Serial "Kau Milikku"
Rate : 18 thn +
Rate : 18 thn +
"Bagaimana
keadaannya? Apa dia baik-baik saja?" Tanya Maya, duduk dengan santai di
sofa, di kamar barunya. Matanya berbinar senang menatap layar tablet
dipangkuannya.
"Kau tidak sopan, bukankah seharusnya kau menanyakan kabar kakakmu dulu?" Christ cemberut.
"Kau terlihat sehat," Maya meringis.
"Keterlaluan," gerutunya.
"Oke, oke, bagaimana kabarmu Kak?" Goda Maya.
"Terlambat,"
"Nah kan aku salah lagi. Mungkin sebaiknya aku telepon Masumi saja daripada kakakku yang galak ini," Maya mengerucutkan bibirnya.
Christ tertawa, "Sepertinya aku memang tidak bisa mengalahkan pesona seorang Masumi ya,"
"Jangan bercanda, katakan padaku bagaimana keadaan Masumi,"
"Dia sehat Maya, baik-baik saja. Hmm, cukup tampan menurutku dan sepertinya dia pencemburu,"
"Pencemburu? Memang, darimana kau tahu?"
Christ terkikik, "Aku hanya sedikit menyinggung tentangmu dan ekspresinya langsung berubah gelap."
"Hei, jangan mengerjainya."
"Hanya mengujinya, apakah dia benar-benar mencintaimu,"
"Tentu saja dia mencintaiku!" Pekik Maya.
Christ tertawa lagi, "Iya, iya, aku hanya masih heran dengan seleramu itu Maya,"
"Selera apa?"
"Seleramu terhadap pria."
"Kalau kau mau mengejek Masumi lagi maka dengan senang hati ku matikan teleponku sekarang juga,"
Christ kembali tertawa, "Kau makin galak saja. Aku tidak mengejeknya, hanya saja aku sudah bertemu dengan Koji semalam. Dan jujur sebenarnya kau akan lebih cocok dengan Koji daripada dengan Dir...,"
Pip! Maya langsung mematikan video callnya. Marah karena kakaknya membandingkan Masumi dengan Koji.
Christ terbahak di ruang kerja apartement barunya di Tokyo.
"Dia marah," katanya geli disela-sela tawanya.
Ryan hanya tersenyum sambil membaca surat kabar pagi. Dia tahu bosnya sedang bahagia. Sejak Maya setuju menjadi anggota keluarga Anderson, Christ memang selalu bahagia.
"Maya, maya...dia dan Masumi itu sama anehnya. Bagaimana menurutmu Ryan?"
Ryan melipat surat kabarnya dan meletakkannya rapi dimeja.
"Kau tidak sopan, bukankah seharusnya kau menanyakan kabar kakakmu dulu?" Christ cemberut.
"Kau terlihat sehat," Maya meringis.
"Keterlaluan," gerutunya.
"Oke, oke, bagaimana kabarmu Kak?" Goda Maya.
"Terlambat,"
"Nah kan aku salah lagi. Mungkin sebaiknya aku telepon Masumi saja daripada kakakku yang galak ini," Maya mengerucutkan bibirnya.
Christ tertawa, "Sepertinya aku memang tidak bisa mengalahkan pesona seorang Masumi ya,"
"Jangan bercanda, katakan padaku bagaimana keadaan Masumi,"
"Dia sehat Maya, baik-baik saja. Hmm, cukup tampan menurutku dan sepertinya dia pencemburu,"
"Pencemburu? Memang, darimana kau tahu?"
Christ terkikik, "Aku hanya sedikit menyinggung tentangmu dan ekspresinya langsung berubah gelap."
"Hei, jangan mengerjainya."
"Hanya mengujinya, apakah dia benar-benar mencintaimu,"
"Tentu saja dia mencintaiku!" Pekik Maya.
Christ tertawa lagi, "Iya, iya, aku hanya masih heran dengan seleramu itu Maya,"
"Selera apa?"
"Seleramu terhadap pria."
"Kalau kau mau mengejek Masumi lagi maka dengan senang hati ku matikan teleponku sekarang juga,"
Christ kembali tertawa, "Kau makin galak saja. Aku tidak mengejeknya, hanya saja aku sudah bertemu dengan Koji semalam. Dan jujur sebenarnya kau akan lebih cocok dengan Koji daripada dengan Dir...,"
Pip! Maya langsung mematikan video callnya. Marah karena kakaknya membandingkan Masumi dengan Koji.
Christ terbahak di ruang kerja apartement barunya di Tokyo.
"Dia marah," katanya geli disela-sela tawanya.
Ryan hanya tersenyum sambil membaca surat kabar pagi. Dia tahu bosnya sedang bahagia. Sejak Maya setuju menjadi anggota keluarga Anderson, Christ memang selalu bahagia.
"Maya, maya...dia dan Masumi itu sama anehnya. Bagaimana menurutmu Ryan?"
Ryan melipat surat kabarnya dan meletakkannya rapi dimeja.
"Saya
tidak memandang aneh perasaan cinta Nona Maya dan Tuan Hayami tapi saya hanya
merasa kasihan pada keduanya,"
Christ mendesah panjang mendengarnya, "Kau benar Ryan. Terlalu banyak rintangan yang harus mereka lewati."
Ryan beranjak dari kursinya.
Christ mendesah panjang mendengarnya, "Kau benar Ryan. Terlalu banyak rintangan yang harus mereka lewati."
Ryan beranjak dari kursinya.
"Saya
rasa sudah waktunya kita berangkat Tuan,"
"Baiklah, ayo kita berkeliling hari ini,"
"Baiklah, ayo kita berkeliling hari ini,"
Christ
meraih jasnya dan pergi bersama Ryan meninggalkan apartemen mewahnya.
"Jadi disini dulu Maya tinggal?" Gumam Christ dari dalam mobil yang berhenti didepan rumah kontrakan Maya dan Rei.
"Hhmm, rumahnya jelek sekali," gumamnya lagi.
"Jadi disini dulu Maya tinggal?" Gumam Christ dari dalam mobil yang berhenti didepan rumah kontrakan Maya dan Rei.
"Hhmm, rumahnya jelek sekali," gumamnya lagi.
"Bagaimana
dengan teman-teman Maya?"
"Malam ini kita bisa melihat mereka di teater bawah tanah. Mereka akan mengadakan pertunjukan, saya sudah siapkan tiketnya,"
"Bagus, sekarang kita ke makam ibu Maya,"
Dan itu adalah perintah bagi Ryan, mobil segera melaju ke Yokohama.
Angin musim semi berhembus, menyambut Christ saat dirinya turun dari mobil didepan sebuah pemakaman. Melihat sekeliling area pemakaman, ada beberapa keluarga yang datang berziarah.
Ryan sudah pernah datang ke Tokyo saat mencari informasi tentang Maya. Dia sudah tahu sebagian besar kehidupan Maya di Tokyo.
Christ mengikuti Ryan menuju makam ibu Maya. Ryan terkejut saat sampai di depan makam. Sebuah buket mawar ungu tergeletak disana. Christ dan Ryan melayangkan pandangannya kesekitar pemakaman sekali lagi, mencari sosok Masumi yang mungkin saja masih berada disana.
"Maaf, apa tadi ada anda melihat seorang pria mengunjungi makam ini?" Tanya Ryan pada seorang petugas kebersihan makam.
"Oh, pria itu,"
"Anda tahu?"
"Iya dia sering datang saat akhir pekan. Saya ingat karena dia selalu membawa buket bunga yang sama saat berkunjung dan lagi bunga itu bunga langka dan mahal, mawar ungu."
"Kira-kira pukul berapa dia datang?"
"Hhmmm, sekitar pukul tujuh pagi, dia selalu datang pagi-pagi,"
"Baiklah, terima kasih,"
"Malam ini kita bisa melihat mereka di teater bawah tanah. Mereka akan mengadakan pertunjukan, saya sudah siapkan tiketnya,"
"Bagus, sekarang kita ke makam ibu Maya,"
Dan itu adalah perintah bagi Ryan, mobil segera melaju ke Yokohama.
Angin musim semi berhembus, menyambut Christ saat dirinya turun dari mobil didepan sebuah pemakaman. Melihat sekeliling area pemakaman, ada beberapa keluarga yang datang berziarah.
Ryan sudah pernah datang ke Tokyo saat mencari informasi tentang Maya. Dia sudah tahu sebagian besar kehidupan Maya di Tokyo.
Christ mengikuti Ryan menuju makam ibu Maya. Ryan terkejut saat sampai di depan makam. Sebuah buket mawar ungu tergeletak disana. Christ dan Ryan melayangkan pandangannya kesekitar pemakaman sekali lagi, mencari sosok Masumi yang mungkin saja masih berada disana.
"Maaf, apa tadi ada anda melihat seorang pria mengunjungi makam ini?" Tanya Ryan pada seorang petugas kebersihan makam.
"Oh, pria itu,"
"Anda tahu?"
"Iya dia sering datang saat akhir pekan. Saya ingat karena dia selalu membawa buket bunga yang sama saat berkunjung dan lagi bunga itu bunga langka dan mahal, mawar ungu."
"Kira-kira pukul berapa dia datang?"
"Hhmmm, sekitar pukul tujuh pagi, dia selalu datang pagi-pagi,"
"Baiklah, terima kasih,"
Ryan
menyunggingkan senyum dan mengangguk sopan sebelum petugas kebersihan itu
pergi. Christ
bernapas lega saat mendengarnya, rencananya bisa kacau kalau Masumi tahu
dirinya mengunjungi makam ibu Maya.
Christ berlutut di depan makam ibu Maya, mengamati foto tersenyum wanita paruh baya yang terpasang di batu nisan. Dia mengatakan beberapa patah kata terima kasih dan doa juga janji untuk menjaga Maya.
"Sebaiknya kita segera pergi Tuan,"
Christ bangkit dan keduanya segera meninggalkan makam.
Malamnya Christ melihat pertunjukan Teater Tsukikage dan Teater Ikkakuju di teater bawah tanah. Dia terkejut melihat bakat akting mereka sekaligus miris melihat bakat sehebat itu hanya dipentaskan di teater bawah tanah. Otaknya langsung menyimpan catatan khusus untuk membicarakan hal ini dengan adiknya. Jelas sebuah penghinaan jika aktor dan aktris sehebat itu disia-siakan begitu saja.
Malam itu Christ kembali ke apartemennya dengan perasaan puas. Dia merasa lebih mengenal kehidupan Maya sekarang. Ryan menunjukkan banyak tempat yang cukup penting dalam kehidupan Maya. Termasuk sekolah juga kedai mie Manfukuken, tempatnya tinggal dulu bersama ibunya.
"Baiklah, terima kasih untuk hari ini Ryan." Christ duduk dengan santai di ruang keluarga, di depan televisi.
"Senang bisa mengantar anda berjalan-jalan,"
Christ menyeringai, "Bagaimana laporan Alex hari ini?"
"Nona tidak banyak keluar hari ini. Nyonya hanya mengajaknya berbelanja. Semuanya aman, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan."
"Bagus,"
Sejenak berpikir, Christ kembali menatap Ryan yang duduk didepannya.
"Semua data ku minta, apa kau sudah siapkan semuanya?"
"Sudah Tuan, saya sudah siapkan semuanya,"
"Oke, letakkan semua dokumen itu di atas meja kerjaku. Aku akan mempelajarinya malam ini. Aku harus menyusun semuanya sebelum bertemu dengan Masumi."
"Baik Tuan," Ryan beranjak menghilang entah kemana. Tak lama kemudian dia muncul dan memberitahukan semuanya sudah siap.
"Pergilah. Kau bebas tugas sekarang,"
Tanpa kata Ryan melenggang meninggalkan Christ dan menghilang dibalik pintu.
Selesai menonton berita malam, Christ mematikan televisi dan duduk dibalik meja kerjanya.
Setumpuk dokumen menantinya. Dengan cermat dibukanya dokumen itu satu persatu. Keningnya berkerut-kerut saat membaca laporan tentang kacaunya Daito. Secara garis besar dia sudah mendapatkan laporan itu saat masih di New York tapi tidak menyangka kalau keadaannya sekacau ini.
Christ berlutut di depan makam ibu Maya, mengamati foto tersenyum wanita paruh baya yang terpasang di batu nisan. Dia mengatakan beberapa patah kata terima kasih dan doa juga janji untuk menjaga Maya.
"Sebaiknya kita segera pergi Tuan,"
Christ bangkit dan keduanya segera meninggalkan makam.
Malamnya Christ melihat pertunjukan Teater Tsukikage dan Teater Ikkakuju di teater bawah tanah. Dia terkejut melihat bakat akting mereka sekaligus miris melihat bakat sehebat itu hanya dipentaskan di teater bawah tanah. Otaknya langsung menyimpan catatan khusus untuk membicarakan hal ini dengan adiknya. Jelas sebuah penghinaan jika aktor dan aktris sehebat itu disia-siakan begitu saja.
Malam itu Christ kembali ke apartemennya dengan perasaan puas. Dia merasa lebih mengenal kehidupan Maya sekarang. Ryan menunjukkan banyak tempat yang cukup penting dalam kehidupan Maya. Termasuk sekolah juga kedai mie Manfukuken, tempatnya tinggal dulu bersama ibunya.
"Baiklah, terima kasih untuk hari ini Ryan." Christ duduk dengan santai di ruang keluarga, di depan televisi.
"Senang bisa mengantar anda berjalan-jalan,"
Christ menyeringai, "Bagaimana laporan Alex hari ini?"
"Nona tidak banyak keluar hari ini. Nyonya hanya mengajaknya berbelanja. Semuanya aman, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan."
"Bagus,"
Sejenak berpikir, Christ kembali menatap Ryan yang duduk didepannya.
"Semua data ku minta, apa kau sudah siapkan semuanya?"
"Sudah Tuan, saya sudah siapkan semuanya,"
"Oke, letakkan semua dokumen itu di atas meja kerjaku. Aku akan mempelajarinya malam ini. Aku harus menyusun semuanya sebelum bertemu dengan Masumi."
"Baik Tuan," Ryan beranjak menghilang entah kemana. Tak lama kemudian dia muncul dan memberitahukan semuanya sudah siap.
"Pergilah. Kau bebas tugas sekarang,"
Tanpa kata Ryan melenggang meninggalkan Christ dan menghilang dibalik pintu.
Selesai menonton berita malam, Christ mematikan televisi dan duduk dibalik meja kerjanya.
Setumpuk dokumen menantinya. Dengan cermat dibukanya dokumen itu satu persatu. Keningnya berkerut-kerut saat membaca laporan tentang kacaunya Daito. Secara garis besar dia sudah mendapatkan laporan itu saat masih di New York tapi tidak menyangka kalau keadaannya sekacau ini.
Dua
orang sepupu Masumi yang juga menjabat sebagai Direktur Divisi Transportasi
sengaja mengacaukan Divisi Kesenian. Mereka menaruh orang-orang bayaran untuk
menggagalkan beberapa kontrak Daito. Beberapa konser bahkan disabotase sehingga
gagal dan menyebabkan Divisi Kesenian Daito rugi besar. Keadaan itu dijadikan
tombak untuk menyerang Masumi.
Mereka
jelas mengincar posisi Masumi sebagai Direktur Utama yang memegang kendali
perusahaan mewakili ayahnya sebagai pemegang saham tertinggi Daito. Kedua
sepupu Masumi juga membujuk para pemegang saham lain yang adalah saudara tiri
Eisuke, orang tua mereka, untuk membantu mereka menjatuhkan Masumi. Mereka juga
mendapat dukungan dari Shiori secara diam-diam untuk melakukan kudeta itu.
Laporan
mengejutkan lainnya adalah Ryan berhasil menemukan bukti bahwa Shiori
sebenarnya ingin mengakuisisi saham milik mereka agar bisa secara langsung
mengendalikan Daito. Saham milik keluarga Hayami lain memang tidak besar. Tapi
jika semuanya digabungkan dan semuanya setuju untuk menjual sahamnya pada
Shiori maka dirinya akan memiliki empat puluh persen saham Daito, lebih besar
dari saham Masumi yang hanya dua puluh persen dan artinya dia bisa
memiliki kuasa yang sama dengan Eisuke. Dengan begitu dia bisa ikut andil dalam
membuat keputusan di Daito dan yang jelas dia tidak mau Daito ikut tender
Bidadari Merah.
Tapi kesepakatan itu belum terjadi karena ternyata dua sepupu
Masumi dan orang tuanya bersedia melepaskan saham mereka dengan syarat Shiori
menukarnya dengan kepemilikan saham disalah satu perusahaan milik Grup Takatsu.
Sedangkan untuk itu Shiori harus membujuk ayahnya dan memberikan alasan yang
masuk akal untuk tindakannya tersebut.
Christ sangat puas dengan laporan yang diberikan Ryan. Pengawal pribadinya itu memang selalu bisa diandalkan.
Sebenarnya Ryan adalah seorang anggota FBI yang dipilih khusus karena kejeniusannya. Namun saat dia menangani sebuah kasus, terjadi sebuah tragedi, rumahnya diserang dan diledakkan yang menyebabkan istrinya meninggal dan dirinya hampir kehilangan nyawa. FBI menganggap Ryan sudah meninggal bersama istrinya padahal saat itu dirinya berhasil keluar dari rumah dengan luka parah dan ditemukan dijalan oleh Michael.
Christ sangat puas dengan laporan yang diberikan Ryan. Pengawal pribadinya itu memang selalu bisa diandalkan.
Sebenarnya Ryan adalah seorang anggota FBI yang dipilih khusus karena kejeniusannya. Namun saat dia menangani sebuah kasus, terjadi sebuah tragedi, rumahnya diserang dan diledakkan yang menyebabkan istrinya meninggal dan dirinya hampir kehilangan nyawa. FBI menganggap Ryan sudah meninggal bersama istrinya padahal saat itu dirinya berhasil keluar dari rumah dengan luka parah dan ditemukan dijalan oleh Michael.
Ketika
tragedi itu terjadi, usia Ryan baru dua puluh lima. Ryan menjalani berbagai
operasi untuk menyelamatkan nyawanya dan wajahnya yang rusak karena luka bakar
berhasil direkonstruksi dengan operasi plastik. Sejak saat itu Ryan membuang
identitasnya sebagai anggota FBI dan mengabdi pada keluarga Anderson dengan
identitas sebagai Ryan Lane. Dia sudah menyerahkan seluruh hidupnya untuk
keluarga Anderson dan kejeniusannya serta keahliannya sebagai anggota FBI
sangat membantu Michael dalam mengembangkan kerajaan bisnisnya. Ryan dijadikan
pengawal pribadi Christ saat dia resmi menjabat sebagai CEO ACA Grup. Sampai
sekarang Ryan sudah lima belas tahun bersama keluarga Anderson.
Christ menutup semua dokumen yang sudah selesai dibacanya. Dia yakin baik Eisuke ataupun Masumi tidak tahu tentang rencana akuisisi yang dirancang oleh Shiori. Mereka hanya tahu kedua sepupu Masumi menginginkan posisi sebagai Direktur Utama.
Mengepalkan tangannya kuat, "Aku harus mendahului wanita itu. Jika dia sampai berhasil mengakuisisi saham keluarga Hayami maka Daito akan hancur. Kalau Daito hancur maka Masumi juga akan ikut didalamnya. Dan jika Masumi hancur maka Maya...," Christ menggeleng kasar,
"Sial!! Wanita itu jelas berencana untuk mengacaukan Bidadari Merah dan Daito. Dia ingin menghancurkan Maya dan Masumi."
Christ beranjak dari duduknya, "Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan adikku. Tidak akan pernah!" Desisnya marah seraya meninggalkan ruang kerjanya.
***
Christ menutup semua dokumen yang sudah selesai dibacanya. Dia yakin baik Eisuke ataupun Masumi tidak tahu tentang rencana akuisisi yang dirancang oleh Shiori. Mereka hanya tahu kedua sepupu Masumi menginginkan posisi sebagai Direktur Utama.
Mengepalkan tangannya kuat, "Aku harus mendahului wanita itu. Jika dia sampai berhasil mengakuisisi saham keluarga Hayami maka Daito akan hancur. Kalau Daito hancur maka Masumi juga akan ikut didalamnya. Dan jika Masumi hancur maka Maya...," Christ menggeleng kasar,
"Sial!! Wanita itu jelas berencana untuk mengacaukan Bidadari Merah dan Daito. Dia ingin menghancurkan Maya dan Masumi."
Christ beranjak dari duduknya, "Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkan adikku. Tidak akan pernah!" Desisnya marah seraya meninggalkan ruang kerjanya.
***
Masumi
tertegun dikamarnya. Malam sudah larut tapi dia belum juga bisa memejamkan
mata. Pikirannya melayang-layang dan hatinya tidak tenang sejak pertemuannya
dengan Christ. Membayangkan seorang CEO tampan menjadi pengagum Maya jelas
membuatnya kacau.
"Benarkah Christian menyukai Maya?" Masumi melirik pada tabletnya, "Kalau aku menanyakannya pada Maya...hhhh, Maya pasti marah kalau aku bertanya hal seperti itu,"
Masumi menyisirkan jari tangan pada rambut lebatnya. Memikirkan cara untuk mencari tahu. "Tapi...," kembali menimbang dengan ekspresi serius dan tangannya yang meraih tablet menyatakan keputusan finalnya.
"Masumi?!" Wajah Maya yang terkejut langsung menghiasi layar tablet Masumi.
"Halo sayang, apa aku mengganggumu?" Masumi sudah tidak tahan dengan rasa penasarannya sehingga tidak pikir panjang, lupa kalau Maya mungkin saja sedang sibuk.
"Aku sedang bersiap untuk latihan olah tubuh. Tapi tidak apa-apa, aku masih punya waktu. Ada apa? Tunggu...," Maya menyadari sesuatu, melihat jam tangannya dan melotot pada Masumi, "Ya, ampun! Kau pikir ini jam berapa? Apa aku harus mengirimimu obat tidur?" Maya mengomel.
Mendengar Maya mengomel Masumi baru sadar bahwa itu sudah pukul satu dini hari. Tapi karena Maya sudah mengomel Masumi jadi tidak ragu lagi untuk menanyakan tentang masalah Christ yang sangat mengganggunya. Otaknya mulai mencari kalimat yang tepat. Reaksinya mungkin akan sama atau sedikit lebih...marah?
"Kalau ANDA menelepon SAYA pukul satu dini hari, hanya untuk diam dan hanya memandang SAYA maka dengan HORMAT! SAYA sarankan ANDA segera tidur TU-AN-MA-SU-MI-HA-YA-MI!" Kata Maya mengeja dengan marah nama kekasihnya.
Masumi tersenyum tipis, "Apa aku tidak boleh memandang kekasihku yang cantik?" Masumi berusaha melunakkan Maya.
"Wah, bos Daito sudah pandai merayu sekarang," dengus Maya kesal sekaligus geli dengan rayuan Masumi, nada suaranya turun beberapa oktaf.
"Aku merindukanmu sayang," Masumi melemparkan senyum ratusan gigawatt-nya, -senyum seluruh pria tampan sejepang yang dipaket menjadi satu-.
Berhasil. Maya meleleh dan merona, "Hmm, baiklah, bisa diterima,"
"Kau tidak merindukanku?" Masumi memiringkan wajahnya, menyangga pipinya dengan kepalan tangannya.
Maya menghela napas panjang, lalu tersenyum, "Tentu saja aku merindukanmu, tapi ini sudah terlalu larut sayang, apa kau tidak lelah? Tidak mengantuk?" Maya semakin melembut.
"Kantukku hilang saat aku melihatmu dan mataku juga tidak akan pernah lelah melihat wajah cantikmu, sayang,"
"Hei, ada apa denganmu? Apa kau sedang ikut kelas privat merayu," Maya mengernyit heran mendengar Masumi terus merayunya. Dia senang -sebenarnya sangat,sangat senang- tapi melakukannya pada pukul satu dini hari membuatnya jadi tidak masuk akal. Bukankah memang Masumi-nya tidak pernah masuk akal. Maya menggeleng kesal.
"Hhmm, Maya bagaimana perkembangan karirmu di New York?" Seketika wajah Masumi berubah serius, membuat Maya semakin heran.
"Baik, semuanya berjalan lancar disini. Kau mengkhawatirkanku?" Maya coba menebak.
"Apa tidak boleh?"
Maya tersenyum, "Aku baik-baik saja sayang, kau tidak perlu khawatir," Maya sempat berdebar kalau saja Masumi tahu kejadian apa yang baru menimpanya, -dilecehkan mantan pacar dan diculik teman- Masumi pasti akan langsung berlari ke bandara dengan kecepatan turbo.
Masumi terdiam dan Maya menduga pertanyaannya tadi hanyalah klise.
"Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?" Maya kembali menyelidik.
"Hhmmm, sayang...," tanya Masumi ragu,
"Ada apa?" Kalimat menggantung Masumi semakin membuatnya penasaran.
"Apa kau memiliki banyak penggemar disana?"
"Heh?!" Maya terkejut, memorinya langsung mengingat percakapannya dengan Christ.
"Benarkah Christian menyukai Maya?" Masumi melirik pada tabletnya, "Kalau aku menanyakannya pada Maya...hhhh, Maya pasti marah kalau aku bertanya hal seperti itu,"
Masumi menyisirkan jari tangan pada rambut lebatnya. Memikirkan cara untuk mencari tahu. "Tapi...," kembali menimbang dengan ekspresi serius dan tangannya yang meraih tablet menyatakan keputusan finalnya.
"Masumi?!" Wajah Maya yang terkejut langsung menghiasi layar tablet Masumi.
"Halo sayang, apa aku mengganggumu?" Masumi sudah tidak tahan dengan rasa penasarannya sehingga tidak pikir panjang, lupa kalau Maya mungkin saja sedang sibuk.
"Aku sedang bersiap untuk latihan olah tubuh. Tapi tidak apa-apa, aku masih punya waktu. Ada apa? Tunggu...," Maya menyadari sesuatu, melihat jam tangannya dan melotot pada Masumi, "Ya, ampun! Kau pikir ini jam berapa? Apa aku harus mengirimimu obat tidur?" Maya mengomel.
Mendengar Maya mengomel Masumi baru sadar bahwa itu sudah pukul satu dini hari. Tapi karena Maya sudah mengomel Masumi jadi tidak ragu lagi untuk menanyakan tentang masalah Christ yang sangat mengganggunya. Otaknya mulai mencari kalimat yang tepat. Reaksinya mungkin akan sama atau sedikit lebih...marah?
"Kalau ANDA menelepon SAYA pukul satu dini hari, hanya untuk diam dan hanya memandang SAYA maka dengan HORMAT! SAYA sarankan ANDA segera tidur TU-AN-MA-SU-MI-HA-YA-MI!" Kata Maya mengeja dengan marah nama kekasihnya.
Masumi tersenyum tipis, "Apa aku tidak boleh memandang kekasihku yang cantik?" Masumi berusaha melunakkan Maya.
"Wah, bos Daito sudah pandai merayu sekarang," dengus Maya kesal sekaligus geli dengan rayuan Masumi, nada suaranya turun beberapa oktaf.
"Aku merindukanmu sayang," Masumi melemparkan senyum ratusan gigawatt-nya, -senyum seluruh pria tampan sejepang yang dipaket menjadi satu-.
Berhasil. Maya meleleh dan merona, "Hmm, baiklah, bisa diterima,"
"Kau tidak merindukanku?" Masumi memiringkan wajahnya, menyangga pipinya dengan kepalan tangannya.
Maya menghela napas panjang, lalu tersenyum, "Tentu saja aku merindukanmu, tapi ini sudah terlalu larut sayang, apa kau tidak lelah? Tidak mengantuk?" Maya semakin melembut.
"Kantukku hilang saat aku melihatmu dan mataku juga tidak akan pernah lelah melihat wajah cantikmu, sayang,"
"Hei, ada apa denganmu? Apa kau sedang ikut kelas privat merayu," Maya mengernyit heran mendengar Masumi terus merayunya. Dia senang -sebenarnya sangat,sangat senang- tapi melakukannya pada pukul satu dini hari membuatnya jadi tidak masuk akal. Bukankah memang Masumi-nya tidak pernah masuk akal. Maya menggeleng kesal.
"Hhmm, Maya bagaimana perkembangan karirmu di New York?" Seketika wajah Masumi berubah serius, membuat Maya semakin heran.
"Baik, semuanya berjalan lancar disini. Kau mengkhawatirkanku?" Maya coba menebak.
"Apa tidak boleh?"
Maya tersenyum, "Aku baik-baik saja sayang, kau tidak perlu khawatir," Maya sempat berdebar kalau saja Masumi tahu kejadian apa yang baru menimpanya, -dilecehkan mantan pacar dan diculik teman- Masumi pasti akan langsung berlari ke bandara dengan kecepatan turbo.
Masumi terdiam dan Maya menduga pertanyaannya tadi hanyalah klise.
"Ada apa? Apa ada yang mengganggumu?" Maya kembali menyelidik.
"Hhmmm, sayang...," tanya Masumi ragu,
"Ada apa?" Kalimat menggantung Masumi semakin membuatnya penasaran.
"Apa kau memiliki banyak penggemar disana?"
"Heh?!" Maya terkejut, memorinya langsung mengingat percakapannya dengan Christ.
"Ya ampun!! Apa
yang harus kulakukan pada duo Mr. Tidak Masuk Akal ini?"
"Apa yang ingin kau tanyakan sebenarnya?" Tanya Maya putus asa pada sifat pencemburu Masumi.
"Aku hanya ingin tahu apa kau memiliki banyak penggemar disana," Masumi berusaha terlihat santai tapi gagal. Maya jelas melihat mata Masumi tidak tenang.
Pura-pura tidak tahu maksud kekasihnya, Mayapun menjawab dengan tenang. Dia juga mau tahu bagaimana cara Masumi akan menanyakan perihal Christ padanya.
"Aku tidak tahu jumlah pastinya, tapi surat penggemar terus berdatangan. Bisa ratusan atau ribuan. Aku tidak tahu. Rose yang mengurus semuanya," Maya mengendikkan bahu.
"Apa ada yang khusus?" Tanyanya lagi.
"Khusus? Ayolah, jangan basa basi Masumi,"
"Apa maksudmu khusus?" Maya kembali berakting.
"Ya, mungkin....sepertiku?" Tanyanya ragu seraya melengkungkan alisnya.
"Sepertimu? Kau kan kekasihku, tunanganku. Apa kau mau aku memiliki kekasih lain disini,"
"Hei, jaga bicaramu!"
Maya terkikik, "Kau aneh, aku tidak mengerti maksudmu," Maya berusaha mencairkan kejengkelan Masumi, dia hanya berniat menggodanya.
"Apa ada pengagum fanatik lain seperti Mawar ungu. Pria yang...hhmm, tampan dan...tertarik padamu...mencoba mendekatimu?" Kata Masumi dengan nada ragu dan kalimat yang diputus-putus, dia belum juga menyebut nama Christ.
Maya terbahak dalam hati,
"Tidak," jawab Maya singkat, menenangkan Masumi.
"Kau yakin?" Masumi masih mencoba memastikan.
"Iya," jawabnya mantap.
Masumi terdiam, terlihat sedikit lebih tenang.
"Bagaimana dengan bosmu?"
Maya masih berusaha menahan rasa gelinya, "Clara? Dia baik," jawab Maya,
"Apa yang ingin kau tanyakan sebenarnya?" Tanya Maya putus asa pada sifat pencemburu Masumi.
"Aku hanya ingin tahu apa kau memiliki banyak penggemar disana," Masumi berusaha terlihat santai tapi gagal. Maya jelas melihat mata Masumi tidak tenang.
Pura-pura tidak tahu maksud kekasihnya, Mayapun menjawab dengan tenang. Dia juga mau tahu bagaimana cara Masumi akan menanyakan perihal Christ padanya.
"Aku tidak tahu jumlah pastinya, tapi surat penggemar terus berdatangan. Bisa ratusan atau ribuan. Aku tidak tahu. Rose yang mengurus semuanya," Maya mengendikkan bahu.
"Apa ada yang khusus?" Tanyanya lagi.
"Khusus? Ayolah, jangan basa basi Masumi,"
"Apa maksudmu khusus?" Maya kembali berakting.
"Ya, mungkin....sepertiku?" Tanyanya ragu seraya melengkungkan alisnya.
"Sepertimu? Kau kan kekasihku, tunanganku. Apa kau mau aku memiliki kekasih lain disini,"
"Hei, jaga bicaramu!"
Maya terkikik, "Kau aneh, aku tidak mengerti maksudmu," Maya berusaha mencairkan kejengkelan Masumi, dia hanya berniat menggodanya.
"Apa ada pengagum fanatik lain seperti Mawar ungu. Pria yang...hhmm, tampan dan...tertarik padamu...mencoba mendekatimu?" Kata Masumi dengan nada ragu dan kalimat yang diputus-putus, dia belum juga menyebut nama Christ.
Maya terbahak dalam hati,
"Tidak," jawab Maya singkat, menenangkan Masumi.
"Kau yakin?" Masumi masih mencoba memastikan.
"Iya," jawabnya mantap.
Masumi terdiam, terlihat sedikit lebih tenang.
"Bagaimana dengan bosmu?"
Maya masih berusaha menahan rasa gelinya, "Clara? Dia baik," jawab Maya,
"Bahkan lebih
baik lagi, dia sudah jadi mamaku,"
"Bosmu yang lain? Hhmm, Christian Anderson?" Akhirnya keluar juga nama antagonis dalam hati Masumi.
"Nah benar dugaanku, kau cemburu pada kakakku!"
"Christ?" Maya pura-pura terkejut, tidak rela juga kalau Masumi sampai tidak bisa tidur gara-gara itu.
"Kau memanggil nama depannya?" Masumi benar-benar terkejut dengan panggilan Maya yang terdengar akrab.
Maya menyadari kecerobohannya, "Tuan Anderson maksudku, aku kan tidak harus hormat kalau orangnya tidak ada," Maya berkilah.
"Apa dia sering bertemu denganmu?" Masumi masih belum puas.
Maya terdiam mengamati ekspresi penasaran Masumi, "Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentangnya?" Maya balas bertanya. Sekali lagi mencoba meluruskan logika kekasihnya dengan pertanyaannya.
"Aku cemburu padanya!" Masumi memaki dalam diam,
"Bosmu yang lain? Hhmm, Christian Anderson?" Akhirnya keluar juga nama antagonis dalam hati Masumi.
"Nah benar dugaanku, kau cemburu pada kakakku!"
"Christ?" Maya pura-pura terkejut, tidak rela juga kalau Masumi sampai tidak bisa tidur gara-gara itu.
"Kau memanggil nama depannya?" Masumi benar-benar terkejut dengan panggilan Maya yang terdengar akrab.
Maya menyadari kecerobohannya, "Tuan Anderson maksudku, aku kan tidak harus hormat kalau orangnya tidak ada," Maya berkilah.
"Apa dia sering bertemu denganmu?" Masumi masih belum puas.
Maya terdiam mengamati ekspresi penasaran Masumi, "Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentangnya?" Maya balas bertanya. Sekali lagi mencoba meluruskan logika kekasihnya dengan pertanyaannya.
"Aku cemburu padanya!" Masumi memaki dalam diam,
"Aku
bertemu dengannya, dia bilang dia mengagumimu," akhirnya Masumi
mengungkapkan kecemburuannya dengan kalimat yang lebih santun, menurutnya. Meski
ekspresi wajah Masumi benar-benar cemburu saat mengucapkannya. Maya tak lagi
sanggup menahan tawanya.
"Kau menertawakanku sayang?" Masumi terdengar bingung sekaligus kecewa.
"Kau cemburu pada bosku?" Maya terkikik geli.
"Dia bilang dia mengagumimu. Melihat ekspresi wajahnya yang begitu senang saat berbicara tentangmu, jelas membuatku berpikir...ya, mungkin dia tertarik padamu," wajah Masumi berkerut tidak senang saat menjelaskan perasaannya.
Maya tersenyum geli, dia hanya diam melihat Masumi.
"Apa?" Masumi mempertanyakan kediaman Maya.
"Kau tidak percaya padaku sayang?" Tanya Maya lembut.
"Tidak, bukan begitu. Hanya saja...oh Maya...aku...," Masumi mencengkram rambutnya sendiri, tertunduk dan dari layar tablet Maya dia terlihat kacau.
"Sayang?" Suara lembut Maya kembali memanggil.
Masumi kembali menatap Maya, kedua matanya sayu, lelah.
"Sayang, tujuh tahun aku menunggumu. Aku benar-benar tidak mau kehilanganmu. Kau pusat semestaku Maya, membayangkanmu menjadi milik orang lain...oh Maya...aku tidak akan sanggup hidup tanpamu," Masumi dan segala rasa posesifnya.
Maya ingin sekali memeluk kekasihnya itu, menenangkannya, tapi jelas itu mustahil. Kalimat posesif Masumi membuat air matanya menggenang.
"Oh sayang...maafkan aku. Apa aku menyakiti perasaanmu? Maaf, aku tidak meragukanmu...aku hanya...," Masumi panik melihat Maya menangis.
"Sshhh," potong Maya.
Masumi langsung terdiam. Maya mengusap lembut layar tabletnya, berharap sentuhan itu mengenai kekasihnya. Masumi melembutkan ekspresinya, jarinya disentuhkan pada jari Maya yang terlihat di layar.
"Aku mencintaimu, jangan pernah ragukan itu," kata Maya.
Masumi menghela napas panjang, memutuskan untuk tenang dan menikmati waktu singkat bersama Maya. Dia lalu tersenyum tipis, "Iya maafkan aku, aku juga mencintaimu sayang, sangat mencintaimu."
Keduanya terdiam, saling melempar senyum, saling menatap dan jari keduanya masih saling menempel dilayar.
"Jangan tinggalkan aku," desah Masumi lirih.
"Tidak akan,"
***
"Kau menertawakanku sayang?" Masumi terdengar bingung sekaligus kecewa.
"Kau cemburu pada bosku?" Maya terkikik geli.
"Dia bilang dia mengagumimu. Melihat ekspresi wajahnya yang begitu senang saat berbicara tentangmu, jelas membuatku berpikir...ya, mungkin dia tertarik padamu," wajah Masumi berkerut tidak senang saat menjelaskan perasaannya.
Maya tersenyum geli, dia hanya diam melihat Masumi.
"Apa?" Masumi mempertanyakan kediaman Maya.
"Kau tidak percaya padaku sayang?" Tanya Maya lembut.
"Tidak, bukan begitu. Hanya saja...oh Maya...aku...," Masumi mencengkram rambutnya sendiri, tertunduk dan dari layar tablet Maya dia terlihat kacau.
"Sayang?" Suara lembut Maya kembali memanggil.
Masumi kembali menatap Maya, kedua matanya sayu, lelah.
"Sayang, tujuh tahun aku menunggumu. Aku benar-benar tidak mau kehilanganmu. Kau pusat semestaku Maya, membayangkanmu menjadi milik orang lain...oh Maya...aku tidak akan sanggup hidup tanpamu," Masumi dan segala rasa posesifnya.
Maya ingin sekali memeluk kekasihnya itu, menenangkannya, tapi jelas itu mustahil. Kalimat posesif Masumi membuat air matanya menggenang.
"Oh sayang...maafkan aku. Apa aku menyakiti perasaanmu? Maaf, aku tidak meragukanmu...aku hanya...," Masumi panik melihat Maya menangis.
"Sshhh," potong Maya.
Masumi langsung terdiam. Maya mengusap lembut layar tabletnya, berharap sentuhan itu mengenai kekasihnya. Masumi melembutkan ekspresinya, jarinya disentuhkan pada jari Maya yang terlihat di layar.
"Aku mencintaimu, jangan pernah ragukan itu," kata Maya.
Masumi menghela napas panjang, memutuskan untuk tenang dan menikmati waktu singkat bersama Maya. Dia lalu tersenyum tipis, "Iya maafkan aku, aku juga mencintaimu sayang, sangat mencintaimu."
Keduanya terdiam, saling melempar senyum, saling menatap dan jari keduanya masih saling menempel dilayar.
"Jangan tinggalkan aku," desah Masumi lirih.
"Tidak akan,"
***
Ryan
terlihat sibuk, dia sedang melakukan brefing pada kelima anak buahnya. Setelah
semua tugas dan intruksi diberikan, semua segera bergerak ke posisi
masing-masing. Christ menunggu dengan tenang di private room sebuah restoran.
Dia dan Ryan mengundang beberapa tamu penting hari itu. Christ mulai
melancarkan aksinya.
Sepuluh
menit berselang tamu yang ditunggu mulai berdatangan. Seorang
pria paruh baya dan seorang pria usia tiga puluhan memasuki area private room. Hayashi
Hayami dan ayahnya. Christ menyambutnya dengan ramah. Tak lama kemudian duo
Hayami lain datang, Masaki Hayami dan ayahnya. Keempatnya adalah saudara tiri
dan keponakan Eisuke. Duo direktur sekaligus para pemegang saham Daito.
"Mohon maaf jika undangan saya mengejutkan anda sekalian," kata Christ setelah semuanya duduk di kursi masing-masing dan selesai dengan basa basi perkenalan yang membosankan.
"Cukup mengejutkan Tuan Anderson. Meski begitu saya senang bisa bertemu dengan anda," kata Hayashi. Wajah penjilat yang sudah sangat familiar bagi Christ. Diundang oleh seorang konglomerat, siapa yang bisa menolak?
Christ hanya tersenyum datar.
"Terima kasih untuk undangan anda Tuan Anderson. Saya menduga pasti ada hal yang sangat penting sampai anda mengundang kami semua berkumpul ditempat ini," Masaki juga menyeringai senang.
"Anda benar, ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan anda semua."
"Sebaiknya ini adalah berita yang menyenangkan," kata ayah Hayashi.
Christ menyeringai, "Tentu Tuan, ini adalah hal yang menyenangkan." Christ memberi isyarat pada Ryan yang berdiri dibelakangnya untuk membagikan empat buah map yang dibawanya. Keempatnya membuka map itu dan bersamaan mereka menatap Christ dengan heran.
"Saya tidak akan basa basi. Ini adalah company profile G-Food Industries, salah satu anak perusahaan kami yang berada di Chiba. Anda sekalian pasti sudah tahu, selama lima tahun terakhir ini G-Food industries menempati posisi tiga besar sebagai perusahaan asing pengolahan makanan terbaik di Asia. Saya memiliki sebuah penawaran,"
Christ mengamati ekspresi bingung yang ada didepannya.
"Penawaran seperti apa maksud anda?" Tanya ayah Masaki.
"Kepemilikan saham G-Food Industries,"
Semuanya terkesiap.
"Anda menawarkannya pada kami? Apa anda tidak salah?" Hayashi terkejut. Heran. Bingung.
"Apa anda berniat merendahkan kami?!" Ayah Hayashi tampak marah, merasa direndahkan dengan penawaran Christ. Mereka berempat jelas tidak akan mampu membeli sahan G-Food industries.
"Maaf, saya tidak bermaksud merendahkan siapapun," Christ tetap tenang.
"Lalu apa ini?!" Ayah Masaki juga tampak kesal. Hayashi dan Masaki saling berpandangan.
"Apa maksud anda sebenarnya Tuan Anderson? Anda pasti tahu kalau kami tidak akan sanggup membeli saham G-Food Indutries. Lagipula kami tidak tertarik berinvestasi di bidang ini," Masaki juga terlihat begitu tersinggung.
"Saya tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Bukankah saya bilang saya memiliki sebuah penawaran. Dalam hal ini saya tidak bicara soal kemampuan financial. Lebih tepatnya saya menawarkan sebuah pertukaran,"
"Pertukaran?" Kata Hayashi dan Masaki bersamaan.
Keempatnya sekarang saling berpandangan.
"Saya menawarkan saham G-Food industries ditukar dengan kepemilikan saham Daito,"
"Apa?!" Semua memekik bersamaan.
"Kenapa?" Hayashi heran Christ tertarik pada Daito.
"Apa ini lelucon? Anda berniat menukar saham Daito dengan saham G-Food industries?" Masaki juga sama herannya. Kedua ayah mereka hanya terdiam, tampak berpikir.
"Ini bukan lelucon Tuan, saya serius. Sesuai dengan nilai saham Daito yang anda sekalian berikan pada saya, maka saya akan memberikan saham G-Food Industries. Mungkin presentasenya tidak sebanding karena menurut estimasi perhitungan saya, sepuluh persen saham Daito yang anda miliki hanya bisa membeli lima persen saham G-Food Industries. Akan tetapi itu berbanding terbalik dengan keuntungannya. Keuntungan yang didapat dari lima persen saham G-Food Industries empat kali lipat lebih besar dibanding keuntungan yang kalian dapat dari sepuluh persen kepemilikan saham Daito."
"Mohon maaf jika undangan saya mengejutkan anda sekalian," kata Christ setelah semuanya duduk di kursi masing-masing dan selesai dengan basa basi perkenalan yang membosankan.
"Cukup mengejutkan Tuan Anderson. Meski begitu saya senang bisa bertemu dengan anda," kata Hayashi. Wajah penjilat yang sudah sangat familiar bagi Christ. Diundang oleh seorang konglomerat, siapa yang bisa menolak?
Christ hanya tersenyum datar.
"Terima kasih untuk undangan anda Tuan Anderson. Saya menduga pasti ada hal yang sangat penting sampai anda mengundang kami semua berkumpul ditempat ini," Masaki juga menyeringai senang.
"Anda benar, ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan anda semua."
"Sebaiknya ini adalah berita yang menyenangkan," kata ayah Hayashi.
Christ menyeringai, "Tentu Tuan, ini adalah hal yang menyenangkan." Christ memberi isyarat pada Ryan yang berdiri dibelakangnya untuk membagikan empat buah map yang dibawanya. Keempatnya membuka map itu dan bersamaan mereka menatap Christ dengan heran.
"Saya tidak akan basa basi. Ini adalah company profile G-Food Industries, salah satu anak perusahaan kami yang berada di Chiba. Anda sekalian pasti sudah tahu, selama lima tahun terakhir ini G-Food industries menempati posisi tiga besar sebagai perusahaan asing pengolahan makanan terbaik di Asia. Saya memiliki sebuah penawaran,"
Christ mengamati ekspresi bingung yang ada didepannya.
"Penawaran seperti apa maksud anda?" Tanya ayah Masaki.
"Kepemilikan saham G-Food Industries,"
Semuanya terkesiap.
"Anda menawarkannya pada kami? Apa anda tidak salah?" Hayashi terkejut. Heran. Bingung.
"Apa anda berniat merendahkan kami?!" Ayah Hayashi tampak marah, merasa direndahkan dengan penawaran Christ. Mereka berempat jelas tidak akan mampu membeli sahan G-Food industries.
"Maaf, saya tidak bermaksud merendahkan siapapun," Christ tetap tenang.
"Lalu apa ini?!" Ayah Masaki juga tampak kesal. Hayashi dan Masaki saling berpandangan.
"Apa maksud anda sebenarnya Tuan Anderson? Anda pasti tahu kalau kami tidak akan sanggup membeli saham G-Food Indutries. Lagipula kami tidak tertarik berinvestasi di bidang ini," Masaki juga terlihat begitu tersinggung.
"Saya tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun. Bukankah saya bilang saya memiliki sebuah penawaran. Dalam hal ini saya tidak bicara soal kemampuan financial. Lebih tepatnya saya menawarkan sebuah pertukaran,"
"Pertukaran?" Kata Hayashi dan Masaki bersamaan.
Keempatnya sekarang saling berpandangan.
"Saya menawarkan saham G-Food industries ditukar dengan kepemilikan saham Daito,"
"Apa?!" Semua memekik bersamaan.
"Kenapa?" Hayashi heran Christ tertarik pada Daito.
"Apa ini lelucon? Anda berniat menukar saham Daito dengan saham G-Food industries?" Masaki juga sama herannya. Kedua ayah mereka hanya terdiam, tampak berpikir.
"Ini bukan lelucon Tuan, saya serius. Sesuai dengan nilai saham Daito yang anda sekalian berikan pada saya, maka saya akan memberikan saham G-Food Industries. Mungkin presentasenya tidak sebanding karena menurut estimasi perhitungan saya, sepuluh persen saham Daito yang anda miliki hanya bisa membeli lima persen saham G-Food Industries. Akan tetapi itu berbanding terbalik dengan keuntungannya. Keuntungan yang didapat dari lima persen saham G-Food Industries empat kali lipat lebih besar dibanding keuntungan yang kalian dapat dari sepuluh persen kepemilikan saham Daito."
Sekarang
keempatnya terdiam. Nampak berpikir keras. Tawaran Christ amat sangat
menggiurkan.
"Apa
untungnya untuk anda Tuan Anderson? Dari sudut pandang saya, anda bermain rugi
tapi saya tahu anda bukan tipe orang yang suka dengan sebuah kerugian,"
ayah Hayashi sekarang bicara dengan lebih tenang. Penawaran Christ membuat otak
dan hatinya tenang.
Christ tertawa, "Analisa yang bagus Tuan. Tapi sayangnya ini bukan soal untung dan rugi. Ini soal kebutuhan, sesuatu yang harus saya penuhi untuk sebuah kepuasan,"
"Apa anda juga tertarik dengan drama Tuan Anderson?" Tebak ayah Masaki.
"Sepertinya anda cukup memahami selera saya," seringai tipis menghiasi wajah tampan Christ.
"Saya tidak heran mendengar ada orang yang bisa begitu terobsesi dengan drama sampai rela melakukan hal diluar logika."
"Oh, saya menduga anda mengenal salah satunya."
Ayah Masaki tertawa, "Lebih dari satu, Tuan Anderson. Pertama adalah saudara tiri saya Eisuke Hayami. Dia mendirikan Daito karena kecintaannya pada drama terutama karya agung Bidadari Merah. Dulu saya berpikir hanya dia yang aneh tapi kemudian anak angkatnya Masumi juga melakukan hal yang sama. Dan baru-baru ini kami mendapat tawaran besar seperti apa yang anda tawarkan pada kami. Alasannya pun sama, kecintaan pada drama terutama Bidadari Merah dan sekarang anda. Apakah anda juga memiliki obsesi yang sama seperti ketiga orang yang saya kenal itu Tuan Anderson?"
Christ tersenyum kali ini, "Bisa dibilang seperti itu, tapi ini bukan semata-mata untuk saya. Adik sayalah yang begitu mencintai drama dan Bidadari Merah. Dan jika dilihat dari skala perusahaan dan semua fasilitas maka hanya Daito lah yang layak mementaskannya. Untuk itu saya ingin memiliki Daito dan menghadiahkannya pada adik saya."
"Dengan empat puluh persen kepemilikan saham Daito, berarti anda memiliki kuasa yang sama dengan Eisuke." Ayah Hayashi menambahkan.
"Saya hanya tidak terbiasa untuk diperintah Tuan, saya selalu memposisikan diri saya ditempat yang layak,"
Ayah Hayashi terkekeh, "Tentu,tentu, saya mengerti. Seorang CEO perusahaan konglomerasi tentu saja tidak akan berada dibawah komando siapapun, sekalipun itu seorang Eisuke Hayami,"
"Terima kasih untuk pengertian anda Tuan," Christ sedikit berbasa-basi. "Jadi apakah anda setuju?"
Christ menilai dengan hati-hati raut wajah ayah Hayashi dan ayah Masaki. Saat keduanya kemudian tersenyum tipis maka Christ tahu dia sudah dapatkan apa yang diinginkannya. Dua puluh persen saham sudah didapatkannya. Tentu saja mereka bijak. Usia mereka sudah tidak muda, apalagi yang akan mereka cari selain dari menikmati hari tua dengan keuntungan melimpah.
Christ menatap tajam pada Hayashi dan Masaki. Dari raut wajah dan cara mereka menatap Christ, dia tahu ini tidak akan mudah.
"Mungkin kedua ayah kami sudah setuju tapi lain halnya dengan kami berdua," kata Hayashi.
"Saya mengerti. Katakan apa yang anda inginkan?" Christ masih berusaha sopan meladeni dua Hayami muda yang menurutnya sangat bodoh itu.
"Selain dari kepemilikan saham G-Food industries apalagi yang akan kami berdua dapatkan? Seperti yang anda tahu, kami sekarang menduduki posisi Direktur." Hayashi mengutarakan penawarannya disambut anggukan mantap dari Masaki.
"Sialan! Dasar pemeras! Apa yang kalian banggakan? Kalian hanya direktur dekorasi, kalian boneka Eisuke," Christ memaki dalam hatinya.
"Tentu saya sangat memahami hal itu. Dan saya memiliki sebuah penawaran menarik dalam hal ini." Bukan Christ namanya jika dia tidak tahu pikiran culas dua Hayami muda itu.
"Wah, wah, sepertinya anda sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Pastinya anda sangat menyayangi adik anda itu sampai-sampai memberikan sebuah hadiah fantastis seperti ini," Masaki terkekeh.
"Dan kalian mau coba memanfaatkan hal ini? Jangan harap!!"
Bibir Christ menyunggingkan senyum. "Ya, saya memang sangat menyayangi adik saya. Dan ironisnya dia lebih mencintai drama daripada saya." Christ mencoba membawa suasana menjadi lebih ringan.
Semuanya tertawa,
"Baiklah, kembali soal penawaran tadi. Saya berencana untuk menempatkan anda berdua sebagai Direktur di perusahaan cabang kami. Lebih tepatnya di Thailand dan Filipina."
Keduanya terdiam.
"Kami ingin di Jepang," kaya Hayashi kemudian. Thailand dan Filipina hanyalah cabang kecil, jelas mereka memilih cabang terbesar yang berada di Chiba.
Sejenak suasana menjadi hening, lalu suara tawa Christ memecah suasana,
Christ tertawa, "Analisa yang bagus Tuan. Tapi sayangnya ini bukan soal untung dan rugi. Ini soal kebutuhan, sesuatu yang harus saya penuhi untuk sebuah kepuasan,"
"Apa anda juga tertarik dengan drama Tuan Anderson?" Tebak ayah Masaki.
"Sepertinya anda cukup memahami selera saya," seringai tipis menghiasi wajah tampan Christ.
"Saya tidak heran mendengar ada orang yang bisa begitu terobsesi dengan drama sampai rela melakukan hal diluar logika."
"Oh, saya menduga anda mengenal salah satunya."
Ayah Masaki tertawa, "Lebih dari satu, Tuan Anderson. Pertama adalah saudara tiri saya Eisuke Hayami. Dia mendirikan Daito karena kecintaannya pada drama terutama karya agung Bidadari Merah. Dulu saya berpikir hanya dia yang aneh tapi kemudian anak angkatnya Masumi juga melakukan hal yang sama. Dan baru-baru ini kami mendapat tawaran besar seperti apa yang anda tawarkan pada kami. Alasannya pun sama, kecintaan pada drama terutama Bidadari Merah dan sekarang anda. Apakah anda juga memiliki obsesi yang sama seperti ketiga orang yang saya kenal itu Tuan Anderson?"
Christ tersenyum kali ini, "Bisa dibilang seperti itu, tapi ini bukan semata-mata untuk saya. Adik sayalah yang begitu mencintai drama dan Bidadari Merah. Dan jika dilihat dari skala perusahaan dan semua fasilitas maka hanya Daito lah yang layak mementaskannya. Untuk itu saya ingin memiliki Daito dan menghadiahkannya pada adik saya."
"Dengan empat puluh persen kepemilikan saham Daito, berarti anda memiliki kuasa yang sama dengan Eisuke." Ayah Hayashi menambahkan.
"Saya hanya tidak terbiasa untuk diperintah Tuan, saya selalu memposisikan diri saya ditempat yang layak,"
Ayah Hayashi terkekeh, "Tentu,tentu, saya mengerti. Seorang CEO perusahaan konglomerasi tentu saja tidak akan berada dibawah komando siapapun, sekalipun itu seorang Eisuke Hayami,"
"Terima kasih untuk pengertian anda Tuan," Christ sedikit berbasa-basi. "Jadi apakah anda setuju?"
Christ menilai dengan hati-hati raut wajah ayah Hayashi dan ayah Masaki. Saat keduanya kemudian tersenyum tipis maka Christ tahu dia sudah dapatkan apa yang diinginkannya. Dua puluh persen saham sudah didapatkannya. Tentu saja mereka bijak. Usia mereka sudah tidak muda, apalagi yang akan mereka cari selain dari menikmati hari tua dengan keuntungan melimpah.
Christ menatap tajam pada Hayashi dan Masaki. Dari raut wajah dan cara mereka menatap Christ, dia tahu ini tidak akan mudah.
"Mungkin kedua ayah kami sudah setuju tapi lain halnya dengan kami berdua," kata Hayashi.
"Saya mengerti. Katakan apa yang anda inginkan?" Christ masih berusaha sopan meladeni dua Hayami muda yang menurutnya sangat bodoh itu.
"Selain dari kepemilikan saham G-Food industries apalagi yang akan kami berdua dapatkan? Seperti yang anda tahu, kami sekarang menduduki posisi Direktur." Hayashi mengutarakan penawarannya disambut anggukan mantap dari Masaki.
"Sialan! Dasar pemeras! Apa yang kalian banggakan? Kalian hanya direktur dekorasi, kalian boneka Eisuke," Christ memaki dalam hatinya.
"Tentu saya sangat memahami hal itu. Dan saya memiliki sebuah penawaran menarik dalam hal ini." Bukan Christ namanya jika dia tidak tahu pikiran culas dua Hayami muda itu.
"Wah, wah, sepertinya anda sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Pastinya anda sangat menyayangi adik anda itu sampai-sampai memberikan sebuah hadiah fantastis seperti ini," Masaki terkekeh.
"Dan kalian mau coba memanfaatkan hal ini? Jangan harap!!"
Bibir Christ menyunggingkan senyum. "Ya, saya memang sangat menyayangi adik saya. Dan ironisnya dia lebih mencintai drama daripada saya." Christ mencoba membawa suasana menjadi lebih ringan.
Semuanya tertawa,
"Baiklah, kembali soal penawaran tadi. Saya berencana untuk menempatkan anda berdua sebagai Direktur di perusahaan cabang kami. Lebih tepatnya di Thailand dan Filipina."
Keduanya terdiam.
"Kami ingin di Jepang," kaya Hayashi kemudian. Thailand dan Filipina hanyalah cabang kecil, jelas mereka memilih cabang terbesar yang berada di Chiba.
Sejenak suasana menjadi hening, lalu suara tawa Christ memecah suasana,
"Jangan
memaksakan keberuntungan anda Tuan. Anda tidak bisa memeras saya seperti itu.
Bisa dibilang ini diluar kebiasaan saya untuk bernegosiasi hanya untuk
mendapatkan saham. Percayalah, terima saja penawaran saya atau anda justru akan
rugi sepenuhnya tanpa keuntungan sepeserpun. Saya sudah sangat terbiasa
mendapatkan apa yang saya inginkan Tuan. Tanpa terkecuali. Dengan cara saya
tentunya,"
Sudut bibir Christ ditarik keras sehingga membentuk seringai tajam yang merupakan sebuah ancaman. Betatapun Hayashi dan Masaki berusaha tenang tapi tetap saja tatapan mata penuh intimidasi dari Christ menciutkan nyali keduanya.
"Jangan bermain api," ayah Hayashi memperingatkan.
Sudut bibir Christ ditarik keras sehingga membentuk seringai tajam yang merupakan sebuah ancaman. Betatapun Hayashi dan Masaki berusaha tenang tapi tetap saja tatapan mata penuh intimidasi dari Christ menciutkan nyali keduanya.
"Jangan bermain api," ayah Hayashi memperingatkan.
Dia
jelas mengerti maksud dari perkataan Christ dan dia tahu meski mereka bersatu
itu tidak akan cukup untuk melawan Christ. Lagipula dia juga tahu kemampuan
Hayashi dan Masaki berada di bawah standar, jelas tidak mungkin perusahaan
besar mau memberikan posisi pada keduanya. Posisi yang ditawarkan Christ sudah
sangat layak bagi mereka, mengingat di Daito pun mereka tidak banyak dianggap.
Masumi masih lebih mendominasi dalam semua pengambilan keputusan.
"Kita tidak akan rugi jika mengikuti permainan ini Hayashi, Masaki," tambah ayah Masaki.
"Kita tidak akan rugi jika mengikuti permainan ini Hayashi, Masaki," tambah ayah Masaki.
Diapun
sepenuhnya sadar dengan ancaman Christ, CEO itu pasti akan memiliki saham
mereka dengan atau tanpa persetujuan. Jelas pertemuan ini hanyalah sebuah
kamuflase. Kalimat Christ sudah sangat menjelaskan keinginanya yang tidak bisa
dibantah. Dan daripada harus hancur dan merugi karena cara paksa Christ maka
akan lebih bijak jika mereka menerima saja tawaran itu. Selama mereka mengikuti
aturan maka mereka tidak akan merugi.
"Jadi kami harus setuju?" Tanya Masaki datar.
Christ tersenyum. "Akan lebih mudah jika dilakukan dengan sebuah kerelaan," katanya sopan.
"Dimana kami harus tanda tangan?"
Pertanyaan Hayashi mengakhiri segalanya.
"Pertanyaan yang bagus Tuan." Christ melambaikan tangannya di udara, "Ryan!"
Senyum penuh kemenangan menghiasi wajah Christ. Kado untuk adiknya telah selesai dikemas, hanya tinggal menunggu waktu untuk menyerahkannya.
***
"Jadi kami harus setuju?" Tanya Masaki datar.
Christ tersenyum. "Akan lebih mudah jika dilakukan dengan sebuah kerelaan," katanya sopan.
"Dimana kami harus tanda tangan?"
Pertanyaan Hayashi mengakhiri segalanya.
"Pertanyaan yang bagus Tuan." Christ melambaikan tangannya di udara, "Ryan!"
Senyum penuh kemenangan menghiasi wajah Christ. Kado untuk adiknya telah selesai dikemas, hanya tinggal menunggu waktu untuk menyerahkannya.
***
"Jadi
semuanya sudah selesai? Semudah itu?" Maya terheran-heran saat Christ
menceritakan keberhasilannya.
Christ tertawa, "Ini hanya sebuah permainan Maya. Mereka semua itu orang bodoh. Beruntung kau mempunyai data rahasia Daito, mereka jelas hanya dekorasi. Eisuke memberikan mereka saham semata-mata hanya karena merekalah yang telah membantu Eisuke untuk menghancurkan Ichiren Ozaki dan teaternya. Mereka mafia kelas teri yang digunakan Eisuke untuk melakukan pekerjaan kotor guna melancarkan semua bisnis Daito. Selebihnya mereka tidak ada gunanya. Jika Daito mau bermain bersih maka mereka harus disingkirkan. Paling tidak sekarang Eisuke sudah kehilangan tangan kirinya,"
"Ya, aku senang mendengarnya, paling tidak sekarang Masumi aman. Lalu apa rencana selanjutnya? Menurut pendanganku Eisuke akan marah dan dia pasti akan bertindak," Maya terlihat menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya.
"Nah, ini waktunya aku menguji hasil belajarmu. Dalam kondisi seperti ini apa yang mungkin terjadi Maya?"
"Aku tidak yakin," Maya mengendikkan bahu.
"Katakan saja, aku ingin tahu sejauh mana kau memahami hal ini. Karena kau juga harus bermain dalam permainan ini sayang,"
Maya mengusap-usap dagunya, ragu, "Hhhmm, menurutku ada dua kemungkinan. Karena sekarang kau memiliki empat puluh persen saham Daito maka posisimu sekarang sama dengan Eisuke. Kemungkinan pertamanya kau akan mengakuisisi secara terbuka saham Eisuke dan menjadikan Daito seutuhnya milikmu. Meski aku ragu kau akan melakukan hal itu. Kedua jika Eisuke takut kau merebut perusahaannya maka dia akan memperkuat posisinya. Bisa jadi dia akan memindahkan saham Masumi menjadi miliknya atau sebaliknya. Tapi aku rasa dia terlalu tua untuk melakukan itu dan aku lebih senang dengan opsi kedua ini. Eisuke akan memberikan sahamnya pada Masumi dan memperkuat kedudukannya agar bisa melawanmu," Maya meringis senang dengan pemikirannya.
Christ tergelak mendengarnya, "Ya, analisa yang bagus Maya, sudah kubilang kan kalau kau tidak bodoh. Tapi pemikiranmu akan membuatku rugi sayang. Kau lebih memilih Masumi yang menang,"
"Kau kan masih punya banyak permainan lain yang lebih menguntungkan,"
"Baiklah, kita akan lihat apa reaksi Eisuke jika dia tahu keluarganya menghianatinya. Apapun hasilnya nanti tetap saja kita yang menang. Eisuke tidak akan membiarkan aku menguasai Daito, jadi pasti dia akan mencari cara untuk mengukuhkan kedudukannya atau seperti harapanmu, memberikan sahamnya pada Masumi dan membuat Masumi melawanku,"
"Tapi bagaimana jika prediksi kita salah?" Maya sedikit cemas menatap kakaknya.
"Tidak sayang, kita tidak akan salah. Mendengar ceritamu tentang obsesi Eisuke aku yakin dia akan melakukan apa yang kita harapkan. Kau sudah mengancam si tua itu dan mengatakan padanya akan memberikan hak pementasan pada Masumi. Jadi pasti sekuat tenaga dia akan mempertahankan Masumi tetap di Daito bahkan mengukuhkan kedudukannya. Karena dengan menjadikan Masumi pemilik Daito maka hak pementasan itu otomatis menjadi milik Daito yang dalam pemikirannya berarti menjadi miliknya juga. Kita hanya mendorongnya ke dalam situasi itu Maya, lagipula dia tidak tahu kalau Masumi sudah memegang semua dokumen hak pementasan dan menolak untuk memilikinya. Rahasia itu harus tetap aman atau Eisuke akan menghancurkan Masumi,"
Maya mengerucutkan bibirnya, "Aku benci memikirkan kemungkinan itu," gumamnya.
"Tenang saja, aku akan pastikan semuanya aman. Kau tenanglah di sana. Lagipula Masumi-mu itu bukan anak umur lima tahun Maya. Dia tangguh kau tahu itu. Aku bahkan masih memikirkan cara terbaik untuk menghadapinya nanti,"
"Aku juga masih kesal padamu kak, karena membuatnya cemburu," Celetuk maya kemudian.
Christ terkikik, "Oh, aku harus melakukan itu dan aku akan terus melakukannya. Setelah Eisuke menentukan langkahnya dan memastikan Masumi aman juga Bidadari Merah jauh dari tangan Eisuke maka aku akan mendesaknya untuk mengakuimu,"
"Mengakuiku?" Maya mengernyit.
"Kau pikir aku rela adikku diperlakukan sebagai pacar simpanan seperti itu? Mau sampai kapan kalian terus bersembunyi? Jika masalah Daito dan Bidadari Merah aman maka tidak ada lagi alasan bagi kalian untuk bersembunyi. Semakin cepat kalian mengumumkan status kalian itu semakin baik," Christ terlihat kesal.
"Tapi, bukankah lebih baik menunggu sampai pementasan bidadari merah? Aku tidak mau terjadi skandal dan kehebohan,"
"Hentikan omong kosong Bidadari Merah itu. Kalian berdua saling mencintai dan berhak untuk bahagia. Dan hanya gara-gara sebuah drama kalian harus seperti ini. Konyol Maya! Jangan paksa aku menerima pemikiran aneh kalian."
"Maafkan aku, tapi jangan bicara seperti itu kak, Bidadari merah adalah hidup Bu Mayuko dan aku sudah berjanji untuk menjaganya. Akan menjadi skandal kalau publik tahu aku berkencan dengan Masumi," Kata Maya lirih, sedih juga hatinya mendengar perkataan kakaknya meski itu adalah benar.
Mendesah kesal, "Oke, aku tahu, aku coba pahami itu. Tapi dengar, aku sudah cukup bersabar untuk menyembunyikan statusmu dan melakukan semua ini untukmu. Tapi aku tidak akan sabar lebih lama lagi jika harus melihat kau menjadi pacar simpanan. Terlebih lagi aku harus memperlakukanmu sebagai seorang aktris didepan umum. Aku benci itu. Kau adikku Maya dan aku mau semua orang tahu itu."
"Ku mohon bersabar sebentar lagi," pinta Maya.
"Dulu kau butuh waktu tiga tahun karena kau harus memikirkan cara melawan Daito dan sekarang aku sudah mempersingkat semua prosesnya. Ikuti saja caraku dan semuanya akan segera selesai. Ingat itu!" mata Christ menatap kesal pada adiknya.
Maya terdiam, "Baiklah, aku akan turuti semuanya,"
"Bagus. Tidak usah berdebat lagi. Kau juga tidurlah. Ini sudah larut disana. Sampaikan salamku pada mama dan papa,"
"Selamat malam kak, terima kasih."
"Selamat malam sayang,"
Christ menghela napas panjang saat mematikan teleponnya. Dia masih sulit memahami pemikiran Maya dan Masumi yang bertahan dengan kondisi seperti itu hanya demi sebuah drama.
"Ryan!!" Panggilnya keras.
Yang dipanggilpun segera muncul dihadapannya.
"Kau sudah hubungi Mayuko Chigusa?"
"Sudah Tuan, sore ini kita bisa bertemu dengannya,"
"Bagus! Bagaimana dengan semua dokumen untuk pengalihan saham Daito juga G-Food Industries?"
"Semua sudah dipersiapkan."
Christ mengangguk puas. Lalu kembali menghela napas panjang.
"Lalu bagaimana dengan informasi Shiori dan Grup Takatsu?"
"Mengenai hal itu saya sudah bisa memastikan bahwa James memang orang bayaran Shiori Takamiya,"
"Brengsek!! Jadi wanita itu benar-benar mau membunuh Maya," Christ menggeram marah.
"Apa Grup Takatsu terlibat? Ku dengar dia adalah cucu kesayangan komisaris,"
"Tidak Tuan. Keluarga Takamiya sepertinya tidak tahu masalah dendam Shiori. Maka dari itu dia juga kesulitan membujuk ayahnya untuk menukar saham dengan Hayashi juga Masaki, sepertinya dia belum menemukan alasan yang tepat. Dan sekarang dia sudah terlambat. Lagipula meski lulusan universitas ternama tapi menurut catatan saya Shiori belum pernah menangani masalah bisnis apapun. Jadi sepertinya ini tidak akan sesulit yang dibayangkan."
"Aku harap juga begitu. Aku benci harus main kucing-kucingan seperti ini. Siapkan semua bukti keterlibatan Shiori pada kasus penculikan Maya,"
"Apa Tuan berencana melaporkannya?"
Christ tampak berpikir sejenak, memandang pengawal pribadinya yang berdiri dihadapannya.
Christ tertawa, "Ini hanya sebuah permainan Maya. Mereka semua itu orang bodoh. Beruntung kau mempunyai data rahasia Daito, mereka jelas hanya dekorasi. Eisuke memberikan mereka saham semata-mata hanya karena merekalah yang telah membantu Eisuke untuk menghancurkan Ichiren Ozaki dan teaternya. Mereka mafia kelas teri yang digunakan Eisuke untuk melakukan pekerjaan kotor guna melancarkan semua bisnis Daito. Selebihnya mereka tidak ada gunanya. Jika Daito mau bermain bersih maka mereka harus disingkirkan. Paling tidak sekarang Eisuke sudah kehilangan tangan kirinya,"
"Ya, aku senang mendengarnya, paling tidak sekarang Masumi aman. Lalu apa rencana selanjutnya? Menurut pendanganku Eisuke akan marah dan dia pasti akan bertindak," Maya terlihat menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya.
"Nah, ini waktunya aku menguji hasil belajarmu. Dalam kondisi seperti ini apa yang mungkin terjadi Maya?"
"Aku tidak yakin," Maya mengendikkan bahu.
"Katakan saja, aku ingin tahu sejauh mana kau memahami hal ini. Karena kau juga harus bermain dalam permainan ini sayang,"
Maya mengusap-usap dagunya, ragu, "Hhhmm, menurutku ada dua kemungkinan. Karena sekarang kau memiliki empat puluh persen saham Daito maka posisimu sekarang sama dengan Eisuke. Kemungkinan pertamanya kau akan mengakuisisi secara terbuka saham Eisuke dan menjadikan Daito seutuhnya milikmu. Meski aku ragu kau akan melakukan hal itu. Kedua jika Eisuke takut kau merebut perusahaannya maka dia akan memperkuat posisinya. Bisa jadi dia akan memindahkan saham Masumi menjadi miliknya atau sebaliknya. Tapi aku rasa dia terlalu tua untuk melakukan itu dan aku lebih senang dengan opsi kedua ini. Eisuke akan memberikan sahamnya pada Masumi dan memperkuat kedudukannya agar bisa melawanmu," Maya meringis senang dengan pemikirannya.
Christ tergelak mendengarnya, "Ya, analisa yang bagus Maya, sudah kubilang kan kalau kau tidak bodoh. Tapi pemikiranmu akan membuatku rugi sayang. Kau lebih memilih Masumi yang menang,"
"Kau kan masih punya banyak permainan lain yang lebih menguntungkan,"
"Baiklah, kita akan lihat apa reaksi Eisuke jika dia tahu keluarganya menghianatinya. Apapun hasilnya nanti tetap saja kita yang menang. Eisuke tidak akan membiarkan aku menguasai Daito, jadi pasti dia akan mencari cara untuk mengukuhkan kedudukannya atau seperti harapanmu, memberikan sahamnya pada Masumi dan membuat Masumi melawanku,"
"Tapi bagaimana jika prediksi kita salah?" Maya sedikit cemas menatap kakaknya.
"Tidak sayang, kita tidak akan salah. Mendengar ceritamu tentang obsesi Eisuke aku yakin dia akan melakukan apa yang kita harapkan. Kau sudah mengancam si tua itu dan mengatakan padanya akan memberikan hak pementasan pada Masumi. Jadi pasti sekuat tenaga dia akan mempertahankan Masumi tetap di Daito bahkan mengukuhkan kedudukannya. Karena dengan menjadikan Masumi pemilik Daito maka hak pementasan itu otomatis menjadi milik Daito yang dalam pemikirannya berarti menjadi miliknya juga. Kita hanya mendorongnya ke dalam situasi itu Maya, lagipula dia tidak tahu kalau Masumi sudah memegang semua dokumen hak pementasan dan menolak untuk memilikinya. Rahasia itu harus tetap aman atau Eisuke akan menghancurkan Masumi,"
Maya mengerucutkan bibirnya, "Aku benci memikirkan kemungkinan itu," gumamnya.
"Tenang saja, aku akan pastikan semuanya aman. Kau tenanglah di sana. Lagipula Masumi-mu itu bukan anak umur lima tahun Maya. Dia tangguh kau tahu itu. Aku bahkan masih memikirkan cara terbaik untuk menghadapinya nanti,"
"Aku juga masih kesal padamu kak, karena membuatnya cemburu," Celetuk maya kemudian.
Christ terkikik, "Oh, aku harus melakukan itu dan aku akan terus melakukannya. Setelah Eisuke menentukan langkahnya dan memastikan Masumi aman juga Bidadari Merah jauh dari tangan Eisuke maka aku akan mendesaknya untuk mengakuimu,"
"Mengakuiku?" Maya mengernyit.
"Kau pikir aku rela adikku diperlakukan sebagai pacar simpanan seperti itu? Mau sampai kapan kalian terus bersembunyi? Jika masalah Daito dan Bidadari Merah aman maka tidak ada lagi alasan bagi kalian untuk bersembunyi. Semakin cepat kalian mengumumkan status kalian itu semakin baik," Christ terlihat kesal.
"Tapi, bukankah lebih baik menunggu sampai pementasan bidadari merah? Aku tidak mau terjadi skandal dan kehebohan,"
"Hentikan omong kosong Bidadari Merah itu. Kalian berdua saling mencintai dan berhak untuk bahagia. Dan hanya gara-gara sebuah drama kalian harus seperti ini. Konyol Maya! Jangan paksa aku menerima pemikiran aneh kalian."
"Maafkan aku, tapi jangan bicara seperti itu kak, Bidadari merah adalah hidup Bu Mayuko dan aku sudah berjanji untuk menjaganya. Akan menjadi skandal kalau publik tahu aku berkencan dengan Masumi," Kata Maya lirih, sedih juga hatinya mendengar perkataan kakaknya meski itu adalah benar.
Mendesah kesal, "Oke, aku tahu, aku coba pahami itu. Tapi dengar, aku sudah cukup bersabar untuk menyembunyikan statusmu dan melakukan semua ini untukmu. Tapi aku tidak akan sabar lebih lama lagi jika harus melihat kau menjadi pacar simpanan. Terlebih lagi aku harus memperlakukanmu sebagai seorang aktris didepan umum. Aku benci itu. Kau adikku Maya dan aku mau semua orang tahu itu."
"Ku mohon bersabar sebentar lagi," pinta Maya.
"Dulu kau butuh waktu tiga tahun karena kau harus memikirkan cara melawan Daito dan sekarang aku sudah mempersingkat semua prosesnya. Ikuti saja caraku dan semuanya akan segera selesai. Ingat itu!" mata Christ menatap kesal pada adiknya.
Maya terdiam, "Baiklah, aku akan turuti semuanya,"
"Bagus. Tidak usah berdebat lagi. Kau juga tidurlah. Ini sudah larut disana. Sampaikan salamku pada mama dan papa,"
"Selamat malam kak, terima kasih."
"Selamat malam sayang,"
Christ menghela napas panjang saat mematikan teleponnya. Dia masih sulit memahami pemikiran Maya dan Masumi yang bertahan dengan kondisi seperti itu hanya demi sebuah drama.
"Ryan!!" Panggilnya keras.
Yang dipanggilpun segera muncul dihadapannya.
"Kau sudah hubungi Mayuko Chigusa?"
"Sudah Tuan, sore ini kita bisa bertemu dengannya,"
"Bagus! Bagaimana dengan semua dokumen untuk pengalihan saham Daito juga G-Food Industries?"
"Semua sudah dipersiapkan."
Christ mengangguk puas. Lalu kembali menghela napas panjang.
"Lalu bagaimana dengan informasi Shiori dan Grup Takatsu?"
"Mengenai hal itu saya sudah bisa memastikan bahwa James memang orang bayaran Shiori Takamiya,"
"Brengsek!! Jadi wanita itu benar-benar mau membunuh Maya," Christ menggeram marah.
"Apa Grup Takatsu terlibat? Ku dengar dia adalah cucu kesayangan komisaris,"
"Tidak Tuan. Keluarga Takamiya sepertinya tidak tahu masalah dendam Shiori. Maka dari itu dia juga kesulitan membujuk ayahnya untuk menukar saham dengan Hayashi juga Masaki, sepertinya dia belum menemukan alasan yang tepat. Dan sekarang dia sudah terlambat. Lagipula meski lulusan universitas ternama tapi menurut catatan saya Shiori belum pernah menangani masalah bisnis apapun. Jadi sepertinya ini tidak akan sesulit yang dibayangkan."
"Aku harap juga begitu. Aku benci harus main kucing-kucingan seperti ini. Siapkan semua bukti keterlibatan Shiori pada kasus penculikan Maya,"
"Apa Tuan berencana melaporkannya?"
Christ tampak berpikir sejenak, memandang pengawal pribadinya yang berdiri dihadapannya.
"Aku
rasa tidak, bagaimana menurutmu?"
"Saya sependapat dengan anda. Saya akan siapkan buktinya dan anda akan bisa menggunakannya sebagai polis asuransi bagi Nona Maya,"
Christ terbahak, "Kau memang hebat Ryan." Pujinya, "Kau benar, semua bukti itu akan kujadikan alat untuk menekan Nona manja itu. Setelah apa yang dia lakukan pada adikku, jangan harap dia bisa tersenyum disisa hidupnya,"
Keduanya tersenyum penuh arti.
***
"Saya sependapat dengan anda. Saya akan siapkan buktinya dan anda akan bisa menggunakannya sebagai polis asuransi bagi Nona Maya,"
Christ terbahak, "Kau memang hebat Ryan." Pujinya, "Kau benar, semua bukti itu akan kujadikan alat untuk menekan Nona manja itu. Setelah apa yang dia lakukan pada adikku, jangan harap dia bisa tersenyum disisa hidupnya,"
Keduanya tersenyum penuh arti.
***
"Nona!
Nona Shiori! Anda tidak apa-apa?" Takigawa panik melihat Shiori pulang
dengan pucat.
Shiori tidak berkata-apa, berjalan sempoyongan dan Takigawa segera membantunya kembali ke kamar.
Membaringkan Shiori dengan hati-hati diranjang.
"Anda tidak apa-apa, Nona?" Takigawa kembali mengulang pertanyaannya karena nonanya tidak juga menjawab.
"Ambilkan air Bi," pintanya kemudian.
"Baik Nona,"
Dan dengan cepat Takigawa pergi dan kembali membawa segelas air putih.
Tangan Shiori gemetar saat menerima gelas dari Takigawa, bibi pengasuh itupun semakin khawatir melihatnya. Perlahan Shiori meneguk air dari gelasnya.
"Tinggalkan aku sendiri Bi," pintanya saat dirinya sudah meneguk sepertiga isi gelas.
"Tapi Nona...,"
"Aku sedang ingin sendiri." Shiori menatap tajam bibi pengasuhnya. Takigawa berkerut dibawah tatapan mata Shiori dan mengangguk ragu lalu berjalan keluar kamar.
Duduk bersandar pada kepala ranjangnya, Shiori memutar-mutar gelas yang masih dipegangnya. Dalam diam, otaknya memutar memori yang masih begitu segar dalam ingatannya. Pertemuannya dengan Christ yang baru saja terjadi. Sebuah undangan yang tidak pernah diharapkannya.
"Anda pasti tahu siapa saya Nona Takamiya," Christ sama sekali tidak berbasa-basi.
"Tentu Tuan Anderson, bukankah kita pernah bertemu sebelumnya," Shiori mulai bermulut manis.
"Anda tidak perlu bersandiwara pada saya Nona Takamiya. Anda tahu bukan itu maksud pertanyaan saya." Wajah Christ tenang tapi mata abu-abunya menatap tajam penuh intimidasi, seperti biasa.
"Saya tidak mengerti," Shiori masih berkilah.
Tidak ada omong kosong bagi Christ, dia sudah berusaha meredam kemarahannya karena Shiori adalah seorang wanita. Dia meletakkan sebuah amplop coklat dimeja.
"Bukalah," kata Christ tegas.
Shiori mengambil amplop itu dan terkesiap saat melihat isinya. Rasanya seluruh darah meninggalkan wajahnya, seketika wajahnya pucat pasi.
"Ini hanya salinanya Nona Takamiya."
Shiori berusaha tenang, mengumpulkan kesadarannya yang hampir menghilang.
"Apa yang anda inginkan, Tuan Anderson?" tanyanya dengan suara yang sama bergetarnya dengan tangan yang memegang amplop.
"Anda tahu apa yang saya inginkan. Saya terbiasa bekerja dengan efisien Nona. Tidak suka mengulang perintah. Jadi saya akan membuatnya menjadi sangat-mudah-diingat!"
Seringai Christ membuat wajah Shiori semakin pucat.
"Jauhkan tangan anda dari Maya atau anda akan menggantikan tempat James sekarang."
Shiori memejamkan matanya, menahan sakit kepalanya yang berdentum.
Christ berdiri dan kembali menyeringai pada Shiori saat dia kembali menatap mata abu-abunya.
"Bayangkan bagaimana malunya keluarga anda jika tahu hal ini. Dan ingat ini adalah peringatan pertama dan terakhir." Kata Christ tenang.
Shiori tidak berkata-apa, berjalan sempoyongan dan Takigawa segera membantunya kembali ke kamar.
Membaringkan Shiori dengan hati-hati diranjang.
"Anda tidak apa-apa, Nona?" Takigawa kembali mengulang pertanyaannya karena nonanya tidak juga menjawab.
"Ambilkan air Bi," pintanya kemudian.
"Baik Nona,"
Dan dengan cepat Takigawa pergi dan kembali membawa segelas air putih.
Tangan Shiori gemetar saat menerima gelas dari Takigawa, bibi pengasuh itupun semakin khawatir melihatnya. Perlahan Shiori meneguk air dari gelasnya.
"Tinggalkan aku sendiri Bi," pintanya saat dirinya sudah meneguk sepertiga isi gelas.
"Tapi Nona...,"
"Aku sedang ingin sendiri." Shiori menatap tajam bibi pengasuhnya. Takigawa berkerut dibawah tatapan mata Shiori dan mengangguk ragu lalu berjalan keluar kamar.
Duduk bersandar pada kepala ranjangnya, Shiori memutar-mutar gelas yang masih dipegangnya. Dalam diam, otaknya memutar memori yang masih begitu segar dalam ingatannya. Pertemuannya dengan Christ yang baru saja terjadi. Sebuah undangan yang tidak pernah diharapkannya.
"Anda pasti tahu siapa saya Nona Takamiya," Christ sama sekali tidak berbasa-basi.
"Tentu Tuan Anderson, bukankah kita pernah bertemu sebelumnya," Shiori mulai bermulut manis.
"Anda tidak perlu bersandiwara pada saya Nona Takamiya. Anda tahu bukan itu maksud pertanyaan saya." Wajah Christ tenang tapi mata abu-abunya menatap tajam penuh intimidasi, seperti biasa.
"Saya tidak mengerti," Shiori masih berkilah.
Tidak ada omong kosong bagi Christ, dia sudah berusaha meredam kemarahannya karena Shiori adalah seorang wanita. Dia meletakkan sebuah amplop coklat dimeja.
"Bukalah," kata Christ tegas.
Shiori mengambil amplop itu dan terkesiap saat melihat isinya. Rasanya seluruh darah meninggalkan wajahnya, seketika wajahnya pucat pasi.
"Ini hanya salinanya Nona Takamiya."
Shiori berusaha tenang, mengumpulkan kesadarannya yang hampir menghilang.
"Apa yang anda inginkan, Tuan Anderson?" tanyanya dengan suara yang sama bergetarnya dengan tangan yang memegang amplop.
"Anda tahu apa yang saya inginkan. Saya terbiasa bekerja dengan efisien Nona. Tidak suka mengulang perintah. Jadi saya akan membuatnya menjadi sangat-mudah-diingat!"
Seringai Christ membuat wajah Shiori semakin pucat.
"Jauhkan tangan anda dari Maya atau anda akan menggantikan tempat James sekarang."
Shiori memejamkan matanya, menahan sakit kepalanya yang berdentum.
Christ berdiri dan kembali menyeringai pada Shiori saat dia kembali menatap mata abu-abunya.
"Bayangkan bagaimana malunya keluarga anda jika tahu hal ini. Dan ingat ini adalah peringatan pertama dan terakhir." Kata Christ tenang.
"Jang-an-sen-tuh-a-dik-ku!"
Desisnya marah dan berjalan meninggalkan Shiori membeku.
Berkali-kali menghela napas panjang tapi rasa sesak didadanya tidak juga berkurang. Tangan Shiori masih memutar-mutar gelas ditangannya.
Prraaannngggg!
Shiori melempar gelasnya dan hancur berkeping-keping saat beradu dengan lantai keras.
***
Berkali-kali menghela napas panjang tapi rasa sesak didadanya tidak juga berkurang. Tangan Shiori masih memutar-mutar gelas ditangannya.
Prraaannngggg!
Shiori melempar gelasnya dan hancur berkeping-keping saat beradu dengan lantai keras.
***
Gedung
Daito.
Rapat pemegang saham berlangsung dengan menegangkan. Eisuke meradang saat tahu kedua saudara tirinya dan keponakannya telah menjual saham mereka.
"Apa maksud ini semua?!" Hardik Eisuke geram.
Masumi juga sama terkejutnya. Hal ini sama sekali luput dari pengamatannya.
"Kami baru saja menandatangani persetujuannya dua hari yang lalu. Semua berkas sedang disiapkan." Ayah Hayashi dengan tenang menjelaskan pada Eisuke.
"Sebentar lagi pemilik saham Daito yang baru akan datang. Berita ini akan disebarkan pada publik setelah semua dokumen selesai. Beliau meminta kami mengembargo kabar ini selama tiga minggu." Ayah Masaki juga terlihat tenang.
Keduanya sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Selain itu Christ menjanjikan jaminan keselamatan dari amukan Eisuke jika mereka mau bekerja sama dan menuruti semua skenario Christ.
"Sialan!!! Kalian semua berani mengkhianatiku! Apa kalian lupa bagaimana dulu kalian mengemis didepanku? Dan sekarang seenaknya saja kalian menjual saham kalian tanpa persetujuanku! Hayashi! Masaki! Kalian tidak tahu balas budi!!" Maki Eisuke.
"Saham itu sepenuhnya milik kami dan menjadi hak kami karena kami juga sudah melakukan banyak hal yang paman inginkan. Sekarang saatnya kami lepas dari kuasa paman." Jawab Hayashi.
"Kami hanya ingin mendapat kebebasan. Lagipula bukankah paman memiliki Masumi. Dia jauh lebih berguna? Bukankah keberadaan kami juga tidak banyak berguna," kalimat sarkastik Masaki membuat Eisuke makin meradang.
"Tutup mulutmu! Aku tahu kalian tidak berguna! Aku tidak peduli kalau kalian mau pergi tapi aku tidak terima kalian menjual saham perusahaanku dengan seenaknya. Bahkan aku tidak tahu kepada siapa kalian menjualnya!! Sialan!!" Eisuke mengeratkan tangannya pada kursi kerjanya.
"Tenang saja, sebentar lagi dia datang," kata ayah Masaki.
Dan benar, sebuah ketukan pintu menyela. Salah seorang staf mengantar Christ dan Ryan masuk. Eisuke dan Masumi terhenyak.
"Selamat siang," sapa Christ ramah.
Masumi berdiri sopan, tetap tenang meski hatinya mengamuk, bukan karena masalah saham tapi karena bayangan Maya langsung mellintas di benaknya, "Silakan Tuan Anderson,"
Christ duduk di kursi yang dipersilakan untuknya.
"Kau mengenalnya Masumi?" Tanya Eisuke, menyipitkan matanya pada anak angkatnya.
"Kami pernah bertemu sebelumnya." Jawab Masumi, dengan cepat pandangannya kembali beralih pada Christ. "Sangat mengejutkan Tuan Anderson,"
Christ tersenyum tipis, "Sangat jelas terlihat Tuan Muda Hayami,"
Masumi balas menyeringai.
"Baiklah, apa saya melewatkan sesuatu?" Christ mengarahkan pandangannya pada semua keluarga Hayami.
"Tidak Tuan Anderson. Saya baru saja memberitahukan perihal perjanjian kita pada pemegang saham tertingi Daito, Tuan Eisuke Hayami, oh maaf, sepertinya sekarang ada dua pemegang saham tertinggi," ayah Hayashi tersenyum senang, terlihat bahagia bisa menjatuhkan saudaranya yang sejak bertahun-tahun selalu memandangnya sebelah mata. Setidaknya meski dia bukan pemenang tapi dia bisa sedikit membalas sakit hatinya.
"Kurang ajar! Aku membiarkan kalian untuk menyerang Masumi hanya agar kalian dikalahkan sendiri oleh Masumi. Sekarang kalian malah menusukku dari belakang! Kalian berani merusak Daito-ku!!" Eisuke berang dalam diamnya.
"Eisuke, ini adalah Tuan Christian Anderson." Ayah Masaki juga berbinar senang saat mengenalkan Christ pada Eisuke.
Sebaliknya Eisuke semakin mengeratkan rahangnya, menahan emosinya.
"Jadi kau yang membeli semua saham itu," Eisuke menatap Christ dengan jijik. Cara bicaranya pun jauh dari sopan.
"Benar Tuan Hayami,"
"Apa tujuanmu?"
"Tidakkah kita seharusnya membicarakan ini secara pribadi. Saya pikir selain pemegang saham tidak ada yang berhak mendengar alasan saya berada disini."
Perkataan Christ bagai sebuah komando. Keempat orang Hayami langsung cepat menanggapi.
"Anda benar Tuan Anderson, tidak ada gunanya lagi kami disini. Kami permisi. Mari Paman," Hayashi mengangguk hormat pada Eisuke, begitu juga Masaki dan keempat orang itu segera meninggalkan ruang rapat.
Sekarang hanya tinggal Christ dan Ryan, Eisuke dan Masumi juga Asa.
"Sekarang katakan apa tujuanmu membeli semua saham mereka?" Sergah Eisuke saat suasana kembali pada fokus permasalahan.
"Sangat tidak sabar Tuan Hayami. Tapi baiklah, saya juga tidak suka basa-basi." Christ menyilangkan kakinya, bersandar pada kursi dengan kedua sikunya berpangku pada lengan kursi. Gaya elegannya membuat Eisuke makin gerah.
"Saya menyukai drama Tuan Hayami dan Daito sangat mendukung kesukaan saya itu. Gedung Teater megah, Production House terbaik, aktris kelas satu, sekolah akting ternama. Anda bisa bayangkan betapa saya senang memiliki semua itu."
"Kurang ajar!!" Eisuke menggebrak meja. "Kau pikir Daito mainanmu huh?!"
Christ tertawa sinis, "Tentu tidak Tuan, orang tua saya sangat mencintai drama dan sepertinya itu juga menurun pada saya. Tapi saya mempunyai selera yang sedikit berbeda. Lebih oriental mungkin."
Rapat pemegang saham berlangsung dengan menegangkan. Eisuke meradang saat tahu kedua saudara tirinya dan keponakannya telah menjual saham mereka.
"Apa maksud ini semua?!" Hardik Eisuke geram.
Masumi juga sama terkejutnya. Hal ini sama sekali luput dari pengamatannya.
"Kami baru saja menandatangani persetujuannya dua hari yang lalu. Semua berkas sedang disiapkan." Ayah Hayashi dengan tenang menjelaskan pada Eisuke.
"Sebentar lagi pemilik saham Daito yang baru akan datang. Berita ini akan disebarkan pada publik setelah semua dokumen selesai. Beliau meminta kami mengembargo kabar ini selama tiga minggu." Ayah Masaki juga terlihat tenang.
Keduanya sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Selain itu Christ menjanjikan jaminan keselamatan dari amukan Eisuke jika mereka mau bekerja sama dan menuruti semua skenario Christ.
"Sialan!!! Kalian semua berani mengkhianatiku! Apa kalian lupa bagaimana dulu kalian mengemis didepanku? Dan sekarang seenaknya saja kalian menjual saham kalian tanpa persetujuanku! Hayashi! Masaki! Kalian tidak tahu balas budi!!" Maki Eisuke.
"Saham itu sepenuhnya milik kami dan menjadi hak kami karena kami juga sudah melakukan banyak hal yang paman inginkan. Sekarang saatnya kami lepas dari kuasa paman." Jawab Hayashi.
"Kami hanya ingin mendapat kebebasan. Lagipula bukankah paman memiliki Masumi. Dia jauh lebih berguna? Bukankah keberadaan kami juga tidak banyak berguna," kalimat sarkastik Masaki membuat Eisuke makin meradang.
"Tutup mulutmu! Aku tahu kalian tidak berguna! Aku tidak peduli kalau kalian mau pergi tapi aku tidak terima kalian menjual saham perusahaanku dengan seenaknya. Bahkan aku tidak tahu kepada siapa kalian menjualnya!! Sialan!!" Eisuke mengeratkan tangannya pada kursi kerjanya.
"Tenang saja, sebentar lagi dia datang," kata ayah Masaki.
Dan benar, sebuah ketukan pintu menyela. Salah seorang staf mengantar Christ dan Ryan masuk. Eisuke dan Masumi terhenyak.
"Selamat siang," sapa Christ ramah.
Masumi berdiri sopan, tetap tenang meski hatinya mengamuk, bukan karena masalah saham tapi karena bayangan Maya langsung mellintas di benaknya, "Silakan Tuan Anderson,"
Christ duduk di kursi yang dipersilakan untuknya.
"Kau mengenalnya Masumi?" Tanya Eisuke, menyipitkan matanya pada anak angkatnya.
"Kami pernah bertemu sebelumnya." Jawab Masumi, dengan cepat pandangannya kembali beralih pada Christ. "Sangat mengejutkan Tuan Anderson,"
Christ tersenyum tipis, "Sangat jelas terlihat Tuan Muda Hayami,"
Masumi balas menyeringai.
"Baiklah, apa saya melewatkan sesuatu?" Christ mengarahkan pandangannya pada semua keluarga Hayami.
"Tidak Tuan Anderson. Saya baru saja memberitahukan perihal perjanjian kita pada pemegang saham tertingi Daito, Tuan Eisuke Hayami, oh maaf, sepertinya sekarang ada dua pemegang saham tertinggi," ayah Hayashi tersenyum senang, terlihat bahagia bisa menjatuhkan saudaranya yang sejak bertahun-tahun selalu memandangnya sebelah mata. Setidaknya meski dia bukan pemenang tapi dia bisa sedikit membalas sakit hatinya.
"Kurang ajar! Aku membiarkan kalian untuk menyerang Masumi hanya agar kalian dikalahkan sendiri oleh Masumi. Sekarang kalian malah menusukku dari belakang! Kalian berani merusak Daito-ku!!" Eisuke berang dalam diamnya.
"Eisuke, ini adalah Tuan Christian Anderson." Ayah Masaki juga berbinar senang saat mengenalkan Christ pada Eisuke.
Sebaliknya Eisuke semakin mengeratkan rahangnya, menahan emosinya.
"Jadi kau yang membeli semua saham itu," Eisuke menatap Christ dengan jijik. Cara bicaranya pun jauh dari sopan.
"Benar Tuan Hayami,"
"Apa tujuanmu?"
"Tidakkah kita seharusnya membicarakan ini secara pribadi. Saya pikir selain pemegang saham tidak ada yang berhak mendengar alasan saya berada disini."
Perkataan Christ bagai sebuah komando. Keempat orang Hayami langsung cepat menanggapi.
"Anda benar Tuan Anderson, tidak ada gunanya lagi kami disini. Kami permisi. Mari Paman," Hayashi mengangguk hormat pada Eisuke, begitu juga Masaki dan keempat orang itu segera meninggalkan ruang rapat.
Sekarang hanya tinggal Christ dan Ryan, Eisuke dan Masumi juga Asa.
"Sekarang katakan apa tujuanmu membeli semua saham mereka?" Sergah Eisuke saat suasana kembali pada fokus permasalahan.
"Sangat tidak sabar Tuan Hayami. Tapi baiklah, saya juga tidak suka basa-basi." Christ menyilangkan kakinya, bersandar pada kursi dengan kedua sikunya berpangku pada lengan kursi. Gaya elegannya membuat Eisuke makin gerah.
"Saya menyukai drama Tuan Hayami dan Daito sangat mendukung kesukaan saya itu. Gedung Teater megah, Production House terbaik, aktris kelas satu, sekolah akting ternama. Anda bisa bayangkan betapa saya senang memiliki semua itu."
"Kurang ajar!!" Eisuke menggebrak meja. "Kau pikir Daito mainanmu huh?!"
Christ tertawa sinis, "Tentu tidak Tuan, orang tua saya sangat mencintai drama dan sepertinya itu juga menurun pada saya. Tapi saya mempunyai selera yang sedikit berbeda. Lebih oriental mungkin."
Christ
tersenyum, "Saya menyukai seni drama di negeri ini. Dan akhir-akhir ini
saya mendengar tentang sebuah karya drama agung yang fenomenal. Saya sangat
tertarik dan menurut hemat saya hanya Daito yang layak mementaskan karya agung
itu."
"Kau tahu tentang Bidadari Merah?" Eisuke terkejut.
"Kau tahu tentang Bidadari Merah?" Eisuke terkejut.
Masumi
semakin tidak tenang, pikirannya mengarah pada hal lain.
"Oh ya, Tuan Hayami. Saya tahu tentang drama Bidadari Merah. Bahkan saya juga mengenal Bidadari Merah itu sendiri,"
Braakk!!
Masumi hilang kendali, tanpa sadar dia memukul meja. Eisuke bahkan terkejut karenanya tapi tidak dengan Christ, dia sudah menduga reaksi Masumi.
"Apa ada yang salah dengan perkataan saya Tuan Muda Hayami?" Christ masih tenang.
"Bidadari Merah bukan hal yang bisa anda jadikan permainan Tuan Anderson," mata gelap Masumi beradu pandang dengan mata abu-abu Christ.
"Saya tidak bermaksud menjadikannya permainan. Saya mengatakan bahwa saya tertarik dengan drama itu dan sangat ingin mementaskannya. Andai saja Bidadari Merah bisa dipentaskan di New York mungkin saya tidak akan tertarik memiliki Daito."
"Hentikan omong kosong ini! Aku peringatkan kau Tuan Anderson, jangan pernah bermain api denganku karena kau bisa terbakar. Dan juga jangan pernah main-main dengan Bidadari Merah. Camkan itu. Asa, ayo kita pergi!"
Eisuke berdiri dan memegang erat tongkatnya. Diiringi Asa dia berjalan keluar dari ruang rapat.
"Aku mau kau bereskan kekacauan ini Masumi," kata Eisuke saat melintas disamping Masumi.
"Baik ayah,"
Christ mengantar kepergian Eisuke dengan tatapan matanya dan Masumi yang kembali duduk di kursinya mengalihkan perhatiannya.
"Saya tidak berharap mendapat perlawanan," kata Christ pada Masumi.
"Dengan cara yang anda lakukan? Saya ragu anda tidak mengharapkannya,"
Christ tertawa, "Tidak Tuan Muda Hayami, saya berharap kita bisa bekerja sama. Anda dan saya,"
Masumi menyeringai. "Kerja sama seperti apa yang sebenarnya anda inginkan?"
"Saya ingin Daito bisa memenangkan tender pementasan Bidadari Merah dan saya yakin anda bisa melakukannya,"
"Jadi anda sungguh-sungguh tertarik pada drama itu?" Masumi menatap penuh selidik.
"Anda tidak percaya?"
"Seorang konglomerat dari New York yang datang ke Jepang dan mengakuisisi saham perusahaan hanya karena tertarik pada karya drama Bidadari Merah? Saya rasa alasannya tidak sesimpel itu Tuan Anderson,"
"Oh, poin yang bagus Tuan Muda Hayami. Jadi menurut anda alasan saya kurang kuat?"
"Tentu,"
"Baiklah, saya rasa tidak ada salahnya saya sedikit berbagi dengan anda. Mungkin kita bisa menjadi teman setelah ini. Boleh saya memanggil nama anda?” Christ tersenyum pada Masumi.
"Oh ya, Tuan Hayami. Saya tahu tentang drama Bidadari Merah. Bahkan saya juga mengenal Bidadari Merah itu sendiri,"
Braakk!!
Masumi hilang kendali, tanpa sadar dia memukul meja. Eisuke bahkan terkejut karenanya tapi tidak dengan Christ, dia sudah menduga reaksi Masumi.
"Apa ada yang salah dengan perkataan saya Tuan Muda Hayami?" Christ masih tenang.
"Bidadari Merah bukan hal yang bisa anda jadikan permainan Tuan Anderson," mata gelap Masumi beradu pandang dengan mata abu-abu Christ.
"Saya tidak bermaksud menjadikannya permainan. Saya mengatakan bahwa saya tertarik dengan drama itu dan sangat ingin mementaskannya. Andai saja Bidadari Merah bisa dipentaskan di New York mungkin saya tidak akan tertarik memiliki Daito."
"Hentikan omong kosong ini! Aku peringatkan kau Tuan Anderson, jangan pernah bermain api denganku karena kau bisa terbakar. Dan juga jangan pernah main-main dengan Bidadari Merah. Camkan itu. Asa, ayo kita pergi!"
Eisuke berdiri dan memegang erat tongkatnya. Diiringi Asa dia berjalan keluar dari ruang rapat.
"Aku mau kau bereskan kekacauan ini Masumi," kata Eisuke saat melintas disamping Masumi.
"Baik ayah,"
Christ mengantar kepergian Eisuke dengan tatapan matanya dan Masumi yang kembali duduk di kursinya mengalihkan perhatiannya.
"Saya tidak berharap mendapat perlawanan," kata Christ pada Masumi.
"Dengan cara yang anda lakukan? Saya ragu anda tidak mengharapkannya,"
Christ tertawa, "Tidak Tuan Muda Hayami, saya berharap kita bisa bekerja sama. Anda dan saya,"
Masumi menyeringai. "Kerja sama seperti apa yang sebenarnya anda inginkan?"
"Saya ingin Daito bisa memenangkan tender pementasan Bidadari Merah dan saya yakin anda bisa melakukannya,"
"Jadi anda sungguh-sungguh tertarik pada drama itu?" Masumi menatap penuh selidik.
"Anda tidak percaya?"
"Seorang konglomerat dari New York yang datang ke Jepang dan mengakuisisi saham perusahaan hanya karena tertarik pada karya drama Bidadari Merah? Saya rasa alasannya tidak sesimpel itu Tuan Anderson,"
"Oh, poin yang bagus Tuan Muda Hayami. Jadi menurut anda alasan saya kurang kuat?"
"Tentu,"
"Baiklah, saya rasa tidak ada salahnya saya sedikit berbagi dengan anda. Mungkin kita bisa menjadi teman setelah ini. Boleh saya memanggil nama anda?” Christ tersenyum pada Masumi.
Masumi
menautkan alisnya tapi kemudian kembali tenang, “Silakan,” jawabnya kemudian.
“Nah,
kau boleh memanggilku Christ.” Christ mengubah gaya bicaranya pada Masumi, “Aku
benar-benar mengharapkan kita bisa bekerja sama dengan baik."
Masumi masih terdiam, dalam hati dia mencoba menebak apa yang dipikirkan konglomerat muda itu.
"Apa kau percaya pada kekuatan cinta?" Tanya Christ.
"Maksudmu?"
"Ya, sebuah dorongan perasaan yang membuat kita rela melakukan apa saja untuk orang yang kita cintai,"
"Apa maksudmu Christian Anderson!! Mau kau bawa kemana pembicaraan kita ini?"
"Ya, aku percaya," jawab Masumi ragu.
"Apa kau pernah mengalaminya?" Tanya Christ, dia terus menilai ekspresi wajah Masumi.
"Tentu saja pernah, aku sudah menjadi orang gila selama tujuh tahun hanya karena cinta,"
"Ya," jawab Masumi singkat.
"Oh, apa dengan mantan tunanganmu itu?"
Wajah masumi mengeras.
"Oh Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung masa lalumu." Tapi ekspresi Christ justru menyeringai senang.
"Dan apa hubungannya semua itu dengan masalah ini?" Masumi lelah dengan teka-teki Christ. Dia merasa Christ sengaja memancing emosinya dan Masumi berusaha tetap tenang.
"Masalahnya adalah aku jatuh cinta pada Bidadari Merah,"
Masumi terhenyak, jantungnya berpacu. Adrenalinnya memuncak, dia mengeratkan kepalan tangannya, menahannya agar tidak melayang kemulut Christ yang menurutnya sangat lancang.
"Mencintai Bidadari Merah? Kau harus langkahi dulu mayatku Christian!" Batin Masumi mendesis marah.
Christ menahan senyumnya melebar melihat reaksi Masumi.
"Jadi," Masumi mencoba membuka mulutnya, "Kau bukan hanya tertarik pada drama Bidadari Merah tapi juga jatuh cinta pada pemeran Bidadari Merah, Maya Kitajima?"
Christ sangat menikmati permainannya, dia tersenyum puas pada Masumi dan itu sekaligus menjawab pertanyaan Masumi padanya.
"Sial! Aku harus berhadapan dengannya!" maki Masumi dalam hati.
"Apa yang membuatmu jatuh cinta pada Bidadari Merah?"
"Oh, kau mau tahu Masumi? Oke, aku turuti permintaanmu," Christ tergelak dalam hati.
"Maya Kitajima gadis yang luar biasa Masumi. Dia cantik, polos, bersemangat, hangat dan ceria, tidak perlu banyak alasan untuk bisa menyukainya. Aku jatuh cinta padanya sejak melihat pertunjukan pertamanya,"
"Cleopatra?" Masumi kelepasan bicara. Mendengar Christ memuji-muji Maya membuatnya hilang kendali.
Christ pura-pura terkejut, "Kau tahu?"
"Sial!" Masumi merutuki mulutnya sendiri.
"Semua hal tentang Bidadari Merah selalu menjadi prioritas Daito," Masumi berkilah.
"Kau anggap adikku barang dagangan huh?"
"Oh iya, aku lupa. Kau dan ayahmu sangat terobsesi dengan drama ini. Tenang saja, meski aku menyukai drama tapi kali ini aku lebih terobsesi pada pemerannya bukan pada dramanya, aku tidak akan mengusik hak pementasan itu. Jadi ku rasa kita bisa bekerja sama."
"Jadi cinta pada pandangan pertama ya? Apa tidak terlalu dini kau mengatakannya, setahuku kau baru mengenalnya selama beberapa bulan,"
"Aku kan tidak bodoh sepertimu, menunggu tujuh tahun untuk menyatakan perasaan?! Gila!"
Christ tertawa, "Sekarang aku tahu alasan kenapa semua orang memanggilmu dengan sebutan direktur dingin dan gila kerja. Rupanya selain pekerjaan tidak ada yang menarik perhatianmu,"
"Ya seperti itulah aku dan kau belum menjawab pertanyaanku," Masumi kesal dengan Christ yang terlihat begitu senang.
"Ya aku cukup memahami karena dari apa yang ku dengar hubunganmu dengan Maya Kitajima kurang...harmonis?"
"Harmonis! Dia KEKASIHKU!" Tapi sekali lagi teriakannya hanya ada di dalam kepalanya.
"Aku sudah mempelajari semua tentang Maya Kitajima dan dari catatan yang ku miliki, aku bukanlah orang pertama yang terperangkap dalam pesonanya,"
Masumi masih terdiam, dalam hati dia mencoba menebak apa yang dipikirkan konglomerat muda itu.
"Apa kau percaya pada kekuatan cinta?" Tanya Christ.
"Maksudmu?"
"Ya, sebuah dorongan perasaan yang membuat kita rela melakukan apa saja untuk orang yang kita cintai,"
"Apa maksudmu Christian Anderson!! Mau kau bawa kemana pembicaraan kita ini?"
"Ya, aku percaya," jawab Masumi ragu.
"Apa kau pernah mengalaminya?" Tanya Christ, dia terus menilai ekspresi wajah Masumi.
"Tentu saja pernah, aku sudah menjadi orang gila selama tujuh tahun hanya karena cinta,"
"Ya," jawab Masumi singkat.
"Oh, apa dengan mantan tunanganmu itu?"
Wajah masumi mengeras.
"Oh Maaf, aku tidak bermaksud menyinggung masa lalumu." Tapi ekspresi Christ justru menyeringai senang.
"Dan apa hubungannya semua itu dengan masalah ini?" Masumi lelah dengan teka-teki Christ. Dia merasa Christ sengaja memancing emosinya dan Masumi berusaha tetap tenang.
"Masalahnya adalah aku jatuh cinta pada Bidadari Merah,"
Masumi terhenyak, jantungnya berpacu. Adrenalinnya memuncak, dia mengeratkan kepalan tangannya, menahannya agar tidak melayang kemulut Christ yang menurutnya sangat lancang.
"Mencintai Bidadari Merah? Kau harus langkahi dulu mayatku Christian!" Batin Masumi mendesis marah.
Christ menahan senyumnya melebar melihat reaksi Masumi.
"Jadi," Masumi mencoba membuka mulutnya, "Kau bukan hanya tertarik pada drama Bidadari Merah tapi juga jatuh cinta pada pemeran Bidadari Merah, Maya Kitajima?"
Christ sangat menikmati permainannya, dia tersenyum puas pada Masumi dan itu sekaligus menjawab pertanyaan Masumi padanya.
"Sial! Aku harus berhadapan dengannya!" maki Masumi dalam hati.
"Apa yang membuatmu jatuh cinta pada Bidadari Merah?"
"Oh, kau mau tahu Masumi? Oke, aku turuti permintaanmu," Christ tergelak dalam hati.
"Maya Kitajima gadis yang luar biasa Masumi. Dia cantik, polos, bersemangat, hangat dan ceria, tidak perlu banyak alasan untuk bisa menyukainya. Aku jatuh cinta padanya sejak melihat pertunjukan pertamanya,"
"Cleopatra?" Masumi kelepasan bicara. Mendengar Christ memuji-muji Maya membuatnya hilang kendali.
Christ pura-pura terkejut, "Kau tahu?"
"Sial!" Masumi merutuki mulutnya sendiri.
"Semua hal tentang Bidadari Merah selalu menjadi prioritas Daito," Masumi berkilah.
"Kau anggap adikku barang dagangan huh?"
"Oh iya, aku lupa. Kau dan ayahmu sangat terobsesi dengan drama ini. Tenang saja, meski aku menyukai drama tapi kali ini aku lebih terobsesi pada pemerannya bukan pada dramanya, aku tidak akan mengusik hak pementasan itu. Jadi ku rasa kita bisa bekerja sama."
"Jadi cinta pada pandangan pertama ya? Apa tidak terlalu dini kau mengatakannya, setahuku kau baru mengenalnya selama beberapa bulan,"
"Aku kan tidak bodoh sepertimu, menunggu tujuh tahun untuk menyatakan perasaan?! Gila!"
Christ tertawa, "Sekarang aku tahu alasan kenapa semua orang memanggilmu dengan sebutan direktur dingin dan gila kerja. Rupanya selain pekerjaan tidak ada yang menarik perhatianmu,"
"Ya seperti itulah aku dan kau belum menjawab pertanyaanku," Masumi kesal dengan Christ yang terlihat begitu senang.
"Ya aku cukup memahami karena dari apa yang ku dengar hubunganmu dengan Maya Kitajima kurang...harmonis?"
"Harmonis! Dia KEKASIHKU!" Tapi sekali lagi teriakannya hanya ada di dalam kepalanya.
"Aku sudah mempelajari semua tentang Maya Kitajima dan dari catatan yang ku miliki, aku bukanlah orang pertama yang terperangkap dalam pesonanya,"
“Akulah yang pertama
kali terperangkap dalam pesonanya!!” Masumi semakin berang.
"Kau mencari tahu tentangnya? Tentang Maya Kitajima?" Sekali lagi Masumi gagal menyembunyikan keterkejutannya.
"Ya, aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Semua tentang Maya Kitajima. Sulit menolak pesonanya Masumi, aku justru heran denganmu. Dia pernah menjadi aktris Daito kan? Tapi kau sama sekali tidak tertarik padanya. Ya, meski aku senang karena tidak harus bersaing denganmu. Mungkin sainganku sekarang hanyalah Yuu Sakurakoji, lawan mainnya dalam drama Bidadari merah. Untuk Ryo Majima ataupun Satomi Shigeru...mereka pasti sudah basi. Tetap saja aku tidak boleh lengah, pasti masih banyak lagi pengagum Maya Kitajima di luar sana yang aku tidak tahu termasuk pengagum fanatiknya yang bodoh itu. Hhmm, si Mawar Ungu,"
Masumi melotot, "Kau juga harus berhadapan denganku!! Dia bahkan tahu tentang Mawar ungu!! Bodoh? Dia tidak bodoh!"
"Mungkin saingan terberatmu bukanlah Yuu Sakurakoji tapi si Mawar Ungu itu. Maya Kitajima sangat menghormati pengagum rahasianya itu," Masumi menganalogikan dirinya sebagai mawar ungu.
Christ kembali tergelak, Masumi terpancing permainanya. "Aku tidak akan bersaing dengan pengecut Masumi, lagipula dia hanya bayangan. Tidak ada artinya bagiku,"
"Pengecut?! Kau tidak berhak menilainya seperti itu," Pekik Masumi tanpa sadar.
Christ menautkan alisnya, sekali lagi pura-pura terkejut.
Melihat ekspresi Christ, Masumi tahu dia salah bicara, "Maaf, maksudku Maya Kitajima pasti tidak akan suka kau menilainya seperti itu Christ. Aku sudah sering mendapat makiannya kalau menghina pengagum rahasianya itu," Masumi meralat ucapannya.
"Tetap saja dia hanya bayangan. Tujuh tahun dia mengagumi Maya Kitajima tanpa pernah bertemu dengannya. Aku pikir orang itu memang hanya pengagum dan tidak punya perasaan apa-apa padanya. Lagipula kenapa dia harus menutupi identitasnya? Apa karena dia jelek sehingga tidak berani muncul dihadapan aktris kesayangannya. Tapi dia jelas orang kaya. Aku optimis soal itu, ya selain karena posisiku, juga karena...well, kau bisa lihat secara fisik aku layak untuk seorang aktris cantik bernama Maya Kitajima,"
Wajah Masumi semakin mengeras, entah berapa lama lagi dia bisa menahan amarahnya tidak meledak.
Christ merasa cukup dengan permainannya, dia tahu mereka bisa berkelahi jika terus memancing amarah Masumi. Diapun berdiri dan Masumi menatapnya tajam.
"Aku rasa cukup pertemuan kita kali ini, sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara. Lain kali, pasti kita kita akan membahas hal ini lebih dalam lagi. Terima kasih. Sampai jumpa Masumi," Christ mengangguk sopan dan berlalu pergi tanpa menunggu jawaban Masumi.
Pintu tertutup dibelakang Christ dan dia masih bisa mendengar suara gebrakan meja dan makian Masumi dari dalam ruang rapat.
"Menikmati permainan tuan?" Ryan juga tersenyum seraya mengikuti Christ.
Christ terbahak. Puas.
***
"Kau mencari tahu tentangnya? Tentang Maya Kitajima?" Sekali lagi Masumi gagal menyembunyikan keterkejutannya.
"Ya, aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Semua tentang Maya Kitajima. Sulit menolak pesonanya Masumi, aku justru heran denganmu. Dia pernah menjadi aktris Daito kan? Tapi kau sama sekali tidak tertarik padanya. Ya, meski aku senang karena tidak harus bersaing denganmu. Mungkin sainganku sekarang hanyalah Yuu Sakurakoji, lawan mainnya dalam drama Bidadari merah. Untuk Ryo Majima ataupun Satomi Shigeru...mereka pasti sudah basi. Tetap saja aku tidak boleh lengah, pasti masih banyak lagi pengagum Maya Kitajima di luar sana yang aku tidak tahu termasuk pengagum fanatiknya yang bodoh itu. Hhmm, si Mawar Ungu,"
Masumi melotot, "Kau juga harus berhadapan denganku!! Dia bahkan tahu tentang Mawar ungu!! Bodoh? Dia tidak bodoh!"
"Mungkin saingan terberatmu bukanlah Yuu Sakurakoji tapi si Mawar Ungu itu. Maya Kitajima sangat menghormati pengagum rahasianya itu," Masumi menganalogikan dirinya sebagai mawar ungu.
Christ kembali tergelak, Masumi terpancing permainanya. "Aku tidak akan bersaing dengan pengecut Masumi, lagipula dia hanya bayangan. Tidak ada artinya bagiku,"
"Pengecut?! Kau tidak berhak menilainya seperti itu," Pekik Masumi tanpa sadar.
Christ menautkan alisnya, sekali lagi pura-pura terkejut.
Melihat ekspresi Christ, Masumi tahu dia salah bicara, "Maaf, maksudku Maya Kitajima pasti tidak akan suka kau menilainya seperti itu Christ. Aku sudah sering mendapat makiannya kalau menghina pengagum rahasianya itu," Masumi meralat ucapannya.
"Tetap saja dia hanya bayangan. Tujuh tahun dia mengagumi Maya Kitajima tanpa pernah bertemu dengannya. Aku pikir orang itu memang hanya pengagum dan tidak punya perasaan apa-apa padanya. Lagipula kenapa dia harus menutupi identitasnya? Apa karena dia jelek sehingga tidak berani muncul dihadapan aktris kesayangannya. Tapi dia jelas orang kaya. Aku optimis soal itu, ya selain karena posisiku, juga karena...well, kau bisa lihat secara fisik aku layak untuk seorang aktris cantik bernama Maya Kitajima,"
Wajah Masumi semakin mengeras, entah berapa lama lagi dia bisa menahan amarahnya tidak meledak.
Christ merasa cukup dengan permainannya, dia tahu mereka bisa berkelahi jika terus memancing amarah Masumi. Diapun berdiri dan Masumi menatapnya tajam.
"Aku rasa cukup pertemuan kita kali ini, sepertinya aku sudah terlalu banyak bicara. Lain kali, pasti kita kita akan membahas hal ini lebih dalam lagi. Terima kasih. Sampai jumpa Masumi," Christ mengangguk sopan dan berlalu pergi tanpa menunggu jawaban Masumi.
Pintu tertutup dibelakang Christ dan dia masih bisa mendengar suara gebrakan meja dan makian Masumi dari dalam ruang rapat.
"Menikmati permainan tuan?" Ryan juga tersenyum seraya mengikuti Christ.
Christ terbahak. Puas.
***
"Kau harus
singkirkan Christian Anderson itu Masumi! Dia tidak boleh menyentuh Bidadari
Merah! Tidak boleh! Orang asing itu terlalu lancang berani bermimpi untuk
memiliki Bidadari Merah! SINGKIRKAN DIA !! APAPUN CARANYA!!"
Kemarahan Eisuke bergaung di kepala Masumi. Duduk di sebuah bar langganannya, kacau, dengan gelas vodka ke tiganya.
Menegak habis isi gelasnya dan meminta bartender memberikan padanya gelas ke empat. Dia benar-benar kacau. Bukan karena amukan ayahnya atau masalah hak pementasan Bidadari Merah. Dia tidak peduli lagi dengan semua itu, yang ada dikepalanya hanyalah Maya. Semua perkataan Christ tentang Maya dan mawar ungu menusuk-nusuk hatinya.
"Sial!! Sial!! Sial!!" Gumamnya kesal seraya memukul-mukul meja dengan kepalan tangannya.
Sepasang kekasih yang duduk di sebelahnya segera menyingkir saat melihatnya. Ekspresi Masumi cukup menakutkan bagi mereka, meski dia hanya tertunduk menatap gelasnya tapi jelas terlihat kalau dia sedang marah.
"Beraninya dia sebut aku pengecut? Tahu apa dia tentangku?"
Masumi kemudian terdiam, meresapi perkataannya sendiri.
"Apa aku memang terlihat seperti itu? Mereka hanya tahu mawar ungu sebagai penggemar, tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya dan bagaimana perasaanku pada Maya!" Masumi menggeleng,
"Maya tahu, Maya tahu perasaanku. Dia mencintaiku, aku tahu itu, aku tahu...tapi...,"
Masumi kembali menegak setengah isi gelas keempatnya, berusaha meredakan gemuruh di hatinya meski yang terjadi adalah sebaliknya.
"Masalah berat Pak Masumi?" Bartender yang sudah akrab dengan Masumi itu menyela kemarahannya.
"Terlihat ya?" Masumi menyeringai.
"Sangat terlihat," bartender itu tersenyum, "Tidak seperti biasanya," katanya lagi.
"Ya, ini tidak seperti biasanya." Masumi mendorong gelas kosongnya dan memintanya untuk memberikan gelas kelimanya.
"Oke, lima gelas vodka. Anda cukup kacau." Sekali lagi bartender itu tersenyum.
Masumi mendesah berat.
"Apa kau pernah jatuh cinta?" Tanya Masumi tiba-tiba, bartender muda itu cukup terkejut tapi kemudian kembali tersenyum, mengerti akar dari kekacauan pelanggan setianya itu.
"Jadi masalah cinta ya. Benar-benar tidak seperti biasa," bartender itu berkelakar.
Masumi tertawa datar, "Ya, masalah cinta, aneh ya,"
"Cinta memang aneh Pak Masumi."
"Begitu menurutmu?"
Bartender itu mengangguk.
"Apa jika seseorang tidak berani mengakui cintanya itu disebut pengecut?"
Sejenak berpikir, "Mungkin orang itu punya alasan," jawabnya kemudian.
"Hhmm, ya orang itu memang punya alasan. Tapi jelas orang lain tidak akan mengerti alasan itu,"
"Apa wanitanya tahu?"
Pertanyaan tiba-tiba dari bartender itu membuat Masumi mengernyit.
"Ya dia tahu," jawab Masumi ragu.
"Jadi dia tahu anda mencintainya?" Ulang bartender itu.
"Iya...eh?! Aku?! Bukan...," Masumi gugup, baru menyadari bahwa sebenarnya dia sedang membicarakan dirinya sendiri dengan menempatkan perspektif orang lain didalamnya. Masumi tersenyum simpul.
Bartender itu tertawa. "Anda pasti sangat mencintai wanita itu,"
Menghela napas lega, "Ya, aku sangat mencintainya," jawab Masumi.
"Dan wanita itu juga mencintai anda?"
Masumi tertegun, menatap bartender sekilas lalu tertunduk menatap gelasnya, "Ya, dia mencintaiku,"
"Dia menerima anda sebagai kekasihnya?"
"Iya,"
"Anda juga?"
"Tentu saja,"
"Apa anda lega setelah mengatakannya pada saya?" Rupanya bartender itu juga pandai membaca ekspresi wajah.
Masumi tersenyum, "Ya," jawab Masumi singkat dan sekali lagi mengosongkan gelas kelimanya.
Bartender itu mengambil gelas kosong Masumi dan meletakkan air es sebagai penggantinya. Masumi menatapnya heran.
Bartender itu sudah sangat familiar dengan semua ekspresi kacau pelanggannya. Dan kali ini dia berniat memberi saran pada ‘pria jatuh cinta yang tidak berani menyatakan perasaanya’ itu.
"Katakan pada dunia bahwa anda mencintainya. Beritahu pada semua orang kalau dia milik anda,"
Masumi tersenyum lalu meneguk habis air es.
***
Kemarahan Eisuke bergaung di kepala Masumi. Duduk di sebuah bar langganannya, kacau, dengan gelas vodka ke tiganya.
Menegak habis isi gelasnya dan meminta bartender memberikan padanya gelas ke empat. Dia benar-benar kacau. Bukan karena amukan ayahnya atau masalah hak pementasan Bidadari Merah. Dia tidak peduli lagi dengan semua itu, yang ada dikepalanya hanyalah Maya. Semua perkataan Christ tentang Maya dan mawar ungu menusuk-nusuk hatinya.
"Sial!! Sial!! Sial!!" Gumamnya kesal seraya memukul-mukul meja dengan kepalan tangannya.
Sepasang kekasih yang duduk di sebelahnya segera menyingkir saat melihatnya. Ekspresi Masumi cukup menakutkan bagi mereka, meski dia hanya tertunduk menatap gelasnya tapi jelas terlihat kalau dia sedang marah.
"Beraninya dia sebut aku pengecut? Tahu apa dia tentangku?"
Masumi kemudian terdiam, meresapi perkataannya sendiri.
"Apa aku memang terlihat seperti itu? Mereka hanya tahu mawar ungu sebagai penggemar, tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya dan bagaimana perasaanku pada Maya!" Masumi menggeleng,
"Maya tahu, Maya tahu perasaanku. Dia mencintaiku, aku tahu itu, aku tahu...tapi...,"
Masumi kembali menegak setengah isi gelas keempatnya, berusaha meredakan gemuruh di hatinya meski yang terjadi adalah sebaliknya.
"Masalah berat Pak Masumi?" Bartender yang sudah akrab dengan Masumi itu menyela kemarahannya.
"Terlihat ya?" Masumi menyeringai.
"Sangat terlihat," bartender itu tersenyum, "Tidak seperti biasanya," katanya lagi.
"Ya, ini tidak seperti biasanya." Masumi mendorong gelas kosongnya dan memintanya untuk memberikan gelas kelimanya.
"Oke, lima gelas vodka. Anda cukup kacau." Sekali lagi bartender itu tersenyum.
Masumi mendesah berat.
"Apa kau pernah jatuh cinta?" Tanya Masumi tiba-tiba, bartender muda itu cukup terkejut tapi kemudian kembali tersenyum, mengerti akar dari kekacauan pelanggan setianya itu.
"Jadi masalah cinta ya. Benar-benar tidak seperti biasa," bartender itu berkelakar.
Masumi tertawa datar, "Ya, masalah cinta, aneh ya,"
"Cinta memang aneh Pak Masumi."
"Begitu menurutmu?"
Bartender itu mengangguk.
"Apa jika seseorang tidak berani mengakui cintanya itu disebut pengecut?"
Sejenak berpikir, "Mungkin orang itu punya alasan," jawabnya kemudian.
"Hhmm, ya orang itu memang punya alasan. Tapi jelas orang lain tidak akan mengerti alasan itu,"
"Apa wanitanya tahu?"
Pertanyaan tiba-tiba dari bartender itu membuat Masumi mengernyit.
"Ya dia tahu," jawab Masumi ragu.
"Jadi dia tahu anda mencintainya?" Ulang bartender itu.
"Iya...eh?! Aku?! Bukan...," Masumi gugup, baru menyadari bahwa sebenarnya dia sedang membicarakan dirinya sendiri dengan menempatkan perspektif orang lain didalamnya. Masumi tersenyum simpul.
Bartender itu tertawa. "Anda pasti sangat mencintai wanita itu,"
Menghela napas lega, "Ya, aku sangat mencintainya," jawab Masumi.
"Dan wanita itu juga mencintai anda?"
Masumi tertegun, menatap bartender sekilas lalu tertunduk menatap gelasnya, "Ya, dia mencintaiku,"
"Dia menerima anda sebagai kekasihnya?"
"Iya,"
"Anda juga?"
"Tentu saja,"
"Apa anda lega setelah mengatakannya pada saya?" Rupanya bartender itu juga pandai membaca ekspresi wajah.
Masumi tersenyum, "Ya," jawab Masumi singkat dan sekali lagi mengosongkan gelas kelimanya.
Bartender itu mengambil gelas kosong Masumi dan meletakkan air es sebagai penggantinya. Masumi menatapnya heran.
Bartender itu sudah sangat familiar dengan semua ekspresi kacau pelanggannya. Dan kali ini dia berniat memberi saran pada ‘pria jatuh cinta yang tidak berani menyatakan perasaanya’ itu.
"Katakan pada dunia bahwa anda mencintainya. Beritahu pada semua orang kalau dia milik anda,"
Masumi tersenyum lalu meneguk habis air es.
***
"Sayang,
bisakah kau mempercepat kepulangamu?" Tatapan Masumi penuh harap.
"Kau mabuk sayang?" Maya memandang heran pada wajah kusut kekasihnya.
Masumi menggeleng, "Maya, percepatlah kepulanganmu, aku mohon,"
"Apa kau sudah dirumah? Atau kau masih dijalan? Kau tidak membawa mobil sendiri kan?" Sekali lagi Maya tidak menjawab pertanyaan Masumi dan justru menyerbunya dengan perasaan khawatir karena melihat kondisi Masumi.
"Hei, jawab dulu pertanyaanku. Kau bisa mempercepat kepulanganmu kan?" Tatapan mata Masumi menuntut jawaban.
Maya tersenyum, dia tidak tahu apa yang terjadi tapi dia tahu pasti kakaknya yang membuat Masumi seperti itu.
"Ada apa?" Tanya Maya lembut.
Masumi menggeleng, "Pulanglah," ibanya.
"Kau membuatku khawatir," kata Maya.
"Tidak, jangan khawatirkan aku. Kembalilah, hanya itu yang ku mau," Masumi kembali merengek.
"Kau dimana?"
"Di mobil,"
"Tepatnya?"
"Di depan rumah,"
Maya menghela napas lega.
"Kalau begitu masuklah, bersihkan dirimu, tenangkan dirimu dan beristirahatlah. Kita akan bicarakan hal ini setelah kau lebih tenang,"
"Berjanjilah kau akan kembali," Masumi belum menyerah.
"Sayang, kau jelas sedang kacau. Tidak ada gunanya membahas hal itu sekarang. Istirahatlah, disana pasti sudah larut malam,"
Masumi terdiam, masih menatap Maya, memohon.
"Jangan," kata Maya.
"Jangan apa?" Tanya Masumi.
"Jangan menatapku seperti itu. Kau membuatku ingin berlari ke bandara," Maya tersenyum.
"Kalau begitu aku akan terus menatapmu seperti ini,"
"Begitu ya,"
"Jika itu bisa membuatmu kembali lebih cepat,"
Maya tertawa, "Kau mabuk sayang,"
"Aku masih sadar sayang,"
"Tidak, jelas tidak," Maya menggeleng geli.
Mendesah pelan, "Oke, aku sedikit mabuk. Tapi aku masih sadar berbicara denganmu,"
"Apa aku perlu menelepon Kak Hijiri untuk membawamu masuk ke rumah?"
Masumi cemberut.
"Ayolah Masumi, kau jelas sedang kacau. Tenangkan dirimu dan kita bicarakan hal ini besok atau kapanpun saat kau sudah tenang, oke?"
"Membicarakan kepulanganmu?" Matanya kembali menuntut Maya.
Maya tersenyum.
"Kepulanganmu?"
"Iya, kepulanganku,"
Akhirnya Masumi tersenyum.
"Istirahatlah," kata Maya.
"Aku mencintaimu,"
"Aku juga mencintaimu,"
Pip!
Telepon mati, Masumi menyandarkan kepala pada kedua tangannya yang terlipat diatas kemudi. Berkali-kali mendesah panjang.
"Maya...aku mencintaimu,"
"Kau milikku Maya, kau milikku,"
Berkali-kali juga meracau.
Cukup lama termenung akhirnya Masumi turun dari mobilnya. Berjalan dengan malas, tangan kanannya menggantung dibahu membawa jas.
"Dari mana saja kau?" Suara Eisuke menyambutnya saat Masumi memasuki ruang tamu.
"Sedikit menyegarkan diri," jawab Masumi sekenanya sambil terus berjalan menuju kamarnya. Mengabaikan ayahnya yang duduk di kursi roda dan menatapnya marah. Entah marah karena sahamnya dijual pada orang asing atau marah karena Masumi pulang larut dengan keadaan kacau.
"Tunggu!"
Masumi berhenti saat kakinya menginjak anak tangga pertama.
"Besok pagi-pagi siapkan dirimu. Aku sudah menghubungi notaris. Asa dan Mizuki juga sudah menyiapkan semuanya,"
"Menyiapkan apa?" Masumi berbalik, memandang ayahnya dengan bingung.
"Pengalihan saham,"
"Pengalihan saham?" Masumi berkerut.
"Apalagi ini?" Rutuknya dalam hati.
"Meski kau direktur utama tapi jumlah sahammu hanya dua puluh persen. Kau akan menjadi boneka orang asing itu jika tetap seperti ini. Karena itu aku mempertaruhkan segalanya sekarang. Aku akan mengalihkan sahamku tiga puluh persen padamu, dengan begitu akan mengukuhkan posisimu. Kau yang berkuasa di Daito, arti lain adalah Daito milikmu."
Jas Masumi jatuh ke lantai saat tangannya terkulai.
"Sial!! Apa-apaan ini?"
"Apa ini lelucon ayah? Ayah memberikan Daito padaku?" Masumi mengumpulkan semua kesadarannya yang tersisa, mencoba mencerna dengan baik kalimat panjang Eisuke. Memasukkannya ke dalam logikanya yang sekarang sedikit bengkok karena serangan Christ siang tadi.
Eisuke menyeringai, "Ingat Masumi! Kau tidak boleh membiarkan Bidadari Merah jatuh ke tangan orang asing itu! Sejauh ini aku sudah mempertaruhkan segalanya. Kau tidak boleh gagal!"
Eisuke memutar kursi rodanya dan meninggalkan Masumi yang masih mematung.
***
Christ menarik embargo atas berita pengalihan saham Daito padanya bersamaan dengan penanda tanganan pengalihan saham Eisuke pada Masumi. Publikasi atas berita tersebut langsung menghebohkan media. Sekarang resmi bahwa Masumi menjadi Direktur Utama sekaligus pemegang saham tertinggi Daito. Seluruh media memberitakan hal itu, membuat Masumi jengah.
"Anda baik-baik saja Pak Masumi?" Mizuki menyela lamunan Masumi.
"Apa aku terlihat baik?" Jawabnya malas.
"Karena itulah saya bertanya. Bukankah seharusnya sekarang anda senang Pak. Semua terjadi diluar prediksi tapi efeknya justru anda menjadi pemegang saham tertinggi Daito,"
"Ya, aku cukup beruntung dalam hal ini Mizuki. Tapi ada hal lain yang justru ku khawatirkan,"
"Soal bidadari Merah?" Tebak Mizuki.
"Iya,"
"Anda khawatir dengan drama dan hak pementasan Bidadari Merah atau pada Bidadari Merah itu sendiri?" Bibir Mizuki menyunggingkan senyum ironinya.
"Kau tahu yang mana,"
Mizuki terkikik, "Karena Christian Anderson?"
Mendesah kesal, "Jangan sebut namanya!"
"Jadi anda membenci mitra bisnis anda?"
"Sangat!"
Mizuki tertawa.
"Kau senang huh?"
Menatap bosnya dengan geli, Mizuki menghentikan tawanya.
"Anda memang kekanakan jika menyangkut tentang Maya, Pak Masumi,"
"Jangan menceramahiku Mizuki. Aku sedang tidak berminat mendengar mulut pedasmu itu," dengus Masumi kesal. Tangannya masih sibuk mengetik diatas keybord laptopnya.
"Kalau anda menganggap Tuan Anderson sebagai saingan berarti anda meragukan cinta Maya,"
"Diamlah Mizuki. Kalian wanita selalu saja membuat bingung." Katanya sambil melotot pada sekretarisnya, jari-jarinya berhenti mengetik.
"Membuat bingung?!" Mizuki mengulang perkataan Masumi.
"Ya!" Bentaknya.
"Bukan sebaliknya?"
Masumi menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya dengan keras. Jengkel.
"Maya menolak untuk mempercepat kepulangannya," kata Masumi kemudian dengan nada putus asa.
"Dan anda marah karenanya?"
"Tentu saja! Dia membuatku menunggu lagi,"
"Bukankah anda memang suka menunggu?"
Masumi menyipitkan matanya. Satu lagi orang yang memojokkannya, menyalahkannya karena penantian konyolnya selama tujuh tahun. Tapi dia kembali mendesah panjang, semakin dipikir semakin dia tidak bisa menyalahkan semua pendapat itu.
"Aku sudah lelah menunggu Mizuki," akhirnya sebuah pengakuan meluncur dari bibir Masumi.
"Apa anda berniat membuka hubungan anda dengan Maya pada publik?"
Masumi mengangguk. Mizuki menghela napas.
"Apa salah?" Masumi menilai reaksi sekretarisnya.
"Salah Pak Masumi, sangat salah. Saya tidak heran jika Maya menolak kembali karena alasan anda itu,"
"Kenapa? Dia bilang dia mencintaiku tapi dia membuatku bingung karena tidak mau mempercepat kepulangannya dan tidak mau aku mempublikasikan hubungan kami."
Mizuki menggeleng, "Anda sudah berpikir tentang konsekuensinya Pak Masumi?"
"Masa bodoh dengan semua itu Mizuki. Aku sudah menunggu selama ini dan aku tidak mau kehilangannya sekarang,"
"Kehilangannya? Anda pikir Maya akan meninggalkan anda setelah semua hal yang telah dilaluinya?" Mizuki mulai kesal dengan pemikiran bosnya.
"Kau tidak akan mengerti perasaanku Mizuki. Dulu aku masih bisa bertahan saat Ryo Majima jatuh cinta pada Maya karena Maya tidak tertarik padanya. Atau juga Satomi Shigeru...ya meski aku kemudian turun tangan memisahkan keduanya." Sejenak menatap tajam pada Mizuki yang menahan senyum gelinya, kekesalannya berkurang. Masumi lalu kembali mencurahkan isi hatinya,
"Tapi saat itu dia masih begitu muda, usianya baru lima belas. Dan aku mulai tidak tahan saat Koji tidak menyerah padanya, saat itu dia sudah semakin dewasa. Oke, aku menang karena akhirnya Maya memilihku. Tapi sekarang...," Masumi menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap semua pikiran buruknya itu bisa runtuh begitu saja.
"Apa yang membuat anda berpikir kalau sekarang Maya tidak akan melakukan hal yang sama? Dia jelas sudah memilih anda," Mizuki kembali kesal dengan pemikiran negatif bosnya yang diluar logika.
"Dia aktris kelas internasional sekarang,"
"Tapi dia tetap Maya Kitajima,"
"Dia punya banyak pengagum,"
"Dan dia tetap Maya Kitajima,"
"Ada banyak pria yang mengaguminya,"
Mizuki mendesah kesal, "Dia tetap Ma-ya Ki-ta-ji-ma, Pak Masumi!"
Masumi terdiam.
"Apa anda pikir semua yang anda sebutkan itu merubah pribadi Maya? Saya pernah menjadi menejernya Pak Masumi. Saya tahu betul bagaimana dia. Bahkan saat anda memutuskan untuk menikah dengan Nona Shiori dia masih tetap percaya pada anda. Luruskanlah jalan pikiran anda Pak Masumi," omel Mizuki panjang lebar.
"Tapi sekarang aku berhadapan dengan seorang Christian Anderson," desah Masumi pelan.
"Dan itu yang mengganggu anda? Saya pikir siapapun orangnya anda pasti akan bereaksi sama. Terakhir kali anda cemburu pada Satomi anda membuat Daito seperti neraka,"
Kening Masumi berkerut.
"Anda harus menghentikan semua ini karena anda bisa...maaf...gila karena Maya,"
"Aku sudah gila Mizuki! Membayangkan Christian merebut Maya dariku...tidak...tidak...itu tidak akan terjadi," Masumi mengusap dahinya kasar, berusaha menyapu pikiran buruknya yang berkali-kali melintas.
"Kalau begitu realisasikan ucapan anda. Jangan biarkan itu terjadi,"
"Tapi Maya belum mau kembali, bagaimana aku bisa mengumumkan pada dunia bahwa aku mencintai Maya sedangkan dia saja berada dibelahan dunia lain."
"Ya ampun Pak Masumi, ternyata otak anda belum lurus juga. Kemana Direktur Daito yang cerdas itu? Otaknya langsung buntu hanya karena seoarang Maya Kitajima,"
"Berhentilah mengejekku! Berikan saranmu atau keluar dari ruanganku!"
Mizuki mengabaikan ancaman Masumi.
"Maya tidak akan kembali sebelum masalah Bidadari merah dituntaskan Pak Masumi," terangnya. "Apa anda tidak berpikir tentang tanggapan publik saat Daito nanti memenangkan tender pementasan Bidadari Merah dan ternyata direkturnya mengencani Bidadari Merah? Itu akan jadi skandal yang akan mengalahkan berita kesuksesan pementasan itu sendiri. Apa anda pikir Maya mau mempertaruhkan nama baik anda? Nama baik yang sudah dia jaga selama ini, bahkan sampai rela pergi ke New York?"
Mizuki mengakhiri ceramahnya dengan pandangan kesal setengah mati pada bos konyolnya.
Masumi masih saja terdiam, otaknya sedang memproses data masuk dari server Mizuki.
"Aku akan percepat proses pementasan itu. Aku akan buat Maya mempercepat semuanya. Tiga tahun terlalu lama. Aku bahkan tidak yakin bisa bertahan tiga bulan lagi,"
Mizuki menyeringai senang.
"Bahkan si jenius Daito, pangeran dingin dan gila kerja Daito bisa gila karena cinta," batin Mizuki terkikik geli.
***
"Kau mabuk sayang?" Maya memandang heran pada wajah kusut kekasihnya.
Masumi menggeleng, "Maya, percepatlah kepulanganmu, aku mohon,"
"Apa kau sudah dirumah? Atau kau masih dijalan? Kau tidak membawa mobil sendiri kan?" Sekali lagi Maya tidak menjawab pertanyaan Masumi dan justru menyerbunya dengan perasaan khawatir karena melihat kondisi Masumi.
"Hei, jawab dulu pertanyaanku. Kau bisa mempercepat kepulanganmu kan?" Tatapan mata Masumi menuntut jawaban.
Maya tersenyum, dia tidak tahu apa yang terjadi tapi dia tahu pasti kakaknya yang membuat Masumi seperti itu.
"Ada apa?" Tanya Maya lembut.
Masumi menggeleng, "Pulanglah," ibanya.
"Kau membuatku khawatir," kata Maya.
"Tidak, jangan khawatirkan aku. Kembalilah, hanya itu yang ku mau," Masumi kembali merengek.
"Kau dimana?"
"Di mobil,"
"Tepatnya?"
"Di depan rumah,"
Maya menghela napas lega.
"Kalau begitu masuklah, bersihkan dirimu, tenangkan dirimu dan beristirahatlah. Kita akan bicarakan hal ini setelah kau lebih tenang,"
"Berjanjilah kau akan kembali," Masumi belum menyerah.
"Sayang, kau jelas sedang kacau. Tidak ada gunanya membahas hal itu sekarang. Istirahatlah, disana pasti sudah larut malam,"
Masumi terdiam, masih menatap Maya, memohon.
"Jangan," kata Maya.
"Jangan apa?" Tanya Masumi.
"Jangan menatapku seperti itu. Kau membuatku ingin berlari ke bandara," Maya tersenyum.
"Kalau begitu aku akan terus menatapmu seperti ini,"
"Begitu ya,"
"Jika itu bisa membuatmu kembali lebih cepat,"
Maya tertawa, "Kau mabuk sayang,"
"Aku masih sadar sayang,"
"Tidak, jelas tidak," Maya menggeleng geli.
Mendesah pelan, "Oke, aku sedikit mabuk. Tapi aku masih sadar berbicara denganmu,"
"Apa aku perlu menelepon Kak Hijiri untuk membawamu masuk ke rumah?"
Masumi cemberut.
"Ayolah Masumi, kau jelas sedang kacau. Tenangkan dirimu dan kita bicarakan hal ini besok atau kapanpun saat kau sudah tenang, oke?"
"Membicarakan kepulanganmu?" Matanya kembali menuntut Maya.
Maya tersenyum.
"Kepulanganmu?"
"Iya, kepulanganku,"
Akhirnya Masumi tersenyum.
"Istirahatlah," kata Maya.
"Aku mencintaimu,"
"Aku juga mencintaimu,"
Pip!
Telepon mati, Masumi menyandarkan kepala pada kedua tangannya yang terlipat diatas kemudi. Berkali-kali mendesah panjang.
"Maya...aku mencintaimu,"
"Kau milikku Maya, kau milikku,"
Berkali-kali juga meracau.
Cukup lama termenung akhirnya Masumi turun dari mobilnya. Berjalan dengan malas, tangan kanannya menggantung dibahu membawa jas.
"Dari mana saja kau?" Suara Eisuke menyambutnya saat Masumi memasuki ruang tamu.
"Sedikit menyegarkan diri," jawab Masumi sekenanya sambil terus berjalan menuju kamarnya. Mengabaikan ayahnya yang duduk di kursi roda dan menatapnya marah. Entah marah karena sahamnya dijual pada orang asing atau marah karena Masumi pulang larut dengan keadaan kacau.
"Tunggu!"
Masumi berhenti saat kakinya menginjak anak tangga pertama.
"Besok pagi-pagi siapkan dirimu. Aku sudah menghubungi notaris. Asa dan Mizuki juga sudah menyiapkan semuanya,"
"Menyiapkan apa?" Masumi berbalik, memandang ayahnya dengan bingung.
"Pengalihan saham,"
"Pengalihan saham?" Masumi berkerut.
"Apalagi ini?" Rutuknya dalam hati.
"Meski kau direktur utama tapi jumlah sahammu hanya dua puluh persen. Kau akan menjadi boneka orang asing itu jika tetap seperti ini. Karena itu aku mempertaruhkan segalanya sekarang. Aku akan mengalihkan sahamku tiga puluh persen padamu, dengan begitu akan mengukuhkan posisimu. Kau yang berkuasa di Daito, arti lain adalah Daito milikmu."
Jas Masumi jatuh ke lantai saat tangannya terkulai.
"Sial!! Apa-apaan ini?"
"Apa ini lelucon ayah? Ayah memberikan Daito padaku?" Masumi mengumpulkan semua kesadarannya yang tersisa, mencoba mencerna dengan baik kalimat panjang Eisuke. Memasukkannya ke dalam logikanya yang sekarang sedikit bengkok karena serangan Christ siang tadi.
Eisuke menyeringai, "Ingat Masumi! Kau tidak boleh membiarkan Bidadari Merah jatuh ke tangan orang asing itu! Sejauh ini aku sudah mempertaruhkan segalanya. Kau tidak boleh gagal!"
Eisuke memutar kursi rodanya dan meninggalkan Masumi yang masih mematung.
***
Christ menarik embargo atas berita pengalihan saham Daito padanya bersamaan dengan penanda tanganan pengalihan saham Eisuke pada Masumi. Publikasi atas berita tersebut langsung menghebohkan media. Sekarang resmi bahwa Masumi menjadi Direktur Utama sekaligus pemegang saham tertinggi Daito. Seluruh media memberitakan hal itu, membuat Masumi jengah.
"Anda baik-baik saja Pak Masumi?" Mizuki menyela lamunan Masumi.
"Apa aku terlihat baik?" Jawabnya malas.
"Karena itulah saya bertanya. Bukankah seharusnya sekarang anda senang Pak. Semua terjadi diluar prediksi tapi efeknya justru anda menjadi pemegang saham tertinggi Daito,"
"Ya, aku cukup beruntung dalam hal ini Mizuki. Tapi ada hal lain yang justru ku khawatirkan,"
"Soal bidadari Merah?" Tebak Mizuki.
"Iya,"
"Anda khawatir dengan drama dan hak pementasan Bidadari Merah atau pada Bidadari Merah itu sendiri?" Bibir Mizuki menyunggingkan senyum ironinya.
"Kau tahu yang mana,"
Mizuki terkikik, "Karena Christian Anderson?"
Mendesah kesal, "Jangan sebut namanya!"
"Jadi anda membenci mitra bisnis anda?"
"Sangat!"
Mizuki tertawa.
"Kau senang huh?"
Menatap bosnya dengan geli, Mizuki menghentikan tawanya.
"Anda memang kekanakan jika menyangkut tentang Maya, Pak Masumi,"
"Jangan menceramahiku Mizuki. Aku sedang tidak berminat mendengar mulut pedasmu itu," dengus Masumi kesal. Tangannya masih sibuk mengetik diatas keybord laptopnya.
"Kalau anda menganggap Tuan Anderson sebagai saingan berarti anda meragukan cinta Maya,"
"Diamlah Mizuki. Kalian wanita selalu saja membuat bingung." Katanya sambil melotot pada sekretarisnya, jari-jarinya berhenti mengetik.
"Membuat bingung?!" Mizuki mengulang perkataan Masumi.
"Ya!" Bentaknya.
"Bukan sebaliknya?"
Masumi menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya dengan keras. Jengkel.
"Maya menolak untuk mempercepat kepulangannya," kata Masumi kemudian dengan nada putus asa.
"Dan anda marah karenanya?"
"Tentu saja! Dia membuatku menunggu lagi,"
"Bukankah anda memang suka menunggu?"
Masumi menyipitkan matanya. Satu lagi orang yang memojokkannya, menyalahkannya karena penantian konyolnya selama tujuh tahun. Tapi dia kembali mendesah panjang, semakin dipikir semakin dia tidak bisa menyalahkan semua pendapat itu.
"Aku sudah lelah menunggu Mizuki," akhirnya sebuah pengakuan meluncur dari bibir Masumi.
"Apa anda berniat membuka hubungan anda dengan Maya pada publik?"
Masumi mengangguk. Mizuki menghela napas.
"Apa salah?" Masumi menilai reaksi sekretarisnya.
"Salah Pak Masumi, sangat salah. Saya tidak heran jika Maya menolak kembali karena alasan anda itu,"
"Kenapa? Dia bilang dia mencintaiku tapi dia membuatku bingung karena tidak mau mempercepat kepulangannya dan tidak mau aku mempublikasikan hubungan kami."
Mizuki menggeleng, "Anda sudah berpikir tentang konsekuensinya Pak Masumi?"
"Masa bodoh dengan semua itu Mizuki. Aku sudah menunggu selama ini dan aku tidak mau kehilangannya sekarang,"
"Kehilangannya? Anda pikir Maya akan meninggalkan anda setelah semua hal yang telah dilaluinya?" Mizuki mulai kesal dengan pemikiran bosnya.
"Kau tidak akan mengerti perasaanku Mizuki. Dulu aku masih bisa bertahan saat Ryo Majima jatuh cinta pada Maya karena Maya tidak tertarik padanya. Atau juga Satomi Shigeru...ya meski aku kemudian turun tangan memisahkan keduanya." Sejenak menatap tajam pada Mizuki yang menahan senyum gelinya, kekesalannya berkurang. Masumi lalu kembali mencurahkan isi hatinya,
"Tapi saat itu dia masih begitu muda, usianya baru lima belas. Dan aku mulai tidak tahan saat Koji tidak menyerah padanya, saat itu dia sudah semakin dewasa. Oke, aku menang karena akhirnya Maya memilihku. Tapi sekarang...," Masumi menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap semua pikiran buruknya itu bisa runtuh begitu saja.
"Apa yang membuat anda berpikir kalau sekarang Maya tidak akan melakukan hal yang sama? Dia jelas sudah memilih anda," Mizuki kembali kesal dengan pemikiran negatif bosnya yang diluar logika.
"Dia aktris kelas internasional sekarang,"
"Tapi dia tetap Maya Kitajima,"
"Dia punya banyak pengagum,"
"Dan dia tetap Maya Kitajima,"
"Ada banyak pria yang mengaguminya,"
Mizuki mendesah kesal, "Dia tetap Ma-ya Ki-ta-ji-ma, Pak Masumi!"
Masumi terdiam.
"Apa anda pikir semua yang anda sebutkan itu merubah pribadi Maya? Saya pernah menjadi menejernya Pak Masumi. Saya tahu betul bagaimana dia. Bahkan saat anda memutuskan untuk menikah dengan Nona Shiori dia masih tetap percaya pada anda. Luruskanlah jalan pikiran anda Pak Masumi," omel Mizuki panjang lebar.
"Tapi sekarang aku berhadapan dengan seorang Christian Anderson," desah Masumi pelan.
"Dan itu yang mengganggu anda? Saya pikir siapapun orangnya anda pasti akan bereaksi sama. Terakhir kali anda cemburu pada Satomi anda membuat Daito seperti neraka,"
Kening Masumi berkerut.
"Anda harus menghentikan semua ini karena anda bisa...maaf...gila karena Maya,"
"Aku sudah gila Mizuki! Membayangkan Christian merebut Maya dariku...tidak...tidak...itu tidak akan terjadi," Masumi mengusap dahinya kasar, berusaha menyapu pikiran buruknya yang berkali-kali melintas.
"Kalau begitu realisasikan ucapan anda. Jangan biarkan itu terjadi,"
"Tapi Maya belum mau kembali, bagaimana aku bisa mengumumkan pada dunia bahwa aku mencintai Maya sedangkan dia saja berada dibelahan dunia lain."
"Ya ampun Pak Masumi, ternyata otak anda belum lurus juga. Kemana Direktur Daito yang cerdas itu? Otaknya langsung buntu hanya karena seoarang Maya Kitajima,"
"Berhentilah mengejekku! Berikan saranmu atau keluar dari ruanganku!"
Mizuki mengabaikan ancaman Masumi.
"Maya tidak akan kembali sebelum masalah Bidadari merah dituntaskan Pak Masumi," terangnya. "Apa anda tidak berpikir tentang tanggapan publik saat Daito nanti memenangkan tender pementasan Bidadari Merah dan ternyata direkturnya mengencani Bidadari Merah? Itu akan jadi skandal yang akan mengalahkan berita kesuksesan pementasan itu sendiri. Apa anda pikir Maya mau mempertaruhkan nama baik anda? Nama baik yang sudah dia jaga selama ini, bahkan sampai rela pergi ke New York?"
Mizuki mengakhiri ceramahnya dengan pandangan kesal setengah mati pada bos konyolnya.
Masumi masih saja terdiam, otaknya sedang memproses data masuk dari server Mizuki.
"Aku akan percepat proses pementasan itu. Aku akan buat Maya mempercepat semuanya. Tiga tahun terlalu lama. Aku bahkan tidak yakin bisa bertahan tiga bulan lagi,"
Mizuki menyeringai senang.
"Bahkan si jenius Daito, pangeran dingin dan gila kerja Daito bisa gila karena cinta," batin Mizuki terkikik geli.
***
“Selamat
sayang, pertunjukan yang luar biasa,” Clara memeluk dan mencium putrinya.
“Cordelia-mu
sempurna sayang,” Michael juga memeluk dan mencium Maya.
Clara
dan Michael menemui Maya di ruang ganti setelah pementasan King Lear.
“Terima
kasih Pa, Ma,” Maya terharu. Sebuah kenangan melintas di pikirannya saat dia
dulu merasa iri pada Ayumi karena memiliki orang tua yang sempurna. Orang tua
yang selalu mendukungnya dan memberi selamat saat Ayumi turun panggung. Maya bahagia
akhirnya bisa merasakan hal itu.
“Kau
kenapa?” Clara mengusap lembut air mata di pipi Maya.
Menggeleng
pelan, “Aku bahagia,”
Michael
tersenyum lalu kembali memeluk Maya, “Kami juga bahagia memilikimu Maya,”
Ketukan
pintu menghentikan sejenak drama keluarga itu.
“Maaf
saya mengganggu tapi Nona Maya harus bersiap untuk pesta premier,” Rose
menyela.
Sejak Maya menjadi anggota keluarga Anderson, Rose berubah menjadi
lebih hormat saat bersamanya terlebih saat ada Clara dan Michael. Maya tidak
menyukainya tapi Rose tetap bersikeras, karena dia tidak mau dianggap tidak menghormati
keluarga Anderson.
“Sebaiknya
kau segera bersiap sayang. Kami akan menunggumu di lobi.” Kata Clara.
Maya
mengangguk.
“Oh ya,
agar kau tidak terkejut nanti maka siapkan hatimu saat masuk ke lobi ya,”
tambah Clara.
“Ada
apa?” Maya melihat mama dan papanya tersenyum, begitu juga Rose.
“Kau
akan lihat nanti, ayo,” Michael merangkul istrinya dan berjalan keluar ruang
ganti sementara Rose membantu Maya bersiap.
Maya
dan Rose berjalan ke lobi sebelum menuju ruang pesta. Biasanya para
penggemarnya sudah menunggunya di sana untuk meminta tanda tangan atau foto. Mata
Maya hampir keluar dari tempatnya saat tiba di lobi. Lobi luas itu terlihat
sesak sekarang, bukan karena penuh dengan penggemar tapi karena banyaknya buket
bunga mawar ungu yang disusun disetiap sudut ruangan, entah berapa jumlahnya,
Maya menduga ratusan buket bunga.
Michael
dan Clara tersenyum dari jauh melihat ekspresi Maya. Rose memberikan sebuah
kartu ucapan dan Maya langsung mendesah lemah saat membacanya.
Maya-ku
Mawar
ungu mewakili setiap hari yang ku lewati tanpamu.
Pulanglah
sayang
Aku
menunggumu
Masumi-mu
“Berapa lama aku
pergi? Enam bulan? Ya, ampun,”
“Oh
Rose…kekasihku sudah gila,” desah Maya dan Rose terbahak.
***
>>Bersambung<<
18 Comments
Allooooo MM Lover n TK Lover....
ReplyDeleteNice to meet u again
Terima kasih yang uda setia baca sampai chap ini ya
Semoga kali ini juga suka ama ceritanya ya
Oke, selamat membaca.... :)
Arrrrrgggggghhhhhh ngegantung lagiiiiii...... huaaaaaa....... sistaaaaaaa.....
ReplyDeleteRatu Lobak nya sdh koit dgn sekali tebas.... yay..yay...yay... #loncatloncatkegirangan#
Trus Bu Mayuko gmn nih? Koq ga diceritain hasil pertemuan nyaaaaa.....aduuuuuhhhh makin banyak pertanyaan di otak q malahan beres baca ini update.... lanjuuuuuutttttt... #nangisbombaykarenapenasaran#
Halloooo juga mb agnes... cihuy crtanya tmbah seru aja... mkin semangat bacanya! :D
ReplyDeleteHahahahaha.... Masumiiiii
ReplyDeleteGanteng ganteng gila hahahahahaa.... gila karena Maya.... sukaaaa ama part ini.... makasih mbaa....
Wahhhh.....love it mbak agnes...thanks bgt....ditunggu terus lanjutannya.
ReplyDeleteThe best deh...👍
ReplyDeleteSeruuuu bgt...keren mba...hadohhh makin penasaran lanjutannya....mba jgn bwt sedih2n lg yahhh...udh skrg mah giliran bahagia2 nya...bravo MM..christ jg keren...mba please cptn pulangin maya ke jepang...trs please lanjutan nya jgn lama2...hihihi mksh mba...
ReplyDeleteSemangat masumi.......^^
ReplyDeletebukan masumi doang nich yang gila. aku baca ini senyum-senyum sendiri, ketawa-tawa sendiri seperti orang gila. ha..ha..ha.. bagus banget ceritanya sis... ga sabar nich nunggu kelanjutannya!!!
ReplyDeleteHahaha... Senanggggg rasanya mlihat masumi hilang kendali... XXD
ReplyDeleteThx sist Agnes...
Christ jail banget yaa.. Jadi ketawa sendiri hi3.
ReplyDeleteAs always.. Ditunggu kelanjutannya
Aq jg jd gila baca nya mba... sambil ngebayangin, ilustrasi wajah christ ky apa yaa ganteng nya? Xixixixixixi..... jgn pake lama update nya sist... or aq bisa gila ky masumi.... you are soo cool.. two tumbs up.
ReplyDeleteWah kaya'nya pada suka kalo liat Masumi eror ya, hahahaaa
ReplyDeleteMakasih buat semua yang uda baca n makasih juga buat semua komennya, penambah semangat...
arigato..... ;)
Hanya satu kata utk mba Agnes.....keren...arigato
DeleteAjaiiiiibbbbb ,,,wonderfulll, pikiran brilian dan jenius, elegant dalam merangkai setiap part nya.....thanks mba agnes, smg sehat selalu, agar selalu fresh seprti ini dalam setiap chapternya.... l am your fan always
ReplyDeleteThx sist Agnes. Ceritanya bagus seperti sebelumnya, tapiiiii..... kurang panjaaaaaang... lapar terus tiap baca nih cerita. Mantap sist, lanjut terus.
ReplyDelete- Fitria GW -
Mbak agneeess #pingin meluk rasanya :'D ....
ReplyDeleteUdah lama ngebayangin maya akhirnya bahagia, gak teraniaya mulu T.T...
Makasi mba uda ijinin aku baca cerita yg super duper kueeereeen ini. XD
Gak sabar nuggu kelanjutannya
#kyaakyaa..loncatsanasinikegirangan
Bagus bgt ceritany... Dari skandal... Jalinan cinta hingga konsekuensiny... Sungguh ide yg luar biasa untuk sebuah cerita... N aku merasa hidup maya sungguh sgt beruntung... Memang berbanding lurus dgn konsekuensi ny... Kisah ini mkin hidup dgn ada ny asisten yg loyal.
ReplyDelete