Nami Cafe - Chapter 30

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================

(Picture from pinterest, credit for owner)

Berita duka mengisi headline berita pagi. Kematian Sara karena kecelakaan mengisi beragam media berita di Negara Hi. Pagi itu, jenazah Sara yang sebelumnya berada di rumah sakit akhirnya disemayamkan di kediaman Shimura.

Kepala Naruto kembali terasa sakit saat mendengar berita kematian bibinya. Dia menangis. Di mata Naruto, Sara adalah sosok bibi yang baik. Sara sering mengirim makanan juga teh kesukaannya ke istana. Meski hubungannya dengan Karin tidak baik, tapi sang bibi tetap menyayanginya.

Melihat istrinya menangis membuat Sasuke hanya bisa menghela napas panjang. Sungguh ironis melihat Naruto tidak tahu kalau sudah menangisi pembunuh kedua orang tuanya. Dalam hati Sasuke bertanya-tanya, akankah istrinya itu membenci Sara kalau tahu cerita yang sebenarnya? Pikiran Sasuke segera menampik hal itu. Dia tidak mau membayangkan bagaimana hancurnya hati Naruto jika mengetahui semuanya. Tragedi ini sudah selesai, tidak perlu mengorek luka lama.

“Bibimu sudah tenang di sana.” Sasuke berbisik di puncak kepala Naruto. Istrinya itu menangis dalam pelukannya. Tangannya menggusap lembut punggung yang bergetar.

“Hm,” Naruto hanya bergumam. Dia benar-benar merasa sedih.

“Tenangkan dirimu, setelah ini kita harus bersiap untuk memberi penghormatan terakhir pada bibimu,” kata Sasuke kemudian setelah isak tangis istrinya berhenti.

“Suke,”

“Ya?” Ada getar tersendiri ketika Naruto memanggilnya dengan nama itu.

“Terima kasih telah menguatkanku.” Naruto menyandarkan kepala dengan nyaman di dada suaminya. Degub jantung Sasuke bagai musik yang membuatnya rileks.

Sasuke tersenyum tanpa menatap sang istri yang masih nyaman bersandar di dadanya. “Jangan berkata seperti itu. Aku sudah berjanji untuk selalu ada untukmu,” ucapnya sembari menanamkan ciuman di puncak kepala Naruto.

“Aku mencintaimu.” Senyum Naruto mengembang ketika mendengar degub jantung Sasuke yang semakin cepat setelah mendengar ucapan cintanya. Dia merasakan pelukan suaminya mengerat, sungguh menenangkan.

“Aku juga mencintaimu, Hime,” bisik Sasuke. Hatinya terasa begitu hangat dan penuh dengan cinta.

***

Kediaman Shimura dijaga dengan ketat, baik oleh Anbu maupun oleh anggota militer. Tamu datang silih berganti untuk memberikan penghormatan terakhir pada sang hime. Danzo duduk berdampingan dengan Shin juga Karin, mengenakan kain berkabung dan mengucapkan terima kasih pada setiap yang datang untuk berbelasungkawa. Meski wajah Danzo tampak dingin tapi hatinya juga hancur melihat sang istri telah tiada. Ironisnya, setengah hati Danzo juga merasa lega karena berhasil melindungi negaranya dari kudeta.

Di sisi lain ruangan, duduk Hashirama bersama dengan Mito, Nagato dan Konan. Putra Mahkota Negara Hi itu bersikeras keluar dari rumah sakit. Mereka melakukan penghormatan terakhir dan menahan kesedihan yang mendalam.

Keluarga Uchiha juga datang bersama dengan Madara. Tentu saja Naruto kini ikut bersama mereka. Berjalan berdampingan dengan Sasuke di belakang Shisui dan Itachi, Naruto memasuki kediaman Shimura.

Kelegaan tampak di wajah seluruh keluarga kerajaan saat melihat Naruto yang tampak baik-baik saja. Ya, meski sedikit pucat, tapi semua tampak baik. Mito tak bisa menahan diri dan langsung memeluk cucu bungsunya. Tangis Mito pecah saat kembali teringat kalau Sara telah membunuh kedua orang tua Naruto.

Sayangnya Naruto tidak mengerti arti air mata penyesalan neneknya. Dia menganggap sang nenek tengah berduka dalam karena kepergian Sara. Naruto pun tidak dapat menahan air mata dan menghibur sang nenek. Setelah mengantar Mito kembali ke tempat duduknya, Naruto dan semua keluarga Uchiha memberi salam pada Hokage. Putri Namikaze itu kemudian memohon ijin sebentar untuk memberi penghormatan terakhir pada bibinya dan mengucapkan bela sungkawa untuk keluarga pamannya.

Melihat Naruto memberi penghormatan di depan peti mati bersama dengan Sasuke, membuat Danzo dan Shin merasa begitu bersalah. Hal yang sama dirasakan oleh seluruh keluarga istana. Sayangnya, Karin yang tidak tahu apa-apa justru menatap Naruto dengan kemarahan.

Danzo dan Shin mengucapkan terima kasih saat Naruto dan Sasuke mengucapkan bela sungkawa. Sampai ucapan Karin membuat semua orang terkejut.

“Bukankah kau senang karena sekarang ibuku sudah pergi? Tidak ada lagi yang bisa membelaku. Apa kau yang mengutukku karena ucapanku kemarin di Istana Kiri?”

“Karin,” desis Shin yang segera mencekal lengan sang adik. Matanya membulat memberi peringatan yang hanya ditanggapi dengan tawa keras dari adiknya.

“Kenapa? Bisa saja Hime memang mengutukku karena ucapanku tempo hari. Sekarang aku bernasib sama sepertinya, tidak memiliki ibu,” ujar Karin tanpa takut pada kakaknya.

Sasuke mengepalkan tangan dengan geram dan hendak menjawab Karin saat kemudian Naruto melarangnya. Hashirama dan Mito bahkan sudah berdiri dari kursinya.

“Sudah, sudah, Onee-sama sedang berduka, aku mengerti,” ucap Naruto membujuk semua orang dan secara tidak langsung meminta mereka tetap di tempatnya. Naruto tidak mau membuat keributan di upacara pemakaman bibinya.

“Maafkan kelancangan Karin, Hime-sama.” Danzo dan Shin membungkuk hormat, sementara Karin justru mendengkus melihat sikap ayah dan kakaknya.

“Ojii-sama, Onii-sama, jangan seperti itu.” Naruto memegang lengan suaminya lalu tersenyum pada Danzo juga Shin. “Aku tidak apa-apa.” Dia lalu menatap Karin. “Onee-sama, aku tidak pernah mengutuki keluargaku sendiri dan aku juga berduka dengan kepergian Sara Oba-sama. Sebaiknya Onee-sama menenagkan diri, aku permisi.”

Dengan pandangan geram pada Karin, Sasuke melingkarkan tangannya di pinggang sang istri lalu segera membawanya keluar. Beruntung Kurama dan keluarga dari istana Kiri belum tiba. Sasuke tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya Kurama jika mendengar perkataan lancang Karin. Melihat Naruto keluar membuat Hashirama dan Mito juga beranjak dari kursi mereka. Nagato dan Konan juga ingin bicara dengan keponakan mereka.

“Naru, kau pulanglah lebih dulu. Demammu baru saja turun dan wajahmu masih tampak pucat. Jangan memperburuk kondisimu dengan memaksakan diri berada di sini.” Mito mengusap wajah cucu kesayangannya. Mereka kini berada di teras samping kediaman Shimura, jauh dari kerumuman tamu.

“Benar, benar, kau beristirahatlah di rumah. Sasuke, bawa istrimu pulang.” Konan ikut menimpali.

Naruto menatap seluruh keluarganya sembari tersenyum. “Kalian berlebihan. Onee-sama yang berduka kenapa kalian justru menghiburku?”

Semua orang terdiam.

“Obaa-sama hanya mengkhawatirkan kesehatanmu. Seluruh keluargamu akan tetap di sini untuk menghibur Danzo Ojii-sama juga kedua kakak sepupumu. Jika kau kembali jatuh sakit, siapa yang repot dan sedih karena hal itu, hm?”

Hashirama dan Mito, juga Nagato dan Konan, hampir tidak percaya mendengar perkataan Sasuke. Apa bungsu Uchiha itu baru saja memarahi istrinya? Secepat itukah perkembangan hubungan keduanya?

“Apa kau menggerutu? Kau tidak rela merawatku?” Naruto menoleh hanya untuk memincingkan mata pada suaminya.

“Apa perkataanku terdengar seperti itu di telingamu, Hime?” Sasuke melengkungkan alis tinggi tanpa menyadari kalau keluarga istana tengah memperhatikannya.

“Kau mengatakan kalau aku merepotkan,” Naruto tampak kesal.

“Ya, kau memang merepotkan, Hime.” Sasuke tersenyum lebar saat Naruto langsung memukul lengannya.

“Aku akan membuatmu menyesal mengatakannya,” ancam Naruto kemudian.

“Benarkah? Dengan cara apa kau membuatku menyesal, hm?” Sasuke justru semakin menantang istrinya.

“Aku akan memintamu memandikanku setiap pagi, membuatkan sarapan untukku, lalu memijatku sepanjang hari. Aku ingin lihat bagaimana kau akan mengeluh setelahnya.” Memalingkan wajah dengan kesal, Naruto melipat tangan di depan dada. Dia sama sekali tidak ingat kalau masih berada diantara keluarganya.

Sasuke menutup mulut dan menahan diri untuk tidak tertawa. Sungguh tidak sopan jika kau tertawa di upacara pemakaman. “Kau tahu itu pekerjaan yang menyenangkan. Katakan saja kau menghukumku karena kau juga menyukainya, bukan begitu, Hime?”

“Suke, kau terus menggodaku sejak kema-, ah!!” Naruto menurunkan tangan yang hendak memukul lengan suaminya. Matanya berkedip melihat seluruh keluarganya menahan tawa, begitu juga Sasuke. “Ma-maaf,” dia langsung berdeham pelan, merapikan gaunnya lalu menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang terasa panas.

Sasuke menarik sang istri ke dalam pelukannya, menyembunyikan wajah merah itu di dadanya sembari terkikik pelan. “Maafkan kami Ojii-sama, Obaa-sama,” ucap Sasuke kemudian. Dia tahu sudah bersikap lancang dengan menggoda Naruto dan membuatnya kesal. Tapi Sasuke hanya ingin mengalihkan perhatian istrinya.

Hashirama dan Mito menggeleng sembari mengulas senyum. Sungguh melegakan bisa melihat Naruto begitu ekspresif. Nagato dan Konan bahkan masih berusaha menahan tawanya saat Sasuke yang tengah mengusap kepala Naruto dalam pelukannya harus mendapat pukulan di dada dan gerutuan dari istrinya.

“Sebaiknya kita pulang sekarang,” Sasuke berbisik di sisi pelipis istrinya yang dijawab dengan sebuah anggukan. Semua orang tersenyum melihatnya. Jadi begitu cara Sasuke menaklukkan Naruto?

Masih dengan wajah memerah, Naruto akhirnya berpamitan pada seluruh keluarganya. Mito dan Hashirama memeluk cucunya dengan perasaan lega. Cucu kesayangan mereka akan bahagia, mereka tahu itu.

***

Kurama berdiri di depan makam sang bibi dengan tatapan kosong. Keluarga Shimura sudah pulang tapi dia masih tidak rela meninggalkan makam hanya untuk melihat sang bibi yang sudah meninggal. Kurama juga tidak tahu harus bersikap seperti apa. Tiga bulan terakhir terasa begitu menyiksa baginya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika sang adik tahu semuanya. Kurama sangat bersyukur semua berjalan sesuai rencana. Sekarang dendam itu sudah berakhir. Apa yang telah dimulai sepuluh tahun yang lalu telah selesai.

Jiraiya menepuk bahu cucu sulungnya. Dia bisa merasakan kesedihan hati Kurama. Dirinya dan Tsunade juga merasakannya.

“Kau baik-baik saja Ku?” Ini adalah Tsunade. Dia menatap cucunya dengan pandangan sendu.

“Aku baik-baik saja Obaa-sama.” Kurama mengusap tangan Tsunade yang melingkar di lengannya. “Hanya merasa lega semua sudah berakhir,” ucapnya lirih.

“Ya, semua sudah selesai. Semua akan kembali baik-baik saja.” Tsunade menyandarkan kepala di bahu cucunya.

“Hm,” gumam Kurama sebagai jawaban. Semilir angin sore menerpa wajahnya dan membawa sedikit kesegaran.

Hashirama, Mito, Nagato dan Konan juga Yahiko memberi ruang pada Kurama dan kakek neneknya. Makam Sara berada di samping makam Kushina dan Minato, dimana keluarga kerajaan seharusnya disemayamkan. Rasanya sungguh menggelikan sekaligus menyedihkan. Tapi memisahkan makam Sara hanya akan membuat pertanyaan bagi publik. Biarlah penghianatan Sara hanya menjadi luka bagi mereka. Hashirama lebih memilih ketenangan bagi keluarga juga rakyatnya.

Secara pribadi, Hashirama juga telah meminta maaf pada Jiraiya dan Tsunade. Minato adalah Putra Mahkota Mizu yang sangat mereka banggakan. Rasanya kematian Sara tidaklah seberapa jika dibanding dengan luka kehilangan kerajaan Mizu. Hashirama sendiri terkadang menyesali kenaifannya hingga membuat putri kesayangannya meninggal.

Tapi semua sudah terjadi. Takdir sudah digariskan dan Sara sudah menerima hukuman atas perbuatannya. Kini mereka hanya tinggal menjalani hidup dengan belajar dari masa lalu.

“Ku, ayo kita pulang.”

Kalimat itu membuat Hashirama tersadar dari renungannya. Mito dan Tsunade sudah memeluk lengan Kurama. Keduanya tampak lebih baik meski dengan mata sembab. Meninggalkan makam Sara bersama dengan luka masa lalu, mereka memutuskan untuk pulang dengan hati yang baru.

“Bagaimana jika kita mengunjungi Naru?” Tsunade memberi ide dan membuat Mito tersenyum lebar.

“Tentu saja, ayo kita pergi menemui Naru,” jawab Mito bersemangat.

Kurama tampak menyeringai dan membuat Tsunade juga Mito saling bertukar pandang. “Kita memang harus mengganggu mereka agar Sasuke tidak mengurung adikku sepanjang hari di dalam kamar.”

“Ku~.” Kedua nenek itu berseru bersamaan, sementara Nagato dan Yahiko langsung meledak dalam tawa sampai Konan harus memukul lengan suami juga putranya. Di sebelah mereka, Hashirama dan Jiraiya hanya berdeham pelan, menahan diri untuk tidak ikut tertawa.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 29<<

>>Nami Cafe - Extra Chapter 1<< (Ada di dalam versi PDF. Silakan hubungi author untuk pemesanan)

>>Nami Cafe - Extra Chapter 2<< 

>>Nami Cafe - Extra Chapter 3<< 

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Akhirnya selesai juga. Selamat membaca.

Sampai jumpa di cerita lainnya.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments