Keenam belas : Cleopatra 2

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalannya. 

*********************************************************************************




Maya berdiri didekat set wing, topeng Cleopatranya sudah terpasang sempurna. Tidak ada satu orangpun diruangan itu yang percaya bahwa Maya akan sanggup memerankan Cleopatra. Bahkan Clara dan Christ terlihat gelisah.

Kehadiran Christ dibelakang panggung juga menimbulkan tanda tanya besar bagi semua pemain dan staf teater. 'Dark Lord' belum pernah sekalipun menonton pertunjukan Scarlet.

"Nyonya, Tuan Michael meminta anda segera ke kursi penonton," kata Kate.

Clara masih terlihat gelisah.

"Christ...," gumam Clara bingung.

"Tidak ada gunanya Mama bingung sekarang, percayakan saja padanya," perkataan Christ memang terdengar menenangkan tapi ekspresi wajahnya sama cemasnya dengan Clara.

"Kate, antar mama ke tempat duduknya. Para tamu pasti bertanya-tanya kalau Mama tidak ada disana,"

"Baik Tuan, mari Nyonya,"

"Tunggu Kate, kau bagaimana?" Tanya Clara pada Christ.

Christ menyeringai, "Aku kan tidak punya tiket duduk di depan, aku akan menunggu disini bersama Ryan,"

Ryan yang sudah seperti bayangan Christ, berdiri tidak jauh darinya. 

Clara menghela napas, sejenak menatap Maya yang sudah tidak bergeming di tempatnya dan tanpa kata dia berjalan bersama Kate menuju kursinya. Clara memaksakan diri tersenyum dan menyapa beberapa tamu sebelum duduk disebelah suaminya.

"Kau kenapa sayang?" Tanya Michael saat melihat Clara datang dengan wajah cemas.

Clara berbisik pada suaminya dan wajah Michael tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Belum sempat berkomentar lampu penonton padam dan tirai panggung terbuka.

Dibelakang panggung...

"Aku Cleopatra." Maya melangkahkan kakinya memasuki panggung.

***
Dunia panggung adalah milik Maya. Kecantikan Cleopatra, kenggunannya, perasaannya, semuanya di tampilkan Maya dengan sempurna. Tidak ada yang merasa menonton sebuah drama. Semuanya terhanyut dan menjadi bagian dari kehidupan Cleopatra. Di satu adegan penonton takluk oleh kuasa Cleopatra sebagai ratu, di adegan lain penonton terharu oleh cinta kasih Cleopatra dan disisi lain lagi penonton menangis karena dilema hati Cleopatra.

Tiga jam pertunjukan, tidak ada seorangpun yang luput dari pesona Cleopatra. Bahkan saat tirai tertutup pesonanya masih menyisakan kekaguman yang dalam di hati para penonton.

Curtain call, Maya melangkah maju kedepan dan standing ovation langsung membahana di seluruh ruangan. Senyum Cleopatra masih menghipnotis penonton. Tanpa sadar Clara meneteskan air mata, seakan tak percaya dirinya baru saja menyaksikan sebuah drama yang di perankan aktris hanya dengan sekali membaca naskah. Rasanya standing ovation pun tidak akan cukup sebagai penghormatan.

Tirai kembali tertutup dan Clara menerima banyak pujian atas suksesnya pementasan. Pertunjukan amal tersebut berhasil mengumpulkan dolar dalam jumlah yang fantastis.

Sementara itu di belakang panggung, tepuk tangan juga membahana untuk Maya. Ucapan selamat dan kekaguman datang silih berganti dari setiap pemain. Bermain bersama Maya membuat akting terasa lebih hidup. Sekarang, tidak ada satu orangpun yang berani meragukan kemampuan Maya.

Christ masih tidak bergeming dari tempatnya. Hatinya bergolak, Pertama kali melihat akting Maya secara langsung membuatnya semakin tidak ingin melepaskan Maya. Setelah sepuluh tahun dia tidak pernah menonton drama, hari ini dia kembali jatuh cinta dengan gemerlap dunia panggung.

"Angel...aku akan memilikimu," gumamnya. 

Tanpa sadar kakinya melangkah, membuat beberapa orang menyingkir perlahan untuk memberinya jalan. Dan langkahnya terhenti tepat di depan Maya.

Tertegun, Maya menatap bingung pada 'Dark Lord' tampan yang memandangnya tanpa ekspresi.

"Akting yang luar biasa dan pertunjukan yang mempesona. Aku tidak sabar untuk melihat pertunjukanmu yang lain,"

"Ng...te..terima kasih," jawab Maya yang tergagap karena terlalu senang. Dia tidak menyangka akan mendapat sambutan sebaik itu.

"Cepat ganti bajumu, aku akan mengantarmu pulang," kata Christ tiba-tiba.

"Hah?!" Mata Maya sampai membulat saat mendengarnya.

Belum sempat Maya menjawab Christ sudah berbalik meninggalkannya. Maya berjalan ke ruang gantinya dengan bingung. Dalam hati Maya mendengus kesal dengan sikap Christ yang menurutnya mengintimidasi.

Di ruang ganti pribadinya, Maya tertegun menatap cermin. Melihat dirinya sendiri dengan balutan kostum Cleopatra. Sikap Christ mengingatkan Maya pada Masumi.

"Hhhmmm, Masumi...aku jadi Cleopatra hari ini. Andai kau ada disini...aku rindu...," Maya bicara pada bayangannya sendiri di cermin.

Diapun duduk di meja rias, menopang dagu dengan kedua tangannya. Keningnya berkerut, otaknya sedang memikirkan sesuatu.

"Kira-kira kau sedang apa ya? Aku mengganggu tidak?" Maya masih menggumam tidak jelas.
Tangannya memainkan handphone di atas meja.

Tiba-tiba Maya cemberut, "Aku kan kekasihnya, kenapa harus takut?" dan dengan cepat tangannya menekan tombol panggil.

***
Sementara itu di kantor Daito....

"Kenapa konsernya bisa sampai gagal? Apa kerja kalian? Aku tidak mau tahu alasannya! Sabotase atau apapun! Seseorang harus mempertanggung jawabkan kegagalan ini! Kalau tidak ada juga yang mau bicara kalian semua akan ku pecat!" Masumi naik pitam diruang rapat. 

Berdiri di ujung meja dan mengintimidasi semua staf dengan auranya, semua berkerut di bawah tatapan mata gelap Masumi kecuali satu orang, Mizuki. Sekretaris andalan Masumi itu tetap duduk dengan tenang dikursinya, melihat bosnya beraksi.

"Ma...maaf Tuan...ka...,"

Braakk!!! Semuanya berjenggit takut,

"Maaf?! Kau bilang maaf? Kau pikir kerugian Daito bisa dibayar dengan maaf!!" Hardiknya.
Tidak ada lagi yang buka mulut. Suasananya sudah cukup mematikan. Handphone Masumi berdering.

(You're the light, you're the night
You're the color of my blood
You're the cure, you're the pain)

Suara Maya memecah keheningan diruang rapat dan neraka langsung berubah menjadi surga. Mizuki menutup mata dengan tangannya dan menggeleng tidak percaya saat wajah garang Masumi langsung berubah menjadi malaikat.

Tidak mempedulikan belasan mata yang memandangnya dengan mulut ternganga, Masumi segera keluar ruangan membawa handphonenya. Lagu yang pernah dinyanyikan kekasihnya itu digunakan Masumi sebagai nada dering pribadi untuk Maya. Dan saat mendengar suara Maya, dunianya langsung teralihkan. Maya lebih penting dari segalanya. Masumi menjawab video call Maya di ruang lain.

"Halo sayang," sapanya lembut, tidak akan ada yang percaya kalau dia adalah direktur Daito yang baru saja mengamuk di ruang rapat.

Maya melambaikan tangan dan senyum lebar menghiasi wajahnya. "Halo sayang,"

Masumi mengernyit saat menyadari tampilan kekasihnya di layar handphone.

"Aku baru baru saja memerankan Cleopatra. Cantik tidak?" Tanyanya polos dengan nada girangnya yang khas.

"Hhmm, cantik tidak ya?" Masumi mengusap dagunya, seolah ragu.

"Masumi!!!" Maya merajuk, wajah cemberutnya tampak lucu dilayar handphone.

"Nah, sekarang baru cantik," goda Masumi.

Maya menjulurkan lidahnya, masumi terbahak.

"Ku matikan teleponnya!" Pekik Maya dan Masumi langsung berhenti tertawa.

"Eh?! Tunggu dulu! Kau cantik sayang, sangat cantik. Cleopatra tercantik yang pernah ku lihat," Masumi segera memuji kekasihnya yang merajuk.

"Memangnya berapa Cleopatra yang pernah kau lihat?" Kata Maya.

Masumi menahan tawanya, "Nah, aku salah bicara, gawat."

"Bukankah kita pernah pernah menonton Cleopatra di apartemenmu?"

"Kau kan menontonku, bukan menonton Cleopatra," Maya mengingatkan kekonyolan Masumi waktu itu.

"Apa dia menelepon hanya untuk merajuk?" Masumi bingung di dalam hatinya.

"Ah iya ya. Pokoknya kau yang tercantik sayang, dibanding apapun itu. Kau yang paling cantik," Masumi tidak tahu harus bicara apa lagi. Jika Maya didepannya akan lebih mudah meredakan kemarahannya dengan bibirnya tapi sekarang mana mungkin dia mau mencium layar handphonenya. Batinnya tertawa sendiri.

"Kau tidak bohong kan?"

Masumi tersenyum, "Tidak sayang, kau tahu aku tidak bohong,"

Maya menatap sendu, "Aku rindu...," katanya manja.

"Oh, ini sebabnya dia merajuk." Batin Masumi lega.

"Aku juga sayang, sangat merindukanmu,"

"Benarkah?!"

"Kau mau aku kesana sekarang untuk membuktikannya?" Tantang Masumi.

Maya gelagapan, "Ah tidak, tidak, jangan bodoh! Aku hanya terlalu merindukanmu, jadi kesal sendiri jadinya. Aku percaya, aku percaya."

Masumi terbahak. Ekspresi Maya melembut mendengar tawa Masumi dan itu kesempatan Masumi untuk mengalihkan perhatian Maya.

"Kau tidak bilang akan bermain drama? Bukankah kontrakmu belum ditanda tangani?" Tanya Masumi.

Dan berhasil, "Ah iya, aku mau cerita itu...." Maya seolah diingatkan tentang tujuan awalnya menghubungi Masumi.

"Tadi aku sedang membahas kontrak dan  tiba-tiba pemeran Cleopatra tidak datang, padahal pementasan tinggal tiga jam lagi. Aku menawarkan diri untuk menggantikannya, beruntung aku sudah pernah menonton rekaman dramanya jadi aku sudah hapal semua dialognya." Kata Maya senang.

Dalam pikiran Masumi sudah dapat membayangkan bagaimana hebohnya suasana teater Scarlet yang kehilangan pemeran utama dan kekasihnya menjadi dewi penyelamat.

"Pementasannya pasti sukses besar," tebak Masumi dan Maya merona yang otomatis menjawab tebakan Masumi.

"Semuanya lancar dan sambutannya bagus sekali," Maya merendah.

"Mereka pasti lupa tepuk tangan saat tirai ditutup,"

"Uhhmm," Maya terkikik.

"Sayang aku tidak bisa menontonnya," Nada kecewa Masumi mambuat Maya tertegun.

"Nah kau lihat sekarang ya," kata Maya tiba-tiba.

Masumi tersenyum saat menyadari apa yang akan dilakukan kekasihnya. Maya menutup matanya sejenak lalu saat membuka mata Masumi melihat Cleopatra.

Maya mengucapkan dialog pada saat adegan percintaan Cleopatra dan Antony. Dalam sekejap Masumi terhipnotis. Lima menit, hanya lima menit tapi itu sanggup membawa Masumi masuk kedunia lain. Dunia cinta Cleopatra.

Masumi tersenyum puas saat Maya kembali menjadi dirinya.

"Selamanya aku tidak akan bosan melihatmu berakting sayang," puji Masumi dan Maya tersipu.

"Terima kasih," gumamnya.

Tok ! Tok ! Tok !

"Anda masih di bumi Tuan Masumi?"

Suara Mizuki mengakhiri kesenangan Masumi.

"Ada apa?" Tanya Maya melihat perubahan ekspresi kekasihnya.

Menghela napas, "Maaf sayang, sebenarnya aku tidak keberatan untuk menghabiskan waktu mengobrol denganmu tapi sayangnya saat ini masih ada rapat yang harus ku selesaikan. Jadi...,"

"Oh?! Kau sedang rapat ya?! Jadi aku mengganggumu?! Maafkan aku! Kalau begitu cepat kembali!! Aku benar-benar minta maaf, aku tidak..." Maya panik.

"Sssttt, tenang. Aku tidak keberatan sayang. Kau bisa meneleponku kapan saja, semaumu. Terima kasih sudah menghubungiku, Cleopatra-mu luar biasa." Puji Masumi dan wajah Maya kembali merona senang.

Tok !! Tok !! Tok !!

"Tuan Masumi !!" Mizuki kembali mengusiknya.

"Kau akan kupecat jika tidak berhenti mengetuk Mizuki!!" ancam Masumi, 

Maya melotot mendengarnya.

"Saya akan mengundurkan diri sekarang juga jika anda tidak segera kembali ke ruang rapat!!" Mizuki balas mengancam bosnya yang sedang hilang akal.

"Cepatlah kembali ke ruang rapat!" kata Maya.

"Tenang saja sayang, aku bosnya,"

Maya tergelak, "Maaf sudah mengganggumu,"

"Tidak ada yang merasa terganggu,"

"Cepat pergi sana, aku mencintaimu,"

Cup ! 

Maya menempelkan bibirnya kelayar handphone, meninggalkan bayangan merah dilayar. Dan kekonyolan Maya langsung menular saat Masumi juga mencium layar handphonenya.

"Aku juga mencintaimu," gumamnya, sebelum akhirnya telepon mati.

Masumi merasakan wajahnya memanas, beberapa detik kemudian dia terbahak. Menertawakan kekonyolannya sendiri.

Tok !! Tok !! Tok !!

Pintu terbuka dan wajah musim dingin Mizuki telah berubah menjadi musim panas. Masumi hanya menatapnya sesaat dan langsung berlalu dari hadapannya, mengabaikan radiasi nuklir yang dipancarkan Mizuki.

Kasak kusuk langsung berhenti saat Masumi masuk ke ruang rapat. Beberapa staf berusaha setengah mati menahan seringainya tidak melebar saat teringat bagaimana Masumi meninggalkan ruang rapat karena sebuah panggilan dengan lagu cinta. Tapi salah jika para staf mengharapkan Masumi bersikap lunak setelah kejadian memalukan itu karena justru topeng es Masumi semakin tebal.

Berdiri di ujung meja rapat dengan tangan terlipat didada, belasan mata memandangnya dengan beragam ekspresi.

"Maaf untuk sedikit gangguannya," masih gentlemen dengan meminta maaf. Tapi kesopanannya hanya sesaat, mata gelap Masumi menyapu ketenangan didalam ruangan.

"Sekarang katakan, siapa yang mau ku pecat hari ini,"

Damai, semuanya satu ekspresi. Pucat.

***
"Oh Maya...kau mengagumkan," Clara mencium kedua pipi Maya dan memeluknya dengan erat. Saat pelukannya terlepas Michael memberikan sebuah buket bunga mawar merah. Maya menerimanya dengan ragu.

"Ini suamiku Maya, Michael. Michael ini Maya Kitajima," Clara merespon keraguan Maya.

"Oh, senang bertemu dengan anda Tuan Anderson," Maya mengulurkan tangannya yang langsung disambut hangat oleh Michael.

"Aku masih ingat bagaimana luar biasanya dirimu memerankan Jane dan sekarang aku kembali dibuat terpesona oleh Cleopatra. Kau harus memasukkan namaku di daftar pengagummu Nona Kitajima," puji Michael.

Maya merona, "Terima kasih Tuan Anderson. Saya rasa pujian anda berlebihan, saya tidak memiliki daftar penggagum,"

"Selama ini pengagum setiaku kan hanya satu," kata Maya dalam hati dan melirik buket mawar merah dalam pelukannya, berharap itu berubah warna menjadi ungu.

"Kau akan segera memilikinya Maya," Clara menginterupsi lamunan Maya.

"Maaf?" Maya gagal memahami maksud Clara.

"Daftar pengagum, fans mu," Clara menegaskan dengan senyuman lebar.

"Dan itu pasti akan menjadi daftar yang sangat panjang," gurau Michael.

Maya tersenyum malu menanggapinya.

"Aku benar-benar berterima kasih Maya. Kau menyelamatkan kehormatan teaterku malam ini,"

"Tidak Nyonya, saya sangat senang melakukannya. Bahagia rasanya bisa memerankan Cleopatra di atas panggung. Itu juga pengalaman berharga bagi saya. Terima kasih atas kepercayaan yang anda berikan pada saya,"

Clara tersenyum senang dan sekali lagi memeluk Maya, hangat.

"Kalau sudah selesai basa-basinya, aku akan mengantar Nona Kitajima pulang sekarang," tiba-tiba Christ juga sudah berada di ruang ganti Maya.

"Kau tidak sopan Christ," protes Clara pada putranya.

"Memang kapan kau melihat Christ sopan sayang? Seingatku tidak pernah," kata Michael.

Christ tertawa, "Terima kasih Pa,"

"Saya bisa pulang sendiri Tuan Christ," Maya menyela tawa Christian.

"Ini yang ketiga kalinya aku katakan Nona Kitajima, panggil saja aku Christ dan jangan buat aku mengatakan untuk yang keempat kalinya. Kesabaranku sangat terbatas Nona Kitajima,"

Maya langsung berkerut saat mendengar perkataan Christ.

"Kalau...begitu, panggil saja saya Maya. Saya lebih suka dipanggil seperti itu," Maya mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk bicara pada Christ.

"Ah, lebih bagus kalau begitu. Ma-ya. Lebih mudah diucapkan daripada Ki-ta-ji-ma." Christ mengeja setiap nama Maya.

"Itu kan nama keluarga saya, anda tidak boleh mengejeknya." Dengus Maya kesal.

"Aku tidak mengejek Maya, hanya memang lidahku sedikit sulit mengejanya. Mungkin sebaiknya kau harus mengganti nama itu," Christ mengerling nakal pada Maya.

Clara melotot, sadar sepenuhnya maksud ucapan putranya itu dan Michael hanya tersenyum simpul menanggapinya. Namun Maya mengabaikan kerlingan nakal Christ, dia justru memiliki pikiran lain dalam otaknya saat mendengar ide mengganti nama itu.

"Hayami? Maya Hayami," 

Maya langsung menunduk, pura-pura mencium buket bunganya saat merasakan wajahnya memanas, malu jika sampai dilihat keluarga Anderson. Berdoa dalam hati wajahnya tidak semerah buket bunganya.

"Hei Nona!" panggil Christ, 'Dark Lord' tidak suka diabaikan meski dia sendiri sering mengabaikan orang lain.

"Ya?" Maya mengangkat wajahnya saat yakin ekspresi konyolnya sudah hilang.

"Mau pulang sekarang?" Lebih terdengar paksaan daripada ajakan.

"Tapi saya...,"

Christ berjalan mendekat, kesabarannya yang hanya sedikit sudah hampir mendekati limitnya. Langkah kakinya berhenti dan menyisakan jarak dua jengkal dari wajah Maya yang menatapnya bingung, 

"Kau.Pulang.Bersamaku.Sekarang." Mata Christ mendesak Maya untuk menjawab ya.

"Christ!!! Kau akan mati jika Masumi-ku tahu hal ini," teriak Maya dalam hati.

Michael tertawa, tidak tega juga melihat putranya memaksa Maya.

"Kau boleh menolaknya Maya. Tapi ku sarankan kau memang lebih baik diantar karena ini sudah larut malam. Terlalu berbahaya jika kau pulang sendiri. Hujan saljunya juga cukup lebat," Michael mencoba menengahi.

"Jangan memaksanya Christ. Aku akan minta supir untuk mengantarnya pulang," kata Clara.

Maya masih mematung di tempatnya dan mata Christ juga masih mengunci tatapan matanya.

Mendesah kesal, Christ meraih pergelangan tangan Maya dan mencengkramnya kuat. 

"Kyaa!!" Pekik Maya terkejut.

"Selamat malam semuanya, sampai jumpa besok," kata Christ seolah-olah mewakili perkataan Maya, sambil menyeret gadis itu keluar ruang ganti dan mengabaikan omelan Clara. Michael terbahak.

Maya menarik tangannya tapi gagal.

"Aku akan menurut saja jika jadi kau," kata Christ tanpa menatap Maya dan masih terus menyeretnya keluar.

Maya menahan dirinya untuk tidak memaki Christ. Selain karena dia adalah putra dari pemilik teater tempatnya bekerja nanti, juga karena dia malu karena puluhan orang menatapnya sekarang.

'Cleopatra diculik oleh Dark Lord', mungkin akan menjadi drama yang bagus jika dimainkan dipanggung tapi tidak di kehidupan nyata.

Menyerah, karena pergelangan tangannya justru semakin sakit saat dirinya memaksa untuk lepas. Akhirnya Maya menurut saja dan membiarkan Christ untuk mengantarnya pulang, lebih tepatnya menyeretnya pulang.

Ryan sudah menunggu dilobi dan langsung berjalan menuju mobil saat melihat Christ dan Maya datang. Dengan cepat membuka pintu mobil dan menahannya tetap terbuka.

"Masuklah, Cleopatra," kata Christ, jauh dari kesan sopan apalagi lembut.

"Apa begini cara memperlakukan seorang wanita? Bahkan 'kecoa tampanku' bisa bersikap lembut meski sedang memakai topengnya." Gerutu Maya yang menahan kesal dalam hati, tapi dengan cepat kembali mendengus dengan kekesalan yang semakin berlipat ganda karena menyadari pemikirannya salah.

"'Kecoa menyebalkan' itu kan juga pernah membuatku menjadi serigala di tengah pesta," Maya menurunkan standar tampan menjadi menyebalkan untuk predikat kecoanya karena kesal.

"Kenapa semua pria tampan dan kaya itu selalu menyebalkan dan semena-mena!" Teriak Maya dalam hati.

"Apa kau juga sedang berakting sekarang?" Wajah Christ yang begitu dekat dengan wajah Maya menyadarkan Maya akan keberadaan 'Dark Lord' sekaligus mengejutkannya. Mobil sudah melaju sementara otaknya meracau tadi.

"A...a...apa maksud anda?" Maya memalingkan wajahnya dan melihat keluar jendela. Membuat jarak wajah mereka lebih jauh.

"Dari ekspresi wajahmu aku tahu kau sedang marah. Apa kau sedang mengomel sendiri di dalam hati? Kenapa tidak dikeluarkan saja? Bukankah sesak rasanya jika kau menahannya seperti itu?" Christ menarik tubuhnya menjauh dari Maya dan bersandar santai di jok belakang.

Maya menoleh, kalimat Christ terdengar aneh tapi justru Maya merasa itu kalimat terlembut yang pernah keluar dari bibir 'Dark Lord'. Bahkan dibanding saat dia mengucapkan selamat atas pertunjukannya tadi, kali ini terdengar lebih tulus.

Meski begitu, ujung-ujungnya Maya kembali menggerutu dalam hati.

"Dan kau juga lebih senang mendengarku berteriak? Oh, apa aku tidak bisa bertemu dengan pria yang lebih normal?"

"Kau bisa meledak kalau tidak berhenti mengomel dalam hatimu," celetuk Christ seolah bisa membaca apa yang dipikirkan Maya sekarang. Tapi memang itu tidak sulit melihat ekspresi wajah Maya yang sudah kusut dan merah padam karena menahan emosinya yang meluap-luap.

"Itu kan bukan urusan anda!" Maya memalingkan wajahnya sekali lagi.

"Akhirnya, keluar juga suaranya," Christ justru terkikik melihatnya.

"Oh, bagus. Aku menghibur, huh?!"

"Maya...Maya...sepertinya kau gadis yang menyenangkan."

"Anda berbaik hati mengantar saya pulang hanya untuk mengganggu saya. Apa anda tidak ada pekerjaan lain yang lebih penting? Bukankah seharusnya anda orang yang yang sibuk?" Kata Maya tanpa melihat ke arah Christ.

Christ tertawa, "Aku bosnya Maya, untuk apa aku punya anak buah kalau aku masih melakukan semua pekerjaan sendiri."

Maya menoleh, kekesalannya sedikit menguap, "Apakah bisa seperti itu?"

"Apa?" Christ heran, sejak tadi baru sekarang Maya benar-benar merespon ucapannya.

"Itu yang anda katakan. Bisakah menjalankan bisnis anda hanya dengan menyerahkannya pada anak buah anda? Tidak harus sibuk setiap saat? Menghabiskan banyak waktu dikantor?"

Kening Christ semakin berkerut, "Kau cerewet untuk hal yang aneh Maya."

Maya cemberut dan Christ mengalah, entah kenapa dia bisa mengalah pada wajah cemberut itu.

"Baiklah aku jawab." Kata Christ cepat sebelum Maya kembali membuang wajahnya.

"Semua itu bicara tentang sistem Maya. Tentang siapa melakukan apa. Kau hanya perlu meletakkan orang yang tepat ditempat yang semestinya dan semuanya akan berjalan sesuai dengan aturanya. Kau hanya tinggal mengawasi prosesnya. Turun tangan langsung untuk beberapa hal yang memang seharusnya. Dengan begitu kau tidak akan menghabiskan banyak energi untuk bekerja. Tidak selamanya membangun kerajaan bisnis dengan menjadi workaholic Maya."

Dan Maya seperti mendapat pencerahan, wajahnya berbinar senang.

"Melihat ekspresimu...aku semakin yakin kau gadis yang aneh. Kau tertarik pada hal yang menurutku tidak menarik,"

"Ng, terima kasih untuk penjelasannya. Anda memberikan saya sebuah pemikiran baru," kata Maya mengabaikan pendapat Christ tentangnya.

"Pemikiran baru?"

"Iya, tentang bagaimana kita mengatur sesuatu dan menjalankannya sesuai dengan keinginan kita,"

"Bisakah kita membicarakan hal lain? Aku tidak begitu tertarik dengan topik ini." Kata Christ terus terang.

Maya mendesah pelan, "Terserah anda,"

"Maya,"

"Ya?"

"Kenapa sejak tadi aku tidak mendengar kau memanggil namaku?"

"Eh?! Itu...anu...,"

Maya salah tingkah.

"Kau masih sungkan padaku?" Tebaknya.

Sedikit melirik, Maya mengangguk pelan.

Christ tertawa dan kegilaannya kembali. Christ meraih bahu Maya dan merapatkan tubuh Maya padanya. Membuat tubuh Maya terhempas ke dadanya.

"Kyaa!!" Jerit Maya yang dengan reflek cepatnya langsung mendorong dada Christ dengan keras membuat dirinya sendiri terdorong kebelakang dan kepalanya hampir membentur kaca jendela.

"Aduh!!" Keluh Christ, ternyata justru kepalanya yang terbentur kaca jendela. 

Ryan tersenyum geli melihat tingkah bosnya, dia sudah sangat terbiasa melihat kegilaan seorang Christian Anderson.

"Kau kasar sekali Maya, sebagai wanita seharusnya kau lebih lembut," protes Christ seraya mengusap-usap kepalanya yang terbentur.

"Lembut apanya?!" Akhirnya Maya meledak juga, 

"Anda pikir apa yang anda lakukan? Jangan harap anda bisa memeluk saya hanya karena anda pria tampan yang punya segalanya! Bagi saya anda menyebalkan! Sangat menyebalkan! Lebih menyebalkan dari kecoa!! Anda...," Maya berhenti, seperti berpikir, menimbang, memilah, "Anda adalah raja kecoa yang paling menyebalkan!!" Teriaknya lagi.

Jelas otaknya gagal menemukan istilah lain, hanya bayangan kecoa besar memakai mahkota yang terlintas di pikirannya. Masuminya sudah menjadi kecoa kecil penurut yang sekarang duduk diatas ayunan. Tampaknya dunia imajinasi Maya memang tak terbatas meski akhirnya gagal mengungkapnya dengan kata-kata.

Christ terbahak, benar-benar terbahak sedangkan Ryan tersenyum dibalik kemudinya.

"Kau dengar Ryan? Dia bilang aku 'raja kecoa'," reaksi Christ diluar perkiraan Maya.

"Terima kasih untuk pujiannya Maya," tambahnya.

"Saya kan tidak sedang memuji anda," gerutu Maya yang kemudian menghempaskan dirinya ke jok. Melipat tangannya ketat didepan dada.

"Maya, aku tidak akan pernah bosan bersamamu,"

Maya menggerutu tak jelas sambil melihat keluar jendela. Dan mobilpun berhenti.

"Sudah sampai Nona Kitajima," akhirnya, setelah perjalanan singkat yang menyebalkan Maya mendengar suara Ryan. Menyadarkannya bahwa ternyata dirinya tidak hanya berdua di dalam mobil.

"Terima kasih," ucap Maya pada orang yang dianggapnya paling waras dan paling normal yang ada di dalam mobil itu.

"Kau tidak berterima kasih padaku Maya? Ini mobilku bukan mobil Ryan,"

"Huh?!" Maya menahan amarahnya, "Terima kasih," kata Maya dengan kesopanan yang diusahakannya dengan teramat sangat.

"Masuklah, sudah malam. Apa perlu aku antar?" Christ kembali menggoda Maya.

"Tidak perlu," jawab Maya cepat. Bersiap turun tapi tangannya tiba-tiba berhenti saat akan membuka handle pintu. Otaknya menyadari sesuatu.

"Ada apa?" Tanya Christ heran melihat Maya terdiam, Ryan mengamati hal yang sama dari kaca spion tengahnya.

"Uhm, seingat saya...," Maya menoleh pada Christ, menatapnya dengan penuh selidik, menuduh. "Sejak tadi saya tidak menyebutkan alamat dimana saya tinggal. Bagaimana anda tahu saya tinggal disini?"

"Nah, ketahuan," Christ terbahak lagi.

"Anda memata-matai saya?" Tidak akan terkejut kalau Christ menjawab iya karena bukan pertama kalinya Maya bertemu orang gila sepertinya.

"Apa kau akan marah kalau aku jawab iya?" Christ menyeringai tipis, tapi kali ini bersikap lebih hati-hati mengukur reaksi Maya.

"Penguntit," dengus Maya kesal.

"Terima kasih," jawab Christ senang, lega dengan reaksi Maya yang jauh dari bayangannya.

Dengan cepat Maya turun dari mobil dan mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum akhirnya menutup pintu lalu berbalik dan berjalan masuk ke apartemennya dengan lega karena akhirnya terbebas dari Christ.

Sedangkan pihak yang bersangkutan masih tidak berhenti mengamati sampai Maya benar-benar menghilang dari pandangan. Terkikik geli mengingat kebersamaan yang singkat diantara mereka.
"Gadis yang menyenangkan, ya kan Ryan?"

"Benar Tuan,"

Menggeliat panjang di joknya, Christ tersenyum puas, "Aku tidak sabar untuk memilikinya,"

Ryan hanya hanya tersenyum menanggapi perkataan bosnya.

***
New York bernuansa putih pagi ini karena kota mulai diselimuti salju. Maya menggeliat di tempat tidurnya, membuat selimutnya tersingkap dan otomatis bergidik saat suhu ruangan menyentuh kulit yang sejak semalam hangat dan nyaman tertutup selimut tebal. Meski begitu pagi ini dia merasa segar setelah tidur nyenyak semalaman. Kejadian menyebalkan dengan Christ sudah terlupakan.

Senyum Maya mengembang, matanya menangkap objek indah yang terletak di atas meja di samping tempat tidurnya. Foto dirinya dan Masumi saat mereka ada di Izu. Masumi memeluk Maya dengan mesra dan mengambil foto yang hanya berjarak sejangkauan tangan Masumi.

Tidak ada special efek, lighting atau semacamnya, namun foto itu terlihat begitu bersinar. Memancarkan kebahagian dua makhluk Tuhan yang sedang jatuh cinta. Foto itu dibingkai dengan figura berwarna ungu.

Maya sangat senang ketika Masumi memberikan foto itu saat inspeksi mendadaknya satu minggu yang lalu. Diapun terkikik geli teringat ucapan Masumi waktu itu.

"Nah, fotonya letakkan disini, jadi aku bisa selalu memandang dan menjagamu saat tidur dan saat kau bangun kau juga akan langsung melihatku. Dengan begini, aku juga bisa melihat jika ada pria yang berani masuk ke kamarmu. Pria lancang itu harus tahu kalau gadis ini adalah milikku. Pengampunan untuk Hijiri kemarin, karena dia menjagamu yang sedang sakit. Dan ku pastikan Shigeru akan terkena serangan jantung jika melihatnya," lalu Masumi terbahak sendiri dengan khayalan tingkat tingginya itu.

Maya meraih fotonya dan mendekapnya di dada.

"Aku rindu...," lagi-lagi kata itu yang terucap.

Maya mengamati lagi fotonya, dilihatnya sosok Masumi yang tersenyum bahagia memeluknya. Sungguh matanya tak pernah bosan memandang makluk tampan yang sekarang berpredikat sebagai kekasihnya itu.

Maya tertawa, "Masumi Hayami dan Maya Kitajima,"

Otaknya kembali berimajinasi tentang bagaimana hebohnya Jepang jika tahu kenyataan bahwa dirinya dan Masumi saling mencintai. Membuatnya tergelak.

Hal itu dijadikan Maya sebagai sebuah hiburan tersendiri sekaligus untuk mengatasi ketakutannya akan bermacam hal yang bisa saja terjadi mengingat hubungannya dan Masumi terganjal dengan statusnya sebagai pemegang hak pementasan Bidadari Merah dan juga Masumi sebagai direktur Daito.

Mendesah pelan, hatinya miris jika memikirkannya. "Masih ada Eisuke Hayami dan...Shiori. Wanita itu juga pasti tidak akan menyerah begitu saja." Maya menggelengkan kepala, mengusir pikiran buruk yang melintas dikepalanya. "Masumi milikku," gumamnya.

Akhirnya Maya bangun, meletakkan fotonya ketempat semula. Bermalas-malasan hanya akan membuat pikirannya melayang dan itu tidak akan bagus karena hanya akan membuatnya menangis nanti. Lagipula siang ini ada hal penting yang harus dilakukannya. Karena itu Maya bergegas ke kamar mandi dan bersiap untuk sarapan sebelum pergi.

***

Maya mengibaskan salju yang menempel di lengan jaketnya. Sudah cukup lama Maya berdiri di depan sebuah rumah bernuansa coklat bata. Dia hanya memandanginya, masih ragu untuk menekan bel. Tangan kirinya menggenggam secarik kertas yang berisi alamat dan nomor telepon yang diberikan Genzo saat dirinya berpamitan pada Mayuko. Sekali lagi mencocokkan alamat yang dipegangnya dengan nomor rumah yang tertulis di tembok pagar.

"Apa sebaiknya aku telepon dulu ya? Rasanya tidak enak jika langsung datang seperti ini," gumam Maya.

Pintu rumah itu tiba-tiba terbuka, Maya terkejut. Seorang pria paruh baya keluar dengan mengenakan jaket musim dingin tebal. Sepertinya dia akan pergi dan Maya langsung memanfaatkan kesempatan itu.

"Hhmm, maaf, apa anda Tuan Shinosuke Kendo?"

Pria itu menatap Maya dari ujung kepala sampai ujung kaki, entah apa yang diamatinya tapi tiba-tiba dia tersenyum.

"Maya Kitajima?" Tebaknya.

Maya sempat terkejut tapi dengan cepat mengangguk. Pria itu membuka pagar dan mempersilahkan Maya masuk.

"Aku sudah lama menunggumu," katanya seraya menyuguhkan coklat panas untuk Maya.

"Maaf, bagaimana anda bisa tahu nama saya?" Tanya Maya polos.

"Nyonya Chigusa dan Genzo yang memberitahuku. Mereka bilang akan ada seorang gadis yang datang, murid Nyonya Chigusa, namanya Maya Kitajima." Pria itu duduk dengan sopan dihadapan Maya. 

Suasana cukup canggung, otak Maya masih memikirkan bagaimana cara terbaik menyampaikan maksud kedatangannya.

"Sudah berapa lama kau tiba di New York Nona Kitajima?" Shinosuke akhirnya memulai percakapan, cukup memahami kecanggungan Maya.

"Dua bulan Tuan Kendo." Jawab Maya sopan.

"Wah sudah lama juga ya, bagaimana New York? Kau suka?" Shinosuke tersenyum ramah.

"Ah, iya saya suka. Maaf saya baru bisa mengunjungi anda sekarang. Ada beberapa hal yang harus saya lakukan lebih dulu," Maya sedikit lega karena Shinosuke ramah padanya.

"Tidak apa-apa." Shinosuke meneguk coklat panasnya sendiri lalu kembali melihat Maya, "Hhmm, sebaiknya aku ambil dulu pesananmu Nona Kitajima,"

"Pesanan?" Gumam Maya heran, dia tidak merasa memesan apapun. Rasa penasaran menggelitik hatinya.

Shinosuke menghilang beberapa saat dan muncul kembali dengan membawa sebuah box berukuran sedang berwarna putih.

"Nah, ini yang kau butuhkan. Semuanya sudah kusiapkan."

Shinosuke meletakkan box di atas meja di depan Maya, membuat Maya semakin bingung. Dia juga tidak mengerti dengan perkataan Shinosuke.

"Sepertinya kau bingung Nona Kitajima?" Shinosuke menangkap ekspresi Maya.

Maya mengangguk, "Saya tidak mengerti dengan ini," Maya melambaikan tangannya ke arah box.

Shinosuke mengernyit, lalu duduk kembali ke kursinya. Meneguk sedikit coklat panasnya sebelum kemudian bicara pada Maya.

"Hhhmm, Nyonya mengatakan padaku bahwa kau memerlukan semua ini," jelas Shinosuke.

"Anda tahu tujuan saya datang kesini?"

"Iya, Nyonya yang mengatakannya,"

"Oh," Maya melenguh pelan, "Anda...punya sesuatu yang bisa membantu saya untuk menghadapi...Daito?" Lanjut Maya ragu.

Shinosuke menganggukkan kepalanya dua kali, "Inilah yang kau cari Nona Kitajima,"

Sekali lagi Maya menatap box didepannya. Berdebar.

"Bukalah,"

Maya membuka box untuk menjawab rasa penasarannya. Box terbuka dan tumpukan kertas di dalamnya tidak menjawab pertanyaan Maya.

"Apa anda tahu siapa saya Nona Kitajima?"

Maya menggeleng, baru disadarinya kalau ternyata Maya sama sekali tidak tahu siapa pria yang ada dihadapannya itu. Mayuko hanya mengatakan padanya kalau Shinosuke bisa membantunya. Itu saja. Dan Maya juga tidak bertanya apa-apa lagi.

Shinosuke tersenyum, akhirnya mengerti kenapa Maya begitu canggung.

"Apa kau bisa menyimpan rahasia?" Tanya Shinosuke.

Maya menduga Shinosuke akan menceritakan sebuah hal besar padanya.

"Nona Kitajima?"

"I...iya, saya akan menjaga rahasia," jawab Maya cepat.

Shinosuke tersenyum, "Nama asliku adalah Shinosuke Ozaki, aku masih sepupu dari Ichiren Ozaki, pencipta karya besar Bidadari Merah,"

Maya terhenyak.

"Aku dulu membantu Ichiren mengurus teaternya. Membantu menulis naskah drama juga mengurus semua administrasi teater. Sampai akhirnya kejadian...ah kau pasti tahu." Shinosuke tertunduk, menyembunyikan kesedihan dengan meneguk coklat panasnya.

"Apa yang terjadi kemudian?" Maya memberanikan diri bertanya.

"Bidadari Merah, karya fenomenal yang menjadi sumber dari segalanya. Karena itu jugalah semuanya berakhir." Menghela napas perlahan, Shinosuke kembali bercerita.

"Eisuke Hayami, mendirikan Daito untuk merebut karya itu. Cintanya yang tidak terbalas pada Bidadari Merah membuatnya hilang akal. Aku sendiri tidak tahu sebenarnya siapa yang dia cintai. Mayuko atau Bidadari Merah yang ada dalam diri Mayuko. Yang jelas ambisinya yang membuat teater kami hancur membuatku membencinya. Dulu aku begitu berambisi untuk membalas dendam pada Eisuke, impianku adalah menghancurkan Daito."

Maya merasakan jantungnya berpacu lebih cepat. Shinosuke tersenyum pada Maya, meredakan sedikit ketegangannya.

"Tapi itu dulu." Lanjutnya. 

"Aku sampai dititik jenuhku. Berpikir dan berpikir. Apa yang akan aku dapatkan jika aku menghancurkan Daito? Ichiren juga tidak akan hidup kembali. Dan ternyata Nyonya Chigusa juga berpikir hal yang sama. Akhirnya aku berhenti. Mengubur dendamku, aku datang ke New York sepuluh tahun yang lalu. Nyonya Chigusa memutuskan tetap di Jepang dan mencari penerusnya." Shinosuke kembali tersenyum hangat. 

Jujur Maya akui kalau senyum itu begitu menenangkannya.

"Aku beruntung dapat bertemu Bidadari Merah yang baru."

Maya tersenyum setelah dari tadi begitu tegang mendengarkan cerita Shinosuke.

"Ngg, lalu ini apa?" Maya menunjuk pada box didepannya.

"Didalam box itu terdapat semua data lengkap tentang Daito, termasuk semua rahasia perusahaan. Aku mengumpulkan semua salinan dokumen itu untuk mempelajari Daito, mencari celah dan kemudian menghancurkannya. Tapi aku bersyukur aku tidak pernah melakukannya. Menghindarkanku dari sebuah kesia-siaan. Aku menikmati hidup tenangku sekarang," Shinosuke mengakhiri ceritanya dengan menghabiskan coklat panas dalam cangkirnya.

Maya terdiam.

"Tidak perlu merasa bersalah," Shinosuke seperti bisa membaca pikiran Maya.

"Eh?!"

"Aku tahu kau pasti punya alasan yang tepat untuk melawan Daito,"

Maya tertunduk, sendu, "Masumi...," hatinya begitu miris sekarang.

Bidadari Merah, peran yang sangat didambakannya sejak dulu, justru membawanya pada lingkaran takdir yang rumit.

"Aku rasa aku sudah menjelaskan banyak padamu,"

Dan Maya merasa itu sebuah tanda baginya untuk segera pergi.

"Terima kasih untuk semuanya. Saya akan terus mengingat kebaikan Tuan dan suatu hari saya akan membalas...,"

"Tidak perlu," potong Shinosuke.

"Tidak perlu?" Tanpa sengaja Maya mengulang perkataan Shinosuke.

"Jagalah rahasiaku, biarkan aku tenang diakhir hidupku. Ini pertemuan pertama dan terakhir kita. Setelah ini, jika kita bertemu dijalan atau dimanapun berpura-puralah kau tidak mengenalku. Dan namaku adalah Shinosuke Kendo,"

Shinosuke berdiri dan mempersilahkan Maya meninggalkan rumahnya. Masih dengan senyum yang penuh keramahan, Shinosuke mengantar Maya ke teras dan memberikan box itu padanya.

"Terima kasih," Maya mengangguk hormat.

"Semoga tujuanmu tercapai Nona Kitajima. Semoga bahagia." Kata Shinosuke sebelum akhirnya menutup pintu rumahnya.

***
Malamnya terasa begitu panjang bagi Maya. Separuh dokumen Daito sudah dibacanya. Tapi semuanya begitu sulit dimengerti. Otak Maya lebih dari sekedar gagal mencerna semua data tentang Daito. Maya jelas butuh bantuan. Tapi siapa yang bisa membantunya, itu menjadi tanda tanya besar dikepalanya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Seandainya saja aku lebih pintar." Keluh Maya.

"Aku mampu menghapal naskah setebal apapun hanya dengan sekali baca, tapi semua dokumen ini? Seratus kali aku bacapun belum tentu aku mengerti,"

Maya mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Bingung memikirkan langkah selanjutnya. Sementara dia dikejar dengan waktu.

Bel pintu berbunyi, menginterupsi ketegangan Maya. Dengan cepat Maya membereskan dokumennya dan setelah semuanya tersimpan aman didalam lemari Maya membuka pintu.

"Satomi!" Serunya girang.

"Halo, bagaimana kabarmu?" Satomi juga sama girangnya.

"Baik, kapan kau kembali?" Tanya Maya seraya menutup pintu dan keduanya duduk di ruang tamu.
"Dua jam yang lalu,"

"Hah?! Dan kau langsung datang menemuiku? Kau tidak lelah?"

Satomi tertawa, "Tidak Maya, tenang saja. Aku hanya khawatir denganmu,"

"Apa aku harus bilang merindukanmu?" Batin Satomi geli.

Maya mendengus kesal, "Hei aku sudah dewasa. Aku bisa menjaga diriku sendiri,"

Satomi mengabaikannya, "Boleh aku minta minum Maya?"

"Oh, maaf, maaf!" Maya beranjak dari sofa dan berlari ke dapur.

"Terima kasih," teh panas menghangatkan tenggorokan Satomi.

"Bagaimana syutingnya?" Tanya Maya yang juga meneguk tehnya perlahan, takut lidahnya terbakar.
"Lancar, lega akhirnya semua selesai dengan baik,"

"Hhmm, kapan premier filmnya?"

"Masih dalam rencana, aku juga belum diberitahu. Yang jelas syuting di LA kemarin adalah yang terakhir,"

"Aku tidak sabar untuk melihat filmmu, pasti bagus," Maya bersemangat.

Satomi tertegun sejenak mengamati Maya.

"Kenapa?" Tanya Maya.

"Kau tidak mau cerita padaku?"

"Apa?" Maya tak mengerti.

Meletakkan cangkir tehnya di meja, Satomi mengeluarkan sebuah tabloid dari dalam tasnya.

"Oh itu," Maya mengerti maksud Satomi.

Foto dirinya yang berperan sebagai Cleopatra terpampang besar dihalaman depan dibawah headline yang tercetak tebal. Cleopatra, Bintang Baru Teater Scarlet, Sukseskan Malam Amal ACA Group.

"Aku terkejut waktu melihat tabloid ini di Bandara dan langsung membelinya. Kau tidak mau cerita?"

Maya meringis dan segera merangkai kata-kata menjelaskan kejadian hari itu. Satomi tergelak saat Maya selesai bercerita.

"Aku tidak heran Nyonya Anderson memilihmu, naik panggung hanya dengan sekali menonton rekaman drama dan sekali membaca naskah. Kau menakutkan Maya,"

Maya tersenyum lebar mendengarnya. Tapi senyum Maya langsung hilang saat Satomi bertanya soal hasil ujian masuk universitasnya.

"Tenang saja, kan masih ada tahun depan. Belajarlah lebih giat lagi," hibur Satomi.

Batin Maya kembali meringis, "Tahun depan? Andai kau tahu waktuku tidak sebanyak itu,"

"Aku masih belum mengerti Maya," Satomi masih memandang Maya.

"Apanya?"

"Kenapa kau begitu giat belajar tentang bisnis? Bahkan memintaku mencarikan seorang dosen untuk mengajarimu,"

"Sebaiknya kau tak tahu,"

"Tidak apa-apa, hanya ingin belajar hal baru," Maya berkilah.

Satomi tersenyum kaku, tahu Maya menyimpang rahasia darinya.

"Memang apa yang kuharapkan? Maya kan hanya menganggapku teman, dia tidak harus menceritakan semua kehidupannya padaku,"

"Ng, Satomi,"

"Iya,"

"Aku butuh bantuanmu lagi,"

"Katakan Maya,"

"Bisakah kau membantuku mencari seorang menejer?"

"Menejer? Untukmu?"

"Memang untuk siapa lagi?"

Tampak berpikir sejenak, "Apa Scarlet tidak menyediakannya untukmu?"

"Nyonya Anderson memberiku pilihan, ku rasa aku ingin mencarinya sendiri kalau bisa,"

"Oke, aku akan cari info di agency,"

"Terima kasih," ucap Maya senang.

"Kali ini kau harus hati-hati Maya," tatapan mata Satomi berarti dalam.

"Iya, aku tahu," dia mengerti Satomi memperingatkan masalah Norie Otobe yang dulu menjebaknya dipuncak karier dan...ya menyebabkan dirinya putus dengan Satomi. Maya jadi teringat perkataan Masumi tentang Satomi yang pasti akan kena serangan jantung kalau tahu bos Daito yang dulu memisahkannya dengan Maya sekarang justru menjadi kekasih Maya.

"Ada yang lucu Maya?" Satomi melihat Maya tersenyum tanpa sebab.

"Ah tidak," Maya merapatkan bibirnya, menahan senyumnya melebar.

Bel kembali berbunyi dan Maya mengernyit.

"Miss Morgan?" Tanya Satomi. Dia tahu selain dirinya dan Miss Morgan tidak ada yang pernah berkunjung ke apartemen Maya, ya kecuali Hijiri dan...Satomi kan tidak tahu Masumi datang.

Maya menggeleng, "Aku tidak ada kelas hari ini," jawab Maya seraya beranjak dan berjalan ke pintu.
Jantungnya berdegub kencang,

"Mungkinkah? Ah, tidak mungkin," Maya menepis kemungkinan Masumi yang datang. Tersadar bahwa jaraknya adalah Jepang - Amerika bukannya Tokyo - Yokohama.

Pintu terbuka dan senyum menawan menyambut Maya.

"Malam, Maya,"

Maya melotot pada sosok pria yang berdiri didepannya.

"A...anda...?" Maya gagal berkata-kata.

"Nona Kitajima," sapa Ryan sopan berbanding terbalik dengan bosnya yang langsung masuk tanpa dipersilakan.

"Hei," Pekik Maya saat Christ dengan seenaknya merangkul bahunya dan mendorongnya masuk.

"Lepaskan Tu...,"

"Christ," bisiknya ditelinga Maya, membuat wajahnya langsung merah padam.

"Lepaskan," Maya melepaskan dirinya dari cengkraman Christ dan mendengus kesal berjalan ke ruang tamu.

Christ tertawa dan mengikuti Maya.

"Wah ada tamu rupanya,"

Wajah Satomi langsung mengeras tak terbaca saat melihat Christ.

"Anda yang tamu, ini kan apartemen saya!" Pekik Maya lagi.

"Ternyata susah sekali membuat bibir cerewet ini menyebut namaku. Sampai kapan kau mau ber-anda anda?" Christ meraih dagu Maya membuat mata bulat Maya menatapnya. Lekat.

Ekspresi Satomi semakin mengeras.

Plaakkk!

Maya menepis tangan Christ didagunya.

"Bertindaklah yang sopan Christ atau tinggalkan apartemenku sekarang juga," ancam Maya. Napasnya terengah, menahan gejolak emosinya.

Christ terkikik, "Iya, iya, maafkan aku. Tapi akhirnya berhasil, kau memanggil namaku dan tidak bicara formal lagi,"

Maya menyadari permainan Christ yang sengaja memancing amarahnya.

"Menyebalkan!" Amarah Maya turun beberapa skala ritcher. Baru saja lepas kendali karena mengira Christ akan menciumnya dan ternyata itu hanya salah satu trik konyolnya.

"Boleh duduk?"

Untuk pertama kalinya Christ sedikit sopan, efek pukulan Maya tadi masih bersisa padanya.

"Saya terkejut anda bertanya?" Cibir Maya.

"Terima kasih,"

Maya melotot dan sekali lagi Christ menang.

Maya menyerah, lalu menoleh pada Ryan yang masih berdiri dibelakangnya.

"Silakan duduk Tuan Lane," Maya mempersilakan Ryan duduk. Tangannya melambai pada tempat kosong di sofa panjang disebelah Satomi. Christ sudah duduk di sofa single disebelah Maya.

"Tidak perlu Maya, biarkan dia ditempatnya," kata Christ dan itu terdengar seperti sebuah hal yang semena-mena bagi Maya. Meski kenyaataannya memang begitu. Christ. Berkuasa. Semena-mena. Maya melotot lagi.

"Ini rumah saya jadi Tuan Lane juga tamu saya dan saya harus memperlakukannya dengan layak. Tidak ada hubungannya dengan dia pengawal pribadi anda atau bukan," dan ya, Maya jengkel dengan kesemena-menaan Christ.

Tapi yang bersangkutan justru tersenyum manis, "Tidak apa-apa Nona Kitajima, saya disini saja. Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya."

"Nah, apa ku bilang,"

Maya melotot lagi, sepertinya kehadiran Christ bisa membuat bola matanya tambah besar atau bahkan lebih parahnya, keluar dari tempatnya.

"Itu kan karena anda bos yang menyebalkan," kata Maya menanggapi komentar Christ.

Satomi memandang bingung pada Maya, "Sejak kapan Maya dan Tuan Anderson yang terkenal galak di seluruh New York ini begitu akrab?" Tanda tanya besar bertengger di kepala Satomi.

Maya menyadari kesalahannya, kejengkelannya pada Christ membuatnya mengabaikan keberadaan Satomi. Dengan cepat dia memperbaiki keadaan.

"Satomi kenalkan ini Tuan Christian Anderson, Tuan Christ ini Satomi Shigeru," dan sopan santun selalu mengatasi segalanya.

Christ mendengus kesal tapi bukan karena cara bicara Maya yang kembali formal.

"Selamat malam Tu...,"

 "Kau mantan pacar Maya kan," kata Christ tanpa basa basi. 

Diapun menjabat tangan Satomi yang terulur dengan enggan. Dengan cepat melepaskannya seolah Satomi terjangkit virus atau semacamnya yang bisa langsung menular jika lama bersentuhan.

Christ tetap santai, mengabaikan ekspresi terkejut Satomi yang menganga dan Maya yang melotot dengan wajah merah. Membara.

"Apa maksud anda? Itu tidak sopan Tuan Chris-ti-an An-der-son," Maya mengajukan keberatannya dengan jelas pada pihak yang yang dimaksud, menyebut nama lengkapnya dengan mendesis marah.

"Apa aku salah? Bukankah kalian dulu memang berpacaran," masih tidak merasa salah dengan perkataannya, Christ berkilah.

Baik Satomi ataupun Maya sama-sama tahu bahwa memang tidak ada yang salah dengan perkataan Christ. Yang salah adalah waktu dan tempatnya dan tentu saja 'siapa' yang mengatakannya. Karena jika hal itu dikatakan oleh Ryan dengan nada yang lebih ramah dan bersahabat mungkin Maya akan lebih menerimanya.

Satomi memperbaiki ekspresinya, dia merasa jengah dengan situasi ini. Tapi dia juga tidak mau pulang dan meninggalkan Maya sendiri dengan Christ. Oke tidak sendiri, bertiga dengan Ryan. Tapi pengawal pribadi yang gagah itu dalam pandangan Satomi tidak akan banyak berguna, karena Christ kan bosnya. Satomi jadi semakin kesal memikirkan kemungkinan yang muncul dalam kepalanya.

"Kau tidak menawariku minum Maya? Kau tidak sopan, aku kan tamu," celetuk Christ, menghentikan kesunyian dan lamunan dua manusia yang sedang berkutat dengan pikirannya masing-masing.

Maya menghela napas. "Ya maaf, anda mau minum apa Tuan Christ?" Tanya Maya putus asa. Christ terkikik.

"Apa saja, yang kau punya didapurmu. Kalau aku sebutkan yang ku mau aku yakin kau tidak memilikinya,"

Maya menahan kesal. Sabar...sabar...Maya...kau bisa ambil racun serangga dan menyemprotkan padanya tapi itu akan merusak hubunganmu dengan mamanya. Jadi bersabarlah Maya. Menarik napas beberapa kali. "Baiklah, saya rasa saya punya sesuatu untuk anda di dapur," Maya menghentak-hentakkan kakiknya saat berjalan ke dapur. Kesal.

Christ tertegun. "Bukan racun serangga kan Maya?" Teriak Christ tiba-tiba, saat Maya sudah menghilang di dapur.

Maya terhenyak sendiri. Imajinasinya yang tinggi langsung menduga Christ punya kekuatan membaca pikiran. Tapi itukan konyol. Tidak mungkin. Maya menggeleng kesal lalu balas berteriak, "Ya! Saya juga punya itu!" dan Maya mendengar Christ terbahak.

Dan diruang tamu suasana berubah. Christ menatap Satomi tajam, tatapan jenaka yang ditunjukan di depan Maya tadi tiba-tiba hilang.

"Anda mau saya pergi Tuan Anderson?" Satomi cukup pintar membaca arti tatapan mata itu.

"Bagus kalau kau mengerti."

Keduanya bicara setengah berbisik, karena jarak ruang tamu dan dapur tidak terlalu jauh dan keduanya sama-sama sepakat tanpa kata bahwa Maya tidak perlu mendengar pembicaraan 'antar lelaki'.

"Alasannya?" Satomi meneguk sisa teh dalam gelasnya. Pikirannya mengiyakan perkataan Christ meski hatinya tidak.

"Kau bodoh jika tidak bisa membaca situasi ini," Christ memang tidak mengenal batasan dalam bicara.

Satomi menyeringai, "CEO ACA Group, Christian Anderson, berada di sebuah apartemen seorang gadis. Saya lebih dari sekedar mengerti Tuan Anderson,"

"Lalu apa yang kau tunggu?"

"Anda kan tidak bisa mengusir saya begitu saja,"

"Oh, aku lebih dari sekedar bisa. Kau pikir untuk apa Ryan berdiri disana? Dekorasi?"

Satomi tertawa menanggapi ancaman Christ meski dia tahu Christ serius dengan ucapannya. Dan pantatnya bisa langsung ada di trotaar saat itu juga jika Satomi bersikeras melawan. Keputusan bijak adalah...mengalah.

Maya datang membawa dua gelas cangkir dalam nampan. Meletakkan satu cangkir dimeja untuk Christ dan memberikan satu cangkir lainnya pada Ryan. Christ tersenyum tipis melihat kesopanan Maya yang masih mendahulukan menjamunya dibanding Ryan.

"So?" Tanya Christian pelan. Ditelinga Satomi lebih terdengar seperti ENYAH KAU !

Kembali menyeringai, Satomi mengambil tasnya.

"Baiklah Maya, aku rasa sebaiknya aku pulang." Melirik pada Christ. "Sekarang," tegasnya.

"Eh?! Kenapa?" Pertanyaan yang tak perlu karena Maya sudah bisa mengerti alasannya. Tapi alasan itu juga yang membuat Maya tak mau Satomi meninggalkannya. Christian Anderson.

Satomi hanya tersenyum, "Besok aku akan datang lagi, sekalian membicarakan masalah menejermu,"
"Ah iya!" Sela Christ, Satomi juga Maya langsung berpaling padanya.

"Aku rasa tidak perlu," kata Christ lebih kepada Satomi.

"Maksud anda?"

"Aku sudah siapkan menejer untuk Maya,"

Maya melotot tapi mulutnya hanya menganga, tidak bisa bicara. Lebih tepatnya tidak tahu harus bicara apa.

"Bukankah itu harus dengan persetujuan Maya?" Satomi mencoba merasionalkan cara berpikir Christ. Tapi Christ kan tidak pernah berpikir rasional.

"Ku rasa tidak perlu." Dan jawabannya jelas.

"Apa anda mencoba mencampuri privasi saya Tuan Christ?" Maya berang.

"Sama sekali tidak menurutku," jawabnya santai.

"Tapi yang anda lakukan sebaliknya kan?"

"Itu kan menurutmu," Christ dan keras kepalanya.

"Lalu apa itu namanya!!" Bentak Maya.

"Prosedur pengamanan," jawabnya santai.

Maya terdiam.

Christ tersenyum geli, menikmati permainanya.

"Kau kan artis Scarlet, sebentar lagi akan menjadi aktris besar. Akan bahaya jika kau ditangani oleh orang yang salah. Bagaimana jika kau malah dimanfaatkan orang? Dalam pandanganku kau mudah sekali percaya pada orang dan itu akan membuatmu mudah ditipu. Belajarlah dari pengalaman masa lalumu Maya. Kau perlu orang yang tepat. Aku menilai mamaku ceroboh dengan membebaskanmu untuk memilih. Kau beruntung aku ada disana saat kalian membahas itu. Sehinga kau tidak perlu repot. Aku juga sudah bicara pada mamaku, dia juga setuju. Dan bagiku kau harus setuju. Jangan mempertaruhkan sesuatu hal yang kau sendiri belum yakin akan menang Maya." Akhirnya Christ menjelaskan logikanya. Dan hebatnya pemikiran irasional Christ justru terdengar sangat rasional. Kemampuan mempengaruhinya berada diatas rata-rata, tidak heran dia menjadi CEO yang hebat.
Maya dan Satomi saling berpandangan.

"Tuan Anderson benar Maya," akhirnya justru Satomi yang dirasionalkan dengan pandangan Christ.
Maya menghela napas, menenangkan diri, otaknya sudah mendidih sekarang, "Tapi itu kan tetap semena-mena namanya. Anda kan bisa mendiskusikannya dulu dengan saya," nada suaranya lebih rendah sekarang.

"Aku tidak pernah berdiskusi untuk suatu hal yang aku yakin aku benar Maya."

"Tapi itu kan tidak benar?" Maya kesal lagi.

"Sekali lagi, itu kan menurutmu,"

"Dan apa yang benar menurut anda?!" Nada suara Maya meninggi lagi.

Christ tertawa, Satomi masih duduk terpaku mengamati perdebatan keduanya.

"Kau suka sekali berdebat Maya,"

"Itu sangat perlu jika berhadapan dengan orang seperti anda!"

"Oh ya?! Ku rasa kau benar dan aku tidak keberatan dengan mulut cerewetmu itu. Menyenangkan." Christ kembali tergelak.

"Christian Anderson!!" Teriak Maya.

"Apa?"

"Kau membuatku sangat kesal! Tidak! Sangat marah!!" Maya langsung berdiri dan berkacak pinggang.

"Duduk saja Maya, aku tahu kau marah tanpa harus berdiri begitu," jawabnya santai.

Anehnya, Maya menurut dan menghempaskan dirinya disofa. Melipat tangannya kuat-kuat didada.
Satomi memandang tak percaya pada kekuatan Christ dalam mengendalikan sesuatu. Bahkan meski bercanda sekalipun aura otoriternya tidak bisa dibantah.

"Mari berpikir Maya," kata Christ setelah Maya lebih tenang. Dia juga pandai mengambil celah.

"Kau aktris Scarlet, kategori istimewa karena mamaku sendiri yang memilihmu ya meski ku akui dengan kemampuan aktingmu yang luar biasa itu kau memang istimewa. Dengan begitu Scarlet tidak bisa membiarkan kalau kau dimenejeri oleh orang sembarangan. Lupakan kebodohan mamaku yang membiarkanmu memilih. Itu bahaya menurut pandanganku,"

Maya terkesiap saat mendengar Christ menyebut mamanya bodoh.

"Saya bekerja untuk Scarlet, bukan untuk anda!" Maya tetap bersikukuh dengan pendapatnya.

"Kalau-kalau kau lupa, aku akan ingatkan. Direktur Scarlet adalah mamaku Maya. Jadi kau bekerja pada mamaku. Dan karena aku anaknya maka kau juga bekerja padaku," kali ini Christ justru terdengar konyol, tapi sepertinya dia sengaja.

"Sejak kapan anda mencampur adukkan hubungan keluarga dengan pekerjaan?"

"Sejak hari ini ku rasa," Christ menahan hasratnya untuk terbahak melihat ekspresi Maya.

"Itu konyol!!" Bentak Maya.

"Konyol kalau aku mengatakannya tiga hari yang lalu, tapi tidak kalau sekarang,"

Maya mengernyit.

"Sebenarnya aku tidak harus menjelaskannya padamu, tapi baiklah kalau kau memaksa,"

"Anda kan memang harus menjelaskan semua tindakan anda yang diluar logika itu!!"

"Iya, iya, aku jelaskan! Kau berisik sekali Maya!" meski begitu Christ masih terdengar bercanda.

"Pagi ini aku sudah resmi menjadi salah satu pemegang saham di PH Scarlet. Dulu aku tidak pernah tertarik berinvestasi di perusahaan mamaku itu, tapi karena Scarlet mengontrakmu itu merubah pemikiranku. Kau pasti menghasilkan banyak keuntungan bagi Scarlet dan...bagiku juga. Jadi secara profesional kau memang bekerja untukku. Jadi aku berhak menentukan apa yang terbaik baik aktrisku karena itu menyangkut keuntungan investasiku," akhirnya ada penjelasan yang sedikit masuk akal bagi Maya.

"Bagian dimana anda menggunakan hak anda sebagai pengusaha Amerika untuk berinvestasi dimanapun anda mau itu bukan urusan saya. Tapi jika alasan anda berinvestasi adalah karena saya, itu gila namanya! Saya hanya akan dikontrak Scarlet selama dua tahun, setelah itu saya akan pergi. Apa setelah itu anda akan menjual saham anda? Konyol ! Benar-benar konyol!! Dan bagaimana kalau saya tidak menghasilkan keuntungan seperti yang anda harapkan? Apa saya juga harus mengganti nilai investasi yang sudah anda tanamkan? Saya tidak akan terkejut jika anda memintanya, mengingat pemikiran anda selalu aneh bagi saya,"

Christ terbahak, terpesona oleh omelan Maya yang menurutnya berani dan cerdas. Selama ini tidak ada yang berani berkata seperti itu padanya.

"Pendapat yang cerdas Maya, tapi tenang saja, aku bisa pastikan kau tidak akan merugikanku. Lagipula kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dua tahun mendatang. Jadi kita bicara rencana jangka pendek saja dulu,"

Christ lalu beralih pada Satomi. Dia menilai sudah terlalu lama Satomi menunda kepulangannya. Dan sadar kalau dirinya diusir, Satomi akhirnya beranjak juga.

"Aku pulang dulu Maya. Tuan Anderson," katanya tanpa basa-basi lagi. Mengangguk sopan pada Christ.

"Ya, sebaiknya memang begitu, kau tidak harus mendengarkan pertengkaran bodoh ini." Kata Maya.

Satomi tersenyum, mengabaikan seringai kemenangan diwajah Christ karena berhasil menyingkirkannya.

"Setahuku kau juga punya hobi bertengkar Maya," celetuk Christ saat Maya melewatinya.

Terkesiap tapi dengan cepat mengabaikannya, Maya mengantar Satomi keluar.

Maya masih terpaku setelah menutup pintu, menyandarkan tubuhnya pada daun pintu, tangannya bahkan masih menggenggam handle. "Sial!" Rutuk Maya dalam hati, "Dia tahu semua tentangku. Aku dan Satomi, perjalanan karirku. Dia bahkan tahu aku sering bertengkar dengan Masumi. Ya, seluruh Jepang juga tahu kalau aku bermusuhan dengan bos Daito. Meski kenyataannya sekarang sebaliknya." Maya menghela napas panjang dan dalam, mencari ketenangan diri.

"Baiklah, aku mau lihat sejauh mana dia tahu tentangku. Dan apa sebenarnya tujuan orang paling menyebalkan itu,"

Mayapun kembali melintasi koridor depan kamarnya dan berjalan keruang tamu. Kali ini Maya memilih duduk di sofa panjang, didepan Christ. Masih diam. Tepatnya malas bicara.

"Kau cantik juga kalau duduk diam seperti itu," celetuk Christ.

Maya cemberut, "Katakan saja tujuan anda sebenarnya, Tuan Christ," Maya sepertinya mulai lelah menghadapi Christ.

"Hhmm, maksudmu?"

Mendengus kesal, "Kemarin anda bilang kalau anda memata-matai saya. Anda tahu semua tentang masa lalu saya. Setidaknya pasti ada alasan untuk menjelaskan semua itu."

"Begitu ya. Jadi kau butuh alasan?"

"Tentu saja!"

Christ menatap Maya lekat, "Kau,"

"Saya?"

"Iya, kau! Kau bilang butuh alasan. Kaulah alasan itu,"

"Saya? Apa maksudnya saya?"

"Ya kau, hanya kau. Ma-ya-ki-ta-ji-ma."

"Apa istimewanya saya sampai anda melakukan semua itu?"

"Istimewa? Aku tidak menganggap kau istimewa Maya,"

"Heh?!"

Christ menyeringai. "Kau berharga Maya,"

"Huh?!"

"Kenapa? Keberatan aku menganggapmu seperti itu?"

"Jika maksud anda saya adalah aset berharga bagi Scarlet yang bisa mendatangkan banyak keuntungan. Saya tidak keberatan. Bukankah saya memang seperti itu,"

"Hhmm, bagiku bukan begitu definisi berharganya,"

"Lalu?"

"Ya, kau berharga karena kau adalah Maya Kitajima,"

Mendengus kesal, "Saya benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran anda,"

"Aku kan tidak memaksamu untuk mengerti jalan pikiranku. Kau sendiri yang daritadi memaksakan diri untuk mengerti dan sekarang kau pusing sendiri,"

Maya menggeleng, menyerah.

"Bisa anda pulang sekarang Tuan Christ. Maaf tidak sopan tapi saya lelah," kata Maya lirih.

Christ tertegun menatap Maya, tahu bahwa gadis itu serius. Lagipula tujuannya juga sudah tercapai.

"Baiklah, aku pulang. Maaf mengganggu. Sebenarnya tadi aku tidak mau mampir tapi karena aku melihat ada pria datang keapartemenmu jadi aku terpaksa datang," Christ beranjak seraya menjelaskan alasanya datang.

"Oh?! Berarti tadi dia memata-matai apartemenku? Gila!"

"Anda lucu, Satomi adalah temanku justru anda yang mengganggu saya," cibir Maya, tidak masuk akal 'Dark Lord' itu mengkhawatirkannya, apalagi saat bersama Satomi.

"Ya, setidaknya pegang ucapanku,aku tidak akan macam-macam padamu. Tapi pria itu, siapa yang tahu apa yang ada di dalam otaknya? Meski dia adalah temanmu, tapi dia juga kan mantan pacarmu. Aku hanya mau memastikan kau aman,"

"Saya aman! Dan saya juga mampu menjaga diri saya sendiri! Saya sudah dewasa. Jadi tolong, hargai privasi saya!" Maya meradang.

Christ tertawa, "Ya, kau 'cukup' dewasa dimataku."

"Huh?!'

"Baiklah, ayo Ryan kita pulang. Tujuanku sudah tercapai. Mantan pacarmu sudah pergi dan kau aman. Aku akan menghubungimu lagi, pastikan handphone dan emailmu aktif ya," katanya.

Maya melotot, "Darimana anda tahu nomor telepon dan alamat email saya?"

Tergelak, Christ mengacak-acak poni Maya dengan jari panjangnya, 

"Aku tahu semua tentangmu gadis pemarah. Alamat aparteman, nomor telepon dan alamat emailmu adalah hal kecil bagiku. Aku bahkan tahu ukuran sepatu, gaun dan...," Christ berhenti sesaat, menatap Maya lekat, tapi jelas dia menggoda, "ukuran bra-mu," kata Christ sambil lalu.

Merah padam! "CHRISTIAN ANDERSON !!!" Maya masih bisa mendengar Christ terbahak-bahak dari balik pintu.

***
Maya merebahkan dirinya di tempat tidur. Menarik selimut menutupi setengah tubuhnya. Bayangan Christ yang terbahak-bahak dikepalanya tak juga hilang. Membuat level kekesalannya naik ke tingkat yang paling tinggi.

"Ukuran bra-ku? Apa-apan orang itu! Tidak tahu malu!! Bicara seperti itu pada seorang wanita!" Maya masih bersungut-sungut.

"Kalau Masumi-ku tahu, kau pasti tidak akan selamat Christ! Tidak peduli kau CEO atau apapun!" Gerutunya lagi.

Memiringkan kepalanya ke sisi tempat tidur dan senyum bahagia Masumi menyambutnya.

"Masumi...," gumamnya lirih, sambil mengelus wajah Masumi yang dibingkai figura. Dalam sekejap kerinduan meredam kekesalannya.

Maya meraih handphonenya di atas meja, dekat fotonya. Dengan cepat mengetik pesan.

Maya
Apa kau sibuk? Aku ingin melihatmu sebelum tidur. Merindukanmu.

Hanya beberapa detik setelah pesan terkirim. Handphone Maya berdering. Lagu Love Me Like You Do terdengar, lagu yang sama yang digunakan Masumi, juga digunakannya untuk nada dering pribadi nomor Masumi di handphonenya. Keduanya sama-sama tidak tahu.

"Halo sayang," senyum bahagia Masumi mengembang.

Maya tersenyum, "Halo...hhmm, sebentar ya,"

Maya memiringkan tubuhnya. Meletakkan handphonenya disisi bantalnya lalu menyangganya dengan bantal yang lain. Berhasil. Handphonenya berdiri sempurna tanpa perlu memegangnya. Maya tersenyum senang di atas bantalnya.

"Kau sepertinya lelah sayang," kata Masumi melihat Maya berbaring setelah Maya selesai dengan kesibukannya menyangga handphone.

"Tidak, hanya malas duduk. Aku ingin berbaring dan lebih lagi aku mau kau berbaring disana," Maya menunjuk pada handphonenya dengan senyum menggoda.

Masumi tergelak, "Apa kau menyangga handphonemu dengan bantal sayang? Kenapa kau tidak gunakan laptopmu?"

"Terlalu besar disisi tempat tidurku,"

"Sepertinya kau butuh sebuah tablet."

"Untuk apa?"

"Ya layarnya lebih besar daripada handphone sayang, jadi kau bisa melihat wajah tampanku dengan ukuran yang lebih besar juga,"

Maya terkikik, "Ya, kau benar, kau hanya lima inchi disini, tidak tampan menurutku,"

"Begitukah? Berarti kau harus segera membeli tablet. Aku tidak mau terlihat jelek di layar handphonemu. Aku khawatir kau akan bosan melihat wajah jelek selama tiga tahun,"

Maya tertawa. "Kontrakku baru ditanda tangani besok. Aku akan membelinya setelah mendapat gaji pertamaku,"

Masumi terlihat tidak senang, wajahnya langsung menegang, kaku.

"Kau bisa membeli sepuluh tablet sekaligus kalau kau mau Sayang. Hanya mengingatkan kalau kau lupa." Kata Masumi datar.

Maya menautkan kedua alisnya, tapi kemudian sadar akan kesalahannya.

"Ah iya, buku tabunganku!" Rutuknya dalam hati. "Dan dua kartu kredit platinum! Aku lupa!" Dengusnya kesal pada dirinya sendiri.

"Kau tidak berniat menggunakannya kan?" Tebak Masumi dan...tepat.

Maya meringis tanpa merubah posisi kepalanya.

"Akan aku pikirkan nanti," katanya.

"Kau hanya harus membelinya, bukan memikirkannya. Itu uangmu Maya," kata Masumi marah.

"Dan dari 'sayang' aku berubah menjadi 'Maya'. Masumi marah," keluhnya dalam hati.

"Iya, iya."

"Iya?"

"Iya aku akan membelinya besok dengan uang itu. Tidak usah marah-marah,"

"Uang itu? Uangmu, Maya," ralat Masumi.

"Uangmu," sanggah Maya.

Menghela napas sambil menggeleng. Gadisnya kan memang keras kepala, "Uang kita," kata Masumi menengahi.

"Ya terserahlah," Maya mengibaskan tangannya di depan wajahnya.

"Kau benar akan membelinya kan? Atau aku akan membelikannya untukmu. Tidak sulit bagiku, hanya perlu mengangkat teleponku,"

Maya melotot, sepertinya otot mata Maya bekerja lebih keras hari ini, "Iya aku akan membelinya besok, dengan uangmu...uhmm, uang kita. Puas,"

Masumi tersenyum, "Nah bagus. Aku senang mendengarnya sayang,"

"Nah, sudah kembali jadi 'sayang'. Oh Tuhan, kenapa aku harus selalu berhadapan dengan pria yang otoriter? Ya setidaknya yang satu ini mencintaiku,"

"Apa kau sedang tidak sibuk?" Tanya Maya mengalihkan perhatian Masumi dari masalah 'uangku, uangmu dan uang kita'.

Mengusap dagunya sambil tersenyum, "Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi yang jelas Mizuki sedang melotot padaku dengan aura radiasi nuklir yang cukup menakutkan. Kau mau lihat sayang?" Mata Masumi beralih darinya ke arah lain yang diduga Maya tempat Mizuki berdiri melotot padanya.

Maya terbahak, "Jadi ternyata aku mengganggu ya. MAAFKAN AKU NONA MIZUKI !! AKU TERLALU RINDU PADA BOSMU !!" Teriak Maya, berharap Mizuki mendengarnya.

Maya mendengar gerutuan tak jelas lalu Masumi terbahak.

"Apa yang dikatakannya?" Tanya Maya.

"Kau pasti bisa bayangkan sendiri sayang," Masumi masih tersenyum. Bahagia.

"Oh, Tuhan, bahagianya aku melihatnya santai seperti ini,"

Tanpa sadar mata Maya berkaca-kaca.

"Hei kenapa?" Masumi langsung cemas saat melihat setetes air mengalir dari sudut mata Maya melewati gunungan kecil dipangkal hidungnya dan bermuara dimatanya yang lain.

Maya mengusapnya dengan telunjuknya, menggelang pelan.

"Aku suka melihatmu tertawa bahagia seperti itu,"

Masumi tersenyum. Tulus. "Karenamu,"

Senyum Masumi menular di wajah Maya.

"Ngg, ini akan terdengar sedikit berlebihan, tapi bisakah kau tidak usah mematikan video callnya? Hanya sampai aku tertidur. Kau bisa melanjutkan kerjamu dan mematikannya saat aku sudah tidur. Setidaknya dengan begitu aku merasa kau ada disini bersamaku, menemaniku."

"Tidak berlebihan sayang, aku bahkan akan langsung terbang ke tempatmu jika saat ini kau memintanya...," mata Masumi langsung beralih ke tempat lain. Maya menduga itu interupsi Mizuki atas pernyataan konyol Masumi, karena Maya juga mendengar gerutuan yang tak jelas.

Maya terkikik, "Nona Mizuki pasti sangat kesal,"

"Biarkan saja, biasanya juga dia menikmati menyikasaku,"

Terdengar gerutuan lagi tapi Masumi masih memandangnya, berusaha menahan senyumnya mengembang.

Maya menguap, menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Sudah pukul dua belas malam. Matanya sudah terlihat merah karena menahan kantuk.

"Tidurlah sayang, sudah tengah malam kan? Kau pasti lelah." Kata Masumi lembut.

"Iya, kau akan menemaniku?" Maya mengedipkan matanya beberapa kali untuk menahan matanya tetap terbuka.

"Iya, aku akan menemanimu,"

Maya memaksa tersenyum, matanya hampir terpejam, "Aku rindu...aku mencintaimu sayang...Masumi...ku,"

Senyum Masumi mengembang tapi Maya sudah tidak melihatnya lagi. Gadisnya sudah terlelap. Masumi tahu Maya sangat mudah tertidur dan sangat sulit untuk bangun. Dalam beberapa hal itu membuatnya senang, setidaknya Maya tidak harus mengalami insomnia seperti dirinya saat kerinduannya akan Maya datang melanda.

Masumi memandang sayang pada wajah damai Maya di layar tabletnya. Dia masih enggan untuk mematikan video callnya. Tidak akan pernah bosan memandang kekasih hatinya itu.

"Aku juga merindukanmu sayang, mencintaimu, Maya-ku,"

***
Tokyo, kamar royal suite di sebuah hotel bintang lima.

Sebuah taboid lokal New York tergeletak di meja. 

Cleopatra, Bintang Baru Teater Scarlet, Sukseskan Malam Amal ACA Group.

"Apa perintah anda Nona?" Seorang pria mengenakan setelan gelap duduk dengan tenang berhadapan dengan seorang wanita cantik.

"Tenang saja James, aku punya rencana. Kita harus hati-hati. Aku tidak mau Masumi curiga padaku dan dia terlalu pintar untuk bisa dibohongi," wanita itu menggosok-gosok cemas pada jari manisnya, tempat dulu terpasang cincin batu sapirnya yang sekarang hanya menyisakan gurat halus putih.

"Baik, saya akan menunggu perintah Nona,"

"Tapi aku senang, kerjamu bagus James."

"Terima kasih Nona,"

Wanita itu berdiri, berjalan ke arah jendela. Menatap kilauan lampu kota. Meski terlihat tenang tapi dalam hatinya ada badai besar yang melanda. Menghancurkan semua sisi kelembutan dalam jiwanya. Perlahan tapi pasti yang tersisa hanyalah puing-puing kekecewaan. Hatinya sudah runtuh. Harapannya pun sudah pupus. Tapi dia tidak akan menyerah. Bukan untuk bangkit dari keterpurukannya tapi untuk membalaskan sakit hatinya. Membuat semua orang yang menghancurkannya merasakan apa yang dia rasakan.

Kau bilang kita berbeda karena aku melihat indahnya gemerlap lampu kota sedangkan kau melihat indahnya bintang di langit. Tapi bukankah bintang itu terlalu jauh bagimu Masumi. Aku ingin lihat bagaimana jika bintangmu itu tak lagi bersinar. Apa yang akan kau lihat?

Sekali lagi menggosok jari manisnya, rasanya gurat putih bekas cincin yang terlalu ketat itu juga meninggalkan rasa sakit yang dalam.

Akhirnya aku menemukanmu...Maya Kitajima...

***
>>Bersambung<<

Follow me on 
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

10 Comments

  1. daya khayal tingkat tinggi!! salut!! ga sabar nunggu kelanjutannya!!

    ReplyDelete
  2. Keren mba agnes...makin penasaran lanjutannya...

    ReplyDelete
  3. Keren..!!! lanjut mba agnes😍

    ReplyDelete
  4. Suka bangeedddzzz..... sekali nemu lgsg baca sampe ga tidur"..... mohon jgn di gantung ya sist ceritanya, coz byk jg yg bikin fanfic tp ga ditamatin....
    Aq lgsg klepek klepek inu baca nya..... semangaaaatttt.... ditunggu update nya sista.... ^_^

    ReplyDelete
  5. Suara Maya memecah keheningan diruang rapat dan neraka langsung berubah menjadi surga. Mizuki menutup mata dengan tangannya dan menggeleng tidak percaya saat wajah garang Masumi langsung berubah menjadi malaikat.


    Ngakak bgt pas bagian ini... Demon becomes angel??? 😂😂😂

    ReplyDelete