Nami Cafe - Chapter 29

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================

(Picture from pinterest, credit for owner)

“Apa itu efek sampingnya?” Sasuke tampak khawatir saat Neji memeriksa ruam merah di lengan Naruto. Tempat di mana Neji menyuntikkan obat semalam.

Neji mengangguk.

“Apa itu berbahaya?” Mata Sasuke mengamati Neji yang tengah mengoleskan obat. Istrinya itu sudah meminum obat yang dicampur ke dalam minuman di dalam mobil, di Kiri, lalu menerima suntikan anastesi begitu sampai di rumah mereka, di Konoha.

“Tidak apa-apa, ruamnya akan hilang. Ini karena dia menggunakan obat anestesi yang berbeda dari biasanya.” Neji menoleh dan melihat alis Sasuke yang bertaut. “Obat yang biasa dikonsumsinya tidak akan bertahan lebih dari empat jam. Sementara sekarang, Hime harus tidur selama dua puluh empat jam.” katanya menjelaskan.

Sasuke mengangguk. “Apa ada efek samping lain setelah dia bangun nanti?”

“Ya, obat jenis ini biasanya membuat sakit kepala, mual. Aku senang tidak harus menambah dosisnya dan berharap kalau Hime besok hanya akan mengantuk seharian.”

Saat ini sudah jam tiga dini hari. Sasuke dan Neji baru saja menerima kabar dari istana kalau semua berjalan sesuai rencana. Neji pun memeriksa keadaan Naruto yang masih terlelap di bawah pengaruh obat.

“Istirahatlah Neji, aku akan memanggilmu jika terjadi sesuatu pada Naru.” Sasuke tahu kalau Neji juga pasti merasa lelah. Mereka sama sekali belum tidur.

Neji mengerutkan alis tapi kemudian sadar kalau Sasuke lah yang akan menemani Naruto. Dia hampir lupa kalau pria itu adalah suaminya. Keadaan sudah aman dan dia tidak memiliki alasan untuk tetap berada di dalam kamar. “Baiklah, aku akan beristirahat. Jangan sungkan untuk membangunkanku.”

“Hm,” Sasuke mengangguk.

Pintu kamar yang tertutup membuat Sasuke menghela napas lega. Melepas sandalnya, Sasuke kemudian naik ke atas tempat tidur, merapikan selimut Naruto dan memeluknya. Tentu saja dia berhati-hati agar tidak mengenai selang IV di tangan sang istri.

“Hime sayang, aku cemburu pada sahabatmu,” ucap Sasuke konyol. Dia tersenyum, mencium pipi Naruto lalu memejamkan mata. Sasuke juga merasa begitu lelah. Dia berharap istrinya akan baik-baik saja saat bangun nanti.

***

Pagi yang sibuk di istana Uzushio. Renovasi dilakukan di mana-mana dan gerbang istana ditutup untuk sementara. Nagato sedang dirawat di rumah sakit karena luka di kepala, sementara Mito sedang berduka di kamarnya. Hashirama dan Jiraiya disibukkan dengan urusan kenegaraan bersama Tobirama juga Madara. Di luar istana, Yamato dan Shikamaru membereskan kesepuluh markas dan gudang senjata yang sudah dibumi hanguskan oleh Anbu bersama dengan prajurit militer Mizu.

Sementara itu di kediaman Shimura, Karin histeris menerima berita ibunya meninggal dunia karena kecelakaan. Ya, karena kecelakaan. Kudeta yang dilakukan Sara dan Hidan masuk ke dalam file terlarang kerajaan. Danzo dan Shin tutup mulut di depan Karin. Keduanya merasa belum siap untuk menceritakan semuanya. Bagaimana pun juga, selama ini Sara selalu menjadi sosok ibu yang baik di depan Karin dan seluruh keluarga. Mereka hanya berharap kalau Karin akan berubah menjadi lebih baik setelah kepergian ibunya.

Ditengah suasana duka, Danzo bersama Shin dan juga Shikaku, mengatur kembali prajurit Angkatan Darat. Tidak boleh lagi ada penghianat di dalam pasukan militer.

Kesibukan di dalam istana Uzushio berbanding terbalik dengan suasana di kediaman baru Naruto dan Sasuke. Matahari hampir mencapai puncaknya tapi Naruto masih tidur dengan tenang.

“Kenapa Naru tampak pucat? Kau yakin dia akan baik-baik saja?” tanya Sasuke pada Neji yang sedang mengganti cairan infus.

“Tidak apa-apa. Hime tampak pucat karena tekanan darahnya rendah dan dia sudah tidur selama hampir delapan belas jam.” Selesai dengan cairan infus, Neji mengambil thermogun dan menembakkannya di pelipis Naruto. Alisnya bertaut begitu membaca angka digital yang tertera di layar. Neji mengambil stetoskop, membuka kancing piyama bagian atas untuk mulai memeriksa dan langsung terpaku begitu melihat tanda kemerahan yang terlihat di bagian dada. Dokter muda itu menoleh dan menatap Sasuke yang berdiri di ujung tempat tidur.

Sasuke berdeham pelan di balik kepalan tangannya tapi tidak berkata apa-apa. Dalam hati sebenarnya Sasuke bersorak senang tapi tidak baik juga menunjukkan kebahagiannya pada sahabat baik sang istri.

Selesai memeriksa kondisi Naruto, Neji pun membereskan peralatannya. “Apa kau tahu kalau Hime phobia darah?” tanyanya tiba-tiba.

“Ya, Obaa-sama dan Onii-sama sudah memberitahuku.”

“Kau boleh meneleponku kapan saja jika terjadi sesuatu padanya. Hime tidak suka rumah sakit dan biasanya aku atau ayahku yang akan datang untuk memeriksanya. Dia juga alergi coklat, kau tahu?” lanjutnya tanpa menatap Sasuke dan sibuk memasukkan peralatannya ke dalam tas.

“Hm,” gumam Sasuke sebagai jawaban.

Neji menghela napas panjang lalu menoleh pada Sasuke. “Aku membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan semua ini. Apa kau keberatan?”

“Selama kau tidak mengganggu hubungan kami dan tidak membuat Naru bersedih, aku tidak masalah.” Sasuke cukup mengerti dengan perasaan Neji yang sudah belasan tahun menyimpan rasa pada istrinya.

“Hm, aku tahu batasanku, terima kasih.” Ekspresi Neji menampakkan kelegaan. Dia pun beranjak dari tepi tempat tidur dan meminta ijin untuk keluar dari kamar.

Sasuke menatap istrinya dan dia semakin merindukan mata biru cerah yang biasa menatapnya dengan polos. Ah, menunggu memang melelahkan.

***

Hari menjelang senja saat Sasuke selesai dengan banyak telepon masuk. Baik itu dari kakek nenek Naruto, kakak iparnya atau pun kedua orang tua dan juga kakaknya. Mereka semua menanyakan hal yang sama dan Sasuke mulai merasa lelah karena berulang kali menjelaskan kondisi istrinya.

Sasuke berbalik dari balkon dan merasa déjà vu saat melihat sepasang mata biru menatapnya linglung. Dia segera menghampiri sang istri lalu duduk di tepi tempat tidur.

“Senang melihatmu bangun, bagaimana perasaanmu?” Sasuke mengusap lembut sisi wajah Naruto yang terasa hangat.

Alih-alih menjawab, Naruto justru mengedarkan pandangan ke seluruh kamar yang jelas tampak asing baginya. “Ini dimana?” tanyanya dengan suara parau.

Belum sempat Sasuke menjawab, pintu kamar di ketuk. Sasuke jelas tahu siapa yang mengetuk dan dugaannya benar, Neji muncul saat pintu terbuka.

“Hime sudah bangun?” tanya Neji dengan kening berkerut.

“Dia baru saja bangun.” Sasuke beranjak dan membiarkan Neji memeriksa istrinya.

“Apa yang kau rasakan, Hime?” tanya Neji sembari mengecek selang IV lalu mengeluarkan stetoskop dari dalam tas yang dibawanya.

Naruto terdiam hanya untuk melihat Neji dan suaminya bergantian.

“Hime?” panggil Neji untuk menarik perhatian Naruto.

“Dimana ini?” Putri Namikaze itu justru balik bertanya sembari menatap sang suami.

Sasuke kembali ke sisi istrinya lalu berlutut dan menggenggam tangannya saat Neji bergeser untuk memberinya ruang. “Ini rumah kita. Bisakah kau jawab dulu pertanyaan Neji? Apa yang kau rasakan sekarang?”

Mata Naruto berkedip lalu beralih menatap Neji. “Kepalaku pusing, apa yang terjadi?”

“Kau kelelahan, pingsan di dalam pesawat lalu demam. Aku memberimu obat untuk membuatmu beristirahat dengan baik.” Neji menjelaskan seolah hal itu benar-benar terjadi.

Tentu saja kening Naruto berkerut karenanya. “Aku pingsan?” Tanpa sadar Naruto mengeratkan genggaman tangannya pada Sasuke. “Apa itu benar?” tanyanya pada sang suami.

“Ya,” Sasuke mengangguk. “Sejak kemarin aku sangat khawatir. Ini rumah kita, kau bisa beristirahat dengan lebih baik disini.”

Naruto tampak berpikir, mencoba mengingat apa yang terjadi. “Bukankah aku hanya tertidur saat kita sudah berada di pesawat?”

“Hm, dan kau tiba-tiba demam tinggi hingga tidak sadarkan diri. Kami semua panik tapi bersyukur itu hanya demam biasa. Neji yang merawatmu sejak kemarin.”

“Kemarin?” Naruto kembali dikejutkan dengan penjelasan suaminya. “Berapa lama aku tidur?”

“Hampir dua puluh empat jam.” Kali ini adalah jawaban dari Neji.

Naruto baru menyadari kalau dirinya memakai selang IV. Kepalanya berdenyut tidak nyaman dan tiba-tiba dia merasa begitu lapar. “Suke.”

Sasuke tersentak dengan panggilan istrinya. Ini pertama kali dia mendengar Naruto memanggilnya dengan nama itu menggunakan nada biasa. “Ya?”

“Aku lapar.” Mata sayu Naruto menatap suaminya yang kini tersenyum.

“Apa Naru boleh makan?” Sasuke langsung bertanya pada Neji yang dijawab dengan sebuah anggukan.

“Kau ingin makan apa, hm?” tanya Sasuke sembari merapikan poni rambut di wajah istrinya.

“Sesuatu yang hangat dan berkuah, tenggorokanku sakit.”

“Minta pelayan membuatkan bubur, sup dan semacamnya.” Neji menambahkan.

Sasuke mengangguk pada Neji lalu kembali menatap istrinya. “Biarkan Neji memeriksamu dulu. Aku akan ke dapur dan meminta pelayan membuatkan makanan untukmu.” Dia mengecup kening Naruto lalu bergegas meninggalkan kamar.

Neji tersenyum saat kembali duduk di tepi tempat tidur, di sisi Naruto. Dia mengeluarkan tensi meter dari dalam tas. “Dia sangat memanjakanmu,” ucapnya seraya menarik lengan Naruto dan membungkusnya dengan alat pengukur tekanan darah.

“Apa ada yang tidak memanjakanku? Kau juga melakukannya.” Naruto tersenyum saat melihat Neji menggeleng geli padanya.

“Apa kau bahagia?” Ada dorongan dalam hati Neji untuk menggenggam tangan Naruto tapi dia menahannya.

“Ya, aku bahagia.” Naruto melihat ke arah pintu kaca balkon yang menampakkan cahaya oranye dari matahari yang mulai berpendar. “Neji, apa terjadi sesuatu?” tanyanya tanpa menatap sang sahabat.

“Apa maksudmu?” Neji pura-pura tidak mengerti dan menggulung tensimeter dengan ekspresi datar.

“Kenapa aku ada disini?” Naruto kini menoleh pada sahabatnya yang tengah mengambil stetoskop.

“Tanyakan itu pada suamimu,” jawab Neji santai. “Biarkan aku memeriksamu dulu, setelah itu kau boleh bertanya macam-macam.” Dia mencoba mengalihkan perhatian Naruto dan berusaha untuk tidak mengernyit saat kembali melihat tanda merah di dada sahabatnya. Jujur saja hatinya merasa cemburu membayangkan malam panas yang dilalui Naruto bersama suaminya.

Pintu kamar terbuka dan Sasuke masuk dengan membawa nampan berisi teko dan cangkir. Meletakkan nampan di atas meja kamar, Sasuke kemudian menuang teh kesukaan istrinya ke dalam cangkir.

“Bagaimana keadaannya?” Sasuke menghampiri istrinya saat Neji kemudian beranjak dari sisi tempat tidur.

“Semua baik selain dari tekanan darahnya yang rendah. Suhu tubuhnya juga sudah normal.” Tentu saja kalimat terakhir Neji adalah kebohongan. Naruto tidak demam.

“Baguslah, aku lega mendengarnya.” Meletakkan cangkir di meja nakas. Sasuke duduk di tepi tempat tidur dan membantu istrinya untuk bangun. “Apa kepalamu masih sakit?”

Naruto mengangguk lalu menyandarkan tubuhnya dengan nyaman pada kepala tempat tidur. Dia menerima cangkir teh dari Sasuke dan meneguknya perlahan. Rasa hangat membuat tenggorokannya terasa lebih baik.

“Apa IV nya sudah boleh dilepas?” tanya Naruto setelah mengulurkan cangkir kosong pada suaminya lalu kembali menatap Neji yang duduk di kursi kamar, menatapnya.

“Aku akan melepasnya.” Neji pun beranjak lalu mengambil kapas juga alkohol dari dalam tas.

Sasuke kembali harus menjauh dari tempat tidur dan memilih untuk masuk ke kamar mandi. Dia ingin menyiapkan air untuk istrinya berendam.

Neji sudah selesai melepas selang IV saat Sasuke keluar dari kamar mandi. “Sasuke, ini obat sakit kepala untuk Hime. Minumkan saat dia merasa sakit saja. Hubungi aku jika terjadi sesuatu.” Dokter muda itu beranjak lalu memberikan sebuah botol berwarna coklat.

“Kau akan pergi?” Sasuke melihat Neji mengemasi selang IV dan sisa cairan infus ke dalam tasnya.

“Hm, kondisi Hime sudah aman. Sebaiknya aku pulang, bukan begitu?” Neji menyeringai saat suami sahabatnya itu berdeham pelan.

“Terima kasih, Neji.”

“Itu sudah menjadi tugasku.” Neji mengangguk hormat pada Sasuke sebelum kembali menatap sahabatnya. Putri Namikaze itu masih tampak mengantuk. Neji bersyukur obat yang diberikannya tidak memberi efek samping berlebihan. “Hime, istirahatlah yang cukup agar kondisimu cepat pulih. Tolong jangan makan ramen dulu karena hanya akan membuatmu merasa mual.”

“Terima kasih Neji Sensei.” Naruto tersenyum tapi mengucapkan nama sahabatnya dengan nada sarkasme yang terdengar jelas.

Tentu saja hal itu membuat Neji akhirnya tertawa. “Kau tidak boleh kesal padaku. Jaga kesehatanmu dengan baik jika ingin sering makan ramen.”

Sasuke hanya tersenyum melihat interaksi Naruto dan sahabatnya. Neji akhirnya pulang dan membuatnya senang karena bisa kembali berdua dengan sang istri. “Aku sudah menyiapkan air mandi untukmu. Kau mau berendam?”

“Sepertinya ide yang bagus.” Naruto menggeser kakinya turun dari tempat tidur. Sakit kepala membuatnya sedikit limbung dan Sasuke segera memeluknya agar tidak terjatuh. “Hei!” Dia memekik saat sang suami tiba-tiba menggendongnya.

“Tenang saja Hime, aku akan dengan senang hati memandikanmu.”

Naruto menyurukkan wajah di dada suaminya. Merasa malu saat teringat kegiatan panas mereka di dalam kamar mandi beberapa hari yang lalu. Ah, tiba-tiba Naruto ingin mengulanginya.

***

Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Naruto merasa jauh lebih baik setelah mandi dan berendam. Saat ini dia tengah duduk di atas tempat tidur, bersandar pada dada Sasuke dan menikmati pelukan hangat suaminya.

“Sasuke.”

“Ya?”

Kedua tangan mereka terkait di atas perut Naruto. Jari mereka saling memutar dan memilin, terasa menyenangkan bagi keduanya.

“Kau yakin tidak ada yang disembunyikan dariku?”

“Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu, hm?” Memberikan kecupan di pelipis, Sasuke menyandarkan wajahnya di sisi wajah istrinya.

“Semuanya terasa aneh bagiku.” Satu tangan Naruto terulur ke atas, mengusap wajah Sasuke dengan lembut.

“Apa yang aneh? Apa demam membuatmu berhalusinasi?” Sasuke menempelkan telapak tangan ke kening Naruto yang segera ditarik oleh istrinya.

“Jangan bercanda, aku serius,” ucap Naruto sembari menggenggam erat tangan Sasuke agar tidak kembali menempel di keningnya. “Aku merasa kalian semua menyembunyikan sesuatu dariku. Kenapa semua orang tampak begitu khawatir padaku saat kita akan terbang ke Konoha? Dan kenapa aku tidak diberitahu kalau kita memiliki rumah baru?”

Mendengar pertanyaan Naruto membuat Sasuke sejenak berpikir. Sedikit banyak dia sudah menebak hal ini akan terjadi. “Jangan berpikir berlebihan. Aku yang meminta rumah ini dari kakekku.”

Naruto langsung memiringkan kepala untuk melihat ekspresi suaminya.

“Aku tidak bohong. Rumah ini adalah asset milik keluarga Uchiha. Kakek memintaku memilih dan aku suka rumah ini karena cukup dekat dengan Nami Café juga studioku. Lingkungannya tenang hingga kau tidak akan terganggu oleh kebisingan kota.”

Sasuke kembali mencium pelipis Naruto sebelum melanjutkan. “Awalnya aku ingin memberimu kejutan saat kita kembali. Tapi ternyata kau tiba-tiba jatuh sakit. Aku pun meminta ijin pada kakekmu untuk langsung membawamu ke sini. Mereka setuju dengan syarat aku membawa Neji untuk merawatmu.”

“Hanya itu?” Naruto sepertinya masih belum percaya.

“Ya, hanya itu. Lagipula untuk apa aku berbohong padamu, Hime-ku Sayang.” Sasuke mengeratkan pelukannya.

Pikiran Naruto membenarkan ucapan suaminya. Untuk apa Sasuke berbohong padanya? Tapi hatinya memang merasa sesuatu telah terjadi. Sudahlah, kepala Naruto terasa pusing karena terus memikirkan hal itu. Dia pun menarik diri dari pelukan sang suami lalu berbaring di sebelahnya.

“Kau sudah mengantuk?” Sasuke mengusap kepala istrinya dengan penuh sayang.

“Ya, kepalaku masih pusing,” jawab Naruto sembari menarik selimutnya sampai dada.

“Kalau begitu tidurlah.” Tangan Sasuke masih terus membelai kepala sang istri hingga terlelap. Dia lalu menghela napas panjang. Ternyata berbohong itu melelahkan.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 28<<

>>Nami Cafe - Chapter 30<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments