Ketujuh : Cinta dan Benci

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalannya.

*********************************************************************************




"Kyaa! Kyaa!" Maya berteriak senang saat Masumi mengejarnya, berlarian di pantai pasir putih. Memercikkan air ke arah Masumi untuk menghalaunya mendekat.

"Itu tidak akan cukup Maya, bahkan badai pun tidak sanggup menghalangiku untuk datang padamu," kata Masumi.

Maya terbahak. Terlintas memori saat Masumi datang di tengah badai untuk melihat pentas Forgotten Wilderness, aktingnya sebagai Jane. Ya, malam itu, yang Masumi tidak tahu menjadi titik balik dalam kehidupan Maya. Karena apa yang terjadi di malam itu membuat Maya tahu tentang kebenaran mawar ungu dan menyadari perasaannya pada Masumi.

"Nah, tertangkap!" Masumi berhasil menangkap Maya. "Tidak seru kalau kau tidak berlari," bisik Masumi yang tahu kalau Maya sedang melamun.

Maya terkikik, "Kalau begitu kejar aku lagi." Melepaskan dekapan Masumi dan Maya kembali berlari sepanjang pantai.

"Kyaa!! Kyaa!!"

***

"Hei bangun Maya."

"Uhhmm." Maya hanya menggeliat panjang di atas futonnya. "Masih pagi Rei," katanya malas tanpa membuka mata.

"Pagi?! Buka matamu Maya? Ini sudah jam sembilan."

"Oh?" Maya membuka mata, matahari sudah terang dan sinarnya memenuhi kamar. Dia mendesah pelan lalu tersenyum, teringat mimpinya. Kemarin dia masih berlarian di pantai bersama Masumi tapi sekarang dia sudah bangun di atas futon dan ... sendiri.

"Masih di Izu?" goda Rei saat melihat Maya senyum-senyum sendiri.

"Eh?!" Maya tersipu.

Rei menarik napas panjang. "Aku masih sulit percaya kalau kau dan Tuan Masumi adalah sepasang kekasih." Rei berbisik diakhir kalimatnya, takut kalau-kalau ada yang mendengar, padahal kenyataannya mereka hanya berdua di kamar. Dia teringat pesan Masumi saat mengantar Maya tengah malam tadi untuk tidak menyebutkan apapun tentang hubungan mereka dan meminta Rei untuk membantu mengawasi Maya sampai keberangkatannya ke Amerika.

Maya hanya terkikik geli. Aku pun masih merasa ini seperti mimpi, gumam Maya dalam hati.

"Apa yang kalian berdua lakukan di Izu?" Mata Rei menatap Maya penuh selidik lalu menyunggingkan senyum licik.

Maya terbahak. "Kupikir ada baiknya juga kalau aku punya sedikit rahasia darimu, Rei."

"Ah, kau menyebalkan, Maya. Tapi sepertinya aku bisa menebaknya." Rei mengetukkan jari ke bibir dengan lucu lalu melihat ke arah jari manis Maya. "Cincin itu buktinya, dia sudah melamarmu kan?"
Maya tersenyum lalu bangun dari futon. Dengan cepat meraih tasnya dan mengambil kotak kecil dari dalamnya.

"Apa itu?"

"Hadiah dari Masumi." Maya membuka kotaknya dan mengeluarkan rantai kalung dari emas putih.

"Kalung? Kau langsung punya banyak koleksi perhiasan, Maya." Candaan Rei membuat Maya cemberut.

Rei terkikik. "Maaf, aku tahu kau bukan gadis seperti itu."

Maya membuka kaitan kalungnya lalu melepas cincinnya.

"Eh?!" Rei bingung saat Maya menggunakan cincinnya sebagai liontin kalung lalu menggantungkannya di leher.

"Aku tidak bisa memperlihatkannya sekarang." Maya terdengar sedih saat mengatakannya dan Rei mengerti. Status Masumi yang masih sebagai tunangan Shiori tidak memungkinkan Maya untuk menyatakan perasaannya secara terbuka. Apalagi hari pernikahan Masumi dan Shiori semakin dekat. Pemberitaan soal gosip Shiori yang mencoba bunuh diri di tampik habis-habisan oleh keluarga Takamiya bahkan penerbit majalah gosip itu terancam bangkrut.

Dia jadi tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika mereka tahu bahwa Masumi dan Maya saling mencintai. Saat ini hanya dirinya yang tahu kalau Masumi sudah melamar Maya.

Rei tersenyum. "Cepatlah mandi, kau kan harus segera mengemasi semua barangmu." Dia mengalihkan perhatian Maya agar tidak terlalu sedih memikirkan masalahnya. Miris rasanya melihat si kecil Maya harus menanggung beban begitu berat dalam hidupnya.

"Iya." Maya pun segera bangun dan membereskan futonnya.

***
Pukul dua siang Maya baru selesai mengemasi semua barangnya. Acara kemas-kemas itu cepat selesai karena Rei yang membantunya. Ah, Maya tidak terlalu ahli dalam hal ini. Keduanya kini sedang asik mengobrol sambil menunggu Sayaka, Taiko dan Mina. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan malam sebagai pesta perpisahan sebelum keberangkatan Maya.

Hanya teman-teman dekat Maya yang tahu tentang rencana kepergiannya ke Amerika. Semuanya terkejut mendengar Maya akan pergi, terlebih lagi Koji. Dia terlihat tidak suka dengan keputusan sahabat sekaligus gadis terkasihnya itu. Terkecuali Kuronuma. Pria yang sudah menganggap Maya sebagai anak itu tahu betul alasan kepergian aktris pemegang hak pementasan Bidadari Merah. Tanpa di beritahu, dia mengerti sepenuhnya apa yang terjadi antara Maya dan Masumi, juga masalah antara Mayuko dan Eisuke.

Hanya saja Kuronuma merasa sedikit kecewa karena tidak menyangka Maya akan menunda pementasan sampai tiga tahun dan memilih untuk menyelesaikan semuanya sendiri. Padahal dia lebih dari bersedia untuk membantu Maya. Alhasil Kuronuma hanya bisa diam dan mencoba memahami keputusan anak didiknya.

Sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah Maya. Saat akan membuka pintu, Rei mengira itu Masumi meski Maya yakin bukan. Dan benar saja, wajah Rei masam saat kembali ke ruang tengah bersama seorang tamu. Melihat siapa yang datang membuat Maya mendengus kesal dalam hati.

"Silakan duduk Nona Takamiya, saya akan buatkan teh untuk Anda." Rei dengan sopan mempersilakan Shiori duduk di atas zabuton, di depan Maya, sementara dengan alasan membuat teh Rei memberikan privasi pada keduanya. Hati Rei berdegub kencang karena kedatangan Shiori, takut kalau hubungan Maya dan Masumi terbongkar.

"Maaf kalau kedatanganku mengejutkanmu Maya," Shiori mulai membuka percakapan diantara mereka karena melihat Maya enggan bicara selain hanya menyapanya.

"Ya, sedikit mengejutkan. Apa ada yang penting sampai Anda bersedia datang ke tempat sederhana ini Nona Shiori?" Maya kembali memakai topengnya. Dia tahu dirinya tidak akan sanggup menghadapi Shiori sebagai seorang Maya. Tapi dengan memilih peran yang baik dia yakin bisa. Kemampuan akting Maya tidak boleh diragukan.

Shiori tertawa sopan tapi bagi Maya lebih terdengar seperti ejekan. "Aku hanya ingin memberikan ini padamu." Shiori mengeluarkan sesuatu dari dalam tas lalu meletakkannya di meja, di depan Maya. Dan hati Maya tersayat dalam, berusaha sekuat tenaga agar topengnya tidak terlepas.

"Jadi Anda mengundang saya ke acara pernikahan Anda dan Tuan Masumi?" Maya terdengar tenang meski sekarang hatinya meraung-raung karena marah.

"Iya, Masumi yang memintaku mengundangmu. Bagi Daito Bidadari merah sangatlah penting. Jadi aku mohon kau bisa hadir sebagai tamu kehormatan kami," ucap Shiori penuh percaya diri.

Masumi yang memintamu? Kau pasti akan melompat dari gedung kantormu yang tinggi itu jika tahu kenyataan yang sebenarnya Shiori, batin Maya kesal.

"Maya?"

"Ah, maaf," Maya cepat-cepat mengembalikan konsentrasinya.

"Kau mau datang kan?" Shiori terdengar seperti menantang Maya.

"Maaf Nona Shiori, bukannya saya tidak menghargai undangan Anda tapi sepertinya saya tidak bisa datang."

Wajah Shiori menegang, matanya menatap Maya dengan tajam.

"Sekali lagi maaf." Maya membungkuk memberi hormat.

"Tapi kenapa?" Shiori jelas bingung dengan penolakan Maya. Besar harapannya agar Maya datang dan melihatnya bersanding dengan Masumi.

Maya menghela napas perlahan, mengendalikan gejolak emosinya. "Karena saya sudah tidak berada di Jepang lagi saat pernikahan Anda."

"Benarkah? Eh! Maksudku apa kau akan bepergian atau semacamnya?" Shiori gagal menyembunyikan kegembiraannya. Matanya jelas terlihat berbinar meski berusaha mengubah nada suaranya.

Akting yang buruk, kau lupa siapa yang aktris disini, ejek Maya dalam hati. "Ya dan saya tidak akan kembali untuk waktu yang cukup lama," jawab Maya tenang.

Shiori terlihat begitu senang mengetahui rivalnya akan pergi dalam waktu yang lama. Dia begitu percaya diri untuk bisa memiliki Masumi seutuhnya jika Maya pergi. "Kalau begitu aku permisi dulu, maaf mengganggumu Maya." Shiori beranjak dari duduknya.

Maya tidak menjawab, hanya mengangguk hormat. Baru saja Shiori hendak keluar ruang tengah saat Rei muncul membawa nampan berisi teh.

"Anda sudah mau pulang?" Rei terlihat bingung.

"Iya, maaf aku tidak bisa lama." Shiori tersenyum membuat Rei heran dengan ekspresi kegembiraan yang di tunjukkannya.

"Nona Shiori," panggil Maya. Dia sama sekali tidak beranjak, tetap duduk tenang bersimpuh di atas zabuton.

"Ya?" Shiori menghentikan langkahnya dan berbalik melihat Maya yang masih bergeming di tempatnya.

Akhirnya Maya beranjak lalu mengambil undangan yang tergeletak di meja dan menghampiri Shiori. "Saya tidak memerlukan ini, bawalah kembali," ucapnya dengan manis.

Shiori tampak terkejut. Rei memperhatikan mimik Maya, tahu bahwa sahabatnya kini sedang berakting.

"Cinta dan benci hanya di batasi selumbar yang sangat tipis, jadi anda harus berhati-hati Nona Shiori. Semoga pernikahan Anda terlaksana ... dengan lancar." Maya menekankan dua kata terakhirnya.

Wajah Shiori memucat, lalu dengan cepat mengambil undangan dari tangan Maya. "A-aku tidak tahu apa maksudmu tapi pernikahanku pasti berjalan lancar," desisnya marah dan segera meninggalkan rumah Maya.

Topeng Maya terlepas, kakinya gemetar dan dia langsung terduduk lemas di lantai.

"Maya!" pekik Rei. Maya terisak di balik kedua tangannya. Rei memberikan teh yang tadi dibuatnya untuk Shiori pada Maya. "Maya-,"

"Dia kejam Rei, dia kejam! Dia memaksa Masumi menikahinya. Dia tidak memikirkan perasaan Masumi, betapa tersiksanya Masumi saat ini. Dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindunginya Rei." Maya semakin terisak.

"Tidak Maya, kau sudah melakukan semua yang kau bisa. Tenangkan dirimu, sebentar lagi teman-teman datang. Kau tidak boleh terlihat seperti ini." Perkataan Rei memaksa Maya menghentikan tangisannya, sekali lagi meneguk tehnya.

***
Maya dan teman-temannya tertawa riang di jalan. Mereka baru selesai makan malam dan bersama-sama pulang berjalan kaki menuju stasiun.

"Wah, ternyata sudah malam ya. Karena terlalu gembira kita jadi lupa waktu," kata Mina di sambut obrolan yang lainnya.

Mina, Sayaka dan Taiko berpisah dari Maya dan Rei karena harus naik kereta yang berbeda.

Maya dan Rei berjalan berdua setelah keluar dari stasiun. Keduanya masih serius membahas rencana Maya di Amerika. Tiba-tiba Maya menoleh ke belakang saat keduanya melintasi taman.

"Ada apa Maya?" Rei terkejut.

"Ah, itu, aku merasa ada yang mengikuti kita Rei," kata Maya dengan sedikit takut.

Rei menyapu sekitar dengan pandangan matanya. "Sepi, tidak ada orang. Mungkin hanya perasaanmu saja." Rei menenangkan.

"Ya, mungkin saja tapi rasanya-,"

Terdengar suara pria terkekeh dari kegelapan. "Ternyata instingmu tajam juga ya, tidak heran kau jadi aktris hebat."

Maya dan Rei mematung karena terkejut. Dua orang pria tak dikenal muncul dari dalam gelap. Dengan cepat Rei berdiri didepan Maya.

"Rei-,"

"Tenang Maya, kita harus lari. Dengar aba-abaku dan kita harus lari bersama, mengerti?" gumam Rei sepelan mungkin. Sayangnya rencana tinggalah rencana karena kemudian muncul dua orang lagi dari arah berlawanan.

"Gawat, kita di kepung," desis Rei kesal. Maya dan Rei berjalan mundur perlahan.

"Kalian tidak akan bisa kemana-mana." Seorang pria terkekeh lagi.

"Apa mau kalian!" bentak Maya.

"Kami tidak membawa barang berharga jadi tidak ada yang bisa kalian ambil sekarang," kata Rei yang berdiri di depan Maya. Hal itu mengingatkan Maya pada cincin yang tergantung di lehernya, reflek tangannya membenahi leher mantelnya untuk melindungi kalungnya.

Pria lain terkekeh. "Siapa yang bilang kami mau barang berharga? Kami mau aktris cantik itu. Jadi kau menjauh saja, kau pasti tidak mau melihat pacarmu bersama kami kan? Meski sebenarnya akan sangat mengasyikan." Mereka terbahak.

"Sial!" umpat Rei saat menyadari rencana para penjahat itu. Mereka mengira Rei adalah laki-laki, biasanya itu menyebalkan bagi Rei tapi sekarang justru sebaliknya. "Aku atlet karate terbaik di Tokyo, jadi kalian jangan coba macam-macam," gertak Rei bohong. Maya cukup panik menghadapi kondisi itu, dia berpegangan pada lengan sahabatnya.

Empat orang pria itu kembali tertawa mendengar gertakan Rei. Tidak banyak bicara lagi mereka segera bergerak. Dua orang menyerang Maya dan dua orang lainnya menyerang Rei.

Maya menjerit dan mencoba melawan. Beberapa kali menendang dan sepatunya mengenai tulang kering salah satu pria hingga membuatnya mengaduh keras. Rei juga melakukan perlawanan, tapi tampaknya usaha mereka berdua sia-sia. Keduanya di tarik masuk ke dalam taman, keadaan malam itu terlalu sepi sehingga tidak ada yang mendengar teriakan Maya dan Rei.

Seorang pria memukul Rei hingga dia tersungkur di tanah. Dan Maya menjerit sekeras-kerasnya saat dua orang pria membaringkannya di bangku taman. Memegangi kedua tangan dan kakinya. Maya menjerit semakin keras saat seorang pria lain dengan rakus melepas mantelnya dan merobek bajunya.
"Maya!!" Jerit Rei yang kembali tersungkur di tanah saat seorang lain yang bebas tugas mendorongnya hingga terjatuh.

"Tidak!!!" raung Maya saat tubuh bagian atasnya terbuka. Pria yang memegangi kaki Maya cukup terpukau melihat tubuh gadis mungil itu sehingga cengkramannya di kaki Maya melonggar. Dia segera menyadari dan menendang dada pria itu agar menjauh, membuatnya terjengkang ke tanah. Dan saat dua pria lain terkejut dengan aksinya, Maya kembali menendang selangkangan pria yang berusaha merenggut kehormatannya, pria itu meraung keras.

"Sialan!"

Plaakk! Pria yang memegangi tangan Maya melepaskan cengkramannya dan menampar Maya dengan keras, membuatnya terjatuh dari bangku taman. "Kau sebaiknya diam saja! Aku janji rasanya pasti nikmat! Kami dibayar cuma untuk itu! Jadi tidak usah melawan!" teriak pria itu.

Maya dan Rei terkejut setengah mati.

"Dibayar?! Jadi ini-" Maya bergumam takut, tubuhnya mulai gemetar.

"Sial!" Rei berusaha bangun tapi kepalanya terasa pusing saat mencoba untuk bergerak.

Pria itu kembali menindih tubuh Maya di tanah. Maya yang meronta membuat pria itu menamparnya sekali lagi. Pria lain yang tadi memukul Rei tahu kalau lawannya sudah tidak akan bangkit lagi, dia pun meninggalkan Rei dan bergabung dengan temannya.

Maya masih berusaha meronta meski tenaga mulai habis. Dadanya mulai terasa sesak karena ditindih. Maya tidak terima dengan perlakuan para pria itu. Di tengah keputus asaannya, Maya berteriak dengan sekuat tenaga.

"Tidak!! Masumi!!! Tolong!!!" Alhasil Maya harus menerima tiga tamparan lagi. Tamparan keras yang terakhir mengenai pelipisnya. Maya merasakan telinganya berdenging. Rasa sakit mulai terasa di sekujur tubuhnya. Kesadaran Maya menurun dan pandangannya mengabur. Sesaat telinganya mendengar suara jeritan tapi matanya terasa berat, sampai akhirnya semua menjadi gelap.

***
"Kau tidak apa-apa?" Kuronuma memberikan obat untuk luka memar di wajah Rei. Dia dan Maya sudah di bawa ke sebuah rumah yang Rei tidak tahu di mana.

"Bagaimana Maya?" Rei begitu cemas melihat kondisi Maya.

"Dokter sedang memeriksanya, istriku yang menemaninya. Sebaiknya kau bersihkan dirimu. Aku juga sudah siapkan baju ganti untukmu. Kamar di ujung itu kosong, kau bisa menggunakannya."

Rei menurut saja dengan apa yang di perintahkan Kuronuma, mencoba untuk tetap tenang. Kuronuma menghela napas panjang, memijat sendiri kedua lengannya bergantian. Dia baru saja merobohkan empat preman di taman. Membuat tubuhnya sakit, tapi itu tidak sebanding dengan kemarahan dalam hatinya. Melihat Maya di tindih dan di lecehkan seperti itu membuat nalurinya sebagai seorang ayah bangkit. Dia sudah menganggap Maya sebagai anaknya.

Kuronuma melirik jam tangannya, sudah pukul setengah dua belas malam. Dia terus melihat ke pintu. "Kenapa dia lama sekali," gerutunya. Dan tak lama kemudian suara bel berbunyi, tamu yang ditunggunya sudah datang.

Saat pintu terbuka, Masumi sudah berdiri di sana dengan wajah pucat dan napas memburu. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya.

"Dimana Maya?"

Tiba-tiba terdengar teriakan dari kamar di mana Maya tengah di periksa. Masumi segera berlari masuk menuju sumber suara tanpa mempedulikan Kuronuma. Dengan cepat membuka pintu kamar yang dia yakin adalah kamar Maya. Seketika Masumi terhenyak, begitu juga Kuronuma dan Rei yang berdiri di belakang Masumi.

Maya dengan wajah penuh lebam merah, berteriak dan meronta. Dia baru saja sadar dari pingsannya dan memorinya langsung mengingat jelas kejadian yang baru saja di alaminya.

"Tolong bantu kami," pinta Dokter karena istri Kuronuma tampak kesulitan menahan Maya yang menjerit histeris.

Masumi bergerak cepat. Dia langsung mendekap tubuh Maya dalam pelukannya. Atas perintah dokter Masumi memegangi lengan kiri gadis itu dengan kuat. Hal itu memudahkan dokter menyuntikkan obat penenang pada Maya dan dalam beberapa menit kemudian tubuh Maya terkulai lemas dalam pelukan Masumi.

Hati Masumi hancur melihat kondisi kekasihnya seperti itu. "Apa ini?" tanya Masumi terkejut saat membaringkan Maya, bajunya yang tersingkap memperlihatkan memar di seluruh tubuhnya.

"Maya berusaha melawan saat mereka mencoba-," Rei terdiam, terlalu sakit untuk disebutkan. "Mereka memukuli Maya karena dia tidak mau menurut."

Wajah Masumi mengeras. "Apa yang coba mereka lakukan, Nona Aoki?" kedua tangan Masumi mengepal kuat. Menahan emosi saat pikirannya membayangkan apa yang terjadi pada Maya hingga seluruh tubuh dan wajahnya penuh memar.

Rei terdiam tapi kemudian Kuronuma yang bicara. "Kita bicara nanti, Tuan Masumi."

Mata Masumi berkilat penuh amarah tapi sadar dia ada di tempat yang tidak tepat sekarang. Diapun menghela napas panjang guna menenangkan emosinya. "Bagaimana keadaannya dokter?" tanya Masumi begitu memperoleh kembali ketenangannya. Dia ingin memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja sekarang.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi pada Nona ini. Tidak ada luka serius yang membahayakan. Memarnya akan sembuh dalam beberapa hari. Tapi seperti yang baru saja kita lihat, Nona ini pasti baru saja mengalami kejadian yang membuatnya syok hingga histeris dan ketakutan. Karena itu saya memberinya obat penenang, efeknya bertahan tiga jam. Biarkan dia istirahat dengan tenang malam ini. Besok, pastikan dia makan dengan benar dan jangan biarkan dia sendiri. Temani dia dan buat dia merasa aman. Jika kondisinya memburuk tolong hubungi saya. Tapi saya sangat menyarankan untuk membawanya ke rumah sakit atau berkonsultasi dengan psikolog jika traumanya berkepanjangan."

Semua orang terdiam mencerna penjelasan panjang dari sang dokter. Sampai akhirnya Masumi kembali buka suara. “Saya akan menghubungi Anda jika diperlukan,” ucap Masumi basa-basi. Ekspresinya sedikit melembut. "Terima kasih dokter."

Dokter itu mengangguk. "Saya meresepkan salep untuk memarnya, obat dan vitamin, harus segera di tebus. Kemungkinan dia akan demam malam ini, jika itu terjadi langsung minumkan obatnya." Dokter memberikan secarik kertas pada Masumi.

“Terima kasih, Dokter,” kata Masumi lagi.

"Baiklah, saya permisi dulu, oh ya, siapa yang bertanggung jawab untuk-,"

"Saya dokter, kirimkan saja tagihannya pada saya. Sekretaris saya akan menghubungi Anda nanti." Masumi cepat merespon maksud dokter itu.

"Baiklah, maaf nama anda?"

"Masumi Hayami."

Dan dokter itu hampir saja melompat karena terkejut.

"Anda?!"

"Saya harap Anda bisa menjaga rahasia untuk hal ini Dokter. Saya akan sangat menghargai itu."

"Oh, baiklah Tuan Hayami. Anda bisa segera menghubungi saya jika terjadi sesuatu pada teman Anda ini."

Ekspresi Masumi kembali mengeras. "Dia bukan teman saya, Dokter."

Sang dokter menatap Masumi heran.

"Dia calon istri saya."

Semua yang ada di ruangan itu terkejut, meski keterkejutan Rei sedikit berbeda. Dia hanya tidak menyangka Masumi akan bereaksi se-impulsif itu.

Dokter itu kembali hanya mengangguk. Dia juga tidak mau ikut campur masalah orang lain. "Baiklah, saya permisi," katanya kemudian. Istri Kuronuma yang mengantarnya ke depan.

***
Masumi duduk di tepi tempat tidur Maya. Dia diam seribu bahasa, mengabaikan keberadaan Kuronuma dan Rei. Dengan hati-hati Masumi merapikan baju dan selimut Maya, tidak berani menyentuh tubuh gadis itu mengingat semua memar yang mungkin akan membuat kekasihnya kesakitan. Ekspresi dingin pada wajahnya menggambarkan betapa marahnya dia saat ini.

"Apakah tidak apa-apa Anda berkata seperti itu pada Dokter?" tanya Kuronuma.

"Saya hanya ingin dia tahu betapa pentingnya ini. Beruntung katanya? Dengan semua memar ini? Dokter itu harus di ajari apa arti beruntung sebenarnya."

Kuronuma menghela napas panjang, dia masih tidak percaya pada apa yang Masumi katakan.

Masumi mengalihkan perhatiannya pada Kuronuma dan Rei. "Ceritakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi."

"Mereka mencoba memperkosa Maya." Kuronuma tidak basa-basi lagi.

"Memperkosa?!" Bayangan pria yang menyentuh Maya membuat amarah Masumi memuncak ke tingkat yang paling tinggi.

Kemudian Rei menceritakan semuanya, begitu juga Kuronuma. Ternyata dia datang ke rumah Maya untuk berbicara masalah keberangkatannya ke Amerika. Tapi karena sampai malam di tunggu Maya tidak kunjung datang maka Kuronuma memutuskan untuk pulang. Saat melewati taman dia mendengar suara jeritan. Awalnya dia tidak tahu itu Maya. Tapi saat dia menuju sumber suara dan mendengar Maya memanggil Masumi, instingnya memerintah untuknya bergerak cepat. Benar saja, dia menemukan Maya dan Rei sudah tidak berdaya. Dengan penuh emosi dia menghajar para preman itu.

Amarah Masumi tak terbendung lagi. Terlebih saat mendengar bahwa para preman itu dibayar. "Temukan mereka,” perintah Masumi melalui telepon pada entah siapa di seberang sana. Andai Maya tidak dalam kondisi sakit, mungkin Masumi akan langsung mencari sendiri para preman itu. Beberapa saat dia terdiam mendengar lawan bicaranya. “Jangan! Buat mereka bicara siapa yang membayarnya dan tunggu sampai aku datang. Aku sendiri yang akan membereskan mereka." Masumi mengakhiri teleponnya.

Rei sampai bergidik melihat Masumi. Rei ragu keempat preman itu akan selamat. Kuronuma sendiri hanya diam, mencoba membaca setiap reaksi Masumi hingga suara bel pintu mengalihkan perhatiannya.

"Itu tamuku," kata Masumi cepat.

"Heh?!" Kuronuma mendengus kesal. Ini kan rumahku? gerutunya dalam hati. Meski begitu dia berusaha memahami semua tindakan di luar logika Masumi. Ternyata Maya memiliki pengaruh yang cukup besar pada direktur yang terkenal dingin itu. Tidak heran Maya memilih untuk pergi demi menyelesaikan semua masalahnya.

Sementara itu di ruang tamu, Masumi memberikan resep obat pada Hijiri dan meminta dia mengurus semuanya. Setelah selesai, dia kembali ke kamar Maya. Sifat posesif membuatnya kembali duduk di tepi tempat tidur Maya. Tidak mau meninggalkan kekasihnya sendiri.

"Maaf Tuan Kuronuma, bolehkah saya menginap? Saya ingin menemani Maya malam ini. Besok pagi saya akan segera membawa Maya pulang." Masumi membungkuk hormat, membuat Kuronuma salah tingkah.

"Ah-eh-iya, silakan saja. Maya sudah seperti anakku jadi dia boleh tinggal dan Anda juga."

"Terima kasih." Senyum tulus Masumi mengembang.

Kuronuma semakin mengerti betapa berharga Maya bagi Masumi hingga dia bisa tersenyum seperti itu hanya untuk mengucapkan terima kasih. Masumi pun kembali duduk di tepi tempat tidur Maya, diam. Akhirnya, Kuronuma dan Rei meninggalkan kamar dan membiarkan Masumi menjaganya.

Hampir pukul dua pagi saat Hijiri kembali membawa obat dan sebuah tas besar berisi pakaian Maya dan Masumi, juga beberapa perlengkapan mereka. Kuronuma berdecak kagum melihat kinerja anak buah Masumi yang begitu loyal dan tidak mengenal waktu.

Setelah mengganti pakaiannya Masumi kembali ke kamar Maya. Melihat Rei sedang mengompres Maya, Masumi langsung tahu kekasihnya mulai demam.

Dia pun duduk di sisi lain tempat tidur, memandang sendu wajah Maya yang penuh lebam merah, sebagian bahkan mulai membiru.

"Kenapa sampai seperti ini?" Masumi membelai pipi Maya dengan hati-hati.

"Mereka terus menamparnya karena Maya melawan dan berteriak." Rei terlihat sedih.

"Apa kau baik-baik saja, Nona Aoki?"

Rei cukup terkejut saat Masumi menanyakan keadaannya. Dia mulai mengerti apa yang di maksud Maya. Masumi memang orang yang berbeda jika tidak menyangkut pekerjaan.

"Saya baik-baik saja. Mereka mengira saya laki-laki, jadi mereka hanya memukul saya dua kali tapi Maya-,"

Masumi terdiam, di balik wajah tenangnya ada badai yang tengah mengamuk di dalam hati. Rei mengganti kompres Maya.

"Dia demam."

"Iya dan saya tidak tahu bagaimana cara meminumkan obatnya? Saya takut Maya tersedak karena menurut petunjuk dia harus meminum setengah isi botol." Rei meraih botol obat Maya, memikirkan cara terbaik meminumkannya. Jika pakai sendok maka perlu beberapa kali suapan.

"Berikan padaku," kata Masumi kemudian.

Rei memberikan botol obat pada Masumi, mencoba menebak apa yang akan di lakukan sang direktur pada sahabatnya. Beberapa menit kemudian, mata Rei membulat saat Masumi meneguk setengah isi botol lalu meminumkannya pada Maya langsung dengan mulutnya. Masumi batuk berapa kali setelah selesai meminumkan seluruh obatnya. Rei merespon cepat dan memberikan segelas air padanya.

"Terima kasih, maaf kalau caraku tidak sopan."

"Eh-oh-iya, saya mengerti." Rei tergagap malu, sejenak kemudian Rei tertegun.

"Ada apa?" Masumi merasakan ada yang salah pada ekspresi Rei.

"Ng, maaf saya tidak tahu ini ada hubungannya atau tidak tapi siang tadi tunangan Anda, Nona Takamiya, datang menemui Maya."

"Shiori?" desis Masumi menahan marah. Nama itu menjawab sebagian besar pertanyaan di benaknya. 

"Jadi begitu ya." Ketidak mampuannya menyelesaikan masalah dengan Shiori kembali membawa petaka bagi Maya.

"Awalnya saya menentang kepergian Maya, tapi sekarang saya mengerti. Terlalu berbahaya baginya berada di Jepang. Saya kagum Maya bisa memutuskan hal bijak seperti itu."

Masumi terdiam. Pikirannya terus mendakwa meski sadar kalau semua yang terjadi di luar kendalinya. Tetap saja Masumi merasa menjadi sumber dari semua masalah rumit ini. Melihat Masumi yang sepertinya banyak pikiran, Rei pun keluar dan meninggalkannya menjaga Maya.

"Sayang, maafkan aku." Perlahan Masumi membuka selimut dan piyama Maya, memeriksa dengan seksama tubuh kekasihnya. Dia mengamati beberapa memar di sekitar tulang iga lalu di perut, bahu kanan dan lengan kirinya. Setelah memastikan semuanya Masumi kembali merapikan pakaian Maya. Kedua pegelangan tangan Maya merah begitu juga dengan kedua pergelangan kakinya. Masumi mencium bagian dalam pergelangan tangan kekasihnya bergantian. Air matanya mendesak keluar, sekuat tenaga dia menahannya. Wajah penuh lebam Maya membuatnya merasa tak layak untuk menangis.

"Maafkan aku." Dengan lembut mengecup kening dan bibir Maya.

***
"Batalkan semuanya."

"Tapi Tuan-."

"Dengarkan perintahku, Mizuki. Sampai Maya berangkat aku tidak akan meninggalkannya. Kali ini aku akan mengambil semua resikonya. Setelah Maya pergi kau bisa menyiksaku dengan semua pekerjaan itu tapi dua hari ini, aku mohon kosongkan semua jadwalku. Batalkan semua pertemuan dan rapat. Katakan bahwa aku di luar kota."

Mizuki terpaku di tempatnya. Pagi-pagi sekali dia diminta datang ke rumah Kuronuma. Dia terkejut karena setelah sekian lama, bahkan bertahun-tahun lamanya, baru sekali ini Masumi tidak menutupi perasaannya pada Maya. Meski berisiko tapi Mizuki sangat mengerti perasaan atasannya itu, sudah terlalu lama dia melihat Masumi tersiksa. Dan kali ini dia bertekad membantu, terlebih lagi permohonan Maya padanya waktu itu. Mizuki jelas begitu setia pada Masumi.

"Baiklah Tuan Masumi, saya akan mengatur semua jadwal fiktif anda ke luar kota. Tapi sebaiknya anda ikuti saran saya, bawalah Maya ke tempat yang lebih aman. Saya takut ini hanyalah awal. Saya tahu anda sudah mencurigai orang yang ada di balik ini semua, begitupun saya. Dan kita sama-sama tahu orang itu memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar. Jadi, jika anda bersedia saya akan siapkan semuanya," kata Mizuki.

Sejenak Masumi tertegun, memikirkan saran dari sekretarisnya. "Baiklah, terima kasih. Maaf merepotkanmu, Mizuki."

Mizuki mengangguk sopan. "Tidak masalah, Tuan Masumi. Saya senang karena akhirnya Anda bisa memutuskan hal baik untuk hidup Anda."

Kuronuma dan Rei yang ternyata menguping pembicaraan mereka langsung menjauh dari pintu begitu mendengar langkah kaki Mizuki. Keduanya pura-pura mengobrol. Sekretaris cantik itu hanya tersenyum melihat tingkah mereka.

"Terima kasih, Tuan Kuronuma. Maaf sudah merepotkan Anda." Mizuki membungkuk memberi hormat.

Kuronuma mengangguk saja menjawabnya. "Sepertinya ini akan menjadi perang yang cukup panjang, Nona Mizuki,” komentarnya.

"Ternyata Anda juga sangat paham dengan masalah ini," jawab Mizuki seraya mengulas senyum tipis.

"Ya, perasaanku memang tidak peka untuk memahami kisah cinta rumit ini, tapi setidaknya aku tahu inti permasalahannya, Bidadari Merah." Kuronuma menggaruk kepalanya dengan ekspesi kesal.

"Ya, sebuah naskah drama yang justru terwujud di dunia nyata, sungguh ironis sekali." Raut wajah Mizuki berubah serius, begitu juga dengan Kuronuma dan Rei.

***
Lenguhan lirih terdengar. Masumi, Kuronuma juga Rei tampak lega begitu Maya mulai membuka matanya. Sejak pagi ketiganya bergantian menjaga Maya.

"Ma-sumi-," panggil Maya begitu melihat sosok pria yang duduk di tepi tempat tidurnya.

"Aku disini sayang." Masumi langsung menggenggam lembut tangan Maya, menunjukkan keberadannya.

Beberapa saat mereka membiarkan Maya terdiam. Gadis itu pasti tengah mengingat kejadian semalam. Benar saja, tak lama kemudian wajah Maya tampak ketakutan.

"Me-reka, mereka, para pria itu-,"

Masumi mengeratkan genggaman tangannya dan mengusap wajah Maya perlahan. Berusaha menenangkannya. "Tidak apa-apa, Maya. Mereka sudah pergi. Kau aman, kau aman bersamaku sekarang," ucap Masumi sembari terus membelai lembut wajah Maya. Kuronuma dan Rei hanya bisa mengamati keduanya dengan tatapan sedih.

Maya memandang lemah Masumi, gurat ketakutan tergambar jelas di wajah gadis mungil yang kini di penuhi lebam merah yang bahkan mulai membiru. "A-apa-pakah aku?-,"

Masumi tersentak, dia tahu apa yang ingin di katakan kekasihnya. Tak tahan melihat Maya ketakutan, diapun memeluk tubuh mungil itu hati-hati. "Tidak sayang," bisik Masumi ditelinga Maya.

Maya memejamkan mata dan membiarkan kelegaan menjalari hatinya. Sungguh dia sangat takut dengan bayangan yang melintas di dalam kepalanya. "Syukurlah," desah Maya lega begitu Masumi melepaskan pelukannya.

“Jangan kau ingat lagi,” kata Masumi kemudian.

"Aku takut,” lirih Maya.

“Aku di sini, jangan takut,” jawab Masumi meyakinkan.

Maya menggeleng pelan. “Aku akan sangat menyakitimu jika itu terjadi. Aku pasti tidak pantas untukmu."

Hati Masumi justru sakit mendengar itu. Kuronuma dan Rei bahkan menggeleng tak percaya dengan pemikiran polos Maya. Dengan langkah lebar Rei menghampiri Maya dan duduk di sisi lain tempat tidur.

"Maya-." Rei kemudian memeluk sahabat yang sudah dianggapnya sebagai adik itu.

Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Saat nyawamu terancam, kau justru memikirkan kehormatan yang ingin kau berikan pada Masumi? Tidakkah nyawamu itu berharga? Batin Kuronuma tidak setuju dengan pemikiran Maya.

Masumi semakin tak berdaya melihatnya. "Berhentilah berpikir konyol sayang, nyawamu jauh lebih berharga. Aku mencintaimu, apapun keadaanmu,” kata Masumi begitu Rei melepaskan pelukannya. Dia lalu mencium punggung tangan Maya, merasa putus asa dengan ucapan kekasihnya.

Maya menatap Rei dengan mata sayunya. “Kau baik-baik saja?”

Rei mengangguk. “Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku.”

Seulas senyum tipis mengembang di bibir pucat Maya. Dia pun mengalihkan perhatiannya pada Masumi. Perlahan tangannya meraih wajah Masumi. "Kau juga pasti akan melakukan hal yang sama denganku kan? Kau hanya milikku dan aku hanya milikmu."

"Iya, Maya. Akan aku pastikan kalau aku hanya milikmu," jawab Masumi seraya memberikan kecupan di kening kekasihnya.

Pernyataan keduanya membuat Kuronuma jengah. Bukan tidak suka dengan keposesifan mereka tapi karena takdir sudah begitu kejam mempermainkan mereka. Handphone Masumi yang berdering mengejutkan semuanya.

"Masumi-,” jawab Masumi datar tapi sedetik kemudian raut wajahnya berubah serius. “Apa?! Baik, tidak, jangan mobil. Siapkan taksi saja, aku akan bersiap, terima kasih." wajah Masumi masih tegang saat menutup teleponnya.

"Ada apa?" Kuronuma tahu kalau sesuatu sudah terjadi.

"Ada orang datang ke rumah Maya dan merusak semuanya. Lalu beberapa orang mencurigakan terlihat di sekitar Daito dan Kids Studio. Mereka jelas mencari Maya, kita harus pergi dari sini."

Tak ada yang menduga kalau keadaannya menjadi segawat itu. Semua orang langsung tampak khawatir.

"Argh!!" Maya mengerang ketika mencoba untuk bangun.

"Tetap di tempatmu sayang," Masumi memperingatkan Maya. Dengan cepat dia membereskan obat dan baju ganti Maya ke dalam tas besar.

Rei pun tidak tinggal diam, dia bergegas membereskan barangnya. Kurang dari lima belas menit semuanya sudah berkumpul di ruang tamu. Maya meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya saat meringkuk dalam gendongan Masumi.

"Taksinya sudah datang," kata istri Kuronuma.

"Baiklah, Nona Aoki, kita pergi sekarang. Terima kasih untuk segalanya Tuan Kuronuma." Masumi mengangguk hormat sementara Rei membungkukkan tubuhnya. Maya sendiri hanya mampu tersenyum menatap sang sutradara yang sudah seperti ayahnya itu.

"Hati-hati Tuan Masumi. Tolong kabari saya jika terjadi sesuatu." Kuronuma sendiri tampak masih khawatir dengan kepergian mereka.

"Tentu. Oh ya, saya meninggalkan handphone di meja kamar Maya untuk anda. Kabari saya jika ada orang yang mencurigakan menemui Anda dan bertanya tentang Maya," kata Masumi yang jelas membuat Kuronuma terkejut.

"Eh?! Handphone?"

Mengabaikan keterkejutan Kuronuma, Masumi kembali mengangguk hormat lalu meninggalkan rumah bersama Rei.

***
Masumi merengkuh tubuh Maya dengan hati-hati. Namun kekasihnya itu masih mengerang saat mobil bergoncang cukup keras. Meski berada di pangkuan Masumi tetap saja tubuhnya merasa sakit. Masumi sendiri sampai menahan napas mendengar erangan kekasihnya. Rei yang duduk di depan meminta sopir untuk lebih berhati-hati.

"Kau masih kuat kan?" bisik Masumi.

Maya mengangguk pelan, lalu tersenyum tapi kemudian kembali mengernyit kesakitan saat luka memarnya berdenyut-denyut tersentuh tangan Masumi.

Masumi terlihat begitu putus asa. "Maafkan aku," bisiknya lagi.

Masumi dan Rei bersyukur saat Maya akhirnya tertidur sepanjang sisa perjalanan. Mereka pergi keluar Tokyo, Mizuki menyewa sebuah apartemen dengan identitas palsu, tidak jauh dari bandara Narita. Karena jadwal penerbangan Maya malam hari, maka akan lebih baik jika mereka tinggal tidak terlalu jauh. Mizuki juga membawa barang-barang Maya yang bisa di selamatkan dan mengepaknya dalam dua koper besar, tentu saja di tambah dengan beberapa barang baru yang di beli sesuai perintah Masumi.

Maya masih tertidur ketika mereka sampai di apartemen. Masumi membaringkan Maya perlahan di atas tempat tidur.

"Saya masih sulit percaya bahwa Anda mencintai Maya, Tuan Masumi." Rei tidak lagi terlihat sungkan dengan Masumi. Melihat pria itu menyayangi Maya, membuatnya menepis semua pandangan buruknya tentang sang direktur. Masumi hanya tersenyum. "Dia juga begitu mencintai anda ."

"Aku tahu. Dia bahkan lebih berani di bandingkan aku," kata Masumi lirih.

"Anda hanya ingin dia aman. Dari awal Anda sudah tahu kalau hal ini pasti terjadi bukan?"

"Tapi Maya jauh lebih pintar dan berani menghadapi semua resikonya. Dengan tubuh kecil ini, aku bahkan tak percaya dia bisa menghadapi semuanya."

"Maya kuat Tuan Masumi, percayalah."

"Aku percaya, Nona Aoki. Untuk itu aku akan menunggunya."

Keduanya sekarang terdiam. Merenungi semua yang telah terjadi.

***

>>Bersambung<<


Follow me on
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

3 Comments

  1. Sukaaaa... makasih uda share fanfict ini....

    ReplyDelete
  2. Trima kasih banyak ya mba....seneng bngt bacanya. Mengobati rasa penasaran kelanjutannya.

    ReplyDelete
  3. Trima kasih banyak ya mba....seneng bngt bacanya. Mengobati rasa penasaran kelanjutannya.

    ReplyDelete