Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
“Ingat untuk sering memberi kabar pada nenekmu ini
Naru-chan. Kau juga harus meluangkan waktu untuk berkunjung.” Tsunade memeluk
Naruto. Air matanya jatuh karena merasa sedih harus berpisah dengan cucu
kesayangannya.
“Obaa-sama jangan sedih, aku mungkin tidak bisa sering
berkunjung tapi aku akan sering memberi kabar.” Naruto tersenyum pada neneknya.
Mereka berada di pelataran istana dan siap untuk berangkat ke bandara.
“Hm, jaga kesehatanmu,” pesan Tsunade lagi yang
kemudian mengalihkan perhatian pada cucu menantunya. “Sasuke, jaga istrimu
dengan baik. Aku titipkan dia padamu.”
“Baik Obaa-sama.” Sasuke pun mengangguk hormat pada
Tsunade.
Setelahnya Naruto berpamitan dengan Jiraiya juga paman
dan bibinya. Kurama akan ikut mengantar ke bandara jadi Naruto melewatkan
pelukan untuknya. Nagato dan Konan sudah kembali ke Konoha kemarin malam.
Selesai dengan semua pelukan dan salam perpisahan, mereka pun memasuki mobil.
Hashirama dan Mito berada dalam satu mobil sedangkan Kurama, Sasuke dan Naruto
dalam mobil lainnya.
Tsunade menyeka air dari sudut matanya begitu mobil
meninggalkan pelataran Istana Kiri.
“Semua akan baik-baik saja, kau jangan khawatir.”
Jiraiya memeluk bahu istrinya dan mengusapnya dengan lembut.
“Hm, aku harap begitu, Anata,” jawab Tsunade sembari
menyandarkan kepala di bahu suaminya. Matanya masih menatap ke arah gerbang
istana.
Kakashi masih belum percaya dengan apa yang terjadi.
Dalam hati dia juga bedoa semoga semua baik-baik saja.
***
“Onii-sama,” Naruto memanggil sang kakak yang duduk di
depannya. Dia dan Sasuke duduk di kursi belakang. SUV yang mereka naiki baru
saja meninggalkan gerbang Istana Kiri.
“Ya?” jawab Kurama tanpa menoleh pada adiknya.
“Kenapa aku merasa semua orang bersikap aneh sejak
tadi pagi?”
“Apa maksudmu dengan bersikap aneh?” Kurama balik
bertanya dengan santai.
“Entahlah, aku
hanya merasa aneh,” jawab Naruto kemudian. Sesaat dia terdiam lalu menoleh pada
suaminya. “Apa kau merasakannya juga?”
“Tidak.” Sasuke menggeleng. “Mungkin itu hanya
perasaanmu saja. Ini, minumlah.”
“Hm, mungkin memang hanya perasaanku saja.” Naruto
menurut saat Sasuke mengulurkan botol minum padanya. Dia meneguk hampir
sepertiga isinya lalu kembali menyerahkannya pada sang suami.
Tak lama kemudian, mereka sampai di bandara. Kurama
memeluk sang adik dan mengantarnya masuk ke dalam jet pribadi milik Kerajaan
Mizu bersama dengan neneknya.
“Sasuke, apa Naruto sudah meminumnya?” Hashirama
berjalan bersama dengan cucu menantunya.
“Sudah Ojii-sama dan obatnya sudah mulai bereaksi.”
“Baguslah,” Hashirama menepuk punggung Sasuke. “Aku
serahkan dia padamu, pastikan dia baik-baik saja.”
“Ojii-sama jangan khawatir, aku akan menjaganya.”
Keduanya pun memasuki pesawat. Naruto yang sudah duduk
di kursinya tersenyum saat melihat Sasuke, membuat Kurama memutar mata. Mito
senang melihat sang cucu tampak bahagia bersama suaminya.
“Kau mengantuk?” Sasuke duduk di sebelah Naruto lalu
menyeka air di sudut matanya. Istrinya kembali menguap.
“Kenapa aku mengantuk sekali? Kita bahkan tidur lebih
awal semalam.” Putri Namikaze itu mengusap mata yang segera di tarik oleh
Sasuke.
“Matamu akan sakit kalau kau menggosoknya seperti
itu.”
“Hm,” gumam Naruto yang kemudian menyandarkan kepala
di bahu Sasuke. Kesadarannya semakin menipis.
Melihat Naruto yang mulai tertidur membuat Kurama
menghela napas lega. Dia mencium kening sang adik sebelum menepuk bahu Sasuke
lalu berbalik meninggalkan keduanya. Tanpa mengatakan apa pun, Sasuke sudah
mengerti apa yang ingin disampaikan oleh kakak iparnya. Kurama memeluk kakek
dan neneknya lalu bergegas keluar dari pesawat.
Pesawat siap lepas landas. Sasuke memakaikan sabuk
pengaman dan menjaga sang istri tetap aman dikursinya. Dia memejamkan mata
seraya menggenggam tangan Naruto saat jet mulai mengudara. Dalam hati Sasuke
berdoa, semoga semua berjalan sesuai rencana.
***
Pesawat mendarat tepat waktu di Konoha. Hokage baru
saja turun saat seorang Jenderal berseragam lengkap menghampirinya, memberi
hormat.
“Mayor Jenderal Kisame?”
“Selamat malam Yang Mulia Hokage-sama. Maaf
mengejutkan Anda. Shinno-sama memerintahkan saya untuk menjemput dan mengantar
Yang Mulia kembali ke Istana Uzushio.”
“Apa terjadi sesuatu sampai Nagato menugaskanmu tanpa
memberitahuku?” Hashirama menatap salah satu Jenderal mudanya.
“Yang Mulia jangan khawatir, saya hanya diminta untuk
memastikan keselamatan Yang Mulia.” Jenderal bintang dua itu pun kemudian
mempersilakan Hashirama untuk ikut dengannya.
Dengan ekspresi tenang Mito memeluk lengan suaminya.
Keduanya berjalan berdampingan menuju pintu kedatangan. Sementara dibelakangnya,
Sasuke dan Naruto mengikuti dalam diam.
Naruto dan Sasuke saling bertukar pandang begitu duduk
di kursi belakang SUV. Tanpa banyak bertanya, Hashirama juga Mito duduk di
barisan depan. Kisame yang berada di sebelah kemudi segera memerintahkan sopir untuk
melaju. Mobil pun meninggalkan bandara bersama empat mobil lain yang mengiring
mereka.
Sepanjang perjalanan, tidak satu orang pun bicara.
Hashirama tampak memejamkan mata dengan tangan terlipat di dada sementara Mito
menyandarkan kepala pada kursi dan menikmati pemandangan malam dalam diam.
SUV memasuki gerbang istana tanpa proses pemeriksaan.
Sasuke melihat banyak prajurit militer yang berjaga dengan senjata lengkap.
Mereka segera menutup gerbang begitu SUV memasuki pelataran istana. Hashirama
dan Mito sama-sama memejamkan mata, seolah tidak melihat semua kejanggalan yang
terjadi.
Alih-alih memasuki pelataran istana timur -yang adalah
tempat tinggal keluarga kerajaan- SUV justru berhenti di depan istana utama.
Lagi-lagi prajurit militer berjaga dengan seragam dan senjata lengkap.
“Yang Mulia, kita sudah sampai.” Kisame membuka pintu
belakang.
“Hm,” gumam Hashirama sebagai jawaban seraya membuka
mata. Sekilas menoleh pada Kisame, Hashirama mendengkus lalu turun bersama
istrinya. “Jangan sentuh cucuku, biarkan dia ikut bersamaku.”
Kisame tampak terkejut dengan ucapan Hashirama tapi
kemudian mengangguk. “Silakan masuk Yang Mulia,” ucapnya kemudian. Dia
membiarkan Sasuke dan Naruto berjalan di belakang sang Hokage.
Pintu ganda besar terbuka dan memperlihatkan lobi
istana yang luas. Mereka terus berjalan masuk hingga sampai di aula utama,
tempat dimana singgasana Hokage berada. Tidak satu pun dari mereka terkejut
ketika melihat seseorang sudah menduduki singgasana tinggi itu. Seorang wanita
dengan pakaian kebesaran istana Uzushio dan mahkota di atas kepalanya.
***
Hashirama mengamati sekekelilingnya, dimana beberapa prajurit
militer berjajar dengan posisi siaga di sekitar aula. Nagato dan Konan tampak
duduk di sisi kanan singgasana, dua orang prajurit militer mengarahkan senjata
pada kepala mereka. Hati Hashirama serasa diremas begitu melihat darah di
pelipis putra sulungnya, Konan tampak baik-baik saja dan itu membuatnya sedikit
lega. Dia lalu menoleh pada Mito yang pastinya tengah memikirkan hal yang sama
dengannya.
Suara tawa yang menggema mengalihkan perhatian semua
orang pada wanita yang duduk di atas singgasana. “Terkejut melihatku,
Otou-sama?” ucapnya seraya menyeringai lebar.
“Tidak juga,” jawab Hashirama tenang.
“Apa kau sudah lama ingin duduk di sana, Sara?” Akhirnya
Mito bicara. Dia menatap putrinya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Apa saat ini aku terlihat luar biasa, Okaa-sama?”
Sara tertawa melihat ibunya menggeleng. “Tidak masalah, karena aku tidak butuh
pendapat kalian,” katanya kemudian seraya mengendikkan bahu.
Nagato yang tampak geram langsung ditahan agar tetap
diam di kursinya.
“Kenapa Onii-sama? Sejak semalam kau terus
memberontak. Tidak bisakah kau patuh pada adik kesayanganmu ini?” Sara beralih
menatap kakaknya, “Ah, aku hampir lupa. Adik kesayanganmu, Kushina, sudah mati.
Bukan begitu?”
“Sara!!” Suara Hashirama menggema di dalam aula.
Alih-alih takut dengan sang ayah, Sara justru kembali
tertawa. Dia berjalan menuruni tangga singgasana lalu berdiri di depan
Hashirama. “Kenapa Otou-sama? Sejak tadi kau tampak begitu tenang. Kenapa
sekarang langsung marah hanya karena aku menyebut nama putri kesayanganmu, hm?”
“Jaga bicaramu Sara. Tidak pantas kau bicara seperti
itu.” Mito menatap putrinya dengan tenang.
“Oh ya? Bukankah faktanya seperti itu? Kalian hanya
menyayangi Kushina. Selalu hanya Kushina.” Sara memandang kedua orang tuanya
dengan tatapan mencemooh.
Mito menggeleng dengan wajah sedih. “Sekarang aku tahu
darimana Karin menuruni sifat iri dan dengkinya.”
Sara tertawa dan hampir menampar sang ibu jika saja
Hashirama tidak bergerak cepat.
“Sara! Beraninya kau mengangkat tanganmu pada
Okaa-sama!” Nagato tak bisa menahan diri lagi. Dia hendak berlari saat seorang prajurit
militer menangkapnya lalu memukulnya hingga kembali terduduk di kursi. Konan
berteriak dan ingin melawan tapi semua tahu kalau itu hanyalah tindakan
sia-sia.
Sementara itu di tengah aula, Hashirama masih mencekal
pergelangan tangan putrinya. Matanya menatap Sara seolah ingin menelan wanita
itu bulat-bulat, tapi dia masih menahan diri. Hashirama melepaskan tangan Sara
lalu menarik Mito ke dalam pelukannya.
Hal itu terlihat konyol di mata Sara hingga membuatnya
kembali tertawa. Dengan isyarat tangan darinya, Kisame maju bersama dua
prajurit militer. Mereka memisahkan Hashirama dan Mito. Kisame tanpa ragu
menarik kedua tangan Hashirama ke belakang punggung dan dua prajurit lain
memegang kedua tangan Mito. Serempak mereka memaksa Hokage dan istrinya
berlutut di depan Sara, membuat Nagato kembali meraung.
Sayangnya mereka lupa siapa Hokage dan istrinya. Tanpa
di duga, Kisame tersungkur di lantai dan dua prajurit militer terpelanting ke
belakang. Hashirama menatap Kisame tajam, sementara Mito menginjak tangan
seorang prajurit yang hendak mengambil senjata. Segera saja semua prajurit di
sekitar aula berdiri dalam posisi siap menembak. Tapi Sara mengangkat tangannya
dan membuat mereka kembali menurunkan senjata.
Dengan seringai di wajah, Sara berjalan memutari sang
ayah lalu mencekal tangan Naruto. Menyeretnya ke depan kedua orang tuanya. “Berani
melawan lagi maka aku akan langsung menembak kepalanya,” ucapnya seraya
menempelkan revolver ke pelipis keponakannya.
Sasuke tak bisa lagi menahan diri. Dia bergerak maju
hanya untuk dihalangi oleh dua orang prajurit yang menahan lengannya.
Membuatnya berlutut di lantai dengan mudah.
“Apa tidak ada yang mendengarku?” Sara kembali menyeringai.
Dia lalu menembakkan revolvernya ke udara. Membuat Sasuke tenang dan Mito
melepas prajurit yang sejak tadi diinjaknya. Kisame pun bangun lalu berdiri di
belakang Sara.
“Aku benar-benar tidak akan memaafkanmu!” Nagato yang
juga sudah dipaksa berlutut di lantai meraung marah. Darah kembali menetes dari
luka dikepalanya.
“Kau pikir aku peduli dengan itu Putra Mahkota?” Sara
menyeringai saat menatap sang kakak. “Setelah ini kau bahkan tidak akan punya
waktu untuk bernapas. Aku tidak butuh maafmu.”
Sara kembali memberi perintah dan empat orang prajurit
maju. Mereka mencekal kedua tangan Hashirama dan Mito, memaksa keduanya untuk
berlutut. Tidak ada pilihan selain patuh karena Sara masih memegang senjata
yang jelas bisa melukai Naruto. Sementara itu, sang putri Namikaze tidak berani
bersuara dan hanya bisa menatap kakek neneknya dalam diam.
“Tidak perlu membuang tenaga untuk melawan. Kalian
tidak akan menang.” Sara bicara dengan penuh percaya diri. Dia lalu kembali memberi
perintah pada Kisame untuk mendudukkan Hashirama di meja yang sudah disiapkan.
Dengan patuh Kisame menarik Hokage dan mendudukkannya dengan paksa di kursi.
“Kau tidak pantas mengenakan seragam itu Kisame,” ucap
Hashirama begitu sang Mayor Jenderal melepas kedua tangannya.
Ekspresi Kisame yang mengeras sama sekali tidak
membuat Hashirama gentar. Alih-alih terintimidasi, sang Hokage justru kembali
berdiri lalu memberikan pukulan telak di rahang kanan hingga membuat Kisame lagi-lagi
tersungkur di lantai. Nagato tampak puas dengan apa yang dilakukan oleh
ayahnya.
Suara tepuk tangan membuat perhatian kembali pada
Sara. Wanita dengan gaun merah itu menatap sang ayah dengan seringai lebar.
“Kehebatan dan keberanian Hokage memang tak lekang oleh waktu. Tidak bisa
diremehkan.” Dia lalu menoleh pada Kisame. “Mayor Jenderal, pergilah ke ruang
kendali dan pantau kondisi Kota Konoha. Sekarang, anak buah Hidan dan tiga
jenderal lainnya pasti sedang dalam perjalanan menuju titik penyerangan.
Laporkan padaku jika terjadi sesuatu di luar rencana kita.”
“Baik, Hime-sama.” Kisame pun memberi hormat sebelum
akhirnya meninggalkan aula.
“Apa kau pikir dirimu hebat dengan melakukan semua
ini, Sara? Apa yang kau inginkan sebenarnya? Kau ingin menghancurkan negaramu
sendiri?” tanya Hashirama dengan suara yang tenang dan dalam.
“Apa yang aku inginkan ada dihadapanmu, Otou-sama.”
Sara menunjuk dua buah dokumen di dalam map yang terbuka di atas meja.
Tanpa membacanya, Hashirama sudah tahu apa yang
diinginkan putrinya. Dia masih diam saat kemudian Sara menyerahkan Naruto pada
dua orang prajurit yang kemudian membuatnya ikut berlutut. Hatinya terasa
terbakar.
Suara pintu aula yang terbuka mengalihkan perhatian
semua orang. Hidan masuk bersama beberapa anak buahnya. Pria itu tertawa puas
melihat seluruh keluarga istana berlutut di lantai, dikelilingi oleh parjurit
militer angkatan darat dengan senjata lengkap yang dipimpin oleh putri kedua
kerajaan. Sungguh ironi yang indah.
Tawa Hidan berhenti begitu beradu pandang dengan
Hashirama. Dia bisa melihat kilat kebencian di mata sang Hokage. Tidak heran,
Hidan lah yang membunuh Kushina dan melukai Naruto sepuluh tahun lalu.
“Bagaimana kabar Anda Hogake-sama? Apa Anda merindukan
saya?” Hidan membungkuk hormat sebagai sarkasme pada pemimpin negara Hi itu.
Hashirama menyeringai. “Aku ingin mengulitimu.”
Tentu saja Hidan langsung tertawa mendengarnya. “Ya,
bisa dimengerti.” Dia lalu menoleh untuk melihat Naruto yang berlutut di
lantai, tidak jauh dari Sasuke. “Cantiknya.” Hidan tersenyum lebar. Dia mendekat
pada Naruto lalu menyentuh wajahnya. “Kau sudah besar. Apa kau ingat aku? Aku
yang sudah mengirim ibumu ke surga.”
Naruto meludah tepat di depan wajah Hidan. Mata
birunya memancarkan kebencian.
“Wow, aku tidak tahu kalau seorang Hime bisa melakukan
hal ini.” Hidan mengusap pipinya dengan lengan baju dan memberikan sebuah
tamparan pada Naruto. “Itu salam dariku, Hime.”
Naruto tetap diam. Dia tidak sudi untuk berteriak atau
menunjukkan rasa sakit pada para pembunuh orang tuanya. Sasuke pun hanya
menatap Hidan yang membuat pria itu kembali tertawa keras.
“Jangan ganggu mereka. Aku akan berurusan dengan
keponakan tersayangku setelah ini.” Sara mengibaskan tangannya dan meminta
Hidan mendekat ke meja.
“Otou-sama, sebaiknya segera tanda tangani dokumennya
agar urusan kita selesai.”
“Aku tidak akan menandatanganinya. Negara Hi tidak
boleh dipimpin oleh orang sepertimu.” Hashirama menjawab dengan lantang.
“Kau tidak akan punya pilihan Otou-sama.” Sara tersenyum.
Dia lalu kembali berjalan ke arah Naruto.
“Jangan sentuh Naru!” Nagato berteriak saat menyadari
apa yang akan dilakukan oleh adiknya.
Sara mengibaskan tangannya pada Nagato. Dia tertawa
saat melihat ekspresi Konan tapi kemudian mengabaikannya. Dengan isyarat, dia
meminta prajurit untuk membawa Naruto ke depan meja, dimana Hashirama berada.
“Nah, Otou-sama, sekarang tolong putuskan.” Sara
menepuk pelan pipi Naruto. “Tanda tangani dokumen pemindahan kuasa itu atau aku
menyiksa cucu kesayanganmu,” ucapnya seraya memincingkan mata.
“Naru sudah banyak menderita sejak kecil. Kehilangan
orang tua, trauma, kesepian, dan kau masih ingin menyiksanya?” Mito tak tahan
lagi untuk bicara.
“Oh, Okaa-sama, lihat … betapa kau sangat menyayangi
Naru-chan.” Sara kembali menepuk pipi keponakannya. “Andai kau dulu berlaku
adil padaku dan Kushina, semua ini tidak perlu terjadi. Kau bahkan melakukan
hal yang sama pada putriku, Karin. Sekarang katakan-,” serunya seraya menunjuk
wajah Mito, “-kenapa kau harus pilih kasih dan membuatku sakit hati?”
Nagato dan Konan menggeleng tidak percaya dengan apa
yang diucapkan oleh Sara. Sejak kapan ibu mereka membeda-bedakan kasih
sayangnya? Hati Sara sudah dipenuhi dengan rasa iri dengki hingga membuatnya
berpikiran picik.
Drama keluarga ini terlalu melelahkan bagi Sasuke.
Ingin sekali dia menembak kepala semua penghianat negara itu. Sayangnya dia
harus menahan diri demi keselamatan semua orang.
“Kapan aku membeda-bedakan kalian, Sara? Aku menyayangi
kalian semua. Nagato, kau dan Kushina adalah anak-anakku yang berharga,” jawab
Mito tenang.
“BOHONG!!” Sara meraung. “Itu bohong!” Ekspresinya
mengeras, kedua tangannya terkepal menahan amarah. “Sejak kecil Okaa-sama
selalu membanggakan Nagato dan Kushina saja. Aku memang tidak sepintar mereka
tapi aku punya banyak keahlian. Tapi Okaa-sama bahkan tidak pernah memberiku
tugas kenegaraan. Okaa-sama selalu hanya mengutus Nagato dan Kushina.”
“Kau tidak berani bicara di depan umum, bagaimana
mungkin ibumu mengutusmu untuk urusan kenegaraan?” Kali ini Hashirama yang
menjawab, membuat Sara menoleh padanya.
“Apa itu sebuah alasan?” dengkus Sara dengan wajah
mencemooh. “Otou-sama juga hanya menikahkanku dengan Jenderal tapi menikahkan
Kushina dengan seorang pangeran. Apa Otou-sama tahu kalau bahkan sampai
sekarang Karin menyalahkanku karena hal itu? Dia ingin diperlakukan sama
seperti kalian memperlakukan Naruto. Tapi yang didapatnya di Istana hanyalah
hukuman yang silih berganti.”
Mito menghela napas panjanag. “Kau sudah gila Sara.”
“Gila?” Mata Sara membulat karena marah, “Okaa-sama
mengataiku gila?” Dia lalu tertawa dengan keras. “Ya, Okaa-sama benar.”
Semua orang menatap Sara dengan pandangan yang sulit
di artikan.
“Aku gila karena merasa iri dengan adikku sendiri. Aku
gila saat menerima tawaran Klan Zetsu untuk menghianati keluarga dan negaraku
sendiri. Aku juga gila karena akhirnya membunuh Kushina untuk menebus sakit
hatiku.” Sara tertawa.
Hidan duduk dengan santai sembari memainkan senjata di
tangannya. Dia sedang menunggu giliran untuk bersenang-senang. Biarlah Sara
melampiaskan kekesalannya. Semua itu juga masih tampak menyenangkan di matanya.
“Selama hidupku, aku bersandiwara menjadi putri yang
baik dan lemah lembut. Tapi sekarang,” Sara kembali mengulas seringai di wajah
cantiknya, “Aku ingin semua orang melihat siapa aku sebenarnya. Aku akan menjadi
Hokage, pemimpin yang dihormati. Aku tidak mau lagi menjadi putri nomor dua
yang tidak pernah dianggap.”
“Bagaimana mungkin kau bisa memimpin negeri ini dengan
hati dan pikiran picik seperti itu?” teriak Nagato. Dia benar-benar marah
setelah mendengar semua pengakuan Sara.
“Diam!” Sara menunjuk kakaknya. “Aku tidak butuh
pendapatmu!” Napas Sara tersengal karena emosi berlebihan. “Aku juga akan
mengirimmu ke tempat Kushina. Akulah yang akan menjadi Hokage dan anakku, Shin,
akan menjadi Putra Mahkota. Dia akan menggantikanku menjadi Hokage
selanjutnya.”
Hashirama tertawa. Dia duduk lalu menghela napas
panjang. Sungguh, ini adalah mimpi buruk. Beberapa bulan lalu, Hashirama dan
Mito sudah merasa dunia mereka hancur saat mengetahui kalau musuh dalam selimut
yang mereka cari selama sepuluh tahu adalah putri mereka sendiri. Sara
menyerahkan kunci dan membocorkan rahasia kerajaan pada Klan Zetsu. Membantu Kakuzu
dan Hidan, hingga menyebabkan Kushina juga Minato terbunuh. Dan sekarang,
mendengar semua fakta pedih itu dari mulut Sara sendiri terasa beratus kali
lebih menyakitkan.
“Hime, Hime, Hime, jangan terlalu mendramatisir
keadaan. Sudah cukup bermain-mainnya. Ayo kita habisi mereka sekarang. Kakuzu
sudah tidak sabar menunggu Hokage menemuinya.” Hidan akhirnya beranjak karena
merasa bosan dengan Sara.
“Apa maksudmu
dengan menghabisi Hidan?” Hashirama menyeringai pada pria yang berdiri di
seberang meja, di sebelah putrinya.
“Oh, lihat siapa yang bertanya.” Hidan berbalik
menatap Hashirama. “Bukankah kau merindukan putri kesayanganmu? Aku akan
mengirim kalian semua ke sana. Setelah sepuluh tahun, akhirnya keluarga kerjaan
akan berkumpul bersama … di alam baka.” Tawa Hidan menggema. Dia berputar
dengan bahagia.
Tapi Hashirama justru tersenyum. Dia berdiri lalu
berjalan ke arah istrinya yang masih dipaksa berlutut. Dua pukulan cukup untuk
membuat prajurit yang menahan istrinya jatuh ke lantai. Tidak ada yang mencegah
Hashirama saat kemudian menuntun Mito untuk duduk di kursi. Berdiri di sebelah
sang istri, Hokage melihat jam tangannya lalu menatap Sara.
“Sara, maafkan aku yang gagal sebagai seorang ayah
bagimu. Tapi kau harus tahu kalau aku dan ibumu selalu menyayangimu.”
Kalimat yang diucapkan Hashirama membuat Sara
menautkan alis. Dia mulai menyadari sesuatu yang salah sedang terjadi. Sara pun
menoleh pada Naruto dan Sasuke, lalu beralih menatap Nagato dan istrinya. Euforia
kemenangan yang terlalu dini membuat Sara tidak menyadari keanehan di depan
matanya.
“Hei, Hime? Kau kenapa?” Hidan bertanya saat Sara yang
tampak bingung berjalan menghampiri Naruto. Keponakannya itu sudah ditampar
oleh Hidan tapi kedua orang tuanya bahkan tidak tergerak untuk melepaskannya?
Apakah itu mungkin?
Plak! Naruto merasakan pipinya panas. Sara menamparnya
dengan kekuatan penuh.
“Bicara!” teriak Sara kemudian. “Keluarkan suaramu!
Aku ingin mendengarnya!” serunya seraya menggoncang tubuh keponakannya.
Sayangnya Naruto justru tersenyum dan itu membuat mata Sara membulat terkejut.
“Sialan!!” makinya sembari kembali menampar Naruto. Napasnya kembali tersengal
karena emosi.
“Hime, apa yang sebenarnya kau lakukan?” Hidan merasa
heran dengan tingkah Sara yang tiba-tiba aneh.
“Hi-hidan,” Sara berbalik lalu mencengkeram jaket
Hidan.
“Hei, hei, ada apa ini?” tanya pria itu bingung.
“Kirim anak buahmu ke ruang kendali!” Perintah Sara
dengan suara parau. Ketakutan mulai merayapi seluruh tubuhnya. “Periksa
semuanya, periksa seluruh istana sekarang juga!”
“Bukankah sudah menjadi tugasmu untuk membereskan
semua pengawal istana? Gerbang juga sudah dijaga ketat dan tidak satu pun anak
buahku memegang kendali di sini. Semua adalah prajurit militer yang berada di
bawah komandomu, Hime. Ada apa?” Hidan masih belum menyadari apa yang terjadi.
Dia lalu menoleh pada Hashirama dan Mito yang mengamati mereka dengan tenang.
Sara ikut mengalihkan pandangan pada kedua orang
tuanya. “Kau sudah tahu?” desisnya kemudian. “Kau sudah mengatur semuanya
bukan?” tanyanya lagi.
Hashirama tersenyum. “Apa kau pikir aku sebodoh itu
Sara?”
Ekspresi Sara mengeras. Kebencian terpancar di
matanya. Wanita itu mengangkat senjata dan mengarahkannya ke kepala Hashirama.
“Mati kau Hokage!!!” teriaknya bersamaan dengan tiga suara tembakan yang
menggema.
Dor! Dor! Dor!
Seorang prajurit jatuh ke lantai dengan tiga lubang di
kepala bagian belakangnya. Hashirama dan Mito sama sekali tidak berkedip dengan
apa yang terjadi di depannya. Prajurit yang berjaga langsung terpecah menjadi
dua. Mereka yang memihak Sara langsung membentuk formasi untuk melindungi
pemimpin mereka. Begitu juga anak buah Hidan. Sisa prajurit yang lain berdiri
mengitari Hokage dan Nagato, mereka melepas bendera merah yang terikat di
lengan kanan. Sementara itu, Sasuke dan Naruto masih berlutut di lantai dengan
ditahan oleh anak buah Sara.
Melihat hal itu membuat Hidan terkejut. Jantungnya
berdetak kencang seraya mengumpat keras. “Brengsek!!” Hidan mengamati prajurit
militer yang terpecah menjadi dua. Dia hanya membawa sepuluh anak buahnya untuk
masuk ke dalam istana. Sisanya bertugas menyerang delapan titik vital Kota
Konoha. Apakah ini jebakan? Tapi bagaimana mungkin?
“Sepuluh tahun lalu kalian gagal membunuhku. Apa yang
membuat kalian berpikir kali ini akan berhasil?” Melihat kepanikan Sara dan
Hidan membuat Hashirama akhirnya bicara.
“SIAPA LAGI YANG MENGHIANATIKU!!” Sara kembali
berteriak. Matanya menyisir puluhan prajurit yang berdiri di sekeliling aula.
Nagato akhirnya tertawa. Dia bangun lalu menyeka darah
yang mengalir di pelipisnya dengan sapu tangan.
“Kau bersandiwara?” Sara menggeram marah. Tangannya yang
menggenggam senjata mulai gemetar.
Hidan menarik Naruto dari anak buah Sara dan
mengarahkan senjata ke pelipisnya. Hashirama, Nagato dan Sasuke hanya
menyeringai.
“Kau bodoh atau apa?! Dia bukan Naruto!” Sara memaki
Hidan di depan wajahnya. Kening Hidan berkerut lalu menatap wanita dalam
cengkramannya.
Ketegangan diantara mereka tiba-tiba teralihkan oleh delapan
pintu aula yang terbuka secara bersamaan. Shin berjalan memasuki aula dengan
prajurit yang tersebar di tiap pintu masuk.
Wajah Sara dan Hidan berubah cerah. “Shin putraku, kau
datang tepat waktu.” Baru saja Sara akan menghampiri sang putra saat kemudian
Shin mengacungkan senjata ke depan. “Tetap di tempat Anda, Sara-hime.”
Seketika wajah Sara kehilangan warnanya.
“Lindungi Hokage dan keluarga kerajaan!” Komando Shin
dengan suara lantang.
Dan bagai tombol picu. Suasana di aula berubah menjadi
medan perang. Sasuke dan Naruto pun beraksi. Dalam sekejap keduanya melumpuhkan
prajurit yang menahan mereka. Mengambil senjata dari balik jas dan gaun yang
mereka kenakan, Sasuke dan Naruto ikut dalam pertarungan. Tidak sulit
membedakan prajurit penghianat. Meski sama-sama mengenakan seragam angkatan
darat tapi mereka memakai bendera warna merah di lengan kanan.
Dalam sekejap puluhan prajurit penghianat berjatuhan
di lantai. Hokage dan Mito berada dalam barikade perlindungan, begitu juga
Nagato dan Konan. Kini yang tersisa hanyalah Sara, dan Hidan. Seluruh pasukan
sudah diberi perintah untuk tidak membunuh keduanya.
Sara menyeka keringat yang sudah bercampur darah di
keningnya. Berkali-kali prajurit melindunginya tapi semua itu sia-sia dengan
adanya serangan yang bertubi. Sara tidak menyangka kalau masih ada prajurit
Hokage di dalam istana. Kenapa dia tidak curiga saat pengambil alihan istana
terasa begitu mudah semalam?
“Okaa-sama, menyerahlah,” Shin menatap sang ibu dengan
penuh permohonan.
Seringai menghiasi wajah lelah Sara. “Masih pantaskah
kau memanggilku dengan sebutan Ibu?”
Mendengar jawaban Sara membuat hati Shin terasa
teriris. Ibunya tidak tahu kalau dirinya juga tersiksa dengan semua ini.
“Kaulah yang tidak pantas disebut sebagai seorang
ibu.”
Suara itu membuat Sara kembali kehilangan warna di
wajahnya. Dia menatap ke arah pintu aula dimana sang suami, Danzo, masuk
bersama dengan Madara, juga Tobirama. Hidan yang sudah terduduk di lantai
karena dua kakinya tertembak kini hanya bisa menertawakan kebodohannya.
“Semua sudah berakhir, Sara.” Danzo menatap istrinya
dengan penuh rasa penyesalan.
Sara tahu dia sudah kalah. Dia pun tertawa menatap
suaminya. “Jenderal Shimura, bagaimana kau lolos dari maut, hm?”
“Karena tidak ada racun dalam minumanku. Shin tidak
pernah memberikannya padaku,” Danzo menjawab dengan jujur.
Sara menoleh pada Shin. Hatinya semakin hancur dengan
penghianatan yang dilakukan oleh putra sulungnya. “Jadi begitu? Sejak awal, kau
tidak pernah ada dipihakku? Kau setuju membantuku hanya agar bisa menjebakku?” Tawa
Sara kembali menggema. Tawa yang sarat dengan rasa keputus asaan.
“Jika kau tidak membuka kedokmu pada Shin tiga bulan
lalu, mungkin sampai saat ini kami belum tahu siapa musuh dalam selimut yang berada
di Istana Uzushio.” Tobirama menatap keponakannya dengan geram. Sampai saat ini
dia masih sulit percaya kalau Sara adalah seorang penghianat.
“Jadi semua karena kecerobohanku sendiri?” Sara
menertawakan dirinya. “Aku hancur justru karena percaya pada putraku sendiri?” Wanita
itu kembali menatap Shin dengan penuh kebencian. “Rencana yang kususun selama
bertahun-tahun hancur karenamu.”
“Okaa-sama-,”
“Jangan panggil aku ibu dengan mulut busukmu!” Sara
meraung. “Aku menginginkanmu menjadi Hokage, sebagai kebanggaan untukku, dan
kau-.” Dia menyeka air matanya, “-kau justru menghancurkannya!! Kenapa Shin?!
Kenapa kau melakukan semua ini?” Sara akhirnya terduduk di lantai, kelelahan …
dan merasa hancur.
“Karena Okaa-sama salah. Semua yang Okaa-sama lakukan
adalah kesalahan. Bagaimana mungkin aku menghancurkan keluarga dan negaraku
sendiri hanya demi sebuah posisi Hokage yang bahkan tidak kuinginkan?” Shin
menjaga suaranya setenang mungkin. Sungguhpun Sara adalah penghianat, dia
tetaplah ibu yang sudah melahirkannya.
“Apa yang salah?!” Sara mengacungkan senjatanya pada sang
putra. “Aku juga putri Senju! Aku juga punya hak menduduki tahta! Kenapa aku
tidak boleh menginginkannya? Nagato akan menjadi Hokage, Kushina juga akan
menjadi istri Mizukage karena menikah dengan Putra Mahkota. Lalu kenapa nasibku
buruk hanya karena ayahku yang pilih kasih menikahkanku dengan seorang Jenderal
bertangan dingin! Jenderal yang hanya bisa membatasi semua yang kuinginkan!!”
“Kau salah Sara.”
Mendengar namanya disebut membuat Sara menoleh pada
Madara. “Perdana Menteri,” ucapnya sembari menyeringai. “Ah, apa kau mau
mengatakan kalau ambisiku adalah sebuah kesalahan? Kalau tidak seharusnya aku
iri pada saudaraku sendiri, begitu?”
“Tidak,” jawab Madara santai. “Aku tidak heran kalau kau
memiliki pemikiran seperti itu, karena memang sudah mengalir di dalam
darahmu-,”
“Madara!” seru Hashirama sembari menerobos barikade
dan menatap sahabatnya tajam.
“Sudah saatnya dia tahu Hashirama. Seharusnya kau
memberitahunya sejak awal. Sara harus tahu jati dirinya yang sebenarnya.”
Madara seolah tidak peduli dengan peringatan sahabatnya.
“Itu tidak perlu-,”
“Tunggu-,” kali ini Sara yang menyela. “Apa maksudnya
dengan jati diriku sebenarnya?”
Semua orang terdiam. Mito menghela napas perlahan dan
Hashirama langsung melingkarkan lengan di bahunya, menenangkannya.
“Kau bukanlah keturunan Senju, kau bukan putra kandung
Hokage.” Tobirama akhirnya bicara. Dia juga sepakat dengan Madara, sejak awal
tidak pernah setuju dengan keputusan Hashirama.
“Apa?!” Sara merasa kenyataan ini lebih mengejutkan
daripada kekalahannya. Bagaimana mungkin dirinya bukanlah putra dari Hashirama?
Rahasia apa yang tidak dia tahu? “Apa makasudnya itu-,” Sara menatap ibu dan
ayahnya.
“Sara, kami-,” Mito tidak sanggup melanjutkan
perkataannya. Terlalu banyak penyesalan dalam dirinya. Semua kata ‘andai’
bergema di dalam kepalanya.
“Kau adalah cucu dari Homura Mitokado dan Koharu
Utatane,” Hashirama akhirnya bicara.
“Tetua Klan Zetsu?” Sara membulatkan mata tidak
percaya.
Hashirama dan Mito mengangguk. “Aku tidak tahu pasti
siapa orang tua kandungmu. Hari itu, tiga putra mereka dijatuhi hukuman mati
karena usaha pemberontakan. Koharu datang dan memohon pada Mito untuk membawa
dan menyelamatkanmu. Dia tidak ingin cucunya tumbuh di dalam Klan yang selalu
berpikir untuk memberontak pada pemerintahan.”
Sara meremas gaun di depan dadanya saat mendengar
ayahnya bercerita.
“Tidak ada yang setuju dengan keputusanku menerimamu.
Terutama Tobirama dan Madara.” Hashirama menghela napas. “Saat itu pikiran
naifku hanya berkata kalau kau adalah bayi tidak berdosa. Aku mengangkatmu
sebagai anak karena berpikir itu akan membuatmu hidup lebih baik. Homura dan
Koharu bunuh diri setelah menyerahkanmu pada kami. Sejak saat itu, Klan Zetsu
hidup dalam persembunyian. Aku sama sekali tidak menduga kalau rahasia ini
diketahui oleh keturunan Klan Zetsu yang masih hidup. Tidak heran mereka
mencarimu dan menghasutmu berpuluh-puluh tahun kemudian. Sayangnya, aku tidak
tahu kalau kau ternyata iri pada saudaramu dan membuatmu melakukan semua
kebodohan ini.”
“Alasan keluarga Jenderal Shimura melamarmu adalah
karena mereka tidak pernah percaya padamu. Shimura adalah keluarga yang setia
pada Hokage, bahkan sejak negara Hi didirikan. Danzo dipaksa untuk menikah
denganmu hanya untuk mengawasimu.” Tobirama melanjutkan cerita kakaknya.
“Apa kau pikir awalnya Hokage menyetujui hal itu?
Kakakku menentang dengan dalih itu adalah alasan konyol. Dia tidak mau
memaksamu menikah. Tapi di luar dugaan, ternyata kau menerima pinangan keluarga
Shimura dan kakakku tidak bisa menolaknya lagi. Danzo memang keras dan dingin,
tapi kecintaannya pada Negara Hi tidak perlu diragukan. Dia terus mencari
sisa-sisa Klan Zetsu untuk menghancurkannya. Danzo, salah satu yang percaya
kalau benalu harus dihancurkan sampai akar agar tidak merusak pohon.” Tobirama
menyeringai saat melihat ekspresi Sara.
“Siapa sangka kalau ternyata Hokage sendiri yang
membesarkan benalu itu? Beruntungnya darah Danzo lah yang mengalir dalam tubuh
Shin. Putramu rela mati demi Negara Hi, bagaimana mungkin kau memintanya untuk
berhianat? Meski begitu, aku benar-benar bersyukur kau membuka kedokmu padanya
tiga bulan lalu.”
“Bohong, ini semua bohong!” seru Sara dengan suara
bergetar. Hashirama dan Mito semakin merasa hancur melihat putri mereka.
“Untuk apa aku berbohong? Kau bisa tanyakan hal itu
pada Hidan. Kau pikir kenapa dia begitu hormat padamu? Kenapa dia mau menurut
pada semua perintahmu? Kau adalah keturunan asli Klan Zetsu yang masih tersisa.
Itulah kenapa mereka ingin menjadikanmu pemimpin.” Tobirama mengatakan semua
itu dengan datar. Dia sungguh menyesali kenaifan sang kakak dan melempar semua
fakta itu ke wajah Sara.
Hidan hanya bisa menundukkan kepala saat Sara kemudian
menoleh padanya. Melihat reaksi Hidan membuat Sara tidak perlu lagi bertanya.
Dia sudah tahu jawabannya dan itu membuatnya semakin merasa hancur.
“Jadi, aku memang sudah ditakdirkan menjadi seorang
penghianat, hm?” gumam Sara pada dirinya sendiri.
“Sara-,” Mito benar-benar merasa sedih. Bagaimana pun
juga, dialah yang membesarkan Sara sejak bayi. “Satu hal yang perlu kau tahu.
Penyesalanku bukan karena menjadikanmu putriku. Penyesalan terbesarku adalah
karena membuatmu menjadi seperti ini. Mungkin, jika aku lebih memperhatikanmu,
kau tidak akan merasa diabaikan dan tidak akan iri pada Nagato juga Kushina. Mungkin
kau akan memilih jalan yang lebih baik.”
Mungkinkah
itu? Sara juga
bertanya dalam batinnya sendiri.
“Kau salah Mito. Semua ini adalah murni kesalahan
Sara. Dia yang sudah memutuskan jalannya sendiri, bahkan setelah kau dan
Hashirama membuka jalan hidup baru baginya.” Madara menimpali perkataan Mito.
Baginya terlalu konyol menganggap penghianatan Sara sebagai akibat kurangnya
perhatian Mito padanya.
“Ya, Madara benar,” ucap Sara kemudian sembari
tersenyum getir. “Semua adalah keputusanku, salahku,” ucapnya lagi seraya
mengalihkan pandangannya pada Madara. “Kau yang melindungi Naruto bukan? Apa
itu idemu, yang mengecohku dengan penyamaran?”
Sasuke dan Naruto yang berdiri tidak jauh dari Sara
hanya menatap wanita itu dalam diam. Mereka memang tidak boleh bicara agar
penyamaran tidak terbongkar. Tapi sekarang semua sudah selesai. Merasa tidak
ada gunanya lagi menyamar, keduanya pun melepas topeng yang melekat di wajah
mereka.
“Astaga, aku seperti badut disini.” Sara tertawa saat melihat
wajah asli dari Sasuke dan Naruto. “Kapten Divisi Pengintai
dan Penembak Jitu Kerajaan, lalu Mantan Prajurit Wanita terbaik Mizu, bagaimana
mungkin aku tidak menyadarinya? Sara, Sara, kau sungguh bodoh.”
Ya, wajah dibalik Sasuke dan Naruto adalah Shikamaru
dan Ten Ten. Keduanya sudah berada di dalam pesawat jet di Mizu untuk
mengantisipasi mata-mata. Itulah kenapa mereka membuat Naruto tertidur selama
perjalanan. Naruto yang asli saat ini berada bersama Sasuke. Mereka
meninggalkan pesawat setelah Hashirama pergi bersama dengan Kisame.
Seorang prajurit masuk lalu memberi hormat pada
Hashirama. “Lapor Hokage-sama, sepuluh markas sudah berhasil dihancurkan.
Dengan bantuan prajurit dari Mizu semua misi sudah terlaksana.”
“Hm, bagaimana kondisi istana?” tanya Hashirama.
“Semua prajurit penghianat sudah meninggal. Mereka dipisahkan
di aula belakang. Tiga Letnan Jenderal yang memimpin pasukan untuk mengusai
pusat kota juga sudah dinyatakan meninggal. Mayor Jenderal Kisame meninggal di
ruang kendali saat bertarung dengan Kapten Yamato.”
“Hm, kembalilah bertugas.” Hashirama merasa lega.
“Laksanakan, Yang Mulia.” Prajurit pembawa berita itu
pun bergegas keluar.
Sara merasa semakin tidak ada harapan saat mendengar
laporan dari prajurit Hokage. Menatap senjata di tangannya, Sara berpikir itu
adalah keputusan terbaik. Tidak mau lagi menatap ayah dan ibunya atau anggota
kerajaan yang lain. Sara menempelkan ujung senjata pada dada kirinya.
“Okaa-sama!!” teriakan Shin menarik perhatian semua
orang seiring dengan suara tembakan yang menggema.
“Hime!!” Hidan ikut berteriak saat melihat Sara
terjatuh di lantai dengan mata terbuka. Dia meraih tubuh itu sebelum Shin
mendorongnya dan lebih dulu memeluk tubuh ibunya.
Mito merasa lututnya lemas dan hampir terjatuh kalau
saja sang suami tidak menopangnya. Sementara Nagato hanya bisa memejamkan mata dan
memeluk istrinya.
Danzo kemudian menghampiri Shin lalu berlutut di
depannya. Dia bisa melihat sang putra yang menangis dalam diam sembari memeluk
tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa. Tangannya terulur, menutup mata sang
istri dengan hati yang hancur. Bohong jika dia mengatakan tidak mencintai istrinya.
Sara adalah wanita yang selalu bersamanya dan sudah melahirkan anak-anak
baginya. Dalam diam, Danzo melepas topinya dan mengucap doa serta kalimat cinta
yang terakhir untuk Sara.
Tiga tembakan kembali terdengar dan Hidan tersungkur
di lantai dengan kepala berlubang. Dia baru saja mengambil senjata Sara yang
terjatuh dan hendak menembakkannya pada Hokage sebelum akhirnya Shikamaru
menembak kepalanya lebih dulu.
Bersamaan dengan itu terdengar suara deru pesawat di
atas Istana Uzushio. Hashirama yakin itu adalah Jiraiya yang datang membawa
berita kemenangan.
Semuanya sudah berakhir. Ya, sudah berakhir.
***
Extra Chapter.
Di salah satu rumah mewah yang tidak jauh dari pusat
Kota Konoha. Beberapa penjaga tampak sedang berpatroli. Sementara di balkon
kamar, Sasuke sedang duduk bersama dengan Neji. Sang dokter memastikan Naruto
tidur dengan nyaman sampai esok hari. Mereka sedang menunggu kabar dari istana.
“Kau menolak datang di pernikahan kami. Naruto sempat
sedih karenanya.”
Neji tersenyum. “Aku tidak akan sanggup melihatnya,
kau pasti tahu itu.”
“Hm, jadi begitu?” Sasuke meneguk kopi panas miliknya.
Dia sama sekali tidak menduga kalau itu alasan Neji menolak datang ke
pernikahannya. Shikamaru tidak bisa datang karena tugas. Apakah Kapten muda itu
juga memiliki perasaan yang sama pada Naruto?
“Ya, kupikir kau sudah tahu.” Neji juga dengan santai
meneguk kopinya. Hatinya sudah lebih tenang sekarang.
Kali ini Sasuke menggeleng sebagai jawaban.
“Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggu hubungan
kalian. Naru hanya menganggapku sebagai sahabatnya.” Neji mengamati wajah
Sasuke yang tetap datar saat menatapnya.
“Aku tidak khawatir.” Seringai di bibir Sasuke membuat
Neji akhirnya tertawa.
“Kau satu-satunya pria yang berhasil menaklukkan hati
Hime. Wajar kau merasa bangga.” Akhirnya Neji mengakui dengan hati lapang.
“Hm, hanya saja-,” Sasuke melirik ke dalam kamar
dimana istrinya tampak tertidur dengan nyaman.
“Ada apa?” Neji merasa penasaran.
“Aku sedikit kesulitan dengan kepolosan dan pola pikirnya
yang tidak biasa.”
Tawa Neji membuat Sasuke menautkan alis. “Hime membantingku
saat pertama kali aku menyentuh tangannya. Saat itu kami masih duduk di sekolah
dasar.”
“Benarkah?” Sasuke merasa benar-benar pasrah dengan
itu.
“Ya,” Neji mengangguk lalu meletakkan cangkir kopinya
di atas meja bulat. “Salahkan Shinno-sama untuk itu. Dia lah yang bertanggung jawab
sepenuhnya atas pencucian otak polos Hime.”
“Apa yang dilakukannya?” Sasuke ikut meletakkan
cangkir kopinya.
“Sejak kecil Shinno-sama melarang Hime dekat dengan
lawan jenis. Dia baru memiliki teman laki-laki saat Hokage memilihku dan Shikamaru
sebagai pengawalnya di sekolah dasar. Shinno-sama selalu mengatakan kalau
anggota tubuh wanita adalah sebuah kesucian yang tidak boleh dipegang oleh
sembarang orang. Coba kau bayangkan, sampai menjelang kelulusan sekolah dasar, Hime
masih percaya kalau dia akan kehilangan kesuciannya hanya karena berciuman.”
“Jadi, apa ada larangan untuk tidak boleh menyentuh
Naru di Istana Uzushio?” Sasuke merasa takjub dengan apa yang didengarnya.
Sekarang dia tahu alasan Naruto tidak ingin disentuh olehnya dulu.
“Secara tidak tertulis aturan itu ada, seluruh istana
mengetahuinya. Selain keluarga, tidak ada yang berani melakukan kontak fisik
dengan Hime kecuali kondisi darurat. Kapten Yamato bahkan membutuhkan ijin
Hokage saat akan menggendong Hime yang demam ke dalam kamar.”
“Bagaimana denganmu dan Shikamaru?” Sasuke sudah bisa
menebak jawabannya tapi tetap ingin mendengar jawaban Neji.
“Tolong beri pengecualian untuk kami berdua dan maaf
untuk kelancangan masa lalu.” Neji menyeringai saat melihat perubahan di wajah
Sasuke.
“Kau pernah menciumnya?” Seringai Neji membuat Sasuke
semakin penasaran.
Tentu saja Neji langsung tertawa. “Kau bicara dengan
hantu saat ini kalau aku sampai bisa melakukan sejauh itu.”
“Aku mengerti. Lagipula kau dokter yang sering
merawatnya.” Sasuke kembali meraih cangkirnya. Dia perlu minum untuk meredakan
sesuatu yang bergolak di dalam hatinya.
“Kau cemburu Uchiha-sama? Bukankah kau yang bertanya?”
Neji kembali tertawa.
“Tidak, otakku hanya sedang berlebihan memikirkan kau
yang merawatnya saat sakit.” Sasuke meneguk kopinya dan mengabaikan tawa Neji
yang kembali terdengar.
“Bukan aku yang seharusnya membuatmu cemburu. Meski
sering merawat Hime, tapi aku sama sekali belum pernah melihat tubuhnya,
percayalah. Aku hanya diijinkan untuk memeriksa menggunakan stetoskop, lalu memberinya
obat atau injeksi. Pemeriksaan menyeluruh biasanya dilakukan di rumah sakit
oleh ayahku dan dokter wanita. Aku hanya pernah memeluknya … beberapa kali.”
Neji meringis di akhir kalimatnya. “Dan jangan lupakan Shikamaru. Dia bahkan
bisa memeluk Hime di depan Senju-sama dengan dalih penyelamatan.”
Sasuke menghela napas panjang. “Aku heran kalian
berdua masih hidup sampai sekarang.”
“Apa kau tidak tahu kalau Shinno-sama mungkin sudah
menyusun seribu strategi tentang bagaimana membunuh aku dan Shikamaru tanpa
membuat adiknya menangis?”
Keduanya bertukar pandang lalu sedetik kemudian
tertawa bersamaan. Setidaknya mereka berdua bisa sejenak melepas ketegangan
dengan membicarakan hal konyol.
“Hei Sasuke, kira-kira bagaimana keadaan istana saat
ini?” Neji berhenti tertawa lalu menatap langit penuh bintang di atas Kota
Konoha. Siapa yang menyangka kalau di tengah suasana malam yang tenang ini,
sedang terjadi pertumpahan darah di dalam istana.
“Hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Aku tidak
tahu bagaimana harus menjelaskan pada Naru jika sampai hal buruk terjadi malam
ini,” ucap Sasuke sembari ikut menatap langit malam.
“Ya, kau benar. Semoga semua baik-baik saja,” gumam
Neji yang kemudian.
***
>>Bersambung<<
>>Nami Cafe - Chapter 27<< (Ada di dalam versi PDF. Silakan hubungi author untuk pemesanan)
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments