Heart - Chapter 2

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka. 

*********************************************************************************


Jealous by Labrinth


I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan
That falls upon your skin
Yang jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan

I'm jealous of the windu
Aku iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh aku iri pada angin, karena

[Chorus:]
I wished you the best of
Ku berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come back, tell me all you found was
Tapi ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm jealous of the way
Sulit kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia tanpaku

I'm jealous of the nights
Ku iri pada malam
That I don't spend with you
Yang tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh, aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku iri pada cinta
Love that was in here
Cinta yang tak ada di sini
Gone for someone else to share
Pergi ke orang lain untuk dibagikan
Oh, I'm jealous of the love, cause
Oh, aku iri pada cinta, karena

[Chorus]

As I sink in the sand
Saat aku tenggelam dalam pasir
Watch you slip through my hands
Melihatmu pergi dariku
Oh, as I die here another day
Oh, saat aku mati di sini suatu saat nanti
Cause all I do is cry behind this smile
Yang kulakukan adalah menangis di balik senyuman ini

[Chorus]

It's hard for me to say, I'm jealous of the way
Sulit ku katakan, ku irimu dengan caramu
You're happy without me
Bahagia tanpaku


Maya menatap sengit pria yang duduk dihadapannya. Pria yang dulu sangat dicintainya. Bukan berarti Maya tak lagi mencintainya, hanya saja hatinya sudah lelah. Lelah menghadapi ketidakpastian. Entah dosa apa yang sudah diperbuatnya hingga takdir bisa begitu kejam mempermainkan hidupnya.

"Jadi, kau ingin memutuskan kontrak dengan Daito?" Masumi, pria yang sejak tadi ditatap tajam oleh Maya itu akhirnya buka suara. Jengah dengan suasana kaku yang menghimpit mereka. Jujur, sebenarnya Masumi sangat terkejut ketika Maya mengajukan surat pengunduran diri. Ini di luar rencananya. Sayangnya Masumi tidak bisa melakukan apapun untuk menghalangi niat Maya. Dia tahu dengan pasti bagaimana keras kepalanya seorang Maya Kitajima.

"Jelas seperti apa yang tertulis di dalam surat itu Tuan Masumi. Saya ingin mengundurkan diri dari menejemen Daito," terang Maya dengan nada suara yang sedikit tidak bersahabat.

"Sepertinya kau yakin bisa tetap menjadi aktris kelas satu tanpa bantuan Daito," Masumi mencoba peruntungannya untuk mencegah Maya keluar.

Maya tersenyum tipis namun lebih terlihat sebagai seringai, sesuatu yang jarang terlukis di wajahnya yang lembut. "Arogansi yang tidak pernah berubah," ujar Maya kemudian, "Anda begitu yakin kalau menejemen lain tak sehebat Daito. Tapi, meski itu benar saya tidak peduli lagi. Rasanya tidak ada gunanya saya menjadi aktris besar kalau saya tak lagi memiliki alasan untuk melakukannya."

Masumi sempat tersentak dengan perkataan Maya tapi segera mengendalikan dirinya. Sekarang dia mengerti alasan Maya meninggalkan Daito. “Aku tidak mengerti?” tanya Masumi basa-basi. Dia menyandarkan punggung lebih santai pada kursi kerjanya, surat Maya masih digenggamnya namun enggan untuk membaca lebih lanjut. Sekarang pandangan Masumi tertuju penuh pada Maya.

“Anda tidak perlu mengerti untuk menyetujui surat permohonan itu Tuan Masumi,” jawab Maya tenang.

“Aku berhak tahu alasannya,” balas Masumi sama tenangnya.

“Alasan yang berhak Anda tahu sudah tertulis di dalam surat itu, selebihnya tidak penting,” lagi-lagi Maya menjawab dengan sikap dingin. Masumi jadi merasa berhadapan dengan orang lain, kemana perginya Maya yang ramah dan ceria itu? Masumi melirik surat di atas pangkuannya, belum sempat matanya kembali membaca rangkaian kata yang tertulis, dia dikejutkan oleh Maya yang tiba-tiba berdiri.

“Saya rasa sudah waktunya saya pergi,” ucap Maya dan Masumi hanya mengerutkan kening menatapnya. “Bukankah Anda hanya memberi waktu maksimal satu jam?” Maya menjawab pertanyaan tanpa kata Masumi seraya menyeringai tipis. Diapun membungkuk hormat lalu berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban Masumi.

Masumi menghela napas panjang begitu Maya menghilang di balik pintu. Menyandarkan siku pada lengan kursi, Masumi memijat pelipisnya yang berdenyut. “Apa keputusanku salah? Apa itu yang merubahmu?” lirih Masumi pada dirinya sendiri. Masumi meraih handphone-nya dan menekan sebuah tombol, “Temui aku malam ini di tempat biasa,” katanya dan tak menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Masumi mengakhiri panggilannya. “Maya …,”

***
Maya baru saja merebahkan tubuh di atas tempat tidur saat mendengar bel apartemennya berbunyi. Mencoba menulikan telinga, Maya mengabaikan suara bel yang terus berulang. Masih enggan beranjak dari posisinya, Maya lega ketika akhirnya suara bel berhenti mengganggunya. Namun sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung selama dua menit karena detik berikutnya, suara bel kembali nyaring terdengar dan Maya terpaksa bangun dengan raut wajah kesal, mencoba menahan diri untuk tidak marah pada siapapun tamunya yang pantang menyerah di luar sana.

Desahan kesal kembali lolos dari bibir mungil Maya saat melihat dari lubang pintu sosok pengganggu istirahat sorenya. Dengan berat hati dia membuka pintu dan menyesal karena tadi mengusir menejer dan asistennya pergi. Setidaknya kedua wanita itu bisa menyelamatkannya dari kondisi di luar dugaan seperti ini.

"Hai," senyum menawan dan lambaian tangan menyambut Maya yang membuka pintu.

Menarik kedua sudut bibirnya menjadi senyum manis, Maya mulai berakting, "Hai Koji, masuklah, kejutan besar kau datang sore ini," dan mengganggu waktu tidurku, lanjutnya dalam hati.


Tiba-tiba Koji terkekeh, membuat Maya mengerutkan keningnya. Maya pun menilai penampilannya sendiri, mencoba mencari kesalahan dalam penampilannya yang membuat sahabat baiknya itu tertawa. Dia mengenakan t-shirt putih besar bergambar kelinci dengan celana pendek hitam selutut. Tidak ada yang salah, batinnya menggerutu.

"Bukan, bukan pakaianmu, aku tertawa karena wajahmu. Maaf," ucap Koji yang membaca gelagat Maya seraya melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya.

"Kenapa wajahku?" Reflek Maya menyentuh wajahnya sendiri.

"Apa aku mengganggumu?" Tanya Koji begitu selesai dengan tawanya. "Aku benar-benar memberimu kejutan ya?"

Maya tersenyum dengan enggan atas ironi yang dilontarkan Koji, menyadari kalau aktingnya gagal. "Masuklah," kata Maya kemudian tanpa menjawab pertanyaan sang sahabat.

Koji melebarkan senyum lalu mengikuti Maya, menutup pintu sebelum masuk ke ruang tamu.

"Kau mau minum apa?" Tanya Maya tepat ketika Koji duduk di sofa ruang tamunya.

"Apa saja, aku bisa mengambilnya sendiri kalau kau keberatan membuatkanku secangkir kopi," Koji tersenyum jahil.

Maya mendengus lirih dengan candaan sahabatnya, "Segelas kopi Tuan Sakurakoji."

Koji terkekeh pelan lalu meraih remot televisi dan layar datar berukuran besar di depannya menyala, menampilkan kilasan acara-acara acak yang sedang dipilih olehnya. Chanel televisi berhenti pada sebuah acara memasak dan Koji meletakkan remot di meja. Lima menit kemudian Maya datang dengan sebuah nampan berisi dua cangkir kopi dan sepiring cake lemon berhiaskan strawberry segar yang tampak menggiurkan.

"Kau mau belajar memasak?" Tanya Maya begitu melihat televisi di depannya. Dia mengulurkan secangkir kopi pada Koji lalu mengambil cangkirnya sendiri. Koji tidak pernah melakukan kunjungan singkat dan Maya butuh kopi untuk mengusir rasa kantuknya.

"Iseng saja, tidak ada acara menarik," jawab Koji santai. Meniup kopinya lalu perlahan menikmatinya. Pahit. Maya pasti lupa menaruh gula dalam minumannya atau gadis itu sengaja? Batin Koji geli dan memilih meneguk lagi kopinya sebelum meletakkan kembali cangkirnya di atas meja.

Diam-diam Koji mengamati Maya yang masih meniup kopinya dan bersiap meneguknya. Mata gadis itu terpaku pada layar televisi hingga kemudian membulat sempurna setelah tegukan pertamanya tercecap lidah. Koji terkekeh geli melihatnya. Tebakan pertamanya yang tepat, Maya lupa menaruh gula.

"Maaf," ucap Maya penuh rasa bersalah.

"Tidak apa-apa, aku senang kau lupa, aku kira kau sengaja," kata Koji terus terang.

"Mana mungkin aku sengaja kalau aku tahu kau tidak suka kopi pahit," bantah Maya yang segera meletakkan cangkirnya lalu berjalan ke dapur dan kembali ke ruang tamu dengan membawa empat sachet gula.

Koji menerimanya dengan senyum dan membubuhkan dua sachet gula ke dalam kopinya, mengaduknya perlahan lalu kembali menikmatinya. Pas. Rasanya lebih baik.

"Terima kasih," senyum tulus terkembang di wajah tampannya dan menular pada gadis di depannya.
Beberapa menit keduanya terdiam dengan mata terpaku pada layar televisi. Sang koki sedang sibuk memotong daging menjadi helaian tipis yang kemudian dilumuri dengan lada dan kecap asin.

"Darimana kau tahu aku ada di rumah?" Tanya Maya yang menghentikan keheningan diantara mereka.

"Aku menghubungi Nona Yukari," jawab Koji santai.

"Ah, begitu," Maya tidak bisa menyalahkan menejernya. Koji pasti punya jurus khusus hingga Yukari membocorkan jadwalnya.

"Kau tidak mau bertemu denganku kan?" Koji yang bersandar pada sofa memiringkan kepalanya dan melihat Maya balas menatapnya.

"Bukan begitu," jawab Maya tenang kemudian menyandarkan kepalanya pada sofa, menengadah untuk menatap langit-langit apartemennya. Koji hanya diam menanti penjelasan Maya. "Aku hanya butuh waktu untuk sendiri," lirih Maya.

Kerutan di kening Koji menggambarkan tanda tanya besar yang hadir dalam benaknya.

"Kau ada masalah?" Tanya Koji melihat sahabatnya yang semakin aneh setiap harinya. Gadis periang itu sekarang lebih suka memakai topeng saat di depan publik dan sekarang, wajah itu menunjukkan ekspresi aslinya. Kesedihan, itulah yang ditangkap Koji.


Maya tersenyum miris mendengar pertanyaan Koji. Pertanyaan sama yang pernah dilontarkan Hijiri padanya.


"Masalah ya," gumamnya lirih. Maya menggeleng tanpa menatap Koji tapi helaan napas panjang membuat Maya menoleh dan mendapati sahabat baiknya itu menatapnya sedih.

"Kau tidak mau berbagi denganku? Kami semua khawatir padamu. Aku, Rei, Sayaka, Mina, semua teman-temanmu. Kau banyak berubah Maya," Koji kembali berterus terang dan memancing Maya untuk bercerita padanya.

"Berubah? Mungkin hanya perasaan kalian saja. Aku tidak merasa mengubah apapun dalam diriku. Jadwalku terlalu padat dan kita jarang bertemu, itu saja yang berubah menurutku," Maya masih berkilah dan menampik tuduhan Koji.

"Jangan begitu Maya, menyangkal semuanya tidak akan menyelesaikan masalah. Setidaknya ceritakan padaku apa yang menjadi masalahmu. Mungkin aku tidak banyak membantu tapi setidaknya aku bisa menjadi sahabat terbaik dengan menjadi pendengar setiamu," kata Koji panjang lebar.

Maya terdiam lama mendengar penuturan sahabat baiknya. Masih enggan menjawab apalagi bercerita mengenai masalahnya, beban hatinya. Bagi Maya segala sesuatu mengenai mawar ungu atau Masumi tidak untuk dibagi dengan siapapun. Orang lain tidak akan mengerti dengan apa yang dirasakannya saat ini.

"Maya?" Panggil Koji hati-hati saat Maya masih bertahan dalam kebisuannya.

"Boleh aku bertanya sesuatu Koji?" Maya akhirnya membuka mulut.

"Tentu," jawab Koji mantap.

"Apa kau tidak merasa sakit hati saat aku menolakmu dulu? Saat aku mengembalikan kalung itu?"

Koji membulatkan mata tanda terkejut saat pertanyaan yang tidak pernah diduganya itu meluncur mulus dari bibir Maya. Pertanyaan macam apa itu? Tidak sakit hati? Koji jadi menyesal mengijinkan Maya bertanya. Bukan, bukan karena dia tidak bisa menjawabnya. Koji tahu jawabannya dengan pasti, hanya saja dia enggan Maya tahu bagaimana rasa sakit yang pernah di deritanya akibat penolakan Maya. Cukup dia, Tuhan juga botol minuman yang di tenggaknya saja yang boleh tahu. Selebihnya Maya hanya boleh tahu kalau dia menerima apapun keputusan Maya. Tidak mau merusak hubungan diantara mereka dengan sisi sentimentil dan keegoisannya yang ingin memiliki Maya secara utuh sebagai miliknya.

Koji berjanji akan bertahan di samping Maya dengan predikat sahabat terbaik. Karena dengan begitu dia masih bisa leluasa untuk berinteraksi dengan gadis pujaan hatinya. Koji yakin lukanya akan sembuh seiring berjalannya waktu meski pahit diakuinya saat ini kalau luka itu masih basah dan berdarah.

"Jadi begitu ya," gumam Maya lagi yang menarik Koji dari pergulatan batinnya. "Pasti sakit sekali sampai kau tidak bisa mengatakannya," Maya mengambil kesimpulan sendiri setelah melihat raut wajah Koji.

Dalam hati Koji merutuki kebisuannya, "Sebenarnya ada apa?" Koji tetap berusaha untuk tenang, "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Kejadian itu sudah berlalu satu tahun yang lalu. Tidak perlu dibahas lagi. Jangan-jangan-," Koji menilik ragu ke dalam bola mata Maya. Mencoba mencari pembenaran di sana atas dugaan yang melintas di dalam kepalanya. "Siapa yang menyakitimu?" Tebak Koji langsung. Tanpa sadar tangannya mengepal, dalam hati merutuki siapa saja yang sudah menolak Maya -jika tebakannya benar- tapi melihat sikap Maya dan pertanyaannya tadi, Koji yakin kalau sahabat baiknya -gadis kecintaannya- tengah sakit hati karena sebuah penolakan.

Maya memejamkan mata lalu menghela napas panjang. Saat mata bulatnya kembali terbuka, Maya menoleh demi mendapati ekspresi keras Koji. Dia tidak bisa membaca isi pikiran Koji. Apa pemuda itu marah atas pertanyaan yang dilontarkannya atau kesal karena menduga dirinya memiliki perasaan terhadap orang lain.

"Katakan padaku Maya, siapa dia?" Koji kembali bertanya dengan sekuat tenaga menahan perasaannya.

Tapi reaksi Maya justru di luar prediksi, kembali mengejutkannya. Maya, gadis itu justru tersenyum tipis tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. Karena iris coklat itu kini justru menyendu dan setetes air lolos dari sudut matanya. Sepertinya Maya terbawa perasaannya sendiri hingga lupa kalau dirinya harus menutupi sakit hatinya di depan Koji. Reaksi Koji membuat topengnya lepas. Pertanyaan Koji yang terkesan posesif itu membuat hatinya teriris, menambah luka lain di hatinya. Andai, andai pria yang dicintainya adalah Koji, tentu dia tidak harus mengalami semua sakit ini. Dia tidak harus hidup dalam penantian kosong yang akhirnya melukainya begitu dalam. Membuat hatinya luluh lantak tak berbentuk.

Air mata Maya yang tak berhenti mengalir membuat Koji meredam emosinya. Bahkan saat tangis tanpa suara itu berubah menjadi isakan yang menyayat hati, Koji hanya bisa merengkuh bahu mungil yang tampak rapuh itu ke dalam pelukannya. Tanpa kata, Koji membiarkan Maya melepaskan emosinya. Ribuan tanya muncul dalam benaknya tapi Koji menahan diri. Maya pasti bercerita padanya jika sudah siap. Saat ini dia rela menjadi tempat bersandar bagi Maya. Meski hanya untuk sementara, Koji tidak keberatan. Kebahagiaan Maya lebih penting dibanding luka yang di deritanya.

Bersandar pada dada bidang Koji, Maya menumpahkan semua kesedihannya. Saat ini dia membutuhkannya, membutuhkan Koji sebagai sandarannya. Terdengar kejam setelah dia dulu pernah menolak cinta Koji tapi Maya tidak punya pilihan. Dia hancur dan bisa mati kalau menahannya seorang diri. Dia butuh Koji, hanya itu yang ada di dalam pikirannya saat ini.

***
Koji tertegun melihat wajah Maya yang tampak damai dalam dekapannya. Gadis cantik itu kini tengah terlelap setelah lelah menangis. Koji menghela napas perlahan, takut kalau helaan napasnya mengusik ketenangan Maya.

"Ada apa sebenarnya denganmu? Kenapa kau jadi seperti ini?" Koji yang setengah berbaring di sofa dengan Maya bersandar di dadanya semakin mempererat dekapannya. Sungguh sakit rasanya hati Koji melihat Maya yang tampak begitu terpuruk entah karena apa. Pikirannya terus menduga-duga, apa yang menjadi penyebab gadis cerianya menjadi pribadi yang introvet.

"Apakah-?" Koji takut mengutarakan pikirannya sendiri. Nama Masumi muncul di dalam benaknya. Sampai saat ini Koji masih tidak tahu hubungan apa yang sebenarnya terjalin antara Maya dan Masumi. Maya tidak pernah bercerita, Koji sendiri enggan untuk menanyakannya. Bahkan saat Maya mengembalikan kalungnya satu tahun yang lalu, Koji tidak mendesak Maya untuk menjelaskan alasannya. Sepenuhnya dia sadar kalau itu adalah hak Maya. Hati tidak pernah bisa dipaksa.

Hanya saja, sejak Maya menolaknya, gadis itu juga tak terlihat dekat dengan Masumi -yang dia pikir sebagai alasan Maya menolaknya-, justru sebaliknya. Meski pertunangan Direktur Daito itu gagal dan menggemparkan Tokyo tapi Maya dan Masumi sama sekali tidak pernah terlihat menjalin hubungan. Keduanya malah terlihat semakin jauh meski berada dalam satu label perusahaan.

Buntu dengan pemikirannya, Koji merasa lelah sendiri hingga kantuk menyerangnya. Biarlah saat ini semua berjalan apa adanya.     
             
***
"Tuan, saya mohon berhentilah merokok," ucap Mizuki tegas tanpa rasa sungkan pada atasannya.
Masumi menarik sudut bibirnya menjadi seringai tipis mendengar permintaan, ralat, perintah Mizuki. Sama sekali tidak peduli dan masih berkutat dengan dokumen di atas pangkuannya.

"Jika hasil pertemuan dengan Maya tidak sesuai dengan harapan Anda, bukan berarti Anda bisa menyakiti diri Anda sendiri seperti ini," lanjut Mizuki masih dengan nada tegas yang sama.

Masumi langsung mengangkat wajahnya dan menatap Mizuki dengan mata menyipit.

"Jangan Anda pikir saya tidak tahu apa yang diinginkan Maya siang tadi," Mizuki benar-benar kesal dengan tingkah kekanakan Masumi. Tidakkah pria dewasa itu memikirkan mengenai kondisinya yang jauh dari kata baik?

"Apa Maya juga mengatakannya padamu?" Dengan enggan Masumi meletakkan putung rokoknya ke dalam asbak.

"Ya," jawab Mizuki singkat.

Masumi meletakkan dokumen yang tadi tengah diperiksanya ke atas meja. Menopangkan kedua siku, Masumi meletakkan dagunya di atas kedua tangannya yang bertaut. "Lalu bagaimana menurutmu Mizuki?"

Mizuki mengernyitkan kening mendengar pertanyaan atasannya. "Apa maksud Anda?"

Masumi menatap tajam sekretarisnya, "Menurutmu apa yang harus aku lakukan?"

Mizuki menghela napas panjang, "Anda ini aneh Tuan Masumi. Bukankah selama ini Anda menghindarinya, jadi untuk apa sekarang Anda bingung? Lagipula kontrak yang Anda buat untuk Maya memang mengijinkannya berhenti kapanpun dia mau. Anda tidak mengikat pemegang Hak Pementasan Bidadari Merah. Secara hukum, Maya bebas," terang Mizuki.

Masumi terdiam, Mizuki benar. Dirinyalah yang membuat Maya sampai pada keputusan ini. Dia yang dulu sudah meminta gadis itu untuk menunggu, dia yang tahu kalau gadis itu mengharapkannya, tapi dia juga yang menghancurkan segalanya. Menghindarinya dengan alasan tidak jelas bahkan meninggalkannya sendiri dengan berhenti menjadi mawar ungu.

Masumi tahu benar kalau gadis itu pasti tengah bersedih. Tapi apa yang bisa dilakukannya? Menyambut perasaan gadis itu hanya akan menambah luka baginya. Tidak! Masumi tidak mau hal itu terjadi. Dia tidak mau Maya semakin terpuruk karena kepergiannya. Yang dia inginkan sekarang adalah kebahagiaan Maya. Dengan ini dia berharap Maya bisa menemukan pria baik lainnya yang bisa menjaga dan menyanyanginya. Jika umurnya panjang maka Masumi berharap masih sempat melihat kebahagiaan gadis itu. Ya, meski tidak di pungkiri dirinya akan merasa sakit melihat Maya dimiliki orang lain tapi setidaknya dia bisa mati dengan tenang jika sudah melihat Maya bahagia.

"Maya ...," tanpa sadar mulut Masumi menggumamkan nama kekasih hatinya.

"Tidak ada pilihan Tuan Masumi," kata Mizuki yang menyadarkan Masumi dari lamunannya, "Anda harus melanjutkan apa yang sudah Anda mulai. Lepaskan dia jika Anda memang tidak menginginkannya," dan dengan kalimat itu Mizuki pergi meninggalkan Masumi yang kembali tenggelam dalam perenungannya.

***
Hijiri diam seribu bahasa begitu mendengar cerita Masumi tentang Maya. Bingung, itulah yang dirasakannya. Disatu sisi dia ingin menceritakan isi hati Maya pada Masumi tapi disisi lain dia tidak mau menghianati kepercayaan Maya yang berpesan padanya untuk merahasiakan semuanya.

"Apa kau juga berpikir kalau semua ini salahku Hijiri?" Tanya Masumi.

Sesaat Hijiri menatap ke dalam mata Masumi, mencoba memahami apa yang sebenarnya tengah dipikirkan sang tuan. Tidak, sebenarnya tidak sulit baginya untuk tahu apa yang menjadi pemikiran seorang Masumi Hayami saat ini. Terlebih jika hal itu menyangkut perasaannya pada seorang gadis, Maya Kitajima. Hanya saja Hijiri tidak tahu bagaimana harus menentukan sikap saat ini.

"Maaf Tuan," ucap Hijiri tenang, "tidak ada alasan bagi saya untuk menyalahkan Anda," lanjutnya.

Masumi tersenyum kecut mendengarnya, "Kau hanya kasihan padaku Hijiri," jawab Masumi dengan nada mencemooh yang terdengar jelas, "aku yakin jauh di dalam hatimu saat ini, kau tengah memakiku sebagai seorang pengecut," Masumi mengalihkan pandangannya dari Hijiri yang tengah tertunduk pada hamparan pemandangan kota Tokyo yang berada di bawah kakinya. Mereka memang tengah berada di atap gedung Daito. Tempat aman bagi keduanya untuk bicara.

"Tidak Tuan, saya tidak akan mengatakan Anda sebagai seorang pengecut," tegas Hijiri kemudian dengan kepala yang masih tertunduk, "bukan satu dua hari saya mengenal Anda."

Masumi diam. Matanya kembali memandang kota Tokyo. "Katakan aku terlalu naif Hijiri. Aku tidak ingin melukainya dan menginginkannya bahagia tapi sepertinya saat ini aku justru melukainya." Masumi menghela napas panjang. "Aku mengharapkan dia bertemu pria lain yang lebih baik dariku. Mencintainya lalu memiliki kehidupan yang bahagia."

"Saat ini Yuu Sakurakoji sedang bersama dengan Nona Maya," lapor Hijiri kemudian.

Bibir Masumi menyunggingkan sebuah senyum kecut, "Begitu ya," lirihnya.

Hijiri mengangkat wajahnya demi mendapati perasaan terluka Masumi yang jelas tergambar melalui pancaran matanya. "Jika Anda memang merasa tidak sanggup melihat Nona Maya bersanding dengan pria lain, kenapa Anda tidak menghentikan semua ini dan memberitahukan yang sebenarnya pada Nona?"

Masumi menggeleng. Tangannya merogoh saku jasnya lalu mengambil sebungkus rokok, bersiap menyalakannya sebelum Hijiri menginterupsi.

"Tolong ingat kondisi Anda, Tuan," sela Hijiri.

"Kau sama saja dengan Mizuki," celetuk Masumi yang sama sekali tidak mengindahkan larangan Hijiri. Dia tetap menyalakan rokoknya lalu menyesapnya dalam-dalam. Hijiri menggeleng pelan melihat sikap Masumi yang menurutnya kekanakan.

"Aku lelah Hijiri," kata Masumi pelan, nyaris menyerupai bisikan namun masih dapat di dengar oleh Hijiri. "Aku pikir mungkin lebih baik jika aku cepat pergi dari dunia ini-,"

"Tuan-,"

"Sstt," Masumi melarang Hijiri memotong perkataannya. Keduanya saling bertukar pandang dengan tatapan tajam. "Tidak ada alasan bagiku untuk tetap tinggal," lanjutnya.

"Andalah yang membuang semua alasan untuk tetap tinggal Tuan Masumi!" Hijiri mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Menahan geram atas pernyataan yang dilontarkan Masumi. Sungguh, urat kesabarannya lama-lama bisa putus juga menghadapi logika bengkok sang atasan juga kekeras kepalaannya yang melebihi batu karang.

Masumi menautkan alis mendengar suara bernada tinggi dari tangan kanan sekaligus sahabat baiknya itu.

"Begitu banyak alasan yang membuat Anda untuk tetap hidup, berjuang untuk sembuh. Tapi Anda membuangnya satu per satu lalu menyerah begitu saja," terang Hijiri dalam satu tarikan napas. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya, "Maaf, sejak awal saya mencoba mengerti pemikiran Anda. Menghargai apapun yang menjadi alasan Anda melakukan semua ini. Tapi bukan berarti saya setuju jika Anda ingin menyerah. Saya ingin Anda hidup, saya ingin Anda berjuang, karena begitulah Masumi Hayami yang saya kenal. Masumi Hayami yang tidak akan menyerah pada keadaan."

Tiba-tiba Masumi terkekeh hingga membuat Hijiri mengerutkan keningnya. "Kau menaruh harapan terlalu besar padaku, Hijiri. Berhentilah sebelum kau kecewa lebih dalam."

Kali ini Hijiri diam seribu bahasa.

"Sudahlah, sejak tadi pembicaraan kita hanya berputar-putar pada topik yang tidak jelas. Terima kasih sudah menemaniku dan terima kasih untuk laporan juga semua kerja kerasmu. Pergilah," usir Masumi tanpa basa basi.

Tahu kalau dirinya tak berhak lagi bicara, Hijiri hanya bisa mengangguk hormat, memberi salam lalu undur diri dengan langkah perlahan. Sejenak melirik ke arah Masumi yang masih bergeming di tempatnya, Hijiri kemudian menghilang di balik pintu.

"Tuhan, salahkah keputusanku?" Kalimat tanya bernada lirih itu hanya di jawab oleh desau angin yang menerpa rambut kelamnya.

***
"Akhirnya kau bangun juga putri tidur."

Maya mengerjapkan mata perlahan dan tersenyum lembut begitu mendapati Koji duduk di seberang sofa tempatnya berbaring.

"Aku pasti ketiduran," kata Maya dengan suara khas bangun tidur.

"Kau butuh cuti Maya," komentar Koji kemudian dan Maya hanya terkekeh.

Aku butuh pekerjaan lebih banyak untuk melupakan semua sakit hatiku, batin Maya. "Kau tidak ada pekerjaan Koji?" Tanya Maya setelah duduk bersandar lalu menatap ke luar jendela, langit sudah berubah gelap. Matanya melirik jam dinding yang menunjukkan angka tujuh.

"Tidak," jawab Koji singkat. Matanya masih setia menatap wajah Maya yang masih tampak sayu. Gadis itu terlalu banyak menyimpan beban, batinnya.

"Kau mau makan malam disini Koji?" Tawar Maya saat merasakan cacing di perutnya mulai meronta.

Koji menaikkan alis mendengar tawaran sang sahabat, "Kau mau memasak makan malam untukku?"

Maya tertawa, "Tidak, tidak, selain itu bisa membuat selera makan kita hilang juga karena aku sudah tidak punya tenaga untuk melakukannya," katanya yang kemudian meraih gagang telepon di meja kecil, di sebelah sofa.

"Ah, ide pintar," Koji terkekeh melihat Maya menunjukkan beberapa brosur restoran yang menyediakan layanan antar. Setelah menentukan pilihan, Maya memesan makan malam untuk mereka.

"Aku ingin mandi, kau bisa menunggunya?" Tanya Maya.

Koji mengangguk tanpa kata dan membiarkan Maya berlalu ke kamarnya. Beberapa detik kemudian, raut wajah penuh senyum Koji berubah menjadi suram. Ingatannya langsung melayang saat Maya tidur dalam pelukannya tadi.

Masumi. Nama itu terus saja dilantunkan Maya tanpa sadar sepanjang tidurnya dengan raut wajah kesakitan. Apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka? Kalimat tanya itu terus bergaung di dalam kepala Koji. Kenapa juga Maya bisa memendam perasaan yang begitu dalam terhadap pria yang terkenal sangat dingin itu?

Suara bel membuat pikiran Koji berhenti berputar. Yakin kalau yang datang adalah layanan antar makan malam mereka, Koji segera membuka pintu. Dan benar saja, sekarang makanan itu sudah tersaji di atas meja makan tepat ketika Maya keluar dari kamar.

"Aromanya membuatku lapar, terima kasih Koji," ucap Maya tulus saat duduk di meja makan.

"Tidak masalah, ayo kita makan," Koji kembali mengembangkan senyumnya. Keduanyapun makan dengan tenang diselingi percakapan ringan seputar pekerjaan mereka akhir-akhir ini. Koji cukup bijak untuk tidak mengungkit drama yang terjadi sore tadi dan Maya bersyukur karenanya.

Dan malam itu keakraban di antara mereka sedikit menghibur Maya.

***
Hari-hari berikutnya Maya disibukkan oleh jadwal padat hariannya. Syuting iklan, wawancara, pemotretan, latihan drama dan berbagai kegiatan lain yang bahkan membuat gadis itu kesulitan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Rasanya semakin cepat aku keluar dari Daito semakin bagus," gumam Maya di tengah perjalanannya menuju studio Daito untuk melakukan pemotretan kontrak iklan terbarunya.

"Jangan berkata seperti itu Nona. Bukankah Tuan Masumi sudah meluluskan keinginan anda untuk mengundurkan diri. Hanya saja memang kewajiban Anda untuk menyelesaikan semua kontrak yang tersisa. Paling cepat dua bulan lagi anda baru bisa lepas dari Daito," terang Yukari, sang menejer.

Maya menghela napas panjang. Dia belum bertemu lagi dengan Masumi sejak pembicaraan mereka satu minggu lalu. Maya sendiri tidak menghubungi Masumi dan membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Hatinya masih terlalu sakit untuk bisa bertemu muka dengan Direktur dingin dan gila kerja itu.

Mobil yang dikendarai Maya memasuki pelataran parkir studio Daito. Selesai dengan instruksi pendeknya, Yukari meminta Maya turun dan segera menuju studio tiga, tempatnya melakukan pemotretan. Keduanya berjalan berdampingan diikuti Maki, asisten Maya.

Langkah kaki Maya tiba-tiba berhenti di ambang pintu masuk ketika matanya menangkap sosok yang saat ini tidak ingin ditemuinya. Masumi. Pria itu tampak begitu serius berbicara dengan beberapa staf juga fotografer. Entah apa yang dibicarakannya tapi melihat ekspresi wajah orang-orang itu, Maya yakin kalau sesuatu pasti sudah terjadi.

"Nona?"

Maya menoleh ke arah Yukari.

"Anda harus segera bersiap. Setelah pemotretan ini selesai, giliran Anda," Yukari mengingatkan Maya yang masih bergeming.

Dengan berat hati Maya melanjutkan langkahnya menuju ruangan yang sudah dipersiapkan untuknya. Maya pura-pura tidak melihat ketika Masumi tampak terkejut melihatnya melewati jajaran staf yang sedang diceramahi Masumi. Dengan langkah lebih cepat Maya bergegas menuju ruangannya.

"Maki, bisa tolong bawakan aku secangkir kopi?" Maya menghempaskan tubuhnya di kursi meja rias lalu memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Baik Nona," Maki bergegas keluar ruangan menuju pantry.

"Anda baik-baik saja?" Yukari menyipitkan mata menatap sang nona.

"Tidak, aku tidak baik," jawab Maya terus terang, "tapi jangan bertanya kenapa," tegas Maya kemudian.

Yukari mengangguk tanda mengerti. Sebenarnya bukan dia tidak tahu sebab Maya langsung murung, dia hanya ingin memastikannya. Yukari juga terkejut saat melihat Masumi ada di lokasi pemotretan. Sedikit banyak dia bisa melihat kalau sang Nona memiliki hubungan khusus di luar pekerjaan dengan direktur Daito yang terkenal dingin itu dan entah kenapa sepertinya hubungan rahasia itu sedang bermasalah. 

Hijiri sendiri sebagai atasan rahasianya tidak memberitahukan apapun perihal masalah itu dan Yukari masih cukup waras untuk tidak bertanya lebih jauh atau pekerjaannya menjadi taruhan. Oh tidak, Yukari sungguh bersyukur bisa menjadi menejer aktris besar seperti Maya dan dia belum siap kehilangan kontrak kerjanya yang berharga itu. Jadi, diam adalah emas baginya. Maki kembali dengan membawa secangkir kopi panas.

"Terima kasih Maki," Maya menenangkan dirinya dengan secangkir kopi sementara Maki menyiapkan semua perlengkapan untuk pemotretan. 

Butuh waktu satu jam bagi Maki untuk merias Maya. Pemotretan kali ini bertema klasik dimana Maya tampil sebagai wanita muda nan elegan. Foto yang rencananya di cetak hitam putih sebagai cover majalah fashion bulan depan itu akan menampilkan sosok Maya sebagai model fashion terbaru rancangan desaigner ternama. Make up pucat yang dikenakan Maya tak membuat wajahnya tampak sayu tapi justru memunculkan kesan natural dan menonjolkan sisi polos juga sederhana seorang Maya Kitajima.

Setidaknya ada lima buah pakaian yang harus dikenakan Maya untuk pemotretan kali ini dan semuanya sudah tergantung rapi di sudut ruangan. Maki hanya tinggal menata rambut sesuai dengan pakaian yang akan dikenakan nanti. Selesai dengan make up dan rambut, Maki meminta Maya untuk mengenakan pakaian pertamanya. Tepat ketika semua selesai, pintu ruangan Maya di ketuk dan Yukari segera membukanya.

“Tuan Masumi,” Yukari menyapa penuh hormat pada Direktur Daito yang kini tengah berdiri di depannya. Sebisa mungkin Yukari menetralisir rasa terkejut dari wajahnya. Maya sendiri langsung menegang mendengar nama Masumi disebut. Reflek dia menoleh ke arah pintu yang terbuka.

“Aku ingin bicara dengan Maya,” kata Masumi tanpa basa-basi dan tanpa meminta ijin juga, dia langsung masuk ke dalam ruang ganti Maya, “berdua,” lanjutnya dengan penekanan yang terdengar jelas begitu dirinya berada tak jauh dari tempat Maya berdiri di depan cermin riasnya.

Yukari dan Maki terlihat bingung lalu saling bertukar pandang sebelum Maya meminta mereka berdua untuk keluar. Tak ada bantahan, keduanya menurut dan berjalan ke luar ruangan lalu menutup pintu perlahan.

“Ada perlu apa sampai Anda repot menemui saya Tuan Masumi?” tanya Maya tanpa repot-repot berbalik. Dia menatap Masumi dari cermin besar di depannya seraya berpura-pura sibuk memperbaiki make up.

“Kau masih aktrisku Maya. Apa salah kalau aku ingin bertemu aktrisku dan melihat perkembangannya?” jawab Masumi datar. Mengabaikan sikap dingin Maya, Masumi menarik kursi di sebelah Maya lalu mendudukkan dirinya disana. Dalam hati Masumi merutuki dirinya sendiri yang tanpa pikir panjang menemui Maya. Gadis itu seolah magnet yang tidak dapat di tolak dan Masumi tidak munafik untuk mengakui kalau dirinya merindukan sosok mungil yang adalah pujaan hatinya itu.

“Aktris Anda?” kata Maya dengan nada mencemooh. Meletakkan bedaknya, Maya duduk di kursi dengan tenang. Keduanya masih saling menatap melalui cermin.

“Kau menghindariku?” Entah apa yang dipikirkan Masumi saat ini. Pertanyaan itu terus menggelitiknya selama seminggu belakangan. Maya benar-benar mengabaikannya setelah sebelumnya selalu meminta bertemu. Ya, sebenarnya Masumi tahu kenapa. Saat ini dia benar-benar seperti remaja labil yang bingung harus berbuat apa.

“Ya,” jawab Maya tegas, “bukankah ini yang Anda inginkan?” sinis Maya. Hatinya sungguh merasa perih dengan kenyataan yang harus dihadapinya saat ini. “Anda tidak perlu repot mengurusi saya. Nona Mizuki, sekretaris andalan Anda, sudah cukup untuk mengurus semuanya untuk saya. Bahkan menejer dan asisten saya juga bekerja dengan baik. Saya tidak akan mengganggu waktu Anda yang berharga apalagi sampai merepotkan Anda, Tuan Masumi.”

Masumi menghela napas perlahan setelah sesaat menahan napas karena merasa nyeri pada bagian perutnya. Meski begitu ekspresinya tetap terlihat tenang. Dia tahu saat ini Maya sedang marah.

“Maya, aku-,” Masumi menelan kembali kata-kata yang hampir terucap dari mulutnya saat tiba-tiba Maya menoleh dengan tatapan tajam.

“Jangan bertanya kenapa aku bersikap seperti ini,” tegas Maya, “Masumi, kau sudah memutuskan semuanya. Untuk apa pura-pura peduli padaku jika sebenarnya kau sama sekali tidak mengharapkan keberadaanku?” lanjutnya dengan ekspresi terluka yang terbaca jelas. Maya menanggalkan semua sopan santun dan etikanya. Saat ini dia berbicara sebagai seorang Maya bukan sebagai seorang aktris dengan atasannya.

Masumi tertohok dengan kalimat itu. Lidahnya kelu untuk melantunkan kata maaf atau alasan dibalik semua tindakannya.

“Aku menunggumu,” lirih Maya kemudian, wajahnya menyendu dengan sudut mata yang basah. Masumi kembali terjegil dalam kebisuannya. “Aku menunggumu,” ulang Maya dengan suara yang mulai pecah, “tapi apa yang aku dapat dari semua penantian itu? Jangan memberiku harapan kalau kau memang tak menginginkanku,” dan kalimat itu sukses membuat isakan Maya pecah. Maya memeluk dirinya sendiri yang kini gemetar menahan rasa sakit di dalam hatinya.

Hati Masumi tersayat dengan pengakuan Maya. Dia tahu bahwa apa yang dilakukannya menorehkan luka dalam bagi gadis itu. Janjinya saat mereka di atas Astoria hanya tinggal sebuah bualan. Karena ternyata sampai saat ini Masumi sama sekali tak berniat untuk menepatinya. Bahkan sejak pertunangannya batal, Masumi terus menghindari gadis itu. Membiarkan Maya tersiksa dengan penantiannya dan menyakitinya dengan harapan palsu. Masumi masih diam menatap Maya yang masih terisak.

“Aku tidak pernah tahu kalau mencintai itu sakit, sampai aku bertemu denganmu. Dan jangan salahkan aku, kalau akhirnya aku menjauh untuk menyembuhkan lukaku,” kalimat penuh luka yang diucapkan Maya itu benar-benar membuat hati Masumi hancur.

Inilah konsekuensi yang harus di tanggung Masumi. Kehilangan gadis yang sangat dicintainya. Salah jika Maya menganggap hanya dirinya yang terluka karena faktanya Masumi merasakan sakit yang sama bahkan jauh lebih sakit, berkali-kali lipat. Dalam hati Masumi merutuki ketidak berdayaannya.

Maya berteriak dengan suara parau saat Yukari mengetuk pintu dan mengingatkannya tentang jadwal pemotretan. Meraih tissue di atas meja, Maya menyeka air matanya. Tak ada lagi kalimat yang terucap dari bibir Maya saat gadis itu akhirnya beranjak dari kursi lalu berjalan ke arah pintu.

“Maaf,” suara bernada berat itu keluar dari bibir Masumi. Direktur Daito yang terkenal dingin itu kini hanya bisa menunduk dalam di kursinya.

Maya yang tangannya sudah memutar handle pintu sempat terdiam namun beberapa detik kemudian pintu terbuka dan debaman keras dari pintu yang tertutup menjadi pengakhir segalanya. Tidak ada maaf. Masumi tenggelam dalam rasa sakit dan penyesalan.

Detik berikutnya menjadi penyiksaan yang nyata bagi seorang Masumi. Saat rasa sakit tak tertahan itu kembali datang dan membuatnya mengerang. Dalam hati Masumi berharap kali ini dia benar-benar bisa pergi meninggalkan dunia. Sebuah nama lolos saat kesadarannya semakin menipis dan kegelapan menelannya ke alam damai.

“Maya ….”

***
>>Bersambung<<
>>Heart - Chapter 3<<

Follow me on :
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

8 Comments

  1. Holaaa, holaaa, apa kabar MM lover tercintahhh?
    Ada yang menunggu apdetan?
    Silakan baca aja deh buat yang suka, ini moment yang nyesek menurutku, hiks, haiyah, heheheee
    Jangan lupa komennya. arigatou

    ReplyDelete
  2. Huhuhuhuhu mba agnes masumi sakit apa?������������

    ReplyDelete
  3. Woahhh... Masumi atittttt... Hiksss

    ReplyDelete
  4. Ya ampuuuun kok menyedihkan gini siiiiih hiks. Masumi sakit apaa?

    ReplyDelete
  5. Lanjuttttttttttt... 😂😂😂

    ReplyDelete
  6. Sedihhhhhh😢😢😢😢😢
    Ayo lanjutkan mba Agnes... cusss yahh buruannn 😢😢😢

    ReplyDelete
  7. Salam kenal mba Agnes...sy baru liat blog mba Agnes nich jadi baca maraton semuanya....trima kasih ya mba..suka semua tulisan mba...hebat jadi bisa mengobati rasa penasaran kelanjutan cerita aslinya...semangat terus ya mba...

    ReplyDelete