Ketiga belas : Rinduku

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalannya.

*********************************************************************************






Masumi keluar dari ruang rapat dengan tergesa. Wajah angkernya membuat para karyawan yang dilewatinya bergidik ngeri. Dibelakangnya Mizuki berusaha menyamakan langkah kaki, wajahnya juga tidak kalah angker dengan bosnya. Tidak ada yang berani menyangkal kalo keduanya adalah patner kerja yang cocok, dengan aura mematikan yang sama.

Menghempaskan tubuhnya dengan kasar dikursi kerjanya, Masumi menyalakan sepuntung rokok dan mulai menghisapnya. Tanpa mempedulikan Mizuki yang berdiri didepannya, Masumi mulai membuka tumpukan laporan hasil rapat yang baru saja diletakkan Mizuki dimejanya.

"Sampai kapan anda akan seperti ini Tuan?" tanya Mizuki tanpa basa-basi.

Masumi diam tidak berkomentar, baginya pertanyaan Mizuki dianggap sebagai angin lalu. Terlebih karena topik pembicaraan Mizuki masih terlarang baginya.

"Sudah dua minggu, bukankah ini namanya menyiksa diri sendiri? Dulu saya mengerti kalau anda tersiksa karena menganggap cinta anda bertepuk sebelah tangan tapi sekarang-,"

Braaakkk!!!

Masumi sengaja membanting map laporan yang dibacanya kemeja dan mematikan puntung rokoknya yang masih panjang ke dalam asbak. Tapi sekretaris itu sudah siap dengan reaksi bosnya. Dia tetap tak bergeming ditempatnya dan menatap Masumi dengan tajam. Suasana hening sesaat.

"Apa anda marah pada saya Tuan Masumi?" Tanya Mizuki sopan, dia tahu bosnya harus segera disadarkan dari sifat posesifnya yang sekarang sudah diluar batas toleransi.

Masumi masih diam tapi kali ini sepasang mata tajamnya menusuk Mizuki dalam-dalam. Mizuki tahu mata itu bicara padanya dan mengatakan tutup-mulutmu.

"Ah, anda tersinggung dengan perkataan saya? Kalau boleh tahu bagian mana dari kalimat saya yang menyinggung perasaan anda?"

Masumi menghela napas panjang, menyerah pada mulut pedas sekreterisnya karena dia memang tidak menemukan kesalahan pada perkataan Mizuki.

"Apa maumu?" Akhirnya Masumi membuka mulutnya.

"Anda sudah tahu apa yang saya inginkan. Daito sedang kacau dan anda bisa membuatnya lebih kacau lagi dengan kondisi anda yang seperti ini," Jawabnya datar. "Anda selalu saja bertindak kekanakan jika menyangkut tentang Maya,"

"Kekanakan?" Mulut Masumi menyeringai, terhina.

"Memang itu kenyataannya. Anda menyiksa diri anda sendiri dengan pemikiran negatif yang belum tentu itu nyata. Apa itu tidak kekanakan namanya?"

"Dari mana kau tahu 'itu' belum tentu nyata?" Mata Masumi menyipit, menekankan kata itu dengan intonasi yang lebih dalam.

"Karena memang 'itu' semua hanya ada dalam pikiran anda sendiri kan?" Mizuki juga menekankan kata itu dengan dalam. Menandakan protesnya pada sikap Masumi, "Apa anda pikir Maya jauh-jauh pergi ke Amerika hanya untuk 'berselingkuh' dengan Shigeru?" Akhirnya Mizuki menjabarkan 'itu' nya dengan lebih jelas sekarang, membuat ekspresi Masumi langsung mengeras.

"Seperti kau tahu saja," cibir Masumi.

"Tentu saja saya tahu!" Pekik Mizuki. Kali ini benar-benar kesal dengan bosnya yang keras kepala.
"Kau kan tahu Maya mencintainya," kata Masumi datar ditengah ekspresi garangnya.

"Ya, tapi itu sudah lama sekali dan sekarang kenyataannya Maya mencintai anda, oh maaf saya salah, sangat sangat mencintai anda! Dan sungguh saya kasihan padanya karena orang yang sangat sangat dicintainya itu justru tidak percaya padanya. Dia lebih percaya pada pemikirannya sendiri yang dilandasi entah dengan apa, yang berpikir bahwa kekasihnya saat ini sedang bersenang-senang dengan mantan pacarnya dan mengabaikan belahan jiwanya disini," kata Mizuki geram, entah bagaimana Mizuki bisa merangkai kata-kata yang lebih seperti skenario drama dibanding sebuah omelan. Mungkin karena terlalu sering menonton pertunjukan drama membuat kosakata omelannya menjadi lebih variasi.

"Apa kau sudah selesai?" tanya Masumi masih dengan nada datar, sepertinya ucapan Mizuki yang panjang lebar juga masih dianggap angin lalu oleh Masumi.

Mizuki menggeleng tak percaya, namun sadar kalau tidak ada gunanya lagi dia bicara. Diapun mengangguk hormat lalu pergi meninggalkan ruangan Masumi, membiarkan bosnya merenungi setiap perkataannya.

Masumi menatap kosong pada pintu yang tertutup dimana Mizuki baru saja keluar. Hati kecilnya mengangguk-angguk setuju pada setiap ocehan Mizuki, tapi otaknya kembali berspekulasi lain.

Mengingat Shigeru memiliki pesona yang mungkin mengalahkannya, dengan kemudaannya, keceriaannya, keramahannya dan kepandaiaannya dalam berakting, juga...ah...Masumi kembali sadar, jarak yang terlalu dekat antara Shigeru dan Maya, itulah yang paling membuatnya berang.

Saat Maya dekat dengan Koji dirinya tidak sekacau ini, itu karena dirinya masih bisa mengamati Maya meskipun hanya dari kejauhan. Hijiri masih bisa membantunya mengawasi Maya. Tapi sekarang, siapa yang tahu apa yang dilakukan kekasihnya itu. Terlebih setelah Hijiri kembali dan tidak membawa laporan memuaskan seperti yang diinginkannya. Hanya kepingan-kepingan kecil rencana Maya yang terbaca, selebihnya nihil. Membuat otak Masumi mengembara kemana-kemana mencari jawaban. Dan hasilnya justru sebuah tanda tanya besar, tembok keraguan yang berdiri antara dirinya dan Maya.

Kediaman Maya untuk tidak menceritakan rencananya membuat Masumi merasa tidak berguna dan gagal. Lalu dengan mudahnya memberikan itu sebagai hak bagi Maya untuk berpindah ke lain hati. Mengingat saat ini juga mereka dipisahkan oleh jarak yang begitu jauh.

Masumi melirik handphonenya, hatinya menjerit ingin meraih dan menghubungkannya dengan sumber kegilaannya. Tapi pikirannya menolak, terlebih sudah satu minggu Maya juga tidak lagi mengirim pesan ataupun email padanya. Tidak ada lagi yang mengingatkan dirinya soal jam makan atau memperingatkannya untuk tidak bekerja terlalu keras. Hal itu membuat spekulasi di otak Masumi memiliki sebuah pembenaran. Maya melupakannya.

Menghela napas panjang, Masumi kembali membuka laporannya dan mulai membaca. Tak lama kemudian dia tenggelam dalam pekerjaannya.

***
Waktu berlalu begitu saja bagi Maya. Dia tetap berusaha keras mewujudkan impiannya. New York, musim gugur pertengahan November.

"No, no Maya. Repeat, please!"

Maya melirik pada gurunya lalu kembali mengulang membaca dibagian yang diperintahkan. Miss Morgan sedang membantu Maya membaca naskah drama dalam bahasa inggris. Setelah pelajaran bisnisnya selesai, Miss Morgan mulai dengan pelajaran bahasa inggris untuk Maya.

Dan Maya lebih mudah belajar jika menggunakan naskah drama.

"Once again," kata Miss Morgan, meminta maya mengulang lagi karena salah ucap pada beberapa kata.

Miss Morgan yang juga fasih berbahasa jepang, mengajarkan pelajaran bisnisnya dengan bahasa jepang agar Maya bisa lebih memahami. Dan sejauh ini meski otak Maya terpaksa harus diperas habis-habisan, hasilnya cukup memuaskan.

Akan tetapi, Miss Morgan sedikit kesulitan mengajari Maya bahasa inggris. Daya ingat Maya sungguh lemah dalam menghafal kosa kata. Namun setelah mendengar cerita Maya yang begitu mencintai akting dan kelebihannya yang luar biasa cepat dalam menghafal naskah drama dalam sekali baca membuahkan sebuah ide baginya.

Miss Morgan meminjam beberapa naskah drama dari perpustakaan kota dan mengajari Maya dengan menggunakan naskah drama tersebut. Seolah-olah Maya harus menghapalkannya untuk sebuah pementasan. Alhasil, dalam dua minggu terakhir kemajuan Maya cukup pesat. Sudah tiga naskah drama yang berhasil dihapalkannya dengan fasih.

Maya tersenyum lega saat berhasil menghapal naskah drama keempatnya.

"Good Maya, I'm proud of you," puji Miss Morgan.

"Thank you Miss Morgan, this is because your good idea," Maya juga memuji gurunya.

"Aku rasa cukup untuk hari ini. Kita akan lanjutkan besok ya. Oh ya, ujian masukmu satu bulan lagi, jadi kau harus belajar dengan keras." Pesan Miss Morgan.

"Tentu, saya akan terus berusaha," Maya meyakinkan.

Miss Morgan pun permisi pulang, meninggalkan Maya sendiri di apartemennya.

Dengan malas Maya merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Pikirannya mulai melayang jika dia sendirian.

"Ah, Masumi ... kau sedang apa sekarang? Aku rindu sekali ...," gumamnya lirih, tapi saat air mulai mendesak keluar disudut matanya, Maya langsung bangun. Menggosok dengan dengan kasar kedua matanya lalu mendengus kesal.

"Aku tidak boleh menangis! Tidak boleh!" Katanya pada dirinya sendiri. 

Dan seketika mengerucutkan bibirnya, "Si bodoh itu, masih belum juga menghubungiku! Dasar! Aku juga tidak akan menghubunginya! Seenaknya saja dia berpikiran aku selingkuh disini!! Awas nanti kalau aku kembali ke Jepang! Kalau saja bukan karena Daito yang sedang kacau aku pasti sudah memakimu habis-habisan!" Gerutu Maya panjang lebar.

Hijiri dan Mizuki selalu memberikan berita terbaru tentang Masumi dan Daito padanya. Setidaknya meski marah tapi Maya tahu kalau kekasihnya masih baik-baik saja dan utuh, hanya sedikit lebih menyeramkan dari biasanya. Dan Maya juga marah karena Masumi tidak percaya padanya.

Maya melihat jam dinding, sudah pukul sepuluh malam. Tersenyum sendiri lalu meraih handphonenya.

"Halo," sapa Maya ditelepon.

"Halo Maya, ada yang penting?" Tanya Mizuki.

"Anda kan tahu apa yang penting itu Nona Mizuki," kata Maya.

"Ya, seperti biasa, masih dengan pekerjaan, kopi dan rokoknya. Sulit makan. Kenapa kau tidak menghubunginya saja?" Mizuki sedikit kesal.

"Dia juga tidak menghubungi saya," dengus Maya kesal.

"Tidak adakah diantara kalian yang mau mengalah?" Mizuki menggelengkan kepalanya.

"Untuk apa saya menghubunginya? Dia juga tidak percaya pada saya."

"Kalian berdua ini, sama-sama keras kepala. Kupikir setelah kalian menjadi sepasang kekasih maka pertengkaran kalian akan berakhir ternyata sama saja,"

"Bukan saya yang mulai,"

Mizuki mendesah, "Kau juga kenapa tidak mau melibatkan dirinya dalam rencanamu?"

"Karena bisa-bisa semuanya berantakan kalau dia sampai tahu!"

"Ya terserah sajalah. Hanya saja kau membuat Daito seperti neraka sekarang,"

Maya tertawa, "Bukankah memang sejak dulu seperti itu,"

Tertegun sejenak, "Ah iya, kau benar juga," kata Mizuki kemudian. Maya tertawa.

"Nggg, Nona Mizuki, apa dia masih terlihat cemburu pada Satomi?" tanya Maya ragu.

"Cemburu? Kau meremehkan sekali Maya,"

"Eh?!"

Mizuki mendesah, "Seandainya Shigeru ada disini sekarang, aku bisa pastikan dia tidak akan selamat,"

"Saya sudah menjelaskan keberadaan Satomi hanya sebagai teman tapi ... Si bodoh itu !!! Kenapa harus berpikir seperti itu!" Maya kembali kesal.

"Apa kau juga mau melampiaskan kekesalanmu padaku Maya?"

Maya terdiam, "Tentu saja tidak, maaf kalau anda merasa seperti itu. Baiklah, tolong titip kekasih saya ya, maaf menyita jam istirahat anda."

"Maya, Maya, kenapa juga aku harus setuju dengan permintaan konyolmu ini ya?" Mizuki merasa tidak percaya dengan keputusan yang telah dibuatnya itu. Apakah memang karena loyalitasnya yang tinggi pada Masumi atau karena luluh melihat tekad Maya atau juga hanya karena merasa tertantang ikut dalam permainan Maya yang dia sendiri juga tidak tahu akan seperti apa jadinya.

"Saya tidak akan melupakan kebaikan anda seumur hidup saya Nona Mizuki," kata Maya sopan.

"Sudahlah, lupakan."

Maya tersenyum lega saat menggumamkan terima kasih dan mengakhiri teleponnya. Dengan malas kembali kekamarnya dan menghempaskan dirinya di tempat tidur.

"Masumi...aku rindu...," Gumamnya, tapi tak lama kemudian, "Masumi BODOH !!!" teriaknya dan akhirnya terlelap karena lelah menangis.

***
Rumah Takamiya.

"Bagaimana? Apakah kalian sudah mendapatkannya?" Duduk dikamarnya, seorang wanita terlihat gelisah. Tangannya menggenggam handphone dengan kuat.

"Maaf Nona, kami belum berhasil menemukannya," jawab pria di ujung telepon lain.

Mendesah dengan kecewa, "Jangan berhenti, kau harus temukan dia. Apapun caranya dan berapapun biayanya, aku tidak peduli! kau harus temukan dia!" Katanya dengan penuh emosi.

"Baik Nona," dan telepon berakhir.

Jari-jari panjang wanita itu mencengkram kuat lengan kursinya setelah meletakkan handphonenya di meja.

"Nona Shiori, anda harus istirahat dulu, tidak baik terlalu banyak berpikir seperti itu,"

"Bibi Takigawa tidak perlu khawatir. Aku lebih kuat sekarang." Kata Shiori menenangkan kekhawatiran bibi pengasuhnya itu.

"Kenapa Nona masih mencari gadis itu?" Bibi itu memandang prihatin nonanya dan tidak mengerti kenapa nonanya masih mencari Maya padahal Maya sudah menjauh dari Masumi seperti yang diinginkannya.

Ekspresi Shiori langsung membeku mendengar pertanyaan bibinya. "Aku harus menemukannya Bi. Gadis itu sudah menghancurkan segalanya." Desis Shiori.

Takigawa tidak berani lagi berkomentar, dia hanya bisa mendukung rencana nonanya. Dia hanya ingin nonanya bahagia.

Shiori masih duduk dikursinya tapi kali ini matanya memandang kosong pada surat kabar lama yang tergeletak di mejanya. Headlines pada halaman utama dicetak dengan huruf tebal, 'PANGERAN DAITO dan PUTRI TAKATSU GAGAL MENCAPAI PELAMINAN'.

***
"Haahaaa...," Satomi tertawa senang mendengar Maya bercerita. Keduanya sedang berada disebuah cafe di tengah kota New York.

Tidak terasa sudah hampir dua bulan Maya meninggalkan Tokyo. Dia mulai menikmati suasana New York. Sudah beberapa kali Maya menghabiskan akhir pekannya bersama Satomi dengan berjalan-jalan di kota atau sekedar bersantai di cafe. Seperti yang saat ini sedang dilakukannya.

"Kau senang di New York?" Tanya Satomi seraya meneguk vanila latte dari cangkirnya.

Maya mengangguk senang, "Iya,"

"Mungkin kau sudah bosan mendengarnya tapi sekali lagi kukatakan kalau aku senang sekali kau ada disini Maya," Satomi mendaratkan tatapan lembut pada gadis dihadapannya, membuat Maya menghadiahinya seulas senyum manis.

"Aku juga senang," balas Maya polos, dia masih belum menyadari kalau Satomi masih memiliki perasaan padanya.

"Benarkah?!" Satomi girang.

"Tentu saja, awalnya aku sedikit ragu saat mau menghubungimu. Aku menemui menejer lamamu untuk meminta nomor teleponmu karena aku tahu kau ada di kota ini. Ku pikir aku pasti akan kesepian kalau tidak memiliki teman dan ternyata kau malah banyak membantuku," Maya tersenyum lagi.

"Aku senang bisa membantumu,"

"Terima kasih untuk semuanya,"

"Ah, tidak perlu seperti itu." Satomi melambaikan tangannya diudara, "Tapi aku terkejut saat bertemu denganmu, kau sudah banyak berubah," sekali lagi meneguk vanilalattenya.

Maya terkikik sambil memutar cangkir ditanganya yang berisi coklat panas. "Apa kau berharap aku berumur lima belas selamanya? Tentu saja aku berubah, setidaknya 'sedikit' tumbuh besar," kata Maya yang menyadari kalau secara fisik dia memang masih terlihat mungil meski sudah lebih tinggi.

Satomi kembali tergelak saat mendengar Maya menekankan kata sedikit, "Tapi kau semakin cantik Maya dan terlihat lebih dewasa. Gaya bicaramu juga sudah berbeda,"

Dan Maya tersipu, dia senang karena dianggap sebagai wanita dewasa. Namun tiba-tiba memorinya melayang pada Masumi dan teringat bagaimana kekasihnya itu dulu memanggilnya...mungil. Mendesah pelan tak kentara, Maya merasakan kerinduan menyelubungi hatinya sekarang.

"Ada apa?" Satomi heran melihat Maya yang tiba-tiba diam dan matanya menatap kosong pada cangkir ditangannya.

"Ah, tidak," buru-buru Maya menepis bayangan-bayangan yang bersliweran di otaknya.

"Oh ya, bagaimana kabar Kak Ueda?" terlintas sedikit nada keraguan dalam suara Satomi.

"Ueda?" Maya mengernyit tapi kemudian sadar akan kebodohannya. Dia lupa tentang kakak angkat barunya itu. "Hhmm, dia baik-baik saja," Maya tersenyum, berusaha terlihat wajar.

"Sepertinya kau sangat dekat dengannya?" Tanya Satomi.

Maya sedikit heran kenapa Satomi tiba-tiba membicarakan Hijiri. Topik itu tidak pernah muncul selama ini bahkan saat Hijiri pulangpun Satomi tidak menanyakannya.

"Ada yang aneh?"

Satomi menggeleng cepat, "Tidak, hanya saja dari caranya memanjakanmu sampai-sampai menyusulmu ke New York untuk tahu keadaanmu, hhmm, aku berpikir dia pasti sangat menyayangimu," Satomi menjelaskan pertanyaannya.

Maya tertawa sambil bergumam dalam hati, "Orang yang menyuruhnyalah yang sangat menyayangiku Satomi,"

"Apa kau melihatnya seperti itu?" Maya balas bertanya.

Satomi mengangguk.

"Iya, dia memang menyayangiku. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya," jawab Maya seraya membayangkan kehadiran Hijiri yang selalu tepat waktu menolongnya atas perintah Masumi.

Raut wajah Satomi langsung berubah, "Oh," gumamnya. Perkataan Maya kembali mengingatkan akan kesalahannya dulu.

"Kau tidak berpikir aku dan Kak...Ueda memiliki hubungan lain kan?" Hampir saja dirinya menyebut nama Hijiri.

Satomi terkikik, "Tidak, meski awalnya iya,"

Maya tertawa.

"Ku pikir karena kalian kan hanya teman baik yang kemudian mengeratkan hubungan sebagai kakak dan adik. Tentu saja hal itu mungkin terjadi, tapi melihat caramu memandangnya aku yakin aku salah,"

"Caraku memandangnya?" Maya menatap heran.

"Iya, aku pasti akan tahu kalau kau jatuh cinta padanya hanya dengan melihat caramu memandangnya," jawab Satomi.

Maya tertawa, "Kau ahli membaca ekspresi orang ternyata," kata Maya seraya meneguk coklat panasnya yang sudah hampir dingin.

"Bukan, itu karena aku masih ingat dengan jelas bagaimana caramu memandangku dulu,"

Maya langsung batuk tersedak coklatnya, kali ini sepenuhnya mengerti maksud lawan bicaranya. Satomi terkikik, sepertinya dia sengaja.

"Maaf," gumamnya seraya tersenyum.

Maya menyeringai padanya.

"Selain itu...," Satomi memandang Maya ragu.

"Selain itu?"

"Kak Ueda bilang kau sudah memiliki kekasih," jawab Satomi, meski berusaha tenang tapi ada getaran dalam nada bicara Satomi, gugup.

"Heh?!" Otak Maya berputar, mencerna perkataan Satomi dan semua percakapannya. Akhir-akhir ini dia semakin cepat dalam berpikir. Maya mengerti sekarang arah tujuan sebenarnya dari topik Hijiri ini. Dalam hati dia bersyukur dengan apa yang dikatakan Hijiri mengenai statusnya.

"Maaf kalau aku tidak sopan, mengusik privasimu." Satomi dengan cepat memperbaiki situasi saat melihat Maya terdiam.

"Ah tidak apa-apa. Hanya saja aku belum terbiasa membicarakan hal itu dengan orang lain," rasa sedih kembali menggelayuti hatinya. Mengingat perjalanan cintanya dengan Masumi yang harus dirahasiakan dan terakhir justru membawanya ke tempat dimana dia berada sekarang.

"Oh, tidak apa-apa kalau kau tidak mau bercerita tentang pria beruntung yang berhasil memenangkan hatimu itu. Semoga dia pria yang baik dan juga menyayangimu," kata Satomi tulus, "Seperti aku juga menyayangimu," tambahnya dalam hati.

Maya tersenyum, "Dia? Pria beruntung? Apa yang bisa diuntungkan dariku? Bukankah aku yang terlalu beruntung bisa mendapatkan hatinya?" Dalam hati Maya tidak setuju.

"Maya?"

"I...iya," Maya tergagap.

"Kenapa?"

"Ah tidak, ucapanmu itu...terlalu berlebihan. Sepertinya tidak banyak untungnya jika seorang pria jatuh cinta padaku," Maya mendengus lemah.

Satomi tertawa, "Kenapa berpikir begitu? Dengar Maya, kau cantik, baik, periang, aktris nomor satu di Jepang yang memiliki hak pementasan Bidadari merah. Kau pikir pria tidak beruntung mendapatkanmu?"

Maya terkikik, "Selain aku aktris dan pemegang hak pementasan, selebihnya aku merasa tidak ada yang bisa dibanggakan. Tapi ya, aku bersyukur ada yang mencintaiku dengan segudang kebodohan dan kecerobohanku." Sejenak Maya terdiam, "Dia pria yang baik dan ya...dia menyayangiku, kupikir itu cukup," Maya tersenyum manis, meski cemberut dalam hatinya, "Si bodoh itu dengan segala kecemburuannya! Apa yang akan Masumi lakukan ya jika dia melihatku sekarang?"

Satomi kembali menatap Maya yang termenung, dalam hati tersenyum kecut, "Kau sedang merindukannya ya,"

Menghela napas, Satomi menjentikkan jarinya didepan wajah Maya, "Hei! Kau masih disini Maya?"
Maya tersenyum.

"Oh ya, soal rencanamu pergi ke teater Scarlet besok, boleh aku mengatarmu?" Satomi merubah topik pembicaraan mereka.

"Kau tidak ada syuting?"

Satomi menggeleng, "Boleh?"

"Tentu," dan senyum manis Maya kembali mengembang.

***
Maya turun dari mobil bersama Satomi di basement gedung Production House Scarlet. Saat melintas di depan gedung Maya sempat tertegun. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk meniti karir di dunia internasional. Sejenak Maya teringat saat pertama kali dia mendapat tawaran dari Direktur PH Scarlet sekaligus pemilik Teater Scarlet, Clara Anderson.

"Aku Clara Anderson, maaf mengejutkanmu dengan pertemuan ini Nona Kitajima. Tapi aku sangat terpesona dengan bakat aktingmu, maukah kau bergabung dengan teaterku?" Kata Clara pada Maya tanpa basa basi.

Wanita blasteran Jepang-Amerika yang juga fasih bahasa Jepang itu duduk dengan anggun didepan Maya di sebuah restoran. Waktu itu Maya baru saja memenangkan penghargaan tertinggi dibidang drama atas peran Jane di Wilderness Forgotten. Peran itu juga yang membuat Clara jatuh hati pada Maya.

"Ah, maaf Nyonya Anderson tapi saya tidak bisa memenuhi permintaan anda. Saya masih memiliki tugas penting untuk bersaing dengan Ayumi Himekawa untuk Drama Bidadari Merah," jawab Maya polos.

Clara terlihat kecewa tapi kemudian tersenyum, "Ah iya ya, kau kan calon Bidadari Merah selanjutnya." Sejenak matanya tampak menerawang, "Meski waktu itu aku masih berusia tujuh tahun, tapi aku tidak akan pernah lupa pada drama itu," gumamnya.

"Eh?! Anda pernah melihat Bidadari Merah?" Maya langsung bersemangat.

Clara mengangguk, "Hanya sekali. Ibuku orang Jepang dan sangat menyukai drama. Dulu kami sempat tinggal di Tokyo. Karena aku juga suka drama seperti ibuku maka aku mendirikan sebuah Production House dan sebuah teater di Amerika, supaya aku bisa memproduksi banyak drama dan puas menontonnya." Senyum manis tersungging pada wajah cantik wanita berusia empat puluhan itu. Pernyataannya menyiratkan bahwa drama adalah sebuah kepuasan baginya bukan bisnis.

"Ngg, begitu banyak artis cantik disini...kenapa anda memilih saya?" tanya Maya ragu.

Clara tertawa sopan, "Kau luar biasa Nona Kitajima, kenapa kau meragukan kemampuanmu sendiri? Aktingmu itu, aku belum pernah melihat artis sepertimu. Bahkan di Broadway sekalipun."

Maya tersipu, tersanjung dengan perkataan Clara.

"Tapi sekali lagi maaf, saya tidak bisa memenuhi keinginan anda," sekali lagi Maya menolak, membuat Clara kembali mendesah.

"Aku mengerti Nona Kitajima. Tapi suatu hari nanti, jika kau berubah pikiran kau bisa menghubungiku," Clara memberikan kartu namanya pada Maya, "Aku akan memberikan semua fasilitas padamu, beasiswa sekolah acting di Julliard School (*sekolah acting terbaik) jika perlu. Apapun, apapun syarat yang kau minta. Asal kau mau bergabung dengan PH dan teaterku maka aku akan berusaha memenuhinya,"

"Heh?!" Maya terkejut dengan tawaran itu. Tidak menyangka akan ada orang yang berani membayar mahal untuk kemampuannya dan melihatnya berakting selain Mawar ungu-nya.

Maya mendesah pelan saat kakinya melangkah ke dalam lift bersama Satomi. Ya, disinilah dia sekarang. Maya memutuskan untuk menghubungi Clara dan menerima tawarannya saat dia memang sedang membutuhkan tempat untuk pergi dari Tokyo dan mengulur waktu pementasan Bidadari Merah.

Masih teringat jelas dalam ingatan Maya, nada girang Clara saat Maya mengatakan keinginannya. Namun karena saat Maya menghubunginya Clara sedang mengadakan tur keliling Eropa maka baru hari ini Maya bisa bertemu dengannya.

"Oh Nona Kitajima, aku senang sekali kau benar-benar datang. Selama di Eropa aku terus memikirkanmu," sambut Clara senang.

Maya tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk memberi salam, "Saya juga senang bertemu dengan anda Nyonya Anderson," jawab Maya dengan bahasa inggris yang berhasil dikuasainya dengan fasih atas bantuan Miss Morgan.

Clara tersenyum senang melihat semangat dimata Maya, "Aku sudah tidak sabar melihatmu dipanggung Nona Kitajima,"

Setelah Maya mengenalkan Satomi dan mereka saling memberi salam maka Clara mengajak keduanya keruangannya.

Mata Maya terus mengamati suasana gedung PH Scarlet itu. Kemewahannya sempat membuat Maya minder, takut kalau-kalau dia tidak bisa memenuhi harapan Clara. Namun bayangan Masumi yang tiba-tiba berkelebat dikepalanya membuatnya kembali yakin dengan keputusannya. Clara menjanjikan akan memberikan semua yang dibutuhkannya dan untuk saat ini Maya memang memerlukan keberuntungannya itu.

Maya masuk keruang tamu besar bernuansa putih dan merah marun. Desainnya minimalis tapi elegan, mencerminkan kepribadian Clara yang sederhana tapi juga berkharisma. Maya dan Satomi dipersilakan duduk di sofa merah marun, keduanya duduk berhadapan dengan Clara setelah sebelumnya Clara meminta sekretarisnya membuatkan minuman.

"Jadi kesepakatan seperti apa yang kau inginkan Nona Kitajima?" Seperti biasa tanpa basa basi dan semangatnya jelas terlihat.

Maya tersenyum sopan, dalam benaknya masih heran kenapa Clara begitu tertarik padanya sampai-sampai rela memenuhi semua keinginannya.

"Apa kita akan langsung membahas hal itu Nyonya?" Tanya Maya sopan.

"Tentu, bukankah itu tujuan pertemuan kita hari ini. Membahas kesepakatan kerja, aku tidak suka basa-basi Nona Kitajima,"

"Baiklah Nyonya Anderson. Sebelumnya anda bisa panggil saya Maya, saya lebih nyaman begitu."

Satomi duduk memperhatikan Maya, dia tak menyangka Maya benar-benar terlihat tenang. Bahkan saat ini pun dirinya sedikit grogi berhadapan dengan direktur PH dan teater Scarlet yang reputasinya sudah tidak diragukan lagi. Satomi seakan tak percaya bahwa gadis yang disebelahnya adalah pacarnya lima tahun yang lalu.

Setelah sekretaris Clara datang membawa minuman, ketiganya pergi keruang kerja Clara untuk membahas rencana kontrak dan meminta Satomi menunggu di ruang tamu. Satomi tidak keberatan karena memang tugasnya hanyalah mengantar Maya.

"Maya, kenalkan ini Kate Adam, sekretarisku. Dia yang akan mengurus semua kesepakatan kerja kita," kata Clara ketika mereka sudah berada diruang kerjanya.

Maya mengulurkan tangannya, "Saya Maya Kitajima,"

"Kate Adam," balasnya tanpa senyum.

Sejenak tertegun, sikap dingin Kate Adam mengingatkan Maya pada sosok yang tidak asing baginya, sekretaris Masumi. Meski tatapan mata Kate tidak setajam Mizuki.

"Apa semua sekretaris harus bersikap seperti itu," dengus Maya dalam hati tapi bibirnya menyunggingkan senyum.

"Baiklah, sekarang kau bisa katakan apa yang kau inginkan," Clara sepertinya sudah tak sabar untuk memiliki Maya sebagai aktrisnya.

Maya memandang pada dua wanita yang ada didepannya lalu menghela napas perlahan, memantapkan hatinya.

"Jadikan saya aktris profesional kelas satu,"

Clara sejenak tertegun, melihat kedalam mata Maya, tapi kemudian pandangannya melembut, "Itu keahlian kami dan dengan kemampuanmu, itu mudah sekali," Clara tersenyum puas syarat pertama Maya begitu mudah baginya, "Ada lagi?"

"Lama kontrak kerja saya hanya dua tahun,"

"Hhmm, ku rasa kita sudah sepakat soal itu ditelepon,"

Maya mengangguk sopan.

"Ada lagi?"

Maya sedikit ragu saat akan membuka mulut tapi ini adalah rencana cadangan yang penting untuk mengantisipasi kegagalannya.

"Beasiswa Julliard Shcool yang anda tawarkan, saya tidak mau. Jika boleh, saya lebih tertarik jika anda bekali saya tentang bisnis dan manajemen pertunjukan," akhirnya memberanikan diri bicara.

Clara menyeringai, dalam hatinya yakin Maya yang ditemuinya saat ini berbeda dengan Maya yang ditemuinya dulu.

"Well, Maya. Kenapa aku merasa kau memiliki motif khusus dalam hal ini," Clara tersenyum tapi matanya tetap awas mengukur reaksi Maya.

"Wah, dia hebat. Pantas dia menjadi seorang direktur. Dia tahu aku punya tujuan," gumam Maya dalam hati tanpa melepas ekspresi tenangnya.

"Apakah anda keberatan dengan itu?" Maya mencoba melindungi privasinya, batinnya berlutut penuh harap itu tidak akan membatalkan niat Clara untuk mengontraknya. Pelajaran tentang dasar-dasar bisnis dan cara bernegosiasi yang diajarkan Miss Morgan dipertaruhkan sekarang.

"Selama tujuanmu tidak menjadi bumerang bagi Scarlet, aku tidak keberatan. Aku perlu tahu lebih detail tentang hal ini,"

"Saya tidak dapat menjelaskan secara detail tentang hal ini tapi demi keamanan dan kenyamanan kerja sama kita saya bersedia menandatangani apapun itu yang anda harapkan untuk menjauhkan saya dari tindakan yang anda khawatirkan sebagai bumerang tadi,"

Clara tertawa dan seringai muncul di wajah Kate.

"Kau pintar Maya. Aku setuju,"

"Tapi Nyonya Anderson...,"

Clara mengangkat tangannya menghentikan interupsi Kate, mengerti benar apa yang ada dipikiran sekretarisnya.

"Aku percaya padanya Kate. Dia tidak akan macam-macam. Aku rasa tujuannya ada di Jepang setelah menyelesaikan kontraknya dengan kita. Bukan begitu Maya,"

Maya tersenyum malu, Clara terlalu pintar untuk dikelabui.

"Oke, sejauh ini aku tidak keberatan. Kate akan menyiapkan semua kontrak kerja dan semua kesepakatan kita. Minggu depan kita akan bertemu lagi untuk mendiskusikan semuanya lebih detail,"
"Baik," Maya tersenyum senang, lega semuanya berjalan lancar.

"Saya permisi Nyonya Anderson, Nona Adam," kata Maya setelah menghabiskan teh yang tadi disuguhkan Kate.

Clara berdiri dan menyalami Maya.

Braakkk!!

Seketika pintu ruang kerja terbuka, Maya melonjak kaget.

"Christ!!" Pekik Clara yang juga terkejut.

Pria yang dipanggil Christ itu menatap tajam pada Clara dan langsung menghampirinya.

"Bonjour Ma," (Halo Ma) sapanya dingin.

"Silence s'I'll vous plait," (jangan ribut) Clara melebarkan matanya pada Christ dan pria itu melembutkan pandangannya.

"Vous aves fini?" (Sudah selesai?)

"Oui," (Ya), Clara menatap Maya yang kebingungan. 

"Christ, je voundrais te presenter, c'est Maya Kitajima," (Christ, aku mau kenalkan padamu, ini Maya Kitajima)

Dan untuk pertama kali Christ melihat orang lain diruangan itu selain Clara, sejak tadi dia mengabaikan keberadaan Maya dan Kate.

"Maya, ini putraku, Christian Anderson,"

Maya mengulurkan tangannya, "Maya Kitajima,"

Christ menatap Maya sejenak lalu memalingkan mukanya, "Jika urusan anda sudah selesai, bisakah anda meninggalkan kami? Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan direktur."

"Heh?!" Maya terkesiap, tangannya masih menggantung diudara. Maya, menahan dirinya untuk tidak berteriak dan memaki pria sombong yang ada dihadapannya.

Clara menggeleng kesal, "Maaf Maya, putraku kurang sopan." Sopan santun Clara mendinginkan kepala Maya. Dengan cepat Maya menarik tangannya yang diabaikan lalu tersenyum pada Clara, "Tidak apa-apa Nyonya. Saya permisi,"

Maya berbalik lalu berjalan ke pintu tapi tiba-tiba kakinya tersandung karpet dan jatuh tersungkur di lantai membuat semuanya terkejut, tanpa terkecuali Christ.

"Kau tidak apa-apa?" Kate dan Clara membantu Maya berdiri.

"Ah, ti...tidak apa-apa," kata Maya malu, dalam hati merutuki kecerobohannya sendiri. "Sa...saya permisi," ulang Maya dan segera menghilang dibalik pintu, meninggalkan Clara dan Kate yang masih kaget juga Christ yang mendengus kesal.

Maya segera mengajak Satomi yang masih duduk di ruang tamu untuk pulang.

"Kenapa kau buru-buru sekali Maya?" Tanya Satomi heran melihat Maya jalan dengan tergesa.

"Tidak apa-apa, aku cuma mau cepat sampai diapartemen," kata Maya bohong padahal dia tidak mau bertemu ketiga orang itu karena malu.

Tak bertanya lagi Satomi hanya mengikuti Maya dan mempercepat langkahnya.

Ah, kenapa aku harus jatuh disana sih. Kalau Nyonya Clara tahu aku ceroboh bisa-bisa kontrakku batal, gerutu Maya dalam hati, Kalau kontrakku batal maka semua rencanaku...ah.... Maya menggelengkan kepalanya, menepis semua pikiran buruknya. Tidak! Kesepakatan ini tidak boleh gagal. Aku sudah berhasil melangkah sejauh ini. Bahkan aku melakukan privat dengan Miss Morgan untuk menyiapkan pertemuan ini. Aku tidak boleh gagal! Aku pasti berhasil, salah! Aku harus berhasil. Maya meyakinkan hatinya sendiri.

"Kau tidak apa-apa?" Satomi heran melihat Maya yang gelisah.

"Ah, iya. Aku tidak apa-apa. Hanya memikirkan beberapa hal untuk kontrakku nanti," elak Maya.

"Kau luar biasa Maya. Karirmu pasti cemerlang. PH Scarlet dan teaternya selalu mencetak bintang besar, aktor dan aktrisnya juga sering tampil di Broadway," kata Satomi sambil terus menyetir dan sesekali melirik pada Maya.

"Aku beruntung Nyonya Anderson menyukai aktingku," kata Maya senang.

"Kau tahu Maya, Nyonya Anderson sangat mencintai drama. Dia selalu memilih aktor dan aktris terbaik untuk film ataupun dramanya. Dan dia mengajakmu bergabung secara pribadi bahkan bersedia memenuhi semua syarat yang kau ajukan. Ku rasa dia tidak hanya suka padamu Maya, dia mengagumimu,"

Maya tertawa, "Kau berlebihan Satomi. Aku hanya sedang beruntung. Itu saja,"

Satomi tersenyum mendengar perkataan Maya yang selalu saja rendah hati. Kapan kau akan sadar kalau kau itu luar biasa Maya, gumam Satomi dalam hati.

***
Maya menghempaskan dirinya di tempat tidur setelah Satomi mengantarnya pulang. Melihat jam tangannya, pukul satu siang.

"Sudah dua bulan Masumi, sampai kapan kau akan diam? Apa kau tidak merindukanku? Apa kemarahanmu sudah membakar habis rindumu?"

Maya menatap cincin dijari manisnya, batu garnet ungunya berkilau terkena cahaya. Tapi keindahannya justru membuatnya tidak dapat menahan air matanya. Membawa kenangan saat Masumi melamarnya di izu.

"Kau membuatku menangis lagi Masumi ...," Maya memeluk guling besarnya, membenamkan wajahnya disana. Tidak tahan lagi, Maya bangun dan meraih handphonenya. Tidak peduli pukul berapa di Tokyo, Maya hanya ingin mendengar suara kekasihnya. Dalam hati berdoa penuh harap kali ini Masumi mau mengangkat teleponnya. Namun ternyata rasa pahit kekecewaan harus ditelannya lagi, tiga kali panggilannya diabaikan.

"Dia pasti sudah tidur." Maya mencoba menghibur hatinya, mengingat saat yang sama di Tokyo sudah pukul tiga pagi. Dalam hati kecilnya dia juga tidak berharap Masumi masih terjaga.

"Apa yang harus aku katakan agar kau percaya padaku Masumi? Kau tidak mau mengaku padaku kalau kau cemburu. Kau hanya bilang sibuk dan sibuk!! Sibuk dengan kecemburuanmu? Menyebalkan !!" 

Maya bersandar pada kepala tempat tidurnya, menatap kosong. "Kalau aku menyalahkan rasa cemburumu ... kau pasti akan curiga pada Nona Mizuki dan Kak Hijiri. Aahhh ... sulitnya!!" 

Kembali termenung, sekali lagi kerinduan membuat Maya melakukan panggilan. Masih tidak ada jawaban dan Maya meninggalkan pesan suara untuk Masumi. Menyerah, Maya melempar handphonenya ke sisi lain tempat tidur dan kembali meraung memeluk guling besarnya. Berharap guling itu akan berubah menjadi Masumi dan saat sadar khayalannya terlalu tinggi tangisannya justru semakin panjang.

***
Tokyo, Kediaman Hayami, pukul tiga dini hari.

Dua botol kosong whiskey tergeletak di meja, sebelahnya asbak penuh dengan puntung rokok. Lampu tidur yang redup membuat kamar terasa semakin sendu. Duduk bersandar di sofa, Masumi terpaku, tangannya meremas kuat kulit kepalanya yang berdenyut. Di lantai tergeletak handphonenya, suara gadis terkasihnya memecah kesunyian. Suara yang penuh dengan kesedihan.

Masumi, aku merindukanmu .... Masumi-ku ... aku ingin bertemu ....

Saat benteng kemarahannya hancur, otaknya tidak lagi berpikir panjang.

***
New York, Rumah Keluarga Anderson.

"Michael, boleh aku minta bantuanmu?" tanya Clara. Dia bersama suami dan anaknya sedang duduk di ruang keluarga seusai makan malam.

Michael Anderson, suami Clara menatap istrinya heran. Pasti ada hal penting sampai Clara meminta bantuan. "Ada apa? Tidak biasanya."

"Bukankah perusahaan kita sedang berencana membuat iklan untuk beberapa produk baru? Maukah kali ini kau memberikan proyek iklannya padaku?"

"Heh?!" Michael dan Crist terkejut.

"Kau serius?" tanya Michael.

"Tentu saja."

"Bukankah mama tidak pernah mau mengerjakan proyek iklan untuk kami?" tanya Christ. Dia tahu betul mamanya tidak pernah mau memanfaatkan koneksi keluarga untuk memajukan PH-nya.

"Pengecualian untuk kali ini," kata Clara seraya meneguk teh dengan anggun.

"Aku akan minta sekretarisku menyiapkan kontraknya besok," jawab Michael.

"Kau setuju?"

"Tentu, kenapa aku harus menolak? Jika kau sampai meminta padaku berarti itu sesuatu yang sangat penting. Benarkan?"

"Terima kasih sayang, aku tahu seharusnya kita membicarakan ini secara profesional di kantor tapi aku memerlukan kontrak ini dan jika aku membuat proposal untuk perusahaan lain maka akan memerlukan waktu lebih lama. Denganmu, semuanya akan jadi mudah."

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti Clara," Michael bingung dengan penjelasan istrinya.

"Kau masih ingat seorang aktris yang aku ceritakan dulu? Gadis yang sangat ingin aku kontrak untuk Scarlet?"

Michael tampak berpikir sejenak. "Aktris Jepang itu? Yang jadi serigala?" Dia teringat kenangannya saat menemani istrinya menonton drama Forgotten Wilderness di festival drama.

"Nah, kau ingat. Dia akhirnya mau menjadi aktrisku dengan beberapa syarat yang harus aku penuhi," kata Clara senang.

Christ melotot. "Maksudnya ada aktris yang mencoba memeras Mama?"

"Hei, aku tidak merasa dia memerasku. Ini hanya bagian dari kesepakatan. Dia ingin aku menjadikannya artis kelas satu dan menurutku itu tidak salah. Dengan potensi yang dimilikinya dia memang layak. Aku hanya menjadi jalan baginya,"

"Maksudmu gadis kecil itu yang memintamu?"

Clara menggeleng. "Dia sudah dewasa sekarang Michael, bukan gadis kecil lagi. Dia hanya mau dikontrak selama dua tahun, jadi aku tidak punya banyak waktu untuk mengorbitkannya. Tapi dengan bantuan kalian maka semuanya pasti lancar. Image perusahaan kita tidak bisa di remehkan, pasti akan cepat menaikkan popularitasnya." Clara menjelaskan rencananya.

"Wah, sepertinya kau benar-benar mengagumi gadis itu, sampai rela meminta kontrak dariku."

"Tentu, apapun akan aku lakukan asal gadis itu mau menjadi bagian dari Scarlet."

"Memangnya siapa aktris luar biasa itu, sampai Mama repot seperti ini?" Christ terdengar tidak suka mamanya melakukan hal yang menurutnya berlebihan hanya untuk seorang aktris.

"Kau sudah bertemu dengannya," kata Clara.

"Heh?!" Christ tertegun, seingatnya beberapa hari terakhir dia tidak bertemu aktris. "Siapa?"

"Maya Kitajima."

"Hah?! Apa?! Gadis jepang tadi?" Christ ingat karena kejadian konyol Maya yang jatuh terjerembab.

"Iya," Clara tersenyum.

"Kalau begitu aku tidak setuju!"

"Kenapa?"

"Dia bukan aktris terkenal. Jalan saja tidak lurus, bagaimana dia bisa menjadi model iklan untuk produk kita?"

Clara tertawa.

"Tidak lucu Ma," dengus Christ kesal.

"Dia memang terlihat biasa jika tidak sedang berakting, gadis ceroboh juga setahuku. Tapi mama berani menjamin kalau kau akan terpesona padanya saat sedang berakting."

"Ini bukan lelucon kan?"

"Tentu saja bukan." Clara kembali meneguk tehnya dengan santai, melihat Christ yang kesal di depannya. "Dengar Christ, mama tidak bercanda soal ini. Tidak mungkin mama main-main dengan nama baik perusahaan kita."

"Siapa sebenarnya gadis itu? Sampai mama repot-repot membujuk papa dan aku."

Clara hanya tersenyum, "Nanti kau juga tahu."

Michael tidak protes karena memahami kecintaan istrinya pada drama. Namun lain halnya dengan Christ, dia tahu benar mamanya tidak pernah mau memanfaatkan kekuatan perusahaan keluarga mereka. Keluarga Anderson adalah keluarga konglomerat yang cukup berpengaruh di Amerika. Mereka memiliki usaha di bidang telekomunikasi, transportasi juga industri pengolahan makanan di bawah bendera perusahaan ACA Group.

Masih memandang mamanya, Christ mencoba memahami kalau mamanya memang mencintai drama. Production House yang di dirikan mamanya pun semata-mata hanya untuk menyokong keberadaan teater miliknya. Sehingga dia bisa sesukanya membuat dan mementaskan drama. Bahkan mamanya membeli jam tayang di salah satu stasiun televisi swasta khusus untuk menayangkan semua drama yang di produksinya. Tapi tetap tidak masuk akal bagi Christ kalau mamanya melakukan hal yang berlebihan hanya untuk seorang aktris. Baginya itu lebih terkesan pemerasan. Memanfaatkan kecintaan mamanya pada drama untuk keuntungan pribadi.

Untuk sementara Christ memilih diam dan berencana melihat perkembangan semuanya, lagipula tidak mudah melarang mamanya untuk melakukan sesuatu. Clara adalah wanita mandiri yang tidak mudah menyerah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

***
Apartemen Maya.

Alarm pukul enam pagi berbunyi. Maya menggeliat panjang di atas tempat tidurnya, tangannya terulur menekan tombol off jam beker. Enggan bangun, Maya kembali bergelung di bawah selimutnya. Sedih, Masumi tidak juga menghubunginya meski kemarin dia sudah meninggalkan pesan tentang perasaanya. 

Badannya juga terasa lelah karena tidur sampai larut dan menangis semalaman, belum puas juga meski seharian dia sudah menangis di telepon. Sekarang meski tidak melihat cermin Maya tahu matanya pasti bengkak.

"Ah ... apa yang akan kulakukan hari ini? Kelas privatku libur dua hari, Satomi syuting di LA sampai minggu depan. Aku bisa mati karena rindu kalau begini." Maya memeluk gulingnya semakin erat.

Maya mengernyit saat mendengar bel berbunyi. "Siapa yang datang? Apa Satomi? Bukankah dia sudah berangkat syuting semalam?"

Daripada terus menduga tamunya, dengan enggan akhirnya Maya beranjak dari tempat tidur. Setelah mencuci muka di kamar mandi, gadis itu segera keruang tamu. Maya membuka pintu dan seketika tubuhnya mematung karena terkejut.

***

>>Bersambung<<

Follow on me 
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

0 Comments