Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
“Apa itu efek sampingnya?” Sasuke tampak khawatir saat
Neji memeriksa ruam merah di lengan Naruto. Tempat di mana Neji menyuntikkan
obat semalam.
Neji mengangguk.
“Apa itu berbahaya?” Mata Sasuke mengamati Neji yang
tengah mengoleskan obat. Istrinya itu sudah meminum obat yang dicampur ke dalam
minuman di dalam mobil, di Kiri, lalu menerima suntikan anastesi begitu sampai
di rumah mereka, di Konoha.
“Tidak apa-apa, ruamnya akan hilang. Ini karena dia
menggunakan obat anestesi yang berbeda dari biasanya.” Neji menoleh dan melihat
alis Sasuke yang bertaut. “Obat yang biasa dikonsumsinya tidak akan bertahan
lebih dari empat jam. Sementara sekarang, Hime harus tidur selama dua puluh
empat jam.” katanya menjelaskan.
Sasuke mengangguk. “Apa ada efek samping lain setelah
dia bangun nanti?”
“Ya, obat jenis ini biasanya membuat sakit kepala,
mual. Aku senang tidak harus menambah dosisnya dan berharap kalau Hime besok
hanya akan mengantuk seharian.”
Saat ini sudah jam tiga dini hari. Sasuke dan Neji
baru saja menerima kabar dari istana kalau semua berjalan sesuai rencana. Neji pun
memeriksa keadaan Naruto yang masih terlelap di bawah pengaruh obat.
“Istirahatlah Neji, aku akan memanggilmu jika terjadi
sesuatu pada Naru.” Sasuke tahu kalau Neji juga pasti merasa lelah. Mereka sama
sekali belum tidur.
Neji mengerutkan alis tapi kemudian sadar kalau Sasuke
lah yang akan menemani Naruto. Dia hampir lupa kalau pria itu adalah suaminya. Keadaan
sudah aman dan dia tidak memiliki alasan untuk tetap berada di dalam kamar. “Baiklah,
aku akan beristirahat. Jangan sungkan untuk membangunkanku.”
“Hm,” Sasuke mengangguk.
Pintu kamar yang tertutup membuat Sasuke menghela
napas lega. Melepas sandalnya, Sasuke kemudian naik ke atas tempat tidur, merapikan
selimut Naruto dan memeluknya. Tentu saja dia berhati-hati agar tidak mengenai
selang IV di tangan sang istri.
“Hime sayang, aku cemburu pada sahabatmu,” ucap Sasuke
konyol. Dia tersenyum, mencium pipi Naruto lalu memejamkan mata. Sasuke juga
merasa begitu lelah. Dia berharap istrinya akan baik-baik saja saat bangun
nanti.
***
Pagi yang sibuk di istana Uzushio. Renovasi dilakukan
di mana-mana dan gerbang istana ditutup untuk sementara. Nagato sedang dirawat
di rumah sakit karena luka di kepala, sementara Mito sedang berduka di kamarnya.
Hashirama dan Jiraiya disibukkan dengan urusan kenegaraan bersama Tobirama juga
Madara. Di luar istana, Yamato dan Shikamaru membereskan kesepuluh markas dan
gudang senjata yang sudah dibumi hanguskan oleh Anbu bersama dengan prajurit
militer Mizu.
Sementara itu di kediaman Shimura, Karin histeris
menerima berita ibunya meninggal dunia karena kecelakaan. Ya, karena
kecelakaan. Kudeta yang dilakukan Sara dan Hidan masuk ke dalam file terlarang kerajaan.
Danzo dan Shin tutup mulut di depan Karin. Keduanya merasa belum siap untuk menceritakan
semuanya. Bagaimana pun juga, selama ini Sara selalu menjadi sosok ibu yang
baik di depan Karin dan seluruh keluarga. Mereka hanya berharap kalau Karin
akan berubah menjadi lebih baik setelah kepergian ibunya.
Ditengah suasana duka, Danzo bersama Shin dan juga Shikaku,
mengatur kembali prajurit Angkatan Darat. Tidak boleh lagi ada penghianat di
dalam pasukan militer.
Kesibukan di dalam istana Uzushio berbanding terbalik
dengan suasana di kediaman baru Naruto dan Sasuke. Matahari hampir mencapai
puncaknya tapi Naruto masih tidur dengan tenang.
“Kenapa Naru tampak pucat? Kau yakin dia akan
baik-baik saja?” tanya Sasuke pada Neji yang sedang mengganti cairan infus.
“Tidak apa-apa. Hime tampak pucat karena tekanan darahnya
rendah dan dia sudah tidur selama hampir delapan belas jam.” Selesai dengan
cairan infus, Neji mengambil thermogun
dan menembakkannya di pelipis Naruto. Alisnya bertaut begitu membaca angka
digital yang tertera di layar. Neji mengambil stetoskop, membuka kancing piyama
bagian atas untuk mulai memeriksa dan langsung terpaku begitu melihat tanda
kemerahan yang terlihat di bagian dada. Dokter muda itu menoleh dan menatap
Sasuke yang berdiri di ujung tempat tidur.
Sasuke berdeham pelan di balik kepalan tangannya tapi
tidak berkata apa-apa. Dalam hati sebenarnya Sasuke bersorak senang tapi tidak
baik juga menunjukkan kebahagiannya pada sahabat baik sang istri.
Selesai memeriksa kondisi Naruto, Neji pun membereskan
peralatannya. “Apa kau tahu kalau Hime phobia darah?” tanyanya tiba-tiba.
“Ya, Obaa-sama dan Onii-sama sudah memberitahuku.”
“Kau boleh meneleponku kapan saja jika terjadi sesuatu
padanya. Hime tidak suka rumah sakit dan biasanya aku atau ayahku yang akan
datang untuk memeriksanya. Dia juga alergi coklat, kau tahu?” lanjutnya tanpa
menatap Sasuke dan sibuk memasukkan peralatannya ke dalam tas.
“Hm,” gumam Sasuke sebagai jawaban.
Neji menghela napas panjang lalu menoleh pada Sasuke. “Aku
membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan semua ini. Apa kau keberatan?”
“Selama kau tidak mengganggu hubungan kami dan tidak
membuat Naru bersedih, aku tidak masalah.” Sasuke cukup mengerti dengan perasaan
Neji yang sudah belasan tahun menyimpan rasa pada istrinya.
“Hm, aku tahu batasanku, terima kasih.” Ekspresi Neji
menampakkan kelegaan. Dia pun beranjak dari tepi tempat tidur dan meminta ijin
untuk keluar dari kamar.
Sasuke menatap istrinya dan dia semakin merindukan
mata biru cerah yang biasa menatapnya dengan polos. Ah, menunggu memang
melelahkan.
***
Hari menjelang senja saat Sasuke selesai dengan banyak
telepon masuk. Baik itu dari kakek nenek Naruto, kakak iparnya atau pun kedua
orang tua dan juga kakaknya. Mereka semua menanyakan hal yang sama dan Sasuke
mulai merasa lelah karena berulang kali menjelaskan kondisi istrinya.
Sasuke berbalik dari balkon dan merasa déjà vu saat
melihat sepasang mata biru menatapnya linglung. Dia segera menghampiri sang
istri lalu duduk di tepi tempat tidur.
“Senang melihatmu bangun, bagaimana perasaanmu?”
Sasuke mengusap lembut sisi wajah Naruto yang terasa hangat.
Alih-alih menjawab, Naruto justru mengedarkan
pandangan ke seluruh kamar yang jelas tampak asing baginya. “Ini dimana?”
tanyanya dengan suara parau.
Belum sempat Sasuke menjawab, pintu kamar di ketuk. Sasuke
jelas tahu siapa yang mengetuk dan dugaannya benar, Neji muncul saat pintu
terbuka.
“Hime sudah bangun?” tanya Neji dengan kening
berkerut.
“Dia baru saja bangun.” Sasuke beranjak dan membiarkan
Neji memeriksa istrinya.
“Apa yang kau rasakan, Hime?” tanya Neji sembari
mengecek selang IV lalu mengeluarkan stetoskop dari dalam tas yang dibawanya.
Naruto terdiam hanya untuk melihat Neji dan suaminya
bergantian.
“Hime?” panggil Neji untuk menarik perhatian Naruto.
“Dimana ini?” Putri Namikaze itu justru balik bertanya
sembari menatap sang suami.
Sasuke kembali ke sisi istrinya lalu berlutut dan
menggenggam tangannya saat Neji bergeser untuk memberinya ruang. “Ini rumah
kita. Bisakah kau jawab dulu pertanyaan Neji? Apa yang kau rasakan sekarang?”
Mata Naruto berkedip lalu beralih menatap Neji. “Kepalaku
pusing, apa yang terjadi?”
“Kau kelelahan, pingsan di dalam pesawat lalu demam.
Aku memberimu obat untuk membuatmu beristirahat dengan baik.” Neji menjelaskan
seolah hal itu benar-benar terjadi.
Tentu saja kening Naruto berkerut karenanya. “Aku
pingsan?” Tanpa sadar Naruto mengeratkan genggaman tangannya pada Sasuke. “Apa
itu benar?” tanyanya pada sang suami.
“Ya,” Sasuke mengangguk. “Sejak kemarin aku sangat
khawatir. Ini rumah kita, kau bisa beristirahat dengan lebih baik disini.”
Naruto tampak berpikir, mencoba mengingat apa yang
terjadi. “Bukankah aku hanya tertidur saat kita sudah berada di pesawat?”
“Hm, dan kau tiba-tiba demam tinggi hingga tidak
sadarkan diri. Kami semua panik tapi bersyukur itu hanya demam biasa. Neji yang
merawatmu sejak kemarin.”
“Kemarin?” Naruto kembali dikejutkan dengan penjelasan
suaminya. “Berapa lama aku tidur?”
“Hampir dua puluh empat jam.” Kali ini adalah jawaban
dari Neji.
Naruto baru menyadari kalau dirinya memakai selang IV.
Kepalanya berdenyut tidak nyaman dan tiba-tiba dia merasa begitu lapar. “Suke.”
Sasuke tersentak dengan panggilan istrinya. Ini
pertama kali dia mendengar Naruto memanggilnya dengan nama itu menggunakan nada
biasa. “Ya?”
“Aku lapar.” Mata sayu Naruto menatap suaminya yang
kini tersenyum.
“Apa Naru boleh makan?” Sasuke langsung bertanya pada
Neji yang dijawab dengan sebuah anggukan.
“Kau ingin makan apa, hm?” tanya Sasuke sembari
merapikan poni rambut di wajah istrinya.
“Sesuatu yang hangat dan berkuah, tenggorokanku sakit.”
“Minta pelayan membuatkan bubur, sup dan semacamnya.”
Neji menambahkan.
Sasuke mengangguk pada Neji lalu kembali menatap
istrinya. “Biarkan Neji memeriksamu dulu. Aku akan ke dapur dan meminta pelayan
membuatkan makanan untukmu.” Dia mengecup kening Naruto lalu bergegas
meninggalkan kamar.
Neji tersenyum saat kembali duduk di tepi tempat
tidur, di sisi Naruto. Dia mengeluarkan tensi meter dari dalam tas. “Dia sangat
memanjakanmu,” ucapnya seraya menarik lengan Naruto dan membungkusnya dengan
alat pengukur tekanan darah.
“Apa ada yang tidak memanjakanku? Kau juga melakukannya.”
Naruto tersenyum saat melihat Neji menggeleng geli padanya.
“Apa kau bahagia?” Ada dorongan dalam hati Neji untuk
menggenggam tangan Naruto tapi dia menahannya.
“Ya, aku bahagia.” Naruto melihat ke arah pintu kaca
balkon yang menampakkan cahaya oranye dari matahari yang mulai berpendar.
“Neji, apa terjadi sesuatu?” tanyanya tanpa menatap sang sahabat.
“Apa maksudmu?” Neji pura-pura tidak mengerti dan
menggulung tensimeter dengan ekspresi datar.
“Kenapa aku ada disini?” Naruto kini menoleh pada
sahabatnya yang tengah mengambil stetoskop.
“Tanyakan itu pada suamimu,” jawab Neji santai.
“Biarkan aku memeriksamu dulu, setelah itu kau boleh bertanya macam-macam.” Dia
mencoba mengalihkan perhatian Naruto dan berusaha untuk tidak mengernyit saat
kembali melihat tanda merah di dada sahabatnya. Jujur saja hatinya merasa
cemburu membayangkan malam panas yang dilalui Naruto bersama suaminya.
Pintu kamar terbuka dan Sasuke masuk dengan membawa
nampan berisi teko dan cangkir. Meletakkan nampan di atas meja kamar, Sasuke
kemudian menuang teh kesukaan istrinya ke dalam cangkir.
“Bagaimana keadaannya?” Sasuke menghampiri istrinya
saat Neji kemudian beranjak dari sisi tempat tidur.
“Semua baik selain dari tekanan darahnya yang rendah.
Suhu tubuhnya juga sudah normal.” Tentu saja kalimat terakhir Neji adalah
kebohongan. Naruto tidak demam.
“Baguslah, aku lega mendengarnya.” Meletakkan cangkir
di meja nakas. Sasuke duduk di tepi tempat tidur dan membantu istrinya untuk bangun.
“Apa kepalamu masih sakit?”
Naruto mengangguk lalu menyandarkan tubuhnya dengan
nyaman pada kepala tempat tidur. Dia menerima cangkir teh dari Sasuke dan
meneguknya perlahan. Rasa hangat membuat tenggorokannya terasa lebih baik.
“Apa IV nya sudah boleh dilepas?” tanya Naruto setelah
mengulurkan cangkir kosong pada suaminya lalu kembali menatap Neji yang duduk
di kursi kamar, menatapnya.
“Aku akan melepasnya.” Neji pun beranjak lalu
mengambil kapas juga alkohol dari dalam tas.
Sasuke kembali harus menjauh dari tempat tidur dan
memilih untuk masuk ke kamar mandi. Dia ingin menyiapkan air untuk istrinya
berendam.
Neji sudah selesai melepas selang IV saat Sasuke
keluar dari kamar mandi. “Sasuke, ini obat sakit kepala untuk Hime. Minumkan
saat dia merasa sakit saja. Hubungi aku jika terjadi sesuatu.” Dokter muda itu
beranjak lalu memberikan sebuah botol berwarna coklat.
“Kau akan pergi?” Sasuke melihat Neji mengemasi selang
IV dan sisa cairan infus ke dalam tasnya.
“Hm, kondisi Hime sudah aman. Sebaiknya aku pulang,
bukan begitu?” Neji menyeringai saat suami sahabatnya itu berdeham pelan.
“Terima kasih, Neji.”
“Itu sudah menjadi tugasku.” Neji mengangguk hormat
pada Sasuke sebelum kembali menatap sahabatnya. Putri Namikaze itu masih tampak
mengantuk. Neji bersyukur obat yang diberikannya tidak memberi efek samping
berlebihan. “Hime, istirahatlah yang cukup agar kondisimu cepat pulih. Tolong
jangan makan ramen dulu karena hanya akan membuatmu merasa mual.”
“Terima kasih Neji Sensei.” Naruto tersenyum tapi
mengucapkan nama sahabatnya dengan nada sarkasme yang terdengar jelas.
Tentu saja hal itu membuat Neji akhirnya tertawa. “Kau
tidak boleh kesal padaku. Jaga kesehatanmu dengan baik jika ingin sering makan
ramen.”
Sasuke hanya tersenyum melihat interaksi Naruto dan sahabatnya.
Neji akhirnya pulang dan membuatnya senang karena bisa kembali berdua dengan
sang istri. “Aku sudah menyiapkan air mandi untukmu. Kau mau berendam?”
“Sepertinya ide yang bagus.” Naruto menggeser kakinya
turun dari tempat tidur. Sakit kepala membuatnya sedikit limbung dan Sasuke
segera memeluknya agar tidak terjatuh. “Hei!” Dia memekik saat sang suami
tiba-tiba menggendongnya.
“Tenang saja Hime, aku akan dengan senang hati memandikanmu.”
Naruto menyurukkan wajah di dada suaminya. Merasa malu
saat teringat kegiatan panas mereka di dalam kamar mandi beberapa hari yang
lalu. Ah, tiba-tiba Naruto ingin mengulanginya.
***
Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Naruto
merasa jauh lebih baik setelah mandi dan berendam. Saat ini dia tengah duduk di
atas tempat tidur, bersandar pada dada Sasuke dan menikmati pelukan hangat
suaminya.
“Sasuke.”
“Ya?”
Kedua tangan mereka terkait di atas perut Naruto. Jari
mereka saling memutar dan memilin, terasa menyenangkan bagi keduanya.
“Kau yakin tidak ada yang disembunyikan dariku?”
“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu, hm?”
Memberikan kecupan di pelipis, Sasuke menyandarkan wajahnya di sisi wajah
istrinya.
“Semuanya terasa aneh bagiku.” Satu tangan Naruto terulur
ke atas, mengusap wajah Sasuke dengan lembut.
“Apa yang aneh? Apa demam membuatmu berhalusinasi?”
Sasuke menempelkan telapak tangan ke kening Naruto yang segera ditarik oleh
istrinya.
“Jangan bercanda, aku serius,” ucap Naruto sembari menggenggam
erat tangan Sasuke agar tidak kembali menempel di keningnya. “Aku merasa kalian
semua menyembunyikan sesuatu dariku. Kenapa semua orang tampak begitu khawatir
padaku saat kita akan terbang ke Konoha? Dan kenapa aku tidak diberitahu kalau
kita memiliki rumah baru?”
Mendengar pertanyaan Naruto membuat Sasuke sejenak
berpikir. Sedikit banyak dia sudah menebak hal ini akan terjadi. “Jangan
berpikir berlebihan. Aku yang meminta rumah ini dari kakekku.”
Naruto langsung memiringkan kepala untuk melihat
ekspresi suaminya.
“Aku tidak bohong. Rumah ini adalah asset milik
keluarga Uchiha. Kakek memintaku memilih dan aku suka rumah ini karena cukup
dekat dengan Nami Café juga studioku. Lingkungannya tenang hingga kau tidak
akan terganggu oleh kebisingan kota.”
Sasuke kembali mencium pelipis Naruto sebelum
melanjutkan. “Awalnya aku ingin memberimu kejutan saat kita kembali. Tapi
ternyata kau tiba-tiba jatuh sakit. Aku pun meminta ijin pada kakekmu untuk
langsung membawamu ke sini. Mereka setuju dengan syarat aku membawa Neji untuk
merawatmu.”
“Hanya itu?” Naruto sepertinya masih belum percaya.
“Ya, hanya itu. Lagipula untuk apa aku berbohong
padamu, Hime-ku Sayang.” Sasuke mengeratkan pelukannya.
Pikiran Naruto membenarkan ucapan suaminya. Untuk apa
Sasuke berbohong padanya? Tapi hatinya memang merasa sesuatu telah terjadi.
Sudahlah, kepala Naruto terasa pusing karena terus memikirkan hal itu. Dia pun
menarik diri dari pelukan sang suami lalu berbaring di sebelahnya.
“Kau sudah mengantuk?” Sasuke mengusap kepala istrinya
dengan penuh sayang.
“Ya, kepalaku masih pusing,” jawab Naruto sembari
menarik selimutnya sampai dada.
“Kalau begitu tidurlah.” Tangan Sasuke masih terus
membelai kepala sang istri hingga terlelap. Dia lalu menghela napas panjang.
Ternyata berbohong itu melelahkan.
***
>>Bersambung<<
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments