Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat
apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk
memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang
untuk menguji keteguhan cinta mereka.
*********************************************************************************
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come back, tell
me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm jealous of the
way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
Love that was in here
Cinta
yang tak ada di sini
Gone for someone else to share
Pergi
ke orang lain untuk dibagikan
Oh, I'm jealous of the love, cause
Oh,
aku iri pada cinta, karena
[Chorus]
As I sink in the sand
Saat
aku tenggelam dalam pasir
Watch you slip through my hands
Melihatmu
pergi dariku
Oh, as I die here another day
Oh,
saat aku mati di sini suatu saat nanti
Cause all I do is cry behind this smile
Yang
kulakukan adalah menangis di balik senyuman ini
[Chorus]
It's hard for me to say, I'm jealous of the
way
Sulit
ku katakan, ku irimu dengan caramu
You're happy without me
Bahagia tanpaku
Maya
menatap sengit pria yang duduk dihadapannya. Pria yang dulu sangat dicintainya.
Bukan berarti Maya tak lagi mencintainya, hanya saja hatinya sudah lelah. Lelah
menghadapi ketidakpastian. Entah dosa apa yang sudah diperbuatnya hingga takdir
bisa begitu kejam mempermainkan hidupnya.
"Jadi,
kau ingin memutuskan kontrak dengan Daito?" Masumi, pria yang sejak tadi
ditatap tajam oleh Maya itu akhirnya buka suara. Jengah dengan suasana kaku
yang menghimpit mereka. Jujur, sebenarnya Masumi sangat terkejut ketika Maya
mengajukan surat pengunduran diri. Ini di luar rencananya.
Sayangnya Masumi tidak bisa melakukan apapun untuk menghalangi niat Maya. Dia
tahu dengan pasti bagaimana keras kepalanya seorang Maya Kitajima.
"Jelas
seperti apa yang tertulis di dalam surat itu Tuan Masumi. Saya ingin
mengundurkan diri dari menejemen Daito," terang Maya dengan nada suara
yang sedikit tidak bersahabat.
"Sepertinya
kau yakin bisa tetap menjadi aktris kelas satu tanpa bantuan Daito,"
Masumi mencoba peruntungannya untuk mencegah Maya keluar.
Maya
tersenyum tipis namun lebih terlihat sebagai seringai, sesuatu yang jarang
terlukis di wajahnya yang lembut. "Arogansi yang tidak pernah
berubah," ujar Maya kemudian, "Anda begitu yakin kalau menejemen lain
tak sehebat Daito. Tapi, meski itu benar saya tidak peduli lagi. Rasanya tidak
ada gunanya saya menjadi aktris besar kalau saya tak lagi memiliki alasan untuk
melakukannya."
Masumi
sempat tersentak dengan perkataan Maya tapi segera mengendalikan dirinya.
Sekarang dia mengerti alasan Maya meninggalkan Daito. “Aku tidak mengerti?”
tanya Masumi basa-basi. Dia menyandarkan punggung lebih santai pada kursi
kerjanya, surat Maya masih digenggamnya namun enggan untuk membaca lebih
lanjut. Sekarang pandangan Masumi tertuju penuh pada Maya.
“Anda
tidak perlu mengerti untuk menyetujui surat permohonan itu Tuan Masumi,” jawab
Maya tenang.
“Aku
berhak tahu alasannya,” balas Masumi sama tenangnya.
“Alasan
yang berhak Anda tahu sudah tertulis di dalam surat itu, selebihnya tidak
penting,” lagi-lagi Maya menjawab dengan sikap dingin. Masumi jadi merasa
berhadapan dengan orang lain, kemana perginya Maya yang ramah dan ceria itu?
Masumi melirik surat di atas pangkuannya, belum sempat matanya kembali membaca
rangkaian kata yang tertulis, dia dikejutkan oleh Maya yang tiba-tiba berdiri.
“Saya
rasa sudah waktunya saya pergi,” ucap Maya dan Masumi hanya mengerutkan kening
menatapnya. “Bukankah Anda hanya memberi waktu maksimal satu jam?” Maya
menjawab pertanyaan tanpa kata Masumi seraya menyeringai tipis. Diapun
membungkuk hormat lalu berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban Masumi.
Masumi
menghela napas panjang begitu Maya menghilang di balik pintu. Menyandarkan siku
pada lengan kursi, Masumi memijat pelipisnya yang berdenyut. “Apa keputusanku
salah? Apa itu yang merubahmu?” lirih Masumi pada dirinya sendiri. Masumi
meraih handphone-nya dan menekan sebuah tombol, “Temui aku malam ini di tempat
biasa,” katanya dan tak menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Masumi
mengakhiri panggilannya. “Maya …,”
***
Maya
baru saja merebahkan tubuh di atas tempat tidur saat mendengar bel apartemennya
berbunyi. Mencoba menulikan telinga, Maya mengabaikan suara bel yang terus
berulang. Masih enggan beranjak dari posisinya, Maya lega ketika akhirnya suara
bel berhenti mengganggunya. Namun sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung
selama dua menit karena detik berikutnya, suara bel kembali nyaring terdengar
dan Maya terpaksa bangun dengan raut wajah kesal, mencoba menahan diri untuk
tidak marah pada siapapun tamunya yang pantang menyerah di luar sana.
Desahan
kesal kembali lolos dari bibir mungil Maya saat melihat dari lubang pintu sosok
pengganggu istirahat sorenya. Dengan berat hati dia membuka pintu dan menyesal
karena tadi mengusir menejer dan asistennya pergi. Setidaknya kedua wanita itu
bisa menyelamatkannya dari kondisi di luar dugaan seperti ini.
"Hai,"
senyum menawan dan lambaian tangan menyambut Maya yang membuka pintu.
Menarik kedua sudut bibirnya menjadi senyum manis, Maya mulai berakting, "Hai Koji, masuklah, kejutan besar kau datang sore ini," dan mengganggu waktu tidurku, lanjutnya dalam hati.
Menarik kedua sudut bibirnya menjadi senyum manis, Maya mulai berakting, "Hai Koji, masuklah, kejutan besar kau datang sore ini," dan mengganggu waktu tidurku, lanjutnya dalam hati.
Tiba-tiba
Koji terkekeh, membuat Maya mengerutkan keningnya. Maya pun menilai
penampilannya sendiri, mencoba mencari kesalahan dalam penampilannya yang
membuat sahabat baiknya itu tertawa. Dia mengenakan t-shirt putih besar
bergambar kelinci dengan celana pendek hitam selutut. Tidak ada yang salah, batinnya menggerutu.
"Bukan,
bukan pakaianmu, aku tertawa karena wajahmu. Maaf," ucap Koji yang membaca
gelagat Maya seraya melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.
"Kenapa
wajahku?" Reflek Maya menyentuh wajahnya sendiri.
"Apa
aku mengganggumu?" Tanya Koji begitu selesai dengan tawanya. "Aku
benar-benar memberimu kejutan ya?"
Maya
tersenyum dengan enggan atas ironi yang dilontarkan Koji, menyadari kalau aktingnya
gagal. "Masuklah," kata Maya kemudian tanpa menjawab pertanyaan sang
sahabat.
Koji
melebarkan senyum lalu mengikuti Maya, menutup pintu sebelum masuk ke ruang
tamu.
"Kau
mau minum apa?" Tanya Maya tepat ketika Koji duduk di sofa ruang tamunya.
"Apa
saja, aku bisa mengambilnya sendiri kalau kau keberatan membuatkanku secangkir
kopi," Koji tersenyum jahil.
Maya
mendengus lirih dengan candaan sahabatnya, "Segelas kopi Tuan
Sakurakoji."
Koji
terkekeh pelan lalu meraih remot televisi dan layar datar berukuran besar di
depannya menyala, menampilkan kilasan acara-acara acak yang sedang dipilih
olehnya. Chanel televisi berhenti pada sebuah acara memasak dan Koji meletakkan
remot di meja. Lima menit kemudian Maya datang dengan sebuah nampan berisi dua
cangkir kopi dan sepiring cake lemon berhiaskan strawberry segar yang tampak
menggiurkan.
"Kau
mau belajar memasak?" Tanya Maya begitu melihat televisi di depannya. Dia
mengulurkan secangkir kopi pada Koji lalu mengambil cangkirnya sendiri. Koji
tidak pernah melakukan kunjungan singkat dan Maya butuh kopi untuk mengusir
rasa kantuknya.
"Iseng
saja, tidak ada acara menarik," jawab Koji santai. Meniup kopinya lalu
perlahan menikmatinya. Pahit. Maya pasti lupa menaruh gula dalam minumannya
atau gadis itu sengaja? Batin Koji geli dan memilih meneguk lagi kopinya
sebelum meletakkan kembali cangkirnya di atas meja.
Diam-diam
Koji mengamati Maya yang masih meniup kopinya dan bersiap meneguknya. Mata
gadis itu terpaku pada layar televisi hingga kemudian membulat sempurna setelah
tegukan pertamanya tercecap lidah. Koji terkekeh geli melihatnya. Tebakan
pertamanya yang tepat, Maya lupa menaruh gula.
"Maaf,"
ucap Maya penuh rasa bersalah.
"Tidak
apa-apa, aku senang kau lupa, aku kira kau sengaja," kata Koji terus
terang.
"Mana
mungkin aku sengaja kalau aku tahu kau tidak suka kopi pahit," bantah Maya
yang segera meletakkan cangkirnya lalu berjalan ke dapur dan kembali ke ruang
tamu dengan membawa empat sachet gula.
Koji
menerimanya dengan senyum dan membubuhkan dua sachet gula ke dalam kopinya,
mengaduknya perlahan lalu kembali menikmatinya. Pas. Rasanya lebih baik.
"Terima kasih," senyum tulus terkembang di wajah tampannya dan menular pada gadis di depannya.
"Terima kasih," senyum tulus terkembang di wajah tampannya dan menular pada gadis di depannya.
Beberapa
menit keduanya terdiam dengan mata terpaku pada layar televisi. Sang koki
sedang sibuk memotong daging menjadi helaian tipis yang kemudian dilumuri
dengan lada dan kecap asin.
"Darimana
kau tahu aku ada di rumah?" Tanya Maya yang menghentikan keheningan
diantara mereka.
"Aku
menghubungi Nona Yukari," jawab Koji santai.
"Ah,
begitu," Maya tidak bisa menyalahkan menejernya. Koji pasti punya jurus
khusus hingga Yukari membocorkan jadwalnya.
"Kau
tidak mau bertemu denganku kan?" Koji yang bersandar pada sofa memiringkan
kepalanya dan melihat Maya balas menatapnya.
"Bukan
begitu," jawab Maya tenang kemudian menyandarkan kepalanya pada sofa,
menengadah untuk menatap langit-langit apartemennya. Koji hanya diam menanti
penjelasan Maya. "Aku hanya butuh waktu untuk sendiri," lirih Maya.
Kerutan
di kening Koji menggambarkan tanda tanya besar yang hadir dalam benaknya.
"Kau ada masalah?" Tanya Koji melihat sahabatnya yang semakin aneh setiap harinya. Gadis periang itu sekarang lebih suka memakai topeng saat di depan publik dan sekarang, wajah itu menunjukkan ekspresi aslinya. Kesedihan, itulah yang ditangkap Koji.
Maya tersenyum miris mendengar pertanyaan Koji. Pertanyaan sama yang pernah dilontarkan Hijiri padanya.
"Kau ada masalah?" Tanya Koji melihat sahabatnya yang semakin aneh setiap harinya. Gadis periang itu sekarang lebih suka memakai topeng saat di depan publik dan sekarang, wajah itu menunjukkan ekspresi aslinya. Kesedihan, itulah yang ditangkap Koji.
Maya tersenyum miris mendengar pertanyaan Koji. Pertanyaan sama yang pernah dilontarkan Hijiri padanya.
"Masalah
ya," gumamnya lirih. Maya menggeleng tanpa menatap Koji tapi helaan napas
panjang membuat Maya menoleh dan mendapati sahabat baiknya itu menatapnya
sedih.
"Kau
tidak mau berbagi denganku? Kami semua khawatir padamu. Aku, Rei, Sayaka, Mina,
semua teman-temanmu. Kau banyak berubah Maya," Koji kembali berterus
terang dan memancing Maya untuk bercerita padanya.
"Berubah?
Mungkin hanya perasaan kalian saja. Aku tidak merasa mengubah apapun dalam
diriku. Jadwalku terlalu padat dan kita jarang bertemu, itu saja yang berubah
menurutku," Maya masih berkilah dan menampik tuduhan Koji.
"Jangan
begitu Maya, menyangkal semuanya tidak akan menyelesaikan masalah. Setidaknya
ceritakan padaku apa yang menjadi masalahmu. Mungkin aku tidak banyak membantu
tapi setidaknya aku bisa menjadi sahabat terbaik dengan menjadi pendengar
setiamu," kata Koji panjang lebar.
Maya
terdiam lama mendengar penuturan sahabat baiknya. Masih enggan menjawab apalagi
bercerita mengenai masalahnya, beban hatinya. Bagi Maya segala sesuatu mengenai
mawar ungu atau Masumi tidak untuk dibagi dengan siapapun. Orang lain tidak
akan mengerti dengan apa yang dirasakannya saat ini.
"Maya?"
Panggil Koji hati-hati saat Maya masih bertahan dalam kebisuannya.
"Boleh
aku bertanya sesuatu Koji?" Maya akhirnya membuka mulut.
"Tentu,"
jawab Koji mantap.
"Apa
kau tidak merasa sakit hati saat aku menolakmu dulu? Saat aku mengembalikan
kalung itu?"
Koji
membulatkan mata tanda terkejut saat pertanyaan yang tidak pernah diduganya itu
meluncur mulus dari bibir Maya. Pertanyaan macam apa itu? Tidak sakit hati?
Koji jadi menyesal mengijinkan Maya bertanya. Bukan, bukan karena dia tidak
bisa menjawabnya. Koji tahu jawabannya dengan pasti, hanya saja dia enggan Maya
tahu bagaimana rasa sakit yang pernah di deritanya akibat penolakan Maya. Cukup
dia, Tuhan juga botol minuman yang di tenggaknya saja yang boleh tahu.
Selebihnya Maya hanya boleh tahu kalau dia menerima apapun keputusan Maya.
Tidak mau merusak hubungan diantara mereka dengan sisi sentimentil dan
keegoisannya yang ingin memiliki Maya secara utuh sebagai miliknya.
Koji
berjanji akan bertahan di samping Maya dengan predikat sahabat terbaik. Karena
dengan begitu dia masih bisa leluasa untuk berinteraksi dengan gadis pujaan
hatinya. Koji yakin lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu meski pahit
diakuinya saat ini kalau luka itu masih basah dan berdarah.
"Jadi
begitu ya," gumam Maya lagi yang menarik Koji dari pergulatan batinnya.
"Pasti sakit sekali sampai kau tidak bisa mengatakannya," Maya
mengambil kesimpulan sendiri setelah melihat raut wajah Koji.
Dalam
hati Koji merutuki kebisuannya, "Sebenarnya ada apa?" Koji tetap
berusaha untuk tenang, "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Kejadian
itu sudah berlalu satu tahun yang lalu. Tidak perlu dibahas lagi.
Jangan-jangan-," Koji menilik ragu ke dalam bola mata Maya. Mencoba
mencari pembenaran di sana atas dugaan yang melintas di dalam kepalanya.
"Siapa yang menyakitimu?" Tebak Koji langsung. Tanpa sadar tangannya
mengepal, dalam hati merutuki siapa saja yang sudah menolak Maya -jika
tebakannya benar- tapi melihat sikap Maya dan pertanyaannya tadi, Koji yakin
kalau sahabat baiknya -gadis kecintaannya- tengah sakit hati karena sebuah
penolakan.
Maya
memejamkan mata lalu menghela napas panjang. Saat mata bulatnya kembali
terbuka, Maya menoleh demi mendapati ekspresi keras Koji. Dia tidak bisa
membaca isi pikiran Koji. Apa pemuda itu marah atas pertanyaan yang
dilontarkannya atau kesal karena menduga dirinya memiliki perasaan terhadap
orang lain.
"Katakan
padaku Maya, siapa dia?" Koji kembali bertanya dengan sekuat tenaga
menahan perasaannya.
Tapi
reaksi Maya justru di luar prediksi, kembali mengejutkannya. Maya, gadis itu
justru tersenyum tipis tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Karena iris
coklat itu kini justru menyendu dan setetes air lolos dari sudut matanya.
Sepertinya Maya terbawa perasaannya sendiri hingga lupa kalau dirinya harus
menutupi sakit hatinya di depan Koji. Reaksi Koji membuat topengnya lepas.
Pertanyaan Koji yang terkesan posesif itu membuat hatinya teriris, menambah
luka lain di hatinya. Andai, andai pria yang dicintainya adalah Koji, tentu dia
tidak harus mengalami semua sakit ini. Dia tidak harus hidup dalam penantian
kosong yang akhirnya melukainya begitu dalam. Membuat hatinya luluh lantak tak
berbentuk.
Air
mata Maya yang tak berhenti mengalir membuat Koji meredam emosinya. Bahkan saat
tangis tanpa suara itu berubah menjadi isakan yang menyayat hati, Koji hanya bisa
merengkuh bahu mungil yang tampak rapuh itu ke dalam pelukannya. Tanpa kata,
Koji membiarkan Maya melepaskan emosinya. Ribuan tanya muncul dalam benaknya
tapi Koji menahan diri. Maya pasti bercerita padanya jika sudah siap. Saat ini
dia rela menjadi tempat bersandar bagi Maya. Meski hanya untuk sementara, Koji
tidak keberatan. Kebahagiaan Maya lebih penting dibanding luka yang di
deritanya.
Bersandar
pada dada bidang Koji, Maya menumpahkan semua kesedihannya. Saat ini dia
membutuhkannya, membutuhkan Koji sebagai sandarannya. Terdengar kejam setelah
dia dulu pernah menolak cinta Koji tapi Maya tidak punya pilihan. Dia hancur
dan bisa mati kalau menahannya seorang diri. Dia butuh Koji, hanya itu yang ada
di dalam pikirannya saat ini.
***
Koji
tertegun melihat wajah Maya yang tampak damai dalam dekapannya. Gadis cantik
itu kini tengah terlelap setelah lelah menangis. Koji menghela napas perlahan,
takut kalau helaan napasnya mengusik ketenangan Maya.
"Ada
apa sebenarnya denganmu? Kenapa kau jadi seperti ini?" Koji yang setengah
berbaring di sofa dengan Maya bersandar di dadanya semakin mempererat
dekapannya. Sungguh sakit rasanya hati Koji melihat Maya yang tampak begitu
terpuruk entah karena apa. Pikirannya terus menduga-duga, apa yang menjadi
penyebab gadis cerianya menjadi pribadi yang introvet.
"Apakah-?"
Koji takut mengutarakan pikirannya sendiri. Nama Masumi muncul di dalam
benaknya. Sampai saat ini Koji masih tidak tahu hubungan apa yang sebenarnya
terjalin antara Maya dan Masumi. Maya tidak pernah bercerita, Koji sendiri
enggan untuk menanyakannya. Bahkan saat Maya mengembalikan kalungnya satu tahun
yang lalu, Koji tidak mendesak Maya untuk menjelaskan alasannya. Sepenuhnya dia
sadar kalau itu adalah hak Maya. Hati tidak pernah bisa dipaksa.
Hanya
saja, sejak Maya menolaknya, gadis itu juga tak terlihat dekat dengan Masumi -yang
dia pikir sebagai alasan Maya menolaknya-, justru sebaliknya. Meski pertunangan
Direktur Daito itu gagal dan menggemparkan Tokyo tapi Maya dan Masumi sama
sekali tidak pernah terlihat menjalin hubungan. Keduanya malah terlihat semakin
jauh meski berada dalam satu label perusahaan.
Buntu
dengan pemikirannya, Koji merasa lelah sendiri hingga kantuk menyerangnya.
Biarlah saat ini semua berjalan apa adanya.
***
"Tuan,
saya mohon berhentilah merokok," ucap Mizuki tegas tanpa rasa sungkan pada
atasannya.
Masumi
menarik sudut bibirnya menjadi seringai tipis mendengar permintaan, ralat,
perintah Mizuki. Sama sekali tidak peduli dan masih berkutat dengan dokumen di
atas pangkuannya.
"Jika
hasil pertemuan dengan Maya tidak sesuai dengan harapan Anda, bukan berarti
Anda bisa menyakiti diri Anda sendiri seperti ini," lanjut Mizuki masih
dengan nada tegas yang sama.
Masumi
langsung mengangkat wajahnya dan menatap Mizuki dengan mata menyipit.
"Jangan
Anda pikir saya tidak tahu apa yang diinginkan Maya siang tadi," Mizuki
benar-benar kesal dengan tingkah kekanakan Masumi. Tidakkah pria dewasa itu
memikirkan mengenai kondisinya yang jauh dari kata baik?
"Apa
Maya juga mengatakannya padamu?" Dengan enggan Masumi meletakkan putung
rokoknya ke dalam asbak.
"Ya,"
jawab Mizuki singkat.
Masumi
meletakkan dokumen yang tadi tengah diperiksanya ke atas meja. Menopangkan
kedua siku, Masumi meletakkan dagunya di atas kedua tangannya yang bertaut.
"Lalu bagaimana menurutmu Mizuki?"
Mizuki
mengernyitkan kening mendengar pertanyaan atasannya. "Apa maksud
Anda?"
Masumi
menatap tajam sekretarisnya, "Menurutmu apa yang harus aku lakukan?"
Mizuki
menghela napas panjang, "Anda ini aneh Tuan Masumi. Bukankah selama ini
Anda menghindarinya, jadi untuk apa sekarang Anda bingung? Lagipula kontrak
yang Anda buat untuk Maya memang mengijinkannya berhenti kapanpun dia mau. Anda
tidak mengikat pemegang Hak Pementasan Bidadari Merah. Secara hukum, Maya
bebas," terang Mizuki.
Masumi
terdiam, Mizuki benar. Dirinyalah yang membuat Maya sampai pada keputusan ini.
Dia yang dulu sudah meminta gadis itu untuk menunggu, dia yang tahu kalau gadis
itu mengharapkannya, tapi dia juga yang menghancurkan segalanya. Menghindarinya
dengan alasan tidak jelas bahkan meninggalkannya sendiri dengan berhenti
menjadi mawar ungu.
Masumi
tahu benar kalau gadis itu pasti tengah bersedih. Tapi apa yang bisa
dilakukannya? Menyambut perasaan gadis itu hanya akan menambah luka baginya.
Tidak! Masumi tidak mau hal itu terjadi. Dia tidak mau Maya semakin terpuruk karena
kepergiannya. Yang dia inginkan sekarang adalah kebahagiaan Maya. Dengan ini
dia berharap Maya bisa menemukan pria baik lainnya yang bisa menjaga dan
menyanyanginya. Jika umurnya panjang maka Masumi berharap masih sempat melihat
kebahagiaan gadis itu. Ya, meski tidak di pungkiri dirinya akan merasa sakit
melihat Maya dimiliki orang lain tapi setidaknya dia bisa mati dengan tenang
jika sudah melihat Maya bahagia.
"Maya
...," tanpa sadar mulut Masumi menggumamkan nama kekasih hatinya.
"Tidak
ada pilihan Tuan Masumi," kata Mizuki yang menyadarkan Masumi dari
lamunannya, "Anda harus melanjutkan apa yang sudah Anda mulai. Lepaskan
dia jika Anda memang tidak menginginkannya," dan dengan kalimat itu Mizuki
pergi meninggalkan Masumi yang kembali tenggelam dalam perenungannya.
***
Hijiri
diam seribu bahasa begitu mendengar cerita Masumi tentang Maya. Bingung, itulah
yang dirasakannya. Disatu sisi dia ingin menceritakan isi hati Maya pada Masumi
tapi disisi lain dia tidak mau menghianati kepercayaan Maya yang berpesan
padanya untuk merahasiakan semuanya.
"Apa
kau juga berpikir kalau semua ini salahku Hijiri?" Tanya Masumi.
Sesaat
Hijiri menatap ke dalam mata Masumi, mencoba memahami apa yang sebenarnya
tengah dipikirkan sang tuan. Tidak, sebenarnya tidak sulit baginya untuk tahu
apa yang menjadi pemikiran seorang Masumi Hayami saat ini. Terlebih jika hal
itu menyangkut perasaannya pada seorang gadis, Maya Kitajima. Hanya saja Hijiri
tidak tahu bagaimana harus menentukan sikap saat ini.
"Maaf
Tuan," ucap Hijiri tenang, "tidak ada alasan bagi saya untuk
menyalahkan Anda," lanjutnya.
Masumi
tersenyum kecut mendengarnya, "Kau hanya kasihan padaku Hijiri,"
jawab Masumi dengan nada mencemooh yang terdengar jelas, "aku yakin jauh
di dalam hatimu saat ini, kau tengah memakiku sebagai seorang pengecut,"
Masumi mengalihkan pandangannya dari Hijiri yang tengah tertunduk pada hamparan
pemandangan kota Tokyo yang berada di bawah kakinya. Mereka memang tengah
berada di atap gedung Daito. Tempat aman bagi keduanya untuk bicara.
"Tidak
Tuan, saya tidak akan mengatakan Anda sebagai seorang pengecut," tegas
Hijiri kemudian dengan kepala yang masih tertunduk, "bukan satu dua hari
saya mengenal Anda."
Masumi
diam. Matanya kembali memandang kota Tokyo. "Katakan aku terlalu naif
Hijiri. Aku tidak ingin melukainya dan menginginkannya bahagia tapi sepertinya
saat ini aku justru melukainya." Masumi menghela napas panjang. "Aku
mengharapkan dia bertemu pria lain yang lebih baik dariku. Mencintainya lalu
memiliki kehidupan yang bahagia."
"Saat
ini Yuu Sakurakoji sedang bersama dengan Nona Maya," lapor Hijiri
kemudian.
Bibir
Masumi menyunggingkan sebuah senyum kecut, "Begitu ya," lirihnya.
Hijiri
mengangkat wajahnya demi mendapati perasaan terluka Masumi yang jelas tergambar
melalui pancaran matanya. "Jika Anda memang merasa tidak sanggup melihat
Nona Maya bersanding dengan pria lain, kenapa Anda tidak menghentikan semua ini
dan memberitahukan yang sebenarnya pada Nona?"
Masumi
menggeleng. Tangannya merogoh saku jasnya lalu mengambil sebungkus rokok,
bersiap menyalakannya sebelum Hijiri menginterupsi.
"Tolong
ingat kondisi Anda, Tuan," sela Hijiri.
"Kau
sama saja dengan Mizuki," celetuk Masumi yang sama sekali tidak
mengindahkan larangan Hijiri. Dia tetap menyalakan rokoknya lalu menyesapnya dalam-dalam.
Hijiri menggeleng pelan melihat sikap Masumi yang menurutnya kekanakan.
"Aku
lelah Hijiri," kata Masumi pelan, nyaris menyerupai bisikan namun masih
dapat di dengar oleh Hijiri. "Aku pikir mungkin lebih baik jika aku cepat
pergi dari dunia ini-,"
"Tuan-,"
"Sstt,"
Masumi melarang Hijiri memotong perkataannya. Keduanya saling bertukar pandang
dengan tatapan tajam. "Tidak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal,"
lanjutnya.
"Andalah
yang membuang semua alasan untuk tetap tinggal Tuan Masumi!" Hijiri
mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Menahan geram atas pernyataan yang
dilontarkan Masumi. Sungguh, urat kesabarannya lama-lama bisa putus juga
menghadapi logika bengkok sang atasan juga kekeras kepalaannya yang melebihi
batu karang.
Masumi
menautkan alis mendengar suara bernada tinggi dari tangan kanan sekaligus
sahabat baiknya itu.
"Begitu
banyak alasan yang membuat Anda untuk tetap hidup, berjuang untuk sembuh. Tapi
Anda membuangnya satu per satu lalu menyerah begitu saja," terang Hijiri
dalam satu tarikan napas. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, "Maaf,
sejak awal saya mencoba mengerti pemikiran Anda. Menghargai apapun yang menjadi
alasan Anda melakukan semua ini. Tapi bukan berarti saya setuju jika Anda ingin
menyerah. Saya ingin Anda hidup, saya ingin Anda berjuang, karena begitulah
Masumi Hayami yang saya kenal. Masumi Hayami yang tidak akan menyerah pada
keadaan."
Tiba-tiba
Masumi terkekeh hingga membuat Hijiri mengerutkan keningnya. "Kau menaruh
harapan terlalu besar padaku, Hijiri. Berhentilah sebelum kau kecewa lebih
dalam."
Kali
ini Hijiri diam seribu bahasa.
"Sudahlah,
sejak tadi pembicaraan kita hanya berputar-putar pada topik yang tidak jelas.
Terima kasih sudah menemaniku dan terima kasih untuk laporan juga semua kerja
kerasmu. Pergilah," usir Masumi tanpa basa basi.
Tahu
kalau dirinya tak berhak lagi bicara, Hijiri hanya bisa mengangguk hormat,
memberi salam lalu undur diri dengan langkah perlahan. Sejenak melirik ke arah
Masumi yang masih bergeming di tempatnya, Hijiri kemudian menghilang di balik
pintu.
"Tuhan,
salahkah keputusanku?" Kalimat tanya bernada lirih itu hanya di jawab oleh
desau angin yang menerpa rambut kelamnya.
***
"Akhirnya
kau bangun juga putri tidur."
Maya
mengerjapkan mata perlahan dan tersenyum lembut begitu mendapati Koji duduk di
seberang sofa tempatnya berbaring.
"Aku
pasti ketiduran," kata Maya dengan suara khas bangun tidur.
"Kau
butuh cuti Maya," komentar Koji kemudian dan Maya hanya terkekeh.
Aku butuh pekerjaan lebih banyak
untuk melupakan semua sakit hatiku, batin Maya. "Kau
tidak ada pekerjaan Koji?" Tanya Maya setelah duduk bersandar lalu menatap
ke luar jendela, langit sudah berubah gelap. Matanya melirik jam dinding yang
menunjukkan angka tujuh.
"Tidak,"
jawab Koji singkat. Matanya masih setia menatap wajah Maya yang masih tampak
sayu. Gadis itu terlalu banyak menyimpan beban, batinnya.
"Kau
mau makan malam disini Koji?" Tawar Maya saat merasakan cacing di perutnya
mulai meronta.
Koji
menaikkan alis mendengar tawaran sang sahabat, "Kau mau memasak makan
malam untukku?"
Maya
tertawa, "Tidak, tidak, selain itu bisa membuat selera makan kita hilang
juga karena aku sudah tidak punya tenaga untuk melakukannya," katanya yang
kemudian meraih gagang telepon di meja kecil, di sebelah sofa.
"Ah,
ide pintar," Koji terkekeh melihat Maya menunjukkan beberapa brosur
restoran yang menyediakan layanan antar. Setelah menentukan pilihan, Maya
memesan makan malam untuk mereka.
"Aku
ingin mandi, kau bisa menunggunya?" Tanya Maya.
Koji
mengangguk tanpa kata dan membiarkan Maya berlalu ke kamarnya. Beberapa detik
kemudian, raut wajah penuh senyum Koji berubah menjadi suram. Ingatannya
langsung melayang saat Maya tidur dalam pelukannya tadi.
Masumi.
Nama itu terus saja dilantunkan Maya tanpa sadar sepanjang tidurnya dengan raut
wajah kesakitan. Apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka? Kalimat tanya itu
terus bergaung di dalam kepala Koji. Kenapa juga Maya bisa memendam perasaan
yang begitu dalam terhadap pria yang terkenal sangat dingin itu?
Suara
bel membuat pikiran Koji berhenti berputar. Yakin kalau yang datang adalah
layanan antar makan malam mereka, Koji segera membuka pintu. Dan benar saja,
sekarang makanan itu sudah tersaji di atas meja makan tepat ketika Maya keluar
dari kamar.
"Aromanya
membuatku lapar, terima kasih Koji," ucap Maya tulus saat duduk di meja
makan.
"Tidak
masalah, ayo kita makan," Koji kembali mengembangkan senyumnya.
Keduanyapun makan dengan tenang diselingi percakapan ringan seputar pekerjaan
mereka akhir-akhir ini. Koji cukup bijak untuk tidak mengungkit drama yang
terjadi sore tadi dan Maya bersyukur karenanya.
Dan
malam itu keakraban di antara mereka sedikit menghibur Maya.
***
Hari-hari
berikutnya Maya disibukkan oleh jadwal padat hariannya. Syuting iklan,
wawancara, pemotretan, latihan drama dan berbagai kegiatan lain yang bahkan
membuat gadis itu kesulitan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Rasanya
semakin cepat aku keluar dari Daito semakin bagus," gumam Maya di tengah
perjalanannya menuju studio Daito untuk melakukan pemotretan kontrak iklan
terbarunya.
"Jangan
berkata seperti itu Nona. Bukankah Tuan Masumi sudah meluluskan keinginan anda
untuk mengundurkan diri. Hanya saja memang kewajiban Anda untuk menyelesaikan
semua kontrak yang tersisa. Paling cepat dua bulan lagi anda baru bisa lepas
dari Daito," terang Yukari, sang menejer.
Maya
menghela napas panjang. Dia belum bertemu lagi dengan Masumi sejak pembicaraan
mereka satu minggu lalu. Maya sendiri tidak menghubungi Masumi dan membiarkan
semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Hatinya masih terlalu sakit untuk bisa
bertemu muka dengan Direktur dingin dan gila kerja itu.
Mobil
yang dikendarai Maya memasuki pelataran parkir studio Daito. Selesai dengan
instruksi pendeknya, Yukari meminta Maya turun dan segera menuju studio tiga,
tempatnya melakukan pemotretan. Keduanya berjalan berdampingan diikuti Maki,
asisten Maya.
Langkah
kaki Maya tiba-tiba berhenti di ambang pintu masuk ketika matanya menangkap
sosok yang saat ini tidak ingin ditemuinya. Masumi. Pria itu tampak begitu
serius berbicara dengan beberapa staf juga fotografer. Entah apa yang
dibicarakannya tapi melihat ekspresi wajah orang-orang itu, Maya yakin kalau sesuatu
pasti sudah terjadi.
"Nona?"
Maya
menoleh ke arah Yukari.
"Anda
harus segera bersiap. Setelah pemotretan ini selesai, giliran Anda,"
Yukari mengingatkan Maya yang masih bergeming.
Dengan
berat hati Maya melanjutkan langkahnya menuju ruangan yang sudah dipersiapkan
untuknya. Maya pura-pura tidak melihat ketika Masumi tampak terkejut melihatnya
melewati jajaran staf yang sedang diceramahi Masumi. Dengan langkah lebih cepat
Maya bergegas menuju ruangannya.
"Maki,
bisa tolong bawakan aku secangkir kopi?" Maya menghempaskan tubuhnya di
kursi meja rias lalu memijat pelipisnya yang berdenyut.
"Baik
Nona," Maki bergegas keluar ruangan menuju pantry.
"Anda
baik-baik saja?" Yukari menyipitkan mata menatap sang nona.
"Tidak,
aku tidak baik," jawab Maya terus terang, "tapi jangan bertanya
kenapa," tegas Maya kemudian.
Yukari
mengangguk tanda mengerti. Sebenarnya bukan dia tidak tahu sebab Maya langsung
murung, dia hanya ingin memastikannya. Yukari juga terkejut saat melihat Masumi
ada di lokasi pemotretan. Sedikit banyak dia bisa melihat kalau sang Nona
memiliki hubungan khusus di luar pekerjaan dengan direktur Daito yang terkenal
dingin itu dan entah kenapa sepertinya hubungan rahasia itu sedang bermasalah.
Hijiri sendiri sebagai atasan rahasianya tidak memberitahukan apapun perihal masalah itu dan Yukari masih cukup waras untuk tidak bertanya lebih jauh atau pekerjaannya menjadi taruhan. Oh tidak, Yukari sungguh bersyukur bisa menjadi menejer aktris besar seperti Maya dan dia belum siap kehilangan kontrak kerjanya yang berharga itu. Jadi, diam adalah emas baginya. Maki kembali dengan membawa secangkir kopi panas.
Hijiri sendiri sebagai atasan rahasianya tidak memberitahukan apapun perihal masalah itu dan Yukari masih cukup waras untuk tidak bertanya lebih jauh atau pekerjaannya menjadi taruhan. Oh tidak, Yukari sungguh bersyukur bisa menjadi menejer aktris besar seperti Maya dan dia belum siap kehilangan kontrak kerjanya yang berharga itu. Jadi, diam adalah emas baginya. Maki kembali dengan membawa secangkir kopi panas.
"Terima
kasih Maki," Maya menenangkan dirinya dengan secangkir kopi sementara Maki
menyiapkan semua perlengkapan untuk pemotretan.
Butuh waktu satu jam bagi Maki untuk merias Maya. Pemotretan kali ini bertema klasik dimana Maya tampil sebagai wanita muda nan elegan. Foto yang rencananya di cetak hitam putih sebagai cover majalah fashion bulan depan itu akan menampilkan sosok Maya sebagai model fashion terbaru rancangan desaigner ternama. Make up pucat yang dikenakan Maya tak membuat wajahnya tampak sayu tapi justru memunculkan kesan natural dan menonjolkan sisi polos juga sederhana seorang Maya Kitajima.
Butuh waktu satu jam bagi Maki untuk merias Maya. Pemotretan kali ini bertema klasik dimana Maya tampil sebagai wanita muda nan elegan. Foto yang rencananya di cetak hitam putih sebagai cover majalah fashion bulan depan itu akan menampilkan sosok Maya sebagai model fashion terbaru rancangan desaigner ternama. Make up pucat yang dikenakan Maya tak membuat wajahnya tampak sayu tapi justru memunculkan kesan natural dan menonjolkan sisi polos juga sederhana seorang Maya Kitajima.
Setidaknya
ada lima buah pakaian yang harus dikenakan Maya untuk pemotretan kali ini dan
semuanya sudah tergantung rapi di sudut ruangan. Maki hanya tinggal menata
rambut sesuai dengan pakaian yang akan dikenakan nanti. Selesai dengan make up
dan rambut, Maki meminta Maya untuk mengenakan pakaian pertamanya. Tepat ketika
semua selesai, pintu ruangan Maya di ketuk dan Yukari segera membukanya.
“Tuan
Masumi,” Yukari menyapa penuh hormat pada Direktur Daito yang kini tengah
berdiri di depannya. Sebisa mungkin Yukari menetralisir rasa terkejut dari
wajahnya. Maya sendiri langsung menegang mendengar nama Masumi disebut. Reflek dia
menoleh ke arah pintu yang terbuka.
“Aku
ingin bicara dengan Maya,” kata Masumi tanpa basa-basi dan tanpa meminta ijin
juga, dia langsung masuk ke dalam ruang ganti Maya, “berdua,” lanjutnya dengan
penekanan yang terdengar jelas begitu dirinya berada tak jauh dari tempat Maya
berdiri di depan cermin riasnya.
Yukari
dan Maki terlihat bingung lalu saling bertukar pandang sebelum Maya meminta
mereka berdua untuk keluar. Tak ada bantahan, keduanya menurut dan berjalan ke
luar ruangan lalu menutup pintu perlahan.
“Ada
perlu apa sampai Anda repot menemui saya Tuan Masumi?” tanya Maya tanpa
repot-repot berbalik. Dia menatap Masumi dari cermin besar di depannya seraya
berpura-pura sibuk memperbaiki make up.
“Kau
masih aktrisku Maya. Apa salah kalau aku ingin bertemu aktrisku dan melihat
perkembangannya?” jawab Masumi datar. Mengabaikan sikap dingin Maya, Masumi menarik
kursi di sebelah Maya lalu mendudukkan dirinya disana. Dalam hati Masumi
merutuki dirinya sendiri yang tanpa pikir panjang menemui Maya. Gadis itu
seolah magnet yang tidak dapat di tolak dan Masumi tidak munafik untuk mengakui
kalau dirinya merindukan sosok mungil yang adalah pujaan hatinya itu.
“Aktris
Anda?” kata Maya dengan nada mencemooh. Meletakkan bedaknya, Maya duduk di
kursi dengan tenang. Keduanya masih saling menatap melalui cermin.
“Kau
menghindariku?” Entah apa yang dipikirkan Masumi saat ini. Pertanyaan itu terus
menggelitiknya selama seminggu belakangan. Maya benar-benar mengabaikannya
setelah sebelumnya selalu meminta bertemu. Ya, sebenarnya Masumi tahu kenapa. Saat
ini dia benar-benar seperti remaja labil yang bingung harus berbuat apa.
“Ya,”
jawab Maya tegas, “bukankah ini yang Anda inginkan?” sinis Maya. Hatinya sungguh
merasa perih dengan kenyataan yang harus dihadapinya saat ini. “Anda tidak
perlu repot mengurusi saya. Nona Mizuki, sekretaris andalan Anda, sudah cukup
untuk mengurus semuanya untuk saya. Bahkan menejer dan asisten saya juga
bekerja dengan baik. Saya tidak akan mengganggu waktu Anda yang berharga
apalagi sampai merepotkan Anda, Tuan Masumi.”
Masumi
menghela napas perlahan setelah sesaat menahan napas karena merasa nyeri pada
bagian perutnya. Meski begitu ekspresinya tetap terlihat tenang. Dia tahu saat
ini Maya sedang marah.
“Maya,
aku-,” Masumi menelan kembali kata-kata yang hampir terucap dari mulutnya saat
tiba-tiba Maya menoleh dengan tatapan tajam.
“Jangan
bertanya kenapa aku bersikap seperti ini,” tegas Maya, “Masumi, kau sudah
memutuskan semuanya. Untuk apa pura-pura peduli padaku jika sebenarnya kau sama
sekali tidak mengharapkan keberadaanku?” lanjutnya dengan ekspresi terluka yang
terbaca jelas. Maya menanggalkan semua sopan santun dan etikanya. Saat ini dia
berbicara sebagai seorang Maya bukan sebagai seorang aktris dengan atasannya.
Masumi
tertohok dengan kalimat itu. Lidahnya kelu untuk melantunkan kata maaf atau alasan
dibalik semua tindakannya.
“Aku
menunggumu,” lirih Maya kemudian, wajahnya menyendu dengan sudut mata yang
basah. Masumi kembali terjegil dalam kebisuannya. “Aku menunggumu,” ulang Maya
dengan suara yang mulai pecah, “tapi apa yang aku dapat dari semua penantian
itu? Jangan memberiku harapan kalau kau memang tak menginginkanku,” dan kalimat
itu sukses membuat isakan Maya pecah. Maya memeluk dirinya sendiri yang kini
gemetar menahan rasa sakit di dalam hatinya.
Hati
Masumi tersayat dengan pengakuan Maya. Dia tahu bahwa apa yang dilakukannya
menorehkan luka dalam bagi gadis itu. Janjinya saat mereka di atas Astoria
hanya tinggal sebuah bualan. Karena ternyata sampai saat ini Masumi sama sekali
tak berniat untuk menepatinya. Bahkan sejak pertunangannya batal, Masumi terus
menghindari gadis itu. Membiarkan Maya tersiksa dengan penantiannya dan
menyakitinya dengan harapan palsu. Masumi masih diam menatap Maya yang masih
terisak.
“Aku
tidak pernah tahu kalau mencintai itu sakit, sampai aku bertemu denganmu. Dan
jangan salahkan aku, kalau akhirnya aku menjauh untuk menyembuhkan lukaku,”
kalimat penuh luka yang diucapkan Maya itu benar-benar membuat hati Masumi
hancur.
Inilah
konsekuensi yang harus di tanggung Masumi. Kehilangan gadis yang sangat
dicintainya. Salah jika Maya menganggap hanya dirinya yang terluka karena
faktanya Masumi merasakan sakit yang sama bahkan jauh lebih sakit, berkali-kali
lipat. Dalam hati Masumi merutuki ketidak berdayaannya.
Maya
berteriak dengan suara parau saat Yukari mengetuk pintu dan mengingatkannya
tentang jadwal pemotretan. Meraih tissue di atas meja, Maya menyeka air
matanya. Tak ada lagi kalimat yang terucap dari bibir Maya saat gadis itu
akhirnya beranjak dari kursi lalu berjalan ke arah pintu.
“Maaf,”
suara bernada berat itu keluar dari bibir Masumi. Direktur Daito yang terkenal
dingin itu kini hanya bisa menunduk dalam di kursinya.
Maya
yang tangannya sudah memutar handle pintu sempat terdiam namun beberapa detik
kemudian pintu terbuka dan debaman keras dari pintu yang tertutup menjadi
pengakhir segalanya. Tidak ada maaf. Masumi tenggelam dalam rasa sakit dan
penyesalan.
Detik
berikutnya menjadi penyiksaan yang nyata bagi seorang Masumi. Saat rasa sakit
tak tertahan itu kembali datang dan membuatnya mengerang. Dalam hati Masumi
berharap kali ini dia benar-benar bisa pergi meninggalkan dunia. Sebuah nama lolos
saat kesadarannya semakin menipis dan kegelapan menelannya ke alam damai.
“Maya
….”
***
>>Bersambung<<

8 Comments
Holaaa, holaaa, apa kabar MM lover tercintahhh?
ReplyDeleteAda yang menunggu apdetan?
Silakan baca aja deh buat yang suka, ini moment yang nyesek menurutku, hiks, haiyah, heheheee
Jangan lupa komennya. arigatou
Huhuhuhuhu mba agnes masumi sakit apa?������������
ReplyDeleteWoahhh... Masumi atittttt... Hiksss
ReplyDeleteYa ampuuuun kok menyedihkan gini siiiiih hiks. Masumi sakit apaa?
ReplyDeleteLanjuttttttttttt... 😂😂😂
ReplyDeleteSedihhhhhh😢😢😢😢😢
ReplyDeleteAyo lanjutkan mba Agnes... cusss yahh buruannn 😢😢😢
Lanjuttt sist...
ReplyDeleteSalam kenal mba Agnes...sy baru liat blog mba Agnes nich jadi baca maraton semuanya....trima kasih ya mba..suka semua tulisan mba...hebat jadi bisa mengobati rasa penasaran kelanjutan cerita aslinya...semangat terus ya mba...
ReplyDelete