Kedua : Langkah Awal Sang Bidadari

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi semua itu? Bukan hanya impiannya yang dipertaruhkan tapi juga kehidupan orang terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk menemukan jalannya.

*********************************************************************************



Masumi merasakan tubuhnya mematung, jantungnya berdegub kencang, matanya bahkan basah oleh genangan air mata. Onodera yang duduk disebelahnya gemetaran, ekspresinya kacau. Ayumi dan ibunya terpaku menatap tempat dimana Bidadari Merah tadi berdiri. Bahkan semua teman Maya tak bergeming dengan ekspresi takjub. Sekali lagi tidak ada satu orangpun yang bergerak.

Pentas telah selesai, panggung terbuka dipenuhi oleh ribuan penonton tapi suasana sekarang begitu hening. Seperti sebuah hipnotis masal, tidak ada yang bergeming. Semuanya terhipnotis, mereka seperti berada di alam lain. Penampilan Maya membuat keberadaan mereka sebagai manusia terlupakan. Semua yang hadir merasa menjadi bagian dari pentas, menjadi satu alam dengan Bidadari Merah. Dan cinta Akoya dan Isshin meluluhkan hati semua yang melihat.

Di belakang arena pentas semua kru dan pemain kebingungan dengan reaksi penonton, tidak ada tepuk tangan meski pentas telah usai, kecuali Tuan Kuronuma dan Koji. Mereka semua masih menatap Maya yang berdiri anggun, dia masih menjadi Bidadari Merah, tidak ada yang berani mendekatinya.

Maya berjalan dan mengambil kotsuzumi -semacam kendang kecil-, lalu dengan lembut bicara pada semua pemain.

“Waktunya curtain call.” Dan seperti dihipnotis semua pemain mengikuti Maya. Koji berjalan terpincang-pincang di sebelah Maya. Sang Bidadari Merah berjalan ke tengah arena pentas lalu memukul kotsuzumi

Pom !!! Pom !!! Pom !!!

Suara yang menggema di arena panggung terbuka menyadarkan mereka semua. Dan tak lama standing ovation dari semua penonton memenuhi ruang terbuka. Suaranya seperti gemuruh yang menggelagar.

Onodera yang tidak bisa berdiri karena kakinya masih gemetaran menerima seringai lebar dari Masumi. Jangan remehkan Bidadariku, katanya dalam hati.

Maya sudah melepas topeng kacanya saat dia tersenyum sebagai Maya Kitajima, tepuk tangan kembali membahana. Dia menatap Masumi yang memberikan standing ovation, mengangguk hormat padanya.

Untukmu Tuan Masumi, Mawar Unguku.

***
Ayumi sudah tahu dia kalah tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia tetap berusaha menampilkan Bidadari Merah terbaiknya. Dan penampilannya pada hari ke dua mendapat sambutan yang hangat. Dia merasa puas dengan kerja kerasnya, menerima kekalahannya dengan bahagia. Semua penonton sudah tahu siapa pemenangnya.

Malam pengumumam di hari ketujuh setelah pentas uji coba diadakan di ballroom hotel bintang lima. Semua tokoh penting hadir disana. Maya dan Ayumi bersama semua timnya. Ketua Persatuan Drama Nasional dan Mayuko sudah siap diatas panggung. MC memulai acara dan beragam sambutan diberikan.

Maya mengabaikan rangkaian acara, matanya menatap tajam pada dua orang yang duduk berjarak tiga meja darinya, Masumi dan Shiori. 

Wajah Shiori penuh kepalsuan dengan senyum manisnya. Karena wanita itu Maya manjadi Maya yang baru, Maya yang kuat dan tidak akan kalah. Tapi kemudian matanya menatap sedih pada Masumi yang terlihat seperti patung disebelahnya. Meski Maya mengakuinya sebagai patung paling tampan tapi tetap saja kesedihan di mata Masumi membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Bersabarlah, tunggu aku, kata Maya dalam hati.

Mayuko yang mulai bicara mengalihkan perhatian Maya. Hatinya sudah siap menerima hak pementasan itu.

"Akhirnya, Ichiren memberi saya kekuatan untuk sampai pada hari ini. Saya bangga kepada dua murid istimewa saya, Maya dan Ayumi." Mayuko memandang Maya dan Ayumi bergantian. 

"Kalian berdua begitu luar biasa, tidak ada kalah dan menang. Semuanya sudah bekerja keras dan ingatlah, semua yang kalian pelajari selama ini akan membuat kalian lebih mantap melangkah ke depan. Meraih mimpi baru kalian."

Maya meresapi setiap perkataan gurunya. Ya bu, inilah awal dari mimpi baru saya, gumamnya mantap di dalam hati.

"Namun, seperti yang telah disepakati saya hanya akan memilih satu diantara mereka untuk mewarisi hak pementasan Bidadari Merah. Setelah saya memberikan hak itu maka sepenuhnya Bidadari Merah akan menjadi miliknya. Hari ini saya dengan bangga menyatakan bahwa hak pementasan Bidadari Merah saya serahkan kepada Maya Kitajima." Mayuko mengakhiri pidatonya dan tepuk tangan membahana memenuhi ballroom hotel. 

Masumi memberikan senyum menawan untuk Maya dan senyum bidadari ditunjukan Maya untuk Masumi, membuat Shiori harus mengerahkan energi menahan marah. Dengan percaya diri Maya maju kepanggung bersama gurunya.

Pesta berlangsung meriah, Maya menerima banyak ucapan selamat.

"Selamat Maya, kau memang layak," kata Ayumi yang kali ini datang bersama Peter Hamil yang sudah menjadi kekasihnya.

"Terima kasih Ayumi." Maya memeluk Ayumi dan berbisik padanya. "Segeralah operasi Ayumi, jangan membahayakan dirimu sendiri. Ingat kau satu-satunya sainganku."

Ayumi terkejut karena Maya mengetahui bahwa dia tidak bisa melihat sempurna, tapi dengan cepat dia berubah tenang. Senang Maya masih menganggapnya saingan.

"Terima kasih, lain kali di panggung yang lain," kata Ayumi.

"Pasti," Maya tersenyum lebar.

Semua memberikan selamat pada Maya. Tak ketinggalan Masumi dan Shiori.

"Selamat Maya, kau luar biasa," puji Masumi yang bersikap formal.

"Selamat Maya," Shiori juga tersenyum manis padanya.

"Terima kasih Tuan Masumi, Nona Shiori," Maya menjawab sopan.

Shiori cukup terkejut dengan perubahan sikap Maya yang begitu anggun dan sopan.

"Kau artis besar sekarang, sayangnya Daito tidak bisa memilikimu. Pasti ada pihak yang kecewa dengan itu tapi pasti juga akan banyak pihak lain yang lebih senang. Benar kan Masumi?" Shiori tersenyum licik pada Maya lalu dengan cepat melembutkan ekspresinya menatap Masumi yang tertohok dengan perkataannya.

Tapi bukan Masumi namanya jika kalah begitu saja. "Daito selalu punya cara untuk mencapai tujuannya, terutama mengenai Bidadari Merah. Kuharap kau tidak lupa dengan apa yang pernah kukatakan, Shiori. Untuk Bidadari Merahlah Daito didirikan."

Shiori mematung, pembicaraan mereka hanyalah ironi dari kisah cinta segituga yang membelit mereka saat ini.

"Untuk kali ini jika saya boleh bicara." Maya membuat perhatian Masumi dan Shiori kembali padanya. "Bidadari Merah sendirilah yang akan memilih. Terlepas dari semua dilema, Bidadari Merah pasti akan menemukan jalannya sendiri."

Apa kau akan berusaha merebut Masumi dariku Maya? Geram Shiori dalam hati.

Masumi hanya menyeringai, lalu suasana langsung berubah saat obrolan mereka diinterupsi oleh direktur production house lain yang mengincar Bidadari Merah. Maya terpaksa meladeninya demi kesopanan, namun dia cukup kesal saat direktur itu akhirnya membelokkan pembicaraan tentang rencana pernikahan Masumi dan Shiori yang tinggal dua minggu lagi.

"Jadi dua minggu lagi?" tanya Maya sopan pada Shiori.

Shiori hanya menjawab dengan tersenyum semanis mungkin.

Maya mengangkat gelasnya. "Semoga semuanya lancar Nona Shiori." 

"Tentu, terima kasih Maya. Kuharap kau bisa datang ke resepsi pernikahan kami."

Masumi tercekat mendengar apa yang dikatakan Shiori.

"Apa anda akan mengundang saya Tuan Masumi?" tanya Maya dan mata Shiori berbinar senang menunggu jawaban Masumi. Maya terkejut saat Masumi menatapnya dingin.

Belum sempat Masumi menjawab, si direktur berdecak iri pada Masumi. Membuat Shiori bangga akan kecantikan dan keanggunnya. Shiori merasa menang karena dialah yang akan bersama Masumi bukan Maya.

Ekspresi wajah Masumi begitu dingin membuat hati Maya menggigil dan sakit, jadi dia berusaha mengalihkan percakapan ke topik lainnya. Tak lama Maya menarik diri. Teman-teman Maya dari Tsukikage dan Ikkakuju Teater begitu bangga dengan Maya. Dia telah menepati janjinya pada Rei.

"Apa kau masih menjadi Bidadari Merah Maya? Aku tidak pernah melihatmu sedewasa dan sesopan ini," goda Hotta, disambut tawa semua temannya.

Maya memang berbeda sekarang, dia sedang memainkan peran gadis anggunnya. Topeng barunya untuk panggung kehidupannya.

Tinggal dua minggu lagi, aku harus cepat, gumam Maya dalam hati.

Diam-diam Rei memperhatikan keanehan di wajah Maya dan untuk kesekian kalinya dia mengurungkan niat untuk bertanya. Dan dari tempat tersembunyi mata Eisuke Hayami mengawasi setiap gerakan Maya.

***
"Selamat Maya kau berhasil," kata Koji.

Koji mengatar Maya pulang seusai pesta dan mengajaknya mampir sebentar ke sebuah kafe. Dengan alasan sebagai perayaan dua sahabat maka Maya bersedia untuk ikut. Maya tersenyum menerima ucapan Koji. Karena ramainya pesta mereka berdua bahkan belum saling mengucapkan selamat.

"Selamat juga untukmu Koji. Kita berhasil," balas Maya.

Koji menghela napas panjang dan duduk dengan santai di kursi, menikmati cocktailnya.

"Aku masih tidak percaya dengan semua ini Maya. Belakangan ini semua terjadi begitu tiba-tiba, rasanya semua seperti mimpi."

Maya terkikik. "Semoga bagian dimana kita menang bukan mimpi ya Koji."

Koji tertawa senang. "Kalau itu juga mimpi maka aku akan kehilangan satu-satunya kesempatanku untuk memilikimu."

"Koji !" Maya merajuk karena Koji kembali membahas soal hubungan mereka.

"Hanya di  panggung Maya, hanya di panggung." Dan keduanya tergelak.

Koji tersenyum memandang Maya. "Langkah awalmu sudah berhasil Maya lalu apa langkahmu selanjutnya?" tanya Koji.

Sesaat kemudian Maya terlihat serius. "Kau akan lihat besok," kali ini Maya tersenyum.

"Kau tidak mau menceritakannya padaku?"

Maya menggeleng.

"Aku sahabatmu?"

Maya menggeleng lagi lalu terkikik geli melihat Koji kecewa.

"Sudahlah, kan kita ada disini untuk merayakan keberhasilan kita, jadi mari kita nikmati saja dulu apa yang ada," kata Maya.

"Baiklah, ayo kita rayakan. Bersulang!" kata Koji senang. Keduanyapun menikmati kebersamaan mereka.

Hampir tengah malam baru keduanya pulang. Koji memarkirkan mobilnya di depan rumah Maya.

"Baiklah, terima kasih untuk hari ini Akoya." Koji tersenyum lebar.

"Ngg, sebenarnya ... Koji aku butuh bantuanmu lagi," pinta Maya canggung.

"Katakan Maya, aku senang melakukannya," Koji girang.

"Ini tentang ... apa yang kau lihat tempo hari ... nggg, bisakah kau merahasiakan tentang apa yang kau lihat di pelabuhan? Saat ini tidak ada yang boleh tahu tentang hal itu."

Koji terhenyak ditempat duduknya, ternyata hatinya masih sakit jika mengingat akan hal itu.

"Koji?" Maya menuntut jawaban dan Koji juga tidak mau mengecewakan Maya.

"Tentu," jawabnya tenang.

"Leganya," Maya menubrukkan tubuhnya pada Koji, memeluknya erat. Membuat Koji terkejut.

"Kalau begini aku jadi senang membantumu," kata Koji.

"Eh?!" Maya melepaskan pelukannya dengan wajah yang merah disambut tawa Koji.

***
Keesokan harinya. Maya, Koji, dan Kuronuma tiba di Gedung Persatuan Drama Nasional, Mayuko dan Genzo sudah tiba lebih dulu. Tak banyak basa basi, Mayuko segera menyerahkan semua dokumen hak pementasan Bidadari Merah pada Maya. Dan saat Ketua Persatuan Drama Nasional menanyakan tentang rencana pementasan Bidadari Merah pada bulan Januari tahun depan, Maya meminta bicara empat mata dengan Mayuko.

"Saya belum bisa mementaskan Bidadari Merah sekarang, Bu," kata Maya saat keduanya sudah berada di ruang terpisah.

Mayuko terdiam tapi sesaat kemudian ekspresinya melembut. "Akhirnya kau mengerti Maya."

"Iya bu, saya mengerti sekarang. Saya pasti akan memenuhi harapan Bu Mayuko. Mementaskan Bidadari Merah dengan tangan saya sendiri Bu." Maya menatap sang guru dengan kebulatan tekadnya.

"Jadi sejauh mana kau mengerti sekarang Maya?" Mayuko menatap Maya puas.

"Sejujurnya saya baru memahaminya beberapa minggu terakhir ini. Saat saya berusaha menarik semua benang merah yang terhubung dengan Bidadari Merah. Saya dulu tidak mengerti kenapa Ibu selalu meninggalkan saya dan membiarkan saya berkembang sendiri. Bahkan ibu menyerahkan saya pada Daito. Tapi sekarang saya mengerti karena setelah saya memiliki hak pementasan ini maka pertarungan saya baru dimulai. Mungkin akan berbeda jika Ayumi yang memiliki hak pementasan ini. Sama seperti Ibu dulu yang bertarung melawannya. Maka saya juga pasti begitu kan Bu? Dia juga pasti akan mengejar saya, menghancurkan saya. Untuk itulah Bu Mayuko melatih saya agar saya kuat, berjuang sendiri. Untuk menghadapi Daito."

Mayuko tersenyum lega lalu tertawa. Tapi kemudian wajahnya kembali serius, "Mungkin perlu waktu lama untukmu memahaminya tapi aku senang kau memutuskan di saat yang tepat. Bidadari Merah bukan hanya sebuah karya, Bidadari Merah adalah hidupku Maya. Harta Ichiren yang berharga dan aku akan melakukan apapun untuk melindunginya. Untuk itulah aku hidup sampai sekarang dan untuk itu jugalah aku mengajarimu. Sejak pertama kali aku melihatmu aku percaya kau pasti bisa mengerti Bidadari Merah lalu membantuku menjaganya tetap hidup. Menjaganya tetap aman dari dari jangkauannya."

"Saya mengerti Bu, karena itulah saya tidak bisa mementaskannya sekarang. Saya akan mengumpulkan kekuatan untuk bisa melawannya. Lagipula Bidadari Merah saya belum sempurna, beri saya waktu untuk menyempurnakannya Bu."

"Jadi apa ini juga ada hubungannya dengan ... dia?"

"Dia?" Maya tidak mengerti.

"Masumi Hayami."

Maya tersentak. "Bagaimana ibu tahu?" Suara Maya bergetar.

Mayuko menyeringai. "Saat kau menolak berakting menjadi Akoya didepannya, aku tahu sudah terjadi sesuatu diantara kalian. Dan aku mengerti bagaimana kau memahami cinta Bidadari merah, itu sebabnya kau menang. Kau menang karena cintamu pada Masumi."

Maya tertunduk, tidak menyangka Mayuko bisa menebak semua isi hatinya. Tidak heran dia menjadi artis legendaris, tidak ada sandiwara di hadapannya.

"Benar kan Maya?"

"Be...benar Bu, seperti anda dan Pak Ichiren," Maya sekarang menatap gurunya.

Sekali lagi Mayuko menyeringai. "Kau masih punya kesempatan mewujudkan cintamu Maya. Jangan berakhir seperti aku dan Ichiren," Mayuko menatap kosong, merasakan kerinduannya pada Ichiren.

"Bu Mayuko...."

"Pementasannya terserah padamu Maya, aku percaya padamu," kata Mayuko kemudian.

"Benarkah? Ibu mengijinkan?" tanya Maya girang.

"Aku tidak mau Daito mementaskannya dan kau pasti tidak mau melawan Masumi. Jadi kau pasti butuh waktu untuk mengatur semuanya." Mayuko benar-benar mengerti perasaan murid kesayangannya itu.

"Syukurlah ibu mengerti."

"Apa rencanamu Maya? Semuanya tidak akan semudah yang kau bayangkan."

"Saya tahu Bu, saya tidak bisa mengatakannya sekarang. Tapi percayalah Bu, beri saya waktu tiga tahun. Saya akan mementaskan Bidadari Merah dengan tangan saya sendiri," Maya begitu yakin dengan kekuatannya.

Mayuko tersenyum. "Tiga tahun? Apa kau pikir aku masih mampu bertahan selama itu?"

"Ibu pasti bisa, percayalah pada saya bu." Maya menghampiri gurunya dan berlutut di depannya.

"Saya pasti bisa, percayalah pada saya Bu. Itu akan menjadi kekuatan bagi saya."

Mayuko tertawa, "Aku bahagia melihat tekadmu Maya. Majulah Maya, aku akan menunggumu."

Mayuko terlihat begitu bahagia, dia melihat Mayuko muda dalam diri Maya. Keduanya tersenyum puas sekarang.

***
"Apa?! Tiga tahun?" teriak Kuronuma. "Apa maksudmu Maya?"

Koji dan Ketua persatuan drama nasional juga sama terkejutnya.

"Bidadari Merah saya belum sempurna. Beri saya waktu tiga tahun dan saya akan mementaskan Bidadari merah saya dengan tangan saya sendiri."

"Dengan tanganmu sendiri? Maya kau...," semuanya terhenyak.

"Ya Tuan Kuronuma, dengan tangan saya sendiri," Maya tersenyum dengan begitu yakinnya.

***
Maya berbaring di atas futon, mengistirahatkan tubuhnya.

"Ahhhh," desahnya panjang. "Satu masalah telah teratasi. Sekarang waktunya menjalankan langkah selanjutnya. Apa yang sebaiknya aku lakukan ya?" Maya memegang kartu ucapan selamat dari Mawar Ungu karena keberhasilannya memenangkan hak pementasan Bidadari Merah. Buket bunganya sudah mulai layu di atas meja.

Untuk : Bidadari Merah

Bidadari Merahmu luar biasa. Aku bahkan lupa kalau aku sedang menonton sebuah drama. Selamat atas keberhasilanmu. Aku bangga padamu. Aku ingin memberimu hadiah, tapi kali ini kau harus katakan apa yang kau inginkan. Selain mengenai identitasku, apapun yang kau minta aku akan memberikannya.

Pengagummu
Mawar Ungu

Maya sudah membacanya puluhan kali.

"Aku sudah tahu identitasmu, aku hanya menginginkanmu," gumam Maya. "Apa aku bisa meminta hal itu darinya ya?" Maya kembali mendesah.

Sebenarnya saat ini dia sedang kesulitan untuk menjalankan rencananya. Tapi jika dia meminta bantuan mawar ungu maka dia takut rencanya akan gagal.

"Mereka pasti bisa, mereka harus membantuku, hanya itu caranya. Aku yakin mereka pasti mau." Maya akhirnya memejamkan matanya, mengistirahatkan pikirannya yang lelah.

***
Paginya Rei sudah sibuk didapur membuat Maya terbangun.

"Pagi Rei," sapa Maya saat memasuki dapur seraya menggosok matanya.

"Oh kau sudah bangun. Semalam kau tidur cepat sekali? Padahal aku pulang membawa banyak makanan," kata Rei.

"Aku lelah sekali Rei." Maya pergi kekamar mandi dan menyegarkan tubuhnya.

"Aku masih tak percaya kau bisa memenangkan Bidadari Merah, Maya," kata Rei sambil menata sarapan di meja. Maya tertawa girang.

"Apa rencanamu selanjutnya Maya? Kau artis besar sekarang." Keduanya duduk dan menikmati sarapan.

"Rencanaku panjang Rei."

"Panjang? Kau tidak terdengar seperti Maya." Rei tertawa dan Maya juga terbahak.

"Hhhmmm, apa malam ini kau ada latihan Rei?" Maya mengetuk-ngetukkan jarinya dibibir.

"Tidak, ada apa?"

"Aku ingin membicarakan hal penting padamu malam ini," kata Maya senang.

"Penting? Akhir-akhir ini kau aneh Maya," Rei terlihat cemas.

"Tenang saja, aku tidak apa-apa. Oke, aku selesai. Terima kasih untuk sarapannya Rei, aku yang cuci piring." Maya girang sekali membereskan piring dan membawanya ke dapur.

Rei tertegun melihat sahabatnya tapi kemudian suara piring pecah membuatnya cemberut.

"Maya!!!"

"Maaf," Maya tergelak.

***
Maya duduk sendiri di teater bawah tanah. Matanya menyapu setiap inchi dari ruangan itu.

"Aku pasti akan merindukan tempat ini," gumamnya sedih.

"Maya," suara seorang pria yang tidak asing baginya membuat Maya tersenyum lebar.

"Anda datang juga Kak Hijiri," sapanya senang.

"Tentu, apa ada yang penting sampai kau memanggilku Maya?" tanyanya, sekarang keduanya duduk berhadapan di lantai. Hijiri tidak bergaya formal saat hanya berdua dengan Maya, membuat Maya lebih nyaman berbicara dengannya.

"Bisa tunggu sebentar lagi, saya masih menunggu seseorang," kata Maya.

"Seseorang? Maya aku tidak bisa-,"

"Tenang saja, tidak akan apa-apa. Orang ini dapat dipercaya," kata Maya meyakinkan.

Hijiri terlihat kesal, sesuatu terjadi di luar prediksinya. "Maaf Maya aku harus pergi sekarang." Hijiri bangkit dari bantal alas duduknya.

"Tung-," Maya menggantung perkataanya dan tersenyum lebar pada wanita yang baru saja datang.
"Selamat siang Maya."

"Ahhh, akhirnya datang juga, silakan Nona Mizuki," Maya girang sekali.

Mizuki dan Hijiri terpaku ditempatnya, meski tidak pernah bertemu tapi keduanya sama-sama tahu peran masing-masing.

"Maaf ya, mengajak anda berdua ke tempat ini, karena pasti mahal kalau menyewa kamar hotel untuk pertemuan pribadi." Maya terkikik. Ketiganya sekarang sudah duduk tenang dilantai, meski ekspresi Hijiri dan Mizuki tidak sesenang Maya.

"Apa maksud semua ini Maya?" tanya Mizuki.

Maya langsung berwajah serius. "Saya membutuhkan bantuan Kak Hijiri dan Nona Mizuki. Saya mohon bantulah saya." Maya membungkuk memohon.

"Maya-," gumam keduanya.

"Baiklah, saya tidak akan basi basi lagi. Kak Hijiri, saya mohon anda serahkan ini pada Mawar Ungu, minta dia menyimpannya," Maya menyerahkan sebuah amplop coklat.

"Boleh?" tanya Hijiri meminta ijin untuk membuka amplop.

"Silakan," kata Maya.

Wajah Hijiri menegang saat melihat amplop yang baru saja dibukanya, "Ini ... dokumen hak pementasan Bidadari Merah!"

Mizuki sama terkejutnya.

"Maya, kau? Apa maksudnya ini, mawar ungu dia ... tidak akan mungkin menerima ini," Hijiri terlihat panik.

"Dia pasti menerimanya, serahkan surat ini. Saya percaya padanya, tidak ada orang lain yang saya percaya selain dia."

"Maya...kau...apa kau..?" Mizuki mencoba membaca jalan pikiran Maya.

"Iyaa, saya sudah tahu siapa mawar ungu." Maya tersenyum senang.

Hijiri dan Mizuki sekali lagi terhenyak.

"Apa yang kau pikirkan Maya? Daito bisa saja memanfaatkan dokumen itu," kata Mizuki berang, baru kali ini ada gadis kecil yang mebuatnya jengkel setengah mati.

"Tidak, Tuan Masumi tidak akan melakukan hal itu. Lagipula ini satu-satunya cara agar saya dan mawar ungu tetap terikat," kata Maya. "Kak Hijiri, dalam surat itu saya juga meminta hadiah atas pementasan Bidadari Merah. Jika nanti anda yang mengurus tiket pesawatnya bisakah anda beli kelas ekonomi saja, aku sudah sangat memberanikan diri memintanya. Karena uang saya tidak cukup maka kali ini saya sedikit memanfaatkan kebaikannya." Maya tersenyum malu tapi Hijiri dan Mizuki masih terlalu bingung untuk menangkap maksud Maya.

"Apa kau minta paket liburan?" tanya Hijiri.

Maya tertawa. "Nanti Kak Hijiri juga tahu,"

"Kurasa aku tidak perlu mendengarkan omong kosong ini," kata Mizuki melihat Maya tidak menjelaskan apa-apa padanya.

"Tidak Nona Mizuki, saya sangat membutuhkan anda." Maya cepat-cepat merespon.

"Katakan," Mizuki tidak mau basa-basi lagi.

"Bisakah kau jelaskan sedikit rencanamu Maya?" Hijiri memintanya dengan lebih sopan, yakin Maya menyimpan sesuatu.

Maya tertegun ragu.

"Paling tidak ceritakan garis besarnya. Bagaimana kami bisa membantumu jika kami tidak tahu apapun," Mizuki berkilah.

"Baiklah, tapi mungkin tidak banyak. Alasan utama saya mengundang Nona Mizuki dan Kak Hijiri adalah karena saya akan pergi selama tiga tahun. Untuk itu saya mohon bantuan kalian, tolong jaga Tuan Masumi. Selama ini dia selalu melindungi saya dan sekarang saya hanya bisa melakukan ini untuk sedikit mangulur waktu. Tapi saat saya kembali nanti saya pasti bisa melindunginya." Suara Maya serak karena menahan tangis. Setelah lebih tenang Maya menjelaskan sedikit tentang bagian rencananya yang membutuhkan bantuan Mizuki dan Hijiri.

Keduanya terdiam dan Maya menatap Mizuki ragu.

"Ada apa?" tanya Mizuki.

"Ehhmm," Maya sedikit ragu mengatakannya. "Tolong awasi Tuan Masumi untuk saya," katanya dengan wajah merona merah.

"Apa maksudmu?" Mizuki mulai kesal dengan semua kegilaan Maya.

"Hhmmm, anda adalah orang yang paling dekat dengan Tuan Masumi. Tolong jaga dia, ingatkan dia untuk makan teratur, menjaga kesehatan, istirahat yang cukup. Lalu ... kurangi merokok, dan ... kurangi minum alkohol ... dan … jangan kencan dengan wanita lain. Bagaimana ya ... pokoknya Nona Mizuki harus menjaganya tetap sehat."

"Hah?!" Mizuki dan Hijiri tercengang tapi kemudian Hijiri terbahak.

"Kau pikir aku istrinya!!" Mizuki berang.

"Eh?! Bukan begitu, anda kan orang kepercayaan Tuan Masumi dan yang paling dekat dengannya," kata Maya polos, merasa tidak ada yang salah dengan permintaannya.

"Sebentar lagi dia menikah, istrinya pasti akan menjaganya," kata Mizuki ketus.

Ekspresi Maya langsung berubah, Hijiri berhenti tertawa dan Mizuki menatapnya heran.

"Tidak Nona Mizuki, pernikahan itu tidak akan terjadi." Maya mengepalkan kedua tangan saat mengatakannya.

"Maya .. bagaimana kau ... ." Mizuki kehilangan kata-kata.

"Itu urusan saya, pernikahan itu tidak akan terjadi." Amarah jelas terlihat jelas di wajah Maya.

"Kau sadar dengan apa yang katakan itu Maya?" tanya Mizuki.

Maya mengangguk. "Kalian berdua bersedia membantuku kan?" pintanya.

Keduanya terdiam.

"Kenapa kau percaya pada kami?" tanya Hijiri.

Maya tersenyum. "Karena Tuan Masumi percaya pada kalian."

Mizuki dan Hijiri kembali terdiam.

"Kalian bekerja untuk Tuan Masumi kan? Bukan untuk Daito," kata Maya.

Keduanya hanya tersenyum dan Maya menganggap itu sebagai sebuah kesepakatan.

"Terima kasih Anda bedua sudah mau datang dan membantu saya. Tolong rahasiakan pada Tuan Masumi tentang saya yang sudah tahu mengenai identitas mawar ungu. Biarkan semuanya berjalan seperti harapannya." Maya membungkuk memberi hormat, mengakhiri percakapan membingungkan itu.

***

>>Bersambung<<
>>Pertama : Mimpi Baru Sang Bidadari<<
>>Ketiga : Dilema<<

Follow me on :
Facebook : Agnes FFTK
Wattpad : @agneskristina

Post a Comment

9 Comments