Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
“Jangan bicara dengan sembarang orang saat di dalam
nanti. Terutama pada Sai dan Obito, juga Sasuke.”
Mobil baru saja berhenti dan Kurama sudah memberi
peringatan padanya. Yahiko tertawa melihat sikap konyol adik sepupunya.
“Yang benar saja Ku? Kau pikir adikmu ini apa? Manekin
berjalan? Dia bebas bergaul dengan siapa saja kalau mau.” Yahiko membela
Naruto. Dia tidak pernah tega melihat sepupu bungsunya itu terkungkung.
“Tidak, aku tidak mau adikku dirayu oleh hidung
belang.” Kurama masih bersikeras.
Naruto menghela napas. “Sasuke bukan hidung belang. Dan
lagi Madara Ojii-sama sudah mengatakan kalau dia tidak mengijinkan Obito juga
Sai datang ke pesta malam ini.”
Kurama menautkan alis lalu menyeringai puas. “Baguslah
kalau dua hidung belang itu tidak datang. Tapi aku tetap tidak suka kalau kau
dekat dengan Sasuke.”
“Onii-sama, kita sudah sampai dan kau membuatku malas
untuk masuk ke dalam. Apa sebaiknya aku pulang saja?”
“Hei, hei, jangan begitu Naru-chan,” bujuk Yahiko yang
kemudian memasang wajah garang pada Putra Mahkota Mizu. “Kurama, aku akan
mengadukanmu pada Obaa-sama kalau terus membuat adikmu kesal.” Habis juga
kesabarannya menghadapi sifat over protektif Kurama.
Alih-alih menjawab, Kurama justru membuka pintu mobil
lalu mengulurkan tangan pada adiknya. Naruto hanya bisa menggeleng pasrah pada
sikap sang kakak. Dia pun menyambut uluran tangan Kurama lalu keluar dari
mobil. Tak jauh dari mereka, Hokage juga keluar dari mobil bersama paman dan
bibinya.
Naruto berjalan berdampingan dengan sang kakak
memasuki aula. Sebenarnya, jika bukan karena terpaksa, Naruto malas menghadiri
pesta, apalagi pesta ulang tahun. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.
Beruntungnya pesta kali ini hanya dihadiri oleh kalangan terbatas yang memang
sudah mengenalnya sebagai hime.
“Sasuke sepertinya sudah menunggumu. Dia langsung
melihat ke arahmu.” Kurama menarik pinggul sang adik agar lebih merapat padanya
lalu berbisik di telinganya.
Naruto tersenyum tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri
lalu menjawab dengan suara lirih. “Ku-nii, aku akan benar-benar pulang kalau
kau terus membahasnya.”
Kurama menegakkan tubuhnya sembari menyeringai. Tentu
saja dia langsung menutup mulut karena Naruto tidak pernah bercanda dengan
ancamannya.
Di belakang mereka, Shikamaru dan Neji saling bertukar
pandang. Keduanya mendengar percakapan Kurama dan Naruto. Dengan isyarat mata,
Neji menunjuk ke arah dimana bungsu Uchiha berdiri bersama kakaknya. Tapi
perhatian keduanya segera teralihkan dan fokus ke depan saat kemudian semua
orang memberi salam penghormatan pada Hokage.
***
“Selamat ulang tahun Ojii-sama.”
Tentu saja Madara sangat senang dengan kehadiran sang
Hime. Dia memeluk Naruto dan memberi kecupan di kening.
“Apa aku juga perlu memberimu ucapan selamat ulang
tahun?” Hashirama tersenyum, tapi sahabatnya itu justru mendengkus kesal.
“Aku hanya ingin Naru-chan datang.”
“Ah, kau menjatuhkan harga diriku sebagai Hokage,
Madara. Bayangkan kalau para tamu mendengar apa yang baru saja kau katakan.”
“Yang Mulia Hokage, bahkan jika kau menari di tengah
aula pesta saat ini, tidak akan ada yang berani mengangkat wajahnya untuk
melihatmu. Bagaimana mungkin mereka berani menertawakanmu karena apa yang
kukatakan?”
“Ojii-sama,” Naruto langsung memprotes ucapan Madara.
“Kalian tidak sedang berada di kantor Hokage. Tolong beri kami sedikit
kehormatan.”
Sayangnya, Hashirama dan Madara justru tertawa
mendengarnya
“Aiya, Nagato, ambilkan ibumu ini minum. Mereka berdua
selalu berhasil menbuatku mual.”
Dan kini justru semua orang ikut tertawa. Nagato baru
saja akan melempar candaan saat kemudian mendengar suara Itachi. Perhatian
mereka langsung beralih pada Yamato yang tengah berdiri di antara Ibiki dan
Shikamaru.
Hokage lah yang pertama menghampiri mereka lalu
bertanya. “Ada apa?”
Sesaat suasana aula menjadi hening sampai Madara
mengerti apa yang terjadi. “Yamato, dia cucuku. Tidak masalah jika dia ingin
menemuiku.”
Yamato bergeser lalu mengangguk hormat pada sang Perdana
Menteri. “Mohon maaf Uchiha-sama, tapi Anda jelas tahu bagaimana peraturannya.”
Madara menghela napas. Yamato benar, bahkan petinggi
kerajaan sekalipun tidak bisa seenaknya mendekat kepada Hokage.
“Hokage-sama, tolong maafkan kelancangan Sasuke. Ini
salah saya karena tidak memberitahunya,” Fugaku yang juga menyadari keteledoran
putranya langsung berdiri di depan Sasuke dan Itachi lalu membungkuk hormat
pada Hashirama dan Mito. Beberapa keluarga yang duduk di meja belakang tampak
mulai saling berbisik.
Sasuke yang sejak tadi terpaku pun mulai menyadari
kebodohannya. Dia berdiri di sebelah sang ayah lalu meminta maaf secara
pribadi. “Maafkan saya Yang Mulia, saya-,”
“Sudah, sudah, tidak perlu membesar-besarkan masalah.
Lagipula ini pesta ulang tahun Perdana Menteri. Tidak perlu terlalu kaku.
Yamato, aku mengijinkan Sasuke, jadi biarkan saja.” Hashirama menyela karena
tidak mau mempermalukan Fugaku juga putranya.
“Terima kasih Yang Mulia,” jawab Fugaku dan Sasuke
bersamaan.
Yamato, Ibiki dan Shikamaru pun segera menjauh. Mereka
kembali mengawasi keadaan di sekitar aula. Neji masih sibuk di dapur untuk
memeriksa semua hidangan yang akan disajikan untuk Hokage dan juga keluarga
kerajaan.
“Ayo kita kembali merayakan pesta.” Perkataan Hokage
tentu saja menjadi perintah mutlak. Semua orang kembali berbincang di meja
masing-masing atau menikmati minuman dan hidangan kecil di meja sajian sembari
menunggu acara utama dimulai.
“Sasuke,
kemarilah.” Madara memanggil cucunya.
Sasuke menoleh pada sang ayah yang hanya dijawab
dengan sebuah anggukan.
“Ini cucu bungsuku, Sasuke Uchiha.” Madara menepuk
bahu Sasuke dengan raut wajah bangga. Sebaliknya Sasuke masih merasa malu
dengan sikap impulsifnya.
“Pria muda yang tampan,” puji Hashirama. “Bagaimana
menurutmu Sayang?” Dia pun menoleh pada Mito.
“Hm, dia memang tampan. Tapi itu tidak mengherankan
karena dia bermarga Uchiha.” Mito tersenyum simpul pada suaminya lalu mengamati
Sasuke yang masih tampak kikuk meski ekspresi wajahnya sedatar papan.
“Terima kasih untuk pujian Yang Mulia,” ucap Sasuke
kemudian. Sesaat dia melirik ke arah Naruto yang ternyata juga sedang
menatapnya. Jantungnya kembali berdebar dengan kencang. Tapi kemudian Sasuke
menyadari kalau ternyata seluruh keluarga kerajaan memang tengah menatapnya.
Tangannya terkepal erat untuk menahan diri dari rasa gelisah.
Kurama merasa jengah karena Sasuke terus menatap
adiknya. “Ojii-san, bukankah sudah waktunya untuk memulai acara?”
Madara melihat jam tangannya lalu mengedarkan
pandangan ke sekeliling aula. “Hm, kau benar Shinno-sama. Fugaku, segera mulai acara
perjamuannya.”
“Baik, Otou-sama.”
“Hokage, silakan duduk dan menikmati pesta,” kata
Madara pada sahabatnya. “Ayo Sasuke.” Dia pun mengajak Sasuke duduk di meja
yang sudah disiapkan untuk keluarganya.
***
“Apa yang kau lakukan, huh?” Itachi adalah yang
pertama menegur Sasuke begitu mereka duduk di meja bundar.
“Itachi, acara akan dimulai, kita bahas itu nanti,”
kata Fugaku yang tidak ingin terjadi perdebatan di meja perjamuan. Dia melirik
sang ayah yang sepertinya juga menahan kesal dengan apa yang baru saja terjadi.
“Maafkan aku,” ucap Sasuke kemudian.
“Sudah, jangan dipikirkan.” Mikoto yang duduk di
sebelah Sasuke tersenyum sembari menepuk bahunya dengan lembut.
Sementara itu di meja perjamuan keluarga istana, hal
yang sama juga tengah terjadi.
“Apa dia tidak pernah belajar etika, huh?” Kurama
menggerutu begitu duduk di kursinya.
“Kurama, jangan bicara seperti itu. Juga jaga sikapmu,”
Mito menegur cucunya.
“Dia melihat adikku seolah ingin membawanya ke bulan,
bagaimana aku tidak kesal Obaa-sama?” Putra Mahkota Mizu itu membela diri.
“Kau melihat semua pria yang mendekati Naru seperti
itu. Apa adikmu itu tidak boleh memiliki teman? Kelak dia juga akan menikah,”
kali ini Hashirama yang bicara. Dia melihat ke arah Naruto yang duduk dengan
wajah masam.
Konan menghela napas panjang lalu mengusap tangan
Naruto di bawah meja. Membuat Naruto kesal adalah hal yang paling mereka
hindari. Keponakannya itu menoleh lalu tersenyum tipis, jelas terlihat kalau
tengah menahan marah.
Acara perjamuan pun dimulai, para pelayan keluar
dengan mendorong kereta makan untuk menjamu tamu di meja masing-masing. Neji
tampak berjalan di depan pelayan yang akan menyajikan hidangan untuk keluarga
kerajaan.
“Semua baik-baik saja?” Mito bertanya pada Neji yang
berdiri di sebelah Hashirama.
“Ya Yang Mulia, semua makanan dan minuman sudah
diperiksa oleh tim Anbu. Untuk Hime-sama, tolong jangan memakan dessert dan
snack yang dihidangkan di meja tamu. Para koki menggunakan aneka coklat sebagai
filling juga topping. Tapi Anda boleh menikmati aneka puddingnya.”
“Baiklah, terima kasih Neji-sensei.” Naruto tersenyum
pada sahabatnya.
Hashirama dan Mito juga mengucapkan terima kasih
sebelum Neji pergi untuk bergabung bersama Shikamaru dan Kapten Anbu. Mereka
menikmati sajian di meja lain. Acara jamuan makan malam pun berjalan dengan baik.
***
Usai perjamuan utama, semua orang mengucapkan selamat
dan memberikan hadiah mereka pada Perdana Menteri. Setelah itu para tamu
beramah tamah satu dengan yang lainnya. Hashirama dan Madara juga menikmati
waktu mereka untuk berbincang dengan beberapa jenderal yang hadir. Sayangnya
Danzo dan Sara tidak bisa datang karena memiliki acara di luar kota. Keduanya
hanya mengirimkan hadiah dan ucapan selamat.
Alih-alih berada di aula pesta, Naruto justru memilih
untuk menghabiskan waktu di taman milik keluarga Uchiha. Dia jelas menghindari
sang kakak yang kini tengah sibuk berbincang dengan beberapa orang dari
pemerintahan bersama dengan Nagato dan Yahiko. Naruto tadi sempat menyapa
Mikoto lalu meminta ijin pada neneknya untuk keluar. Tentu saja dengan ditemani
Neji dan Shikamaru, bahkan ada dua Anbu yang juga mengawaasi mereka dari jauh.
Ketiga sahabat lama itu lebih leluasa bersama karena jauh dari keramaian.
“Bagaimana lukamu?” Naruto memindai tubuh Shikamaru.
Dia tidak tahu dimana sahabatnya itu terluka.
“Luka?” Shikamaru balik bertanya.
Tentu saja hal itu membuat Naruto berdecak kesal. “Aku
bukan anak kecil Shika.”
“Memangnya dia bisa terluka?” Neji menunjuk dengan ibu
jari pada pria yang berdiri di sebelah kanannya.
Naruto membulatkan mata dengan kesal. “Kalian berdua
menyebalkan. Kau juga Neji, mengirim seratus pesan dan terus menayakan
keadaanku.”
“Hanya sepuluh Naru, dan itu karena kau tidak menjawab
satu pun pesanku. Sedang si idiot ini jelas mengatakan kau baru saja mengalami
penyerangan.”
“Tentu saja aku baik-baik saja. Shika yang terluka
tapi justru bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Memang kenapa dia harus
memelukku dan menyuruhku menutup mata kalau bukan untuk menutupi lukanya yang
entah di bagian mana.” Naruto menggerutu panjang sembari melipat tangan di
depan dada.
“Tunggu,” Neji cukup terkejut mendengar gerutuan
panjang sahabat tercintanya. “Dia memelukmu?”
Naruto mengangguk.
Shikamaru menyeringai dengan ekspresi geli saat Neji
menoleh padanya. Dokter muda itu memang selalu marah kalau dirinya memanfaatkan
kesempatan berdua bersama Naruto. Sayangnya itu adalah misi, bukan waktu
bersantai.
“Dia juga menghilang, sama sekali tidak menghubungiku,
dan baru muncul sore tadi untuk bertugas.” Naruto melanjutkan gerutuannya.
“Argh!” Seringai di wajah Shikamaru berganti menjadi
ringisan menahan sakit. Neji baru saja memukul lengan kirinya dengan sengaja.
Bahkan Naruto yang tengah duduk di bangku taman langsung
menegakkan tubuhnya karena terkejut dengan tindakan Neji.
“Sekarang kau tahu bagian mana yang terluka,” ucap
Neji tanpa dosa. “Tenang saja Naru, aku akan menjahit kembali lukanya kalau
sampai terbuka.”
“Kau-,” Shikamaru mendesis kesal tapi mengurungkan
niat untuk memaki sahabatnya karena melihat Naruto yang justru tertawa.
“Terima kasih, Neji Sensei,” ucapnya sembari memegang
perut dan masih terus tertawa. Kedua sahabatnya itu memang selalu berhasil
menghiburnya. “Apa itu sakit Shika?”
Shikamaru menggeleng lalu tersenyum. “Ini hanya luka
kecil.”
Giliran Neji yang menyeringai saat Shikamaru melirik
padanya. Jelas saja dia tahu bagaimana dalamnya luka sayatan di lengan kiri
sahabatnya.
Kesenangan mereka terhenti saat tiba-tiba Shikamaru berbalik
lalu menyentuh earphone-nya. Kapten
muda itu menjawab dengan sebuah kode kemudian kembali berbalik menatap Naruto.
“Ada apa?” tanya Naruto kemudian.
“Yamato-san memberi tahu kalau Uchiha Sasuke ingin
menemuimu. Dia sudah mendapat ijin dari Hokage.”
“Oh, begitu,” jawab Naruto datar.
“Kau keberatan?” tanya Shikamaru dengan alis bertaut,
dia juga melirik pada Neji yang tampak penasaran dengan jawaban Naruto.
“Tidak, biarkan saja.” Naruto menggeleng lalu menoleh
ke arah aula. Tampak di kejauhan seseorang berjalan ke arahnya. “Dia datang,”
gumamnya yang langsung membuat Neji dan Shikamaru menoleh.
Sasuke merasakan perasaan tidak nyaman saat melihat
Naruto ditemani oleh kedua sahabatnya. Tapi dia mengabaikannya dan segera memberi
salam pada Naruto.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Naruto sembari melempar
senyum. Dia tidak menyadari Neji yang mengepalkan tangan meski wajahnya
berekspresi datar.
“Baik, Hime-sama.”
“Tidak perlu memanggilku Hime, tidak ada orang lain
disini.” Dia lalu melihat Sasuke menoleh pada kedua sahabatnya. “Ah, sebaiknya
aku memperkenalkan kalian. Mereka berdua adalah sahabatku, Hyuga Neji dan Nara
Shikamaru. Kenalkan ini Uchiha Sasuke.”
“Salam Uchiha-san,” Neji dan Shikamaru mengangguk
bersamaan.
“Nara-san, Hyuga-san,” jawabnya yang juga mengangguk
hormat pada keduanya.
“Duduklah Sasuke.” Naruto mempersilakan pria itu untuk
duduk di sebelahnya.
“Hime-sama, sebaiknya kami undur diri,” kata Neji
kemudian.
“Kenapa harus pergi? Kita bisa mengobrol bersama, kau
keberatan Sasuke?” Naruto langsung menoleh pada pria yang sudah duduk di
sebelahnya.
“Tidak.”
Shikamaru hampir tertawa melihat ekspresi Neji. Dia
pun segera memberi hormat pada Naruto. “Mungkin lain kali, permisi Hime-sama,
Uchiha-san.”
Naruto mengamati kedua sahabatnya yang berjalan
menjauh. Tentu saja dia tahu alasan Neji yang ingin segera pergi. Dokter muda
itu tidak pernah tahan melihatnya bersama dengan pria lain. Terkadang Naruto
juga bertanya-tanya, kenapa mereka bisa menyukainya? Bukankah status yang
disandangnya justru akan membuat hidup mereka rumit?
“Naru?”
Naruto tersentak dan baru menyadari kalau dirinya
terhanyut dalam lamunan. “Ah, maaf, aku sedang memikirkan sesuatu.”
“Kau marah padaku?”
“Marah? Kenapa aku harus marah padamu?” tanya Naruto
dengan alis bertaut. “Ah, maksudmu karena kejadian tadi?”
Sasuke mengangguk tapi Naruto justru tertawa.
“Kenapa aku harus marah karena hal seperti itu?”
katanya kemudian. “Aku mengerti kalau kau belum terbiasa. Bukankah ini pertama
kalinya kau bertemu dengan keluarga kerajaan selain aku?”
Sasuke kembali mengangguk. “Aku tidak berpikir kalau memerlukan
ijin untuk dekat denganmu.”
“Dan kau masih tidak menyerah padaku?”
“Kau ingin aku menyerah?”
“Kenapa kau menyukaiku Sasuke? Kita bahkan belum lama
bertemu. Apa karena aku menolongmu malam itu?” Alih-alih menjawab, Naruto
justru memberi Sasuke banyak pertanyaan.
Keduanya bertukar pandang dalam diam.
“Entahlah, aku memang sudah jatuh cinta padamu sejak
pertama kita bertemu.” Akhirnya Sasuke mengakui perasaanya.
“Kukira cinta pada pandangan pertama itu hanya
karangan Ojii-sama saja.” Naruto tersenyum saat mengingat cerita pertemuan
kakek neneknya.
“Aku justru menganggap pertemuan kita adalah takdir.
Takdir yang membuatku jatuh padamu,” kata Sasuke. “Naru, aku bukan pria yang
suka basa-basi. Kau sudah tahu perasaanku, Ojii-sama bahkan ingin aku segera
melamarmu. Apa setelah ini kau masih mau bertemu denganku?”
Naruto menengadah untuk menatap langit malam. “Kau tahu
Sasuke, aku belum pernah jatuh cinta,” kata Naruto yang sama sekali tidak
menjawab pertanyaan Sasuke.
“Ini juga pertama buatku,” bungsu Uchiha itu langsung
menimpali, membuat Naruto kembali menoleh padanya.
“Benarkah?”
Sasuke mengangguk.
“Bagaimana rasanya?”
“Huh?” Sasuke menautkan alis, tidak mengerti dengan
pertanyaan Naruto.
“Bagaimana rasanya jatuh cinta?”
Sasuke berdeham di balik genggaman tangannya,
sekaligus untuk menutupi pipinya yang tiba-tiba terasa panas.
Melihat reaksi Sasuke membuat Naruto tersenyum geli. Apa pertanyaanya memalukan? Batinnya
dalam hati.
“Aku-,” Sasuke menghela napas perlahan lalu menatap
langit malam untuk menghindari tatapan mata Naruto. “Jantungku tiba-tiba
berdebar kencang saat pertama melihatmu malam itu. Mataku tidak mau lepas
darimu, ingin selalu memandangmu. Setelah aku pulang, aku terus teringat
padamu. Melihatmu sakit siang itu, membuatku ingin memelukmu. Dan aku merasa
kecewa saat kau tak juga menghubungiku meski aku sudah meninggalkan kartu
namaku.”
Naruto terdiam mencerna kalimat panjang Sasuke.
“Naru?” Sasuke mulai gelisah saat wanita itu diam
terlalu lama.
“Ternyata seorang pria juga bisa merasakan emosi
sekompleks itu.” Dia tersenyum saat matanya bertemu pandang dengan manik kelam
milik Sasuke.
“Aku tidak tahu apakah benar itu bisa dinamakan jatuh
cinta. Tapi yang pasti, itulah yang aku rasakan sejak bertemu denganmu.”
“Begitu ya,” gumam wanita itu yang kemudian kembali
menatap langit malam.
“Kau tidak keberatan dengan perasaanku padamu?” Sasuke
kembali bertanya sembari ikut memandang langit malam.
“Kenapa harus keberatan? Aku tidak bisa melarang orang
jatuh cinta padaku. Tapi aku juga punya kebebasan untuk menentukan perasaanku
sendiri, bukan begitu?”
“Hm, kau benar,” jawab Sasuke lirih. Terbesit
ketakutan dalam hatinya kalau-kalau Naruto memutuskan untuk menolak
perasaannya. “Naru, maukah kau memberiku kesempatan sebelum memutuskan
perasaanmu padaku?”
“Eh?” Naruto langsung menoleh. Dia terkejut, tentu
saja. Selama ini belum pernah ada yang mengajukan permintaan seperti itu
padanya. Bahkan kedua sahabatnya sekalipun. “Kau tidak keberatan dengan
statusku?”
“Jujur saja, statusmu membuatku kesulitan. Tapi aku
ingin memperjuangkan perasaanku. Aku ingin bersamamu.”
“Hidupmu tidak akan tenang bersamaku.”
“Kita belum mencobanya, bagaimana bisa tahu?”
Naruto membuka mulut tapi kemudian kembali menutupnya.
Memang dia harus menjawab apa? Bungsu Uchiha itu menantangnya untuk mencoba
menjalin hubungan, bukan?
“Maukah kau memberiku kesempatan itu?”
Naruto menghela napas panjang. “Beri aku waktu untuk
berpikir,” lirihnya kemudian.
“Aku tidak akan memaksakan perasaanku, cukup beri aku ruang
untuk bisa dekat denganmu.”
Naruto melihat kesungguhan di mata Sasuke, sayangnya
itu justru membuat hatinya bingung. “Bagaimana jika aku tetap tidak bisa
membalas perasaanmu? Bukankah itu akan menyakitimu?”
Sasuke tersenyum simpul. “Itu adalah konsekuensi yang
harus aku tanggung. Setidaknya aku sudah berusaha.”
“Kau sangat berani Sasuke,” Naruto akhirnya tersenyum.
“Kedua kakakmu bahkan tidak berani mengundangku minum teh kecuali atas perintah
Ojii-sama. Kecuali kedua sepupumu, mulut mereka terlalu manis untuk menjadi
bagian dari keluarga Uchiha.” Dan Naruto tertawa dengan kalimat terakhirnya. Sasuke
pun ikut tersenyum.
“Kelihatannya ada yang sedang bahagia.”
Naruto dan Sasuke yang terkejut langsung menoleh ke
samping. Keduanya tidak menyadari kehadiran seseorang yang ternyata adalah
Kurama. Melihat sang Putra Mahkota membuat Sasuke langsung berdiri lalu memberi
hormat.
Kurama hanya menjawab salam Sasuke dengan anggukan.
Dia lalu menghampiri Naruto, melepas jasnya lalu menyampirkannya di bahu sang
adik. Naruto memang meninggalkan mantel miliknya di dalam mobil. “Kau sudah
terlalu lama di luar, ayo masuk. Kita akan segera pulang.”
“Sasuke, ini kakakku, Namikaze Kurama.”
“Aku sudah tahu namanya, tidak perlu memperkenalkan
kami.”
“Onii-sama~,” Naruto membulatkan mata dengan ekspresi
kesal.
Sasuke tidak buta untuk menyadari sikap Kurama
padanya. Tapi dia berusaha untuk mengerti. Dari cerita Itachi, Kurama memang over protective pada sang adik. Sasuke
kembali terkejut saat Naruto tiba-tiba mengulurkan tangannya.
Kening Sasuke yang berkerut membuat Naruto hampir
tertawa. “Berikan handphonemu.”
“Hah?” Ini adalah Kurama. “Untuk apa kau-,”
“Berikan handphonemu Sasuke.” Naruto menyela kakaknya
dengan cepat.
Sasuke yang menyadari maksud Naruto dengan segera
mengeluarkan handphone dari balik
saku jasnya.
“Imouto!” Protes Kurama begitu melihat sang adik
mengetikkan nomor handphone-nya.
“Kau boleh menghubungiku.” Mengabaikan sang kakak,
Naruto mengembalikan handphone
sembari tersenyum.
“Terima kasih, Hime-sama.” Sasuke merasa sangat
senang. Dia melirik Kurama yang mendengkus kesal.
Putra Mahkota Mizu itu akhirnya menarik sang adik. Naruto
hanya sempat mengangguk dan tersenyum pada Sasuke sebelum mengikuti sang kakak
yang memeluk bahunya dan membawanya menuju aula.
Sementara itu, dari balkon lantai dua aula, Hashirama
dan Madara mengamati interaksi mereka.
“Bagaimana menurutmu tentang Sasuke?” tanya Madara dengan
mata masih terpaku pada cucu bungsunya.
“Jawaban apa yang kau inginkan?” Hashirama justru
balik bertanya dan membuat Madara menoleh dengan kening berkerut. Melihat
ekspresi sahabatnya membuat Hashirama tersenyum lalu menepuk bahunya. “Biarkan
mereka memilih dan menjalaninya, aku tidak mau memaksakan apapun.”
***
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments