Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Summary : Maya Ozaki, aktris terkenal
berusia dua puluh tujuh tahun, tidak pernah menyangka akan dipaksa menikah oleh
ibunya. Dia dijodohkan dengan pewaris tunggal DAITO Grup, Masumi Hayami. Semua
orang menyebutnya beruntung karena bisa menjadi istri Masumi. Sayangnya, Maya
tidak melihat pernikahannya sebagai keberuntungan. Bagaimana bisa disebut
beruntung jika menikah dengan playboy tampan yang bahkan diincar oleh sebagian
besar wanita Jepang. Sstt, diam-diam Maya menaruh hati pada pemuja rahasia yang
sudah mendukungnya sejak pertama kali naik panggung, Mawar Ungu. Ah, sepertinya
ini akan jadi kisah cinta yang panjang.
==============================================================
“Apa kau bisa mengantarku ke Center
Plaza sebentar?”
Masumi mengerutkan kening saat
mendengar permintaan Maya. “Center Plaza? Ini hari Minggu, Center Plaza pasti
ramai.”
Melirik calon suaminya yang masih fokus
menatap jalan raya, Maya menahan diri untuk tidak mendengkus. “Tenang saja, hanya
mampir sebentar untuk membeli sesuatu. Kita parkir di luar, di sisi barat.”
“Kau mau beli apa?” Kali ini Masumi
yang melirik calon istrinya sembari tetap fokus pada jalan di depannya.
“Mochi,” jawab Maya singkat.
“Mochi?” Memutar kemudi untuk berbelok
di perempatan, Masumi kemudian menoleh untuk menatap Maya sejenak.
“Iya, Mochi.” Maya lalu mengalihkan
pandangan ke luar jendela.
Melihat sikap calon istrinya membuat
Masumi menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh. Dia pun kembali fokus
mengemudi. Jalan raya cukup padat karena hari libur. Masumi beberapa kali
mencuri pandang dengan melirik Maya tapi wanita itu tetap tenang menatap ke
luar jendela.
Pukul tiga lebih lima belas, Masumi
memarkirkan mobilnya di sisi barat Center Plaza. Sesuai perkiraannya, pusat
perbelanjaan itu ramai dengan pengunjung. “Pakai masker dan kaca matamu,”
katanya dengan masih mengamati sekitar. Dia juga mengambil masker dan kaca
matanya dari balik saku jas.
Maya mengamati ekspresi serius Masumi.
Dia bertanya-tanya dalam hati, apa Vice President Daito itu benar-benar
mengkhawatirkannya atau hanya enggan terekspos bersamanya? “Kau takut orang
melihat kita?” Tanpa sadar pertanyaan itu sudah meluncur begitu saja. Maya
menggigit bibir bawahnya saat Masumi menoleh sembari memincingkan mata.
“Apa maksudmu?” Masumi balik bertanya
dengan nada heran.
Merapikan rambut panjangnya yang
tergerai di bahu, Maya menjawab dengan santai sembari melipat tangan di depan
dada. “Kau terlihat tegang. Apa kau takut terekspos saat berdua denganku?”
“Kau bercanda? Itu tidak lucu, Maya.”
Masumi tersinggung dengan perkataan wanita itu.
“Jangan marah, aku hanya bertanya.”
Memiringkan kepala, Maya mengulas senyum palsu.
Masumi mengeratkan tangan pada kemudi
untuk menahan diri agar tidak terpancing dengan sikap calon istrinya. “Tidak
semua orang mengenalku Maya. Tidak masalah kalau aku berkeliaran di luar tapi
bagaimana denganmu? Orang-orang akan menggila saat melihatmu. Dan bagaimana
bisa kau berpikir aku tidak mau terlihat bersamamu?”
“Mungkin saja.” Maya mengendikkan bahu.
“Siapa tahu kau takut ada yang mengenalimu lalu melaporkan kebersamaan kita
pada kekasihmu.”
“Aku tidak punya kekasih.” Masumi
menarik napas panjang. Setelah makan siang hangat mereka, kenapa Maya tiba-tiba
kembali ketus padanya? Masumi bingung.
“Oh ya?” Maya menyeringai tipis pada
calon suaminya.
“Maya, apa yang sedang kau pikir-,”
“Lalu aku ini apa?” sela Maya cepat
hingga membuat Masumi seketika terpaku. “Kenapa diam? Kau bilang kau tidak
punya kekasih, lalu aku ini apa? Bukankah kau selalu berkoar ingin menikah
denganku?”
“Maya, kau-,”
“Atau kau malu menjadi kekasihku?
Selama ini kau selalu bersama dengan wanita cantik dan seksi. Meski mereka
bodoh tapi setidaknya wajah dan tubuh mereka menawan-,”
“Omong kosong.” Kali ini Masumi yang
menyela Maya dengan nada kesal. Dia segera keluar dari mobil dan dengan cepat
berputar lalu membuka pintu untuk Maya.
“Huh?!” Wanita itu menyeringai saat
melihat tatapan tajam Masumi. “Kau marah?”
Menghitung dalam hati untuk meredakan
emosi, Masumi menghela napas sebelum menjawab. “Maya, aku tidak tahu hari ini
kau sedang memberiku tes atau apa pun itu aku tidak peduli. Tapi satu hal yang
harus kau tahu kalau aku tidak pernah memiliki kekasih sebelumnya. Saat ini
hanya kau kekasihku dan aku tidak akan pernah malu menunjukkannya pada semua
orang.”
“Begitukah?” Meski menjawab dengan nada
datar tapi ekspresi wajah Maya menunjukkan kalau dia cukup puas dengan jawaban
Masumi.
Tentu saja hal itu terbaca jelas di
mata Masumi. “Sekarang, jika kau memang tidak keberatan dengan publisitas maka
keluarlah denganku.” Masumi pun mengulurkan tangannya.
Wanita itu tertawa. Dia tidak menyangka
kalau Masumi akan bereaksi seimpulsif itu. Maya memang sedang menguji Masumi. Pernyataan
cinta yang diucapkan pria itu di depan ibunya membuat Maya merasa penasaran.
Sejak kapan pria itu jatuh cinta padanya? Seingat Maya mereka tidak pernah
berinteraksi sebelumnya. Jadi dia ingin membuktikan sendiri seberapa jauh Masumi
memiliki perasaan untuknya.
“Maya?”
“Maaf, maaf, aku hanya merasa lucu
dengan sikapmu.”
“Lucu?” Masumi melengkungkan alis. “Kau
benar-benar sedang mengujiku?” Meski sudah menduganya tapi Masumi tetap merasa
terkejut.
“Tidak juga.” Maya melambaikan tangan
seraya menahan diri untuk tidak tertawa. Melihat wajah bingung Masumi membuat
Maya ingin tertawa terbahak-bahak. “Aku masih waras Masumi. Aku tidak akan
keluar. Sebagai gantinya kau pergilah ke toko mochi itu dan belikan dua kotak
Daifuku Mochi kacang merah.” Maya menunjuk sebuah toko Mochi tidak jauh dari
tempat mereka parkir.
Masumi menoleh ke arah yang ditunjuk
oleh calon istrinya. “Hanya itu?” tanyanya kemudian.
Wanita itu mengangguk lalu menarik pintu mobil hingga membuat Masumi yang masih berpegangan pada pintu hampir terjatuh. Menahan tawa di dalam mobil, Maya melihat Masumi menggeleng lalu berjalan ke arah toko mochi.
***
Maya hanya menunggu sepuluh menit
sampai Masumi kembali ke dalam mobil dengan membawa Mochi pesanannya. Wajah
tenang Masumi saat menghadapinya cukup membuat Maya bertepuk tangan di dalam
hati. Mungkin selain keluarganya juga Koji dan Rei, hanya Masumi yang bisa
mengimbangi sikap kekanakannya.
“Terima kasih,” ucap Maya sembari
tersenyum saat menerima mochinya.
“Tidak perlu berterima kasih.” Masumi
pun tersenyum lalu menatap kantong Mochi di atas pangkuan calon istrinya. “Aku
baru tahu kau punya selera yang sama dengan ibuku,” katanya kemudian.
“Ini memang untuk Bibi Aya.” Maya
menjawab dengan santai lalu meletakkan Mochinya di kursi belakang mobil.
Masumi yang baru saja memutar kunci
mobil kembali menoleh pada wanita di sebelahnya. “Untuk ibuku?”
Maya mengangguk. “Bukankah Bibi
mengundangku makan malam? Ibu mengatakan kalau Bibi Aya menyukai Mochi kacang
merah. Aku lebih suka matcha.”
Mendengar jawaban Maya membuat Masumi
tersenyum. “Jadi itu untuk acara makan malam.”
“Tidak mungkin aku datang dengan tangan
kosong.”
Masumi tertawa dan tidak berkomentar
lagi saat kemudian meninggalkan pelataran parkir Center Plaza.
“Kau akan mengantarku pulang?” tanya
Maya begitu menyadari jalan yang dilewatinya.
“Ya.” Masumi mengangguk dan langsung
menoleh begitu berhenti tepat di lampu merah. “Kau ingin mampir ke tempat lain
lagi?”
“Ke apartemenmu saja, tidak perlu
kembali ke rumah.”
Tentu saja Masumi tidak percaya dengan
apa yang didengarnya. “Kau ingin ke apartemenku?”
Maya mengangguk dengan wajah polos.
“Kenapa? Kau keberatan?”
“Kau yakin? Apa kau mabuk?” Masumi
mengamati wajah Maya dengan seksama. Mereka memang minum anggur putih saat
makan siang tadi. Tapi tidak mungkin Maya mabuk hanya dengan dua gelas anggur
putih.
“Aku tidak mabuk,” jawab Maya dengan
alis tertekuk. “Antar aku pulang kalau kau keberatan aku datang ke
apartemenmu.”
“Aku tidak keberatan.” Masumi mendengar
suara klakson dan segera melajukan mobilnya lalu berputar di u-turn untuk berganti arah menuju
apartemennya.
Sekali lagi Masumi melirik ke arah Maya
yang tampak santai menatap pemandangan di luar jendela. Dia merasa hari ini
Maya bersikap aneh. Semalam Masumi membayangkan kalau pertemuan mereka di
bridal salon akan dibumbui dengan sedikit drama tantrum calon istrinya. Tapi diluar
dugaan, ternyata semua berjalan lancar. Tidak hanya itu, Masumi masih tidak
percaya kalau mereka bisa menghabiskan waktu makan siang bersama sembari
membicarakan banyak hal.
Lalu sekarang, setelah dikejutkan
dengan tes Maya di Center Plaza, Masumi kembali dibuat heran dengan permintaan wanita
itu untuk pergi ke apartemennya. Jika calon istrinya tidak mabuk apa kepalanya
terbentur sesuatu? Atau … ini hanyalah tes lain yang digunakan Maya untuk
mengujinya. Menghela napas perlahan, tiba-tiba Masumi merasa otaknya beku
dengan tingkah ajaib kekasihnya.
>>**<<
Meletakkan Mochi di atas meja ruang
tengah, Maya menoleh pada Masumi yang ternyata sedang menatapnya sembari
berjalan masuk setelah mengunci pintu apartemen. “Kau belum membuang pakaianku kan?”
Sudut bibir Masumi tertarik menjadi
senyum tipis dengan ekspresi geli. “Semua masih sama seperti saat kau
meninggalkannya setelah pesta.”
“Bagus kalau begitu. Jadi aku tidak
perlu repot untuk pulang ke rumah untuk berganti pakaian.” Melepas mantel dan
meletakkannya di lengan sofa, Maya lalu berjalan ke dapur. “Apa kau punya jus
jeruk?”
“Tidak.” Masumi duduk di meja bar yang
memisahkan dapur dan ruang tengah sembari mengamati Maya yang kini membuka
kulkasnya.
“Hanya ada bahan makanan mentah dan
buah. Apa kau tidak pernah makan cake atau snack?” Maya menutup kulkas lalu
menatap Masumi dengan ekspresi masam.
“Aku memang hanya menyiapkan bahan
makanan untuk sarapan setiap hari. Setelahnya aku akan sibuk bekerja dan pulang
larut. Jadi jelas aku tidak akan menyiapkan camilan untuk bersantai di rumah.”
Menyangga kepala dengan tangan yang bersandar di meja bar, Masumi menahan diri
untuk tidak tertawa dengan sikap Maya.
“Lain kali tolong beli cake juga snack
atau aku tidak akan betah tinggal di sini.” Meraih gelas di meja bar, Maya
menuang air dan langsung menghabiskannya dalam beberapa teguk.
“Jadi kau sudah setuju untuk tinggal di
sini?” Masumi tersenyum saat Maya menoleh padanya, masih dengan santai
menyangga kepala dan mengamati kekasihnya.
“Tuan Muda Hayami, apa aku punya
pilihan?” Maya melipat kedua tangannya di atas meja bar lalu mencondongkan
tubuhnya pada Masumi yang duduk di depannya.
Masumi tidak bergeming meski wajah Maya
kini hanya beberapa centi di depannya. Dalam hati merapal mantra untuk bisa
menahan diri dan tidak mencium bibir merah muda yang kini menyeringai di
depannya. “Seperti yang kukatakan sebelumnya, kita bisa membeli rumah lain yang
sesuai dengan seleramu.”
Menarik tubuhnya untuk kembali berdiri
tegak, Maya kemudian menggeleng dengan ekspresi sedih yang jelas dibuat-buat.
“Dimana pun aku tinggal, tidak akan mengubah kenyataan kalau aku harus tetap
menikah dan tinggal serumah denganmu.”
Masumi akhirnya tertawa. “Jadi akhirnya
kau menyerah untuk melakukan perlawanan?”
“Pagi ini aku mendapat pencerahan.”
Maya menghela napas panjang. “Melawan ibuku hanya akan membuang tenaga.”
“Itu sebabnya hari ini kau bersikap
manis dan mengujiku?” Masumi meraih gelas kosong milik Maya lalu menuang air
dan meneguknya tanpa sungkan. Kali ini Maya tidak begitu terkejut melihatnya.
“Tidak juga, aku hanya ingin hari libur
yang tenang.” Maya mengendikkan bahu lalu berjalan ke ruang tengah.
“Kau lelah berseteru denganku dan
memutuskan untuk genjatan senjata?” Berputar di atas bangku bar, Masumi melihat
Maya duduk santai di sofa ruang tengah lalu meraih remot televisi.
“Berdamai dengan keadaan,” jawab Maya
tanpa mengalihkan pandangannya dari layar kaca.
Senyum Masumi mengembang. Dia turun
dari bangku lalu mengampiri calon istrinya. Pria itu berdiri di belakang Maya
lalu menyangga kedua tangannya di sofa.
Maya yang tengah bersandar di sofa
hanya perlu sedikit mengangkat kepalanya untuk bisa menatap ekspresi Masumi
yang kini tepat berada di atasnya. “Kau tampak bahagia Tuan Muda Hayami.”
“Hm, jadi kau memberiku kesempatan?”
“Begitulah.” Maya menjawab dengan nada
datar. “Bukankah itu yang kau minta? Kau bilang cinta tidak tumbuh dalam
hitungan menit.” Tapi kau bicara omong
kosong dengan ibuku tentang cinta. Maya tidak tahu fakta mana yang harus
dia percaya sekarang.
“Terima kasih.” Masumi mengusap pelipis
Maya dengan telunjuknya, menyigkirkan rambut panjang di sisi wajah kekasihnya.
Mata bulat Maya berkedip saat jemari
Masumi sampai di pipinya. Jantungnya berdebar kencang. Entah kenapa sentuhan
ringan itu membuat sesuatu berdesir di dalam dadanya. Melihat senyum Masumi
membuat Maya segera mencekal pergelangan tangan calon suaminya.
Senyum Masumi seketika menghilang.
“Maaf,” katanya kemudian. Dia merutuki dirinya sendiri dalam hati karena tidak
bisa menahan diri.
Dengan cepat Maya menegakkan tubuhnya lalu
bergegas masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Masumi bodoh.” Memukul sofa, Masumi mengerang frustasi.
***
Duduk di atas tempat tidur sembari
mencengkram dadanya, Maya memejamkan mata lalu menarik napas panjang. “Ada apa
denganku?” Dia menjatuhkan diri di atas tempat tidur, terlentang menatap
langit-langit kamar.
“Sebenarnya Masumi itu tampan. Dia juga
selalu memperlakukanku dengan baik.” Sekali lagi Maya menghela napas panjang.
“Ayah, apa hari ini aku sudah melakukan hal yang benar?” gumamnya lirih.
Suara ketukan pintu membuat Maya
terkejut. “Y-ya?”
“Kau baik-baik saja?”
“A-aku baik, ja-jangan menggangguku,” jawab
Maya cepat.
Sesaat suasana menjadi hening sampai
Masumi kembali bicara.
“Panggil aku kalau kau membutuhkan
sesuatu.”
Maya tidak menjawab dan merasa lega
saat mendengar langkah kaki Masumi yang menjauh dari kamar. “Ugh, kenapa aku
jadi malu menghadapinya?” katanya seraya menutup wajah dengan telapak tangan.
Sementara itu di dalam kamarnya, Masumi
masih merutuki dirinya sendiri. Dia tahu kalau Maya tidak begitu menyukai
kontak fisik dengan lawan jenis. Alasan kenapa selama ini aktris cantik itu
selalu menggunakan pemeran pengganti untuk adegan intim. Masumi sungguh memuja
Maya karena hal itu tapi sekarang justru dialah yang mengacaukan semuanya.
“Sekarang apa yang harus aku lakukan?” Masumi
menghela napas panjang, memeras otaknya untuk mencari cara bagaimana membujuk
Maya agar tidak marah padanya. Tiba-tiba suara dering handphone menyela kegalauan hati Masumi. Itu adalah panggilan dari
Aya.
“Ya, Ibu.” Masumi menjawab dengan
tenang sembari duduk di tepi tempat tidur kamarnya.
“Masumi, apa kau bersama dengan Maya?”
tanya sang ibu antusias.
“Iya Ibu, ada apa?”
“Tidak apa-apa, Ibu senang kau
bersamanya sekarang.” Aya terdengar sangat bersemangat. “Kau sudah mengatakan
pada Maya tentang acara makan malam?”
“Sudah Ibu. Bibi Mayuko juga sudah
menyampaikannya, jangan khawatir.” Masumi mengulas senyum begitu membayangkan ekspresi
bahagia ibunya.
“Bagus, bagus, Ibu sudah tidak sabar
untuk bertemu Maya. Jangan terlambat, oke?”
“Baik, Ibu.”
Masumi masih tersenyum saat Aya menutup
panggilannya. Tapi tak lama kemudian senyumnya memudar. Bagaimana jika sekarang
Maya menolak untuk pergi? Kening Masumi berkerut. Dia segera beranjak dan
bergegas ke luar kamar. Ibunya akan sedih kalau sampai dia tidak datang bersama
calon istrinya.
Menuruni anak tangga dengan tergesa,
langkah kaki Masumi tiba-tiba berhenti di anak tangga terakhir. Dia terpaku
melihat Maya ternyata sudah duduk di ruang tengah, tampak fokus menonton drama
televisi. Yang dia tahu dari Mayuko, Maya tidak akan bergeming jika sudah
tenggelam dalam cerita drama.
Benar saja, Masumi duduk di sebelah Maya tapi wanita itu sama sekali tidak menyadarinya. Melirik jam dinding, sudah pukul setengah lima sore. Masih ada waktu untuk berbicara dengan Maya sebelum mereka pulang ke kediaman Hayami. Drama seri yang dilihat Maya hanya berdurasi tiga puluh menit, jadi sekarang Masumi hanya harus menunggu.
***
Maya menoleh lalu berkedip menatap
Masumi yang duduk santai di sebelahnya, mengamatinya. Credit tittle berjalan di layar kaca dengan lagu penutup yang
mengalun sendu. Sudut mata Maya basah, membuat Masumi tersenyum melihatnya.
“Kau masih bisa menangis karena sebuah
drama televisi?”
Raut wajah Maya berubah muram. “Kenapa
tidak? Ceritanya memang menyedihkan,” katanya seraya memalingkan wajah.
“Tapi kau tahu itu cerita palsu. Kau
bahkan seorang aktris.” Masumi tersenyum geli saat melihat telinga Maya
memerah.
“Hanya karena aku tahu bagaimana
produksi di balik layar kaca bukan berarti hatiku tidak bisa merasakan emosi
yang mereka tampilkan dalam drama.” Maya memberikan alasannya sembari membaca credit tittle yang masih berjalan. Dia
mengenal beberapa nama yang muncul di sana.
“Ternyata kau cukup sentimentil.”
“Tidak ada yang salah dengan itu.”
Melihat sikap santai Maya membuat
Masumi sedikit lega. “Jadi kau tidak marah padaku?”
“Marah?” Maya memiringkan kepalanya dan
menatap Masumi heran.
Pria itu berdeham pelan di balik
kepalan tangannya. “Tadi kau berlari ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata
pun,” katanya kemudian. “Maaf kalau aku sudah bersikap tidak sopan.”
“Oh, itu.” Pipi Maya menghangat. Dia
kembali memalingkan wajah dan kembali menatap layar kaca. “Tidak, aku tidak
marah.”
“Ibuku baru saja menelepon.” Masumi
mengubah topik pembicaraan karena tidak mau merusak mood Maya yang tampaknya
sudah membaik. “Ibu hanya mengingatkan soal makan malam,” lanjutnya saat Maya
kembali menoleh dan memberinya tatapan tanya.
“Oh itu.” Wanita itu tampak berpikir
sejanak. “Selain Mochi, apa yang disukai Bibi Aya?”
“Ibuku suka Taiyaki,” jawab Masumi
santai.
“Taiyaki?” Maya cukup terkejut mendengarnya.
Itu juga salah satu makanan favoritnya.
Tentu saja Masumi juga tahu kalau calon
istrinya penggemar Taiyaki. Dia tersenyum lalu kembali bicara. “Ibu juga suka minum
Genmaicha.”
“Teh beras merah?”
Masumi mengangguk. “Ibu juga suka buah
jeruk dan melon.”
“Oh, sama dengan ibuku.” Maya tersenyum
lebar.
“Aku juga suka melon,” celetuk Masumi
yang langsung membuat senyum Maya memudar. “Aku suka kopi blue mountain. Tidak begitu
suka makanan manis kecuali puding buatan Ibu. Aku juga suka makanan pedas.”
“Aku tidak bertanya.” Maya mencebik. Dia
tahu Masumi sengaja menggodanya.
“Hanya memberi sedikit informasi.” Pria
itu terhibur dengan reaksi kekasihnya.
“Tidak perlu memberitahu makanan
kesukaanmu karena aku tidak akan memasak untukmu,” kata Maya kemudian.
“Aku tidak memberitahumu agar kau
memasak untukku. Lagipula Bibi Mayuko sudah bilang kalau kau tidak bisa
memasak. Bukankah kau dilarang untuk memakai dapur di rumah?”
Mata Maya membulat karena terkejut.
“Kata Bibi kau meledakkan oven saat terakhir
kali mencoba membuat cake di hari ulang tahun Paman Ichiren.”
“Ish, Ibu-,” Maya mendesis kesal. Dia tidak
menyangka sang ibu membagi cerita seperti itu pada Masumi. “Jangan menertawakanku.”
Wanita itu kembali mencebik.
“Tidak, tidak, aku tidak menertawakanmu.”
Masumi menahan senyumnya melebar. “Aku bisa memasak jadi kau tidak perlu
khawatir kita akan kelaparan saat sudah menikah dan tinggal bersama di sini.”
Bluk!! Masumi menangkap bantal sofa
yang dilempar ke wajahnya.
“Masumi Hayami menyebalkan!”
***
Ini pertama kalinya Maya datang ke
kediaman Hayami. Sebenarnya cukup aneh mengingat ibunya dan Aya sudah menjalin
persahabatan cukup lama. Entah kenapa Mayuko tidak pernah membawa Maya bertemu
dengan Aya sebelumnya padahal Aya sendiri jelas sudah mengenalkan Masumi sejak
lama. Ibunya memang selalu penuh dengan teka-teki, terkadang membuat Maya sakit
kepala menghadapinya. Mungkin hanya Ichiren satu-satunya pria di dunia ini yang
sanggup bertahan dengan nyaman bersama dengan Mayuko.
Menarik napas panjang, Maya menatap keranjang
di atas pangkuannya. Dua bulan melon terbaik yang dihias dengan pita merah di
dalam keranjang rotan. “Apa ini cukup?” Maya bertanya tepat saat Masumi
mematikan mobil.
Masumi menoleh untuk menebak maksud ucapan
kekasihnya yang tengah menunduk menatap melon. “Buah tangannya? Mochi Kacang
Merah dan melon sudah lebih dari cukup untuk menyenangkan ibuku,” katanya
seraya mengulas senyum.
“Aku tidak membawa sesuatu yang disukai
Paman.” Kali ini Maya memiringkan kepala untuk menatap Masumi. Dia terlihat gugup.
“Tenang saja, Ayah akan senang hanya
dengan melihat senyum Ibu. Lagipula aku akan segera menikah, itu adalah hadiah
terbesar untuknya. Jangan terlalu khawatir.”
Maya memincingkan mata mendengar
perkataan Masumi. Pria itu sungguh ahli membuat pipinya memerah hanya dengan
kata-kata. Sekarang ditambah jantung yang berdebar kencang, ah-, Maya tiba-tiba
merasa lelah padahal baru saja sampai. Suara pintu mobil yang terbuka
menyadarkan wanita itu dari renungan singkatnya. Maya melihat Masumi memutari
mobil lalu membukakan pintu untuknya.
“Ayo,” kata Masumi seraya tersenyum
dengan tangan terulur.
Menggenggam tangan Masumi, Maya merasa
debaran jantungnya semakin menggila. Dalam hati dia berpikir, apakah dirinya benar-benar
gugup hanya karena sebuah makan malam? Ataukah … Maya menatap tangan mereka
yang bertaut lalu sedikit mengangkat kepala untuk menatap ekpresi tenang
Masumi.
“Apa kau senang menghabiskan waktu
bersamaku?” Langkah kaki Masumi yang tiba-tiba berhenti membuat Maya menyadari
kalimat yang tanpa sadar meluncur dari bibirnya. Wanita itu menunduk malu saat
Masumi kemudian menatapnya.
“Kau adalah wanita pertama yang
membuatku senang menghabiskan waktu bersama. Wanita pertama yang ingin aku sebut
sebagai kekasih.” Masumi menjawab tanpa ragu dan membuat Maya dengan cepat
kembali menatapnya. “Itu bukan rayuan atau omong kosong,” lanjutnya saat melihat
ekspresi tidak percaya kekasihnya.
“Kau benar-benar belum pernah memiliki
kekasih sebalumnya?” Maya masih tidak percaya dengan fakta itu meski Masumi sudah
berkali-kali mengatakannya. “Semua wanita yang pernah kau kencani itu-,”
“Mereka hanyalah rekan bisnis untukku,”
potong Masumi cepat. Dia tahu kalau Maya suka sekali berpikir berlebihan. “Aku
tidak pernah dekat dengan wanita selain karena urusan bisnis.”
“Artis-artis itu juga?” suara Maya
melirih. Wanita itu sudah sering melihat Masumi digosipkan dengan banyak artis.
Matanya berkedip saat melihat Masumi menggeleng.
“Mereka adalah aset Daito Grup. Jujur
saja, semua artis Daito adalah barang dagangan untukku.”
“Barang dagangan?!” Maya menganga tidak
percaya.
Masumi akhirnya tertawa. “Kau yakin
ingin membicarakan masalah ini sekarang?”
Menyadari dimana mereka berdiri saat
ini, Maya kembali menarik napas panjang. “Lupakan,” katanya kemudian.
Tersenyum geli, Masumi meremas lembut tangan
Maya dalam genggamannya. “Jangan merajuk, kita masih punya banyak waktu untuk
mengobrol setelah makan malam.”
“Aku tidak tertarik membicarakan
koleksi wanitamu,” dengkus Maya lirih dengan pipi memerah. Dia kembali
melangkah menuju pintu utama kediaman Hayami.
Masumi dengan santai mengimbangi
langkah kaki kekasihnya, masih menggenggam tangannya. “Baiklah, kalau begitu
kita bisa mengobrolkan hal lain.”
“Hal lain?” Maya melirik calon suaminya
dengan firasat tidak enak.
“Hm,” Masumi mengangguk. “Seperti
rencana bulan madu impianmu atau-, aww!” Mengusap lengannya, putra tunggal
Hayami itu kembali tertawa melihat wajah Maya yang semakin memerah.
“Jangan bicara omong kosong atau aku
akan-,”
“Ah, benar kalian sudah datang. Aku terkejut
saat mendengar Masumi tertawa.”
Tangan Maya yang ingin kembali memukul
Masumi menggantung di udara saat pintu ganda besar tiba-tiba terbuka dan Aya
muncul dengan senyum lebar. Hijiri berdiri di belakang sang bibi sembari berusaha
keras menahan senyumnya melebar. Wajah Maya sudah semerah kepiting rebus.
9 Comments
Uwaaaaaaa akhirnyaaaaaaaaaa... terima kasih banyak kak agnessss ... sweet banget chapter ini.... makasih sdh jd temen mudik ku masumi maya
ReplyDeleteMakasih juga masih setia membaca :D
DeleteNgulang2 dulu sambil nunggu chapter 7
ReplyDeleteKangen masumi maya 🥰
ReplyDeleteNunggu chapter 7 bisa di klik
ReplyDeletelanjutin lg doonk ^_*
ReplyDelete7 masih blm bisaaa di klik hiks....
ReplyDeletega sabar nunggu lanjutannya
ReplyDeletelanjutin lg doonk author kesayangannn❤️❤️❤️
ReplyDelete