Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Bidadari
Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci
bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua
itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang
terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan
mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk
menemukan jalannya.
*********************************************************************************
Maya berdiri didekat
set wing, topeng Cleopatranya sudah terpasang sempurna. Tidak ada satu orangpun
diruangan itu yang percaya bahwa Maya akan sanggup memerankan Cleopatra. Bahkan
Clara dan Christ terlihat gelisah.
Kehadiran Christ
dibelakang panggung juga menimbulkan tanda tanya besar bagi semua pemain dan
staf teater. 'Dark Lord' belum pernah sekalipun menonton pertunjukan Scarlet.
"Nyonya, Tuan
Michael meminta anda segera ke kursi penonton," kata Kate.
Clara masih terlihat
gelisah.
"Christ...,"
gumam Clara bingung.
"Tidak ada gunanya
Mama bingung sekarang, percayakan saja padanya," perkataan Christ memang
terdengar menenangkan tapi ekspresi wajahnya sama cemasnya dengan Clara.
"Kate, antar mama
ke tempat duduknya. Para tamu pasti bertanya-tanya kalau Mama tidak ada
disana,"
"Baik Tuan, mari
Nyonya,"
"Tunggu Kate, kau
bagaimana?" Tanya Clara pada Christ.
Christ
menyeringai, "Aku kan tidak punya tiket duduk di depan, aku akan
menunggu disini bersama Ryan,"
Ryan yang sudah seperti
bayangan Christ, berdiri tidak jauh darinya.
Clara menghela napas,
sejenak menatap Maya yang sudah tidak bergeming di tempatnya dan tanpa kata dia
berjalan bersama Kate menuju kursinya. Clara memaksakan diri tersenyum dan
menyapa beberapa tamu sebelum duduk disebelah suaminya.
"Kau kenapa
sayang?" Tanya Michael saat melihat Clara datang dengan wajah cemas.
Clara berbisik pada
suaminya dan wajah Michael tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Belum
sempat berkomentar lampu penonton padam dan tirai panggung terbuka.
Dibelakang panggung...
"Aku
Cleopatra." Maya melangkahkan
kakinya memasuki panggung.
***
Dunia panggung adalah
milik Maya. Kecantikan Cleopatra, kenggunannya, perasaannya, semuanya di
tampilkan Maya dengan sempurna. Tidak ada yang merasa menonton sebuah drama.
Semuanya terhanyut dan menjadi bagian dari kehidupan Cleopatra. Di satu adegan
penonton takluk oleh kuasa Cleopatra sebagai ratu, di adegan lain penonton
terharu oleh cinta kasih Cleopatra dan disisi lain lagi penonton menangis
karena dilema hati Cleopatra.
Tiga jam pertunjukan,
tidak ada seorangpun yang luput dari pesona Cleopatra. Bahkan saat tirai
tertutup pesonanya masih menyisakan kekaguman yang dalam di hati para penonton.
Curtain call, Maya
melangkah maju kedepan dan standing ovation langsung membahana di seluruh
ruangan. Senyum Cleopatra masih menghipnotis penonton. Tanpa sadar Clara
meneteskan air mata, seakan tak percaya dirinya baru saja menyaksikan sebuah
drama yang di perankan aktris hanya dengan sekali membaca naskah. Rasanya standing
ovation pun tidak akan cukup sebagai penghormatan.
Tirai kembali tertutup
dan Clara menerima banyak pujian atas suksesnya pementasan. Pertunjukan amal
tersebut berhasil mengumpulkan dolar dalam jumlah yang fantastis.
Sementara itu di
belakang panggung, tepuk tangan juga membahana untuk Maya. Ucapan selamat dan
kekaguman datang silih berganti dari setiap pemain. Bermain bersama Maya
membuat akting terasa lebih hidup. Sekarang, tidak ada satu orangpun yang
berani meragukan kemampuan Maya.
Christ masih tidak
bergeming dari tempatnya. Hatinya bergolak, Pertama kali melihat akting Maya
secara langsung membuatnya semakin tidak ingin melepaskan Maya. Setelah sepuluh
tahun dia tidak pernah menonton drama, hari ini dia kembali jatuh cinta dengan
gemerlap dunia panggung.
"Angel...aku akan
memilikimu," gumamnya.
Tanpa sadar kakinya
melangkah, membuat beberapa orang menyingkir perlahan untuk memberinya jalan.
Dan langkahnya terhenti tepat di depan Maya.
Tertegun, Maya menatap
bingung pada 'Dark Lord' tampan yang memandangnya tanpa ekspresi.
"Akting yang luar
biasa dan pertunjukan yang mempesona. Aku tidak sabar untuk melihat
pertunjukanmu yang lain,"
"Ng...te..terima
kasih," jawab Maya yang tergagap karena terlalu senang. Dia tidak
menyangka akan mendapat sambutan sebaik itu.
"Cepat ganti
bajumu, aku akan mengantarmu pulang," kata Christ tiba-tiba.
"Hah?!" Mata
Maya sampai membulat saat mendengarnya.
Belum sempat Maya
menjawab Christ sudah berbalik meninggalkannya. Maya berjalan ke ruang gantinya
dengan bingung. Dalam hati Maya mendengus kesal dengan sikap Christ yang
menurutnya mengintimidasi.
Di ruang ganti
pribadinya, Maya tertegun menatap cermin. Melihat dirinya sendiri dengan
balutan kostum Cleopatra. Sikap Christ mengingatkan Maya pada Masumi.
"Hhhmmm, Masumi...aku
jadi Cleopatra hari ini. Andai kau ada disini...aku rindu...," Maya
bicara pada bayangannya sendiri di cermin.
Diapun duduk di meja
rias, menopang dagu dengan kedua tangannya. Keningnya berkerut, otaknya sedang
memikirkan sesuatu.
"Kira-kira kau
sedang apa ya? Aku mengganggu tidak?" Maya masih menggumam tidak
jelas.
Tangannya memainkan
handphone di atas meja.
Tiba-tiba Maya
cemberut, "Aku kan kekasihnya, kenapa harus takut?" dan dengan cepat
tangannya menekan tombol panggil.
***
Sementara itu di kantor
Daito....
"Kenapa konsernya
bisa sampai gagal? Apa kerja kalian? Aku tidak mau tahu alasannya! Sabotase
atau apapun! Seseorang harus mempertanggung jawabkan kegagalan ini! Kalau tidak
ada juga yang mau bicara kalian semua akan ku pecat!" Masumi naik pitam diruang
rapat.
Berdiri di ujung meja
dan mengintimidasi semua staf dengan auranya, semua berkerut di bawah tatapan
mata gelap Masumi kecuali satu orang, Mizuki. Sekretaris andalan Masumi itu
tetap duduk dengan tenang dikursinya, melihat bosnya beraksi.
"Ma...maaf Tuan...ka...,"
Braakk!!! Semuanya
berjenggit takut,
"Maaf?! Kau bilang
maaf? Kau pikir kerugian Daito bisa dibayar dengan maaf!!" Hardiknya.
Tidak ada lagi yang
buka mulut. Suasananya sudah cukup mematikan. Handphone Masumi berdering.
(You're
the light, you're the night
You're
the color of my blood
You're
the cure, you're the pain)
Suara Maya memecah
keheningan diruang rapat dan neraka langsung berubah menjadi surga. Mizuki
menutup mata dengan tangannya dan menggeleng tidak percaya saat wajah garang
Masumi langsung berubah menjadi malaikat.
Tidak mempedulikan
belasan mata yang memandangnya dengan mulut ternganga, Masumi segera keluar
ruangan membawa handphonenya. Lagu yang pernah dinyanyikan kekasihnya itu
digunakan Masumi sebagai nada dering pribadi untuk Maya. Dan saat mendengar
suara Maya, dunianya langsung teralihkan. Maya lebih penting dari segalanya.
Masumi menjawab video call Maya di ruang lain.
"Halo
sayang," sapanya lembut, tidak akan ada yang percaya kalau dia adalah
direktur Daito yang baru saja mengamuk di ruang rapat.
Maya melambaikan tangan
dan senyum lebar menghiasi wajahnya. "Halo sayang,"
Masumi mengernyit saat
menyadari tampilan kekasihnya di layar handphone.
"Aku baru baru
saja memerankan Cleopatra. Cantik tidak?" Tanyanya polos dengan nada
girangnya yang khas.
"Hhmm, cantik
tidak ya?" Masumi mengusap dagunya, seolah ragu.
"Masumi!!!"
Maya merajuk, wajah cemberutnya tampak lucu dilayar handphone.
"Nah, sekarang
baru cantik," goda Masumi.
Maya menjulurkan
lidahnya, masumi terbahak.
"Ku matikan
teleponnya!" Pekik Maya dan Masumi langsung berhenti tertawa.
"Eh?! Tunggu dulu!
Kau cantik sayang, sangat cantik. Cleopatra tercantik yang pernah ku
lihat," Masumi segera memuji kekasihnya yang merajuk.
"Memangnya berapa
Cleopatra yang pernah kau lihat?" Kata Maya.
Masumi menahan
tawanya, "Nah, aku salah bicara, gawat."
"Bukankah kita
pernah pernah menonton Cleopatra di apartemenmu?"
"Kau kan
menontonku, bukan menonton Cleopatra," Maya mengingatkan kekonyolan Masumi
waktu itu.
"Apa dia menelepon
hanya untuk merajuk?" Masumi bingung di dalam hatinya.
"Ah iya ya.
Pokoknya kau yang tercantik sayang, dibanding apapun itu. Kau yang paling
cantik," Masumi tidak tahu harus bicara apa lagi. Jika Maya didepannya
akan lebih mudah meredakan kemarahannya dengan bibirnya tapi sekarang mana
mungkin dia mau mencium layar handphonenya. Batinnya tertawa sendiri.
"Kau tidak bohong
kan?"
Masumi tersenyum,
"Tidak sayang, kau tahu aku tidak bohong,"
Maya menatap sendu,
"Aku rindu...," katanya manja.
"Oh, ini sebabnya
dia merajuk." Batin Masumi lega.
"Aku juga sayang,
sangat merindukanmu,"
"Benarkah?!"
"Kau mau aku
kesana sekarang untuk membuktikannya?" Tantang Masumi.
Maya gelagapan,
"Ah tidak, tidak, jangan bodoh! Aku hanya terlalu merindukanmu, jadi kesal
sendiri jadinya. Aku percaya, aku percaya."
Masumi terbahak.
Ekspresi Maya melembut mendengar tawa Masumi dan itu kesempatan Masumi untuk
mengalihkan perhatian Maya.
"Kau tidak bilang
akan bermain drama? Bukankah kontrakmu belum ditanda tangani?" Tanya
Masumi.
Dan berhasil, "Ah
iya, aku mau cerita itu...." Maya seolah diingatkan tentang tujuan awalnya
menghubungi Masumi.
"Tadi aku sedang
membahas kontrak dan tiba-tiba pemeran Cleopatra tidak datang, padahal
pementasan tinggal tiga jam lagi. Aku menawarkan diri untuk menggantikannya,
beruntung aku sudah pernah menonton rekaman dramanya jadi aku sudah hapal semua
dialognya." Kata Maya senang.
Dalam pikiran Masumi
sudah dapat membayangkan bagaimana hebohnya suasana teater Scarlet yang
kehilangan pemeran utama dan kekasihnya menjadi dewi penyelamat.
"Pementasannya
pasti sukses besar," tebak Masumi dan Maya merona yang otomatis menjawab
tebakan Masumi.
"Semuanya lancar
dan sambutannya bagus sekali," Maya merendah.
"Mereka pasti lupa
tepuk tangan saat tirai ditutup,"
"Uhhmm," Maya
terkikik.
"Sayang aku tidak
bisa menontonnya," Nada kecewa Masumi mambuat Maya tertegun.
"Nah kau lihat
sekarang ya," kata Maya tiba-tiba.
Masumi tersenyum saat
menyadari apa yang akan dilakukan kekasihnya. Maya menutup matanya sejenak lalu
saat membuka mata Masumi melihat Cleopatra.
Maya mengucapkan dialog
pada saat adegan percintaan Cleopatra dan Antony. Dalam sekejap Masumi
terhipnotis. Lima menit, hanya lima menit tapi itu sanggup membawa Masumi masuk
kedunia lain. Dunia cinta Cleopatra.
Masumi tersenyum puas
saat Maya kembali menjadi dirinya.
"Selamanya aku
tidak akan bosan melihatmu berakting sayang," puji Masumi dan Maya
tersipu.
"Terima
kasih," gumamnya.
Tok ! Tok ! Tok !
"Anda masih di
bumi Tuan Masumi?"
Suara Mizuki mengakhiri
kesenangan Masumi.
"Ada apa?"
Tanya Maya melihat perubahan ekspresi kekasihnya.
Menghela napas,
"Maaf sayang, sebenarnya aku tidak keberatan untuk menghabiskan waktu
mengobrol denganmu tapi sayangnya saat ini masih ada rapat yang harus ku
selesaikan. Jadi...,"
"Oh?! Kau sedang
rapat ya?! Jadi aku mengganggumu?! Maafkan aku! Kalau begitu cepat kembali!!
Aku benar-benar minta maaf, aku tidak..." Maya panik.
"Sssttt, tenang.
Aku tidak keberatan sayang. Kau bisa meneleponku kapan saja, semaumu. Terima
kasih sudah menghubungiku, Cleopatra-mu luar biasa." Puji Masumi dan wajah
Maya kembali merona senang.
Tok !! Tok !! Tok !!
"Tuan Masumi
!!" Mizuki kembali mengusiknya.
"Kau akan kupecat
jika tidak berhenti mengetuk Mizuki!!" ancam Masumi,
Maya melotot
mendengarnya.
"Saya akan
mengundurkan diri sekarang juga jika anda tidak segera kembali ke ruang
rapat!!" Mizuki balas mengancam bosnya yang sedang hilang akal.
"Cepatlah kembali
ke ruang rapat!" kata Maya.
"Tenang saja
sayang, aku bosnya,"
Maya tergelak,
"Maaf sudah mengganggumu,"
"Tidak ada yang
merasa terganggu,"
"Cepat pergi sana,
aku mencintaimu,"
Cup !
Maya menempelkan
bibirnya kelayar handphone, meninggalkan bayangan merah dilayar. Dan kekonyolan
Maya langsung menular saat Masumi juga mencium layar handphonenya.
"Aku juga
mencintaimu," gumamnya, sebelum akhirnya telepon mati.
Masumi merasakan
wajahnya memanas, beberapa detik kemudian dia terbahak. Menertawakan
kekonyolannya sendiri.
Tok !! Tok !! Tok !!
Pintu terbuka dan wajah
musim dingin Mizuki telah berubah menjadi musim panas. Masumi hanya menatapnya
sesaat dan langsung berlalu dari hadapannya, mengabaikan radiasi nuklir yang
dipancarkan Mizuki.
Kasak kusuk langsung
berhenti saat Masumi masuk ke ruang rapat. Beberapa staf berusaha setengah mati
menahan seringainya tidak melebar saat teringat bagaimana Masumi meninggalkan
ruang rapat karena sebuah panggilan dengan lagu cinta. Tapi salah jika para
staf mengharapkan Masumi bersikap lunak setelah kejadian memalukan itu karena
justru topeng es Masumi semakin tebal.
Berdiri di ujung meja
rapat dengan tangan terlipat didada, belasan mata memandangnya dengan beragam
ekspresi.
"Maaf untuk
sedikit gangguannya," masih gentlemen dengan meminta maaf. Tapi
kesopanannya hanya sesaat, mata gelap Masumi menyapu ketenangan didalam
ruangan.
"Sekarang katakan,
siapa yang mau ku pecat hari ini,"
Damai, semuanya satu
ekspresi. Pucat.
***
"Oh Maya...kau
mengagumkan," Clara mencium kedua pipi Maya dan memeluknya dengan
erat. Saat pelukannya terlepas Michael memberikan sebuah buket bunga mawar
merah. Maya menerimanya dengan ragu.
"Ini suamiku Maya,
Michael. Michael ini Maya Kitajima," Clara merespon keraguan Maya.
"Oh, senang
bertemu dengan anda Tuan Anderson," Maya mengulurkan tangannya yang
langsung disambut hangat oleh Michael.
"Aku masih ingat
bagaimana luar biasanya dirimu memerankan Jane dan sekarang aku kembali dibuat
terpesona oleh Cleopatra. Kau harus memasukkan namaku di daftar pengagummu Nona
Kitajima," puji Michael.
Maya merona,
"Terima kasih Tuan Anderson. Saya rasa pujian anda berlebihan, saya tidak
memiliki daftar penggagum,"
"Selama ini
pengagum setiaku kan hanya satu," kata Maya dalam hati dan melirik
buket mawar merah dalam pelukannya, berharap itu berubah warna menjadi ungu.
"Kau akan segera
memilikinya Maya," Clara menginterupsi lamunan Maya.
"Maaf?" Maya
gagal memahami maksud Clara.
"Daftar pengagum,
fans mu," Clara menegaskan dengan senyuman lebar.
"Dan itu pasti
akan menjadi daftar yang sangat panjang," gurau Michael.
Maya tersenyum malu
menanggapinya.
"Aku benar-benar
berterima kasih Maya. Kau menyelamatkan kehormatan teaterku malam ini,"
"Tidak Nyonya,
saya sangat senang melakukannya. Bahagia rasanya bisa memerankan Cleopatra di
atas panggung. Itu juga pengalaman berharga bagi saya. Terima kasih atas kepercayaan
yang anda berikan pada saya,"
Clara tersenyum senang
dan sekali lagi memeluk Maya, hangat.
"Kalau sudah
selesai basa-basinya, aku akan mengantar Nona Kitajima pulang sekarang,"
tiba-tiba Christ juga sudah berada di ruang ganti Maya.
"Kau tidak sopan Christ,"
protes Clara pada putranya.
"Memang kapan kau
melihat Christ sopan sayang? Seingatku tidak pernah," kata Michael.
Christ tertawa,
"Terima kasih Pa,"
"Saya bisa pulang
sendiri Tuan Christ," Maya menyela tawa Christian.
"Ini yang ketiga
kalinya aku katakan Nona Kitajima, panggil saja aku Christ dan jangan buat aku
mengatakan untuk yang keempat kalinya. Kesabaranku sangat terbatas Nona
Kitajima,"
Maya langsung berkerut
saat mendengar perkataan Christ.
"Kalau...begitu,
panggil saja saya Maya. Saya lebih suka dipanggil seperti itu," Maya
mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk bicara pada Christ.
"Ah, lebih bagus
kalau begitu. Ma-ya. Lebih mudah diucapkan daripada Ki-ta-ji-ma." Christ
mengeja setiap nama Maya.
"Itu kan nama
keluarga saya, anda tidak boleh mengejeknya." Dengus Maya kesal.
"Aku tidak
mengejek Maya, hanya memang lidahku sedikit sulit mengejanya. Mungkin sebaiknya
kau harus mengganti nama itu," Christ mengerling nakal pada Maya.
Clara melotot, sadar
sepenuhnya maksud ucapan putranya itu dan Michael hanya tersenyum simpul
menanggapinya. Namun Maya mengabaikan kerlingan nakal Christ, dia justru
memiliki pikiran lain dalam otaknya saat mendengar ide mengganti nama itu.
"Hayami? Maya
Hayami,"
Maya langsung menunduk,
pura-pura mencium buket bunganya saat merasakan wajahnya memanas, malu jika
sampai dilihat keluarga Anderson. Berdoa dalam hati wajahnya tidak semerah
buket bunganya.
"Hei Nona!"
panggil Christ, 'Dark Lord' tidak suka diabaikan meski dia sendiri sering
mengabaikan orang lain.
"Ya?" Maya
mengangkat wajahnya saat yakin ekspresi konyolnya sudah hilang.
"Mau pulang
sekarang?" Lebih terdengar paksaan daripada ajakan.
"Tapi
saya...,"
Christ berjalan
mendekat, kesabarannya yang hanya sedikit sudah hampir mendekati limitnya.
Langkah kakinya berhenti dan menyisakan jarak dua jengkal dari wajah Maya yang
menatapnya bingung,
"Kau.Pulang.Bersamaku.Sekarang."
Mata Christ mendesak Maya untuk menjawab ya.
"Christ!!! Kau
akan mati jika Masumi-ku tahu hal ini," teriak Maya dalam hati.
Michael tertawa, tidak
tega juga melihat putranya memaksa Maya.
"Kau boleh
menolaknya Maya. Tapi ku sarankan kau memang lebih baik diantar karena ini
sudah larut malam. Terlalu berbahaya jika kau pulang sendiri. Hujan saljunya
juga cukup lebat," Michael mencoba menengahi.
"Jangan memaksanya
Christ. Aku akan minta supir untuk mengantarnya pulang," kata Clara.
Maya masih mematung di
tempatnya dan mata Christ juga masih mengunci tatapan matanya.
Mendesah kesal, Christ
meraih pergelangan tangan Maya dan mencengkramnya kuat.
"Kyaa!!"
Pekik Maya terkejut.
"Selamat malam
semuanya, sampai jumpa besok," kata Christ seolah-olah mewakili perkataan
Maya, sambil menyeret gadis itu keluar ruang ganti dan mengabaikan omelan
Clara. Michael terbahak.
Maya menarik tangannya
tapi gagal.
"Aku akan menurut
saja jika jadi kau," kata Christ tanpa menatap Maya dan masih terus
menyeretnya keluar.
Maya menahan dirinya
untuk tidak memaki Christ. Selain karena dia adalah putra dari pemilik teater
tempatnya bekerja nanti, juga karena dia malu karena puluhan orang menatapnya
sekarang.
'Cleopatra diculik oleh
Dark Lord', mungkin akan menjadi drama yang bagus jika dimainkan dipanggung
tapi tidak di kehidupan nyata.
Menyerah, karena
pergelangan tangannya justru semakin sakit saat dirinya memaksa untuk lepas.
Akhirnya Maya menurut saja dan membiarkan Christ untuk mengantarnya pulang,
lebih tepatnya menyeretnya pulang.
Ryan sudah menunggu
dilobi dan langsung berjalan menuju mobil saat melihat Christ dan Maya datang.
Dengan cepat membuka pintu mobil dan menahannya tetap terbuka.
"Masuklah,
Cleopatra," kata Christ, jauh dari kesan sopan apalagi lembut.
"Apa begini cara
memperlakukan seorang wanita? Bahkan 'kecoa tampanku' bisa bersikap lembut
meski sedang memakai topengnya." Gerutu Maya yang menahan kesal dalam
hati, tapi dengan cepat kembali mendengus dengan kekesalan yang semakin
berlipat ganda karena menyadari pemikirannya salah.
"'Kecoa
menyebalkan' itu kan juga pernah membuatku menjadi serigala di tengah
pesta," Maya menurunkan standar tampan menjadi menyebalkan untuk
predikat kecoanya karena kesal.
"Kenapa semua pria
tampan dan kaya itu selalu menyebalkan dan semena-mena!" Teriak Maya
dalam hati.
"Apa kau juga
sedang berakting sekarang?" Wajah Christ yang begitu dekat dengan wajah
Maya menyadarkan Maya akan keberadaan 'Dark Lord' sekaligus mengejutkannya.
Mobil sudah melaju sementara otaknya meracau tadi.
"A...a...apa
maksud anda?" Maya memalingkan wajahnya dan melihat keluar jendela.
Membuat jarak wajah mereka lebih jauh.
"Dari ekspresi
wajahmu aku tahu kau sedang marah. Apa kau sedang mengomel sendiri di dalam
hati? Kenapa tidak dikeluarkan saja? Bukankah sesak rasanya jika kau menahannya
seperti itu?" Christ menarik tubuhnya menjauh dari Maya dan bersandar
santai di jok belakang.
Maya menoleh, kalimat
Christ terdengar aneh tapi justru Maya merasa itu kalimat terlembut yang pernah
keluar dari bibir 'Dark Lord'. Bahkan dibanding saat dia mengucapkan selamat
atas pertunjukannya tadi, kali ini terdengar lebih tulus.
Meski begitu,
ujung-ujungnya Maya kembali menggerutu dalam hati.
"Dan kau juga
lebih senang mendengarku berteriak? Oh, apa aku tidak bisa bertemu dengan pria
yang lebih normal?"
"Kau bisa meledak
kalau tidak berhenti mengomel dalam hatimu," celetuk Christ seolah bisa
membaca apa yang dipikirkan Maya sekarang. Tapi memang itu tidak sulit melihat
ekspresi wajah Maya yang sudah kusut dan merah padam karena menahan emosinya
yang meluap-luap.
"Itu kan bukan
urusan anda!" Maya memalingkan wajahnya sekali lagi.
"Akhirnya, keluar
juga suaranya," Christ justru terkikik melihatnya.
"Oh, bagus. Aku
menghibur, huh?!"
"Maya...Maya...sepertinya
kau gadis yang menyenangkan."
"Anda berbaik hati
mengantar saya pulang hanya untuk mengganggu saya. Apa anda tidak ada pekerjaan
lain yang lebih penting? Bukankah seharusnya anda orang yang yang sibuk?"
Kata Maya tanpa melihat ke arah Christ.
Christ tertawa,
"Aku bosnya Maya, untuk apa aku punya anak buah kalau aku masih melakukan
semua pekerjaan sendiri."
Maya menoleh,
kekesalannya sedikit menguap, "Apakah bisa seperti itu?"
"Apa?" Christ
heran, sejak tadi baru sekarang Maya benar-benar merespon ucapannya.
"Itu yang anda
katakan. Bisakah menjalankan bisnis anda hanya dengan menyerahkannya pada anak
buah anda? Tidak harus sibuk setiap saat? Menghabiskan banyak waktu
dikantor?"
Kening Christ semakin
berkerut, "Kau cerewet untuk hal yang aneh Maya."
Maya cemberut dan
Christ mengalah, entah kenapa dia bisa mengalah pada wajah cemberut itu.
"Baiklah aku
jawab." Kata Christ cepat sebelum Maya kembali membuang wajahnya.
"Semua itu bicara
tentang sistem Maya. Tentang siapa melakukan apa. Kau hanya perlu meletakkan
orang yang tepat ditempat yang semestinya dan semuanya akan berjalan sesuai
dengan aturanya. Kau hanya tinggal mengawasi prosesnya. Turun tangan langsung
untuk beberapa hal yang memang seharusnya. Dengan begitu kau tidak akan
menghabiskan banyak energi untuk bekerja. Tidak selamanya membangun kerajaan
bisnis dengan menjadi workaholic Maya."
Dan Maya seperti
mendapat pencerahan, wajahnya berbinar senang.
"Melihat
ekspresimu...aku semakin yakin kau gadis yang aneh. Kau tertarik pada hal yang
menurutku tidak menarik,"
"Ng, terima kasih
untuk penjelasannya. Anda memberikan saya sebuah pemikiran baru," kata
Maya mengabaikan pendapat Christ tentangnya.
"Pemikiran
baru?"
"Iya, tentang bagaimana
kita mengatur sesuatu dan menjalankannya sesuai dengan keinginan kita,"
"Bisakah kita
membicarakan hal lain? Aku tidak begitu tertarik dengan topik ini." Kata
Christ terus terang.
Maya mendesah pelan,
"Terserah anda,"
"Maya,"
"Ya?"
"Kenapa sejak tadi
aku tidak mendengar kau memanggil namaku?"
"Eh?!
Itu...anu...,"
Maya salah tingkah.
"Kau masih sungkan
padaku?" Tebaknya.
Sedikit melirik, Maya
mengangguk pelan.
Christ tertawa dan
kegilaannya kembali. Christ meraih bahu Maya dan merapatkan tubuh Maya padanya.
Membuat tubuh Maya terhempas ke dadanya.
"Kyaa!!"
Jerit Maya yang dengan reflek cepatnya langsung mendorong dada Christ dengan
keras membuat dirinya sendiri terdorong kebelakang dan kepalanya hampir
membentur kaca jendela.
"Aduh!!"
Keluh Christ, ternyata justru kepalanya yang terbentur kaca jendela.
Ryan tersenyum geli
melihat tingkah bosnya, dia sudah sangat terbiasa melihat kegilaan seorang
Christian Anderson.
"Kau kasar sekali
Maya, sebagai wanita seharusnya kau lebih lembut," protes Christ seraya
mengusap-usap kepalanya yang terbentur.
"Lembut
apanya?!" Akhirnya Maya meledak juga,
"Anda pikir apa
yang anda lakukan? Jangan harap anda bisa memeluk saya hanya karena anda pria
tampan yang punya segalanya! Bagi saya anda menyebalkan! Sangat menyebalkan!
Lebih menyebalkan dari kecoa!! Anda...," Maya berhenti, seperti berpikir,
menimbang, memilah, "Anda adalah raja kecoa yang paling
menyebalkan!!" Teriaknya lagi.
Jelas otaknya gagal
menemukan istilah lain, hanya bayangan kecoa besar memakai mahkota yang
terlintas di pikirannya. Masuminya sudah menjadi kecoa kecil penurut yang
sekarang duduk diatas ayunan. Tampaknya dunia imajinasi Maya memang tak
terbatas meski akhirnya gagal mengungkapnya dengan kata-kata.
Christ terbahak,
benar-benar terbahak sedangkan Ryan tersenyum dibalik kemudinya.
"Kau dengar Ryan?
Dia bilang aku 'raja kecoa'," reaksi Christ diluar perkiraan Maya.
"Terima kasih
untuk pujiannya Maya," tambahnya.
"Saya kan tidak
sedang memuji anda," gerutu Maya yang kemudian menghempaskan dirinya ke
jok. Melipat tangannya ketat didepan dada.
"Maya, aku tidak
akan pernah bosan bersamamu,"
Maya menggerutu tak
jelas sambil melihat keluar jendela. Dan mobilpun berhenti.
"Sudah sampai Nona
Kitajima," akhirnya, setelah perjalanan singkat yang menyebalkan Maya
mendengar suara Ryan. Menyadarkannya bahwa ternyata dirinya tidak hanya berdua
di dalam mobil.
"Terima
kasih," ucap Maya pada orang yang dianggapnya paling waras dan paling
normal yang ada di dalam mobil itu.
"Kau tidak
berterima kasih padaku Maya? Ini mobilku bukan mobil Ryan,"
"Huh?!" Maya
menahan amarahnya, "Terima kasih," kata Maya dengan kesopanan yang
diusahakannya dengan teramat sangat.
"Masuklah, sudah
malam. Apa perlu aku antar?" Christ kembali menggoda Maya.
"Tidak
perlu," jawab Maya cepat. Bersiap turun tapi tangannya tiba-tiba berhenti
saat akan membuka handle pintu. Otaknya menyadari sesuatu.
"Ada apa?"
Tanya Christ heran melihat Maya terdiam, Ryan mengamati hal yang sama dari kaca
spion tengahnya.
"Uhm, seingat
saya...," Maya menoleh pada Christ, menatapnya dengan penuh selidik, menuduh. "Sejak tadi saya tidak menyebutkan alamat dimana saya tinggal.
Bagaimana anda tahu saya tinggal disini?"
"Nah,
ketahuan," Christ terbahak lagi.
"Anda memata-matai
saya?" Tidak akan terkejut kalau Christ menjawab iya karena bukan pertama
kalinya Maya bertemu orang gila sepertinya.
"Apa kau akan
marah kalau aku jawab iya?" Christ menyeringai tipis, tapi kali ini
bersikap lebih hati-hati mengukur reaksi Maya.
"Penguntit,"
dengus Maya kesal.
"Terima kasih,"
jawab Christ senang, lega dengan reaksi Maya yang jauh dari bayangannya.
Dengan cepat Maya turun
dari mobil dan mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum akhirnya menutup
pintu lalu berbalik dan berjalan masuk ke apartemennya dengan lega karena akhirnya
terbebas dari Christ.
Sedangkan pihak yang
bersangkutan masih tidak berhenti mengamati sampai Maya benar-benar menghilang
dari pandangan. Terkikik geli mengingat kebersamaan yang singkat diantara
mereka.
"Gadis yang
menyenangkan, ya kan Ryan?"
"Benar Tuan,"
Menggeliat panjang di
joknya, Christ tersenyum puas, "Aku tidak sabar untuk memilikinya,"
Ryan hanya hanya
tersenyum menanggapi perkataan bosnya.
***
New York bernuansa
putih pagi ini karena kota mulai diselimuti salju. Maya menggeliat di tempat
tidurnya, membuat selimutnya tersingkap dan otomatis bergidik saat suhu ruangan
menyentuh kulit yang sejak semalam hangat dan nyaman tertutup selimut tebal.
Meski begitu pagi ini dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalaman.
Kejadian menyebalkan dengan Christ sudah terlupakan.
Senyum Maya mengembang,
matanya menangkap objek indah yang terletak di atas meja di samping tempat
tidurnya. Foto dirinya dan Masumi saat mereka ada di Izu. Masumi memeluk Maya
dengan mesra dan mengambil foto yang hanya berjarak sejangkauan tangan Masumi.
Tidak ada special efek,
lighting atau semacamnya, namun foto itu terlihat begitu bersinar. Memancarkan
kebahagian dua makhluk Tuhan yang sedang jatuh cinta. Foto itu dibingkai dengan
figura berwarna ungu.
Maya sangat senang ketika
Masumi memberikan foto itu saat inspeksi mendadaknya satu minggu yang lalu.
Diapun terkikik geli teringat ucapan Masumi waktu itu.
"Nah, fotonya
letakkan disini, jadi aku bisa selalu memandang dan menjagamu saat tidur dan
saat kau bangun kau juga akan langsung melihatku. Dengan begini, aku juga bisa
melihat jika ada pria yang berani masuk ke kamarmu. Pria lancang itu harus tahu
kalau gadis ini adalah milikku. Pengampunan untuk Hijiri kemarin, karena dia
menjagamu yang sedang sakit. Dan ku pastikan Shigeru akan terkena serangan
jantung jika melihatnya," lalu Masumi terbahak sendiri dengan khayalan
tingkat tingginya itu.
Maya meraih fotonya dan
mendekapnya di dada.
"Aku
rindu...," lagi-lagi kata itu yang terucap.
Maya mengamati lagi
fotonya, dilihatnya sosok Masumi yang tersenyum bahagia memeluknya. Sungguh
matanya tak pernah bosan memandang makluk tampan yang sekarang berpredikat
sebagai kekasihnya itu.
Maya tertawa,
"Masumi Hayami dan Maya Kitajima,"
Otaknya kembali
berimajinasi tentang bagaimana hebohnya Jepang jika tahu kenyataan bahwa
dirinya dan Masumi saling mencintai. Membuatnya tergelak.
Hal itu dijadikan Maya
sebagai sebuah hiburan tersendiri sekaligus untuk mengatasi ketakutannya akan
bermacam hal yang bisa saja terjadi mengingat hubungannya dan Masumi terganjal
dengan statusnya sebagai pemegang hak pementasan Bidadari Merah dan juga Masumi
sebagai direktur Daito.
Mendesah pelan, hatinya
miris jika memikirkannya. "Masih ada Eisuke
Hayami dan...Shiori. Wanita itu juga pasti tidak akan menyerah begitu
saja." Maya menggelengkan
kepala, mengusir pikiran buruk yang melintas dikepalanya. "Masumi
milikku," gumamnya.
Akhirnya Maya bangun,
meletakkan fotonya ketempat semula. Bermalas-malasan hanya akan membuat
pikirannya melayang dan itu tidak akan bagus karena hanya akan membuatnya
menangis nanti. Lagipula siang ini ada hal penting yang harus dilakukannya.
Karena itu Maya bergegas ke kamar mandi dan bersiap untuk sarapan sebelum
pergi.
***
Maya mengibaskan salju
yang menempel di lengan jaketnya. Sudah cukup lama Maya berdiri di depan sebuah
rumah bernuansa coklat bata. Dia hanya memandanginya, masih ragu untuk menekan
bel. Tangan kirinya menggenggam secarik kertas yang berisi alamat dan nomor
telepon yang diberikan Genzo saat dirinya berpamitan pada Mayuko. Sekali
lagi mencocokkan alamat yang dipegangnya dengan nomor rumah yang tertulis di
tembok pagar.
"Apa sebaiknya aku
telepon dulu ya? Rasanya tidak enak jika langsung datang seperti ini,"
gumam Maya.
Pintu rumah itu
tiba-tiba terbuka, Maya terkejut. Seorang pria paruh baya keluar dengan
mengenakan jaket musim dingin tebal. Sepertinya dia akan pergi dan Maya
langsung memanfaatkan kesempatan itu.
"Hhmm, maaf, apa
anda Tuan Shinosuke Kendo?"
Pria itu menatap Maya
dari ujung kepala sampai ujung kaki, entah apa yang diamatinya tapi tiba-tiba
dia tersenyum.
"Maya
Kitajima?" Tebaknya.
Maya sempat terkejut
tapi dengan cepat mengangguk. Pria itu membuka pagar dan mempersilahkan Maya
masuk.
"Aku sudah lama
menunggumu," katanya seraya menyuguhkan coklat panas untuk Maya.
"Maaf, bagaimana
anda bisa tahu nama saya?" Tanya Maya polos.
"Nyonya Chigusa
dan Genzo yang memberitahuku. Mereka bilang akan ada seorang gadis yang datang,
murid Nyonya Chigusa, namanya Maya Kitajima." Pria itu duduk dengan sopan
dihadapan Maya.
Suasana cukup canggung,
otak Maya masih memikirkan bagaimana cara terbaik menyampaikan maksud
kedatangannya.
"Sudah berapa lama
kau tiba di New York Nona Kitajima?" Shinosuke akhirnya memulai
percakapan, cukup memahami kecanggungan Maya.
"Dua bulan Tuan
Kendo." Jawab Maya sopan.
"Wah sudah lama
juga ya, bagaimana New York? Kau suka?" Shinosuke tersenyum ramah.
"Ah, iya saya
suka. Maaf saya baru bisa mengunjungi anda sekarang. Ada beberapa hal yang
harus saya lakukan lebih dulu," Maya sedikit lega karena Shinosuke ramah
padanya.
"Tidak
apa-apa." Shinosuke meneguk coklat panasnya sendiri lalu kembali melihat
Maya, "Hhmm, sebaiknya aku ambil dulu pesananmu Nona Kitajima,"
"Pesanan?"
Gumam Maya heran, dia tidak merasa memesan apapun. Rasa penasaran menggelitik
hatinya.
Shinosuke menghilang
beberapa saat dan muncul kembali dengan membawa sebuah box berukuran sedang
berwarna putih.
"Nah, ini yang kau
butuhkan. Semuanya sudah kusiapkan."
Shinosuke meletakkan
box di atas meja di depan Maya, membuat Maya semakin bingung. Dia juga tidak
mengerti dengan perkataan Shinosuke.
"Sepertinya kau
bingung Nona Kitajima?" Shinosuke menangkap ekspresi Maya.
Maya mengangguk,
"Saya tidak mengerti dengan ini," Maya melambaikan tangannya ke arah
box.
Shinosuke mengernyit,
lalu duduk kembali ke kursinya. Meneguk sedikit coklat panasnya sebelum
kemudian bicara pada Maya.
"Hhhmm, Nyonya
mengatakan padaku bahwa kau memerlukan semua ini," jelas Shinosuke.
"Anda tahu tujuan
saya datang kesini?"
"Iya, Nyonya yang
mengatakannya,"
"Oh," Maya
melenguh pelan, "Anda...punya sesuatu yang bisa membantu saya untuk
menghadapi...Daito?" Lanjut Maya ragu.
Shinosuke menganggukkan
kepalanya dua kali, "Inilah yang kau cari Nona Kitajima,"
Sekali lagi Maya
menatap box didepannya. Berdebar.
"Bukalah,"
Maya membuka box untuk
menjawab rasa penasarannya. Box terbuka dan tumpukan kertas di dalamnya tidak
menjawab pertanyaan Maya.
"Apa anda tahu
siapa saya Nona Kitajima?"
Maya menggeleng, baru
disadarinya kalau ternyata Maya sama sekali tidak tahu siapa pria yang ada
dihadapannya itu. Mayuko hanya mengatakan padanya kalau Shinosuke bisa
membantunya. Itu saja. Dan Maya juga tidak bertanya apa-apa lagi.
Shinosuke tersenyum,
akhirnya mengerti kenapa Maya begitu canggung.
"Apa kau bisa
menyimpan rahasia?" Tanya Shinosuke.
Maya menduga Shinosuke
akan menceritakan sebuah hal besar padanya.
"Nona
Kitajima?"
"I...iya, saya
akan menjaga rahasia," jawab Maya cepat.
Shinosuke tersenyum,
"Nama asliku adalah Shinosuke Ozaki, aku masih sepupu dari Ichiren Ozaki,
pencipta karya besar Bidadari Merah,"
Maya terhenyak.
"Aku dulu membantu
Ichiren mengurus teaternya. Membantu menulis naskah drama juga mengurus semua
administrasi teater. Sampai akhirnya kejadian...ah kau pasti tahu."
Shinosuke tertunduk, menyembunyikan kesedihan dengan meneguk coklat panasnya.
"Apa yang terjadi
kemudian?" Maya memberanikan diri bertanya.
"Bidadari Merah,
karya fenomenal yang menjadi sumber dari segalanya. Karena itu jugalah semuanya
berakhir." Menghela napas perlahan, Shinosuke kembali bercerita.
"Eisuke Hayami,
mendirikan Daito untuk merebut karya itu. Cintanya yang tidak terbalas pada
Bidadari Merah membuatnya hilang akal. Aku sendiri tidak tahu sebenarnya siapa
yang dia cintai. Mayuko atau Bidadari Merah yang ada dalam diri Mayuko. Yang jelas
ambisinya yang membuat teater kami hancur membuatku membencinya. Dulu aku
begitu berambisi untuk membalas dendam pada Eisuke, impianku adalah
menghancurkan Daito."
Maya merasakan
jantungnya berpacu lebih cepat. Shinosuke tersenyum pada Maya, meredakan sedikit
ketegangannya.
"Tapi itu
dulu." Lanjutnya.
"Aku sampai
dititik jenuhku. Berpikir dan berpikir. Apa yang akan aku dapatkan jika aku
menghancurkan Daito? Ichiren juga tidak akan hidup kembali. Dan ternyata Nyonya
Chigusa juga berpikir hal yang sama. Akhirnya aku berhenti. Mengubur dendamku,
aku datang ke New York sepuluh tahun yang lalu. Nyonya Chigusa memutuskan tetap
di Jepang dan mencari penerusnya." Shinosuke kembali tersenyum
hangat.
Jujur Maya akui kalau
senyum itu begitu menenangkannya.
"Aku beruntung
dapat bertemu Bidadari Merah yang baru."
Maya tersenyum setelah
dari tadi begitu tegang mendengarkan cerita Shinosuke.
"Ngg, lalu ini
apa?" Maya menunjuk pada box didepannya.
"Didalam box itu
terdapat semua data lengkap tentang Daito, termasuk semua rahasia perusahaan.
Aku mengumpulkan semua salinan dokumen itu untuk mempelajari Daito, mencari
celah dan kemudian menghancurkannya. Tapi aku bersyukur aku tidak pernah
melakukannya. Menghindarkanku dari sebuah kesia-siaan. Aku menikmati hidup
tenangku sekarang," Shinosuke mengakhiri ceritanya dengan menghabiskan
coklat panas dalam cangkirnya.
Maya terdiam.
"Tidak perlu
merasa bersalah," Shinosuke seperti bisa membaca pikiran Maya.
"Eh?!"
"Aku tahu kau
pasti punya alasan yang tepat untuk melawan Daito,"
Maya tertunduk,
sendu, "Masumi...," hatinya begitu miris sekarang.
Bidadari Merah, peran
yang sangat didambakannya sejak dulu, justru membawanya pada lingkaran takdir
yang rumit.
"Aku rasa aku
sudah menjelaskan banyak padamu,"
Dan Maya merasa itu
sebuah tanda baginya untuk segera pergi.
"Terima kasih
untuk semuanya. Saya akan terus mengingat kebaikan Tuan dan suatu hari saya
akan membalas...,"
"Tidak
perlu," potong Shinosuke.
"Tidak
perlu?" Tanpa sengaja Maya mengulang perkataan Shinosuke.
"Jagalah
rahasiaku, biarkan aku tenang diakhir hidupku. Ini pertemuan pertama dan
terakhir kita. Setelah ini, jika kita bertemu dijalan atau dimanapun
berpura-puralah kau tidak mengenalku. Dan namaku adalah Shinosuke Kendo,"
Shinosuke berdiri dan
mempersilahkan Maya meninggalkan rumahnya. Masih dengan senyum yang penuh
keramahan, Shinosuke mengantar Maya ke teras dan memberikan box itu padanya.
"Terima
kasih," Maya mengangguk hormat.
"Semoga tujuanmu
tercapai Nona Kitajima. Semoga bahagia." Kata Shinosuke sebelum akhirnya menutup
pintu rumahnya.
***
Malamnya terasa begitu
panjang bagi Maya. Separuh dokumen Daito sudah dibacanya. Tapi semuanya begitu
sulit dimengerti. Otak Maya lebih dari sekedar gagal mencerna semua data
tentang Daito. Maya jelas butuh bantuan. Tapi siapa yang bisa membantunya, itu
menjadi tanda tanya besar dikepalanya.
"Apa yang harus
aku lakukan sekarang? Seandainya saja aku lebih pintar." Keluh Maya.
"Aku mampu
menghapal naskah setebal apapun hanya dengan sekali baca, tapi semua dokumen
ini? Seratus kali aku bacapun belum tentu aku mengerti,"
Maya mengacak-acak
rambutnya dengan kesal. Bingung memikirkan langkah selanjutnya. Sementara dia
dikejar dengan waktu.
Bel pintu berbunyi,
menginterupsi ketegangan Maya. Dengan cepat Maya membereskan dokumennya dan setelah
semuanya tersimpan aman didalam lemari Maya membuka pintu.
"Satomi!"
Serunya girang.
"Halo, bagaimana
kabarmu?" Satomi juga sama girangnya.
"Baik, kapan kau
kembali?" Tanya Maya seraya menutup pintu dan keduanya duduk di ruang
tamu.
"Dua jam yang lalu,"
"Hah?! Dan kau
langsung datang menemuiku? Kau tidak lelah?"
Satomi tertawa,
"Tidak Maya, tenang saja. Aku hanya khawatir denganmu,"
"Apa aku harus
bilang merindukanmu?" Batin Satomi geli.
Maya mendengus kesal,
"Hei aku sudah dewasa. Aku bisa menjaga diriku sendiri,"
Satomi mengabaikannya,
"Boleh aku minta minum Maya?"
"Oh, maaf,
maaf!" Maya beranjak dari sofa dan berlari ke dapur.
"Terima
kasih," teh panas menghangatkan tenggorokan Satomi.
"Bagaimana
syutingnya?" Tanya Maya yang juga meneguk tehnya perlahan, takut lidahnya
terbakar.
"Lancar, lega
akhirnya semua selesai dengan baik,"
"Hhmm, kapan
premier filmnya?"
"Masih dalam
rencana, aku juga belum diberitahu. Yang jelas syuting di LA kemarin adalah
yang terakhir,"
"Aku tidak sabar
untuk melihat filmmu, pasti bagus," Maya bersemangat.
Satomi tertegun sejenak
mengamati Maya.
"Kenapa?"
Tanya Maya.
"Kau tidak mau
cerita padaku?"
"Apa?" Maya
tak mengerti.
Meletakkan cangkir
tehnya di meja, Satomi mengeluarkan sebuah tabloid dari dalam tasnya.
"Oh itu,"
Maya mengerti maksud Satomi.
Foto dirinya yang
berperan sebagai Cleopatra terpampang besar dihalaman depan dibawah headline
yang tercetak tebal. Cleopatra, Bintang Baru Teater Scarlet, Sukseskan Malam
Amal ACA Group.
"Aku terkejut
waktu melihat tabloid ini di Bandara dan langsung membelinya. Kau tidak mau
cerita?"
Maya meringis dan
segera merangkai kata-kata menjelaskan kejadian hari itu. Satomi tergelak saat
Maya selesai bercerita.
"Aku tidak heran
Nyonya Anderson memilihmu, naik panggung hanya dengan sekali menonton rekaman
drama dan sekali membaca naskah. Kau menakutkan Maya,"
Maya tersenyum lebar
mendengarnya. Tapi senyum Maya langsung hilang saat Satomi bertanya soal hasil
ujian masuk universitasnya.
"Tenang saja, kan
masih ada tahun depan. Belajarlah lebih giat lagi," hibur Satomi.
Batin Maya kembali
meringis, "Tahun depan? Andai kau tahu waktuku tidak sebanyak
itu,"
"Aku masih belum
mengerti Maya," Satomi masih memandang Maya.
"Apanya?"
"Kenapa kau begitu
giat belajar tentang bisnis? Bahkan memintaku mencarikan seorang dosen untuk
mengajarimu,"
"Sebaiknya kau tak
tahu,"
"Tidak apa-apa,
hanya ingin belajar hal baru," Maya berkilah.
Satomi tersenyum kaku,
tahu Maya menyimpang rahasia darinya.
"Memang apa yang
kuharapkan? Maya kan hanya menganggapku teman, dia tidak harus menceritakan
semua kehidupannya padaku,"
"Ng, Satomi,"
"Iya,"
"Aku butuh
bantuanmu lagi,"
"Katakan
Maya,"
"Bisakah kau
membantuku mencari seorang menejer?"
"Menejer?
Untukmu?"
"Memang untuk
siapa lagi?"
Tampak berpikir
sejenak, "Apa Scarlet tidak menyediakannya untukmu?"
"Nyonya Anderson
memberiku pilihan, ku rasa aku ingin mencarinya sendiri kalau bisa,"
"Oke, aku akan
cari info di agency,"
"Terima
kasih," ucap Maya senang.
"Kali ini kau
harus hati-hati Maya," tatapan mata Satomi berarti dalam.
"Iya, aku
tahu," dia mengerti Satomi memperingatkan masalah Norie Otobe yang dulu
menjebaknya dipuncak karier dan...ya menyebabkan dirinya putus dengan Satomi.
Maya jadi teringat perkataan Masumi tentang Satomi yang pasti akan kena
serangan jantung kalau tahu bos Daito yang dulu memisahkannya dengan Maya
sekarang justru menjadi kekasih Maya.
"Ada yang lucu
Maya?" Satomi melihat Maya tersenyum tanpa sebab.
"Ah tidak,"
Maya merapatkan bibirnya, menahan senyumnya melebar.
Bel kembali berbunyi
dan Maya mengernyit.
"Miss
Morgan?" Tanya Satomi. Dia tahu selain dirinya dan Miss Morgan tidak ada
yang pernah berkunjung ke apartemen Maya, ya kecuali Hijiri dan...Satomi kan
tidak tahu Masumi datang.
Maya menggeleng,
"Aku tidak ada kelas hari ini," jawab Maya seraya beranjak dan
berjalan ke pintu.
Jantungnya berdegub
kencang,
"Mungkinkah? Ah,
tidak mungkin," Maya menepis kemungkinan Masumi yang datang. Tersadar
bahwa jaraknya adalah Jepang - Amerika bukannya Tokyo - Yokohama.
Pintu terbuka dan
senyum menawan menyambut Maya.
"Malam,
Maya,"
Maya melotot pada sosok
pria yang berdiri didepannya.
"A...anda...?"
Maya gagal berkata-kata.
"Nona
Kitajima," sapa Ryan sopan berbanding terbalik dengan bosnya yang langsung
masuk tanpa dipersilakan.
"Hei," Pekik
Maya saat Christ dengan seenaknya merangkul bahunya dan mendorongnya masuk.
"Lepaskan
Tu...,"
"Christ,"
bisiknya ditelinga Maya, membuat wajahnya langsung merah padam.
"Lepaskan,"
Maya melepaskan dirinya dari cengkraman Christ dan mendengus kesal berjalan ke
ruang tamu.
Christ tertawa dan
mengikuti Maya.
"Wah ada tamu
rupanya,"
Wajah Satomi langsung
mengeras tak terbaca saat melihat Christ.
"Anda yang tamu,
ini kan apartemen saya!" Pekik Maya lagi.
"Ternyata susah
sekali membuat bibir cerewet ini menyebut namaku. Sampai kapan kau mau ber-anda
anda?" Christ meraih dagu Maya membuat mata bulat Maya menatapnya. Lekat.
Ekspresi Satomi semakin
mengeras.
Plaakkk!
Maya menepis tangan
Christ didagunya.
"Bertindaklah yang
sopan Christ atau tinggalkan apartemenku sekarang juga," ancam
Maya. Napasnya terengah, menahan gejolak emosinya.
Christ terkikik,
"Iya, iya, maafkan aku. Tapi akhirnya berhasil, kau memanggil namaku dan
tidak bicara formal lagi,"
Maya menyadari
permainan Christ yang sengaja memancing amarahnya.
"Menyebalkan!"
Amarah Maya turun beberapa skala ritcher. Baru saja lepas kendali karena
mengira Christ akan menciumnya dan ternyata itu hanya salah satu trik
konyolnya.
"Boleh
duduk?"
Untuk pertama kalinya
Christ sedikit sopan, efek pukulan Maya tadi masih bersisa padanya.
"Saya terkejut
anda bertanya?" Cibir Maya.
"Terima
kasih,"
Maya melotot dan sekali
lagi Christ menang.
Maya menyerah, lalu
menoleh pada Ryan yang masih berdiri dibelakangnya.
"Silakan duduk
Tuan Lane," Maya mempersilakan Ryan duduk. Tangannya melambai pada tempat
kosong di sofa panjang disebelah Satomi. Christ sudah duduk di sofa single
disebelah Maya.
"Tidak perlu Maya,
biarkan dia ditempatnya," kata Christ dan itu terdengar seperti sebuah hal
yang semena-mena bagi Maya. Meski kenyaataannya memang begitu. Christ.
Berkuasa. Semena-mena. Maya melotot lagi.
"Ini rumah saya
jadi Tuan Lane juga tamu saya dan saya harus memperlakukannya dengan layak.
Tidak ada hubungannya dengan dia pengawal pribadi anda atau bukan," dan
ya, Maya jengkel dengan kesemena-menaan Christ.
Tapi yang bersangkutan
justru tersenyum manis, "Tidak apa-apa Nona Kitajima, saya disini saja.
Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya."
"Nah, apa ku
bilang,"
Maya melotot lagi,
sepertinya kehadiran Christ bisa membuat bola matanya tambah besar atau bahkan
lebih parahnya, keluar dari tempatnya.
"Itu kan karena
anda bos yang menyebalkan," kata Maya menanggapi komentar Christ.
Satomi memandang
bingung pada Maya, "Sejak kapan Maya dan Tuan Anderson yang terkenal
galak di seluruh New York ini begitu akrab?" Tanda tanya besar
bertengger di kepala Satomi.
Maya menyadari
kesalahannya, kejengkelannya pada Christ membuatnya mengabaikan keberadaan
Satomi. Dengan cepat dia memperbaiki keadaan.
"Satomi kenalkan
ini Tuan Christian Anderson, Tuan Christ ini Satomi Shigeru," dan sopan
santun selalu mengatasi segalanya.
Christ mendengus kesal
tapi bukan karena cara bicara Maya yang kembali formal.
"Selamat malam
Tu...,"
"Kau mantan
pacar Maya kan," kata Christ tanpa basa basi.
Diapun menjabat tangan
Satomi yang terulur dengan enggan. Dengan cepat melepaskannya seolah Satomi
terjangkit virus atau semacamnya yang bisa langsung menular jika lama
bersentuhan.
Christ tetap santai,
mengabaikan ekspresi terkejut Satomi yang menganga dan Maya yang melotot dengan
wajah merah. Membara.
"Apa maksud anda?
Itu tidak sopan Tuan Chris-ti-an An-der-son," Maya mengajukan keberatannya
dengan jelas pada pihak yang yang dimaksud, menyebut nama lengkapnya dengan
mendesis marah.
"Apa aku salah?
Bukankah kalian dulu memang berpacaran," masih tidak merasa salah dengan
perkataannya, Christ berkilah.
Baik Satomi ataupun
Maya sama-sama tahu bahwa memang tidak ada yang salah dengan perkataan Christ.
Yang salah adalah waktu dan tempatnya dan tentu saja 'siapa' yang
mengatakannya. Karena jika hal itu dikatakan oleh Ryan dengan nada yang lebih
ramah dan bersahabat mungkin Maya akan lebih menerimanya.
Satomi memperbaiki
ekspresinya, dia merasa jengah dengan situasi ini. Tapi dia juga tidak mau
pulang dan meninggalkan Maya sendiri dengan Christ. Oke tidak sendiri, bertiga
dengan Ryan. Tapi pengawal pribadi yang gagah itu dalam pandangan Satomi tidak
akan banyak berguna, karena Christ kan bosnya. Satomi jadi semakin kesal
memikirkan kemungkinan yang muncul dalam kepalanya.
"Kau tidak
menawariku minum Maya? Kau tidak sopan, aku kan tamu," celetuk Christ,
menghentikan kesunyian dan lamunan dua manusia yang sedang berkutat dengan
pikirannya masing-masing.
Maya menghela napas.
"Ya maaf, anda mau minum apa Tuan Christ?" Tanya Maya putus asa.
Christ terkikik.
"Apa saja, yang
kau punya didapurmu. Kalau aku sebutkan yang ku mau aku yakin kau tidak
memilikinya,"
Maya menahan kesal. Sabar...sabar...Maya...kau
bisa ambil racun serangga dan menyemprotkan padanya tapi itu akan merusak
hubunganmu dengan mamanya. Jadi bersabarlah Maya. Menarik napas beberapa
kali. "Baiklah, saya rasa saya punya sesuatu untuk anda di dapur,"
Maya menghentak-hentakkan kakiknya saat berjalan ke dapur. Kesal.
Christ tertegun. "Bukan racun
serangga kan Maya?" Teriak Christ tiba-tiba, saat Maya sudah menghilang di
dapur.
Maya terhenyak sendiri.
Imajinasinya yang tinggi langsung menduga Christ punya kekuatan membaca
pikiran. Tapi itukan konyol. Tidak mungkin. Maya menggeleng kesal lalu balas
berteriak, "Ya! Saya juga punya itu!" dan Maya mendengar Christ
terbahak.
Dan diruang tamu
suasana berubah. Christ menatap Satomi tajam, tatapan jenaka yang ditunjukan di
depan Maya tadi tiba-tiba hilang.
"Anda mau saya
pergi Tuan Anderson?" Satomi cukup pintar membaca arti tatapan mata itu.
"Bagus kalau kau
mengerti."
Keduanya bicara
setengah berbisik, karena jarak ruang tamu dan dapur tidak terlalu jauh dan
keduanya sama-sama sepakat tanpa kata bahwa Maya tidak perlu mendengar
pembicaraan 'antar lelaki'.
"Alasannya?"
Satomi meneguk sisa teh dalam gelasnya. Pikirannya mengiyakan perkataan Christ
meski hatinya tidak.
"Kau bodoh jika
tidak bisa membaca situasi ini," Christ memang tidak mengenal batasan
dalam bicara.
Satomi menyeringai,
"CEO ACA Group, Christian Anderson, berada di sebuah apartemen seorang
gadis. Saya lebih dari sekedar mengerti Tuan Anderson,"
"Lalu apa yang kau
tunggu?"
"Anda kan tidak
bisa mengusir saya begitu saja,"
"Oh, aku lebih
dari sekedar bisa. Kau pikir untuk apa Ryan berdiri disana? Dekorasi?"
Satomi tertawa
menanggapi ancaman Christ meski dia tahu Christ serius dengan ucapannya. Dan
pantatnya bisa langsung ada di trotaar saat itu juga jika Satomi bersikeras
melawan. Keputusan bijak adalah...mengalah.
Maya datang membawa dua
gelas cangkir dalam nampan. Meletakkan satu cangkir dimeja untuk Christ dan
memberikan satu cangkir lainnya pada Ryan. Christ tersenyum tipis melihat
kesopanan Maya yang masih mendahulukan menjamunya dibanding Ryan.
"So?" Tanya
Christian pelan. Ditelinga Satomi lebih terdengar seperti ENYAH KAU !
Kembali menyeringai, Satomi
mengambil tasnya.
"Baiklah Maya, aku
rasa sebaiknya aku pulang." Melirik pada Christ. "Sekarang,"
tegasnya.
"Eh?!
Kenapa?" Pertanyaan yang tak perlu karena Maya sudah bisa mengerti
alasannya. Tapi alasan itu juga yang membuat Maya tak mau Satomi meninggalkannya.
Christian Anderson.
Satomi hanya tersenyum,
"Besok aku akan datang lagi, sekalian membicarakan masalah
menejermu,"
"Ah iya!"
Sela Christ, Satomi juga Maya langsung berpaling padanya.
"Aku rasa tidak
perlu," kata Christ lebih kepada Satomi.
"Maksud
anda?"
"Aku sudah siapkan
menejer untuk Maya,"
Maya melotot tapi
mulutnya hanya menganga, tidak bisa bicara. Lebih tepatnya tidak tahu harus
bicara apa.
"Bukankah itu
harus dengan persetujuan Maya?" Satomi mencoba merasionalkan cara berpikir
Christ. Tapi Christ kan tidak pernah berpikir rasional.
"Ku rasa tidak
perlu." Dan jawabannya jelas.
"Apa anda mencoba
mencampuri privasi saya Tuan Christ?" Maya berang.
"Sama sekali tidak
menurutku," jawabnya santai.
"Tapi yang anda
lakukan sebaliknya kan?"
"Itu kan
menurutmu," Christ dan keras kepalanya.
"Lalu apa itu
namanya!!" Bentak Maya.
"Prosedur
pengamanan," jawabnya santai.
Maya terdiam.
Christ tersenyum geli,
menikmati permainanya.
"Kau kan artis
Scarlet, sebentar lagi akan menjadi aktris besar. Akan bahaya jika kau
ditangani oleh orang yang salah. Bagaimana jika kau malah dimanfaatkan orang?
Dalam pandanganku kau mudah sekali percaya pada orang dan itu akan membuatmu
mudah ditipu. Belajarlah dari pengalaman masa lalumu Maya. Kau perlu orang yang
tepat. Aku menilai mamaku ceroboh dengan membebaskanmu untuk memilih. Kau
beruntung aku ada disana saat kalian membahas itu. Sehinga kau tidak perlu
repot. Aku juga sudah bicara pada mamaku, dia juga setuju. Dan bagiku kau harus
setuju. Jangan mempertaruhkan sesuatu hal yang kau sendiri belum yakin akan
menang Maya." Akhirnya Christ menjelaskan logikanya. Dan hebatnya
pemikiran irasional Christ justru terdengar sangat rasional. Kemampuan
mempengaruhinya berada diatas rata-rata, tidak heran dia menjadi CEO yang hebat.
Maya dan Satomi saling
berpandangan.
"Tuan Anderson
benar Maya," akhirnya justru Satomi yang dirasionalkan dengan pandangan
Christ.
Maya menghela napas,
menenangkan diri, otaknya sudah mendidih sekarang, "Tapi itu kan tetap
semena-mena namanya. Anda kan bisa mendiskusikannya dulu dengan saya,"
nada suaranya lebih rendah sekarang.
"Aku tidak pernah
berdiskusi untuk suatu hal yang aku yakin aku benar Maya."
"Tapi itu kan
tidak benar?" Maya kesal lagi.
"Sekali lagi, itu
kan menurutmu,"
"Dan apa yang benar
menurut anda?!" Nada suara Maya meninggi lagi.
Christ tertawa, Satomi
masih duduk terpaku mengamati perdebatan keduanya.
"Kau suka sekali
berdebat Maya,"
"Itu sangat perlu
jika berhadapan dengan orang seperti anda!"
"Oh ya?! Ku rasa
kau benar dan aku tidak keberatan dengan mulut cerewetmu itu.
Menyenangkan." Christ kembali tergelak.
"Christian
Anderson!!" Teriak Maya.
"Apa?"
"Kau membuatku
sangat kesal! Tidak! Sangat marah!!" Maya langsung berdiri dan berkacak
pinggang.
"Duduk saja Maya,
aku tahu kau marah tanpa harus berdiri begitu," jawabnya santai.
Anehnya, Maya menurut
dan menghempaskan dirinya disofa. Melipat tangannya kuat-kuat didada.
Satomi memandang tak
percaya pada kekuatan Christ dalam mengendalikan sesuatu. Bahkan meski bercanda
sekalipun aura otoriternya tidak bisa dibantah.
"Mari berpikir
Maya," kata Christ setelah Maya lebih tenang. Dia juga pandai mengambil
celah.
"Kau aktris
Scarlet, kategori istimewa karena mamaku sendiri yang memilihmu ya meski ku
akui dengan kemampuan aktingmu yang luar biasa itu kau memang istimewa. Dengan
begitu Scarlet tidak bisa membiarkan kalau kau dimenejeri oleh orang
sembarangan. Lupakan kebodohan mamaku yang membiarkanmu memilih. Itu bahaya
menurut pandanganku,"
Maya terkesiap saat
mendengar Christ menyebut mamanya bodoh.
"Saya bekerja
untuk Scarlet, bukan untuk anda!" Maya tetap bersikukuh dengan
pendapatnya.
"Kalau-kalau kau
lupa, aku akan ingatkan. Direktur Scarlet adalah mamaku Maya. Jadi kau bekerja
pada mamaku. Dan karena aku anaknya maka kau juga bekerja padaku," kali
ini Christ justru terdengar konyol, tapi sepertinya dia sengaja.
"Sejak kapan anda
mencampur adukkan hubungan keluarga dengan pekerjaan?"
"Sejak hari ini ku
rasa," Christ menahan hasratnya untuk terbahak melihat ekspresi Maya.
"Itu konyol!!"
Bentak Maya.
"Konyol kalau aku
mengatakannya tiga hari yang lalu, tapi tidak kalau sekarang,"
Maya mengernyit.
"Sebenarnya aku
tidak harus menjelaskannya padamu, tapi baiklah kalau kau memaksa,"
"Anda kan memang
harus menjelaskan semua tindakan anda yang diluar logika itu!!"
"Iya, iya, aku
jelaskan! Kau berisik sekali Maya!" meski begitu Christ masih terdengar
bercanda.
"Pagi ini aku
sudah resmi menjadi salah satu pemegang saham di PH Scarlet. Dulu aku tidak
pernah tertarik berinvestasi di perusahaan mamaku itu, tapi karena Scarlet
mengontrakmu itu merubah pemikiranku. Kau pasti menghasilkan banyak keuntungan
bagi Scarlet dan...bagiku juga. Jadi secara profesional kau memang bekerja
untukku. Jadi aku berhak menentukan apa yang terbaik baik aktrisku karena itu
menyangkut keuntungan investasiku," akhirnya ada penjelasan yang sedikit
masuk akal bagi Maya.
"Bagian dimana
anda menggunakan hak anda sebagai pengusaha Amerika untuk berinvestasi
dimanapun anda mau itu bukan urusan saya. Tapi jika alasan anda berinvestasi
adalah karena saya, itu gila namanya! Saya hanya akan dikontrak Scarlet selama
dua tahun, setelah itu saya akan pergi. Apa setelah itu anda akan menjual saham
anda? Konyol ! Benar-benar konyol!! Dan bagaimana kalau saya tidak menghasilkan
keuntungan seperti yang anda harapkan? Apa saya juga harus mengganti nilai
investasi yang sudah anda tanamkan? Saya tidak akan terkejut jika anda
memintanya, mengingat pemikiran anda selalu aneh bagi saya,"
Christ terbahak,
terpesona oleh omelan Maya yang menurutnya berani dan cerdas. Selama ini tidak
ada yang berani berkata seperti itu padanya.
"Pendapat yang
cerdas Maya, tapi tenang saja, aku bisa pastikan kau tidak akan merugikanku.
Lagipula kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dua tahun mendatang. Jadi
kita bicara rencana jangka pendek saja dulu,"
Christ lalu beralih
pada Satomi. Dia menilai sudah terlalu lama Satomi menunda kepulangannya. Dan
sadar kalau dirinya diusir, Satomi akhirnya beranjak juga.
"Aku pulang dulu
Maya. Tuan Anderson," katanya tanpa basa-basi lagi. Mengangguk sopan pada
Christ.
"Ya, sebaiknya
memang begitu, kau tidak harus mendengarkan pertengkaran bodoh ini." Kata
Maya.
Satomi tersenyum,
mengabaikan seringai kemenangan diwajah Christ karena berhasil
menyingkirkannya.
"Setahuku kau juga
punya hobi bertengkar Maya," celetuk Christ saat Maya melewatinya.
Terkesiap tapi dengan
cepat mengabaikannya, Maya mengantar Satomi keluar.
Maya masih terpaku
setelah menutup pintu, menyandarkan tubuhnya pada daun pintu, tangannya bahkan
masih menggenggam handle. "Sial!" Rutuk Maya dalam
hati, "Dia tahu semua tentangku. Aku dan Satomi, perjalanan karirku.
Dia bahkan tahu aku sering bertengkar dengan Masumi. Ya, seluruh Jepang juga
tahu kalau aku bermusuhan dengan bos Daito. Meski kenyataannya sekarang sebaliknya." Maya
menghela napas panjang dan dalam, mencari ketenangan diri.
"Baiklah, aku mau
lihat sejauh mana dia tahu tentangku. Dan apa sebenarnya tujuan orang paling
menyebalkan itu,"
Mayapun kembali
melintasi koridor depan kamarnya dan berjalan keruang tamu. Kali ini Maya
memilih duduk di sofa panjang, didepan Christ. Masih diam. Tepatnya malas
bicara.
"Kau cantik juga
kalau duduk diam seperti itu," celetuk Christ.
Maya cemberut,
"Katakan saja tujuan anda sebenarnya, Tuan Christ," Maya sepertinya
mulai lelah menghadapi Christ.
"Hhmm,
maksudmu?"
Mendengus kesal,
"Kemarin anda bilang kalau anda memata-matai saya. Anda tahu semua tentang
masa lalu saya. Setidaknya pasti ada alasan untuk menjelaskan semua itu."
"Begitu ya. Jadi
kau butuh alasan?"
"Tentu saja!"
Christ menatap Maya
lekat, "Kau,"
"Saya?"
"Iya, kau! Kau
bilang butuh alasan. Kaulah alasan itu,"
"Saya? Apa
maksudnya saya?"
"Ya kau, hanya
kau. Ma-ya-ki-ta-ji-ma."
"Apa istimewanya
saya sampai anda melakukan semua itu?"
"Istimewa? Aku
tidak menganggap kau istimewa Maya,"
"Heh?!"
Christ menyeringai.
"Kau berharga Maya,"
"Huh?!"
"Kenapa? Keberatan
aku menganggapmu seperti itu?"
"Jika maksud anda
saya adalah aset berharga bagi Scarlet yang bisa mendatangkan banyak
keuntungan. Saya tidak keberatan. Bukankah saya memang seperti itu,"
"Hhmm, bagiku
bukan begitu definisi berharganya,"
"Lalu?"
"Ya, kau berharga
karena kau adalah Maya Kitajima,"
Mendengus kesal,
"Saya benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran anda,"
"Aku kan tidak
memaksamu untuk mengerti jalan pikiranku. Kau sendiri yang daritadi memaksakan
diri untuk mengerti dan sekarang kau pusing sendiri,"
Maya menggeleng,
menyerah.
"Bisa anda pulang
sekarang Tuan Christ. Maaf tidak sopan tapi saya lelah," kata Maya lirih.
Christ tertegun menatap
Maya, tahu bahwa gadis itu serius. Lagipula tujuannya juga sudah tercapai.
"Baiklah, aku
pulang. Maaf mengganggu. Sebenarnya tadi aku tidak mau mampir tapi karena aku
melihat ada pria datang keapartemenmu jadi aku terpaksa datang," Christ
beranjak seraya menjelaskan alasanya datang.
"Oh?! Berarti tadi
dia memata-matai apartemenku? Gila!"
"Anda lucu, Satomi
adalah temanku justru anda yang mengganggu saya," cibir Maya, tidak masuk
akal 'Dark Lord' itu mengkhawatirkannya, apalagi saat bersama Satomi.
"Ya, setidaknya pegang
ucapanku,aku tidak akan macam-macam padamu. Tapi pria itu, siapa yang tahu apa
yang ada di dalam otaknya? Meski dia adalah temanmu, tapi dia juga kan mantan
pacarmu. Aku hanya mau memastikan kau aman,"
"Saya aman! Dan
saya juga mampu menjaga diri saya sendiri! Saya sudah dewasa. Jadi tolong,
hargai privasi saya!" Maya meradang.
Christ tertawa,
"Ya, kau 'cukup' dewasa dimataku."
"Huh?!'
"Baiklah, ayo Ryan
kita pulang. Tujuanku sudah tercapai. Mantan pacarmu sudah pergi dan kau aman.
Aku akan menghubungimu lagi, pastikan handphone dan emailmu aktif ya,"
katanya.
Maya melotot,
"Darimana anda tahu nomor telepon dan alamat email saya?"
Tergelak, Christ
mengacak-acak poni Maya dengan jari panjangnya,
"Aku tahu semua
tentangmu gadis pemarah. Alamat aparteman, nomor telepon dan alamat emailmu
adalah hal kecil bagiku. Aku bahkan tahu ukuran sepatu, gaun dan...,"
Christ berhenti sesaat, menatap Maya lekat, tapi jelas dia menggoda,
"ukuran bra-mu," kata Christ sambil lalu.
Merah padam!
"CHRISTIAN ANDERSON !!!" Maya masih bisa mendengar Christ
terbahak-bahak dari balik pintu.
***
Maya merebahkan dirinya
di tempat tidur. Menarik selimut menutupi setengah tubuhnya. Bayangan Christ
yang terbahak-bahak dikepalanya tak juga hilang. Membuat level kekesalannya naik
ke tingkat yang paling tinggi.
"Ukuran bra-ku?
Apa-apan orang itu! Tidak tahu malu!! Bicara seperti itu pada seorang
wanita!" Maya masih bersungut-sungut.
"Kalau Masumi-ku
tahu, kau pasti tidak akan selamat Christ! Tidak peduli kau CEO atau
apapun!" Gerutunya lagi.
Memiringkan kepalanya
ke sisi tempat tidur dan senyum bahagia Masumi menyambutnya.
"Masumi...,"
gumamnya lirih, sambil mengelus wajah Masumi yang dibingkai figura. Dalam
sekejap kerinduan meredam kekesalannya.
Maya meraih
handphonenya di atas meja, dekat fotonya. Dengan cepat mengetik pesan.
Maya
Apa kau sibuk? Aku ingin melihatmu sebelum tidur. Merindukanmu.
Apa kau sibuk? Aku ingin melihatmu sebelum tidur. Merindukanmu.
Hanya beberapa detik
setelah pesan terkirim. Handphone Maya berdering. Lagu Love Me Like You Do
terdengar, lagu yang sama yang digunakan Masumi, juga digunakannya untuk nada
dering pribadi nomor Masumi di handphonenya. Keduanya sama-sama tidak tahu.
"Halo
sayang," senyum bahagia Masumi mengembang.
Maya tersenyum,
"Halo...hhmm, sebentar ya,"
Maya memiringkan
tubuhnya. Meletakkan handphonenya disisi bantalnya lalu menyangganya dengan
bantal yang lain. Berhasil. Handphonenya berdiri sempurna tanpa perlu
memegangnya. Maya tersenyum senang di atas bantalnya.
"Kau sepertinya
lelah sayang," kata Masumi melihat Maya berbaring setelah Maya selesai
dengan kesibukannya menyangga handphone.
"Tidak, hanya
malas duduk. Aku ingin berbaring dan lebih lagi aku mau kau berbaring
disana," Maya menunjuk pada handphonenya dengan senyum menggoda.
Masumi tergelak,
"Apa kau menyangga handphonemu dengan bantal sayang? Kenapa kau tidak
gunakan laptopmu?"
"Terlalu besar
disisi tempat tidurku,"
"Sepertinya kau
butuh sebuah tablet."
"Untuk apa?"
"Ya layarnya lebih
besar daripada handphone sayang, jadi kau bisa melihat wajah tampanku dengan
ukuran yang lebih besar juga,"
Maya terkikik,
"Ya, kau benar, kau hanya lima inchi disini, tidak tampan menurutku,"
"Begitukah?
Berarti kau harus segera membeli tablet. Aku tidak mau terlihat jelek di layar
handphonemu. Aku khawatir kau akan bosan melihat wajah jelek selama tiga tahun,"
Maya tertawa.
"Kontrakku baru ditanda tangani besok. Aku akan membelinya setelah
mendapat gaji pertamaku,"
Masumi terlihat tidak
senang, wajahnya langsung menegang, kaku.
"Kau bisa membeli
sepuluh tablet sekaligus kalau kau mau Sayang. Hanya mengingatkan kalau kau
lupa." Kata Masumi datar.
Maya menautkan kedua
alisnya, tapi kemudian sadar akan kesalahannya.
"Ah iya, buku
tabunganku!" Rutuknya dalam hati. "Dan dua kartu kredit
platinum! Aku lupa!" Dengusnya kesal pada dirinya sendiri.
"Kau tidak berniat
menggunakannya kan?" Tebak Masumi dan...tepat.
Maya meringis tanpa
merubah posisi kepalanya.
"Akan aku pikirkan
nanti," katanya.
"Kau hanya harus
membelinya, bukan memikirkannya. Itu uangmu Maya," kata Masumi marah.
"Dan dari 'sayang'
aku berubah menjadi 'Maya'. Masumi marah," keluhnya dalam hati.
"Iya, iya."
"Iya?"
"Iya aku akan
membelinya besok dengan uang itu. Tidak usah marah-marah,"
"Uang itu? Uangmu,
Maya," ralat Masumi.
"Uangmu,"
sanggah Maya.
Menghela napas sambil
menggeleng. Gadisnya kan memang keras kepala, "Uang kita," kata
Masumi menengahi.
"Ya
terserahlah," Maya mengibaskan tangannya di depan wajahnya.
"Kau benar akan
membelinya kan? Atau aku akan membelikannya untukmu. Tidak sulit bagiku, hanya
perlu mengangkat teleponku,"
Maya melotot,
sepertinya otot mata Maya bekerja lebih keras hari ini, "Iya aku akan
membelinya besok, dengan uangmu...uhmm, uang kita. Puas,"
Masumi tersenyum,
"Nah bagus. Aku senang mendengarnya sayang,"
"Nah, sudah
kembali jadi 'sayang'. Oh Tuhan, kenapa aku harus selalu berhadapan dengan pria
yang otoriter? Ya setidaknya yang satu ini mencintaiku,"
"Apa kau sedang
tidak sibuk?" Tanya Maya mengalihkan perhatian Masumi dari masalah
'uangku, uangmu dan uang kita'.
Mengusap dagunya sambil
tersenyum, "Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi yang jelas Mizuki
sedang melotot padaku dengan aura radiasi nuklir yang cukup menakutkan. Kau mau
lihat sayang?" Mata Masumi beralih darinya ke arah lain yang diduga Maya
tempat Mizuki berdiri melotot padanya.
Maya terbahak,
"Jadi ternyata aku mengganggu ya. MAAFKAN AKU NONA MIZUKI !! AKU TERLALU
RINDU PADA BOSMU !!" Teriak Maya, berharap Mizuki mendengarnya.
Maya mendengar gerutuan
tak jelas lalu Masumi terbahak.
"Apa yang
dikatakannya?" Tanya Maya.
"Kau pasti bisa
bayangkan sendiri sayang," Masumi masih tersenyum. Bahagia.
"Oh, Tuhan,
bahagianya aku melihatnya santai seperti ini,"
Tanpa sadar mata Maya
berkaca-kaca.
"Hei kenapa?"
Masumi langsung cemas saat melihat setetes air mengalir dari sudut mata Maya
melewati gunungan kecil dipangkal hidungnya dan bermuara dimatanya yang lain.
Maya mengusapnya dengan
telunjuknya, menggelang pelan.
"Aku suka
melihatmu tertawa bahagia seperti itu,"
Masumi tersenyum.
Tulus. "Karenamu,"
Senyum Masumi menular
di wajah Maya.
"Ngg, ini akan
terdengar sedikit berlebihan, tapi bisakah kau tidak usah mematikan video
callnya? Hanya sampai aku tertidur. Kau bisa melanjutkan kerjamu dan
mematikannya saat aku sudah tidur. Setidaknya dengan begitu aku merasa kau ada
disini bersamaku, menemaniku."
"Tidak berlebihan
sayang, aku bahkan akan langsung terbang ke tempatmu jika saat ini kau
memintanya...," mata Masumi langsung beralih ke tempat lain. Maya menduga
itu interupsi Mizuki atas pernyataan konyol Masumi, karena Maya juga mendengar
gerutuan yang tak jelas.
Maya terkikik,
"Nona Mizuki pasti sangat kesal,"
"Biarkan saja,
biasanya juga dia menikmati menyikasaku,"
Terdengar gerutuan lagi
tapi Masumi masih memandangnya, berusaha menahan senyumnya mengembang.
Maya menguap, menutup
mulutnya dengan telapak tangannya. Sudah pukul dua belas malam. Matanya sudah
terlihat merah karena menahan kantuk.
"Tidurlah sayang,
sudah tengah malam kan? Kau pasti lelah." Kata Masumi lembut.
"Iya, kau akan
menemaniku?" Maya mengedipkan matanya beberapa kali untuk menahan matanya tetap
terbuka.
"Iya, aku akan
menemanimu,"
Maya memaksa tersenyum,
matanya hampir terpejam, "Aku rindu...aku mencintaimu
sayang...Masumi...ku,"
Senyum Masumi
mengembang tapi Maya sudah tidak melihatnya lagi. Gadisnya sudah terlelap.
Masumi tahu Maya sangat mudah tertidur dan sangat sulit untuk bangun. Dalam
beberapa hal itu membuatnya senang, setidaknya Maya tidak harus mengalami
insomnia seperti dirinya saat kerinduannya akan Maya datang melanda.
Masumi memandang sayang
pada wajah damai Maya di layar tabletnya. Dia masih enggan untuk mematikan
video callnya. Tidak akan pernah bosan memandang kekasih hatinya itu.
"Aku juga
merindukanmu sayang, mencintaimu, Maya-ku,"
***
Tokyo, kamar royal
suite di sebuah hotel bintang lima.
Sebuah taboid lokal New
York tergeletak di meja.
Cleopatra, Bintang Baru
Teater Scarlet, Sukseskan Malam Amal ACA Group.
"Apa perintah anda
Nona?" Seorang pria mengenakan setelan gelap duduk dengan tenang
berhadapan dengan seorang wanita cantik.
"Tenang saja
James, aku punya rencana. Kita harus hati-hati. Aku tidak mau Masumi curiga
padaku dan dia terlalu pintar untuk bisa dibohongi," wanita itu
menggosok-gosok cemas pada jari manisnya, tempat dulu terpasang cincin batu
sapirnya yang sekarang hanya menyisakan gurat halus putih.
"Baik, saya akan
menunggu perintah Nona,"
"Tapi aku senang,
kerjamu bagus James."
"Terima kasih
Nona,"
Wanita itu berdiri,
berjalan ke arah jendela. Menatap kilauan lampu kota. Meski terlihat tenang
tapi dalam hatinya ada badai besar yang melanda. Menghancurkan semua sisi
kelembutan dalam jiwanya. Perlahan tapi pasti yang tersisa hanyalah puing-puing
kekecewaan. Hatinya sudah runtuh. Harapannya pun sudah pupus. Tapi dia tidak
akan menyerah. Bukan untuk bangkit dari keterpurukannya tapi untuk membalaskan
sakit hatinya. Membuat semua orang yang menghancurkannya merasakan apa yang dia
rasakan.
Kau
bilang kita berbeda karena aku melihat indahnya gemerlap lampu kota sedangkan
kau melihat indahnya bintang di langit. Tapi bukankah bintang itu terlalu jauh
bagimu Masumi. Aku ingin lihat bagaimana jika bintangmu itu tak lagi bersinar.
Apa yang akan kau lihat?
Sekali lagi menggosok
jari manisnya, rasanya gurat putih bekas cincin yang terlalu ketat itu juga
meninggalkan rasa sakit yang dalam.
Akhirnya
aku menemukanmu...Maya Kitajima...
***
>>Bersambung<<
Follow me on
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina
10 Comments
Waduh.... shiomay mulai beraksi
ReplyDeletedaya khayal tingkat tinggi!! salut!! ga sabar nunggu kelanjutannya!!
ReplyDeleteKeren mba agnes...makin penasaran lanjutannya...
ReplyDeleteKereeeen abisssd....lanjut mba
ReplyDeleteLanjuuuut....
ReplyDeleteKeren..!!! lanjut mba agnes😍
ReplyDeleteSukaaa bgt...^^
ReplyDeleteSuka bangeedddzzz..... sekali nemu lgsg baca sampe ga tidur"..... mohon jgn di gantung ya sist ceritanya, coz byk jg yg bikin fanfic tp ga ditamatin....
ReplyDeleteAq lgsg klepek klepek inu baca nya..... semangaaaatttt.... ditunggu update nya sista.... ^_^
Suara Maya memecah keheningan diruang rapat dan neraka langsung berubah menjadi surga. Mizuki menutup mata dengan tangannya dan menggeleng tidak percaya saat wajah garang Masumi langsung berubah menjadi malaikat.
ReplyDeleteNgakak bgt pas bagian ini... Demon becomes angel??? 😂😂😂
Keren bgt, salut!
ReplyDelete