Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati tak pernah bisa
berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja
keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya
bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
*********************************************************************************
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have
been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind,
cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
***
Maya
menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu. Jarum jam sudah
menunjukkan pukul satu dini hari tapi matanya sama sekali tidak mau terpejam.
Pikirannya terus melayang pada kejadian siang tadi, telinganya bahkan terus
mendengungkan suara sirine ambulance.
"Apa
dia baik-baik saja?" gumam Maya pada dirinya sendiri. Dia menghela napas
panjang lalu turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela apartemennya.
"Kak
Hijiri mengatakan kalau dia hanya kelelahan tapi kenapa perasaanku tidak
tenang?" gumamnya lagi.
Maya
menatap bulan yang menghiasi langit Tokyo malam itu. Siang tadi Masumi di temukan
pingsan di ruang gantinya dan langsung di larikan ke rumah sakit. Hampir Maya
lepas kendali untuk ikut naik ke dalam ambulance sebelum Yukari
menghentikannya. Maya sadar dirinya harus menyelesaikan pemotretan dan tidak
boleh pergi begitu saja. Jadwal padat membuat Maya tidak bisa berkutik.
"Masumi
...," gumam Maya dengan perasaan gelisah.
***
"Anda
seharusnya mendengarkan apa yang saya katakan," Mizuki menatap atasannya
yang kini duduk dengan tenang di atas tempat tidur bersama laptop
kesayangannya.
Tak
mendapat respon yang berarti, Mizuki menghela napas pelan. "Saya sudah
mengosongkan semua jadwal Anda hari ini," kata Mizuki kemudian dan kali
ini sukses membuat perhatian Masumi teralihkan.
"Aku
tidak memerintahkanmu melakukannya," jawab Masumi dengan mata memincing
tajam.
"Tapi
Anda memerlukannya dan sudah menjadi tugas saya untuk mengatur semua demi
kebaikan Anda, Tuan Masumi," Mizuki menimpali tanpa sedikitpun merasa
terintimidasi dengan tatapan tajam atasannya.
Masumi
menutup laptopnya setelah memastikan pekerjaannya tersimpan dengan baik.
Melandaikan punggungnya, Masumi menghela napas panjang.
"Apa
Ayah tahu aku di sini?" tanyanya dengan mata menerawang menatap
langit-langit kamar.
"Apa
yang Anda harapkan? Anda pingsan di ruang ganti Maya," jawab Mizuki yang
seolah menyalahkan Masumi yang berada di tempat yang tidak tepat.
"Itu
di luar kendaliku," ketus Masumi seraya mendengus pelan.
"Lucu
Anda mengatakannya karena nyatanya Anda memaksakan diri untuk berada di
sana," kata Mizuki.
"Aku
...," Masumi menelan kembali kata-katanya. Tidak ada gunanya berkilah
bukan? Mizuki benar, dia bahkan kehilangan kendali untuk menahan kakinya
melangkah menemui Maya. Rindu? Naif bukan? Ah tidak, idiot lebih tepat.
"Anda
yang memulai sendiri semua permainan ini Tuan Masumi," perkataan Mizuki
menarik Masumi dari lamunannya.
Masumi
menoleh pada Mizuki yang sejak tadi setia berdiri di samping tempat tidurnya.
"Kau tahu? Rasanya aneh kalau aku selalu harus mendengarkan omelanmu. Apa
kau berencana berhenti menjadi sekretarisku dan memilih untuk menjadi baby
sitterku? Mengawasiku setiap waktu?" Masumi yang kembali duduk tegak
menatap kesal pada sekretarisnya.
Mizuki
terdiam. Dia tahu emosi Masumi sering tidak stabil sejak dinyatakan sakit. Tak
jarang atasannya yang dulu terkenal tenang dan dingin itu menunjukkan emosinya
yang meledak-ledak. Ah, Mizuki mencoba memakluminya meski rasanya tidak mudah.
Bukan hanya loyalitas yang membuatnya bertahan tapi baginya Masumi bukan hanya
sekedar atasan. Teman? Sahabat, jika diijinkan.
"Sudahlah,"
Masumi kali ini turun dari tempat tidur, "urus administrasinya, aku pulang
sekarang," katanya tanpa bisa dibantah lalu berjalan menuju kamar mandi
untuk mengganti pakaiannya.
Terakhir,
Mizuki hanya bisa menghela napas panjang dan melakukan apa yang sudah
diperintahkan.
***
"Sudah
keluar?" Maya mengerutkan kening menatap perawat yang duduk di balik meja
resepsionis.
"Iya
Nona, Tuan Hayami sudah keluar pagi tadi," ulang perawat itu seraya
tersenyum. Meski begitu tatapan matanya tampak menyelidik penampilan Maya yang
mengenakan wig hitam pendek, kaca mata hitam dan coat panjang berwarna coklat
tua.
"Apa
saya bisa bertanya mengenai keadaannya? Hhmm, maksud saya, Tuan Hayami sakit
apa? Apa dia pulang karena sudah sembuh?" tanya Maya beruntun. Sungguh
sesak rasanya menahan rasa penasaran sejak semalam hingga Maya tak peduli jika
dirinya dianggap aneh, bahkan sampai rela menyamar untuk menjenguk Masumi.
"Maaf
Nona, itu adalah privasi yang tidak bisa kami informasikan tanpa seijin pasien
yang bersangkutan."
Maya
jelas kecewa, mengulas senyum tipis, dia mengucapkan terima kasih sebelum
berlalu dari meja resepsionis dan berjalan keluar meninggalkan lobi rumah
sakit. Dengan langkah malas Maya menuju mobil yang terparkir di pelataran
dimana supirnya, Iwaguchi, menunggu.
"Kita
kembali ke apartemen," perintah Maya begitu duduk di kursi belakang dan
Iwaguchi langsung memacu mobil meninggalkan rumah sakit.
Maya
baru saja sampai di depan pintu apartemennya saat mendengar sebuah suara
memanggilnya. Matanya menatap heran pada sosok pemuda yang berjalan
menghampirinya.
"Koji?"
Koji
sendiri tak kalah heran melihat penampilan Maya. "Sudah kuduga ini kau.
Darimana?"
"Euhm,"
Maya menggigit bibir bawahnya seraya berpikir untuk mencari alasan,
"ta-tadi ada urusan sebentar," jawabnya karena tidak tahu harus
berkata apa, "ada apa kau datang?"
Koji
tersenyum canggung seraya mengusap tengkuknya, "Boleh kita masuk dulu?
Yang ingin aku tanyakan sedikit rahasia," ujarnya.
Maya
hanya mengangguk lalu membuka pintu apartemennya dan mempersilakan Koji masuk.
Keduanya kini duduk di ruang tamu dengan Maya sibuk melepas atribut
penyamarannya. Mata Koji tak lepas memandang wajah gadis yang sepertinya sedang
sedih itu.
"Kau
ingin bicara apa?" tanya Maya setelah keheningan yang menurutnya terlalu
lama dan membuatnya tidak nyaman karena tatapan Koji.
"Aku
melihat berita kemarin kalau Tuan Masumi pingsan di ruang ganti studio tempatmu
pemotretan. Apa terjadi sesuatu?" tanya Koji langsung tanpa basa-basi.
Maya
menatap lurus sahabatnya, “Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?”
Koji
menyandarkan punggungnya lebih santai ke sofa, melipat tangan di depan dadanya.
“Kupikir kau benar-benar menganggapku sahabat? Apa kau masih tidak mau
menceritakan semuanya padaku?”
Kedua
alis Maya tertaut dengan mata memincing tajam. Dia tidak tahu apa maksud Koji.
“Aku tidak mengerti,” ucapnya kemudian.
“Kau
dan Tuan Masumi,” tegas Koji dan sukses membuat Maya berjenggit terkejut.
“Ap-,”
“Aku
pernah melihat kalian berpelukan di pelabuhan,” jawab Koji yang kemudian
mengalihkan pandangannya pada layar televisi yang mati, enggan melihat tatapan
menuntut penjelasan milik Maya, “dulu,” lanjutnya dengan suara melirih.
Tanpa
sadar kedua tangan Maya terkepal di atas pangkuannya. Sungguh Maya terkejut
mendengarnya. Jadi selama ini Koji tahu mengenai perasaannya pada Masumi?
Sahabatnya itu bahkan melihatnya berpelukan dengan Masumi di pelabuhan. Itu
artinya …, Maya tersentak saat sebuah pemikiran melintas di dalam kepalanya.
Jangan katakan kalau kecelakaan yang menimpa Koji adalah salahnya.
Koji
kembali menatap Maya, “Aku pulang dengan perasaan marah dan hilang kendali
dengan motorku sampai kecelakaan itu terjadi,” terang Koji yang bisa membaca
jelas keterkejutan di wajah Maya. “Aku tidak menyalahkanmu, sungguh,”
lanjutnya.
“Jadi
kau tahu alasanku menolakmu?” tanya Maya lirih.
“Aku
tidak sepenuhnya mengerti dengan semua yang terjadi,” jawab Koji. “Maksudku,
bahkan setelah kau menolakku, aku tidak melihatmu menjalin hubungan dengan Tuan
Masumi. Aku tidak berani menebak sejauh mana hubunganmu dengannya. Alasan kau
menangis tempo hari, apa itu juga ada hubungannya dengan Tuan Masumi yang
pingsan di ruang gantimu?”
Maya
memijat pangkal hidungnya demi meredakan denyutan tidak nyaman di sekitar
matanya. Bingung, Maya harus menjawab apa? Menceritakan semuanya pada Koji?
Batin Maya menggeleng keras. Dia tidak mau orang lain ikut campur urusan
pribadinya terlalu jauh. Tapi Koji pasti kecewa kalau dirinya terus berbohong.
Ah, dilematis.
“Maaf,”
ucap Koji yang kembali membuat Maya menatapnya bingung, “aku lancang dengan
menanyakan semua itu padamu,” lanjutnya yang bisa menebak kebisuan Maya sebagai
rasa enggan untuk menjawab semua pertanyaannya.
“Tidak
Koji,” akhirnya Maya buka suara. “Aku hanya tidak tahu bagaimana harus menjawab
semua pertanyaanmu itu,” lanjutnya dengan helaan napas panjang di akhir
kalimatnya.
Koji
bergeming, membaca gesture tubuh Maya yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu
padanya. Koji tidak berharap banyak, kalau gadis itu memang tidak mau
bercerita, dia tidak akan memaksa. Kedatangannya hari ini sebenarnya hanya
untuk memastikan kalau Maya baik-baik saja setelah dirinya mendengar berita di
televisi kemarin sore. Koji tidak mau mendapati pujaan hatinya itu menangis
lagi seperti saat terakhir mereka bertemu.
“Kalau
kau menanyakan semua pertanyaan itu tepat saat aku mengembalikan cincinmu, aku
pasti bisa menjawabnya,” lanjut Maya yang kemudian mengulas senyum pahit ketika
menatap Koji, “ya, aku mencintai Tuan Masumi,” akunya jujur.
Jika
harus memilih, Koji memilih untuk menjadi tuli saat ini juga. Meski dalam hati
dan pikirannya terus menerka perasaan Maya terhadap Masumi tapi mendengar
pengakuan jujur Maya padanya ternyata begitu menyakitkan. Tolong ambilkan saja
pisau dan tusuk jantungnya agar deguban sakit itu tidak menyiksanya.
“Tapi
aku tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang,” kata Maya setelah diam beberapa
saat dan itu membuat kening Koji berkerut dalam. Maya menghela napas perlahan
demi mengurangi rasa sakit yang kembali meremas hatinya.
“Awalnya,
dia memintaku untuk menunggu, percaya pada semua yang akan dilakukannya. Aku
pun menurutinya. Hingga akhirnya Bidadari Merah menjadi milikku, pementasan
selesai juga sampai pada-,” sesuatu seperti mencekik tenggorokan Maya hingga
gadis itu mengeratkan mata dan menelan ludah perlahan. Tidak, faktanya itu
bukan rasa sakit secara harafiah yang dirasakannya tapi efek dari kesesakan
yang selama ini ditahannya.
“-batalnya
pernikahan Tuan Masumi dan Nona Shiori. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya dan aku tidak bisa bertanya. Yang aku lakukan hanyalah menunggu,
seperti apa yang pernah dia katakan padaku. Menunggu dengan seribu harapan
kalau dia akan menjemputku sebagai belahan jiwanya. Aku bahkan bersedia menjadi
aktris di bawah naungan Daito dengan perjanjian khusus.”
Tiba-tiba
Maya terkekeh dengan nada sumbang seraya menyandarkan kepala pada sandaran
sofa. Satu lengannya menutup mata seolah ingin menyembunyikan air mata yang
sepertinya sudah tidak sabar untuk keluar.
“Nyatanya, waktu membuktikan
sebaliknya. Satu tahun lamanya aku berdiam diri dan dia justru menjauhiku.
Selalu menghindar saat aku ingin bertemu dengan seribu satu alasan. Saat itu
aku masih berpikir kalau dia masih membutuhkan waktu untuk menyelesaikan semua
urusan yang sempat kacau karna pembatalan pernikahan itu tapi-,” lagi-lagi Maya
menjeda penjelasannya.
Haruskah
dia bercerita tentang Mawar Ungunya. Tidak, tidak, bahkan Maya mengumpat dalam
hati karena mulutnya sudah bercerita terlalu banyak.
“Sudahlah,
lupakan saja semuanya. Aku sendiri tidak tahu harus menamai apa hubunganku
dengan Tuan Masumi karena sampai saat ini aku tidak mendengar penjelasan apapun
darinya kecuali kata maaf,” Maya mengakhiri penjelasannya.
Koji
masih terdiam dengan seribu pertanyaan di dalam kepalanya. Tapi dia tidak ingin
memaksakan keberuntungannya hari ini. Mendengar kejujuran Maya tentang
perasaannya sudah cukup padanya. Perhatiannya teralihkan saat Maya tiba-tiba
berdiri.
“Aku
tidak tahu apa yang terjadi dengannya kemarin, kalau pertanyaan itu masih
mengganjal di hatimu. Dan kalau kau mau tahu, aku sama penasarannya denganmu,”
terang Maya seraya berjalan meninggalkan Koji dan masuk ke dalam kamarnya
dengan membawa perlengkapan penyamarannya.
Pintu
kamar yang menutup membuat Koji mendesah frustasi. Fakta bahwa Maya mencintai
Masumi ternyata masih membuatnya terguncang. Astaga, usia mereka bahkan
terpaut jauh! Batin Koji mengerang.
***
“Terima
kasih untuk hari ini,” ucap lantang sang sutradara disambut salam beberapa kru
dan para aktris yang terlibat hari itu.
“Nona
Kitajima, terima kasih,” beberapa kru juga mengangguk hormat pada Maya.
“Terima
kasih juga untuk hari ini,” balas Maya dengan senyum lembut. Turun dari stage
tempatnya syuting, Maya menghampiri Yukari dan Maki yang menunggu di dekat
pintu masuk. Ketiganya kemudian berjalan menuju ruang ganti dengan sesekali
membalas sapaan beberapa orang yang berpapasan dengan mereka.
Maki
langsung membantu Maya berganti pakaian dan membersihkan make-up di wajahnya.
Tiga puluh menit berlalu dan Maya sudah kembali berpenampilan rapi dengan dress
lengan pendek berwarna kuning gading. Maki mengulurkan cardigan putih.
“Nona,
ada perubahan jadwal malam ini,” Yukari membuka agendanya begitu Maya sudah
duduk di kursi dan menikmati teh yang dibuat oleh Maki.
“Hhmm?
Bukankah seharusnya jadwalku kosong malam ini?” tanya Maya. Hari ini jadwalnya
memang tidak begitu padat. Bahkan pagi tadi dia dan Koji menghabiskan banyak
waktu untuk mengobrol sebelum berangkat ke lokasi syuting pukul satu siang.
“Tadi
Tuan Masumi menghubungi saya dan meminta waktu untuk makan malam. Beliau ingin
membicarakan masalah kontrak Anda, Nona,” terang Yukari.
Maya
terkejut, jelas saja, bahkan rasanya telinganya salah dengar. “Tuan Masumi?”
tanya dengan penuh penekanan.
Yukari
mengangguk untuk menegaskan jawabannya, “Benar Nona, Tuan Masumi sendiri yang
menghubungi saya dan meminta Nona untuk tidak menolaknya.”
Maya
meletakkan gelas tehnya dan terlarut dalam pikirannya sendiri. Beragam
pertanyaan tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Untuk apa Masumi ingin
menemuinya? Haruskah dia memenuhi permintaan itu? Ah, tidak, salah! Itu bukan
permintaan. Sejak kapan Masumi meminta? Direktur dingin itu lebih suka
memerintah. Dan Maya benci mengakui kalau dirinya memang berkewajiban untuk
menuruti perintah itu karena bagaimanapun Maya masih berada di bawah manajemen
Daito meski dengan perjanjian khusus sekalipun. Lagipula Masumi ingin
membicarakan masalah pekerjaan, Maya jelas tidak bisa menolaknya.
“Baiklah,
dimana dan jam berapa aku harus bertemu dengannya?” tanya Maya yang kemudian
kembali meraih gelas tehnya, meneguknya perlahan. Sensasi hangat dan rasa manis
teh membuatnya sedikit lebih tenang.
“Jam
tujuh malam Iwaguchi akan mengantar Anda ke Mansion Hayami-,”
Dan
Maya sukses tersedak tehnya dengan mata membulat menatap menejernya.
Mansion Hayami? Yang benar saja!
***
Maya
terpaku di depan pintu ganda besar berwarna coklat dengan ukiran rumit di
setiap sisinya. Kakinya terasa berat untuk melangkah lebih jauh. Bukan, bukan
karena dirinya tidak percaya diri. Penampilannya jauh dari kata jelek saat ini.
Maya
mengenakan gaun ungu berenda halus di setiap sisi lengan, potongan gaun yang
pas sekali dengan tubuhnya. Jangan lupakan high hells yang membuatnya tampak
anggun dan clutch manis di tangan kanannya. Maya tampil cantik dan elegan.
Hanya saja penampilan sempurna sama sekali tidak mengurangi rasa takut di dalam
hatinya. Maya tidak menyangka kalau dirinya akan makan malam di Mansion Hayami.
Kenapa Masumi mengundangnya ke sini? Pertanyaan itu tercetak tebal di dalam
kepalanya.
Lamunan
Maya terhenti saat pintu ganda di hadapannya terbuka dan seorang pelayan
membungkuk hormat seraya mengucapkan salam. “Maaf membuat Anda menunggu Nona
Kitajima. Silakan masuk, Tuan Masumi sudah menunggu Anda.”
Maya
hanya mengangguk dengan senyum tipis terulas di bibir merahnya. Dalam diam Maya
mengikuti pelayan menyusuri koridor panjang di mansion mewah itu. Kedua alisnya
tertaut begitu langkah kakinya mengarah ke bagian belakang mansion.
“Silakan
Nona,” pelayan itu melambaikan tangan agar Maya melewati pintu kaca besar.
Perlahan,
Maya kembali melangkah keluar dan untuk kesekian kalinya hari itu Maya mendapat
kejutan. Di halaman berumput hijau Masumi berdiri tanpa cela di tepi kolam.
Siluetnya tampak memukau dengan pancaran lampu taman dan hal yang paling
membuatnya terkejut adalah meja bundar yang tertutup linen putih lengkap dengan
lilin dan bunga.
Masumi
tersenyum begitu Maya menuruni tangga teras. Dia pun melangkah untuk
menghampiri gadisnya. Tangannya terulur begitu sampai di hadapan Maya. Dengan
ekspresi bingung Maya menyambut uluran tangan Masumi dan sebuah kecupan manis
di punggung tangan mungil itu sukses membuat kedua mata Maya membola.
“Selamat
malam, Maya.”
Bolehkah aku berharap?
***
>>Bersambung<<
Follow me on :
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have
been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind,
cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
***
Maya
menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu. Jarum jam sudah
menunjukkan pukul satu dini hari tapi matanya sama sekali tidak mau terpejam.
Pikirannya terus melayang pada kejadian siang tadi, telinganya bahkan terus
mendengungkan suara sirine ambulance.
"Apa
dia baik-baik saja?" gumam Maya pada dirinya sendiri. Dia menghela napas
panjang lalu turun dari tempat tidur dan berjalan ke jendela apartemennya.
"Kak
Hijiri mengatakan kalau dia hanya kelelahan tapi kenapa perasaanku tidak
tenang?" gumamnya lagi.
Maya
menatap bulan yang menghiasi langit Tokyo malam itu. Siang tadi Masumi di temukan
pingsan di ruang gantinya dan langsung di larikan ke rumah sakit. Hampir Maya
lepas kendali untuk ikut naik ke dalam ambulance sebelum Yukari
menghentikannya. Maya sadar dirinya harus menyelesaikan pemotretan dan tidak
boleh pergi begitu saja. Jadwal padat membuat Maya tidak bisa berkutik.
"Masumi
...," gumam Maya dengan perasaan gelisah.
***
"Anda
seharusnya mendengarkan apa yang saya katakan," Mizuki menatap atasannya
yang kini duduk dengan tenang di atas tempat tidur bersama laptop
kesayangannya.
Tak
mendapat respon yang berarti, Mizuki menghela napas pelan. "Saya sudah
mengosongkan semua jadwal Anda hari ini," kata Mizuki kemudian dan kali
ini sukses membuat perhatian Masumi teralihkan.
"Aku
tidak memerintahkanmu melakukannya," jawab Masumi dengan mata memincing
tajam.
"Tapi
Anda memerlukannya dan sudah menjadi tugas saya untuk mengatur semua demi
kebaikan Anda, Tuan Masumi," Mizuki menimpali tanpa sedikitpun merasa
terintimidasi dengan tatapan tajam atasannya.
Masumi
menutup laptopnya setelah memastikan pekerjaannya tersimpan dengan baik.
Melandaikan punggungnya, Masumi menghela napas panjang.
"Apa
Ayah tahu aku di sini?" tanyanya dengan mata menerawang menatap
langit-langit kamar.
"Apa
yang Anda harapkan? Anda pingsan di ruang ganti Maya," jawab Mizuki yang
seolah menyalahkan Masumi yang berada di tempat yang tidak tepat.
"Itu
di luar kendaliku," ketus Masumi seraya mendengus pelan.
"Lucu
Anda mengatakannya karena nyatanya Anda memaksakan diri untuk berada di
sana," kata Mizuki.
"Aku
...," Masumi menelan kembali kata-katanya. Tidak ada gunanya berkilah
bukan? Mizuki benar, dia bahkan kehilangan kendali untuk menahan kakinya
melangkah menemui Maya. Rindu? Naif bukan? Ah tidak, idiot lebih tepat.
"Anda
yang memulai sendiri semua permainan ini Tuan Masumi," perkataan Mizuki
menarik Masumi dari lamunannya.
Masumi
menoleh pada Mizuki yang sejak tadi setia berdiri di samping tempat tidurnya.
"Kau tahu? Rasanya aneh kalau aku selalu harus mendengarkan omelanmu. Apa
kau berencana berhenti menjadi sekretarisku dan memilih untuk menjadi baby
sitterku? Mengawasiku setiap waktu?" Masumi yang kembali duduk tegak
menatap kesal pada sekretarisnya.
Mizuki
terdiam. Dia tahu emosi Masumi sering tidak stabil sejak dinyatakan sakit. Tak
jarang atasannya yang dulu terkenal tenang dan dingin itu menunjukkan emosinya
yang meledak-ledak. Ah, Mizuki mencoba memakluminya meski rasanya tidak mudah.
Bukan hanya loyalitas yang membuatnya bertahan tapi baginya Masumi bukan hanya
sekedar atasan. Teman? Sahabat, jika diijinkan.
"Sudahlah,"
Masumi kali ini turun dari tempat tidur, "urus administrasinya, aku pulang
sekarang," katanya tanpa bisa dibantah lalu berjalan menuju kamar mandi
untuk mengganti pakaiannya.
Terakhir,
Mizuki hanya bisa menghela napas panjang dan melakukan apa yang sudah
diperintahkan.
***
"Sudah
keluar?" Maya mengerutkan kening menatap perawat yang duduk di balik meja
resepsionis.
"Iya
Nona, Tuan Hayami sudah keluar pagi tadi," ulang perawat itu seraya
tersenyum. Meski begitu tatapan matanya tampak menyelidik penampilan Maya yang
mengenakan wig hitam pendek, kaca mata hitam dan coat panjang berwarna coklat
tua.
"Apa
saya bisa bertanya mengenai keadaannya? Hhmm, maksud saya, Tuan Hayami sakit
apa? Apa dia pulang karena sudah sembuh?" tanya Maya beruntun. Sungguh
sesak rasanya menahan rasa penasaran sejak semalam hingga Maya tak peduli jika
dirinya dianggap aneh, bahkan sampai rela menyamar untuk menjenguk Masumi.
"Maaf
Nona, itu adalah privasi yang tidak bisa kami informasikan tanpa seijin pasien
yang bersangkutan."
Maya
jelas kecewa, mengulas senyum tipis, dia mengucapkan terima kasih sebelum
berlalu dari meja resepsionis dan berjalan keluar meninggalkan lobi rumah
sakit. Dengan langkah malas Maya menuju mobil yang terparkir di pelataran
dimana supirnya, Iwaguchi, menunggu.
"Kita
kembali ke apartemen," perintah Maya begitu duduk di kursi belakang dan
Iwaguchi langsung memacu mobil meninggalkan rumah sakit.
Maya
baru saja sampai di depan pintu apartemennya saat mendengar sebuah suara
memanggilnya. Matanya menatap heran pada sosok pemuda yang berjalan
menghampirinya.
"Koji?"
Koji
sendiri tak kalah heran melihat penampilan Maya. "Sudah kuduga ini kau.
Darimana?"
"Euhm,"
Maya menggigit bibir bawahnya seraya berpikir untuk mencari alasan,
"ta-tadi ada urusan sebentar," jawabnya karena tidak tahu harus
berkata apa, "ada apa kau datang?"
Koji
tersenyum canggung seraya mengusap tengkuknya, "Boleh kita masuk dulu?
Yang ingin aku tanyakan sedikit rahasia," ujarnya.
Maya
hanya mengangguk lalu membuka pintu apartemennya dan mempersilakan Koji masuk.
Keduanya kini duduk di ruang tamu dengan Maya sibuk melepas atribut
penyamarannya. Mata Koji tak lepas memandang wajah gadis yang sepertinya sedang
sedih itu.
"Kau
ingin bicara apa?" tanya Maya setelah keheningan yang menurutnya terlalu
lama dan membuatnya tidak nyaman karena tatapan Koji.
"Aku
melihat berita kemarin kalau Tuan Masumi pingsan di ruang ganti studio tempatmu
pemotretan. Apa terjadi sesuatu?" tanya Koji langsung tanpa basa-basi.
Maya
menatap lurus sahabatnya, “Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?”
Koji
menyandarkan punggungnya lebih santai ke sofa, melipat tangan di depan dadanya.
“Kupikir kau benar-benar menganggapku sahabat? Apa kau masih tidak mau
menceritakan semuanya padaku?”
Kedua
alis Maya tertaut dengan mata memincing tajam. Dia tidak tahu apa maksud Koji.
“Aku tidak mengerti,” ucapnya kemudian.
“Kau
dan Tuan Masumi,” tegas Koji dan sukses membuat Maya berjenggit terkejut.
“Ap-,”
“Aku
pernah melihat kalian berpelukan di pelabuhan,” jawab Koji yang kemudian
mengalihkan pandangannya pada layar televisi yang mati, enggan melihat tatapan
menuntut penjelasan milik Maya, “dulu,” lanjutnya dengan suara melirih.
Tanpa
sadar kedua tangan Maya terkepal di atas pangkuannya. Sungguh Maya terkejut
mendengarnya. Jadi selama ini Koji tahu mengenai perasaannya pada Masumi?
Sahabatnya itu bahkan melihatnya berpelukan dengan Masumi di pelabuhan. Itu
artinya …, Maya tersentak saat sebuah pemikiran melintas di dalam kepalanya.
Jangan katakan kalau kecelakaan yang menimpa Koji adalah salahnya.
Koji
kembali menatap Maya, “Aku pulang dengan perasaan marah dan hilang kendali
dengan motorku sampai kecelakaan itu terjadi,” terang Koji yang bisa membaca
jelas keterkejutan di wajah Maya. “Aku tidak menyalahkanmu, sungguh,”
lanjutnya.
“Jadi
kau tahu alasanku menolakmu?” tanya Maya lirih.
“Aku
tidak sepenuhnya mengerti dengan semua yang terjadi,” jawab Koji. “Maksudku,
bahkan setelah kau menolakku, aku tidak melihatmu menjalin hubungan dengan Tuan
Masumi. Aku tidak berani menebak sejauh mana hubunganmu dengannya. Alasan kau
menangis tempo hari, apa itu juga ada hubungannya dengan Tuan Masumi yang
pingsan di ruang gantimu?”
Maya
memijat pangkal hidungnya demi meredakan denyutan tidak nyaman di sekitar
matanya. Bingung, Maya harus menjawab apa? Menceritakan semuanya pada Koji?
Batin Maya menggeleng keras. Dia tidak mau orang lain ikut campur urusan
pribadinya terlalu jauh. Tapi Koji pasti kecewa kalau dirinya terus berbohong.
Ah, dilematis.
“Maaf,”
ucap Koji yang kembali membuat Maya menatapnya bingung, “aku lancang dengan
menanyakan semua itu padamu,” lanjutnya yang bisa menebak kebisuan Maya sebagai
rasa enggan untuk menjawab semua pertanyaannya.
“Tidak
Koji,” akhirnya Maya buka suara. “Aku hanya tidak tahu bagaimana harus menjawab
semua pertanyaanmu itu,” lanjutnya dengan helaan napas panjang di akhir
kalimatnya.
Koji
bergeming, membaca gesture tubuh Maya yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu
padanya. Koji tidak berharap banyak, kalau gadis itu memang tidak mau
bercerita, dia tidak akan memaksa. Kedatangannya hari ini sebenarnya hanya
untuk memastikan kalau Maya baik-baik saja setelah dirinya mendengar berita di
televisi kemarin sore. Koji tidak mau mendapati pujaan hatinya itu menangis
lagi seperti saat terakhir mereka bertemu.
“Kalau
kau menanyakan semua pertanyaan itu tepat saat aku mengembalikan cincinmu, aku
pasti bisa menjawabnya,” lanjut Maya yang kemudian mengulas senyum pahit ketika
menatap Koji, “ya, aku mencintai Tuan Masumi,” akunya jujur.
Jika
harus memilih, Koji memilih untuk menjadi tuli saat ini juga. Meski dalam hati
dan pikirannya terus menerka perasaan Maya terhadap Masumi tapi mendengar
pengakuan jujur Maya padanya ternyata begitu menyakitkan. Tolong ambilkan saja
pisau dan tusuk jantungnya agar deguban sakit itu tidak menyiksanya.
“Tapi
aku tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang,” kata Maya setelah diam beberapa
saat dan itu membuat kening Koji berkerut dalam. Maya menghela napas perlahan
demi mengurangi rasa sakit yang kembali meremas hatinya.
“Awalnya,
dia memintaku untuk menunggu, percaya pada semua yang akan dilakukannya. Aku
pun menurutinya. Hingga akhirnya Bidadari Merah menjadi milikku, pementasan
selesai juga sampai pada-,” sesuatu seperti mencekik tenggorokan Maya hingga
gadis itu mengeratkan mata dan menelan ludah perlahan. Tidak, faktanya itu
bukan rasa sakit secara harafiah yang dirasakannya tapi efek dari kesesakan
yang selama ini ditahannya.
“-batalnya
pernikahan Tuan Masumi dan Nona Shiori. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya dan aku tidak bisa bertanya. Yang aku lakukan hanyalah menunggu,
seperti apa yang pernah dia katakan padaku. Menunggu dengan seribu harapan
kalau dia akan menjemputku sebagai belahan jiwanya. Aku bahkan bersedia menjadi
aktris di bawah naungan Daito dengan perjanjian khusus.”
Tiba-tiba
Maya terkekeh dengan nada sumbang seraya menyandarkan kepala pada sandaran
sofa. Satu lengannya menutup mata seolah ingin menyembunyikan air mata yang
sepertinya sudah tidak sabar untuk keluar.
“Nyatanya, waktu membuktikan
sebaliknya. Satu tahun lamanya aku berdiam diri dan dia justru menjauhiku.
Selalu menghindar saat aku ingin bertemu dengan seribu satu alasan. Saat itu
aku masih berpikir kalau dia masih membutuhkan waktu untuk menyelesaikan semua
urusan yang sempat kacau karna pembatalan pernikahan itu tapi-,” lagi-lagi Maya
menjeda penjelasannya.
Haruskah
dia bercerita tentang Mawar Ungunya. Tidak, tidak, bahkan Maya mengumpat dalam
hati karena mulutnya sudah bercerita terlalu banyak.
“Sudahlah,
lupakan saja semuanya. Aku sendiri tidak tahu harus menamai apa hubunganku
dengan Tuan Masumi karena sampai saat ini aku tidak mendengar penjelasan apapun
darinya kecuali kata maaf,” Maya mengakhiri penjelasannya.
Koji
masih terdiam dengan seribu pertanyaan di dalam kepalanya. Tapi dia tidak ingin
memaksakan keberuntungannya hari ini. Mendengar kejujuran Maya tentang
perasaannya sudah cukup padanya. Perhatiannya teralihkan saat Maya tiba-tiba
berdiri.
“Aku
tidak tahu apa yang terjadi dengannya kemarin, kalau pertanyaan itu masih
mengganjal di hatimu. Dan kalau kau mau tahu, aku sama penasarannya denganmu,”
terang Maya seraya berjalan meninggalkan Koji dan masuk ke dalam kamarnya
dengan membawa perlengkapan penyamarannya.
Pintu
kamar yang menutup membuat Koji mendesah frustasi. Fakta bahwa Maya mencintai
Masumi ternyata masih membuatnya terguncang. Astaga, usia mereka bahkan
terpaut jauh! Batin Koji mengerang.
***
“Terima
kasih untuk hari ini,” ucap lantang sang sutradara disambut salam beberapa kru
dan para aktris yang terlibat hari itu.
“Nona
Kitajima, terima kasih,” beberapa kru juga mengangguk hormat pada Maya.
“Terima
kasih juga untuk hari ini,” balas Maya dengan senyum lembut. Turun dari stage
tempatnya syuting, Maya menghampiri Yukari dan Maki yang menunggu di dekat
pintu masuk. Ketiganya kemudian berjalan menuju ruang ganti dengan sesekali
membalas sapaan beberapa orang yang berpapasan dengan mereka.
Maki
langsung membantu Maya berganti pakaian dan membersihkan make-up di wajahnya.
Tiga puluh menit berlalu dan Maya sudah kembali berpenampilan rapi dengan dress
lengan pendek berwarna kuning gading. Maki mengulurkan cardigan putih.
“Nona,
ada perubahan jadwal malam ini,” Yukari membuka agendanya begitu Maya sudah
duduk di kursi dan menikmati teh yang dibuat oleh Maki.
“Hhmm?
Bukankah seharusnya jadwalku kosong malam ini?” tanya Maya. Hari ini jadwalnya
memang tidak begitu padat. Bahkan pagi tadi dia dan Koji menghabiskan banyak
waktu untuk mengobrol sebelum berangkat ke lokasi syuting pukul satu siang.
“Tadi
Tuan Masumi menghubungi saya dan meminta waktu untuk makan malam. Beliau ingin
membicarakan masalah kontrak Anda, Nona,” terang Yukari.
Maya
terkejut, jelas saja, bahkan rasanya telinganya salah dengar. “Tuan Masumi?”
tanya dengan penuh penekanan.
Yukari
mengangguk untuk menegaskan jawabannya, “Benar Nona, Tuan Masumi sendiri yang
menghubungi saya dan meminta Nona untuk tidak menolaknya.”
Maya
meletakkan gelas tehnya dan terlarut dalam pikirannya sendiri. Beragam
pertanyaan tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Untuk apa Masumi ingin
menemuinya? Haruskah dia memenuhi permintaan itu? Ah, tidak, salah! Itu bukan
permintaan. Sejak kapan Masumi meminta? Direktur dingin itu lebih suka
memerintah. Dan Maya benci mengakui kalau dirinya memang berkewajiban untuk
menuruti perintah itu karena bagaimanapun Maya masih berada di bawah manajemen
Daito meski dengan perjanjian khusus sekalipun. Lagipula Masumi ingin
membicarakan masalah pekerjaan, Maya jelas tidak bisa menolaknya.
“Baiklah,
dimana dan jam berapa aku harus bertemu dengannya?” tanya Maya yang kemudian
kembali meraih gelas tehnya, meneguknya perlahan. Sensasi hangat dan rasa manis
teh membuatnya sedikit lebih tenang.
“Jam
tujuh malam Iwaguchi akan mengantar Anda ke Mansion Hayami-,”
Dan
Maya sukses tersedak tehnya dengan mata membulat menatap menejernya.
Mansion Hayami? Yang benar saja!
***
Maya
terpaku di depan pintu ganda besar berwarna coklat dengan ukiran rumit di
setiap sisinya. Kakinya terasa berat untuk melangkah lebih jauh. Bukan, bukan
karena dirinya tidak percaya diri. Penampilannya jauh dari kata jelek saat ini.
Maya
mengenakan gaun ungu berenda halus di setiap sisi lengan, potongan gaun yang
pas sekali dengan tubuhnya. Jangan lupakan high hells yang membuatnya tampak
anggun dan clutch manis di tangan kanannya. Maya tampil cantik dan elegan.
Hanya saja penampilan sempurna sama sekali tidak mengurangi rasa takut di dalam
hatinya. Maya tidak menyangka kalau dirinya akan makan malam di Mansion Hayami.
Kenapa Masumi mengundangnya ke sini? Pertanyaan itu tercetak tebal di dalam
kepalanya.
Lamunan
Maya terhenti saat pintu ganda di hadapannya terbuka dan seorang pelayan
membungkuk hormat seraya mengucapkan salam. “Maaf membuat Anda menunggu Nona
Kitajima. Silakan masuk, Tuan Masumi sudah menunggu Anda.”
Maya
hanya mengangguk dengan senyum tipis terulas di bibir merahnya. Dalam diam Maya
mengikuti pelayan menyusuri koridor panjang di mansion mewah itu. Kedua alisnya
tertaut begitu langkah kakinya mengarah ke bagian belakang mansion.
“Silakan
Nona,” pelayan itu melambaikan tangan agar Maya melewati pintu kaca besar.
Perlahan,
Maya kembali melangkah keluar dan untuk kesekian kalinya hari itu Maya mendapat
kejutan. Di halaman berumput hijau Masumi berdiri tanpa cela di tepi kolam.
Siluetnya tampak memukau dengan pancaran lampu taman dan hal yang paling
membuatnya terkejut adalah meja bundar yang tertutup linen putih lengkap dengan
lilin dan bunga.
Masumi
tersenyum begitu Maya menuruni tangga teras. Dia pun melangkah untuk
menghampiri gadisnya. Tangannya terulur begitu sampai di hadapan Maya. Dengan
ekspresi bingung Maya menyambut uluran tangan Masumi dan sebuah kecupan manis
di punggung tangan mungil itu sukses membuat kedua mata Maya membola.
“Selamat
malam, Maya.”
Bolehkah aku berharap?
***
>>Bersambung<<
Follow me on :
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

9 Comments
Hola, holaaaaa
ReplyDeleteGa panjang sih, tapi cukup menguras emosiku waktu ngetiknya, hahaaa
sebenernya masih ada lanjutannya tapi aku emang niat bikin penasaran jadi kupotong ajalah disini.
happy reading ya
moga waktu dekat bisa posting lagi, arigatooo, muahhh
Aaahhh tidaaakkkk
ReplyDeleteMba agnes tanggung bangeddddd hiks hiks hiks
BTW mksh banyak ya dh apdet
Sukses terus
Wkwkwwk sorry klo direcokin terus
Hahaa...ga pa2, seneng kok direcokin. kalo ga ada yang ngrecokin berarti ga ada yang baca FFTK ku dong hahhaaa
DeleteSeneng banget nih mba Agnes bikin anak orang penasaran 😂😂😂 jadi hiburan trsendiri ya mba 😂😂😂
ReplyDeleteOh my...mbaaaaaaaaaaaaakkkkkkk Agnes ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ nunggu lagi.
ReplyDeleteYa ampuuuun Mbak Agneeess, teganya dirimu teganya teganya teganya hiks
ReplyDeleteYa ampuuun...nanggung mbak agnes..huhuhu...
ReplyDeletesist agnes.... makin bikin penasaran... smg happy ending... aaaamiiiiinnnnn
ReplyDeleteLanjut mbak....hik..sukses bikin degdegan nanggung gini...
ReplyDelete