Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Bidadari
Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci
bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua
itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang
terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan
mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk
menemukan jalannya.
*********************************************************************************
Braakkk!!
"DARIMANA
SAJA KAU?!" Eisuke berang bukan main saat Masumi menemuinya. Hari sudah
malam saat dirinya tiba kembali di Tokyo. Masumi hanya diam dan duduk tenang di
sofa single. Membiarkan ayahnya yang duduk di kursi roda dihadapannya
melampiaskan amarahnya.
"Kenapa
kau diam saja? Tiga hari kau menghilang tanpa kabar! Apa kau tidak tahu kalau
kau sudah membuat kacau semuanya?!"
"Aku
tahu ayah dan aku akan membereskan semuanya." jawabnya tenang.
"Huh!!
Hanya begitu jawabanmu?"
"Memang
ayah berharap aku menjawab apa? Bukankah memang seharusnya aku membereskan
kekacauan yang aku buat?"
Eisuke
terdiam, dia sebenarnya ingin menanyakan apakah Masumi pergi menemui Maya atau
tidak. Tapi jika dia bertanya maka dia melanggar kesepakatannya dengan Maya.
Bukankah seharusnya dirinya pura-pura tidak tahu mengenai hubungan mereka?
Eisuke hanya memandang kesal pada anaknya yang masih begitu tenang duduk di hadapannya.
"Ada
apa ayah? Tidak biasanya ayah selesai marah secepat ini?" Sepasang mata
gelap Masumi memandang penuh selidik.
"Lain
kali … TIDAK! Tidak ada lain kali. Kau tidak boleh seenaknya saja menghilang!
Kau lupa siapa dirimu Masumi. Kau adalah ahli warisku satu-satunya!
Keselamatanmu adalah hal yang penting,"
"Ya
ayah, aku tahu. Maaf sudah membuat kacau," jawab Masumi dingin. Ahli waris? Andai aku bukan ahli warismu, aku
pasti sudah bahagia sekarang, batin Masumi getir.
"Kupikir
kau sudah mati dengan menghilang tanpa kabar," jawab Eisuke.
Masumi
tertawa datar untuk meredakan sakit hatinya atas perkataan Eisuke. "Tenang
saja ayah, aku tidak akan mati sekarang. Tidak akan secepat itu, setidaknya
sebelum tujuan hidupku tercapai,"
"Oh,
baru kudengar kau membicarakan tujuan hidupmu Masumi," Eisuke menarik
salah satu sudut bibirnya.
"Sampai
saat ini aku hidup hanya untuk memenuhi tujuan hidupmu, ayah. Tapi aku juga
manusia biasa yang punya keinginan dan bukannya robot yang bisa kau atur
selamanya. Jadi tidak ada salahnya kan kalau aku juga punya tujuan hidup untuk
diriku sendiri," Masumi masih menatap Eisuke dalam, tangannya saling
bertaut dengan kedua sikunya bersandar pada lengan sofa.
"Apa
kau punya rencana untuk memberontak padaku Masumi?"
Masumi
kembali tertawa dengan nada sarkastik, "Apa serendah itu aku dimata ayah?
Tenang saja ayah, aku tahu yang namanya balas budi. Bagaimanapun ayah yang
menjadikanku seperti sekarang ini. Aku tidak akan memberontak padamu."
"Jadi
apa tujuanmu? Jika tujuanmu itu menyebabkan kau menelantarkan Daito maka aku
tidak akan membiarkannya!" Dalam hati Eisuke hanya ingin memancing Masumi.
Akankah anaknya yang terkenal dingin dan gila kerja itu akan mengakui
perasannya pada Maya. Lagipula Eisuke masih takut akan perkataan Maya yang
mengatakan kalau dia bisa membuat Masumi meninggalkan Daito.
"Aku
tidak akan menelantarkan Daito ayah." Jawab Masumi dengan nada
tenang.
Eisuke
kembali menatap anak angkatnya itu, mencoba membaca ekspresi wajahnya, tapi
gagal.
"Kalaupun
aku harus meninggalkan Daito suatu saat nanti, aku berjanji akan
meninggalkannya dalam kondisi puncak yang akan memuaskan hatimu." Tambah
Masumi.
Wajah
Eisuke menegang.
"Tenang
ayah, saat ini aku tidak akan berpikir sejauh itu. Lagipula tugasku belum
selesai, masih banyak yang harus aku bereskan," Masumi menjawab wajah
tegang Eisuke.
"Apakah
ini sebuah peringatan Masumi?" Tanya Eisuke datar.
"Peringatan?
Aku tidak bermaksud begitu tapi jika ayah mengasumsikan perkataanku sebagai
sebuah peringatan itu terserah ayah. Bagaimanapun juga aku hanyalah anak
angkat. Mungkin sekarang aku masih memegang kendali atas Daito tapi saat ayah
tidak ada nanti, apakah ayah yakin adik-adik ayah ataupun saudara sepupuku yang
lain akan membiarkan aku tetap memegang kendali? Aku sendiri tidak yakin akan
hal itu. Maka dari itu aku juga harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan
terburuknya kan? Selama ayah masih ada aku akan tetap berada di Daito, paling
tidak itu caraku membalas budi atau membayar apa yang dianggap hutang oleh
ayah. Tapi setelah ayah tidak ada kewajibanku juga selesai. Apa aku salah
ayah?"
Eisuke
membeku mendengar perkataan Masumi, selama ini belum pernah Masumi mengutarakan
pendapatnya secara terbuka. Baru sekarang Eisuke mengetahui apa yang dipikirkan
anak angkatnya itu.
Masumi
mendesah pelan setelah lega mengatakan apa yang seharusnya dikatakannya sejak dulu.
Terlalu lama dirinya menurut pada perkataan Eisuke. Bahkan saat Eisuke juga
harus mengatur hatinya untuk keuntungan Daito, dengan menjodohkannya dengan
Shiori, dia tidak bisa menolak.
Tapi
sekarang berbeda, dia ingin memperjuangkan hidupnya sendiri. Hidup baru bersama
wanita yang dicintainya, Maya. Dia akan rela melakukan apapun sekarang demi
tujuan itu. Bahkan jika dirinya harus keluar dari keluarga Hayami atau harus
kehilangan Daito sekalipun. Baginya Maya lebih berharga daripada nama Hayami
ataupun Daito.
Jalannya
masih jauh sekarang, akan tetapi dia akan mulai menapakinya. Setidaknya dia
tahu sekarang bahwa Maya akan menunggunya di ujung jalan, tak peduli seberapa
lama atau seberapa jauh perjalananya, dia pasti akan menemukan Maya diujung
jalannya. Dan itulah yang tidak akan membuatnya berhenti melangkah.
Suasana
hening terlalu lama, membuat Masumi jengah. Akhirnya dia bangkit dari sofa
karena ayahnya juga hanya diam mematung. Mungkin ayahnya masih mencerna setiap
perkataannya tadi.
"Kalau
sudah tidak ada lagi yang ingin ayah bicarakan, aku permisi. Aku akan kembali
ke kamarku,"
Eisuke
masih diam dan Masumi melangkah ke pintu.
"Masumi!"
Panggil Eisuke saat Masumi membuka pintu.
Masumi
berhenti dan menatap ayahnya.
"Apa
yang kau inginkan sebenarnya?"
Masumi
menyeringai, "Aku hanya ingin bahagia di akhir hidupku, itu saja
ayah." Dan Masumi menghilang di balik pintu.
Eisuke
menatap pintu yang tertutup dengan mata sendu. Seumur hidupnya, belum pernah
dia merasa begitu kesepian seperti hari ini.
...sampai
saat ini aku hidup hanya untuk memenuhi tujuan hidupmu, ayah...
...aku hanya angkat ayah...
...adik-adik mu atau sepupuku yang lain tidak akan membiarkanku...
...aku akan meninggalkannya dalam kondisi puncak yang akan memuaskan hatimu...
...aku tahu membalas budi...
...aku hanya angkat ayah...
...adik-adik mu atau sepupuku yang lain tidak akan membiarkanku...
...aku akan meninggalkannya dalam kondisi puncak yang akan memuaskan hatimu...
...aku tahu membalas budi...
Kata-kata
Masumi itu masih terngiang jelas ditelinganya. Terlebih lagi kalimat terakhir
Masumi yang sangat menohok hatinya.
Aku hanya ingin bahagia di akhir
hidupku, itu saja ayah.
Eisuke
memutar kursi rodanya, memandang langit malam dari jendela kamarnya. Merenungi
setiap perkataan Masumi.
"Selama
ini hubungan kita memang hanya sebatas pekerjaan. Aku membesarkanmu hanya untuk
mengurusi Daito. Masumi...pernahkan sekali saja kau menganggapku ayah? Balas
budi? Ya, aku selalu menganggap kau berhutang banyak padaku. Bahkan meski
seluruh hidupmu kau berikan padaku, itu tidak akan melunasi semua
hutangmu." Eisuke menghela napas panjang, perasaan aneh menjalari
hatinya.
"Anak
itu benar...kau tidak berhutang apapun padaku Masumi. Kau sudah membayar semua hutang
beserta bunganya. Akulah yang berhutang banyak padamu, seluruh hidupmu yang
sudah kau berikan untukku dan Daito. Bahagia? Itukah yang kau inginkan? Selama
ini kau tidak bahagia? Menjadi Direktur diusia muda, memiliki kekuasaan dan
segalanya, apa semua itu tidak membuatmu bahagia?"
Eisuke
tiba-tiba tertawa, menertawakan dirinya sendiri.
"Bahagia
katamu? Aku bahkan tidak tahu kata itu pernah ada." suaranya bergetar,
mencerminkan emosi dalam hatinya.
Eisuke
masih tertawa, "Bidadari merah! Karenamu aku menjalani hidup seperti ini.
Apa yang ku kejar? Mayuko? Atau hak pementasan Bidadari Merah?"
Eisuke
meraih tongkatnya dan mengayunkannya.
Praannggg
!!! Vas bunga hancur berantakan.
"Kalau
aku berhenti sekarang, berarti semuanya sia-sia!! Apa peduliku soal hati Masumi
dan anak itu?! Aku tidak harus peduli dengan mereka semua!! Semua pengorbananku
harus terbayar. Bidadari Merah harus menjadi milikku!! Apapun caranya!! Apapun
caranya!!"
***
Seringai
tipis menghiasi wajah Mizuki saat melihat Masumi muncul di kantor.
"Selamat
pagi Tuan Masumi." Mizuki mengangguk hormat.
"Selamat
pagi, Mizuki," balas Masumi masih dengan wajah datarnya. Masumipun
memasuki ruang kerjanya dan dengan langkah cepat Mizuki mengikutinya.
"Bagaimana
liburan anda? Semoga anda menikmatinya," Sarkasme Mizuki langsung
menyambutnya.
Masumi
yang baru saja duduk langsung tertawa.
"Mulut
cerdasmu selalu menyenangkan Mizuki, terima kasih atas sambutannya. Aku lebih
dari sekedar menikmati liburanku."
"Ya,
saya berharap kesenangan itu sebanding dengan konsekuensinya, Tuan. Ini jadwal
anda yang baru," Mizuki menyerahkan map berwarna hitam pada Masumi.
Masumi
menerimanya dengan enggan, firasatnya mengatakan bahwa map itu adalah hukuman
untuknya. Selama ini Mizuki selalu berhasil menyiksanya dan tidak akan heran
kalau sekarang dia melakukannya lagi. Jujur saja, lama-lama Masumi merasa
sekretarisnya ini memiliki kecanduan untuk menyiksanya.
"Yang
benar saja Mizuki?!" Masumi membolak-balik tiga lembar jadwalnya dengan
mata melotot. "Apa kau mau membunuhku?"
"Seperti
yang saya katakan, kesenangan anda harus sebanding dengan konsekuensinya."
Mizuki tersenyum manis.
"Setiap
kali kau tersenyum manis itu berarti sebuah penderitaan bagiku,"
Mizuki
terkikik, "Saya hanya senang melihat anda kembali dalam keadaan baik-baik
saja."
"Begitukah?
Aku mulai menyesal memutuskan untuk kembali," Masumi tersenyum.
Mizuki
menahan senyumnya melebar lalu berjalan keluar. Tak lama dia kembali dengan
setumpuk dokumen yang hampir menutupi wajahnya. Dengan cepat dokumen itu sudah
berpindah ke meja Masumi.
"Aku
ralat ucapanku Mizuki. Sekarang aku benar-benar menyesal memutuskan untuk
kembali,"
"Penyesalan
anda sama sekali tidak akan mengurangi tumpukan dokumen itu Tuan Masumi,
kecuali jika anda mulai mengerjakannya," Mizuki terlihat begitu menikmati
penyikasaannya kali ini.
Mendesah
panjang, "Baiklah, kau benar." Masumi mengambil dokumen di tumpukan
teratas, "Tolong buatkan kopi untukku dan tahan semua telepon, setidaknya
sampai aku menyelesaikan setengah dari pekerjaanku,"
"Baik
Tuan, ada lagi?" Tanya Mizuki sopan.
Seringai
menghiasi wajah Masumi, terlintas ide diotaknya.
"Ah
iya, ada satu hal yang harus kau lakukan untukku dan itu sangat penting. Untuk
selanjutnya kau bisa masukkan itu ke jadwal kerjamu, pastikan kau jangan sampai
melupakannya," kata Masumi.
Mizuki
mengernyit, penasaran seberapa penting tugas itu sampai dia harus mencatatnya.
Otaknya lebih dari mampu untuk mengingat sesuatu dengan benar diluar kepalanya.
"Segera
kirim pesan pada 'nyonya' dan katakan aku sudah sarapan dengan roti dan omelete
pagi ini."
"Hah?!"
Pekik Mizuki, gagal untuk tidak terkejut.
Seringai
Masumi melebar dan Mizuki mati kutu. Tapi itu hanya sesaat karena otak Mizuki
sudah menyiapkan manuver balasannya.
"Tentu,
saya akan pastikan 'nyonya' anda akan menerima pesan itu dengan baik. Dan dapat
saya bayangkan sekarang betapa menyenangkannya liburan anda dan itu memang
sebanding dengan konsekuensinya. Selamat bekerja Tuan Masumi, saya permisi.” Masumi
tertawa dan Mizuki tersenyum puas meninggalkan bosnya.
***
Hingga
sore hari pekerjaan Masumi masih menumpuk, Mizuki benar-benar membantunya
dengan menahan semua telepon dan menunda semua jadwal pertemuan. Konsentrasi
Masumi terpecah saat handphonenya berdering. Melihat nama yang muncul dilayar
Masumi segera menjawabnya.
"Hijiri...kau
sudah dapatkan apa yang kuminta?...bagus...satu jam lagi di tempat
biasa...terima kasih," senyum Masumi kembali mengembang tapi dengan cepat
dia kembali menekuni dokumennya.
Empat
puluh menit kemudian, Masumi mengakhiri aktivitasnya. Meneguk sisa kopinya
sebelum akhirnya dia keluar dari ruangannya. Mizuki sedikit terkejut melihat
Masumi keluar dari ruangan sebelum waktunya.
"Aku
keluar sebentar." Kata Masumi saat melintas di depan meja Mizuki.
Sekretaris
itu hanya mengangguk hormat dan dengan cepat Masumi menghilang.
Masumi
melayangkan matanya kesekitar basement tempatnya berdiri sekarang, tak lama
seorang pria yang tidak asing langsung menghampirinya.
"Senang
melihat anda kembali dan baik-baik saja Tuan Masumi," sapanya sopan.
"Kalimat
yang sama Hijiri, ku rasa kalian memang cocok," kata Masumi datar.
Hijiri
mengernyit bingung, "Maaf, saya tidak mengerti maksud anda Tuan Masumi,"
Masumi
menahan diri untuk tidak tersenyum geli, sejak bertemu Maya suasana hatinya
begitu senang sampai dia harus berusaha keras menahan senyumnya yang tidak mau
berhenti untuk mengembang.
"Tidak
penting, lupakan."
Hijiri
pun segera menyerahkan sebuah amplop pada Masumi.
"Firasat
anda benar Tuan Masumi, mereka mulai bergerak sekarang,"
Kening
Masumi sedikit berkerut, "Hhhmmm, jadi begitu ya. Hijiri, kali ini kau
harus lebih berhati-hati."
"Baik,"
"Baiklah,
aku harus segera kembali. Terima kasih Hijiri."
"Sudah
menjadi tugas saya Tuan," Hijiri mengangguk hormat.
Masumi
tersenyum tipis, "Oh ya, aku juga ingin berterima kasih padamu karena
sudah menjaga 'nyonya' dengan baik. Aku hargai kerja kerasmu dan aku sangat
berharap untuk lain kali tidak akan ada acara menginap," kata Masumi
sambil lalu, meninggalkan Hijiri dengan mulut ternganga.
***
Dear
mawar ungu-ku,
Bagaimana kabarmu? Apa kau mendapat masalah dengan ayahmu? Oh ya, apa yang kau katakan pada Nona Mizuki dan Kak Hijiri? Aku belum sempat menghubungi mereka. Kenapa mereka tiba-tiba memanggilku dengan sebutan nyonya? Sampai sakit perutku membaca pesan mereka. Aku menduga pasti kau membuat keduanya merasa seperti pendosa. Jangan hukum mereka ya, mereka hanya ingin membantuku.
Oh ya, tiga hari lagi aku akan bertemu dengan Clara Anderson untuk mempelajari kontrakku. Doakan semuanya lancar ya. Tenang saja, Miss Morgan sudah mengajariku dengan baik bagaimana cara mempelajari sebuah kontrak kerja. Aku sudah tidak sabar untuk kembali berakting dipanggung.
Kau pasti sedang sibuk sekali kan? Aku tidak mau mengganggumu, selamat bekerja sayang. Jangan lupa tetap jaga kesehatan, makan dan istirahatlah yang baik.
Merindukanmu
Maya-mu
Bagaimana kabarmu? Apa kau mendapat masalah dengan ayahmu? Oh ya, apa yang kau katakan pada Nona Mizuki dan Kak Hijiri? Aku belum sempat menghubungi mereka. Kenapa mereka tiba-tiba memanggilku dengan sebutan nyonya? Sampai sakit perutku membaca pesan mereka. Aku menduga pasti kau membuat keduanya merasa seperti pendosa. Jangan hukum mereka ya, mereka hanya ingin membantuku.
Oh ya, tiga hari lagi aku akan bertemu dengan Clara Anderson untuk mempelajari kontrakku. Doakan semuanya lancar ya. Tenang saja, Miss Morgan sudah mengajariku dengan baik bagaimana cara mempelajari sebuah kontrak kerja. Aku sudah tidak sabar untuk kembali berakting dipanggung.
Kau pasti sedang sibuk sekali kan? Aku tidak mau mengganggumu, selamat bekerja sayang. Jangan lupa tetap jaga kesehatan, makan dan istirahatlah yang baik.
Merindukanmu
Maya-mu
Masumi
tersenyum lebar saat membaca email yang dikirim Maya padanya. Tidak menyangka
kekasihnya akan menyapanya seperti itu dan yang paling menyenangkannya adalah
dia tidak perlu sembunyi lagi dibalik bayangan mawar ungu. Masumi ataupun Mawar
ungu, keduanya sudah menjadi satu dan menjadi raja yang bertahta di hati Maya.
Sejenak
tertegun setelah membalas emailnya, Masumi memikirkan kembali hubungannya
dengan Maya. Betapa sungguh waktu telah begitu cepat berlalu. Tujuh tahun yang
lalu, gadis kecil itu muncul dihadapannya, pertemuan demi pertemuan,
pertunjukan demi pertunjukan, pertengkaran demi pertengkaran dan tanpa sadar
dirinya telah menunggu selama itu. Menunggu gadis kecilnya menjadi dewasa.
Kebahagiaan
yang tersirat diwajah Masumi tidak luput dari perhatian Mizuki.
"Hari
yang menyenangkan Tuan Masumi," meletakkan cangkir kopi di meja, Mizuki
menyadarkan bosnya dari lamunan panjang.
Melirik
pada sekretarisnya yang entah sudah berapa lama berdiri di depan mejanya,
Masumi mendesah kesal, "Kau.menganggu." Ucap Masumi tegas dalam tiap
katanya.
Mizuki
menyeringai senang, "Terima kasih Pak, itu sudah tugas saya,"
"Menggangguku?"
Menggeleng
cepat, "Membuat anda tetap fokus pada pekerjaan,"
"Ah!
Aku lupa untuk apa kau dibayar,"
"Senang
sekarang anda sudah ingat."
"Kalau
aku menaikkan gajimu, apakah kau akan membiarkanku untuk bisa 'sedikit' lebih
tenang?"
Mizuki
terkikik, "Saya ragu Tuan, intensitas kata 'sedikit' yang anda ucapkan itu
sepertinya tidak akan sesuai dengan gaji saya. Mengingat konsekuensinya bisa
menjadi hal yang begitu berat,"
Masumi
menarik salah satu sudut bibirnya, dalam hati memuji sekretarisnya yang sudah
begitu dalam memahami dirinya. Secara pribadi Mizuki dan Hijiri sudah seperti
teman bagi Masumi karena hanya pada dua orang itulah Masumi bisa jujur dan
menjadi diri sendiri.
"Ada
yang salah dengan perhitungan saya?" Tanya Mizuki saat melihat bosnya
terdiam.
"Tidak,
aku hanya sedang berpikir mengganti kata 'sedikit' itu dengan 'banyak'. Aku
butuh 'banyak' ketenangan," Masumi meneguk kopinya.
Mizuki
tertawa.
"Apa
yang lucu?" Tanya Masumi santai.
"Anda
Pak, jika arti ketenangan anda itu adalah Maya maka saya ragu sebanyak apapun
anda tenang justru itu akan menjadi sebaliknya. Bahkan anda rela menghilang ke
belahan dunia lain hanya untuk mencari ketenangan itu."
Masumi
terkikik, "Benar juga katamu, kasihan sekali diriku ini. Bahkan ketenangan
terlalu mahal untukku," Masumi menggeleng geli.
"Anda
akan mendapatkan seluruh ketenangan itu nantinya Tuan. Hanya sedikit lebih
bersabar." Kata Mizuki bijak.
"Hhmmm,
perkataan yang menenangkan. Terima kasih Mizuki. O ya, boleh aku bertanya
sesuatu?"
"Tentu
Tuan,"
"Apakah
kau tidak pernah berpikir untuk mencari ketenanganmu sendiri Mizuki?"
"Maksud
anda?" Mizuki cukup terkejut dengan pertanyaan bosnya itu.
"Kau
tahu apa maksud perkataanku Mizuki. Apakah kau tidak lelah dengan semua
rutinitas ini? Pekerjaan dan pekerjaan. Terakhir hal apa yang akan kau
dapatkan?"
Masumi
kembali meneguk kopinya dan menatap sekretarisnya yang terlihat cukup bingung.
"Hhmm,
saya hanya merasa belum waktunya saya memikirkan hal itu. Saya masih begitu
menikmati pekerjaan saya. Kesenangan saya akan pekerjaan sepertinya sudah
mengalahkan kesenangan saya akan hal lain,"
Masumi
tersenyum, "Begitu ya, tahukah kau kalau jatuh cinta dan menemukan belahan
jiwa itu begitu membahagiakan, Mizuki. Kau tidak akan merasa sendiri lagi dan
merasakan warna baru dalam hidupmu,"
Melihat
Masumi bicara begitu lembut dan binar bahagia diwajahnya, Mizuki yakin bosnya
sudah berada dalam keadaan yang dimaksudkannya itu, "Dengan melihat anda
sekarang, saya bisa bayangkan bagaimana bahagianya Tuan Masumi. Tapi mungkin
belum waktunya bagi saya menemukan belahan jiwa seperti anda." Mizuki
mengutarakan pendapatnya.
Masumi
tertawa, "Aku berdoa kau cepat menemukannya agar kau bisa berhenti
menggangguku. Setidaknya ada hal lain yang bisa kau perhatikan selain
pekerjaan,"
"Terima
kasih atas doanya. Dan kalau boleh, saya ingin mengambil dokumen kontrak yang
seharusnya sudah anda tanda tangani sekarang." Mizuki melihat ke arah
tumpukan dokumen yang diduganya belum sama sekali disentuh Masumi karena sibuk
berkhayal.
"Ah
iya!" Jawab Masumi cepat, tapi kemudian terhenyak sendiri, "Maaf, aku
belum membacanya,"
Mendesah
pelan dan pura-pura kesal, "Sekarang anda mengerti kan betapa kesenangan
anda yang 'sedikit' itu akan mengganggu. Setidaknya kali ini anda bersyukur
saya belum bertemu belahan jiwa saya," kalimat ironi Mizuki selalu bisa
memenangkan pertarungannya dengan Masumi.
"Iya,
aku kalah. Hentikan ceramahmu. Tambah lagi kopiku dan biarkan aku tenang
sebentar!" Kata Masumi kesal, mood baiknya sudah menguap sekarang,
"Ketenangan
untuk?"
"Mengerjakan
semua ini tentunya!"
Mizuki
tertawa, "Itu sudah tugas saya, ketenangan milik anda sepenuhnya Pak, saya
permisi," Mizuki keluar dari ruangan Masumi dengan membawa cangkir kopi
kosong.
Tertegun
didepan pintu, "Aku harus berterima kasih pada Maya. Jika bukan
karenanya mana mungkin aku bisa mengerjai bos Daito yang dingin dan gila kerja
itu habis-habisan. Kau membuat hari kerjaku menyenangkan Maya," dan
senyum lebar menghiasi wajah musim dingin Mizuki.
***
Petang
merambat malam saat Masumi tiba disebuah rumah peristirahatan bergaya
tradisional Jepang. Seorang pria sudah menyambutnya di halaman.
"Selamat
malam Tuan Masumi," sapanya ramah.
"Selamat
malam Genzo," balas Masumi sopan.
"Silakan
Tuan, Nyonya sudah menunggu anda,"
Masumi
mengangguk lalu berjalan mengikuti Genzo.
Masumi
duduk bersimpuh di atas zabuton diruang tamu. Sejenak mengamati ketenangan
suasana di rumah peristirahtan itu.
"Betapa
damainya," batinnya tenang. Lalu matanya kembali menyapu pemandangan
sekeliling ruangan.
Tak
lama pintu bergeser dan Mayuko menyambutnya dengan senyum tipis. Masumi
membungkuk hormat, "Selamat malam Bu Mayuko,"
"Selamat
malam Masumi," balas Mayuko saat sudah duduk dizabuton di depan Masumi.
"Aku
tidak menyangka kau akan datang secepat ini. Ternyata memang tidak mudah
mengelabuimu," Mayuko jelas sudah tahu maksud kedatangan bos muda Daito itu.
Masumi
tersenyum, "Saya baru pulang dari New York dua hari yang lalu," jawab
Masumi.
Mayuko
tertawa, "Aku tidak terkejut Masumi. Aku hanya membayangkan wajah terkejut
muridku saat melihat kedatanganmu. Dia tidak pingsan kan?"
"Hampir,"
Masumi tersenyum simpul.
Genzo
menyuguhkan dua gelas teh hijau, lalu seperti biasa duduk dibelakang Mayuko.
"Kau
membuat kacau rencananya Masumi," Mayuko meneguk tehnya dan menatap
Masumi.
"Saya
hanya tidak bisa melihatnya berjuang sendiri,"
"Hhmm,
dia kuat Masumi. Aku memang tidak tahu keseluruhan rencananya tapi aku cukup
terkejut saat dia mengutarakan pemikirannya. Itu melebihi harapanku, aku bangga
dia mengerti apa yang aku rasakan. Tidak salah aku memilihnya sebagai Bidadari
Merah. Dan ku harap kau tidak mengganggunya,"
Masumi
mendesah pelan, "Jadi bukan anda yang meminta Maya melakukan semua
ini?"
Seringai
tipis Mayuko menjawab pertanyaan Masumi.
"Jika
tujuanmu datang hari ini adalah untuk mengintrogasiku mengenai rencana Maya
maka maaf Masumi, kau harus pulang dengan kecewa. Karena aku juga tidak
tahu,"
"Kenapa
anda menyetujui rencana Maya untuk memberikan hak pementasan itu pada
saya?"
"Karena
aku tahu kau tidak akan menerimanya,"
Masumi
tersenyum, "Jadi begitu ya, saya pikir anda memang sudah merelakan hak
pementasan itu jatuh ketangan saya,"
Mayuko
tertawa, "Hanya Maya yang boleh memilikinya Masumi, sejak awal, hanya
dia,"
"Bagaimana
anda bisa begitu yakin saya tidak akan menerima hak pementasan itu?"
Tantang Masumi.
"Melihatmu
sekarang? Aku berani bertaruh kau bahkan rela memberikan nyawamu untuk
melindungi hak pementasan itu tetap menjadi milik Maya,"
Masumi
tertawa, "Apakah sejelas itu Bu Mayuko?"
"Kau
sudah berubah Masumi, tanpa kau sadari gadis itu telah merubahmu. Aku bisa
membaca dari matamu. Kau tidak lagi si dingin yang gila kerja, setidaknya tidak
didepanku. Topeng es mu tidak berguna didepanku Masumi,"
"Sejak
kapan anda tahu Bu Mayuko?"
"Aku
sudah curiga sejak Maya menolak berakting menjadi Akoya didepanmu, lalu
kediaman kalian berdua menjelaskan semuanya. Terlebih saat Maya datang dan
menangis di depanku, dia bilang bahwa dia tidak mengerti tentang belahan jiwa.
Dia sakit hati karena belahan jiwanya membencinya. Dan saat itu bertepatan
dengan berita yang beredar tentang pernikahanmu. Lalu Maya tampil dipanggung
menjadi Bidadari Merah dengan cinta Akoya yang begitu dalam, itulah yang
menjawab semuanya."
Masumi
tertegun, "Anda memang hebat Bu Mayuko,"
"Kau
mencintainya kan Masumi?"
Masumi
menatap Mayuko, kali ini tidak ragu lagi menjawab, "Iya Bu, saya mencintainya,"
"Aku
titipkan dia padamu Masumi,"
Masumi
tersentak.
Mayuko
menatap tajam Masumi, "Hanya kau yang bisa melindunginya,"
"Apa
maksud anda?" Nada cemas tidak tertinggal dalam pertanyaan Masumi.
"Kalau
mengenai Bidadari Merah, kau tahu siapa yang akan menjadi lawan Maya kan
Masumi?"
Masumi
terhenyak, "Ayah?!"
"Aku
akui Maya punya keberanian yang bahkan tidak aku miliki, tapi anak itu kadang
ceroboh, gegabah dan mudah sekali percaya pada orang. Aku berharap kepergiannya
kali ini akan membuatnya banyak belajar. Sehebat apapun rencananya jika dia
tidak hati-hati maka itu akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Apalagi
dia bersikeras untuk melakukan semuanya sendiri,"
Mayuko
masih menatap tajam pada Masumi.
"Saya
akan menjaganya," Masumi menjawab tatapan mata Mayuko.
"Bagus,
aku pegang ucapanmu Masumi."
"Saya
berjanji Bu,"
"Sepertinya
Eisuke telah salah memilihmu sebagai ahli warisnya." Mayuko tertawa.
Sejenak
tertegun, "Apakah anda masih membenci ayah saya Bu Mayuko?"
Mayuko
tersenyum tipis, "Apa menurutmu aku layak membencinya Masumi?"
"Ya,
Bu," Masumi tertunduk, hatinya juga tertusuk dalam jika mengingat hal itu.
Perasaan bersalahnya pada Maya masih sulit dihilangkan.
"Karena
apa?"
Masumi
terkesiap, "Karena ayah saya yang menyebabkan anda dan Pak Ichiren...,"
tenggorokan Masumi tercekat, gagal melanjutkan kata-katanya.
"Apakah
kau juga merasa seperti itu?" Mayuko memiringkan kepalanya, mencoba
membaca wajah yang disembunyikan Masumi.
"Kau
masih merasa bersalah atas meninggalnya Ibu Haru?" Mayuko menegaskan lagi
pertanyaannya.
"Iya
bu," jawab Masumi lirih.
"Meski
Maya telah memaafkanmu dan bahkan sekarang dia begitu mencintaimu?"
"Iya
bu,"
Mayuko
tertawa, membuat Masumi mengangkat wajahnya. Kedua tangannya mengepal kuat di
atas lututnya.
"Dengar
aku Masumi, kau yang bahkan telah menerima pengampunan dan cinta dari Maya saja
masih begitu merasa berdosa apalagi ayahmu yang sampai saat ini tidak pernah
bertemu denganku. Kau pikir berapa kali lipat kepedihan yang dirasakan ayahmu
sekarang? Seberapa besar menderitanya dia sekarang. Aku tidak perlu membencinya
Masumi, tidak perlu. Rasa bersalahnya sudah cukup untuk menghukumnya dan aku
juga tidak mau membebani hatiku dengan hal yang tidak perlu," Mayuko
menyeringai lebar.
Masumi
tercengang, "Jadi anda tidak membencinya? Anda sudah memaafkannya?"
"Sudah
lama aku tidak membencinya Masumi, aku sudah memaafkannya. Kebencian tidak akan
menghidupkan kembali Ichiren." Mayuko kembali meneguk tehnya.
Masumi
terdiam.
"Kau
tahu Masumi," kata Mayuko tenang, "Bukan kau yang memisahkan Maya dan
ibunya. Tapi aku,"
"A...apa
maksud ibu?" Masumi tergagap.
Mayuko
tersenyum, "Akulah yang memintanya ikut denganku dan membuatnya pergi dari
rumah. Ibu Haru pernah datang ke sekolah dan meminta Maya kembali tapi Maya
tidak mau. Sejak saat itu aku semakin yakin Maya siap ku bentuk dengan
tanganku. Ibu Haru menyerah dan menitipkan Maya padaku. Dia mengirimkan pakaian
Maya tapi aku membakarnya. Hari itu aku sudah memutuskan hubungan antara ibu
dan anak."
"Bu...Mayuko...?
Apakah Maya tahu?" Suara Masumi bergetar.
Mayuko
tertawa kali ini, "Untuk apa dia tahu Masumi?"
"Anda?...,"
Masumi gagal bicara, lagi.
"Maya
sudah memilih jalan hidupnya Masumi, dia sudah memilih dan aku menuntunnya
melewati jalan itu. Aku tidak pernah menyesal melakukannya, kau lihat sekarang?
Betapa Maya sudah melampaui harapanku. Ikatan hatiku dan Maya tidak jauh
berbeda dengan ikatanmu dan Eisuke."
Jantung
Masumi berpacu, sungguh semua yang didengarnya berada diluar perkiraannya.
"Aku
dan Eisuke sama-sama membesarkan ahli waris. Aku membesarkan Bidadari Merah
sedangkan Eisuke membesarkan orang yang diharapkan dapat merebut hak pementasan
Bidadari Merah. Ironinya, aku berhasil melahirkan Bidadari Merah tapi Eisuke
justru membuat Bidadari Merah semakin jauh darinya. Benar kan Masumi?"
Masumi
tidak tahu harus berkomentar apa, batinnya tergelak namun getir. Betapa
permainan takdir begitu indah dirangkai oleh Mayuko.
"Bidadari
Merah, semua hanya karena Bidadari Merah," Masumi tersenyum kecut.
"Ternyata
Maya masih lebih pintar darimu. Maya sudah lebih dulu menemukan benang
merahnya. Jadi sekarang kau tidak boleh meremehkannya,"
"Anda
membuat saya merasa begitu bodoh Bu Mayuko," senyum kecut Masumi kembali
terukir.
Mayuko
tertawa lagi.
"Sekarang
kau hanya bisa menunggunya Masumi. Lakukan bagianmu dan biar dia melakukan
bagiannya. Sekali ini, percayalah padanya,"
Masumi
terdiam.
"Dia
gadis cerdas Masumi, dia tidak bodoh. Hanya saja selama ini yang ada diotaknya
hanya akting. Sekarang dia sudah berpikir lebih jauh, kau akan lihat bagaimana nanti
seekor ulat akan menjadi kupu-kupu yang cantik."
"Tapi
saya takut kupu-kupu itu akan terbang menjauh,"
"Tenang
saja, kau akan selalu menjadi bunga mawar tempatnya kembali," sudut bibir
Mayuko kembali melebar.
Masumi
terkesiap, "Mawar ungu?", tapi kemudian ekspresinya melembut.
"Ya, saya tahu,"
Keduanya
lantas hanya diam menikmati tehnya bersama.
***
New
York
Maya
duduk di lobi universitasnya dengan lesu, dia baru saja melihat pengumuman
hasil seleksi ujian masuk. Dan seperti dugaannya sejak awal, dia gagal.
Diapun
berjalan keluar dari lobi dan duduk ditaman. Menghela napas panjang, Maya
menatap luasnya langit yang terbentang diatasnya.
"Ah,
ternyata aku memang bodoh ya," gerutunya dalam
hati. "Untung saja aku sudah mengantisipasi semuanya. Kali ini aku
harus bekerja keras."
Maya
mendesah panjang, "Eisuke Hayami, kau membuatku pusing! Andai Masumi
bukan bagian dari Daito mungkin semuanya akan lebih mudah ya,"
Lama
Maya melamun dan tanpa disadarinya dua pasang mata sedang mengawasinya dari
dalam mobil yang terparkir tak jauh dari taman.
"Gadis
itu gagal masuk ke universitas," kata seorang pria yang duduk dibelakang
kemudi.
"Ryan,
menurutmu apa istimewanya gadis itu?" Tanya seorang pria lain yang duduk
disebelahnya. Pria yang dipanggil Ryan itu tersenyum.
"Tuan
Christ, anda akan tahu setelah anda membaca semua laporan saya,"
Christ
menatap amplop tebal dipangkuannya.
"Apa
ini sudah semuanya?"
"Sudah,
sejak awal gadis itu bermain drama. Sepertinya saya mulai mengerti kenapa
Nyonya begitu tertarik padanya."
Christ
melirik pengawal pribadinya itu dengan kesal, "Bahkan kau juga
menganggapnya istimewa?"
Ryan
tertawa, "Tidak perlu berdebat, anda akan mengerti dengan
sendirinya."
Christ
kembali memalingkan pandangannya pada Maya yang masih terpaku di bangku taman.
"Apa
sudah cukup? Meski jadwal anda senggang tapi kita tidak bisa bersantai disini
sepanjang hari. Bukankah semakin cepat anda membaca laporan saya maka semakin
cepat juga rasa penasaran anda terjawab,"
Christ
mendesah kesal, "Cerewet kau Ryan! Cepat kita kekantor!"
Dan
tanpa menunggu perintah dua kali Ryan segera melaju.
"Bella,
tahan semua telepon, aku tidak mau bertemu siapapun hari ini. Dan yang
terpenting jangan ganggu aku!" Perintah Christ saat melintasi meja
sekretarisnya.
Sekretaris
yang bernama Bella itu langsung mengangguk, terkejut tiba-tiba atasannya
datang.
"Ba...baik
Tuan Christian,"
Ryan
terkikik melihat Bella gelagapan.
"Ku
harap kau memeriksakan jantungmu secara rutin Bella,"
"Ryan!
Kau sama saja!" Bentak Bella.
Ryan
tertawa dan segera masuk ke ruangan Christ. Dimejanya, bosnya sedang membaca
laporan yang diberikannya. Tampak serius, Ryanpun membiarkannya, dia duduk di
kursi tamu sambil memainkan handphonenya.
Braakk!!
Setelah
satu jam membaca laporannya Christ membanting laporan itu ke meja, Ryan hampir
melempar handphonenya karena terkejut. Tapi Ryan tetap diam dikursinya, menilai
reaksi bosnya yang di luar predikasinya.
"Ada
yang salah Tuan?" Tanya Ryan setelah dilihat bosnya sedikit lebih tenang.
"Hanya
kesal," jawabnya.
"Karena?"
"Kenapa
ada orang yang bisa begitu mencintai akting dan drama sampai menjadi gila? Ku
pikir mamaku sudah cukup gila ternyata ada yang lebih gila lagi,"
dengusnya kesal.
"Naik
panggung dengan suhu badan 40 derajat, mengikat bambu di badan untuk peran
menjadi boneka, dimusuhi semua orang, berkali-kali terluka di lokasi syuting
sampai akhirnya di jebak dan diblack list dari dunia artis. Pergi ke hutan
berhari-hari untuk menjadi serigala! Apa itu tidak gila namanya. Hanya demi
akting dia rela melewati semua kesulitan itu?" Christ menggeleng tak
percaya.
Ryan
tertawa lalu berdiri, "Saya rasa sudah waktunya anda melihat ini,"
Ryan berjalan ke meja bosnya dan mengambil kepingan DVD rekaman pentas milik
Maya.
Christ
hanya diam tak berkomentar dan saat DVD mulai diputar Christ semakin membeku di
kursinya.
Hari
menjelang tengah malam saat Ryan mematikan DVD player di kantor Christ. Ryan
mengambil DVD pementasan 'Helen Keller' dan memasukkannya kembali ke dalam
tempatnya.
"Ini
sudah larut Tuan. Bukankah sebaiknya kita lanjutkan besok saja," saran
Ryan. Sejak siang Christ tidak mau berhenti menonton drama Maya, semua rekaman
pementasan Maya sejak pertama kali naik panggung tidak satupun dilewatkannya.
"Masih
berapa drama lagi?" Tanya Christ dengan ekspresi yang tidak terbaca.
"Eh?!
Anda...,"
"Aku
tanya, masih berapa lagi Ryan?!" Bentaknya.
Menghela
napas panjang, "Masih banyak Tuan. Perannya dalam Drama televisi sebagai
Satoko, lalu film layar lebar, Drama Musim Panas sebagi Pack, Dua Putri,
Forgotten Wilderness dan drama percobaan Bidadari Merah. Juga ada beberapa
drama lainnya yang dia berperan sebagai pemeran pembantu, sebagai Toki,
Chie...dan...ini benar-benar banyak Tuan. Anda tidak mungkin menontonnya
sekaligus,"
Christ
menatap Ryan dengan jengkel, "Sejak kapan kau berani mengaturku
Ryan?"
Ryan
hanya menggelengkan kepalanya, bosnya memang terkenal galak dan keras kepala.
"Anda
mau melanjutkannya?"
"Berikan
padaku, aku akan pulang sekarang," Christ membereskan tasnya dan meneguk
sisa kopi dinginnya.
"Dan
anda akan melanjutkan menonton dirumah?"
"Bukan
urusanmu Ryan,"
"Baiklah,
bukan urusan saya tapi besok pagi anda ada rapat pukul sepuluh. Setidaknya itu
yang Bella tadi sampaikan pada saya,"
"Cerewet!
Berikan padaku DVD nya,"
Ryan
memberikan DVD nya yang dengan cepat dimasukkan Christ kedalam tas.
"Ayo
pulang!" Christ berjalan dengan tergesa dan mau tak mau Ryan mengikutinya.
Sepanjang
perjalanan pulang Christ hanya terdiam.
Sambil
menyetir, Ryan mengamati bosnya itu, "Apa sedalam itu anda terpesona
olehnya? Ataukah anda sudah menyadari bahwa Maya Kitajima mirip
dengan...," Ryan menggelengkan kepalanya dan kembali fokus ke jalan.
Dari sudut matanya masih terlihat Christ yang menatap kosong ke luar jendela.
***
Christ
menghempaskan dirinya di kursi kerja. Memijit pelipisnya yang berdenyut. Dia
baru saja selesai rapat dan rasa lelah menjalari seluruh tubuhnya.
"Kopi
anda Tuan Christian," Bella meletakkan kopinya perlahan di meja.
"Apa
sore ini aku ada jadwal penting?" Tanya Christ seraya masih memijit
pelipisnya.
"Tidak
Tuan, hanya saja anda harus menanda tangani beberapa dokumen yang harus saya
kirim besok pagi," jawab Bella.
"Baiklah,
cepat bawa dokumennya. Setelah itu kosongkan jadwalku. Aku mau tidur,"
"Tidur?!"
Tanpa sadar Bella mengulang perkataan Christ, membuatnya mendapat hadiah
sepasang mata galak.
"Baik
Tuan, akan segera saya bawakan." Bella langsung bergegas ke ruangannya.
Di
luar Bella berpapasan dengan Ryan.
"Ada
apa Bella?" Melihat Bella terburu-buru Ryan menduga bosnya pasti membuat
ulah.
"Biasalah
Ryan. Ngomong-ngomong jam berapa kalian pulang semalam? Tuan memintaku
mengosongkan jadwalnya karena dia mau tidur. Ada-ada saja," Bella
menggeleng kesal.
Ryan
tertawa, dia tahu bosnya tidak tidur karena menonton rekaman drama Maya
Kitajima. Jika saja rapat pagi ini tidak penting mungkin Christ akan menonton
ulang semua drama itu.
Ryan
masuk keruangan bosnya, Christ masih duduk dikursinya sambil memijit
pelipisnya. Tak lama Bella membawa tiga map yang siap ditanda tangani Christ.
Ryan berdiri didekat jendela dan menikmati pemandangan kota.
Bella
tidak berlama-lama di ruangan itu, setelah Christ menandatangani dokumennya,
Bella segera keluar.
"Darimana
saja kau?" Tanya Christ.
Ryan
masih berdiri ditempatnya, menoleh saat Christ bertanya padanya, "Ayah
anda meminta saya memeriksa beberapa hal,"
"Oh,"
"Saya
bertemu Maya Kitajima tadi,"
Mendengar
nama Maya disebut Christ langsung antusias, lupa dengan sakit kepala dan
kantuknya, "Dimana?"
Ryan
tersenyum geli, tidak menjawab.
"Kau
tidak mau tinjuku ini melayang ke wajahmu kan Ryan?" Ancam Christ.
"Sabar
Tuan. Ternyata tidak tidur juga mempengaruhi adrenalin anda," goda Ryan.
"Berhentilah
bermulut manis Ryan,"
Ryan
tertawa, "Saya mengantar Nyonya Clara ke gedung Teater Scarlet setelah
beliau bertemu Tuan Michael. Sepertinya mereka akan mulai membicarakan kontrak
sekaligus memperkenalkan Maya Kitajima pada pemain teater lainnya, saya
melihatnya sedang bicara dengan Kate."
Christ
memutar matanya, tampak berpikir. Sesaat kemudian dia meraih jasnya. "Kita
ke teater sekarang,"
"Heh?!
Maksud anda?" Ryan terkejut.
"Aku
mau ke teater sekarang! Bertemu dengan Maya Kitajima. Ayo!"
Dan
tidak bisa dibantah, Ryan menuruti saja kemauan bosnya itu. Tidak memakan waktu
lama untuk Christ dan Ryan sampai di gedung teater Scarlet. Tak membuang waktu
Christ segera pergi keruangan mamanya, mengabaikan beberapa staf dan anggota
teater yang menyapanya.
Kali
ini lebih sopan, Christ mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan mamanya. Dia
terlihat tidak senang saat Kate yang membuka pintu.
"Nyonya
sedang ada tamu Tuan Christ, bisa anda menunggu sebentar?" kata Kate meski
dia sendiri ragu Tuannya akan mendengarkan perkataannya.
Dan
tidak salah, tanpa kata Christ langsung menyingkirkan Kate dari pintu dan
langsung masuk, sementara Ryan menunggu di luar.
"Ada
apa?" Tanya Clara saat melihat Christ memaksa masuk, dia sendiri juga
tidak heran putranya melakukan hal itu.
"Tidak
ada," Christ langsung duduk disebelah Maya dimana tadi itu adalah tempat
Kate.
Sementara
Clara yang duduk didepannya mengernyit heran.
Maya
menoleh pada Christ dan menatapnya bingung, dalam hati mendengus kesal pada
makhluk paling arogan yang duduk disebelahnya.
"Hai,"
sapa Christ ramah pada Maya.
"Hah?!"
Clara terkejut,
Kate
bahkan sampai menutup mulutnya dengan tangan karena shock dengan keramahan Christ.
Maya
merasa semua orang bersikap aneh, tapi dia memaksakan diri tersenyun pada
Christ, "Eh..selamat siang Tuan Anderson,"
"Panggil
aku Christ, oke! Namamu Maya Kitajima kan?" Tanyanya, sekali lagi dengan
nada ramah yang tidak biasa.
"I..iya,"
Maya tertunduk, gugup. Bertemu Christ tidak masuk dalam skenarionya dan itu
membuatnya grogi. Terlebih lagi dia malu saat teringat kejadian di kantor
Clara, di gedung PH Scarlet.
"Ayo
lanjutkan pembicaraannya, aku tidak akan mengganggu," kata Christ saat
melihat semua orang terdiam.
Mamanya
menatap Christ kesal, "Baiklah Maya, kita lanjutkan pembicaraan kita.
Abaikan saja putraku. Kate ambil kursi lain dan duduklah disini," Clara
mengambil alih disambut seringai tipis diwajah tampan Christ.
Kate
melakukan apa yang diperintahkan Nyonyanya. Ketiganya pun kembali membahas
kesepakatan mereka. Christ tetap tenang dikursinya memperhatikan Maya.
"Aku
setuju dengan keinginanmu untuk belajar tentang manajemen bisnis pertunjukan.
Aku akan minta Kate urus semuanya, tapi semua jadwal pembelajarannya akan
disesuaikan dengan jadwal latihan dan syutingmu. Bagaimana?"
"Saya
setuju Nyonya," jawab Maya.
"Apakah
kau sudah memiliki menejer? Aku rasa kau membutuhkannya untuk membantu mengatur
semua jadwalmu,"
"Saya
belum memiliki menejer Nyonya,"
"Baiklah,
aku bisa membantu jika kau memang memerlukannya tapi jika kau ingin mencari
sendiri aku juga tidak keberatan,"
"Saya
akan pikirkan dulu,"
"Bagus.
Nah, sepertinya semua hal sudah kita sepakati. Kate akan mulai menyusun
kontraknya besok. Tiga hari lagi kau bisa menandatangani kontraknya dan kita
akan mulai bekerja sama." Clara tampak puas.
"Baik,
terima kasih," Maya juga sama senangnya.
"Jadi...kapan
kau akan mulai bermain drama?" Tanya Christ tiba-tiba.
Tiga
pasang mata hawa langsung memandang pada satu-satunya adam diruangan itu.
"Apa
kau sedang mabuk Christ?" Clara masih terlihat kesal pada sikap putranya.
"Tidak
Ma, aku hanya bertanya pada Nona Kitajima, kapan dia akan mulai berakting
dipanggung. Apa itu salah?" Christ masih merasa tidak ada yang salah pada
dirinya.
"Salah?
Tidak! Aneh? Iya, sangat aneh." Cibir Clara. Ibu dan anak itu jadi
mengabaikan Maya yang juga bingung dengan keramahan Christ yang tiba-tiba.
Seingat Maya, Christ mengusirnya saat mereka baru bertemu satu minggu yang
lalu.
"Apanya
yang aneh Ma?" Christ malah tersenyum senang, sepertinya bertemu Maya
mengubah mood nya.
"Pertama
bukankah kau tidak setuju aku mengontrak Maya?"
"Itu
kemarin, sekarang tidak. Aku sangat setuju," Christ tersenyum lagi.
"Kedua
sejak kapan kau tertarik dengan drama bahkan seingatku kau tidak pernah mau
menonton pertunjukan Scarlet,"
"Sejak
kemarin. Aku menonton semua drama Maya dan aku suka."
Maya
terkejut tapi Kate hampir pingsan, Clara justru terbahak karenanya.
"Menjelaskan
semuanya Ma?" Tanya Christ saat mamanya berhenti tertawa.
"Ya,
ya, aku paham sekarang. Maaf Maya, bisa kah kau menunggu diluar sebentar
bersama Kate? Aku ingin bicara dengan putraku," pinta Clara sopan.
"Tentu
Nyonya," Maya beranjak dari duduknya dan berjalan keluar bersama Kate.
"Oke!
Coba ku tebak, kau meminta Ryan mencari informasi tentang Maya karena kau tidak
setuju aku akan mengontraknya?" Tanya Clara, seperti biasa tanpa
basa-basi.
"Benar,"
"Kau
mendapatkan semua informasi yang kau butuhkan lalu kau menonton semua dramanya
dan sekarang kau berubah pikiran?"
"Benar,"
"Apa
yang kau pikirkan?"
"Angel,"
"Oh,
sudah kuduga," Clara melenguh kesal.
"Mama
juga tertarik padanya karena dia mirip dengan Angel kan?"
"Tidak
sepenuhnya benar," sanggah Clara.
"Karena
dia juga gila drama seperti Mama?"
"Christ!
Jaga bicaramu, aku tidak gila, hanya terlalu cinta," Clara memperingatkan.
Christ
tertawa, "Tidak jauh beda Ma, anak itu juga, Angel juga,"
"Dia
bukan Angel, Christ. Kau harus ingat itu,"
"Aku
tahu, tapi dia mirip Angel. Mama juga tidak menyangkalnya kan? Awalnya aku
tidak menyadari hal itu tapi melihatnya di atas panggung...dia benar-benar
mirip Angle,"
Clara
mendesah pelan. "Terserah padamu, ku harap kau tidak mengganggunya."
"Aku
tidak akan mengganggunya. Aku ingin memilikinya,"
"Christ
!!" Clara melotot.
"Kenapa
Ma? Itu juga yang mama inginkan kan? Jika kita memilikinya maka mama juga akan
puas melihatnya berakting," Christ menatap kedalam mata mamanya, mencari
pembenaran atas argumetasinya.
Clara
terdiam, "Gadis itu punya kehidupan lain Christ, kau tidak bisa memaksakan
kehendakmu. Mama cukup puas dengan bisa mengontraknya selama dua tahun jadi
jangan buat mama berharap lebih dan akhirnya kecewa,"
Christ
tersenyum, senyum tulus yang sangat jarang di wajah galaknya. Beranjak dari
kursinya lalu memeluk mamanya yang matanya mulai berkaca-kaca.
"Pegang
janjiku Ma, aku akan memilikinya. Angel-ku akan kembali,"
"Christ...,"
desah Clara dalam pelukan putranya, air matanya terurai.
***
Kate
mengajak Maya berkeliling gedung teater sementara menunggu Clara yang sedang
berbicara dengan Christ. Maya terkagum-kagum dengan keindahan teater Scarlet.
Gedung pertunjukannya besar dan megah. Panggungnya dilengkapi dengan berbagai
peralatan canggih. Rasanya Maya sudah tidak sabar untuk mulai berakting.
"Bagaimana?"
Tanya Kate setelah selesai mengoceh tentang berbagai fasilitas gedung
pertunjukannya. Keduanya ada di belakang panggung sekarang.
"Wah,
luar biasa, rasanya tak percaya saya akan bermain di tempat sebagus ini,"
puji Maya.
"Scarlet
adalah salah satu gedung pertunjukan kelas satu Maya, tentu saja bagus. Tapi ku
dengar di Jepang juga banyak gedung pertunjukan yang bagus. Nyonya Clara juga
pernah bercerita padaku."
"Hhmm,
iya anda benar Nona Adam. Gedung pertunjukan Daito juga mewah dan besar,"
Maya meringis dalam hati karena teringat Masumi. Tanpa sadar tangannya mengusap
dada, dimana tergantung cincinnya dibalik baju.
"Ah
iya, Daito, aku pernah mendengar Nyonya menyebutnya. Kalau tidak salah itu
adalah PH terbesar di Jepang ya?" Tanya Kate lagi.
"Iya,"
jawab Maya singkat, membicarakan Daito membuatnya semakin merindukan
Masumi.
"Ngg,
Nona Adam, tadi saya lihat banner dan jadwal pertunjukan dilobi. Benarkah malam
ini akan ada pertunjukan drama "The Queen"?" Tanya Maya yang
mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Dia yakin akan segera menangis karena
rindu jika terus membicarakan tentang Daito.
"Iya,
kau benar. Sebenarnya ini pertunjukan ulang. "The Queen" pernah
memenangkan penghargaan drama terbaik musim semi lalu. Dan bulan lalu Nyonya
Clara bersama dengan ACA Group milik keluarganya merencanakan acara
penggalangan dana untuk anak-anak penderita kanker. Jadi ini lebih seperti
pertunjukan amal. Meski begitu acara ini penting karena yang akan hadir adalah
para pengusaha besar, relasi bisnis ACA Group." Kate menjelaskan panjang
lebar.
"Oh
begitu," Maya mengangguk-angguk. "Hmm, bolehkah saya melihatnya
nanti? Saya suka sekali drama ini, saya pernah melihat DVD rekamannya. Pasti
akan menyenangkan jika melihatnya secara langsung," Mata Maya berbinar senang
tapi itu hanya sesaat. Karena memorinya dengan cepat memutar kenangannya
bersama Masumi saat menonton 'The Queen' di apartemennya dan itu membuat
suasana hatinya menjadi sendu.
Kate
melihat perubahan ekspresi Maya, "Kau kenapa? Kau boleh menontonnya kalau
kau mau."
"Ah,
tidak apa-apa, hanya teringat sesuatu. Benarkah saya boleh menontonnya?"
Maya kembali girang.
"Tentu,
tapi dari belakang panggung ya, karena semua kursi sudah penuh malam ini."
"Tidak
masalah, terima kasih," Maya tersenyum senang.
Kate
melihat jam tangannya, sepertinya sudah cukup lama mereka berkeliling.
"Sebaiknya
kita kembali, Nyonya Clara pasti mencarimu," saran Kate.
"Baik,"
Keduanya
meninggalkan panggung pertunjukan dan kembali ke kantor Clara.
"Hhmm,
boleh saya bertanya Nona Adam?" Tanya Maya saat keduanya berjalan dalam
diam.
"Ya,"
"Ngg,
Tuan Anderson itu...dia orang yang seperti apa? Maaf, maksud saya....,"
"Tuan
Christ maksudmu?" Potong Kate dengan nada kesal.
Maya
mengangguk.
Kate
mendesah kesal, "Dia...hhmmm, cukup sulit menggambarkannya. Dia galak,
ketus, dingin, kasar, dan...hhhmmm, menakutkan,"
Maya
tergelak, "Dari ucapan anda tidak sulit menggambarkannya,"
Kate
menggeleng, "Sulit menggambarkan kebaikannya Maya, dia terlalu menakutkan
untukku. Meski tampan," Kate terkikik, "Tapi...," Kate melirik
pada Maya.
Maya
mengernyit heran, "Apa?"
"Aku
benar-benar terkejut dan hampir mati karena heran dia tadi ramah padamu."
Maya
terkikik, "Saya juga, seingat saya Tuan Anderson mengusir saya waktu
itu," Maya memutar mata mengingat kejadian lampaunya.
"Hhmm,
mungkin dia menyukaimu," celetuk Kate.
"Heh?!
Mana mungkin begitu," Maya terkejut dengan pendapat Kate.
"Bisa
saja. 'Dark Lord' itu selalu berpikir di luar logika, jadi kadang sulit
mengikuti pola pikirnya. Hanya pengawal pribadinya Ryan Lane, sekretarisnya
Anabella Swift dan kedua orang tuanya saja yang bisa tahan bersamanya dalam
waktu lama."
"Dark
Lord?"
"Oh,
itu julukan kami semua untuknya, hati-hati jangan sampai dia dengar atau kau
akan dilempar dari atas gedung," bisik Kate lucu.
Maya
tergelak, dibanding dengan pertemuan pertamanya dengan Kate, pertemuan kedua
ini lebih menyenangkan bagi Maya. Kate lebih ramah dan lebih bersahabat.
"Dia
pasti sangat menyebalkan ya," Maya kembali tertawa tapi pikirannya
langsung membayangkan sosok menyebalkan lainnya, 'kecoa' tercintanya.
Kate
terbahak, "Sangat menyebalkan Maya, kau akan lihat sendiri nanti.
Hhmmm...,"
Maya
memiringkan kepalanya, menunggu lanjutan dari kalimat Kate yang menggantung.
"Katanya
dulu Tuan Christ adalah orang yang sangat baik dan lembut," lanjut Kate.
"Apa
maksudnya? Dia berubah?" Tanya Maya.
"Iya,
katanya kejadiannya sudah sepuluh tahun yang lalu. Tapi aku sendiri juga tidak
tahu bagaimana cerita aslinya. Keluarga Anderson selalu tidak mau bicara soal
hal itu. Yang kudengar Tuan Christ kehilangan seseorang yang sangat penting
dalam hidupnya. Dan itu membuatnya menjadi dingin dan tidak mau menjalin
hubungan dekat dengan orang lain."
"Oh,"
Maya mendesah pelan, entah untuk yang keberapa kali perkataan Kate juga
mengingatkannya pada Masumi. Dia teringat saat Masumi memintanya untuk
menemaninya ke planetarium dan jalan-jalan di festival, saat itu Masumi juga
bilang kalau dulu dia anak penurut dan menyanangkan lalu kemudian dia berubah.
Maya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Berharap bayangan dikepalanya rontok begitu
saja. Terlalu rindu, membuat otaknya tidak berhenti memikirkan Masumi, bahkan
semua hal yang didengarnya membuatnya memorinya melayang-layang.
"Ah,
benar-benar tersiksa dan aku masih harus bertahan tiga tahun? Sedihnya," keluh
Maya dalam hati.
"Kau
melamun?" Kate menarik kesadaran Maya kembali.
"Eh,
maaf," kata Maya malu.
"Akhirnya
kalian kembali," dengus Christ kesal.
Kate
dan Maya terkejut melihat Christ sudah menunggu mereka di depan ruangan Clara.
"Kau
dari mana saja Kate?" Tanya Christ sekenanya.
"Saya
mengajak Maya melihat-lihat gedung Tuan," jawab Kate, berusaha untuk tidak
kesal.
"Ah
begitu dan apakah kau menikmati tur singkatmu Nona Kitajima?" Tanya Christ
tapi dengan nada bicara dan ekspresi yang seratus delapan puluh derajat berbeda
dari cara Christ bicara pada Kate.
"Iya
Tuan Anderson, gedungnya bagus sekali," jawab Maya sopan. Dalam hatinya
menduga-duga Christ memiliki kepribadian ganda atau semacamnya. Tapi pemikiran
itu dengan cepat ditepisnya. Bukankah Masuminya juga sering begitu?
"Ahhh,
Masumi lagi...," lenguhnya dalam hati.
"Nona
Kitajima?"
Maya
kembali sadar, "Ah, maaf Tuan Anderson,"
"Christ!"
Kata Christ tegas.
"Eh?!"
Maya bingung.
"Panggil
saja aku Christ," kata Christ dengan lebih lembut.
Ryan
yang berdiri tak jauh dari Christ, hanya tersenyum geli melihat tingkah bosnya.
Dan sekali lagi, Kate hanpir terkena serangan jantung.
"Iya,
Ch..Christ, maaf," ulang Maya yang kemudian tertunduk malu.
Kesenangan
Christ tiba-tiba terusik saat dua orang staf datang berlari dengan panik.
"Ada
apa?!" Bentak Christ.
Tapi
kedua staf itu sudah terlalu panik hingga tidak ada ruang lagi untuk takut pada
Christ. Mendengar putranya berteriak Clara langsung keluar dari ruangannya.
"Ada
apa?" Tanya Clara saat melihat Christ menatap kesal pada
dua orang stafnya yang panik dan masih terengah-engah.
"Nyo...nyonya...itu...,"
"Atur
napasmu dulu, baru bicara!" Bentak Christ lagi.
"Hentikan
Christ, ada apa Joseph? Evelyn?" Tanya Clara lembut.
"Nyonya,
gawat! Jennifer, dia membuat ulah lagi. Dia bilang dia tidak bisa datang untuk
pementasan malam ini!" Kata seorang staf yang dipanggil Evelyn tadi.
"Apa?!" Clara memekik
keras, terlalu keras malah. "Tapi kenapa?"
"Sudah
empat hari dia berlibur ke Georgia dan baru saja dia memberi kabar kalau
pesawatnya delay sejak kemarin malam karena cuaca buruk. Jadi dia tidak bisa
kembali," staf yang bernama Joseph menambahkan.
"Anak
itu!!" Clara mulai kesal. "Kenapa dia harus pergi berlibur
saat seperti ini? Ini memang pentas ulang dan tidak banyak latihan, tapi
bukankah seharusnya dia tidak boleh pergi menjelang pementasan!"
"Lalu
bagaimana, Nyonya? Pementasan tinggal tiga jam lagi. Kita tidak mungkin tampil
tanpa Jenifer," Evelyn sampai pucat memikirkannya.
Semua
yang ada disitu terdiam dan hanya saling memandang, bahkan Christ pun tidak
berkomentar.
"Maaf,
apa Jenifer itu ikut berperan dalam drama "The Queen" yang akan
pentas malam ini?" Tanya Maya memecah kesunyian.
Semua
mata langsung memandang padanya.
"Iya,"
jawab Clara singkat.
Maya
tersenyum, "Oh, apa perannya? Mungkin saya bisa membantu
menggantikannya?"
"Heh?!"
Semuanya terhenyak.
"Kau...kau
serius Maya?" Tanya Clara ragu.
Maya
mengangguk, "Saya pernah melihat rekaman dramanya sekali dan saya sudah
hapal semua dialognya. Tinggal membaca satu kali lagi naskah aslinya. Jika
pentas ulang ini tidak banyak berubah dengan pentas pertamanya saya yakin saya
bisa,"
"Menonton
satu kali dan kau sudah hapal semua dialog!!" Pekik Kate tanpa sadar. Yang
lain terhenyak.
"Anda...jangan
bercanda Nona...," kata Evelyn.
"Ada
lebih dari tiga puluh pemain dalam drama itu dan anda bilang anda hapal
semuanya?" Joseph menggeleng tak percaya.
Clara,
Christ dan Ryan tahu Maya tidak bercanda, tapi ketiganya hanya mematung.
"Iya
saya hapal semuanya, katakan saja apa peran Jenifer dan berikan pada saya
naskah aslinya. Masih tiga jam lagi kan? Masih ada waktu bagi saya untuk
bersiap," kata Maya dengan polosnya.
"Tidak
mungkin Maya...," kata Kate.
"Kenapa?
Apa peran Jenifer?" Tanya Maya, dia yakin dia sudah hapal dengan benar
semua dialog pemain 'The Queen'.
"Jenifer
berperan sebagai Cleopatra, Maya," kata Clara yang akhirnya bisa
bicara. Dia, Christ dan Ryan tahu kalau Maya memiliki kemampuan yang luar
biasa menghapal naskah drama tapi masih tidak percaya jika itu memang nyata.
"Cleopatra
ya," kata Maya senang.
"Eh?!"
Semuanya kembali terhenyak.
"Kau
benar-benar sudah hapal?" Tanya Christ, ekspresinya pun tak terbaca.
Antara kagum, bingung, shock, kesal dan entah apalagi.
Maya
mengangguk mantap sambil tersenyum senang, "Alangkah senangnya jika saya
bisa memerankannya,"
Clara langsung
terbahak, menutup mata dengan tangannya.
"Nyonya...,"
gumam para stafnya bingung.
"Kau
yakin Maya?" Tanya Clara sekali lagi, mengabaikan kebingungan
stafnya.
"Tentu,
Nona Adam tadi mengatakan pada saya pentingnya pementasan ini, jadi saya tidak
akan main-main," jawab Maya.
Clara kembali
tertawa dan Christ hanya menyeringai tak jelas.
"Evelyn,
berikan naskahnya pada Maya, tunjukkan ruang gantinya dan minta tim make up
membantunya bersiap,"
"Nyonya!!"
Pekik semuanya.
"Tidak
ada waktu berdebat." Kata Clara pada stafnya lalu memandang
Maya, "Aku percaya padamu,"
"Terima
kasih Nyonya, saya akan lakukan yang terbaik," Maya tersenyum senang.
Christ
tak berkomentar apapun saat Maya di bawa oleh Joseph dan Evelyn menuju ruang
ganti. Sedangkan Kate hanya memandang bingung kepergian Maya.
Dalam
sekejap kehebohan segera terjadi di ruang ganti, bahkan lebih heboh dari berita
ketidak hadiran Jenifer tadi. Tidak ada satupun dari para pemain itu percaya bahwa
Maya sudah menghapal semua dialog pemain hanya dengan sekali melihat rekaman
pementasan. Tapi juga tidak ada yang berani protes karena pentas tinggal
sebentar lagi dan mereka tidak punya pemeran pengganti Cleopatra, yang adalah
pemeran utama.
Semuanya
berkasak kusuk dengan cemas disekitar Maya. Sedangkan Maya yang sudah siap
dengan kostumnya, duduk dengan tenang didekat panggung, sudah melupakan dunia
luar dan sedang terhanyut dalam naskah dramanya.
Christ
dan Clara hanya menatapanya dari kejauhan. Mempertaruhkan semua
kepercayaan mereka.
***
>>Bersambung<<
Follow me on
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina
7 Comments
Aduh sis....dikau pinter nih meramu ceritanya...oke bgt....
ReplyDeletekaya jamu aja diramu...hahahaha
DeleteWah... Masumi punya saingan nih.... keren loh alur ceritanya... jangan lama2 apdetnya yaaa.... hehehe...
ReplyDeleteWah... Masumi punya saingan nih.... keren loh alur ceritanya... jangan lama2 apdetnya yaaa.... hehehe...
ReplyDeleteYakin saingan ive? xixixixixiii
Deleteasli baca nih episode bener bener berasa balik lagi ke adegan aslinya maya.
ReplyDeletekeren banget mba semua cerita karangan mba...makasih ya mba...lanjut berkarya
ReplyDelete