Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalannya.
*********************************************************************************
Maya membuka pintu apartementnya, keningnya langsung berkerut saat melihat seorang pria sudah menunggunya. Dengan santun, pria yang mengenakan kemeja biru tua tanpa dasi dan jas hitam itu tersenyum.
"Selamat pagi Nona Kitajima,"
"Tuan Lane?" Maya langsung menoleh ke kanan dan ke kiri dengan ekspresi waspada. Ryan Lane, pengawal pribadi Christ, kembali tersenyum. Memahami kewaspadaan Maya.
"Saya tidak bersama Tuan Christ, Nona Kitajima."
Ekspresi Maya langsung melembut. "Oh," lenguhnya lega seraya mengusap dadanya. Tapi tanda tanya lain menghampiri otaknya, keberadaan Ryan didepan apartemennya.
"Tuan Christ meminta saya menjemput Anda." Dan sekali lagi perkataan Ryan yang seperti paranormal menjawab pertanyaan tak terucap Maya.
Dalam hati gadis itu memuji Ryan yang bisa menebak apa yang ada di dalam otaknya dan kemudian bertanya-tanya. Apakah Christ dan Ryan memang memiliki kemampuan super untuk membaca pikiran orang? Ya, imajinasinya kembali berulah.
"Maaf, tapi apakah ada yang penting Tuan Lane?" Akhirnya ada juga kalimat panjang yang terucap dari mulut Maya.
"Prosedur pengamanan Nona Kitajima," jawabnya sopan tapi membingungkan.
"Pro...sedur pengamanan? Saya tidak mengerti maksud anda, Tuan Lane,"
"Tolong panggil saja saya Ryan dan anda tidak perlu sungkan pada saya Nona Kitajima. Tugas saya mengamankan anda hari ini. Jika anda sudah siap, kita bisa berangkat sekarang. Mobil sudah siap di basement,"
Otak Maya berusaha mencerna. Ryan. Prosedur pengamanan. Mobil. Basement. Terdengar begitu sistematis, dengan kata lain ikut-saya-sekarang. Tapi kemana? Kenapa? Maya masih mematung ditempatnya, tangannya bahkan masih memegang handle pintu.
"Apa anda sudah siap Nona Kitajima?"
"Kau tahu aku mau kemana Ryan?" Maya mengubah cara bicaranya.
"Kantor Nyonya Anderson, Scarlet Production House. Hari ini anda akan menandatangani kontrak,"
Oke. Itu menjelaskan pertanyaan 'kemana' di otak Maya.
"Kenapa aku harus dijemput? Aku bisa pergi sendiri. Apa 'Dark'...maaf 'Tuan Christian Anderson' berencana untuk menginvasi semua kegiatanku hari ini?"
Ryan tersenyum, tidak menjawab tapi justru melambaikan tangannya. Mempersilakan Maya untuk jalan lebih dulu. Maya tahu dia tidak bisa membantah. Diapun menyimpan pertanyaan 'kenapa' dalam otaknya dan segera mengunci apartemennya. Nanti juga dirinya akan tahu, pikir Maya seraya berjalan menuju lift.
Sebuah sedan Audi sudah siap membawa Maya. Sedikit gugup saat Ryan membuka pintu belakang mobil untuknya. Perlahan dia masuk dan duduk di jok belakang. Meski dirinya buta mengenai masalah mobil tapi hanya dengan melihat tampilan mobil yang berdesign mewah dan mengkilat Maya tahu itu adalah mobil mahal. Dan perlakuan istimewa semacam ini adalah hal asing baginya.
Mobil meluncur dengan mulus di jalan raya. Ryan hanya diam dibelakang kemudinya dan Maya melayangkan pandangannya keluar jendela. Mendesah pelan, Maya bersandar, berusaha bersantai. Entah kenapa duduk di dalam mobil mewah membuatnya tegang.
"Apa aku mengganggu konsentrasimu menyetir jika aku mengajakmu mengobrol, Ryan?" Tanya Maya. Menutup mulut terlalu lama membuatnya bosan dan justru semakin tak nyaman.
Ryan melirik Maya melalui kaca spion, "Tidak Nona Kitajima,"
Maya tersenyum lega, "Boleh aku bertanya?"
"Tentu Nona Kitajima,"
Maya cemberut, "Bisakah kau panggil saja aku Maya. Aku tidak terbiasa, bahkan sangat tidak terbiasa dipanggil 'nona',"
Ryan tersenyum, "Maaf jika membuat anda tidak nyaman Nona, tapi nanti anda pasti akan terbiasa."
"Kau akan tetap memanggilku Nona?"
"Ya Nona...Maya," kembali melirik Maya dari kaca spion. Tersenyum.
"Baiklah, terserah. Hhmm, boleh aku bertanya sesuatu tentang Tuan Christ?"
Maya sedikit mencondongkan tubuhnya untuk mengintip ekspresi lawan bicaranya. Ryan sendiri memiringkan kepalanya, seperti hendak menoleh ke belakang tapi tidak jadi karena kemudian kepalanya kembali tegak dan menatap lurus ke depan.
"Tentu Nona, tapi saya tidak bisa berjanji menjawab semua pertanyaan anda," jawab Ryan kemudian, itu menjelaskan keraguannya untuk menoleh tadi. 'Christ dan rahasia'. Begitu otak Maya menyimpulkannya.
"Apa kau sudah lama bekerja padanya?" Maya mengawali introgasinya.
"Lima belas tahun,"
Mulut Maya menganga, Memang berapa usianya sekarang? "Selama itu? Kau pasti sangat mengenalnya,"
Ryan hanya tersenyum.
"Sebenarnya Christian Anderson itu...orang seperti apa?" tanya Maya ragu. Bukan hanya ragu akan pertanyaannya tapi juga ragu Ryan akan menjawab pertanyaannya.
"Dia orang yang baik Nona Maya. Anda tidak perlu takut."
Hanya itu. Baik. Tidak ada tambahan lain. Definisi baiknya jadi begitu beragam dalam imajinasi Maya. 'Baik dalam semua hal yang menjengkelkannya'. "Baik?" Nada bicara Maya terdengar mencibir. "Aku tidak takut padanya, hanya ... dia menyebalkan. Selalu menggangguku,"
Ryan terkikik, "Saya sudah lama tidak melihat Tuan seakrab itu dengan seorang wanita apalagi wanita muda seperti anda."
Oh, hanya denganku? Kenapa? Pertanyaan lain kembali bertengger di otak Maya.
"Apa itu bisa dibilang sebuah keakraban? Bagiku itu sebuah gangguan. Dan...kenapa hanya aku yang diganggunya?"
"Tidak ada yang berani bercanda dan bertengkar dengan Tuan kecuali anda Nona. Dan saya rasa anda juga tahu julukan apa yang diberikan seluruh staf padanya. Seharusnya itu menjelaskan tentang keakraban yang saya maksud,"
"Hhmm, Kate pernah bilang kalau bosmu itu sangat galak, pemarah, dan kasar," kata Maya tanpa sungkan.
Kali ini Ryan tertawa, "Dia pria yang baik Nona. Percayalah,"
"Tapi sikapnya tidak mencerminkan itu," dengus Maya kesal.
"Tuan Christ aktor yang hebat Nona,"
Maya mengernyit. "Maksudmu sikap kasarnya itu...hanya akting?"
Ryan hanya menjawabnya dengan senyuman. Pikiran Maya melayang, teringat Masumi dan Mawar Ungunya. Apa dia juga seperti itu? Menyembunyikan kebaikan hatinya? Akhirnya Maya diam dan ternyata mereka sudah sampai. Mobil tidak berhenti didepan gedung tapi terus melaju ke tempat parkir basement. Maya sempat melihat di depan gedung terlihat cukup ramai, seperti kerumunan para wartawan.
"Kenapa ramai sekali? Ada apa?" Maya penasaran juga.
"Biasa Nona, wartawan," jawab Ryan seraya memarkirkan mobil dengan mulus.
"Oh," jawab Maya datar, masih belum menyadari apa yang terjadi.
"Tenang Nona, anda aman bersama saya," celetuk Ryan.
"Aku tenang. Memangnya kenapa?" Maya berhenti bicara. Kepalanya seperti dipukul palu dan mendapat pencerahan. Prosedur pengamanan. Wartawan. Dirinya. Dan otak Maya mengambil kesimpulan. Mereka mencariku? batin Maya yang sekarang 'tidak tenang'. Ryan tersenyum, turun dari mobil lalu membukakan pintu untuk Maya. Dengan ragu Maya melangkah keluar.
"Anda aman bersama saya Nona," Ryan kembali menenangkan dan itu tidak cukup berhasil.
Maya masih terlihat gugup. Meski bertahun-tahun menjadi aktris tapi wartawan bukanlah relasi yang menyenangkan baginya. Bukan sekali dua kali tulisan di media hasil karya para kuli tinta itu menyulitkannya dan membuatnya kehilangan semangat. Dan sekarang di awal karirnya dia justru harus berhadapan dengan mereka. Sendiri.
Maya menarik napas panjang dan kali ini memilih berjalan disebelah Ryan saat menuju lift. Kalau saja pantas, Maya pasti sudah memeluk lengan Ryan untuk mengatasi kegugupannya. Tapi itukan tidak mungkin. Dalam hati dia sedikit menyesal, kenapa tidak pernah bertanya pada Ayumi tentang bagaimana tips menghadapi kamera dan wartawan. Saingannya itu selalu terlihat tenang dan anggun. Sangat kontras dengannya yang canggung dan ceroboh.
Oh, semoga aku selamat hari ini, gumam Maya dalam hati.
"Kita akan langsung ke kantor Nyonya dan security akan menahan para wartawan itu di lobi. Jadi anda tidak perlu takut," Ryan jelas tahu kalau Maya sangat gugup. Ya, kali ini tidak heran, wajah Maya menggambarkannya dengan jelas.
"Jadi, ini kenapa Tuan Christ memintamu menjemputku?" Tanya Maya.
"Benar Nona,"
"Dia tahu aku takut dengan wartawan?"
Ryan tersenyum, tidak menjawab.
Ini dia jawaban 'kenapa'. Andai tadi aku berangkat sendiri, aku pasti akan melewati lobi dan akan langsung menjadi bulan-bulanan wartawan. Sepertinya kali ini aku harus berterima kasih padanya, kata Maya dalam hati.
Ping! Pintu lift terbuka, Maya melangkah keluar. Instingnya langsung merasakan sesuatu yang berbeda. Tentu saja, banyak pasang mata sekarang menatapnya. Ada yang kemudian menyapanya, sekedar tersenyum atau mengangguk tapi yang jelas itu adalah keramahan yang tidak biasa. Maya mempercepat langkahnya menuju kantor Clara, sehingga sekarang dia berjalan beberapa langkah di depan Ryan.
Mengetuk pintu kantor dan akhirnya lega saat dirinya sudah berada di dalam kantor Clara. Kota asing. Orang asing. Maya masih terus berusaha untuk beradaptasi dengan kedua hal itu.
Clara menyambut Maya dengan pelukan hangat dan mata berbinar. Kate juga begitu ramah padanya. Sekarang ketiganya duduk di meja kerja Clara.
"Kau tahu Maya, media menyambutmu dengan antusias. Aku pikir ini awal yang bagus untuk karirmu. Mereka bahkan menunggumu diluar," Kata Clara senang. Maya hanya tersenyum, tidak sesenang Clara mengenai wartawan.
"Lihat ini Maya," Kate meletakkan dua buah tabloid, sebuah majalah dan tiga surat kabar yang didalamnya terdapat ulasan pertunjukan 'The Queen'.
"Sebanyak ini?" Maya terkejut.
"Sudah kuduga kau tidak tahu," kata Kate.
Clara tersenyum. "Kau harus mulai peduli pada pemberitaan media Maya. Kau akan menjadi aktris kelas satu, ingat?"
"Hanya...sedikit mendadak dan belum terbiasa Nyonya," jawab Maya.
"Aku mengerti. Nah sekarang bacalah kontrakmu."
Suasana hening sejenak. Pintu diketuk dan Ryan muncul dari balik pintu. "Nona Miller sudah datang Nyonya,"
"Ah, bagus. Persilakan dia masuk," Clara bersemangat.
Maya masih serius membaca kontraknya. Sementara Clara menyambut kedatangan tamunya. "Maya," panggil Clara.
"Maya," panggil Kate juga. Maya masih serius membaca, hingga Kate menyentuh lengannya. "Maya," ulangnya.
"Ah!" Maya tersentak. "I...iya,"
"Apa kau sedang menghapal kontrakmu?" Kate terkikik geli. Maya tersenyum malu karena terlalu serius membaca.
"Mari kuperkenalkan, ini Rose Miller, menejermu," kata Clara.
"Menejer?" Maya menatap wanita muda yang berdiri tanpa cela dihadapannya.
Rose Miller, berwajah cantik dengan rambut coklat pendek asimetris. Dia mengenakan blus kerja satin berwarna putih gading dan celana panjang coklat, blazer dengan warna senada celananya membuatnya semakin terlihan elegan. Di lehernya tergantung kalung panjang dari batu hitam yang Maya tidak tahu jenis batunya. Sepatu hak tinggi dan tangannya membawa tas kerja kulit berwarna coklat. Sempurna. Stylish. Menawan.
Wanita ini akan menjadi menejerku? Dia lebih pantas jadi aktrisnya
"Maya?" Clara menyela lamunan Maya.
"Iya, Nyonya."
Clara merasa ada yang salah, "Christ bilang padaku kalau kau setuju dia yang mencarikan menejer untukmu. Tapi melihat ekspresimu...aku ragu Maya. Jangan katakan kalau kau tak tahu apa-apa tentang hal ini, Christ itu memang kadang suka memaksa, tapi aku...,"
"Tidak Nyonya," Maya menyela dengan cepat ceramah Clara. "Saya sudah tahu dan saya juga sudah setuju," jawabnya. Terpaksa setuju maksudnya, karena dia sendiri tak yakin bisa mendapatkan menejer semenawan wanita yang berdiri dihadapannya sekarang.
Clara terlihat lega. "Kupikir Christ bohong padaku."
Memang, batin Maya tergelak.
"Nah Maya, ini Rose Miller, Rose ini Maya Kitajima. Kontrak Rose dengan Scarlet sebagai menejermu juga sudah disiapkan,"
Keduanya berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri. Merekapun kembali duduk di meja Clara.
Dalam hati Maya bersyukur juga karena Christ yang mencari menejernya. Dengan begitu semua kontrak diurus langsung oleh Scarlet, Maya kan buta hukum. Mempelajari kontrak bisa sangat melelahkan baginya.
Suasana kembali tenang saat Maya meneruskan membaca kontraknya dan Rose membaca kontraknya sendiri. "Saya setuju," kata Maya setelah selesai membaca.
"Saya juga setuju, semua sudah sesuai dengan kesepakatan saya dan Tuan Anderson," kata Rose.
Christ? Oh, bahkan dia sendiri yang membuat kesepakatan? Kenapa dia begitu ikut campur urusanku? Ikut campur...atau peduli? Maya tertegun.
"Bagus, berarti kita sepakat."
Mereka berjabat tangan setelah selesai membubuhkan tanda tangan di kontrak masing-masing. Maya memandang Rose.
"Ada yang salah Nona Kitajima?" tanya Rose sopan, sadar Maya mengamatinya.
"Maya. Panggil saja saya Maya, Nona Miller."
"Oke, kalau begitu panggil aku Rose dan aku panggil kau Maya," Rose lebih santai sekarang.
"Hhhmm, tentu," Maya tersenyum tapi masih terlihat mengamati.
"Sekali lagi ku tanya, ada yang salah? Denganku?" Rose menunjuk dirinya sendiri.
Maya menggelang, "Melihatmu...aku jadi tidak percaya diri. Kau lebih cocok menjadi aktrisnya daripada menejer," kata Maya polos mengutarakan apa yang ada dipikirannya. Semuanya langsung tertawa.
***
Maya berjalan bersama Ryan di basement. Semua urusannya sudah selesai dan Ryan akan mengantarnya pulang. Seorang wanita berjalan ke arah Maya dan tiba-tiba berhenti didepannya, membuat Maya juga menghentikan langkahnya. Ryan terlihat waspada dua langkah di belakang Maya.
Wanita itu membuka kaca mata hitamnya. Menatap Maya tajam. Dia seorang wanita cantik dengan rambut pirang tapi dengan ekspresi wajah yang tidak bersahabat. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku matel musim dinginnya lalu memandang Maya dari kepala hingga kaki. Maya merasa itu adalah tatapan mengejek, bahwa dirinya tidak semenawan wanita pirang. Beberapa saat wanita itu mengintimidasi Maya melalui matanya, membuat Maya jengah.
"Maaf?" Maya akhirnya membuka mulutnya. Merasa salah dengan wanita yang menghalangi jalannya tersebut.
"Maya Kitajima?" tanyanya dengan nada yang sama tidak ramahnya dengan ekspresi wajahnya.
"Benar, maaf, anda?" Maya balik bertanya, heran wanita itu mengenalnya. Tapi kemudian sadar, wajahnya terpampang dibeberapa tabloid, majalah bahkan surat kabar. Tidak heran kalau sekarang dirinya mudah dikenali. Tapi alih-alih menjawab wanita itu justru menyeringai padanya. Wanita itu mengulurkan tangannya dan Maya terlambat menyadari karena begitu cepatnya, Ryan tiba-tiba sudah berada didepannya dan mencengkram pergelangan tangan wanita itu sebelum menyentuh bahu Maya.
Maya terpaku, bingung. Sementara Ryan menatap wanita itu tajam.
Wanita itu kembali menyeringai. "Jadi gosip itu benar? Ternyata gadis ini penting ya, sampai pengawal pribadi Tuan Anderson turun tangan secara langsung,"
"Jangan bermain api, Nona," suara Ryan terdengar tenang tapi jelas mengancam.
Wanita itu menarik keras salah satu sudut bibirnya, menarik tangannya dari cengkraman Ryan. Berlalu pergi dengan sebelumnya kembali mengancam Maya dengan tatapan matanya. Ekspresi Ryan melunak saat menoleh pada Maya. Jantung Maya berpacu melihat drama singkat dihadapannya.
"Anda tidak apa-apa Nona Maya?" Tanya Ryan, sedikit cemas melihat ekpresi wajah Maya.
Gadis itu menggeleng cepat, "Aku tidak apa-apa. Siapa wanita itu?"
Sedikit ragu untuk menjawab tapi Ryan tahu dirinya harus menjawab, "Jenifer Aston," jawabnya singkat.
Maya mengernyit, merasa tak asing dengan nama itu dan tentu saja ... ah ... Maya sadar. "Cleopatra," lenguhnya pelan. Ryan tersenyum menenangkan.
Sepenuhnya sadar apa yang telah terjadi dan anehnya itu justru melegakan. Maya memutuskan untuk tenang. Mengabaikannya. Bukan sekali ini saja dia dimusuhi orang gara-gara peran. Memakan pecahan kaca dalam pie, hampir jatuh dari tiang kapal, bahkan dia pernah di black list dari dunia artis. Apalagi kemungkinan terburuknya? Sekarang dia sudah lebih dewasa dan bisa lebih berhati-hati. Tidak akan membiarkan dirinya sendiri jatuh ke kubangan yang sama, dua kali.
"Terima kasih," kata Maya seraya tersenyum pada Ryan lalu melewati Ryan berjalan ke mobil.
Ryan sedikit terkejut dengan rekasi Maya yang begitu santai tapi dengan cepat kembali fokus dan mengikuti Maya ke mobil.
"Ryan," panggil Maya saat mobil sudah meninggalkan basement. Sepertinya dia mulai merasa nyaman bersama dengan Ryan. Mengingatkan Maya pada kakak angkatnya, Shijo Ueda, batin Maya geli, Karato Hijiri.
"Ya, Nona,"
"Aku ingin mengucapkan terima kasih pada Tuan Christ karena sudah banyak membantuku hari ini. Bisakah kau membawaku bertemu dengannya?"
Sejenak tertegun. "Tentu, Nona," jawabnya kemudian dan mobil langsung berbalik arah disambut senyuman di wajah Maya.
***
ACA Group berkantor di sebuah gedung pencakar langit. Maya berdecak kagum melihatnya. Ryan mengantar Maya ke ruangan Christ.
"Kalau boleh tahu, perusahaan ini bergerak dalam bidang apa?" Tanya Maya setengah berbisik pada Ryan.
"ACA Group adalah perusahaan konglomerasi Nona, bergerak di banyak bidang, telekomunikasi, transportasi juga industri pengolahan makanan." Jawab Ryan sopan.
"Oh," Maya tidak begitu paham, otaknya hanya menyimpulkan kalau ACA Group adalah perusahaaan yang sangat besar. Dalam hatinya sempat bertanya-tanya, jika dibandingkan dengan Group Takatsu mana yang lebih besar.
Ryan mempersilakan Maya masuk kesebuah ruangan dan seorang wanita langsung mendongakkan kepalanya saat melihat Maya dan Ryan datang.
Belum sempat wanita itu menyapa sebuah teriakan dan gebrakan meja terdengar dari ruangan disebelah tempat Maya berada sekarang. Tak perlu bertanya, Maya tahu suara siapa itu. Kata terkhir yang terdengar adalah kata 'keluar' yang menggema dengan lantang dan tak lama kemudian tiga orang pria keluar dari ruangan itu dengan wajah zombie.
Lagi-lagi belum sempat Maya menyapa wanita yang daritadi menatapnya aneh, Ryan langsung meminta Maya mengikutinya. Mengetuk pintu dan tanpa menunggu jawaban Ryan langsung masuk.
"Apa!" Bentak Christ kasar saat melihat Ryan tapi saat melihat Maya muncul dibelakangnya ekspresi Christ langsung melembut. "Maya!" Pekiknya girang, melotot sebentar pada Ryan, "Aku benci kejutan Ryan," desisnya marah, disambut senyuman kemenangan Ryan. Sepertinya dia memang sengaja membuat bosnya kesal.
"Selamat siang Tuan Anderson, maaf jika mengganggu. Saya yang meminta Ryan untuk membawa saya bertemu anda," kata Maya dengan nada bicara yang lebih formal dari biasanya.
Melihat kantor Christ Maya sadar bahwa dirinya berhadapan dengan orang penting dan membuatnya merasa harus bersikap sopan. Dalam hati dia merutuki dirinya sendiri saat mengingat pertengkarannya dengan Christ. Meski menyebalkan tapi paling tidak Maya memang harus bersikap hormat. Seharusnya dia belajar dari pengalamannya dengan Masumi, menyesal bahwa kontrol dirinya terlalu lemah.
Wajah Christ berkerut. Tidak senang. "Kenapa aku merasa bertemu orang asing?" Nada ironi Christ jelas menyatakan ketidak sukaannya sembari berkacak pinggang. Maya tersenyum semanis mungkin saat kemudian Christ mempersilakannya duduk dikursi tamu. "Keluar Ryan," perintah Christ kasar.
Maya berkerut tapi kemudian mengabaikannya. Duduk di kursi tamu, Maya melempar senyumnya pada Ryan. Christ seperti biasa dengan lancang duduk disebelah Maya. "Terima kasih Ryan," kata Maya sebelum Ryan keluar.
"Senang bisa membantu, Nona Maya," bibir Ryan tersenyum lucu saat Christ melotot padanya.
"Kau mau kupecat huh?!" Ancam Christ tiba-tiba.
Maya terhenyak, Ryan tertawa. "Kenapa anda harus marah Tuan Aderson?" Protes Maya dengan nada bicara yang tetap dijaganya. Sopan.
Christ semakin berang. "Kau!" Tunjuk Christ pada Maya, "Baru bersama Ryan sejak pagi ini dan muncul dihadapanku dengan 'Ryan' dan 'Nona Maya'?" Protesnya pada Maya.
"Sejak kapan kau mendapat ijin memanggil namanya?" Kali ini berteriak pada Ryan. Lalu dengan cepat kembali beralih pada Maya, "Dan kau muncul dihadapanku dengan semakin santun dan memanggilku Tuan Anderson? Kau akrab dengan pengawalku tapi kemudian membuat jarak denganku! Itu cukup bagiku untuk marah!"
"Ya ampun, Tuan Anderson," Maya menggeleng, gagal untuk tidak terlihat geli, "Ternyata anda sangat kekanakan sekali,"
Christ diam, mengusir Ryan dengan mata melototnya dan Ryan segera menghilang dari pandangannya.
Christ masih kesal, tapi ekspresinya sudah melembut. Beranjak dari kursi menuju meja kerjanya, "Minum?" Tanyanya pada Maya dengan singkat dan jelas.
"Terima kasih,"
"Apa? Teh? Kopi? Susu? Atau...ah iya aku tahu...," tak menunggu Maya menjawab, "Bella, kopi dan coklat panas.ruanganku.cepat," sungguh Christ orang yang sangat efisen dalam bicara.
Maya sempat melongo melihatnya tapi dengan cepat menutup rapat mulutnya.
"Katakan apa yang membawamu tiba-tiba datang kesini, Maya," Christ kembali duduk di sebelah Maya.
"Saya mau mengucapkan terima kasih pada anda,"
"Terima kasih?"
Maya mengangguk, "Prosedur pengamanan. Menejer. Anda sangat membantu saya hari ini,"
Christ memiringkan tubuhnya menatap Maya. "Kau tidak marah?" Tanyanya ragu.
Maya tertawa, "Tentu saja tidak. Saya tidak tahu bagaimana jadinya saya pagi ini kalau Ryan tidak menjemput saya dan soal Rose...saya tidak yakin bisa mendapatkan menejer semenawan dirinya, bahkan saya berpikir dia terlalu menawan untuk menjadi menejer dibanding saya sebagai aktrisnya."
Christ cemberut. Maya berhenti tertawa, menilai reaksi lawan bicaranya. "Ada yang salah dengan ucapan saya?"
"Aku tidak suka kau merendah diri seperti itu. Rose tidak lebih menawan darimu," jawab Christ, dia terlihat begitu serius.
"Anda berlebihan," Maya tersenyum, dalam hati tersanjung dan tersipu malu.
"Aku serius Maya...,"
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" Bentak Christ, Maya melonjak kaget.
Aku bisa terkena serangan jantung kalau terlalu lama bersamanya, Maya mengusap dadanya. Bella muncul membawa nampan dan hampir saja menjatuhkannya saat melihat Christ duduk begitu santai dengan jarak yang begitu dekat -menurutnya- dengan seorang wanita...muda. Sungguh pemandangan langka, batin Bella tergelak. Dengan hati-hati meletakkannya dimeja.
"Terima kasih," kata Maya sopan disambut senyum Bella. Diapun bergegas keluar sebelum Christ mengusirnya.
"Kau tahu Maya, Rose adalah yang terbaik dibidangnya. Dia sangat berkompeten. Sudah banyak artis yang berhasil sukses bersamanya. Aku memberinya penawaran bagus untuk memenejerimu. Dia tidak akan menerima aktris kacangan Maya. Jadi jangan turunkan standar dirimu, jangan merendahakan dirimu. Aku tidak suka. Berpikirlah besar jika kau mau menjadi besar. Kau tidak bisa menjadi besar kalau kau menganggap dirimu kecil. Ingat itu,"
Maya tertegun, sepasang mata yang menatapnya itu menampakkan keseriusan dan hati Maya membenarkan semua perkataannya.
Christ terperangkap dalam tatapan kagum Maya padanya, jengah, Christ memalingkan wajahnya dan berjalan ke arah jendela kaca besar.
"Sekarang kau memang terlihat biasa Maya, tapi percayalah, tidak lama lagi kau akan bersinar. Kau bisa pegang ucapanku Maya." Christ masih terdengar serius dan kesungguhan dalam nada suaranya menguatkan hati Maya sekaligus membuatnya bertanya-tanya.
"Kenapa Tuan Anderson? Kenapa anda begitu peduli pada saya?" Akhirnya Maya menyuarakan kata hatinya. Sekarang dia yakin kalau pria yang sering mengganggunya itu sebenarnya begitu peduli padanya.
Christ memiringkan sedikit kepalanya, menatap Maya hanya dari sudut matanya. Dia tidak menjawab, tapi Maya yakin Christ tersenyum.
***
Tokyo, Rumah Hayami, ruang kerja pribadi Masumi.
Masumi terlihat begitu tegang, beberapa dokumen bertebaran di mejanya. Itu adalah dokumen yang diberikan Hijiri padanya beberapa waktu lalu. Dia terus mempelajarinya.
Sejak kontrak kerja sama dengan Group Takatsu dibatalkan kondisi Daito memang cukup kacau. Saham Group Daito menurun. Para pemegang saham yang diantaranya adalah adik tiri dan keponakan Eisuke mulai membuat ulah. Mereka mulai menyalahkan Masumi atas kekacauan itu. Tujuannya jelas, menggulingkan Masumi dari posisinya.
Sekarang, selain harus membereskan masalah ketidakstabilan Daito dia juga harus berhadapan dengan jajaran direksi dan pemegang saham. Laporan Hijiri menyatakan mereka mulai menyusun rencana untuk membuat kudeta.
Masumi memandang dokumen itu dengan gamang. Otaknya bekerja untuk mengatur langkah-langkah yang harus ditempuhnya. Beberapa waktu terakhir ini Masumi sedang mendekati beberapa orang kuat yang diharapkannya dapat membantu memulihkan kestabilan Daito.
"Sial!!" Masumi memukul meja dengan kepalan tangannya. Dengan kasar menghempaskan dirinya di kursi kerjanya. Menyangga kepalanya dengan siku yang bertumpu pada lengan kursi kerjanya, Masumi terlihat marah.
"Setelah semua yang sudah aku lewati selama ini, aku tidak boleh kalah disini! Aku harus tetap berada di posisiku! Setidaknya sampai Maya kembali!" rutuknya geram.
Otak Masumi mulai menganalisa, Eisuke pasti tidak akan melepaskan Bidadari Merah. Dengan cara apapun ayahnya pasti akan membuat Daito memenangkan tender pementasan Bidadari Merah. Hal itu membuat Masumi harus tetap ada di posisinya. Terlalu bahaya membiarkan Bidadari Merah ditangani oleh orang lain terlebih lagi Eisuke. Apalagi karena pemeran sekaligus pemegang hak pementasan Bidadari Merah itu adalah Maya, kekasih tercintanya.
Masumi mengepalkan tangannya kuat.
"Aku tidak boleh kalah! Walaupun aku harus berjuang sendiri, aku harus memenangkan pertarungan ini. Setelah masalah Bidadari Merah selesai...setelah itu aku akan melepaskan semuanya. Aku harus bertahan sampai saat itu. Harus!!" Masumi menguatkan dirinya sendiri.
***
Maya cukup sibuk diapartemennya. Dia sedang mengemasi barang-barang untuk kepindahannya ke apartemen baru. Setelah resmi menanda tangani kontrak, Maya diharuskan pindah ke apartemen yang sudah disediakan PH Scarlet. Tadinya Maya ingin tetap tinggal di apartemennya, karena sewanya juga masih satu bulan lagi tapi Clara tidak mengijinkannya.
Menurutnya Maya membutuhkan apartemen yang lebih bagus pengamanannya. Hal itu sangat diperlukan, mengingat di kemunculan perdananya yang tidak disengaja, Maya bahkan sudah menarik perhatian media.
Sampai saat ini Maya masih belum diijinkan bertemu wartawan dan memberikan pernyataan apapun. Clara akan mengatur waktu yang tepat untuk memperkenalkan Maya sebagai aktris Scarlet dengan cara yang lebih baik.
Maya sempat mempertanyakan alasan hebohnya pemberitaan tentang dirinya pada Kate. Padahal menurutnya, perannya hanya sebagai aktris pengganti. Tapi justru itulah yang membuatnya sangat menarik perhatian.
Drama 'The Queen' pernah memenangkan penghargaan drama dan Jenifer Aston sebagai Cleopatra juga mendapat predikat sebagai aktris terbaik. Dan dengan kemunculan Maya menggantikan Jenifer serta keberhasilannya memukau penonton maka secara tidak langsung Maya mendapat predikat aktris terbaik saingan Jenifer. Dan itu menjelaskan pada Maya tatapan tidak bersahabat Jenifer 'rambut pirang' pada Maya beberapa hari yang lalu.
Kesibukan Maya diinterupsi oleh suara bel. Meninggalkan tumpukan kardusnya Maya bergegas membuka pintu.
"Hai," Satomi menyapanya ramah.
Sejak pertemuan terakhirnya dengan Maya yang diinterupsi oleh Christ, Satomi belum sempat bertemu lagi dengan Maya.
Maya tersenyum senang menyambut kedatangan Satomi.
"Sudah selesai?" Tanya Satomi saat melihat kardus-kardus yang sudah tertutup di ruang tamu. Maya memberitahu Satomi kalau dia akan pindah besok.
"Hanya tinggal sedikit, barangku kan tidak begitu banyak." Maya kembali melantai, menyusun beberapa buku pelajaran privatnya bersama Miss Morgan. Maya sangat berterima kasih pada Miss Morgan atas bantuannya selama ini. Maya menghentikan privatnya karena mulai minggu depan Clara juga sudah menyiapkan kelas privat baru baginya. Dia berharap rencana cadangannya ini tidak akan gagal lagi.
"Miss Morgan titip salam untukmu. Dia berharap kau bisa sukses," kata Satomi sambil membantu Maya menata bukunya dan menyusunnya ke dalam kardus.
"Kau bertemu dengannya?"
"Tidak, dia meneleponku semalam. Dia bilang kau menghentikan program privatnya sebulan lebih awal. Sepertinya dia menyukaimu,"
"Iya, aku pikir akan sulit mengatur privatku dengan Miss Morgan jika aku sudah pindah ke apartemen baru. Jadi aku putuskan untuk menghentikannya saja. Lagipula aku kan sudah gagal masuk universitas jadi kurasa pelajarannya tidak akan banyak berguna. Aku sudah punya rencana lain sekarang,"
"Rencana lain? Maksudmu?"
"Ya, Nyonya Anderson sudah menyiapkan kelas privat baru untukku mulai minggu depan. Jadi aku berharap kali ini tidak akan gagal lagi. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan mulai sekarang,"
Satomi tertegun, "Ngg maaf Maya, bukan maksudku untuk ikut campur urusanmu tapi...sejak awal, entah kenapa aku merasa kedatanganmu ke New York seperti membawa beban yang berat. Aku melihatmu seperti sedang mengejar sesuatu atau...menyiapkan sesuatu, meski aku tak tahu apa itu. Sedikit banyak aku tahu tentang masalahmu dan Bidadari Merah. Apakah semua ini ada hubungannya dengan itu?"
Maya berhenti menyusun bukunya dan menatap Satomi tapi dia diam tidak menjawab.
"Aku tahu kau pergi diam-diam dari Jepang setelah menunda pementasan karya agung itu selama tiga tahun dan membuat media heboh. Awalnya aku menduga kepergianmu yang mendadak dan dirahasiakan itu mungkin disebabkan oleh suatu hal yang mungkin...membahayakanmu atau semacamnya, kau ingin bersembunyi. Tapi pemikiranku yang satu ini juga tidak mendapat pembenaran, karena nyatanya kau menerima tawaran kerja sama dengan Scarlet yang itu berarti akan membawamu ke puncak karir. Mustahil kau sembunyi dari media. Dan melihatmu belajar hal yang tidak ada hubungannya dengan karirmu...itu...jujur Maya, aku bingung dengan semua ini." Satomi menatap Maya putus asa, tidak berhasil memahami apa yang ada dipikiran gadis yang diam-diam masih dicintainya itu.
"Katakan padaku apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan Satomi," kata Maya tanpa basa-basi, dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Satomi dibalik kalimat panjangnya.
"Maya...apapun itu, maukah kau membagi bebanmu itu denganku? Aku kadang melihat matamu begitu sedih, aku tahu kau memikirkan sesuatu. Aku...aku ingin membantumu Maya,"
Maya tersenyum tipis, "Sejak awal aku datang kau sudah banyak membantuku Satomi. Aku bahkan merasa aku sudah sangat merepotkanmu. Apartemen ini, Miss Morgan, ujian masuk universitasku, aku sangat berterima kasih atas ini semua dan aku tidak mau merepotkanmu lagi dengan semua masalahku,"
"Aku tidak keberatan," kata Satomi cepat.
"Aku tahu, tapi aku tidak mau,"
"Kenapa? Biarkan aku menebus semua kesalahanku dulu dengan membantumu Maya,"
Maya menghela napas, "Satomi, ayolah, aku sudah melupakan semua itu. Berhentilah merasa bersalah. Itu masa lalu,"
Satomi bergeser ke sebelah Maya, meraih tangan Maya yang bersandar di atas kardus, menggenggamnya, "Maya, aku tahu aku adalah masa lalu untukmu, tapi aku...aku tidak pernah menganggapmu masa lalu...aku...," Satomi diam, matanya menatap Maya lekat.
Maya tertegun bingung, "A..apa maksudmu?"
"Aku masih mencintaimu Maya," akhirnya Satomi tidak bisa menahan perasannya lagi.
Mata Maya membulat, menarik tangannya dari genggaman Satomi. Beringsut mundur, membuat jarak darinya, "Apa yang kau katakan itu? Kau tahu aku sudah punya...,"
"Aku tahu...aku tahu kau sudah memiliki kekasih Maya. Tapi aku juga tidak bisa membohongi hatiku. Kemarin, waktu Tuan Anderson datang aku baru menyadarinya, aku cemburu melihat kedekatanmu dengannya dan aku sadar betapa aku masih mencintaimu. Melihatmu dengannya...tiba-tiba aku merasa takut kehilanganmu,"
"Aku dan Tuan Anderson tidak memiliki hubungan apa-apa selain hubungan kerja. Dan aku mencintai kekasihku Satomi," kata Maya dengan suara yang sedikit bergetar karena menahan keterkejutannya.
Satomi masih menatap Maya lekat, "Aku tidak pernah melihatmu menelepon kekasihmu atau sebaliknya."
Perkataan Satomi seperti tamparan bagi Maya, "Aku kan tidak harus melakukannya didepanmu," kata Maya gusar.
Satomi bergeser lagi lalu bersimpuh dihadapan Maya, "Tolong beri aku kesempatan Maya...sekali lagi..." Mohonnya.
Maya menggeleng cepat, "Jangan rusak persahabatan kita dengan cara seperti ini Satomi, tolong,"
"Maya...," Satomi meraih kedua tangan Maya, menggenggamnya didadanya.
"Aku tidak bisa Satomi," Mata Maya memohon pengertian Satomi.
"Tidakkah kita bisa mengulangnya sekali lagi?" Satomi masih berkeras.
Maya menggeleng lamah, kedua mata mereka masih saling mengunci.
"Aku masih sangat mencintaimu."
"Aku tidak bisa,"
"Please,"
"Jangan paksa aku Satomi,"
"Kekasihmu...apa dia benar peduli padamu? Apa dia mencintaimu seperti aku mencintaimu?" Tanyanya lemah, tanpa melepaskan tatapan dan genggamannya dari Maya.
"Kami saling mencintai Satomi dan sekalipun aku tidak akan meragukan cintanya padaku,"
"Jadi aku tidak memiliki kesempatan sama sekali?" Satomi masih mendesak.
"Maaf Satomi," kata Maya lirih.
Maya menarik menarik tangannya, memalingkan wajahnya dari tatapan mata Satomi yang masih terasa begitu memaksa.
Satomi masih bersimpuh didepan Maya, tatapannya berubah sendu, "Bagaimana dengan Tuan Anderson?"
Pertanyaan Satomi membuat Maya kembali menatapnya, "Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya,"
Maya semakin gusar, dia beranjak dari lantai dan duduk di sofa. Jelas membuat jarak dari Satomi, masih tidak habis pikir kenapa Satomi jadi seperti itu, membuatnya sangat tidak nyaman.
"Dia jelas-jelas suka padamu,"
"Dia hanya menganggapku aset," elak Maya.
"Jangan pura-pura Maya. Dia tidak akan muncul tiba-tiba di apartemenmu hanya karena menganggapmu aset,"
Mendesah kesal, "Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu Satomi, kau aneh, kau membuatku bingung! Aku tidak peduli tentang perasaan Tuan Anderson padaku. Bagiku dia hanyalah bosku. Tidak lebih,"
"Tapi bagaimana jika dia memang menyukaimu?"
"Itu terserah padanya,"
"Apa kau yakin akan menolaknya seperti menolakku?"
"Tentu saja. Aku mencintai kekasihku, aku tidak akan menghianatinya,"
"Kekasihmu itu...begitu beruntung ya Maya, dia pasti bahagia dicintai sedalam itu olehmu," Satomi kembali tertunduk lesu.
Tiba-tiba Maya merasa iba, merasakan kesedihan Satomi. Diapun kembali menghampiri Satomi, bersimpuh didepannya.
"Satomi," Maya memiringkan kepalanya, mencari wajah Satomi.
"Aku tidak tahu kenapa kau menjadi aneh seperti ini. Tapi aku mohon, mengertilah, perasaanku padamu tidak bisa dipaksakan. Apa yang terjadi diantara kita dulu bagiku itu adalah kenangan indah. Tapi maaf, aku...,"
Satomi menempelkan jarinya dibibir Maya, "Maafkan aku. Aku egois sudah bertindak kekanakan seperti ini. Padahal aku sudah janji pada kakakmu untuk menjagamu. Maaf,"
Maya tersenyum, lega.
"Kau tidak akan membenciku karena hal ini kan?"
Maya menggeleng.
"Terima kasih. Setidaknya aku sudah lega kerena sudah mengungkapkan perasaanku," senyum tipis menghiasi wajah Satomi.
"Kau pasti akan mendapatkan gadis cantik yang lebih baik dariku Satomi,"
"Semoga,"
Dan keduanya terdiam, kembali berkutat dengan buku-buku dan kardus. Akhirnya, Maya dan Satomi berhasil menutup kardus terakhir. Dengan hati-hati Maya memasukkan lapotop dan tablet barunya ke dalam tas dan meletakkannya di atas meja. Finish.
Maya dan Satomi menghempaskan diri kesofa setelah saling melempar senyum. Keduanya sudah lebih santai, tidak lagi canggung karena 'deklarasi cinta' Satomi yang mendadak tadi.
Maya pergi ke dapur dan kembali dengan minuman kaleng untuknya dan Satomi.
"Jam berapa kau pindah besok?" Tanya Satomi memulai percakapan
"Rose bilang akan ada jemputan sekitar pukul sepuluh," Maya duduk dengan santai di sebelah Satomi sambil meneguk minumannya.
"Rose?"
"Ah, iya, dia menejerku," Maya lupa belum memberitahu Satomi perihal menejernya.
"Rose Miller?" Tanya Satomi lagi tapi dengan ekspresi sedikit terkejut.
"Iya,"
Satomi tersenyum. "Apa Tuan Anderson yang memilihnya?"
"Iya, kenapa?"
"Tidak apa-apa. Dia memilih yang terbaik Maya. Kau pasti sukses," Satomi meneguk minumannya. "Dan itu berarti kita akan jarang bertemu,"
Maya tertawa ringan, "Kenapa pesimis begitu, jika ada waktu luang aku akan menemuimu. Itu juga kalau kau tidak sibuk,"
"Dari yang ku dengar, Rose benar-benar mengatur aktrisnya secara ketat. Aku ragu kau punya waktu,"
"Hhmmm, begitu ya. Kita lihat saja nanti,"
"Jangan lupakan aku ya," celetuk Satomi tiba-tiba.
Maya tertawa, "Kau ini bicara apa," cibir Maya.
Satomipun tertawa. "Hhmmm, Maya,"
"Ya,"
"Kapan-kapan kenalkan aku pada kekasihmu ya," Maya tersedak minumannya, Satomi mengernyit. "Hati-hati minumnya,"
Maya meringis, permintaan Satomi benar-benar membuatnya terkejut.
"Kenapa?" Satomi melihat ekspresi aneh Maya.
"Ah, tidak," Maya terkikik geli, membayangkan reaksi Satomi kalau tahu siapa kekasih yang dia maksud itu.
"Kau mau kan?"
"Apa?"
"Mengenalkanku pada kekasihmu. Aku ingin tahu seperti apa kekasihmu itu, boleh kutahu namanya."
Maya tertawa lalu menggeleng.
"Kenapa?"
"Belum saatnya,"
"Kau tertutup sekali soal hidupmu ya,"
Maya terkikik lagi, "Hhhmmm,"
"Ya, suatu hari nanti aku juga pasti akan tahu," Satomi tersenyum pada Maya lalu bersandar malas pada sofa.
"Ya suatu hari nanti," Maya mengulang ucapan Satomi.
Dalam hati juga berharap hal yang sama, suatu hari nanti dia dan kekasihnya bisa mengumumkan pada dunia bahwa mereka saling mencintai, saling memiliki.
Masumi-ku...
***
Ternyata memang benar apa yang Satomi katakan tentang Rose. Jadwal Maya benar-benar padat, sampai-sampai dia tidak bisa bernapas dibuatnya.
Baru satu minggu Maya mulai bekerja bersama Rose, pola hidupnya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Bukan hanya jadwal kerja yang di atur oleh Rose, tapi juga jam tidur, jam makan, sampai apa yang dimakan dan apa yang akan dipakai Maya semua masuk dalam daftar kerja Rose.
Satu minggu yang benar-benar mengejutkan bagi Maya. Diawali dengan kepindahannya, Maya sempat terkejut saat melihat apartemen barunya. Apartemen mewah yang lengkap dengan isinya. Bukan hanya perabot tapi juga isi tiap perabotnya. Maya melotot saat melihat lemarinya penuh dengan pakaian baru lengkap dengan label harga. Tak hanya itu, sepatu, tas bahkan peralatan make-up lengkap. Lemari es penuh dengan bahan makanan lengkap dengan menu yang sudah diatur. Belum lagi mobil Audi yang ternyata memang disiapkan untuknya lengkap dengan sopirnya. Maya benar-benar kewalahan dengan fasilitas yang diterimanya. Dia tidak tahu apakah semua aktris memang diperlakukan seperti itu atau hanya dirinya.
"Kau akan terbiasa nanti," Maya masih mengingat kata-kata Rose saat melihat Maya shock dengan semua yang diterimanya.
Hari itu Maya sudah bangun sesuai dengan jadwal yang diatur Rose, pukul enam pagi. Lalu memulai aktivitas wajib pagi hari, minum air putih dua gelas, peregangan tubuh sepuluh menit, mandi lima belas menit, sarapan tiga puluh menit, membaca surat kabar atau menonton berita pagi tiga puluh menit. Dan Rose muncul di apartemennya tepat pukul tujuh tiga puluh pagi, setelah Maya selesai membaca surat kabarnya. Kemudian Rose memilihkan baju yang hari itu akan dipakai Maya dan menyiapkan semua perlengkapannya sebelum akhirnya mereka berangkat pukul delapan pagi.
"Jadwalmu minggu ini," Rose memberikan buku jadwal Maya saat keduanya sudah duduk di dalam Audi.
Maya membacanya dan langsung menghela napas panjang, membayangkan betapa sibuk dirinya sepanjang minggu.
"Kenapa?" Rose melihat Maya cemberut.
"Apa aku benar-benar bisa melewati ini semua? Syuting iklan, latihan di studio drama, latihan vokal, latihan tari dan olah tubuh, kelas privat, gym, dan apa ini? Kelas table manner?" Maya menggeleng.
Rose tertawa, "Tentu saja kau bisa melewatinya. Kau kan hanya tinggal menjalankannya sesuai jadwal. Tenang saja kau tidak akan mati karenanya. Lagipula ini baru tahap persiapan."
"Persiapan?"
"Iya, seperti yang pernah aku katakan padamu, kau terlalu polos Maya. Kau sangat berpotensi menjadi aktris besar hanya saja kau tidak pernah berada di tangan yang tepat. Dari yang kulihat sepanjang perjalanan karirmu kau benar-benar menyedihkan. Bagaimana mungkin orang dengan bakat luar biasa sepertimu berjuang sendiri seperti itu. Satu-satunya hal terbaik yang kau dapat hanyalah saat kau berada di bawah manejemen Daito, kau sendiri bisa lihat kan bagaimana dalam waktu yang singkat Daito berhasil membawamu kepuncak karir ya meski kau akhirnya terhempas juga karena musuh dalam selimut. Dan kali ini aku akan pastikan kau akan lebih dari itu Maya. Aku dan Scarlet akan membawamu ke puncak popularitas. Maka dari itu kau harus menjalani berbagai persiapan. Kau kan sadar kalau kau terlalu...awam."
"Awam?" Maya berkerut mendengar istilah itu, "Bodoh tepatnya,"
Rose tertawa, "Tidak Maya, kau tidak bodoh. Aku akan buktikan kalau kau tidak bodoh. Tahap persiapan ini akan membentuk pola hidupmu yang baru."
Mendesah pelan, "Ya, aku percaya padamu Rose."
"Tentu saja kau harus percaya padaku Maya. Pegang janjiku, kau akan bersinar Maya," Rose terlihat begitu bersemangat, bahkan lebih bersemangat daripada aktrisnya sendiri.
Maya tersenyum menanggapinya.
Keduanya tiba di studio latihan Scarlet. Hari ini Joseph sebagai pimpinan produksi akan mengumumkan drama baru yang akan dipentaskan bulan depan. Semua anggota teater yang terpilih sudah berkumpul. Beberapa orang langsung menyapa dengan ramah saat Maya tiba. Tapi matanya langsung terpaku pada 'gadis pirang' yang tidak asing baginya. Sudah dua atau tiga kali Maya bertemu dengannya di studio latihan, tapi sikapnya tetap saja tidak bersahabat. Dan sekarang Maya juga harus menghadapinya di atas panggung.
Joseph dan Evelyn datang bersama seorang pria. Maya segera duduk di kursi dan memperhatikan intrusksi dari Joseph.
"Selamat pagi semuanya. Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, bulan depan kita akan kembali mementaskan drama baru. Tuan David Black akan menyutradarai drama ini." Joseph memperkenalkan pria yang datang bersamanya, ya meski mungkin hanya Maya yang tidak mengenalnya.
"Kali ini kita akan mengangkat cerita Romeo dan Juliet."
Dan kasak kusuk langsung terdengar.
"Tenang semuanya, ini memang drama yang sudah sangat sering dipentaskan. Tapi kali ini kita akan mementaskannya dengan gaya baru,"
Dan semua langsung tenang.
"Baiklah, sekarang untuk para pemain." Sejenak Joseph terdiam melihat ke arah Jenifer tapi kemudian kembali bicara, "Romeo akan diperankan oleh Willy Carter dan Juliet akan diperankan oleh Maya Kitajima,"
Semua terkesiap. Kilat marah langsung terlihat di wajah Jenifer. Maya sendiri cukup terkejut tapi dia tetap tenang dikursinya.
"Apa-apaan ini!!" Pekik Jenifer marah. Dia sudah berdiri dari kursinya.
Tidak ada yang terkejut, mungkin karena semuanya sudah memprediksi reaksi Jenifer.
"Kau yang apa-apaan Jenifer!" Teriak Joseph.
"Gadis itu baru satu kali tampil menggantikanku dan sekarang dia langsung mendapat peran utama? Apa ini lelucon?" Katanya dengan Marah.
Semua mata di dalam ruangan itu memandang padanya. Beberapa pemain mengangguk setuju tapi yang lain mencibir tidak senang dengan sikap Jenifer. Memang benar kalau Maya tidak terkenal tapi beberapa pemain yang pernah berperan dalam Cleopatra tidak akan berani meragukan kemampuan akting Maya. Dalam hati bahkan mereka mengakui Maya lebih hebat daripada Jenifer.
"Pembagian peran ini sudah disetujui oleh Direktur dan semua staf produksi jadi kau sebaiknya tidak membuat ulah Jenifer," Joseph memperingatkan.
"Disetujui direktur? Huh?! Aku bahkan tidak pernah mendengar debut karirnya di New York. Memang siapa dia bisa sehebat itu?"
"Dia adalah aktris Scarlet kelas satu. Apa itu cukup menjawab pertanyaanmu?" Clara sudah berdiri di ambang pintu bersama Kate.
Jenifer terhenyak, wajahnya jelas marah tapi mulutnya terkatup sekarang.
Clara berjalan dengan anggun memasuki ruangan, sejenak tersenyum pada Maya yang tetap bersikap tenang. Ya, Rose sepertinya sudah memprediksi hal ini. Berkali-kali dia mengingatkan Maya untuk tenang dan tidak bereaksi apapun yang terjadi. Dan Maya mengerti, karena bukan dirinya yang akan menyelasaikan masalah ini.
"Selain Jenifer, apa ada yang keberatan jika Maya menjadi Juliet?" Clara mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Salah seorang pemain wanita mengangkat tangan.
"Mia? Kau tidak setuju?" Clara sedikit terkejut.
"Bukan begitu Nyonya. Saya hanya ingin menyampaikan sesuatu. Saya sudah melihat akting Maya dan bagi saya secara pribadi sungguh menyenangkan bermain bersama Maya. Mungkin memang benar Maya adalah pendatang baru tapi bagi saya akting dan drama bukanlah tentang lama atau baru, tapi lebih pada bagaimana kita menghidupkan peran kita di panggung. Saya percaya Maya mampu melakukannya Nyonya."
Maya dan Clara tersenyum bersamaan.
"Pendapat yang bagus Mia. Baiklah apa ada yang lain?" Clara kembali menantang.
Jenifer masih terdiam menahan amarahnya.
"Baiklah kalau memang tidak ada." Clara mengarahkan pandangannya pada Jenifer, "Jenifer, kau akan memerankan Rosaline, sepupu Juliet. Apa kau mau menerima peran itu atau menolaknya?"
Jenifer mengepalkan tangannya erat, dia marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kalau kau menolak, aku akan pilih Mia menggantikan peranmu," ancam Clara.
"Nyonya...," Jenifer kehabisan kata-kata.
"Kau keberatan?"
"Saya menerimanya. Saya akan menjadi Rosaline," katanya kemudian, mengalah, setidaknya dia masih mendapat peran.
"Bagus. Ku harap kali ini kau tidak berulah lagi. Joseph, ikut aku. Evelyn, kau lanjutkan pembagian perannya," Clara langsung berbalik dan keluar dari ruangan diikuti Joseph dan Kate.
Maya berdecak kagum mengakui kalau keluarga Anderson memiliki efek intimidasi yang kuat. Bahkan Clara yang biasanya lembut sekalipun bisa sangat mengintimidasi jika dalam hal pekerjaan. Tapi kali ini Maya senang. Dia memang tidak berniat mengalah untuk peran Juliet, tidak lagi. Dia sudah terlalu lama mengalah dengan kehidupannya. Paling tidak sekarang dia harus berjuang mempertahankan apa yang memang layak untuknya.
Perkataan Rose membuatnya menyadari betapa selama ini waktunya sangat tidak maksimal dan dia tidak akan mengulangi hal itu lagi. Dia akan melakukan apapun untuk memperoleh kejayaannya sekarang.
Maya sedikit menoleh pada Mia yang duduk tidak jauh dari kursinya. Gadis cantik dengan rambut panjang tembaga itupun tersenyum saat kedua mata mereka bertemu. Ada sedikit kelegaan dalam hati Maya. Setidaknya ada seorang teman baru yang mendukungnya disini, pikirnya.
Setelah pembagian peran selesai, Jenifer adalah orang pertama yang keluar dari ruangan. Maya menghampiri Mia yang masih duduk di kursinya sambil mengobrol dengan dua temannya.
"Permisi," sapa Maya ramah.
"Ah, iya, ada apa Maya?" Jawab Mia ramah.
"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih kau telah percaya padaku," Maya menyunggingkan senyum termanisnya.
"Jangan begitu Maya, apa yang aku katakan itu memang benar," Mia tersenyum girang.
"Kami senang bermain bersamamu kemarin. Aku Janet,"
"Aku juga suka aktingmu, kenalkan aku Olive,"
Ketiganya bersalaman dan saling memperkenalkan diri. Sambutan yang hangat dari teman baru membuat Maya senang dan bersemangat. Maya masih sempat beramah tamah dengan ketiga teman barunya sebelum akhirnya Rose menyela dan mengajaknya pergi.
"Kau tidak boleh terlalu dekat dengan mereka Maya," Rose memperingatkan dalam perjalanan mereka ke studio latihan tari dan olah tubuh.
"Kelihatannya mereka orang baik," sahut Maya.
"Kau ini, berhati-hatilah. Menurut catatanku semua pemain Scarlet memang cukup sportif tapi tidak menutup kemungkinan adanya permainan kotor Maya. Jenifer misalnya, sebagai aktris dia cukup arogan. Dia selalu menganggap dirinya lebih. Tidak heran dia tidak mendapat dukungan teman-teman seteaternya sendiri. Untuk itu kau harus hati-hati. Jaga sikapmu. Usahakan jangan terlalu dekat dengan siapapun, membaur saja," Rose mulai dengan ceramahnya dan Maya mengangguk-angguk.
"Ganti bajumu dan cepat ke studio. Setelah itu kita akan pergi ke lokasi syuting iklan untuk bertemu dengan semua kru," perintah Rose tegas.
Tak menjawab, Maya segera menyambar tas yang diberikan Rose dan berlari ke ruang ganti. Tidak ada lagi yang perlu dipikirkannya, sekarang Maya hanya bertekad menjalani semuanya.
***
Maya terkapar di sofa ruang tamunya, seluruh badannya lelah. Sudah jam sepuluh malam saat Maya selesai dengan semua jadwalnya.
"Cepat bersihkan dirimu, minum vitamin dan suplemenmu lalu cepat beristirahat. Aku pulang dulu." Pesan Rose sebelum pergi meninggalkan apartemen Maya dan meninggalkan vitamin dan suplemen di meja.
Maya baru saja selesai mandi saat dia teringat kalau seharian ini dia belum membuka handphonenya. Diapun segera mengecek handphonenya sambil berbaring di kamar setelah meminum vitamin dan suplemen yang disediakan Rose.
Membuka kotak masuknya, Maya membalas beberapa pesan dari Rei, Koji, Satomi dan Kuronuma lalu terakhir membaca pesan dari Masumi.
Masumi
Kau pasti sedang sibuk. Tidak ingin mengganggumu, hanya mengingatkan kalau aku...merindukanmu.
Pesan Masumi langsung menyapu semua kelelahan Maya. Dengan cepat dia mengambil tabletnya dan menghubungi Masumi. Tidak bertanya dulu apa kekasihnya sedang rapat atau tidak.
Tak lama menunggu, wajah Masumi langsung menghiasi layar tablet Maya dan disambut dengan senyum bahagia Maya.
"Apa kabar sayang?" Tanya Masumi lembut.
"Baik, bagaimana kabarmu?" Balas Maya manja.
"Hhmm, tidak begitu baik,"
"Kenapa?"
"Rindu, berhari-hari tidak melihatmu ternyata sangat menyiksa,"
Maya tertawa, "Gombal."
Masumi tersenyum, "Aku senang bisa mendengar tawamu lagi."
"Aku juga senang bisa melihat senyummu lagi," balas Maya.
"Apa wajahku sudah terlihat lebih tampan sekarang?"
Maya tergelak lagi, "Iya, kau sepuluh inchi sekarang. Tapi tetap saja tidak tampan menurutku,"
"Tidak lebih tampan dari Antony?" Masumi cemberut.
"Oh, kau sudah melihat rekaman Cleopatra yang ku kirim?" Maya girang sekaligus geli melihat Masumi cemburu.
"Iya, baru sampai kemarin pagi dan aku langsung menontonnya. Apa semua aktor Scarlet setampan dia?"
Maya terbahak, "Hhhmmm, sebagian besar iya,"
"Kelihatannya kau bahagia sekali," dengus Masumi pura-pura kesal sambil melipat kedua tangan didada.
"Iya, aku sedang senang hari ini,"
"Oh ya?"
"Bukan karena para pria di studio sayang,"
"Lalu? Apa karena melihatku sekarang?"
Maya terkikik. "Iya, salah satunya,"
"Salah satunya ya, hari ini kau punya banyak alasan untuk bahagia rupanya. Tapi aku senang menjadi salah satunya," Masumi tersenyum.
"Hari ini ada pembagian peran untuk drama baru yang akan dipentaskan bulan depan,"
"Kau pasti akan makin sibuk."
"Sepertinya memang begitu,"
"Drama apa yang akan kalian pentaskan? Aku harap bukan drama romantis,"
"Menyesal membuatmu kecewa sayang, kami akan mementaskan Romeo dan Juliet,"
"Oh tidak, kau pasti Julietnya," Masumi menggeleng kesal.
"Keberatan sayang?"
"Kau akan membuatku mati karena cemburu Nona Kitajima,"
"Aku senang mendengarnya," goda Maya.
"Kau senang aku mati?" Masumi melotot.
Maya menggeleng geli, "Bukan, aku senang kau cemburu,"
"Hhmm, aku tidak senang,"
"Bukankah itu berarti kau mencintaiku?"
"Salah,"
"Lalu?"
"Sangat mencintaimu, aku sangat mencintaimu Ma-ya-ki-ta-ji-ma,"
"Aku juga sangat mencintaimu Ma-su-mi-Ha-ya-mi,"
Keduanya saling melempar senyum penuh kerinduan.
"Kau tahu sayang, kau cantik sekali," Masumi menopangkan dagu diatas kedua tangannya.
"Kau merayuku? Aku hanya memakai piyama,"
"Tidak, kau memang cantik, tidak peduli apa yang kau pakai. Aku jadi ingin menciummu, tapi aku tidak mau mencium layar laptopku sekarang,"
Maya tertawa, "Kau konyol sekali Masumi. Aku harap Nona Mizuki tidak mendengarnya,"
Dan mata Masumi langsung beralih, Maya menduga yang dibicarakannya baru datang.
"Panjang umur, Mizuki," kata Masumi dan Maya terkikik.
"Jadi...aku harus berhenti mengganggumu sekarang," kata Maya.
"Ya sepertinya memang begitu, meski aku lebih suka kau yang menggangguku sayang."
"Aku kan mengganggumu lain kali,"
"Aku tunggu,"
"Baiklah, jangan lupa makan siang ya,"
"Hhmm, aku rasa makanan tidak akan mengenyangkanku sekarang,"
Maya tergelak, "Berhentilah menggodaku,"
"Tapi aku senang melihatmu tertawa seperti itu,"
"Sudah, sudah. Kau kan harus kembali bekerja,"
"Iya, maaf ya,"
"Tidak perlu minta maaf. Melihatmu sehat dan tersenyum seperti itu sudah membuatku lega. Ku rasa aku bisa bertahan dengan itu," Maya mengusap layar tabletnya.
"Jaga dirimu sayang,"
"Kau juga,"
"Aku mencintaimu, Maya-ku,"
"Aku juga mencintaimu, Masumi-ku,"
Dan Masumi menghela napas panjang saat laptopnya kembali menampilkan wallpaper windows.
"Anda memang aktor yang hebat Tuan Masumi," puji Mizuki yang berdiri di depan meja Masumi. Dia masih sempat menyaksikan ending dari drama singkat percintaan Maya-Masumi.
Masumi hanya menyeringai menanggapi perkataan sekretarisnya itu. Dia kembali fokus pada tumpukan dokumen yang menggunung di mejanya.
"Jadi bagaimana perkembangan Maya di Amerika Tuan Masumi," tanya Mizuki.
"Aneh kau bertanya Mizuki," kalimat ironi Masumi meluncur begitu saja.
"Sejak anda membuka identitas anda sebagai Mawar Ungu pada Maya, peran saya sedikit berkurang. Jadi saya juga sedikit ketinggalan informasi tentang Maya,"
"Ya peranmu hebat Mizuki, juga Hijiri."
"Terima kasih atas pujiannya. Jadi, apakah anda sekarang berniat untuk bermain solo?"
Masumi menggeleng, "Tidak ada gunanya Maya tahu bagaimana keadaanku disini Mizuki. Dia baru saja kembali meniti karirnya. Aku sudah cukup bersyukur Maya berada di tangan yang tepat sekarang. Jelas Clara Anderson sangat menyukainya, Maya mendapat semua fasilitas kelas satu bahkan juga menejer terbaik. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya sekarang selain membuatnya tetap tenang. Dia akan panik kalau tahu semua rencana kudeta yang akan menyingkirkanku dari Daito,"
"Jadi anda akan bertahan sendiri?"
"Kalau aku tidak salah, aku masih punya sekretaris cerewet dan Hijiri yang bersedia membantuku. Apa aku salah Mizuki?"
Mizuki tersenyum, "Anda tidak salah, Tuan."
"Terima kasih Mizuki,"
***
New York, Studio Scarlet.
Minggu berlalu begitu cepat. Pementasan drama tinggal lima hari lagi. Drama Romeo dan Juliet yang dipentaskan dengan judul "Die" lebih dititik beratkan pada kehidupan dan perasaan Juliet. Dengan klimaksnya dilema hati Juliet yang akhirnya memilih untuk bunuh diri saat mengetahui Romeo sudah mati.
Tiket pertunjukan sudah habis terjual. Nama Maya sebagai pemeran utama menarik perhatian penggemar dunia drama, apalagi karena telah menggeser Jenifer Aston, yang adalah aktris terbaik. Christ duduk di salah satu kursi penonton bersama Clara melihat gladi bersih pertunjukan 'Die'. Keduanya terlihat begitu santai menikmati pertunjukan latihan itu. Jelas keduanya sepakat tentang betapa bersinarnya Maya di atas panggung. Maya terlihat begitu membaur dengan pemain lainnya. Dia mampu menyelaraskan aktingnya dengan baik.
Pertunjukan break untuk persiapan babak ke dua. Clara dan Christ mengobrol sambil menunggu.
"Dia mempesona ya," puji Clara senang.
"Sangat," Christ juga tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.
"Hasil syuting iklan untuk ACA Group juga sangat memuaskan," tambah Clara.
"Hhmmm, aku ingin dia lebih bersinar lagi Ma,"
"Ya, aku juga. Rose dan aku akan melakukan yang terbaik untuknya,"
"Kau benar-benar menyukainya Christ?"
Christ melirik Clara dari sudut matanya, "Mama juga kan?"
Clara tersenyum, "Apa kau serius soal Maya?"
"Apa aku pernah bercanda dengan ucapanku, Ma? Aku juga sudah berjanji pada Mama kan?"
"Bukan begitu, hanya saja...aku tidak mau kau memaksanya," mata Clara menatap putranya sendu.
"Aku tidak akan memaksanya Ma." Christ menenangkan mamanya.
Clara tersenyum, "Kau lebih lembut sekarang," puji Clara.
Christ terbahak, "Apa begitu?"
"Ya, kau juga lebih perhatian. Tapi mama senang. Angel juga pasti senang jika kau kembali seperti dulu."
Christ menyeringai, Angel...
"Kau masih belum bisa merelakannya kan?"
"Entahlah Ma, sejak melihat Maya...," Christ terdiam.
Clara mengusap lembut lengan putranya itu. "Pertama kali aku melihat Maya, dia masih begitu polos dan lugu meski usianya mungkin sudah delapan atau sembilan belas. Sekarang Maya sudah terlihat lebih dewasa. Melihat semangatnya dipanggung...ah..dia mempesona Christ,"
Christ tersenyum, "Mama jadi membuatku ingin melihatnya."
"Eh?!"
"Aku kebelakang panggung sebentar,"
Christ pun meninggalkan kursinya dan Clara yang tersenyum geli.
Beberapa aktor dan aktris langsung menyingkir dari sekitar Maya begitu melihat Christ datang. Beberapa orang juga sempat berkasak kusuk melihat perhatian Christ pada Maya.
"Halo Juliet," sapa Christ.
"Ah, Tuan Anderson," Maya tersenyum sopan. Sejak pertemuannya di kantor Christ satu bulan yang lalu, Maya bersikap lebih hormat, terlebih jika didepan umum. Christ juga sudah berhenti memprotes sikap Maya yang begitu santun padanya. Meski masih sering menggodanya tapi Maya tidak lagi meledak-ledak seperti dulu. Dia akan menanggapi gurauan Christ dengan lebih santai.
"Aktingmu bagus sekali,"
"Terima kasih, saya senang anda menyukainya,"
"Ya aku suka. Kau juga harus membuat penonton terpesona atau kau akan membuatku rugi besar,"
Maya tertawa, "Tentu, saya janji tidak akan membuat anda rugi besar Tuan Anderson,"
"Bagus,"
"Apa anda menemui saya hanya untuk mengingatkan hal itu?"
Christ tertawa.
"Ya, ada tujuan lain. Aku merindukan mulut cerewetmu itu,"
Maya cemberut, "Jangan mulai menggoda saya Tuan Anderson. Semua orang akan menertawakan anda nanti,"
"Oh, mereka tidak akan berani Maya," Christ tersenyum puas.
"Ah, iya, saya lupa, mereka tidak akan berani," sindir Maya.
"Hanya kau yang berani kan?"
"Tidak ada alasan bagi saya untuk takut pada anda kan?"
Christ menyeringai, "Ya, kau memang selalu berani Maya. Oke, beraktinglah yang baik. Aku akan kembali melihatmu dari kursi penonton,"
"Ya, sebaiknya memang begitu. Bersantailah dan jangan mengganggu saya," kata Maya yang kembali disambut tawa Christ.
Di sudut ruangan Jenifer duduk dengan kesal melihat keakraban keduanya. Mia, Janet dan Olive langsung mendekat saat Christ pergi.
"Kau hebat Maya," kata Mia.
"Hebat apanya?" Tanya Maya pura-pura bodoh.
"Tuan Anderson itu!" Kata Janet menekankan.
"Kau bisa membuatnya tertawa Maya. Kami sudah lima tahun disini dan belum pernah melihatnya tertawa seperti itu. Tapi setiap bersamamu dia langsung berubah." Olive menggeleng-geleng tak percaya.
"Kalian terlalu berlebihan," kata Maya.
"Tidak Maya, dia bahkan tidak pernah mau menonton drama tapi sejak melihat Cleopatra yang kau perankan dia jadi begitu antusias dengan pementasan," tambah Mia.
Maya tertawa, "Sebenarnya kalian ini mau bilang apa sih?"
"Dia menyukaimu Maya," kata Olive.
Maya hanya tersenyum kecut. Akhir-akhir ini terlalu sering dia mendengar hal itu.
"Bukankah sudah ku bilang kalau aku sudah memiliki kekasih," sanggah Maya.
"Iya, iya, kami kan hanya mengutarakan pendapat kami," kata Janet.
"Apa kekasihmu setampan Christian Anderson," tanya Mia penuh selidik.
Maya terkikik, "Lebih tampan malah,"
"Yang benar?!" Olive tak percaya.
"Benar," jawab Maya, Bagiku tentu saja Masumi yang paling tampan.
"Dia kaya?" Tanya Janet.
Maya cemberut, para wanita barat ini memang tidak mengenal batasan kalau bicara, batin Maya kesal. "Iya," jawab Maya sekenanya. Ketiganya mendesah bersamaan. "Ada yang salah?" Tanya Maya.
"Hanya iri padamu," kata Mia dengan ekspresi lesu.
"Iri?"
"Iya, kau punya kekasih tampan dan kaya bahkan Tuan Anderson pun terlihat begitu menyukaimu. Betapa beruntungnya dirimu Maya,"
Perkataan Mia membuat Maya terbahak. Dan obrolan mereka terhenti karena sudah waktunya kembali ke panggung untuk babak kedua.
Christ sudah kembali di kursinya dan duduk tenang bersama Clara menikmati adegan kedua. Maya membuat keduanya enggan beranjak dari kursi.
Babak kedua lebih banyak mengeksplorasi adegan antara Romeo dan Juliet. Sekarang Maya sedang berjalan menaiki tangga menuju balkon, menggambarkan kesedihan dan kesepian Juliet yang merindukan Romeo. Setiap dialog diucapkannya dengan penuh perasaan. Maya bersandar pada pagar balkon sesuai dengan latihannya seperti biasa. Namun tiba-tiba pagar balkon buatan itu bergoyang.
Brraaakkkkk!!!! Kyyaaaaa!!!! "Maya!!!"
Semua menjerit karena terkejut. Clara terpaku, Christ dan Ryan langsung berlari ke panggung.
Maya tak bergeming, cairan merah mengalir dari pelipisnya.
"Jangan sentuh !!" Teriak Ryan yang masih berlari saat melihat Mia ingin menolong Maya.
Semuanya langsung membeku.
"Maya!" Christ panik, Ryan langsung menahan Christ untuk tidak menyentuh Maya.
"Kita tidak tahu kondisinya Tuan, menyentuhnya dengan sembarangan bisa memperburuk keadaannya,"
"PANGGIL AMBULANCE !!!" Hardik Christ.
***
>>Besambung<<
Follow me on
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina
9 Comments
Tengkyu uda apdet sist..... sudah mulai beraksikah shiomay?
ReplyDeleteKereenn.... Setia menunggu episode selanjutnya...
ReplyDeleteshiori atau jenifer ya yang buat maya celaka? penasaran nich..
ReplyDeleteAduhhhh...jangan sampe maya nya knp2 yah mba...pkoknya hrs happy ending ya mba...maya sama masumi yah...please...
ReplyDeleteKereeeennn....updatenya cepet lg....thnks mba agnes....lanjut yaa
ReplyDeletesuka sama cerita ini...tq udah apdet ya agnes
ReplyDeleteWah lg seru2nya... next chap tag aq lg y sis.. tengkyu..^^
ReplyDeleteLam kenal ya.....
ReplyDeleteSuka ceritanya
Salam kenal juga mb Dewi
DeleteTerima kasih.. :)