Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary
: Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta
dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi
semua itu? Bukan hanya impiannya yang di pertaruhkan tapi juga kehidupan orang
terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan
mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk
menemukan jalannya.
*********************************************************************************
"Kyaa!
Kyaa!" Maya berteriak senang saat Masumi mengejarnya, berlarian di pantai
pasir putih. Memercikkan air ke arah Masumi untuk menghalaunya mendekat.
"Itu
tidak akan cukup Maya, bahkan badai pun tidak sanggup menghalangiku untuk
datang padamu," kata Masumi.
Maya
terbahak. Terlintas memori saat Masumi datang di tengah badai untuk melihat
pentas Forgotten Wilderness, aktingnya sebagai Jane. Ya, malam itu, yang Masumi
tidak tahu menjadi titik balik dalam kehidupan Maya. Karena apa yang terjadi di
malam itu membuat Maya tahu tentang kebenaran mawar ungu dan menyadari
perasaannya pada Masumi.
"Nah,
tertangkap!" Masumi berhasil menangkap Maya. "Tidak seru kalau kau
tidak berlari," bisik Masumi yang tahu kalau Maya sedang melamun.
Maya
terkikik, "Kalau begitu kejar aku lagi." Melepaskan dekapan Masumi
dan Maya kembali berlari sepanjang pantai.
"Kyaa!!
Kyaa!!"
***
"Hei
bangun Maya."
"Uhhmm."
Maya hanya menggeliat panjang di atas futonnya. "Masih pagi Rei,"
katanya malas tanpa membuka mata.
"Pagi?!
Buka matamu Maya? Ini sudah jam sembilan."
"Oh?"
Maya membuka mata, matahari sudah terang dan sinarnya memenuhi kamar. Dia
mendesah pelan lalu tersenyum, teringat mimpinya. Kemarin dia masih berlarian
di pantai bersama Masumi tapi sekarang dia sudah bangun di atas futon dan ... sendiri.
"Masih
di Izu?" goda Rei saat melihat Maya senyum-senyum sendiri.
"Eh?!"
Maya tersipu.
Rei
menarik napas panjang. "Aku masih sulit percaya kalau kau dan Tuan Masumi
adalah sepasang kekasih." Rei berbisik diakhir kalimatnya, takut
kalau-kalau ada yang mendengar, padahal kenyataannya mereka hanya berdua di
kamar. Dia teringat pesan Masumi saat mengantar Maya tengah malam tadi untuk
tidak menyebutkan apapun tentang hubungan mereka dan meminta Rei untuk membantu
mengawasi Maya sampai keberangkatannya ke Amerika.
Maya
hanya terkikik geli. Aku pun masih merasa
ini seperti mimpi, gumam Maya dalam hati.
"Apa
yang kalian berdua lakukan di Izu?" Mata Rei menatap Maya penuh selidik
lalu menyunggingkan senyum licik.
Maya
terbahak. "Kupikir ada baiknya juga kalau aku punya sedikit rahasia
darimu, Rei."
"Ah,
kau menyebalkan, Maya. Tapi sepertinya aku bisa menebaknya." Rei
mengetukkan jari ke bibir dengan lucu lalu melihat ke arah jari manis Maya.
"Cincin itu buktinya, dia sudah melamarmu kan?"
Maya
tersenyum lalu bangun dari futon. Dengan cepat meraih tasnya dan mengambil
kotak kecil dari dalamnya.
"Apa
itu?"
"Hadiah
dari Masumi." Maya membuka kotaknya dan mengeluarkan rantai kalung dari
emas putih.
"Kalung?
Kau langsung punya banyak koleksi perhiasan, Maya." Candaan Rei membuat
Maya cemberut.
Rei
terkikik. "Maaf, aku tahu kau bukan gadis seperti itu."
Maya
membuka kaitan kalungnya lalu melepas cincinnya.
"Eh?!"
Rei bingung saat Maya menggunakan cincinnya sebagai liontin kalung lalu
menggantungkannya di leher.
"Aku
tidak bisa memperlihatkannya sekarang." Maya terdengar sedih saat
mengatakannya dan Rei mengerti. Status Masumi yang masih sebagai tunangan
Shiori tidak memungkinkan Maya untuk menyatakan perasaannya secara terbuka.
Apalagi hari pernikahan Masumi dan Shiori semakin dekat. Pemberitaan soal gosip
Shiori yang mencoba bunuh diri di tampik habis-habisan oleh keluarga Takamiya
bahkan penerbit majalah gosip itu terancam bangkrut.
Dia
jadi tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika mereka tahu bahwa Masumi
dan Maya saling mencintai. Saat ini hanya dirinya yang tahu kalau Masumi sudah
melamar Maya.
Rei
tersenyum. "Cepatlah mandi, kau kan harus segera mengemasi semua
barangmu." Dia mengalihkan perhatian Maya agar tidak terlalu sedih
memikirkan masalahnya. Miris rasanya melihat si kecil Maya harus menanggung
beban begitu berat dalam hidupnya.
"Iya."
Maya pun segera bangun dan membereskan futonnya.
***
Pukul
dua siang Maya baru selesai mengemasi semua barangnya. Acara kemas-kemas itu
cepat selesai karena Rei yang membantunya. Ah, Maya tidak terlalu ahli dalam
hal ini. Keduanya kini sedang asik mengobrol sambil menunggu Sayaka, Taiko dan
Mina. Mereka berencana untuk jalan-jalan dan makan malam sebagai pesta perpisahan
sebelum keberangkatan Maya.
Hanya
teman-teman dekat Maya yang tahu tentang rencana kepergiannya ke Amerika.
Semuanya terkejut mendengar Maya akan pergi, terlebih lagi Koji. Dia terlihat
tidak suka dengan keputusan sahabat sekaligus gadis terkasihnya itu. Terkecuali
Kuronuma. Pria yang sudah menganggap Maya sebagai anak itu tahu betul alasan
kepergian aktris pemegang hak pementasan Bidadari Merah. Tanpa di beritahu, dia
mengerti sepenuhnya apa yang terjadi antara Maya dan Masumi, juga masalah
antara Mayuko dan Eisuke.
Hanya
saja Kuronuma merasa sedikit kecewa karena tidak menyangka Maya akan menunda
pementasan sampai tiga tahun dan memilih untuk menyelesaikan semuanya sendiri.
Padahal dia lebih dari bersedia untuk membantu Maya. Alhasil Kuronuma hanya bisa
diam dan mencoba memahami keputusan anak didiknya.
Sebuah
mobil mewah berhenti di depan rumah Maya. Saat akan membuka pintu, Rei mengira
itu Masumi meski Maya yakin bukan. Dan benar saja, wajah Rei masam saat kembali
ke ruang tengah bersama seorang tamu. Melihat siapa yang datang membuat Maya
mendengus kesal dalam hati.
"Silakan
duduk Nona Takamiya, saya akan buatkan teh untuk Anda." Rei dengan sopan
mempersilakan Shiori duduk di atas zabuton, di depan Maya, sementara dengan
alasan membuat teh Rei memberikan privasi pada keduanya. Hati Rei berdegub
kencang karena kedatangan Shiori, takut kalau hubungan Maya dan Masumi
terbongkar.
"Maaf
kalau kedatanganku mengejutkanmu Maya," Shiori mulai membuka percakapan
diantara mereka karena melihat Maya enggan bicara selain hanya menyapanya.
"Ya,
sedikit mengejutkan. Apa ada yang penting sampai Anda bersedia datang ke tempat
sederhana ini Nona Shiori?" Maya kembali memakai topengnya. Dia tahu
dirinya tidak akan sanggup menghadapi Shiori sebagai seorang Maya. Tapi dengan
memilih peran yang baik dia yakin bisa. Kemampuan akting Maya tidak boleh
diragukan.
Shiori
tertawa sopan tapi bagi Maya lebih terdengar seperti ejekan. "Aku hanya
ingin memberikan ini padamu." Shiori mengeluarkan sesuatu dari dalam tas
lalu meletakkannya di meja, di depan Maya. Dan hati Maya tersayat dalam,
berusaha sekuat tenaga agar topengnya tidak terlepas.
"Jadi
Anda mengundang saya ke acara pernikahan Anda dan Tuan Masumi?" Maya
terdengar tenang meski sekarang hatinya meraung-raung karena marah.
"Iya,
Masumi yang memintaku mengundangmu. Bagi Daito Bidadari merah sangatlah
penting. Jadi aku mohon kau bisa hadir sebagai tamu kehormatan kami," ucap
Shiori penuh percaya diri.
Masumi yang memintamu? Kau pasti
akan melompat dari gedung kantormu yang tinggi itu jika tahu kenyataan yang
sebenarnya Shiori, batin Maya kesal.
"Maya?"
"Ah,
maaf," Maya cepat-cepat mengembalikan konsentrasinya.
"Kau
mau datang kan?" Shiori terdengar seperti menantang Maya.
"Maaf
Nona Shiori, bukannya saya tidak menghargai undangan Anda tapi sepertinya saya
tidak bisa datang."
Wajah
Shiori menegang, matanya menatap Maya dengan tajam.
"Sekali
lagi maaf." Maya membungkuk memberi hormat.
"Tapi
kenapa?" Shiori jelas bingung dengan penolakan Maya. Besar harapannya agar
Maya datang dan melihatnya bersanding dengan Masumi.
Maya
menghela napas perlahan, mengendalikan gejolak emosinya. "Karena saya
sudah tidak berada di Jepang lagi saat pernikahan Anda."
"Benarkah?
Eh! Maksudku apa kau akan bepergian atau semacamnya?" Shiori gagal
menyembunyikan kegembiraannya. Matanya jelas terlihat berbinar meski berusaha
mengubah nada suaranya.
Akting yang buruk, kau lupa siapa
yang aktris disini, ejek Maya dalam hati. "Ya
dan saya tidak akan kembali untuk waktu yang cukup lama," jawab Maya tenang.
Shiori
terlihat begitu senang mengetahui rivalnya akan pergi dalam waktu yang lama.
Dia begitu percaya diri untuk bisa memiliki Masumi seutuhnya jika Maya pergi. "Kalau
begitu aku permisi dulu, maaf mengganggumu Maya." Shiori beranjak dari
duduknya.
Maya
tidak menjawab, hanya mengangguk hormat. Baru saja Shiori hendak keluar ruang
tengah saat Rei muncul membawa nampan berisi teh.
"Anda
sudah mau pulang?" Rei terlihat bingung.
"Iya,
maaf aku tidak bisa lama." Shiori tersenyum membuat Rei heran dengan ekspresi
kegembiraan yang di tunjukkannya.
"Nona
Shiori," panggil Maya. Dia sama sekali tidak beranjak, tetap duduk tenang
bersimpuh di atas zabuton.
"Ya?"
Shiori menghentikan langkahnya dan berbalik melihat Maya yang masih bergeming di
tempatnya.
Akhirnya
Maya beranjak lalu mengambil undangan yang tergeletak di meja dan menghampiri
Shiori. "Saya tidak memerlukan ini, bawalah kembali," ucapnya dengan
manis.
Shiori
tampak terkejut. Rei memperhatikan mimik Maya, tahu bahwa sahabatnya kini
sedang berakting.
"Cinta
dan benci hanya di batasi selumbar yang sangat tipis, jadi anda harus
berhati-hati Nona Shiori. Semoga pernikahan Anda terlaksana ... dengan lancar."
Maya menekankan dua kata terakhirnya.
Wajah
Shiori memucat, lalu dengan cepat mengambil undangan dari tangan Maya. "A-aku
tidak tahu apa maksudmu tapi pernikahanku pasti berjalan lancar," desisnya
marah dan segera meninggalkan rumah Maya.
Topeng
Maya terlepas, kakinya gemetar dan dia langsung terduduk lemas di lantai.
"Maya!"
pekik Rei. Maya terisak di balik kedua tangannya. Rei memberikan teh yang tadi
dibuatnya untuk Shiori pada Maya. "Maya-,"
"Dia
kejam Rei, dia kejam! Dia memaksa Masumi menikahinya. Dia tidak memikirkan
perasaan Masumi, betapa tersiksanya Masumi saat ini. Dan aku tidak bisa
melakukan apa-apa untuk melindunginya Rei." Maya semakin terisak.
"Tidak
Maya, kau sudah melakukan semua yang kau bisa. Tenangkan dirimu, sebentar lagi
teman-teman datang. Kau tidak boleh terlihat seperti ini." Perkataan Rei
memaksa Maya menghentikan tangisannya, sekali lagi meneguk tehnya.
***
Maya
dan teman-temannya tertawa riang di jalan. Mereka baru selesai makan malam dan
bersama-sama pulang berjalan kaki menuju stasiun.
"Wah,
ternyata sudah malam ya. Karena terlalu gembira kita jadi lupa waktu,"
kata Mina di sambut obrolan yang lainnya.
Mina,
Sayaka dan Taiko berpisah dari Maya dan Rei karena harus naik kereta yang
berbeda.
Maya dan Rei berjalan berdua setelah keluar dari stasiun. Keduanya masih serius membahas rencana Maya di Amerika. Tiba-tiba Maya menoleh ke belakang saat keduanya melintasi taman.
"Ada
apa Maya?" Rei terkejut.
"Ah,
itu, aku merasa ada yang mengikuti kita Rei," kata Maya dengan sedikit
takut.
Rei
menyapu sekitar dengan pandangan matanya. "Sepi, tidak ada orang. Mungkin
hanya perasaanmu saja." Rei menenangkan.
"Ya,
mungkin saja tapi rasanya-,"
Terdengar
suara pria terkekeh dari kegelapan. "Ternyata instingmu tajam juga ya,
tidak heran kau jadi aktris hebat."
Maya
dan Rei mematung karena terkejut. Dua orang pria tak dikenal muncul dari dalam gelap.
Dengan cepat Rei berdiri didepan Maya.
"Rei-,"
"Tenang Maya, kita harus lari. Dengar aba-abaku dan kita harus lari bersama, mengerti?" gumam Rei sepelan mungkin. Sayangnya rencana tinggalah rencana karena kemudian muncul dua orang lagi dari arah berlawanan.
"Gawat,
kita di kepung," desis Rei kesal. Maya dan Rei berjalan mundur perlahan.
"Kalian
tidak akan bisa kemana-mana." Seorang pria terkekeh lagi.
"Apa
mau kalian!" bentak Maya.
"Kami
tidak membawa barang berharga jadi tidak ada yang bisa kalian ambil
sekarang," kata Rei yang berdiri di depan Maya. Hal itu mengingatkan Maya
pada cincin yang tergantung di lehernya, reflek tangannya membenahi leher
mantelnya untuk melindungi kalungnya.
Pria
lain terkekeh. "Siapa yang bilang kami mau barang berharga? Kami mau
aktris cantik itu. Jadi kau menjauh saja, kau pasti tidak mau melihat pacarmu
bersama kami kan? Meski sebenarnya akan sangat mengasyikan." Mereka
terbahak.
"Sial!"
umpat Rei saat menyadari rencana para penjahat itu. Mereka mengira Rei adalah
laki-laki, biasanya itu menyebalkan bagi Rei tapi sekarang justru sebaliknya.
"Aku atlet karate terbaik di Tokyo, jadi kalian jangan coba
macam-macam," gertak Rei bohong. Maya cukup panik menghadapi kondisi itu,
dia berpegangan pada lengan sahabatnya.
Empat
orang pria itu kembali tertawa mendengar gertakan Rei. Tidak banyak bicara lagi
mereka segera bergerak. Dua orang menyerang Maya dan dua orang lainnya
menyerang Rei.
Maya
menjerit dan mencoba melawan. Beberapa kali menendang dan sepatunya mengenai tulang
kering salah satu pria hingga membuatnya mengaduh keras. Rei juga melakukan
perlawanan, tapi tampaknya usaha mereka berdua sia-sia. Keduanya di tarik masuk
ke dalam taman, keadaan malam itu terlalu sepi sehingga tidak ada yang
mendengar teriakan Maya dan Rei.
Seorang
pria memukul Rei hingga dia tersungkur di tanah. Dan Maya menjerit
sekeras-kerasnya saat dua orang pria membaringkannya di bangku taman. Memegangi
kedua tangan dan kakinya. Maya menjerit semakin keras saat seorang pria lain
dengan rakus melepas mantelnya dan merobek bajunya.
"Maya!!"
Jerit Rei yang kembali tersungkur di tanah saat seorang lain yang bebas tugas
mendorongnya hingga terjatuh.
"Tidak!!!"
raung Maya saat tubuh bagian atasnya terbuka. Pria yang memegangi kaki Maya cukup
terpukau melihat tubuh gadis mungil itu sehingga cengkramannya di kaki Maya
melonggar. Dia segera menyadari dan menendang dada pria itu agar menjauh,
membuatnya terjengkang ke tanah. Dan saat dua pria lain terkejut dengan aksinya,
Maya kembali menendang selangkangan pria yang berusaha merenggut kehormatannya,
pria itu meraung keras.
"Sialan!"
Plaakk!
Pria yang memegangi tangan Maya melepaskan cengkramannya dan menampar Maya
dengan keras, membuatnya terjatuh dari bangku taman. "Kau sebaiknya diam
saja! Aku janji rasanya pasti nikmat! Kami dibayar cuma untuk itu! Jadi tidak
usah melawan!" teriak pria itu.
Maya
dan Rei terkejut setengah mati.
"Dibayar?!
Jadi ini-" Maya bergumam takut, tubuhnya mulai gemetar.
"Sial!"
Rei berusaha bangun tapi kepalanya terasa pusing saat mencoba untuk bergerak.
Pria
itu kembali menindih tubuh Maya di tanah. Maya yang meronta membuat pria itu
menamparnya sekali lagi. Pria lain yang tadi memukul Rei tahu kalau lawannya
sudah tidak akan bangkit lagi, dia pun meninggalkan Rei dan bergabung dengan
temannya.
Maya
masih berusaha meronta meski tenaga mulai habis. Dadanya mulai terasa sesak
karena ditindih. Maya tidak terima dengan perlakuan para pria itu. Di tengah
keputus asaannya, Maya berteriak dengan sekuat tenaga.
"Tidak!!
Masumi!!! Tolong!!!" Alhasil Maya harus menerima tiga tamparan lagi.
Tamparan keras yang terakhir mengenai pelipisnya. Maya merasakan telinganya
berdenging. Rasa sakit mulai terasa di sekujur tubuhnya. Kesadaran Maya menurun
dan pandangannya mengabur. Sesaat telinganya mendengar suara jeritan tapi
matanya terasa berat, sampai akhirnya semua menjadi gelap.
***
"Kau
tidak apa-apa?" Kuronuma memberikan obat untuk luka memar di wajah Rei.
Dia dan Maya sudah di bawa ke sebuah rumah yang Rei tidak tahu di mana.
"Bagaimana
Maya?" Rei begitu cemas melihat kondisi Maya.
"Dokter
sedang memeriksanya, istriku yang menemaninya. Sebaiknya kau bersihkan dirimu.
Aku juga sudah siapkan baju ganti untukmu. Kamar di ujung itu kosong, kau bisa
menggunakannya."
Rei
menurut saja dengan apa yang di perintahkan Kuronuma, mencoba untuk tetap
tenang. Kuronuma menghela napas panjang, memijat sendiri kedua lengannya
bergantian. Dia baru saja merobohkan empat preman di taman. Membuat tubuhnya sakit,
tapi itu tidak sebanding dengan kemarahan dalam hatinya. Melihat Maya di tindih
dan di lecehkan seperti itu membuat nalurinya sebagai seorang ayah bangkit. Dia
sudah menganggap Maya sebagai anaknya.
Kuronuma
melirik jam tangannya, sudah pukul setengah dua belas malam. Dia terus melihat
ke pintu. "Kenapa dia lama sekali," gerutunya. Dan tak lama kemudian
suara bel berbunyi, tamu yang ditunggunya sudah datang.
Saat
pintu terbuka, Masumi sudah berdiri di sana dengan wajah pucat dan napas
memburu. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya.
"Dimana
Maya?"
Tiba-tiba
terdengar teriakan dari kamar di mana Maya tengah di periksa. Masumi segera
berlari masuk menuju sumber suara tanpa mempedulikan Kuronuma. Dengan cepat
membuka pintu kamar yang dia yakin adalah kamar Maya. Seketika Masumi
terhenyak, begitu juga Kuronuma dan Rei yang berdiri di belakang Masumi.
Maya
dengan wajah penuh lebam merah, berteriak dan meronta. Dia baru saja sadar dari
pingsannya dan memorinya langsung mengingat jelas kejadian yang baru saja di alaminya.
"Tolong
bantu kami," pinta Dokter karena istri Kuronuma tampak kesulitan menahan
Maya yang menjerit histeris.
Masumi
bergerak cepat. Dia langsung mendekap tubuh Maya dalam pelukannya. Atas
perintah dokter Masumi memegangi lengan kiri gadis itu dengan kuat. Hal itu
memudahkan dokter menyuntikkan obat penenang pada Maya dan dalam beberapa menit
kemudian tubuh Maya terkulai lemas dalam pelukan Masumi.
Hati
Masumi hancur melihat kondisi kekasihnya seperti itu. "Apa ini?"
tanya Masumi terkejut saat membaringkan Maya, bajunya yang tersingkap
memperlihatkan memar di seluruh tubuhnya.
"Maya
berusaha melawan saat mereka mencoba-," Rei terdiam, terlalu sakit untuk
disebutkan. "Mereka memukuli Maya karena dia tidak mau menurut."
Wajah
Masumi mengeras. "Apa yang coba mereka lakukan, Nona Aoki?" kedua
tangan Masumi mengepal kuat. Menahan emosi saat pikirannya membayangkan apa
yang terjadi pada Maya hingga seluruh tubuh dan wajahnya penuh memar.
Rei
terdiam tapi kemudian Kuronuma yang bicara. "Kita bicara nanti, Tuan
Masumi."
Mata
Masumi berkilat penuh amarah tapi sadar dia ada di tempat yang tidak tepat
sekarang. Diapun menghela napas panjang guna menenangkan emosinya.
"Bagaimana keadaannya dokter?" tanya Masumi begitu memperoleh kembali
ketenangannya. Dia ingin memastikan bahwa kekasihnya baik-baik saja sekarang.
"Saya
tidak tahu apa yang terjadi pada Nona ini. Tidak ada luka serius yang
membahayakan. Memarnya akan sembuh dalam beberapa hari. Tapi seperti yang baru
saja kita lihat, Nona ini pasti baru saja mengalami kejadian yang membuatnya
syok hingga histeris dan ketakutan. Karena itu saya memberinya obat penenang,
efeknya bertahan tiga jam. Biarkan dia istirahat dengan tenang malam ini. Besok,
pastikan dia makan dengan benar dan jangan biarkan dia sendiri. Temani dia dan
buat dia merasa aman. Jika kondisinya memburuk tolong hubungi saya. Tapi saya
sangat menyarankan untuk membawanya ke rumah sakit atau berkonsultasi dengan
psikolog jika traumanya berkepanjangan."
Semua
orang terdiam mencerna penjelasan panjang dari sang dokter. Sampai akhirnya
Masumi kembali buka suara. “Saya akan menghubungi Anda jika diperlukan,” ucap
Masumi basa-basi. Ekspresinya sedikit melembut. "Terima kasih dokter."
Dokter
itu mengangguk. "Saya meresepkan salep untuk memarnya, obat dan vitamin,
harus segera di tebus. Kemungkinan dia akan demam malam ini, jika itu terjadi langsung
minumkan obatnya." Dokter memberikan secarik kertas pada Masumi.
“Terima
kasih, Dokter,” kata Masumi lagi.
"Baiklah,
saya permisi dulu, oh ya, siapa yang bertanggung jawab untuk-,"
"Saya
dokter, kirimkan saja tagihannya pada saya. Sekretaris saya akan menghubungi Anda
nanti." Masumi cepat merespon maksud dokter itu.
"Baiklah,
maaf nama anda?"
"Masumi
Hayami."
Dan
dokter itu hampir saja melompat karena terkejut.
"Anda?!"
"Saya
harap Anda bisa menjaga rahasia untuk hal ini Dokter. Saya akan sangat
menghargai itu."
"Oh,
baiklah Tuan Hayami. Anda bisa segera menghubungi saya jika terjadi sesuatu
pada teman Anda ini."
Ekspresi
Masumi kembali mengeras. "Dia bukan teman saya, Dokter."
Sang
dokter menatap Masumi heran.
"Dia
calon istri saya."
Semua
yang ada di ruangan itu terkejut, meski keterkejutan Rei sedikit berbeda. Dia hanya
tidak menyangka Masumi akan bereaksi se-impulsif itu.
Dokter
itu kembali hanya mengangguk. Dia juga tidak mau ikut campur masalah orang
lain. "Baiklah, saya permisi," katanya kemudian. Istri Kuronuma yang mengantarnya
ke depan.
***
Masumi
duduk di tepi tempat tidur Maya. Dia diam seribu bahasa, mengabaikan keberadaan
Kuronuma dan Rei. Dengan hati-hati Masumi merapikan baju dan selimut Maya,
tidak berani menyentuh tubuh gadis itu mengingat semua memar yang mungkin akan
membuat kekasihnya kesakitan. Ekspresi dingin pada wajahnya menggambarkan
betapa marahnya dia saat ini.
"Apakah
tidak apa-apa Anda berkata seperti itu pada Dokter?" tanya Kuronuma.
"Saya
hanya ingin dia tahu betapa pentingnya ini. Beruntung katanya? Dengan semua
memar ini? Dokter itu harus di ajari apa arti beruntung sebenarnya."
Kuronuma
menghela napas panjang, dia masih tidak percaya pada apa yang Masumi katakan.
Masumi
mengalihkan perhatiannya pada Kuronuma dan Rei. "Ceritakan padaku, apa
yang sebenarnya terjadi."
"Mereka
mencoba memperkosa Maya." Kuronuma tidak basa-basi lagi.
"Memperkosa?!"
Bayangan pria yang menyentuh Maya membuat amarah Masumi memuncak ke tingkat
yang paling tinggi.
Kemudian
Rei menceritakan semuanya, begitu juga Kuronuma. Ternyata dia datang ke rumah
Maya untuk berbicara masalah keberangkatannya ke Amerika. Tapi karena sampai
malam di tunggu Maya tidak kunjung datang maka Kuronuma memutuskan untuk
pulang. Saat melewati taman dia mendengar suara jeritan. Awalnya dia tidak tahu
itu Maya. Tapi saat dia menuju sumber suara dan mendengar Maya memanggil Masumi,
instingnya memerintah untuknya bergerak cepat. Benar saja, dia menemukan Maya
dan Rei sudah tidak berdaya. Dengan penuh emosi dia menghajar para preman itu.
Amarah
Masumi tak terbendung lagi. Terlebih saat mendengar bahwa para preman itu
dibayar. "Temukan mereka,” perintah Masumi melalui telepon pada entah
siapa di seberang sana. Andai Maya tidak dalam kondisi sakit, mungkin Masumi
akan langsung mencari sendiri para preman itu. Beberapa saat dia terdiam
mendengar lawan bicaranya. “Jangan! Buat mereka bicara siapa yang membayarnya
dan tunggu sampai aku datang. Aku sendiri yang akan membereskan mereka."
Masumi mengakhiri teleponnya.
Rei
sampai bergidik melihat Masumi. Rei ragu keempat preman itu akan selamat. Kuronuma
sendiri hanya diam, mencoba membaca setiap reaksi Masumi hingga suara bel pintu
mengalihkan perhatiannya.
"Itu
tamuku," kata Masumi cepat.
"Heh?!"
Kuronuma mendengus kesal. Ini kan
rumahku? gerutunya dalam hati. Meski begitu dia berusaha memahami semua
tindakan di luar logika Masumi. Ternyata Maya memiliki pengaruh yang cukup
besar pada direktur yang terkenal dingin itu. Tidak heran Maya memilih untuk
pergi demi menyelesaikan semua masalahnya.
Sementara
itu di ruang tamu, Masumi memberikan resep obat pada Hijiri dan meminta dia
mengurus semuanya. Setelah selesai, dia kembali ke kamar Maya. Sifat posesif
membuatnya kembali duduk di tepi tempat tidur Maya. Tidak mau meninggalkan
kekasihnya sendiri.
"Maaf
Tuan Kuronuma, bolehkah saya menginap? Saya ingin menemani Maya malam ini.
Besok pagi saya akan segera membawa Maya pulang." Masumi membungkuk
hormat, membuat Kuronuma salah tingkah.
"Ah-eh-iya,
silakan saja. Maya sudah seperti anakku jadi dia boleh tinggal dan Anda
juga."
"Terima
kasih." Senyum tulus Masumi mengembang.
Kuronuma
semakin mengerti betapa berharga Maya bagi Masumi hingga dia bisa tersenyum
seperti itu hanya untuk mengucapkan terima kasih. Masumi pun kembali duduk di
tepi tempat tidur Maya, diam. Akhirnya, Kuronuma dan Rei meninggalkan kamar dan
membiarkan Masumi menjaganya.
Hampir
pukul dua pagi saat Hijiri kembali membawa obat dan sebuah tas besar berisi
pakaian Maya dan Masumi, juga beberapa perlengkapan mereka. Kuronuma berdecak
kagum melihat kinerja anak buah Masumi yang begitu loyal dan tidak mengenal
waktu.
Setelah
mengganti pakaiannya Masumi kembali ke kamar Maya. Melihat Rei sedang
mengompres Maya, Masumi langsung tahu kekasihnya mulai demam.
Dia pun duduk di sisi lain tempat tidur, memandang sendu wajah Maya yang penuh lebam merah, sebagian bahkan mulai membiru.
"Kenapa
sampai seperti ini?" Masumi membelai pipi Maya dengan hati-hati.
"Mereka
terus menamparnya karena Maya melawan dan berteriak." Rei terlihat sedih.
"Apa
kau baik-baik saja, Nona Aoki?"
Rei
cukup terkejut saat Masumi menanyakan keadaannya. Dia mulai mengerti apa yang
di maksud Maya. Masumi memang orang yang berbeda jika tidak menyangkut
pekerjaan.
"Saya
baik-baik saja. Mereka mengira saya laki-laki, jadi mereka hanya memukul saya
dua kali tapi Maya-,"
Masumi
terdiam, di balik wajah tenangnya ada badai yang tengah mengamuk di dalam hati.
Rei mengganti kompres Maya.
"Dia
demam."
"Iya
dan saya tidak tahu bagaimana cara meminumkan obatnya? Saya takut Maya tersedak
karena menurut petunjuk dia harus meminum setengah isi botol." Rei meraih
botol obat Maya, memikirkan cara terbaik meminumkannya. Jika pakai sendok maka
perlu beberapa kali suapan.
"Berikan
padaku," kata Masumi kemudian.
Rei
memberikan botol obat pada Masumi, mencoba menebak apa yang akan di lakukan
sang direktur pada sahabatnya. Beberapa menit kemudian, mata Rei membulat saat
Masumi meneguk setengah isi botol lalu meminumkannya pada Maya langsung dengan
mulutnya. Masumi batuk berapa kali setelah selesai meminumkan seluruh obatnya.
Rei merespon cepat dan memberikan segelas air padanya.
"Terima
kasih, maaf kalau caraku tidak sopan."
"Eh-oh-iya,
saya mengerti." Rei tergagap malu, sejenak kemudian Rei tertegun.
"Ada
apa?" Masumi merasakan ada yang salah pada ekspresi Rei.
"Ng,
maaf saya tidak tahu ini ada hubungannya atau tidak tapi siang tadi tunangan Anda,
Nona Takamiya, datang menemui Maya."
"Shiori?"
desis Masumi menahan marah. Nama itu menjawab sebagian besar pertanyaan di
benaknya.
"Jadi begitu ya." Ketidak mampuannya menyelesaikan masalah
dengan Shiori kembali membawa petaka bagi Maya.
"Awalnya
saya menentang kepergian Maya, tapi sekarang saya mengerti. Terlalu berbahaya baginya
berada di Jepang. Saya kagum Maya bisa memutuskan hal bijak seperti itu."
Masumi
terdiam. Pikirannya terus mendakwa meski sadar kalau semua yang terjadi di luar
kendalinya. Tetap saja Masumi merasa menjadi sumber dari semua masalah rumit
ini. Melihat Masumi yang sepertinya banyak pikiran, Rei pun keluar dan meninggalkannya
menjaga Maya.
"Sayang,
maafkan aku." Perlahan Masumi membuka selimut dan piyama Maya, memeriksa
dengan seksama tubuh kekasihnya. Dia mengamati beberapa memar di sekitar tulang
iga lalu di perut, bahu kanan dan lengan kirinya. Setelah memastikan semuanya
Masumi kembali merapikan pakaian Maya. Kedua pegelangan tangan Maya merah
begitu juga dengan kedua pergelangan kakinya. Masumi mencium bagian dalam
pergelangan tangan kekasihnya bergantian. Air matanya mendesak keluar, sekuat
tenaga dia menahannya. Wajah penuh lebam Maya membuatnya merasa tak layak untuk
menangis.
"Maafkan
aku." Dengan lembut mengecup kening dan bibir Maya.
***
"Batalkan
semuanya."
"Tapi
Tuan-."
"Dengarkan
perintahku, Mizuki. Sampai Maya berangkat aku tidak akan meninggalkannya. Kali
ini aku akan mengambil semua resikonya. Setelah Maya pergi kau bisa menyiksaku
dengan semua pekerjaan itu tapi dua hari ini, aku mohon kosongkan semua
jadwalku. Batalkan semua pertemuan dan rapat. Katakan bahwa aku di luar
kota."
Mizuki
terpaku di tempatnya. Pagi-pagi sekali dia diminta datang ke rumah Kuronuma.
Dia terkejut karena setelah sekian lama, bahkan bertahun-tahun lamanya, baru
sekali ini Masumi tidak menutupi perasaannya pada Maya. Meski berisiko tapi
Mizuki sangat mengerti perasaan atasannya itu, sudah terlalu lama dia melihat
Masumi tersiksa. Dan kali ini dia bertekad membantu, terlebih lagi permohonan
Maya padanya waktu itu. Mizuki jelas begitu setia pada Masumi.
"Baiklah
Tuan Masumi, saya akan mengatur semua jadwal fiktif anda ke luar kota. Tapi
sebaiknya anda ikuti saran saya, bawalah Maya ke tempat yang lebih aman. Saya
takut ini hanyalah awal. Saya tahu anda sudah mencurigai orang yang ada di balik
ini semua, begitupun saya. Dan kita sama-sama tahu orang itu memiliki pengaruh
dan kekuasaan yang besar. Jadi, jika anda bersedia saya akan siapkan
semuanya," kata Mizuki.
Sejenak
Masumi tertegun, memikirkan saran dari sekretarisnya. "Baiklah, terima
kasih. Maaf merepotkanmu, Mizuki."
Mizuki
mengangguk sopan. "Tidak masalah, Tuan Masumi. Saya senang karena akhirnya
Anda bisa memutuskan hal baik untuk hidup Anda."
Kuronuma
dan Rei yang ternyata menguping pembicaraan mereka langsung menjauh dari pintu
begitu mendengar langkah kaki Mizuki. Keduanya pura-pura mengobrol. Sekretaris
cantik itu hanya tersenyum melihat tingkah mereka.
"Terima
kasih, Tuan Kuronuma. Maaf sudah merepotkan Anda." Mizuki membungkuk
memberi hormat.
Kuronuma
mengangguk saja menjawabnya. "Sepertinya ini akan menjadi perang yang
cukup panjang, Nona Mizuki,” komentarnya.
"Ternyata
Anda juga sangat paham dengan masalah ini," jawab Mizuki seraya mengulas
senyum tipis.
"Ya,
perasaanku memang tidak peka untuk memahami kisah cinta rumit ini, tapi setidaknya
aku tahu inti permasalahannya, Bidadari Merah." Kuronuma menggaruk
kepalanya dengan ekspesi kesal.
"Ya,
sebuah naskah drama yang justru terwujud di dunia nyata, sungguh ironis
sekali." Raut wajah Mizuki berubah serius, begitu juga dengan Kuronuma dan
Rei.
***
Lenguhan lirih terdengar. Masumi, Kuronuma juga Rei tampak lega begitu Maya mulai membuka matanya. Sejak pagi ketiganya bergantian menjaga Maya.
Lenguhan lirih terdengar. Masumi, Kuronuma juga Rei tampak lega begitu Maya mulai membuka matanya. Sejak pagi ketiganya bergantian menjaga Maya.
"Ma-sumi-,"
panggil Maya begitu melihat sosok pria yang duduk di tepi tempat tidurnya.
"Aku
disini sayang." Masumi langsung menggenggam lembut tangan Maya,
menunjukkan keberadannya.
Beberapa
saat mereka membiarkan Maya terdiam. Gadis itu pasti tengah mengingat kejadian
semalam. Benar saja, tak lama kemudian wajah Maya tampak ketakutan.
"Me-reka,
mereka, para pria itu-,"
Masumi
mengeratkan genggaman tangannya dan mengusap wajah Maya perlahan. Berusaha
menenangkannya. "Tidak apa-apa, Maya. Mereka sudah pergi. Kau aman, kau
aman bersamaku sekarang," ucap Masumi sembari terus membelai lembut wajah
Maya. Kuronuma dan Rei hanya bisa mengamati keduanya dengan tatapan sedih.
Maya
memandang lemah Masumi, gurat ketakutan tergambar jelas di wajah gadis mungil
yang kini di penuhi lebam merah yang bahkan mulai membiru. "A-apa-pakah
aku?-,"
Masumi
tersentak, dia tahu apa yang ingin di katakan kekasihnya. Tak tahan melihat
Maya ketakutan, diapun memeluk tubuh mungil itu hati-hati. "Tidak sayang,"
bisik Masumi ditelinga Maya.
Maya
memejamkan mata dan membiarkan kelegaan menjalari hatinya. Sungguh dia sangat
takut dengan bayangan yang melintas di dalam kepalanya. "Syukurlah,"
desah Maya lega begitu Masumi melepaskan pelukannya.
“Jangan
kau ingat lagi,” kata Masumi kemudian.
"Aku
takut,” lirih Maya.
“Aku
di sini, jangan takut,” jawab Masumi meyakinkan.
Maya
menggeleng pelan. “Aku akan sangat menyakitimu jika itu terjadi. Aku pasti
tidak pantas untukmu."
Hati
Masumi justru sakit mendengar itu. Kuronuma dan Rei bahkan menggeleng tak
percaya dengan pemikiran polos Maya. Dengan langkah lebar Rei menghampiri Maya
dan duduk di sisi lain tempat tidur.
"Maya-."
Rei kemudian memeluk sahabat yang sudah dianggapnya sebagai adik itu.
Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Saat
nyawamu terancam, kau justru memikirkan kehormatan yang ingin kau berikan pada
Masumi? Tidakkah nyawamu itu berharga? Batin Kuronuma tidak
setuju dengan pemikiran Maya.
Masumi
semakin tak berdaya melihatnya. "Berhentilah berpikir konyol sayang,
nyawamu jauh lebih berharga. Aku mencintaimu, apapun keadaanmu,” kata Masumi begitu
Rei melepaskan pelukannya. Dia lalu mencium punggung tangan Maya, merasa putus
asa dengan ucapan kekasihnya.
Maya
menatap Rei dengan mata sayunya. “Kau baik-baik saja?”
Rei
mengangguk. “Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku.”
Seulas
senyum tipis mengembang di bibir pucat Maya. Dia pun mengalihkan perhatiannya
pada Masumi. Perlahan tangannya meraih wajah Masumi. "Kau juga pasti akan
melakukan hal yang sama denganku kan? Kau hanya milikku dan aku hanya
milikmu."
"Iya,
Maya. Akan aku pastikan kalau aku hanya milikmu," jawab Masumi seraya
memberikan kecupan di kening kekasihnya.
Pernyataan
keduanya membuat Kuronuma jengah. Bukan tidak suka dengan keposesifan mereka
tapi karena takdir sudah begitu kejam mempermainkan mereka. Handphone Masumi
yang berdering mengejutkan semuanya.
"Masumi-,”
jawab Masumi datar tapi sedetik kemudian raut wajahnya berubah serius. “Apa?!
Baik, tidak, jangan mobil. Siapkan taksi saja, aku akan bersiap, terima kasih."
wajah Masumi masih tegang saat menutup teleponnya.
"Ada
apa?" Kuronuma tahu kalau sesuatu sudah terjadi.
"Ada
orang datang ke rumah Maya dan merusak semuanya. Lalu beberapa orang
mencurigakan terlihat di sekitar Daito dan Kids Studio. Mereka jelas mencari Maya,
kita harus pergi dari sini."
Tak
ada yang menduga kalau keadaannya menjadi segawat itu. Semua orang langsung
tampak khawatir.
"Argh!!"
Maya mengerang ketika mencoba untuk bangun.
"Tetap
di tempatmu sayang," Masumi memperingatkan Maya. Dengan cepat dia membereskan
obat dan baju ganti Maya ke dalam tas besar.
Rei
pun tidak tinggal diam, dia bergegas membereskan barangnya. Kurang dari lima
belas menit semuanya sudah berkumpul di ruang tamu. Maya meringis menahan sakit
di sekujur tubuhnya saat meringkuk dalam gendongan Masumi.
"Taksinya
sudah datang," kata istri Kuronuma.
"Baiklah,
Nona Aoki, kita pergi sekarang. Terima kasih untuk segalanya Tuan Kuronuma."
Masumi mengangguk hormat sementara Rei membungkukkan tubuhnya. Maya sendiri
hanya mampu tersenyum menatap sang sutradara yang sudah seperti ayahnya itu.
"Hati-hati
Tuan Masumi. Tolong kabari saya jika terjadi sesuatu." Kuronuma sendiri
tampak masih khawatir dengan kepergian mereka.
"Tentu.
Oh ya, saya meninggalkan handphone di
meja kamar Maya untuk anda. Kabari saya jika ada orang yang mencurigakan
menemui Anda dan bertanya tentang Maya," kata Masumi yang jelas membuat
Kuronuma terkejut.
"Eh?!
Handphone?"
Mengabaikan
keterkejutan Kuronuma, Masumi kembali mengangguk hormat lalu meninggalkan rumah
bersama Rei.
***
Masumi
merengkuh tubuh Maya dengan hati-hati. Namun kekasihnya itu masih mengerang saat
mobil bergoncang cukup keras. Meski berada di pangkuan Masumi tetap saja
tubuhnya merasa sakit. Masumi sendiri sampai menahan napas mendengar erangan
kekasihnya. Rei yang duduk di depan meminta sopir untuk lebih berhati-hati.
"Kau
masih kuat kan?" bisik Masumi.
Maya
mengangguk pelan, lalu tersenyum tapi kemudian kembali mengernyit kesakitan
saat luka memarnya berdenyut-denyut tersentuh tangan Masumi.
Masumi
terlihat begitu putus asa. "Maafkan aku," bisiknya lagi.
Masumi
dan Rei bersyukur saat Maya akhirnya tertidur sepanjang sisa perjalanan. Mereka
pergi keluar Tokyo, Mizuki menyewa sebuah apartemen dengan identitas palsu,
tidak jauh dari bandara Narita. Karena jadwal penerbangan Maya malam hari, maka
akan lebih baik jika mereka tinggal tidak terlalu jauh. Mizuki juga membawa
barang-barang Maya yang bisa di selamatkan dan mengepaknya dalam dua koper
besar, tentu saja di tambah dengan beberapa barang baru yang di beli sesuai
perintah Masumi.
Maya
masih tertidur ketika mereka sampai di apartemen. Masumi membaringkan Maya
perlahan di atas tempat tidur.
"Saya
masih sulit percaya bahwa Anda mencintai Maya, Tuan Masumi." Rei tidak
lagi terlihat sungkan dengan Masumi. Melihat pria itu menyayangi Maya,
membuatnya menepis semua pandangan buruknya tentang sang direktur. Masumi hanya
tersenyum. "Dia juga begitu mencintai anda ."
"Aku
tahu. Dia bahkan lebih berani di bandingkan aku," kata Masumi lirih.
"Anda
hanya ingin dia aman. Dari awal Anda sudah tahu kalau hal ini pasti terjadi bukan?"
"Tapi
Maya jauh lebih pintar dan berani menghadapi semua resikonya. Dengan tubuh
kecil ini, aku bahkan tak percaya dia bisa menghadapi semuanya."
"Maya
kuat Tuan Masumi, percayalah."
"Aku
percaya, Nona Aoki. Untuk itu aku akan menunggunya."
Keduanya
sekarang terdiam. Merenungi semua yang telah terjadi.
***
>>Bersambung<<
Follow me on
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina
3 Comments
Sukaaaa... makasih uda share fanfict ini....
ReplyDeleteTrima kasih banyak ya mba....seneng bngt bacanya. Mengobati rasa penasaran kelanjutannya.
ReplyDeleteTrima kasih banyak ya mba....seneng bngt bacanya. Mengobati rasa penasaran kelanjutannya.
ReplyDelete