pergi sepertinya kau tidak pernah sendiri. Jika bukan Alex pasti menejermu yang bersamamu,"
"Alex tidak mengganggu dan Rose sudah seperti teman bagiku, hmm mungkin juga kakak meski usianya jauh diatasku. Dia baik dan membuatku nyaman,"
"Oh, begitu ya."
"Iya, apa ada yang aneh menurutmu?" Maya mengamati ekspresi wajah Mia.
Mia tertawa dengan nada datar, "Ah tidak, hanya saja selama lima tahun aku disini, aku belum pernah melihat aktris Scarlet diperlakukan seistimewa dirimu. Bahkan Jenifer sekalipun."
Maya hanya menananggapinya dengan senyum. Mia jelas tidak tahu kalau perlakukan istimewanya karena Maya sudah dianggap sebagai anggota keluarga Anderson. Maya menduga kalau Mia berpikir dirinya memiliki affair dengan Christ. Menjengkelkan.
Latihan sesi pertama berjalan dengan lancar. Rose belum kembali saat Maya istirahat pukul tiga.
"Maya, ada kurir mencarimu," Mia tiba-tiba masuk dan memanggil Maya yang sedang duduk sendiri, beristirahat di studio.
"Kurir?!" Maya mengernyit.
"Iya, mungkin dari toko bunga soalnya dia membawa buket mawar ungu," kata Mia.
"Heh?! Mawar ungu?" Maya terkejut dan langsung bangkit dari kursinya.
Maya menoleh ke kanan dan ke kiri di luar studio latihan tapi suasana sepi dan dia tidak melihat siapapun. Maya merasa heran karena Alex juga tidak terlihat. Mia berdiri dibelakang Maya, dia juga tampak mengamati sekitar.
"Dimana Mia?" Tanya Maya.
"Tadi disini, ayo mungkin kesebelah sana," kata Mia.
Maya pun mengikuti Mia menyusuri lorong. Dia penasaran siapa yang mengirim mawar ungu padanya. Apa orang suruhan Masumi atau Hijiri datang.
Mia membawa Maya melewati koridor panjang menuju pintu belakang. Maya menyipitkan matanya saat melihat seorang pria asing berdiri membawa buket bunga mawar ungu.
"Nah itu dia," kata Mia.
"Nona Kitajima?" Tanya pria itu.
"Iya saya,"
"Ada kiriman bunga untuk anda," pria itu mengulurkan buket bunganya dan saat Maya menerimanya pria itu menyemprotkan semacam spray ke wajah Maya.
"Ap...a...,"
Brukk!!! Maya terkulai di lantai tak sadarkan diri.
***
Batin Maya masih bimbang. Sudah lama dia hidup sendiri dan sekarang...dia dihadapkan pada sebuah pilihan untuk memiliki sebuah keluarga. Utuh. Memori Maya kemudian berputar pada kenangannya bersama ibunya. Ibunya yang kemudian meninggal dan meninggalkannya sebatang kara.
Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk memiliki orang tua atau saudara angkat. Satu-satunya bayangan keluarga yang dia harapkan adalah dirinya dan Masumi sebagai suami istri dan...anak suatu saat nanti.
Meneguk kembali minumannya. Angin malam di musim semi yang berhembus membuatnya bergidik. Sudah cukup lama dia diluar, diapun segera masuk, setelah membuang kaleng kosongnya Maya kembali kekamarnya.
Dia ingin mendengar suara Masumi tapi menahan niatnya untuk menghubungi kekasihnya itu. Masih banyak yang harus dipikirkannya dan dia butuh ketenangan. Akhirnya Maya tertidur setelah lama merenung tapi belum juga bisa mengambil keputusan.
Paginya, mata Maya terbuka lebih awal dibanding jam bekernya. Beban pikirannya membuat tidurnya tidak nyenyak. Diapun bergegas bangun dan melakukan rutinitas paginya termasuk mengirim pesan singkat untuk Masumi. Sekedar mengingatkannya untuk pulang ke rumah karena Maya yakin kekasihnya itu masih nyaman duduk dikursi kerja.
Maya membuka lagi jadwalnya setelah dirinya selesai sarapan dan duduk di ruang tamu sambil mendengarkan berita hiburan pagi. Jadwalnya ternyata cukup padat hari ini dan Maya justru tersenyum. Setidaknya seluruh kegiatan itu akan membuatnya tidak memiliki waktu untuk melamun dan itu pasti akan mengalihkan perhatiannya.
Setelah Rose datang keduanya bergegas pergi. Rose melakukan breafing paginya di mobil. Maya mengangguk-angguk tanda sepakat pada semua instruksi yang diberikan menejernya itu.
Lima hari berlalu dan Maya belum juga mengambil keputusan. Ryan juga Bella sedang sibuk mempersiapkan keberangkatan Christ ke Tokyo dan kesibukan Christ juga membuat Maya bernapas lega. Paling tidak calon kakaknya itu tidak mengganggunya.
Siang itu setelah latihan tari dan olah tubuh Maya kembali ke ruang gantinya untuk bersiap latihan drama King Lear pukul satu.
"Maya, aku akan pergi menemui staf produksi Universal Studio untuk membahas jadwal syutingmu bulan depan. Mungkin selama dua jam." Kata Rose sambil membuat beberapa catatan di buku kerjanya.
"Baiklah, latihan King Lear hari ini dua sesi selama empat jam, jadi kau tidak perlu buru-buru." Kata Maya seraya mengganti pakaiannya.
"Oke. Aku pergi sekarang,"
"Terima kasih, sampai nanti Rose,"
Saat Maya berjalan menyusuri koridor menuju studio latihan dia bertemu dengan Mia. Alex masih setia mengekorinya dan matanya selalu siaga melihat keadaan sekitar.
"Apa dia selalu seperti itu?" Tanya Mia seraya memberi tanda dengan matanya menunjuk Alex yang berjalan dibelakang mereka.
"Alex maksudmu?"
Mia mengangguk.
"Oh, memang tugasnya," jawab Maya singkat.
"Apa kau nyaman seperti ini? Kemanapun kau pergi sepertinya kau tidak pernah sendiri. Jika bukan Alex pasti menejermu yang bersamamu,"
"Alex tidak mengganggu dan Rose sudah seperti teman bagiku, hmm mungkin juga kakak meski usianya jauh diatasku. Dia baik dan membuatku nyaman,"
"Oh, begitu ya."
"Iya, apa ada yang aneh menurutmu?" Maya mengamati ekspresi wajah Mia.
Mia tertawa dengan nada datar, "Ah tidak, hanya saja selama lima tahun aku disini, aku belum pernah melihat aktris Scarlet diperlakukan seistimewa dirimu. Bahkan Jenifer sekalipun."
Maya hanya menananggapinya dengan senyum. Mia jelas tidak tahu kalau perlakukan istimewanya karena Maya sudah dianggap sebagai anggota keluarga Anderson. Maya menduga kalau Mia berpikir dirinya memiliki affair dengan Christ. Menjengkelkan.
Latihan sesi pertama berjalan dengan lancar. Rose belum kembali saat Maya istirahat pukul tiga.
"Maya, ada kurir mencarimu," Mia tiba-tiba masuk dan memanggil Maya yang sedang duduk sendiri, beristirahat di studio.
"Kurir?!" Maya mengernyit.
"Iya, mungkin dari toko bunga soalnya dia membawa buket mawar ungu," kata Mia.
"Heh?! Mawar ungu?" Maya terkejut dan langsung bangkit dari kursinya.
Maya menoleh ke kanan dan ke kiri di luar studio latihan tapi suasana sepi dan dia tidak melihat siapapun. Maya merasa heran karena Alex juga tidak terlihat. Mia berdiri dibelakang Maya, dia juga tampak mengamati sekitar.
"Dimana Mia?" Tanya Maya.
"Tadi disini, ayo mungkin kesebelah sana," kata Mia.
Maya pun mengikuti Mia menyusuri lorong. Dia penasaran siapa yang mengirim mawar ungu padanya. Apa orang suruhan Masumi atau Hijiri datang.
Mia membawa Maya melewati koridor panjang menuju pintu belakang. Maya menyipitkan matanya saat melihat seorang pria asing berdiri membawa buket bunga mawar ungu.
"Nah itu dia," kata Mia.
"Nona Kitajima?" Tanya pria itu.
"Iya saya,"
"Ada kiriman bunga untuk anda," pria itu mengulurkan buket bunganya dan saat Maya menerimanya pria itu menyemprotkan semacam spray ke wajah Maya.
"Ap...a...,"
Brukk!!! Maya terkulai di lantai tak sadarkan diri.
***
Maya
berlari melewati lorong panjang. Masumi berusaha mengejarnya sambil terus
memanggil namanya, tapi Maya tidak menoleh.
Maya justru berlari semakin cepat dan Masumi juga menggandakan kecepatannya. Suara bising terdengar, gaduh dan berisik. Masumi kembali berteriak memanggil nama Maya tapi suara bising itu menghalangi teriakannya. Dia yakin Maya tidak mendengar panggilannya.
Dia terus berlari tapi usahanya sia-sia. Maya semakin jauh, jauh dan jauh, masuk ke dalam kegelapan. Dan saat Maya benar-benar ditelan kegelapan suara Masumi melengking memanggilnya.
"MAYA !!!"
Terengah, panik dan keringat dingin membanjiri wajah dan seluruh tubuhnya. Masumi memeluk dirinya sendiri, gemetar, dia berusaha mengatur napasnya, mencari ketenangan diri.
"Mimpi, ini hanya mimpi," gumam Masumi dengan suara parau yang terengah. Berusaha meredam kepanikan dari mimpi buruknya.
Yakin ketenangannya sudah kembali Masumi turun dari ranjang besarnya dan menuang air ke gelas lalu menghabiskannya dalam sekali teguk. Matanya melihat jam digital diatas nakas, pukul lima pagi. Batinnya kembali tidak tenang.
Perasaan yang sama pernah dialaminya, saat dikantor, cangkir kopinya yang pecah dan waktu itu Maya mengalami kecelakaan saat latihan. Bayangan buruk langsung menyergapnya. Menghitung mundur waktu dan batin Masumi semakin tidak tenang.
"Sekarang pukul tiga sore di New York," gumamnya.
"Sial!! Aku tidak tahu apa jadwalnya hari ini," gerutu Masumi.
Dengan cepat Masumi meraih handphonenya dan melakukan panggilan.
'Maya Kitajima, silakan tinggalkan pesan.'
Hanya pesan suara yang menjawab dan Masumi tahu handphone Maya memang selalu dimatikan saat latihan.
"Dia sedang latihan, dia sedang latihan. Ayolah Masumi, ini hanya mimpi buruk,"
Maya justru berlari semakin cepat dan Masumi juga menggandakan kecepatannya. Suara bising terdengar, gaduh dan berisik. Masumi kembali berteriak memanggil nama Maya tapi suara bising itu menghalangi teriakannya. Dia yakin Maya tidak mendengar panggilannya.
Dia terus berlari tapi usahanya sia-sia. Maya semakin jauh, jauh dan jauh, masuk ke dalam kegelapan. Dan saat Maya benar-benar ditelan kegelapan suara Masumi melengking memanggilnya.
"MAYA !!!"
Terengah, panik dan keringat dingin membanjiri wajah dan seluruh tubuhnya. Masumi memeluk dirinya sendiri, gemetar, dia berusaha mengatur napasnya, mencari ketenangan diri.
"Mimpi, ini hanya mimpi," gumam Masumi dengan suara parau yang terengah. Berusaha meredam kepanikan dari mimpi buruknya.
Yakin ketenangannya sudah kembali Masumi turun dari ranjang besarnya dan menuang air ke gelas lalu menghabiskannya dalam sekali teguk. Matanya melihat jam digital diatas nakas, pukul lima pagi. Batinnya kembali tidak tenang.
Perasaan yang sama pernah dialaminya, saat dikantor, cangkir kopinya yang pecah dan waktu itu Maya mengalami kecelakaan saat latihan. Bayangan buruk langsung menyergapnya. Menghitung mundur waktu dan batin Masumi semakin tidak tenang.
"Sekarang pukul tiga sore di New York," gumamnya.
"Sial!! Aku tidak tahu apa jadwalnya hari ini," gerutu Masumi.
Dengan cepat Masumi meraih handphonenya dan melakukan panggilan.
'Maya Kitajima, silakan tinggalkan pesan.'
Hanya pesan suara yang menjawab dan Masumi tahu handphone Maya memang selalu dimatikan saat latihan.
"Dia sedang latihan, dia sedang latihan. Ayolah Masumi, ini hanya mimpi buruk,"
Masumi
mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang
selain menunggu kabar dari Maya. Jarak membuatnya tidak berdaya dan ketidak
berdayaan itu kembali menelannya dalam kesakitan.
***
***
"Kau
yakin tidak ada yang mengikutimu?" Kurir gadungan itu menggendong Maya
dengan kedua lengannya dan memasukkannya ke dalam box besar tempat biasa
menyimpan properti.
"Tidak, semua sedang istirahat keluar, menejernya sedang pergi dan pengawalnya sedang ke toilet. Waktu kita tidak banyak sampai pengawal itu kembali, kau harus segera pergi, James," Mia membantu menutupi tubuh Maya dengan selimut sebelum menutup boxnya.
James mengangguk lalu segera mendorong kotak besar itu keluar melalui pintu belakang. Mia bergegas pergi, tidak ada yang melihatnya mengajak Maya dan dia ingin menciptakan alibi untuk dirinya sendiri. Diapun pergi mencari Janet dan Olive, tergesa berlari Mia melupakan buket bunga yang masih tergeletak di dekat pintu.
Alex kembali dari toilet sepuluh menit kemudian. Langsung menuju studio latihan, mengernyit heran saat melihat studio kosong dan tidak menemukan Maya. Diapun berlari ke ruang ganti Maya sambil melakukan percakapan dengan rekannya yang berjaga diluar gedung dengan alat komunikasi yang tersemat di kerah bajunya.
Mengetuk pintu ruang ganti dua kali namun tidak ada jawaban.
"Nona Maya! Anda didalam?" Panggilnya saat tidak ada respon dari ketukan pintunya.
Mencoba membuka pintu namun pintu masih terkunci. Instingnya merasa telah terjadi sesuatu yang salah. Alex mengeluarkan kunci duplikat ruang ganti Maya dari sakunya, ekspresi wajahnya mengeras saat melihat ruang ganti Maya juga kosong. Tas Maya masih berada ditempatnya jadi dia yakin Maya tidak meninggalkan gedung. Dengan cepat dia berbalik dan memanggil rekannya untuk membantunya mencari Maya. Kedua rekannya yang berjaga di luar tidak melihat Maya meninggalkan gedung. Ketiganya bergerak cepat menyusuri setiap koridor dan ruangan.
Rose baru saja tiba dan sedang berjalan ke studio latihan saat dia berpapasan dengan Alex.
"Nona Miller, apa anda bersama Nona Maya?" Alex langsung menyergahnya dengan pertanyaan.
"Aku baru saja datang dan aku belum bertemu Maya. Apa yang terjadi?" Rose terheran dengan pertanyaan Alex, tidak biasanya pengawal itu mencari Maya karena tugasnya adalah menjadi bayangan Maya.
"Maaf, saya baru saja dari toilet tadi dan saat kembali saya tidak menemukan Nona Maya,"
Kedua rekan Alex juga kembali dengan raut wajah yang tegang. Tanpa kata Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Rose segera berlari ke studio latihan, beberapa pemain sudah mulai berkumpul, lima belas menit lagi latihan sesi ke dua akan dimulai. David sang sutradara juga sudah ada disana bersama dengan Joseph, keduanya sedang berdiskusi dengan serius.
"Permisi Tuan Black, Joseph." Rose menyela diskusi keduanya.
"Ada apa Nona Miller?" Tanya David.
"Apa anda melihat Maya? Joseph? Apa kau bertemu Maya?"
David dan Joseph saling berpandangan lalu kembali menatap Rose, "Tidak," jawab keduanya bersamaan.
"Oh, baiklah. Terima kasih," Rose berusaha tetap tenang dan meninggalkan David juga Joseph yang terlihat bingung.
Rose kembali keruang ganti Maya, dia juga memiliki kunci duplikatnya. Dirinya belum sempat masuk saat Alex datang membawa sebuah buket bunga mawar ungu.
"Tuan Black dan Joseph tidak melihat Maya," kata Rose tanpa menunggu Alex bertanya, matanya beralih pada buket bunga yang dibawa Alex,
"Tidak, semua sedang istirahat keluar, menejernya sedang pergi dan pengawalnya sedang ke toilet. Waktu kita tidak banyak sampai pengawal itu kembali, kau harus segera pergi, James," Mia membantu menutupi tubuh Maya dengan selimut sebelum menutup boxnya.
James mengangguk lalu segera mendorong kotak besar itu keluar melalui pintu belakang. Mia bergegas pergi, tidak ada yang melihatnya mengajak Maya dan dia ingin menciptakan alibi untuk dirinya sendiri. Diapun pergi mencari Janet dan Olive, tergesa berlari Mia melupakan buket bunga yang masih tergeletak di dekat pintu.
Alex kembali dari toilet sepuluh menit kemudian. Langsung menuju studio latihan, mengernyit heran saat melihat studio kosong dan tidak menemukan Maya. Diapun berlari ke ruang ganti Maya sambil melakukan percakapan dengan rekannya yang berjaga diluar gedung dengan alat komunikasi yang tersemat di kerah bajunya.
Mengetuk pintu ruang ganti dua kali namun tidak ada jawaban.
"Nona Maya! Anda didalam?" Panggilnya saat tidak ada respon dari ketukan pintunya.
Mencoba membuka pintu namun pintu masih terkunci. Instingnya merasa telah terjadi sesuatu yang salah. Alex mengeluarkan kunci duplikat ruang ganti Maya dari sakunya, ekspresi wajahnya mengeras saat melihat ruang ganti Maya juga kosong. Tas Maya masih berada ditempatnya jadi dia yakin Maya tidak meninggalkan gedung. Dengan cepat dia berbalik dan memanggil rekannya untuk membantunya mencari Maya. Kedua rekannya yang berjaga di luar tidak melihat Maya meninggalkan gedung. Ketiganya bergerak cepat menyusuri setiap koridor dan ruangan.
Rose baru saja tiba dan sedang berjalan ke studio latihan saat dia berpapasan dengan Alex.
"Nona Miller, apa anda bersama Nona Maya?" Alex langsung menyergahnya dengan pertanyaan.
"Aku baru saja datang dan aku belum bertemu Maya. Apa yang terjadi?" Rose terheran dengan pertanyaan Alex, tidak biasanya pengawal itu mencari Maya karena tugasnya adalah menjadi bayangan Maya.
"Maaf, saya baru saja dari toilet tadi dan saat kembali saya tidak menemukan Nona Maya,"
Kedua rekan Alex juga kembali dengan raut wajah yang tegang. Tanpa kata Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Rose segera berlari ke studio latihan, beberapa pemain sudah mulai berkumpul, lima belas menit lagi latihan sesi ke dua akan dimulai. David sang sutradara juga sudah ada disana bersama dengan Joseph, keduanya sedang berdiskusi dengan serius.
"Permisi Tuan Black, Joseph." Rose menyela diskusi keduanya.
"Ada apa Nona Miller?" Tanya David.
"Apa anda melihat Maya? Joseph? Apa kau bertemu Maya?"
David dan Joseph saling berpandangan lalu kembali menatap Rose, "Tidak," jawab keduanya bersamaan.
"Oh, baiklah. Terima kasih," Rose berusaha tetap tenang dan meninggalkan David juga Joseph yang terlihat bingung.
Rose kembali keruang ganti Maya, dia juga memiliki kunci duplikatnya. Dirinya belum sempat masuk saat Alex datang membawa sebuah buket bunga mawar ungu.
"Tuan Black dan Joseph tidak melihat Maya," kata Rose tanpa menunggu Alex bertanya, matanya beralih pada buket bunga yang dibawa Alex,
"Dari
mana kau mendapatkan itu?" Tanya Rose, dia sudah tahu semua cerita tentang
Maya dan mawar ungunya.
"Kami menemukannya di dekat pintu belakang. Saya akan memeriksanya untuk melihat sidik jarinya. Saya juga sudah hubungi Ryan."
Rose mengamati tangan kanan Alex yang membawa buket bunga, dia memakai sarung tangan latex.
"Apa Maya diculik?" Rose menarik kesimpulan sendiri.
"Saya belum tahu, semua rekan saya sedang menyusuri gedung,"
Rose berusaha menenangkan dirinya sendiri dan masuk ke ruang ganti Maya. Alex bergegas pergi, salah satu rekannya tetap tinggal dan berjaga di luar ruang ganti Maya.
Tidak perlu waktu lama bagi Christ untuk sampai di gedung Teater Scarlet saat mendengar Maya menghilang.
"APA APAAN INI?! KALIAN TIGA ORANG DAN TIDAK BISA MENJAGA SEORANG GADIS!! BRENGSEK !!" Christ murka tingkat dewa diruangan kerja mamanya.
"Kami menemukannya di dekat pintu belakang. Saya akan memeriksanya untuk melihat sidik jarinya. Saya juga sudah hubungi Ryan."
Rose mengamati tangan kanan Alex yang membawa buket bunga, dia memakai sarung tangan latex.
"Apa Maya diculik?" Rose menarik kesimpulan sendiri.
"Saya belum tahu, semua rekan saya sedang menyusuri gedung,"
Rose berusaha menenangkan dirinya sendiri dan masuk ke ruang ganti Maya. Alex bergegas pergi, salah satu rekannya tetap tinggal dan berjaga di luar ruang ganti Maya.
Tidak perlu waktu lama bagi Christ untuk sampai di gedung Teater Scarlet saat mendengar Maya menghilang.
"APA APAAN INI?! KALIAN TIGA ORANG DAN TIDAK BISA MENJAGA SEORANG GADIS!! BRENGSEK !!" Christ murka tingkat dewa diruangan kerja mamanya.
Alex
dan dua rekannya tidak bergeming ditempatnya, menerima amukan Dark Lord. Lima
orang pengawal lain sudah siaga di belakang Alex. Ryan masuk dan Christ melihatnya
garang. Ryan yang sudah sangat terbiasa dengan tatapan itu sama sekali tidak
merasa terintimidasi.
"APA?!" Bentaknya.
"Saya sudah minta staf di ruang kontrol keamanan untuk memeriksa semua CCTV di gedung," lapor Ryan.
"Bagus!" Christ menurunkan nada suaranya.
"APA?!" Bentaknya.
"Saya sudah minta staf di ruang kontrol keamanan untuk memeriksa semua CCTV di gedung," lapor Ryan.
"Bagus!" Christ menurunkan nada suaranya.
Matanya
langsung menatap kelima pengawal yang berdiri berjajar, juga pada Alex dan dua
rekannya.
"Dengar, aku mau ini menjadi simpel untuk diingat!" Christ bicara dengan tenang tapi mematikan, "Temukan adikku atau kalian akan menyesal sudah dilahirkan!!"
Ryan memberikan isyarat dengan matanya dan semua pengawal itu keluar dari ruangan untuk melakukan tugasnya.
Christ menghempaskan dirinya keras di kursi kerja mamanya. Clara sedang menghadiri sebuah acara bersama Michael, Christ belum memberitahu mereka karena tidak mau membuat keduanya panik.
"Bagaimana dengan sidik jarinya?" Tanya Christ, kedua tangannya mencengkram rambutnya dengan kedua siku bertumpu di meja.
"Datanya masih dipindai Tuan, sekitar lima belas menit lagi hasilnya bisa kita dapatkan,"
"Sial!!" Maki Christ lagi. Kepalan tangannya mendarat keras dimeja.
"Saya menduga pelakunya mengenal Nona Maya dengan baik. Dia tahu tentang mawar ungu sehingga bisa memanfaatkan itu untuk memancing Nona,"
"Temukan dia Ryan! Apapun caranya! Temukan adikku!!"
"Tentu Tuan,"
Latihan drama di studio tetap berjalan lancar meski tanpa kehadiran Maya. Rose memberi alasan pada David bahwa Maya tiba-tiba tidak enak badan dan harus istirahat. Ryan dan anak buahnya bergerak dengan rapi agar tidak menimbulkan kecurigaan. Christ menekankan bahwa berita hilangnya Maya tidak boleh tersebar.
"Tuan, kita harus keruang kontrol keamanan sekarang, mereka menemukan sesuatu," kata Ryan setelah menerima telepon dari staf keamanan yang sedang memeriksa CCTV.
Christ melompat dari kursinya dan bergegas keruang kontrol keamanan.
"Tidak ada CCTV di koridor studio latihan Tuan. Tapi ada dikoridor menuju pintu belakang dan sangat mencurigakan karena ternyata CCTV itu rusak sejak pukul satu siang ini." Salah satu staf menjelaskan.
"Dan satu lagi yang mencurigakan, pria yang memakai seragam kru panggung itu. Dia masuk lewat pintu belakang dengan membawa box properti dan keluar lewat pintu belakang diwaktu yang sama dengan Nona Kitajima mulai menghilang. Jika memang buket bunga itu ditujukan pada Nona Kitajima berarti besar kemungkinan dia memang membawanya melalui pintu belakang. Mungkin buket bunga itu ada didalam box dan saat keluar dia membawa Nona Kitajima dengan box itu,"
Wajah Christ merah padam membayangkan Maya ada didalam box properti.
Belum sempat Christ meledak salah satu anak buah Ryan yang masuk mengalihkan perhatiannya. Dia memberikan sebuah map pada Ryan, itu adalah hasil sidik jari yang ada dibuket bunga. Ekspresi tenang Ryan langsung berubah tak terbaca.
"Ada orang dalam yang terlibat Tuan," kata Ryan dengan mata yang menyala.
Christ mengambil map itu dan mulai membacanya. Ada satu sidik jari yang terbaca di buket bunga itu. Mia Grene.
"Kurang ajar!!" Christ bergegas menuju pintu tapi dengan cepat Ryan menghalanginya.
"Apa?!" Bentak Christ.
"Dia adalah kunci bagi kita untuk menemukan Nona Maya. Jika hanya ada sidik jarinya di buket itu padahal ada kecurigaan seorang pria membantunya, jelas pria itu bukan orang sembarangan Tuan."
"Maksudmu, Mia bekerja untuk orang lain?"
"Benar Tuan,"
Christ menenangkan dirinya. "Apa rencanamu?"
"Tikus akan kembali kesarangnya untuk berkumpul dengan koloninya,"
Christ terdiam.
Latihan selesai pukul tujuh malam. Christ sudah menyuruh Rose pulang dan menunggu kabar darinya. Anak buah Ryan sudah mencari tahu tentang Mia dan entah bagaimana mereka melakukannya, berkas Mia sudah berada ditangan Christ hanya dalam waktu satu jam. Mereka juga menggeledah apartemen Mia dan menemukan kliping artikel tentang Maya juga foto-fota Maya juga Jenifer yang dicoret-coret dengan marker merah.
Usai latihan, Mia mengendarai mobilnya dan sesuai perkiraan Ryan dia tidak kembali ke apartemennya tapi menuju sarang koloninya. Christ bersama Ryan dan semua anak buahnya sudah siaga mengikuti mobil Mia.
***
Maya terbangun, mengedipkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya yang sedikit kabur. Entah sudah berapa lama dia tidak sadar. Maya mengamati sekelilingnya dan ruangan dengan cahaya redup itu benar-benar asing bagi Maya.
Ruanganya cukup luas, seukuran ruang tamu apartemennya tapi tidak ada perabot sama sekali. Kosong. Hanya ada karpet kecil terbentang, tempat dimana dia berbaring sekarang. Berusaha menggerakkan tangannya dan baru disadari kalau tangannya terikat dibelakang punggung, kakinya bebas namun mulutnya ditutup dengan plester.
"Apa yang terjadi?"
Maya memutar memorinya. Ingatan terakhirnya adalah dia bersama dengan Mia dan kurir yang membawa bunga lalu spray obat tidur.
"Mia?!" Pekiknya dalam hati.
Otak Maya berspekulasi, ada dua kemungkinan. Pertama Mia juga bernasib sama seperti dirinya atau kedua Mia lah yang merencanakan semuanya.
Maya berusaha melepaskan ikatan tangannya tapi ikatannya terlalu kencang dan dia gagal. Malah tangannya semakin sakit karena tali yang mengikat tangan Maya terbuat dari bahan yang kasar. Jantung Maya berdebar, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi padanya. Air matanya mulai mendesak keluar, dia berusaha menahannya karena tahu itu bukan waktu yang tepat untuk menangis. Dalam hati Maya terus merapal nama Masumi seperti sebuah doa. Bayangan terburuk melintas dikepalanya. Ketakutan bahwa dirinya tidak bisa melihat Masumi lagi membuat hatinya sakit.
Maya berusaha bangun, menguatkan hatinya. Berharap bahwa masih ada harapan. Hatinya sedikit mengembang saat berpikir bahwa ada orang yang akan langsung menyadari kalau dirinya hilang dan Maya dapat pastikan orang itu akan dengan gila mencari dirinya. Christian Anderson. Sekalipun Maya sebenarnya tidak pernah mengira bahwa dia akan sangat mengharapkan kehadiran Christ. Dalam hatinya dia berdoa masih bisa bertahan sampai saat Christ datang menemukannya. Christ adalah Mr. Tidak Masuk Akal kedua selain Masumi yang akan rela melakukan apapun untuknya. Dan untuk kali ini Maya bersyukur untuk hal itu. Paling tidak itu adalah harapan terakhirnya sekarang.
Pintu tiba-tiba terbuka dan tiga orang pria berpakaian serba hitam masuk. Maya menyipitkan matanya untuk melihat wajah ketiganya, tidak satupun orang dikenalnya. Seorang pria berbadan tegap berambut hitam dengan bekas luka berbentuk garis tipis di pipinya mendekat pada Maya. Dia berjongkok didepan Maya yang duduk diatas karpet. Maya baru mengenalinya sebagai kurir yang membawa buket bunga mawar ungu.
"Apa kabar Nona Kitajima?" Tanyanya basa basi, jelas dia tahu Maya tidak bisa menjawab.
Maya menatapnya tajam, bukan saatnya untuk takut. Sudah dua kali dia harus berhadapan dengan kekerasan, batin Maya merutuk keras saat mengingatnya.
"Apa mauku? Itukan arti tatapan mata itu?" Tidak beranjak dari tempatnya, pria itu tertawa dan saat berhenti dia menyeringai pada Maya.
Pria itu meraih dagu Maya dan menatapnya tajam.
"Namamu sudah cukup terkenal Nona Kitajima. Kami hanya ingin nama anda di kenang dengan sangat baik oleh penggemar anda," katanya yang kemudian melepaskan dagunya lalu berdiri.
Maya memeras otaknya untuk mencerna perkataan pria itu dan jantungnya berdegub semakin keras.
"Dikenang penggemarku?" alis Maya bertaut.
"Berpikir keras Nona Kitajima?" Pria itu ternyata mengamati ekspresi Maya, seringainya kembali menghias wajah dinginnya.
"Sial!!" Maya berteriak dalam hati saat menyadari apa yang terjadi,
"Dia ingin aku dikenang penggemarku? Dia membawa mawar ungu, berarti dia tahu penggemarku dan dia ingin aku dikenang...dikenang mawar ungu...dikenang Masumi...berarti aku...aku? Mati? Dibunuh? Disini?"
"Dengar, aku mau ini menjadi simpel untuk diingat!" Christ bicara dengan tenang tapi mematikan, "Temukan adikku atau kalian akan menyesal sudah dilahirkan!!"
Ryan memberikan isyarat dengan matanya dan semua pengawal itu keluar dari ruangan untuk melakukan tugasnya.
Christ menghempaskan dirinya keras di kursi kerja mamanya. Clara sedang menghadiri sebuah acara bersama Michael, Christ belum memberitahu mereka karena tidak mau membuat keduanya panik.
"Bagaimana dengan sidik jarinya?" Tanya Christ, kedua tangannya mencengkram rambutnya dengan kedua siku bertumpu di meja.
"Datanya masih dipindai Tuan, sekitar lima belas menit lagi hasilnya bisa kita dapatkan,"
"Sial!!" Maki Christ lagi. Kepalan tangannya mendarat keras dimeja.
"Saya menduga pelakunya mengenal Nona Maya dengan baik. Dia tahu tentang mawar ungu sehingga bisa memanfaatkan itu untuk memancing Nona,"
"Temukan dia Ryan! Apapun caranya! Temukan adikku!!"
"Tentu Tuan,"
Latihan drama di studio tetap berjalan lancar meski tanpa kehadiran Maya. Rose memberi alasan pada David bahwa Maya tiba-tiba tidak enak badan dan harus istirahat. Ryan dan anak buahnya bergerak dengan rapi agar tidak menimbulkan kecurigaan. Christ menekankan bahwa berita hilangnya Maya tidak boleh tersebar.
"Tuan, kita harus keruang kontrol keamanan sekarang, mereka menemukan sesuatu," kata Ryan setelah menerima telepon dari staf keamanan yang sedang memeriksa CCTV.
Christ melompat dari kursinya dan bergegas keruang kontrol keamanan.
"Tidak ada CCTV di koridor studio latihan Tuan. Tapi ada dikoridor menuju pintu belakang dan sangat mencurigakan karena ternyata CCTV itu rusak sejak pukul satu siang ini." Salah satu staf menjelaskan.
"Dan satu lagi yang mencurigakan, pria yang memakai seragam kru panggung itu. Dia masuk lewat pintu belakang dengan membawa box properti dan keluar lewat pintu belakang diwaktu yang sama dengan Nona Kitajima mulai menghilang. Jika memang buket bunga itu ditujukan pada Nona Kitajima berarti besar kemungkinan dia memang membawanya melalui pintu belakang. Mungkin buket bunga itu ada didalam box dan saat keluar dia membawa Nona Kitajima dengan box itu,"
Wajah Christ merah padam membayangkan Maya ada didalam box properti.
Belum sempat Christ meledak salah satu anak buah Ryan yang masuk mengalihkan perhatiannya. Dia memberikan sebuah map pada Ryan, itu adalah hasil sidik jari yang ada dibuket bunga. Ekspresi tenang Ryan langsung berubah tak terbaca.
"Ada orang dalam yang terlibat Tuan," kata Ryan dengan mata yang menyala.
Christ mengambil map itu dan mulai membacanya. Ada satu sidik jari yang terbaca di buket bunga itu. Mia Grene.
"Kurang ajar!!" Christ bergegas menuju pintu tapi dengan cepat Ryan menghalanginya.
"Apa?!" Bentak Christ.
"Dia adalah kunci bagi kita untuk menemukan Nona Maya. Jika hanya ada sidik jarinya di buket itu padahal ada kecurigaan seorang pria membantunya, jelas pria itu bukan orang sembarangan Tuan."
"Maksudmu, Mia bekerja untuk orang lain?"
"Benar Tuan,"
Christ menenangkan dirinya. "Apa rencanamu?"
"Tikus akan kembali kesarangnya untuk berkumpul dengan koloninya,"
Christ terdiam.
Latihan selesai pukul tujuh malam. Christ sudah menyuruh Rose pulang dan menunggu kabar darinya. Anak buah Ryan sudah mencari tahu tentang Mia dan entah bagaimana mereka melakukannya, berkas Mia sudah berada ditangan Christ hanya dalam waktu satu jam. Mereka juga menggeledah apartemen Mia dan menemukan kliping artikel tentang Maya juga foto-fota Maya juga Jenifer yang dicoret-coret dengan marker merah.
Usai latihan, Mia mengendarai mobilnya dan sesuai perkiraan Ryan dia tidak kembali ke apartemennya tapi menuju sarang koloninya. Christ bersama Ryan dan semua anak buahnya sudah siaga mengikuti mobil Mia.
***
Maya terbangun, mengedipkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya yang sedikit kabur. Entah sudah berapa lama dia tidak sadar. Maya mengamati sekelilingnya dan ruangan dengan cahaya redup itu benar-benar asing bagi Maya.
Ruanganya cukup luas, seukuran ruang tamu apartemennya tapi tidak ada perabot sama sekali. Kosong. Hanya ada karpet kecil terbentang, tempat dimana dia berbaring sekarang. Berusaha menggerakkan tangannya dan baru disadari kalau tangannya terikat dibelakang punggung, kakinya bebas namun mulutnya ditutup dengan plester.
"Apa yang terjadi?"
Maya memutar memorinya. Ingatan terakhirnya adalah dia bersama dengan Mia dan kurir yang membawa bunga lalu spray obat tidur.
"Mia?!" Pekiknya dalam hati.
Otak Maya berspekulasi, ada dua kemungkinan. Pertama Mia juga bernasib sama seperti dirinya atau kedua Mia lah yang merencanakan semuanya.
Maya berusaha melepaskan ikatan tangannya tapi ikatannya terlalu kencang dan dia gagal. Malah tangannya semakin sakit karena tali yang mengikat tangan Maya terbuat dari bahan yang kasar. Jantung Maya berdebar, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi padanya. Air matanya mulai mendesak keluar, dia berusaha menahannya karena tahu itu bukan waktu yang tepat untuk menangis. Dalam hati Maya terus merapal nama Masumi seperti sebuah doa. Bayangan terburuk melintas dikepalanya. Ketakutan bahwa dirinya tidak bisa melihat Masumi lagi membuat hatinya sakit.
Maya berusaha bangun, menguatkan hatinya. Berharap bahwa masih ada harapan. Hatinya sedikit mengembang saat berpikir bahwa ada orang yang akan langsung menyadari kalau dirinya hilang dan Maya dapat pastikan orang itu akan dengan gila mencari dirinya. Christian Anderson. Sekalipun Maya sebenarnya tidak pernah mengira bahwa dia akan sangat mengharapkan kehadiran Christ. Dalam hatinya dia berdoa masih bisa bertahan sampai saat Christ datang menemukannya. Christ adalah Mr. Tidak Masuk Akal kedua selain Masumi yang akan rela melakukan apapun untuknya. Dan untuk kali ini Maya bersyukur untuk hal itu. Paling tidak itu adalah harapan terakhirnya sekarang.
Pintu tiba-tiba terbuka dan tiga orang pria berpakaian serba hitam masuk. Maya menyipitkan matanya untuk melihat wajah ketiganya, tidak satupun orang dikenalnya. Seorang pria berbadan tegap berambut hitam dengan bekas luka berbentuk garis tipis di pipinya mendekat pada Maya. Dia berjongkok didepan Maya yang duduk diatas karpet. Maya baru mengenalinya sebagai kurir yang membawa buket bunga mawar ungu.
"Apa kabar Nona Kitajima?" Tanyanya basa basi, jelas dia tahu Maya tidak bisa menjawab.
Maya menatapnya tajam, bukan saatnya untuk takut. Sudah dua kali dia harus berhadapan dengan kekerasan, batin Maya merutuk keras saat mengingatnya.
"Apa mauku? Itukan arti tatapan mata itu?" Tidak beranjak dari tempatnya, pria itu tertawa dan saat berhenti dia menyeringai pada Maya.
Pria itu meraih dagu Maya dan menatapnya tajam.
"Namamu sudah cukup terkenal Nona Kitajima. Kami hanya ingin nama anda di kenang dengan sangat baik oleh penggemar anda," katanya yang kemudian melepaskan dagunya lalu berdiri.
Maya memeras otaknya untuk mencerna perkataan pria itu dan jantungnya berdegub semakin keras.
"Dikenang penggemarku?" alis Maya bertaut.
"Berpikir keras Nona Kitajima?" Pria itu ternyata mengamati ekspresi Maya, seringainya kembali menghias wajah dinginnya.
"Sial!!" Maya berteriak dalam hati saat menyadari apa yang terjadi,
"Dia ingin aku dikenang penggemarku? Dia membawa mawar ungu, berarti dia tahu penggemarku dan dia ingin aku dikenang...dikenang mawar ungu...dikenang Masumi...berarti aku...aku? Mati? Dibunuh? Disini?"
Batin
Maya meracau diiringi deguban jantung yang semakin berpacu. Tubuh Maya gemetar,
jika analisanya benar maka umurnya tidak akan lama lagi.
"Christ!! Tolong!!" Tanpa sadar batin Maya berteriak, mengharapkan 'Dark Lord'-nya datang sebagai 'White Knight' yang menyelamatkannya.
Air mata Maya tak terbendung. Ketakutannya memuncak saat memikirkan dirinya akan berakhir dengan meninggalkan nama. Itu bukan tujuannya datang ke New York, masih banyak yang harus dilakukannya. Terlebih impiannya. Impiannya untuk meraih kebahagian bersama Masumi. Dan jika dia mati hari ini maka semua itu benar-benar hanya akan menjadi sebuah mimpi.
Suara tawa pria itu menarik Maya dari angannya yang melayang. Ketakutan membuat otaknya tidak pikir panjang sekarang. Maya berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang gemetar dan pria yang sibuk menertawakan Maya itu terlambat menyadari apa yang ingin dilakukannya. Maya melompat keras menabrakkan tubuhnya pada pria itu, mendorongnya keras hingga terjatuh lalu berusaha bangkit dan berlari kepintu. Jelas rencana singkat dan bodohnya itu gagal karena ada dua orang lain yang berjaga didekat pintu. Keduanya langsung menyergap kedua lengan Maya, membawanya kehadapan pria dengan bekas luka diwajahnya yang sekarang sudah kembali berdiri.
Plaaaakkk !!! Brukkk!!
Tubuh Maya terpelanting ke atas karpet. Indra pengecap Maya merasakan asin didalam mulutnya yang masih dibungkam dengan plester.
Maya terengah, pandangannya sedikit kabur karena kepalanya membentur karpet kasar saat terjatuh. Berkedip beberapa kali dan pandangannya kembali normal. Dalam redupnya cahaya lampu Maya masih bisa melihat jelas kemarahan pria itu.
Berjalan mendekati Maya dan mencengkram lengannya. Membuat tubuh Maya terangkat dari karpet dan sekali lagi suara tamparan menggema di dalam ruangan. Maya meringkuk menahan nyeri.
"Kau akan mati dengan tenang jika tidak melawan! Aku tidak peduli kalaupun kau seorang wanita! Jika melawan aku akan menghajarmu." Hardiknya.
Maya hanya menatap dari sudut matanya. Rambutnya yang berantakan menghalangi pandangannya dan tangannya juga tidak bisa digerakkan. Dalam diam tubuhnya mulai merasakan sakit karena dua kali terhempas di atas karpet kasar dan pipinya berdenyut kencang karena dua tamparan tanpa ampun.
Pintu kembali terbuka dan seorang wanita masuk. Berjalan dengan angkuh dan menyeringai puas saat melihat Maya meringkuk di lantai. Dada Maya begitu sesak saat melihat wanita itu.
"Kau apakan dia?" Tanya Mia sinis.
"Hanya memberinya sedikit pelajaran." Jawab pria itu.
"Apa kau akan benar-benar menyingkirkannya James?"
Maya terkesiap, berharap otaknya dapat merekam percakapan itu, mengingat nama Mia dan pria yang dipanggil James itu.
Mia mendekati Maya dan menyibakkan rambut Maya yang berantakan dari wajahnya.
Mata membulatkan matanya menatap Mia dan Mia hanya tertawa.
"Halo Maya, bagaimana kabarmu?"
Dengan cepat Mia kembali berdiri dan menatap James.
"Orang yang membayarku tidak peduli apa yang akan kulakukan padanya. Dia hanya mau wanita itu mati," jawab James.
"Aku hanya mau dia keluar dari Scarlet, aku tidak peduli kalau kau akan membunuhnya. Yang penting bukan aku yang melakukannya,"
"Kelihatannya kau berusaha memanfaatkan aku?" James terkekeh.
"Memang," Mia dengan gaya angkuh melipat tangannya didada, seolah olah dialah yang berkuasa.
"Sayangnya kau tidak cukup pintar dan peranmu sudah selesai nona manis,"
Mia mengernyit, "Apa maksudmu?"
James tertawa, "Kau pikir untuk apa aku mencari tahu tentangmu dan mengajakmu bekerja sama?"
"Aku tidak mengerti," raut wajah Mia lansung berubah. Merasa ada yang salah.
James mendekati Mia, membelai wajahnya dengan cara yang tidak sopan dan Mia menepisnya dengan kasar.
"Apa kau masih belum mengerti kenapa aku menyuruhmu menyiapkan buket bunga itu, merusak CCTV dikoridor, membawa Maya ke pintu belakang?"
Mia terdiam.
"Aku tidak bisa mendekati Maya dengan pengawalan seketat itu. Dibutuhkan campur tangan orang dalam untuk melepaskan Maya dari pengawalnya dan kau ternyata bekerja dengan sangat efektif,"
Sejenak terdiam, James mengamati ekspresi wajah Mia yang mulai menegang.
"Aku tidak heran kau sanggup merusak balkon itu tanpa meninggalkan jejak, ternyata ambisimu untuk menjadi aktris nomor satu Scarlet membuatmu bisa melakukan apa saja,"
Hati Maya tersayat mendengar perkataan James. Kecelakaan yamg menimpanya ternyata adalah usaha Mia untuk menyingkirkannya. Maya menelan pil pahit kenyataan bahwa orang yang dianggap teman justru ingin menyakitinya.
"Christ!! Tolong!!" Tanpa sadar batin Maya berteriak, mengharapkan 'Dark Lord'-nya datang sebagai 'White Knight' yang menyelamatkannya.
Air mata Maya tak terbendung. Ketakutannya memuncak saat memikirkan dirinya akan berakhir dengan meninggalkan nama. Itu bukan tujuannya datang ke New York, masih banyak yang harus dilakukannya. Terlebih impiannya. Impiannya untuk meraih kebahagian bersama Masumi. Dan jika dia mati hari ini maka semua itu benar-benar hanya akan menjadi sebuah mimpi.
Suara tawa pria itu menarik Maya dari angannya yang melayang. Ketakutan membuat otaknya tidak pikir panjang sekarang. Maya berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang gemetar dan pria yang sibuk menertawakan Maya itu terlambat menyadari apa yang ingin dilakukannya. Maya melompat keras menabrakkan tubuhnya pada pria itu, mendorongnya keras hingga terjatuh lalu berusaha bangkit dan berlari kepintu. Jelas rencana singkat dan bodohnya itu gagal karena ada dua orang lain yang berjaga didekat pintu. Keduanya langsung menyergap kedua lengan Maya, membawanya kehadapan pria dengan bekas luka diwajahnya yang sekarang sudah kembali berdiri.
Plaaaakkk !!! Brukkk!!
Tubuh Maya terpelanting ke atas karpet. Indra pengecap Maya merasakan asin didalam mulutnya yang masih dibungkam dengan plester.
Maya terengah, pandangannya sedikit kabur karena kepalanya membentur karpet kasar saat terjatuh. Berkedip beberapa kali dan pandangannya kembali normal. Dalam redupnya cahaya lampu Maya masih bisa melihat jelas kemarahan pria itu.
Berjalan mendekati Maya dan mencengkram lengannya. Membuat tubuh Maya terangkat dari karpet dan sekali lagi suara tamparan menggema di dalam ruangan. Maya meringkuk menahan nyeri.
"Kau akan mati dengan tenang jika tidak melawan! Aku tidak peduli kalaupun kau seorang wanita! Jika melawan aku akan menghajarmu." Hardiknya.
Maya hanya menatap dari sudut matanya. Rambutnya yang berantakan menghalangi pandangannya dan tangannya juga tidak bisa digerakkan. Dalam diam tubuhnya mulai merasakan sakit karena dua kali terhempas di atas karpet kasar dan pipinya berdenyut kencang karena dua tamparan tanpa ampun.
Pintu kembali terbuka dan seorang wanita masuk. Berjalan dengan angkuh dan menyeringai puas saat melihat Maya meringkuk di lantai. Dada Maya begitu sesak saat melihat wanita itu.
"Kau apakan dia?" Tanya Mia sinis.
"Hanya memberinya sedikit pelajaran." Jawab pria itu.
"Apa kau akan benar-benar menyingkirkannya James?"
Maya terkesiap, berharap otaknya dapat merekam percakapan itu, mengingat nama Mia dan pria yang dipanggil James itu.
Mia mendekati Maya dan menyibakkan rambut Maya yang berantakan dari wajahnya.
Mata membulatkan matanya menatap Mia dan Mia hanya tertawa.
"Halo Maya, bagaimana kabarmu?"
Dengan cepat Mia kembali berdiri dan menatap James.
"Orang yang membayarku tidak peduli apa yang akan kulakukan padanya. Dia hanya mau wanita itu mati," jawab James.
"Aku hanya mau dia keluar dari Scarlet, aku tidak peduli kalau kau akan membunuhnya. Yang penting bukan aku yang melakukannya,"
"Kelihatannya kau berusaha memanfaatkan aku?" James terkekeh.
"Memang," Mia dengan gaya angkuh melipat tangannya didada, seolah olah dialah yang berkuasa.
"Sayangnya kau tidak cukup pintar dan peranmu sudah selesai nona manis,"
Mia mengernyit, "Apa maksudmu?"
James tertawa, "Kau pikir untuk apa aku mencari tahu tentangmu dan mengajakmu bekerja sama?"
"Aku tidak mengerti," raut wajah Mia lansung berubah. Merasa ada yang salah.
James mendekati Mia, membelai wajahnya dengan cara yang tidak sopan dan Mia menepisnya dengan kasar.
"Apa kau masih belum mengerti kenapa aku menyuruhmu menyiapkan buket bunga itu, merusak CCTV dikoridor, membawa Maya ke pintu belakang?"
Mia terdiam.
"Aku tidak bisa mendekati Maya dengan pengawalan seketat itu. Dibutuhkan campur tangan orang dalam untuk melepaskan Maya dari pengawalnya dan kau ternyata bekerja dengan sangat efektif,"
Sejenak terdiam, James mengamati ekspresi wajah Mia yang mulai menegang.
"Aku tidak heran kau sanggup merusak balkon itu tanpa meninggalkan jejak, ternyata ambisimu untuk menjadi aktris nomor satu Scarlet membuatmu bisa melakukan apa saja,"
Hati Maya tersayat mendengar perkataan James. Kecelakaan yamg menimpanya ternyata adalah usaha Mia untuk menyingkirkannya. Maya menelan pil pahit kenyataan bahwa orang yang dianggap teman justru ingin menyakitinya.
"Aku
yakin kau tadi lupa menyingkirkan buket bunga yang terjatuh di pintu
belakang," lanjut James.
Mia terkesiap.
"Dan hanya ada sidik jarimu dan Maya pada buket bunga itu. Saat pengawal Maya menemukan buket itu berarti tidak akan ada banyak waktu tersisa sampai Christian Anderson mencarimu. Dan saat Maya ditemukan tidak bernyawa maka...,"
"Kurang ajar!!" Mia melayangkan tangannya tapi sebelum mendarat James sudah menangkapnya diudara. Hal sebaliknya justru terjadi. Mia terpelanting ke lantai, bernasib sama dengan Maya.
"Kau memanfaatkanku! Aku tidak ingin membunuhnya! Aku hanya mau dia pergi dari Scarlet!!" Maki Mia.
James kembali tertawa tapi tawanya langsung berhenti saat Mia mengacungkan pistol diudara kearahnya.
"Oh, kau sudah punya rencana cadangan rupanya," James menyeringai.
"Sejak awal sudah kubilang kalau aku tidak percaya padamu," suara Mia bergetar tapi tidak dengan tangannya.
Maya kehabisan akal, melihat senjata api ditangan Mia membuat otaknya buntu sama sekali. Tangan dan mulut yang terikat membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Kedua anak buah James tampak siaga, keduanya maju mendekati Mia dan berhenti saat Mia mengancam akan menembak.
James beralih pada Maya, menarik lengannya dengan kasar dan memaksanya berdiri.
"Jangan buang pelurumu sia-sia, kau bisa tembakkan langsung pada sasarannya,"
Mata Mia membulat, "Bajingan kau James! Sudah ku bilang aku tidak ingin membunuhnya!" Makinya kasar.
James justru terbahak dengan nada sarkastik.
"Kau tidak berani menembak, ya kan?" Ejeknya. "Lihat ini,"
James mengeluarkan pistol dari balik punggungnya yang tertutup jas dan menempelkannya pada pelipis Maya.
"Dasar ular berkepala dua!!" Maki Mia.
James tertawa dan Maya memejamkan matanya. Merasakan benda asing itu menempel dipelipisnya. Nyawanya diujung tanduk.
"Akankah semua berakhir disini?" Air mata Maya mengalir.
"Buang pistolmu atau aku bunuh gadis ini dan kau yang akan meringkuk dipenjara,"
Tangan Mia bergetar sekarang. Dia tidak pernah ingin Maya mati. Tak punya pilihan, Mia menjatuhkan pistolnya dan bersamaan dengan itu suara pintu yang didobrak memekakkan telinga, mengejutkan semua yang ada diruangan itu.
Ryan, Alex dan seorang anak buahnya yang lain masuk dengan pistol teracung, Christ berdiri dibelakangnya dengan wajah penuh amarah. Mata James yang melotot jelas menunjukkan keterkejutanya.
"LEPASKAN DIA, KEPARAT !!" Maki Christ.
Terselip rasa syukur dalam hati Maya melihat kemunculan Christ dan Ryan juga Alex. Bola matanya berputar menganalisa sekeliling ruangan yang sekarang terlihat sempit dengan kehadiran begitu banyak orang dengan senjata yang saling membidik.
Mia berdiri disudut ruangan dengan memeluk dirinya sendiri. James menodongkan pistol dikeningnya dan dua anak buahnya yang entah kapan mengambil senjata sekarang juga sudah menodongkan pistol diudara, melawan Ryan dan anak buahnya. Tiga lawan tiga.
"Tujuh anak buahmu diluar sudah tamat! Jadi sekarang menyerahlah!" Ancam Ryan.
"Wah, wah, wah! Kejutan yang menyenangkan. Aku sama sekali tidak menyangka kalian akan datang secepat ini," James melirik dari sudut matanya pada Mia, "Pasti wanita bodoh itu yang sudah menggiring kalian kemari. Seharusnya aku tahu kalau dia begitu bodoh!" James seperti menertawakan dirinya sendiri.
Tangan Christ terkepal kuat, matanya tidak lepas dari Maya yang masih dicengkram kuat oleh James dan pistol menempel dipelipisnya.
"Mari kita perjelas siapa yang pegang kendali disini," kata James.
Mata Ryan menatap awas pada setiap gerakan James dan kedua anak buahnya juga menatap pada objek lawan masing-masing.
"Buang pistol kalian atau kepala wanita ini taruhannya," ancam James.
Christ meradang dengan ancaman James, "LEPASKAN ADIKKU BAJINGAN!!!" Teriak Christ.
James terkesiap, Mia terhenyak disudut ruangan tapi rasa haru menyerbak dihati Maya.
"Adik? Oh Christ....,"
James terbahak saat menyadari situasi yang terjadi, "Jadi Kitajima ini adalah adikmu? Dia bagian dari Anderson?" James kembali menertawakan dirinya sendiri.
Mia terkesiap.
"Dan hanya ada sidik jarimu dan Maya pada buket bunga itu. Saat pengawal Maya menemukan buket itu berarti tidak akan ada banyak waktu tersisa sampai Christian Anderson mencarimu. Dan saat Maya ditemukan tidak bernyawa maka...,"
"Kurang ajar!!" Mia melayangkan tangannya tapi sebelum mendarat James sudah menangkapnya diudara. Hal sebaliknya justru terjadi. Mia terpelanting ke lantai, bernasib sama dengan Maya.
"Kau memanfaatkanku! Aku tidak ingin membunuhnya! Aku hanya mau dia pergi dari Scarlet!!" Maki Mia.
James kembali tertawa tapi tawanya langsung berhenti saat Mia mengacungkan pistol diudara kearahnya.
"Oh, kau sudah punya rencana cadangan rupanya," James menyeringai.
"Sejak awal sudah kubilang kalau aku tidak percaya padamu," suara Mia bergetar tapi tidak dengan tangannya.
Maya kehabisan akal, melihat senjata api ditangan Mia membuat otaknya buntu sama sekali. Tangan dan mulut yang terikat membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Kedua anak buah James tampak siaga, keduanya maju mendekati Mia dan berhenti saat Mia mengancam akan menembak.
James beralih pada Maya, menarik lengannya dengan kasar dan memaksanya berdiri.
"Jangan buang pelurumu sia-sia, kau bisa tembakkan langsung pada sasarannya,"
Mata Mia membulat, "Bajingan kau James! Sudah ku bilang aku tidak ingin membunuhnya!" Makinya kasar.
James justru terbahak dengan nada sarkastik.
"Kau tidak berani menembak, ya kan?" Ejeknya. "Lihat ini,"
James mengeluarkan pistol dari balik punggungnya yang tertutup jas dan menempelkannya pada pelipis Maya.
"Dasar ular berkepala dua!!" Maki Mia.
James tertawa dan Maya memejamkan matanya. Merasakan benda asing itu menempel dipelipisnya. Nyawanya diujung tanduk.
"Akankah semua berakhir disini?" Air mata Maya mengalir.
"Buang pistolmu atau aku bunuh gadis ini dan kau yang akan meringkuk dipenjara,"
Tangan Mia bergetar sekarang. Dia tidak pernah ingin Maya mati. Tak punya pilihan, Mia menjatuhkan pistolnya dan bersamaan dengan itu suara pintu yang didobrak memekakkan telinga, mengejutkan semua yang ada diruangan itu.
Ryan, Alex dan seorang anak buahnya yang lain masuk dengan pistol teracung, Christ berdiri dibelakangnya dengan wajah penuh amarah. Mata James yang melotot jelas menunjukkan keterkejutanya.
"LEPASKAN DIA, KEPARAT !!" Maki Christ.
Terselip rasa syukur dalam hati Maya melihat kemunculan Christ dan Ryan juga Alex. Bola matanya berputar menganalisa sekeliling ruangan yang sekarang terlihat sempit dengan kehadiran begitu banyak orang dengan senjata yang saling membidik.
Mia berdiri disudut ruangan dengan memeluk dirinya sendiri. James menodongkan pistol dikeningnya dan dua anak buahnya yang entah kapan mengambil senjata sekarang juga sudah menodongkan pistol diudara, melawan Ryan dan anak buahnya. Tiga lawan tiga.
"Tujuh anak buahmu diluar sudah tamat! Jadi sekarang menyerahlah!" Ancam Ryan.
"Wah, wah, wah! Kejutan yang menyenangkan. Aku sama sekali tidak menyangka kalian akan datang secepat ini," James melirik dari sudut matanya pada Mia, "Pasti wanita bodoh itu yang sudah menggiring kalian kemari. Seharusnya aku tahu kalau dia begitu bodoh!" James seperti menertawakan dirinya sendiri.
Tangan Christ terkepal kuat, matanya tidak lepas dari Maya yang masih dicengkram kuat oleh James dan pistol menempel dipelipisnya.
"Mari kita perjelas siapa yang pegang kendali disini," kata James.
Mata Ryan menatap awas pada setiap gerakan James dan kedua anak buahnya juga menatap pada objek lawan masing-masing.
"Buang pistol kalian atau kepala wanita ini taruhannya," ancam James.
Christ meradang dengan ancaman James, "LEPASKAN ADIKKU BAJINGAN!!!" Teriak Christ.
James terkesiap, Mia terhenyak disudut ruangan tapi rasa haru menyerbak dihati Maya.
"Adik? Oh Christ....,"
James terbahak saat menyadari situasi yang terjadi, "Jadi Kitajima ini adalah adikmu? Dia bagian dari Anderson?" James kembali menertawakan dirinya sendiri.
"Sekarang
aku mengerti kenapa dia menjadi 'telur emas', maaf aku meremehkan. Kalau tahu
aku akan berhadapan dengan keluarga Anderson pastinya aku akan menyiapkan
skenario yang lebih baik lagi,"
Christ mengepalkan tangannya kuat, menahan amarahnya karena Maya masih dalam bahaya.
Ryan melirik pada Mia, menilai raut wajahnya yang kebingungan dengan fakta yang baru saja didengarnya.
"Semuanya bisa dihentikan sekarang jika kau mau ambil keputusan!" Kata Ryan lantang.
"Oh? Kau pikir aku takut dengan kalian?" James kembali terbahak dengan perkataan Ryan, dia sibuk menikmati permainnya, tidak menyadari bahwa perkataan Ryan itu bermakna ganda.
Mia menyadari penuh arti kalimat itu. Dialah yang harus mengambil keputusan dan menghentikan keadaan kacau yang telah dimulainya. Sementara perhatian James dan anak buahnya teralihkan, Mia meraih pistol yang tadi dijatuhkannya didekat kaki dan membidikannya pada James.
Dorrr!
Timah panas menembus paha belakang James, seketika tubuhnya oleng dan Ryan juga anak buahnya dengan cepat mengambil alih.
Dorr! Dorr! Dorr! Tiga tembakan lagi terdengar, dua anak buah James tersungkur. Pistol ditangan James terjatuh, timah panas dari Ryan menembus lengan kanannya. Sekarang dia mengerang dengan lengan dan paha yang terluka.
Tidak sampai disitu, Christ dengan cepat menendang jauh pistol James agar tidak terjangkau oleh lengan lainnya dan amarahnya terlampiaskan. Lima tinju dan dua tendangan mendarat ditubuh James membuatnya terlihat seperti pesakitan yang sekarat.
Puas dengan itu Christ segera meraih tubuh Maya, dengan cepat melepaskan ikatan tangannya dan perlahan membuka plester hitam yang menutup mulut Maya, darah segar mengalir dari sudut bibir Maya yang terluka.
Christ mendesis marah dan langsung merengkuh tubuh Maya dengan kedua lengannya. Maya diambang sadar, terguncang dengan tragedi yang baru saja dialaminya.
"Bersihkan semuanya!! Dan buat wanita sialan itu berada ditempatnya yang layak!!" Kata Christ pada Ryan sebelum dia meninggalkan ruangan itu dan membawa Maya yang menggigil dalam pelukannya.
***
Christ mengepalkan tangannya kuat, menahan amarahnya karena Maya masih dalam bahaya.
Ryan melirik pada Mia, menilai raut wajahnya yang kebingungan dengan fakta yang baru saja didengarnya.
"Semuanya bisa dihentikan sekarang jika kau mau ambil keputusan!" Kata Ryan lantang.
"Oh? Kau pikir aku takut dengan kalian?" James kembali terbahak dengan perkataan Ryan, dia sibuk menikmati permainnya, tidak menyadari bahwa perkataan Ryan itu bermakna ganda.
Mia menyadari penuh arti kalimat itu. Dialah yang harus mengambil keputusan dan menghentikan keadaan kacau yang telah dimulainya. Sementara perhatian James dan anak buahnya teralihkan, Mia meraih pistol yang tadi dijatuhkannya didekat kaki dan membidikannya pada James.
Dorrr!
Timah panas menembus paha belakang James, seketika tubuhnya oleng dan Ryan juga anak buahnya dengan cepat mengambil alih.
Dorr! Dorr! Dorr! Tiga tembakan lagi terdengar, dua anak buah James tersungkur. Pistol ditangan James terjatuh, timah panas dari Ryan menembus lengan kanannya. Sekarang dia mengerang dengan lengan dan paha yang terluka.
Tidak sampai disitu, Christ dengan cepat menendang jauh pistol James agar tidak terjangkau oleh lengan lainnya dan amarahnya terlampiaskan. Lima tinju dan dua tendangan mendarat ditubuh James membuatnya terlihat seperti pesakitan yang sekarat.
Puas dengan itu Christ segera meraih tubuh Maya, dengan cepat melepaskan ikatan tangannya dan perlahan membuka plester hitam yang menutup mulut Maya, darah segar mengalir dari sudut bibir Maya yang terluka.
Christ mendesis marah dan langsung merengkuh tubuh Maya dengan kedua lengannya. Maya diambang sadar, terguncang dengan tragedi yang baru saja dialaminya.
"Bersihkan semuanya!! Dan buat wanita sialan itu berada ditempatnya yang layak!!" Kata Christ pada Ryan sebelum dia meninggalkan ruangan itu dan membawa Maya yang menggigil dalam pelukannya.
***
"Ma...su...mi...Ma...su...mi...,"
Maya terus mengigau, suhu tubuhnya empat puluh satu derajat. Michael marah dan Clara menjerit histeris melihat Maya dibawa pulang dengan kondisi yang benar-benar tidak layak. Dokter dan perawat didatangkan ke rumah keluarga Anderson. Rumah Anderson sibuk malam itu.
Christ menjelaskan semua kejadian lengkapnya sementara dokter dan perawat menangani Maya. Clara mengutuki tindakan Mia yang ternyata begitu jahat ingin menyingkirkan Maya hanya karena obsesinya untuk menjadi aktris nomor satu Scarlet. Dia juga yang ternyata telah membujuk Jenifer untuk pergi berlibur sebelum pementasan Cleopatra. Seharusnya usahanya berhasil dan dia bisa menggantikan peran Jenifer kalau saja Maya tidak datang dan mengacaukan segalanya. Dia juga yang telah diam-diam merusak balkon dan ingin membuat Maya terluka sehingga dia bisa menggantikan peran Juliet. Semua rencananya gagal dan dia justru dimanfaatkan oleh pihak lain yang ingin menghabisi Maya. Hanya satu kepingan puzzle yang belum Christ temukan yaitu siapa yang menyuruh James untuk membunuh Maya.
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi keluarga Anderson. Ditemani perawat, Michael, Clara dan Christ menunggui Maya dikamarnya.
"Christ...mama...papa...,"
Maya kembali mengigau dan ketiganya saling berpandangan mendengar igauan Maya.
***
Bandara JFK, New York.
"Hati-hati," pesan Maya.
"Tentu, kau juga, jangan keras kepala. Ingat jangan pernah pergi sendiri." Pesan Christ seraya mengusap lembut kepala adiknya.
Maya mengangguk.
"Alex, Rose, aku tidak mau mendengar ada tragedi lagi selama kepergianku," katanya disertai dengan tatapan tajam.
"Tentu Tuan," jawab Rose dan Alex hanya mengangguk hormat.
Mata Christ melembut saat kembali menatap Maya, "Kau tidak mau menitipkan sesuatu untuk Masumi-mu?" Goda Christ.
"Bukankah itu namanya bodoh." Dengus Maya kesal, jelas hal itu akan membongkar rencananya.
Christ tertawa, "Ternyata kau sudah lebih pintar sekarang, ku kira cinta akan membuatmu berpikir bodoh,"
"Haa! Haa! Haa! Terus saja saja menertawakanku!" Maya cemberut.
"Aku pasti rindu bertengkar denganmu,"
Maya meringis mendengar perkataan Christ. Dirinya memang semakin terbiasa bertengkar dengan Christ. Sejak kejadian itu Maya sudah tinggal di rumah keluarga Anderson dan akhirnya setuju untuk menjadi bagian keluarga Anderson dengan syarat status barunya itu tidak boleh tersebar sebelum masalah Bidadari Merahnya selesai.
Maya terus mengigau, suhu tubuhnya empat puluh satu derajat. Michael marah dan Clara menjerit histeris melihat Maya dibawa pulang dengan kondisi yang benar-benar tidak layak. Dokter dan perawat didatangkan ke rumah keluarga Anderson. Rumah Anderson sibuk malam itu.
Christ menjelaskan semua kejadian lengkapnya sementara dokter dan perawat menangani Maya. Clara mengutuki tindakan Mia yang ternyata begitu jahat ingin menyingkirkan Maya hanya karena obsesinya untuk menjadi aktris nomor satu Scarlet. Dia juga yang ternyata telah membujuk Jenifer untuk pergi berlibur sebelum pementasan Cleopatra. Seharusnya usahanya berhasil dan dia bisa menggantikan peran Jenifer kalau saja Maya tidak datang dan mengacaukan segalanya. Dia juga yang telah diam-diam merusak balkon dan ingin membuat Maya terluka sehingga dia bisa menggantikan peran Juliet. Semua rencananya gagal dan dia justru dimanfaatkan oleh pihak lain yang ingin menghabisi Maya. Hanya satu kepingan puzzle yang belum Christ temukan yaitu siapa yang menyuruh James untuk membunuh Maya.
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi keluarga Anderson. Ditemani perawat, Michael, Clara dan Christ menunggui Maya dikamarnya.
"Christ...mama...papa...,"
Maya kembali mengigau dan ketiganya saling berpandangan mendengar igauan Maya.
***
Bandara JFK, New York.
"Hati-hati," pesan Maya.
"Tentu, kau juga, jangan keras kepala. Ingat jangan pernah pergi sendiri." Pesan Christ seraya mengusap lembut kepala adiknya.
Maya mengangguk.
"Alex, Rose, aku tidak mau mendengar ada tragedi lagi selama kepergianku," katanya disertai dengan tatapan tajam.
"Tentu Tuan," jawab Rose dan Alex hanya mengangguk hormat.
Mata Christ melembut saat kembali menatap Maya, "Kau tidak mau menitipkan sesuatu untuk Masumi-mu?" Goda Christ.
"Bukankah itu namanya bodoh." Dengus Maya kesal, jelas hal itu akan membongkar rencananya.
Christ tertawa, "Ternyata kau sudah lebih pintar sekarang, ku kira cinta akan membuatmu berpikir bodoh,"
"Haa! Haa! Haa! Terus saja saja menertawakanku!" Maya cemberut.
"Aku pasti rindu bertengkar denganmu,"
Maya meringis mendengar perkataan Christ. Dirinya memang semakin terbiasa bertengkar dengan Christ. Sejak kejadian itu Maya sudah tinggal di rumah keluarga Anderson dan akhirnya setuju untuk menjadi bagian keluarga Anderson dengan syarat status barunya itu tidak boleh tersebar sebelum masalah Bidadari Merahnya selesai.
Maya tetap memakai nama panggung
Maya Kitajima meski semua dokumen legalnya sedang dalam proses pergantian nama.
Keberangkatan Christ juga ditunda satu minggu
karena menunggu kondisi Maya membaik dan memastikan bahwa semuanya aman.
James
sama sekali tidak mau bicara soal siapa yang membayarnya. Maya dan Christ
memiliki kecurigaan pada Shiori tapi tanpa bukti keduanya tidak bisa asal
menuduh. Kunjungan Shiori yang mendadak dan alasan penculikan agar membuat
mawar ungu mengenang Maya tidak akan cukup dijadikan bukti. Apalagi Shiori
berada di Jepang.
Meski begitu James dan anak buahnya juga Mia sudah mendapatkan
ganjarannya. Mereka sudah meringkuk dalam tahanan dan dengan serangkaian
tuntutan dari Christ jelas bisa dipastikan mereka akan aman disana dalam waktu
yang cukup lama. Mia sempat meminta maaf pada Maya atas perbuatannya,
tindakannya yang kooperatif dengan menembak James membuatnya mendapat
keringanan hukuman.
"Baiklah, sudah waktunya berangkat," Christ menyela lamunan Maya.
"Kabari aku semua perkembangannya,"
"Pasti, jaga dirimu sayang," Christ mengecup kepala Maya lalu memeluk adiknya, "Ayo Ryan, aku tidak sabar untuk bertemu adik iparku,"
Maya terbahak melepas kepergian kakaknya.
Rasa bahagia menyelimuti hatinya. Selamat dari tragedi penculikan yang menyeramkan, memiliki keluarga utuh yang sangat menyayanginya dan sekarang kakaknya pergi untuk menolong kekasihnya.
Meski siapa orang dibalik kegilaan James masih belum terungkap tapi setidaknya sekarang semuanya aman. Terkendali.
Maya berusaha optimis dengan masa depannya. Setidaknya sejauh ini, meski sendirian, Maya sudah berhasil melewati semuanya. Hal buruk apalagi yang akan dihadapinya dia juga tidak tahu tapi yang pasti sekarang dia tidak sendiri. Ada mama, papa dan kakaknya yang akan selalu mendukungnya untuk mencapai impiannya.
***
"Baiklah, sudah waktunya berangkat," Christ menyela lamunan Maya.
"Kabari aku semua perkembangannya,"
"Pasti, jaga dirimu sayang," Christ mengecup kepala Maya lalu memeluk adiknya, "Ayo Ryan, aku tidak sabar untuk bertemu adik iparku,"
Maya terbahak melepas kepergian kakaknya.
Rasa bahagia menyelimuti hatinya. Selamat dari tragedi penculikan yang menyeramkan, memiliki keluarga utuh yang sangat menyayanginya dan sekarang kakaknya pergi untuk menolong kekasihnya.
Meski siapa orang dibalik kegilaan James masih belum terungkap tapi setidaknya sekarang semuanya aman. Terkendali.
Maya berusaha optimis dengan masa depannya. Setidaknya sejauh ini, meski sendirian, Maya sudah berhasil melewati semuanya. Hal buruk apalagi yang akan dihadapinya dia juga tidak tahu tapi yang pasti sekarang dia tidak sendiri. Ada mama, papa dan kakaknya yang akan selalu mendukungnya untuk mencapai impiannya.
***
Christ
duduk tenang di kursi VVIP Teater Daito di Tokyo bersama Ryan, menikmati pertunjukan
drama Maria Antoinette yang diperankan oleh Ayumi sebagai Marie Antoinette dan
Koji sebagai Raja Louis. Christ mengagumi akting Ayumi dan Koji. Dia juga
mengakui bahwa Ayumi layak menjadi saingan Maya. Dan Koji...Christ masih tidak
habis pikir kalau adiknya lebih memilih Masumi daripada Koji yang jauh lebih
pantas bersamanya.
"Aku masih tidak habis pikir dengan pemikiran adikku itu Ryan. Dia menolak aktor setampan Sakurakoji dan melewati perjalanan hidup yang rumit hanya demi seorang Masumi?" Christ berbisik mengutarakan isi hatinya pada Ryan.
Pengawal pribadi Christ itu menahan tawanya meledak mendengar perkataan bosnya, "Saya tidak dapat membayangkan reaksi Nona jika mendengar perkataan anda Tuan,"
Christ menyeringai senang, "Ya, dia akan membunuhku."
Ryan tersenyum dan keduanya kembali diam menikmati pertunjukan.
Christ memanfaatkan koneksi mamanya dengan beberapa direktur stasiun TV untuk membawanya masuk kedunia entertainment. Awal yang bagus karena baru dua hari dia mendarat di Tokyo, Christ langsung diundang oleh salah satu direktur stasiun TV swasta untuk menyaksikan drama dari aktris dan aktor terbaik Daito, Ayumi dan Sakurakoji, yang juga menjadi bintang serial drama distasiun TV-nya.
Usai pertunjukan Christ diajak untuk menghadiri pesta premier dan dengan senang hati dia menerima, memang itu tujuannya. Direktur itu beramah tamah dengan beberapa orang seraya memperkenalkan Christ pada beberapa orang penting. Jelas kedatangan Christ membawa angin segar, beberapa orang berharap Christ sebagai konglomerat muda mau berinvestasi pada perusahaan mereka.
Melewati perkenalan dan basa basi yang membosankan, akhirnya Christ dipertemukan juga dengan Masumi dan aktingnyapun dimulai. Masumi cukup terkejut saat Christ memperkenalkan dirinya.
"Masumi Hayami, senang bertemu dengan anda Tuan Anderson," Masumi membalas perkenalan Christ.
"Senang juga akhirnya saya bisa bertemu dengan anda Tuan Hayami," senyum tipis terulas dibibir Christ, melihat sekilas pada wanita yang berdiri disamping Masumi, lalu mengangguk sopan, menebak itu adalah Mizuki -dari ciri-ciri yang pernah digambarkan Maya padanya-.
Masumi memandang Christ heran karena ucapannya, mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka dan Masumi sama sekali belum pernah mendengar tentang Christ sebelumnya.
"Kenapa dia senang bisa bertemu denganku?"
Christ tahu Masumi berusaha menebak makna ganda dari ucapannya.
"Beberapa relasi mama saya mengatakan bahwa anda adalah orang yang hebat Tuan Hayami," Christ menjelaskan maksud perkataannya.
Ekspresi Masumi melunak, berusaha memahami keterbatasan kosa kata Christ dalam berbahasa Jepang.
"Anda memiliki aktor dan aktris yang hebat. Saya menikmati pertunjukannya," Christ mengalihkan topik pembicaraannya.
"Terima kasih Tuan Anderson, tidak menyangka pengusaha seperti anda juga tertarik dengan drama,"
Christ tertawa, "Mama dan adik saya begitu tergila-gila dengan drama Tuan Hayami, jadi saya lebih dari sekedar tertarik. Itu sudah menjadi bagian dari keluarga kami,"
"Ya, saya mendengar Nyonya Anderson begitu sukses melahirkan banyak karya di Teater Scarlet.”
"Aku masih tidak habis pikir dengan pemikiran adikku itu Ryan. Dia menolak aktor setampan Sakurakoji dan melewati perjalanan hidup yang rumit hanya demi seorang Masumi?" Christ berbisik mengutarakan isi hatinya pada Ryan.
Pengawal pribadi Christ itu menahan tawanya meledak mendengar perkataan bosnya, "Saya tidak dapat membayangkan reaksi Nona jika mendengar perkataan anda Tuan,"
Christ menyeringai senang, "Ya, dia akan membunuhku."
Ryan tersenyum dan keduanya kembali diam menikmati pertunjukan.
Christ memanfaatkan koneksi mamanya dengan beberapa direktur stasiun TV untuk membawanya masuk kedunia entertainment. Awal yang bagus karena baru dua hari dia mendarat di Tokyo, Christ langsung diundang oleh salah satu direktur stasiun TV swasta untuk menyaksikan drama dari aktris dan aktor terbaik Daito, Ayumi dan Sakurakoji, yang juga menjadi bintang serial drama distasiun TV-nya.
Usai pertunjukan Christ diajak untuk menghadiri pesta premier dan dengan senang hati dia menerima, memang itu tujuannya. Direktur itu beramah tamah dengan beberapa orang seraya memperkenalkan Christ pada beberapa orang penting. Jelas kedatangan Christ membawa angin segar, beberapa orang berharap Christ sebagai konglomerat muda mau berinvestasi pada perusahaan mereka.
Melewati perkenalan dan basa basi yang membosankan, akhirnya Christ dipertemukan juga dengan Masumi dan aktingnyapun dimulai. Masumi cukup terkejut saat Christ memperkenalkan dirinya.
"Masumi Hayami, senang bertemu dengan anda Tuan Anderson," Masumi membalas perkenalan Christ.
"Senang juga akhirnya saya bisa bertemu dengan anda Tuan Hayami," senyum tipis terulas dibibir Christ, melihat sekilas pada wanita yang berdiri disamping Masumi, lalu mengangguk sopan, menebak itu adalah Mizuki -dari ciri-ciri yang pernah digambarkan Maya padanya-.
Masumi memandang Christ heran karena ucapannya, mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka dan Masumi sama sekali belum pernah mendengar tentang Christ sebelumnya.
"Kenapa dia senang bisa bertemu denganku?"
Christ tahu Masumi berusaha menebak makna ganda dari ucapannya.
"Beberapa relasi mama saya mengatakan bahwa anda adalah orang yang hebat Tuan Hayami," Christ menjelaskan maksud perkataannya.
Ekspresi Masumi melunak, berusaha memahami keterbatasan kosa kata Christ dalam berbahasa Jepang.
"Anda memiliki aktor dan aktris yang hebat. Saya menikmati pertunjukannya," Christ mengalihkan topik pembicaraannya.
"Terima kasih Tuan Anderson, tidak menyangka pengusaha seperti anda juga tertarik dengan drama,"
Christ tertawa, "Mama dan adik saya begitu tergila-gila dengan drama Tuan Hayami, jadi saya lebih dari sekedar tertarik. Itu sudah menjadi bagian dari keluarga kami,"
"Ya, saya mendengar Nyonya Anderson begitu sukses melahirkan banyak karya di Teater Scarlet.”
“Anda
tahu juga rupanya. Scarlet adalah hati mama saya, bahkan mungkin dia lebih
sayang pada teater itu daripada saya, anaknya sendiri,”
Masumi
dan Christ tertawa. Mizuki dan Ryan akhirnya meninggalkan kedua bosnya yang mulai
terlihat santai mengobrol.
“Sekarang
Scarlet juga semakin bersinar karena kedatangan aktris baru dari Jepang,”
celetuk Christ saat keduanya behenti tertawa.
Christ
tersenyum kecil dan menutupinya dengan menyesap anggur ditangannya. Mengamati perubahan
ekspresi Masumi atas perkataannya.
“Akhir-akhir
ini media memang sedang membicarakannya. Aktris yang anda maksud itu adalah
aktris kelas satu di Jepang. Dia memang aktris yang hebat, sangat mencintai
drama dan selalu berjuang keras untuk menghidupkan perannya di atas panggung.
Penonton selalu saja terpesona olehnya. Dia adalah pemegang hak pementasan
karya drama agung berjudul Bidadari Merah,”
“Oh
begitu, sepertinya anda mengenal aktris itu dengan baik Tuan Hayami,”
Masumi
menyeringai tipis, menyadari kebodohannya yang berkomentar terlalu panjang
tentang Maya. Beruntung Mizuki tidak ada sehingga dia tidak harus ditertawakan
oleh sekretarisnya itu karena hilang kendali saat bicara.
“Saya
mengenalnya dengan cukup baik Tuan Anderson, tapi kedekatan kami tidak seperti
itu. Mungkin seluruh warga Jepang juga tahu bagaimana hubungan saya dengan
Bidadari Merah,” Masumi menyesap anggur setelah menyunggingkan senyum tipisnya.
“Aku lebih tahu
bagaimana hubunganmu dengannya Masumi,” batin Christ tergelak. Dia mulai menikmati
pemainannya.
“Saya
sering bertemu dengannya di Teater dan melihat pertunjukannya, dia wanita yang
cukup menarik,”
“Sering?”
celetuk Masumi tanpa sadar.
“Iya,”
Christ menahan senyum gelinya melebar. “Ada yang aneh?’
“Oh,
tidak, maaf,” Masumi menghela napas perlahan, memperbaiki ekspresi terkejutnya.
“Setelah
melihat pertunjukan perdananya sebagai Cleopatra, saya tidak pernah ingin
melewatkan setiap pertunjukannya. Saya tekadang lupa kalau saya sedang menonton
sebuah drama sampai saat tirai panggung ditutup saya baru menyadari bahwa saya
terhipnotis olehnya,”
“Ya,
dia selalu memberikan efek yang sama pada semua penonton,” Masumi berusaha
menyama ratakan reaksi penonton saat melihat akting Maya -dan bukankah memang
begitu-. Itu usaha untuk menenangkan hatinya yang mulai mengeluarkan sulur
cemburu.
“Tuan
Anderson, jika tidak keberatan mari saya perkenalkan anda pada dua bintang
terbaik kami malam ini," Masumi berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Bukan
saat yang tepat untuk membicarakan Maya dan melihat ekspresi Christ saat
bercerita tentang Maya membuatnya cukup kacau.
"Tentu, dengan senang hati,"
Christ tahu Masumi berusaha mengalihkannya dan dia tidak keberatan, sudah cukup menghibur baginya melihat ekspresi keterkejutan Masumi. Diapun mengikuti Masumi dan menikmati perkenalannya dengan Ayumi dan Koji.
"Tentu, dengan senang hati,"
Christ tahu Masumi berusaha mengalihkannya dan dia tidak keberatan, sudah cukup menghibur baginya melihat ekspresi keterkejutan Masumi. Diapun mengikuti Masumi dan menikmati perkenalannya dengan Ayumi dan Koji.
“Akting
kalian luar biasa,” puji Christ sopan pada Ayumi dan Koji disambut ucapan
terima kasih penuh bangga dari keduanya.
Mereka
begitu menikmati obrolan. Christ memuji Ayumi yang ternyata juga fasih berbahasa
Perancis. Beberapa saat berlalu dengan menyenanagkan sampai saat seorang wanita
datang dan membuyarkan semuanya.
“Selamat
Ayumi, Koji. Pertunjukannya sukses. Akting kalian luar biasa,”
Masumi terlihat dingin, begitu juga Ayumi dan Koji. Kedua aktor dan aktris itu tampak canggung saat wanita itu memberi ucapan selamat pada keduanya. Christ dan Ryan saling berpandangan bingung.
Masumi terlihat dingin, begitu juga Ayumi dan Koji. Kedua aktor dan aktris itu tampak canggung saat wanita itu memberi ucapan selamat pada keduanya. Christ dan Ryan saling berpandangan bingung.
“Terima
kasih Nona Takamiya,” kata Ayumi dan Koji bersamaan.
Mendengar
nama Takamiya disebut, hati Christ langsung merutuki wanita yang sekarang
berdiri didepannya itu. Menyadari alasan perubahan suasana yang terjadi. Bukankah
ada kemungkinan wanita ini yang membayar James untuk membunuh Maya.
"Christian Anderson," sopan santun tetap mengalahkan segalanya. Christ memperkenalkan dirinya pada Shiori.
"Christian Anderson," sopan santun tetap mengalahkan segalanya. Christ memperkenalkan dirinya pada Shiori.
“Shiori
Takamiya,” jawab Shiori lembut.
Beruntung
sekali sekarang Christ sedang dalam misi penyelamatan sehingga dia bisa menahan
amarahnya dan bersikap sopan. Itu juga demi adiknya.
Namun sepertinya Christ tidak bisa bertahan
lebih lama lagi dengan basa basi Shiori pada Masumi, Ayumi juga Koji, dia
memutuskan untuk undur diri. Setelah dengan sopan berpamitan dengan semuanya Christ
segera melangkah pergi. Melihat kepergian Christ, Shiori langsung menghentikan
basa-basinya dan berlalu meninggalkan ketiganya.
"Well, sepertinya aku sudah bertemu para pemain inti dari dramaku. Jika wanita itu dalangnya, maka dia pasti tahu siapa aku. Ryan, kerahkan orangmu untuk mencari tahu tentang Shiori juga semua jaringan keluarga Takamiya," bisik Christ pada Ryan seraya meninggalkan tempat pesta.
Shiori bediri di dekat pintu keluar dan mengamati kepergian Christ dengan hati cemas.
"Jadi dia kakak Maya yang menangkap James. Tapi kenapa dia datang ke Jepang dan bertemu Mamsumi? Dia pasti punya rencana. Aku harus hati-hati. Aku juga punya rencana dan aku tidak mau dia merusaknya." Tiba-tiba kepalanya berputar.
"Anda tidak apa-apa Nona?" Takigawa menahan tubuh nonanya yang limbung.
"Ayo kita pulang, Bi. Pesta hari ini sudah cukup,"
***
>>Bersambung<<
>>Kesembilan Belas : Maya - Angelina<<
>>Kedua puluh satu : Penantian Panjang<<
"Well, sepertinya aku sudah bertemu para pemain inti dari dramaku. Jika wanita itu dalangnya, maka dia pasti tahu siapa aku. Ryan, kerahkan orangmu untuk mencari tahu tentang Shiori juga semua jaringan keluarga Takamiya," bisik Christ pada Ryan seraya meninggalkan tempat pesta.
Shiori bediri di dekat pintu keluar dan mengamati kepergian Christ dengan hati cemas.
"Jadi dia kakak Maya yang menangkap James. Tapi kenapa dia datang ke Jepang dan bertemu Mamsumi? Dia pasti punya rencana. Aku harus hati-hati. Aku juga punya rencana dan aku tidak mau dia merusaknya." Tiba-tiba kepalanya berputar.
"Anda tidak apa-apa Nona?" Takigawa menahan tubuh nonanya yang limbung.
"Ayo kita pulang, Bi. Pesta hari ini sudah cukup,"
***
>>Bersambung<<
>>Kesembilan Belas : Maya - Angelina<<
>>Kedua puluh satu : Penantian Panjang<<
20 Comments
Yang uda baca jangan lupa kasih kenang-kenangan ya,
ReplyDeleteaku suka baca komen kalian...
Makasih semuanya :)
Banyakin adegan Christ bikin Masumi cemburu ya mba hahahahaha.... gemes kalo liat Masumi cemburu
ReplyDeleteSetuju mba, paling puas klw baca part masumi cemburu berat..😊😊😊
DeleteRencana apalagi si ratu lobak ni...>.< ga sabar nunggu lanjutannya. Thx mba agnes.. berasa nonton film action baca part ini..keren..^^
ReplyDeleteMasumi masumi slalu aja cemburu
ReplyDeleteHadehhh...baca nya tegang bgt mba..byk bgt yg jahat sma maya...hadohh itu si shiori yahh...bikin bete dsr nenek lampir...
ReplyDeleteMakin menegangkan ceritanya
DeleteSangaaat suka sama alur action ama drama , sangat berkelas....lanjut mba..
ReplyDeleteKalau denger shiori, rasanya pengen di masukin karung trus di buang ke laut biar di makan hiu.... :-(
ReplyDeleteGeregetannnnnnnnnn bgt sama tuh nenek lampir yg satu itu... sist...
Lanjut lagi sist... Di tunggu ya.. ;-)
Updatenya dikit banget...! kurang.. kurang.. kurang...!!! hehehe...
ReplyDeleteBravo mba... as always top markotop. Mba Agnes pintar banget dalam pemilihan kata, tidak ada kesan kaku ataupun membosankan. Setiap kata saling berirama dengan kalimatnya... aiiihh aku ngomong apa lg ini...??!! Berlagak sok puitis, eh malah bikin mba Agnes bingung bin teler baca comment ku wkwkwk.. But Indeed u r a talented writter... U rape me badly by Ur stories. I do fall in love with Ur MM. My best n Warm regard for MM + Christ. Tolong dipercepat apdetannya ya sist. Thx a million dear darling... Fitria GW
ReplyDeleteaaii.. aku kira jenifer yang jahat... ga taunya miss mia. salut deh!! tak terbayang seperti apa kelanjutannya nanti.
ReplyDeleteWiiihh...deg-deg seeerr bacanya...
ReplyDeleteTetap top markotop deh tulisan mbak agnes. Bruntung bs baca fanfic MM gak pake ribeett..
Maju terus mbak agnes...update-tannya tetap dituggu yaa >-< :*
Makin menarik ceritanya, jadinya semakin gak sabar nunggu lanjutannya. Kalau bisa mah sekali update langsung 2 chapter Dan updatenya gak pake lama hihihi3 banyak request ya
ReplyDeleteYou are Rock mba Agnes... Sukaa boanget cerita nya... Suka konfliknya, Ditunggu update nya ya...
ReplyDeletePlease jangan lama-lama... #penasarantingkatdewa#
Huaaaaaaaaaa penasaraaaaaaannnnn.... hiks...hiks..... ditunggu bgt update nya sist..... buat nenek sihir itu kapok mengganggu MM... semangaaaatttt.... jgn pake lama say lanjutannya..... :)
ReplyDeletePokoknya top bgt deh mb Agnes. Makin semangat ya buat lanjutannya :). Ganbate!
ReplyDeleteDirimu sangat cerdas menggambarkan setiap sosok. Entah kenapa aku merasa gambaran karakter yg dirimu buat hampir mirip dng Suzue Miuchi. Ketika membaca tulisanmu ini, seakan membaca tulisan sensei. Good job Agnes. Aku menunggu cerita selanjutnya.
ReplyDeleteBoleh kenalan siapa namanya?? xixixixi
DeleteTHANKSSS A LOOTTT Semuanya....
ReplyDeleteSeneng bacanya, hahahhaaaa
kata suamiku sampe ga bisa pake helm karena baca komen
wkwkwkwkwk
next chap ditunggu ya ;)