Nami Cafe - Chapter 11

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================



“Jangan bicara dengan sembarang orang saat di dalam nanti. Terutama pada Sai dan Obito, juga Sasuke.”

Mobil baru saja berhenti dan Kurama sudah memberi peringatan padanya. Yahiko tertawa melihat sikap konyol adik sepupunya.

“Yang benar saja Ku? Kau pikir adikmu ini apa? Manekin berjalan? Dia bebas bergaul dengan siapa saja kalau mau.” Yahiko membela Naruto. Dia tidak pernah tega melihat sepupu bungsunya itu terkungkung.

“Tidak, aku tidak mau adikku dirayu oleh hidung belang.” Kurama masih bersikeras.

Naruto menghela napas. “Sasuke bukan hidung belang. Dan lagi Madara Ojii-sama sudah mengatakan kalau dia tidak mengijinkan Obito juga Sai datang ke pesta malam ini.”

Kurama menautkan alis lalu menyeringai puas. “Baguslah kalau dua hidung belang itu tidak datang. Tapi aku tetap tidak suka kalau kau dekat dengan Sasuke.”

“Onii-sama, kita sudah sampai dan kau membuatku malas untuk masuk ke dalam. Apa sebaiknya aku pulang saja?”

“Hei, hei, jangan begitu Naru-chan,” bujuk Yahiko yang kemudian memasang wajah garang pada Putra Mahkota Mizu. “Kurama, aku akan mengadukanmu pada Obaa-sama kalau terus membuat adikmu kesal.” Habis juga kesabarannya menghadapi sifat over protektif Kurama.

Alih-alih menjawab, Kurama justru membuka pintu mobil lalu mengulurkan tangan pada adiknya. Naruto hanya bisa menggeleng pasrah pada sikap sang kakak. Dia pun menyambut uluran tangan Kurama lalu keluar dari mobil. Tak jauh dari mereka, Hokage juga keluar dari mobil bersama paman dan bibinya.

Naruto berjalan berdampingan dengan sang kakak memasuki aula. Sebenarnya, jika bukan karena terpaksa, Naruto malas menghadiri pesta, apalagi pesta ulang tahun. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian. Beruntungnya pesta kali ini hanya dihadiri oleh kalangan terbatas yang memang sudah mengenalnya sebagai hime.

“Sasuke sepertinya sudah menunggumu. Dia langsung melihat ke arahmu.” Kurama menarik pinggul sang adik agar lebih merapat padanya lalu berbisik di telinganya.

Naruto tersenyum tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri lalu menjawab dengan suara lirih. “Ku-nii, aku akan benar-benar pulang kalau kau terus membahasnya.”

Kurama menegakkan tubuhnya sembari menyeringai. Tentu saja dia langsung menutup mulut karena Naruto tidak pernah bercanda dengan ancamannya.

Di belakang mereka, Shikamaru dan Neji saling bertukar pandang. Keduanya mendengar percakapan Kurama dan Naruto. Dengan isyarat mata, Neji menunjuk ke arah dimana bungsu Uchiha berdiri bersama kakaknya. Tapi perhatian keduanya segera teralihkan dan fokus ke depan saat kemudian semua orang memberi salam penghormatan pada Hokage.

***

“Selamat ulang tahun Ojii-sama.”

Tentu saja Madara sangat senang dengan kehadiran sang Hime. Dia memeluk Naruto dan memberi kecupan di kening.

“Apa aku juga perlu memberimu ucapan selamat ulang tahun?” Hashirama tersenyum, tapi sahabatnya itu justru mendengkus kesal.

“Aku hanya ingin Naru-chan datang.”

“Ah, kau menjatuhkan harga diriku sebagai Hokage, Madara. Bayangkan kalau para tamu mendengar apa yang baru saja kau katakan.”

“Yang Mulia Hokage, bahkan jika kau menari di tengah aula pesta saat ini, tidak akan ada yang berani mengangkat wajahnya untuk melihatmu. Bagaimana mungkin mereka berani menertawakanmu karena apa yang kukatakan?”

“Ojii-sama,” Naruto langsung memprotes ucapan Madara. “Kalian tidak sedang berada di kantor Hokage. Tolong beri kami sedikit kehormatan.”

Sayangnya, Hashirama dan Madara justru tertawa mendengarnya

“Aiya, Nagato, ambilkan ibumu ini minum. Mereka berdua selalu berhasil menbuatku mual.”

Dan kini justru semua orang ikut tertawa. Nagato baru saja akan melempar candaan saat kemudian mendengar suara Itachi. Perhatian mereka langsung beralih pada Yamato yang tengah berdiri di antara Ibiki dan Shikamaru.

Hokage lah yang pertama menghampiri mereka lalu bertanya. “Ada apa?”

Sesaat suasana aula menjadi hening sampai Madara mengerti apa yang terjadi. “Yamato, dia cucuku. Tidak masalah jika dia ingin menemuiku.”

Yamato bergeser lalu mengangguk hormat pada sang Perdana Menteri. “Mohon maaf Uchiha-sama, tapi Anda jelas tahu bagaimana peraturannya.”

Madara menghela napas. Yamato benar, bahkan petinggi kerajaan sekalipun tidak bisa seenaknya mendekat kepada Hokage.

“Hokage-sama, tolong maafkan kelancangan Sasuke. Ini salah saya karena tidak memberitahunya,” Fugaku yang juga menyadari keteledoran putranya langsung berdiri di depan Sasuke dan Itachi lalu membungkuk hormat pada Hashirama dan Mito. Beberapa keluarga yang duduk di meja belakang tampak mulai saling berbisik.

Sasuke yang sejak tadi terpaku pun mulai menyadari kebodohannya. Dia berdiri di sebelah sang ayah lalu meminta maaf secara pribadi. “Maafkan saya Yang Mulia, saya-,”

“Sudah, sudah, tidak perlu membesar-besarkan masalah. Lagipula ini pesta ulang tahun Perdana Menteri. Tidak perlu terlalu kaku. Yamato, aku mengijinkan Sasuke, jadi biarkan saja.” Hashirama menyela karena tidak mau mempermalukan Fugaku juga putranya.

“Terima kasih Yang Mulia,” jawab Fugaku dan Sasuke bersamaan.

Yamato, Ibiki dan Shikamaru pun segera menjauh. Mereka kembali mengawasi keadaan di sekitar aula. Neji masih sibuk di dapur untuk memeriksa semua hidangan yang akan disajikan untuk Hokage dan juga keluarga kerajaan.

“Ayo kita kembali merayakan pesta.” Perkataan Hokage tentu saja menjadi perintah mutlak. Semua orang kembali berbincang di meja masing-masing atau menikmati minuman dan hidangan kecil di meja sajian sembari menunggu acara utama dimulai.

 “Sasuke, kemarilah.” Madara memanggil cucunya.

Sasuke menoleh pada sang ayah yang hanya dijawab dengan sebuah anggukan.

“Ini cucu bungsuku, Sasuke Uchiha.” Madara menepuk bahu Sasuke dengan raut wajah bangga. Sebaliknya Sasuke masih merasa malu dengan sikap impulsifnya.

“Pria muda yang tampan,” puji Hashirama. “Bagaimana menurutmu Sayang?” Dia pun menoleh pada Mito.

“Hm, dia memang tampan. Tapi itu tidak mengherankan karena dia bermarga Uchiha.” Mito tersenyum simpul pada suaminya lalu mengamati Sasuke yang masih tampak kikuk meski ekspresi wajahnya sedatar papan.

“Terima kasih untuk pujian Yang Mulia,” ucap Sasuke kemudian. Sesaat dia melirik ke arah Naruto yang ternyata juga sedang menatapnya. Jantungnya kembali berdebar dengan kencang. Tapi kemudian Sasuke menyadari kalau ternyata seluruh keluarga kerajaan memang tengah menatapnya. Tangannya terkepal erat untuk menahan diri dari rasa gelisah.

Kurama merasa jengah karena Sasuke terus menatap adiknya. “Ojii-san, bukankah sudah waktunya untuk memulai acara?”

Madara melihat jam tangannya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling aula. “Hm, kau benar Shinno-sama. Fugaku, segera mulai acara perjamuannya.”

“Baik, Otou-sama.”

“Hokage, silakan duduk dan menikmati pesta,” kata Madara pada sahabatnya. “Ayo Sasuke.” Dia pun mengajak Sasuke duduk di meja yang sudah disiapkan untuk keluarganya.

***

“Apa yang kau lakukan, huh?” Itachi adalah yang pertama menegur Sasuke begitu mereka duduk di meja bundar.

“Itachi, acara akan dimulai, kita bahas itu nanti,” kata Fugaku yang tidak ingin terjadi perdebatan di meja perjamuan. Dia melirik sang ayah yang sepertinya juga menahan kesal dengan apa yang baru saja terjadi.

“Maafkan aku,” ucap Sasuke kemudian.

“Sudah, jangan dipikirkan.” Mikoto yang duduk di sebelah Sasuke tersenyum sembari menepuk bahunya dengan lembut.

Sementara itu di meja perjamuan keluarga istana, hal yang sama juga tengah terjadi.

“Apa dia tidak pernah belajar etika, huh?” Kurama menggerutu begitu duduk di kursinya.

“Kurama, jangan bicara seperti itu. Juga jaga sikapmu,” Mito menegur cucunya.

“Dia melihat adikku seolah ingin membawanya ke bulan, bagaimana aku tidak kesal Obaa-sama?” Putra Mahkota Mizu itu membela diri.

“Kau melihat semua pria yang mendekati Naru seperti itu. Apa adikmu itu tidak boleh memiliki teman? Kelak dia juga akan menikah,” kali ini Hashirama yang bicara. Dia melihat ke arah Naruto yang duduk dengan wajah masam.

Konan menghela napas panjang lalu mengusap tangan Naruto di bawah meja. Membuat Naruto kesal adalah hal yang paling mereka hindari. Keponakannya itu menoleh lalu tersenyum tipis, jelas terlihat kalau tengah menahan marah.

Acara perjamuan pun dimulai, para pelayan keluar dengan mendorong kereta makan untuk menjamu tamu di meja masing-masing. Neji tampak berjalan di depan pelayan yang akan menyajikan hidangan untuk keluarga kerajaan.

“Semua baik-baik saja?” Mito bertanya pada Neji yang berdiri di sebelah Hashirama.

“Ya Yang Mulia, semua makanan dan minuman sudah diperiksa oleh tim Anbu. Untuk Hime-sama, tolong jangan memakan dessert dan snack yang dihidangkan di meja tamu. Para koki menggunakan aneka coklat sebagai filling juga topping. Tapi Anda boleh menikmati aneka puddingnya.”

“Baiklah, terima kasih Neji-sensei.” Naruto tersenyum pada sahabatnya.

Hashirama dan Mito juga mengucapkan terima kasih sebelum Neji pergi untuk bergabung bersama Shikamaru dan Kapten Anbu. Mereka menikmati sajian di meja lain. Acara jamuan makan malam pun berjalan dengan baik.

***

Usai perjamuan utama, semua orang mengucapkan selamat dan memberikan hadiah mereka pada Perdana Menteri. Setelah itu para tamu beramah tamah satu dengan yang lainnya. Hashirama dan Madara juga menikmati waktu mereka untuk berbincang dengan beberapa jenderal yang hadir. Sayangnya Danzo dan Sara tidak bisa datang karena memiliki acara di luar kota. Keduanya hanya mengirimkan hadiah dan ucapan selamat.

Alih-alih berada di aula pesta, Naruto justru memilih untuk menghabiskan waktu di taman milik keluarga Uchiha. Dia jelas menghindari sang kakak yang kini tengah sibuk berbincang dengan beberapa orang dari pemerintahan bersama dengan Nagato dan Yahiko. Naruto tadi sempat menyapa Mikoto lalu meminta ijin pada neneknya untuk keluar. Tentu saja dengan ditemani Neji dan Shikamaru, bahkan ada dua Anbu yang juga mengawaasi mereka dari jauh. Ketiga sahabat lama itu lebih leluasa bersama karena jauh dari keramaian.

“Bagaimana lukamu?” Naruto memindai tubuh Shikamaru. Dia tidak tahu dimana sahabatnya itu terluka.

“Luka?” Shikamaru balik bertanya.

Tentu saja hal itu membuat Naruto berdecak kesal. “Aku bukan anak kecil Shika.”

“Memangnya dia bisa terluka?” Neji menunjuk dengan ibu jari pada pria yang berdiri di sebelah kanannya.

Naruto membulatkan mata dengan kesal. “Kalian berdua menyebalkan. Kau juga Neji, mengirim seratus pesan dan terus menayakan keadaanku.”

“Hanya sepuluh Naru, dan itu karena kau tidak menjawab satu pun pesanku. Sedang si idiot ini jelas mengatakan kau baru saja mengalami penyerangan.”

“Tentu saja aku baik-baik saja. Shika yang terluka tapi justru bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Memang kenapa dia harus memelukku dan menyuruhku menutup mata kalau bukan untuk menutupi lukanya yang entah di bagian mana.” Naruto menggerutu panjang sembari melipat tangan di depan dada.

“Tunggu,” Neji cukup terkejut mendengar gerutuan panjang sahabat tercintanya. “Dia memelukmu?”

Naruto mengangguk.

Shikamaru menyeringai dengan ekspresi geli saat Neji menoleh padanya. Dokter muda itu memang selalu marah kalau dirinya memanfaatkan kesempatan berdua bersama Naruto. Sayangnya itu adalah misi, bukan waktu bersantai.

“Dia juga menghilang, sama sekali tidak menghubungiku, dan baru muncul sore tadi untuk bertugas.” Naruto melanjutkan gerutuannya.

“Argh!” Seringai di wajah Shikamaru berganti menjadi ringisan menahan sakit. Neji baru saja memukul lengan kirinya dengan sengaja.

Bahkan Naruto yang tengah duduk di bangku taman langsung menegakkan tubuhnya karena terkejut dengan tindakan Neji.

“Sekarang kau tahu bagian mana yang terluka,” ucap Neji tanpa dosa. “Tenang saja Naru, aku akan menjahit kembali lukanya kalau sampai terbuka.”

“Kau-,” Shikamaru mendesis kesal tapi mengurungkan niat untuk memaki sahabatnya karena melihat Naruto yang justru tertawa.

“Terima kasih, Neji Sensei,” ucapnya sembari memegang perut dan masih terus tertawa. Kedua sahabatnya itu memang selalu berhasil menghiburnya. “Apa itu sakit Shika?”

Shikamaru menggeleng lalu tersenyum. “Ini hanya luka kecil.”

Giliran Neji yang menyeringai saat Shikamaru melirik padanya. Jelas saja dia tahu bagaimana dalamnya luka sayatan di lengan kiri sahabatnya.

Kesenangan mereka terhenti saat tiba-tiba Shikamaru berbalik lalu menyentuh earphone-nya. Kapten muda itu menjawab dengan sebuah kode kemudian kembali berbalik menatap Naruto.

“Ada apa?” tanya Naruto kemudian.

“Yamato-san memberi tahu kalau Uchiha Sasuke ingin menemuimu. Dia sudah mendapat ijin dari Hokage.”

“Oh, begitu,” jawab Naruto datar.

“Kau keberatan?” tanya Shikamaru dengan alis bertaut, dia juga melirik pada Neji yang tampak penasaran dengan jawaban Naruto.

“Tidak, biarkan saja.” Naruto menggeleng lalu menoleh ke arah aula. Tampak di kejauhan seseorang berjalan ke arahnya. “Dia datang,” gumamnya yang langsung membuat Neji dan Shikamaru menoleh.

Sasuke merasakan perasaan tidak nyaman saat melihat Naruto ditemani oleh kedua sahabatnya. Tapi dia mengabaikannya dan segera memberi salam pada Naruto.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Naruto sembari melempar senyum. Dia tidak menyadari Neji yang mengepalkan tangan meski wajahnya berekspresi datar.

“Baik, Hime-sama.”

“Tidak perlu memanggilku Hime, tidak ada orang lain disini.” Dia lalu melihat Sasuke menoleh pada kedua sahabatnya. “Ah, sebaiknya aku memperkenalkan kalian. Mereka berdua adalah sahabatku, Hyuga Neji dan Nara Shikamaru. Kenalkan ini Uchiha Sasuke.”

“Salam Uchiha-san,” Neji dan Shikamaru mengangguk bersamaan.

“Nara-san, Hyuga-san,” jawabnya yang juga mengangguk hormat pada keduanya.

“Duduklah Sasuke.” Naruto mempersilakan pria itu untuk duduk di sebelahnya.

“Hime-sama, sebaiknya kami undur diri,” kata Neji kemudian.

“Kenapa harus pergi? Kita bisa mengobrol bersama, kau keberatan Sasuke?” Naruto langsung menoleh pada pria yang sudah duduk di sebelahnya.

“Tidak.”

Shikamaru hampir tertawa melihat ekspresi Neji. Dia pun segera memberi hormat pada Naruto. “Mungkin lain kali, permisi Hime-sama, Uchiha-san.”

Naruto mengamati kedua sahabatnya yang berjalan menjauh. Tentu saja dia tahu alasan Neji yang ingin segera pergi. Dokter muda itu tidak pernah tahan melihatnya bersama dengan pria lain. Terkadang Naruto juga bertanya-tanya, kenapa mereka bisa menyukainya? Bukankah status yang disandangnya justru akan membuat hidup mereka rumit?

“Naru?”

Naruto tersentak dan baru menyadari kalau dirinya terhanyut dalam lamunan. “Ah, maaf, aku sedang memikirkan sesuatu.”

“Kau marah padaku?”

“Marah? Kenapa aku harus marah padamu?” tanya Naruto dengan alis bertaut. “Ah, maksudmu karena kejadian tadi?”

Sasuke mengangguk tapi Naruto justru tertawa.

“Kenapa aku harus marah karena hal seperti itu?” katanya kemudian. “Aku mengerti kalau kau belum terbiasa. Bukankah ini pertama kalinya kau bertemu dengan keluarga kerajaan selain aku?”

Sasuke kembali mengangguk. “Aku tidak berpikir kalau memerlukan ijin untuk dekat denganmu.”

“Dan kau masih tidak menyerah padaku?”

“Kau ingin aku menyerah?”

“Kenapa kau menyukaiku Sasuke? Kita bahkan belum lama bertemu. Apa karena aku menolongmu malam itu?” Alih-alih menjawab, Naruto justru memberi Sasuke banyak pertanyaan.

Keduanya bertukar pandang dalam diam.

“Entahlah, aku memang sudah jatuh cinta padamu sejak pertama kita bertemu.” Akhirnya Sasuke mengakui perasaanya.

“Kukira cinta pada pandangan pertama itu hanya karangan Ojii-sama saja.” Naruto tersenyum saat mengingat cerita pertemuan kakek neneknya.

“Aku justru menganggap pertemuan kita adalah takdir. Takdir yang membuatku jatuh padamu,” kata Sasuke. “Naru, aku bukan pria yang suka basa-basi. Kau sudah tahu perasaanku, Ojii-sama bahkan ingin aku segera melamarmu. Apa setelah ini kau masih mau bertemu denganku?”

Naruto menengadah untuk menatap langit malam. “Kau tahu Sasuke, aku belum pernah jatuh cinta,” kata Naruto yang sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sasuke.

“Ini juga pertama buatku,” bungsu Uchiha itu langsung menimpali, membuat Naruto kembali menoleh padanya.

“Benarkah?”

Sasuke mengangguk.

“Bagaimana rasanya?”

“Huh?” Sasuke menautkan alis, tidak mengerti dengan pertanyaan Naruto.

“Bagaimana rasanya jatuh cinta?”

Sasuke berdeham di balik genggaman tangannya, sekaligus untuk menutupi pipinya yang tiba-tiba terasa panas.

Melihat reaksi Sasuke membuat Naruto tersenyum geli. Apa pertanyaanya memalukan? Batinnya dalam hati.

“Aku-,” Sasuke menghela napas perlahan lalu menatap langit malam untuk menghindari tatapan mata Naruto. “Jantungku tiba-tiba berdebar kencang saat pertama melihatmu malam itu. Mataku tidak mau lepas darimu, ingin selalu memandangmu. Setelah aku pulang, aku terus teringat padamu. Melihatmu sakit siang itu, membuatku ingin memelukmu. Dan aku merasa kecewa saat kau tak juga menghubungiku meski aku sudah meninggalkan kartu namaku.”

Naruto terdiam mencerna kalimat panjang Sasuke.

“Naru?” Sasuke mulai gelisah saat wanita itu diam terlalu lama.

“Ternyata seorang pria juga bisa merasakan emosi sekompleks itu.” Dia tersenyum saat matanya bertemu pandang dengan manik kelam milik Sasuke.

“Aku tidak tahu apakah benar itu bisa dinamakan jatuh cinta. Tapi yang pasti, itulah yang aku rasakan sejak bertemu denganmu.”

“Begitu ya,” gumam wanita itu yang kemudian kembali menatap langit malam.

“Kau tidak keberatan dengan perasaanku padamu?” Sasuke kembali bertanya sembari ikut memandang langit malam.

“Kenapa harus keberatan? Aku tidak bisa melarang orang jatuh cinta padaku. Tapi aku juga punya kebebasan untuk menentukan perasaanku sendiri, bukan begitu?”

“Hm, kau benar,” jawab Sasuke lirih. Terbesit ketakutan dalam hatinya kalau-kalau Naruto memutuskan untuk menolak perasaannya. “Naru, maukah kau memberiku kesempatan sebelum memutuskan perasaanmu padaku?”

“Eh?” Naruto langsung menoleh. Dia terkejut, tentu saja. Selama ini belum pernah ada yang mengajukan permintaan seperti itu padanya. Bahkan kedua sahabatnya sekalipun. “Kau tidak keberatan dengan statusku?”

“Jujur saja, statusmu membuatku kesulitan. Tapi aku ingin memperjuangkan perasaanku. Aku ingin bersamamu.”

“Hidupmu tidak akan tenang bersamaku.”

“Kita belum mencobanya, bagaimana bisa tahu?”

Naruto membuka mulut tapi kemudian kembali menutupnya. Memang dia harus menjawab apa? Bungsu Uchiha itu menantangnya untuk mencoba menjalin hubungan, bukan?

“Maukah kau memberiku kesempatan itu?”

Naruto menghela napas panjang. “Beri aku waktu untuk berpikir,” lirihnya kemudian.

“Aku tidak akan memaksakan perasaanku, cukup beri aku ruang untuk bisa dekat denganmu.”

Naruto melihat kesungguhan di mata Sasuke, sayangnya itu justru membuat hatinya bingung. “Bagaimana jika aku tetap tidak bisa membalas perasaanmu? Bukankah itu akan menyakitimu?”

Sasuke tersenyum simpul. “Itu adalah konsekuensi yang harus aku tanggung. Setidaknya aku sudah berusaha.”

“Kau sangat berani Sasuke,” Naruto akhirnya tersenyum. “Kedua kakakmu bahkan tidak berani mengundangku minum teh kecuali atas perintah Ojii-sama. Kecuali kedua sepupumu, mulut mereka terlalu manis untuk menjadi bagian dari keluarga Uchiha.” Dan Naruto tertawa dengan kalimat terakhirnya. Sasuke pun ikut tersenyum.

“Kelihatannya ada yang sedang bahagia.”

Naruto dan Sasuke yang terkejut langsung menoleh ke samping. Keduanya tidak menyadari kehadiran seseorang yang ternyata adalah Kurama. Melihat sang Putra Mahkota membuat Sasuke langsung berdiri lalu memberi hormat.

Kurama hanya menjawab salam Sasuke dengan anggukan. Dia lalu menghampiri Naruto, melepas jasnya lalu menyampirkannya di bahu sang adik. Naruto memang meninggalkan mantel miliknya di dalam mobil. “Kau sudah terlalu lama di luar, ayo masuk. Kita akan segera pulang.”

“Sasuke, ini kakakku, Namikaze Kurama.”

“Aku sudah tahu namanya, tidak perlu memperkenalkan kami.”

“Onii-sama~,” Naruto membulatkan mata dengan ekspresi kesal.

Sasuke tidak buta untuk menyadari sikap Kurama padanya. Tapi dia berusaha untuk mengerti. Dari cerita Itachi, Kurama memang over protective pada sang adik. Sasuke kembali terkejut saat Naruto tiba-tiba mengulurkan tangannya.

Kening Sasuke yang berkerut membuat Naruto hampir tertawa. “Berikan handphonemu.”

“Hah?” Ini adalah Kurama. “Untuk apa kau-,”

“Berikan handphonemu Sasuke.” Naruto menyela kakaknya dengan cepat.

Sasuke yang menyadari maksud Naruto dengan segera mengeluarkan handphone dari balik saku jasnya.

“Imouto!” Protes Kurama begitu melihat sang adik mengetikkan nomor handphone-nya.

“Kau boleh menghubungiku.” Mengabaikan sang kakak, Naruto mengembalikan handphone sembari tersenyum.

“Terima kasih, Hime-sama.” Sasuke merasa sangat senang. Dia melirik Kurama yang mendengkus kesal.

Putra Mahkota Mizu itu akhirnya menarik sang adik. Naruto hanya sempat mengangguk dan tersenyum pada Sasuke sebelum mengikuti sang kakak yang memeluk bahunya dan membawanya menuju aula.

Sementara itu, dari balkon lantai dua aula, Hashirama dan Madara mengamati interaksi mereka.

“Bagaimana menurutmu tentang Sasuke?” tanya Madara dengan mata masih terpaku pada cucu bungsunya.

“Jawaban apa yang kau inginkan?” Hashirama justru balik bertanya dan membuat Madara menoleh dengan kening berkerut. Melihat ekspresi sahabatnya membuat Hashirama tersenyum lalu menepuk bahunya. “Biarkan mereka memilih dan menjalaninya, aku tidak mau memaksakan apapun.”

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 10<<

>>Nami Cafe - Chapter 12<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments