Special Chapter : I Just Wanna U

Rate        : 20++ thn
Warning  : for adult only, love and kiss, mature relationship.
                (Tolong perhatikan warning-nya! Bagi yang tidak berkenan, tidak usah membaca)


Musik mengalun indah, semua mata memandang kagum pada pasangan berbahagia yang sedang berdansa di tengah hall. Dansa pertama untuk pasangan yang baru saja resmi mengikat janji pernikahan mereka.
Tepuk tangan menggema lalu beberapa pasangan lain mulai turun, mengisi lantai dansa yang kosong. Meski demikian pasangan pengantin baru itu belum juga ingin berhenti berdansa. Keduanya mengabaikan pasangan lain disekitar mereka, menikmati dunia mereka sendiri.
"Kau cantik sekali sayang," puji Masumi. Matanya tidak berhenti menatap kecantikan wanita yang sekarang telah resmi menjadi istrinya itu.
"Kau juga tampan sekali," Maya balas memuji.
Keduanya tersenyum, Masumi melonggarkan pelukannya, memutar tubuh Maya dengan tangan mereka saling bertaut di atas kepala. Maya berputar sempurna, gaun ungunya berkibar anggun. Saat putaran berhenti Masumi kembali melingkarkan tangannya di pinggul Maya. 
Keduanya kembali bergerak seirama. Kaki mereka melangkah, kanan, kiri, kanan, kiri, berputar....setiap orang yang melihat pasti tahu kalau pasangan itu sedang berbahagia. Tatapan mata mereka sudah menjelaskan semuanya.
Malam itu adalah milik mereka. Terlepas dari semua gosip yang muncul sejak acara lamaran yang menghebohkan Jepang dimalam pementasan perdana Bidadari Merah.
Maya masih ingat benar bagaimana hebohnya media karena pengakuan Masumi. Dia sampai harus bersembunyi dan hanya keluar saat pementasan Bidadari Merah saja. Sampai akhirnya Masumi dan Maya menggelar konferensi pers bersama Eisuke dan keluarga Anderson. Semua pemberitaan diklarifikasi saat itu. Bagaimana hubungan Masumi dan Maya yang sebenarnya, lalu status Maya yang adalah anak angkat keluarga Anderson, ya tentu saja ada bagian yang dipotong dan harus disembunyikan. 
Eisuke sangat membantu dengan menyatakan restunya di depan umum, juga intimadasi dari pernyataan Michael atas pengangkatan Maya sebagai putrinya -bahkan Maya terkejut Michael bisa setegas itu pada awak media-sehingga para wartawan hanya bisa mendapat penjelasan yang masuk akal dan bernilai positif. Tidak ada tuduhan negatif atas keduanya. Meskipun ada, itu hanya akan menjadi opini pribadi dan tidak akan tertulis di surat kabar, majalah, tabloid apalagi televisi. Memang siapa yang sekarang berani mengusik Masumi dan Maya yang notabene adalah direktur perusahaan entertaintmen terbesar di jepang dan putri dari keluarga konglomerat Amerika.
Maya menahan senyum gelinya.
"Ada apa?" Tanya Masumi saat melihat Maya menahan senyumnya.
Maya menggeleng pelan, "Hanya teringat sesuatu yang lucu?" Katanya.
"Hhmm, apa kejadian tadi pagi?" Tebak Masumi. Keduanya masih terus berdansa.
Maya langsung cemberut, "Bukan," sanggahnya kesal.
Masumi menahan diri untuk tidak tertawa. Maya mendesah pelan karena teringat apa yang terjadi pagi tadi saat upacara pernikahannya dengan Masumi.
Keduanya melangsungkan pernikahan dengan adat tradisi shinto. Maya mengenakan shiramuku -kimono putih pernikahan- dan Masumi mengenakan montsuki haori hakama -kimono untuk pengantin laki-laki-. Keduanya tampak mempesona. Apalagi saat Maya masih mengenakan tudung kepala tsuni kakushi yang dihiasi berbagai ornamen, dia terlihat begitu anggun dan menawan. Masumi bahkan tidak berhenti untuk terpesona.
Clara sempat kesulitan berjalan karena sebagai ibu dari mempelai wanita dia harus mengenakan kimono dan Michael juga tampak canggung. Christ bahkan tidak berhenti menertawakan ayahnya yang mengenakan pakaian tradisional Jepang itu. Dia tentu saja memilih menggunakan black suite seperti tamu undangan lainnya. Tapi bukan hanya itu kejadian lucunya. 
Dalam adat pernikahan shinto ada sebuah ritual yang bernama san-sankudo, dimana mempelai laki-laki dan perempuan harus minum sake sebanyak sembilan kali dari tiga cawan yang telah disediakan. Maya yang memiliki toleransi yang sangat rendah pada minuman beralkohol ternyata langsung merasa pusing. Beruntung upacara pernikahan itu hanya dihadiri oleh keluarga dan sahabat dekat dari kedua mempelai, tidak ada wartawan dan publikasi apapun. Jadi Maya tidak harus menanggung malu saat kemudian dia pingsan setelah upacara pernikahan selesai. Tentu saja hal itu membuat kehebohan tersendiri.
Christ mengomel saat tahu Maya tidak sarapan lebih dulu dengan alasan tidak nafsu makan karena grogi menghadapi upacara pernikahan padahal tahu dia harus minum sake pada upacara itu. Tidak heran kalau dirinya pusing kemudian pingsan.
"Maaf." Gumam Masumi, mengoreksi tebakannya yang salah karena takut istrinya marah.
"Lalu apa yang lucu?" Masumi mengalihkan perhatian Maya yang masih cemberut dan diam.
"Hanya teringat betapa hebohnya media saat hubungan kita terbongkar." Kata Maya lirih.
"Oh, itu. Ku rasa tidak perlu dipikirkan apa kata orang, yang penting kita sudah menikah sekarang." kata Masumi.
Maya mengangguk lalu tersenyum, moodnya sudah kembali baik.
Masumi mengeratkan pelukannya dan mencondongkan wajahnya.
"Aku sudah tidak sabar," bisiknya penuh provokatif.
Maya melotot dan wajahnya merah padam. Malu.
"Kau ini," Maya terkikik geli sambil memukul dada suaminya. Masumi tertawa perlahan.
Musik berhenti dan berganti dengan lagu baru tapi dansa keduanya disela oleh kedatangan Michael.
"Boleh aku berdansa dengan pengantin yang cantik ini?" Katanya.
Masumi melepaskan pelukannya -dengan enggan- lalu mengulum senyum dan mengangguk hormat pada pria yang sekarang menjadi ayah mertuanya itu. Mengulurkan tangan Maya dalam genggamannya.
Dan Maya kembali beraksi di lantai dansa dengan ayahnya.
"Kau cantik sekali sayang. Aku bangga sekali padamu." Kata Michael penuh haru.
Maya tersenyum, "Aku bahagia memiliki keluarga yang luar biasa di hari pernikahanku,"
Michael mengecup kening putrinya, "Kau keajaiban yang melengkapi kebahagiaan keluarga kami."
"Terima kasih,"
"Hhmmm, aku dan mamamu mungkin ingin ucapan terima kasih yang lebih spesifik,"
"Lebih spesifik?"
"Cucu,"
Maya ternganga dan dengan cepat menutup mulutnya.
"Papa," Maya merajuk malu.
Michael tertawa.
"Ya jika kau sudah siap sayang, kau masih begitu muda, baru genap dua puluh tiga tahun,"
Maya tertunduk menyembunyikan wajah merahnya. Dia jadi ingat perayaan ulang tahunnya yang meriah di New York sebulan yang lalu. Mereka memang menunda pernikahan selama enam bulan setelah pementasan Bidadari Merah dan pernikahan Christ selesai. Selain kerena Clara masih ingin Maya bersama mereka juga karena memang Masumi dan Maya ingin pernikahan dilaksanakan di musim semi. 
Kepercayaan di Jepang menyatakan bahwa musim semi adalah hari baik untuk melangsungkan pernikahan dan memulai hidup yang baru. Dan tidak ada salahnya bagi mereka untuk mengikuti kepercayaan itu, mereka memang mengharapkan segala sesuatu berjalan baik dalam rumah tangga mereka nantinya. Selain itu usia Maya juga sudah bertambah satu tahun lagi, membuatnya semakin terlihat dewasa dan secara fisik memang dia tidak lagi terlihat seperti anak-anak. Sudah pantas untuk dipanggil Nyonya.
"Aku tidak berencana menunda," kata Maya kemudian dengan suara lirih seraya masih menundukkan kepalanya.
Michael kembali tertawa dengan kepolosan putrinya itu.
"Aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu sayang," kata Michael saat kemudian lagu berhenti.
"Terima kasih," Maya berbinar senang menatap papanya.
"Ayo, kau pasti lelah kalau terus berdansa,"
Michael mengajak Maya menepi. Merekapun bergabung dengan keluarga besar yang duduk di meja bundar. Clara, Christ dan Amanda, Masumi dan Eisuke, semuanya sedang berbincang.
Michael duduk disebelah Clara setelah mengantar Maya duduk disebelah Masumi.
"Lelah?" Bisik Masumi.
"Sedikit," jawab Maya.
"Ayo kita bersulang," suara Christ mengalihkan perhatian semuanya.
"Sebaiknya kau minum soda saja adikku sayang," kata Christ seraya mengangkat gelasnya disambut tawa semuanya. Maya cemberut.
Masumi mengulurkan segelas sampagne pada Maya.
"Sedikit saja," kata Masumi seraya mengerlingkan sebelah matanya.
Maya tersenyum mengambilnya, yang lain terkikik geli.
"Untuk pasangan pengantin, semoga selalu berbahagia," kata Christ.
"Semoga selalu berbahagia," ucap semuanya.
Maya hanya menyesap sedikit dan meletakkan gelasnya dimeja. Dia dan Masumi kemudian bangkit dan menjamu para tamu.
Resepsi pernikahan malam itu memang berlangsung meriah. Pesta diadakan di hall sebuah hotel bintang lima di Tokyo. Relasi keluarga Anderson dan keluarga Hayami hadir, bahkan seluruh keluarga Takamiya juga hadir. Tak hanya itu, pesta juga dibanjiri oleh aktor dan aktris papan atas.
"Selamat ya Maya," Ayumi mengecup kedua pipi Maya dan mengucapkan selamat.
"Terima kasih Ayumi, Tuan, Nyonya," balas Maya.
"Terima kasih atas kehadirannya Tuan dan Nyonya Himekawa, Ayumi," kata Masumi juga.
"Selamat atas pernikahannya. Semoga penuh dengan harapan indah bagi anda berdua. Kami juga senang bisa hadir dan menjadi saksi di hari bahagia ini," kata pasangan Himekawa. 
Mereka beramah tamah sejenak lalu berfoto dan memberi kesempatan pada tamu lainnya.
"Ya ampun Maya, kau luar biasa!"
"Aku tidak percaya ini kau,"
"Selamat ya Maya,"
Silih berganti Mina, Rei, Taiko dan Sayaka memeluk dan mencium juga memberi selamat pada Maya. Mereka tak percaya pengantin yang berdiri di hadapan mereka adalah Maya yang mereka kenal apalagi kalau melihat pria yang menjadi suaminya sekarang. Semua teman Maya -kecuali Rei tentunya- hampir pingsan saat pernyataan cinta Masumi dipublikasikan secara umum. Siapa sangka kalau orang yang selama ini dibenci Maya dan jadi musuh bebuyutannya justru menjadi suaminya. Hal itu membuat semua temannya menarik sebuah pelajaran berharga.
"Kita tidak boleh terlalu benci dengan seseorang," celetuk Sayaka dan semua langsung tergelak. 
Beruntung Masumi sedang menyapa beberapa relasinya yang lain sehingga tidak mendengar candaan teman-teman Maya.
"Akhirnya kau benar-benar menjadi Nyonya Hayami," kata Rei senang.
"Iya," jawab Maya sama senangnya.
"Bu Mayuko mohon maaf karena tidak bisa hadir, Maya," kata Mina.
"Iya Mina, tadi pagi aku sudah menelepon Bu Mayuko. Kesehatan beliau memang sedang tidak baik. Aku dan Masumi berencana akan mengunjungi beliau setelah semua ini selesai," jawab Maya.
"Kau tidak pergi bulan madu?" Tanya Taiko heran.
Maya tersenyum malu, "Kami masih ada waktu sebelum pergi,"
"Hhhmmm, kau yang paling muda diantara kami tapi justru kau yang pertama pergi berbulan madu." Kata Mina geli.
"Ahh kalian ini bicara apa," Maya terkikik.
"Hei Maya, apa kau sudah mempersiapkan malam pertamamu dengan Pak Masumi?" Bisik Rei menggoda. Dia jelas tahu bahwa ini adalah benar-benar malam pertama bagi keduanya.
"Eh, kau ini," Maya mencubit lengan rei.
"Aww, aku kan hanya bertanya," Rei tergelak.
Candaan mereka terhenti saat Masumi datang, sikap mereka langsung berubah formal.
"Selamat atas pernikahannya Tuan dan Nyonya Hayami. Semoga berbahagia." Ucap mereka sopan.
"Terima kasih untuk kehadirannya," ucap Masumi.
Merekapun undur diri setelah berbasa basi sejenak. Maya dan Masumi kemudian menghampiri pasangan Kuronuma dan Koji duduk di satu meja. Koji juga mengajak Mai, sepertinya mereka berdua kembali berbaikan.
"Selamat atas pernikahan anda berdua. Semoga berbahagia dan rukun selalu,"
Sekali lagi, ucapan selamat dan doa diberikan untuk Maya dan Masumi. Keduanya mengangguk penuh hormat.
Masumi sempat tidak senang saat melihat Koji mengagumi dan memuji kecantikan Maya. Meski itu benar. 
Maya mengenakan gaun ungu muda panjang rancangan Amanda. Potongan gaun itu sangat cocok ditubuh Maya. Memperlihatkan lekukan tubuhnya yang indah. Bagian atas gaun itu juga memperlihatkan kulit Maya yang putih mulus bak porselen. Sarung tangan panjang yang membungkus tangannya membuatnya terlihat anggun. Belum lagi riasan wajah yang membuat Maya terlihat begitu cantik. Ditambah dengan rambut hitamnya yang ditata rapi oleh penata rambut profesional, bagian atas dijalin dan digelung dengan hiasan mutiara dan bunga. Sungguh tidak heran jika semua orang mengagumi Maya malam itu. Hanya saja, Masumi merasa jengah saat pujian itu datang dari Koji meski jelas Koji tidak datang sendiri melainkan bersama dengan Mai.
Suara Maya yang tertawa senang dengan pujian Koji mengalihkan perhatian Masumi. Reflek dia melingkarkan tangannya di pinggang Maya membuat istrinya itu sedikit terkejut. Maya menoleh sejenak pada suaminya dan mendesah tak kentara. Dia tahu benar apa yang dipikirkan suaminya.
"Koji, Mai, apa kalian menikmati pestanya? Semoga anda juga Pak Kuronuma, ibu," kata Maya mengalihkan perhatian suaminya.
"Tentu saja Maya, terima kasih sudah mengundang kami," kata Koji.
"Kau jangan tanya padaku Maya, tentu saja aku senang hadir di hari bahagiamu ini," kata Kuronuma.
"Kami juga senang anda sekalian bisa hadir," kata Masumi ramah dan suasana kembali santai.
Maya dan Masumi undur diri setelah mereka berfoto bersama.
"Nah kau mulai lagi kan," kata Maya lirih saat keduanya berjalan menjauh.
"Mulai apa?" Masumi pura-pura tidak mengerti dengan perkataan istrinya.
"Penyakitmu itu, sepertinya kambuh lagi,"
"Hanya mengingatkan kalau kau istriku," jawab Masumi datar.
"Kau mau mengingatkan siapa? Kita baru menikah tadi pagi, mana mungkin aku lupa kalau aku istrimu," dengus Maya.
"Mengingatkan Koji," bisik Masumi ditelinga Maya.
Istrinya tersenyum geli sambil menggeleng.
"Terkadang sikapmu tidak sesuai dengan usiamu," celetuk Maya.
Masumi berkerut, "Hei jangan bawa-bawa usiaku. Lagipula cemburu itu tidak ada hubungannya dengan usia,"
Maya terkikik, "Dewasalah sayang, aku milikmu. Seluruh Jepang juga tahu itu. Apa kita perlu membuat siaran langsung resepsi pernikahan kita ini untuk menegaskan itu semua?"
Masumi tertawa, "Aku sempat memikirkan hal itu,"
Maya ternganga, "Kau bercanda? Tidak cukupkah kau membuat heboh Jepang dengan lamaran dan pengakuan identitas Mawar ungu-mu itu?"
"Bukankah tadi saat berdansa kau juga memikirkan hal itu? Pandangan orang terhadap kita? Aku melakukannya bukan untukku tapi untukmu,"
"Untukku?" Alis Maya bertaut.
Masumi mengangguk, "Aku ingin semua orang tahu bahwa aku yang tergila-gila padamu dan ingin memilikimu sehingga mereka tidak perlu menyudutkanmu dengan pernyataan konyol tentang kenapa kau bisa jatuh cinta padaku atau opini negatif tentang kau yang ada dibalik pembatalan pernikahanku dengan Shiori,"
Maya berhenti melangkah dan reflek Masumi juga menghentikan langkahnya.
"Kau berpikir seperti itu?" Maya memiringkan kepalanya, menatap suaminya.
"Iya, aku hanya tidak mau membuatmu merasa tidak nyaman dengan pemberitaan media tentang kita. Bahkan aku bersedia mengumumkan cintaku setiap hari di televisi,"
Maya tergelak, "Ya, ide yang menggelikan Tuan Hayami. Tenang saja, aku sudah kebal dengan opini orang. Aku nyaman asalkan bersamamu,"
Masumi tersenyum.
Keduanya kembali menyapa beberapa tamu. Maya bersitirahat sejenak dengan kembali duduk dimejanya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Masumi.
"Kakiku pegal dan aku juga ingin ke toilet."
"Mau ku temani?"
Maya menggeleng. "Masih banyak tamu, aku tidak akan lama,"
"Baiklah," Masumi kembali menyapa beberapa tamu yang diperkenalkan oleh Christ.
Maya masih duduk dimejanya, keluhannya tadi tidak sengaja terdengar oleh Eisuke yang duduk disebelahnya.
"Kau tidak apa-apa Maya?" Tanya Eisuke.
Sejak tragedi yang terjadi di gudang, sikap Eisuke pada Maya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Dia begitu perhatian dan sayang pada Maya, tak jarang justru membuat Masumi kesal bahkan cemburu.
"Tidak apa-apa ayah. Aku baik-baik saja, hanya pegal karena memakai sepatu tinggi." Kata Maya lembut seraya tersenyum.
"Ya, banyak sekali tamu yang datang. Kau pasti lelah."
"Ayah, aku ke toilet sebentar," Maya permisi.
Eisuke mengangguk, "Hati-hati," pesannya.
Maya kembali melempar senyumnya.
Clara yang sedang bicara dengan Rose di meja lain langsung menghampiri Maya saat dia beranjak dari mejanya. "Mau kemana sayang?"
"Toilet Ma,"
"Oh, ayo, aku temani,"
Maya menurut saja saat Clara menemaninya, dia tahu ibu angkatnya itu khawatir jika dirinya sendirian. Tragedi yang pernah menimpa Maya menyisakan trauma tersendiri bagi Clara.
Saat keduanya masuk ke dalam toilet ternyata Amanda juga ada disana.
Maya dengan cepat melaksanakan maksudnya sementara Clara mengobrol dengan Amanda di depan cermin rias. Saat Maya keluar dari toilet dia menatap ibu dan kakak iparnya melalui cermin.
"Ada apa?" Tanya Amanda heran. Dia berbalik dan menatap Maya secara langsung, begitu juga Clara.
Maya duduk di bangku beludru mewah didepan kaca rias. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri. 
"Hhhmmm, boleh aku bertanya?" Maya menatap ibunya dan kakak iparnya bergantian.
"Padaku?" Tanya Amanda.
"Terserah siapa yang mau menjawab," jawab Maya seraya mengendikkan bahunya. Menggeser duduknya, Maya terlihat gelisah.
"Kau mau tanya apa?" Tanya Clara, menghampiri putrinya yang tampak gelisah lalu duduk di sebelahnya. Amanda masih ditempatnya, berdiri bersandar pada meja rias.
"Hhmmm, apa...sakit ma?" Bisik Maya lirih.
Clara mengernyit, tidak mengerti maksud Maya.
"Apanya yang sakit? Kau sakit?" Tanya Clara.
"Bukan," Maya menggeleng, "Hhhmmm, 'itu'...maksudku...," Maya melirik Amanda dan kakak iparnya itu langsung tergelak. Mengerti maksud Maya.
"Ada apa Amanda?" Tanya Clara bingung.
"Malam pertama yang kau maksud?" Tebak Amanda.
Maya mengangguk malu tapi Clara justru memekik karena terkejut.
"Pasti pertanyaanku memalukan ya," wajah Maya semakin merah.
Amanda masih terkikik tapi Clara justru kebingungan.
"Jadi kau dan Masumi belum pernah...?" Tanya Clara penuh selidik.
"Tentu saja belum Ma," Maya malah terkejut dengan pemikiran ibunya.
"Apa kau pernah berciuman dengannya?" Tanya Amanda.
"Tentu saja pernah!" Sergah Maya, sedikit tersinggung, pertama kalinya merasa aneh dengan kepolosannya sendiri.
Amanda kembali terkikik.
"Well, itu cukup mengejutkan sayang." kata Clara,
"Ternyata Masumi benar-benar menjagamu ya." Puji Amanda.
Maya mengangguk lalu tersenyum, berbangga dengan pertahanan diri kekasihnya yang kuat -ya meski pernah beberapa kali hampir hilang kendali-.
"Kalian belum menjawab pertanyaanku," Maya mengerucutkan bibirnya.
Sekarang giliran Clara yang tergelak.
"Tenang saja sayang, Masumi pasti tahu caranya," kata Clara disela tawanya. Dia tidak menyangka akan mengajari seks pada seorang wanita yang sudah berusia dua puluh tiga tahun.
"Kau tidak usah takut Maya. Tidak akan sesakit yang kau bayangkan. Kau hanya harus tenang saat melakukannya," kata Amanda terus terang.
"Begitu ya," kata Maya lirih.
"Apa kalian pernah bercumbu sebelumnya?" Tanya Amanda.
"Sering," batinnya menjawab, "Iya," jawab bibir Maya singkat. Dia merasakan wajahnya semakin menghangat, pipinya merona.
"Lalu apa yang kau takutkan?" Tanya Clara.
"Rasa sakitnya. Bercumbu kan tidak sakit," kata Maya polos.
"Oh, Maya, kau tidak harus memikirkan sakitnya. Itu akan merusak segalanya. Lakukan saja. Kau bisa komunikasikan hal ini dengan Masumi jika kau memang takut sakit. Aku rasa dia pasti mengerti apa yang harus dilakukannya. Dia kan lebih berpengalaman," kata Amanda.
"Tapi Masumi juga belum pernah melakukannya," kata Maya, sekali lagi dengan segala kepolosannya.
"Hah?!" Clara dan Amanda melotot, terkejut.
"Maksudmu dia juga masih...," Clara tidak melanjutkan kalimatnya, seolah kosakata itu begitu asing baginya.
"Perjaka?" Tandas Amanda, melanjutkan perkataan Clara.
Maya mengangguk. Clara dan Amanda terbahak.
Maya mendengus kesal, sejak tadi dia seperti komedian yang menjadi bahan tertawaan.
"Apanya yang lucu? Kenapa kalian terus mentertawakanku? Aku kan hanya bertanya," kata Maya yang mulai kesal.
"Maaf, maaf, sayang," kata Clara yang langsung berhenti tertawa saat putrinya merajuk.
"Apa semua orang Jepang seperti kalian?" Tanya Amanda setelah dia juga dengan terpaksa mengakhiri tawanya.
"Aku tidak tahu untuk pasangan lain. Tapi Masumi dan aku memang berkomitmen akan melakukannya setelah menikah," jelas Maya.
"Ya, aku akui Masumi-mu orang yang hebat." Kata Amanda.
"Dia pasti sangat menyayangimu." Puji Clara senang.
"Sudahlah, kau tidak usah memikirkannya. Hal seperti itu tidak untuk dipikirkan Maya. Kau hanya tinggal menjalaninya. Nalurimu akan membimbingmu sendiri," kata Amanda.
"Iya, kau hanya harus tenang, siapkan saja hatimu," Clara menambahkan.
Maya mengangguk-angguk. Dia sebenarnya paham apa yang dikatakan Clara dan Amanda padanya. Dia juga sudah sering lepas kendali saat bersama Masumi, kalau saja kekasihnya itu tidak menahan diri pastilah mereka berdua sudah lama melakukannya.
Meski begitu satu hal yang mengganggu Maya. Tentang rasa sakit pada malam pertama. Sebelumnya Maya pernah membaca beberapa buku juga artikel tentang hal itu. Keinginan awalnya yaitu untuk mempersiapkan diri tapi justru hal itu membuatnya berpikiran yang aneh-aneh tentang rasa sakit yang harus dihadapinya.
"Ayo, Masumi pasti mencarimu jika kita terlalu lama disini," ajak Clara.
Maya beranjak dan ketiganya kembali ke hall yang masih dipadati tamu.
Saat tiba di meja mereka, Christ sedang berbincang dengan Masumi dan Michael bersama dengan Eisuke. Michael sempat marah pada Eisuke meski akhirnya mereka genjatan senjata demi Maya.
Clara dan Amanda saling berpandangan saat melihat Masumi dan keduanya berusaha keras menahan tawa. Maya terkikik geli memikirkan percakapan konyol mereka di toilet. Tapi dia senang bisa bicara, setidaknya dia sudah diyakinkan bahwa rasa sakitnya tidak akan sesakit yang dibayangkannya. Bagian bawah tubuhnya bahkan sudah berkerut tidak nyaman saat membayangkan apa yang akan dihadapinya.
"Kau lama sekali, apa kau baik-baik saja?" Tanya Masumi saat Maya kembali duduk disebelah suaminya. 
Maya mengangguk.
Sekilas matanya melirik pada Amanda yang berbisik pada Christ, keduanya lalu terkikik dan Christ mengangguk-angguk. Entah apa yang mereka bicarakan. Maya menduga itu tentang apa yang mereka bicarakan tadi di toilet. Tapi Christ tidak akan terkejut mendengar berita itu karena dia sendiri sudah lama tahu kenyataan itu dari Masumi sendiri.
"Ayo, kita masih harus memberi penghormatan pada tamu sebelum pergi," kata Masumi.
"Pergi?" Maya terheran.
Masumi tersenyum penuh teka-teki. Istrinya tidak lagi punya kesempatan bertanya saat kemudian mereka kembali menjamu para tamu.

***
"Hati-hati," Clara memeluk Maya dan berpesan pada Masumi.
Seluruh keluarga besar berkumpul di depan hotel untuk mengantar kepergian Maya -yang Maya sendiri juga tidak tahu kemana tujuannya-.
"Iya, Ma," Masumi memberi senyum meyakinkan.
"Selamat bersenang-senang sayang," kata Amanda dan Maya tersipu.
Michael dan Christ juga memeluknya bergantian, "Jaga dirimu sayang," kata keduanya.
Maya mengangguk, dalam hati bergumam heran, kemana sebenarnya dia akan pergi?
Maya membungkuk saat memeluk Eisuke yang duduk di kursi roda.
"Ayah harus menjaga kesehatan," kali ini justru Maya yang berpesan pada ayah mertuanya. 
Hubungan diantara keduanya benar-benar terjalin sangat baik. Christ masih menyisakan keengganan jika harus melihat Maya bermanis-manis pada ayah mertuanya itu.
"Kau juga. Katakan padaku jika putraku bersikap buruk padamu," kata Eisuke seraya menggenggam tangan Maya.
Maya terkikik dan Masumi harus menyembunyikan kekesalannya atas perkataan ayahnya.
"Memangnya siapa yang bersikap buruk?" Batin Masumi mendengus kesal.
"Terima kasih semuanya, kami pergi,"
Ryan membukakan pintu belakang mobil untuk Maya dan Masumi.
Clara masih sempat membisikkan pesan jangan takutnya pada Maya sebelum putrinya itu masuk ke mobil, membuat Maya tergelak dan malu karenanya.
"Selamat bersenang-senang, hati-hati!" Seru semuanya seraya melambaikan tangan. Mobil melaju meninggalkan pelataran hotel.
"Selamat atas pernikahannya Tuan, Nyonya," kata seseorang yang berada dibalik kemudi sesaat setelah mobil meluncur.
Maya memiringkan tubuhnya, melihat sosok pria yang memberinya selamat. Suaranya terdengar tidak asing bagi Maya.
"Kak Hijiri!" Pekik Maya senang.
Hijiri mengangguk sopan dengan sedikit memiringkan kepalanya dan melempar senyum pada Maya, 
"Nyonya," katanya singkat dan penuh hormat.
Maya tersenyum senang meski masih merasa aneh mendengar panggilan Hijiri padanya. Dia jadi teringat akan keakraban dan gurauan mereka saat berada di apartemen Maya di New york.
"Menyenangkan menjadikanmu adik sebelum kau menjadi Nyonyaku," itu yang dikatakan Hijiri padanya dan sekarang...ya, sekarang dia sudah benar-benar menjadi nyonyanya, Nyonya Hayami.
"Terima kasih kak Hijiri," jawab Maya lembut.
Maya mengalihkan pandangannya pada Masumi.
"Kita mau kemana?"
Masumi kembali mengulum senyum penuh teka-teki, 
"Kejutan," katanya riang.
Maya cemberut, "Aku tidak suka kejutan,"
"Kemarilah," Masumi merentangkan lengan kirinya dan Maya langsung bersandar padanya. Lengan kokoh itu langsung mendekapnya dan mengusap lembut lengannya.
"Kau pasti lelah," kata Masumi seraya mengusap wajah istrinya dengan tangannya yang bebas.
"Tapi kita mau kemana?" Maya masih tidak menyerah dengan rasa penasarannya.
"Nanti kau juga tahu,"
Maya mengerucutkan bibirnya, pura-pura kesal. Dalam hati dia tidak peduli akan kemana, asalkan bersama Masumi dimanapun tempatnya tidak akan jadi masalah. Setelah dua puluh menit perjalanan, mobil mereka berhenti di pelabuhan Takeshiba Ferry Terminal, Minato-ku, Tokyo. Maya langsung dapat menebak kemana mereka akan pergi.
"Izu?!" Pekik Maya, langsung bangun dari dekapan lengan Masumi.
Masumi tersenyum tipis saat mengulurkan tangannya, membimbing Maya turun dari mobil. Dia masih mengenakan gaun panjang dan sepatu high heels, harus lebih hati-hati dalam melangkah.
Hijiri membuka bagasi belakang, mengeluarkan dua koper besar dari dalamnya.
"Mamamu sudah menyiapkan semuanya," kata Masumi menjawab pertanyaan tidak terucap dari istrinya.
"Jadi mama tahu aku akan ke Izu?"
Masumi menggeleng, "Tidak ada yang boleh tahu sayang. Kau pikir kenapa kita pergi malam-malam seperti ini bersama Hijiri,"
"Ah iya, kau tidak akan punya tempat persembunyian lagi jika semua tahu vila itu," kata Maya.
Masumi terkikik, "Bukan itu,"
"Lho? Lalu?"
Masumi mencondongkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya pada telinga Maya, "Aku tidak mau ada yang mengganggu kita," bisiknya.
Maya ternganga.
"Semua sudah siap, Tuan, Nyonya," kata Hijiri.
"Baik, terima kasih Hijiri," kata masumi.
"Sekali lagi selamat berbahagia Tuan, Nyonya," Hijiri mengangguk hormat.
"Terima kasih kak Hijiri," kali ini Maya yang menjawab.
Masumi memasangkan jaket tebal untuk istrinya.
"Angin malam tidak bagus," kata Masumi.
Maya hanya tersenyum dan Masumi kembali membimbingnya menaiki fast ferry. Maya tahu kapal itu milik keluarga Hayami.
Maya masih sempat melihat Hijiri melambai pada dirinya saat fast ferry mulai meninggalkan pelabuhan. Sampai akhirnya pelabuhan hanya menjadi sebuah titik kecil, Maya mengalihkan perhatiannya pada Masumi yang sedang asyik memandang laut seraya mendekap dirinya dengan kedua lengannya.
Senyum Maya kembali mengembang saat melihat wajah tampan suaminya terlihat begitu tenang dan bahagia menatap laut malam.
Maya bergidik saat angin malam sedikit mengusiknya, hal itu juga mengusik ketenangan Masumi.
"Dingin?" Kening Masumi berkerut saat bertanya. Mungkin terkejut karena jaket tebal ataupun pelukannya ternyata tidak cukup menghangatkan istrinya.
"Tidak apa-apa," jawab Maya menenangkan.
Masumi tersenyum simpul dan semakin mengeratkan pelukannya.
Angin malam membuat mata Maya berat.
"Pukul berapa sekarang?" Tanya Maya.
Masumi melihat jam tangannya, jam tangan yang dulu diberikan Maya padanya.
"Sepuluh empat lima," jawab Masumi, "Kau pasti mengantuk," tebaknya.
"Sedikit," Maya kembali menyurukkan kepalanya didada Masumi.
"Tahan sebentar lagi ya," bisik Masumi.
Maya mengangguk. Dia merasa perjalanan yang sebenarnya hanya memakan waktu empat puluh lima menit itu terasa begitu melelahkan. Mungkin karena sejak pagi dirinya memang sudah sangat sibuk. Upacara pernikahan lalu konferensi pers singkat sebelum resepsi dan resepsi pernikahan yang dibanjiri oleh ratusan tamu, Maya bahkan bingung semua hal penting itu bisa terjadi hanya dalam waktu satu hari.
Alhasil sekarang tenaganya habis terkuras, padahal masih ada hal penting lagi yang harus dilakukannya. Maya mendesah perlahan saat mengingat itu tapi rupanya rasa kantuk dan lelahnya sudah tidak tertahan lagi. Semua pemikirannya menjadi buyar begitu saja dan Maya terlelap di alam bawah sadarnya.

***

"Uuhhhmmm," Maya menggumam saat merasakan tubuhnya melayang.
Melayang? Pertanyaan yang muncul tiba-tiba itu memaksa Maya untuk membuka matanya.
"Eh?!" Maya terkejut saat menyadari Masumi sudah menggendongnya menaiki tangga di teras vila. Dia bahkan tidak ingat kapan dia turun dari fast ferry.
"Hai," sapa Masumi lembut setengah berbisik saat mereka tiba di depan pintu.
"Kita sudah sampai?" Tanya Maya bingung.
Masumi mengangguk, "Bisakah kau membantuku membuka pintu sayang? Aku tidak mau menurunkanmu sebelum kita memasuki rumah,"
Maya masih sedikit linglung karena baru saja bangun, "Membuka pintu?"
"Kuncinya ada disaku kemejaku," Masumi memberi instruksi.
"Oh," Maya mengerti dan menyelipkan tangannya ke balik jas Masumi, merogoh sakunya dan mengambil kunci dari dalamnya.
Masumi tersenyum senang dan Maya bingung. Kenapa suaminya begitu senang?
Masumi bergeser, memudahkan Maya membuka pintu.
Klek! Klek! Pintu terbuka, Masumi melangkah masuk. Ruangan gelap, hanya ada cahaya bulan yang samar masuk melalui jendela dan pintu yang terbuka, ya, malam itu adalah malam bulan purnama sehingga cahaya diluar cukup terang. Masumi menurunkan Maya, tangannya meraih saklar lampu dan saat lampu menyala...Maya terpesona.
"Selamat datang sayang!" Ucap Masumi seraya memeluk dan mengecup kening istrinya. 
Maya tersipu dengan perlakuan romantis suaminya.
Sekali lagi Masumi berhasil membuat hati Maya luluh lantah dengan segala kejutannya. Maya memandang seluruh ruangan yang dihias dengan sempurna. Bunga mawar ungu dirangkai indah disetiap sudut ruangan lalu di lantai bertebaran kelopak bunga dan ditengahnya, kelopak bunga itu membentuk sebuah gambar hati dengan tulisan I LOVE U MAYA. Maya tidak bisa lagi menahan air matanya.
"Kau suka?"
Maya mengangguk, memberikan senyuman termanisnya. "Terima kasih,"
"Ayo," Masumi menggenggam tangan Maya dan membawanya masuk.
Maya berjingkat hati-hati dan menaikkan gaun panjangnya saat melintasi tulisan dari kelopak bunga mawar di lantai. Masumi tertawa.
"Aku tidak mau merusaknya," Maya memberi alasan tindakan konyolnya. Ya meski besok semuanya pasti dibersihkan tapi Maya masih ingin melihatnya lebih lama lagi malam ini.
Masumi membuka pintu kamar dan Maya kembali tenganga, rasanya sekarang dia benar-benar membutuhkan jantung cadangan, kalau-kalau jantungnya sekarang begitu lelah karena terlalu banyak hal yang mengejutkan baginya hari itu.
Kamar utama itu sudah jauh berbeda dari yang pernah dilihatnya dua tahun lalu, saat kunjungan pertamanya ke Izu, meski dia tidak tidur di kamar itu melainkan di kamar tamu -bersama Masumi juga tentunya-.
Kamar itu memiliki pintu kaca ganda menuju ke balkon. Tirai pintu tidak ditutup sehingga cahaya bulan bisa masuk dengan bebas, memberikan nuansa romantis yang tak terbayangkan di benak Maya. 
Design interior kamar sudah dirubah sepenuhnya, didominasi oleh warna cream yang lembut. Ranjang besar dari kayu yang difurnish coklat mengkilap. Meja rias yang sebelumnya tidak ada sekarang mengisi salah satu sisi ruangan. Ada juga meja kecil bulat dengan dua kursi di ujung ranjang besar. Ruangan kembali dihiasi dengan rangkaian bunga mawar yang indah dan yang lebih indah lagi adalah lilin-lilin kecil yang menyala di dalam gelas-gelas kaca disekeliling ruangan, aromanya harum memenuhi ruangan, semuanya ditata dengan cantik. Jadi meski lampu belum dinyalakan Maya dapat melihat jelas semua keindahan yang disajikan di kamar dengan bantuan cahaya lilin dan cahaya bulan. 
Maya berjalan ke pintu kaca, membukanya dan merasakan hembusan angin menerpa wajahnya. Diapun melepas jaketnya dan membiarkannya jatuh ke lantai. Membiarkan angin laut malam menyapu kulitnya. Cahaya perak bulan yang terpantul di lautan tenang membuatnya begitu takjub. 
Adakah yang lebih indah dari ini? Maya merasa terbius oleh semua keindahan alam dan keindahan cinta yang diwujudkan Masumi untuknya. Maya berdiri di balkon, tenggelam dalam ketenangan malam.
Sentuhan hangat di kulit lengannya menyadarkan Maya akan kehadiran Masumi dibelakangnya.
"Angin malam bisa membuatmu sakit sayang," bisik Masumi lembut seraya mengusap kedua tangannya di lengan terbuka Maya yang mulai terasa dingin.
Masumi memutar tubuh Maya mengahadap padanya, istrinya tersenyum.
"Terima kasih," kata Maya lembut menatap suaminya.
"Untuk apa?"
"Untuk semuanya,"
Masumi kemudian tersenyum, "Kau senang?"
"Tentu saja sayang, lebih dari itu aku bahagia,"
Masumi mendekatkan wajahnya dan memberikan ciuman lembut dibibir istrinya.
"Ayo masuk, aku tidak mau kau sakit," kata Masumi dibibir Maya.
Maya tersenyum dan keduanya masuk ke dalam kamar. Masumi menutup pintu balkon tapi tetap membiarkan tirainya terbuka. Lampu sudah dinyalakan dan Maya mengambil jaket yang tadi dijatuhkannya di lantai lalu menggantungnya. Dua koper besar mereka sudah terletak di dekat lemari pakaian besar.
"Masumi pasti mengambilnya saat aku melamun di luar tadi. Aku bahkan tidak tahu apa isi koper besar itu," gumam Maya dalam hati.
"Koper LV itu milikmu." Kata Masumi saat melihat Maya tertegun memandang koper mereka. Dia sedang melepas jas dan dasinya.
"Oh," Maya berjalan mendekati kopernya, "Apa isinya?"
Masumi mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu, aku hanya mengatakan pada mama bahwa aku akan mengajakmu pergi beberapa hari sebelum perjalanan bulan madu kita," jawab Masumi, 
"Kau mau mandi dulu sayang? Aku akan siapkan air panas,"
Maya mengangguk dan saat suaminya menghilang ke kamar mandi untuk menyiapkan air mandi, Maya membuka kopernya.
Maya menahan dirinya untuk tidak terbahak ketika melihat isi kopernya. Ada sebuah tulisan di kertas merah jambu yang terletak di atas salah satu tumpukan bajunya. Baju? Lingerie tepatnya.

Selamat bersenang-senang sayang
Semua ini koleksi terbaru dari Carine Gilson
Kau pasti menyukainya dan suamimu pasti terpesona

Dari
Mama dan kakak ipar yang sayang padamu


Maya menggeleng geli membaca kartu ucapan konyolnya itu. Tapi kemudian Maya mendesah saat melihat tumpukan lingerie dari merk terkenal, termewah dan termahal di dunia itu.
Maya merasakan pipinya merona saat membayangkan reaksi Masumi jika melihatnya mengenakan lingerie itu. Terkikik, akhirnya Maya memutuskan mengambil sebuah lingerie merah satu set dengan jubah tidurnya. Tepat ketika Maya menutup kopernya, Masumi keluar dari kamar mandi.
"Kau ingin mandi lebih dulu?"
Maya menggeleng.
"Kau saja dulu." Jawab Maya, diapun bergeser ke koper Masumi. 
"Apa boleh aku menyiapkan bajumu?" Tanya Maya sebelum membuka koper suaminya.
"Tentu," jawab Masumi senang.
Mayapun membuka koper suaminya. Semua bajunya tertata rapi dan Maya sempat terkejut saat melihat piyama satin merah terlipat rapi disana, warnanya senada dengan lingerie yang tadi dipilihnya.
"Kau suka warna merah?" Tanya Maya heran seraya menunjukkan piyama itu pada Masumi, seingat Maya suaminya itu tidak begitu suka warna terang.
"Oh itu, Christ yang memberikannya padaku. Aku sempat tertawa saat dia memberikan banyak sekali hadiah padaku pada pesta lajang," Masumi terkikik.
"Pesta lajang? Pesta apanya? Kalian kan hanya pergi minum berdua," ejek Maya.
"Tidak berdua, ada Ryan, Alex dan Hijiri," sanggah Masumi.
Maya tergelak, "Pesta dengan para pengawal,"
Masumi juga tertawa dan mengambil piyama yang diulurkan Maya lalu segera menghilang dikamar mandi.
Maya menyiapkan semua perlengkapan mandinya sambil menunggu suaminya. Dia berjalan ke atas meja bundar yang ada disisi ruangan di ujung tempat tidur. Menuang segelas air dari pitcher yang tersedia di atas meja. 
Puas melegakan dahaganya. Maya melirik jam digital di atas nakas. Pukul setengah satu dini hari. Dan Maya merasa lelah.
Masumi keluar dari kamar mandi, suaminya itu terlihat segar dengan rambut basahnya. Melempar senyum menggoda, Masumi menghampiri istrinya dan mengecup keningnya.
"Mengantuk Nyonya?" Goda Masumi, melihat mata Maya yang mulai memerah.
"Ya, Tuan. Tapi sebaiknya saya membersihkan diri dulu," balas Maya.
Masumi tersenyum saat Maya melewatinya menuju kamar mandi, tidak lupa mengambil baju ganti yang sudah disiapkannya tadi.
Maya mematut dirinya didepan cermin di kamar mandi. Lingerie merah sangat pas ditubuhnya, menggantung indah dengan seutas tali di bahunya. Renda halus di bagian depan menempel sempurna mengikuti lekuk dadanya. Bahannya lembut dan jatuh sempurna sepanjang paha. Maya terlihat seksi. Dia tersenyum sendiri dan setelah mengeringkan rambutnya dia memakai jubah tidurnya untuk menyembunyikan lingerienya. Terlintas sebuah ide untuk membalas semua kejutan yang diberikan Masumi. 
Maya menarik napas panjang sebelum keluar dari kamar mandi. Menenangkan dirinya. Menyingkirkan perasaan takutnya akan rasa sakit malam pertama yang pernah dibacanya.
Masumi duduk di tepi tempat tidur, memeriksa beberapa pesan di handphonenya. Fokusnya langsung teralihkan saat melihat istrinya keluar dari kamar mandi.
Cantik, segar, menggoda, tiga kata itu terlintas di benak Masumi melihat istrinya berbalut jubah tidur satin merah yang senada dengan piyamanya.
Maya sengaja tidak langsung menghampiri suaminya tapi memilih duduk di meja rias lalu menyisir rambutnya. Mengamati ekspresi Masumi dari cermin. Suaminya juga menatap intens wajahnya melalui cermin.
Ya, Maya punya kejutan indah untuk suaminya. Selesai menyisir rambut, Maya berdiri dan melepas ikatan tali jubahnya. Sengaja perlahan membuka jubahnya, membiarkan suaminya melihat apa yang dilakukannya. Jubah satin itu meluncur mulus dibahu Maya, terlepas sempurna dan Maya meletakkannya rapi di bangku meja rias. Masih melalui cermin Maya bisa melihat ekspresi terkejut Masumi. Ekspresi itu semakin nyata saat Maya kemudian berbalik dan berjalan menghampiri suaminya.
Masumi menelan ludahnya perlahan, mengagumi obyek surgawi yang ada dihadapannya, mengagumi bidadari yang sedang berjalan menghampirinya.
Rambut hitam Maya tergerai disatu sisi dan jatuh dengan lembut di bahu sampai ke dadanya yang padat berisi. Sedang sisi bahunya yang lain memperlihatkan kulit mulus bak porselen. Tubuh Maya jelas terawat dengan baik. Lekuk tubuhnya indah. Pinggulnya bergoyang menggoda saat berjalan. Pahanya yang hanya tertutup setengah oleh lingerie-nya memperlihatkan kemolekan yang Masumi tidak pernah berani membayangkannya. Masumi belum pernah memperhatikan tubuh Maya sedetail ini. Tentu saja karena itu akan sangat menyiksa saat mereka belum resmi menikah. Dan sekarang, keduanya sudah menjadi suami istri. Masumi merasakan dadanya berdebar dan mulai sesak saat Maya semakin dekat padanya.
Mimpikah dirinya melihat bidadarinya begitu menggoda di dihadapannya. Masumi menghela napas, meyakinkan dirinya kalau semua ini bukan mimpi. Maya begitu nyata, bidadari miliknya, ya hanya miliknya.
"Maya...," tanpa sadar Masumi menggumam, istrinya sudah berdiri didepannya.
Maya memandang lembut suaminya, tanpa kata, hanya memandang wajah tampan rajanya.
Ya rajanya, malam ini Masumi akan menjadi raja dan Maya akan menjadi ratu. 
Raja dan ratu dalam istana cinta mereka.
"Kau cantik sekali dan...sangat seksi," kata Masumi.
Maya mengulum senyumnya, "Kau suka?"
Masumi mengangguk, "Sangat suka, kau mempesona," pujinya. 
Dia meraih tangan Maya, membuat istrinya semakin mendekat, berdiri diantara kakinya.
"Kau tidak lelah sayang?" Masumi bertanya sambil mengusap rambut panjang Maya, menyelipkannya di belakang telinga.
Maya menggeleng.
"Kau yakin? Kita tidak harus melakukannya sekarang jika kau lelah. Masih ada besok, besok, atau besoknya lagi," Mulut Masumi memang mengkhianati hati dan hasratnya yang bahkan sudah tidak sabar untuk memiliki wanita cantik yang ada dihadapannya itu dengan seutuhnya. Tapi mengingat padatnya kegiatan yang sudah mereka lakukan, Masumi tidak tega jika harus membuat istrinya itu kelelahan hanya demi menyenangkan dirinya.
"Apa kau lelah?" Maya balik bertanya.
"Melihatmu seperti ini? Kau bercanda sayang, aku bahkan tidak akan bisa tidur meski kau memintanya," canda Masumi.
Maya terkikik. Sejujurnya dia lelah, tapi Masumi sudah melakukan banyak hal untuknya dan keinginanya untuk menyenangkan suaminya itu lebih besar dibanding keinginanya untuk tidur atau ketakutannya akan rasa sakit yang terbayang dipikirannya. Maya melirik jam, pukul satu lima belas dini hari dan dengan cepat kembali memandang suaminya.
Mata gelap Masumi memandangnya dalam, menciptakan getaran tersendiri di hati Maya. Dia bahkan terheran, bagaimana hanya dengan sebuah tatapan mata Masumi bisa mempesona dan menaklukkan hatinya.
Masumi berdiri, "Sebentar," gumamnya. 
Masumi berjalan kedekat pintu dan mematikan saklar lampu, tapi seperti sebelumnya, ruangan itu terang oleh cahaya bulan dan lilin-lilin yang masih menyala. Cukup terang untuk mereka bisa melihat ekspresi wajah satu sama lain. Suasana langsung berubah, hening, debur ombak menjadi satu-satunya suara yang terdengar. 
Masumi kembali berdiri dihadapan Maya yang sejak tadi bergeming di tempatnya. Senyum menggoda Masumi mengembang bersamaan dengan tangannya yang meraih pinggang Maya, merapatkan tubuh istrinya pada tubuhnya.
"Kau siap?" tanya Masumi setengah berbisik.
"Aku milikmu," jawab Maya, dia melingkarkan tangannya di leher suaminya.
Mendekatkan wajahnya, Masumi mendaratkan kecupan mesra di kening Maya.
"Aku mencintaimu sayang," gumamnya dan dengan lembut Masumi mengulum bibir mungil Maya.
Perlahan, mereka menikmati kelembutan satu sama lain. Namun semakin lama kelembutan itu berubah menjadi hasrat yang tak tertahankan ketika ciuman mereka semakin dalam. Lidah mereka saling mendesak satu sama lain hingga napas keduanya semakin memburu.
Masumi mengusap lembut punggung Maya dan Mayapun menyapukan tangan mungilnya di tengkuk suaminya. Menyelinap kedalam rambut lebat Masumi dan mencengkeramnya kuat saat ciuman mereka semakin memanas.
Dari punggung tangan Masumi terus turun membelai setiap inchi tubuh Maya, meremasnya perlahan, membuat istrinya melenguh didalam mulutnya. Belaian Masumi membuat Maya merasa dimanjakan dan membuatnya semakin tersesat.
Tangan Masumi kembali naik dengan menyusuri setiap garis lekuk tubuh Maya. Melewati pinggulnya, sedikit meremasnya, pinggul Maya bergoyang tanpa sadar karenanya. Kembali merayapi punggung Maya, kedua tangan Masumi membelai dan mengusapnya dengan lembut, kulit di bawah lingerie satin itu meremang, merasakan sensasi atas sentuhan penuh hasrat dari suaminya.
Maya yang merasakan gejolak menari di dalam dirinya juga tidak hanya diam, satu tangannya turun menyusuri garis leher hingga kedada Masumi, memberikan belaian lembut di sana. Sesekali mencengkeram piyama saat lidah Masumi memaksanya.
Masumi menggerakkan tangannya semakin ke atas, membelai bahu polos Maya dan bersamaan dengan itu Masumi melepaskan bibir Maya. Bibir Masumi kemudian beralih menyusuri garis rahang Maya, menuruni lehernya, mencumbui bahu polos istrinya sementara tangannya kembali turun untuk mengulang memetakan setiap lekuk tubuh mungil dalam dekapannya. Maya mengerang, merasakan kenikmatan yang memabukkan. Tangannya mencengkram rambut Masumi dan tangan yang lainnya mencengkram piyama didadanya.
"Maya...istriku," desah Masumi dengan suara yang sudah berubah menjadi berat. Dia terus mencumbui bahu Maya, melewati dadanya beralih ke sisi bahu yang lain. Maya kembali mengerang saat Masumi menggigit lembut bahu polosnya seraya meremas kedua pinggulnya.
Masumi berhenti, menatap Maya yang kehabisan napas. Tangan Masumi meraih ujung lingerie Maya, menariknya keatas perlahan. Maya mengangkat tangannya, memudahkan Masumi melepaskan satin merah itu dari tubuhnya. Masumi membiarkan benda indah itu jatuh dilantai. Mata masumi semakin menggelap menatap keelokan tubuh bidadari dihadapannya. Namun fokusnya teralihkan saat Maya mulai membuka kancing piyama Masumi satu persatu. Mata mereka tidak berhenti saling menatap meski tangan Maya sibuk bekerja. Masumi menikmati ekspresi istrinya. Kancing terakhir terbuka dan dengan lembut Maya mendorong piyama itu melewati bahu Masumi. Piyama satin itu juga meluncur sempurna dan jatuh ke lantai.
Maya takjub, mengamati tubuh elok milik suaminya. Setiap ototnya terpahat sempurna tapi tiba-tiba Maya berkerut, saat kesempurnaan itu terusik oleh dua bekas luka di dada kiri Masumi. Luka itu, luka yang hampir merenggut nyawa suaminya. Betapa bersyukurnya Maya bahwa Tuhan masih begitu baik memberikan kesempatan untuk mereka bisa bersatu.
Maya menyingkirkan pikiran melankolisnya tentang tragedi itu, tidak mau merusak suasana indahnya. Dia mengusap lembut dada suaminya dan mendaratkan kecupan manis disana. Aroma tubuh Masumi membiusnya. Kecupannya mendarat di semua bagian dada dan Maya merasakan kulit Masumi meremang dibawah sentuhan bibirnya, rambut halus didada suaminya memberi penghormatan pada sentuhannya.
"Maya...," Masumi menikmati setiap kecupan bibir Maya di tubuhnya, kedua tangan Maya bergerak ke lengan, dada, leher, meremas rambutnya, tengkuknya, dan Masumi takluk. Terengah menahan sensasi memabukkan yang ditimbulkan istrinya.
Masumi meraih kedua tangan Maya, menghentikan gerakannya. Maya menatap suaminya yang terengah, senyum Masumi mengembang. "Kau membuatku mabuk Nyonya," bisiknya menggoda. Maya tersenyum dan senyum itu hanya bertahan sesaat karena kemudian Masumi kembali memagut bibirnya. Maya mengerang di mulut Masumi.
Ciuman Masumi semakin panas, membuat Maya meleleh. Maya merasakan kakinya lemas dan Masumi menyadari itu. Maya oleng dalam pelukannya.
Perlahan dia membawa Maya berjalan mundur dengan masih terus mencumbunya. Kaki Maya terantuk ranjang dan Masumi yang masih tidak melepaskan bibir Maya membaringkan perlahan tubuh istrinya.
Tangan Masumi dibawah tubuh Maya berusaha melepaskan kaitan bra, membuat Maya melengkungkan punggungnnya, mempermudah usaha suaminya. Bra indah itu terlepas dan bernasib sama dengan lingerie mewah tadi, teronggok di lantai.
"Jangan menatapku seperti itu," Maya merona malu.
Masumi tersenyum, "Kau mempesona," pujinya.
Dan tak membuang waktu lagi Masumi kembali memuja istrinya. Menciumi setiap inchi tubuh Maya. Menyusuri leher, bahu, kecupan demi kecupan. Napasnya semakin memburu. Tangannya juga tidak berhenti bergerak, jarinya terus menari, membelai, meremas, dan tangannya berhenti pada obyek lembut yang memenuhi telapak tangannya. Maya melenguh keras saat Masumi meremas salah satu miliknya, kemudian membelainya dengan lembut. Maya secara naluri melengkungkan punggungnya. Maya terengah, menghempaskan punggungnya di ranjang saat Masumi berhenti membuainya. 
Kedua mata mereka saling bertatapan, saling memuja tanpa kata. Masumi mengusap lembut perut Maya yang terbaring dibawahnya, jarinya terus menyusuri lekuk tubuh itu dan berhenti di kedua sisi pinggul Maya. Menyelipkan ibu jarinya, Masumi menarik turun perlahan benda terakhir yang menutupi keindahan tubuh istrinya. Menyingkirkan benda yang menghalangi penyatuan dirinya.
Maya terkesiap dan baru menyadari obyek surga dihadapannya. Entah kapan dan bagaimana Masumi melakukannya, Maya tidak tahu, yang jelas suaminya itu sudah benar-benar polos diatasnya. Maya merona merah melihat suaminya begitu menantang. Dia berusaha menekan ketakutan yang sempat melintas karena melihat obyek yang mungkin saja akan membuatnya sakit, tapi dia tidak peduli lagi. Maya kembali menatap mata suaminya, mengalihkan ketakutannya.
"Aku tidak akan menyakitimu," bisik Masumi dengan lembut ditelinga Maya, seolah dia tahu apa yang dipikirkan istrinya. 
Maya tersenyum lalu mengangguk. Hanya itu yang bisa dilakukannya. Otaknya tidak bisa lagi merangkai kata-kata. Tapi dia percaya, percaya bahwa suaminya tidak akan menyakitinya.
Perlahan Masumi mengangkat tubuh Maya. Sekarang keduanya terbaring seluruhnya di ranjang.
"Kau sangat cantik," puji Masumi. Dia berbaring dengan sikunya di sisi tubuh Maya, menyusuri jarinya disepanjang garis wajah istrinya. Maya memejamkan matanya, menyerah pada sentuhan lembut Masumi. Sentuhan itu terus berjalan, kegaris rahang, ke leher, melewati rute-rute yang sebelumnya sudah dilewati tapi tetap saja Maya meleleh oleh setiap sentuhan itu. Maya kembali mengerang saat kelembutan Masumi kembali membuainya, menghilangkan kesadarannya secara perlahan.
Maya tidak menyangka kalau bercinta membuatnya merasakan perasaan luar biasa ini. Amanda benar, dia tidak harus memikirkannya. Kenyataannya meski dirinya dan Masumi belum pernah melakukannya tapi mereka memulai semuanya dengan baik. Pikiran Maya kembali teralihkan saat dia merasakan napas suaminya itu panas, memburu di permukaan kulit tubuhnya.
Maya menegang saat merasakan sentuhan jari-jari Masumi yang semakin ke bawah. Telapak tangan hangat itu meremas pinggulnya, membelai kedua pahanya bergantian dan Maya terkesiap saat jari Masumi menyelinap diantara pangkal pahanya. Masumi berhenti, menilai reaksi istrinya. Kecupan lembut meredakan ketegangan Maya.
"Aku akan memastikan kau siap dulu," bisik Masumi di bibir Maya.
Terengah, Maya membuka matanya, menatap suaminya dengan bingung. Masumi hanya tersenyum, tahu jika Maya tidak mengerti maksud ucapannya. Tapi dia tidak peduli, dia tidak harus menjelaskannya, hanya harus melakukannya. Meski kenyataannya Maya sering menggodanya tapi dia tahu pasti kalau istrinya ini benar-benar awam. Sedangkan dirinya? Well, meski bukan pengalaman nyata, setidaknya dia sudah tiga puluh empat tahun dan jelas dia tahu bagaimana caranya meski belum pernah mempraktekkannya.
Masumi menghentikan teori panjang dalam otaknya dan kembali fokus pada apa yang harus dilakukannya. Maya masih menatapnya dan Masumi segera membuatnya kembali terpejam dengan mencumbu bibirnya. Saat cumbuannya semakin dalam Masumi kembali melaksanakan rencananya.
Maya mengeratkan satu tangannya yang melingkar di bahu Masumi dan satu tangan lain mencengkram kain sprei saat merasakan jari Masumi menyelinap di dalam tubuhnya. Napas Maya semakin memburu, bukan hanya karena ciuman Masumi yang semakin mendesaknya tapi karena jari Masumi juga mulai bergerak di bagian inti tubuhnya. Pinggul Maya bergerak secara reflek, merespon sentuhan tangan Masumi. Semua otot bagian bawahnya menegang. Sensasi aneh tapi nikmat menjalari setiap sel tubuhnya. Maya terengah, Masumi melepaskan cumbuannya juga menarik jarinya.
"Kau sudah siap," bisik Masumi.
Maya sekarang mengerti apa maksudnya dan secara naluri dia merasakan dorongan itu. Kali ini Maya tersenyum lalu mengangguk, merespon perkataan suaminya. Masumi juga mengulum senyumnya, bergeser, Masumi melayang dia atas tubuh Maya. Menyangga tubuhnya dengan kedua sikunya. Maya meringis saat bagian tubuh suaminya menekan perutnya. Tiba-tiba dia terkikik geli.
"Kenapa sayang?" Tanya Masumi heran.
"Hhhmmm, milikmu...rasanya panas," kata Maya setengah berbisik.
Masumi tergelak, "Kau bercanda di waktu yang tidak tepat."
"Aku tidak bercanda, aku hanya merasakan kalau 'itu' panas," Maya cemberut lucu.
"Oke, oke, apa kita akan melanjutkannya atau kau ingin mendinginkannya sehingga kita bisa tidur sekarang?" Goda Masumi.
Maya merona, memukul manja dada suaminya dan Masumi tahu Maya ingin pekerjaannya selesai. Diapun kembali mengambil alih semuanya. Perdebatan keduanya terhenti, Masumi kembali mencumbu Maya, membelai tubuhnya dan jarinya kembali bergerak di dalam diri Maya, membuka jalan bagi penyatuan mereka berdua.
"Masumi...," Maya mengerang saat jari Masumi semakin dalam meluluhkannya. Matanya terpejam erat, menikmati setiap sensasinya. Mendengar desahan istrinya, Masumi semakin terbakar. Masumi menarik jarinya dan mulai menekan miliknya. Menggerakkannya perlahan dan pinggul Maya merespon tanpa sadar. Maya mendesah lagi.
Masumi tersenyum lalu mencium bibir istrinya."Aku mencintaimu," dan Masumi akhirnya menjadikan Maya miliknya seutuhnya. Maya menggigit bibirnya untuk menahan teriakannya saat dirinya dan Masumi bersatu.
"Sakit?" kecemasan terdengar dari nada suara Masumi, 
Maya menggeleng cepat. Sejujurnya dia tidak tahu apa yang dirasakannya sekarang. Sakit? Nikmat? Entahlah, Maya hanya mencoba menikmati sensasi asing di dalam dirinya, sensasi yang membuatnya ingin menjerit.
Masumi menarik dirinya dan kembali mengulang prosesnya. Mengisi kekosongan tubuh Maya dengan miliknya. Saat Masumi melakukan yang kedua kalinya ekspresi Maya melembut. Masumi mendesah lega.
Maya membuka matanya, menarik wajah Masumi mendekat dan melumat bibirnya, dia tidak mau pikirannya teralihkan karena rasa sakit yang mulai dirasakannya. Rasa sakit Maya semakin teralihkan saat Masumi mulai bergerak. Cara Maya mencumbu bibir Masumi seolah memberikan irama gerakan untuk saling menyesuaikan. Keduanya mulai bergerak seirama. Maya melepaskan bibirnya dan mengerang saat suaminya bergerak semakin dalam. Maya melengkungkan pinggulnya untuk mengimbangi suaminya.
"Maya...," Masumi memeluk tubuh istrinya, mendaratkan kecupan di setiap bagian yang bisa dijangkaunya.
Maya semakin terengah. Dia merasa sedang menaiki sebuah puncak yang tinggi. Maya menyerah, air matanya meleleh, menggumamkan nama suaminya berkali-kali. Keduanya mengeratkan pelukan satu sama lain saat kedua tubuh itu bergetar bersamaan. Maya berteriak saat merasakan sesuatu meledak dalam dirinya dan tak lama kemudian Masumi juga mencapai pelepasannya.
Masumi terjatuh, menekankan dua sikunya di sisi tubuh Maya agar tidak terlalu menindih istrinya. Maya masih terpejam, air matanya menganak sungai, napasnya kacau, wajahnya merona segar setelah pelepasan indah yang berhasil dicapainya.
Lama, keduanya terdiam tidak bergerak. Masumi mengamati istrinya yang terisak perlahan, mengusap air mata dengan ibu jarinya. Masumi mengecup kedua sudut mata istrinya. Saat Maya mulai tenang dan isakannya mereda, perlahan, Masumi menarik dirinya, membuat Maya meringis. Maya membuka matanya dan rona segar di wajah Masumi menyambutnya. Maya tersenyum malu-malu, senyum bahagia.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Masumi lembut seraya mengusap kening Maya dan mengecupnya.
Maya mengangguk, "Ngg, tadi itu....," Maya berhenti, tidak menemukan kata yang tepat untuk diucapkan.
Masumi tersenyum, "Itulah cintaku padamu sayang," bisik Masumi mesra dan Maya merona. Sensasi aneh itu belum hilang dari seluruh tubuhnya.
Masumi berguling ke samping dan manjatuhkan dirinya di ranjang. Mengatur napasnya, menenangkan dirinya dari gejolak hebat yang sudah ditahannya selama bertahun-tahun. Tak lama, Masumi bergeser lalu merengkuh Maya dalam pelukannya. "Terima kasih sayang," ucapnya lembut.
"Untuk apa?" Tanya Maya seraya menyurukkan wajahnya di dada Masumi, tempat favoritnya.
"Karena sudah bersedia menjadi milikku. Kau adalah anugrah Tuhan yang paling indah dalam hidupku sayang,"
Masumi merasakan istrinya tersenyum didadanya.
"Terima kasih juga sudah mencintaiku sedalam ini, suamiku,"
Masumi tersenyum. Bahagia. Lalu mengeratkan pelukannya. Keduanya terdiam, menikmati kebersamaan dalam ketenangan yang indah. Masumi merasakan napas Maya semakin panjang dan teratur di dadanya. Dia tahu istrinya sudah terlelap. Bergerak perlahan, Masumi menarik selimut dan menutupi tubuhnya juga Maya. Setelah memastikan istrinya nyaman tidur dalam pelukannya, Masumi pun terlelap, terbang ke alam bawah sadarnya, mengistirahatkan tubuhnya.

***
Masumi menyambut matahari pagi dengan senyum bahagia. Bangun dengan Maya sebagai istrinya berada di sampingnya adalah mimpi indahnya yang menjadi nyata. Setelah sekian lama waktu dihabiskannya untuk menunggu akhirnya dia sampai pada tujuan akhirnya, Maya-nya.
Meski begitu dia sadar ini bukan akhir dari segalanya, tapi justru awal dari segalanya. Awal hidupnya sebagai seorang suami, nahkoda dari bahtera rumah tangganya yang baru saja berlayar. Apa yang dialaminya dini hari tadi adalah awal dari segalanya untuk dirinya dan Maya, sebagai istrinya, memulai hidup yang baru.
Masumi mengusap lembut kepala istrinya yang masih terlelap di dalam pelukannya sambil menikmati matahari pagi dari pintu kaca kamarnya yang langsung menghadap ke laut.
Kedamaian ini tidak bisa digantikan oleh apapun juga, dia bahkan rela memberikan apa saja miliknya untuk bisa terus berada dalam kedamaian hati yang dialaminya sekarang. Sungguh cinta telah mengubahkan seluruh hidupnya. Cintanya pada Maya dan cinta Maya padanya.
"Terima kasih sayang," gumamnya lembut seraya masih mengusap kepala istrinya, 
"Aku tidak menjanjikan semuanya akan berjalan dengan indah tapi aku berjanji akan selalu berada disampingmu, menyayangimu, menjagamu di sisa hidupku," Masumi mengecup lembut bibir istrinya dan seperti biasa, Maya yang terlelap sulit untuk dibangunkan.
Masumi kembali mengulum senyumnya, menikmati kecantikan istrinya. Membiarkan bidadarinya tidur lebih lama.
Terbangun, mengerjapkan bulu mata, Maya melawan dorongan matanya yang masih ingin terpejam. Tubuhnya terasa lelah, pegal. Maya menginventarisasi apa yang dirasakan tubuhnya seraya mengumpulkan kesadarannya.
"Ugghhh," Maya meringis saat mencoba menggeliat, merasakan perih dibagian bawah tubuhnya.
"Sakit?" Suara Masumi menyadarkan Maya sepenuhnya. Membuka matanya lebar-lebar, Maya melihat suaminya duduk di tepi tempat tidur, mengamatinya, cemas.
Masumi membelai wajah istrinya, "Apa sakit?" Masumi mengulang pertanyaannya dengan lebih lembut.
"Ngg, tidak," jawab Maya.
"Jangan bohong,"
Maya menarik selimut membungkus tubuhnya, bangun dan kembali meringis saat duduk, 
"Sedikit," katanya kemudian.
"Maaf ya," gurat penyesalan tersirat diwajah suaminya.
Maya merapatkan tubuhnya pada Masumi, memeluk lengan suaminya, "Jangan begitu, tadi itu sangat indah. Terima kasih,"
Ekspresi Masumi melembut, lalu merengkuh istrinya dalam pelukannya, "Itu juga sangat indah bagiku, terima kasih sayang,"
Maya kembali menegakkan duduknya, mengamati suaminya yang masih memakai piyama merah.
"Pukul berapa sekarang?" Tanya Maya.
"Sebelas siang," jawab Masumi.
"Oh?! Aku tidur lama sekali. Apa kau juga baru bangun?"
Masumi tersenyum.
"Kau lelah kan? Istirahatlah kalau kau masih lelah. Aku sudah bangun sejak pagi hanya saja belum mandi."
"Sejak pagi? Apa yang kau lakukan sejak pagi?"
"Mengamatimu tidur, menyiapkan makanan. Aku baru saja dari dapur,"
"Maaf ya, aku tidur terlalu lama jadi mengabaikanmu,"
Masumi tersenyum, "Kau ini bicara apa? Kau tidak mengabaikanku. Tidak usah dipikirkan. Sekarang kau mau bangun atau mau kembali tidur. Mandi atau langsung makan?"
"Aku mau mandi dulu," jawab Maya.
"Bagus, aku akan siapkan air panas untukmu. Mau berendam?"
Maya mengangguk seraya turun dari ranjang, menarik selimut bersamanya. Masumi terpaku saat Maya meninggalkan tempatnya.
"Kenapa?" Maya heran melihat Masumi mematung. Diapun membalikkan tubuhnya dan menatap ke sumber pandangan suaminya. Terkejut juga dengan apa yang dilihatnya.
"Ngg, itu....," Maya bingung harus berkomentar apa, sulit mendiskripsikan noda darah yang ada disprei sebagai tanda penyerahan dirinya pagi tadi.
Masumi membungkuskan lengannya ditubuh Maya yang hanya tertutup selimut.
"Kau tahu sayang, tanda merah itu menandakan bahwa kau hanya milikku." Bisik Masumi.
"Aku memang hanya milikmu sayang. Selalu." Maya tenang merasakan dekapan suaminya.
Masumi beralih menatap istri dalam pelukannya, "Apa benar-benar sakit?" Tanya Masumi, kembali sedikit cemas.
Maya berkerut, "Aku bahkan tidak ingat bagaimana rasa sakitnya. Aku baik-baik saja," Maya meyakinkan.
"Ku pikir aku bisa melakukan sesuatu dengan itu," kata Masumi.
Tersenyum, mengecup sekilas bibir istrinya, tanpa kata Masumi kemudian pergi ke kamar mandi. Suara air mengalir menandakan kesibukannya di sana.
Maya yang terbungkus selimutnya berjalan ke kamar mandi. Dia melihat lingerienya sudah berada di tempat pakaian kotor.
"Berendam bisa mengurangi sakit dan pegal tubuhmu," kata Masumi yang kembali mendekat pada istrinya setelah mengisi bath tube dengan air hangat.
"Apa kau akan berendam bersamaku?" Tanya Maya polos pada suami yang berdiri gagah dihadapannya.
"Kau keberatan?"
Maya menggeleng.
Masumi tersenyum, "Bagus, karena memang itu rencanaku,"
"Rencana?" Maya mengernyit.
Masumi kembali menunjukkan senyum penuh teka-tekinya. Diapun mulai membuka kancing piyamanya.
"Hhmmm, sayang...," kata Maya ragu.
"Ya?" Masumi berhenti dan memandang istrinya.
"Boleh aku yang membukanya?" Tanya Maya lirih.
Masumi sedikit terkejut tapi kemudian ekspresinya berubah senang.
"Tentu." Masumi mendekat pada istrinya.
Saat tangan Maya terulur, selimut yang menutup tubuh Maya jatuh, mengumpul di kakinya dan menyingkapkan keindahan yang kembali membuat Masumi terpesona.
"Kau mempesona sayang," puji Masumi seraya menyelipkan rambut dibelakang telinga istrinya, membelai dua bahu polos nan indah sementara Maya membuka kancing piyamanya.
"Kau juga mempesona sayang," Maya mendorong piyama melewati bahu dan piyama merah itu berkumpul dengan selimut di kakinya.
Maya mengecup dada suaminya lalu menyandarkan wajahnya disana, lengannya memeluk tubuh Masumi, menyentuh punggungnya.
Sentuhan kulit dengan kulit. Masumi merasakan darahnya bergolak lagi saat tubuh polos Maya menempel di tubuhnya. Maya terkesiap saat sesuatu menekan bagian bawah perutnya. Menengadah menatap suaminya yang tersenyum.
"Itulah masalah yang selalu kau timbulkan padaku," kata Masumi menahan geli karena ekspresi terkejut istrinya.
"Masalah?" Maya terkikik.
Masumi mengangguk, "Ya, tapi itu dulu. Ku rasa sekarang sudah bukan masalah lagi,"
Maya tergelak dengan penuturan suaminya dan mengeratkan pelukannya. Membelai kepala istrinya, Masumi mengecup puncak kepalanya.
"Ayo, aku ingin memanjakanmu,"
Masumi membawa Maya ke bawah shower dan menyalakan kran air.
"Kyaaa!" Maya memekik girang saat air hangat deras mengalir di atasnya. Masumi tertawa senang.
"Boleh aku membersihkan tubuhmu?" Masumi meminta ijin pada istrinya. 
Hati Maya berbangga pada kelembutan suaminya.
Maya mengangguk dan Masumi meraih spon lalu menuangkan sabun cair di atasnya. Spon penuh busa itu kemudian meluncur di tubuh indah Maya. Mereka menikmatinya, bercanda, tertawa, bergantian membersihkan tubuh satu sama lain. Maya tergelak-gelak saat menyentuh milik suaminya dengan tangannya dan Masumi dibuat tidak berdaya karena itu.
"Oke,oke. Aku akan ingat. Tanganmu, sabun dan milikku akan menjadi sebuah pertunjukan trio yang membuatku melayang. Tapi ku mohon jangan sekarang sayang, kau masih sakit dan aku tidak mau menyakitimu," Masumi menyela kesenangan istrinya yang terus menggodanya. Keduanya tidak lagi sungkan mengeksplorasi kemesraan fisik diantara mereka. Saling menyayangi, menyenangkan satu sama lain, hanya itu yang mereka pikirkan. Maya tertawa lalu melanjutkan membersihkan bagian lain dari tubuh suaminya. Setelah keduanya bersih dari semua sabun, Masumi meraih tangan Maya dan membimbingnya ke dalam bath tube.
"Sekarang giliranku," goda Masumi.
Maya terkikik tapi kemudian meringis saat bagian bawah tubuhnya menyentuh air panas.
"Pelan-pelan sayang, airnya memang sedikit lebih panas," kata Masumi lembut, memahami kondisi istrinya.
Tapi tak lama kemudian, Maya merasa lebih santai di dalam air. Rasa sakitnya berkurang dan tubuhnya nyaman berada di dalam air panas.
"Lebih baik?" Tanya Masumi.
"Iya," jawab Maya senang.
Masumi kemudian masuk ke dalam bath tube besar itu, membuat sebagian airnya tumpah saat dia kemudian duduk di depan istrinya. Maya tersenyum senang, menikmati suami tampannya yang begitu menggoda di depannya.
"Sini kupijat," Masumi meraih kaki Maya dan mulai memijatnya. "Enak?"
"Iya, kau benar-benar tahu cara memanjakan istri ya," puji Maya.
Masumi terkikik, "Terima kasih untuk pujiannya Nyonya,"
Maya tergelak, bukan karena candaan suaminya tapi karena Masumi menggelitik telapak kakinya.
"Jangan!" Kata Maya meminta suaminya berhenti menggodanya.
Masumi menurut dan kembali memijat kaki istrinya. Selesai dengan kedua kaki, Masumi meminta istrinya mendekat padanya. Maya berputar di dalam air dan membuat air tumpah, diapun duduk memunggungi suaminya. Masumi kembali melanjutkan kegiatan memanjakan istrinya itu, memijat kedua tangan Maya lalu bahunya dan punggungnya. Jari-jari Masumi begitu terampil dan Maya benar-benar merasa bahagia, semua sakit dan nyeri yang dirasakannya hilang berkat kelembutan suaminya.
"Terima kasih," gumam Maya setelah puas dimanjakan suaminya, dia menyandarkan punggungnya di dada suaminya.
"Tidak perlu berterima kasih, aku senang memanjakanmu," kata Masumi seraya mengusap buku-buka jadi Maya.
"Aku mencintaimu suamiku," kata Maya seraya meraih tangan Masumi dan mencium punggung tangannya.
Membalas dengan mencium puncak kepala istrinya, "Aku juga mencintaimu istriku,"

***
"Wah, masih ada!" Pekik Maya girang saat melihat ruang tengah masih penuh dengan rangkaian bunga dan ikrar cinta Masumi juga masih terangkai indah di lantai.
"Kau suka?"
"Tentu saja,"
"Kalau kau mau kita bisa membiarkannya seperti itu selama kita disini,"
Maya berbinar senang, "Benarkah?!"
"Iya,"
"Terima kasih," Maya memeluk suaminya erat.
"Itu hanya bunga sayang," Masumi tersenyum geli.
Maya mengerucutkan bibirnya, "Itu bukan hanya sekedar bunga. Itu bukti cinta suamiku padaku. Kelembutan hati suamiku," protes Maya, menjabarkan arti bunga-bunga itu baginya.
Masumi mengeratkan pelukannya dan berbisik, "Aku bisa menunjukkan bukti cintaku padamu dengan lebih hebat lagi dan memberikan kelembutan suami yang akan membuatmu bahagia sayang,"
Wajah Maya merona, tersipu tapi bahagia.
"Bagaimana?" Goda Masumi saat melihat istrinya tersenyum malu-malu.
"Kau pandai menggoda," Maya merajuk.
Masumi terbahak.
"Ayo makan, aku lapar," Maya melepaskan pelukan suaminya dan berjingkat menyebrangi ruang tengah menuju dapur, mengabaikan suaminya yang masih menertawakannya.
"Enak," puji Maya seraya menyantap makanan yang sudah disiapkan oleh suaminya.
"Makanlah lalu minum orange juicenya. Itu akan menyegarkanmu. Kau tidak pusing? Kau cukup banyak minum semalam," Tanya Masumi.
"Tidak, aku baik-baik saja." Maya meringis, semua perlakuan Masumi padanya sudah mengusir semua sakit ditubuhnya. Dia segar sekarang, sangat segar setelah dimanjakan suaminya.
"Syukurlah kalau kau baik-baik saja," kata Masumi seraya menyantap makanannya.
"Oh ya, berapa hari kita disini?" Tanya Maya kemudian, baru menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa soal semua jadwal yang disiapkan Masumi.
"Terserah padamu, tiga atau empat hari? Setelah itu kita akan pergi mengunjungi Bu Mayuko sebelum berangkat bulan madu minggu depan,"
Maya mengangguk-angguk. Mengerti.
"Hari cerah, mau jalan-jalan ke pantai Nyonya?" Masumi meletakkan sumpitnya.
"Tentu Tuan,"
Maya dan Masumi bergandengan tangan, bertelanjang kaki menyusuri pantai.
"Rasanya aneh ya, tiga tahun yang lalu dimusim gugur kau melamarku di tempat ini dan sekarang di musim semi yang indah kita sudah menjadi sepasang suami istri,"
"Dan kau memenuhi janjimu padaku?"
Maya menoleh pada suaminya, "Janji?"
"Kau berjanji kembali datang ketempat ini sebagai istriku," Masumi mengingatkan perkataannya saat melamar Maya.
"Ah, iya. Jadi karena itu kau membawaku ke sini?"
"Ya," Masumi tersenyum.
Maya berhenti berjalan dan mengamati laut yang terbentang di depannya.
"Suamiku,"
"Ya?"
"Apa kau mau menemaniku berenang?"
"Kelihatannya menyenangkan,"
Keduanya mengulum senyum lalu berjalan ke dalam air. Maya memekik kegirangan saat air laut membasahi seluruh tubuhnya. Keduanya berenang dan saling mengejar. Suara tawa mereka bersaing dengan suara ombak yang bedebur. Namun tiba-tiba Maya menjerit, membuat Masumi terkejut dan segera berenang menghampiri istrinya yang hampir tenggelam.
Uhuk! Uhuk! Maya mengeluarkan air laut yang tertelan olehnya saat Masumi berhasil menangkap tubuhnya dan memeluknya erat.
"Kau tidak apa-apa?" Masumi panik.
"Kakiku! Kakiku!" hanya itu yang diucapkan Maya.
Masumi segera berenang, membawa istrinya menepi lalu membaringkannya di atas pasir di tepi pantai. Maya kesakitan karena kram di kakinya. Dengan cepat Masumi melakukan peregangan dengan menekan telapak kaki Maya ke arah punggung kakinya, membuat Maya menjerit. Namun beberapa saat kemudian ketangkasan suami serba bisa itu berhasil meredakan sakit istrinya.
"Bagaimana? Masih sakit?" Tanya Masumi, memijat dan  mengusap lembut betis istrinya.
"Tidak, aku takut sekali tadi," jawab Maya, mengatur napasnya tapi wajahnya memang masih menggambarkan ketakutannya.
"Kau lelah karena berenang terlalu jauh sayang,"
Masumi berbaring miring disisi Maya, mengusap wajah panik istrinya dan mengecup keningnya. "Tidak usah takut, kau aman sekarang,"
"Iya, terima kasih," gumam Maya.
Masumi mendesah panjang dan Maya mengernyit dengan cara suaminya itu memandangnya.
"Ada apa?"
"Kau sangat menggoda saat seluruh tubuhmu basah seperti ini," kata Masumi seraya merapikan rambut di wajah istrinya.
Maya terkikik, "Kau juga seksi,"
"Begitukah?" Masumi senang dengan pujian istrinya.
Maya mengangguk, mengusap dada suaminya.
"Kau tahu satu hal yang sangat ku sukai dari tempat ini?" Tanya Masumi.
Maya tampak berpikir, "Karena tidak ada orang disini?"
"Karena aku bisa melakukan apapun yang kumau di sini," Masumi membuktikan ucapannya dengan memagut bibir istrinya.
T-shirt basah yang dikenakan Maya menjadi transparan dan memperlihatkan lekukan tubuh istrinya yang indah. Menggoda Masumi. Membuat hasratnya kembali bergolak.
Maya membalas ciuman suaminya, kram di kakinya langsung terlupakan. Keduanya menikmati keintiman itu di alam terbuka, di tengah deburan ombak dan hembusan angin.
Masumi menyelipkan tangannya di balik T-shirt basah istrinya, membelai kulit lembut itu dengan tangannya.
"Ahhh, sayang....," Maya berbisik di bibir suaminya saat tangan Masumi meremas miliknya.
Maya menciumi sepanjang garis rahang suaminya, menyusuri leher Masumi dengan bibir mungilnya.
"Maya sayang....," Masumi menikmati kelembutan istrinya. 
Maya terhilang mendengar cara Masumi memanggil namanya. Diapun kembali memagutkan bibirnya ke bibir suaminya dan sama seperti yang dicontohkan suaminya, Maya menyelipkan tangannya dibalik T-shirt basah Masumi. Membelai lembut tubuh suaminya.
Bibir mereka terus mencumbu sementara tangan mereka terus membagikan kelembutan satu sama lain.
"Sepertinya kita harus melanjutkan ini di dalam rumah sayang," bisik Masumi, sadar untuk berhenti sebelum semuanya hilang kendali.
Maya merona dan mengangguk malu. Tanpa bertanya dua kali Masumi segera mengangkat tubuh Maya dengan dua lengannya. Membawanya kembali ke istana cinta mereka.



Masumi melepas T-shirt basah yang juga menjadi kotor karena pasir dan melemparkannya ke tempat pakaian kotor. Membilas tubuhnya lalu dengan cepat melilitkan handuk dipinggangnya.
Keluar dari kamar mandi, Masumi melihat istrinya yang sudah lebih dulu membersihkan diri meringkuk nyaman di bawah selimut tipis di atas ranjang yang sudah dilapisi dengan sprei baru dan bersih.
Wajah istrinya merona segar, angin laut yang berhembus melalui pintu balkon yang terbuka membuat suasana kamar tidak jauh beda dengan suasana di pantai tadi.
Maya tersenyum saat melihat suaminya yang bertelanjang dada menghampirinya. Perlahan naik ke atas ranjang, Masumi menyapukan kecupan di wajah istrinya.
"Kau yakin ingin melakukannya?" Bisiknya lembut.
Maya mengangguk. Dia selalu kehilangan kata-kata jika sudah berada dalam mode bercinta.
"Apa sudah tidak sakit?" Masumi memastikan. 
Sebesar apapun hasrat yang bergolak dalam dirinya, Masumi tidak pernah mau memaksakan kehendaknya apalagi sampai menyakiti istrinya.
Maya menggeleng lalu tersenyum.
Senyuman Maya menandakan lampu hijau sudah dinyalakan.
"Kalau begitu kau tidak memerlukan ini," senyum menggoda Masumi mengembang seraya menarik selimut yang menutupi kepolosan tubuh istrinya.
Dan keduanya kembali tenggelam dalam indahnya penyatuan cinta mereka.

***
"Sayang, bangun,"
Belaian lembut mengusik ketenangan Maya. Perlahan membuka mata, Maya menyesuaikan diri dengan pemandangan sekitanya.
"Kita sudah sampai?" Tanya Maya lirih.
"Iya, kita sudah sampai." Jawab Masumi.
Maya sedikit menggeliat, meregangkan tubuhnya yang kaku. Beberapa hari terakhir ini menjadi sangat melelahkan baginya. Bagaimana tidak? Dia dan Masumi seperti tidak pernah puas mengeksplorasi keintiman diantara mereka. Koleksi lingerie Maya, hadiah dari mama dan kakak iparnya berhasil membuat Masumi takluk di bawah pesona istrinya.
"Kau masih lelah sayang?" Tanya Masumi.
Maya tersipu malu dengan pertanyaan suaminya, dengan matanya dia memberi tanda pada Masumi, menunjuk ke arah kursi kemudi dimana Hijiri duduk disana. Ya, meski sebenarnya Hijiri juga pasti tahu apa yang dilakukan tuan dan nyonya-nya di vila selama empat hari sehingga membuat sang nyonya kelelahan tapi tetap saja pertanyaan itu membuatnya malu.
Masumi tersenyum.
"Baiklah, ayo kita turun."
Hijiri membukakan pintu belakang, Masumi turun dan mengulurkan tangannya membantu istrinya.
"Selamat datang Tuan, Nyonya," sapa Genzo menyambut kedatangan keduanya.
"Apa kabar Genzo?" Sapa Masumi dan Maya.
"Baik Tuan, Nyonya. Terima kasih sudah berkunjung. Silakan masuk, Nyonya Mayuko sudah menunggu," Genzo mempersilakan sepasang suami istri itu masuk.
"Terima kasih,"
Keduanya mengikuti Genzo, melintasi ruang tamu menuju kamar peristirahatan Mayuko. Wanita tua itu tersenyum senang melihat kedatangan murid kesayangannya. Dia duduk di atas futonnya. Masumi dan Maya duduk di di atas zabuton yang sudah disiapkan untuk mereka.
"Bagaimana keadaan ibu?"
"Aku baik-baik saja Maya. Maaf aku tidak bisa menghadiri pernikahan kalian,"
"Tidak apa-apa, kami mengerti. Kesehatan ibu lebih penting," kata Masumi.
Mayuko menilai wajah berbinar muridnya dan wajah lembut Masumi.
"Melihat kalian berdua, aku yakin semuanya berjalan dengan baik," kata Mayuko.
Maya merona malu tapi Masumi seperti biasa, selalu bisa mengendalikan dirinya. Dia hanya tersenyum tenang.
Kunjungan Maya dan Masumi cukup menghibur Mayuko. Maya bercerita banyak tentang upacara pernikahannya, Mayuko tertawa saat mendengar Maya pingsan karena minum sake pernikahan. 
Tak hanya itu, Maya juga bercerita tentang kemajuan teater Niji, beberapa guru baru sudah didatangkan dari New York berkat bantuan Clara. Juga tentang teman-temannya yang sekarang sedang sibuk. Rei, Mina, Taiko dan Sayaka bersama Hotta dan teman-temannya yang sekarang tergabung di dalam teater Niji perlahan sedang menaiki tangga popularitas di bawah menejemen Daito. Sejak pembukaan teater satu tahun yang lalu, Teater Niji sudah mementaskan tiga drama yang semuanya sukses besar. Karena itulah Daito langsung menawarkan para aktor dan aktris berbakat itu untuk menjalin kerja sama. Tidak ada alasan untuk mereka menolak penawaran itu karena sekarang Daito adalah milik Maya dan Masumi.
Keduanya permisi pulang setelah melihat Mayuko lelah dan harus kembali beristirahat. Mayuko mengucapkan terima kasih atas kunjungan dan semua buah tangan yang dibawa Maya untuknya.
Hari sudah sore saat Maya dan Masumi juga Hijiri meninggalkan Nara. Mereka kembali ke Tokyo dengan menggunakan shinkanshen. Sudah hampir tengah malam saat mereka tiba di Tokyo. Hijiri berpisah dengan mereka di stasiun.
"Terima kasih Hijiri," kata Masumi sebelum mereka berpisah.
"Senang bisa melayani anda Tuan, Nyonya," Hijiri mengangguk hormat.
"Sudah malam, kak Hijiri pasti lelah. Cepatlah pulang," kata Maya dan Masumi langsung menghadiahinya tatapan heran atas perkataan istrinya itu.
Hijiri tahu benar apa yang dipikirkan bosnya, diapun menengahi keadaan itu. Keakraban antara dirinya dengan Maya tentu terasa ganjil bagi Masumi.
"Terima kasih untuk perhatian Nyonya. Saya baik-baik saja," kata Hijiri sopan.
Masumi beralih memandang pada Hijiri. Sikap formal Hijiri pada Maya meredakan kekesalannya.
"Sudah larut malam, ayo kita pulang," kata Masumi.
"Iya. Sampai jumpa kak Hijiri,"
Masumi mengangguk pada Hijiri.
"Selamat jalan Tuan, Nyonya," Hijiri membungkuk dalam, mengantar kepergian Tuan dan Nyonya-nya.
Maya dan Masumi menuruni eskalator menuju pintu keluar.
"Sayang, aku pikir kau harus merubah sikapmu pada Hijiri."
Maya menoleh pada suaminya.
"Maksudmu?"
"Ya, seperti merubah caramu memanggilnya," Masumi membalas tatapan mata istrinya.
"Kenapa?"
"Hhmm, ya, bagaimanapun Hijiri adalah staf bayangan Daito, menurutku itu akan menyulitkannya jika kau terlalu akrab dengannya,"
Maya menilai perkataan suaminya kemudian terkikik.
"Ada yang lucu?" Alis Masumi bertaut.
"Kau cemburu dengan kak Hijiri?" Tebak Maya.
"Eh?! Aku? Tidak!" Sanggah Masumi cepat seraya memalingkan wajahnya.
Maya memeluk lengan suaminya.
"Jangan begitu. Kak Hijiri sudah banyak membantu kita. Tidak seharusnya kau cemburu padanya," rayu Maya.
Masumi menghela napas.
"Ya, kau benar," Masumi menyadari kekonyolannya.
Maya terkikik lagi, "Berarti benar kau cemburu padanya?"
Masumi melirik istrinya yang bergelayut manja dilengannya.
"Aku tidak suka kau dekat-dekat dengan pria lain," kata Masumi beralasan.
"Apa kau marah?" Tanya Maya saat mendengar nada datar suaminya.
"Tidak,"
"Jangan marah, cobalah untuk mengendalikan rasa cemburumu itu. Kau kan harus percaya pada istrimu," Maya mencoba berargumen.
"Aku percaya padamu," kata Masumi masih dengan nada datar.
"Itu bukan hanya perkataan sayang tapi juga harus dibuktikan dengan tindakan. Apa bisa dibilang percaya kalau kau terus cemburu pada pria yang ada disekelilingku?" Maya melambaikan tangannya diudara.
Masumi mendesah lagi, "Iya, iya. Aku akan mencoba. Bisakah kita membicarakan hal lain saja?"
Maya tersenyum dan menutup mulutnya segera.
Supir keluarga Hayami sudah menunggu saat Maya dan Masumi tiba di pintu keluar, koper mereka juga sepertinya sudah diurus.
"Selamat datang Tuan, Nyonya,"
"Selamat malam Fujiwara. Maya, ini Fujiwara, supir pribadi keluarga Hayami," Masumi memperkenalkan.
Fujiwara membungkuk dalam saat diperkenalkan, "Saya Fujiwara Nyonya,"
"Selamat malam Fujiwara," sapa Maya.
Fujiwara membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Tuan dan Nyonya-nya masuk.
Maya menghela napas panjang saat mobil mulai melaju.
"Sudah mengantuk sayang?" Masumi merengkuh bahu Maya dengan lengannya, mengecup keningnya.
Ckiitttt!
"Kyaaa!" Pekik Maya terkejut.
Masumi melotot saat tiba-tiba mobil mengerem secara mendadak.
"Ada apa?!" Bentak Masumi.
"Ma...maaf Tuan, ada mobil yang tiba-tiba memotong jalan," Fujiwara beralasan.
"Hati-hati Fujiwara," pesan Maya seraya mengusap dadanya.
"Hati-hati," Masumi mengulang peringatan istrinya dengan lebih tegas. "Kau tidak apa-apa?" Nada suaranya langsung melembut.
"Iya, aku tidak apa-apa," Maya tersenyum dan bersandar manja pada suaminya.
Fujiwara melirik kemesraan tuannya dari kaca spion. Hampir saja dia menabrak mobil lain karena terkejut melihat Masumi yang begitu mesra memperlakukan istrinya. Dulu dia pernah beberapa kali mengantar Masumi dan Maya tapi keduanya selalu bertengkar. Bahkan saat Masumi membawa Maya ke rumah Hayami dalam kondisi sakit, setiap hari Maya selalu bertengkar dengan Masumi. Sempat kabur dan saat kembali lagi Maya tidak mau makan sampai akhirnya Masumi melepaskannya. Dia sempat terkejut saat mendengar berita ditelevisi tentang hubungan keduanya. Dan meski sudah sering melihat berita tentang mereka di televisi, juga menyaksikan pernikahan beberapa hari yang lalu tapi ini adalah pertama kalinya bagi Fujiwara melihat secara langsung bagaimana kedekatan Masumi dan Maya.
Fujiwara seperti melihat orang lain, sepuluh tahun dia menjadi supir di keluarga Hayami, belum pernah sekalipun dia melihat Masumi bersikap lembut dan bahagia seperti itu, bahkan saat dulu bersama Shiori. Jangankan bermesraan, didalam mobil saja mereka duduk berjauhan. Fujiwara menghela napas panjang, menenangkan dirinya dari keterkejutan yang hampir membuatnya terkena serangan jantung itu.
Maya turun dari mobil dan memandang rumah besar dihadapannya.
Ini bukan pertama kalinya dia menginjakkan kaki dirumah Hayami tapi ini pertama kalinya dia memasuki rumah sebagai seorang istri Masumi, Nyonya Hayami.
"Selamat datang Tuan, Nyonya,"
Para pelayan berjajar di ruang tamu menyambut Maya dan Masumi.
"Ya, ampun! Ini sudah tengah malam, kenapa harus menunggu kami?"
"Selamat malam semuanya, ini Maya, istriku. Tugas kalian adalah melayaninya dengan sebaik-baiknya," kata Masumi memperkenalkan istrinya, gaya direkturnya langsung muncul saat memberi perintah.
Maya tersenyum dan mengangguk sopan, "Selamat malam semuanya,"
"Selamat malam, Nyonya Maya," semua membungkuk hormat.
"Nyonya bisa katakan pada saya apa saja yang Nyonya butuhkan, Saya Harada, kepala rumah tangga di rumah ini," seorang wanita paruh baya mengangguk pada Maya.
"Iya, Bibi terima kasih." Jawab Maya.
"Oh, tidakkah ini sudah terlalu malam untuk acara perkenalan pelayan rumah tangga,"
"Baiklah, ini sudah malam. Perkenalannya besok saja. Nyonya lelah dan ingin beristirahat," kata Masumi datar, mewakili perasaannya. Suaminya itu selalu pandai membaca pikirannya. 
Semua pelayan mengangguk, mengerti.
Maya melirik suaminya lalu berpaling menatap Harada, "Bagaimana keadaan ayah? Apa dia sehat?" Tanya Maya.
Harada terkejut dan Masumi mengernyit saat mendengar Maya menanyakan ayahnya.
"Ah..iya Nyonya. Tuan besar sehat. Beliau sudah beristirahat," Harada berusaha mengendalikan keterkejutannya, bahkan Masumi pun tidak pernah menanyakan kabar ayahnya.
"Syukurlah. Oh ya, di bagasi ada beberapa ramuan herbal untuk ayah. Tolong simpan dengan baik. Besok pagi akan aku beritahu bagaimana cara menyeduhnya," kata Maya.
Semua pelayan menahan mulutnya untuk tidak menganga karena terkejut. Masumi mendesah.
"Apa kita bisa beristirahat sekarang? Ayah sehat dan sudah tidur jadi kau tidak perlu mengkhawatirkannya," kata Masumi.
"Kau tidak sabaran sekali," kata Maya, 
"Ya, tapi kau benar, kalian semua juga pasti lelah. Beristirahatlah. Selamat malam semuanya, terima kasih," Maya tersenyum.
Harada dan semua pelayan mengangguk hormat dan mengamati Tuan dan Nyonya mudanya itu berlalu. Mulut mereka sekarang ternganga saat kemudian melihat Masumi yang merangkul bahu istrinya dan membawanya ke kamar, entah apa yang dikatakan Maya tapi kemudian Masumi tertawa dan mencium mesra rambut Maya.
Semua hampir pingsan melihat sikap tuannya itu.

***
"Selamat pagi," Maya muncul di dapur, mengenakan dress berwarna jingga, terlihat segar dan ceria. 
Harada terkejut melihat Nyonya mudanya muncul tiba-tiba.
"Ah, selamat pagi Nyonya, apa yang bisa saya bantu? Apa anda ingin sarapan lebih awal?" Tanya Harada.
"Tidak Bi." Maya menggeleng, 
"Apa bibi sudah menyimpan ramuan herbalnya?" Tanyanya kemudian.
"Iya, Nyonya." Harada menuju ke sebuah lemari penyimpanan dan mengambil dua kantong kertas dari dalamnya. Maya segera memberi tahu pada Harada cara penyeduhan dan penyajiannya.
"Tolong diingat ya Bi," kata Maya setelah selesai menjelaskan.
"Baik Nyonya," Harada tersenyum senang.
Tiga orang pelayan yang berdiri di depan kompor termenung melihat Nyonya mudanya begitu memperhatikan Eisuke.
"Oh iya Nyonya, mari saya perkenalkan. Ini Maki, dia bertanggung jawab untuk masalah kebersihan rumah. Ini Naoko, dia bertanggung jawab untuk semua kebutuhan yang diperlukan dirumah ini. Dan ini Misae, dia bertanggung jawab untuk masalah dapur. Mereka bertiga kepala pelayan yang siap melayani Nyonya." Jelas Harada.
Ketiganya membungkuk hormat seraya memperkenalkan diri.
Maya tersenyum, "Terima kasih semuanya, mohon bantuannya ya."
"Maya!!"
Sebuah panggilan menyela perkenalan itu.
"Ya! Aku didapur," jawab Maya.
Masumi muncul di dapur dengan cemberut.
"Kau dari mana saja?" Tanyanya.
"Aku tidak kemana-mana. Hanya menemui Bibi Harada untuk memberitahukan ramuan herbal yang harus diminum ayah," kata Maya.
Masumi semakin cemberut, "Jadi sekarang kau lebih memperhatikan ayah daripada suamimu,"
Maya tertawa dan yang lain harus menahan diri untuk tidak tertawa. Para pelayan belum pernah melihat Masumi merajuk seperti itu. Masumi yang biasa mereka lihat adalah direktur yang tenang bahkan cenderung dingin, meski tidak sedingin saat dikantor.
"Baiklah, suamiku, apa kau mau secangkir kopi atau kau juga mau diseduhkan ramuan herbal?" Goda Maya.
Maki terkikik dan Masumi langsung meliriknya tajam, Maki langsung menutup mulutnya.
"Aku tidak mau kopi, aku mau istriku. Ayo!" 
Masumi menarik tangan Maya dan memaksanya ikut dengannya. Saat keduanya berlalu terdengar suara cekikikan dari dapur dan Masumi menahan diri untuk tidak marah karenanya.
"Ada apa?" Tanya Maya saat mereka sudah kembali ke kamar.
"Tidak ada," jawab Masumi singkat lalu duduk di sofa dekat balkon kamar mereka.
"Lalu?"
"Kenapa?"
"Lho? Kau yang menyeretku dari dapur ke kamar, tidakkah ada alasan untuk itu?" Maya mengampiri suaminya dan berdiri didepannya, melipat kedua tangannya didada. Cemberut.
"Tidak ada gunanya kau di dapur, sudah banyak pelayan bahkan sudah terlalu banyak untuk mengurus semuanya. Ayah juga sudah diurus, jadi kau tidak perlu repot. Lagipula ini masih jam enam pagi dan kau sudah meninggalkanku sendiri," kata Masumi panjang lebar.
Maya mengernyit, tidak biasanya suaminya merajuk seperti ini. Bahkan sejak mereka menikah dan bersama-sama di vila izu suaminya itu selalu memanjakannya, lembut dan sabar padanya. Tapi kenapa justru setelah tiba dirumah dia jadi seperti anak-anak yang minta perhatian lebih.
"Apa dia juga cemburu pada ayah? Konyol?!"
Maya menghela napas, "Baiklah sayang, katakan apa yang bisa ku lakukan untukmu?" Maya masih berdiri di depan suaminya.
Masumi menarik tangan Maya yang terlipat didada, membuat istrinya itu terjatuh di pangkuannya.
"Hei!"
"Aku mau kau," bisik Masumi seraya mendekap erat istrinya.
Maya terkikik, "Ya ampun Masumi, ini masih terlalu pagi dan aku juga sudah mandi,"
Masumi menciumi wajah Maya, "Aku tidak peduli, aku sudah menahan diri sejak semalam karena tahu kau lelah. Tapi melihatmu bangun pagi-pagi sekali hanya untuk ayah, membuatku menyesal sudah menahan diri," katanya tanpa berhenti mendaratkan kecupan-kecupan mesra di wajah dan leher istrinya.
Maya cekikikan geli, "Hentikan sayang," katanya.
"Hhmmm," Masumi masih terus melancarkan aksinya. Dia memutar tubuh Maya menghadap padanya. Istrinya itu duduk di atas pangkuannya dan menatapnya dengan geli.
"Jadi ini alasannya kenapa kau merajuk padaku?" Tanya Maya seraya menyandarkan tangannya di bahu suaminya. Semalam memang dia terlalu lelah dan langsung tidur, tidak berpikir kalau suaminya ternyata menginginkannya.
"Apa aku tidak boleh menginginkan istriku sendiri?" Masumi menangkup pinggul Maya dengan kedua tangannya dan menariknya lebih dekat.
"Sekarang? Sepagi ini?" Maya tersenyum geli dengan kekonyolan suaminya.
"Aku tidak peduli ini pagi atau siang atau malam. Aku hanya ingin istriku," dan Masumi langsung membuktikan ucapannya. Bibirnya segera membungkam bibir Maya yang hendak protes. Hanya dalam hitungan detik, ciuman Masumi sudah melelehkan Maya. Istrinya itu segera membalas ciumannya dan dalam sekejap keduanya sudah melupakan segalanya.
"Masumi....," Maya terengah saat Masumi melepas bibirnya. Menggoda dengan senyumnya Masumi kembali mencumbu istrinya. Kali ini lidahnya menyusuri garis leher Maya, membuat istrinya terkikik geli.
Tangan Masumi dipunggung Maya beraksi cepat, menurunkan sleting dress hingga membuat punggung Maya terbuka. Masumi menarik dress itu kedepan, melewati lengan dan membiarkannya jatuh sebatas perut Maya dipangkuannya.
"Kau sangat cantik Maya," puji Masumi dengan suara beratnya dan Maya merona karena pujian itu. Bukan malu, tapi senang karena Masumi memujinya, dulu dia sering tidak percaya diri dengan fisiknya tapi sekarang, melihat suaminya begitu menginginkannya membuat dirinya begitu bahagia.
Perhatian Maya kembali teralih saat Masumi kembali mencium setiap inchi kulitnya, membuatnya terbuai semakin dalam. Maya mabuk karena cinta.
Masumi berhenti dan Maya membuka kancing kemeja suaminya. Dia menyurukkan kepalanya di leher suaminya, mengecupnya lembut dan membalas cinta suaminya. Bibirnya juga menyapukan kehangatan di setiap sentuhannya. Masumi juga terhilang saat Maya memanjanya, napasnya semakin memburu. Maya semakin pandai menyenangkannya. Dengan perlahan Maya turun dari pangkuan suaminya dan membiarkan dress nya jatuh ke lantai. Sejenak menatap mata gelap suaminya.
"Kau semakin pandai Nyonya," puji Masumi ditengah napasnya yang memburu.
Maya tersenyum senang, "Kau yang mengajariku Tuan," kata Maya, tangannya membuka kancing celana suaminya dan menarik turun resletingnya. Menyelipkan ibu jarinya dan sekaligus melepas boxer juga celana panjang yang dikenakan suaminya. Membiarkannya terserak dilantai. Masumi melepas kemejanya dan membuangnya ke lantai. Mata Maya mengerjap beberapa kali melihat dewa yunani yang tampan dan polos duduk di sofa.
"Pemandangan indah Nyonya," Masumi tersenyum dan menarik istrinya mendekat.
Maya berdiri dihadapannya, diantara kedua kakinya. Maya tergelak.
"Kau milikku sayang, hanya milikku," kata Masumi seraya memeluk tubuh istrinya, membenamkan wajahnya di perut Maya, membuat otot bagian bawah tubuh Maya mengejang.
"Meski benda ini cantik tapi aku tidak menyukainya," kata Masumi seraya menurunkan celana dalam berenda merk Victoria Secret milik istrinya. Maya berpegangan pada bahu suaminya saat kakinya melangkah untuk keluar dari benda cantik berenda yang sekarang teronggok di lantai.
Maya menekuk lututnya dan meletakkan dikedua sisi paha Masumi lalu duduk dipangkuannya. Membuat miliknya dan milik suaminya bersentuhan, bergesekan. Tangan masumi mendorong pinggung istrinya untuk semakin merapat pada tubuhnya.
Bibir keduanya kembali berpaut. Lidah mereka saling mencari, mendesak satu sama lain. Maya menyelipkan tangannya di rambut suaminya, mencengkram punggungnya saat pinggul suaminya bergoyang dan menimbulkan sensasi lain di bagian bawah tubuhnya. Terus dan terus, Masumi terus bergerak. dan keduanya kembali tersesat dalam gelombang cinta yang memabukkan.

***
Maya terkulai dan jatuh di dada suaminya. Keduanya terengah. Lelah tapi puas. Puas melepas dan mengekspresikan cinta mereka. Masumi membelai lembut punggung polos istrinya. Kepala Maya bersandar di bahunya.
"Terima kasih sayang," bisik Masumi mesra.
"Hhmm," Maya kehabisan kata-kata.
"Kau lelah?"
"Hhmm,"
Masumi mengulum senyumnya, membiarkan istrinya tenang beristirahat lebih lama.
"Sayang," kata Masumi setelah mereka tidak bergerak cukup lama.
"Ya," Maya mulai menemukan suaranya.
"Aku tidak keberatan kalau kau mau berbaring seperti ini sampai malam nanti, hanya saja ini hampir pukul tujuh dan pelayan pasti akan segera meminta kita untuk turun sarapan. Kecuali kau memang ingin melewatkan sarapan, aku sangat senang," bisik Masumi geli.
Maya terkesiap dan segera mengumpulkan kesadarannya yang masih berserakan.
Bangun dan menatap suaminya.
"Kau membuatku mabuk Tuan," kata Maya.
Masumi tertawa, "Kau yang memabukkan Nyonya."

***
"Silakan Tuan Besar, ini ramuan herbal yang dibawa Nyonya Maya untuk anda," Harada meletakkan cangkir di meja makan.
"Maya? Apa dia sudah kembali?" Eisuke terkejut.
"Benar Tuan Besar, Tuan Masumi dan Nyonya Maya baru tiba semalam. Nyonya juga menanyakan anda dan saya katakan semalam anda sudah beristirahat," Harada menjelaskan.
Eisuke terbahak senang, "Jadi Maya menanyakanku? Dia juga membawa ramuan herbal untukku?"
"Benar Tuan Besar," Harada mengangguk. Dia dan Misae saling berpandangan heran saat melihat Eisuke terbahak. Asa yang berdiri di belakang Eisuke hanya tersenyum melihatnya.
"Sekarang dimana dia?"
"Masih di kamar Tuan Besar,"
"Oh begitu, hhhmmm, Harada apa kau sudah menyiapkan sarapan spesial untuk menantuku?"
"Sarapan spesial?" Harada heran.
"Apa yang kau siapkan untuknya?" Eisuke menatap tajam pada Harada dan Misae, "Misae kau siapkan apa untuk menantuku?" Tanyanya lagi dengan lebih tegas.
"Eee, maaf Tuan Besar, nyonya tadi tidak pesan apapun jadi...saya menyiapkan sarapan seperti biasa." Jawab Misae.
"Apa maksudmu menyiapkan sarapan seperti biasa?! Kau tahu menantuku itu baru datang, apa kau tidak punya rasa hormat menyambut Nyonyamu? Ingat Misae, meski masih muda dia adalah Nyonya di rumah ini," Eisuke marah.
Misae tertunduk takut.
"Maaf Tuan Besar, kami akan segera siapkan menu istimewa untuk Nyonya." Kata Harada, mereda kemarahan tuan besarnya.
Namun belum sempat mereka pergi, Maya dan Masumi sudah muncul di ruang makan.
"Selamat pagi ayah," sapa Maya ramah.
Eisuke tersenyum senang, "Selamat pagi Maya,"
"Pagi Ayah,"
"Pagi Masumi,"
Maya menusukkan sikunya ke perut suaminya yang begitu dingin menyapa ayahnya. Masumi menyipitkan matanya pada istrinya seraya mengusap perutnya. Pura-pura merasa sakit.
Harada dan Misae menggigit bibir untuk menahan tawanya.
"Ayah sudah minum ramuan herbalnya?" Maya duduk di meja makan, disebelah suaminya dan melihat cangkir yang ada didepan ayah mertuanya.
"Oh ini, ya Harada baru saja membawakannya. Terima kasih Maya, kau pasti repot mencarinya di Nara," kata Eisuke senang.
"Tidak ayah, kemarin kami mengunjungi bu Mayuko dan aku teringat ayah pernah terapi di Nara. Masumi yang memberitahuku soal ramuan herbal itu jadi kami sekalian membelinya untuk ayah," jelas Maya.
"Oh, begitu." Eisuke mengangguk.
"Maaf Nyonya, apa anda ingin sesuatu untuk sarapan anda pagi ini?" Tanya Harada.
Maya menatap pada Harada dan Misae yang berdiri disisi meja yang lain. Keduanya tampak gugup.
"Bukankah tadi Misae sudah menyiapkan menu sarapannya?" Tanya Maya heran.
"Iya Nyonya, tapi...," Misae melirik pada Eisuke yang menatapnya tajam.
"Ehemm, mungkin maksud Misae, apa kau mau disiapkan sarapan yang kau suka Maya?" Eisuke menyampaikan maksudnya atas nama Misae.
Masumi mengulum senyum geli, "Sejak kapan ayah bisa mengerti pemikiran Misae? Bukankah itu pemikiran ayah sendiri?"
Wajah Eisuke merah karena perkataan Masumi. Harada dan Misae bergidik, menduga tuan besarnya akan meledak karena perkataan putranya.
"Masumi, kau ini bicara apa?" Maya mengambil alih dengan kesal, "Ayah, maafkan Masumi, jangan hiraukan perkataannya,"
Eisuke memaksakan diri tersenyum untuk Maya, "Tidak usah minta maaf untuknya Maya. Dia memang sudah terbiasa seperti itu,"
Masumi berkerut tidak senang dan mendesah kesal.
"Tolong siapkan sarapannya Bi, tenang saja, aku tidak pilih-pilih makanan. Apapun yang kalian sediakan aku pasti akan menyukainya," kata Maya meredakan situasi ganjil yang tidak menyenangkan itu.
"Baik nyonya,"
Keduanya pun undur diri dan segera menyiapkan sarapan. Lega dengan penyelamatan nyonya-nya.
Sarapan pagi itu berlalu dengan tenang dan santai. Seperti biasa Maya yang cerewet dan ceria mengambil alih. Dia bercerita pada Eisuke tentang berbagai hal dari drama sampai makanan kesukaannya.
Masumi bahkan terheran dengan istrinya yang dalam sekejap bisa begitu akrab dengan ayahnya dan melupakan begitu saja apa yang pernah dilakukan Eisuke padanya. Padahal Christ yang notabene hanya kakak angkatnya saja tidak bisa memaafkan Eisuke dan Michael pun terpaksa memaafkan hanya karena permintaan Maya.
Lalu dirinya? Apa yang dia lakukan untuk Eisuke lebih kepada dorongan tanggung jawab, ya mungkin dengan sedikit rasa sayang. Meski dia marah tapi bagaimanapun Eisuke adalah ayah angkat yang telah membesarkannya jadi dia juga tidak bisa menuntut perbuatan ayahnya itu. Memaafkan, dia hanya mencoba melakukan hal itu seperti permintaan istrinya, meski sulit.
"Oh ya Ayah, siang ini kami akan pergi untuk mengunjungi kedua orang tuaku." Maya meminta ijin seraya meletakkan sumpitnya. Dia sudah selesai dengan sarapannya.
"Kenapa kau tidak mengundang mereka untuk datang kesini Maya?" Tanya Eisuke.
"Ayah pikir kenapa mereka tidak mau datang?" Celetuk Masumi.
Eisuke tersenyum kecut.
"Masumi!" Pekik Maya, lagi-lagi suaminya membuatnya kesal. "Maaf ayah, bukan begitu. Aku ada janji dengan Amanda untuk menemaninya belanja dan berjalan-jalan dan mereka akan kembali ke New York sore ini. Jadi akan lebih baik kalau aku yang mengunjungi mereka," Maya beralasan, tidak mau membuat pria tua yang sudah lama menderita itu bersedih. Maya sudah bertekad untuk menunjukkan kasih pada ayah mertuanya itu, setidaknya itu bisa menebus sebagian besar waktu hidup Eisuke yang hilang karena ambisi dan kebencian.
"Tidak apa-apa Maya, aku mengerti," kata Eisuke lirih.
Maya kemudian terdiam saat ayah mertuanya itu memilih pergi dan kembali ke kamarnya bersama Asa.
"Masumi, kau tidak boleh terus menyudutkan ayah seperti itu," Maya menegur suaminya saat Eisuke sudah pergi.
"Aku tidak menyudutkannya Maya. Dia seharusnya tahu bahwa keluargamu tidak mungkin mau datang ke rumah ini," sanggah Masumi.
"Itu sama saja, kau kan tidak harus mengingatkan masa lalu pada Ayah. Hidupnya sudah cukup menderita Masumi, jadi biarkan dia menghabiskan masa tuanya dengan tenang," bujuk Maya.
"Kau terlalu baik sayang, apa yang dilakukan ayah padamu...bekerja sama dengan Shiori sehingga menyebabkan kau minum racun itu," Masumi menutup mata dengan tangannya, memori itu berat baginya, "Aku masih ingat bagaimana pucatnya kau waktu itu, mengerang kesakitan dan...Maya, aku bahkan tidak bisa melupakannya begitu saja," kata Masumi putus asa.
"Semua sudah berlalu sayang, aku minum racun itu untuk melindungimu dan ayah, lupakan! Lihat aku, aku baik-baik saja. Kau juga menyayangi ayah kan?"
Masumi terdiam.
Maya menghela napas tapi kemudian tersenyum, "Bagaimana kalau kita ganti memorimu tentang hal itu," celetuk Maya.
"Apa maksudmu?"
"Kau ingat bagaimana pucatnya aku dan bagaimana aku mengerang kesakitan?"
Masumi mengangguk.
"Sini," Maya menarik suaminya mendekat, berbisik di telinganya, "Ingat saja saat wajahku merona merah karenamu dan saat aku mengerang meneriakkan namamu,"
"Maya!" Masumi memekik, terkejut dengan pemikiran istrinya, menahan bibirnya untuk tersenyum geli.
"Bagaimana?" Maya memiringkan wajahnya.
"Kau ini," Masumi akhirnya tergelak kemudian balas berbisik di telinga istrinya, "Kalau aku membayangkannya, aku jadi ingin membawamu ke kamar sayang,"
"Masumi! Bukan itu maksudku," Maya memukul lengan suaminya yang sekarang terbahak.
Tanpa mereka sadari para pelayan sedang mengintip kemesraan suami istri itu sambil menggosok-gosok mata mereka. Tidak percaya.

***
"Maya sayang," Clara menyambut putrinya datang dengan peluk dan cium.
"Halo, Ma," Maya memeluk erat mamanya.
"Halo Masumi,"
"Halo Ma,"
Clara langsung mengajak Maya keruang tengah apartemen mewah Christ.
"Sepi sekali, mana papa dan kakak?" Tanya Maya.
"Mereka masih diruang kerja,"
"Amanda?"
"Dikamarnya. Oh ya Masumi, temuilah papa dan Christ di ruang kerja."
Masumi terpaksa menurut meski sebenarnya enggan berpisah dengan istrinya -efek pengantin baru-.
"Baik Ma," Masumipun menaiki tangga dan menghilang diujungnya.
"Nah sekarang ceritakan padaku, bagaimana dengan "malam pertamamu"?" Tanya Clara seraya membuat tanda kutip di udara dengan tangannya. Keduanya duduk di ruang tengah, bersantai.
Maya terkikik dengan pertanyaan mamanya dan belum sempat Maya menjawab Amanda datang dan dengan girang menyambut adik iparnya.
"Terima kasih untuk hadiahnya," Maya mengawali ceritanya dengan ucapan terima kasih.
"Mendengar caramu berterima kasih sepertinya semua lingerie itu berfungsi dengan baik," goda Amanda.
Maya tergelak. Tidak perlu menjawab, kebahagiaannya jelas terlihat.
"Jadi kau sudah tidak takut lagi sayang?" Tanya Clara, tersenyum geli membayangkan kepolosan putrinya berhadapan dengan Masumi -Clara jelas tidak tahu jika Maya cukup hebat dalam hal ini-.
Maya menggeleng dan Clara juga Amanda terbahak karenanya.
"Gadisku sudah pulang," Michael turun dari tangga dan memeluk putrinya.
"Halo Pa,"
"Halo sayang," Christ memeluk adiknya dan memutarnya membuat Maya terkikik tapi suaminya berkerut, seperti biasa Christ sengaja melakukannya.
Wajah Christ berkerut saat menurunkan Maya dari pelukannya.
"Kenapa?" Tanya Maya heran saat berusaha berdiri di atas kakinya.
"Kau memakai parfum suamimu atau suamimu selalu menempel padamu sampai-sampai tubuhmu beraroma maskulin seperti ini?"
Maya ternganga dan wajah Masumi merah padam. Semua tergelak mendengar lelucon Christ. Meski sebenarnya itu lelucon tapi karena apa yang dikatakan Christ memang benar adanya maka Maya dan Masumi harus menahan malu karenanya.
Beruntung Michael mengalihkan topik pembicaraan, menyelamatkan putrinya yang sudah semerah udang rebus.
"Kau akan ikut kebandara kan Maya, Masumi?" Tanya Michael saat obrolan mereka kembali normal.
"Tentu Pa," jawab Masumi. Maya tersenyum.
"Maaf sayang kalau kami tidak bisa tinggal lebih lama sampai kau berangkat berbulan madu karena masih banyak urusan yang harus kami selesaikan," kata Clara.
"Tidak apa-apa Ma. Kalian semua hadir dipernikahanku itu sudah hal yang luar biasa bagiku," kata Maya melegakan Mamanya.
"Kami akan datang ke New York setelah bulan madu kami selesai," kata Masumi.
"Benarkah? Senangnya, terima kasih Masumi." Clara tersenyum pada menantunya lalu beralih memandang putrinya, "Ya, aku sedih harus berpisah denganmu sayang tapi aku senang kau akhirnya menikah dan bahagia," Clara girang.
"Tenang saja Ma, kehadiran kita tidak dibutuhkan sekarang. Sepertinya Maya justru ingin kita cepat kembali ke New York agar tidak mengganggu," Christ kembali menggoda adiknya.
"Christ hentikan!" Maya merajuk.
"Jangan dengarkan dia Maya. Oh ya, kita bisa bertemu di Paris nanti. Satu minggu lagi, aku dan Christ akan berangkat ke sana. Ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan," kata Amanda.
Mendengar itu Masumi mendesah pelan. Membayangkan Christ ada pada saat bulan madu mereka sudah membuatnya kesal.
"Benarkah?! Senangnya," Maya girang.
"Ya kita bisa bertemu kalau kau sempat keluar dari kamarmu," goda Christ lagi dan kali ini bantal sofa melayang ke arahnya. Maya mengamuk. Christ terbahak.
"Hei, kalian berdua ini selalu saja bertengkar kalau bertemu," kata Clara. Tapi mereka terhibur, hal inilah yang membuat mereka selalu merindukan kehadiran Maya.
Masumi hanya tersenyum geli dengan kejengkelan istrinya, meski sebenarnya dia ingin istrinya melempar benda yang lebih berbobot pada kakaknya seperti vas bunga atau bahkan bola bowling.
Menjelang sore Maya dan Masumi mengantar semua keluarga Anderson ke bandara. Mereka melewati pintu khusus karena keluarga Anderson menggunakan jet pribadi mereka.
Maya sedih saat mengantar kepergian keluarganya, keluarga Anderson sangat mengashi Maya dan juga sebaliknya. Bagi mereka hubungan darah tidaklah penting, yang penting adalah ikatan hati diantara mereka.
"Masumi, aku harap kau memikirkan permintaanku tadi," kata Michael setelah semua keluarga selesai dengan salam perpisahan dengan Maya.
"Tentu Pa, aku sudah memikirkannya. Aku setuju dan aku rasa Maya juga pasti setuju," kata Masumi yang kemudian tersenyum penuh arti pada ayah mertuanya.
"Bagus. Jaga putriku," pesan Michael seraya menepuk bahu Masumi.
"Tentu pa,"
Maya heran dengan percakapan yang tidak ia mengerti itu tapi memutuskan untuk menunda pertanyaannya.
"Jaga adikku. Alex akan kembali bertugas setelah cutinya selesai, dia akan kembali bersama dengan Rose," kata Christ.
"Ya, Mizuki akan mengatur jadwal kedatangan Rose dan Alex," jawab Masumi.
Sekali lagi Maya mengernyit dengan percakapan itu. Semuanya terdengar seperti semua-sudah-diatur-untuk-Maya. Dan dia tokoh utamanya tidak tahu apa-apa?
"Jaga dirimu sayang, jangan pernah bertindak bodoh lagi. Mengerti?" Pesan Christ.
Maya mengangguk dan Masumi harus menahan napas saat Christ mengecup kening istrinya. Dia sudah melihat itu berkali-kali tapi tetap saja masih belum terbiasa. Dia bersyukur bahwa keakraban semacam itu tidak ada di negaranya sehingga dia tidak harus melihat istrinya dikecup berkali-kali oleh pria asing. Masumi tertegun sendiri dengan pemikirannya, sesuatu melintas didalam kepalanya. Dia lupa kalau istrinya itu adalah aktris internasional dan hubungannya dengan semua lawan mainnya menjadi pertanyaan tersendiri yang muncul di otak Masumi.
"Kau kenapa?" Maya menarik Masumi dari lamunanya.
"Ah tidak, tidak apa-apa," Masumi tersenyum pada istrinya.
Akhirnya semua keluarga Anderson berangkat, Maya dan Masumi meninggalkan bandara. Keduanya melenggang santai dan tidak lagi takut kalau-kalau ada paparazi yang mengambil foto mereka.
"Apa maksud pembicaraanmu dengan papa tadi?" Tanya Maya saat keduanya sudah ada di dalam mobil. Seperti biasa Maya bersandar didalam pelukan suaminya. Fujiwara juga belum bosan mencuri pandang, melihat kemesraan tuan dan nyonyanya lewat kaca spion mobil.
"Oh itu, papa memintaku untuk membicarakan soal namamu," jawab Masumi seraya mengusap punggung istrinya.
"Namaku?"
"Mereka ingin nama Anderson tetap menjadi nama tengahmu. Ku dengar di amerika juga banyak yang menggunakan nama keluarga gadis mereka sebagai nama tengah setelah menikah?"
Maya mengangguk didada Masumi. "Aku tidak keberatan."
"Aku tahu. Aku sudah menghubungi Mizuki tadi untuk mengurus semuanya sebelum keberangkatan kita,"
"Terima kasih,"
"Mereka sangat menyayangimu Maya," kata Masumi lembut, mengerti arti dari permintaan Michael.
"Iya, aku beruntung menjadi bagian dari keluarga mereka,"
Masumi mendesah dan Maya merasakan ada sesuatu yang salah.
"Ada apa?"
"Kakakmu itu kadang menyebalkan Maya," gerutu Masumi.
Maya terkikik, "Dia memang suka membuat orang lain marah,"
"Apa dia serius akan datang ke Paris saat bulan madu kita? Kelihatannya seperti sesuatu yang sudah direncanakan," Masumi mengusap dagunya, berpikir.
"Nah, jangan berpikiran konyol. Kau mau cemburu pada kakakku lagi?"
"Tidak, hanya tidak mau dia mengganggu bulan madu kita."
Maya terbahak, dalam pikirannya membenarkan pendapat suaminya.
Mobil berhenti di depan rumah Hayami dan Maya sudah tertidur dalam pelukan suaminya. Melihat Maya yang begitu lelap, Masumi jadi tidak tega membangunkannya. Diapun menggendong Maya dalam pelukannya.
Fujiwara membukakan pintu untuk tuannya dan Masumi langsung membawa Maya ke kamar.
"Apa Nyonya sakit?" Tanya Harada saat membantu Masumi membuka pintu kamarnya.
"Tidak Bi, dia hanya lelah. Terima kasih," Masumi segera masuk ke kamarnya dan Harada tidak lagi berani bertanya.
Membaringkan Maya perlahan di tempat tidur, Masumi membuka sepatu dan kaos kaki istrinya, lalu menyelimutinya. Memastikan istrinya nyaman.
Masumi memutar memorinya mundur beberapa hari kebelakang. Menurut perhitungannya jam tidur istrinya memang jauh berkurang, padahal mereka melakukan aktivitas yang benar-benar melelahkan. Tidak heran sekarang istrinya sudah terlelap padahal baru pukul tujuh malam.
Masumi menghela napas panjang, tiba-tiba merasa kasihan dengan istrinya. Diapun memutuskan untuk tidak mengganggu istrinya.
Beranjak dari sisi tempat tidur, Masumi beralih ke sofa. Namun baru satu menit dia duduk di sofa bayangan atas apa yang mereka lakukan tadi pagi disofa langsung mengusiknya. Masumi jadi kesal, menyapukan jarinya di rambut lebatnya. Pikirannya penuh dengan Maya.
Akhirnya dia memutuskan keluar dari kamar dan menuju ruang kerjanya. Berdekatan dengan istrinya akan membuatnya tidak tenang dan dia tidak mau mengganggu istirahat istrinya demi kesenangan semata.
"Jangan bangunkan Nyonya, dia sedang beristirahat. Kami sudah makan tadi jadi tidak usah menyiapkan makan malam untuk kami." Pesan Masumi sebelum dia memasuki ruang kerjanya. Dan semua pelayannya mengangguk paham.
Strategi Masumi berhasil, meski awalnya sulit berkonsentrasi tapi akhirnya dia bisa mengalihkan pikirannya dan fokus pada pekerjaannya. Tidak lama kemudian Masumi sudah tenggelam dalam tumpukan laporan yang harus diperiksanya.

***
Maya merasa segar saat bangun keesokan harinya. Masumi menyambutnya dengan senyum lebar.
"Bagaimana tidurmu sayang?" Tanya Masumi.
"Nyenyak sekali," Maya menggeliat panjang dan akhirnya menyadari kalau dirinya masih memakai pakaian kemarin.
"Ya ampun, berapa lama aku tidur?" Maya menatap suaminya yang duduk disebelahnya, sudah rapi dengan kemeja pendek dan celana panjangnya.
"Sekarang pukul setengah tujuh berarti kau tidur selama dua belas jam,"
"Dua belas jam?!" Maya sendiri terkejut dia tidur selama itu.
"Ku pikir semalam kau akan berhibernasi tapi syukurlah akhirnya kau bangun juga," goda Masumi dan istrinya itu langsung cemberut.
"Sudah sana cepat mandi, aku sudah siapkan air panas untukmu. Sebentar lagi waktunya sarapan,"
Maya menurut dan segera turun dari tempat tidur.
"Kenapa kau bangun pagi sekali sayang dan juga sudah rapi. Apa kau akan pergi?" Tanya Maya, sekali lagi mengamati suaminya yang sudah rapi.
"Tidak, aku memang terbiasa seperti ini kalau hari kerja," kata Masumi menyembunyikan alasan sebenarnya.
"Oh,"
Kadang Maya masih begitu polos sehingga tidak bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi. Masumi sudah berhasil menahan diri hingga tengah malam di ruang kerjanya. Pikirannya sudah tenang saat pekerjaanya akhirnya selesai. Namun ternyata saat kembali ke kamar dan melihat istrinya, pikirannya kembali kacau. Padahal Maya terlelap dan tertutup selimut tapi tetap saja itu tidak mengurangi hasratnya untuk menyentuh istrinya. Diapun akhirnya tidur di kursi malas panjang, tempat biasanya dia membaca dokumen saat bekerja dikamarnya. Meski akhirnya tertidur karena frustasi, paginya Masumi justru bangun setengah jam lebih awal dari jam beker. Diapun akhirnya berolah raga di taman belakang lalu mandi. Baru lima menit dia duduk di tepi tempat tidur, berniat untuk membangunkan istrinya saat akhirnya Maya terbangun sendiri.
Masumi terbahak mengingat betapa gilanya dia semalam karena istrinya. Dan istrinya yang polos itu tidak akan pernah mengerti bagaimana dia bisa begitu menyiksa suaminya bahkan saat tidur sekalipun.
"Kyaaaa!!!"
Jeritan Maya membuat Masumi melompat, bergegas memasuki kamar mandi. Masumi tahu Maya tidak pernah mengunci kamar mandi jika ada dirinya di kamar.
Masumi terkejut saat mendapati istrinya terduduk di lantai kamar mandi.
"Kau kenapa?" Masumi mendekat pada istrinya dan membantunya berdiri.
"Aku terpeleset, lantainya licin terkena sabun." Kata Maya seraya mengusap pantatnya yang sakit.
Pantat?? Masumi ternganga. Baru sadar kalau istrinya tidak memakai sehelai benangpun. Dan pantat indah yang sekarang memerah disatu sisinya itu membuat Masumi menelan ludahnya. Tembok pertahanan yang dibangunnya semalaman langsung runtuh seketika.
"Maya...kau tidak memakai baju?" Pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja dari mulut Masumi.
"Aku sedang mandi, tentu saja tidak memakai baju," jawab Maya polos, masih belum menyadari efek dari kepolosan tubuhnya pada suaminya. Dia masih sibuk mengusap pantatnya yang sakit. Masumi mematung dan sekali lagi menelan ludahnya.
Maya terkejut saat tangan suaminya mengusap pantatnya yang merah.
"Kau? Mau apa?" Mata gelap Masumi dan seringai penuh godaan di wajah suaminya menyadarkan Maya akan sesuatu yang akan dihadapinya.
"Membantumu membelai ini,"
"Hah?!"

***
Hari keberangkatan bulan madu Maya dan Masumi tiba. Keduanya sudah menyelesaikan pekerjaan mereka. Mizuki juga sudah melakukan tugasnya dengan baik, semua identitas Maya sudah diperbaharui. Tiket, transportasi dan akomodasi juga rencana perjalanan sudah diatur dengan sempurna.
Rencananya mereka akan pergi dan menginap di London selama selama satu minggu, ada pertunjukan opera yang ingin Maya saksikan di Royal Albert Hall -sebuah gedung opera megah di London-. Selain itu mereka juga berencana berjalan-jalan ke beberapa tempat disana.
Setelah dari London, Maya dan Masumi akan terbang ke Paris, disana mereka akan menginap selama dua minggu. Rangkaian tempat romantis yang akan menjadi tempat tujuan mereka sudah tersusun rapi dalam dalam agenda rencana perjalanan. Semua atas rekomendasi Amanda.

-London-
Hotel mewah bintang lima dengan fasilitas kamar president suite menjadi tempat istirahat yang nyaman untuk Maya dan Masumi setelah melalui perjalanan lintas benua.
Maya yang selama dua tahun terakhir ini sudah sering melakukan perjalanan lintas benua, sudah cukup terbiasa menghadapi efek jetlag. Efek itu tidak lagi bertahan lama baginya. Mereka tiba saat sore hari di London.
"Kau baik-baik saja?" Masumi duduk di sebelah istrinya yang sedang bersantai di sofa seraya menonton televisi.
"Iya, aku tidak apa-apa. Sedikit pusing, aku hanya perlu tidur di waktu yang tepat," jawab Maya, "Kau sendiri? Lelah suamiku?" Maya tersenyum.
"Melihatmu bisa bersantai seperti ini, lalu memikirkan kita hanya berdua menikmati hari tanpa gangguan dari pekerjaanku dan pekerjaanmu, maka lelahku langsung menguap entah kemana,"
Maya terkikik.
"Sepertinya kau sudah mulai terbiasa hidup seperti ini," Masumi tersenyum seraya melambaikan tangan menunjuk pada kemewahan disekeliling mereka.
"Oh, sudah dua tahun aku tinggal di rumah keluarga Anderson dan mereka selalu memanjakanku dengan berbagai fasilitas nomer satu. Sedikit jengah tapi aku berusaha menyesuaikan diri. Bukankah aku juga harus mempersiapkan diri sebagai Nyonya Hayami? Kau tidak berharap aku menjadi Nyonya yang tidak tahu apa-apa tentang gaya hidup kelas atas lalu mempermalukanmu dan menjadi bahan tertawaan di setiap acara saat aku harus menemanimu kan?"
Masumi membelai kepala istrinya, menatap dalam matanya, "Tidak Maya, aku tidak berpikir kau akan mempermalukanku. Aku mencintaimu apa adanya. Kepolosanmu, kebaikan hatimu, kesederhanaanmu, aku suka semua tentang Maya Kitajima,"
Wajah Maya tiba-tiba berubah sendu, "Hanya kau yang mencintai Maya Kitajima seperti itu, tetap saja aku yang dulu tidak bisa memasuki duniamu. Karena itulah aku berjuang keras untuk menjadi aktris kelas atas, agar kau tidak harus menanggung malu karena mencintaiku. Hhhmm, apa kau tidak suka aku yang sekarang? Seorang Maya Anderson? Aktris dan putri dari konglomerat Amerika?"
Masumi tertegun dengan penuturan istrinya, mereka belum pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Dia tahu kalau istrinya itu sering sekali rendah diri, itulah sebabnya dia harus terus mamancing semangat istrinya meski harus membuat Maya menjadi sangat marah dan membenci dirinya. Masumi mengeratkan tangannya saat teringat hal itu, semua hal yang dilakukannya di masa lalu.
Sekarang dihadapannya sudah ada seorang wanita yang setelah melewati perjalanan panjang dan berat, sekuat tenaga menyetarakan kedudukan dengan dirinya, memendam semua opini negatif hanya demi bersanding dengannya. Gadis yang bahkan tidak pernah mendapat nilai A dikelasnya saat SMA, tapi sekarang menjadi aktris nomer satu, belajar sekuat tenaga untuk mengerti dunianya.
Hati Masumi tiba-tiba sakit saat merasakan betapa berat istrinya sudah berjuang untuk bisa berada di tempatnya sekarang. Sekali lagi dipandanginya wajah Maya yang sendu dihadapannya.
"Maafkan aku dan terima kasih kau begitu memikirkanku, status ataupun kehormatanku. Meski sebenarnya aku tidak layak untuk kau perjuangkan, aku sudah terlalu banyak membawa air mata dalam hidupmu. Aku sering berpikir aku justru membebanimu saat aku mencintaimu. Aku....,"
"Sssttt," Maya menempelkan telunjuknya di bibir suaminya.
"Sudah sejauh ini, jangan lagi berandai-andai tentang masa lalu. Aku tidak melangkah sejauh ini hanya agar kau bisa merasa kasihan padaku dan menyalahkan dirimu. Kau tahu suamiku, cintamulah yang membuatku kuat selama ini. Cintamu yang memberikanku kekuatan, jadi kumohon, jangan pernah menyesal mencintaiku. Karena aku tidak akan bisa hidup tanpa cintamu. Maya Kitajima ataupun Maya Anderson, hatiku tetap sama. Hati Maya yang hanya untuk Masumi, suamiku," air mata sudah menganak sungai dari sudut mata Maya.
Masumi langsung menarik Maya dalam dekapannya.
"Aku mencintaimu, Maya-ku. Aku tidak akan menyesal mencintaimu, tidak akan pernah. Terima kasih sayang."
Masumi mengeratkan pelukannya, membiarkan istrinya menangis didadanya. Dulu memang Maya menangis dan terluka tapi sekarang Masumi tidak akan membiarkan hal itu. Setidaknya Maya punya dirinya, istrinya bisa memeluknya dan menangis di dadanya, tidak lagi sendiri. Biarlah semua masa lalu yang penuh air mata itu ditebusnya dengan semua cinta yang akan diberikan Masumi untuk istrinya.
Saat air mata Maya harus mengalir dia akan ada disisinya untuk menghapusnya lalu mengembalikan senyumnya. Ya, mencintai Maya adalah hal terbaik yang terjadi dalam hidup Masumi Hayami.
Sisa sore itu berlalu dengan tenang. Masumi memutuskan untuk tidak pergi dan hanya menikmati kebersamaan bersama istrinya di kamar.
Sungguh semua perjalanan panjang dan melelahkan yang sudah mereka lewati, sekarang terbayarkan dengan indahnya cinta yang menyatukan mereka. Tidak pernah puas keduanya mereguk manisnya cinta setelah menahan dahaga itu selama bertahun-tahun.
London menjadi salah satu saksi bagi cinta mereka. Betapa Maya dan Masumi saling mencintai dan saling memiliki.

***
"London Eye, Sungai Thames, ribuan mawar di Queen Mary's Garden, lalu....Parliament Hill dan London's Tower Bridge yang sangat menawan saat malam hari. Hhhhhh, rasanya semua seperti mimpi," Maya berbinar senang saat mengingat semua kenangannya di London selama satu minggu. Sekarang dia dan Masumi sedang berada di pesawat menuju Paris.
"Kau senang?" Masumi mengusap buku-buka jari Maya di atas pangkuannya lalu mengecup punggung tangannya.
"Tentu saja aku suka. Apalagi saat menyaksikan opera di Royal Albert Hall. Aku sangat menyukainya," kata Maya tersenyum senang pada suaminya.
Masumi mengerucutkan bibirnya, pura-pura cemberut, "Justru itu bagian yang paling aku tidak suka,"
"Kenapa? Operanya bagus bahkan luar biasa menurutku,"
Masumi mendesah, sekali lagi pura-pura kesal, "Kau mendiamkanku selama tiga jam sayang. Kau ingat semua lagu dan dialog dalam opera itu tapi kau tidak ingat kalau aku ada disampingmu,"
Maya terbahak, "Maaf," katanya seraya memeluk lengan suaminya.
"Ya, mungkin itulah resiko yang harus aku tanggung sebagai suamimu," kata Masumi, seolah-olah itu adalah hal terberat dalam hidupnya. Diabaikan istri selama tiga jam karena opera? Ya, ampun!
"Kau ini bicara apa? Aku kan hanya hanya berusaha menikmati operanya. Lagipula apa kau tidak ingat semua pengalaman kita selama di London?" Maya cemberut dan berbisik pada kalimat terakhirnya dengan wajah malu-malu.
Masumi tertawa, "Oh, tentu saja aku ingat sayang. Apalagi semalam, hhhmmm, aku sangat menyukainya. Kapan kau akan membuatku bahagia seperti itu lagi?" Goda Masumi.
"Ssstttt!! Pelankan suaramu," Maya memukul lengan suaminya. "Apa kau tidak malu jika orang lain mendengarnya, dasar mesum!" Maya kembali mengerucutkan bibirnya dengan lucu.
Masumi terbahak, tertawa katarsis, memegang kepalanya dan menggeleng geli.
"Kau pikir kita dimana sayang? Kau tidak lihat kita adalah satu-satunya orang Jepang di pesawat ini? Kau berteriak sekalipun mereka tidak akan mengerti apa yang kau katakan,"
Maya melipat tangan didadanya, menahan senyumnya. Dia lupa kalau berada di dalam pesawat yang penuh dengan orang asing.
"Ya, siapa tahu satu atau dua orang diantara mereka bisa bahasa Jepang," dengus Maya pura-pura kesal untuk menutupi rasa malunya.
"Aku tidak peduli kalaupun mereka tahu apa yang aku katakan. Kau istriku dan aku tidak perlu malu dengan itu."
"Heh kau ini, aku yang malu," sekarang Maya memalingkan wajahnya.
Masumi terkikik.
"Jadi sayang, apa kau akan mengulang lagi seperti semalam saat kita tiba di Paris?"
"Masumi! Hentikan! Kau membuatku malu!" Maya berbisik kesal sambil memukul-mukul lengan suaminya.
Masumi tersenyum geli, memiringkan kepalanya dan kembali menggoda istrinya.
"Aku menyukainya sayang,"
Maya akhirnya terkikik.
"Jadi? Kau akan melakukannya lagi untukku?"
Menahan cekikikannya, Maya kembali melipat tangannya di dada.
"Tergantung," katanya seraya melirik pada Masumi.
"Tergantung? Pada apa?" Masumi mencondongkan tubuhnya, menciumi rambut istrinya.
"Tergantung apa kau bisa bersikap baik," kata Maya, berusaha keras untuk tidak tertawa geli saat Masumi mencium telinganya.
Masumi mengambil jarak saat mendengar ucapan istrinya.
"Bersikap baik?" Keningnya berkerut.
Maya mengangguk.
Menghela napas dan menyeringai ke arah istrinya.
"Baiklah Nyonya, kau ingin aku bersikap baik seperti apa?"
Maya mengulum senyum penuh teka-teki.
"Bersikaplah sopan selama perjalanan Tuan Hayami,"
"Oh, hanya itu?"
Maya mengangguk.
Masumi pun mengangguk-angguk.
"Baiklah, aku setuju Nyonya Hayami. Bersikap sopan selama perjalanan. Ku pikir tidak akan sulit, perjalanan kita kan hanya tinggal satu jam lagi,"
Maya terkesiap lalu menepuk dahinya, sadar akan kebodohannya. Permainan ini akan berbalik padanya dan itu berarti dia harus mengulang apa yang sudah dilakukannya semalam? Maya merasakan sesuatu mengejang dibagian bawah perutnya.
Masumi menahan senyumnya tidak mengembang, kemudian duduk tegak di kursinya, mengambil sebuah majalah bisnis dan mulai membacanya. Menikmati permainan yang dibuat istrinya. Hanya satu jam dia harus diam dan setelah itu dia akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Batin Masumi bersorak sorai dan melakukan standing ovation.

***
Tiba di Paris, Maya dan Masumi dijemput oleh petugas khusus. Salah satu layanan bagi pengguna kamar Imperial Suite, Park Hyatt, Vendome, Paris.
"Kau berlebihan sayang," kata Maya saat memasuki kamarnya.
"Apanya yang berlebihan?" Masumi memeluk istrinya dari belakang, sementara concierge membereskan barang-barang mereka.
"Ini semuanya, dua puluh ribu dolar semalam dan kita akan tinggal disini selama dua minggu?" Maya melambaikan tangannya di udara.
"Ku pikir seorang Nyonya Maya Anderson Hayami tidak akan mempermasalah hal semacam itu," jawab Masumi, masih memeluk pinggang Maya.
Maya mendesah perlahan, "Terima kasih," kata Maya kemudian. Dia memang tidak bisa lagi protes untuk semua yang sudah Masumi siapkan untuknya.
"Nah, begitu lebih baik," kata Masumi senang karena akhirnya Maya tidak mendebat hotel yang dipilihnya. Bagi Masumi semua itu belum seberapa, jika bisa dia pasti akan membawa dunia ke dalam pangkuan istrinya.
"Lagipula ini sebanding," lanjut Masumi.
"Dengan apa?" Tanya Maya, memiringkan wajahnya, mencoba melihat wajah suaminya.
"Denganmu," bisik Masumi.
Maya tersenyum.
"Seorang ratu harus ditempatkan diistana. Kau adalah ratuku sayang," bisik Masumi lagi.
Hati Maya mengembang, mengepakkan sayap dan terbang ke langit biru. Bisakah dia berhenti terpesona pada rajanya ini? Bahkan hanya dengan kata-kata Masumi bisa membuatnya melayang.
"Jadi, apa aku akan menerima hadiahku malam ini?" Masumi masih berbisik di telinga istrinya. Mengabaikan keberadaan concierge yang sibuk menata barang mereka.
Maya menahan napas, teringat akan permainannya di atas pesawat.
"Hadiah apa?" Tanya Maya pura-pura tidak tahu dan dia merasakan senyuman Masumi di samping telinganya.
"Hadiah karena aku sudah bersikap baik selama perjalanan,"
"Oh itu,"
"Oh itu?"
"Hhmmm,"
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Kapan aku mendapat hadiahnya?"
"Hadiah apa?"
"Maya?!"
"Masumi,"
"Kau mau mengingkari janjimu?"
"Awww!!"
Maya menjerit saat Masumi menggigit telinganya.
Masumi melepaskan pelukannya lalu berjalan menjauh, merajuk.
Menghempaskan dirinya di sofa saat kemudian concierge permisi karena tugas mereka sudah selesai.
Maya melirik suaminya yang sedang melepas jasnya. Batinnya terkikik geli. Masumi seperti anak-anak jika sedang menginginkan 'itu' darinya.
"Wah, pemandangannya indah sekali dari sini," kata Maya, berdiri di balkon mengagumi kota Paris.
Masumi pura-pura tidak mendengarnya.
"Suamiku? Tidakkah kau mau melihat ini?"
"Tidak,"
Maya menahan tawanya.
"Tapi disini indah sekali," bujuknya lagi.
"Aku tahu, itu salah satu alasan kenapa aku memilih kamar ini," jawab Masumi, masih tidak memandang istrinya. Duduk bersandar dan memijit kepalanya. Pusing. Karena apa? Jetlag? Istrinya mengingkari janji? Hasratnya yang terpendam? Entah.
"Ya, kita masih punya banyak waktu untuk menikmatinya bersama. Iya kan?" Sekali lagi Maya melirik suaminya yang masih tidak bergeming dari sofa ruang tengah. Duduk dan memijit kepalanya.
"Iya," jawab Masumi singkat.
Maya tersenyum lalu mengamati ruangan mewah didepannya itu. Imperial Suite memiliki langit-langit yang sangat tinggi, ruang makan, dapur, bar, spa dengan bath tub whirlpool, ruang steam dan meja pemijat. Bukan itu saja, suite ini juga dilengkapi akses internet berkecepatan tinggi, komputer dengan monitor layar datar, telepon multiline dan area kerja yang terpisah dari kamar untuk kenyamanan bekerja.
Maya mendesah perlahan, berpikir. Apa dia akan menggunakan semua fasilitas itu hanya dalam waktu dua minggu. Rasanya masih terlalu berlebihan baginya mengeluarkan dua puluh ribu dolar semalam hanya untuk fasilitas yang belum tentu digunakannya.
Sejenak kemudian Maya tertegun, lalu memandang suaminya yang masih merajuk. Senyumnya mengembang. Ya, sepertinya dia memang harus memenuhi keinginan suaminya itu. Bukankah memang itu tujuan pergi berbulan madu? Saling menyenangkan satu sama lain. Maya terbahak dengan ide yang melintas di kepalanya dan Masumi menghadiahinya tatapan tajam. Tidak suka istrinya menertawakannya.
Mentertawakannya? Masumi bahkan tidak tahu apa yang dipikirkan istrinya sekarang.
Maya segera menutup mulutnya saat menyadari reaksi Masumi yang mendengar tawanya. Dia tahu suaminya sedang tidak bisa diajak bercanda sekarang. Tapi dia punya ide, ide yang akan membuat suasana hati suaminya kembali berbunga. Seperti Queen Mary's Garden yang pernah dikunjunginya, taman indah dengan dengan ribuan bunga mawar.
Maya berjalan melintasi ruang tengah menuju kamarnya.
"Aku mau mandi, apa kau juga sayang?" Rayu Maya.
"Tidak, kau saja dulu." Jawab Masumi datar, sekarang dia meraih majalah dimeja dan mulai membaca, pura-pura membaca.
Maya terkikik. Oke, menolak ajakan mandi bersama, berarti suaminya benar-benar marah, pikir Maya.
Masumi tidak pernah bisa menolak pesona seorang Maya dan jika sekarang dia melakukannya berarti ada hal besar yang membuatnya seperti itu. Tentu saja, kemarahannya.
Maya jadi berpikir, mengusap lembut dagunya, apa suaminya akan lebih garang dari bisanya jika sedang marah? Maya menggigit bibirnya, menahan ledakan tawanya dan dengan cepat pergi ke kamar mandi.
Maya masih mendapati suaminya duduk ditempat yang sama saat keluar dari kamarnya. Berbalut jubah mandi dan rambut basah terbungkus handuk, Maya menghampiri suaminya.
"Sebaiknya kau mandi dulu sayang, lalu kita makan malam. Aku sudah lapar," kata Maya, menyela suaminya yang sedang membaca. Kali ini Maya tahu suaminya benar-benar membaca.
Masumi menoleh ke arah istrinya dan sejenak matanya membulat, terkejut, tapi dengan cepat menetralkan ekspresinya, kembali datar. Menelan ludahnya Masumi kembali melihat majalah di tangannya. Tidak sanggup melihat istrinya.
Maya menggigit bibirnya lagi, menahan tawa. Permainan ini akan memakan waktu lama, pikirnya.
Maya sengaja mengenakan jubah mandi pendek yang hanya sebatas paha. Tentu saja itu mengekspos bagian tubuh mulusnya. Dan Maya sengaja sedikit melonggarkan ikatan jubahnya sehingga bagian dadanya juga sedikit terbuka. Tapi sepertinya kali ini kemarahan suaminya sedikit sulit diluluhkan. Sekarang bahkan majalah lebih menarik dibanding dirinya. Dalam hati Maya tergelak-gelak dengan apa yang dilakukannya.
"Tenang saja sayang, aku tahu apa yang kau mau. Hanya saja kau harus menyingkir, sementara aku menyiapkan kejutannya,"
"Masumi, apa kau tidak mendengarku? Mandilah dulu," kata Maya.
Mendesah perlahan, akhirnya Masumi bangkit dan berjalan ke kamarnya tapi dari sisi lain ruangan. Maya melotot. Masumi menghindarinya? Maya menggeleng dengan sikap suaminya yang konyol. Seperti anak-anak yang dilarang makan permen atau merajuk karena tidak dibelikan es krim.
Setelah Masumi menghilang di dalam kamar mandi Maya segera menjalankan rencananya. Membuka kopernya dan mencari pakaian lalu segera mengenakannya, sibuk sejenak di depan meja rias lalu bergegas ke ruang tengah. Menyingkirkan meja dan membiarkan permadani mahal itu kosong, Maya menyusun beberapa bantal disana. Membuka kopernya yang lain dan mengambil beberapa lilin kaca aromaterapi dari dalamnya. Menyalakannya dan dengan cepat menyusunnya di sekeliling permadani. Pengalaman malam pertamanya membuat Maya sangat menyukai lilin aromaterapi. Dia membeli beberapa lilin itu di London.
Selesai dengan panggung utamanya, Maya meraih remote control ruangan. Ya, sekarang semua bisa dikendalikan hanya dengan jari. Maya menekan beberapa tombol dan tirai langsung bergerak otomatis, menutup semua pintu kaca dan jendela besar di ruang tengah yang memperlihatkan pemandangan kota Paris. Maya tidak membutuhkan pemandangan itu sekarang. Menekan beberapa tombol lagi dan lampu di ruang tengah langsung berganti, temaram jingga yang lembut. Mengatur suhu ruangan agar lebih nyaman dan Maya tersenyum lebar saat mendapatkan apa yang diinginkannya.
Tidak heran dia bisa menjadi aktris hebat. Maya tahu benar bagaimana menampilkan sebuah pertunjukan. Dan kali ini dia akan menampilkan pertunjukan istimewa untuk suaminya. Lebih istimewa dari yang pernah dilakukannya di London.
Maya segera berlari saat ingat tugas terakhirnya yang belum selesai. Menyembunyikan koper pakaian suaminya. Selesai dengan itu, Maya kembali ke ruang tengah. Duduk di tengah panggung dan menunggu penonton sekaligus pengagum setianya datang. Dan saat dia mendengar suaminya memanggil, Maya tahu pertunjukannya hampir di mulai.
"Maya! Dimana koperku? Kenapa tiba-tiba tidak ada?" Teriak Masumi dari dalam kamar. Suaranya seperti kebingungan.
Maya menarik napas saat mendengar suara Masumi mendekat.
"Ma...ya...?"
Mata Masumi membulat dan dia mematung diambang pintu kamarnya.
"Silakan duduk Tuan," kata Maya lembut dari balik cadarnya.
Maya duduk dengan memeluk satu kakinya. Setengah tubuhnya tertutup kain yang gemerlap. Dia pernah belajar tari klasik india untuk pementasan teater broadway di New York. Pakaian itu khusus diberikan oleh guru tarinya yang langsung datang dari India. Dulu Maya berpikir pakaian itu tidak akan berguna karena terlalu terbuka. Tapi nyatanya sekarang pakaian itu sangat berguna. Dia bahkan sudah menggunakannya dua kali dan mungkin dia memang hanya akan mengenakan pakaian itu untuk suaminya saja. Membayangkan orang lain melihatnya dengan pakaian seperti itu sudah membuatnya bergidik ngeri.
Masumi mengerjap beberapa kali, terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bibirnya berkedut geli memikirkan istrinya menyiapkan semua ini untuknya.
Maya melambaikan tangannya, meminta Masumi duduk di tempatnya dan suaminya itupun melangkah. Dia hanya mengenakan jubah mandi karena tidak menemukan kopernya dan memang itulah rencana Maya.
Masumi menahan napas saat duduk di atas permadani dan melihat istrinya menatapnya dengan tatapan provokatif yang menggoda. Masih tidak bergerak dari tempatnya, Maya hanya memandang suaminya dan Masumi bersandar pada tumpukan bantal yang sudah disusunnya.
Masumi melihat istrinya tersenyum dibalik cadar transparan yang dikenakannya. Jari Maya menekan sebuah tombol pada remot disebelahnya dan sebuah alunan musik memenuhi ruangan.
Jantung Masumi serasa berhenti berdetak saat istrinya itu berdiri. Maya mengenakan atasan minim yang hanya menutupi bagian depan tubuhnya. Bahu dan perutnya tereksapos sempurna, sebuah rok panjang menggantung di garis pinggulnya, rok dari kain gemerlap sepanjang mata kaki. Namun meski rok itu panjang tapi kain itu transparan, memperlihatkan kaki mulusnya. Tentu saja seharusnya Maya mengenakan legging atau semacamnya, tapi jelas dia sengaja membiarkan kakinya polos dan terlihat menggoda.
Maya bergerak, menari, memutari panggung buatannya. Kemarahan Masumi langsung lenyap, menguap tak berbekas. Terhapus kain yang berkibar saat Maya berputar, tertutup oleh suara gemerincing gelang kaki yang selaras dengan suara musik, oleh lenggokan pinggul Maya yang gemulai dan oleh gerakan lincah kaki dan tangan yang bergerak selaras. Masumi lupa akan dunia di luar sana, pusat semestanya ada didepan matanya, Maya-nya, istrinya tercinta.
Maya terus bergerak, melempar senyumnya dan mengerlingkan mata pada suaminya. Masumi menyeringai senang, menikmati hiburan yang disuguhkan istrinya. Tarian Maya kali ini lebih bagus dari yang pernah ditunjukkannya di London. Tunggu? Itukan baru kemarin malam? Batin Masumi tertawa senang.
Maya berputar tiga kali dengan cepat dan bersamaan dengan berhentinya musik, Maya berhenti dan terduduk di atas permadani, dihadapan suaminya. Terengah tapi senang. Senyumnya mengembang di balik cadar.
Masumi tersenyum senang, mendekati istrinya dan membungkuk mencium kening istrinya.
"Terima kasih," gumam Masumi senang.
"Kau suka?" Tanya Maya seraya mengatur napasnya.
"Sangat,"
Senyum Maya kembali mengembang.
"Pertunjukannya belum selesai kan?" Senyum provokatif Masumi terpahat.
Maya menunduk malu.
Keduanya duduk berhadapan, Masumi mengulurkan tangannya ke belakang kepala Maya dan melepas ikatan cadarnya. Kain tipis itu melayang dan jatuh diatas permadani.
"Aku rindu Maya-ku," rayu Masumi yang kemudian mendaratkan kecupan di ujung hidung mungil istrinya, Maya terpejam, sentuhan Masumi dikulitnya, sekecil apapun itu lebih dari cukup untuk membuat hatinya meleleh. Kecupan kedua Masumi mendarat di bibir Maya yang dipulas dengan lipstik merah menyala. Membuat bibir itu terlihat penuh, menyegarkan seperti ceri merah.
Perlahan Masumi melumat bibir atas Maya, lalu bibir bawahnya. Napas Maya yang sempat tenang sekarang kembali tak beraturan, cumbuan Masumi menyerakkan napasnya.
Lidah Masumi menyusuri bibir itu, membasahinya, memujanya dan saat lidah itu mendesak masuk, Maya menyambutnya, ciuman keduanya semakin dalam.
Masumi meraih bahu istrinya membelainya dan tangan Maya juga tidak diam, menarik tali jubah Masumi dan mendorong jubah mandi itu kebelakang, membuatnya jatuh mengumpul di atas permadani. Maya tersenyum lalu merendahkan tubuhnya, mengecup kening suaminya. Masumi terpejam, menikmati sentuhan bibir istrinya.
"Jangan," ucap Maya sambil mengalihkan kecupannya ke mata kanan suaminya yang terpejam.
"Marah," kecupan beralih ke mata kirinya.
"Padaku," kali ini kecupan di ujung hidung.
"Aku," bibir merah mengecup pipi kanan.
"Sangat," lalu beralih ke pipi kiri.
"Mencintaimu," dan kalimat itu diakhiri dengan cumbuan lembut Maya di bibir suaminya.
Bibir mungil itu menaklukkan rajanya. Bibir atas dilumat Maya dengan lembut lalu menggigit lembut bibir bawah suaminya. Lidahnya menyusuri kelembutan didalam mulut Masumi.
Tidak heran Masumi merajuk untuk meminta hal ini dari istrinya. Maya benar-benar tahu bagaimana cara menyenangkan hati suaminya.
Maya terengah saat berhenti dengan semua rayuannya. Bulu matanya mengerjap saat mata gelap Masumi menatapnya. Masumi bangun dan tersenyum senang.
"Gilaranku," bisik Masumi di telinga istrinya.
Masumi memeluk istrinya, menangkup rambut panjang Maya dengan genggaman tangannya lalu menyibakkannya ke sisi lain bahunya. Membut punggung Maya polos menggoda. Mendaratkan ciuman di sepanjang leher belakang hingga ke garis bahunya. Tangan Maya mencengkeram punggung suaminya, sensasi memabukkan mulai menjalari setiap sel di tubuhnya.
Masumi melebarkan tangannya di punggung Maya dan menahannya saat perlahan membaringkan istrinya itu di atas permadani.
Berbaring miring disisi istrinya dengan siku menyangga tubuhnya, masumi menatap takjub pada tubuh polos Maya. Meski sudah berkali-kali dia melihatnya tetap saja rasa takjub itu tidak berkurang, justru semakin bertambah. Istrinya selalu menggoda baginya.
Wajah Maya semakin bersemu merah dibawah tatapan mata gelap Masumi.
"Kau cantik sayang," gumam Masumi.
"Kau juga tampan," balas Maya lirih.
Suara mereka sama beratnya, napas keduanya jelas belum stabil.
"Aku rasa aku harus berterima kasih atas pertunjukanmu yang luar biasa,"
Maya tersenyum.
"Standing ovation jelas tidak akan cukup,"
"Hhhmmm," Maya kehabisan tenaga untuk tertawa.
"Aku akan memberimu hadiah juga,"
Merendahkan tubuhnya, Masumi berbisik mesra.
"Aku akan menyenangkanmu juga,"
Maya hanya tersenyum geli, sudah terbayang apa yang akan dilakukan suaminya.
"Maya-ku,"
Bisikan Masumi mengirimkan getaran ke seluruh tubuh Maya. Memiringkan wajahnya ke sisi lain, Maya melenguh perlahan saat lidah Masumi menggoda telinganya. Mengerang, saat Masumi menggigit lembut cuping telinga itu.
Dan itu hanyalah awal. Maya benar-benar akan takluk ketika semuanya berakhir.

***
Saat kesadaran Maya mulai kembali, dia merasakan hawa dingin menyentuh kulitnya. Maya mengeratkan tangannya, memeluk dirinya sendiri.
"Dingin?"
Bisikan lembut itu menarik kesadaran Maya, masih terpejam, dia merasakan sesuatu yang hangat melingkupi tubuhnya, dia tahu itu lengan suaminya.
Maya membuka mata dan melihat Masumi menatapnya hangat, penuh kasih. Maya tidur dengan kepala bersandar di lengan suaminya. Masih di ruang tengah, di atas permadani.
"Sudah bangun sayang?" Masumi membelai lembut wajah Maya dalam pelukannya. Menyingkirkan rambut dari kening dan pipinya.
"Hhmmm," Maya melenguh dan menyurukkan wajahnya ke dada suaminya. Kembali memejamkan matanya.
"Maya,"
"Hhmmm,"
"Ayo pakai dulu bajumu,"
"Hhmmm,"
"Kau kedinginan kan?"
Maya menggeleng pelan, matanya masih terpejam.
Masumi tersenyum.
"Kau lelah?"
"Hhmmm,"
"Kau tidak lapar?"
"Hhmmm,"
Masumi tertawa.
"Ya, ampun. Apa aku menguras habis tenagamu sayang?"
"Hhmmm,"
Kali ini Masumi merasakan Maya tersenyum didadanya.
"Baiklah, kalau begitu. Kau hanya ingin tidur?"
"Hhmmm,"
Masumi kembali mengusap punggung polos Maya dan mengeratkan dekapannya, dengan sebelumnya merapatkan selimut ke tubuh istrinya.
"Tidurlah sayang,"
Masumi memberi kecupan selamat tidur untuk istrinya.
"Terima kasih," gumam Maya lirih.
Masumi tersenyum dan tak lama napas Maya semakin panjang dan teratur. Maya kembali terlelap.

***
Dering handphone membangunkan Masumi. Menggosok matanya, Masumi berusaha membuka mata.
Maya masih terlelap di lengannya, perlahan dia menurunkan istrinya dan meletakkannya di atas bantal. Kembali menyelimutinya dan dia beranjak meraih handphone Maya yang terus berdering di atas meja.
Mata Masumi menyipit saat melihat nama yang muncul di layar.
"Halo," sapa Masumi.
"Halo? Dimana Maya?" Suara tidak sopan yang khas itu membuat Masumi cemberut.
"Dia masih tidur. Ada apa Christ?"
"Tidur? Ya, ampun! Apa kau menyiksa adikku semalaman Masumi? Matahari sudah di atas kepala tapi dia masih tidur," Christ mengoceh dan mata Masumi segera mancari jam. Matanya membulat saat melihat angka yang tertera di jam digital yang terletak di sebelah televisi. Pukul sebelas siang.
"Dia lelah Christ, kau kan tahu kami baru tiba kemarin sore." Kata Masumi dengan suara yang diatur setenang mungkin, menyembunyikan keterkejutannya.
"Oke, aku hanya ingin memberi tahumu kalau sekitar dua jam lagi kami akan datang ke hotel. Aku dan Amanda baru tiba pagi ini,"
Masumi ternganga, kembali terkejut.
"Dua jam? Apa tidak sebaiknya aku dan Maya saja yang mengunjungimu?" Masumi melihat ke arah istrinya yang masih terlelap. Tidak yakin istrinya itu bisa siap dalam dua jam.
"Kau bilang adikku lelah? Aku tidak mau membuatnya semakin lelah. Kami yang akan datang kesana," dan seperti biasa, keinginan Christ adalah perintah.
"Kau keberatan?" Tanya Christ saat Masumi hanya diam dan tidak merespon perkataannya.
"Ah tidak, datanglah, kami akan menunggu," Masumi menyerah.
"Oke, sampai jumpa,"
"Sampai jumpa,"
Masumi menutup telepon dan meletakkan kembali handphone Maya di meja. Dengan lembut diangkatnya tubuh istrinya dan membaringkannya di kamar. Diapun segera membersihkan dirinya. Akhirnya dia menemukan kopernya yang disembunyikan Maya dan diapun bersiap.
Selesai dengan dirinya sendiri, Masumi menelepon layanan kamar untuk membersihkan ruang tengahnya yang berantakan. Menunggu layanan kamar datang Masumi mengumpulkan pakaian mereka yang terserak dan memasukkan lilin favorit Maya ke dalam koper.
Tidak lama kemudian bel kamar berbunyi, layanan kamar datang dan Masumi memberi beberapa instruksi termasuk jangan masuk ke kamarnya. Tentu saja karena istrinya masih polos dan tidur nyenyak disana.
Perut Masumi yang lapar mengingatkannya kalau semalam dia dan Maya melewatkan makan malam. Diapun segera memesan makanan.
Selesai dengan semua kesibukan itu, sementara ruang tengah dibersihkan, Masumi kembali ke kamar.
Mata sayu Maya langsung berbinar senang saat melihat suaminya datang.
"Halo sayang," Masumi menghampiri istrinya.
"Hhmmm, pukul berapa sekarang?" Tanya Maya.
"Dua belas siang," Masumi tersenyum saat Maya terkejut.
"Sudah tengah hari?"
Masumi mengangguk.
"Dan kakakmu akan datang satu jam lagi,"
Mata Maya melotot dan langsung bangun.
"Hei, tenang," kata Masumi.
"Christ akan mengerjaiku habis-habisan kalau tahu aku belum bangun," Maya melompat dari tempat tidur seraya menggumam tidak jelas, dengan cepat berlari ke kamar mandi.
Masumi terbahak melihat istrinya yang tanpa pakaian itu sibuk berlarian di dalam kamar.
Masumi sudah duduk di meja makan saat Maya selesai membersihkan diri.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Masumi cemas saat melihat istrinya tampak lesu.
Maya menggeleng, "Kepalaku sakit," keluhnya.
Masumi menarik kursi makan disebelahnya, Maya duduk sambil memijit kepalanya.
"Pertama jetlag, kedua kelelahan karena pertunjukanmu semalam dan ketiga kau melewatkan makan malam. Tidak heran kau sakit kepala sekarang," Masumi memeriksa kening dan leher Maya. Masumi tertegun saat melihat tanda merah kecil di leher Maya ketika dia menyibakkan rambut panjang istrinya. Mulutnya berkedut geli.
"Syukurlah tidak demam. Minum jusnya Maya, aku akan mengambilkan obat untukmu,"
Maya mengangguk dan segera meneguk orange juice yang tampak menyegarkan. Maya langsung menghabiskan setengah isinya, rasanya memang menyegarkan. Maya kemudian menatap makanan yang tersaji didepannya. Pasta, steak salmon, caesar salad dan puding lemon. Maya mengusap perutnya, ya dia lapar. Bagaimana dia bisa melupakan makan malam? Ah iya, dia lapar akan hal lain semalam. Maya terkikik mengingat kenikmatan yang dirasakannya semalam. Otot bawah perutnya kembali menegang saat terngiang erangan keras suaminya ketika terlepas bersamanya.
Maya meneguk lagi orange juice-nya, menenangkan dirinya.
Masumi kembali dengan membawa sebotol obat sakit kepala, lalu meletakkannya dimeja.
"Makan lalu minum obatmu,"
Masumi meletakkan steak salmon dihadapan Maya sementara dirinya memakan sepiring pasta. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menghabiskan semua hidangan itu, mengingat mereka telah melewatkan makan malam dan bekerja keras semalam.
"Enak," kata Maya seraya menyuap potongan terakhir puding lemon ke dalam mulutnya.
"Kenyang?"
Maya mengangguk.
"Sekarang minum obatmu,"
Masumi membuka botol, menuang sebutir pil dan memberikannya pada istrinya. Maya melempar pil itu kedalam mulutnya dan mendorongnya dengan segelas air.
"Bagus, ayo! Kita tunggu kakakmu di ruang tengah."
Maya mengikuti suaminya keruang tengah dan tersenyum mendapati ruangan itu sudah kembali seperti semula. Dia tidak begitu memperhatikannya saat keluar dari kamar tadi.
"Dimana lilin-lilinku?" Tanya Maya.
"Sudah ku kembalikan ke tempatnya." Masumi tersenyum, seraya menepuk tempat kosong disebelahnya. Meminta istrinya duduk disitu.
"Pakaianku?" Tanya Maya lagi seraya melipat kakinya dan duduk bersandar dengan manja pada suaminya.
"Aku berikan pada binatu,"
"Kau menemukan kopermu?" Maya mendongak dan suaminya menyeringai padanya.
"Ya, aku menemukannya di bawah ranjang,"
Maya terkikik.
"Pertunjukan yang bagus sayang," bisik Masumi.
"Aku senang kau menyukainya. Tapi ku harap kau tidak sering-sering memintanya. Itu sedikit, hhmmm, melelahkan," kata Maya.
"Sedikit? Kau bahkan tidur lima belas jam setelah itu," goda Masumi.
Maya melirik, "Oke, itu sangat melelahkan," bisik Maya lucu.
Masumi tertawa. Maya menggeser duduknya dan berbaring di pangkuan suaminya. Mata keduanya saling menatap penuh kasih.
"Apa tubuhmu ada yang sakit?" Masumi membelai-belai kepala Maya di pangkuannya.
"Selain kepalaku yang pusing? Tidak ada. Kenapa?"
"Tidak, hanya saja aku melakukannya cukup keras semalam. Aku takut menyakitimu,"
Maya tersenyum geli.
"Aku suka semalam," katanya dengan wajah malu-malu.
"Kau suka?" Kening Masumi berkerut.
"Iya, aku hampir frustasi dan kesal karena tidak juga bisa terlepas tapi saat kau...hhmmm....lebih keras...," Maya meringis, "Sangat nikmat,"
Masumi tersenyum geli. "Begitukah? Ya, aku ingat wajahmu cukup kacau semalam dan kau mengatakan dengan baik maksudmu,"
Maya meraih tangan suaminya yang membelai kepalanya lalu menciumi buku-buku jarinya.
"Aku tidak tahu kalau bercinta ternyata sangat menyenangkan."
Masumi terbahak dengan perkataan istrinya.
"Apa yang lucu?"
"Tidak ada, hanya saja dari caramu mengatakannya...kau seperti mengajakku bercinta,"
"Aku tidak bermaksud seperti itu,"
"Aku tahu. Nah sebaiknya kita menonton televisi saja ya? Membahas apa yang kita lakukan semalam mambuatku ingin mengulang semuanya."
Maya terbahak.
Suara bel menginterupsi ketenangan mereka.
"Itu pasti kakakmu," kata Masumi.
"Biar aku yang buka pinintunya," Maya bangun dari pangkuan suaminya lalu berjalan ke pintu.
Peluk dan cium Amanda juga Christ segera menyambut Maya.
"Kapan kalian tiba?" Tanya Maya saat mereka sudah duduk di ruang tengah.
"Pagi tadi," jawab Christ.
Masumi berjalan ke bar, membuka sebotol anggur dan menuangnya ke dalam tiga gelas. Tiga? Maya tentu tidak masuk hitungan.
"Bagaimana penerbangan kalian?" Tanya Amanda. Dia dan Christ menerima gelas anggur yang diberikan Masumi.
"Menyenangkan," jawab Maya.
Masumi kembali duduk ditempatnya dan Maya segera memeluk lengan suaminya lalu bersandar manja padanya.
Christ dan Amanda saling berpandangan melihat Maya begitu manja pada Masumi. Sebelumnya mereka tidak pernah melihat Maya semanja itu. Saat bersama mereka, Maya biasanya akan malu-malu jika berdekatan dengan suaminya.
Masumi membiarkan saja istrinya seperti itu, diapun menyesap anggurnya dengan santai.
"Sepertinya kami datang di waktu yang tidak tepat," Christ menyeringai pada Masumi. Melihat adiknya masih terlihat mengantuk dan bermanja-manja seperti itu, membuat Christ bisa menebak betapa hebatnya malam yang mereka lalui.
"Kami sudah selesai," Masumi balas menyeringai.
"Kami baru saja selesai makan siang." Maya menjawab tanpa tahu apa makna dari perkataan kakaknya.
Ketiganya terkikik geli dengan jawaban Maya. Ya, tidak heran, dia yang termuda dan terpolos diantara mereka. Sepandai apapun Masumi mengajari istrinya tetap saja kepolosan Maya tidak akan dapat mengejar tingkat kedewasaan tiga orang yang ada dihadapannya sekarang.
"Sebenarnya aku datang untuk meminta bantuan," kata Amanda.
"Apa yang bisa kubantu?" Tanya Maya.
"Hhhmm, Maya, maukah kau menjadi model dalam acara fashion show?" Mata Amanda memandangnya penuh harap.
"Model fashion show?!" Maya terkejut. "Tapi aku...,"
"Kumohon," pinta Amanda.
"Tubuhku kan tidak proporsional untuk menjadi model,"
"Tidak masalah, justru itu yang kucari. Sebenarnya ini acara amal, semua hasil karya akan dilelang dan uangnya akan disalurkan untuk membantu biaya pendidikan di Afrika. Kemarin aku berniat mengundurkan diri karena aku lebih memilih datang ke pesta pernikahanmu. Tapi ternyata asistentku lupa membatalkan pendaftaranku. Aku juga baru tahu pagi ini. Gawatnya lagi, fashion show ini adalah acara gabungan dari semua desaigner di Paris, jika aku mundur maka aku akan malu karena namaku sudah tercatat di dalam katalog."
"Lalu kenapa aku? Kau kan bisa menghubungi agency model?" Tanya Maya heran.
"Masalahnya tema dari fashion show itu, Maya. Aku tidak punya waktu lagi untuk membuat baju dengan model baru. Waktunya hanya tinggal lima hari lagi. Jika modelnya kau, aku sudah memiliki bajunya. Kau ingat baju pengantin yang ku buat untukmu? Aku membuat dua dan kau hanya memakai satu, aku berencana menggunakannya. Hanya tinggal melakukan sedikit modifikasi."
Maya dan Masumi berpandangan heran. Keduanya lalu menatap Christ yang menahan senyumnya dan menatap Amanda yang berwajah memelas.
"Maksudnya?" Tanya Maya lagi.
"Tema dari fashion show ini adalah 'Unique Love' dan aku ingin kau menjadi model gaun pengantinku...bersama suamimu,"
"Hah?!"
Masumi tersedak anggurnya.

**
Masumi mendesah kesal saat turun dari catwalk. Maya mengusap-usap lengan suaminya, menenangkannya. Mereka baru saja selesai melakukan gladi resik untuk acara fashion show yang akan digelar besok malam.
"Ayolah Masumi, tolong aku. Lagipula ini juga bagus untuk karir Maya. Banyak designer kelas dunia yang akan hadir,"
Masumi menghela napas saat teringat perkataan Amanda padanya. Jika bukan karena Maya tentu dia tidak mau tampil di panggung seperti ini. Lagipula acara fashion show jadi mengacaukan jadwal bulan madunya. Dan hal yang membuat kekesalannya semakin berlipat adalah Maya jadi sibuk bersama kakak iparnya dan mangabaikannya. Sudah empat hari mereka menginap diapartemen mewah Amanda dan selama itu pula Masumi harus menahan dirinya. Sungguh empat hari yang begitu menyiksa bagi Masumi.
"Sayang, bisakah kita menginap di hotel saja malam ini?" Pinta Masumi putus asa. Keduanya sedang berada di ruang ganti.
Maya terdiam mendengar permintaan suaminya.
"Tapi kan kita sudah berjanji untuk menginap diapartemen Amanda sampai acara ini selesai,"
Lagi-lagi Masumi menghela napas panjang. Maya benar, mereka memang sudah berjanji pada Amanda.
"Sayang tolong," Maya memutar tubuhnya, memberikan punggungnya pada suaminya, meminta Masumi membukakan sleting gaunnya.
Masumi menarik sleting dan saat sleting itu terbuka lalu memperlihatkan punggung polos Maya, Masumi menelan ludahnya. Inilah hal terberat baginya.
Tangan Masumi mendorong gaun itu melewati bahu Maya dan saat gaun indah itu terlepas, Masumi disuguhi pemandangan menakjubkan. Maya mengenakan korset ketat yang membentuk lekuk tubuhnya semakin sempurna. Bagian dadanya menjadi lebih terangkat dan terlihat bagitu menggoda. Sudah empat hari Masumi tidak mencumbui keduanya. Selama diapartemen Amanda, Maya selalu menolak saat Masumi menyentuhnya. Alasannya adalah karena Maya malu jika sampai terdengar oleh Amanda dan Christ. Dia takut tidak bisa mengendalikan erangan atau teriakannya.
Tanpa sadar Masumi membungkukkan tubuhnya dan menyapukan bibirnya di leher polos istrinya.
Maya terkesiap tapi tidak menolaknya, dia malah memegang erat kedua lengan Masumi.
"Aku merindukanmu sayang," desah Masumi saat ciumannya turun ke bahu polos Maya.
"Hhmmm, Masumi," Maya juga mendesah. Sepertinya dia juga merindukan hal yang sama.
Masumi memeluk erat istrinya dan memagut bibir mungil Maya. Tanpa ragu Maya membalas cumbuan itu. Baru saja lidah mereka bertemu dan saling melepas kerinduan saat kemudian seseorang mengetuk ruang ganti mereka.
Maya terkejut dan langsung menarik dirinya, membuat Masumi mengutuk dalam hati siapapun orang yang telah mengganggu kesenangannya itu.
"Kalian sudah selesai? Aku menunggu di dekat panggung ya, ada pengarahan terakhir,"
Dan itu adalah suara Amanda.
"Ya, sebentar lagi kami keluar," teriak Maya.
"Oke," langkah kaki Amanda terdengar menjauh.
Maya menatap suaminya dan terkikik melihat ekspresinya.
"Kita kembali ke hotel malam ini? Kumohon," wajah Masumi memelas.
Maya tersenyum, "Satu hari lagi, kumohon bertahanlah satu hari lagi,"
Masumi mendesah kesal, tahu kalau istrinya tidak akan merubah keputusannya.
"Cepat pakai bajumu, aku tidak yakin bisa menahan diriku jika melihatmu seperti itu lebih lama lagi,"
"Maaf ya," Maya mengecup sekilas bibir suaminya lalu segera berganti baju.
Setelah menggantung gaun pengatin Maya dan stelan milik Masumi di tempatnya keduanya segera pergi menemui Amanda.
Masumi menuang segelas anggur saat tiba di apartemen Amanda. Christ tertawa ketika melihat Masumi berwajah masam di bar.
"Istriku menyiksamu ya?" Tebak Christ yang duduk sebelah Masumi. Dia juga menuang segelas anggur.
Masumi hanya menyeringai menanggapi candaan Christ. Awalnya dia mengira Christ yang akan mengganggunya tapi ternyata malah istrinya.
"Maaf jadi mengacaukan bulan madumu,"
"Tidak apa-apa,"
Keduanya menyesap anggur bersamaan.
"Semakin hari ku lihat adikku semakin manja padamu. Sepertinya kau sukses menaklukkannya,"
Masumi melirik lawan bicaranya, "Tidak juga,"
Christ terkikik, "Kenapa kau sepertinya kesal sekali? Pasti bukan hanya karena fashion show itu kan?"
"Apa kau pernah merasa begitu kesal hanya karena wanita tidak bisa disentuh Christ?" Tanya Masumi, tak urung dia bicara juga tentang apa yang dirasakannya.
Christ tersenyum geli, mengerti maksud Masumi, "Ya, saat Amanda harus ada di Paris dan aku di New York. Menyiksa. Kau pikir kenapa aku bisa jadi seorang pemarah," katanya. Sepertinya keduanya cukup terbuka bila bicara persoalan 'pria'.
Masumi terbahak, ternyata dirinya bukan satu-satunya.
"Tapi kau aneh, bukankah kau bersama istrimu? Apa masalahmu?" Christ menyesap anggurnya.
"Maya tidak mau melakukannya disini sedangkan dia juga tidak mau kembali ke hotel. Adikmu itu, terkadang bisa jadi begitu keras kepala, melebihi tempurung kura-kura," kata Masumi kesal.
"Kenapa dia tidak mau? Kau kasar padanya?" Christ mengernyit heran.
"Kasar? Enak saja. Aku bahkan memperlakukannya seperti barang kaca kalau saja dia tidak minta,"
"Bukan aku tapi kalian," jawab Masumi.
"Kami?"
Masumi mendesah kesal, "Dia tidak mau kalian mendengar teriakannya. Kamar kita kan bersebelahan,"
Christ ternganga kemudian terbahak, tertawa katarsis, memegangi perutnya. Dia belum pernah mendengar hal konyol seperti itu.
Wajah Masumi semakin masam, menyesap anggurnya dengan kesal.
"Sepertinya hobi berteriaknya berlaku dalam segala hal,"
"Ya, begitulah,"
Christ kembali menyesap anggurnya.
"Kami akan pergi makan malam diluar, mungkin kembali pukul sebelas malam. Bersenang-senanglah,"
"Eh?!"
Christ menyeringai dan meninggalkan Masumi yang sudah mengulum senyum terima kasihnya.
Wajah Masumi berbinar saat masuk ke kamar menemui istrinya. Maya baru saja selesai berpakaian. Dia mengenakan celana selutut dan blouse pendek warna pink pucat. Terlihat segar sehabis mandi dengan rambut setengah basahnya.
"Kau tidak mengeringkan rambutmu?" Tanya Masumi seraya membenamkan hidungnya di rambut hitam istrinya yang wangi sehabis keramas.
"Sudah tapi sengaja hanya setengah kering. Tidak baik juga kan tiap hari mengeringkan rambut dengan hair dryer,"
Masumi hanya tersenyum, tidak begitu menanggapi penjelasan istrinya. Otaknya sedang membayangkan apa yang akan dilakukannya dengan istrinya malam ini.
"Suamiku, aku lapar," kata Maya.
"Kita kan memang belum makan. Ayo ke dapur, sepertinya ada yang bisa kita panaskan disana."
Maya girang. "Ayo," katanya semangat.
Keduanya keluar dari kamar dan saat yang bersamaan Christ juga keluar bersama Amanda. Keduanya sudah rapi.
"Kalian mau kemana?" Tanya Maya.
"Kami mau makan malam diluar," jawab Christ.
"Dimana?" Tanya Maya lagi, matanya berbinar.
Christ dan Amanda saling berpandangan, melihat indikasi yang tidak baik dengan kegirangan Maya.
"Ngg, entahlah, kami belum memutuskan. Mungkin di cafe atau semacamnya," jawab Amanda.
Sejenak, tiga pasang mata saling berpandangan waspada.
"Ngg, aku juga lapar, boleh kami ikut? Masumi bagaimana kalau malam ini kita makan diluar saja?" Tanya Maya bersemangat.
"Apa?!" Masumi mengerutkan keningnya dalam.
Christ dan Amanda mengatupkan bibirnya rapat-rapat agar tidak tertawa.
"Kenapa? Kau tidak mau?" Wajah Maya langsung lesu.
"Bukan tidak mau, hanya saja besok kau kan ada acara fashion show Maya. Apa kau tidak lelah jika kita keluar malam ini?" Masumi beralasan. Padahal apa yang akan dilakukannya jauh lebih melelahkan daripada sekedar keluar makan malam.
"Hei, itu hanya fashion show Masumi. Aku hanya tinggal berjalan dan tersenyum. Tidak ada dialog dan tidak berdiri dua jam dipanggung. Apanya yang melelahkan?" Protes Maya.
Masumi membuka mulutnya tapi dengan cepat mengatupkannya kembali. Gagal bicara.
"Kita keluar ya? Bukankah beberapa jadwal kita tertunda? Setidaknya kita bisa jalan-jalan malam ini," Maya masih berusaha membujuk suaminya.
"Ayolah Masumi," dan sekarang Maya merengek.
Masumi menyerah, "Baiklah, cepatlah bersiap,"
Maya melonjak kegirangan dan segera masuk ke kamarnya.
Christ dan Amanda langsung terbahak saat Maya menghilang. Masumi mendengus kesal.
"Kalian mengacau!"
"Itulah resikonya kalau kau menikah dengan anak-anak," Christ masih tertawa.
"Maaf Masumi, sepertinya rencana kita tidak berjalan sempurna malam ini," Amanda masih cekikikan geli.
"Sayang! Bukankah kau juga harus segera bersiap?" Teriak Maya dari dalam kamar.
Christ dan Amanda kembali terbahak saat Masumi mengomel seraya membuka pintu kamarnya.

***
Maya menikmati acara makan di luar malam itu. Mereka makan di sebuah pavement cafe, diudara terbuka. Setelah itu Amanda mengajak Maya dan Masumi berjalan-jalan ke Place de la Concorde.
Place de la Concorde adalah alun-alun kota berbentuk oktagonal yang terletak di antara Tuileries Gardens dan Champs Elysées, Paris, Perancis. Alun-alun stylish itu merupakan alun-alun utama dan yang terluas di kota Paris. 
Sebagai alun-alun utama yang terletak di tengah kota, Place de la Concorde dikelilingi oleh bangunan penting dan dekat tempat wisata lain di kota Paris. Alun-alun itu juga memiliki banyak fitur dan hiasan seperti obelisk mesir, air mancur, patung, dan tiang-tiang lampu yang artistik.
Maya berjalan dengan tidak berhenti mengagumi semua keindahan yang tersaji disekelilingnya. Dengan terus memeluk lengan suaminya, Maya mengoceh sepanjang jalan. Christ sudah bersusah payah mengajari Maya Bahasa Perancis tapi tetap saja adiknya itu tidak juga lancar dalam berbicara, tapi dia mengerti apa yang dikatakan orang-orang disekelilingnya. Dan senyumnya mengembang lebar saat mendengar dua orang berkomentar tentang dirinya dan Masumi.
"Mereka bilang apa?" Tanya Masumi saat melihat istrinya tidak berhenti tersenyum.
"Hhmm, mereka bilang kita pasti pasangan yang sedang jatuh cinta," Maya terkikik geli.
Masumi terbahak, hanya dengan melihat Maya yang bergelayut manja pada lengannya sepanjang jalan, semua orang juga pasti dapat menebaknya. Tapi Masumi tidak berkomentar, membiarkan istrinya senang dengan hal itu.
"Kau senang Maya?" Tanya Masumi.
Maya mengangguk, "Aku bahagia suamiku,"
Katanya seraya menyandarkan kepalanya di lengan suaminya.
Masumi tersenyum lega.
"Apa kau juga senang suamiku?" Maya balik bertanya.
Masumi berhenti berjalan, keduanya berdiri di bawah sebuah tiang lampu yang tidak jauh dari kolam air mancur.
"Melihatmu bahagia seperti ini, tentu saja aku bahagia sayang." Masumi tersenyum tulus, menangkupkan sebelah tangannya disisi wajah istrinya, membelainya, Maya menyandarkan kepalanya peda telapak tangan hangat itu. Tersenyum. Maya menangkupkan tangan mungilnya di atas tangan suaminya. Mengusapnya.
"Terima kasih ya," gumamnya lirih, matanya menatap lembut suaminya.
"Untuk apa?"
"Untuk segalanya, segalanya yang sudah kau berikan padaku. Semua cinta, semua kebahagian ini. Kau membuatku menjadi wanita paling bahagia di bumi ini," ucap Maya lembut seraya masih mengusap tangan Masumi di wajahnya.
Masumi menangkupkan sebelah tangannya lagi di sisi wajah Maya yang lain. membungkukkan tubuhnya dan mengangkat lembut wajah bahagia itu mendekatkannya dan perlahan memagut bibir istrinya.
Sebuah ciuman hangat penuh kasih untuk Maya. Lama bibir mereka saling berpaut, perlahan, dan Maya merasakan sudut matanya basah. Ciuman lembut itu menyentuh hingga ke dasar hatinya.
Masumi berhenti, tersenyum di bibir Maya. Dia tahu apa yang dirasakan istrinya karena dia juga merasakan hal yang sama, hanya bedanya tidak ada air mata di sudut matanya.
"Kau adalah hal terindah yang pernah ada dalam hidupku Maya. Buatlah aku menjadi pria paling bahagia di dunia ini dengan tetap menjadi milikku. Selamanya," bisik Masumi dibibir istrinya.
Maya mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya, berjinjit, bergelayut manja.
"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu, sangat sangat mencintaimu," Maya mengucapkan mantra cintanya dan Masumi mendekap pinggul istrinya mengangkatnya tinggi dan memutarnya di udara.
Maya memekik kegirangan, kedua tangannya berpegang erat di bahu suaminya. Saat Masumi berhenti, Maya menyisakan cekikikan riang yang terdengar begitu menyenangkan di telinga suaminya.
Masumi masih belum menurunkan istrinya. Maya masih lebih tinggi diatasnya dalam pelukannya. Memandang lembut Masumi dibawahnya, Maya menempelkan wajahnya di wajah suaminya, kening dengan kening, hidung dengan hidung. Napas Maya yang terengah karena tertawa, berhembus hangat di wajah Masumi.
"Besok malam," gumam Maya kemudian, mata mereka yang berdekatan saling memandang, "Saat kembali ke hotel, aku akan membuatmu menjadi pria paling bahagia di dunia ini,"
Masumi menahan senyumnya melebar, "Apa itu sebuah janji sayang?"
Maya tersenyum.
"Jangan ingkar, aku pegang janjimu,"
"Seingatku, aku tidak pernah mengingkari janjiku,"
Keduanya tersenyum, memateraikan janji mereka dengan ciuman hangat yang lain. Tidak peduli mereka ada dimana. Dibawah sinaran lampu taman, dia taman yang indah, di bawah langit terbuka, dunia hanya milik mereka.
Christ dan Amanda yang duduk di bangku taman hanya tersenyum seraya bergandengan tangan melihat sepasang kekasih yang dimabuk cinta itu.
"Mereka bahagia," kata Amanda penuh haru.
"Ya, sayang, mereka bahagia," kata Christ. Dia sudah menjadi saksi beratnya perjalanan cinta Maya dan Masumi. Mustahil dia tidak merasakan kebahagian atas penyatuan cinta keduanya.
Nyatanya, jalan-jalan malam itu justru berakhir bahagia. Maya dan Masumi terus tersenyum penuh arti, bersabar menantikan malam berlalu, berganti hari dimana janji Maya menanti disana.
Keduanya sama-sama memendam kerinduan atas hasrat penyatuan dua jiwa yang penuh cinta. Tapi keduanya sepakat, bahwa hal itu memang tidak akan mereka bagikan dengan siapapun. Lautan cinta yang luas itu hanya akan mereka reguk berdua. Sekarang, besok dan selamanya, hanya mereka berdua.

***
Temaram lampu kamar membuat suasana menjadi lebih hangat. Desahan napas terdengar bergantian dengan mantra cinta dan panggilan mesra dari sepasang kekasih yang saling memuja dalam cinta itu.
Entah untuk yang keberapa ratus kali Masumi mengerang memanggil nama istrinya yang seperti mantra membawanya semakin tenggelam. Dan setiap kata yang keluar dari bibir Maya bak pemujaan atas dewa cintanya yang menjadi pusat semestanya saat ini.
Malam itu, Maya membuktikan janjinya. Entah bagaimana wanita bisa melakukannya tapi nyatanya malam itu seorang Masumi Hayami benar-benar terhilang di bawah pesona Maya.
Gelora cinta keduanya bersatu dan membuat Maya juga Masumi terbuai bersama di dalam penyatuan yang begitu hangat dan membahagiakan.
Sekali lagi Maya membuat Masumi memujanya saat tangan mungilnya membelai lembut setiap inchi tubuh suaminya. Bibirnya membagikan kehangatan yang membuat Masumi semakin terhilang. Setiap kecupan yang ditinggalkan Maya, memateraikan bahwa Masumi hanya miliknya, satu-satunya miliknya.
Maya terengah dan sejenak mengatur napasnya, duduk berhadapan dengan suaminya yang bersandar pada kepala tempat tidur.
"Lelah?" Masumi tersenyum tipis pada istrinya yang terlihat begitu menggairahkan bersimpuh diantara kedua kakinya.
Maya menggeleng pelan seraya mengulum senyum malu-malu.
"Siap untuk yang ketiga?" Kali ini mata gelap Masumi merayunya.
Maya mengangguk. Selain nama suaminya tidak ada lagi kata-kata yang teringat di dalam otak Maya. Semuanya terserak entah ke mana.
"Kemari sayang," Masumi mengulurkan tangannya dan saat Maya menyambutnya Masumi menarinya ke dalam pelukannya. Maya berdiri dengan lututnya dan Masumi mengeratkan dekapannya di pinggang istrinya yang berlekuk indah. Maya menyandarkan kedua sikunya di bahu suaminya, menyelipkan jemarinya kesela-sela rambut lebat dan membenamkan jari-jari mungil itu disana. 
Masumi selalu membalas perlakukan manis Maya padanya dengan sesuatu yang lebih manis lagi. Tangan Masumi tidak berhenti bergerak, membuat Maya menggoyangkan tubuhnya perlahan, merespon setiap sentuhan, remasan juga setiap kecupan yang diberikan Masumi di tubuhnya.
Tersenyum, Masumi sedikit mengangkat wajahnya untuk bisa melihat wajah istrinya yang sekarang berada lebih tinggi di atasnya.
Saat mata keduanya berpaut, Masumi menurunkan satu tangannya, melintasi garis punggung istrinya hingga ke tulang ekornya. Jarinya melintasi belahan indah di belakang tubuh istrinya dan bibir Maya terbuka, mendesis halus menikmati sentuhan itu sementara mata keduanya masih tetap mengunci satu sama lain.
Jarinya turun bergerak ke bawah dan saat menemukan tujuannya, Masumi membenamkan jari itu ke dalam istrinya. Membuat Maya terpejam erat dan bibirnya kembali mendesis halus.
Masumi tersenyum atas apa yang dilakukannya.
Dan malam itu keduanya kembali membagi cinta yang manis.

***
Paris, satu lagi kota indah yang menjadi saksi bagi kebahagiaan Maya dan Masumi. Sisa waktu perjalanan bulan madu sepasang kekasih yang dimabuk cinta itu akhirnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Setelah interupsi dari kakak ipar, ya meski hasilnya luar biasa. Maya dan Masumi berhasil menjadi pusat perhatian dalam acara fashion show amal itu. Semua berakhir indah.
Sisa perjalanan lain juga menghasilkan kenangan mendalam bagi Maya dan Masumi.
Makan malam romantis di Menara Eiffel sambil menikmati indahnya kota Paris yang berkelip di bawah mereka. Maya membeli beberapa suvenir dan mengirim kartu pos langsung dari menara Eiffel untuk teman-temannya dan juga orang tuanya. Membagikan kebahagiaannya bersama suaminya.
Keduanya juga mengunjungi Arc de Triomphe atau Gerbang Kemenangan yang adalah salah satu monumen terpopuler di Paris dan merupakan salah satu gapura terbesar dalam sejarah. Mereka mengunjungi museum di dalam Arch de Triomphe, serta naik ke puncaknya dan melihat dari atas jalan-jalan di Paris yang berpusat di Arch de Triomphe.
Tidak ketinggalan, Maya dan Masumi juga berkunjung ke Museum Louvre yang memiliki lebih dari 380 ribu objek pameran dan memajang lebih dari 35 ribu karya seni. Yang menjadi primadona tentu saja adalah lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci yang seolah sudah menjadi ikon Museum Louvre.
Masumi tertawa saat Maya merengek padanya untuk membeli sebuah gembok. Untuk apa lagi jika bukan untuk menambah koleksi gembok yang memenuhi Jembatan Gembok Cinta Paris. Jembatan itu terletak di antara dua landmark Paris dan merupakan salah satu jembatan paling terkenal dan paling indah di Perancis.
Maya tersenyum puas saat akhirnya berhasil memasang gembok miliknya yang berwarna ungu -dia bersikeras meminta gembok warna ungu- diantara ribuan gembok lain yang berwarna warni di kedua sisi pagar jembatan.
Maya juga meminta seniman lokal untuk melukis dirinya dan Masumi. Dan suaminya itu hanya bisa menuruti keinginan Maya. Melihat senyum Maya yang terus mengembang membuat Masumi tidak bisa menolak permintaan istrinya itu.
Dan yang paling romantis adalah wisata Kapal Pesiar Sungai Seine. Seine Cruise adalah cara menyenangkan untuk keliling kota Paris. Bukan hanya menyenangkan tetapi juga praktis, karena sebagian besar daya tarik Paris yang dijuluki “City of Light” berada di tepi sungai Seine. Bukan hanya melihat keindahan panorama Paris, mereka juga melakukan makan malam romantis di atas kapal. Dan itu mengingatkan keduanya akan one night cruise di kapal Astoria. Hanya bedanya jika malam di Astoria mereka tidur disofa, kali ini, karena Masumi menyewa yacht pribadi maka mereka menghabiskan malam mereka di kabin mewah dan nyaman.
Dan tidak ketinggalan adalah kunjungan mereka ke Istana Versailles.
Disela-sela kunjungan mereka kebeberapa tempat itu, Maya dan Masumi menghabiskan waktu bersama di hotel. Tidak seperti dugaan Maya sebelumnya tentang semua fasilitas hotel yang tidak berguna karena pada kenyataannya Maya dan Masumi memaksimalkan semua fasilitas itu kecuali ruang kerja tentu saja. Mereka berendam, melakukan spa, pijat dan beragam kegiatan menyenangkan lainnya termasuk memasak bersama di dapur -lalu bercinta setelahnya-. Dan hotel mewah itu juga menjadi tempat yang begitu romantis karena keduanya terus bercumbu di setiap bagian ruangan, setiap kenangan cinta terukir di setiap jengkalnya.
Tiga minggu yang benar-benar indah. Maya dan Masumi masih terus belajar mengenal lebih dalam satu sama lain. Saling berbagi, tertawa, menangis, bertengkar, sungguh mereka menikmati setiap prosesnya. Proses cinta mereka. Dan dalam proses itu mereka bahagia.
Ya, mereka bahagia. Sangat bahagia. Dan Maya mendesah perlahan saat akhirnya harus meninggalkan kota indah itu.
"Kita bisa kembali lain waktu kalau kau mau," kata Masumi saat mellihat keengganan istrinya yang saat ini duduk di ruang tunggu VIP bandara. Menunggu penerbangan ke New York, mengunjungi Clara dan Michael baru kembali ke Jepang.
"Terima kasih ya," bisik Maya lirih dan seperti kebiasaannya beberapa minggu terakhir ini bergelayut manja di lengannya.
"Kebahagiaan ini untuk kita berdua," Masumi tersenyum pada istrinya.
Maya membalas senyum suaminya. Mengeratkan pelukannya.
Bahagia. Sekali lagi, hanya kata itu yang mewakili hati keduanya. Setelah semuanya. Setelah perjalanan panjang mereka. Sekarang mereka bahagia.
Dan meski jalan didepan mereka tidaklah semulus harapan tapi keduanya percaya, dengan terus bersama mereka dapat melalui segalanya. Bersama dan selamanya.

***
>>Selesai<<
Thanks for all MM Lover n TK Lover....big hug....

Post a Comment

28 Comments

  1. Four tumb up...buat sist agnes... ampe banyak gtu "itu" nya.. xixixixixi...speachless mau buat comment jg aq nya sist... masih takjub....heheheheee....
    Ga sabar buat baca cerita lain nya.... tetap menunggu dunia mimpi selanjutnya.... semangaaaaattttttt

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks say... aku aja yang nulis heran, jarinya gerak sendiri, tahu2 uda banyak gitu..hahhahahaa... *padahal emang dasar mupeng...xixixiixiiii
      Ya saking semangatnya mau bikin Maya-Masumi bahagia, kasihan terus menderita padahal saling cinta .... hiks...hiks... *Aku harap Miuchi Sensei akan buat mereka bahagia, selamanya....
      Semoga manga-nya juga kelar sebelum kiamat...heee

      Delete
    2. Berarti nulisnya dibawah alam sadar....wkwkwk

      Delete
    3. Antara ada dan tiada sist Ledy...wkwkwk

      Delete
  2. Romantis abis mbaaa... hebat ya Masumi sampai-sampai Maya yg polos jadi lincah xixixixi... lanjut ya mba ampe punya anak hahahahaha

    ReplyDelete
  3. Wow...pingin punya suami kayak masumi...ganteng, mapan, romantis dn cinta mati..setelah baca gak th mw ngomong apa...thanks mba agnes...ceritanya sangat sangat bagus😊😊😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Suamiku bilang..."Mau cari ampe ke ujung dunia juga si Masumi itu cuma ada di otak bunda," #sambiltepokjidat....hahahhahahahhaaa

      Delete
  4. Bacanya ampe lupa ngedip,...wòowww mba agnes....saluuuttt#langsungtelponsuamisuruhcepetpulang#wkwkwk

    ReplyDelete
  5. Sukses mba agnes #cubitgemespipimba agnes#...bikin sport jantung dan panas dingin....ambil teh anget dulu aahhhh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haahhhaaa.... taik napas sist Ledy...taik napas....

      Delete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Finally... happy ending... love u sist agnes kristi😘

    ReplyDelete
  8. Wkwkwk... Setelah bbrapa hari, akhirnya kelar jga bacanya... Setelah di ganggu yg lain.. lain.. XD
    Bener2 Salut deh sama sist Agnes.
    Bacanya sampe nahan nafas... ^_^
    Thx u ya... Di tunggu crita lainnya...

    ReplyDelete
  9. Sukaaa bgt mbaaaaaa, lanjuttt trus ampe py anak.... Hahaahha

    ReplyDelete
  10. Sukaaa bgt mbaaaaaa, lanjuttt trus ampe py anak.... Hahaahha

    ReplyDelete
  11. Phewww, baru baca chapter ini dan hasilnya gemeteran euy! Ini, based on author's experiences kah? 😂😂😂
    Good job! 👏👏👏

    ReplyDelete
  12. Wow.....great story sist....
    Luar biasa....
    Untung bacanya over midnight, jadi ga terganggu dengan krucil
    Tapi caramu menceritakan detail bagaimana Masumi-Maya bersatu bener-bener bikin panas dingin...
    Apalagi malam ini begitu dingin....aku sampe ikutan 'bergetar' karena nya
    Wkwkwkwk......
    Tapi overall cara mu menceritakan ga terasa seperti novel stensilan ato murahan
    Meskipun adegan malam tetap terasa elegant dan terhormat
    Way to go sist
    Lanjutin Pure Love nya juga ya (y) (y) (y) (y)

    ReplyDelete
  13. banyak tokoh-tokoh baru yah? jadi bingung mao bacanya.
    michael, amanda, dll. mereka diperkenalkan di Topeng Kaca no brp yah/ terus kabar ayumi gmn? matanya sudah dioperasi ap blm? trus hubunganya dengan potograpernya gmn?? penasaraaaannn

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Mba Talita, makasih ya udah baca. Untuk memperjelas bia ga bingung, tokoh Michael, Amanda dan keluarga Anderson adalah original caracther ciptaan authornya. sama sekali ga ada hubungannya dengan manga asli Topeng Kaca.
      Blog ini dibuat murni sebagai fanfiction yang tentunya ada banyak perbedaan dari segi cerita maupun tokoh2 tambahannya.
      Kalau soal mata Ayumi dan hubungannya dengan Peter Hamill di manga aslinya juga belum dilanjutkan bagaimana akhirnya. Kalaupun di beberapa cerita di blog ini mereka akhirnya nikah itu murni khayalan authornya, hahaaa.
      sekali lagi makasih udah baca ya mba. semoga menikmati cerita lainnya :D

      Delete
    2. ini fanfic karya mbk Agnes, mbk Talita. Biar ga bingung, bisa baca cerita awalnya di serial Kau Milikku. Ini listnya http://goodblog2u.blogspot.com/p/fftk_29.html

      Delete
  14. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  15. Suka sekali sama ceritanya mbak agnezzz. ❤❤

    ReplyDelete
  16. Mantaap trims Agnes ...saya semenjak tahu ada komik TK dari senior sempat kesal karena gak ada komik Fisik nya alias belum edar....setelah kemarin iseng cari lanjutan eh ada kak Agnes ....langsung baca sampai tamat 😆😘

    ReplyDelete
  17. speechless. Beautiful-romantic and full with lust. oh my god i'll have a sweet dream again tonite thanks to this! ;)

    ReplyDelete
  18. Gak bisa brenti bacanyaaa, keren mbak, penyatuan dua jiwanya digambarkan dengan indah, smg sensei suzue miuchi terinspirasi 😀 biarpun dalam bentuk teks, bisa membayangkan komiknya, hebat authornya. Masih penasaran knp sampe skrg blm ada lanjutannya..saya sampe pernah kirim email ke suzue miuchi 😀 trus baca artikel kalau sensei gak nulis lagi krn mendalami agama tertentu..kayaknya kecil kemungkinannya bakal dilanjut komiknya..semoga yg versi mbak Agnes ini bisa hadir dalam versi manganya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih banyak sudah baca Mba. Kalau manga aslinya memang perlu sabar tingkat dewa lagi. entah kapan bisa tamat beneran, hahaha
      ku aminkan doanya, semoga bisa ada dalam wujud manga juga hehehe

      Delete
  19. Ceritanya luar biasa bagus

    ReplyDelete