Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Bidadari
Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci
bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua
itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang
terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan
mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk
menemukan jalannya.
*********************************************************************************
Masumi keluar dari
ruang rapat dengan tergesa. Wajah angkernya membuat para karyawan yang
dilewatinya bergidik ngeri. Dibelakangnya Mizuki berusaha menyamakan langkah
kaki, wajahnya juga tidak kalah angker dengan bosnya. Tidak ada yang berani
menyangkal kalo keduanya adalah patner kerja yang cocok, dengan aura mematikan
yang sama.
Menghempaskan tubuhnya
dengan kasar dikursi kerjanya, Masumi menyalakan sepuntung rokok dan mulai
menghisapnya. Tanpa mempedulikan Mizuki yang berdiri didepannya, Masumi mulai
membuka tumpukan laporan hasil rapat yang baru saja diletakkan Mizuki
dimejanya.
"Sampai kapan anda
akan seperti ini Tuan?" tanya Mizuki tanpa basa-basi.
Masumi diam tidak
berkomentar, baginya pertanyaan Mizuki dianggap sebagai angin lalu. Terlebih
karena topik pembicaraan Mizuki masih terlarang baginya.
"Sudah dua minggu,
bukankah ini namanya menyiksa diri sendiri? Dulu saya mengerti kalau anda
tersiksa karena menganggap cinta anda bertepuk sebelah tangan tapi sekarang-,"
Braaakkk!!!
Masumi sengaja
membanting map laporan yang dibacanya kemeja dan mematikan puntung rokoknya
yang masih panjang ke dalam asbak. Tapi sekretaris itu sudah siap dengan reaksi
bosnya. Dia tetap tak bergeming ditempatnya dan menatap Masumi dengan tajam.
Suasana hening sesaat.
"Apa anda marah
pada saya Tuan Masumi?" Tanya Mizuki sopan, dia tahu bosnya harus segera
disadarkan dari sifat posesifnya yang sekarang sudah diluar batas toleransi.
Masumi masih diam tapi
kali ini sepasang mata tajamnya menusuk Mizuki dalam-dalam. Mizuki tahu mata
itu bicara padanya dan mengatakan tutup-mulutmu.
"Ah, anda
tersinggung dengan perkataan saya? Kalau boleh tahu bagian mana dari kalimat
saya yang menyinggung perasaan anda?"
Masumi menghela napas
panjang, menyerah pada mulut pedas sekreterisnya karena dia memang tidak
menemukan kesalahan pada perkataan Mizuki.
"Apa maumu?"
Akhirnya Masumi membuka mulutnya.
"Anda sudah tahu
apa yang saya inginkan. Daito sedang kacau dan anda bisa membuatnya lebih kacau
lagi dengan kondisi anda yang seperti ini," Jawabnya datar. "Anda
selalu saja bertindak kekanakan jika menyangkut tentang Maya,"
"Kekanakan?"
Mulut Masumi menyeringai, terhina.
"Memang itu
kenyataannya. Anda menyiksa diri anda sendiri dengan pemikiran negatif yang
belum tentu itu nyata. Apa itu tidak kekanakan namanya?"
"Dari mana kau
tahu 'itu' belum tentu nyata?" Mata Masumi menyipit, menekankan kata itu
dengan intonasi yang lebih dalam.
"Karena memang
'itu' semua hanya ada dalam pikiran anda sendiri kan?" Mizuki juga menekankan
kata itu dengan dalam. Menandakan protesnya pada sikap Masumi, "Apa anda
pikir Maya jauh-jauh pergi ke Amerika hanya untuk 'berselingkuh' dengan
Shigeru?" Akhirnya Mizuki menjabarkan 'itu' nya dengan lebih jelas
sekarang, membuat ekspresi Masumi langsung mengeras.
"Seperti kau tahu
saja," cibir Masumi.
"Tentu saja saya
tahu!" Pekik Mizuki. Kali ini benar-benar kesal dengan bosnya yang keras
kepala.
"Kau kan tahu Maya
mencintainya," kata Masumi datar ditengah ekspresi garangnya.
"Ya, tapi itu
sudah lama sekali dan sekarang kenyataannya Maya mencintai anda, oh maaf saya
salah, sangat sangat mencintai anda! Dan sungguh saya kasihan padanya karena
orang yang sangat sangat dicintainya itu justru tidak percaya padanya. Dia
lebih percaya pada pemikirannya sendiri yang dilandasi entah dengan apa, yang
berpikir bahwa kekasihnya saat ini sedang bersenang-senang dengan mantan
pacarnya dan mengabaikan belahan jiwanya disini," kata Mizuki geram, entah
bagaimana Mizuki bisa merangkai kata-kata yang lebih seperti skenario drama
dibanding sebuah omelan. Mungkin karena terlalu sering menonton pertunjukan
drama membuat kosakata omelannya menjadi lebih variasi.
"Apa kau sudah
selesai?" tanya Masumi masih dengan nada datar, sepertinya ucapan Mizuki
yang panjang lebar juga masih dianggap angin lalu oleh Masumi.
Mizuki menggeleng tak
percaya, namun sadar kalau tidak ada gunanya lagi dia bicara. Diapun mengangguk
hormat lalu pergi meninggalkan ruangan Masumi, membiarkan bosnya merenungi
setiap perkataannya.
Masumi menatap kosong
pada pintu yang tertutup dimana Mizuki baru saja keluar. Hati kecilnya
mengangguk-angguk setuju pada setiap ocehan Mizuki, tapi otaknya kembali
berspekulasi lain.
Mengingat Shigeru
memiliki pesona yang mungkin mengalahkannya, dengan kemudaannya, keceriaannya,
keramahannya dan kepandaiaannya dalam berakting, juga...ah...Masumi kembali
sadar, jarak yang terlalu dekat antara Shigeru dan Maya, itulah yang paling
membuatnya berang.
Saat Maya dekat dengan
Koji dirinya tidak sekacau ini, itu karena dirinya masih bisa mengamati Maya
meskipun hanya dari kejauhan. Hijiri masih bisa membantunya mengawasi Maya.
Tapi sekarang, siapa yang tahu apa yang dilakukan kekasihnya itu. Terlebih
setelah Hijiri kembali dan tidak membawa laporan memuaskan seperti yang diinginkannya.
Hanya kepingan-kepingan kecil rencana Maya yang terbaca, selebihnya nihil.
Membuat otak Masumi mengembara kemana-kemana mencari jawaban. Dan hasilnya
justru sebuah tanda tanya besar, tembok keraguan yang berdiri antara dirinya
dan Maya.
Kediaman Maya untuk
tidak menceritakan rencananya membuat Masumi merasa tidak berguna dan gagal.
Lalu dengan mudahnya memberikan itu sebagai hak bagi Maya untuk berpindah ke
lain hati. Mengingat saat ini juga mereka dipisahkan oleh jarak yang begitu
jauh.
Masumi melirik
handphonenya, hatinya menjerit ingin meraih dan menghubungkannya dengan sumber
kegilaannya. Tapi pikirannya menolak, terlebih sudah satu minggu Maya juga
tidak lagi mengirim pesan ataupun email padanya. Tidak ada lagi yang
mengingatkan dirinya soal jam makan atau memperingatkannya untuk tidak bekerja
terlalu keras. Hal itu membuat spekulasi di otak Masumi memiliki sebuah
pembenaran. Maya melupakannya.
Menghela napas panjang,
Masumi kembali membuka laporannya dan mulai membaca. Tak lama kemudian dia
tenggelam dalam pekerjaannya.
***
Waktu berlalu begitu
saja bagi Maya. Dia tetap berusaha keras mewujudkan impiannya. New York, musim gugur
pertengahan November.
"No, no Maya. Repeat, please!"
Maya melirik pada
gurunya lalu kembali mengulang membaca dibagian yang diperintahkan. Miss Morgan
sedang membantu Maya membaca naskah drama dalam bahasa inggris. Setelah
pelajaran bisnisnya selesai, Miss Morgan mulai dengan pelajaran bahasa inggris
untuk Maya.
Dan Maya lebih mudah
belajar jika menggunakan naskah drama.
"Once again," kata Miss Morgan,
meminta maya mengulang lagi karena salah ucap pada beberapa kata.
Miss Morgan yang juga
fasih berbahasa jepang, mengajarkan pelajaran bisnisnya dengan bahasa jepang
agar Maya bisa lebih memahami. Dan sejauh ini meski otak Maya terpaksa harus
diperas habis-habisan, hasilnya cukup memuaskan.
Akan tetapi, Miss
Morgan sedikit kesulitan mengajari Maya bahasa inggris. Daya ingat Maya sungguh
lemah dalam menghafal kosa kata. Namun setelah mendengar cerita Maya yang
begitu mencintai akting dan kelebihannya yang luar biasa cepat dalam menghafal
naskah drama dalam sekali baca membuahkan sebuah ide baginya.
Miss Morgan meminjam
beberapa naskah drama dari perpustakaan kota dan mengajari Maya dengan
menggunakan naskah drama tersebut. Seolah-olah Maya harus menghapalkannya untuk
sebuah pementasan. Alhasil, dalam dua minggu terakhir kemajuan Maya cukup
pesat. Sudah tiga naskah drama yang berhasil dihapalkannya dengan fasih.
Maya tersenyum lega
saat berhasil menghapal naskah drama keempatnya.
"Good Maya, I'm proud of you," puji
Miss Morgan.
"Thank you Miss
Morgan, this is because your good idea," Maya juga memuji gurunya.
"Aku rasa cukup
untuk hari ini. Kita akan lanjutkan besok ya. Oh ya, ujian masukmu satu bulan
lagi, jadi kau harus belajar dengan keras." Pesan Miss Morgan.
"Tentu, saya akan
terus berusaha," Maya meyakinkan.
Miss Morgan pun permisi
pulang, meninggalkan Maya sendiri di apartemennya.
Dengan malas Maya
merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Pikirannya mulai melayang jika dia
sendirian.
"Ah, Masumi ... kau
sedang apa sekarang? Aku rindu sekali ...," gumamnya lirih, tapi saat air
mulai mendesak keluar disudut matanya, Maya langsung bangun. Menggosok dengan
dengan kasar kedua matanya lalu mendengus kesal.
"Aku tidak boleh
menangis! Tidak boleh!" Katanya pada dirinya sendiri.
Dan seketika
mengerucutkan bibirnya, "Si bodoh itu, masih belum juga menghubungiku!
Dasar! Aku juga tidak akan menghubunginya! Seenaknya saja dia berpikiran aku
selingkuh disini!! Awas nanti kalau aku kembali ke Jepang! Kalau saja bukan
karena Daito yang sedang kacau aku pasti sudah memakimu habis-habisan!"
Gerutu Maya panjang lebar.
Hijiri dan Mizuki
selalu memberikan berita terbaru tentang Masumi dan Daito padanya. Setidaknya
meski marah tapi Maya tahu kalau kekasihnya masih baik-baik saja dan utuh,
hanya sedikit lebih menyeramkan dari biasanya. Dan Maya juga marah karena
Masumi tidak percaya padanya.
Maya melihat jam
dinding, sudah pukul sepuluh malam. Tersenyum sendiri lalu meraih handphonenya.
"Halo," sapa
Maya ditelepon.
"Halo Maya, ada
yang penting?" Tanya Mizuki.
"Anda kan tahu apa
yang penting itu Nona Mizuki," kata Maya.
"Ya, seperti
biasa, masih dengan pekerjaan, kopi dan rokoknya. Sulit makan. Kenapa kau tidak
menghubunginya saja?" Mizuki sedikit kesal.
"Dia juga tidak
menghubungi saya," dengus Maya kesal.
"Tidak adakah
diantara kalian yang mau mengalah?" Mizuki menggelengkan kepalanya.
"Untuk apa saya
menghubunginya? Dia juga tidak percaya pada saya."
"Kalian berdua
ini, sama-sama keras kepala. Kupikir setelah kalian menjadi sepasang kekasih
maka pertengkaran kalian akan berakhir ternyata sama saja,"
"Bukan saya yang
mulai,"
Mizuki mendesah,
"Kau juga kenapa tidak mau melibatkan dirinya dalam rencanamu?"
"Karena bisa-bisa
semuanya berantakan kalau dia sampai tahu!"
"Ya terserah
sajalah. Hanya saja kau membuat Daito seperti neraka sekarang,"
Maya tertawa,
"Bukankah memang sejak dulu seperti itu,"
Tertegun sejenak,
"Ah iya, kau benar juga," kata Mizuki kemudian. Maya tertawa.
"Nggg, Nona
Mizuki, apa dia masih terlihat cemburu pada Satomi?" tanya Maya ragu.
"Cemburu? Kau
meremehkan sekali Maya,"
"Eh?!"
Mizuki mendesah,
"Seandainya Shigeru ada disini sekarang, aku bisa pastikan dia tidak akan
selamat,"
"Saya sudah
menjelaskan keberadaan Satomi hanya sebagai teman tapi ... Si bodoh itu !!!
Kenapa harus berpikir seperti itu!" Maya kembali kesal.
"Apa kau juga mau
melampiaskan kekesalanmu padaku Maya?"
Maya terdiam,
"Tentu saja tidak, maaf kalau anda merasa seperti itu. Baiklah, tolong
titip kekasih saya ya, maaf menyita jam istirahat anda."
"Maya, Maya,
kenapa juga aku harus setuju dengan permintaan konyolmu ini ya?" Mizuki
merasa tidak percaya dengan keputusan yang telah dibuatnya itu. Apakah memang
karena loyalitasnya yang tinggi pada Masumi atau karena luluh melihat tekad
Maya atau juga hanya karena merasa tertantang ikut dalam permainan Maya yang
dia sendiri juga tidak tahu akan seperti apa jadinya.
"Saya tidak akan
melupakan kebaikan anda seumur hidup saya Nona Mizuki," kata Maya sopan.
"Sudahlah,
lupakan."
Maya tersenyum lega
saat menggumamkan terima kasih dan mengakhiri teleponnya. Dengan malas kembali
kekamarnya dan menghempaskan dirinya di tempat tidur.
"Masumi...aku
rindu...," Gumamnya, tapi tak lama kemudian, "Masumi BODOH !!!"
teriaknya dan akhirnya terlelap karena lelah menangis.
***
Rumah Takamiya.
"Bagaimana? Apakah
kalian sudah mendapatkannya?" Duduk dikamarnya, seorang wanita terlihat
gelisah. Tangannya menggenggam handphone dengan kuat.
"Maaf Nona, kami
belum berhasil menemukannya," jawab pria di ujung telepon lain.
Mendesah dengan kecewa,
"Jangan berhenti, kau harus temukan dia. Apapun caranya dan berapapun
biayanya, aku tidak peduli! kau harus temukan dia!" Katanya dengan penuh
emosi.
"Baik Nona,"
dan telepon berakhir.
Jari-jari panjang
wanita itu mencengkram kuat lengan kursinya setelah meletakkan handphonenya di
meja.
"Nona Shiori, anda
harus istirahat dulu, tidak baik terlalu banyak berpikir seperti itu,"
"Bibi Takigawa
tidak perlu khawatir. Aku lebih kuat sekarang." Kata Shiori menenangkan kekhawatiran
bibi pengasuhnya itu.
"Kenapa Nona masih
mencari gadis itu?" Bibi itu memandang prihatin nonanya dan tidak mengerti
kenapa nonanya masih mencari Maya padahal Maya sudah menjauh dari Masumi
seperti yang diinginkannya.
Ekspresi Shiori
langsung membeku mendengar pertanyaan bibinya. "Aku harus menemukannya Bi.
Gadis itu sudah menghancurkan segalanya." Desis Shiori.
Takigawa tidak berani
lagi berkomentar, dia hanya bisa mendukung rencana nonanya. Dia hanya ingin
nonanya bahagia.
Shiori masih duduk dikursinya
tapi kali ini matanya memandang kosong pada surat kabar lama yang tergeletak di
mejanya. Headlines pada halaman utama dicetak dengan huruf tebal, 'PANGERAN
DAITO dan PUTRI TAKATSU GAGAL MENCAPAI PELAMINAN'.
***
"Haahaaa...,"
Satomi tertawa senang mendengar Maya bercerita. Keduanya sedang berada disebuah
cafe di tengah kota New York.
Tidak terasa sudah
hampir dua bulan Maya meninggalkan Tokyo. Dia mulai menikmati suasana New York.
Sudah beberapa kali Maya menghabiskan akhir pekannya bersama Satomi dengan
berjalan-jalan di kota atau sekedar bersantai di cafe. Seperti yang saat ini
sedang dilakukannya.
"Kau senang di New
York?" Tanya Satomi seraya meneguk vanila latte dari cangkirnya.
Maya mengangguk senang,
"Iya,"
"Mungkin kau sudah
bosan mendengarnya tapi sekali lagi kukatakan kalau aku senang sekali kau ada
disini Maya," Satomi mendaratkan tatapan lembut pada gadis dihadapannya,
membuat Maya menghadiahinya seulas senyum manis.
"Aku juga
senang," balas Maya polos, dia masih belum menyadari kalau Satomi masih
memiliki perasaan padanya.
"Benarkah?!"
Satomi girang.
"Tentu saja,
awalnya aku sedikit ragu saat mau menghubungimu. Aku menemui menejer lamamu
untuk meminta nomor teleponmu karena aku tahu kau ada di kota ini. Ku pikir aku
pasti akan kesepian kalau tidak memiliki teman dan ternyata kau malah banyak
membantuku," Maya tersenyum lagi.
"Aku senang bisa
membantumu,"
"Terima kasih
untuk semuanya,"
"Ah, tidak perlu
seperti itu." Satomi melambaikan tangannya diudara, "Tapi aku
terkejut saat bertemu denganmu, kau sudah banyak berubah," sekali lagi
meneguk vanilalattenya.
Maya terkikik sambil
memutar cangkir ditanganya yang berisi coklat panas. "Apa kau berharap aku
berumur lima belas selamanya? Tentu saja aku berubah, setidaknya 'sedikit'
tumbuh besar," kata Maya yang menyadari kalau secara fisik dia memang
masih terlihat mungil meski sudah lebih tinggi.
Satomi kembali tergelak
saat mendengar Maya menekankan kata sedikit, "Tapi kau semakin cantik Maya
dan terlihat lebih dewasa. Gaya bicaramu juga sudah berbeda,"
Dan Maya tersipu, dia
senang karena dianggap sebagai wanita dewasa. Namun tiba-tiba memorinya
melayang pada Masumi dan teringat bagaimana kekasihnya itu dulu
memanggilnya...mungil. Mendesah pelan tak kentara, Maya merasakan kerinduan
menyelubungi hatinya sekarang.
"Ada apa?"
Satomi heran melihat Maya yang tiba-tiba diam dan matanya menatap kosong pada
cangkir ditangannya.
"Ah, tidak,"
buru-buru Maya menepis bayangan-bayangan yang bersliweran di otaknya.
"Oh ya, bagaimana
kabar Kak Ueda?" terlintas sedikit nada keraguan dalam suara Satomi.
"Ueda?" Maya
mengernyit tapi kemudian sadar akan kebodohannya. Dia lupa tentang kakak angkat
barunya itu. "Hhmm, dia baik-baik saja," Maya tersenyum, berusaha
terlihat wajar.
"Sepertinya kau
sangat dekat dengannya?" Tanya Satomi.
Maya sedikit heran
kenapa Satomi tiba-tiba membicarakan Hijiri. Topik itu tidak pernah muncul
selama ini bahkan saat Hijiri pulangpun Satomi tidak menanyakannya.
"Ada yang
aneh?"
Satomi menggeleng
cepat, "Tidak, hanya saja dari caranya memanjakanmu sampai-sampai
menyusulmu ke New York untuk tahu keadaanmu, hhmm, aku berpikir dia pasti
sangat menyayangimu," Satomi menjelaskan pertanyaannya.
Maya tertawa sambil
bergumam dalam hati, "Orang yang menyuruhnyalah yang sangat
menyayangiku Satomi,"
"Apa kau
melihatnya seperti itu?" Maya balas bertanya.
Satomi mengangguk.
"Iya, dia memang
menyayangiku. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya," jawab Maya seraya
membayangkan kehadiran Hijiri yang selalu tepat waktu menolongnya atas perintah
Masumi.
Raut wajah Satomi
langsung berubah, "Oh," gumamnya. Perkataan Maya kembali mengingatkan
akan kesalahannya dulu.
"Kau tidak
berpikir aku dan Kak...Ueda memiliki hubungan lain kan?" Hampir saja
dirinya menyebut nama Hijiri.
Satomi terkikik,
"Tidak, meski awalnya iya,"
Maya tertawa.
"Ku pikir karena
kalian kan hanya teman baik yang kemudian mengeratkan hubungan sebagai kakak
dan adik. Tentu saja hal itu mungkin terjadi, tapi melihat caramu memandangnya
aku yakin aku salah,"
"Caraku
memandangnya?" Maya menatap heran.
"Iya, aku pasti
akan tahu kalau kau jatuh cinta padanya hanya dengan melihat caramu
memandangnya," jawab Satomi.
Maya tertawa, "Kau
ahli membaca ekspresi orang ternyata," kata Maya seraya meneguk coklat
panasnya yang sudah hampir dingin.
"Bukan, itu karena
aku masih ingat dengan jelas bagaimana caramu memandangku dulu,"
Maya langsung batuk
tersedak coklatnya, kali ini sepenuhnya mengerti maksud lawan bicaranya. Satomi
terkikik, sepertinya dia sengaja.
"Maaf,"
gumamnya seraya tersenyum.
Maya menyeringai padanya.
"Selain
itu...," Satomi memandang Maya ragu.
"Selain itu?"
"Kak Ueda bilang
kau sudah memiliki kekasih," jawab Satomi, meski berusaha tenang tapi ada
getaran dalam nada bicara Satomi, gugup.
"Heh?!" Otak
Maya berputar, mencerna perkataan Satomi dan semua percakapannya. Akhir-akhir
ini dia semakin cepat dalam berpikir. Maya mengerti sekarang arah tujuan
sebenarnya dari topik Hijiri ini. Dalam hati dia bersyukur dengan apa yang
dikatakan Hijiri mengenai statusnya.
"Maaf kalau aku
tidak sopan, mengusik privasimu." Satomi dengan cepat memperbaiki situasi
saat melihat Maya terdiam.
"Ah tidak apa-apa.
Hanya saja aku belum terbiasa membicarakan hal itu dengan orang lain,"
rasa sedih kembali menggelayuti hatinya. Mengingat perjalanan cintanya dengan
Masumi yang harus dirahasiakan dan terakhir justru membawanya ke tempat dimana
dia berada sekarang.
"Oh, tidak apa-apa
kalau kau tidak mau bercerita tentang pria beruntung yang berhasil memenangkan
hatimu itu. Semoga dia pria yang baik dan juga menyayangimu," kata Satomi
tulus, "Seperti aku juga menyayangimu," tambahnya dalam
hati.
Maya
tersenyum, "Dia? Pria beruntung? Apa yang bisa diuntungkan dariku?
Bukankah aku yang terlalu beruntung bisa mendapatkan hatinya?" Dalam
hati Maya tidak setuju.
"Maya?"
"I...iya,"
Maya tergagap.
"Kenapa?"
"Ah tidak,
ucapanmu itu...terlalu berlebihan. Sepertinya tidak banyak untungnya jika
seorang pria jatuh cinta padaku," Maya mendengus lemah.
Satomi tertawa,
"Kenapa berpikir begitu? Dengar Maya, kau cantik, baik, periang, aktris nomor
satu di Jepang yang memiliki hak pementasan Bidadari merah. Kau pikir pria
tidak beruntung mendapatkanmu?"
Maya terkikik,
"Selain aku aktris dan pemegang hak pementasan, selebihnya aku merasa
tidak ada yang bisa dibanggakan. Tapi ya, aku bersyukur ada yang mencintaiku
dengan segudang kebodohan dan kecerobohanku." Sejenak Maya terdiam,
"Dia pria yang baik dan ya...dia menyayangiku, kupikir itu cukup,"
Maya tersenyum manis, meski cemberut dalam hatinya, "Si bodoh itu
dengan segala kecemburuannya! Apa yang akan Masumi lakukan ya jika dia
melihatku sekarang?"
Satomi kembali menatap
Maya yang termenung, dalam hati tersenyum kecut, "Kau sedang
merindukannya ya,"
Menghela napas, Satomi
menjentikkan jarinya didepan wajah Maya, "Hei! Kau masih disini
Maya?"
Maya tersenyum.
"Oh ya, soal
rencanamu pergi ke teater Scarlet besok, boleh aku mengatarmu?" Satomi
merubah topik pembicaraan mereka.
"Kau tidak ada
syuting?"
Satomi menggeleng,
"Boleh?"
"Tentu," dan
senyum manis Maya kembali mengembang.
***
Maya turun dari mobil
bersama Satomi di basement gedung Production House Scarlet. Saat melintas di
depan gedung Maya sempat tertegun. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk
meniti karir di dunia internasional. Sejenak Maya teringat saat pertama kali
dia mendapat tawaran dari Direktur PH Scarlet sekaligus pemilik Teater Scarlet,
Clara Anderson.
"Aku Clara
Anderson, maaf mengejutkanmu dengan pertemuan ini Nona Kitajima. Tapi aku
sangat terpesona dengan bakat aktingmu, maukah kau bergabung dengan
teaterku?" Kata Clara pada Maya tanpa basa basi.
Wanita blasteran
Jepang-Amerika yang juga fasih bahasa Jepang itu duduk dengan anggun didepan
Maya di sebuah restoran. Waktu itu Maya baru saja memenangkan penghargaan
tertinggi dibidang drama atas peran Jane di Wilderness Forgotten. Peran itu
juga yang membuat Clara jatuh hati pada Maya.
"Ah, maaf Nyonya
Anderson tapi saya tidak bisa memenuhi permintaan anda. Saya masih memiliki
tugas penting untuk bersaing dengan Ayumi Himekawa untuk Drama Bidadari
Merah," jawab Maya polos.
Clara terlihat kecewa
tapi kemudian tersenyum, "Ah iya ya, kau kan calon Bidadari Merah
selanjutnya." Sejenak matanya tampak menerawang, "Meski waktu itu aku
masih berusia tujuh tahun, tapi aku tidak akan pernah lupa pada drama
itu," gumamnya.
"Eh?! Anda pernah melihat
Bidadari Merah?" Maya langsung bersemangat.
Clara mengangguk,
"Hanya sekali. Ibuku orang Jepang dan sangat menyukai drama. Dulu kami
sempat tinggal di Tokyo. Karena aku juga suka drama seperti ibuku maka aku
mendirikan sebuah Production House dan sebuah teater di Amerika, supaya aku
bisa memproduksi banyak drama dan puas menontonnya." Senyum manis
tersungging pada wajah cantik wanita berusia empat puluhan itu. Pernyataannya
menyiratkan bahwa drama adalah sebuah kepuasan baginya bukan bisnis.
"Ngg, begitu
banyak artis cantik disini...kenapa anda memilih saya?" tanya Maya ragu.
Clara tertawa sopan,
"Kau luar biasa Nona Kitajima, kenapa kau meragukan kemampuanmu sendiri?
Aktingmu itu, aku belum pernah melihat artis sepertimu. Bahkan di Broadway
sekalipun."
Maya tersipu,
tersanjung dengan perkataan Clara.
"Tapi sekali lagi
maaf, saya tidak bisa memenuhi keinginan anda," sekali lagi Maya menolak,
membuat Clara kembali mendesah.
"Aku mengerti Nona
Kitajima. Tapi suatu hari nanti, jika kau berubah pikiran kau bisa
menghubungiku," Clara memberikan kartu namanya pada Maya, "Aku akan
memberikan semua fasilitas padamu, beasiswa sekolah acting di Julliard School
(*sekolah acting terbaik) jika perlu. Apapun, apapun syarat yang kau minta.
Asal kau mau bergabung dengan PH dan teaterku maka aku akan berusaha
memenuhinya,"
"Heh?!" Maya
terkejut dengan tawaran itu. Tidak menyangka akan ada orang yang berani
membayar mahal untuk kemampuannya dan melihatnya berakting selain Mawar
ungu-nya.
Maya mendesah pelan
saat kakinya melangkah ke dalam lift bersama Satomi. Ya, disinilah dia
sekarang. Maya memutuskan untuk menghubungi Clara dan menerima tawarannya saat
dia memang sedang membutuhkan tempat untuk pergi dari Tokyo dan mengulur waktu
pementasan Bidadari Merah.
Masih teringat jelas
dalam ingatan Maya, nada girang Clara saat Maya mengatakan keinginannya. Namun
karena saat Maya menghubunginya Clara sedang mengadakan tur keliling Eropa maka
baru hari ini Maya bisa bertemu dengannya.
"Oh Nona Kitajima,
aku senang sekali kau benar-benar datang. Selama di Eropa aku terus
memikirkanmu," sambut Clara senang.
Maya tersenyum dan
mengulurkan tangannya untuk memberi salam, "Saya juga senang bertemu
dengan anda Nyonya Anderson," jawab Maya dengan bahasa inggris yang
berhasil dikuasainya dengan fasih atas bantuan Miss Morgan.
Clara tersenyum senang
melihat semangat dimata Maya, "Aku sudah tidak sabar melihatmu dipanggung
Nona Kitajima,"
Setelah Maya
mengenalkan Satomi dan mereka saling memberi salam maka Clara mengajak keduanya
keruangannya.
Mata Maya terus
mengamati suasana gedung PH Scarlet itu. Kemewahannya sempat membuat Maya
minder, takut kalau-kalau dia tidak bisa memenuhi harapan Clara. Namun bayangan
Masumi yang tiba-tiba berkelebat dikepalanya membuatnya kembali yakin dengan
keputusannya. Clara menjanjikan akan memberikan semua yang dibutuhkannya dan
untuk saat ini Maya memang memerlukan keberuntungannya itu.
Maya masuk keruang tamu
besar bernuansa putih dan merah marun. Desainnya minimalis tapi elegan,
mencerminkan kepribadian Clara yang sederhana tapi juga berkharisma. Maya dan
Satomi dipersilakan duduk di sofa merah marun, keduanya duduk berhadapan dengan
Clara setelah sebelumnya Clara meminta sekretarisnya membuatkan minuman.
"Jadi kesepakatan
seperti apa yang kau inginkan Nona Kitajima?" Seperti biasa tanpa basa
basi dan semangatnya jelas terlihat.
Maya tersenyum sopan,
dalam benaknya masih heran kenapa Clara begitu tertarik padanya sampai-sampai
rela memenuhi semua keinginannya.
"Apa kita akan
langsung membahas hal itu Nyonya?" Tanya Maya sopan.
"Tentu, bukankah
itu tujuan pertemuan kita hari ini. Membahas kesepakatan kerja, aku tidak suka
basa-basi Nona Kitajima,"
"Baiklah Nyonya
Anderson. Sebelumnya anda bisa panggil saya Maya, saya lebih nyaman
begitu."
Satomi duduk
memperhatikan Maya, dia tak menyangka Maya benar-benar terlihat tenang. Bahkan
saat ini pun dirinya sedikit grogi berhadapan dengan direktur PH dan teater
Scarlet yang reputasinya sudah tidak diragukan lagi. Satomi seakan tak percaya
bahwa gadis yang disebelahnya adalah pacarnya lima tahun yang lalu.
Setelah sekretaris
Clara datang membawa minuman, ketiganya pergi keruang kerja Clara untuk
membahas rencana kontrak dan meminta Satomi menunggu di ruang tamu. Satomi
tidak keberatan karena memang tugasnya hanyalah mengantar Maya.
"Maya, kenalkan
ini Kate Adam, sekretarisku. Dia yang akan mengurus semua kesepakatan kerja
kita," kata Clara ketika mereka sudah berada diruang kerjanya.
Maya mengulurkan
tangannya, "Saya Maya Kitajima,"
"Kate Adam,"
balasnya tanpa senyum.
Sejenak tertegun, sikap
dingin Kate Adam mengingatkan Maya pada sosok yang tidak asing baginya,
sekretaris Masumi. Meski tatapan mata Kate tidak setajam Mizuki.
"Apa semua
sekretaris harus bersikap seperti itu," dengus Maya dalam hati tapi
bibirnya menyunggingkan senyum.
"Baiklah, sekarang
kau bisa katakan apa yang kau inginkan," Clara sepertinya sudah tak sabar
untuk memiliki Maya sebagai aktrisnya.
Maya memandang pada dua
wanita yang ada didepannya lalu menghela napas perlahan, memantapkan hatinya.
"Jadikan saya
aktris profesional kelas satu,"
Clara sejenak tertegun,
melihat kedalam mata Maya, tapi kemudian pandangannya melembut, "Itu
keahlian kami dan dengan kemampuanmu, itu mudah sekali," Clara tersenyum
puas syarat pertama Maya begitu mudah baginya, "Ada lagi?"
"Lama kontrak
kerja saya hanya dua tahun,"
"Hhmm, ku rasa
kita sudah sepakat soal itu ditelepon,"
Maya mengangguk sopan.
"Ada lagi?"
Maya sedikit ragu saat
akan membuka mulut tapi ini adalah rencana cadangan yang penting untuk
mengantisipasi kegagalannya.
"Beasiswa Julliard
Shcool yang anda tawarkan, saya tidak mau. Jika boleh, saya lebih tertarik jika
anda bekali saya tentang bisnis dan manajemen pertunjukan," akhirnya
memberanikan diri bicara.
Clara menyeringai,
dalam hatinya yakin Maya yang ditemuinya saat ini berbeda dengan Maya yang
ditemuinya dulu.
"Well, Maya.
Kenapa aku merasa kau memiliki motif khusus dalam hal ini," Clara
tersenyum tapi matanya tetap awas mengukur reaksi Maya.
"Wah, dia hebat.
Pantas dia menjadi seorang direktur. Dia tahu aku punya
tujuan," gumam Maya dalam hati tanpa melepas ekspresi tenangnya.
"Apakah anda
keberatan dengan itu?" Maya mencoba melindungi privasinya, batinnya
berlutut penuh harap itu tidak akan membatalkan niat Clara untuk mengontraknya.
Pelajaran tentang dasar-dasar bisnis dan cara bernegosiasi yang diajarkan Miss
Morgan dipertaruhkan sekarang.
"Selama tujuanmu
tidak menjadi bumerang bagi Scarlet, aku tidak keberatan. Aku perlu tahu lebih
detail tentang hal ini,"
"Saya tidak dapat
menjelaskan secara detail tentang hal ini tapi demi keamanan dan kenyamanan
kerja sama kita saya bersedia menandatangani apapun itu yang anda harapkan
untuk menjauhkan saya dari tindakan yang anda khawatirkan sebagai bumerang
tadi,"
Clara tertawa dan
seringai muncul di wajah Kate.
"Kau pintar Maya.
Aku setuju,"
"Tapi Nyonya
Anderson...,"
Clara mengangkat
tangannya menghentikan interupsi Kate, mengerti benar apa yang ada dipikiran
sekretarisnya.
"Aku percaya
padanya Kate. Dia tidak akan macam-macam. Aku rasa tujuannya ada di Jepang
setelah menyelesaikan kontraknya dengan kita. Bukan begitu Maya,"
Maya tersenyum malu,
Clara terlalu pintar untuk dikelabui.
"Oke, sejauh ini
aku tidak keberatan. Kate akan menyiapkan semua kontrak kerja dan semua
kesepakatan kita. Minggu depan kita akan bertemu lagi untuk mendiskusikan
semuanya lebih detail,"
"Baik," Maya
tersenyum senang, lega semuanya berjalan lancar.
"Saya permisi
Nyonya Anderson, Nona Adam," kata Maya setelah menghabiskan teh yang tadi
disuguhkan Kate.
Clara berdiri dan
menyalami Maya.
Braakkk!!
Seketika pintu ruang
kerja terbuka, Maya melonjak kaget.
"Christ!!"
Pekik Clara yang juga terkejut.
Pria yang dipanggil
Christ itu menatap tajam pada Clara dan langsung menghampirinya.
"Bonjour Ma," (Halo
Ma) sapanya dingin.
"Silence s'I'll vous plait," (jangan
ribut) Clara melebarkan matanya pada Christ dan pria itu melembutkan
pandangannya.
"Vous aves fini?" (Sudah
selesai?)
"Oui," (Ya), Clara menatap Maya
yang kebingungan.
"Christ, je voundrais te presenter, c'est Maya
Kitajima," (Christ, aku mau kenalkan padamu, ini Maya Kitajima)
Dan untuk pertama kali
Christ melihat orang lain diruangan itu selain Clara, sejak tadi dia
mengabaikan keberadaan Maya dan Kate.
"Maya, ini
putraku, Christian Anderson,"
Maya mengulurkan
tangannya, "Maya Kitajima,"
Christ menatap Maya
sejenak lalu memalingkan mukanya, "Jika urusan anda sudah selesai, bisakah
anda meninggalkan kami? Ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan
direktur."
"Heh?!" Maya
terkesiap, tangannya masih menggantung diudara. Maya, menahan dirinya untuk
tidak berteriak dan memaki pria sombong yang ada dihadapannya.
Clara menggeleng kesal,
"Maaf Maya, putraku kurang sopan." Sopan santun Clara mendinginkan
kepala Maya. Dengan cepat Maya menarik tangannya yang diabaikan lalu tersenyum
pada Clara, "Tidak apa-apa Nyonya. Saya permisi,"
Maya berbalik lalu
berjalan ke pintu tapi tiba-tiba kakinya tersandung karpet dan jatuh tersungkur
di lantai membuat semuanya terkejut, tanpa terkecuali Christ.
"Kau tidak
apa-apa?" Kate dan Clara membantu Maya berdiri.
"Ah, ti...tidak
apa-apa," kata Maya malu, dalam hati merutuki kecerobohannya sendiri.
"Sa...saya permisi," ulang Maya dan segera menghilang dibalik pintu,
meninggalkan Clara dan Kate yang masih kaget juga Christ yang mendengus kesal.
Maya segera mengajak
Satomi yang masih duduk di ruang tamu untuk pulang.
"Kenapa kau
buru-buru sekali Maya?" Tanya Satomi heran melihat Maya jalan dengan
tergesa.
"Tidak apa-apa,
aku cuma mau cepat sampai diapartemen," kata Maya bohong padahal dia tidak
mau bertemu ketiga orang itu karena malu.
Tak bertanya lagi
Satomi hanya mengikuti Maya dan mempercepat langkahnya.
Ah,
kenapa aku harus jatuh disana sih. Kalau Nyonya Clara tahu aku ceroboh
bisa-bisa kontrakku batal, gerutu Maya dalam
hati, Kalau kontrakku batal maka
semua rencanaku...ah.... Maya menggelengkan kepalanya, menepis semua
pikiran buruknya. Tidak! Kesepakatan
ini tidak boleh gagal. Aku sudah berhasil melangkah sejauh ini. Bahkan aku
melakukan privat dengan Miss Morgan untuk menyiapkan pertemuan ini. Aku tidak
boleh gagal! Aku pasti berhasil, salah! Aku harus berhasil. Maya
meyakinkan hatinya sendiri.
"Kau tidak
apa-apa?" Satomi heran melihat Maya yang gelisah.
"Ah, iya. Aku
tidak apa-apa. Hanya memikirkan beberapa hal untuk kontrakku nanti," elak
Maya.
"Kau luar biasa
Maya. Karirmu pasti cemerlang. PH Scarlet dan teaternya selalu mencetak bintang
besar, aktor dan aktrisnya juga sering tampil di Broadway," kata Satomi
sambil terus menyetir dan sesekali melirik pada Maya.
"Aku beruntung
Nyonya Anderson menyukai aktingku," kata Maya senang.
"Kau tahu Maya,
Nyonya Anderson sangat mencintai drama. Dia selalu memilih aktor dan aktris
terbaik untuk film ataupun dramanya. Dan dia mengajakmu bergabung secara
pribadi bahkan bersedia memenuhi semua syarat yang kau ajukan. Ku rasa dia
tidak hanya suka padamu Maya, dia mengagumimu,"
Maya tertawa, "Kau
berlebihan Satomi. Aku hanya sedang beruntung. Itu saja,"
Satomi tersenyum
mendengar perkataan Maya yang selalu saja rendah hati. Kapan kau akan sadar kalau kau itu luar biasa Maya, gumam Satomi
dalam hati.
***
Maya menghempaskan
dirinya di tempat tidur setelah Satomi mengantarnya pulang. Melihat jam
tangannya, pukul satu siang.
"Sudah dua bulan
Masumi, sampai kapan kau akan diam? Apa kau tidak merindukanku? Apa kemarahanmu
sudah membakar habis rindumu?"
Maya menatap cincin
dijari manisnya, batu garnet ungunya berkilau terkena cahaya. Tapi keindahannya
justru membuatnya tidak dapat menahan air matanya. Membawa kenangan saat Masumi
melamarnya di izu.
"Kau membuatku
menangis lagi Masumi ...," Maya memeluk guling besarnya, membenamkan
wajahnya disana. Tidak tahan lagi, Maya bangun dan meraih handphonenya. Tidak
peduli pukul berapa di Tokyo, Maya hanya ingin mendengar suara kekasihnya.
Dalam hati berdoa penuh harap kali ini Masumi mau mengangkat teleponnya. Namun
ternyata rasa pahit kekecewaan harus ditelannya lagi, tiga kali panggilannya
diabaikan.
"Dia pasti sudah
tidur." Maya mencoba menghibur hatinya, mengingat saat yang sama di Tokyo
sudah pukul tiga pagi. Dalam hati kecilnya dia juga tidak berharap Masumi masih
terjaga.
"Apa yang harus
aku katakan agar kau percaya padaku Masumi? Kau tidak mau mengaku padaku kalau
kau cemburu. Kau hanya bilang sibuk dan sibuk!! Sibuk dengan kecemburuanmu?
Menyebalkan !!"
Maya bersandar pada
kepala tempat tidurnya, menatap kosong. "Kalau aku menyalahkan rasa
cemburumu ... kau pasti akan curiga pada Nona Mizuki dan Kak Hijiri. Aahhh ... sulitnya!!"
Kembali termenung,
sekali lagi kerinduan membuat Maya melakukan panggilan. Masih tidak ada jawaban
dan Maya meninggalkan pesan suara untuk Masumi. Menyerah, Maya melempar
handphonenya ke sisi lain tempat tidur dan kembali meraung memeluk guling
besarnya. Berharap guling itu akan berubah menjadi Masumi dan saat sadar
khayalannya terlalu tinggi tangisannya justru semakin panjang.
***
Tokyo, Kediaman Hayami,
pukul tiga dini hari.
Dua botol kosong
whiskey tergeletak di meja, sebelahnya asbak penuh dengan puntung rokok. Lampu
tidur yang redup membuat kamar terasa semakin sendu. Duduk bersandar di sofa,
Masumi terpaku, tangannya meremas kuat kulit kepalanya yang berdenyut. Di
lantai tergeletak handphonenya, suara gadis terkasihnya memecah kesunyian. Suara
yang penuh dengan kesedihan.
Masumi, aku
merindukanmu .... Masumi-ku ... aku ingin bertemu ....
Saat benteng
kemarahannya hancur, otaknya tidak lagi berpikir panjang.
***
New York, Rumah
Keluarga Anderson.
"Michael, boleh
aku minta bantuanmu?" tanya Clara. Dia bersama suami dan anaknya sedang
duduk di ruang keluarga seusai makan malam.
Michael Anderson, suami
Clara menatap istrinya heran. Pasti ada hal penting sampai Clara meminta
bantuan. "Ada apa? Tidak biasanya."
"Bukankah
perusahaan kita sedang berencana membuat iklan untuk beberapa produk baru?
Maukah kali ini kau memberikan proyek iklannya padaku?"
"Heh?!"
Michael dan Crist terkejut.
"Kau serius?"
tanya Michael.
"Tentu saja."
"Bukankah mama
tidak pernah mau mengerjakan proyek iklan untuk kami?" tanya Christ. Dia
tahu betul mamanya tidak pernah mau memanfaatkan koneksi keluarga untuk
memajukan PH-nya.
"Pengecualian
untuk kali ini," kata Clara seraya meneguk teh dengan anggun.
"Aku akan minta
sekretarisku menyiapkan kontraknya besok," jawab Michael.
"Kau setuju?"
"Tentu, kenapa aku
harus menolak? Jika kau sampai meminta padaku berarti itu sesuatu yang sangat
penting. Benarkan?"
"Terima kasih
sayang, aku tahu seharusnya kita membicarakan ini secara profesional di kantor
tapi aku memerlukan kontrak ini dan jika aku membuat proposal untuk perusahaan
lain maka akan memerlukan waktu lebih lama. Denganmu, semuanya akan jadi mudah."
"Apa maksudmu? Aku
tidak mengerti Clara," Michael bingung dengan penjelasan istrinya.
"Kau masih ingat
seorang aktris yang aku ceritakan dulu? Gadis yang sangat ingin aku kontrak
untuk Scarlet?"
Michael tampak berpikir
sejenak. "Aktris Jepang itu? Yang jadi serigala?" Dia teringat
kenangannya saat menemani istrinya menonton drama Forgotten Wilderness di
festival drama.
"Nah, kau ingat.
Dia akhirnya mau menjadi aktrisku dengan beberapa syarat yang harus aku
penuhi," kata Clara senang.
Christ melotot.
"Maksudnya ada aktris yang mencoba memeras Mama?"
"Hei, aku tidak
merasa dia memerasku. Ini hanya bagian dari kesepakatan. Dia ingin aku
menjadikannya artis kelas satu dan menurutku itu tidak salah. Dengan potensi
yang dimilikinya dia memang layak. Aku hanya menjadi jalan baginya,"
"Maksudmu gadis
kecil itu yang memintamu?"
Clara menggeleng.
"Dia sudah dewasa sekarang Michael, bukan gadis kecil lagi. Dia hanya mau
dikontrak selama dua tahun, jadi aku tidak punya banyak waktu untuk
mengorbitkannya. Tapi dengan bantuan kalian maka semuanya pasti lancar. Image
perusahaan kita tidak bisa di remehkan, pasti akan cepat menaikkan
popularitasnya." Clara menjelaskan rencananya.
"Wah, sepertinya
kau benar-benar mengagumi gadis itu, sampai rela meminta kontrak dariku."
"Tentu, apapun
akan aku lakukan asal gadis itu mau menjadi bagian dari Scarlet."
"Memangnya siapa
aktris luar biasa itu, sampai Mama repot seperti ini?" Christ terdengar
tidak suka mamanya melakukan hal yang menurutnya berlebihan hanya untuk seorang
aktris.
"Kau sudah bertemu
dengannya," kata Clara.
"Heh?!"
Christ tertegun, seingatnya beberapa hari terakhir dia tidak bertemu aktris.
"Siapa?"
"Maya Kitajima."
"Hah?! Apa?! Gadis
jepang tadi?" Christ ingat karena kejadian konyol Maya yang jatuh
terjerembab.
"Iya," Clara
tersenyum.
"Kalau begitu aku
tidak setuju!"
"Kenapa?"
"Dia bukan aktris
terkenal. Jalan saja tidak lurus, bagaimana dia bisa menjadi model iklan untuk
produk kita?"
Clara tertawa.
"Tidak lucu
Ma," dengus Christ kesal.
"Dia memang
terlihat biasa jika tidak sedang berakting, gadis ceroboh juga setahuku. Tapi
mama berani menjamin kalau kau akan terpesona padanya saat sedang berakting."
"Ini bukan lelucon
kan?"
"Tentu saja
bukan." Clara kembali meneguk tehnya dengan santai, melihat Christ yang
kesal di depannya. "Dengar Christ, mama tidak bercanda soal ini. Tidak
mungkin mama main-main dengan nama baik perusahaan kita."
"Siapa sebenarnya
gadis itu? Sampai mama repot-repot membujuk papa dan aku."
Clara hanya tersenyum,
"Nanti kau juga tahu."
Michael tidak protes
karena memahami kecintaan istrinya pada drama. Namun lain halnya dengan Christ,
dia tahu benar mamanya tidak pernah mau memanfaatkan kekuatan perusahaan
keluarga mereka. Keluarga Anderson adalah keluarga konglomerat yang cukup
berpengaruh di Amerika. Mereka memiliki usaha di bidang telekomunikasi,
transportasi juga industri pengolahan makanan di bawah bendera perusahaan ACA
Group.
Masih memandang
mamanya, Christ mencoba memahami kalau mamanya memang mencintai drama.
Production House yang di dirikan mamanya pun semata-mata hanya untuk menyokong
keberadaan teater miliknya. Sehingga dia bisa sesukanya membuat dan mementaskan
drama. Bahkan mamanya membeli jam tayang di salah satu stasiun televisi swasta
khusus untuk menayangkan semua drama yang di produksinya. Tapi tetap tidak
masuk akal bagi Christ kalau mamanya melakukan hal yang berlebihan hanya untuk
seorang aktris. Baginya itu lebih terkesan pemerasan. Memanfaatkan kecintaan
mamanya pada drama untuk keuntungan pribadi.
Untuk sementara Christ
memilih diam dan berencana melihat perkembangan semuanya, lagipula tidak mudah
melarang mamanya untuk melakukan sesuatu. Clara adalah wanita mandiri yang
tidak mudah menyerah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
***
Apartemen Maya.
Alarm pukul enam pagi
berbunyi. Maya menggeliat panjang di atas tempat tidurnya, tangannya terulur
menekan tombol off jam beker. Enggan bangun, Maya kembali bergelung di bawah
selimutnya. Sedih, Masumi tidak juga menghubunginya meski kemarin dia sudah
meninggalkan pesan tentang perasaanya.
Badannya juga terasa
lelah karena tidur sampai larut dan menangis semalaman, belum puas juga meski
seharian dia sudah menangis di telepon. Sekarang meski tidak melihat cermin
Maya tahu matanya pasti bengkak.
"Ah ... apa yang
akan kulakukan hari ini? Kelas privatku libur dua hari, Satomi syuting di LA
sampai minggu depan. Aku bisa mati karena rindu kalau begini." Maya
memeluk gulingnya semakin erat.
Maya mengernyit saat
mendengar bel berbunyi. "Siapa yang datang? Apa Satomi? Bukankah dia sudah
berangkat syuting semalam?"
Daripada terus menduga
tamunya, dengan enggan akhirnya Maya beranjak dari tempat tidur. Setelah
mencuci muka di kamar mandi, gadis itu segera keruang tamu. Maya membuka pintu
dan seketika tubuhnya mematung karena terkejut.
***
>>Bersambung<<
Follow on me
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina
0 Comments