Kesembilan Belas : Maya - Angelina

Serial "Kau Milikku"
Rate   : 20 thn ++
Warning  : Kissu, skinship



"Christ! Bicaralah Bella," Christ menjawab telepon dengan kasar, tidak suka sekretarisnya mengganggu acara spesial pagi harinya.
"Apa maksudmu?!" Teriak Christ lagi, "Bagaimana bisa terjadi?...kenapa kau tidak tahu?...pagi ini?!...kau merusak pagiku Bella...sial!!...oke...iya aku kesana sekarang! Berhentilah mengoceh Bella...siapkan semuanya! Aku dalam perjalanan,"
Christ menggeram kesal saat menutup teleponnya.
"Putar arah Ryan!!" Bentaknya.
Ryan tertegun dan memandang penuh tanya melalui kaca spion.
"Ada masalah di kantor! Aku harus kesana sekarang!" Mata Christ melotot pada Ryan melalui kaca spion.
"Baik Tuan," Ryan tahu pasti bukan waktunya untuk bertanya dan dengan cepat menjalankan perintahnya. Mobil mulus berputar dan berbalik arah menuju gedung ACA Group.

***
Masumi terbangun dan merasa bingung dengan keberadaannya di tempat asing. Matanya menyapu seluruh ruangan dan kemudian dia menyadari kalau dirinya berada di kamar apartemen Maya.
Kepalanya sedikit pusing karena jetlag dan kurang tidur tapi semua itu tidak berarti karena dia bersama wanita yang sangat dicintainya. Bibirnya tersenyum geli saat mengingat kejadian 'gila dini hari' nya bersama Maya. Hampir saja dia merusak gadisnya dengan kegilaannya. Beruntung dia melihat luka memar ditubuh Maya meski dia juga mengutuki semua memar itu.
Masumi melirik nakas disebelah tempat tidur Maya dimana fotonya terpajang disana. Tersenyum, bahkan Masumi masih sulit percaya dirinya bisa tersenyum sebahagia itu. Bahagia? Kata yang dulu begitu asing baginya sekarang justru menjadi bagian dalam hidupnya. Kebahagian yang dulu telah tenggelam dilaut dalam sekarang datang bersama gelombang lautan cinta Maya. Seorang gadis yang mengubah pandangan hidupnya. Hatinya dipenuhi rasa syukur saat ini, bahwa Tuhan memberinya kesempatan bertemu Maya dan merasakan kembali hangatnya cinta, hangatnya kehidupan.
Bangun dan duduk ditempat tidur, Masumi berjalan ke kamar mandi. Membersihkan dirinya sebelum menemui gadisnya yang entah sekarang sedang apa.
Maya sedang menata dua piring di meja makan, meletakkan roti panggang dan omlet lalu menuang susu hangat kedalam gelasnya dan menuang teh panas ke dalam cangkir. Dia baru saja mau berjalan kekamarnya untuk membangunkan Masumi tapi langsung mengurungkan niatnya. Masumi sudah berjalan menghampirinya dengan senyum ribuan gigawatt yang langsung menular pada Maya.
"Pagi," sapa Maya ramah, mengagumi malaikat tampannya yang sekarang sudah begitu rapi dan mempesona, tanpa cela.
"Pagi," Masumi langsung melingkarkan tangannya kepinggul Maya dan mencium keningnya dan Maya meleleh karenanya.
"Kau lelah?" Maya menengadahkan wajahnya seraya mengusap lembut dada bidang kekasihnya.
"Sedikit, sepertinya aku tidur terlalu nyenyak sampai aku tidak tahu kau meninggalkanku,"
"Aku hanya tidak mau mengganggu istirahatmu. Kau pasti lelah sekali karena perjalanan panjang,"
"Dan kau tidak lelah? Seingatku aku mengganggu tidurmu semalam,"
Maya terkikik, teringat hal konyol semalam, "Ya, tapi aku sudah cukup terbiasa untuk bangun pagi karena jadwal ketat Rose dan...gangguan semalam tidak membuatku lelah, justru sebaliknya. Membuatku bersemangat," Maya berbisik pada kalimat terakhirnya, mengundang senyum geli Masumi.
"Begitukah?"
Maya tersenyum, "Aku tidak akan lelah berdiri seharian seperti ini, dalam pelukanmu, tapi kita akan membuat sarapan menjadi dingin dan itu berarti kerja kerasku sia-sia,"
Masumi tergelak, "Kau semakin pintar bicara sayang," Masumi melepaskan pelukannya dan keduanya duduk dimeja makan.
Sejenak menatap kedalam piringnya, Masumi kemudian menatap Maya.
"Kenapa? Kau tidak suka?"
Masumi menggeleng, "Aku hanya heran telurnya tidak gosong,"
Maya langsung cemberut.
"Sepertinya kau makin pandai memasak. Kelihatannya enak," puji Masumi.
"Itu hanya roti dan omelete Masumi, jangan berlebihan,"
"Ya omelete istimewa bagiku,"
"Apa intimewanya telur kocok yang digoreng? Dan roti?"
"Ada dua hal yang istimewa dari omelete ini sayang,"
"Selain karena tidak gosong, apalagi?"
Masumi menggeleng, "Bukan itu, pertama karena omelete ini dimasak olehmu dengan penuh cinta dan kedua aku makan omelete ini bersama wanita yang kucintai,"
Tawa Maya meledak, "Apa kau sedang merayuku?"
"Apa kau merasa sedang dirayu?" Masumi tersenyum geli.
"Aku senang, terima kasih. Sekarang cepat makan sebelum dingin karena aku juga tidak mau menghabiskan sisa waktuku bersamamu di meja makan,"
Masumi mengernyit, "Kau makin galak Maya,"
"Itu harus untuk menghadapi seorang perayu atau aku akan terjebak dalam rayuannya," Maya tersenyum geli dan mulai memakan omeletenya, Masumi terbahak dengan predikat barunya.

***
"Ini untukmu," Masumi mengulurkan sebuah kado terbungkus kertas mengkilap berwarna ungu. Maya yang sedang berbaring santai disofa langsung bangun dan saat Masumi duduk disebelahnya Maya bersandar manja pada dadanya.
"Kenapa?" Tanya Masumi saat melihat Maya menyipitkan matanya memandang kado ditangannya.
"Kau tahu kalau kau tidak perlu melakukan ini?" Maya mengangkat tinggi-tinggi kadonya.
"Ini kan hari ulang tahunmu sayang, kenapa aku tidak boleh memberi kado pada kekasihku dihari ulang tahunnya?" Masumi membelai lembut kepala Maya yang bersandar di dadanya.
"Terlalu banyak, saat valentine juga kau memberiku hadiah. Aku bahkan tidak pernah memberimu apa-apa," Maya memeluk kado kecilnya dan melenguh putus asa. Dia ingat sepasang anting-anting berlian yang diterimanya saat valentine, dia suka, sangat suka, tapi semuanya terasa begitu berlebihan baginya.
Masumi tersenyum, "Ini," Masumi mengangkat pergelangan tangannya, menunjukkan jam tangan yang diberikan Maya sebelum keberangkatannya ke Amerika.
Maya hanya mencibirnya.
"Kenapa kau jadi hitungan-hitungan denganku? Aku tidak keberatan melakukannya," Masumi masih terus menikmati membelai kepala Maya yang bersandar padanya.
"Aku yang keberatan Masumi, kau sudah melakukan banyak hal untukku, memberikan banyak juga untukku. Kau terlalu baik," protes Maya.
"Apa kau berharap sebaliknya? Bersikap kasar dan tidak baik padamu?" Masumi menyipitkan matanya saat Maya menoleh padanya.
"Bukan begitu maksudku," lenguh Maya.
"Lalu kenapa kau tidak suka aku menunjukkan rasa sayangku padamu?"
"Kau kan tidak harus memberiku banyak hadiah untuk menunjukannya,"
Masumi mendesah, "Kau mau menerima ini atau tidak?" Masumi mengambil lagi kadonya dari tangan Maya. Marah.
Tahu Masumi marah diapun tidak ingin memperparahnya, kembali mengambil kadonya yang menggantung diudara dalam genggaman tangan Masumi.
"Iya, terima kasih," gumam Maya.
Masumi meraih kedua bahu Maya dan menghadapkannya padanya.
"Maya sayang, kau tidak perlu memikirkan hal kecil semacam itu. Kau sudah menerimaku, mencintaiku, itu sudah merupakan anugrah bagiku,"
"Dan aku juga merasakan hal itu. Kau! Kau adalah hal terbaik yang diberikan Tuhan padaku. Dan aku tidak memerlukan...," Maya melambai pada kadonya.
Masumi menghela napas, "Apa kita akan bertengkar pagi ini? Dihari ulang tahunmu? Hanya karena aku memberikan kado untukmu?"
"Ya, ya, baiklah. Maafkan aku. Sekali lagi terima kasih," Maya sedikit marajuk.
"Jadi kau mau menerimanya kan?"
"Iya, aku menerimanya,"
"Dengan senang hati?"
"Dengan senang hati Pak Masumi,"
Masumi mengernyit, sudah lama dia tidak mendengar Maya memanggilnya seperti itu.
"Kau jadi sangat bossy, panggilan itu cocok denganmu," Maya tahu arti kerutan dikening Masumi. Dan senyum geli terukir di wajah Masumi.
"Maya, maya, kadang aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk menghadapimu. Kau dan semua tindakan tidak masuk akalmu itu,"
"Hei itukan kalimatku! Dan itu untukmu bukan untukku," protes Maya.
"Menurutku kau juga begitu. Melarang ku untuk memberi kado pada kekasihku sendiri di hari ulang tahunnya, apa itu masuk akal menurutmu?"
Maya kembali bersandar di dada Masumi, tidak mau merusak sisa harinya bersama Masumi yang hanya tinggal beberapa jam lagi.
"Apa kau tidak mau membuka kadonya?" Tanya Masumi yang kembali membelai lembut kepala Maya.
Tanpa kata Mayapun segera membuka kadonya,
"Kamera digital?" Maya mengernyit heran, dia tidak merasa membutuhkan benda itu.
"Sini," Masumi mendorong Maya untuk tidak bersandar padanya, menggeser duduknya lalu mengambil kamera dari tangan Maya. Menghidupkannya lalu membidik ke arah Maya dan belum sempat Maya protes lampu bitz sudah menyala.
"Hei!" Protesnya kemudian.
Masumi tersenyum, kembali duduk disebelah Maya lalu menjauhkan kamera sejangkauan tangannya.
"Lihat kamera sayang," kata Masumi dan Maya menurut saja. Dan sesaat sebelum dia menekan tombolnya, Masumi mendekatkan wajahnya pada Maya. Bersamaan dengan menekan tombol diapun mengecup pipi Maya.
Dan hasilnya, sebuah foto yang sangat natural. Masumi yang mencium pipi Maya dan ekspresi terkejut Maya yang spontan.
"Kau ini," kata Maya kesal.
Masumi terbahak.
"Jadi untuk ini kau memberikanku kamera?" Dengus Maya pura-pura kesal. Sebenarnya dia menyukai cara Masumi mengerjainya.
"Hhmm, tidak sayang. Sebenarnya aku ingin kau membuat album foto dirimu," ada sedikit keraguan dalam nada suara Masumi.
"Album foto?"
"Iya, seperti album foto pementasan yang pernah kau berikan padaku dulu, hhmm, pada Mawar ungu," Masumi menyeringai.
Maya terdiam, memorinya masih mengingat jelas wujud terakhir dari album fotonya, tak berbentuk. Dan yang melakukannya adalah...batin Maya menggerutu. Wanita yang sama yang mendatanginya saat pementasan perdana. Maya menyadari kalau selama ini dia tidak pernah menanyakan hal itu pada Masumi. Seingatnya Masumi juga tahu kalau Shiori pelakunya tapi Masumi tidak tahu kalau Maya tahu hal itu. Diam-diam Maya ingin menguji kekasihnya itu.
"Maya?" Panggil Masumi, Maya terdiam cukup lama.
Masumi melihatnya cemas, dia tahu telah mengingatkan Maya akan kenangan seperti apa.
"Ng, Masumi...apa kau tahu siapa yang merusak album fotoku dan mengirimkannya padaku?"
Masumi menelan ludah perlahan. "Tidak." Jawaban bohong yang singkat.
"Oh?" Maya melenguh pelan.
"Kenapa dia tidak mau mengatakannya? Apa dia melindungi Nona Shiori?"
"Maaf," gumam Masumi pelan.
"Untuk apa?" Tanya Maya.
"Karena telah berbohong padaku? Atau karena telah melindungi Shiori?"
"Mengingatkanmu pada kenangan yang tidak menyenangkan,"
"Tidak, tidak apa-apa." Maya menggeleng sekaligus menyingkirkan pikiran negatifnya tentang Masumi yang membela Shiori. Pasti Masumi hanya tidak mau dirinya cemas, pikir Maya.
"Jadi foto seperti apa yang kau inginkan?" Tanya Maya girang -pura-pura girang-.
"Semua kegiatanmu kurasa. Aku kan tidak bisa terus bersamamu tapi aku tidak ingin ketinggalan hal-hal menyenangkan yang ada didalam hidupmu. Foto-foto itu akan memberitahuku semua yang kau lakukan selama jauh dariku," Masumi juga kembali senang.
Maya terkikik,
"Dan aku ingin dimulai dari ini," Maya dengan cepat membidik Masumi beberapa kali, wajah terkejut Masumi terlihat lucu pada tampilan kamera.
Keduanya tergelak.

***
Masumi sudah mengepak kopernya dengan rapi. Maya duduk ditepi tempat tidurnya, disebelah koper dan memandang koper dengan sedih. Masumi menangkap ekspresi Maya lalu berlutut didepannya.
"Kau sedih?" Tanyanya, meraih tangan Maya dan menggenggamnya lembut.
Maya mengangguk.
"Maaf ya," Masumi mencium kedua punggung tangan Maya dalam genggamannya. "Kita masih harus bersabar,"
Maya menggeleng pelan.
Tangan kanan Masumi menyelipkan rambut Maya yang tergerai kebelakang telinga lalu menyibakkan sedikit poninya.
"Apa masih sakit?" Masumi mengusapnya perlahan dan mata Maya sedikit menyipit.
"Sedikit, lukanya sudah kering,"
Masumi mendaratkan kecupan lembut dibekas luka itu, membuat Maya memejamkan matanya. Merasakan kasih sayang Masumi.
"Lain kali, jika terjadi sesuatu padamu, maukah kau memberitahukannya padaku?" Kata Masumi menatap dalam kedua mata Maya.
"Masumi...,"
"Berjanjilah padaku sayang,"
"Aku...,"
"Aku tidak keberatan jika harus mengirim Hijiri kesini untuk menjagamu."
"Kau mengancamku?"
Maya menghela napas, "Baiklah, lain kali aku akan mengatakannya. Tidak perlu mengirim Kak Hijiri. Kau lebih membutuhkannya disana. Aku akan baik-baik saja."
Masumi tersenyum lega. "Terima kasih. Tentu aku selalu berharap kau aman dan baik-baik saja Maya,"
Masumi memeluk Maya dan Maya menikmati hangatnya pelukan Masumi.
"Aku pasti akan sangat merindukanmu sayang." Masumi mengeratkan pelukannya dan membenamkan kecupan lembut dirambut Maya.
"Aku juga," kata Maya lirih, dadanya terasa sesak memikirkan harus kembali berjauhan dengan pria yang sangat dicintainya.
Melepaskan pelukannya, “Apa aku boleh memberikan ciuman selamat tinggal?” Tanya Masumi lembut.
“Kau begitu sopan Pak Masumi,” Sarkasme Maya membuat Masumi tersenyum senang.
Masumi meraih dagu Maya mendaratkan kecupan sayang dikening lalu di kedua mata lalu di hidung lalu di kedua pipi dan terakhir bibirnya memagut lembut bibir Maya. Mencumbunya. Tangannya yang bebas melingkar dileher Maya, tertahan ditengkuk, membuat kepala Maya tetap berada diposisinya. Dan saat ciuman keduanya semakin dalam Maya melingkarkan kedua lengannya dipinggang Masumi, mencengkeramnya erat.
Masumi belum ingin berhenti, menggumamkan nama Maya seraya menarik napas lalu kembali mencium Maya. Maya mengerang perlahan saat kedua lidah mereka saling bertemu, mencengkram punggung Masumi dan mendekatkan tubuh keduanya. Masumi mendorong perlahan tubuh Maya, dengan masih menahan tengkuknya, membaringkan Maya ditempat tidur.
Dengan sebelah sikunya Masumi menahan tubuhnya. Matanya yang gelap menatap mata coklat Maya. Keduanya mengatur kembali napas masing-masing. Wajah Maya merona dibawah tatapan mata gelap kekasihnya.
"Aku mencintaimu Maya," desah Masumi dengan suara yang dalam, suara yang melelehkan hati Maya.
"Aku juga mencintaimu Masumi,"
Kembali Masumi mendaratkan kecupan lembut di kening, kedua mata, hidung, dan kedua pipi Maya yang merona. Tapi kali ini Masumi melewatkan bibir Maya dan mengecup lembut dagu Maya, menggigitnya lembut membuat Maya terkesiap lalu melenguh pelan.
Tidak berhenti, Masumi membelai wajah Maya dan mendaratkan kecupan lain disisi wajahnya, membuat Maya memiringkan wajahnya kesisi lain. Memberi akses bebas pada Masumi untuk mendaratkan kecupan lain di bawah telinga. Beberapa kecupan hangat Masumi dileher Maya membuat gadis itu mengerang, mencengkramkan kuat jarinya yang sekarang berada dibahu dan punggung Masumi.
Masumi belum juga berhenti, bibirnya terus mencumbu seluruh leher Maya, mengirim sensasi luar biasa pada tubuh Maya. Dan kecupan lembut itu berakhir mendarat di bahu maya.
Masumi bergeser ke atas, melihat kembali wajah Maya yang entah bagaimana mendeskripsikannya.
"Aku mencintaimu, kau milikku," Masumi kembali mendeklarasikan cintanya. Dan mengakhirinya dengan ciuman lembut dan memabukkan di bibir Maya.
Masumi sadar sudah waktunya berhenti. Diapun bangkit duduk disebelah Maya yang masih terbaring dan memandangnya penuh arti. Masumi tahu dia telah mengirim Maya terlalu jauh ke alam lain, alam yang seharusnya belum boleh mereka kunjungi sekarang.
Masumi tersenyum lembut dan perlahan menyelipkan tangannya dibawah bahu dan dibawah lutut Maya, membawanya ke dalam pelukannya, merengkuhnya dengan kedua lengannya.
Tidak ada yang bicara, keduanya terdiam sekarang. Tenggelam dalam indahnya kebersamaan yang hanya tinggal beberapa saat lagi.

***
Maya sudah siap mengantar Masumi ke bandara, dia memakai wig coklat pendek, kemeja panjang biru laut dan celana jeans lalu dibalut dengan mantel musim dingin coklat yang cocok dengan warna rambutnya. Maya keluar dari kamar dan Masumi tertegun menatap penampilan baru Maya.
Maya hanya meringis sambil memainkan kaca mata hitam ditangannya.
"Kau menyamar?" Masumi tersenyum geli.
Maya mengangguk, "Prosedur keamanan," Maya menirukan kalimat yang biasa diucapkan Ryan padanya.
Masumi terbahak, "Jadi sekarang kekasihku adalah aktris internasional buruan para wartawan?"
"Apa kau mengejekku?" Maya cemberut.
Masumi menggeleng, "Tidak sayang, bukan begitu. Hanya saja melihatmu sekarang...dulu kau...sungguh aku tidak pernah membayangkannya,"
"Sudah kubilang kan aku sudah dewasa,"
"Iya, iya. Aku sudah membuktikan sendiri hal itu. Mungkin hanya aku yang benar-benar mengerti tingkat kedewasaanmu,"
Maya menjulurkan lidahnya, menutupi malunya dan Masumi kembali tergelak.
"Sudah ayo berangkat, aku tidak mau kau ketinggalan pesawat," sergah Maya cepat, menghentikan tawa Masumi.
"Aku tidak keberatan," goda Masumi seraya menyeret kopernya dan menghampiri Maya.
"Aku yang keberatan. Kau akan membuat Nona Mizuki kesulitan nanti."
"Iya Nyonya, kau disiplin sekali sekarang. Sepertinya menejermu telah sukses mencuci otakmu,"
Maya tertawa. Keduanya segera berjalan keluar. Pembicaraan mereka tidak akan pernah ada habisnya.
Maya sedang mengunci pintu dan tangan Masumi bersandar mesra dibahu Maya.
"Maya?" Sebuah panggilan dari suara yang tidak asing mengejutkan Maya dan Masumi. Keduanya menoleh bersamaan.
Seorang pria berdiri dengan membawa buket mawar merah. Ekspresinya kaku, tidak terbaca, jelas terkejut melihat pemandangan didepan matanya.
Mata Maya berkedip beberapa kali, meyakinkan kalau pria yang berdiri didepannya adalah obyek nyata dan Masumi tidak bergeming, dia justru mengeratkan pelukannya dibahu Maya.
"Ng, Satomi?" Maya bingung menyapanya, entah suaranya terdengar menyapa atau bertanya.
"Selamat siang Pak Masumi," Satomi mengabaikan kebingungan Maya dan terfokus pada pria yang berdiri disebelahnya. Yang dari caranya merangkul Maya membuat Satomi meradang.
"Shigeru, mengejutkan bertemu denganmu disini," jawab Masumi dengan nada dingin. Dia sebenarnya tidak terkejut dengan kehadiran Satomi tapi dia marah kenapa mantan pacar Maya itu datang dan melihat buket bunga yang dibawanya Masumi tahu tujuan Satomi datang. Ulang tahun Maya, Maya miliknya, batin Masumi mendesis tidak terima.
"Bukankah saya yang seharusnya mengatakan hal itu Pak. Sangat mengejutkan melihat anda disini bersama...Maya?" Satomi jelas tahu bagaimana hubungan antara Maya dan bos Daito, seluruh Jepang juga tahu itu.
"Apa ada yang mau kau sampaikan padaku Maya?" Satomi mengalihkan pandangannya pada Maya.
Masumi menyeringai. Maya menghela napas, menenangkan dirinya. Dia merasakan cengkraman tangan Masumi yang semakin kuat dibahunya. Masumi marah dan dia tahu itu. Diapun tahu sudah waktunya mengatakan pada Satomi.
"Baiklah, aku rasa tidak perlu ada perkenalan karena kita jelas sudah saling mengenal," Maya memecah suasana canggung itu.
"Maya, Pak Masumi adalah...?" Satomi jelas menghindari kata yang gagal diucapkannya itu.
"Aku calon suami Maya, Shigeru," Masumi tidak basa basi lagi.
"Calon suami? Haruskah seterus terang itu sayang?"
Maya menyerah, serangan termonuklir Masumi tentu tidak dapat dihentikan.
"Anda apa?" Satomi pucat.
"Aku calon suaminya," jawab Masumi, kali ini dengan nada lebih sopan.
Satomi memandang Masumi dan Maya bergantian dan terakhir menumbukkan pandangannya pada Maya. Menuntut gadis itu untuk menjawab dan mata Satomi melihat pada jari manis Maya. Cincin batu garnet Maya menjelaskan semuanya.
"Kalian sudah bertunangan?" Satomi memastikan.
Maya mengangguk, dia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Meski sebenarnya dia merasa aneh. Tak seharusnya dia merasa bersalah tapi dia hanya merasa tidak enak harus mengenalkan Masumi dengan cara seperti ini.
Satomi terdiam.
"Maya, sudah waktunya kita berangkat," kata Masumi dan Maya menatapnya bingung.
Satomi sadar akan keberadaannya.
"Maaf mengganggumu Maya, Pak Masumi. Saya permisi," Satomi dengan cepat berbalik dan meninggalkan keduanya.
"Calon suami heh? Anda menang Pak Masumi," cibir Maya, dia menatap Masumi setelah Satomi hilang dari pandangan keduanya.
"Kenapa?" Masumi menautkan alisnya atas pertanyaan Maya.
"Kau kan tidak harus menyerangnya seperti itu. Dia temanku Masumi, aku tidak mau kau menyakitinya," kata Maya.
"Aku hanya mengatakan padanya yang seharusnya. Dia masih menyukaimu Maya atau bahkan mencintaimu dan aku harus menegaskan padanya bahwa kau milikku." Masumi berkilah.
"Masumi, aku milikmu dan itu tidak akan berubah dan kami hanya berteman, tidak lebih,"
Sanggah Maya.
"Kau yang menganggapnya teman tapi tidak dengannya."
"Darimana kau tahu? Apa kau bisa membaca pikirannya?"
"Kau ini polos atau bodoh? Dia marah dan langsung pergi saat aku bilang aku calon suamimu. Apa seorang teman akan bersikap seperti itu? Dan kau lihat bunga yang dibawanya untuk hari ulang tahunmu? Mawar merah sayang dan kau pasti tahu apa artinya itu. Itu bukan bunga yang akan diberikan seorang teman," Masumi beragumen atas tindakannya.
Maya terdiam, dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan Masumi. Satomi kan memang sudah jujur padanya tentang perasaannya. Mungkin karena itu jugalah dia merasa tak enak.
"Jangan katakan kalau kau juga masih memiliki perasaan padanya," mata Masumi menyipit.
"Tentu saja tidak! Apa kau meragukanku?" Pekik Maya.
"Oke, oke, maaf. Sebaiknya kita hentikan topik pembicaraan ini. Aku tidak mau bertengkar denganmu,"
"Kau yang mulai,"
"Baiklah, maafkan aku. Bisa kita berangkat sekarang?"
Menghela napas, Maya hanya mengangguk. Saat Maya dan Masumi meninggalkan apartemen sepasang mata mengawasi dari kejauhan.

***
Maya melamun didalam taksi.
"Aku akan menunggumu sayang, jaga dirimu ya. Aku mencintaimu,"
Kalimat terakhir Masumi padanya di pintu keberangkatan disertai kecupan hangat dikeningnya.
Maya mengusap keningnya dan mendesah panjang.
"Aku bahkan sudah merindukanmu," gumamnya lirih.
Taksi yang berhenti didepan apartemennya menghentikan lamunan Maya. Diapun turun dan berjalan masuk seraya memeriksa handphonenya. Ada pesan ucapan selamat ulang tahun dari Clara, Rose dan Kate juga Mizuki dan Hijiri. Maya tersenyum. Rei dan teman-temannya, Koji juga Kuronuma sudah mengirim pesan padanya pagi-pagi sekali. Dia senang ternyata banyak yang peduli padanya, terlebih lagi kekasihnya. Dan wajahnya langsung masam saat teringat pada Satomi.
Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya pada Satomi.
Maya berjalan malas saat keluar dari lift, langkah kakinya terhenti saat melihat Satomi bersandar pada pintu apartemennya.
"Satomi?" Maya kembali berjalan, menghampiri Satomi yang berwajah masam. "Kau kembali?"
"Aku belum pulang sejak tadi,"
"Oh,"
Maya menatap Satomi sejenak dan saat Satomi bergeser dari pintu Maya mengambil kunci dari sakunya.
Satomi duduk di ruang tamu.
"Minum?" Tanya Maya.
Satomi menggeleng. Maya mengerti dan kemudian duduk di sofa single didepan Satomi yang duduk disofa panjang.
"Ini untukmu, selamat ulang tahun Maya," kata Satomi datar sambil memberikan buket mawar merah dan sebuah tas kecil yang entah berisi apa.
"Terima kasih, kau tidak perlu repot-repot," Maya menerimanya dengan sungkan.
Ekspresi wajah Satomi masih kaku. Maya meletakkan buket bunga dan kadonya di sofa kosong disebelahnya.
"Jadi...kekasih yang kau sembunyikan identitasnya itu adalah Pak Masumi?" Satomi tidak basa-basi lagi.
"Ya," jawab Maya singkat.
Satomi menatap Maya tajam, "Kenapa?"
"Kenapa?" Maya terheran.
"Kau tahu aku membenci Pak Masumi?"
Maya mengerti maksud Satomi. Atas perintah Masumilah Daito mengirim Satomi kembali ke Amerika dan menjauhkannya dari dirinya. Tapi Maya punya sudut pandang lain mengenai hal itu.
"Kenapa kau membencinya?"
"Kau tahu kenapa,"
Maya menggeleng.
"Dia yang membuat kita terpisah Maya." Katanya menanggapi gelengan kepala Maya.
"Tidak menurutku Satomi. Sepenuhnya itu adalah keputusanmu,"
"Apa maksudmu?" Mata Satomi menyipit.
"Kau yang menyerah padaku kan?"
"Daito yang...," seketika Satomi terdiam. Menggali hatinya sendiri.
"Kau kan tidak harus menurutinya jika kau memang memilihku, tapi kau memilih karirmu kan?"
Wajah Satomi mengeras, terkejut dengan perkataan Maya yang menohoknya tajam.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyalahkanmu atau semacamnya. Aku hanya ingin meluruskan sesuatu, aku menghargai apapun pilihanmu. Kau masih begitu muda saat itu, masa depanmu juga satu hal yang harus kau perjuangkan. Aku juga sama sekali tidak berharap kau meninggalkan karirmu demi aku. Aku hanya tidak mau kau menyalahkan Daito, terlebih Pak Masumi, untuk sebuah keputusan yang sudah kau pilih. Kau kan bisa melihat hasilnya sekarang. Kau bersinar di Amerika, sukses dengan karirmu. Mau tak mau kau harus mengakui bahwa Daito yang membuka jalan untukmu," penuturan Maya menambah gurat tajam diwajah Satomi.
"Jadi semua salahku? Perpisahan kita?"
"Apa itu kesimpulan yang kau dapat? Aku berpikir kau bisa mengambil kesimpulan yang lebih baik Satomi,"
"Kau membelanya karena sekarang dia kekasihmu kan? Apa kau tidak berpikir bagaimana perasaanku saat itu?" Nada suara Satomi lebih tinggi.
"Aku tahu,"
"Dan kau menyalahkanku?"
"Aku tidak menyalahkanmu, aku hanya mencoba melihat semuanya dengan cara yang lebih bijak,"
"Bijak?!" Teriak Satomi tiba-tiba, matanya menyala marah.
Maya terkejut.
"Kau melukaiku Maya," katanya kemudian.
"Apa yang aku lakukan sampai aku melukaimu?" Maya mencoba kembali membuka persepsi baru Satomi, tampaknya pikiran pria itu sedang buntu.
"Kau dan Pak Masumi. Kau kan tahu aku masih mencintaimu," kilahnya.
"Kau konyol Satomi, tidakkah kau bisa berpikir lebih jernih?" Maya mulai kesal. Dia tahu Satomi masih mencintainya tapi dia juga tidak mau disalahkan terlebih menyalahkan Masumi.
"Kau minta aku berpikir jernih setelah melihat orang yang menjauhkanku dengan gadis yang ku cintai justru menjadi kekasihnya?"
"Kejadian itu sudah berlalu enam tahun yang lalu. Kau yang memilih untuk pergi dan sekali lagi aku tidak menyalahkanmu. Kau pikir bagaimana perasaanku saat itu? Dan sekarang kau kembali menyatakan cintamu padaku saat aku sudah memilih pada siapa aku ingin memberikan hatiku?"
"Kau memilih orang yang salah!"
"Kau tidak berhak menilai pilihanku!"
Keduanya saling menatap tajam.
"Lupakan masa lalu, Satomi," kata Maya kemudian, nada suaranya melembut.
Satomi masih terlihat marah, kedua sikunya bersandar pada lutut dan dua tangannya mengepal kuat.
"Bukankah kita sudah menyelesaikannya waktu itu? Antara kita berdua? Kau temanku, tidakkah kita lebih baik seperti ini sekarang?" Maya memiringkan wajahnya dan menyangganya dengan tangan yang bersandar disofa.
"Andai kekasihmu bukan Pak Masumi," katanya.
"Apa masalahnya? Dia orang yang baik,"
Satomi menyeringai, Maya belum pernah melihat wajah marah Satomi sebelumnya.
"Baik? Kau lupa apa yang telah dilakukannya padamu?"
Maya terkesiap, dia tahu kemana arah pembicaraan itu.
"Itu...bukan sepenuhnya salahnya,"
Satomi tiba-tiba tertawa. "Harusnya aku tahu," katanya dengan nada kasar.
"Apa maksudmu?"
"Kau bahkan melupakan kematian ibumu begitu saja dan aku berlebihan memintamu mengerti perasaanku. Kau pasti akan tetap membelanya kan?"
Maya marah. "Jaga bicaramu Satomi!"
Satomi berdiri dan memutari meja. Sekarang dia berdiri didepan Maya.
"Kau marah?" Tanya Satomi kasar.
Maya menatap marah pada pria yang berdiri didepannya. Tapi dia diam.
Satomi mencondongkan tubuhnya, menyangganya dengan kedua lengan yang bersandar pada kedua lengan sofa. Secara otomatis dia mengurung Maya.
Maya terkejut.
"Kau takut?" Tatapan mata Satomi berubah.
"Apa maumu?" Maya tidak dapat menyembunyikan suaranya yang bergetar karena terkejut.
"Bagaimana kalau aku bilang aku akan mengambil kembali apa yang pernah menjadi milikku?" Seringai tajam diwajah Satomi memperjelas niatnya.
"Apa maksudmu? Sejak kapan aku jadi milikmu?" Maya berang tapi tidak bergerak dari kursinya.
"Aku mau kekasihmu itu merasakan apa yang aku rasakan, sakitnya melihat orang yang dicintai menjadi milik orang lain,"
Maya melotot dan reflek mendorong tubuh Satomi menjauh saat Satomi semakin membungkuk mendekatinya.
"Hentikan Satomi!" Teriak Maya.
Terlambat, Satomi meraih kedua pergelangan tangan Maya, mencengkramnya kuat dan lututnya bersandar disofa, menekan tubuh Maya dibawahnya.
"Satomi!" Maya berteriak saat Satomi berusaha mencium bibirnya. Maya dengan cepat memalingkan wajahnya.
"Kau akan menjadi milikku Maya," katanya sambil berusaha meraih Maya.
"Tidak!!" Teriak Maya yang mencoba meronta tapi gagal karena tenaganya tidak cukup kuat.
Maya panik, pikirannya langsung membayangkan hal terburuk, membuat air matanya berdesakan keluar.
Satomi menciumi leher Maya dan Maya berteriak makin keras, berharap ada yang mendengar dan menolongnya. Tapi apartemen mewahnya kedap suara. Maya semakin panik.
"Kau milikku!" Desis Satomi marah, entah kenapa pria yang biasanya santun itu bisa hilang akal.
"Hentikan! Kumohon!" Maya menangis.
Satomi masih hilang akal dan terus memaksakan kehendaknya.
"Tidak! Tolong! Masumi!" Teriaknya tanpa sadar.
Buuggg!!
Satomi tersungkur dilantai. Maya terhenyak di sofa. Seketika sebuah jas langsung menutupi tubuhnya.
"Kau sudah bosan hidup huh?!"
Suara makian yang tidak asing ditelinga Maya. Dia mengedipkan matanya, menyingkirkan sisa air mata yang menggenang. Christ berdiri disebelah sofanya dengan wajah penuh amarah. Ryan dengan siaga berdiri disebelahnya. Entah siapa dari kedua orang itu yang membuat Satomi tersungkur dan siapapun itu Maya bersyukur.
Satomi menyeka darah yang keluar di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.
Satomi menyeringai saat Christ mencekal leher bajunya.
"Saingan yang lain lagi?" Desis Satomi, akalnya masih belum bekerja lurus.
"Beraninya kau menyentuhnya!" Teriak Christ dan Satomi kembali tersungkur dilantai.
Maya gemetar melihatnya. Panik.
"Hentikan! Hentikan!" Teriak Maya saat Christ kembali meraih Satomi dan hendak meninjunya untuk yang ketiga kalinya.
Christ menoleh pada Maya yang menangis dan terlihat shock, melepaskan cengkramannya dan menghampiri Maya.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Christ lembut, berlutut didepan Maya dan memegang kedua bahunya.
"Hentikan," Maya memohon.
"Dia berusaha menyakitimu," kata Christ masih dengan nada lembut.
"Aku...tidak mau...ada yang terluka," Maya terisak.
Christ melirik pada Ryan yang siaga disebelahnya. Ryan mengerti perintah tanpa kata itu dan dengan cepat menarik Satomi untuk bangkit dan membawanya keluar.
"Jangan sakiti dia!" Teriak Maya sebelum Ryan keluar dari ruang tamu.
"Pastikan dia pergi dari sini!" Kata Christ.
Satomi hanya diam, entah apa yang dipikirkannya sekarang. Ryan masih mencengkram lengan Satomi dan menggiringnya keluar.
Christ masih memegang kedua bahu Maya dan Maya masih terisak dibalik kedua tangannya.
"Mau kuambilkan sesuatu? Minum?" Nada cemas Christ terdengar jelas.
Tidak menunggu jawaban Maya, Christ pergi kedapur mengambil segelas air dan dengan cepat kembali berlutut didepan Maya. Menarik kedua tangan Maya dari wajahnya. Jas milik Christ langsung merosot kepangkuan Maya saat kedua tangannya turun, dengan cepat Christ merapikan kemeja Maya sebelum memberikan air padanya. Maya hanya diam dengan perlakuan Christ.
"Lebih baik?"
Maya meneguk habis isi gelas. Mengangguk pelan menjawab pertanyaan Christ.
"Apa kau terluka?"
Maya menggeleng, masih terlalu shock untuk bicara. Tidak tahan melihat gadisnya terluka, Christ berdiri, berkacak pinggang dengan marah lalu mengacak-acak rambutnya sendiri. Bingung, bagaimana mengeluarkan kemarahannya. Dua pukulan diwajah Satomi sama sekali tidak memuaskannya.
"Sial!" Makinya,
"Aku sudah menduga anak sialan itu bisa hilang akal!" Makinya lagi.
Maya menatap Christ, air matanya kembali mendesak keluar.
Ryan kembali masuk dan Maya hanya menatapnya dalam diam.
"Dia sudah pergi Nona Maya," Ryan menenangkan.
Maya mengangguk dan air matanya kembali menetes. Membuat Christ makin stres.
"Oh, kumohon. Berhentilah menangis Maya," Christ kembali berlutut didepan Maya.
"Kau yakin tidak apa-apa? Dia tidak menyakitimu? Memukul atau semacamnya?"
Maya menggeleng.
Christ mengusap kedua lengan Maya dengan lembut, menenangkannya. Dia ingin memeluk Maya tapi tidak mau Maya semakin ketakutan.
Christ berdiri dan mengambil handphone dari sakunya.
"Ma, aku perlu bantuan...tidak...Angel maksudku Maya...aku tidak bisa menjelaskannya....mama ada waktu? Tolong...aku tidak tega...," Christ melirik pada Maya yang masih terisak. "Oke...aku tunggu...iya diapartemen...terima kasih Ma,"
Maya masih begitu shock. Ini kedua kali kehormatannya terancam dan kali ini dia sangat sedih karena Satomi yang melakukannya.
Kurang dari tiga puluh menit Clara tiba diapartemen Maya. Membuat Christ begitu lega, sejak tadi dia menemani Maya dengan cemas diruang tamu. Maya hanya meringkuk disofa dan terdiam dengan kepala bersandar dilengan sofa.
"Oh Tuhan, apa yang terjadi?" Clara terkejut melihat Maya yang tampak kacau duduk di sofa.
Maya memiringkan kepalanya dan saat Clara mendekat dia langsung memeluknya, dia sangat membutuhkan teman sekarang.
"Kau baik-baik saja Maya?" Tanya Clara.
Maya terisak lagi dalam pelukan Clara dan untuk beberapa saat Clara membiarkannya.
Christ miris melihat Maya seperti itu, hatinya benar-benar tidak terima.
"Ma, bisa bawa dia kekamar dan minta dia beristirahat? Aku tidak yakin bisa melihatnya lebih lama lagi seperti itu," pinta Christ.
Clara mengangguk, "Kau sudah hubungi Rose?"
Christ menyeringai, "Aku tidak mau dia melihatku kacau seperti ini. Aku sedang tidak ingin mendengar mulut cerewetnya,"
"Baiklah. Maya, ayo kita ke kamar."
Maya menurut dan dalam pelukan Clara Maya berjalan kekamar.
"Terima kasih Nyonya," ucap Maya saat dia sudah lebih tenang dan duduk bersandar pada kepala tempat tidurnya. Clara duduk ditepi tempat tidur.
"Tidak perlu sungkan sayang. Kau mau kubuatkan sesuatu? Teh mungkin?"
Maya menggeleng, "Tidak, terima kasih,"
"Apa yang terjadi?" Clara mengusap lembut tangan Maya tapi Maya hanya tertegun.
"Tidak apa-apa kalau kau belum bisa menceritakannya. Tenangkan dulu dirimu,"
Pintu kamar diketuk dan Christ muncul membawa secangkir teh. Clara tersenyum geli melihatnya. Christian dan secangkir teh? Pemandangan yang langka.
"Kau membuat teh?" Clara tersenyum geli.
"Jangan menggodaku Ma. Mungkin Maya membutuhkan ini tapi dia pasti tidak akan memintanya." Christ berkilah.
Maya memandang Christ penuh tanya. Perlakuan Satomi padanya cukup membuatnya shock dan sekarang perlakuan Christ padanya? Maya tidak yakin sanggup menahan serangan cinta lain, dia tidak mau menghadapi kegilaan pria lagi sekarang.
"Kenapa?" Tanya Clara pada Maya seraya memberikan cangkir teh yang dibuat Christ.
Maya menerima cangkir teh tapi masih menatap heran pada Christ.
"Minum dulu baru bicara, otakmu masih kacau Maya,"
"Christ, gunakan kalimat yang lebih baik," tegur Clara.
Maya diam dan meneguk teh, Christ benar, otaknya kacau. Kebaikan dan perhatian Christ juga membuatnya tambah kacau.
"Mengapa anda begitu peduli pada saya Tuan Anderson?" Tanya Maya terus terang.
Pertanyaan ini pernah dilontarkan Maya tapi Christ belum menjawabnya. Kali inipun Christ hanya diam. Berdiri disebelah Clara seraya menyilangkan tangannya didada.
Clara menatap Christ lalu beralih pada Maya.
Ketiganya terdiam. Christ menghela napas panjang lalu matanya tertumbuk pada foto di atas nakas.
"Ini kekasihmu Maya?" Tanya Christ seraya mengambil foto itu dari tempatnya.
Maya mengangguk. "Anda belum menjawab pertanyaan saya,"
Christ tertegun, mengabaikan pertanyaan Maya, "Sepertinya aku pernah melihat wajah ini," gumamnya.
Clara berdiri dan melihat foto ditangan Christ, dia tidak memperhatikan foto itu tadi.
"Eh?! Ini kan...?"
Christ menatap mamanya yang tampak terkejut. "Mama mengenalnya?"
Maya menatap Clara penasaran.
"Ini kekasihmu? Masumi Hayami dari Daito?" Ulang Clara seperti tak percaya.
Maya mengangguk, dari nada bicara Clara sepertinya itu adalah hal yang memalukan.
"Anda mengenalnya?" Tanya Maya pelan.
"Aku pernah bertemu dengannya dua kali saat menonton beberapa pementasan drama ketika Festival Drama dua tahun lalu,"
"Tunggu!" Christ menginterupsi, "Dari data yang ku dapat, kau dan orang ini kan bermusuhan Maya? Dan dia yang membuat ibumu...oh maaf...,"
Maya menggeleng lemah. "Oh, kenapa semua orang tahu tentang kisah hidupku?"
Otak Christ berhasil menemukan kesimpulan, "Jangan-jangan bocah sialan itu hilang akal karena tahu hal ini?" Tebaknya.
Maya terkejut Christ tahu tapi kemudian mengangguk. Clara bingung dan kembali duduk ditepi tempat tidur Maya.
"Satomi marah karena tahu hubungan saya dan Masumi. Dia tidak terima karena dia merasa Masumi lah yang memisahkan kami. Saya tidak sependapat dengannya. Bukankah itu pilihannya sendiri untuk menuruti manajemen dan kembali ke Amerika. Dan itu sudah enam tahun yang lalu, saya bahkan sudah tidak memiliki perasaan seperti itu padanya. Saya tidak menyangka Satomi melakukan hal seperti itu pada saya. Dia berniat menyakiti Masumi dengan...berusaha memiliki saya,"
Clara menatap sedih gadis dihadapannya. Emosi Christ kembali bergolak mendengarnya, "Aku bisa menghajarnya habis-habisan tadi andai kau tidak menghentikanku,"
"Tidak, bukan itu yang saya inginkan. Bagaimanapun Satomi adalah teman saya, dia hanya...entahlah! Saya harap dia menyadari kesalahannya, saya tidak mau menyakiti siapapun,"
"Kau terlalu baik Maya," dengus Christ kesal.
Meletakkan foto kembali ditempatnya, Christ berkacak pinggang. Keningnya berkerut, tampak berpikir keras. Banyak puzzle bertebaran tentang Maya diotaknya.
"Kau tahu Maya, aku sudah menyelidiki semua tentangmu tapi aku tidak mendapat info apapun tentang hal ini. Termasuk tentang kenapa kau meninggalkan Jepang. Meninggalkan Bidadari Merah yang katanya karya besar itu dan memilih datang ke New York lalu meminta mamaku menjadikanmu aktris nomor satu. Aku tidak mengerti, sama sekali," Christ menggeleng kesal karena tidak berhasil menyusun puzzlenya.
"Kenapa anda menyelidiki semua tentang saya? Kenapa anda begitu peduli pada saya Tuan Anderson? Anda belum menjawab pertanyaan saya,"
"Kenapa kau ingin tahu? Apa tidak boleh aku peduli padamu?"
"Tentu saja saya harus tahu, saya...saya...tidak mau kejadian seperti Satomi...,"
"Aku tidak akan melakukan hal bodoh padamu!!" Bentak Christ.
Maya berkerut dan langsung cemberut,
"Semua orang menggosipkan anda dan saya! Anda pasti tahu itu! Saya tidak mau orang menyangka saya dan anda....saya...saya sangat mencintai Masumi dan saya tidak akan sanggup lagi menghadapi pria yang mencintai saya dengan cara aneh! Seperti Satomi atau...anda!" Kata maya dengan penuh emosi.
Christ dan Clara terhenyak, saling berpandangan lalu kemudian terbahak dan Maya kebingungan.
"Jadi kau pikir aku jatuh cinta padamu Maya?" Tanya Christ yang masih terbahak, menggeleng geli sambil memegangi perutnya. Clara juga masih tertawa tapi dengan cara yang lebih sopan.
"Apa saya salah?" Maya mengernyit bingung.
Clara menatap Christ saat keduanya berhenti tertawa,
"Ku rasa sekarang kau harus memberitahunya Christ, jelas gadis kita ini salah paham tentangmu,"
"Salah paham? Jadi...,"
"Aku dua belas tahun lebih tua darimu Maya, kau pikir aku bisa jatuh cinta pada gadis kecil sepertimu? Aku bukan pedofil Maya," Christ terbahak lagi.
Maya melotot dan langsung cemberut.

***
Maya tiba dirumah keluarga Anderson. Rumah besar bergaya mediterania itu tampak begitu megah dimata Maya.
"Kau yakin baik-baik saja?" Tanya Clara.
"Iya Nyonya, saya baik-baik saja."
Clara tersenyum lega dan melirik ke arah Christ yang terus tersenyum geli sepanjang perjalanan.
"Ayo,"
Ryan membuka pintu dan Clara mengajak Maya turun.
Maya masih bingung kenapa dia diajak kerumah keluarga Anderson tapi karena Christ dan Clara berjanji akan menjelaskan semuanya, maka Maya menurut saja. Lagipula jika dirinya tetap diapartemen sendiri maka dia pasti akan terus sedih karena teringat kejadian mengerikannya bersama Satomi.
"Nah gadis kecil, kurasa sudah saatnya aku meluruskan sesuatu yang salah dikepalamu," Christ masih menyeringai geli.
"Gadis kecil?!" Maya mendengus kesal mendengarnya. Susah payah dia terbebas dari panggilan Chibi-chan Masumi dan sekarang Christ justru mengolok-oloknya sebagai gadis kecil.
Merekapun memasuki rumah besar itu. Melintasi ruang tamu, menaiki tangga dan menyusuri koridor yang cukup panjang. Clara berhenti didepan sebuah kamar dan membukanya, mempersilakan Maya masuk. Christ mengikutinya.
Kamar itu luas, tertata rapi, penuh nuansa pink. Pasti ini kamar seorang gadis, pikir Maya. Dan mata Maya langsung tertuju pada foto besar diatas sebuah ranjang indah. Foto seorang gadis berambut coklat terang sebahu, dengan senyum riang. Maya menautkan alisnya melihat foto itu. Sepertinya tidak asing meski baru pertama melihatnya.
Christ dan Clara saling berpandangan, keduanya jelas tahu apa yang dipikirkan Maya.
"Merasa tidak asing Maya?" Tanya Clara.
Maya mengangguk. Christ berjalan ke sebelah ranjang dan memandang foto itu lekat-lekat,
"Aku juga tidak menyadarinya saat pertama kali bertemu denganmu. Mirip kan?"
Maya terhenyak, dia menyadarinya, sekilas memang tidak terlihat tapi jika diamati baik-baik gadis dalam foto itu mirip dirinya.
"Gadis itu...,"
Christ berbalik, "Angelina, adikku,"

***
Maya ternganga, Christ dan Clara tersenyum padanya. Terkejut? Lega? Bingung? Maya sendiri tidak tahu apa yang dirasakannya sekarang. Dia terkejut karena adik Christ mirip dengannya, dia juga lega karena ketakutannya selama ini tentang perasaan Christ padanya ternyata salah besar -sekaligus sangat malu-  dan dia bingung dengan sikap Clara dan Christ padanya.
"Itu adik anda? Jadi saya...anda...? Hmmm...,"
Christ terbahak lagi, "Aku tahu orang menggosipkan kita, tapi aku sama sekali tidak berpikir kau menanggapinya dengan serius. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kau memiliki persepsi seperti itu, hhmmm, mengingat kekasihmu adalah Masumi Hayami yang usianya bahkan sebelas tahun lebih tua darimu, aku jadi mengerti bagaimana kau bisa berpikir begitu,"
Maya merona malu.
"Anda kan tidak harus mengejek saya dan Masumi. Anda sendiri tidak pernah bilang bagaimana anda menganggap saya. Jadi bukan salah saya kalau sampai saya salah sangka pada anda!" Sergah maya kesal.
"Hei, sudah, sudah. Kenapa kalian selalu bertengkar." Lerai Clara dan Maya terdiam karena malu. "Kemari Maya, duduklah,"
Maya duduk disebuah kursi malas panjang beralaskan beludru halus berwarna pink cerah.
Christ membawa sebuah album foto dan memberikannya pada Maya. Membuka setiap halamannya dan Clara mulai bercerita.
"Angelina gadis periang sepertimu Maya. Selalu tertawa dan bersemangat. Dia juga suka akting dan drama. Dia masuk sekolah akting saat usianya enam tahun. Dia berbakat, selalu mempesona saat berada di atas panggung. Pertama kali aku melihatmu berperan sebagai Jane, aku langsung terpesona olehmu, selain karena wajah kalian berdua hampir mirip juga karena kalian sama-sama bersemangat dalam berperan. Sejak awal aku sudah tertarik padamu tapi kau menolak tawaranku waktu itu. Tapi aku senang sekali saat kau tiba-tiba datang dan mengatakan ingin bergabung dengan Scarlet,"
"Jadi Angel adalah putri bungsu anda? Lalu dimana dia sekarang?" Tanya Maya seraya menunjuk pada foto Clara bersama Angel.
Clara tersenyum lalu menggeleng sejenak dia melihat Christ yang hanya diam duduk disofa mengamati setiap reaksi Maya. Dia tahu Christ tidak akan menyukai bagian ceritanya yang ini.
Clara membuka beberapa halaman album dan berhenti pada sebuah foto keluarga. Sepasang suami istri bersama dua orang anak laki-laki dan perempuan.
"Ini Sarah, kakak Michael, kakak iparku. Dia sepuluh tahun lebih tua dariku. Menikah muda saat usianya dua puluh dua. Christ lahir saat usianya dua puluh tiga,"
"Heh?!" Maya menatap Christ dan yang ditatapnya balas memandangnya tenang, tak bergeming. Menyilangkan tangannya santai didadanya.
"Ya Maya, Christ bukan putra kandungku. Aku menjadi menantu keluarga Anderson saat usiaku dua puluh lima. Waktu itu Christ berusia dua belas dan Angel berusia lima tahun. Aku langsung terpesona oleh kedua anak itu. Dengan mudah keduanya akrab denganku. Dan setahun setelah itu...," Clara melihat Christ. Wajahnya berubah sendu.
"Kedua orang tua Christ meninggal dalam kecelakaan dan mereka meninggalkan hak perwalian Christ dan Angel pada Michael dan aku. Sejak saat itulah aku menjadi orang tua mereka. Karena suatu hal aku tidak bisa memiliki keturunan Maya,"
Clara berhenti sejenak, Maya merasa cerita itu menjadi beban baginya, ekspresi Christ juga sama beratnya dengan Clara. Sama sekali tidak menginterupsi, Maya hanya ingin mendengarkan kisah lengkap dari kehidupan 'Dark Lord'.
"Aku dan Michael membesarkan Christ dan Angel bersama. Senang rasanya kami memiliki keluarga yang lengkap. Mendengar mereka memanggilku mama rasanya seluruh kehidupanku menjadi sempurna. Christ selalu kalah jika berhadapan dengan Angel yang periang dan keras kepala. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana riangnya dan keras kepalanya Angel. Dia selalu memaksa Christ melakukan segala sesuatu yang diinginkannya. Seperti mengatarnya ke studio drama, memaksanya menungguinya hingga latihan selesai, lalu memaksa Christ memuji aktingnya. Membuat Christ kesal dan akhirnya bertengkar adalah hobi Angel. Tidak ada kata tidak baginya. Kami selalu hadir dipemantasan dramanya," mata Clara sejenak menerawang dan imajinasi Maya menangkap kenangan itu, membayangkan betapa bahagianya mereka dulu.
“Lalu apa yang terjadi dengan Angel?” Batin Maya bertanya-tanya.
"Usia Angel empat belas saat itu. Dan kami tidak menyangka hal itu akan terjadi. Angel divonis dokter menderita kanker darah stadium empat. Kami semua terpukul. Terlebih lagi Christ,"
"Oh?!" Maya terkejut, tiba-tiba sebuah kesedihan menjalari hatinya saat melihat wajah sendu Clara dan Christ.
"Angel sudah...?" Tenggokan Maya tercekat.
"Dia meninggal saat usia lima belas dan kau tahu bagaimana dia meninggal Maya?" Clara memiringkan kepalanya dan tersenyum lembut pada Maya.
Maya hanya balas menatap tanpa kata.
"Angel meninggal setelah pementasan Little Women, peran terakhirnya menjadi Beth,"
Maya terkesiap. Beth adalah peran pertamanya sebagai murid dari Mayuko.
Maya menatap Christ, dia mengerti sekarang, dia mengerti bagaimana cara Christ memandang dirinya, alasan dibalik semua kepedulian dan perhatiannya juga kemarahan yang ditunjukannya tadi. Christ melihat Angelina Anderson dalam dirinya. Angel dalam diri Maya.

***
"Sekarang kau mengerti kan, kenapa aku dan putraku yang pemarah itu begitu peduli padamu?" Kata Clara mengakhiri ceritanya.
Maya sempat terkejut karena ternyata Clara mendirikan Scarlet untuk mengenang Angel. Sejak kecil dia memang suka drama, yang menurutnya adalah sifat turunan ibunya. Hal itu jugalah yang membuatnya begitu cocok dengan Angel. Tapi dulu Clara tak pernah berniat membuka sebuah teater. Baru setelah kematian Angel dia mendirikan teater Scarlet dan memproduksi banyak drama melalui PH nya untuk mengenang keberadaan Angel. Namun sayangnya, sejak kematian Angel, Christ tidak mau lagi menonton drama. Kematian Angel telah merubah dirinya. Tidak ada lagi alasan baginya untuk bersikap lembut. Tidak ada lagi tempatnya untuk mencurahkan kasih sayang karena adik semata wayangnya telah pergi.
Dan kenyataan itu menohok maya sangat dalam. Hari itu banyak hal telah terjadi, membuat kepala Maya terasa penuh dan hatinya...lelah. Hal paling romantis terjadi padanya sepanjang pagi bersama Masumi, pertemuan Masumi dan Satomi yang tidak menyenangkan, lalu perpisahannya dengan Masumi, belum lagi perbuatan gila Satomi padanya dan sekarang...kenyataan bahwa Christ menganggapnya sebagai adiknya. Maya tidak yakin dirinya bisa menerima hal mengejutkan lain lagi. Dadanya sudah begitu sesak sekarang.
Maya menatap Clara, "Jadi anda juga?"
"Aku menganggapmu putriku?"
Maya mengangguk ragu.
"Sejak awal aku ingin sekali menganggapmu begitu Maya, tapi aku tahu aku tidak berhak untuk itu. Aku tahu kau bukan Angel. Kau Maya dan aku berusaha tetap menganggapmu sebagai seorang Maya,"
Maya menghela napas pelan, lega. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Christ.
"Ngg, Tuan Anderson maafkan saya karena telah salah sangka pada anda,"
Christ hanya tersenyum tipis, sepertinya mendengarkan cerita Maya cukup berdampak buruk padanya.
"Tapi saya lega kalau dugaan saya salah. Karena akan sangat merepotkan bagi saya kalau itu memang benar," Maya tersenyum geli, berusaha menetralisir rasa malunya.
Christ menghela napas, mencari ketenangan diri.
"Sudah ku bilang kau berharga bagiku Maya, tapi bukan seperti yang kau bayangkan," celetuk Christ.
Maya tertunduk dan terdiam.
"Christ, kurasa cukup untuk hari ini. Maya masih harus menenangkan dirinya. Jangan membuatnya semakin tertekan,"
"Ya, mama benar. Sebaiknya kau istirahat."
Dering telepon memotong pembicaraan mereka. Melihat layar, Christ tersenyum sesaat lalu segera menjawabnya.
"Salut, comment ca va? (Hai, apa kabar?)....ca va bien (baik)...," Christ melihat Maya yang memperhatikannya dengan heran diapun tersenyum lalu melanjutkan 'obrolan prancisnya' dengan santai. Matanya yang tidak lepas dari Maya membuat gadis itu jengah dan tertunduk salah tingkah.
"Je t'aime, au revoir (aku cinta kamu, sampai jumpa)"
"Amanda?" Tanya Clara saat Christ mengakhiri teleponnya. Christ mengangguk.
"Amanda adalah tunanganku Maya, dia tinggal di Paris sekarang. Usianya dua puluh tujuh, lima tahun lebih muda dariku,"
Clara tertawa, Maya merona.
"Sudah Christ, kau kan tidak harus mengatakan hal seperti itu pada Maya," kata Clara.
Christ tertawa dan Maya hanya cemberut menanggapi sindiran Christ.
"Maya, apa kau mau menginap malam ini?" Matanya menatap Maya penuh harap.
"Ngg, sebaiknya saya kembali saja Nyonya, saya tidak mau merepotkan," jawab Maya.
"Kau yakin mau kembali? Kau tidak takut mantan pacarmu akan datang lagi?" Christ tidak suka dengan ide Maya.
"Eh?! Itu...," Maya bergidik ngeri membayangkannya.
"Menginaplah," dan itu terdengar seperti perintah bukan permintaan.
"Jangan sungkan, kau bisa pakai kamar ini kalau mau," tambah Clara.
"Jangan Nyonya."
Clara tersenyum, "Baiklah aku akan minta pelayan siapkan kamar untukmu,"
Clarapun beranjak dan meninggalkan kamar.
Maya kembali memandang foto besar Angelina. Warna rambut Angel coklat terang dan matanya abu-abu sama seperti milik Christ. Maya berambut hitam dan bermata coklat. Hanya dua hal itu yang membedakan dirinya dengan Angel. Jika diamati dengan teliti wajahnya dan Angel memang banyak kemiripan.
"Aku mau menunjukkan sesuatu padamu," Christ berdiri dan berjalan ke arah home theatre. Dia mengambil sebuah kaset dan memasukkannya ke DVD player.
"Kau mau menemaniku menonton?" Christ menoleh pada Maya.
"Ngg, ya,"
Christ tersenyum dan memutar playernya lalu menghampiri Maya dan duduk disebelahnya.
"Little Women?!" Pekik Maya saat membaca
Judul yang muncul di layar. Diapun menatap Christ.
"Ini rekaman terakhir pentas Angel," jawabnya datar, matanya terpaku pada layar.
Dan tak lama Maya juga langsung terhanyut dalam alur cerita. Angel memerankan Beth diusia lima belas tahun, adegan klimaks dimana Beth kritis diperankannya dengan sangat baik tapi siapa yang menduga kalau saat itu dia memang benar-benar sekarat. Maya menangis saat drama selesai.
"Jangan menangis Maya. Angel bahkan tersenyum saat turun dari panggung," Christ menatap Maya lembut.
"Bagaimana kejadiannya?"
"Angel muntah darah sesaat setelah turun dari panggung. Masih dengan senyum bahagia mengenakan kostum Beth, Angel menhembuskan napas terakhirnya. Sebenarnya kondisinya sudah drop tapi dia berkeras untuk tetap ikut pentas itu. Dia bilang untuk yang terakhir kali dan dia memang benar, itu terakhir kalinya dia naik panggung. Sejak saat itu tidak sekalipun aku mau melihat pertunjukan drama. Sampai saat aku melihat rekaman pentas Little Women-mu sebagai Beth. Kau demam empat puluh derajat saat memerankannya kan? Kau mengenakan kostum Beth...disitulah aku menyadari kemiripanmu dengan Angel,"
"Tapi saya bukan Angel," Maya mengerti kesedihan Christ tapi tetap saja dirinya buka Angel dan tidak mau dianggap sebagai Angel.
"Aku tahu,"
Christ tersenyum pada Maya.

***
Michael terkejut saat melihat Maya duduk dimeja makan ketika makan malam. Tapi ekspresi bahagia jelas terlihat dari wajahnya. Ryan mengambil beberapa baju ganti Maya diapartemennya. Dan malam itu Maya mengenakan dress ungu muda, dia terlihat lebih segar setelah mandi dan beristirahat.
Michael terus memuji Maya atas peran Juliet yang baru saja dipentaskannya, Maya terus tersipu dengan pujian itu.
Setelah makan malam semuanya berkumpul di ruang keluarga, kehadiran Maya seakan membawa warna baru dalam keluarga Anderson.
"Apa kau akan sering menginap Maya?" Tanya Michael ramah.
"Maaf Tuan Anderson, saya tidak mau merepotkan," jawab Maya sungkan.
Maya terbiasa hidup sendiri. Kebersamaan yang pernah dia rasakan hanyalah bersama ibunya atau teman-temannya atau bersama Masumi dan kali ini dia merasa sangat canggung. Berada di tengah keluarga Anderson dan dianggap sebagai Angel. Meski mereka tetap memanggilnya Maya tapi dari cara mereka memperlakukannya, Maya tahu mereka melihat Angel dalam dirinya terlebih lagi Christ.
"Tidak ada yang direpotkan Maya, kau bahkan bisa tinggal disini kalau kau mau dan menurutku itu lebih aman." Kata Clara.
"Pindahkan saja barangnya kesini, tidak perlu memintanya. Maya tidak akan menurut kalau diminta secara halus, iya kan Maya?" Christ menyeringai lebar pada Maya.
"Anda kan tidak boleh mengatur hidup saya seperti itu?" Sergah Maya, rasa kesal membuatnya lupa kalau dia ada didepan Michael dan Clara.
"Aku suka mengaturmu dan mulut cerewetmu itu,"
"Saya tidak suka diatur dan saya perlu mulut cerewet ini jika bersama anda,"
"Ya, ya, menyenangkan bertengkar denganmu,"
"Saya tidak pernah mau bertengkar dengan anda. Andalah yang selalu memulainya,"
Maya cemberut dan semuanya tertawa.
"Ya, aku mengerti kenapa kau begitu senang bersamanya Christ. Maafkan putraku Maya, dia memang sedikit menjengkelkan," Michael terhibur dengan pertengkaran keduanya.
“Sedikit? Banyak!!”
"Maaf saya tidak sopan," kata Maya cepat.
Christ terkikik geli.
Maya tertunduk dan mengusap-usap cincinnya. Clara mengamati tingkah Maya.
"Hhmm, Maya, maaf, aku belum pernah melihatmu memakai cincin itu," Clara ternyata juga memperhatikan cincin yang dipakai Maya.
"Ah ini...cincin ini hanya saya pakai sesekali." Kata Maya, mengusap cincinnya dengan lembut.
"Kenapa kau tidak pernah memakainya? Apa itu cincin pertunangan?" Tanya Christ.
Maya mendesah pelan, “Masumi melamar saya sebelum saya berangkat ke Amerika dan hubungan kami...ngg, cukup rumit,"
"Oh, tapi dia kaya juga sampai membelikan garnet ungu untukmu,"
"Anda tahu nama permata ini?"
"Ya, aku tahu beberapa permata, mama paling tahu,"
Clara tersenyum saat Maya menatapnya.
"Garnet ungu adalah salah satu batu permata langka Maya, harganya bisa mencapai satu setengah juta dolar perkaratnya."
"Hah?! Satu setengah juta dolar?!" Pekik Maya. Dia tidak pernah tahu cincinnya semahal itu.
"Kau tidak tahu?" Tanya Clara.
Maya menggeleng.
"Boleh aku tanya sesuatu hal tentangmu Maya. Sebenarnya sudah lama aku memikirkannya," tanya Clara lagi.
"Tentu Nyonya,"
"Ini tentang alasanmu datang ke New York. Aku mendengar berita yang kurang baik tentang kepergianmu dari Jepang, ya terkait dengan hak pementasan yang kau miliki. Seperti yang Christ bilang kami tidak dapat menemukan informasi apapun tentang itu,"
Maya menghela napas, "Apakah aku harus menceritakannya?"
Maya merasa keluarga Anderson begitu terbuka menerimanya, tapi haruskah dia berterus terang tentang motif kedatangannya dan kisah hidup yang ditutupinya.

***
"Semua berawal dari Bidadari Merah," Maya memulai ceritanya.
"Bu Mayuko guru saya, memilih saya menjadi muridnya untuk dipersiapkan menjadi penggantinya. Awalnya saya tidak tahu hal itu. Bu Mayuko mengenalkan saya pada Bidadari Merah, mengenalkan saya pada dunia panggung. Setahap demi setahap perjalanan hidup saya dibawa menuju kesana. Saya mengalami banyak hal, pertemuan saya dengan Masumi, persahabatan saya dengan teman-teman Teater Tsukikage dan Teater Ikkakuju, kematian ibu saya, dibuang dari dunia artis, berjuang untuk mendapatkan kembali hak pementasan...," Maya menghela napas, dalam hati juga menyadari, betapa panjang dan rumit perjalanan hidupnya.
"Semua itu saya lakukan sendiri dan hanya satu orang yang benar-benar selalu mendukung saya selain teman-teman dan Bu Mayuko. Dialah pengagum saya sejak pertama kali saya naik panggung. Peran pertama saya menjadi Beth. Dia adalah Mawar Ungu,"
"Dia juga yang mengirim buket bunga untukmu saat pementasan Juliet?" Christ menyela. Dia tidak punya informasi apapun tentang mawar ungu kecuali bahwa dia adalah pengagum fanatik Maya yang menyembunyikan identitasnya.
"Ya, orang yang sama," jawab Maya.
"Dia yang selalu menyemangati saya. Dialah alasan saya berjuang keras meraih Bidadari Merah. Hanya demi dia saya berakting di panggung. Sampai akhirnya saya berhasil memenangkan hak pementasan itu."
"Kau tahu siapa Mawar ungu itu?" Tanya Clara.
"Awalnya saya tidak tahu tapi akhirnya saya tahu,"
Christ menatap Maya penuh arti begitupun Clara dan Michael, mereka cukup terkejut dengan keterbukaan Maya tentang kisah hidupnya.
"Mawar ungu adalah Masumi," kata Maya, entah kenapa dia begitu ingin menceritakan semuanya pada keluarga Anderson. Mungkin karena dia juga sudah merasa lelah menyembunyikan semuanya sendiri.
Christ dan Clara ternganga mendengarnya, Michael hanya diam dan menyimak. Dia tidak tahu kalau istri dan anaknya sudah banyak menyelidiki tentang latar belakang Maya sebelumnya.
"Tapi diakan...,"
"Ya, dia seperti musuh bagi saya, Tuan Anderson. Dia selalu mengganggu saya, menghancurkan teater kami, berusaha merebut hak pementasan dari Bu Mayuko dan bahkan...ya masalah ibu saya, saya tidak menyalahkannya sepenuhnya. Dia sama sekali tidak pernah berniat melakukan hal itu. Semua itu dilakukannya hanya karena dia menyandang nama Hayami. Dia dibesarkan dengan tujuan itu. Membangun Daito dan merebut Bidadari Merah. Tapi itu bukan dirinya yang sebenarnya. Masumi yang sebenarnya adalah Mawar Ungu. Mawar ungu yang baik, penuh kasih, dermawan, tapi juga kesepian dan tidak bahagia. Setelah saya tahu bahwa Masumi adalah mawar ungu hidup saya berubah seratus delapan puluh derajat,"
"Jadi karena itu kau mencintainya?"
"Iya Nyonya, awalnya saya mencintainya sebagai mawar ungu tapi akhirnya saya sadar bahwa saya mencintainya sebagai Masumi. Saya akhirnya mengerti bahwa perlakuan Masumi pada saya bukan tanpa alasan, semua semata-mata untuk mendorong saya terus maju, meski dengan cara yang aneh."
"Dan apa hubungannya dengan Bidadari Merah?" Christ masih tidak mengerti.
Maya menghela napas panjang.
"Masumi adalah Direktur Daito yang dibesarkan ayahnya untuk merebut hak pementasan Bidadari Merah dan sekarang saya adalah Bidadari yang memegang hak pementasan itu. Seluruh Jepang juga tahu ambisi Daito dan perseteruan Eisuke Hayami ayah angkat Masumi dengan guru saya."
"Jadi itu alasannya kau pergi Maya? Kau tidak ingin melawan kekasihmu sendiri?"
Maya mengangguk, "Daito pasti akan melakukan berbagai cara untuk memenangkan tender pementasan jika saya langsung mementaskannya kemarin. Dengan begitu hanya tinggal menunggu waktu bagi Eisuke untuk merebut hak itu dari saya. Saya tidak mau hal itu terjadi. Saya membutuhkan waktu mengatur semuanya, menjaga Bidadari Merah tetap aman. Karena itu saya pergi,"
"Apa rencanamu sebenarnya? Apa kekasihmu tahu pikiranmu yang rumit itu?"
"Tidak Tuan Anderson, Masumi hanya tahu sedikit tentang rencana saya tapi tidak secara keseluruhannya."
"Lalu apa rencanamu yang sebenarnya?"
"Awalnya saya berniat belajar bisnis disini sekaligus bekerja pada Scarlet. Saya pikir dengan saya tahu beberapa hal tentang bisnis saya bisa memiliki dasar untuk menghadapi Daito,"
"Tapi kau gagal masuk universitas?"
Maya menoleh pada Christ, "Anda juga tahu itu?"
Christ hanya menyeringai.
"Ya tidak heran penguntit ini tahu. Matanya ada dimana-mana,"
"Ya saya gagal. Tapi saya punya rencana lain, saya meminta kelas privat itu bukan tanpa alasan."
Clara terhenyak, "Kau belajar menejemen pertunjukan karena kau mau mementaskan Bidadari Merah sendiri Maya?"
Maya mengangguk, "Alternatif lain karena saya tidak bisa menghadapi Daito, saya tidak mungkin melawan Masumi,"
"Kenapa kau tidak minta bantuan kekasihmu saja?"
"Dia berada dalam posisi sulit Tuan Anderson. Eisuke selalu menekannya. Saya tidak mau menempatkannya dalam posisi yang lebih sulit lagi dan menghancurkan keluarga Hayami. Saya hanya tidak mau Eisuke mementaskan Bidadari Merah, saya tidak berniat menghancurkan Daito. Masumi pasti akan hilang akal kalau tahu semua rencananya saya. Saya tidak mau Masumi melawan ayahnya dan menghancurkan Daito dan sekali lagi itu bukan tujuan saya."
"Itu juga alasannya kenapa kau menutupi hubungan kalian?"
Maya menunduk sedih menatap cincinnya, "Iya Nyonya. Tidak ada yang boleh tahu hubungan kami sebelum masalah Bidadari Merah ini selesai. Juga karena dia baru saja membatalkan pernikahan dengan wanita lain,"
"Kau tahu Maya, kau telah 'Menyulut Kertas Sentuhan Biru' (ungkapan aslinya Lit the blue touch paper)" celetuk Christ.
Maya mengeryit tidak mengerti,
"Itu sebuah ungkapan Maya, artinya kau telah melakukan sesuatu hal yang berbahaya dan harus berhati-hati dengan konsekuensinya," Clara mengurai kerutan dikening Maya.
"Oh, begitu. Ya saya tahu. Tapi saya hanya tidak mau menghancurkan Masumi, menghancurkan Daito. Dia sudah mencurahkan seluruh hidupnya untuk Daito dan menghancurkannya berarti juga menghancurkan Masumi. Saya tidak mau namanya tercoreng karena saya. Saya akan mementaskan Bidadari Merah dengan tangan saya sendiri,"
"Lalu apa tujuanmu menjadi aktris nomor satu Maya?" Clara menyela.
"Selain karena saya memerlukan uang juga karena saya ingin mensejajarkan diri saya dengan Masumi,"
"Mensejajarkan?"
"Meski saya adalah pemegang hak pementasan Bidadari Merah tapi saya tahu semua orang masih menganggap saya sebelah mata. Seorang gadis biasa dari kalangan bawah yang menjadi aktris dan berharap menjadi pendamping seorang Direktur yang adalah pangeran Daito bukan suatu berita yang ingin saya baca di surat kabar. Saya ingin mereka melihat saya dengan layak. Bahwa seorang Maya layak untuk seorang Masumi. Terlebih lagi karena mantan tunangan Masumi adalah cucu dari Grup Takatsu, jelas saya tidak mau dibandingkan dengannya," jelas Maya.
Christ menggeleng kesal, "Kau yakin Eisuke Hayami akan membiarkanmu? Dia pasti akan memanfaat kan Masumi anaknya untuk merebut hak itu darimu. Tidakkah kau merasa perlu bantuan Maya? Kau tidak mungkin melakukan semua itu sendiri,"
Maya menilai arti ucapan christ, "Bantuan?"
"Saya pernah memikirkannya. Apalagi saat Anda menjelaskan pada saya bagaimana sebuah sistem kerja bisa berjalan dengan baik. Tapi saya tidak memiliki siapa-siapa yang bisa membantu saya dalam hal ini. Tidak mungkin saya melibatkan teman-teman saya dalam urusan rumit ini."
Christ dan Clara tersenyum bersamaan. Michael menghela napas dan untuk pertama kalinya dia bicara.
"Kau percaya pada kami Maya?"
Kalimat Michael memiliki banyak arti di otak Maya.

***
Satu bulan telah berlalu sejak Maya berterus terang pada keluarga Anderson. Maya tidak menyangka kalau mereka akan mengulurkan tangan membantu Maya. Kisah hidup Maya ternyata menyentuh mereka sangat dalam. Maya akhirnya membeberkan semua detail rencana yang ada di dalam otaknya dan keluarga Anderson berjanji akan membantunya. Dalam sekejap kedekatan antara mereka segera terjalin.
Satomi beberapa kali mencoba menemui Maya tapi Christ sudah memerintahkan pengawal khusus untuk menjaga Maya. Satomi bahkan tidak bisa mendekati apartemen Maya dan Maya tidak tahu akan hal itu. Berkali-kali Clara meminta Maya tinggal di rumah keluarga Anderson tapi Maya menolak. Dia tidak mau memberi harapan palsu pada keluarga Anderson dengan berperan sebagai pengganti Angel.
Hari itu Christ mendatangi Maya di lokasi syuting iklan barunya. Untuk menghindari gosip Christ menunggu di mobil dan tidak menampakkan dirinya di muka umum. Nama Maya semakin melambung sejak kesuksesannya memerankan Juliet. Dan seperti yang dijanjikan Clara padanya, nama Maya langsung meroket saat menjadi bintang iklan utama untuk ACA Group. Belum lagi tawaran bermain film layar lebar dan tampil di teater Broadway. Rose dengan cerdas memilih setiap pekerjaan yang cocok untuk Maya dan alhasil Maya hanya memiliki sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Dia bahkan kesulitan untuk menelepon Masumi dan hanya bisa mengirim pesan.
“Ah, lelah sekali,” keluh Maya saat sudah duduk di dalam mobil Christ.
“Kau menyiksanya Rose?” protes Christ.
“Itu sudah pekerjaannya Tuan dan berhentilah mengeluh Maya,” jawab Rose. Dia dan Ryan duduk didepan sementara Christ dan Maya duduk dibelakang.
“Aku kan tidak mengeluh, aku hanya bilang aku lelah. Apa salah? Kau juga terlalu galak Christ. Berhentilah memarahi semua orang, kau seperti induk ayam saja,”
“Induk ayam heh?” Christ menjewer telinga Maya, “Kalau kau sakit siapa juga yang repot?”
“Hei sakit!” pekik Maya.
“Protes lagi?”
“Iya, iya, maaf,” Maya menggosok telinganya.
“Ini,” Christ menyerahkan amplop coklat besar pada Maya.
“Apa ini?”
“Laporan dari anak buah Ryan di Tokyo. Dokumen Daito yang kau miliki itu sangat berguna Maya. Kau bisa menghancurkan Daito kapan saja kau mau. Ini adalah berita terbarunya. Hijiri yang kau katakan itu ternyata memang sangat setia pada Masumi dia bahkan rela melakukan apa saja demi menolong Masumi, ternyata kekasihmu itu sedang kesulitan sekarang?”
Maya terkesiap, “Kenapa dengan Masumi?”
“Kau tahu kalau saham Daito juga dimiliki oleh saudara Eisuke dan keponakannya kan?”
“Iya, tapi mereka menangani divisi lain, Masumi mengusai Divisi Kesenian yang merupakan usaha inti Daito,”
“Nah, ternyata pembatalan pernikahan Masumi yang juga berujung pada pembatalan kerjasama Grup Daito dan Grup Takatsu benar-benar berdampak pada kondisi saham Daito. Beberapa pemegang saham tampaknya tidak begitu menyukai Masumi. Mereka sedang berusaha menyingkirkan Masumi dari posisinya. Mereka menyalahkan kekasihmu atas kacaunya Daito.”
“Apa?! Itukan bodoh! Kenapa Masumi yang disalahkan? Bukankah mereka tahu Eisuke sendiri yang membatalkan kerja sama itu karena aku sudah mengancamnya? Sial!” Maya naik pitam.
“Ya itulah dunia bisnis Maya, mereka hanya mengambil kesempatan bagus untuk menyingkirkan rival mereka. Sepupu Masumi kelihatannya sangat berambisi untuk mengambil alih posisinya. Dan kau pasti akan terkejut kalau mendengar siapa orang yang ikut andil dalam melakukan kudeta ini?”
“Siapa?”
“Shiori Takamiya,”
“Shiori!” jerit Maya.
“Dia sangat dendam padamu dan Masumi. Tidak heran kalau kau memilih mengungsi. Akan sangat sulit bagi Masumi melindungimu karena posisinya sendiri sedang terjepit. Bisa-bisa kalian berdua hancur kalau memaksa untuk melawan.”
“Bagaimana dengan Eisuke? Kenapa dia diam saja? Harusnya dia pastikan Masumi aman atau dia akan kehilangan hak pementasan itu,”
Maya duduk dengan gelisah dan Christ tersenyum melihatnya.
“Eisuke sengaja membiarkannya Maya, dia tahu anak angkatnya itu tidak akan kalah oleh kudeta semacam itu. Ku akui Masumi hebat, dia mampu mengatasi semuanya sendiri. Hal itu juga akan membuat Masumi tetap berada di posisinya. Jika Masumi berhasil memenangkan perangnya maka tidak akan ada lagi yang berani mengusiknya. Semakin kuat posisi Masumi maka semakin mudah bagi Eisuke untuk terus mengikatnya di dalam Daito. Dia yakin hak pementasan yang akan kau berikan pada Masumi itu bisa beralih padanya.”
Analisa Christ membuat Maya semakin cemas.
“Lalu bagaimana? Aku tidak mau Masumi terbelenggu oleh Daito. Itu akan semakin menyulitkan hubunganku dengannya.”
Christ tertawa, “Tenang saja Maya, aku kan sudah berjanji padamu untuk membantu mengurai semua kerumitan ini. Kau tahu Maya kondisi ini justru menguntungkan untuk kita,”
Maya menatap Christ heran, “Menguntungkan bagaimana? Memikirkan Masumi dalam kesulitan sudah membuat kepalaku mau pecah,” gerutu Maya.
“Apa gunanya aku membayar dosen mahal untuk mengajarimu kalau hal seperti ini saja kau tidak tahu!” Christ memarahi Maya.
“Katakan saja, jangan memarahiku. Aku kan baru belajar, memang apa yang kau harapkan? Menjadi ahli dalam satu malam?” jawab Maya kesal. Dia sudah cukup kesal dengan berita yang didengarnya tanpa harus ditambah Christ memarahinya.
Rose dan Ryan hanya menggeleng geli melihat Maya.
“Oke, alasan yang masuk akal tapi saat aku kembali nanti kau harus sudah lebih pintar,” kata Christ.
“Aku…eh?!  Apa maksudmu kembali? Kau mau pergi?”
Christ menyeringai lebar, “Sudah kubilang ini kondisi yang menguntungkan untuk kita. Sudah saatnya pahlawan beraksi kan?”
“Kau akan ke Tokyo?” Maya terkejut.
“Aku akan mulai permainan ini Maya, kau duduklah dengan tenang,”
 “Adakah yang bisa ku lakukan untuk membantumu? Aku tidak mau menjadi penonton yang duduk tenang,”
Maya terdiam, memandang Christ yang tersenyum puas padanya.
“Oh, aku senang kau bertanya, ada satu hal yang harus kau lakukan sebelum keberangkatanku ke Tokyo,”
“Benarkah? Katakan,” Maya tidak sabar.
“Tanda tangani ini,”
Christ meletakkan sebuah map terbuka dipangkuan Maya dan mata Maya langsung membulat karenanya.
“Surat Adopsi?!” Mulutnya ternganga.

***

>>Bersambung<<

Post a Comment

22 Comments

  1. Huahhhh makin seru mba agnes...alur nya h bs di prediksi...salut bwt mba agnes...keren bgt...lanjutannya jgn lama2 ya mba...

    ReplyDelete
  2. Ga nyangka jalan ceritanya jadi seperti ini.... kereeennnnn.... ga sabar nunggu lanjutannya

    ReplyDelete
  3. Waaaa... ternyata dugaanku salah... xixixixi... alur ceritanya benar2 nggak terbaca mbak Agnes... Kukira Angel mantan pacarnya, ternyata adiknya. Salut salut... Menanti kelanjutan proses adopsi ini dan kejutan2 berikutnya darimu... Keep writing. I Love It

    ReplyDelete
  4. Makin kesini Makin bagus lho ceritanya. Ditunggu kelanjutannya...

    ReplyDelete
  5. Siiip...tandatanganin aja maya, biar jagoan bisa beraksi...lanjutin ya mba agnes😊

    ReplyDelete
  6. Puuuaaas bonusnya, puaas buacanya, puaas puanjangnya, puaas jalan crita nya, puaas kejutan nya, tp cuman satu yg bikin ga puas, klo apdet nya kelamaan xixixixi... Masumi, bantuan akan segera datang dr calon kakak ipar yg caem juga, jgn cemburu yeee... Aish siomay emg yaaa...

    ReplyDelete
  7. Hebaat... Beneran nggak nyangka... Hehehe
    Jempol buat mba agnes... sukaaaa...
    Seperti biasa ditunggu updetannya...

    ReplyDelete
  8. Ga mainstream ya...keren deh mba agnes...thanks udah apdet

    ReplyDelete
  9. Ga mainstream ya...keren deh mba agnes...thanks udah apdet

    ReplyDelete
  10. Bagus bgt....
    G sabar nunggu lanjutannya... :-)

    ReplyDelete
  11. Siiip...tandatanganin aja maya, biar jagoan bisa beraksi...lanjutin ya mba agnes😊

    ReplyDelete
  12. Keren abis mbak agnes...ga sabar nih nunggu updateannya...

    ReplyDelete
  13. Huaaaaa.... penasaran tingkat vvip...!!! lanjut sist agnes...😉

    ReplyDelete
  14. Huaaaaa.... penasaran tingkat vvip...!!! lanjut sist agnes...😉

    ReplyDelete
  15. Sadiiiiissss dirimu sist agnes..... sy ga tidur semaleman gara" penasaran baca ni cerita.... thx dah update n ditunggu lanjutannya..... semangaaaattttttt

    ReplyDelete
  16. Sekali lagi mohon sist.... janga sampe di gantung cerita nya.... hiks...hiks...

    ReplyDelete
  17. Bgs bgt cerita ny...mpe ngebut baca ny... Aku suka tokoh crist n hijiri n mizuki, mereka menghidupkan cerita ini... Btw ada masumi ny y ? Order one please... Haha... Thanks good job

    ReplyDelete
  18. setiap episodenya seruuuuu, ga bisa berhenti baca. >.<

    ReplyDelete