Kelima Belas : Cleopatra

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalannya.

*********************************************************************************




Braakkk!!

"DARIMANA SAJA KAU?!" Eisuke berang bukan main saat Masumi menemuinya. Hari sudah malam saat dirinya tiba kembali di Tokyo. Masumi hanya diam dan duduk tenang di sofa single. Membiarkan ayahnya yang duduk di kursi roda dihadapannya melampiaskan amarahnya.

"Kenapa kau diam saja? Tiga hari kau menghilang tanpa kabar! Apa kau tidak tahu kalau kau sudah membuat kacau semuanya?!"

"Aku tahu ayah dan aku akan membereskan semuanya." jawabnya tenang.

"Huh!! Hanya begitu jawabanmu?"

"Memang ayah berharap aku menjawab apa? Bukankah memang seharusnya aku membereskan kekacauan yang aku buat?"

Eisuke terdiam, dia sebenarnya ingin menanyakan apakah Masumi pergi menemui Maya atau tidak. Tapi jika dia bertanya maka dia melanggar kesepakatannya dengan Maya. Bukankah seharusnya dirinya pura-pura tidak tahu mengenai hubungan mereka? Eisuke hanya memandang kesal pada anaknya yang masih begitu tenang duduk di hadapannya.

"Ada apa ayah? Tidak biasanya ayah selesai marah secepat ini?" Sepasang mata gelap Masumi memandang penuh selidik.

"Lain kali … TIDAK! Tidak ada lain kali. Kau tidak boleh seenaknya saja menghilang! Kau lupa siapa dirimu Masumi. Kau adalah ahli warisku satu-satunya! Keselamatanmu adalah hal yang penting,"

"Ya ayah, aku tahu. Maaf sudah membuat kacau," jawab Masumi dingin. Ahli waris? Andai aku bukan ahli warismu, aku pasti sudah bahagia sekarang, batin Masumi getir.

"Kupikir kau sudah mati dengan menghilang tanpa kabar," jawab Eisuke.

Masumi tertawa datar untuk meredakan sakit hatinya atas perkataan Eisuke. "Tenang saja ayah, aku tidak akan mati sekarang. Tidak akan secepat itu, setidaknya sebelum tujuan hidupku tercapai,"

"Oh, baru kudengar kau membicarakan tujuan hidupmu Masumi," Eisuke menarik salah satu sudut bibirnya.

"Sampai saat ini aku hidup hanya untuk memenuhi tujuan hidupmu, ayah. Tapi aku juga manusia biasa yang punya keinginan dan bukannya robot yang bisa kau atur selamanya. Jadi tidak ada salahnya kan kalau aku juga punya tujuan hidup untuk diriku sendiri," Masumi masih menatap Eisuke dalam, tangannya saling bertaut dengan kedua sikunya bersandar pada lengan sofa.

"Apa kau punya rencana untuk memberontak padaku Masumi?"

Masumi kembali tertawa dengan nada sarkastik, "Apa serendah itu aku dimata ayah? Tenang saja ayah, aku tahu yang namanya balas budi. Bagaimanapun ayah yang menjadikanku seperti sekarang ini. Aku tidak akan memberontak padamu."

"Jadi apa tujuanmu? Jika tujuanmu itu menyebabkan kau menelantarkan Daito maka aku tidak akan membiarkannya!" Dalam hati Eisuke hanya ingin memancing Masumi. Akankah anaknya yang terkenal dingin dan gila kerja itu akan mengakui perasannya pada Maya. Lagipula Eisuke masih takut akan perkataan Maya yang mengatakan kalau dia bisa membuat Masumi meninggalkan Daito.

"Aku tidak akan menelantarkan Daito ayah." Jawab Masumi dengan nada tenang. 

Eisuke kembali menatap anak angkatnya itu, mencoba membaca ekspresi wajahnya, tapi gagal.

"Kalaupun aku harus meninggalkan Daito suatu saat nanti, aku berjanji akan meninggalkannya dalam kondisi puncak yang akan memuaskan hatimu." Tambah Masumi.

Wajah Eisuke menegang.

"Tenang ayah, saat ini aku tidak akan berpikir sejauh itu. Lagipula tugasku belum selesai, masih banyak yang harus aku bereskan," Masumi menjawab wajah tegang Eisuke.

"Apakah ini sebuah peringatan Masumi?" Tanya Eisuke datar.

"Peringatan? Aku tidak bermaksud begitu tapi jika ayah mengasumsikan perkataanku sebagai sebuah peringatan itu terserah ayah. Bagaimanapun juga aku hanyalah anak angkat. Mungkin sekarang aku masih memegang kendali atas Daito tapi saat ayah tidak ada nanti, apakah ayah yakin adik-adik ayah ataupun saudara sepupuku yang lain akan membiarkan aku tetap memegang kendali? Aku sendiri tidak yakin akan hal itu. Maka dari itu aku juga harus mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuknya kan? Selama ayah masih ada aku akan tetap berada di Daito, paling tidak itu caraku membalas budi atau membayar apa yang dianggap hutang oleh ayah. Tapi setelah ayah tidak ada kewajibanku juga selesai. Apa aku salah ayah?"

Eisuke membeku mendengar perkataan Masumi, selama ini belum pernah Masumi mengutarakan pendapatnya secara terbuka. Baru sekarang Eisuke mengetahui apa yang dipikirkan anak angkatnya itu.

Masumi mendesah pelan setelah lega mengatakan apa yang seharusnya dikatakannya sejak dulu. Terlalu lama dirinya menurut pada perkataan Eisuke. Bahkan saat Eisuke juga harus mengatur hatinya untuk keuntungan Daito, dengan menjodohkannya dengan Shiori, dia tidak bisa menolak.

Tapi sekarang berbeda, dia ingin memperjuangkan hidupnya sendiri. Hidup baru bersama wanita yang dicintainya, Maya. Dia akan rela melakukan apapun sekarang demi tujuan itu. Bahkan jika dirinya harus keluar dari keluarga Hayami atau harus kehilangan Daito sekalipun. Baginya Maya lebih berharga daripada nama Hayami ataupun Daito.

Jalannya masih jauh sekarang, akan tetapi dia akan mulai menapakinya. Setidaknya dia tahu sekarang bahwa Maya akan menunggunya di ujung jalan, tak peduli seberapa lama atau seberapa jauh perjalananya, dia pasti akan menemukan Maya diujung jalannya. Dan itulah yang tidak akan membuatnya berhenti melangkah.

Suasana hening terlalu lama, membuat Masumi jengah. Akhirnya dia bangkit dari sofa karena ayahnya juga hanya diam mematung. Mungkin ayahnya masih mencerna setiap perkataannya tadi.

"Kalau sudah tidak ada lagi yang ingin ayah bicarakan, aku permisi. Aku akan kembali ke kamarku,"
Eisuke masih diam dan Masumi melangkah ke pintu.

"Masumi!" Panggil Eisuke saat Masumi membuka pintu.

Masumi berhenti dan menatap ayahnya.

"Apa yang kau inginkan sebenarnya?"

Masumi menyeringai, "Aku hanya ingin bahagia di akhir hidupku, itu saja ayah." Dan Masumi menghilang di balik pintu.

Eisuke menatap pintu yang tertutup dengan mata sendu. Seumur hidupnya, belum pernah dia merasa begitu kesepian seperti hari ini.

...sampai saat ini aku hidup hanya untuk memenuhi tujuan hidupmu, ayah...
...aku hanya angkat ayah...
...adik-adik mu atau sepupuku yang lain tidak akan membiarkanku...
...aku akan meninggalkannya dalam kondisi puncak yang akan memuaskan hatimu...
...aku tahu membalas budi...

Kata-kata Masumi itu masih terngiang jelas ditelinganya. Terlebih lagi kalimat terakhir Masumi yang sangat menohok hatinya.

Aku hanya ingin bahagia di akhir hidupku, itu saja ayah.

Eisuke memutar kursi rodanya, memandang langit malam dari jendela kamarnya. Merenungi setiap perkataan Masumi.

"Selama ini hubungan kita memang hanya sebatas pekerjaan. Aku membesarkanmu hanya untuk mengurusi Daito. Masumi...pernahkan sekali saja kau menganggapku ayah? Balas budi? Ya, aku selalu menganggap kau berhutang banyak padaku. Bahkan meski seluruh hidupmu kau berikan padaku, itu tidak akan melunasi semua hutangmu." Eisuke menghela napas panjang, perasaan aneh menjalari hatinya.

"Anak itu benar...kau tidak berhutang apapun padaku Masumi. Kau sudah membayar semua hutang beserta bunganya. Akulah yang berhutang banyak padamu, seluruh hidupmu yang sudah kau berikan untukku dan Daito. Bahagia? Itukah yang kau inginkan? Selama ini kau tidak bahagia? Menjadi Direktur diusia muda, memiliki kekuasaan dan segalanya, apa semua itu tidak membuatmu bahagia?"
Eisuke tiba-tiba tertawa, menertawakan dirinya sendiri.

"Bahagia katamu? Aku bahkan tidak tahu kata itu pernah ada." suaranya bergetar, mencerminkan emosi dalam hatinya.

Eisuke masih tertawa, "Bidadari merah! Karenamu aku menjalani hidup seperti ini. Apa yang ku kejar? Mayuko? Atau hak pementasan Bidadari Merah?"

Eisuke meraih tongkatnya dan mengayunkannya.

Praannggg !!! Vas bunga hancur berantakan.

"Kalau aku berhenti sekarang, berarti semuanya sia-sia!! Apa peduliku soal hati Masumi dan anak itu?! Aku tidak harus peduli dengan mereka semua!! Semua pengorbananku harus terbayar. Bidadari Merah harus menjadi milikku!! Apapun caranya!! Apapun caranya!!"

***
Seringai tipis menghiasi wajah Mizuki saat melihat Masumi muncul di kantor.

"Selamat pagi Tuan Masumi." Mizuki mengangguk hormat.

"Selamat pagi, Mizuki," balas Masumi masih dengan wajah datarnya. Masumipun memasuki ruang kerjanya dan dengan langkah cepat Mizuki mengikutinya.

"Bagaimana liburan anda? Semoga anda menikmatinya," Sarkasme Mizuki langsung menyambutnya.
Masumi yang baru saja duduk langsung tertawa.

"Mulut cerdasmu selalu menyenangkan Mizuki, terima kasih atas sambutannya. Aku lebih dari sekedar menikmati liburanku."

"Ya, saya berharap kesenangan itu sebanding dengan konsekuensinya, Tuan. Ini jadwal anda yang baru," Mizuki menyerahkan map berwarna hitam pada Masumi.

Masumi menerimanya dengan enggan, firasatnya mengatakan bahwa map itu adalah hukuman untuknya. Selama ini Mizuki selalu berhasil menyiksanya dan tidak akan heran kalau sekarang dia melakukannya lagi. Jujur saja, lama-lama Masumi merasa sekretarisnya ini memiliki kecanduan untuk menyiksanya.

"Yang benar saja Mizuki?!" Masumi membolak-balik tiga lembar jadwalnya dengan mata melotot. "Apa kau mau membunuhku?"

"Seperti yang saya katakan, kesenangan anda harus sebanding dengan konsekuensinya." Mizuki tersenyum manis.

"Setiap kali kau tersenyum manis itu berarti sebuah penderitaan bagiku,"

Mizuki terkikik, "Saya hanya senang melihat anda kembali dalam keadaan baik-baik saja."

"Begitukah? Aku mulai menyesal memutuskan untuk kembali," Masumi tersenyum.

Mizuki menahan senyumnya melebar lalu berjalan keluar. Tak lama dia kembali dengan setumpuk dokumen yang hampir menutupi wajahnya. Dengan cepat dokumen itu sudah berpindah ke meja Masumi.

"Aku ralat ucapanku Mizuki. Sekarang aku benar-benar menyesal memutuskan untuk kembali,"

"Penyesalan anda sama sekali tidak akan mengurangi tumpukan dokumen itu Tuan Masumi, kecuali jika anda mulai mengerjakannya," Mizuki terlihat begitu menikmati penyikasaannya kali ini.

Mendesah panjang, "Baiklah, kau benar." Masumi mengambil dokumen di tumpukan teratas, "Tolong buatkan kopi untukku dan tahan semua telepon, setidaknya sampai aku menyelesaikan setengah dari pekerjaanku,"

"Baik Tuan, ada lagi?" Tanya Mizuki sopan.

Seringai menghiasi wajah Masumi, terlintas ide diotaknya.

"Ah iya, ada satu hal yang harus kau lakukan untukku dan itu sangat penting. Untuk selanjutnya kau bisa masukkan itu ke jadwal kerjamu, pastikan kau jangan sampai melupakannya," kata Masumi.

Mizuki mengernyit, penasaran seberapa penting tugas itu sampai dia harus mencatatnya. Otaknya lebih dari mampu untuk mengingat sesuatu dengan benar diluar kepalanya.

"Segera kirim pesan pada 'nyonya' dan katakan aku sudah sarapan dengan roti dan omelete pagi ini."
"Hah?!" Pekik Mizuki, gagal untuk tidak terkejut.

Seringai Masumi melebar dan Mizuki mati kutu. Tapi itu hanya sesaat karena otak Mizuki sudah menyiapkan manuver balasannya.

"Tentu, saya akan pastikan 'nyonya' anda akan menerima pesan itu dengan baik. Dan dapat saya bayangkan sekarang betapa menyenangkannya liburan anda dan itu memang sebanding dengan konsekuensinya. Selamat bekerja Tuan Masumi, saya permisi.” Masumi tertawa dan Mizuki tersenyum puas meninggalkan bosnya.

***
Hingga sore hari pekerjaan Masumi masih menumpuk, Mizuki benar-benar membantunya dengan menahan semua telepon dan menunda semua jadwal pertemuan. Konsentrasi Masumi terpecah saat handphonenya berdering. Melihat nama yang muncul dilayar Masumi segera menjawabnya.

"Hijiri...kau sudah dapatkan apa yang kuminta?...bagus...satu jam lagi di tempat biasa...terima kasih," senyum Masumi kembali mengembang tapi dengan cepat dia kembali menekuni dokumennya.

Empat puluh menit kemudian, Masumi mengakhiri aktivitasnya. Meneguk sisa kopinya sebelum akhirnya dia keluar dari ruangannya. Mizuki sedikit terkejut melihat Masumi keluar dari ruangan sebelum waktunya.

"Aku keluar sebentar." Kata Masumi saat melintas di depan meja Mizuki.

Sekretaris itu hanya mengangguk hormat dan dengan cepat Masumi menghilang.

Masumi melayangkan matanya kesekitar basement tempatnya berdiri sekarang, tak lama seorang pria yang tidak asing langsung menghampirinya.

"Senang melihat anda kembali dan baik-baik saja Tuan Masumi," sapanya sopan.

"Kalimat yang sama Hijiri, ku rasa kalian memang cocok," kata Masumi datar.

Hijiri mengernyit bingung, "Maaf, saya tidak mengerti maksud anda Tuan Masumi,"

Masumi menahan diri untuk tidak tersenyum geli, sejak bertemu Maya suasana hatinya begitu senang sampai dia harus berusaha keras menahan senyumnya yang tidak mau berhenti untuk mengembang.

"Tidak penting, lupakan."

Hijiri pun segera menyerahkan sebuah amplop pada Masumi.

"Firasat anda benar Tuan Masumi, mereka mulai bergerak sekarang,"

Kening Masumi sedikit berkerut, "Hhhmmm, jadi begitu ya. Hijiri, kali ini kau harus lebih berhati-hati."

"Baik,"

"Baiklah, aku harus segera kembali. Terima kasih Hijiri."

"Sudah menjadi tugas saya Tuan," Hijiri mengangguk hormat.

Masumi tersenyum tipis, "Oh ya, aku juga ingin berterima kasih padamu karena sudah menjaga 'nyonya' dengan baik. Aku hargai kerja kerasmu dan aku sangat berharap untuk lain kali tidak akan ada acara menginap," kata Masumi sambil lalu, meninggalkan Hijiri dengan mulut ternganga.

***
Dear mawar ungu-ku,
Bagaimana kabarmu? Apa kau mendapat masalah dengan ayahmu? Oh ya, apa yang kau katakan pada Nona Mizuki dan Kak Hijiri? Aku belum sempat menghubungi mereka. Kenapa mereka tiba-tiba memanggilku dengan sebutan nyonya? Sampai sakit perutku membaca pesan mereka. Aku menduga pasti kau membuat keduanya merasa seperti pendosa. Jangan hukum mereka ya, mereka hanya ingin membantuku.
Oh ya, tiga hari lagi aku akan bertemu dengan Clara Anderson untuk mempelajari kontrakku. Doakan semuanya lancar ya. Tenang saja, Miss Morgan sudah mengajariku dengan baik bagaimana cara mempelajari sebuah kontrak kerja. Aku sudah tidak sabar untuk kembali berakting dipanggung.
Kau pasti sedang sibuk sekali kan? Aku tidak mau mengganggumu, selamat bekerja sayang. Jangan lupa tetap jaga kesehatan, makan dan istirahatlah yang baik.

Merindukanmu
Maya-mu

Masumi tersenyum lebar saat membaca email yang dikirim Maya padanya. Tidak menyangka kekasihnya akan menyapanya seperti itu dan yang paling menyenangkannya adalah dia tidak perlu sembunyi lagi dibalik bayangan mawar ungu. Masumi ataupun Mawar ungu, keduanya sudah menjadi satu dan menjadi raja yang bertahta di hati Maya.

Sejenak tertegun setelah membalas emailnya, Masumi memikirkan kembali hubungannya dengan Maya. Betapa sungguh waktu telah begitu cepat berlalu. Tujuh tahun yang lalu, gadis kecil itu muncul dihadapannya, pertemuan demi pertemuan, pertunjukan demi pertunjukan, pertengkaran demi pertengkaran dan tanpa sadar dirinya telah menunggu selama itu. Menunggu gadis kecilnya menjadi dewasa.

Kebahagiaan yang tersirat diwajah Masumi tidak luput dari perhatian Mizuki.

"Hari yang menyenangkan Tuan Masumi," meletakkan cangkir kopi di meja, Mizuki menyadarkan bosnya dari lamunan panjang.

Melirik pada sekretarisnya yang entah sudah berapa lama berdiri di depan mejanya, Masumi mendesah kesal, "Kau.menganggu." Ucap Masumi tegas dalam tiap katanya.

Mizuki menyeringai senang, "Terima kasih Pak, itu sudah tugas saya,"

"Menggangguku?"

Menggeleng cepat, "Membuat anda tetap fokus pada pekerjaan,"

"Ah! Aku lupa untuk apa kau dibayar,"

"Senang sekarang anda sudah ingat."

"Kalau aku menaikkan gajimu, apakah kau akan membiarkanku untuk bisa 'sedikit' lebih tenang?"

Mizuki terkikik, "Saya ragu Tuan, intensitas kata 'sedikit' yang anda ucapkan itu sepertinya tidak akan sesuai dengan gaji saya. Mengingat konsekuensinya bisa menjadi hal yang begitu berat,"

Masumi menarik salah satu sudut bibirnya, dalam hati memuji sekretarisnya yang sudah begitu dalam memahami dirinya. Secara pribadi Mizuki dan Hijiri sudah seperti teman bagi Masumi karena hanya pada dua orang itulah Masumi bisa jujur dan menjadi diri sendiri.

"Ada yang salah dengan perhitungan saya?" Tanya Mizuki saat melihat bosnya terdiam.

"Tidak, aku hanya sedang berpikir mengganti kata 'sedikit' itu dengan 'banyak'. Aku butuh 'banyak' ketenangan," Masumi meneguk kopinya.

Mizuki tertawa.

"Apa yang lucu?" Tanya Masumi santai.

"Anda Pak, jika arti ketenangan anda itu adalah Maya maka saya ragu sebanyak apapun anda tenang justru itu akan menjadi sebaliknya. Bahkan anda rela menghilang ke belahan dunia lain hanya untuk mencari ketenangan itu."

Masumi terkikik, "Benar juga katamu, kasihan sekali diriku ini. Bahkan ketenangan terlalu mahal untukku," Masumi menggeleng geli.

"Anda akan mendapatkan seluruh ketenangan itu nantinya Tuan. Hanya sedikit lebih bersabar." Kata Mizuki bijak.

"Hhmmm, perkataan yang menenangkan. Terima kasih Mizuki. O ya, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Tentu Tuan,"

"Apakah kau tidak pernah berpikir untuk mencari ketenanganmu sendiri Mizuki?"

"Maksud anda?" Mizuki cukup terkejut dengan pertanyaan bosnya itu.

"Kau tahu apa maksud perkataanku Mizuki. Apakah kau tidak lelah dengan semua rutinitas ini? Pekerjaan dan pekerjaan. Terakhir hal apa yang akan kau dapatkan?"

Masumi kembali meneguk kopinya dan menatap sekretarisnya yang terlihat cukup bingung.

"Hhmm, saya hanya merasa belum waktunya saya memikirkan hal itu. Saya masih begitu menikmati pekerjaan saya. Kesenangan saya akan pekerjaan sepertinya sudah mengalahkan kesenangan saya akan hal lain,"

Masumi tersenyum, "Begitu ya, tahukah kau kalau jatuh cinta dan menemukan belahan jiwa itu begitu membahagiakan, Mizuki. Kau tidak akan merasa sendiri lagi dan merasakan warna baru dalam hidupmu,"

Melihat Masumi bicara begitu lembut dan binar bahagia diwajahnya, Mizuki yakin bosnya sudah berada dalam keadaan yang dimaksudkannya itu, "Dengan melihat anda sekarang, saya bisa bayangkan bagaimana bahagianya Tuan Masumi. Tapi mungkin belum waktunya bagi saya menemukan belahan jiwa seperti anda." Mizuki mengutarakan pendapatnya.

Masumi tertawa, "Aku berdoa kau cepat menemukannya agar kau bisa berhenti menggangguku. Setidaknya ada hal lain yang bisa kau perhatikan selain pekerjaan,"

"Terima kasih atas doanya. Dan kalau boleh, saya ingin mengambil dokumen kontrak yang seharusnya sudah anda tanda tangani sekarang." Mizuki melihat ke arah tumpukan dokumen yang diduganya belum sama sekali disentuh Masumi karena sibuk berkhayal.

"Ah iya!" Jawab Masumi cepat, tapi kemudian terhenyak sendiri, "Maaf, aku belum membacanya,"

Mendesah pelan dan pura-pura kesal, "Sekarang anda mengerti kan betapa kesenangan anda yang 'sedikit' itu akan mengganggu. Setidaknya kali ini anda bersyukur saya belum bertemu belahan jiwa saya," kalimat ironi Mizuki selalu bisa memenangkan pertarungannya dengan Masumi.

"Iya, aku kalah. Hentikan ceramahmu. Tambah lagi kopiku dan biarkan aku tenang sebentar!" Kata Masumi kesal, mood baiknya sudah menguap sekarang,

"Ketenangan untuk?"

"Mengerjakan semua ini tentunya!"

Mizuki tertawa, "Itu sudah tugas saya, ketenangan milik anda sepenuhnya Pak, saya permisi," Mizuki keluar dari ruangan Masumi dengan membawa cangkir kopi kosong.

Tertegun didepan pintu, "Aku harus berterima kasih pada Maya. Jika bukan karenanya mana mungkin aku bisa mengerjai bos Daito yang dingin dan gila kerja itu habis-habisan. Kau membuat hari kerjaku menyenangkan Maya," dan senyum lebar menghiasi wajah musim dingin Mizuki.

***
Petang merambat malam saat Masumi tiba disebuah rumah peristirahatan bergaya tradisional Jepang. Seorang pria sudah menyambutnya di halaman.

"Selamat malam Tuan Masumi," sapanya ramah.

"Selamat malam Genzo," balas Masumi sopan.

"Silakan Tuan, Nyonya sudah menunggu anda,"

Masumi mengangguk lalu berjalan mengikuti Genzo.

Masumi duduk bersimpuh di atas zabuton diruang tamu. Sejenak mengamati ketenangan suasana di rumah peristirahtan itu.

"Betapa damainya," batinnya tenang. Lalu matanya kembali menyapu pemandangan sekeliling ruangan.

Tak lama pintu bergeser dan Mayuko menyambutnya dengan senyum tipis. Masumi membungkuk hormat, "Selamat malam Bu Mayuko,"

"Selamat malam Masumi," balas Mayuko saat sudah duduk dizabuton di depan Masumi.

"Aku tidak menyangka kau akan datang secepat ini. Ternyata memang tidak mudah mengelabuimu," Mayuko jelas sudah tahu maksud kedatangan bos muda Daito itu.

Masumi tersenyum, "Saya baru pulang dari New York dua hari yang lalu," jawab Masumi.

Mayuko tertawa, "Aku tidak terkejut Masumi. Aku hanya membayangkan wajah terkejut muridku saat melihat kedatanganmu. Dia tidak pingsan kan?"

"Hampir," Masumi tersenyum simpul.

Genzo menyuguhkan dua gelas teh hijau, lalu seperti biasa duduk dibelakang Mayuko.

"Kau membuat kacau rencananya Masumi," Mayuko meneguk tehnya dan menatap Masumi.

"Saya hanya tidak bisa melihatnya berjuang sendiri,"

"Hhmm, dia kuat Masumi. Aku memang tidak tahu keseluruhan rencananya tapi aku cukup terkejut saat dia mengutarakan pemikirannya. Itu melebihi harapanku, aku bangga dia mengerti apa yang aku rasakan. Tidak salah aku memilihnya sebagai Bidadari Merah. Dan ku harap kau tidak mengganggunya,"

Masumi mendesah pelan, "Jadi bukan anda yang meminta Maya melakukan semua ini?"

Seringai tipis Mayuko menjawab pertanyaan Masumi.

"Jika tujuanmu datang hari ini adalah untuk mengintrogasiku mengenai rencana Maya maka maaf Masumi, kau harus pulang dengan kecewa. Karena aku juga tidak tahu,"

"Kenapa anda menyetujui rencana Maya untuk memberikan hak pementasan itu pada saya?"

"Karena aku tahu kau tidak akan menerimanya,"

Masumi tersenyum, "Jadi begitu ya, saya pikir anda memang sudah merelakan hak pementasan itu jatuh ketangan saya,"

Mayuko tertawa, "Hanya Maya yang boleh memilikinya Masumi, sejak awal, hanya dia,"

"Bagaimana anda bisa begitu yakin saya tidak akan menerima hak pementasan itu?" Tantang Masumi.

"Melihatmu sekarang? Aku berani bertaruh kau bahkan rela memberikan nyawamu untuk melindungi hak pementasan itu tetap menjadi milik Maya,"

Masumi tertawa, "Apakah sejelas itu Bu Mayuko?"

"Kau sudah berubah Masumi, tanpa kau sadari gadis itu telah merubahmu. Aku bisa membaca dari matamu. Kau tidak lagi si dingin yang gila kerja, setidaknya tidak didepanku. Topeng es mu tidak berguna didepanku Masumi,"

"Sejak kapan anda tahu Bu Mayuko?"

"Aku sudah curiga sejak Maya menolak berakting menjadi Akoya didepanmu, lalu kediaman kalian berdua menjelaskan semuanya. Terlebih saat Maya datang dan menangis di depanku, dia bilang bahwa dia tidak mengerti tentang belahan jiwa. Dia sakit hati karena belahan jiwanya membencinya. Dan saat itu bertepatan dengan berita yang beredar tentang pernikahanmu. Lalu Maya tampil dipanggung menjadi Bidadari Merah dengan cinta Akoya yang begitu dalam, itulah yang menjawab semuanya."

Masumi tertegun, "Anda memang hebat Bu Mayuko,"

"Kau mencintainya kan Masumi?"

Masumi menatap Mayuko, kali ini tidak ragu lagi menjawab, "Iya Bu, saya mencintainya,"

"Aku titipkan dia padamu Masumi,"

Masumi tersentak.

Mayuko menatap tajam Masumi, "Hanya kau yang bisa melindunginya,"

"Apa maksud anda?" Nada cemas tidak tertinggal dalam pertanyaan Masumi.

"Kalau mengenai Bidadari Merah, kau tahu siapa yang akan menjadi lawan Maya kan Masumi?"

Masumi terhenyak, "Ayah?!"

"Aku akui Maya punya keberanian yang bahkan tidak aku miliki, tapi anak itu kadang ceroboh, gegabah dan mudah sekali percaya pada orang. Aku berharap kepergiannya kali ini akan membuatnya banyak belajar. Sehebat apapun rencananya jika dia tidak hati-hati maka itu akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Apalagi dia bersikeras untuk melakukan semuanya sendiri,"

Mayuko masih menatap tajam pada Masumi.

"Saya akan menjaganya," Masumi menjawab tatapan mata Mayuko.

"Bagus, aku pegang ucapanmu Masumi."

"Saya berjanji Bu,"

"Sepertinya Eisuke telah salah memilihmu sebagai ahli warisnya." Mayuko tertawa.

Sejenak tertegun, "Apakah anda masih membenci ayah saya Bu Mayuko?"

Mayuko tersenyum tipis, "Apa menurutmu aku layak membencinya Masumi?"

"Ya, Bu," Masumi tertunduk, hatinya juga tertusuk dalam jika mengingat hal itu. Perasaan bersalahnya pada Maya masih sulit dihilangkan.

"Karena apa?"

Masumi terkesiap, "Karena ayah saya yang menyebabkan anda dan Pak Ichiren...," tenggorokan Masumi tercekat, gagal melanjutkan kata-katanya.

"Apakah kau juga merasa seperti itu?" Mayuko memiringkan kepalanya, mencoba membaca wajah yang disembunyikan Masumi.

"Kau masih merasa bersalah atas meninggalnya Ibu Haru?" Mayuko menegaskan lagi pertanyaannya.
"Iya bu," jawab Masumi lirih.

"Meski Maya telah memaafkanmu dan bahkan sekarang dia begitu mencintaimu?"

"Iya bu,"

Mayuko tertawa, membuat Masumi mengangkat wajahnya. Kedua tangannya mengepal kuat di atas lututnya.

"Dengar aku Masumi, kau yang bahkan telah menerima pengampunan dan cinta dari Maya saja masih begitu merasa berdosa apalagi ayahmu yang sampai saat ini tidak pernah bertemu denganku. Kau pikir berapa kali lipat kepedihan yang dirasakan ayahmu sekarang? Seberapa besar menderitanya dia sekarang. Aku tidak perlu membencinya Masumi, tidak perlu. Rasa bersalahnya sudah cukup untuk menghukumnya dan aku juga tidak mau membebani hatiku dengan hal yang tidak perlu," Mayuko menyeringai lebar.

Masumi tercengang, "Jadi anda tidak membencinya? Anda sudah memaafkannya?"

"Sudah lama aku tidak membencinya Masumi, aku sudah memaafkannya. Kebencian tidak akan menghidupkan kembali Ichiren." Mayuko kembali meneguk tehnya.

Masumi terdiam.

"Kau tahu Masumi," kata Mayuko tenang, "Bukan kau yang memisahkan Maya dan ibunya. Tapi aku,"

"A...apa maksud ibu?" Masumi tergagap.

Mayuko tersenyum, "Akulah yang memintanya ikut denganku dan membuatnya pergi dari rumah. Ibu Haru pernah datang ke sekolah dan meminta Maya kembali tapi Maya tidak mau. Sejak saat itu aku semakin yakin Maya siap ku bentuk dengan tanganku. Ibu Haru menyerah dan menitipkan Maya padaku. Dia mengirimkan pakaian Maya tapi aku membakarnya. Hari itu aku sudah memutuskan hubungan antara ibu dan anak."

"Bu...Mayuko...? Apakah Maya tahu?" Suara Masumi bergetar.

Mayuko tertawa kali ini, "Untuk apa dia tahu Masumi?"

"Anda?...," Masumi gagal bicara, lagi.

"Maya sudah memilih jalan hidupnya Masumi, dia sudah memilih dan aku menuntunnya melewati jalan itu. Aku tidak pernah menyesal melakukannya, kau lihat sekarang? Betapa Maya sudah melampaui harapanku. Ikatan hatiku dan Maya tidak jauh berbeda dengan ikatanmu dan Eisuke."

Jantung Masumi berpacu, sungguh semua yang didengarnya berada diluar perkiraannya.

"Aku dan Eisuke sama-sama membesarkan ahli waris. Aku membesarkan Bidadari Merah sedangkan Eisuke membesarkan orang yang diharapkan dapat merebut hak pementasan Bidadari Merah. Ironinya, aku berhasil melahirkan Bidadari Merah tapi Eisuke justru membuat Bidadari Merah semakin jauh darinya. Benar kan Masumi?"

Masumi tidak tahu harus berkomentar apa, batinnya tergelak namun getir. Betapa permainan takdir begitu indah dirangkai oleh Mayuko.

"Bidadari Merah, semua hanya karena Bidadari Merah," Masumi tersenyum kecut.

"Ternyata Maya masih lebih pintar darimu. Maya sudah lebih dulu menemukan benang merahnya. Jadi sekarang kau tidak boleh meremehkannya,"

"Anda membuat saya merasa begitu bodoh Bu Mayuko," senyum kecut Masumi kembali terukir.

Mayuko tertawa lagi.

"Sekarang kau hanya bisa menunggunya Masumi. Lakukan bagianmu dan biar dia melakukan bagiannya. Sekali ini, percayalah padanya,"

Masumi terdiam.

"Dia gadis cerdas Masumi, dia tidak bodoh. Hanya saja selama ini yang ada diotaknya hanya akting. Sekarang dia sudah berpikir lebih jauh, kau akan lihat bagaimana nanti seekor ulat akan menjadi kupu-kupu yang cantik."

"Tapi saya takut kupu-kupu itu akan terbang menjauh,"

"Tenang saja, kau akan selalu menjadi bunga mawar tempatnya kembali," sudut bibir Mayuko kembali melebar.

Masumi terkesiap, "Mawar ungu?", tapi kemudian ekspresinya melembut. "Ya, saya tahu,"

Keduanya lantas hanya diam menikmati tehnya bersama.

***
New York
Maya duduk di lobi universitasnya dengan lesu, dia baru saja melihat pengumuman hasil seleksi ujian masuk. Dan seperti dugaannya sejak awal, dia gagal.

Diapun berjalan keluar dari lobi dan duduk ditaman. Menghela napas panjang, Maya menatap luasnya langit yang terbentang diatasnya.

"Ah, ternyata aku memang bodoh ya," gerutunya dalam hati. "Untung saja aku sudah mengantisipasi semuanya. Kali ini aku harus bekerja keras."

Maya mendesah panjang, "Eisuke Hayami, kau membuatku pusing! Andai Masumi bukan bagian dari Daito mungkin semuanya akan lebih mudah ya,"

Lama Maya melamun dan tanpa disadarinya dua pasang mata sedang mengawasinya dari dalam mobil yang terparkir tak jauh dari taman.

"Gadis itu gagal masuk ke universitas," kata seorang pria yang duduk dibelakang kemudi.

"Ryan, menurutmu apa istimewanya gadis itu?" Tanya seorang pria lain yang duduk disebelahnya. Pria yang dipanggil Ryan itu tersenyum.

"Tuan Christ, anda akan tahu setelah anda membaca semua laporan saya,"

Christ menatap amplop tebal dipangkuannya.

"Apa ini sudah semuanya?"

"Sudah, sejak awal gadis itu bermain drama. Sepertinya saya mulai mengerti kenapa Nyonya begitu tertarik padanya."

Christ melirik pengawal pribadinya itu dengan kesal, "Bahkan kau juga menganggapnya istimewa?"
Ryan tertawa, "Tidak perlu berdebat, anda akan mengerti dengan sendirinya."

Christ kembali memalingkan pandangannya pada Maya yang masih terpaku di bangku taman.

"Apa sudah cukup? Meski jadwal anda senggang tapi kita tidak bisa bersantai disini sepanjang hari. Bukankah semakin cepat anda membaca laporan saya maka semakin cepat juga rasa penasaran anda terjawab,"

Christ mendesah kesal, "Cerewet kau Ryan! Cepat kita kekantor!"

Dan tanpa menunggu perintah dua kali Ryan segera melaju.

"Bella, tahan semua telepon, aku tidak mau bertemu siapapun hari ini. Dan yang terpenting jangan ganggu aku!" Perintah Christ saat melintasi meja sekretarisnya.

Sekretaris yang bernama Bella itu langsung mengangguk, terkejut tiba-tiba atasannya datang.

"Ba...baik Tuan Christian,"

Ryan terkikik melihat Bella gelagapan.

"Ku harap kau memeriksakan jantungmu secara rutin Bella,"

"Ryan! Kau sama saja!" Bentak Bella.

Ryan tertawa dan segera masuk ke ruangan Christ. Dimejanya, bosnya sedang membaca laporan yang diberikannya. Tampak serius, Ryanpun membiarkannya, dia duduk di kursi tamu sambil memainkan handphonenya.

Braakk!!

Setelah satu jam membaca laporannya Christ membanting laporan itu ke meja, Ryan hampir melempar handphonenya karena terkejut. Tapi Ryan tetap diam dikursinya, menilai reaksi bosnya yang di luar predikasinya.

"Ada yang salah Tuan?" Tanya Ryan setelah dilihat bosnya sedikit lebih tenang.

"Hanya kesal," jawabnya.

"Karena?"

"Kenapa ada orang yang bisa begitu mencintai akting dan drama sampai menjadi gila? Ku pikir mamaku sudah cukup gila ternyata ada yang lebih gila lagi," dengusnya kesal.

"Naik panggung dengan suhu badan 40 derajat, mengikat bambu di badan untuk peran menjadi boneka, dimusuhi semua orang, berkali-kali terluka di lokasi syuting sampai akhirnya di jebak dan diblack list dari dunia artis. Pergi ke hutan berhari-hari untuk menjadi serigala! Apa itu tidak gila namanya. Hanya demi akting dia rela melewati semua kesulitan itu?" Christ menggeleng tak percaya.
Ryan tertawa lalu berdiri, "Saya rasa sudah waktunya anda melihat ini," Ryan berjalan ke meja bosnya dan mengambil kepingan DVD rekaman pentas milik Maya.

Christ hanya diam tak berkomentar dan saat DVD mulai diputar Christ semakin membeku di kursinya.

Hari menjelang tengah malam saat Ryan mematikan DVD player di kantor Christ. Ryan mengambil DVD pementasan 'Helen Keller' dan memasukkannya kembali ke dalam tempatnya.

"Ini sudah larut Tuan. Bukankah sebaiknya kita lanjutkan besok saja," saran Ryan. Sejak siang Christ tidak mau berhenti menonton drama Maya, semua rekaman pementasan Maya sejak pertama kali naik panggung tidak satupun dilewatkannya.

"Masih berapa drama lagi?" Tanya Christ dengan ekspresi yang tidak terbaca.

"Eh?! Anda...,"

"Aku tanya, masih berapa lagi Ryan?!" Bentaknya.

Menghela napas panjang, "Masih banyak Tuan. Perannya dalam Drama televisi sebagai Satoko, lalu film layar lebar, Drama Musim Panas sebagi Pack, Dua Putri, Forgotten Wilderness dan drama percobaan Bidadari Merah. Juga ada beberapa drama lainnya yang dia berperan sebagai pemeran pembantu, sebagai Toki, Chie...dan...ini benar-benar banyak Tuan. Anda tidak mungkin menontonnya sekaligus,"

Christ menatap Ryan dengan jengkel, "Sejak kapan kau berani mengaturku Ryan?"

Ryan hanya menggelengkan kepalanya, bosnya memang terkenal galak dan keras kepala.

"Anda mau melanjutkannya?"

"Berikan padaku, aku akan pulang sekarang," Christ membereskan tasnya dan meneguk sisa kopi dinginnya.

"Dan anda akan melanjutkan menonton dirumah?"

"Bukan urusanmu Ryan,"

"Baiklah, bukan urusan saya tapi besok pagi anda ada rapat pukul sepuluh. Setidaknya itu yang Bella tadi sampaikan pada saya,"

"Cerewet! Berikan padaku DVD nya,"

Ryan memberikan DVD nya yang dengan cepat dimasukkan Christ kedalam tas.

"Ayo pulang!" Christ berjalan dengan tergesa dan mau tak mau Ryan mengikutinya.

Sepanjang perjalanan pulang Christ hanya terdiam.

Sambil menyetir, Ryan mengamati bosnya itu, "Apa sedalam itu anda terpesona olehnya? Ataukah anda sudah menyadari bahwa Maya Kitajima mirip dengan...," Ryan menggelengkan kepalanya dan kembali fokus ke jalan. Dari sudut matanya masih terlihat Christ yang menatap kosong ke luar jendela.

***
Christ menghempaskan dirinya di kursi kerja. Memijit pelipisnya yang berdenyut. Dia baru saja selesai rapat dan rasa lelah menjalari seluruh tubuhnya.

"Kopi anda Tuan Christian," Bella meletakkan kopinya perlahan di meja.

"Apa sore ini aku ada jadwal penting?" Tanya Christ seraya masih memijit pelipisnya.

"Tidak Tuan, hanya saja anda harus menanda tangani beberapa dokumen yang harus saya kirim besok pagi," jawab Bella.

"Baiklah, cepat bawa dokumennya. Setelah itu kosongkan jadwalku. Aku mau tidur,"

"Tidur?!" Tanpa sadar Bella mengulang perkataan Christ, membuatnya mendapat hadiah sepasang mata galak.

"Baik Tuan, akan segera saya bawakan." Bella langsung bergegas ke ruangannya.

Di luar Bella berpapasan dengan Ryan.

"Ada apa Bella?" Melihat Bella terburu-buru Ryan menduga bosnya pasti membuat ulah.

"Biasalah Ryan. Ngomong-ngomong jam berapa kalian pulang semalam? Tuan memintaku mengosongkan jadwalnya karena dia mau tidur. Ada-ada saja," Bella menggeleng kesal.

Ryan tertawa, dia tahu bosnya tidak tidur karena menonton rekaman drama Maya Kitajima. Jika saja rapat pagi ini tidak penting mungkin Christ akan menonton ulang semua drama itu.

Ryan masuk keruangan bosnya, Christ masih duduk dikursinya sambil memijit pelipisnya. Tak lama Bella membawa tiga map yang siap ditanda tangani Christ. Ryan berdiri didekat jendela dan menikmati pemandangan kota.

Bella tidak berlama-lama di ruangan itu, setelah Christ menandatangani dokumennya, Bella segera keluar.

"Darimana saja kau?" Tanya Christ.

Ryan masih berdiri ditempatnya, menoleh saat Christ bertanya padanya, "Ayah anda meminta saya memeriksa beberapa hal,"

"Oh,"

"Saya bertemu Maya Kitajima tadi,"

Mendengar nama Maya disebut Christ langsung antusias, lupa dengan sakit kepala dan kantuknya, "Dimana?"

Ryan tersenyum geli, tidak menjawab.

"Kau tidak mau tinjuku ini melayang ke wajahmu kan Ryan?" Ancam Christ.

"Sabar Tuan. Ternyata tidak tidur juga mempengaruhi adrenalin anda," goda Ryan.

"Berhentilah bermulut manis Ryan,"

Ryan tertawa, "Saya mengantar Nyonya Clara ke gedung Teater Scarlet setelah beliau bertemu Tuan Michael. Sepertinya mereka akan mulai membicarakan kontrak sekaligus memperkenalkan Maya Kitajima pada pemain teater lainnya, saya melihatnya sedang bicara dengan Kate."

Christ memutar matanya, tampak berpikir. Sesaat kemudian dia meraih jasnya. "Kita ke teater sekarang,"

"Heh?! Maksud anda?" Ryan terkejut.

"Aku mau ke teater sekarang! Bertemu dengan Maya Kitajima. Ayo!"

Dan tidak bisa dibantah, Ryan menuruti saja kemauan bosnya itu. Tidak memakan waktu lama untuk Christ dan Ryan sampai di gedung teater Scarlet. Tak membuang waktu Christ segera pergi keruangan mamanya, mengabaikan beberapa staf dan anggota teater yang menyapanya.

Kali ini lebih sopan, Christ mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan mamanya. Dia terlihat tidak senang saat Kate yang membuka pintu.

"Nyonya sedang ada tamu Tuan Christ, bisa anda menunggu sebentar?" kata Kate meski dia sendiri ragu Tuannya akan mendengarkan perkataannya.

Dan tidak salah, tanpa kata Christ langsung menyingkirkan Kate dari pintu dan langsung masuk, sementara Ryan menunggu di luar.

"Ada apa?" Tanya Clara saat melihat Christ memaksa masuk, dia sendiri juga tidak heran putranya melakukan hal itu.

"Tidak ada," Christ langsung duduk disebelah Maya dimana tadi itu adalah tempat Kate. 

Sementara Clara yang duduk didepannya mengernyit heran.

Maya menoleh pada Christ dan menatapnya bingung, dalam hati mendengus kesal pada makhluk paling arogan yang duduk disebelahnya.

"Hai," sapa Christ ramah pada Maya.

"Hah?!" Clara terkejut,

Kate bahkan sampai menutup mulutnya dengan tangan karena shock dengan keramahan Christ.

Maya merasa semua orang bersikap aneh, tapi dia memaksakan diri tersenyun pada Christ, "Eh..selamat siang Tuan Anderson,"

"Panggil aku Christ, oke! Namamu Maya Kitajima kan?" Tanyanya, sekali lagi dengan nada ramah yang tidak biasa.

"I..iya," Maya tertunduk, gugup. Bertemu Christ tidak masuk dalam skenarionya dan itu membuatnya grogi. Terlebih lagi dia malu saat teringat kejadian di kantor Clara, di gedung PH Scarlet.

"Ayo lanjutkan pembicaraannya, aku tidak akan mengganggu," kata Christ saat melihat semua orang terdiam.

Mamanya menatap Christ kesal, "Baiklah Maya, kita lanjutkan pembicaraan kita. Abaikan saja putraku. Kate ambil kursi lain dan duduklah disini," Clara mengambil alih disambut seringai tipis diwajah tampan Christ.

Kate melakukan apa yang diperintahkan Nyonyanya. Ketiganya pun kembali membahas kesepakatan mereka. Christ tetap tenang dikursinya memperhatikan Maya.

"Aku setuju dengan keinginanmu untuk belajar tentang manajemen bisnis pertunjukan. Aku akan minta Kate urus semuanya, tapi semua jadwal pembelajarannya akan disesuaikan dengan jadwal latihan dan syutingmu. Bagaimana?"

"Saya setuju Nyonya," jawab Maya.

"Apakah kau sudah memiliki menejer? Aku rasa kau membutuhkannya untuk membantu mengatur semua jadwalmu,"

"Saya belum memiliki menejer Nyonya,"

"Baiklah, aku bisa membantu jika kau memang memerlukannya tapi jika kau ingin mencari sendiri aku juga tidak keberatan,"

"Saya akan pikirkan dulu,"

"Bagus. Nah, sepertinya semua hal sudah kita sepakati. Kate akan mulai menyusun kontraknya besok. Tiga hari lagi kau bisa menandatangani kontraknya dan kita akan mulai bekerja sama." Clara tampak puas.

"Baik, terima kasih," Maya juga sama senangnya.

"Jadi...kapan kau akan mulai bermain drama?" Tanya Christ tiba-tiba.

Tiga pasang mata hawa langsung memandang pada satu-satunya adam diruangan itu.

"Apa kau sedang mabuk Christ?" Clara masih terlihat kesal pada sikap putranya.

"Tidak Ma, aku hanya bertanya pada Nona Kitajima, kapan dia akan mulai berakting dipanggung. Apa itu salah?" Christ masih merasa tidak ada yang salah pada dirinya.

"Salah? Tidak! Aneh? Iya, sangat aneh." Cibir Clara. Ibu dan anak itu jadi mengabaikan Maya yang juga bingung dengan keramahan Christ yang tiba-tiba. Seingat Maya, Christ mengusirnya saat mereka baru bertemu satu minggu yang lalu.

"Apanya yang aneh Ma?" Christ malah tersenyum senang, sepertinya bertemu Maya mengubah mood nya.

"Pertama bukankah kau tidak setuju aku mengontrak Maya?"

"Itu kemarin, sekarang tidak. Aku sangat setuju," Christ tersenyum lagi.

"Kedua sejak kapan kau tertarik dengan drama bahkan seingatku kau tidak pernah mau menonton pertunjukan Scarlet,"

"Sejak kemarin. Aku menonton semua drama Maya dan aku suka."

Maya terkejut tapi Kate hampir pingsan, Clara justru terbahak karenanya.

"Menjelaskan semuanya Ma?" Tanya Christ saat mamanya berhenti tertawa.

"Ya, ya, aku paham sekarang. Maaf Maya, bisa kah kau menunggu diluar sebentar bersama Kate? Aku ingin bicara dengan putraku," pinta Clara sopan.

"Tentu Nyonya," Maya beranjak dari duduknya dan berjalan keluar bersama Kate.

"Oke! Coba ku tebak, kau meminta Ryan mencari informasi tentang Maya karena kau tidak setuju aku akan mengontraknya?" Tanya Clara, seperti biasa tanpa basa-basi.

"Benar,"

"Kau mendapatkan semua informasi yang kau butuhkan lalu kau menonton semua dramanya dan sekarang kau berubah pikiran?"

"Benar,"

"Apa yang kau pikirkan?"

"Angel,"

"Oh, sudah kuduga," Clara melenguh kesal.

"Mama juga tertarik padanya karena dia mirip dengan Angel kan?"

"Tidak sepenuhnya benar," sanggah Clara.

"Karena dia juga gila drama seperti Mama?"

"Christ! Jaga bicaramu, aku tidak gila, hanya terlalu cinta," Clara memperingatkan.

Christ tertawa, "Tidak jauh beda Ma, anak itu juga, Angel juga,"

"Dia bukan Angel, Christ. Kau harus ingat itu,"

"Aku tahu, tapi dia mirip Angel. Mama juga tidak menyangkalnya kan? Awalnya aku tidak menyadari hal itu tapi melihatnya di atas panggung...dia benar-benar mirip Angle,"

Clara mendesah pelan. "Terserah padamu, ku harap kau tidak mengganggunya."

"Aku tidak akan mengganggunya. Aku ingin memilikinya,"

"Christ !!" Clara melotot.

"Kenapa Ma? Itu juga yang mama inginkan kan? Jika kita memilikinya maka mama juga akan puas melihatnya berakting," Christ menatap kedalam mata mamanya, mencari pembenaran atas argumetasinya.

Clara terdiam, "Gadis itu punya kehidupan lain Christ, kau tidak bisa memaksakan kehendakmu. Mama cukup puas dengan bisa mengontraknya selama dua tahun jadi jangan buat mama berharap lebih dan akhirnya kecewa,"

Christ tersenyum, senyum tulus yang sangat jarang di wajah galaknya. Beranjak dari kursinya lalu memeluk mamanya yang matanya mulai berkaca-kaca.

"Pegang janjiku Ma, aku akan memilikinya. Angel-ku akan kembali,"

"Christ...," desah Clara dalam pelukan putranya, air matanya terurai.

***
Kate mengajak Maya berkeliling gedung teater sementara menunggu Clara yang sedang berbicara dengan Christ. Maya terkagum-kagum dengan keindahan teater Scarlet. Gedung pertunjukannya besar dan megah. Panggungnya dilengkapi dengan berbagai peralatan canggih. Rasanya Maya sudah tidak sabar untuk mulai berakting.

"Bagaimana?" Tanya Kate setelah selesai mengoceh tentang berbagai fasilitas gedung pertunjukannya. Keduanya ada di belakang panggung sekarang.

"Wah, luar biasa, rasanya tak percaya saya akan bermain di tempat sebagus ini," puji Maya.

"Scarlet adalah salah satu gedung pertunjukan kelas satu Maya, tentu saja bagus. Tapi ku dengar di Jepang juga banyak gedung pertunjukan yang bagus. Nyonya Clara juga pernah bercerita padaku."

"Hhmm, iya anda benar Nona Adam. Gedung pertunjukan Daito juga mewah dan besar," Maya meringis dalam hati karena teringat Masumi. Tanpa sadar tangannya mengusap dada, dimana tergantung cincinnya dibalik baju.

"Ah iya, Daito, aku pernah mendengar Nyonya menyebutnya. Kalau tidak salah itu adalah PH terbesar di Jepang ya?" Tanya Kate lagi.

"Iya," jawab Maya singkat, membicarakan Daito membuatnya semakin merindukan Masumi. 

"Ngg, Nona Adam, tadi saya lihat banner dan jadwal pertunjukan dilobi. Benarkah malam ini akan ada pertunjukan drama "The Queen"?" Tanya Maya yang mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Dia yakin akan segera menangis karena rindu jika terus membicarakan tentang Daito.

"Iya, kau benar. Sebenarnya ini pertunjukan ulang. "The Queen" pernah memenangkan penghargaan drama terbaik musim semi lalu. Dan bulan lalu Nyonya Clara bersama dengan ACA Group milik keluarganya merencanakan acara penggalangan dana untuk anak-anak penderita kanker. Jadi ini lebih seperti pertunjukan amal. Meski begitu acara ini penting karena yang akan hadir adalah para pengusaha besar, relasi bisnis ACA Group." Kate menjelaskan panjang lebar.

"Oh begitu," Maya mengangguk-angguk. "Hmm, bolehkah saya melihatnya nanti? Saya suka sekali drama ini, saya pernah melihat DVD rekamannya. Pasti akan menyenangkan jika melihatnya secara langsung," Mata Maya berbinar senang tapi itu hanya sesaat. Karena memorinya dengan cepat memutar kenangannya bersama Masumi saat menonton 'The Queen' di apartemennya dan itu membuat suasana hatinya menjadi sendu.

Kate melihat perubahan ekspresi Maya, "Kau kenapa? Kau boleh menontonnya kalau kau mau."

"Ah, tidak apa-apa, hanya teringat sesuatu. Benarkah saya boleh menontonnya?" Maya kembali girang.

"Tentu, tapi dari belakang panggung ya, karena semua kursi sudah penuh malam ini."

"Tidak masalah, terima kasih," Maya tersenyum senang.

Kate melihat jam tangannya, sepertinya sudah cukup lama mereka berkeliling.

"Sebaiknya kita kembali, Nyonya Clara pasti mencarimu," saran Kate.

"Baik,"

Keduanya meninggalkan panggung pertunjukan dan kembali ke kantor Clara.

"Hhmm, boleh saya bertanya Nona Adam?" Tanya Maya saat keduanya berjalan dalam diam.

"Ya,"

"Ngg, Tuan Anderson itu...dia orang yang seperti apa? Maaf, maksud saya....,"

"Tuan Christ maksudmu?" Potong Kate dengan nada kesal.

Maya mengangguk.

Kate mendesah kesal, "Dia...hhmmm, cukup sulit menggambarkannya. Dia galak, ketus, dingin, kasar, dan...hhhmmm, menakutkan,"

Maya tergelak, "Dari ucapan anda tidak sulit menggambarkannya,"

Kate menggeleng, "Sulit menggambarkan kebaikannya Maya, dia terlalu menakutkan untukku. Meski tampan," Kate terkikik, "Tapi...," Kate melirik pada Maya.

Maya mengernyit heran, "Apa?"

"Aku benar-benar terkejut dan hampir mati karena heran dia tadi ramah padamu."

Maya terkikik, "Saya juga, seingat saya Tuan Anderson mengusir saya waktu itu," Maya memutar mata mengingat kejadian lampaunya.

"Hhmm, mungkin dia menyukaimu," celetuk Kate.

"Heh?! Mana mungkin begitu," Maya terkejut dengan pendapat Kate.

"Bisa saja. 'Dark Lord' itu selalu berpikir di luar logika, jadi kadang sulit mengikuti pola pikirnya. Hanya pengawal pribadinya Ryan Lane, sekretarisnya Anabella Swift dan kedua orang tuanya saja yang bisa tahan bersamanya dalam waktu lama."

"Dark Lord?"

"Oh, itu julukan kami semua untuknya, hati-hati jangan sampai dia dengar atau kau akan dilempar dari atas gedung," bisik Kate lucu. 

Maya tergelak, dibanding dengan pertemuan pertamanya dengan Kate, pertemuan kedua ini lebih menyenangkan bagi Maya. Kate lebih ramah dan lebih bersahabat.

"Dia pasti sangat menyebalkan ya," Maya kembali tertawa tapi pikirannya langsung membayangkan sosok menyebalkan lainnya, 'kecoa' tercintanya.

Kate terbahak, "Sangat menyebalkan Maya, kau akan lihat sendiri nanti. Hhmmm...,"

Maya memiringkan kepalanya, menunggu lanjutan dari kalimat Kate yang menggantung.

"Katanya dulu Tuan Christ adalah orang yang sangat baik dan lembut," lanjut Kate.

"Apa maksudnya? Dia berubah?" Tanya Maya.

"Iya, katanya kejadiannya sudah sepuluh tahun yang lalu. Tapi aku sendiri juga tidak tahu bagaimana cerita aslinya. Keluarga Anderson selalu tidak mau bicara soal hal itu. Yang kudengar Tuan Christ kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupnya. Dan itu membuatnya menjadi dingin dan tidak mau menjalin hubungan dekat dengan orang lain."

"Oh," Maya mendesah pelan, entah untuk yang keberapa kali perkataan Kate juga mengingatkannya pada Masumi. Dia teringat saat Masumi memintanya untuk  menemaninya ke planetarium dan jalan-jalan di festival, saat itu Masumi juga bilang kalau dulu dia anak penurut dan menyanangkan lalu kemudian dia berubah.

Maya menggeleng-gelengkan kepalanya. Berharap bayangan dikepalanya rontok begitu saja. Terlalu rindu, membuat otaknya tidak berhenti memikirkan Masumi, bahkan semua hal yang didengarnya membuatnya memorinya melayang-layang.

"Ah, benar-benar tersiksa dan aku masih harus bertahan tiga tahun? Sedihnya," keluh Maya dalam hati.

"Kau melamun?" Kate menarik kesadaran Maya kembali.

"Eh, maaf," kata Maya malu.

"Akhirnya kalian kembali," dengus Christ kesal.

Kate dan Maya terkejut melihat Christ sudah menunggu mereka di depan ruangan Clara.

"Kau dari mana saja Kate?" Tanya Christ sekenanya.

"Saya mengajak Maya melihat-lihat gedung Tuan," jawab Kate, berusaha untuk tidak kesal.

"Ah begitu dan apakah kau menikmati tur singkatmu Nona Kitajima?" Tanya Christ tapi dengan nada bicara dan ekspresi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari cara Christ bicara pada Kate.

"Iya Tuan Anderson, gedungnya bagus sekali," jawab Maya sopan. Dalam hatinya menduga-duga Christ memiliki kepribadian ganda atau semacamnya. Tapi pemikiran itu dengan cepat ditepisnya. Bukankah Masuminya juga sering begitu?

"Ahhh, Masumi lagi...," lenguhnya dalam hati.

"Nona Kitajima?"

Maya kembali sadar, "Ah, maaf Tuan Anderson,"

"Christ!" Kata Christ tegas.

"Eh?!" Maya bingung.

"Panggil saja aku Christ," kata Christ dengan lebih lembut. 

Ryan yang berdiri tak jauh dari Christ, hanya tersenyum geli melihat tingkah bosnya. Dan sekali lagi, Kate hanpir terkena serangan jantung.

"Iya, Ch..Christ, maaf," ulang Maya yang kemudian tertunduk malu.

Kesenangan Christ tiba-tiba terusik saat dua orang staf datang berlari dengan panik.

"Ada apa?!" Bentak Christ.

Tapi kedua staf itu sudah terlalu panik hingga tidak ada ruang lagi untuk takut pada Christ. Mendengar putranya berteriak Clara langsung keluar dari ruangannya.

"Ada apa?" Tanya Clara  saat melihat Christ menatap kesal pada dua orang stafnya yang panik dan masih terengah-engah.

"Nyo...nyonya...itu...,"

"Atur napasmu dulu, baru bicara!" Bentak Christ lagi.

"Hentikan Christ, ada apa Joseph? Evelyn?" Tanya Clara  lembut.

"Nyonya, gawat! Jennifer, dia membuat ulah lagi. Dia bilang dia tidak bisa datang untuk pementasan malam ini!" Kata seorang staf yang dipanggil Evelyn tadi.

"Apa?!" Clara  memekik keras, terlalu keras malah. "Tapi kenapa?"

"Sudah empat hari dia berlibur ke Georgia dan baru saja dia memberi kabar kalau pesawatnya delay sejak kemarin malam karena cuaca buruk. Jadi dia tidak bisa kembali," staf yang bernama Joseph menambahkan.

"Anak itu!!" Clara mulai kesal. "Kenapa dia harus pergi berlibur saat seperti ini? Ini memang pentas ulang dan tidak banyak latihan, tapi bukankah seharusnya dia tidak boleh pergi menjelang pementasan!"

"Lalu bagaimana, Nyonya? Pementasan tinggal tiga jam lagi. Kita tidak mungkin tampil tanpa Jenifer," Evelyn sampai pucat memikirkannya.

Semua yang ada disitu terdiam dan hanya saling memandang, bahkan Christ pun tidak berkomentar.

"Maaf, apa Jenifer itu ikut berperan dalam drama "The Queen" yang akan pentas malam ini?" Tanya Maya memecah kesunyian.

Semua mata langsung memandang padanya.

"Iya," jawab Clara singkat.

Maya tersenyum, "Oh, apa perannya? Mungkin saya bisa membantu menggantikannya?"

"Heh?!" Semuanya terhenyak.

"Kau...kau serius Maya?" Tanya Clara  ragu.

Maya mengangguk, "Saya pernah melihat rekaman dramanya sekali dan saya sudah hapal semua dialognya. Tinggal membaca satu kali lagi naskah aslinya. Jika pentas ulang ini tidak banyak berubah dengan pentas pertamanya saya yakin saya bisa,"

"Menonton satu kali dan kau sudah hapal semua dialog!!" Pekik Kate tanpa sadar. Yang lain terhenyak.

"Anda...jangan bercanda Nona...," kata Evelyn.

"Ada lebih dari tiga puluh pemain dalam drama itu dan anda bilang anda hapal semuanya?" Joseph menggeleng tak percaya.

Clara, Christ dan Ryan tahu Maya tidak bercanda, tapi ketiganya hanya mematung.

"Iya saya hapal semuanya, katakan saja apa peran Jenifer dan berikan pada saya naskah aslinya. Masih tiga jam lagi kan? Masih ada waktu bagi saya untuk bersiap," kata Maya dengan polosnya.

"Tidak mungkin Maya...," kata Kate.

"Kenapa? Apa peran Jenifer?" Tanya Maya, dia yakin dia sudah hapal dengan benar semua dialog pemain 'The Queen'.

"Jenifer berperan sebagai Cleopatra, Maya," kata Clara yang akhirnya bisa bicara. Dia, Christ dan Ryan tahu kalau Maya memiliki kemampuan yang luar biasa menghapal naskah drama tapi masih tidak percaya jika itu memang nyata.

"Cleopatra ya," kata Maya senang.

"Eh?!" Semuanya kembali terhenyak.

"Kau benar-benar sudah hapal?" Tanya Christ, ekspresinya pun tak terbaca. Antara kagum, bingung, shock, kesal dan entah apalagi.

Maya mengangguk mantap sambil tersenyum senang, "Alangkah senangnya jika saya bisa memerankannya,"

Clara  langsung terbahak, menutup mata dengan tangannya.

"Nyonya...," gumam para stafnya bingung.

"Kau yakin Maya?" Tanya Clara sekali lagi, mengabaikan kebingungan stafnya.

"Tentu, Nona Adam tadi mengatakan pada saya pentingnya pementasan ini, jadi saya tidak akan main-main," jawab Maya.

Clara kembali tertawa dan Christ hanya menyeringai tak jelas.

"Evelyn, berikan naskahnya pada Maya, tunjukkan ruang gantinya dan minta tim make up membantunya bersiap,"

"Nyonya!!" Pekik semuanya.

"Tidak ada waktu berdebat." Kata Clara pada stafnya lalu memandang Maya, "Aku percaya padamu,"
"Terima kasih Nyonya, saya akan lakukan yang terbaik," Maya tersenyum senang.

Christ tak berkomentar apapun saat Maya di bawa oleh Joseph dan Evelyn menuju ruang ganti. Sedangkan Kate hanya memandang bingung kepergian Maya.

Dalam sekejap kehebohan segera terjadi di ruang ganti, bahkan lebih heboh dari berita ketidak hadiran Jenifer tadi. Tidak ada satupun dari para pemain itu percaya bahwa Maya sudah menghapal semua dialog pemain hanya dengan sekali melihat rekaman pementasan. Tapi juga tidak ada yang berani protes karena pentas tinggal sebentar lagi dan mereka tidak punya pemeran pengganti Cleopatra, yang adalah pemeran utama.

Semuanya berkasak kusuk dengan cemas disekitar Maya. Sedangkan Maya yang sudah siap dengan kostumnya, duduk dengan tenang didekat panggung, sudah melupakan dunia luar dan sedang terhanyut dalam naskah dramanya.

Christ dan Clara hanya menatapanya dari kejauhan. Mempertaruhkan semua kepercayaan mereka.

***
>>Bersambung<<

Follow me on
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

7 Comments

  1. Aduh sis....dikau pinter nih meramu ceritanya...oke bgt....

    ReplyDelete
  2. Wah... Masumi punya saingan nih.... keren loh alur ceritanya... jangan lama2 apdetnya yaaa.... hehehe...

    ReplyDelete
  3. Wah... Masumi punya saingan nih.... keren loh alur ceritanya... jangan lama2 apdetnya yaaa.... hehehe...

    ReplyDelete
  4. asli baca nih episode bener bener berasa balik lagi ke adegan aslinya maya.

    ReplyDelete
  5. keren banget mba semua cerita karangan mba...makasih ya mba...lanjut berkarya

    ReplyDelete