Kedelapan Belas : Juliet 2

Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalannya. 

*********************************************************************************


Prang!!!


Masumi terkejut saat tanpa sengaja tangannya mengenai cangkir kopi dimeja.

"Anda baik-baik saja Tuan Masumi?" tanya Mizuki seraya menatap cangkir yang sudah tidak berbentuk dilantai.

Masumi tampak gugup. "Ah iya, aku tidak apa-apa Mizuki." Dia meraih rokok dan beranjak dari kursinya.

"Saya akan minta office boy membersihkannya," kata Mizuki seraya keluar dari ruangan.

Masumi menatap langit Tokyo melalui jendela seraya menghisap rokok, meredakan kegugupannya. Kenapa perasaanku tidak tenang? Ada apa? Dia pun berbalik dan mengambil handphone dimeja. Membuka kotak pesan, Masumi membaca pesan Maya yang dikirim tadi pagi.


Maya
Apa kau sudah dikantor? Disini sudah petang, aku sedang bersiap untuk gladi bersih Die. Selamat bekerja sayang, oh ya jangan lupa ... aku mencintaimu.


Masumi melakukan panggilan tapi tidak ada jawaban. Ah, apa yang kupikirkan? Maya sedang gladi bersih. Dia pasti baik-baik saja. Maya-ku pasti baik-baik saja.

***
Christ, Clara, Ryan dan Rose menunggu cemas di depan emergency room. Maya jatuh dari ketinggian tiga meter. Entah bagaimana keadaannya saat ini, gadis itu langsung tidak sadar saat tubuhnya terhempas ke panggung.

"Sial !!" Kepalan tangan Christ mendarat di dinding. Clara yang duduk dengan Rose hanya bisa menatap putra tunggalnya. "Ryan! Kerahkan anak buahmu, temukan pelakunya, apapun caranya!" perintah Christ penuh amarah.

"Baik Tuan." Ryan segera berjalan menjauh, meraih handphone lalu melakukan beberapa panggilan.

"Christ," panggil Clara dengan suara lembut.

"Ini bukan kecelakaan, Ma! Ada yang berniat mencelakainya. Balkon itu tidak mungkin rusak begitu saja!" kata Christ tanpa menunggu sang mama menyelesaikan perkataannya.

Clara dan Rose pun terdiam, perkataan Christ memang tidak bisa disangkal. Pada kenyataannya, rusaknya balkon itu akan terlalu sederhana jika hanya dianggap sebagai sebuah kecelakaan. Keheningan diantara mereka terpecah saat dokter keluar dari emergency room.

"Bagaimana keadaannya dokter?" tanya Christ cemas.

"Nona Kitajima mengalami gegar otak ringan dan tiga jahitan di pelipis kirinya. Beruntung tidak ada tulang yang patah, hanya memar dibeberapa tempat. Secara keseluruhan kondisi vitalnya baik. Kami akan terus pantau perkembangannya. Sebentar lagi kami akan memindahkannya kekamar rawat inap."

Seketika semua orang langsung menghela napas lega. Christ pun menghampiri Ryan yang masih menelepon.

"Mereka sedang memeriksanya, Tuan," Ryan memberi laporan pada bosnya setelah panggilan terakhirnya.

"Bagus. Awasi semua orang, terutama Jenifer. Secepatnya, berikan laporannya padaku."

"Baik Tuan."

Tak lama kemudian, Christ melihat Maya di bawa keluar dari emergency room. Dia pun bergegas menghampirinya. Gadis itu masih belum sadar, keningnya dibalut kain kassa. Clara dan Rose juga segera mengikuti perawat yang membawa Maya. Perawat meninggalkan mereka dikamar Maya setelah memberikan beberapa instruksi. Sekarang ketiganya sedang menunggu Maya sadar.

"Jika ini bukan kecelakaan, siapa yang tega melakukan semua ini?" keluh Clara cemas.

"Kita akan segera tahu, Ma." Christ duduk ditepi tempat tidur, menatap wajah Maya yang tampak damai dalam tidurnya.

"Nyonya, sudah malam, sebaiknya anda pulang dan beristirahat. Biarkan saya yang menjaga Maya disini," kata Rose.

Clara pun menatap Christ.

"Pulanglah Ma, Papa pasti cemas kalau mama tidak pulang. Aku juga akan tetap disini," kata Christ menjawab tatapan tanya sang mama.

"Kau yakin?" tanya Clara memastikan.

"Aku tidak akan tenang sebelum melihatnya sadar," jawab Christ penuh keyakinan. Dia pun menghampiri Clara dan memeluknya sebelum akhirnya wanita itu pulang. Sekarang hanya tinggal Christ dan Rose di dalam ruangan, sementara Ryan berjaga diluar kamar.

"Apa anda mencurigai seseorang Tuan Anderson?" tanya Rose. Pertanyaan itu menyela lamunan Christ yang sedang menatap Maya.

"Aku tidak boleh gegabah menyimpulkannya. Masih banyak hal yang belum ku ketahui tentang gadis ini," jawab Christ tenang.

"Bagaimana dengan Jenifer?" tanya Rose lagi.

"Aku sudah memerintahkan anak buah Ryan untuk menyeledikinya. Kemungkinan itu selalu ada, tapi aku tidak mau sembarangan menuduh."

"Rupanya anda benar-benar peduli pada Maya," celetuk Rose yang membuat Christ menyeringai.

"Lakukan saja tugasmu, jangan campuri urusanku," kata pria itu dengan nada tegas.

"Hanya ingin tahu, Tuan. Maaf jika menyinggung anda. Tapi sebenarnya hal ini juga menyangkut pekerjaan saya. Apa anda tidak berpikir bahwa kedekatan anda dengan Maya akan mempengaruhi karirnya?"

Christ pun akhirnya menoleh pada Rose yang tengah duduk di sofa. Tatapannya jelas memperlihatkan ketidaksukaan. Tapi Rose tak bergeming. "Kau tidak bisa memberi batasan seperti itu padaku, Rose."

"Saya tahu, hanya mengingatkan," jawab Rose dengan nada tenang. Manejer wanita itu cukup berani mengutarakan pendapatnya.

"Aku mengerti, tapi aku juga tahu apa yang aku lakukan," kata Christ kemudian.

"Tentu saja, seorang Christian Anderson tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa perhitungan yang matang. Benar bukan?" Rose tersenyum tipis di akhir kalimatnya.

"Bagus kalau kau tahu. Sekarang tutup mulutmu," tegas Christ seraya kembali mengamati wajah lelap Maya.

"Saya mengerti," jawab Rose. Dengan patuh dia menuruti perintah atasannya. Dan keheningan pun kembali mengambil alih suasana.

***
"Ugghh!" Maya melenguh lirih saat merasakan seluruh tubuhnya kaku. Kepalanya juga berdenyut sakit. Perlahan gadis itu berusaha untuk membuka mata. Aku dimana? Dia merasa asing dengan ruangan tempatnya berada. Yang dilihatnya hanyalah langit-langit kamar berwarna putih lalu tiang IV di sebelah ranjangnya dengan kantong infus yang menggantung.

Maya merasakan kepalanya berdenyut sakit saat mencoba mengingat memori terakhirnya. Dia berusaha menggerakkan tangan tapi tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Gadis itu memiringkan kepala untuk melihat objek yang disentuhnya. "Uugghh!!" Sekali lagi kepalanya tidak mau diajak kompromi, matanya kembali terpejam menahan nyeri.

"Kau sudah sadar?" Suara lembut yang terdengar membuat Maya kembali membuka mata perlahan.

"Tu..an..?!"

"Ssstt, tenanglah, jangan bicara dulu. Aku akan panggil perawat." Christ menghentikan suara serak Maya dan dengan cepat menekan tombol panggil di atas tempat tidur.

Maya tertegun, mengamati wajah Christ yang terlihat begitu khawatir. Tak lama kemudian, dia melihat seorang perawat masuk. Dengan hati-hati perawat itu memeriksa tekanan darah, suhu tubuh dan beberapa bagian vital pada tubuh Maya. Dia pun mengajukan beberapa pertanyaan pada Maya. Sakit. Pusing. Bingung. Hanya tiga kata itu yang terucap dari bibir Maya sebagai jawaban.

Gadis itu lalu mencuri pandang, Christ berdiri di ujung tempat tidurnya dan Maya juga melihat Rose yang tertidur di sofa.

"Saya akan memanggil dokter, tolong anda jangan bergerak terlalu banyak, Nona," pesan perawat itu sebelum pergi.

Christ pun kembali berdiri di samping tempat tidur Maya. "Kau membuatku takut," katanya kemudian. Ekspresi wajah Christ selaras dengan ucapannya.

"Saya ... kenapa?" tanya Maya terbata.

Kedua alis Christ bertaut heran. "Kau tidak ingat?"

Maya tertegun, kembali mencoba memutar ingatannya. "Seingat saya ... saya menaiki tangga lalu ke balkon dan saya merasa ... melayang? Apa saya ... terjatuh?" Maya mencoba menebak.

Christ mengangguk. "Pagar balkonnya patah dan kau terjatuh. Kau sudah tidak sadar selama ...," dia pun melihat jam tangan, saat itu sudah pukul lima pagi. "Sembilan jam."

"Rasanya seperti tidur lama sekali," gumam Maya.

Christ akhinya tersenyum. "Aku lega akhirnya kau bangun dari tidur panjangmu."

Maya memaksakan diri tersenyum. Meski sebenarnya dia masih bingung dengan sikap Christ yang begitu perhatian padanya.  Gadis itu juga takut kalau ternyata apa yang disangkakan teman-temannya itu benar. Tapi bagaimana mungkin seorang Christian Anderson menyukainya? Maya menilai dirinya tidak memiliki daya tarik sehebat itu untuk membuat seorang pria tampan kaya suka padanya. Bahkan sampai saat ini Maya masih bertanya-tanya dalam hati selain bakat aktingnya apa yang sebenarnya membuat Masumi begitu mencintainya. Rasanya masih seperti mimpi memiliki Masumi sebagai kekasihnya dan kali ini dia tidak bermimpi untuk seorang Christ juga memiliki perasaan padanya. Itu hanya akan menambah rumit kisah hidupnya.
"Kenapa? Apa ada yang sakit?" Christ cemas melihat Maya terdiam.
Belum sempat Maya menjawab, dokter datang dan kembali menyingkirkan Christ dari posisinya. Dengan cepat dokter kembali memeriksa Maya. Bertanya beberapa hal pada perawat dan bertanya beberapa hal lain pada Maya.
"Kapan saya boleh pulang dokter? Empat hari lagi saya ada pementasan," tanya Maya.
"Kami akan melihat perkembangannya hari ini Nona Kitajima. Jika sakit kepala anda tidak bertambah parah dan anda tidak menunjukkan tanda bahaya, kemungkinan besok pagi anda bisa pulang. Tapi untuk pementasan...saya sangat menyarankan anda beristirahat sampai kondisi anda benar-benar pulih."
Christ terdiam memandang Maya. Dia ingat dengan jelas bagaimana Maya berdiri dipanggung dengan suhu badan empat puluh derajat, dia tidak yakin kali ini sakit kepalanya akan menghalangi Maya untuk berakting.
Maya tersenyum, "Apakah aman jika saya tetap melakukannya?"
"Jika sakit kepala anda tidak bertambah parah berarti anda aman Nona, tapi tiga jam berdiri dipanggung, apa anda yakin? Dengan kondisi tubuh memar seperti ini?"
Maya kembali tersenyum, "Terima kasih dokter,"
Dokter sedikit bingung dengan ucapan terima kasih Maya, tapi kemudian balas tersenyum. Dia menginstruksikan beberapa hal sebelum akhirnya keluar dari kamar Maya. Christ tergesa mengikuti dokter keluar kamar dan Maya melihat Rose sudah bangun, berjalan menghampirinya.
"Hai, bagaimana perasaanmu?" Tanya Rose ramah, wajahnya terlihat lelah.
"Pertanyaan yang sama Rose, kau terlihat...kacau?"
Rose tertawa, "Aku yakin kau lebih baik sekarang dan...ya, kau membuatku kerja lembur semalaman Nona Kitajima,"
Maya terkikik pelan, sangat pelan karena kepalanya masih berdenyut-denyut.
"Pulanglah, aku akan baik-baik saja,"
"Wah kau ini. Kau yang jatuh dari ketinggian tiga meter tapi kau malah mengkhawatirkanku."
"Apa aku terlihat begitu mengkhawatirkan sekarang? Ku rasa aku butuh cermin,"
"Kau memang suka bercanda ya. Selain kain kassa dengan hiasan merah dikepalamu itu...selebihnya kau oke," Rose menanggapi candaan Maya, memberi tanda oke dengan membulatkan telunjuk dan ibu jarinya pada Maya.
"Ya, menghibur Rose. Terima kasih. Maaf merepotkan dan membuat semua khawatir dan...mengacaukan jadwalmu?" Seringai lucu diwajah Maya membuat Rose lebih tenang.
"Kau memilih cara istirahat diluar perkiraanku Maya. Tapi tenang saja, aku akan atur semuanya. Dan kau benar, aku harus pulang sekarang. Secepatnya aku akan kembali. Istirahatlah."
"Tentu, terima kasih Rose,"
Rose berpapasan dengan Christ dipintu keluar. Rose melempar senyumnya tapi Christ hanya menyeringai padanya.
"Lebih baik?" Tanya Christ sambil berjalan ke arah tempat tidur Maya.
"Ya,"
Christ tersenyum.
"Sebaiknya anda juga pulang Tuan Anderson," saran Maya.
Christ terlihat tidak suka, "Kau mengusirku Maya?"
"Eh?! Bukan begitu. Hanya saja, anda pasti lelah. Maaf sudah merepotkan, terima kasih,"
"Aku tidak akan pergi Maya,"
"Tapi...,"
"Kau tidak sopan mengusir orang yang membayar biaya perawatanmu,"
Maya cemberut mendengarnya, "Uang dalam rekeningku lebih dari cukup untuk membayar ini semua Christ!!!"
Tapi Maya terhenyak sendiri saat mengingat tabungannya.
"Masumi?! Gawat," rutuknya dalam hati.
Maya menggerakkan tangannya, mengusap dadanya. Dia kemudian ingat meninggalkan kalungnya di apartemen dan itu membuatnya lega. Sekarang dia berusaha bangun dan seluruh tubuhnya menjerit.
"Apa yang kau lakukan?!" Bentak Christ marah melihat Maya meringis kesakitan saat berusaha bangun.
"Saya mau bangun," jawab Maya polos.
"Bodoh! Tetap ditempatmu!"
Dan Maya berhenti bergerak. Christ menekan tombol disamping tempat tidur. Perlahan tempat tidur Maya terangkat, membuat tubuh bagian atas Maya lebih tinggi.
"Cukup?"
Maya mengangguk, "Oh, otomatis." Maya tersenyum geli. Malu.
"Mau apa sekarang?"
Maya cemberut lagi, "Tadi dia begitu lembut dan khawatir kenapa sekarang jadi galak? Apa dia marah karena aku usir tadi?"
"Hei, kau mau apa?" Christ mengulang pertanyaannya.
"Ngg, handphone...saya lupa bertanya pada Rose. Dimana handphone saya?"
"Kau libur hari ini. Tidak usah pikirkan Rose. Istirahatlah,"
"Sial!! Aku harus mengirim pesan pada Masumi, dimana handphoneku?"
"Tolong Tuan Anderson, anda tahu dimana handphone saya?" Maya memohon. Maya tidak peduli lagi apa yang dirasakan tubuhnya, dia hanya ingin memberi kabar pada Masumi.
"Apa pentingnya sih? Rose juga tahu kau sedang sakit," dengus Christ kesal.
"Ini penting sekali, saya mohon," Maya kembali mengiba.
Terpaksa, Christ berjalan ke arah lemari kecil di dekat sofa. Mengeluarkan tas Maya dari dalamnya.
"Ini, jangan lama-lama, kau harus segera istirahat,"
"Iya, terima kasih," Mata Maya berbinar senang.
Dua panggilan telepon, dua panggilan video call dan lima pesan didalam kotak masuk. Semuanya dari Masumi. Maya sudah membayangkan bagaimana cemasnya Masumi sekarang. Meski tidak setiap hari menelepon tapi minimal Maya selalu mengirim satu pesan di pagi hari dan satu pesan sebelum tidur. Semalam dia melewatkan itu. Dengan cepat Maya mengetik pesan.


Maya
Maaf sayang, semalam aku sangat lelah kerena gladi bersih dan langsung tidur. Aku harap kau sudah pulang dari kantor sekarang. Jangan terlalu banyak lembur! Cepat istirahat ya. Aku bersiap berangkat ke teater sekarang. Hhmm...merindukanmu.


Menunggu cemas, namun tak lama Maya langsung menerima pesan balasan dari Masumi.


Masumi
Aku senang mendengar kabar darimu. Seharian ini perasaanku tidak enak tentangmu. Tapi aku lega kau baik-baik saja. Aku masih dikantor sayang, sedikit lembur malam ini. Hati-hati, semoga harimu menyenangkan. Tidak ingin mengganggumu hanya....aku juga merindukanmu.


Mata Maya berkaca-kaca saat membaca pesan Masumi. Tidak menyangka kalau Masumi merasakan bahwa sesuatu yang salah telah terjadi padanya.
"Bagaimana mungkin aku meragukan cintamu yang sedalam ini Masumi? Bahkan dibelahan dunia lain kau merasakan sakitku,"
Maya lupa kalau Christ ada bersamanya. Sekali lagi Christ menarik Maya dari lamunanya.
"Itu buka Rose kan?" Tanya Christ. Dia jelas sukses membaca ekspresi haru Maya.
Maya hanya tersenyum simpul sambil memasukkan kembali handphonenya ke dalam tas.
Christ mengambil tasnya dan meletakannya dimeja samping tempat tidur.
"Kau punya kekasih Maya?" Tanya Christ, jelas dia terkejut.
"Nah, akhirnya kau tanya juga," tapi Maya hanya mengangguk.
Christ terdiam. "Je ne sais pas," (aku tidak tahu) gumam Christ pada dirinya sendiri.
"Ada apa?" Maya tidak mengerti gumaman Christ.
"De rien" (tidak apa-apa) tanpa sadar mulut Christ kembali menjawab dengan bahasa Perancis. Sepertinya Christ sedang kehilangan konsentrasi.
Maya cemberut dan Christ menyadari kesalahannya.
"Maaf, tidak apa-apa maksudku," ralatnya.
"Oh,"
"Apa yang kau rasakan sekarang?" Christ mengalihkan perhatian Maya. "Apa kau mual?" Christ menambah lagi pertanyaannya. Dia tadi sudah bertanya pada dokter tentang tanda-tanda bahaya yang mungkin terjadi.
Maya menggeleng pelan, "Hanya pusing,"
"Hanya itu? Kau yakin?"
Maya mengangguk pelan. Diam-diam menginventarisasi sakit ditubuhnya. Kepalanya pusing dan nyeri disekitar pelipis, bahu kanan dan pinggul kanannya juga sakit, selebihnya Maya merasa badannya kaku dibeberapa tempat dan Maya meyakinkan dirinya sendiri bahwa kondisinya baik.
"Kau sungguh tidak merasakan sakit kepala hebat? Mual? Pandangan kabur atau hal tidak mengenakkan lainnya?" Christ kembali mencoba mendiagnosa.
Maya menggeleng lagi. Kembali meyakinkan dirinya sendiri kalau tubuhnya tidak merasakan apa yang disebutkan Christ.
"Kau juga masih ingat kejadian masa lalumu? Beberapa hari terakhir? Kau tidak melupakan sesuatu?"
Maya menggeleng bingung, "Saya baik-baik saja Tuan Anderson, masih bisa melihat, mendengar dan mengingat dengan jelas semuanya. Dan seingat saya, tadi dokter bahkan tidak bertanya sedetail anda,"
Christ menarik napas lega. Mulut cerewet Maya meyakinkannya kalau Maya baik-baik saja.
"Sungguh beruntung kau Maya, aku pikir aku akan kehilanganmu tadi,"
Kemudian Christ terkikik geli setelah kekhawatirannya memasuki batas aman.
"Apanya yang lucu?" Maya semakin bingung dengan sikap Christ yang mudah sekali berubah-ubah didepannya. Lembut-marah-menyebalkan.
"Kau," jawab Christ singkat.
"Saya?"
"Iya, ternyata kau memang 'keras kepala' ya,"
"Heh?!"
"Kau jatuh dari ketinggian tiga meter dan hanya mengalami gegar otak ringan, bahkan sekarang kau adu mulut denganku. Benar-benar 'keras kepala' kan?"
Maya mendengus kesal saat sadar Christ mengejeknya.
"Saya bersyukur karena 'keras kepala' maka kepala saya masih utuh sekarang," sarkasme Maya menjelaskan kejengkelannya.
Christ tersenyum melihat Maya cemberut, "Aku senang melihatmu baik-baik saja Maya."
Maya terkejut saat tiba-tiba Christ duduk di tepi tempat tidurnya. Terlalu dekat. Maya tidak bisa bergerak, tubuhnya masih kaku dan sakit.
"Hei, jaga jarak! Jaga jarak!" Teriak Maya tapi hanya dalam pikirannya.
Tatapan mata Christ yang lembut membuat Maya tidak tega meneriakinya. Diapun mengalihkan pandangannya. Christ menyeringai.
"Kau kenapa?" Tanya Christ masih dengan nada yang sama lembutnya.
"Ngg, tidak...hanya saja...bisakah anda..ngg...tidak duduk di...,"
"Aku tidak boleh duduk disini?" Christ menunjuk tempatnya duduk sekarang.
Maya mengangguk pelan meski tidak melihat Christ.
"Kenapa?" Christ memiringkan wajahnya, mencari mata Maya.
"Terlalu dekat," jawab Maya polos.
Christ tertawa, "Apa karena kau sudah memiliki kekasih? Jadi aku tidak boleh duduk terlalu dekat denganmu?" Tanya Christ, masih tidak beranjak dari tempatnya.
"Bukan begitu...hanya saja...,"
"Kau tidak sopan kalau bicara tanpa melihat lawan bicaramu Maya," tegur Christ dan berhasil, Maya kembali menatapnya. Seringai kemenangan menghiasi wajah tampan Dark Lord.
"Anda suka sekali mengganggu saya," dengus Maya lirih.
"Kau menyenangkan Maya. Bahkan ketika sakitpun, mulut cerewetmu itu menghiburku," Christ cekikikan senang.
"Ya, ya, senang melihat anda bahagia Tuan, setidaknya saya masih beruntung tidak mendengar teriakan anda,"
"Hhhmm, terima kasih Nona Kitajima,"
Maya mendesah kesal.
"Baiklah, sekarang katakan, apa kau membutuhkan sesuatu?"
Dan tiba-tiba perut Maya menjawab lebih cepat daripada mulutnya. Christ langsung terbahak mendengar perut Maya yang keroncongan.
"Oke, aku mengerti. Kau menyampaikan keinginanmu dengan cara bagus Nona Kitajima."
Christ masih terbahak saat berjalan meninggalkan kamar dan meninggalkan Maya dengan wajah yang merah padam.

***
Tokyo, Ballroom Hotel Bintang Lima
Masumi menyesap anggurnya dengan anggun, topeng pangerannya terpasang sempurna. Dia sedang beramah tamah dengan beberapa relasinya. Ditemani Mizuki, Masumi menghadiri pesta ulang tahun salah satu stasiun televisi swasta. Banyak aktor, aktris, sutradara, bahkan produser dan direktur production house yang diundang.
Pesta yang cukup meriah tapi tetap saja membosankan dan terasa hambar bagi Masumi. Beberapa wanita cantik mulai menyapanya. Para sosialita, putri direktur, aktris kelas satu dengan kemampuan akting dibawah standarnya dan beberapa wanita menyebalkan lainnya.
Sejak pembatalan pernikahannya dengan Shiori yang secara otomatis mengembalikan status single-nya, para wanita itu seakan diberi lampu hiijau. Mereka berlomba-lomba untuk menarik perhatian Masumi. Tidak ada satupun dari mereka yang akan menduga kalau dibalik senyum pangeran palsunya yang memabukkan Masumi hanya menganggap mereka seperti lobak dan kol. Hanya ada satu wanita dimata Masumi, meski kenyataannya wanita itu berada dibelahan dunia lain. Tapi bagi Masumi, tubuh dan jiwanya hanyalah milik wanita pujaannya itu, Maya. 
Ingin rasanya Masumi berteriak didepan para wanita itu, menegaskan bahwa statusnya adalah milik Maya. Dia tidak mau dilabeli bujangan tampan sehingga membuat para wanita itu seenaknya saja mengulurkan tangan, mengajaknya berdansa hanya untuk sekedar bisa menyentuh dirinya.
Tubuh Masumi menolak bereaksi terhadap setiap sentuhan lobak dan kol yang mengelilinginya. Sekali lagi, hanya satu wanita yang diharapkan ada dipelukannya sekarang. Namun kegetiran kembali merayapi hatinya, mengingat masih begitu banyak kekacauan yang harus dibereskannya sebelum dia dapat memeluk dan memiliki gadis pujaannya. Dalam hatinya masih menghitung mundur waktu, dimana dia dan Maya akan benar-benar bisa bersatu, mendeklarasikan pada dunia bahwa mereka saling mencintai. Saling memiliki.
Setelah selesai berdansa dengan lobak bergaun merah cerah, putri seorang direktur, Masumi bergegas menghampiri Mizuki. Tidak tahan lagi kalau harus melayani uluran tangan yang lain.
"Sepertinya anda cukup sibuk Pak Masumi," Mizuki mengulurkan segelas sampagne pada bosnya.
Menyesapnya, Masumi hanya mendesah kesal. Mizuki tersenyum, tapi kemudian matanya melihat sesuatu yang cukup mengejutkan.
"Sepertinya kesibukan anda akan berlanjut Pak," kata Mizuki tiba-tiba.
Masumi menautkan kedua alisnya, "Siapa?" Masumi mengerti Mizuki melihat dibelakangnya ada salah satu lobak atau kol menghampirinya.
"Sedikit mengejutkan Pak, dia sosialita baru yang tiba-tiba suka menghadiri pesta besar. Dari yang saya dengar, batalnya pernikahan membuat wanita ini cukup membuka diri sekarang,"
Masumi melotot, hampir tersedak sampagnenya, "Ratu lobak!"
"Tenang Pak, dia sudah dekat. Dibelakang anda arah pukul dua belas."
Dan tepat.
"Masumi," suara lembut yang terdengar seperti petir di telinga Masumi.
Berbalik dengan sopan, Masumi menatap wanita yang berdiri di depannya. Tampilannya luar biasa, cantik, anggun tapi tentu tidak bagi Masumi.
"Shiori, apa kabar?" Sapa Masumi ramah.
Mizuki mengangguk dan menyapa hormat Shiori.
"Kerja lembur Mizuki?" Ironi yang ramah keluar dari bibir merah Shiori.
"Mendampingi direktur menjadi bagian dari tugas saya Nona Shiori," balas Mizuki sopan.
Shiori menatap Masumi.
"Seharusnya kau segera memiliki pendamping Masumi, jadi kau tidak terus menerus menyalahi undang-undang dengan memperkerjakan stafmu melebihi jam kerja."
"Akan kupertimbangkan saranmu Shiori," Masumi menyesap lagi sampagnenya.
"Ku pikir kau sudah melakukan implementasinya," Shiori terkikik.
Masumi jengah Shiori menyudutkannya. "Dengan hormat kukatakan mereka yang mengajakku berdansa,"
"Dan bukan sebaliknya?" Shiori tertawa, "Ya, aku tahu. Kau tidak berubah ternyata, tetap dingin,"
Masumi tersenyum datar tapi kemudian terkejut saat Shiori tiba-tiba mengulurkan tangannya.
"Ku pikir malam ini aku ingin menghangatkan pangeran dinginku. Dengan hormat, jangan menolakku atau kau akan menghancurkanku...sekali lagi," Shiori menarik keras sudut bibirnya.
"Hangat? Kau sudah membuatku terbakar karena marah. Beruntung kau wanita,"
Masumi memberikan gelas sampagne-nya pada Mizuki lalu meraih tangan Shiori.
"Tentu dan menurutku...kau tidak terlihat hancur," senyum tipis Masumi mengakhiri sarkasme Shiori padanya.
Semua mata langsung tertuju pada Masumi dan Shiori saat keduanya turun ke lantai dansa. Tidak ada yang mengira kalau keduanya masih berhubungan baik setelah pembatalan pernikahan itu. Kesempatan emas itu langsung dimanfaatkan oleh para wartawan, dalam otak mereka sudah terbayang headline yang akan menghiasi halaman pertama surat kabar. Dansa Masumi dan Shiori menjadi kehebohan, mengalahkan kehebohan pesta ulang tahun itu sendiri.
"Ternyata kau semakin populer Masumi," kata Shiori lirih seraya melanglahkan kakinya selaras dengan Masumi.
"Kau semakin pintar berdansa," Masumi mengabaikan sarkasme Shiori lainnya. Menurutnya wanita itu semakin hari semakin pandai bicara.
Shiori tertawa sopan, "Apa kau lupa? Kau kan yang mengajariku berdansa. Tapi mengingat banyaknya wanita yang berdansa denganmu aku tidak heran kau lupa,"
Jengah, pengalihan Masumi justru menjadi bumerang baginya.
"Mengingat singkatnya kebersamaan kita, kau termasuk yang cepat belajar," balas Masumi.
"Terima kasih,"
Keduanya terdiam sesaat. Masumi merasa lagu kali ini terasa begitu panjang. Dia ingin segera mengakhiri ketidak nyamanan ini.
"Kau tidak senang kan?" Shiori menebak arti diam pasangan berdansanya.
"Menurutmu?" Masumi menatap wanita yang sekarang menatap tajam padanya.
Shiori menyeringai, "Aku pernah dengar kau berdansa dengan sangat baik sampai membuat banyak orang terpesona,"
"Oh ya? Terlalu banyak pesta dansa, aku tidak ingat,"
"Temanku yang melihatmu begitu bahagia berdansa, dia bahkan tidak percaya itu kau. Aku tidak yakin kau melupakan yang satu ini. Kau kan tidak sering berdansa di Astoria,"
Perkataan Shiori bersamaan dengan saat Masumi memutar tubuh pasangannya itu. Shiori berputar anggun lalu kembali mendarat di pelukan Masumi yang sekarang wajahnya sedingin es.
"Wah, wah, ekspresi yang sangat dingin Masumi. Tidak cocok dengan wajah tampanmu,"
"Apa maumu Shiori?" Masumi lelah dengan basa-basi itu.
Shiori tertawa dan lagu berakhir.
"Kau tahu apa yang aku mau Masumi," kata Shiori sambil lalu, meninggalkan Masumi yang terpaku dilantai dansa.

***
"Bagaimana mungkin kau tidak menemukan apapun Ryan!!" Bentak Christ. Berdiri dibelakang meja kerjanya, tangan Christ terkepal kuat memukul meja.
"Maaf tuan, kami memang tidak dapat menemukan bukti apapun. Tapi kami akan terus menyelidikinya," jawab Ryan.
"HARUS!! Kau harus terus menyelidikinya!"
Dering handphone menyela kemarahan Christ.
"Christ!...Ada apa Rose?" Jawabnya, masih dengan nada yang tidak bersahabat, 
"APA?!" Lagi-lagi tuan amarah mengamuk. "Apa yang ada diotaknya?...tahan dia...tunggu sebentar...," Christ mengalihkan pandangannya pada Ryan yang masih berdiri didepan mejanya, "Berapa lama waktu untuk membersihkan area sekitar panggung?" Tanyanya. 
Ryan langsung mengerti maksud bosnya itu, "Dua jam, saya akan minta mereka bergerak sekarang. Kru panggung akan tiba dalam empat jam untuk menata ulang settingnya,"
"Bagus. Suruh mereka bersihkan semua area sekarang. Oh ya, termasuk ruang kostum. Pastikan semua aman. Sekali lagi dia terluka jangan harap kalian hidup," ancaman Christ mengakhiri istrusksinya.
Ryan bergegas keluar ruangan.
"Rose! Tahan dia dua jam...iya...jangan biarkan dia sendiri...oke...tidak! Tidak akan ada wartawan! Tidak ada yang boleh menyebarkan berita ini....bagaimana lukanya?...bagus...kabari aku semua kegiatannya,"
Mendesah kesal, "Dasar keras kepala!!" Rutuknya.
Christ langsung meraih jasnya, "RYAN!! Siapkan mobil!!"

***
Maya muncul di gedung Teater Scarlet dan langsung disambut hangat teman-teman dan para staf.
"Senang melihatmu kembali Maya,"
"Syukurlah kau baik-baik saja,"
"Aku senang melihatmu 'oke' Maya,"
Maya menanggapi semuanya dengan ramah. Merekapun segera menuju ruang kostum untuk fitting kostum yang terakhir. Pementasan tinggal dua hari lagi, Maya baru keluar dari rumah sakit pagi ini dan bersikeras mengikuti jadwal fitting kostum. Rose tidak bisa melawan keinginan Maya.
"Kenapa banyak pengawal disini?" Tanya Maya pada Rose. Dia sama sekali tidak tahu kalau Christ mengerahkan anak buahnya untuk mengamankan lokasi panggung.
"Antisipasi Maya, kami tidak mau kejadian yang menimpamu terulang lagi,"
"Eh?! Itukan kecelakaan?" Kata Maya polos tapi kemudian terkejut sendiri, "Itu bukan kecelakaan Rose?"
"Aku tidak tahu, belum ada bukti yang menunjukkan itu sabotase. Kru panggung selalu mengecek semuanya dan selama latihan semua berjalan lancar, jadi aneh jika pagar itu patah begitu saja."
Maya terdiam, "Apa lagi ini? Siapa yang mau menyakitiku?"
Rose membaca kekhawatiran diwajah Maya, "Tenang saja, sekarang semuanya aman Maya."
Maya mengangguk saja.
"Kau baik-baik saja? Pusing?" Rose mengecek kondisi Maya, seharusnya dia istirahat sekarang bukannya berada di gedung teater.
"Sedikit pusing, tapi tidak apa-apa." Jawab Maya.
"Kau yakin?"
"Iya, setelah fitting kostum aku akan segera istirahat dan...besok juga. Aku akan istirahat seharian. Kuharap kondisiku akan lebih baik saat pementasan."
Rose tersenyum, memahami rencana Maya.
"Oke,"
Maya masuk keruang kostum. Ami, Janet dan Olive langsung menyerbunya.
"Aku khawatir sekali kemarin," Ami langsung memeluk Maya langsung meringis saat bahunya tertekan.
"Ups, maaf,"
"Tidak apa-apa,"
Ketiganya segera mengintrogasi Maya dengan beragam pertanyaan tapi Maya hanya menanggapinya dengan beberapa jawaban singkat. Dia ingat pesan Rose untuk tidak terlalu banyak 'berbagi informasi' dengan siapapun. Dan mengingat ada orang yang mungkin ingin mencelakainya, membuat Maya bergidik ngeri.
Fitting kostum tidak berlangsung lama. Maya sedang berada di ruang ganti pribadi pemeran utama saat Christ datang dengan wajah kesalnya.
"Hhmmm, mau apa lagi dia," dengus Maya dalam hati.
"Apa yang kau pikirkan, huh?!"
"Maaf?" Maya tidak menanggapi serius, dia menggantung kostumnya dengan hanger dan memberikannya pada Rose.
"Keras kepala! Kau seharusnya istirahat. Kostum ini bisa dibawa ke apartemenmu kalau hanya untuk fitting," omel Christ.
Maya terkikik, "Anda berlebihan Tuan Anderson,"
"Aku? Tidak Maya, tidak ada yang berlebihan disini. Kau yang keterlaluan!" Christ melotot sambil menunjuk Maya.
"Saya baik-baik saja Tuan Anderson. Anda lihat sendiri kan?" Maya melambaikan tangannya, menunjuk dirinya sendiri dari atas sampai bawah. Meski secara fisik memang terlihat utuh, tapi jujur dalam hati Maya mengeluh kepalanya masih sakit. Berdenyut-denyut dan nyeri pada luka jahitannya.
Christ menggeleng kesal, "Kau sudah selesai sekarang?" Tanyanya, menurunkan suaranya beberapa oktaf.
"Sudah,"
"Bagus,"
"Bagus?"
Maya keheranan dengan seringai diwajah Christ.
"Pulang.denganku.sekarang," dan terulang lagi, Christ menyeretnya keluar ruang ganti, memaksanya pulang.
"Anda akan membuat saya semakin sakit jika berjalan secepat ini," dengus Maya yang tidak berhasil melepaskan cengkraman Christ pada pergelangan tangannya. Sedikit berlari untuk mengimbangi langkah kaki panjang Christ.
"Kau protes?! Kau bahkan merasa sangat sehat untuk datang kesini setelah pulang dari rumah sakit. Ku rasa berlari justru akan memulihkan kondisimu seratus persen," kata Christ tanpa memandang Maya.
Maya menggurutu tak jelas. Dia langsung masuk ke dalam mobil saat Ryan membuka pintu belakang untuknya dan Christ...tentu saja langsung berada disebelahnya. Keduanya masih diam saat mobil mulai melaju.
"Kau membuatku marah Maya." Akhirnya Christ bicara dengan nada yang lembut. Menghela napas panjang.
Maya menoleh, menatap pria yang yang terlihat begitu cemas padanya.
"Kau.sangat.keras.kepala." Tandasnya.
"Kenapa anda harus marah kalau saya keras kepala? Bukankah seharusnya anda senang saya loyal pada profesi saya sebagai aktris anda," Maya merasa ada yang salah dengan pola pikir dan perlakuan Christ padanya. Ketakutannya akan perasaan 'Dark Lord' padanya membuatnya tidak tenang.
Christ memandang Maya, tapi kali ini pandangannya melembut.
"Kau bukan aktris bagiku Maya,"
"Eh?!"
"Aku tidak pernah memandangmu seperti itu,"
Maya terhenyak, "Kumohon jangan,"
Tanpa sadar Christ membelai wajah Maya dan tanpa sadar juga Maya langsung menepisnya keras. Gerak refleknya selalu bagus menangkis serangan mendadak. Sepertinya hanya Ryan orang yang sadar di mobil itu. Christ terkejut.
"Maaf," katanya cepat. Diapun memperbaiki posisi duduknya.
Maya bergeser, membuat jarak.
"Maaf," kata Maya juga.
"Untuk apa aku minta maaf? Aku layak menamparnya sekarang!!" Batin Maya berang, tapi kali ini tubuhnya tidak sepakat. Bagaimanapun dia harus menghormati bosnya.
Keduanya masih diam saat mobil berhenti didepan apartemen Maya. Ryan turun untuk membuka pintu mobil Christ dan tanpa menunggu pintunya dibukakan Maya segera keluar dari mobil. Christ melotot. Akhirnya membuka sendiri pintu mobilnya sebelum Ryan dan melompat turun. Menyusul Maya yang melenggang ke arah apartemen.
"Tunggu!"
Maya berhenti tapi tidak menoleh. Dengan cepat Christ sudah berada disebelahnya.
"Ku antar kau sampai depan pintu,"
Maya kembali berjalan tanpa menanggapi perkataan Christ. Dia masih marah karena Christ membelai wajahnya seenaknya. Jelas permintaan maafnya tadi hanya basa-basi.
Christ membiarkan Maya dengan kemarahannya.
"Terima kasih," ucap Maya saat dirinya sampai didepan apartemennya.
"Sebentar lagi Rose datang. Katakan padanya kalau kau butuh sesuatu. Ngg...apa lukamu masih sakit?" Kata christ canggung.
"Tidak,"
"Bagus, cepat masuk dan beristirahatlah."
Maya melotot, "Kenapa saat seperti ini dia masih saja bisa mengaturku?!"
"Iya tidak usah melotot begitu, aku tahu kau marah. Sekali lagi maaf. Sudah masuk sana," Christ mengabaikan mata Maya yang membulat.
Maya menghentakkan kakinya kesal dan masuk kedalam apartementnya setelah sekali lagi mengucapkan terima kasih.
Christ mendengus kesal di depan pintu. Belum pernah ada seorangpun yang berani memperlakukannya seperti itu kecuali...ya...sekali lagi nama Angel terngiang ditelinganya.

***
New York, 14 Februari.
Pementasan 'Die' digelar tepat pada hari Valentine. Rose bersyukur kondisi Maya semakin baik saat hari pementasan 'Die' tiba. Semua jadwalnya kembali normal sekarang. Luka jahitan di pelipis Maya dapat tertutup sempurna dengan make up dan poni rambut.
Petang itu semua pemain sudah berkumpul dan sedang bersiap-siap. Seorang staf keamanan berjaga di depan ruang ganti Maya, membuatnya menggerutu sepanjang sore.
Maya duduk didepan meja riasnya setelah selesai ber-make up. Matanya berbinar senang saat melihat hadiah kejutan valentinenya dari Masumi yang baru sampai sore tadi bersama dengan sekotak coklat mahal dan sebuah kartu ucapan serta setangkai mawar ungu.


Kekasihku,

Betapapun jarak telah membuatmu jauh dariku tapi percayalah cintaku hanya untukmu.

Milikmu,
Masumi


Senyum Maya tidak berhenti mengembang saat membacanya meski entah sudah yang keberapa kali dia membaca kartu itu. Diapun memanfaatkan waktu luangnya yang sedikit untuk mengirim pesan pada Masumi.


Maya
Hadiah, coklat dan kartumu sudah sampai. Terima kasih. Selamat hari Valentine sayang. Maaf aku tidak memberikan apa-apa padamu.
Aku sedang bersiap untuk pentas sekarang. Kau sudah terima tiketku kan? Aku akan membayangkan kau duduk disana dan melihatku. Doakan semuanya lancar ya. Julietku hanya untukmu...milikmu.

Maya menghela napas panjang saat menekan tombol kirim. Dadanya penuh kerinduan. Namun, Maya terkejut saat tiba-tiba panggilan video call masuk. Melihat nama yang tertera dilayar, dengan cepat Maya melihat cermin, memastikan luka dipelipisnya tidak terlihat.
"Halo sayang,"
"Kau mengejutkanku,"
Masumi tersenyum lebar, dia memang tidak berencana menelepon kekasihnya.
"Kau cantik,"
Maya tersipu, "Terima kasih. Kau masih dimobil?" Maya melihat keadaan disekitar Masumi yang terlihat dilayar.
"Iya. Aku tidak sabar untuk melihat Julietku lebih dulu."
Maya tersenyum, "Aku Julietmu, jangan ragukan itu,"
Senyum Masumi pun mengembang, "Aku tidak akan meragukannya sayang,"
"Aku senang kau menghubungiku, rasanya sudah lama sekali tidak melihatmu. Oh ya terima kasih untuk hadiahnya. Aku belum membukanya tapi apapun itu aku pasti menyukainya. Dan kartunya...aku sangat suka. Cintaku juga hanya untukmu sayang,"
Masumi tersenyum bahagia, "Aku senang kau suka. Dan aku lebih suka mendengarmu mengatakannya secara langsung seperti ini daripada menerima kartu ucapan."
Maya tertawa.
Masumi mendesah.
"Kenapa?"
"Aku lebih dari senang bisa melihatmu. Tapi aku tidak mau mengganggu konsentrasimu. Kita bisa lanjutkan setelah pementasanmu, bagaimana?"
Maya mengangguk, "Aku akan menghubungimu setelah pementasan,"
"Oh ya Maya, soal tiket yang kau berikan padaku, apakah tempatnya strategis?"
"Tentu saja, tempat itu sangat strategis. Jika kau duduk disana kau akan bisa melihatku dengan jelas. Tunggu! Jangan bilang kau akan datang?"
Masumi tertawa, "Tentu saja tidak Maya, meskipun aku sangat ingin melakukannya."
"Ku pikir kau akan kabur lagi," Maya mendesah lega.
"Tidak sekarang, mungkin...,"
"Masumi! Kau tidak boleh terlalu sering pergi,"
"Iya, iya. Hhmm, soal tempat duduk tadi, apa kau bisa melihat tempatku dengan jelas dari panggung?"
Maya tertegun, "Saat pertunjukan berjalan tentu saja aku tidak bisa melihatnya. Tempat penonton kan gelap. Tapi aku tahu dimana posisinya. Sebenarnya kau ini bicara apa sih?"
Masumi tertawa lagi, "Tidak apa-apa, sudah sana, cepat bersiap. Aku tidak mau Julietku kehilangan konsentrasinya,"
Maya mencibir, "Oh, tidak akan,"
"Iya, aku tahu. Semoga sukses sayang, buat mereka semua terpesona,"
"Terima kasih,"
Telepon mati tepat saat Rose masuk ke ruang ganti Maya.
"Kau sudah siap?"
Maya mengangguk. Keduanya segera menuju kebelakang panggung. Saat Maya datang beberapa orang berkasak-kusuk didekat set wing.
"Ada apa?" Bisik Maya pada Rose. Manejernya pun mengangkat bahu.
Rasa penasaran Maya membuatnya melangkahkan kaki mendekat pada kerumunan.
"Ada apa?" Tanya Maya sopan.
"Lihat itu! Kami heran, siapa yang membeli tiket VVIP tapi tidak menempatinya. Hanya sebuah buket bunga diletakkan disana. Aku bertanya pada kurir yang mengantar katanya dia hanya diminta seseorang lewat telepon untuk mengantarkan buket bunga dan meletakkannya disitu," kata salah seorang kru.
"VVIP? Buket bunga?" Otak Maya berpikir cepat. "Maaf permisi, aku mau lihat," kata Maya.
Tiga orang langsung bergeser dan menunjukkan pada Maya tempat yang dimaksud. Senyum Maya langsung mengembang dan rasa haru memenuhi dadanya. Matanya berkaca-kaca.
"Masumi-ku...mawar ungu-ku...,"
Tempat yang dimaksud adalah kursi VVIP yang dibeli Maya untuk Masumi. Disana sekarang terletak sebuah buket mawar ungu.
"Ada apa Maya?" Rose memandang Maya heran. Begitupun dengan orang-orang disekitar Maya. Tidak ada yang tahu Maya yang membeli tiket itu dan arti mawar ungu...tentu saja hanya dia yang mengerti.
Maya menggeleng dan dengan cepat berbalik. Dia pasti akan menangis jika terus memandangi buket bunga itu. Rose memandang sekilas pada buket bunga tapi kemudian berjalan mengikuti Maya.
Mengedarkan pandangannya, Maya mencari Ami, Janet dan Olive tapi ketiganya tidak terlihat, matanya justru tertumbuk pada pandangan tajam milik Jenifer.
Maya merasa ada sesuatu yang harus dibereskannya sebelum dia naik ke panggung. Pertunjukan tinggal tiga puluh menit lagi.
"Hai," sapa Maya. Jenifer memalingkan wajahnya saat Maya menyapanya. Beberapa pemain langsung memperhatikan keduanya.
"Jenifer, aku tahu kau tidak menyukaiku. Aku hanya ingin bicara padamu. Aku rasa kita belum pernah sama sekali 'berkomunikasi' dengan baik satu sama lain,"
Jenifer menatapnya kesal, "Untuk apa? Kau mau mengejekku? Apa belum puas kau mengambil peranku?"
Maya justru tersenyum, "Mengambil peranmu? Sebentar, kita harus meluruskan ini. Pertama aku tidak akan mengejekmu karena tidak ada alasan bagiku melakukannanya, kedua aku tidak mengambil peranmu Jenifer dan kau tahu itu. Bagaimana aku bisa mengambil sesuatu yang memang sejak awal sudah menjadi milikku?"
"Kau...,"
"Sejak awal akulah yang mendapat peran Juliet jadi aku tidak mengambil apapun darimu,"
Jenifer terdiam, dalam kediamannya dia membenarkan perkataan Maya.
"Kau menjadikanku tertuduh!" Katanya kemudian.
"Tertuduh?"
"Jangan pura-pura tidak tahu, semua orang mengira akulah yang merusak pagar itu!" Pekik Jenifer kesal. Sekarang semua mata memandang padanya.
Rose menghampiri Maya, memintanya menjauh dari Jenifer. Menghindarkan pertengkaran.
"Kau lihat kan? Menejermu saja takut kau dekat denganku," cibir Jenifer lagi.
Maya mengangkat tangannya pada Rose memintanya diam. Maya memang ingin memastikan hal itu dan saat melihat reaksi Jenifer juga saat mata mereka saling bertemu, Maya yakin bukan Jenifer yang ingin mencelakainya.
"Aku tidak menuduhmu. Aku percaya bukan kau pelakunya," kata Maya. Semua yang mendengar langsung berbisik-bisik. Menggunjing.
"Kau apa?"
"Aku percaya bukan kau yang melakukannya," kata Maya dengan suara yang lebih keras. Semuanya langsung terdiam. Begitupun Jenifer.
"Dengar Jenifer, aku tidak suka memiliki musuh. Aku suka akting, aku suka drama, hanya itu. Aku hanya ingin menegaskan padamu satu hal sebelum kita mulai pertunjukan ini," tegas Maya.
"Bagiku, sebuah drama bukanlah tentang siapa pemeran utamanya tapi tentang bagaimana kita bekerja sama. Tidak ada siapa lebih penting dari siapa. Aku akan bermain dipanggung apapun perannya. Drama ini akan gagal bukan hanya karena aku gagal sebagai Juliet atau kau sebagai Rosaline tapi drama ini akan gagal saat kita tidak bisa bekerja sama."
Jenifer terdiam.
"Aku hanya mohon satu hal padamu Jenifer. Bekerja samalah dengaku untuk menyukseskan pementasan ini. Pertunjukan ini tidak akan sempurna tanpa Rosaline."
Maya mengulurkan tangannya. Jenifer memandang Maya ragu.
"Aku minta maaf jika membuatmu tidak nyaman. Tapi bagiku panggung drama bukanlah arena pertandingan dan aku tidak mau bermusuhan dengan lawan mainku," tambah Maya, tangannya masih tergantung diudara.
Akhirnya, Jenifer menyambut uluran tangan Maya.
"Kita sukseskan 'Die' bersama," kata Maya.
"Ya, kita sukseskan 'Die' bersama," ulang Jenifer dan untuk pertama kalinya Maya melihat Jenifer tersenyum, tulus.
Semua orang tersenyum lega saat melihat Jenifer berdamai dengan Maya. Tidak terkecuali Clara dan Christ yang ternyata berdiri didekat pintu masuk panggung menyaksikan perdamaian itu.
Rose sungguh terkagum-kagum dengan perkataan Maya bahkan semua yang ada diruangan itu begitu meresapi perkataan Maya. Setiap dari mereka akhirnya menyadari betapa pentingnya keberadaan peran mereka.

***
Tirai panggung dibuka.
Semua pemain mengerahkan kemampuannya. Mereka memainkan perannya dengan maksimal. Saling bekerja sama dan menyelaraskan akting masing-masing.
Meski begitu tetap saja akting Maya menjadi sorotan. Maya memerankan Julietnya dengan sepenuh hati. Keberadaan Mawar ungu yang mewakili kehadiran Masumi membuatnya bersemangat. Dan hasilnya, tidak ada yang tidak terpesona oleh akting Maya. 
Julietnya yang sempurna membuat penonton tidak berkedip. Adegan demi adegan diikuti dengan penuh perhatian. Tidak ada yang dapat menolak aura Maya yang bersinar. Semua orang langsung mengakui bahwa kemampuan akting Maya diatas rata-rata.
Klimaks dimana Juliet bergulat dengan hatinya dan akhirnya memilih untuk bunuh diri mampu membuat penonton menahan napas dan akhirnya menguraikan air mata.
Bagian akhir sudah dapat ditebak, saat tirai panggung tertutup, penonton lupa untuk bertepuk tangan, mereka lupa kalau mereka hanya menyaksikan sebuah drama. Sampai akhirnya Christ berdiri dan bertepuk tangan, kesadaran penonton kembali. Clara pun melakukan standing ovation dengan penuh kebanggan. 
Curtain Call, Maya maju memberi penghormatan dan tepuk tangan membahana. Mata Maya tertuju pada buket mawar ungunya tapi kemudian terkesiap saat melihat siapa yang duduk disebelah buket bunga itu.

***
Maya mengusahakan dirinya tenang meski jantungnya berpacu sekarang. Dia tidak menyangka hal seperti ini bisa terjadi. Dia sedang berada diruang gantinya sekarang.
"Selamat untuk kesuksesan pementasanmu Maya,"
Seorang wanita berdiri mempesona didepan Maya, menyunggingkan senyum malaikatnya.
"Terima kasih," jawab Maya singkat.
"Kau tidak senang dengan kedatanganku, ya kan?"
"Tidak, saya hanya tidak mengerti kenapa anda datang Nona Shiori," Maya memakai topengnya yang lain. Dia tidak ingin menghadapi wanita itu sebagai seorang Maya.
Shiori tertawa pelan, "Aku datang untuk menonton drama tentunya. Apalagi ku dengar aktris nomor satu Jepang yang menjadi pemeran utamanya. Tunggu sampai para wartawan tahu akan hal ini."
Maya menyeringai, "Tidak ada yang salah jika saya bermain drama kan?"
"Memang tidak, tapi menunda pementasan Bidadari Merah untuk meraih karir di dunia internasional...hhhmmm, aku tidak yakin opini seperti apa yang akan muncul,"
"Anda datang hanya untuk menyampaikan itu?"
Shiori menggeleng, "Tidak, aku ingin melihatmu dan aku cukup terkejut melihatmu. Kau sudah berubah, kau lebih berani Maya, aktingmu juga semakin bagus."
"Terima kasih,"
"Hhmm, aku juga terkejut ternyata penggaggum setiamu, mawar ungumu, juga tahu kau pentas disini. Ternyata dia tidak pernah ketinggalan informasi tentangmu ya,"
Maya terkesiap, "Sial!! Wanita ini kan tahu siapa mawar ungu."
"Ya,"
"Apa kau sudah pernah bertemu dengannya Maya?"
"Tentu saja sudah, aku bahkan sudah menjadi kekasihnya," "Belum," Maya berbohong.
"Hhmm, menarik. Apa kau juga tidak tahu siapa dia?"
Maya tertawa dalam hati, "Aku tahu dengan pasti Shiori." "Tidak," Maya berbohong lagi.
Shiori tersenyum.
"Saya rasa pertemuan kita cukup Nona Shiori, saya harus segera berganti pakaian. Ada pesta premier yang harus saya hadiri,"
"Oh, tentu saja Maya. Terima kasih sudah bersedia menemuiku. Jujur drama tadi sungguh luar biasa. 'Die', aku jadi penasaran, apakah akan seindah itu jika terjadi di dunia nyata,"
Shiori berlalu dari hadapan Maya dengan senyum malaikat mautnya. Dan Maya terpaku.
"Apa maumu Shiori!" Rutuk Maya dalam hati.

***
Tokyo, kantor Daito.
"Kau sudah siapkan semuanya Mizuki?"
"Sudah Pak,"
"Bagus. Ingat! Tidak ada yang boleh tahu, bahkan ayahku sekalipun,"
"Anda bisa mengandalkan saya Pak Masumi,"
Masumi tersenyum senang, "Aku memang selalu mengandalkanmu Mizuki. Terima kasih,"
Mizuki membungkuk hormat saat Masumi meraih jasnya dan pergi.

***
Kesuksesan pementasan 'Die' mengisi berita utama di media cetak dan juga televisi. Nama Maya langsung menjadi perhatian berbagai pihak. Para kritikus seni, pengamat seni, masyarakat pecinta drama atau apapun itu, semuanya mulai tertarik dengan kemampuan akting Maya yang luar biasa.
'Die' hanya dipentaskan selama enam hari dan selama itu kursi penonton tidak pernah kosong bahkan ada yang sampai rela berdiri karena penasaran ingin melihat akting Maya yang heboh diberitakan diberbagai media.
Malam ini, tanggal sembilan belas Februari, adalah malam terakhir pementasan. 
Maya menerima banyak ucapan selamat. Bahkan juga surat penggemar mulai berdatangan. Maya jadi teringat pembicaraannya dengan Clara dan Michael soal daftar penggemar. Tapi tetap saja pengagum setianya hanya satu dan Maya menahan tawa saat teringat itu, tidak cukup kegilaan Masumi yang meletakkan buket bunga di kursi VVIP yang dibelinya selama enam hari berturut-turut, dia juga mengirim karangan bunga mawar ungu berukuran raksasa yang dipajang di lobi selama pementasan berlangsung. 
Semua orang terheran pada penggemar rahasia Maya yang berlabel mawar ungu itu. Dan yang lebih membuat heboh lagi adalah disebelah karangan bunga mawar ungunya yang besar berdiri juga karangan bunga mawar putih yang sama besar dan sama mencoloknya. Siapa lagi kalau bukan dari Christian Anderson. 
Maya bahkan menggeleng bingung hanya dengan melihat kedua karangan bunga itu berdiri berdampingan di lobi. Imajinasinya kali ini tidak sanggup membayangkan bagaimana jika kedua pengirim bunga gila itu bertemu. Jika itu sampai terjadi pastilah kiamat sudah dekat. Dan batin Maya terduduk lesu membayangkannya.
Selesai pementasan di hari terakhir, Maya begitu lega sekaligus lelah. Sudah pukul sebelas malam saat dirinya diantar Rose kembali keapartemen.
"Jangan lupa, minum vitamin, suplemen, bersihkan dirimu lalu segera istirahat. Besok kau libur. Jadi nikmatilah istirahatmu." Pesan Rose sebelum menutup pintu apartemen Maya.
Maya hanya mengangguk lalu mengunci pintu dan bergegas melakukan perintah Rose. Hanya perlu waktu tiga puluh menit bagi Maya untuk menyelesaikan rutinitas sebelum tidurnya sampai akhirnya dia menghempaskan diri ditempat tidurnya. Baru sekitar dua puluh lima menit Maya memejamkan mata terdengar suara bel yang membangunkannya.
"Ahh!! Siapa yang datang malam-malam begini sih!" Dengus Maya kesal, dia menggeliat panjang di tempat tidurnya. Menggosok matanya dengan kasar lalu melangkahkan kakinya dengan malas ke pintu.
Bel berbunyi sekali lagi, "Sebentar!" Teriak Maya.
Pintu terbuka.
"Selamat ulang tahun sayang,"
Mulut Maya ternganga. Masumi berdiri didepannya membawa buket bunga mawar ungu dan kue tart dengan lilin angka dua puluh satu yang menyala.
"Ma...su...mi...,"
Masumi membentangkan kedua tangannya dan Maya langsung berhambur memeluknya.
"Hei, pelan-pelan sayang, kau bisa membuat kuenya jatuh,"
Maya memukul-mukul dada bidang kekasihnya, membuat Masumi tergelak.
"Kau menyebalkan, kau meyebalkan!" Kata Maya.
"Iya, iya, Maya. Kau boleh marah, memukulku atau apapun. Tapi bisakah kita masuk dulu?" Masumi masih cekikikan geli melihat ekspresi Maya yang campur aduk.
Mendengus kesal, Maya menerima kue tart yang dibawa Masumi sementara Masumi sendiri menarik koper kecilnya dan mengikuti Maya masuk ke apartemennya.
Keduanya duduk diruang tamu sekarang. Maya meletakkan kuenya di atas meja.
Masumi langsung memeluk Maya dari belakang.
"Aku masih marah!!" Pekik Maya.
Masumi tertawa, sudah menduga akan mendapat reaksi seperti ini. Diapun membungkuk dan berbisik di telinga Maya.
"Iya sayang, kau boleh marah. Tapi buatlah dulu permohonan, lilinnya hampir mencair."
Amarah Maya langsung menguap saat mendengar bisikan Masumi yang begitu lembut ditelinganya.
Pura-pura cemberut Maya melepaskan pelukan Masumi lalu berlutut didepan meja, Masumi pun mengikutinya. Maya menangkupkan kedua tangannya dan memejamkan mata, saat membuka mata Maya meniup lilinnya yang hanya tinggal setengah. Matanya berkaca-kaca saat menoleh dan menatap Masumi disampingnya.
"Selamat ulang tahun Maya, aku berdoa semua yang terbaik untukmu," Masumi mengulangi ucapan selamat ulang tahunnya dan mengecup lembut kening Maya.
Air mata Maya langsung mengalir dan Masumi tersenyum.
"Aku tidak terbang sejauh ini hanya untuk melihatmu menangis,"
Maya langsung memeluk Masumi, terisak didadanya.
"Seumur hidupku...ini adalah ulang terbaik dan terindah dan terbahagia....Masumi...Terima kasih," ucap Maya ditengah isakannya.
"Ini yang pertama aku merayakan ulang tahunmu Maya dan aku berjanji ini bukan yang terakhir." Kata Masumi.
"Janji?" Maya masih terisak di dada bidang Masumi.
"Janji sayang,"
Maya menengadahkan wajahnya, dia meringkuk nyaman dalam pelukan Masumi.
"Terima kasih," ucap Maya, kepalanya bersandar pada lengan Masumi yang memeluknya.
"Boleh aku materaikan janjiku?"
Maya tersipu, dia tahu maksud Masumi.
Masumi meraih dagu maya lembut seraya mendekatkan wajahnya. Saat mata Maya terpejam, bibir keduanya saling berpaut. Dengan lembut Masumi merengkuh Maya dalam pelukannya dan bibirnya melumat perlahan bibir mungil Maya. Kerinduannya terbayarkan. Semua penantiannya seakan sirna ketika Maya membalas ciumannya.
"Aku.cinta.padamu," kata Masumi disela-sela ciumannya. Maya mengeratkan lengannya ketubuh Masumi saat ciuman keduanya semakin dalam.
"Ma...su...mi...," Rintihan Maya mengembalikan kesadaran Masumi. 
Keduanya terengah saat bibir mereka berpisah.
"Kau selalu membuatku hilang kendali Maya," kata Masumi, menatap kekasihnya yang sekarang merona dalam pelukannya.
Maya tersenyum dan sekali lagi memeluk Masumi erat. Sungguh dia merasa sangat bahagia. Tidak menyangka Masumi akan terbang melintasi benua hanya untuk merayakan ulang tahun yang bahkan tidak diingatnya.
Maya kembali tersenyum bahagia namun tiba-tiba melepaskan pelukannya.
"Kenapa?" Masumi terkejut menatap mata bulat Maya.
"Kau kabur lagi ya?" Sergah Maya.
Masumi tertawa, "Ku kira ada apa, kau ini membuatku terkejut saja,"
"Jawab dulu! Kau tidak kabur kan?"
"Tidak sayang, kali ini Mizuki tahu, ya...meski hanya dia yang tahu dan Hijiri tentunya. Seperti biasa, rute perjalanan kerja fiktif. Dia selalu sukses dengan cara itu,"
Maya tersenyum lega. Masumi cemberut.
"Kau lebih mengkhawatirkan pekerjaanku dibandingkan aku ya? Apa kau tak tahu betapa lelahnya aku sekarang," Masumi pura-pura merajuk lucu.
Maya terkikik, "Bukan begitu sayang, aku hanya tidak mau membuatmu repot. Kau dan semua tindakan tidak masuk akalmu itu kadang membuatku kebingungan. Kasihan Nona Mizuki dan Kak Hijiri kalau kau menghilang seperti kemarin."
"Aku tidak pernah merasa direpotkan olehmu dan...tindakan tidak masuk akal?" Masumi benar-benar cemberut sekarang.
Maya tertawa, dia bergeser dari pelukan Masumi lalu berlutut didepannya, menangkupkan kedua tangannya diwajah tampan Masumi.
"Ya. Kau dan semua tindakan tidak masuk akalmu," ulang Maya didepan bibir Masumi dan memberikan ciuman lembut nan singkat. Maya tersenyum lalu beranjak.
"Hei!" Protes Masumi saat Maya meninggalkannya. Entah protes karena perkataan Maya atau karena ciuman singkatnya.
"Apa?" Goda Maya seraya berjalan kedapur, dia kembali dengan membawa nampan berisi kopi panas, piring kecil dan pisau kue. Masumi masih keheranan dan belum bergeser sama sekali dari tempatnya.
Maya memotong kue dan meletakkannya dipiring kecil. Dia mengabaikan ekspresi Masumi yang menuntut jawaban darinya entah jawaban yang mana Maya juga tidak tahu.
"Mau kue?" Maya memiringkan kepalanya seraya mengangkat piring kecil itu disamping wajahnya.
"Katakan dulu padaku," kata Masumi.
"Katakan apa?" Maya tak mengerti, tapi menebak pasti salah satu dari dua kemungkinan yang muncul di otaknya tadi.
"Semua tindakan tidak masuk akalku, menurutmu?"
"Oh," Maya meletakkan kembali kuenya diatas meja lalu tersenyum geli. Duduk bersila diantara kedua kaki panjang Masumi, kedua lututnya bersandar pada paha Masumi.
"Menurutku?" Goda Maya.
Masumi mengangguk, dia tampak serius, "Iya, bagian mana dari tindakanku yang menurutmu tidak masuk akal?"
Maya menyipitkan kedua matanya, mengusap-usap dagunya, seolah sedang berpikir kemudian mendesah, "Semua,"
"Semua? Maksudmu? Aku tidak merasa tindakanku tidak masuk akal Maya,"
"Semua tindakanmu yang menyangkut diriku itu tidak masuk akal Masumi. Mau kuberitahu daftarnya?"
"Ada daftarnya?"
"Tentu,"
"Oke, sebutkan! Aku rasa kita harus menyamakan persepsi dibagian ini. Masuk akal bagiku dan tidak bagimu. Luruskan,"
"Pertama, menjadi penggemar fanatik seorang gadis kecil yang tanpa pamrih menolong dan mendukungnya dari balik layar,"
"Itu...,"
"Sssttt," Maya meletakkan jarinya dibibir Masumi, menghentikan interupsinya.
"Daftarku masih panjang, dengarkan dulu,"
"Maaf, baiklah, lanjutkan," Masumi kembali santai dan mendengarkan.
"Kedua berperan antagonis sebagai bos dingin dan gila kerja hanya untuk menutupi perasaanmu yang sebenarnya dan menyemangatiku dengan cara aneh yang selalu membuatku marah. Hhhmmm, aku tidak suka ini karena membuatku jadi menyia-nyiakan tujuh tahun kebaikanmu dan selalu bertengkar denganmu,"
Masumi masih diam, menatap Maya dan mendengarkan ocehannya.
"Ketiga mencintai wanita sepertiku yang tidak punya apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Memilihku dibanding puluhan gadis cantik dan menawan lainnya,"
"Keempat meletakkan mawar ungu di kursi VVIP yang membuat semua orang bertanya kenapa dan kenapa dan membuat orang semakin heran dengan karangan bunga raksasa,"
Sekarang bibir Masumi berkedut lucu menahan senyum. Dia masih menahan diri untuk tidak berkomentar. Ada waktunya nanti dia bicara, pikirnya.
"Kelima terbang melintasi benua hanya untuk menemuiku, merayakan ulang tahunku yang bahkan aku tidak ingat, dan daftarnya masih panjang tapi aku akan membuat kita kehabisan waktu jika menyebutkannya satu persatu,"
Maya berhenti, matanya sedari tadi tidak beranjak memandang malaikat yang ada didepannya.
Menghela napas lalu kembali mengusap tangannya kewajah Masumi dan Masumi memiringkan kepalanya, bersandar pada telapak tangan mungil itu, bibirnya tersenyum.
"Tapi...," Maya melanjutkan penjelasan panjangnya, 
"Semua tindakan tidak masuk akalmu itu justru membuatku begitu mencintaimu, menyayangimu, dan tidak ingin kehilanganmu. Ini adalah Masumi-ku yang rela melakukan semua hanya untukku,"
"Dulu aku meragukanmu, tidak percaya kau memiliki perasaan yang sama denganku tapi sekarang aku yakin, tidak ada orang yang mencintaiku lebih besar daripada cintamu padaku. Dan setiap hari aku tidak berhenti bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirimkan salah satu malaikatnya untukku. Untuk menemani aku yang sebatang kara, mencintaiku dan menyayangiku. Aku...,"
"Cukup," kata Masumi lembut, ibu jarinya mengusap lembut bibir Maya. 
"Kau bicara panjang sekali, aku harap apa yang kau katakan itu bukan bagian dari naskah drama romantis sayang. Dan aku rasa persepsi kita sudah sama sekarang. Aku terima semua argumenmu, asalkan itu berakhir dengan sebuah kesimpulan yang membuatmu mengerti betapa aku mencintaimu. Aku bahkan ingin memberikan dunia ke dalam pangkuanmu tapi aku tahu kau pasti tidak akan meminta itu dariku. Semua itu bukanlah tidak masuk akal sayang tapi semua itu menunjukkan betapa berharganya kau bagiku hingga semua yang kulakukan tidak akan cukup untuk menunjukkan betapa berharganya dirimu. Untuk itu, maukah kau berjanji satu hal padaku Maya?"
Maya tersenyum,
"Jadilah milikku, satu-satunya milikku, sekarang dan selamanya."
Maya menggeser telapak tangannya ketengkuk Masumi, menariknya, mendekatkan pada wajahnya, menyentuhkan bibir Masumi pada bibirnya.
"Aku.milikmu.satu-satunya.milikmu.sekarang.dan selamanya," kata Maya disela-sela ciuman hangatnya. Dan keduanya kembali terbuai. Dalam.

***
"Rose pasti akan marah kalau tahu aku makan black forest pukul satu pagi," kata Maya seraya menyuap sepotong kue pada Masumi dan sepotong lagi untuknya sendiri.
"Ada dia seketat itu?"
Masumi melantai bersandar pada sofa, memegang cangkir kopinya, menenangkan dirinya sendiri setelah Maya sukses membuatnya hilang kendali. Dia sama sekali tidak mau merusak hari ulang tahun Maya dengan kegilaannya tapi entah Maya mengerti atau tidak dengan apa yang dilakukannya. Dia lupa bahwa seorang Masumi Hayami hanyalah lelaki tak berdaya jika berhadapan dengan seorang Maya Kitajima. Dan sekarang dengan nyamannya Maya duduk disebelahnya menikmati kue ulang tahunnya.
Maya mengangkat bahu menjawab pertanyaan Masumi, "Ya dalam beberapa hal. Dia bilang aku harus menjaga tubuhku tetap fit dan proporsional, dia membatasi konsumsi gula dan makanan manis. Kebanyakan menuku sudah diatur olehnya dan sangat menyebalkan aku tidak bisa makan es krim sesukaku,"
Masumi tertegun, sejenak mengamati kekasihnya. Kata-kata Maya membuat Masumi mengamati tubuh Maya yang berbalut piyama satin mahal berwarna putih gading. Bahan satin itu memiliki potongan pas dengan tubuh Maya dan memperlihatkan lekukan tubuhnya yang baru disadari Masumi semakin...indah? Sekarang dirinya benar-benar menyadari perubahan fisik Maya. Entah karena ciuman panas mereka yang terpaksa harus berhenti atau karena memang Maya sudah merawat dirinya dengan baik tapi yang jelas kekasihnya itu terlihat begitu merona segar dan seksi, menggoda dan... Masumi menggeleng cepat, menyingkirkan pikiran tidak sopannya.
"Bukankah itu bagus sayang, kau kan seorang aktris jadi kau memang harus menjaga penampilanmu." Masumi mengalihkan pkirannya sendiri.
"Hhmm, ya kau benar. Apa kau suka kalau aku terlihat cantik?" Tanya Maya polos.
Masumi tersenyum, "Bagiku kau selalu cantik Maya," dan Maya tersenyum senang mendengarnya. 
Sekali lagi menyuap sepotong kue untuk Masumi dan dua suapan untuk dirinya sendiri. Masumi menahan senyum gelinya, kadang kepolosan Maya membuat Masumi berpikir bahwa dirinya adalah seorang pendosa.
Masumi meneguk kopinya yang sudah dingin. Tapi tubuhnya tidak perlu kehangatan dari secangkir kopi panas, ciuman panjang yang hampir saja membuat keduanya lupa akan dunia sudah cukup membakarnya.
"Apa kau senang berkarir di New York Maya?" Sekali lagi Masumi mengalihkan pikirannya sendiri.
"Ya, aku seperti memiliki dunia baru sekarang. Menyenangkan, semuanya baik padaku." Memori Maya tiba-tiba melayang pada peristiwa kecelakaannya dan pertemuannya dengan Shiori pada pementasan perdana 'Die'. Melirik pada Masumi yang duduk dengan tenang. Maya sama sekali tidak mau Masumi tahu akan hal itu, dia akan menyimpannya sendiri. Masumi sudah memiliki cukup banyak beban. Perlahan Maya merapikan poninya, menutupi bekas jahitannya yang masih terlihat. Cepat atau lambat nanti Masumi pasti akan melihat luka itu tapi untuk sementara Maya masih bisa berharap kekasihnya itu tidak memperhatikan. Dan memar yang masih tersisa di tubuhnya? Maya memaki dirinya dirinya sendiri yang tidak sopan. Otaknya terlalu lancang memikirkan Masumi akan melihat tubuhnya. Memang akan sejauh itu? Apa dia menginginkannya? Maya menggeleng dan menenangkan dirinya sendiri dan kembali menatap Masumi.
"Aku senang mendengarnya dan juga...," Masumi menyapu aparteman Maya dengan pandangan matanya, "Kau mendapat fasilitas yang luar biasa Maya. Jelas Clara menyukaimu. Aku jadi lebih tenang melihat semua ini, setidaknya aku tahu kau terjaga dengan baik disini,"
"Sudah kubilang kan kalau kau tidak usah terlalu mengkhawatirkanku."
"Sekarang aku percaya setelah melihat semua ini," Masumi tersenyum lega.
"Kau mau lagi?" Maya menawari potongan kue lagi.
"Tidak, terima kasih,"
"Oh ya, bagaimana perkembangan Daito sekarang? Apa semua sudah membaik?"
Masumi terkesiap, dengan cepat melembutkan ekspresinya.
"Semua baik-baik saja, tidak ada yang harus dikhawatirkan," Masumi berbohong.
Sepertinya memang hanya Tuhan yang tahu bagaimana kesungguhan sepasang kekasih itu yang selalu berbohong hanya demi menjaga satu sama lain. Bahkan saat keduanya saling menginginkan untuk bisa bersatu, memiliki seutuhnya, keduanya masih berusaha keras menjaga diri.
"Senang mendengarnya," Maya meletakan piring kosongnya dimeja. 
"Aku sempat cemas saat tahu Daito kacau gara-gara pembatalan kerja sama dengan Grup Takatsu. Syukurlah kalau sekarang semuanya baik,"
"Kau peduli dengan Daito Maya?"
Maya menggeleng, "Bukan Daito yang ku khawatirkan tapi Direkturnya yang dingin dan gila kerja itu yang sangat sangat membuatku khawatir,"
Masumi tertawa, "Direktur dingin dan gila kerja? Baru satu jam kita bertemu dan kau sudah banyak sekali mengejekku, ya setidaknya kali ini lebih terhormat daripada kecoa,"
"Aku tidak mengejek, orang-orang yang bilang kau begitu,"
"Hhmm, lalu menurutmu?"
Maya terkikik, "Kau memang gila kerja sayang tapi kau tidak dingin menurutku, justru sebaliknya...hhhmm, kau sangat hangat,"
Masumi tersenyum, kata-kata Maya membuat pikirannya mengembara. Naluri laki-lakinya sedikit sulit dikendalikan sekarang. Tapi dia tetap berusaha. "Berusaha untuk apa?" Batin Masumi meracau.
"Hangat?"
Maya mengangguk dan perlahan merangkak mendekati Masumi yang duduk bersandar pada sofa. Dengan polosnya, Maya duduk dipangkuan Masumi dan melingkarkan lengannya dileher kekasihnya.
"Kau sangat hangat," bisik Maya seraya menyandarkan kepalanya dibahu Masumi.
"Maya," Masumi tidak bergeming, tangan kirinya bahkan masih membawa cangkir.
"Hhmm," Maya sudah nyaman bersandar padanya dan enggan untuk beranjak. 
Masumi pun meletakkan cangkirnya di meja tanpa menggeser Maya, tidak sulit dengan jangkauan tangan panjangnya.
Masumi memeluk Maya yang meringkuk dalam pangkuannya, tangannya membelai punggung dan rambut kekasihnya dengan lembut. Desahan napas Maya yang terdengar lembut ditelinga Masumi benar-benar menggelitiknya.
"Hhmm, sayang...," Masumi menelan ludahnya.
"Ya,"
"Apa kau belum mengantuk?"
Maya menggeleng di bahu Masumi, mengeratkan pelukannya sehingga napasnya terasa begitu hangat dileher jenjang Masumi.
"Oh tidak, bisakah aku bertahan?"
"Tidurlah, kau pasti lelah."
"Masumi...," Maya beringsut lembut dipangkuannya, sekarang wajah Maya benar-benar terbenam dileher Masumi.
"Aku tidak tahan tapi aku tidak mau dia beranjak dari pangkuanku,"
"Ada apa Maya?" Masumi justru semakin lembut membelai rambut dan punggung Maya.
"Aku sangat bahagia, disini, dalam pangkuanmu. Dihari ulang tahunku, kau membuatku menjadi wanita paling bahagia dibumi ini. Apa aku memalukan seperti ini?"
Masumi mencoba menerka maksud perkataan Maya, "Katakan padaku apa yang mengganggumu sayang?" Masumi membelai rambut panjang Maya.
"Apa yang bisa ku lakukan untuk membahagiakanmu Masumi?" tanya Maya lirih.
Masumi terkesiap, ternyata Maya menyadari keinginannya. Perlahan Masumi melonggarkan lengan Maya sehingga dia bisa melihat mata Maya yang berkaca-kaca.
"Kenapa Maya? Kenapa kau berpikir seperti itu?" Masumi mengusap lembut pipi Maya.
"Entahlah, aku baru menyadarinya saat aku menciummu tadi, kau seperti ingin...lebih? Aku tidak tahu aku benar atau tidak, tapi aku hanya merasa kau tertekan...menahannya?"
Masumi terdiam, terkejut bahwa Maya mengerti dan memahami dirinya. Tapi sekarang Masumi bingung.
"Maaf, apa aku menyinggungmu?" Tanya Maya ragu.
Masumi menggeleng, "Aku hanya tidak tahu harus menjawab apa,"
"Apa...kau menginginkanku?"
Masumi menghela napas, membelai pipi Maya, "Sayang, jujur, aku sangat menginginkanmu tapi...aku tidak mau memanfaatkan rasa percayamu padaku yang begitu besar itu. Maksudku apakah...kau tahu apa yang aku maksud kan?"
"Karena kita belum menikah? Segala sesuatu bisa saja terjadi? Kau tidak mau menyakitiku?" Kata Maya lirih seraya bersandar pada telapak tangan Masumi yang hangat.
Masumi tersenyum. Mata Maya masih berkaca-kaca, dia kembali melingkarkan tangannya keleher Masumi. Membuat jarak keduanya semakin menghilang.
Kening Maya menempel pada kening Masumi, hidung mereka saling bersentuhan, merasakan desahan nafas satu sama lain.
Keduanya terdiam, saling terpejam, merasakan hangatnya napas satu sama lain. Masumi tidak bisa berpikir lagi saat Maya memiringkan wajahnya dan menyentuhkan bibirnya. Dengan lembut direngkuhnya tubuh Maya saat ciuman keduanya semakin memburu. Masumi membaringkan Maya dikarpet tanpa melonggarkan dekapannya sedikitpun bahkan bibir mereka masih berpaut.
Maya terengah saat dirinya terbaring dikarpet dan diatasnya Masumi yang menangkupkan kedua tangannya di wajah Maya, memandangnya dengan begitu dalam. Tapi itu hanya sesaat karena kemudian Masumi kembali mencumbu bibir Maya. Dirinya tidak bisa lagi menolak pesona seorang Maya Kitajima.
Perlahan, tangan Masumi mulai membelai leher Maya, menelusuri bahunya. Tangan Masumi merasakan hangatnya tubuh Maya meski terhalang piyama satinnya.
Maya masi terpejam, menikmati setiap cumbuan Masumi. Tangannya masih melingkar dileher Masumi, menekan jari-jarinya di sela-sela rambut Masumi.
"Maya...," Masumi mengucap nama Maya seperti sebuah doa, Maya tersenyum saat Masumi melepaskan bibirnya. Keduanya terengah. Kelelahan dengan sensasi asing bagi keduanya.
Masumi terkesiap melihat dua kancing atas piyama Maya sudah terbuka, entah bagaimana hal itu terjadi. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkannya, apa yang dilihatnya karena piyama Maya tersingkap membuatnya benar-benar shock.
Maya menyadari apa yang terjadi dan dengan cepat membenahi piyamanya untuk menutup tubuhnya.
"Apa yang terjadi Maya?" 
Raut wajah Masumi menegang. Wajah lembutnya langsung menghilang dan berubah menjadi garis keras. Maya bekerut dibawah tatapan mata gelap Masumi. Ekspresi Masumi tak terbaca. Marah? Cemas? Bingung? Entah apa itu dan itu membuat Maya mendekap dirinya sediri dengan kedua lengannya.
Masumi bangun dan duduk disamping Maya. Menarik dekapan lengan Maya dari tubuhnya.
"Tidak, kumohon jangan," pinta Maya.
"Tidak Maya, aku ingin melihatnya." Masumi bersikeras, tangannya masih berusaha melepaskan dekapan Maya dari tubuhnya.
"Jangan, aku...aku mohon," Mata Maya kembali berkaca-kaca. Dia sedih sudah mengacaukan semuanya.
"Jangan memohon seperti itu padaku," kata Masumi marah.
Maya menyerah, membiarkan Masumi menarik kedua lengannya dan membuka piyamanya.
Mata Masumi semakin gelap dan napasnya juga semakin berat. Marah. Otaknya menuntut penjelasan. Maya tidak berani memandang Masumi, menutup mata dengan lengannya.
Masumi kembali menutup piyama Maya, terdiam, dia berusaha keras menata emosinya. Dia tahu Maya takut akan ekspresinya.
Menghela napas panjang, Masumi menarik lengan Maya yang menutupi matanya. Membelai wajah Maya yang masih terbaring.
"Maafkan aku, tapi tolong katakan padaku apa yang terjadi? Semua itu luka memar kan?" Masumi melembut, meminta penjelasan atas semua memar yang masih meninggalkan tanda kecoklatan di tubuh Maya.
"Apa kau marah? Aku mengacaukan semuanya, maaf." Tanya Maya.
"Maya! Apa yang kau pikirkan?!" Pekik masumi berang. Dia mengangkat tubuh maya dan kembali merebahkannya dipangkuannya. Mendekapnya. Mencoba meluruskan hal yang keliru diantara mereka.
"Aku marah Maya, sangat marah. Tapi bukan karena itu. Aku marah karena melihat...semua tanda itu," Masumi membelai kening Maya dan kembali terkesiap, "Dan ini?! Apa ini Maya?" Luka jahitan Maya yang baru saja kering semakin membuatnya berang.
Maya terdiam.
"Sayang, sesuatu telah terjadi kan? Katakan padaku?" Bujuk Masumi seraya membelai luka jahitan dikening Maya.
"Aku tidak apa-apa, hanya terjadi kecelakaan dipanggung. Aku jatuh dari balkon dan...,"
"Dari balkon?! Seberapa tinggi Maya?" Masumi menatap Maya lekat.
"Ngg, sekitar tiga meter," jawab Maya lirih.
Masumi menutup mata dengan tangannya. "Dan kau tidak mengatakannya padaku?"
"Aku tidak mau kau khawatir,"
Masumi tertegun, selintas memori terbesit dikepalanya, "Jangan-jangan...hari itu...,"
Maya mengangguk, mengerti yang dimaksud Masumi.
"Itu berarti sekitar tujuh atau delapan hari yang lalu? Lalu sekarang bagaimana keadaanmu? Dan luka ini...," wajah masumi kembali mengeras, "Apa masih sakit?"
Maya menggeleng, "Aku beruntung hanya mengalami gegar otak ringan dan tiga jahitan disini," Maya menunjuk pelipisnya.
"Beruntung?" Masumi jelas tidak suka dengan kata itu. 
Dan ingatannya juga kembali melayang saat dulu Maya pernah mengalami memar diseluruh tubuhnya. Benar-benar ingatan yang pahit.
"Aku baik-baik saja," Maya meyakinkan.
Mendesah panjang, Masumi memeluk Maya erat. Dalam hati bersyukur dia melihat memar itu. Kalau tidak, entah apa yang sudah mereka berdua lakukan sekarang. Dirinya benar-benar hilang kendali saat Maya menyerahkan dirinya.
"Bodohnya aku!! Aku seharusnya menjaganya!!" Masumi mengutuki dirinya sendiri karena hilang kendali.
"Jadi kau tidak marah?" tanya Maya lirih.
Masumi tersenyum, "Kenapa kau takut sekali aku marah?"
"Karena aku sudah mengacaukan...hhmmm...'itu'...?"
Masumi terbahak dan mengeratkan pelukannya. Menggeleng geli dengan pemikiran Maya.
"Tidak sayang, aku tidak akan marah karena hal seperti itu,"
Masumi bangkit dan mengangkat Maya dalam gendongannya.
"Katakan yang mana kamarmu?"
Maya menunjuk ke pintu coklat.
"Jadi, kita tidak akan melakukannya?" Tanya Maya ragu.
Masumi menggelang geli, lagi.
"Tidak Maya, kita tidak akan melakukannya. Maafkan aku tadi ya," kata Masumi sambil berjalan kekamar Maya.
"Jadi?"
"Maya, Maya, ternyata kau yang lebih tidak sabar ya,"
Maya cemberut, "Bukan begitu, aku hanya tidak mau kau kecewa padaku!" Katanya seraya memukul manja dada Masumi.
Masumi berhenti tepat didepan pintu kamar. Menatap Maya lembut, sama sekali tidak terbesit dipikirannya bahwa Maya akan menyerahkan dirinya hanya agar dirinya tidak kecewa.
"Kau tidak pernah mengecewakanku sayang. Percayalah. Maafkan aku tadi, aku berjanji, kita akan melakukannya dengan layak setelah kau resmi menjadi milikku,"
Maya tersenyum. Menyandarkan kepalanya di dada Masumi, "Terima kasih,"
"Kau hanya ingin menyenangkanku kan?"
Maya tersipu dan mengangguk.
"Aku senang jika sekarang kau mau tidur, beristirahat dalam pelukanku, bagaimana?"
Maya terkikik geli dengan pemikiran gilanya, "Ya,"

***
Maya terbangun pukul enam pagi dan merasakan kehangatan melingkupi tubuhnya. Masumi melilit tubuhnya dengan dekapan lengannya. Maya tersenyum bahagia, menikmati makhluk indah yang masih terlelap di sebelahnya.
Tidak ingin mengganggu istirahat Masumi, Mayapun mengangkat lengan Masumi perlahan dan meletakkannya diatas guling sementara dirinya turun dari tempat tidur dan melakukan aktivitas paginya. Dan karena hari itu dia libur maka Maya berencana untuk menyiapkan sarapan sebelum Masumi pulang. Berjalan perlahan, seolah langkah kakinya bisa membangunkan Masumi.
Senyum Maya masih mengembang saat dia menatap Masumi yang begitu nyenyak tertidur dan akhirnya menutup pintu kamar. Membiarkan malaikatnya damai beristirahat.

***
Rumah Keluarga Anderson.
"Anda yakin Tuan?" Ryan mengernyit heran.
"Kenapa? Kau mau melarangku pergi?"
"Bukan Tuan, hanya saja, ini masih terlalu pagi menurut saya. Apakah tidak akan mengganggu Nona Maya?" Ryan melihat jam tangannya, pukul enam pagi.
Christ tertawa.
"Memang itu tujuanku, mengganggunya,"
Christ menenteng sebuah tas kecil dengan sebuah kado didalamnya. Mengabaikan peringatan Ryan.
Mobil melaju menuju apartemen Maya.

***


>>Bersambung<<
>>Ketujuh belas : Juliet<<
>>Kesembilan belas : Maya - Angelina<<

Post a Comment

19 Comments

  1. Ga sabar nunggu lanjutannya.......

    ReplyDelete
  2. Waaah christ bakal ketemu masumi... trims mba agnes di tunggu next chap y..^^

    ReplyDelete
  3. Waaa... bakalan heboh nich!!! kedua "pejantan" maya akan bertemu!!! (ich... aku ngomong apa sich?)

    ReplyDelete
  4. Kurang panjang mba agnes... lagi donk...!

    ReplyDelete
  5. Kurang panjang mba agnes... lagi donk...!

    ReplyDelete
  6. Hihihi....shiori ratu lobak..julukan nya yg keren bgt mba...lanjutannya jgn lama2 ya mba agnes...makin penasaran kya nya bakaln ada perang dunia neh masumi sma christ ktmu..

    ReplyDelete
  7. Kelihatannya bakal terjadi perang nih....makin penasarn

    ReplyDelete
  8. Wow...gimana jadinya klo keduanya bertemu, gk kebayang dech

    ReplyDelete
  9. Hmmmmm,klw dah begini mah ,,mules perut....gak tenang...chapter pelik...tp harus dibaca, ga tega ama maya...hu..hu..hu...

    ReplyDelete
  10. Seruuuu.. lanjut sist.... jangan lama2 hehehehe

    ReplyDelete
  11. Seruuuu.. lanjut sist.... jangan lama2 hehehehe

    ReplyDelete
  12. Seruuuu.. lanjut sist.... jangan lama2 hehehehe

    ReplyDelete
  13. Ga sabar untuk part depan chris ketemu masumi...tq mba agnes udah apdet ;)

    ReplyDelete
  14. Ga sabar untuk part depan chris ketemu masumi...tq mba agnes udah apdet ;)

    ReplyDelete
  15. Hmmmmm,klw dah begini mah ,,mules perut....gak tenang...chapter pelik...tp harus dibaca, ga tega ama maya...hu..hu..hu...

    ReplyDelete
  16. Makasih boanget buat updetannya, seperti biasa gantung ceritanya sukses bikin penasaran, hehehe
    Jangan lama2 ya mba...kasihan kami para MM lovers... TOP pokoknya...!!!

    ReplyDelete
  17. Cara mendeskripsikan adegan maya masumi Di hari ulang tahunnya oke.. Jadi Ikutan nahan napas he3

    ReplyDelete
  18. Kurang panjang ya? hahahha di word uda 19 hal lo xixixixiii
    Semoga nanti juga suka sama kejutan di chap berikutnya
    Thanks ya buat semua yang uda baca... semangat jadinya... :)

    ReplyDelete
  19. Sore ni msh blum.? ... ngarep .com#

    ReplyDelete