Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
Naruto fokus menatap target dari balik kaca matanya. Headset yang terpasang meredam suara
tembakan dan tiga peluru meluncur dengan cepat, tiga tembakan masuk ke dalam
lingkaran target meski tidak mengenai titik utama. Shikamaru yang berdiri di
belakang Naruto mengerutkan kening saat Naruto kembali melepas tiga tembakan
beruntun.
“Badmood?” tanyanya saat Naruto meletakkan revolvernya
lalu berbalik sembari melepas headset.
“Tidak juga,” jawab Naruto sembari mengulurkan headset
pada sahabatnya. “Ayo makan siang denganku di Nami Café.”
Shikamaru menyeringai. “Kakakmu akan menembakku dan
Neji akan menyuntikku dengan racun.”
Naruto tertawa lalu keluar dari bilik latihan.
Beberapa anggota Divisi Pengintai dan Penembak Jitu memberi hormat saat
berpapasan dengannya. Ada juga anggota Anbu yang tengah latihan menembak di sana.
“Tapi aku sudah bosan di istana.” Naruto berjalan
keluar gedung latihan bersama Shikamaru. Dua pelayan yang menunggunya di luar
kini mengikutinya dari belakang.
“Kenapa kau tidak keluar bersama bungsu Uchiha saja?”
“Eh?!” Naruto terkejut mendengar ide Shikamaru.
“Bungsu Uchiha? Uchiha Sasuke?”
“Siapa lagi? Apa Fugaku-sama mempunyai bayi lagi?”
“Shika!” Naruto memukul lengannya.
“Ouch!” Shikamaru berakting.
“Ah, maaf, aku lupa kau masih terluka.” Naruto
mengusap lengan kanan Shikamaru dengan hati-hati dan baru menyadari kalau sang
sahabat mengerjainya. “Ish, lengan kirimu yang terluka!” ucapnya sembari
kembali memukul lengan Shikamaru.
Tentu saja hal itu membuat tawa Shikamaru pecah. “Aku
tidak bercanda dengan ide tadi, Naru,” katanya kemudian. Mereka berjalan di
taman dan cukup jauh dari istana utama, hingga bisa leluasa berbicara.
“Lagipula sepertinya Sasuke pria yang baik. Aku bahkan tidak mendengar kau
menggerutu tentangnya.”
“Ya, kuakui Sasuke cukup berbeda dengan semua pria
yang pernah mendekatiku,” jawab wanita itu seraya tersenyum. “Apa kau tidak
kesal kalau aku pergi dengannya?”
Shikamaru tersenyum lalu menggeleng. “Aku bukan Neji.”
Dan jawaban itu sukses membuat Naruto kembali tertawa. “Sejak awal aku sudah
tahu konsekuensi dari perasaan ini. Melihatmu bahagia, itu sudah cukup. Suatu
hari nanti, aku juga akan menemukan kebahagiaanku sendiri.”
Kali ini Naruto tersenyum lalu menepuk bahu sahabatnya.
“Kau akan menemukan yang jauh lebih baik dariku.”
Shikamaru mengangguk lalu segera mengubah topik
pembicaraan. “Apa kau menyukainya?”
“Huh?!”
“Maksudku Uchiha Sasuke, apa kau menyukainya?”
Shikamaru memperjelas pertanyaannya saat melihat Naruto bingung.
Wanita itu tersenyum lalu menggeleng. “Entahlah, aku
baru bertemu dengannya. Kami hanya bertukar pesan, beberapa kali menelepon saat
malam, ya … aku belum bisa menyimpulkan apapun.”
“Kau nyaman bersamanya?”
Dia tertawa. “Sepertinya begitu.” Naruto menatap
langit biru yang serupa dengan iris matanya. “Dia tidak pernah melihatku
sebagai seorang putri kerajaan, mungkin itu yang membuatku merasa nyaman saat
bicara dengannya. Aku merasa menjadi wanita normal.”
Kali ini Shikamaru tersenyum. Dia mengerti apa yang
dirasakan oleh Naruto. Semua pria yang mendekatinya memang selalu terpesona karena
gelarnya sebagai putri dari dua kerajaan. Mereka berpikir picik dengan berlomba
untuk menjadikan Naruto pendamping. Bukan karena ingin melindungi dan menyayangi
wanita itu, tapi sebagai sumber keberuntungan karena memiliki ikatan dengan dua
kerajaan besar.
“Kenapa tidak mencoba memulai hubungan serius
dengannya?”
“Dan memulai pertengkaran dengan kakakku?” Naruto
menggeleng, “Lagipula aku belum siap. Dia mungkin akan langsung menyesali
keputusannya saat kami benar-benar menjalin hubungan yang serius.”
Naruto menghela napas saat melihat Shikamaru
mengerutkan kening denga tatapan ‘tolong jelaskan apa maksudmu’. “Maksudku …
Sasuke adalah pria yang bebas sejak kecil. Dia tidak suka terikat. Sedangkan
aku adalah kebalikannya. Aku hanya burung cantik dalam sangkar emas yang akan
membuatnya terkekang.”
“Kenapa kau berpikir seperti itu?” kali ini Shikamaru
tidak paham dengan pemikiran sahabatnya.
“Bukankah memang seperti itu?” Naruto justru balik
bertanya.
Shikamaru menggeleng. “Aku justru berpikir sebaliknya.
Bukankah Sasuke justru bisa membawamu keluar dari sangkar emas ini?”
Naruto terdiam. Dia memikirkan ucapan Shikamaru.
“Ya, setidaknya statusmu sebagai Nyonya Bungsu Uchiha
bisa membuatmu tinggal di luar istana.”
Keduanya bertukar pandang lalu tertawa bersama.
“Aku akan sangat senang kalau memang bisa semudah
itu,” kata Naruto kemudian.
“Pendukung terbesarmu adalah Perdana Menteri. Dia akan
memastikan kau menjadi cucu menantunya.”
“Jangan gunakan itu sebagai candaan, Shika.” Dan
keduanya kembali tertawa dengan pembicaraan konyol mereka.
“Oh ya, kudengar kau akan pergi ke Kiri akhir pekan
ini.”
“Hm,” jawabnya sembari mengangguk. “Mizukage terus
mengeluh karena aku tidak pernah mengunjunginya. Apa kakekku memberitahumu?”
“Tidak, ayahku yang mengatakannya. Hokage ingin
memintaku untuk mengawalmu selama di sana tapi tentu saja kakakmu menolaknya.”
Naruto kembali tertawa. Kurama selalu cemburu melihat
kedekatannya dengan Neji atau Shikamaru. Tidak terasa perjalanan mereka sampai
di halaman istana timur.
“Baiklah, aku harus kembali. Hubungi Sasuke jika ingin
membuat alasan ke luar istana. Semoga hubungan kalian berjalan baik.”
Kali ini Naruto menahan tawanya karena banyak pelayan
dan pengawal di depan istana timur. “Terima kasih sudah menemaniku berlatih.”
Shikamaru membungkuk hormat lalu membiarkan Naruto
memasuki istana bersama kedua pelayannya. Dia pun berbalik untuk kembali ke
Divisinya.
***
Sesampainya di kamar, Naruto membuka handphone-nya. Jarinya dengan lincah
mencari sebuah nama lalu menekan tombol panggil. Hanya dua kali nada dering dan
teleponnya langsung dijawab.
“Naru?”
Naruto tersenyum mendengar nada terkejut lawan
bicaranya. “Hm, apa hari ini kau sibuk, Sasuke?”
“Tidak juga, hanya melakukan beberapa pemotretan untuk
project di Oto. Lalu melihat renovasi studio. Ada apa? Tidak biasanya kau
meneleponku.”
“Aku bosan, ingin keluar istana. Dan bertemu denganmu
adalah alasan yang paling mudah.”
Sasuke tertawa mendengar jawaban wanita pujaannya.
“Jadi aku hanya sebagai alasan?”
Naruto pun ikut tertawa. “Temani aku makan siang di
Nami Café.”
“Tentu, jam berapa kau ingin bertemu?” jawab Sasuke
antusias. Dia tidak peduli dengan alasan Naruto ingin bertemu dengannya, yang
terpenting adalah dirinya memiliki kesempatan untuk bertemu.
Naruto melirik jam tangannya. “Sekitar dua jam lagi.”
“Baik, kita bertemu di Nami Café? Atau aku menjemputmu?”
“Ku-nii akan memakimu kalau kau berani menjemputku di
istana,” sela Naruto sembari tersenyum.
“Ah, kau benar. Baiklah, aku akan menemuimu dua jam
lagi di Nami Café.” Di seberang sana Sasuke juga melihat jam tangannya. Saat
ini masih pukul sebelas. “Oh ya, terima kasih sudah menjadikanku alasan.”
Lagi-lagi Naruto tertawa lalu menutup panggilan
teleponnya. Dia lalu bergegas keluar dari kamar untuk mencari neneknya. Kakek
dan kakaknya sedang disibukkan dengan rapat hingga sore nanti, jadi ini adalah
kesempatan bagus untuk keluar.
“Dimana Obaa-sama?” tanya Naruto pada Chiyo yang
tengah berada di aula istana timur.
“Yang Mulia Senju-sama sedang berada di ruang
kerjanya. Hime-sama membutuhkan sesuatu?”
“Tidak, aku akan menemui Obaa-sama di ruang kerjanya.
Terima kasih, Chiyo-san.” Naruto pun menyusuri koridor menuju ruang kerja sang
nenek.
Ruang kerja Mito di jaga oleh dua Anbu. Keduanya
memberi hormat begitu melihat Naruto datang.
“Apa aku bisa bertemu Yang Mulia?”
“Mohon menunggu sebentar Hime-sama, akan saya
sampaikan.”
Salah seorang Anbu pun mengetuk pintu lalu masuk ke
dalam ruangan.
“Ada apa?” tanya Mito yang duduk di belakang meja
kerjanya. Konan yang duduk di depannya pun menatap Anbu penasaran.
“Hime-sama memohon ijin untuk bertemu.”
“Naru? Ijinkan dia masuk,” jawab Mito cepat. Dia
langsung berdiri begitu Naruto memasuki ruang kerja. “Ada apa, Sayang?”
“Apa terjadi sesuatu?” Konan ikut bertanya karena
tidak biasanya Naruto mencari mereka hingga ke ruang kerja.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin meminta ijin untuk
keluar istana.” Naruto tersenyum untuk meredakan kepanikan nenek dan bibinya.
“Keluar istana? Kau mau pergi ke Café?” tanya Mito.
Naruto mengangguk. “Aku ada janji bertemu dengan
Sasuke, apa boleh?”
“Kau apa?!” tanya Mito dan Konan bersamaan.
“Aku hanya ingin bertemu Sasuke, apa itu aneh?”
Mito tersenyum sementara Konan justru tertawa.
“Maaf, hanya tidak biasanya kau mau bertemu dengan
pria diluar. Apa kakekmu tahu?” tanya Mito dengan wajah yang lebih cerah.
Bukankah sebuah kemajuan kalau akhirnya Naruto mau dekat dengan seseorang?
“Tidak, sepertinya Ojii-sama sedang ada rapat penting
dan pastinya akan lebih mudah mendapat ijin dari Obaa-sama karena Ku-nii juga
ada di ruang rapat.”
“Ah, aku mengerti. Kau boleh keluar tapi harus pulang
sebelum malam atau kakakmu akan mengamuk.”
“Baik Obaa-sama.”
“Kalau begitu kau bersiaplah. Aku akan minta Shikamaru
untuk menemanimu keluar.” Mito kemudian mengambil handphone-nya untuk menghubungi Shikamaru.
Dalam hati Naruto tertawa. Ini pasti akan menjadi
bahan candaan Shikamaru nanti. “Baiklah, Naru permisi Obaa-sama.”
“Hm, berhati-hatilah.” Mito memeluk Naruto sebelum
cucunya itu meninggalkan ruang kerja.
***
“Aku tidak tahu harus menangis atau tertawa kali ini.”
Shikamaru menyalakan mesin mobil dan menatap Naruto yang duduk di belakang
melalui kaca spion mobil.
“Jangan menggodaku, atau kau keberatan menemaniku,
hm?”
“Sejak kapan aku keberatan mengawalmu, Hime?”
Shikamaru menoleh sembari tersenyum.
“Baguslah,” Naruto membalas senyumnya dan mereka pun
meninggalkan istana.
Satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di Nami
Café. Ten Ten cukup terkejut saat melihat Naruto datang bersama Shikamaru. Dia
dan Darui langsung memberi salam.
“Kenapa tidak mengirim pesan sebelum datang, Nona?”
Ten Ten menjaga sikapnya karena keberadaan Shikamaru.
“Ini ide mendadak dari Shikamaru.” Naruto menunjuk
pria yang berdiri di sebelahnya dengan senyum jahil.
Alih-alih menanggapi, Shikamaru justru berjalan
menghampiri Darui sembari menggeleng dengan ekspresi geli. “Apa kabar Senior?”
“Baik, hari yang cerah untuk jalan-jalan?”
Shikamaru tertawa. “Nona ingin kencan, jadi aku
mengantarnya.”
Darui hampir menjatuhkan cangkir di tangannya dan Ten Ten
benar-benar menjatuhkan notes juga pena yang sejak tadi dipegangnya.
“Jangan bicara omong kosong Shika.” Naruto mencebik
lalu masuk ke dapur untuk menemui Fuu dan Choza.
“Nara-san, apa benar Nona akan berkencan?” Ten Ten
yang penasaran segera menghampiri Shikamaru setelah memungut notes dan penanya
di lantai.
“Kau akan tahu sebentar lagi,” jawab Shikamaru yang
kemudian mengucapkan terima kasih pada Darui yang membuatkannya secangkir esspresso
tanpa diminta.
Lonceng yang berdenting karena pintu café terbuka mengalihkan
perhatian mereka. Tampak Sasuke berdiri mengenakan blazer navy serta membawa
buket bunga.
“Ah, ternyata benar.” Ten Ten menggeleng tak percaya
hingga membuat Shikamaru menyembunyikan senyumnya di balik cangkir kopi. Dia
pun segera menyapa dari balik meja kasir. “Sasuke-sama, Anda memiliki janji
dengan Hime-sama?”
Sasuke sedikit kikuk tapi kemudian mengangguk. Dia
berjalan ke bar minuman lalu duduk di sebelah Shikamaru, menyapanya juga Darui.
“Anda ingin minum Sasuke-sama?” tanya Darui sopan
setelah memberi salam.
“Boleh, black coffe.” Dia meletakkan buket bunga mawar
putih di atas meja bar, menarik perhatian Ten Ten yang langsung mendekat
seperti kumbang.
“Anda benar-benar membawakan Hime-sama bunga? Dan itu
mawar putih?” Wanita dengan rambut bercepol dua itu menyentuh buket bunga
dengan perasaan kagum. Tentu saja kagum dengan keberanian Sasuke.
“Apa ada yang salah?” Sasuke merasa heran dengan
reaksi semua orang. Maksudnya, bukankah itu hanya bunga?
“Jadi Anda tidak tahu Uchiha-san?” Shikamaru bertanya
dengan kening berkerut.
“Panggil Sasuke saja, Nara-san. Dan ya, aku tidak tahu
apa yang salah,” jawab Sasuke jujur.
“Kalau begitu panggil aku Shikamaru saja,” jawab
Kapten muda itu yang ditanggapi Sasuke dengan sebuah anggukan.
“Apa Anda pernah membaca buku etiket kerajaan?” kali ini
Darui yang bertanya, dengan nada hati-hati. Tentu saja dia heran karena
seharusnya Sasuke tahu aturan istana. Keluarganya juga termasuk dalam golongan
bangsawan kelas atas. Kakeknya bahkan seorang Perdana Menteri.
Shikamaru mengamati wajah datar Sasuke yang duduk di
sebelahnya. Dan jika mengingat tentang kejadian di pesta ulang tahun Madara,
maka Shikmaru yakin kalau pria disebelahnya belum pernah membaca buku etiket
kerajaan.
“Etiket kerajaan? Buku tebal bersampul hijau?”
Shikamaru, Darui dan Ten Ten berusaha menahan tawa di
balik telapak tangan mereka. Beruntung siang itu café dalam keadaan sepi.
“Kau belum membacanya, oke, aku mengerti.” Shikamaru
berdeham pelan agar Darui dan Ten Ten berhenti tertawa. “Dan aku mulai mengerti
kenapa Hime-sama merasa senang saat bersamamu.”
“Ah, Nara-san benar. Sasuke-sama sama sekali tidak
menggunakan aturan istana dan itu pasti membuat Hime-sama nyaman.” Ten Ten
menimpali dengan wajah cerah.
“Jadi aku tidak boleh memberikan bunga untuknya?” tanya
Sasuke kemudian yang ditanggapi dengan anggukan serempak dari ketiganya.
“Bunga memiliki bahasa cinta, maka dari itu, Anda
tidak boleh memberikan bunga sebagai hadiah kepada keluarga istana kecuali
memiliki hubungan darah atau terikat hubungan pernikahan. Hal itu untuk
menghindari hubungan-hubungan yang tidak diinginkan dengan pihak luar
kerajaan.” Ten Ten menjelaskan dan hampir tertawa saat melihat wajah Sasuke
yang memerah.
“Kakakku sudah memberikan buku itu setelah pulang dari
pesta ulang tahun, tapi aku memang belum membacanya.”
Shikamaru tersenyum lalu menepuk bahunya. “Kusarankan
kau membacanya. Jika ini terjadi di istana, kupastikan kau tidak akan selamat.”
Ah, tentu saja Sasuke sangat paham apa maksud
Shikamaru. “Apa Namikaze-shinno selalu seperti itu?” tanyanya tanpa basa-basi.
Ketiganya mengangguk bersamaan.
“Aku sudah mengenal Hime selama lima belas tahun. Tapi
bahkan sampai sekarang, aku masih merasa kalau Shinno-sama akan melubangi
kepalaku jika ada kesempatan.”
Sesaat Sasuke terdiam. “Dimana Naru? Maksudku Hime-sama.”
Tepat saat itu Naruto keluar dari dapur dan terkejut
melihat Sasuke sudah duduk di meja bar. “Kau sudah datang?” Dia lalu melihat
jam tangan dan tersenyum menyadari tamunya datang tiga puluh menit lebih awal.
Sasuke turun dari kursi bar lalu memberikan buket
bunganya pada Naruto. Tentu saja semua orang melihat mereka, tidak terkecuali
Fuu yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa senampan penuh roti yang
baru keluar dari oven.
“Untukku?” Naruto terkejut. “Mawar putih? Sasuke, kau-,”
dia bahkan tergagap dan tidak tahu harus berkata apa. Wajahnya memerah di bawah
tatapan penasaran semua orang.
“Kau tidak suka?” Sasuke bertanya tanpa dosa, seolah
apa yang dilakukannya bukanlah sebuah kesalahan.
“Bukan itu masalahnya, tapi … aku-,”
“Kau sudah tahu bagaimana perasaanku. Jadi tidak ada
alasan bagiku untuk menyembunyikannya. Bunga ini untuk wanita yang aku cintai,
jadi menurutku itu bukan sebuah kesalahan.”
Dan Fuu sukses menjatuhkan nampan rotinya hingga
menimbulkan suara berisik, meski itu tidak mengganggu siapa pun karena nyatanya
semua orang masih terpaku untuk menunggu bagaimana reaksi Naruto menanggapi
keberanian Sasuke. Shikamaru bahkan menyangga pelipis dengan kepala tangannya,
seolah sedang menonton film seru.
Alih-alih menjawab, Naruto justru menghela napas
panjang lalu berlalu begitu saja dari hadapan Sasuke dan berjalan menaiki
tangga ke lantai dua. Sikap Naruto membuat Sasuke ikut menghela napas panjang.
“Apa dia marah?” tanyanya entah pada siapa.
Fuu tengah sibuk menggurutu soal kejutan dan
jantungnya yang tidak sehat sembari memunguti roti di lantai. Ten Ten sudah
kembali duduk di belakang meja kasir dan menyibukkan diri menghitung koin.
Darui berbalik dan mengambil serbet untuk mengeringkan gelas kaca dan menatanya
di rak. Hanya Shikamaru yang masih menatapnya dalam posisi yang sama.
Sasuke kembali duduk di bangku bar lalu meneguk
kopinya perlahan.
“Tenang saja, dia tidak marah, hanya malu.” Akhirnya
Shikamaru menjawab dan ikut meneguk kopinya. Kalau mau jujur hatinya cukup
merasa tersengat, tapi melihat reaksi Naruto membuatnya senang.
“Begitukah?” Sasuke menatap Shikamaru ragu.
“Hm,” gumamnya sembari mengangguk. “Lain kali, tolong
jangan membuat kejutan di depan umum. Naru tidak suka kejutan. Tapi sikap dan
ucapanmu yang apa adanya adalah favoritnya. Setidaknya begitu yang kulihat.”
“Kupikir semua wanita suka kejutan dan bunga.”
Shikamaru tertawa. “Kau belum mengenalnya Sasuke.
Percayalah, dia bukan wanita seperti pada umumnya. Selain karena statusnya,
juga karena Naruto memang tidak dibesarkan dengan cara biasa.”
Sasuke sedikit tidak suka saat Shikamaru banyak
bercerita soal Naruto. “Kau sangat mengenalnya.”
Shikamaru menyeringai. “Sudah kukatakan aku bersamanya
selama lima belas tahun.” Melihat wajah Sasuke membuat sang kapten kembali
menepuk bahunya. “Tenang saja, sejauh yang kulihat, hanya kau yang berhasil
melangkah sejauh ini dan memenangkan hatinya.”
“Memenangkan hatinya?” Sasuke berharap banyak pada
ucapan Shikamaru.
“Hei, Sasuke-sama!
Kupikir sebaiknya Anda menyusul Hime-sama ke atas dan jangan membuat keributan
disini. Kau bahkan membuatku membuang senampan roti lezat.”
Dan Fuu tidak perlu mengulang perkataannya karena
Sasuke langsung meninggalkan kursi bar dan berjalan ke lantai atas.
Melihat Sasuke yang tampak familiar dengan café
membuat Shikamaru berpikir. “Apa Sasuke pernah ke sini sebelumnya?” tanyanya
sembari kembali menikmati kopi.
“Dia bahkan pernah menginap di atas bersama Hime-sama,”
jawab Fuu dengan wajah kesal.
Ten Ten menggaruk pelipisnya yang tidak gatal saat
melihat Darui memecahkan sebuah gelas dan Shikamaru tersedak kopi. Astaga! Fuu
dan mulutnya adalah sesuatu yang terkadang harus dipisahkan.
>>Nami Cafe - Chapter 13<<
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments