Duduk di sofa single di kamarnya, Maya memandangi cincin
platina berhiaskan permata ungu dengan ukiran indah yang melingkar di jari
manisnya. Sesekali menghela napas panjang, entah sudah berapa lama dia
melakukannya, seolah matanya terpatri secara permanen pada kilauan berlian di
jemarinya.
"Jangan dipikirkan," sebuah usapan lembut di puncak
kepala Maya membuatnya tersadar kalau dia tak lagi sendiri. Sepasang mata
coklatnya langsung bertemu dengan sepasang iris gelap milik suaminya yang kini
sudah mendudukkan dirinya di lengan sofa dengan tangan bersandar di bahunya.
"Jangan dipikirkan," lagi-lagi kalimat itu
diucapkan Masumi. Seolah dia tahu apa yang tengah dipikirkan oleh istrinya
sejak tadi sampai-sampai mengabaikan dirinya yang sudah masuk ke kamar sejak
sepuluh menit yang lalu.
"Aku hanya, ehm, tidak yakin," jawab Maya lirih.
Keraguan jelas terlihat di matanya bahkan tak tertinggal dalam nada suaranya.
"Hei," Masumi sekarang berlutut di hadapan
istrinya, menggenggam tangannya, berusaha menyalurkan ketenangan padanya,
"aku berjanji semua akan baik-baik saja."
"Tapi Masumi, aku tidak keberatan kalau harus
menyembunyikan semua ini," Maya terdiam, merasa tidak nyaman dengan
perkataannya sendiri, "untuk sementara waktu," lanjutnya.
"Aku tidak akan menyembunyikanmu," ucap Masumi
dengan penuh penekanan pada setiap katanya, "tidak lagi," tegasnya
kemudian.
Maya membuka mulutnya hanya untuk menutup kembali, tidak ada
kata terucap atau bantahan yang bisa dilontarkannya.
"Sudah cukup Maya. Cukup aku menyakitimu selama ini,
sekarang ijinkan aku untuk menebusnya. Aku ingin membahagiakanmu, sebagai
istriku bukan simpananku."
Hati Maya seolah dirambati oleh sulur kebahagian namun disaat
yang bersamaan juga merasakan sakit yang entah bagaimana mendiskripsikannya.
"Aku takut," lirih Maya. Hanya kata itu yang saat
ini bisa mewakili sedikit dari beribu rasa yang berkecamuk di dalam hati dan
pikirannya.
"Sshhh," Masumi berdiri dengan lututnya lalu
merengkuh Maya ke dalam pelukannya, membenamkan wajah cantik yang kini tampak
sendu itu ke dada bidangnya, "aku tahu," bisik Masumi di puncak
kepala Maya.
Keduanya terdiam. Tenggelam dalam pemikiran masing-masing
seraya menikmati hangatnya dekapan satu sama lain. Masumi mengerti, sangat
mengerti dengan apa yang menjadi ketakutan istrinya. Satu hal yang sampai saat
ini belum berhasil Masumi lakukan, meyakinkan istrinya, bahwa semuanya akan
baik-baik saja, bahwa dirinya akan selalu ada untuk Maya, bahwa seorang Masumi
takkan pernah membiarkan Maya nya terluka dan tersakiti.
Meski sumpah setia pernikahan itu sudah diucapkan Masumi,
meski dirinya sudah berjanji bahwa tidak akan pernah meninggalkan seorang Maya
tapi tetap saja ketakutan itu masih saja menggelayuti hati dan pikiran
istrinya. Masumi mengerti, lebih dari mengerti tapi kali ini Masumi tidak akan
menyerah pada keinginan Maya. Dia akan menunjukkan pada dunia bahwa Maya adalah
miliknya yang paling berharga, bukan status keluarganya, bukan jabatan
direkturnya ataupun perusahaan entertainment terbesarnya tapi Maya, Maya lah yang
paling penting dan berharga baginya.
"Dengar sayang," Masumi mengusap lembut punggung
istrinya, "aku tahu semua tidak akan semudah yang aku janjikan tapi
percayalah aku akan mengusahakan yang terbaik, untuk kita. Karena itu aku butuh
dukunganmu, tetaplah kuat di sisiku, kita akan menghadapi semua ini
bersama," Masumi terus mengusap punggung istrinya, menyalurkan ketenangan
sementara dirinya mencoba kembali -entah untuk yang keberapa kalinya sejak
mereka menikah- meyakinkan Maya atas semua rencana yang sudah disusunnya.
"Aku hanya tidak mau kau-,"
"Sshh," Masumi menyela, menghentikan belaiannya dan
mengeratkan pelukannya pada Maya, membenamkan sebuah kecupan sayang di puncak
kepala istrinya, "seperti dirimu yang tidak mau aku terluka, begitupun
denganku sayang. Kau istriku sekarang dan aku akan memperlakukanmu sebagaimana
mestinya."
Maya mengangguk pelan dalam dekapan Masumi yang langsung
disambut senyum oleh sang suami.
"Jadi-," Masumi merenggangkan pelukannya dan
menaikkan dagu istrinya untuk mereka bertukar pandang.
"Aku mengerti," sela Maya, "aku akan tinggal
disini bersamamu. Lagipula semua barang di apartemenku sudah kau pindahkan ke
sini, tidak mungkin juga aku kembali ke sana. Aku akan menurut apa yang kau
katakan."
Masumi tersenyum lega, "Aku senang mendengarnya."
Maya mengangguk, tersenyum lebar pada suaminya.
Masumi beranjak dari tempatnya dan kini duduk di sebelah
Maya, di tepi tempat tidur.
"Aku pasti akan kesepian saat kau kembali ke Kyoto malam
nanti," ucapnya kemudian.
Maya tertawa, pertama kalinya sejak mereka bangun pagi tadi,
"Hanya satu minggu, setelah itu kau pasti akan bosan karena setiap hari
melihatku."
"Kau tahu itu tidak mungkin," elak Masumi.
Kembali suara tawa Maya pecah, mengisi kesunyian yang tadi
menggelayut di kamar mereka, "Gombal."
Giliran Masumi yang terkekeh senang, "Tidak ada yang
salah kalau aku menggombali istriku sendiri."
"Ah, kau membuatku kelaparan Tuan Hayami," Maya
tiba-tiba mengganti topik pembicaraan mereka, tahu kalau dirinya akan kalah
jika Masumi sudah dalam mode raja gombalnya.
Melihat ke luar jendela kaca, Masumi baru sadar kalau saat
ini matahari sudah berada di atas kepala. Ternyata pembicaraan mereka
berlangsung cukup lama.
"Kau ingin makan apa?" Tanya Masumi seraya beranjak
dari tepi tempat tidur dan mengikuti langkah Maya menuju pintu.
"Aku akan lihat apa yang kita punya untuk untuk makan
siang," jawab Maya tanpa menatap suaminya, "aku peringatkan untuk
tidak meminta makanan yang sulit karena kau sendiri tahu bagaimana kemampuanku,
Tuan Hayami," Maya sedikit menolehkan kepalanya seraya mengacungkan
telunjuk ke udara yang sukses membuat Masumi kembali tergelak.
Tentu Masumi tahu betapa ‘mahirnya’ istrinya itu di dapur
mengingat pagi tadi dirinya harus rela untuk sarapan dengan semangkuk sereal
karena sup miso buatan Maya terlalu asin untuk dipaksakan sebagai menu pagi
mereka. Tapi tidak, Masumi tidak pernah keberatan dengan hal itu. Maya dan
segala apa yang ada padanya adalah sempurna di mata Masumi.
Brak!
Maya terkejut saat dirinya yang memutar handle pintu di cegah
oleh Masumi. Membuat pintu yang sudah terbuka kembali menutup dengan keras.
Maya kini terperangkap antara pintu dan kedua lengan Masumi di sisi wajahnya.
Tubuhnya reflek tersentak saat punggungnya bersentuhan dengan dada bidang
Masumi. Sungguh meski sejak kemarin -entah sudah berapa kali- mereka terus saja
bersentuhan secara intim, tetap saja Maya masih merasa canggung ketika Masumi
berada begitu dekat dengannya.
"Ku harap kau makan dengan baik karena aku mau hidangan
penutup yang spesial untuk makan siang kita," bisik Masumi di sebelah
telinga Maya.
Otomatis wajah Maya memerah dan dengan cepat warna merah itu
menjalar ke telinganya.
"Aww!"
Siku Maya yang mendarat di rusuk Masumi sukses membuat
suaminya itu mengaduh dengan tidak elit meski kemudian terkekeh saat sang istri
membuka pintu dengan kasar dan berlari ke dapur dengan kecepatan tinggi.
Sungguh Masumi tidak akan pernah bosan menggoda istri mungilnya.
***
"Apa maksudmu Masumi belum kembali?" Suara datar
namun sarat kemarahan itu menggelitik telinga Hijiri. Sungguh dalam hati dia
mengumpat ketika pagi tadi, saat dirinya tengah sibuk menyelesaikan pekerjaan
Masumi yang terbengkalai, Eisuke datang menemuinya tanpa pemberitahuan.
"Maaf Tuan Besar, tapi pekerjaan di Kyoto ternyata
meleset dari perkiraan kami. Ini adalah hari terakhir Tuan Masumi di Kyoto,
malam ini beliau sudah kembali ke Tokyo," jawab Hijiri, tidak sepenuhnya
berbohong karena memang malam ini Masumi akan kembali. Ya, walaupun sebenarnya
tuannya itu sekarang berada di kondominium barunya di Tokyo dan nanti malam
helikopter akan membawa Nyonya mudanya kembali ke Kyoto untuk menyelesaikan
syuting film.
Eisuke menyipitkan mata menatap Hijiri yang dengan tenang
memandangnya. Entah karena bawahannya itu sudah terlalu mahir dalam menyembunyikan
ekspresi atau dirinya yang sudah terlalu tua untuk bisa menilai tapi yang jelas
Eisuke gagal menemukan kecanggungan karena berusaha berbohong padanya. Lulus
sensor, Hijiri berhasil meyakinkan Eisuke.
"Apa ada yang terjadi selama aku pergi terapi?"
Tanya Eisuke kemudian, menyerah untuk meragukan penjelasan tangan kanannya,
yang tanpa dia duga sudah beralih kesetiannya.
"Sejauh ini semua berjalan dengan baik seperti apa yang
sudah saya laporkan pada anda kemarin," jawab Hijiri tenang.
"Hm," Eisuke terdiam, tampak menimbang sesuatu,
"gadis itu juga sedang syuting di Kyoto bukan?" Tanyanya kemudian.
Hijiri berusaha untuk tidak terkejut dengan pertanyaan tuan
besarnya. Dia cukup paham dengan cara kerja Eisuke yang tidak akan percaya
begitu saja padanya dan memiliki mata-mata lain untuk mencocokkan laporan yang
diperolehnya.
"Jika yang anda maksud adalah Nona Kitajima, ya, dia
sedang syuting di Kyoto," jawab Hijiri.
"Rupanya anak itu belum menyerah," gumam Eisuke
geram.
Hijiri bersyukur dengan geraman yang didengarnya. Setidaknya
Eisuke berpendapat bahwa Masumi sengaja mengejar Maya ke Kyoto, ya tidak ada
yang salah dengan itu, tapi mengingat fakta bahwa keduanya sekarang sudah
menikah, Hijiri bersyukur pada siapa saja yang menjadi mata-mata Eisuke karena
kebodohannya. Rencana Masumi tetap tersimpan aman.
"Terus amati perkembangan Masumi. Cih, aku ingin anak
itu bisa kembali pada Shiori, bagaimanapun caranya," Eisuke benar-benar
tampak kesal sekarang. Obsesinya untuk membuat Masumi dan Shiori rujuk kembali
ternyata belum juga surut. Dalam hati Hijiri tertawa sekaligus merasa kasihan
pada pria tua yang terus saja di perbudak oleh obsesi gilanya.
"Baik Tuan Besar," Hijiri mengangguk hormat begitu
Eisuke berputar pada kursi roda dan meninggalkan ruang kerjanya. Pintu kantor
yang tertutup langsung disambut desahan lega sang wakil direktur.
"Melelahkan," gumamnya seraya menghempaskan dirinya
di kursi kerja, memijat pelipisnya yang berdenyut. Beberapa detik kemudian
senyum tipis menghiasi wajahnya ketika pintu kantornya kembali terbuka.
"Terima kasih," ucapnya saat secangkir kopi
mendarat mulus di mejanya, dibawa oleh seorang wanita yang selalu menjadi bunga
mimpinya entah sejak kapan.
"Apa Tuan Besar curiga?" Tanya Mizuki tanpa
basa-basi, mengabaikan ekspresi senang dan senyum atasannya.
Hijiri meraih cangkir kopi dan menikmatinya dengan tenang,
memberi jeda kesunyian di antara mereka. Tiga kali tegukan dan Hijiri kembali
meletakkan cangkirnya.
"Kau pasti sudah bisa menebaknya kan?" Katanya
kemudian.
Mizuki menghela napas lelah, memutar tubuh pada tumitnya,
Mizuki hendak melangkah ke pintu sebelum sebuah panggilan menghentikannya.
"Mau kemana?" Tanya Hijiri yang seolah tidak rela
kekasih hatinya pergi begitu saja.
Mizuki mengerutkan keningnya, "Tentu saja kembali bekerja. Anda tidak berharap saya disini dan mengobrol seharian bukan?"
Mizuki mengerutkan keningnya, "Tentu saja kembali bekerja. Anda tidak berharap saya disini dan mengobrol seharian bukan?"
"Ide bagus," jawab Hijiri tenang diiringi dengan
senyum manisnya.
Mata Mizuki membulat dan layaknya remaja yang merajuk, dia
menghentakkan kaki menuju pintu, kesal dengan Hijiri yang selalu menggodanya.
Hijiri sendiri hanya terkekeh ringan melihat tingkah Mizuki yang sangat-sangat
jarang itu. Sebuah kebanggaan tersendiri baginya melihat Mizuki bisa
menunjukkan sisi lain dirinya yang tidak pernah dilihat orang.
***
"Nghh, Masumi, hentikan," rengek Maya seraya
menjauhkan bahunya dari kecupan suaminya.
Mustahil karena saat ini Maya sedang duduk diantara ke dua
kaki suaminya yang terjulur di atas karpet beludru di ruang keluarga. Tubuh
mungil Maya di dekap oleh kedua lengan kokoh Masumi.
"Kenapa?" Bisik Masumi seduktif tanpa berniat
menuruti keinginan istrinya.
"Sebentar lagi Masato datang, jangan buat aku terlihat
berantakan," kata Maya beralasan.
Masumi terkekeh. Ya, hobi baru Masumi sejak mereka menikah
kemarin adalah menggoda Maya dan selalu sukses membuat istrinya itu bertekuk
lutut juga, ahhh, rasanya tidak perlu dijelaskan lagi. Tidak salah kalau
sekarang Maya menolak, mengingat saat ini dirinya sudah rapi karena menunggu
Masato yang akan menjemputnya untuk kembali ke Kyoto. Waktu dua harinya sudah
selesai dan besok, Maya harus kembali menjalankan pekerjaannya.
"Aku pasti akan sangat merindukanmu," bisik Masumi
seraya menyandarkan dagunya di bahu mungil Maya.
"Hhmm," sang istri hanya menggumam setuju.
"Berjanjilah untuk merindukanku Maya," bisik Masumi
yang langsung disambut tawa renyah Maya.
"Jangan konyol Masumi, permintaan macam apa itu?"
Ucap Maya di tengah tawanya.
"Kau tidak mau merindukanku?" Masumi terlihat
tersinggung dan Maya justru semakin tergelak dengan sikap kekanakan Masumi.
"Kemana Tuan Hayami-ku yang sangat berwibawa itu?"
Goda Maya, "Kau terlihat seperti remaja SMA yang takut kehilangan cinta
pertamanya," Maya kembali tergelak.
"Apa begitu?" Masumi menautkan alisnya ketika Maya
memutar tubuhnya dan kedua manik mata mereka bertemu. Maya mengangguk.
"Ah, salahkan dirimu. Kenapa aku harus memiliki istri
menggemaskan sepertimu yang membuatku tidak pernah ingin jauh darimu,"
kata Masumi kemudian seraya mengacak rambutnya sendiri.
"Kau menggerutu?" Tanya Maya yang kini sudah duduk menghadap
suaminya.
"Tidak,"
"Lalu? Kelihatannya kau keberatan dengan frasa 'istri
menggemaskan',"
"Terlalu berat membagimu dengan dunia ini sayang,"
Masumi menyentuhkan hidungnya dengan hidung mungil Maya, memiringkan kepalanya
lalu mendaratkan sebuah kecupan di belahan bibir kenyal merah muda istrinya.
"Hal yang sama berlaku untukmu," bisik Maya didepan
bibir suaminya.
Masumi tersenyum, "Aku bisa pastikan kalau hanya kau
yang berhak atasku."
Maya tersenyum dan kali ini berinisiatif mengecup lebih dulu
bibir suaminya, "Begitupun denganku."
Keduanya kemudian berbagi pelukan, menyatakan apa yang baru
saja mereka utarakan, bahwa mereka saling memiliki satu sama lain.
Suara bel menyela kebersamaan mereka dan tidak perlu bertanya
siapa yang datang. Masato pasti sudah siap membawa Maya dengan helikopternya.
"Sudah waktunya," ucap Maya.
Masumi mengangguk, "Jaga dirimu. Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu."
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Masumi
memacu mobilnya, menerjang gelap malam menuju rumah besarnya. Sebenarnya, dia
tidak ingin kembali ke rumah besar yang terlihat selalu dingin itu, terlebih
sekarang dirinya tinggal seorang diri. Akan lebih menyenangkan kalau Masumi
menghabiskan waktu di kondominium barunya dimana dia mempunyai banyak harapan
kebahagiaan disana. Tapi apa daya kalau harapan indahnya terkadang tidak bisa
terwujud begitu saja. Sore tadi Hijiri sudah melapor padanya tentang inspeksi
mendadak ayahnya ke kantor.
Masumi berjanji akan mengutuk siapa saja yang menjadi mata-mata
ayahnya itu hingga membuat sang Eisuke harus pulang lebih cepat dari jadwal
terapi yang seharusnya. Sementara ini dirinya harus mengatur strategi agar
tidak menuai kecurigaan dari sang ayah. Meski sebenarnya Masumi tahu kalau
kepergiannya ke Kyoto sudah membuat ayahnya kesal.
Bukan rahasia lagi bagi Eisuke kalau putra angkat semata
wayangnya itu terobsesi begitu dalam dengan Bidadari Merah. Mungkin itu adalah
karma yang harus ditanggung oleh pria penyandang nama Hayami, mengingat dosa
besar yang pernah dilakukan Eisuke di masa lalu. Baiklah, lupakan tentang semua
itu, Masumi kini tengah sibuk memikirkan beberapa rencana sementara matanya
tetap berusaha fokus pada jalan di depannya.
Masumi memarkirkan mobilnya di garasi dan dua orang
pelayannya menyambut di pintu masuk. Masumi menatap heran keduanya.
"Istirahatlah Bi, ini sudah malam," perintah
Masumi.
"Maaf Tuan, anda di tunggu oleh Tuan Besar di kamar
tamu," kata seorang pelayan yang lebih senior seraya membungkukkan
tubuhnya. Keiko, kepala pelayan yang baru menggantikan Takigawa yang sudah
pergi bersama Shiori.
Masumi tidak terkejut dan hanya menghela napas panjang
menanggapinya.
"Apa anda akan menemui Tuan Besar sekarang?" Keiko
memberanikan diri untuk bertanya ketika Masumi tak juga merespon laporannya.
"Nanti, aku mau mandi, tolong siapkan air panas."
Perintah Masumi kemudian.
Keiko memberi perintah pada pelayan di sebelahnya dan
membiarkan tuannya masuk ke kamar utama sementara dirinya memberikan laporan
pada Eisuke tentang kepulangan Masumi.
Mandi membuat Masumi lebih segar. Rasa lelahnya hilang
seketika begitu mengingat ayahnya yang pasti sedang menunggunya. Tidak mau
mengulur-ulur waktu lagi, Masumi segera menemui Eisuke dan menyelesaikan apa
yang seharusnya diselesaikan sejak dulu.
"Akhirnya kau pulang juga."
Kalimat sarat ironi itu langsung menyambut Masumi ketika
dirinya dipersilakan masuk ke kamar tamu oleh Keiko. Wanita paruh baya itupun
segera meninggalkan kamar begitu Masumi menolak tawarannya untuk membuatkan
secangkir kopi. Dengan tenang Masumi duduk di kursi yang berhadapan dengan
kursi roda ayahnya. Tidak melihat adanya Asa di kamar membuat Masumi yakin
kalau Eisuke sedang dalam mode seriusnya.
"Bagaimana kabar ayah? Apakah terapinya lancar?"
Tanya Masumi basa-basi.
"Ck, hentikan omong kosongmu Masumi," jawab Eisuke
datar.
Masumi menyeringai tipis, "Apakah sebuah omong kosong
jika seorang anak mengkhawatirkan kesehatan ayahnya?"
"Bukankah kau lebih senang jika aku tidak sehat? Atau
bahkan mati?" Lagi-lagi kalimat sarkasme itu keluar dari bibir Eisuke.
Tidak adanya orang di kamar itu membuat ayah dan anak itu tidak perlu menjaga
image mereka karena nama Hayami. Kekesalan Eisuke akan pembangkangan Masumi
membuatnya tak sudi untuk sekedar basa-basi dengan anak angkatnya itu.
"Katakan padaku apa yang kau lakukan di Kyoto selama
empat hari?"
"Apa yang ayah tahu mengenai apa yang aku lakukan di
Kyoto?"
Masumi justru balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan
yang dilontarkan ayahnya. Eisuke mengepalkan kedua tangannya geram di atas
lengan kursi roda.
"Aku memerintahkanmu untuk membujuk Shiori agar kembali
rujuk denganmu. Kenapa kau justru pergi menemui gadis itu, hah?"
"Berapa kali lagi harus aku katakan agar ayah mengerti.
Aku tidak mencintai Shiori, ini adalah keputusan terbaik bagi kami."
"Jangan menguji kesabaranku Masumi!" Hardik Eisuke,
"Aku mengangkatmu sebagai anak bukan untuk membantahku tapi untuk
melakukan perintahku!"
Masumi menyeringai. Kata-kata yang diucapkan Eisuke melukai
hatinya. Kalau boleh memilih, sungguh Masumi tidak ingin menyandang nama
Hayami. Betapapun Fujimura bukanlah keluarga orang terpandang, paling tidak
dirinya pasti bisa lebih bebas hidup dengan nama itu. Nama Hayami hanya membawa
luka pada hatinya dan membuatnya kehilangan orang yang paling berharga dalam
hidupnya, ibunya. Kali ini Masumi tidak akan menyerah. Tidak peduli dengan nama
Hayami atau apapun itu, dia tidak akan melepaskan orang tercintanya lagi. Tidak
akan, meski nyawa yang menjadi taruhannya.
"Keputusanku sudah bulat ayah, apapun
konsekuensinya," tegas Masumi.
Seketika Eisuke terbahak, seolah apa yang diucapkan Masumi
adalah sebuah lelucon.
"Kau terlalu percaya diri Masumi! Kau pikir bisa semudah
itu lepas dariku, huh?!"
Masumi menahan diri untuk tidak meledak saat mendengar
ancaman ayahnya. Dia harus tetap tenang untuk bisa menghadapi Eisuke.
"Jadi kau sudah putuskan untuk tetap mengejar gadis
itu?" Tanya Eisuke setelah tawanya mereda dan Masumi tak kunjung
menanggapi perkataannya.
"Aku tidak akan pernah melepaskannya," tegas Masumi
lagi.
"Baiklah, kalau begitu kau sudah mengibarkan bendera
perang denganku," Eisuke menyipitkan matanya menatap Masumi,
"pergilah, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."
"Selamat malam ayah," Masumi segera beranjak dari
duduknya. Di dalam kepalanya sudah terbayang berbagai rencana untuknya dan
Maya. Setidaknya Masumi masih memiliki waktu untuk mempersiapkan segalanya
karena beruntung ayahnya belum tahu mengenai pernikahannya. Tidak lama lagi,
akan tiba waktunya Masumi menyatakan semuanya.
"Masumi!"
Langkah Masumi terhenti tepat di depan pintu. Berbalik,
Masumi mendapati ayahnya yang menatapnya tajam.
"Jaga barang kesayanganmu itu dengan baik karena barang
serapuh itu pasti akan pecah jika tersentuh."
Masumi masih sempat menyeringai sebelum membalas perkataan
Eisuke, "Aku mengerti."
***
Siang yang terik di taman kota, Kyoto. Kru film dan para
aktor juga aktris Daito entertainment sedang sibuk menyelesaikan proses syuting
mereka. Terlebih lagi Maya. Setelah absen selama dua hari, sekarang Maya
disibukkan dengan jadwal syuting yang semakin padat. Tapi tak salah gelar aktris
terbaik yang disandang oleh Maya. Dengan kepiawaiannya dalam berakting, scene
demi scene dapat diselesaikan dengan baik oleh Maya tanpa kendala yang berarti.
Sutradara meneriakkan kata break lima belas menit dan Maya segera menghempaskan
dirinya di kursi hitam tempatnya beristirahat.
"Hari yang berat?" Tanya Koji yang kemudian duduk
di sebelah Maya.
"Hhmm, Tuan Himekawa sudah menyiksaku sejak pukul lima
pagi," gerutu Maya sebelum menghabiskan setengah botol air mineral yang
diberikan oleh Midori.
"Ku pikir itu setimpal dengan libur dua harimu,"
goda Koji seraya tertawa.
Otomatis wajah Maya merona merah karena malu dan kedatangan
Ayumi semakin memperparah keadaan Maya.
"Hentikan, jangan menggodaku terus," rengek Maya.
Ayumi dan Koji juga Midori justru semakin tergelak dibuatnya.
"Jadi kapan kau akan mengumumkan pernikahan
kalian?" Tanya Ayumi.
Maya mengendikkan bahu, "Entahlah, Masumi bilang dia
sudah punya rencana dan aku hanya tinggal mengikutinya, yang jelas dia
melarangku menyembunyikan cincin ini," jelas Maya sambil mengangkat
tangannya dan memperlihatkan jemarinya yang dilingkari cincin indah bertahtakan
berlian mahal.
"Kau tahu, sepertinya aku bisa menebak rencana Tuan
Masumi," celetuk Koji.
Langsung saja Ayumi dan Maya menatapnya penasaran. Hei,
bahkan Maya yang notabene adalah istri Masumi tidak bisa menebaknya.
"Kemungkinan Tuan Masumi akan membiarkan para paparazi
melihat cincinmu dan membiarkan tanda tanya besar bertengger di kepala mereka.
Otomatis mereka akan menjadikanmu 'the most wanted', kenapa Bidadari Merah memakai
cincin di jari manisnya?"
Koji mulai menjabarkan analisanya.
"Semakin panas berita ini tersebar semakin baik. Kau
tahu kenapa? Begitu berita pernikahanmu terungkap maka rating film kita dapat
ku pastikan akan berada di posisi puncak dan penghargaan Cannes bukanlah omong
kosong," Koji mengakhirinya dengan senyum lebar dan langsung di sambut
tawa Ayumi dan dengusan kesal Maya.
"Kenapa suamiku terdengar begitu memanfaatkanku untuk
bisnis?" Gerutu Maya.
"Hipotesamu terdengar begitu masuk akal mengingat
reputasi Tuan Masumi yang tidak pernah mau rugi. Tapi kau melupakan satu hal
Koji," kata Ayumi begitu selesai dengan tawanya.
"Oh ya, apa itu?" Tanya Koji. Sekarang giliran
Ayumi yang mendapat tatapan penasaran kedua sahabatnya.
"Kau lupa kalau berita pernikahan Maya adalah bendera
perang untuk Tuan Besar Hayami. Dari yang ku dengar, Tuan Besar masih
mengharapkan Tuan Masumi untuk rujuk dengan Nyonya, maaf Maya," jelas
Ayumi, "aku pikir Tuan Masumi tidak akan sebodoh itu memanfaatkan berita
pernikahannya untuk publikasi film mengingat konsekuensinya tidak kecil. Kalau
tidak, kenapa pernikahan mereka harus di tutupi? Aku benar kan Maya?"
Maya menghela napas panjang, semua yang dikatakan Ayumi
memang benar. Tak hanya Eisuke, keluarga Takamiya juga pasti tidak akan tinggal
diam. Maya jadi membayangkan sosok kakek baik hati yang dulu pernah di
kenalnya. Sedikit kecewa karena ternyata Eisuke tidak seperti apa yang sudah
pernah di kenalnya. Sang Tuan Besar itu ternyata sosok yang menyeramkan, jauh
berbeda dengan kakek ice creamnya. Belum lagi bayangan Shiori yang tiba-tiba
melintas di kepalanya. Maya tanpa sadar menggeleng, berharap semua imajinasinya
rontok seiring dengan gerakan kepalanya. Maya...bingung.
"Hei," tangan Koji yang mengusap lengan Maya
menariknya ke alam sadar, "tidak usah dipikirkan. Aku percaya Tuan Masumi
tahu yang terbaik untuk kalian. Dia pasti akan menjagamu," ucap Koji yang
mencoba menenangkan.
"Percaya saja pada suamimu," tambah Ayumi.
Maya mengembangkan sebuah senyum tipis, mengurai kecemasan
yang tadi tersirat di wajahnya. Sungguh Maya bersyukur memiliki sahabat yang
mengerti akan keadaannya dan memberikan dukungan penuh padanya. Biasanya, Maya
hanya bisa berkeluh kesah pada Rei, mengingat Rei tak sedang bersamanya membuat
Maya lega bisa berbicara dengan Koji juga Ayumi.
Midori memberi tanda pada mereka untuk mengganti topik
pembicaraan ketika para kru juga para pemain pendukung lainnya mulai
berdatangan, tanda bahwa waktu istirahat mereka hampir habis.
"Terima kasih," ucap Maya kemudian sebelum akhirnya
perhatian mereka teralihkan oleh pengumuman dari pimpinan produksi mengenai
rangkaian syuting mereka.
***
Lain di Kyoto lain pula di Tokyo. Masumi tengah sibuk
berkutat dengan tumpukan dokumen yang harus di tanda tanganinya, sementara
Hijiri menggantikannya untuk memimpin beberapa rapat.
Sejak pagi hingga saat ini, siang menjelang sore, Masumi dan
Mizuki belum beristirahat demi untuk menyelesaikan semua urusan yang sempat
terbengkalai karena pernikahan Masumi. Jarum jam tepat menunjukkan pukul empat
sore ketika Masumi selesai dengan dokumen terakhirnya. Desahan lega segera
lolos dari bibir sang direktur utama, menyandarkan punggungnya di kursi kerja,
Masumi memijat pangkal hidungnya perlahan.
"Istirahatlah Mizuki, kau bahkan melewatkan waktu makan
siang tadi," perintah Masumi ketika melihat sekretarisnya masih sibuk memilah
dokumen ke dalam beberapa tumpukan yang berbeda.
"Saya sudah makan roti dan minum kopi tadi, justru anda
yang sama sekali belum istirahat Tuan. Bersedia kalau saya minta office boy
membelikan makan untuk anda?" Mizuki menatap bosnya yang tampak lelah.
Belum sempat Masumi menjawab sebuah ketukan pintu terdengar
dan mengurungkan niat Masumi untuk menjawab pertanyaan sekretarisnya.
"Masuk," seru Masumi.
"Selamat siang tuan." Sapa seorang pria yang baru
saja memasuki ruangan.
Masumi hanya menganggukkan kepala untuk menjawab sapaannya.
Namun lain halnya dengan Mizuki yang otomatis menghentikan gerakan tangannya
yang sedang memilah dokumen ketika mendengar suara yang sangat familiar itu.
Sesaat, matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di sebelahnya, di
depan meja kerja Masumi. Menahan senyumnya melebar, sang pria hanya sekedar
melirik sebelum akhirnya memfokuskan perhatiannya pada Masumi.
"Bagaimana rapatnya Hijiri?"
Pertanyaan Masumi membuat Mizuki terkesiap. Dengan cepat dia
kembali fokus pada dokumen di depannya dan melewatkan tatapan heran Masumi atas
sikapnya.
"Rapat berjalan dengan lancar dan ini hasilnya,"
jawab Hijiri seraya memberikan sebuah map berwarna coklat pada atasannya.
Setelah itu, Hijiri pun duduk dan sebisa mungkin menganggap wanita yang berdiri
di sebelahnya itu tidak ada. Sebuah tarikan napas tajam terdengar lirih di
telinga Hijiri dan tidak perlu bertanya siapa yang melakukannya meski dia tidak
melihatnya.
Suasana tiba-tiba berubah menjadi hening. Masumi yang tengah
membaca laporan Hijiri merasakan aura yang tidak nyaman dari dua orang yang
berada di hadapannya. Mengalihkan perhatiannya, Masumi mendapati Hijiri yang
menatap lurus padanya dengan tenang dan wajah Mizuki yang tampak kesal dengan
gerakan tangan kasar memilah tumpukan dokumen.
"Apa kalian sedang ada masalah?" Tanya Masumi
tiba-tiba.
Mizuki langsung mengangkat kepalanya dan menatap heran
atasannya.
"Tidak Tuan," jawab Hijiri tenang.
Mizuki segera menoleh dengan tatapan kesal pada Hijiri. Tentu
saja hal itu membuat Masumi menautkan alis. Sejak kapan sekretaris dinginnya
itu bisa memiliki beragam ekspresi seperti itu? Sejak kapan pula Mizuki bisa
tampak begitu kesal di hadapan orang lain? Bukankah wanita itu selalu unggul
dalam hal pengendalian diri? Jawabannya pasti...Masumi beralih fokus pada
Hijiri.
"Kau apakan sekretarisku?" Tanya Masumi to the
point.
"Heh?!" Mizuki sontak terkejut.
"Tidak ada Tuan," jawab Hijiri santai.
"A-apa maksud anda Tuan Masumi?" Protes Mizuki.
"Tidak ada, aku hanya bertanya karena sikapmu aneh sekali,"
jawab Masumi sama santainya. Hijiri menarik sudut bibirnya menjadi seringai
tipis yang segera saja menuai dengusan kesal dari Mizuki.
"Apa hubungannya sikap saya dengan pertanyaan anda pada
Tuan Hijiri?" Mizuki sepertinya masih tidak terima dengan pertanyaan
Masumi yang menurutnya mengaitkan dirinya dengan...Hijiri.
"Apa ada yang salah?" Tanya Masumi kemudian.
"Heh? Te-tentu saja Tuan. Memang apa hubungannya saya
dengan-,"
"Oh, jadi tidak ada hubungannya ya?" Potong Masumi
cepat seraya mengangguk-angguk tanpa dosa, "Kalau begitu aku minta
maaf," lanjutnya lagi dan mengabaikan Mizuki yang menganga dengan tidak
elitnya. Masumi kembali membaca dokumennya sementara Hijiri menahan tawanya
melihat Masumi yang jelas sekali mengerjai sekretarisnya.
"Jika tidak ada lagi yang anda butuhkan, saya permisi
Tuan Masumi," kata Mizuki kemudian. Menumpuk dokumennya dengan kesal,
tidak peduli kalau sejak tadi dia sudah memilah semua dokumen itu, dia akan
melanjutkannya lagi di ruangannya.
"Hhmm, pergilah," jawab Masumi santai tanpa menatap
Mizuki dan masih terpaku pada dokumennya.
"Permisi Tuan Hijiri," kata Mizuki sambil lalu,
tidak peduli jika etika yang biasanya dia junjung tinggi. Saat ini dia yakin
kalau kedua atasannya ini tengah bersorak dalam hati melihatnya mati kutu.
Pintu yang tertutup dengan cukup keras menuai kekehan geli
Hijiri.
"Anda mengerjainya Tuan," bukan terdengar sebagai
pertanyaan, pernyataan itu dilontarkan Hijiri di sela tawanya.
"Kau menikmatinya kan?" Jawab Masumi tanpa dosa.
"Sedikit," lagi-lagi Hijiri menunjukkan sisi lain
dirinya yang ternyata menikmati wajah kesal kekasih, ehm, calon kekasih
mungkin. Mizuki cukup tangguh untuk ditaklukkan.
"Kau sengaja mengacuhkannya?"
"Tidak juga, hanya saja dia terlalu keras kepala untuk didekati
dengan cara biasa."
Masumi mengangguk-angguk lagi, seolah mengerti benar apa isi
kepala Hijiri.
"Anda tidak keberatan?" Tanya Hijiri penuh harap.
"Keberatan?" Masumi kembali mengalihkan fokusnya
dari dokumen pada Hijiri.
"Jika saya menjalin hubungan dengan Nona Mizuki,"
tegas Hijiri.
"Ah itu, aku rasa sekretarisku itu memang perlu sentuhan
cinta," Masumi terkekeh, terhibur dengan leluconnya sendiri dan Hijiri
tersenyum puas.
"Terima kasih," jawab Hijiri kemudian.
"Ya, ku doakan kalian bahagia," imbuh Masumi.
"Seperti anda dan nyonya," Hijiri tersenyum melihat
wajah malu atasannya.
"Hmm," gumam Masumi lirih, "ah, kau membuatku
mengingatnya lagi," gerutu Masumi yang kini menutup kasar dokumennya.
Giliran Hijiri yang terkekeh senang.
"Senang melihat anda bahagia Tuan," ucap Hijiri
tulus.
***
Waktu berlalu begitu cepat, hari berganti tanpa sempat jari
menghitungnya lagi. Hari ini adalah hari special, setidaknya bagi seorang
wanita yang kini tengah menatap lega koper yang tertutup rapat di hadapannya.
"Anda terlihat senang sekali Nyonya," celetuk
Midori yang mengulas senyum melihat ekspresi bahagia nyonya mudanya.
"Hhmm, aku pulang hari ini," sahut Maya girang,
sama sekali tidak berusaha untuk menutupi perasaannya. Toh menejernya itu tahu
apa alasan di balik kebahagiannya. Ya, setelah jadwal syuting panjangnya yang
ternyata benar-benar diperpanjang hingga sepuluh hari -yang tentunya menuai
kekesalan dari suaminya di Tokyo sana- akhirnya Maya bisa kembali.
"Saya berani bertaruh kalau saat ini Tuan Masumi pasti sudah
sangat merindukan Nyonya,"
Midori tampak terhibur saat membayangkan Masumi yang selalu
gagal mempertahankan topeng pangeran esnya saat bersama Maya.
Maya terkekeh, "Kau belum memberitahunya kan?"
"Tentu tidak Nyonya," jawab Midori.
"Baguslah, aku tidak mau kejutanku gagal," Maya
tersenyum lebar begitu membayangkan skenarionya akan berjalan lancar. Anggap
saja ini balasan untuk suaminya yang selalu saja membuat jantungnya hampir
lepas. Sesekali Maya juga ingin membalas.
Midori terkekeh melihat sifat kekanakan Maya. Sungguh tak
pernah bosan dirinya bersama aktris kelas satu yang notabene sudah menjadi
nyonya muda itu. Maya memang berbeda dengan aktris yang dulu pernah
ditanganinya. Tidak pernah ada sifat sombong dan angkuh pada Maya meski dia menyandang
gelar aktris terbaik. Padahal di luar sana, banyak sekali aktris yang belum
seberapa kemampuannya namun sudah bergaya bak primadona kelas satu dengan
tingkah yang menyebalkan. Tidak heran kenapa seorang direktur seperti Masumi
bisa jatuh hati pada seorang Maya. Polos, baik hati, lemah lembut meski tingkat
cerobohnya tergolong parah tapi Maya tetaplah pribadi hangat yang layak untuk
dicintai dan dirindukan.
"Nona Midori?"
Sebuah panggilan menyentakkan Midori dari lamunan panjangnya.
"Kau melamun?" Tanya Maya heran. Menejernya itu
sangat jarang kehilangan fokus, berbeda dengan dirinya yang memang hobi
melamun, apalagi jika obyek lamunannya adalah Masumi, rasanya Maya enggan untuk
tersadar.
"Maaf, saya hanya sedang memikirkan beberapa
jadwal," jawab Midori bohong, tentu saja sungkan baginya untuk mengatakan
kalau topik lamunannya adalah Maya sendiri.
Maya mengangguk-angguk tanpa curiga. Kepolosan Maya memang
tiada bandingannya. Midori menahan senyumnya melebar ketika lagi-lagi teringat
akan keisengan Masumi yang selalu sukses mengerjai Maya yang terlalu polos itu.
"Sudah waktunya Nyonya," kata Midori kemudian.
Maya mengangguk lagi, diapun mengambil tas tangannya
sementara Midori memerintahkan room boy yang baru saja masuk untuk membawa
semua barangnya ke bawah. Maya dan para aktris akan kembali ke Tokyo hari ini
tapi kru produksi baru akan kembali besok. Karena itu Maya berharap hari ini
dia bisa memberi kejutan untuk suaminya setelah selama sepuluh hari mereka
tidak bertemu.
Tiba-tiba wajah Maya dihiasi rona merah dan dia segera
mengibaskan tangan di depan wajahnya yang terasa panas. Beruntung tidak ada
yang melihatnya sekarang. Entah apa yang sebenarnya direncanakan Maya untuk
suaminya malam ini.
***
Jika Maya sedang menikmati perjalanan pulangnya dengan
shinkansen maka lain halnya dengan sang suami yang tengah berada di kantornya,
di Gedung Daito.
Masumi tampak serius menatap tumpukan pekerjaannya yang sepertinya tidak pernah ada habisnya itu. Entah bagaimana tumpukan dokumen itu datang setiap harinya dengan jumlah yang semakin banyak meski setiap harinya Masumi bekerja untuk menyelesaikannya. Beruntung saat ini sang istri sedang bekerja di luar kota, Masumi mulai kesal saat memikirkan saat istrinya kembali nanti dan dia tetap harus berkutat dengan tumpukan pekerjaan yang membuatnya pulang larut.
Masumi tampak serius menatap tumpukan pekerjaannya yang sepertinya tidak pernah ada habisnya itu. Entah bagaimana tumpukan dokumen itu datang setiap harinya dengan jumlah yang semakin banyak meski setiap harinya Masumi bekerja untuk menyelesaikannya. Beruntung saat ini sang istri sedang bekerja di luar kota, Masumi mulai kesal saat memikirkan saat istrinya kembali nanti dan dia tetap harus berkutat dengan tumpukan pekerjaan yang membuatnya pulang larut.
Tidak, tidak! Masumi tanpa sadar menggeleng. Dulu hal itu
bukan masalah baginya, justru sebaliknya. Masumi selalu senang membunuh
waktunya dengan tumpukan pekerjaan tapi tidak dengan sekarang. Masumi ingin
lebih banyak menghabiskan waktu bersama istri tercintanya. Sebuah seringai
tipis terulas dibibir Masumi, membayangkan 'pekerjaan' yang lebih menyenangkan
saat istrinya kembali nanti.
Seketika seringai di wajah Masumi menghilang dan tanpa sadar
bibirnya mengumpat lirih. Menutup kasar dokumen di pangkuannya dan mengacak
rambut lebatnya dengan kesal. Gila, Masumi merasa gila karena Maya sekarang.
Masumi dengan pengendalian diri sempurnanya kini tak ubahnya dengan remaja
labil dengan hormon yang mengamuk. Setelah sukses menahan gejolak hasrat hingga
mencapai usia dewasanya, kini Masumi dibuat stress karena harus menahan diri
yang lamanya hanya dalam hitungan sepuluh jari. Maya sudah seperti candu
baginya.
Masumi memincingkan mata saat menatap bagian selatan tubuhnya
yang mulai lepas kendali sejak dirinya membayangkan 'pekerjaan' bersama
istrinya itu. Lagi-lagi mengumpat lirih, Masumi berjanji tidak akan mengijinkan
Maya untuk pergi jauh darinya dalam waktu yang lama. Oh, jangan sampai Mizuki
atau Hijiri tahu akan pemikirannya saat ini jika tidak mau dirinya, sang
Direktur Dingin Daito, mati kutu di hadapan anak buahnya. Mizuki dan Hijiri selalu
menjadi pasangan kompak jika untuk mengerjainya.
Sebuah desahan panjang lolos dari bibir Masumi bersamaan
dengan suara ketukan pintu.
"Masuk," seru Masumi yang sudah berhasil
mengendalikan dirinya. Mengabaikan tuntutan di bawah sana dan mengalihkan pikirannya
pada sosok yang muncul di balik pintu kantornya.
"Perubahan jadwal untuk anda," Mizuki memberikan
sebuah agenda pada Masumi.
"Kenapa Hijiri menggantikan jadwal rapatku sore
ini?" Masumi menautkan alis menatap jadwal di tangannya, "dan besok
pagi? Rajin sekali dia," gumam Masumi tanpa sadar.
Mizuki hampir terkekeh melihat reaksi tidak biasa atasannya.
"Kau tampak senang," kata Masumi begitu melihat
ekspresi Mizuki. Entah sejak kapan Masumi jadi suka memperhatikan ekspresi
orang lain terlebih ekspresi milik sekretarisnya itu.
"Saya? Tidak," elak Mizuki.
Sesaat Masumi tampak berpikir, "Apa kau mau menjadi
sekretaris resmi Hijiri?"
Pertanyaan spontan Masumi membuat Mizuki tergagap.
"A-apa mak-sud a-anda?"
Masumi terkekeh, "Keluarlah, panggilkan Hijiri untukku."
"Baik Tuan, permisi," Mizuki sedikit menekuk
wajahnya karena lagi-lagi Masumi mengerjainya. Entah apa yang terjadi dengan
bos dinginnya itu. Sejak adanya Hijiri terlebih sejak menikah, Masumi jadi suka
menggodanya. Dalam hati Mizuki merutuki wakil direktur yang selalu sukses
membuatnya menjadi obyek candaan Masumi.
Setelah sampai di mejanya, Mizuki segera menekan tombol
interkom, menghela napas panjang sebelum mulai bicara.
"Selamat siang Tuan Hijiri,"
"Ah, Nona Mizuki, apa kau merindukanku?"
Mizuki melotot meski tahu lawan bicaranya tidak bisa melihat
itu. Hatinya geram mendengar kalimat santai itu terlontar dari bibir atasannya.
"Maaf mengecewakan anda Tuan Hijiri tapi Tuan Masumi
meminta anda untuk ke ruangannya," jawab Mizuki dengan masih mempertahankan
sikap tenangnya.
Dari seberang sana terdengar suara kekehen dan Mizuki
menautkan alisnya heran, tidak merasa apa yang dikatakannya itu lucu. Apa
atasannya itu sudah gila? Pikir Mizuki.
"Aku tidak akan terkejut jika kali ini kau
mengecewakanku Nona Mizuki. Tidak setelah drama hari sabtu lalu," jawab
Hijiri, masih setia dengan kekehannya.
Mizuki terhenyak dengan kalimat yang didengarnya. Mengabaikan
tentang tetek bengek etika dan segala aturannya, Mizuki langsung memutuskan
sambungan interkomnya, berdecak kesal lalu meneguk botol air mineral di
depannya.
"Sial!" Umpatnya pelan.
***
Hijiri menghela napas seraya melonggarkan simpul dasinya.
Alih-alih bergegas menemui Masumi, pria yang kini menjabat sebagai wakil
direktur Daito itu justru bergeming di tempatnya seraya menatap sendu interkom
yang baru saja dimatikan secara sepihak.
"Saeko," nama itu lirih terucap dari belahan
bibirnya, "kau benar-benar keras kepala," gumamnya kemudian.
Ingatannya langsung terlempar pada memori akhir pekan
kemarin. Hari Sabtu, hari dimana dia berjanji akan menjemput Mizuki untuk makan
malam. Sebuah permintaan, ah salah, sebuah paksaan yang dia katakan sebagai
usaha untuk mendekatkan diri lebih lagi dengan wanita yang sudah berhasil
merebut hatinya itu.
Namun ungkapan dimana khayal tak pernah seindah kenyataan
sepertinya memang benar. Nyatanya, Sabtu malam kemarin, Hijiri harus berdiri di
depan pintu apartemen 'calon kekasihnya' selama tiga jam tanpa sambutan apapun.
Jangankan penolakan ataupun pembatalan janji, membukakan pintupun Mizuki
enggan. Sungguh Hijiri harus menahan diri untuk tidak mendobrak pintu apartemen
Mizuki dan menarik keluar wanita keras kepala itu.
Bukannya besar kepala tapi Hijiri bisa melihat bahwa
sebenarnya wanita berambut panjang itu juga memiliki perasaan yang sama
padanya. Hijiri sudah membuktikannya dengan nekat mencium bibir calon
kekasihnya itu di malam pernikahan Maya dan Masumi. Hijiri juga sudah
menyatakan cintanya. Namun entah mengapa Mizuki masih saja menutup hatinya
bahkan terkesan menjauhinya setelah hari dimana dia menyatakan perasaannya.
Memijat pangkal hidungnya perlahan, baru kali ini Hijiri
merasa tak berdaya. Dirinya adalah orang kepercayaan Hayami yang terlatih,
orang yang memiliki pengendalian diri sempurna, ahli dalam melakukan berbagai
pekerjaan baik berat ataupun ringan. Hijiri adalah pria tangguh yang sudah
terlatih dalam tempaan hidup yang berat. Tapi apa nyatanya sekarang? Semenjak
dirinya diijinkan untuk membuka identitasnya, melepas perannya sebagai
mata-mata, Hijiri juga menemukan sisi lain dari dirinya yang bahkan tidak
disadarinya. Dia bahkan terkejut dengan kenyataan bahwa dirinya yang dulu
sedingin es ternyata bisa memiliki perasaan hangat bernama cinta untuk seorang
wanita yang dulu hanya bisa dipandanginya dari jauh. Wanita yang lama
diamatinya hanya sebagai seorang sekretaris namun dalam sekejap berubah menjadi
sosok bidadari kala sosok itu berdiri nyata di hadapannya. Saeko Mizuki, wanita
dingin yang sanggup melelehkan hati esnya.
Sayangnya perjuangan Hijiri tidak semudah membalikkan telapak
tangan.
Mengeratkan kembali simpul dasinya, Hijiri meraih jas yang tadi tersampir rapi di lengan kursinya. Hijiri menyingkirkan sejenak sisi melankolisnya, menyimpan semua pemikirannya untuk bekal nanti sebelum dirinya tidur.
Mengeratkan kembali simpul dasinya, Hijiri meraih jas yang tadi tersampir rapi di lengan kursinya. Hijiri menyingkirkan sejenak sisi melankolisnya, menyimpan semua pemikirannya untuk bekal nanti sebelum dirinya tidur.
Sekarang dia beranjak dan melangkahkan kaki untuk menemui
atasannya, Masumi pasti sudah menunggu. Dia tahu apa yang akan dibicarakan oleh
Masumi. Sebuah senyum tipis singgah di wajahnya yang sejak tadi tampak sendu, kejutan
balasan dari Nyonya mudanya.
Setidaknya perjalanan cinta Maya dan Masumi itu membuatnya
sedikit bisa berharap, tidak ada yang mustahil dalam cinta. Dia tidak akan
menyerah. Tidak, Hijiri tidak akan pernah menyerah. Dia yakin, suatu hari,
Saeko Mizuki pasti akan menjadi miliknya. Dia hanya harus bersabar. Sabar
seperti apa yang dilakukan tuannya. Hanya satu doanya, semoga bukan belasan
tahun dia harus menunggu, karena tentu saja usia mereka berpengaruh saat ini.
Hijiri jadi terkekeh sendiri, mengabaikan beberapa karyawan yang menatapnya heran
di koridor. Konyol.
***
Ctak!
Masumi menekan saklar lampu yang seketika membuat ruang
tengah kondominiumnya terang benderang. Menghempaskan dirinya di sofa bulat di
tengah ruangan, Masumi melempar jasnya ke lengan sofa lalu melepas simpul dasi
di lehernya. Melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangannya, jarum
yang menunjuk angka tujuh membuatnya mendesah. Matanya berputar untuk sekedar
menyapu setiap sudut ruangan yang terlihat lengang itu.
Hijiri menghandle semua jadwal kerjanya sore tadi termasuk
menghadiri perjamuan pesta malam ini. Sedikit heran tapi mendengar alasan
Hijiri yang katanya merasa bosan karena tidak ada kegiatan malam membuat Masumi
membiarkan saja wakil direktur sekaligus sahabatnya itu untuk menggantikannya.
Tapi disinilah Masumi sekarang. Di kondominium mewahnya,
sendirian, bosan. Kenapa juga dirinya harus pulang awal jika memiliki alasan
sama dengan Hijiri. Kesepian tanpa pekerjaan justru membuat Masumi tersiksa
karena teringat dengan istri mungilnya. Sempat terpikir untuk pergi ke pub
sepulang kerja tadi tapi ancaman Mizuki membuatnya bergidik. Entah kenapa
sekretaris yang biasanya cuek itu kini melarangnya untuk pergi ke pub meski
sekedar untuk minum satu dua gelas, membunuh waktu tentunya. Katanya karena dia
sudah mendapat mandat dari Maya untuk memastikan kalau sang direktur itu akan
langsung pulang ke rumah dan beristirahat setelah kerja. Memang di akuinya jika
selama sepuluh hari ini, Masumi menggila di meja kerja untuk mengalihkan
kerinduannya. Bahkan akhir pekanpun digunakannya untuk bekerja. Salahkan saja
Daito yang tak pernah kehabisan pekerjaan.
Masumi hampir memejamkan matanya dengan kepala bersandar di
sofa sebelum suara ping keras dari handphone menyentakkannya.
Sebuah senyum tersungging di bibir sang direktur kala matanya
membaca sebuah kalimat yang ternyata dikirim oleh sang pujaan hati.
Aku merindukanmu
Hanya dua kata tapi Masumi merasakan kehangatan menjalari hatinya. Lelah dan bosan yang tadi dirasanya hilang seketika. Jarinya reflek mengetik barisan kata untuk membalas pesan istrinya.
Aku juga merindukanmu. Aku tidak sabar untuk bertemu. Ingatkan aku untuk membuat perhitungan dengan Tuan Himekawa yang memperpanjang jadwalmu hingga menyiksaku seperti ini.
Ibu jari Masumi menekan tombol kirim. Bibirnya kembali mengulas senyum saat membayangkan ekspresi Maya ketika membaca pesan balasannya. Kurang dari dua menit sebuah pesan kembali masuk. Sebuah emoticon gadis yang tertawa dan sebuah gambar hati. Masumi terkekeh, sadar betapa muda istri mungilnya itu.
Aku merindukanmu
Hanya dua kata tapi Masumi merasakan kehangatan menjalari hatinya. Lelah dan bosan yang tadi dirasanya hilang seketika. Jarinya reflek mengetik barisan kata untuk membalas pesan istrinya.
Aku juga merindukanmu. Aku tidak sabar untuk bertemu. Ingatkan aku untuk membuat perhitungan dengan Tuan Himekawa yang memperpanjang jadwalmu hingga menyiksaku seperti ini.
Ibu jari Masumi menekan tombol kirim. Bibirnya kembali mengulas senyum saat membayangkan ekspresi Maya ketika membaca pesan balasannya. Kurang dari dua menit sebuah pesan kembali masuk. Sebuah emoticon gadis yang tertawa dan sebuah gambar hati. Masumi terkekeh, sadar betapa muda istri mungilnya itu.
Ibu jari Masumi kembali menari, mencari gambar yang cocok
diantara deretan emoticon yang tersedia di aplikasi pesannya. Sedikit merasa
konyol karena jujur, Masumi belum pernah berbalas pesan dengan emoticon yang
menurutnya kekanakan itu. Setelah mendapat emoticon yang cocok, Masumi segera
menekan tombol kirim. Sebuah gambar pemuda chibi yang mengerucutkan bibirnya
seolah minta di cium. Dan beberapa menit kemudian Masumi benar-benar tertawa
saat membaca pesan balasan istrinya, sebuah emoticon pasangan cibhi dimana sang
istri tengah di gendong oleh suaminya dan keduanya berbagi ciuman diiringi
banyak tanda cinta di kepala mereka. Ah, betapa Masumi tak pernah bosan dengan
Maya. Bahkan hanya dengan bertukar emoticon, istrinya itu sanggup membuatnya
merasa bahagia.
Tanpa sadar sudah empat puluh lima menit dirinya berdiam di
atas sofa dan bertukar pesan dengan istrinya. Membalas pesan dengan mengatakan
bahwa dirinya merasa lapar dan ingin mandi membuat Maya segera membalas dan
memakai mode capslock untuk menyuruh suaminya makan dan mandi.
Dengan masih terkekeh Masumi berjalan ke arah dapur lalu
membuka lemari es. Menemukan seporsi lasagna beku dalam mangkuk aluminium foil.
Masumi memasukkan menu makan malamnya itu ke dalam microwave lalu bergerak ke
sisi lain dapur untuk membuat secangkir kopi. Kurang dari sepuluh menit, Masumi
sudah duduk di meja makan dan menikmati makan malamnya. Tanpa disadari Masumi,
sepasang mata bulat tengah mengamati semua gerak-geriknya dari celah pintu
kamar tamu.
Cangkir kopi telah kosong dan mangkuk aluminium foil sudah
berakhir di tempat sampah. Masumi melewati ruang tengah untuk mengambil jasnya
lalu melangkahkan kaki menuju kamarnya. Mandi adalah agenda selanjutnya malam
hari ini. Masumi menghilang di balik pintu kamarnya dan beberapa saat kemudian
sosok mungil tampak keluar dari kamar tamu, berjingkat menuju kamar utama
dengan senyum lebar menghiasi wajah imutnya.
***
Seorang pemuda berdiri di bawah pohon, di depan sebuah cafe
di kawasan Ginza. Dia tampak tidak sabar menoleh ke kanan dan ke kiri, pastinya
menunggu seseorang. Sesekali pandangannya beralih ke pergelangan tangannya,
mengernyit saat melihat jarum jam yang terus bergerak, menunjukkan berapa lama
dia sudah berdiri di tempat itu.
Beberapa menit kemudian desahan napas lega diiringi sebuah
senyum menghiasi wajah sang pemuda. Dari kejauhan tampak seseorang berlari ke
arahnya.
"Maaf," satu kata itu langsung terucap pada pemuda
yang berdiri di depan cafe, "kau sudah...lama menunggu...Koji?"
Tanyanya di tengah napasnya yang terengah karena berlari.
Koji terkekeh melihat gadis yang kini membungkuk dengan kedua
lengan menopang di atas lututnya. Gadis unik yang mengenakan blouse biru muda
dipadukan dengan celana jeans warna hitam, di bahu kirinya tersampir tote bag
warna biru tua dengan motif garis putih.
"Tiga puluh tujuh menit," jawab Koji singkat,
"tidak biasanya kau terlambat Rei."
Rei sedikit mencebik ketika ingat alasannya terlambat. Bus
yang ditumpanginya bermasalah dan dia harus menunggu bus lain untuk bisa sampai
ke Ginza tepat waktu meski nyatanya tetap terlambat. Koji terkekeh saat
mendengar penuturan Rei.
"Ayo kita masuk, ku harap segelas ice cappucino bisa
meredakan emosimu," kata Koji kemudian.
Rei tersenyum, mengikuti langkah Koji menuju cafe di
depannya.
"Kau baru kembali sore tadi kan?" Tanya Rei
kemudian.
Koji mengangguk.
"Kau tidak lelah?" Tanya Rei heran. Pertanyaan yang
dia simpan sejak sore tadi. Koji mengajaknya bertemu padahal pemuda itu baru
saja pulang dari Kyoto.
Koji tersenyum tipis, "Ku rasa lelahku hilang setelah melihatmu."
Rei menganga dan dengan segera menutup kembali mulutnya. Saat
Koji menoleh, Rei menunduk dalam, menyembunyikan semburat merah di pipinya.
Gagal, karena Koji kembali mengulas senyum saat melihat ekspresi manis di
depannya.
Koji mendorong pintu cafe diikuti Rei yang berusaha
mengendalikan degub jantungnya yang liar. Seorang waitress menyambut mereka
dengan ucapan selamat datang dan senyum yang terlalu lebar -menurut Rei-.
"Meja untuk dua orang," kata Koji kemudian.
Waitress itu merona dibawah tatapan mata Koji, dia tahu siapa
Koji. Jelas saja, wajah Koji terlalu sering muncul di layar kaca.
Rei mengernyit melihat ekspresi malu-malu kucing waitress
itu, ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Entahlah, Rei tidak bisa
mendeskripsikan perasaannya saat ini. Tidak suka? Cemburu?...err, mungkin,
tidak, tidak mungkin. Hatinya menyangkal.
Koji dan Rei berjalan dalam diam mengikuti waitress yang
menunjukkan meja mereka.
"Eng, maaf, Tuan Sakurakoji, bo-bolehkah saya minta
tanda tangan anda?" Tanya waitress itu ketika Koji dan Rei sudah duduk di
meja mereka.
"Tentu," Koji menerima buku memo berukuran sedang
yang diulurkan oleh waitress itu dan menorehkan tanda tangan di atasnya.
Rei bergeming menatap gadis berseragam yang berdiri di
depannya itu. Lagi-lagi sesuatu menggelitik hatinya, tidak nyaman.
"Terima kasih," waitress itu tersenyum lebar saat
menerima kembali buku memonya. Perhatiannya kemudian beralih pada Rei.
"Ya?" Rei bertanya karena melihat tatapan aneh
gadis di depannya.
"Maaf, apakah anda, ngg, aktor juga? Boleh saya minta
tanda tangannya? Anda, hmm, tampan sekali," waitress itu menggaruk pipinya
dengan ekspresi malu. Kalimatnya terbata.
Koji sukses tertawa mendengarnya, "Sepertinya aku kalah
tampan."
Rei menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan seraya
menggerutu panjang. Keduanya mengabaikan waitress yang berdiri menatap mereka
dengan tatapan tidak mengerti.
***
Masumi keluar dari kamar mandi dengan masih mengenakan jubah
mandinya. Kepalanya tertutup handuk kecil sementara tangannya sibuk mengeringkan
rambut basahnya.
"Ehem."
Seketika tangan Masumi membeku di atas kepala dan kakinya
berhenti melangkah. Mengangkat wajahnya, mata Masumi melebar, terkejut melihat
pemandangan yang tersaji di depannya. De javu, ya, Masumi merasa de javu dengan
apa yang terjadi saat ini. Dirinya keluar dari kamar mandi dan mendapati
sosok...err, seksi -kalau boleh dibilang begitu- berbaring di tempat tidur king
size-nya.
"Kau...," Masumi kehilangan kata-katanya saat sosok
yang mengejutkannya itu turun dari tempat tidur dan berjalan ke arahnya.
Sepasang lengan melingkar di pinggang Masumi, sementara pipi
nan lembut bersandar di dada bidang yang hanya tertutup setengah oleh jubah
mandi. Rasa hangat menjalar di dada Masumi kala kulitnya bersentuhan dengan
kulit halus nan lembut itu. Sedikit gesekan membuat Masumi memejamkan mata,
menikmati friksi kenikmatan yang dikirimkan oleh saraf-saraf sensitif di
dadanya.
Handuk kecil di tangan Masumi terjatuh kala tangannya
membalas pelukan sosok manis yang mengejutkannya itu.
"Aku pulang," lirih Maya tanpa menatap wajah
suaminya. Sungguh Maya menekan semua rasa malunya demi kejutan istimewa ini.
Wajahnya kini memerah karena ulahnya sendiri.
Masumi mengeratkan pelukannya, mendaratkan beberapa kecupan
di puncak kepala istrinya. Masumi sungguh merindukan ini, aroma bunga dari
shampo istrinya memanja indra penciumannya.
Masumi menundukkan kepala dan berbisik di telinga istrinya,
"Selamat datang sayang."
Maya menggigit bibir bawahnya ketika Masumi menyibak rambut
di bahunya dan mengecup lembut belakang telinganya. Wajah Maya semakin merona.
Pelukan keduanya terurai dan Masumi terkekeh melihat wajah
merah istrinya.
"Kejutan yang menyenangkan," kata Masumi,
"jangan bilang ini alasan Hijiri menggantikan semua jadwalku malam
ini?" Jemari Masumi menyusuri wajah Maya.
"Uhm," Maya mengangguk, "sekali-kali aku juga
mau membuat kejutan untukmu," ujar Maya.
Masumi tertawa lebih keras sekarang, "Aku akan
memintanya setiap hari kalau begini caramu mengejutkanku."
Maya menunduk malu, tangannya menggenggam ujung lingerie
transparan yang menutupi tubuhnya hingga sebatas paha. Jangan tanya darimana
Maya mendapat lingerie manis berwarna ungu yang begitu pas membungkus tubuh
mungilnya. Salahkan Ayumi yang memberinya 'kado' istimewa beserta petunjuk
'cara menyenangkan suami' yang dibaca Maya dengan mata melotot tak percaya.
"Siapa yang mengajarimu?" Masumi mengangkat dagu
Maya, membuat manik mata mereka bertemu. Masumi seolah tahu apa yang dipikirkan
oleh istrinya.
"Ngg, Ayumi," lirih Maya seraya tersenyum canggung.
Masumi tersenyum menahan geli.
"Lingerie ini?" Telunjuk Masumi dengan nakal
menyusuri seutas tali yang menggantung di bahu Maya. Jari itu terus bergerak
turun sesuai bentuk tepian lingerie hingga mendarat di belahan dada istrinya.
Maya menepis tangan Masumi saat jari nakal itu ingin masuk lebih jauh. Masumi
terkekeh.
"Kado dari Ayumi," lirih Maya lagi seraya
memalingkan wajahnya.
Tidak tahan dengan godaan bidadari cantik di depan matanya,
Masumi kembali menarik dagu Maya, merendahkan kepalanya dan menautkan bibir
mereka. Sesaat Maya terkejut namun saat matanya terpejam, Maya menikmati
kelembutan bibir Masumi yang memanjanya.
"Ungh," Maya melenguh lirih dalam mulut Masumi kala
tangan nakal suaminya mulai membelai setiap inchi tubuhnya, meremas
bagian-bagian sensitif yang membuat tubuh Maya memanas.
"M...ahh, sumi...," Maya mendesah panjang kala
Masumi menyelipkan tangannya diantara lingerie dan menyentuh kulit tubuh
istrinya secara langsung. Sementara bibirnya dengan lincah membuai sepanjang
garis leher Maya.
Maya menautkan alis kesal saat merasakan senyum Masumi di
lehernya. Kepalan tangan kecilnya memukul lengan Masumi yang dengan erat
memeluknya.
"Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Ayumi,"
bisik Masumi.
"Jangan menggodaku," rengek Maya dan Masumi terkekeh
dibuatnya.
Mengeluarkan tangannya dari dalam lingerie, kini kedua lengan
Masumi melingkar di pinggang ramping istrinya. Maya yang merasakan kakinya tak
lagi menyentuh lantai langsung melingkarkan kedua lengannya di leher sang
suami. Langkah kaki Masumi membawa tubuh mungil Maya ke tempat tidur mereka.
Dengan lembut Masumi menurunkan Maya hingga sepasang kaki
mungil itu menyentuh lantai. Maya merasakan betisnya tertekan pada badan tempat
tidur saat Masumi semakin merapatkan tubuhnya. Maya bahkan hampir terdorong ke
tempat tidur kalau saja Masumi tidak dengan cepat melingkarkan salah satu
lengannya di pinggul Maya. Masumi tertawa renyah, sungguh saat-saat bersama
istrinya seperti sekarang ini membuatnya sangat bahagia hingga rasanya sulit
untuk berhenti tertawa.
"Apa?" Tanya Maya saat merasakan arti lain dari
tatapan mata suaminya.
"Aku hanya sedang bertanya-tanya, apa yang Ayumi ajarkan
lagi padamu," Masumi menyeringai dan wajah Maya kembali memanas.
"Me-memang apa yang kau harapkan?" Tanya Maya yang
berusaha menahan rasa malu dan gugupnya. Masa bodoh dengan tips agresif dan
percaya diri yang diajarkan oleh Ayumi.
Masumi mengetuk-ngetuk dagunya dengan jemari, seolah
berpikir, sementara tangannya yang lain masih dengan posesif memeluk istrinya.
Kerutan di keningnya menambah kesan serius dari akting berpikirnya.
"Apa?!" Tanya Maya dengan nada tinggi, jengah
dengan Masumi yang terus menggodanya. Maya sempat memakin di dalam hati,
ternyata menyenangkan suami tidak semudah bayangannya. Masih lebih mudah baginya
menghapal lima buku skenario dalam waktu satu hari daripada menghapal semua
tips yang diberikan Ayumi, terlebih lagi mempraktekkannya.
"Entahlah," Masumi mengendikkan bahu, menatap mata
bulat istrinya, "hal yang menyenangkan?" Goda Masumi seraya mengerlingkan
sebelah matanya.
Maya menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan telunjuk,
ragu.
"Ada?" Tebak Masumi kemudian.
"Ngg, sebenarnya...ada," Maya memberi jeda pada
kalimatnya, "tapi aku ragu kau akan menyukainya," lanjutnya.
Masumi menahan senyumnya melebar, tidak mau istrinya itu
membatalkan semua rencana -yang entah apapun itu- di dalam kepalanya. Masumi
yakin Maya sudah mempersiapkan dirinya untuk semua ini. Istrinya itu pasti
sudah mati-matian berusaha membuat kejutan untuknya. Sebagai suami tentu Masumi
tidak ingin Maya kecewa, lagipula dirinya memang penasaran, apa yang sebenarnya
direncanakan oleh istri mungilnya itu.
"Kau yakin?" Tanya Maya tiba-tiba.
Salah satu alis Masumi terangkat, tak mengerti,
"Maksudmu?"
"Err, kau yakin mau aku melakukannya?" Terang Maya.
"Melakukan apa?" Masumi lagi-lagi menggoda
istrinya.
Maya mengerucutkan bibirnya. Masumi terkekeh.
"Baik, baik, jangan marah," bujuk Masumi saat Maya
berusaha lepas dari kungkungan lengannya. Wajah imutnya tampak kesal.
"Sshh, dengar," Masumi kembali mengeratkan
pelukannya, "pertama, aku tidak tahu apa yang kau rencanakan tapi tidak,
aku tidak keberatan dengan apapun yang akan kau lakukan," Masumi menatap
lembut istrinya, jarinya mengusap sisi wajah Maya yang masih dihiasi semburat
merah.
"Kedua, bagaimana kau tahu aku menyukainya atau tidak kalau kau bahkan tidak mencobanya?" Lanjut Masumi.
"Kedua, bagaimana kau tahu aku menyukainya atau tidak kalau kau bahkan tidak mencobanya?" Lanjut Masumi.
Maya menghela napas panjang. Kali ini Masumi membiarkan saat
Maya menarik lengannya, melepaskan pelukannya. Istri mungilnya kini berjalan
memutari tempat tidur dan berhenti di depan nakas di sisi lain tempat tidur.
Masumi hanya mengikuti setiap gerakan Maya dengan pandangan matanya. Tanda
tanya kembali terbaca di wajah tampan Masumi saat Maya menatapnya ragu.
"Berbaringlah," perintah Maya lirih.
"Eh?" Masumi sedikit terkejut dengan perintah
istrinya.
"Berbaringlah!" Maya mengulang perintahnya dengan
nada yang lebih tinggi.
Meski tidak mengerti tapi Masumi tetap melakukan perintah
Maya. Diapun naik ke atas tempat tidur dan berbaring dengan dua bantal menyangga
kepalanya, membuatnya setengah duduk.
"Kau bilang tidak keberatan dengan apapun yang akan aku
lakukan?" Maya menegaskan kembali pernyataan Masumi sebelumnya.
Sedikit rasa tidak nyaman menjalari hati Masumi namun dia
tetap mengangguk. Masumi tidak mau dibilang sebagai suami yang tidak konsisten
dengan ucapannya.
Maya tersenyum dan senyum itu membuat kening Masumi berkerut. Masumi yakin sesuatu...entahlah, sepertinya ada sesuatu yang akan disesalinya karena membiarkan Maya menjalankan rencananya.
Maya tersenyum dan senyum itu membuat kening Masumi berkerut. Masumi yakin sesuatu...entahlah, sepertinya ada sesuatu yang akan disesalinya karena membiarkan Maya menjalankan rencananya.
Benar saja, Maya membungkuk membuka laci nakas dan sesuatu
yang kini di genggamnya membuat Masumi membulatkan matanya.
"Kau ingin aku mengikatmu?" Masumi menahan diri
untuk tidak memekik. Menahan pikirannya untuk lepas kendali karena benda yang
sekarang di genggam Maya.
Namun senyum di wajah Maya membuat Masumi menekan euforia di
dalam dirinya yang datang terlalu cepat. Perkirannya pasti salah. Ya, pasti
salah! Karena saat ini istrinya justru tersenyum lebar, terlalu lebar
menurutnya.
"Maya...," Masumi menelan ludah perlahan, membasahi
tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering, "jangan bilang kalau-,"
Masumi bahkan menahan napas saat Maya justru terkikik geli. Sungguh berbeda
dengan istrinya yang malu-malu tadi. Akting?
"Sepertinya kau bisa menebak apa yang aku
rencanakan?" Maya terkikik lagi.
Masumi hanya bisa menganga saat Maya naik ke tempat tidur dan
memakaikan benda yang sejak tadi dipegangnya. Sebuah borgol yang dilapisi kain
berbulu.
"Ng, Ma-Maya...kau tidak serius kan?" Masumi
menatap horor istrinya yang kini justru duduk di atas perutnya.
Maya terkikik lagi, sejenak terpesona oleh pemandangan dada
bidang di depannya akibat jubah mandi Masumi yang tersingkap. Maya menggeleng
tanpa sadar, mengusir pikiran tidak senonoh -namun menyenangkan- yang sempat
singgah di kepalanya.
"Ku mohon jangan," pinta Masumi dengan wajah yang
tidak bisa dideskripsikan lagi. Sesuatu miliknya di bawah sana cukup terkejut
saat bongkahan kembar bertekstur kenyal milik istrinya menggeseknya perlahan.
"Ungh, Maya," Masumi menahan desahannya dan dalam
hati mengumpat karena borgol yang membuatnya tidak bebas bergerak.
"Kau bilang aku bisa melakukan apapun yang kumau,"
Maya mengerling nakal pada suaminya, "anggap saja ini pembalasanku,"
bersamaan dengan itu Maya mengangkat kedua tangannya dan menggoyangkan
kesepuluh jarinya, Masumi menggeleng kerasa.
"Ma-Mayaaa...haaaa...haaa...haaa...," Masumi tak
sanggup menahan tawanya saat jemari Maya menggelitik pinggangnya,
"ku-mohon...aku tidak tahan...haaa...haaa...," wajah Masumi memerah
menahan geli sekaligus kesal karena dikerjai oleh istrinya.
Ah, memang benar kalau ada ungkapan pembalasan itu lebih
kejam. Kali ini Maya sukses membuat suaminya 'tak berkutik'. Poor Masumi.
"MAYAAAAA...haaa...haaa...hen-ti-kannnn...,"
Dan Maya menulikan telinganya.
***
Di sisi lain di kota Tokyo, seorang wanita tengah menikmati
teh rosemary favoritenya bersama seorang pria di ruang keluarga rumah mewahnya
"Kau tampak senang?" Tanya sang pria yang adalah
suami dari wanita yang tengah menyembunyikan seringai tipis di balik tegukan
tehnya.
"Hhmm, bisa dibilang begitu," jawabnya santai,
sekali lagi meneguk tehnya perlahan, menikmati cairan hangat itu menuruni
kerongkongannya.
"Ada apa?" Tanya sang suami lagi.
Sang istri meletakkan cangkirnya dan menatap suaminya,
menggeleng pelan, "Hanya sedang membayangkan sesuatu," jawabnya
diiringi dengan sebuah senyum.
Kening suaminya berkerut melihat ekspresi istrinya yang penuh
teka-teki itu.
"Kau tahu Peter, aku rasa beberapa minggu ke depan aku
harus menghindari pertemuan dengan Tuan Masumi," kata Ayumi santai.
Lagi-lagi bibirnya mengulas senyum dengan mata penuh kilat canda.
Kerutan di kening sang suami semakin dalam, "Kau kenapa
Ayumi? Tiba-tiba saja membicarakan Tuan Masumi," tanyanya heran.
Ayumi terkekeh lalu menggeleng lagi, "Tidak, tidak
apa-apa," jawabnya menahan geli, "lupakan saja," Ayumi tersenyum
lagi lalu beranjak dari kursinya.
"Ke mana?" Peter mendongak menatap istrinya.
Ayumi membungkukkan tubuhnya dan berbisik di telinga
suaminya, "Ayo ke kamar, aku punya kejutan untukmu."
Peter menarik sudut bibirnya menjadi sebuah senyum penuh
arti, "Ah, iya, aku suka kejutan," jawabnya yang kemudian menarik
istrinya hingga Ayumi jatuh di atas pangkuannya. Tanpa basa-basi Peter melumat
lembut bibir Ayumi.
"Di kamar?" Bisik Ayumi ketika bibir mereka
terlepas.
Peter hanya tersenyum senang dan mengangkat istrinya dalam
rengkuhan kedua lengannya.
Hhhh, malam yang indah.
***
>>Bersambung<<
15 Comments
Holaaaaaaaa.....hehheee, lama ya nunggunya? maaf ya, tenang aja, tetep lanjut kok.
ReplyDeletenongol2 pas ultah nih ya...kadonya komen buatku yak, hahahahaaa
35 halaman word ya, moga suka deh, sebagian uda ku post di FB sih.
Ya, selamat membaca
sampe ketemu lagi di chap selanjutnya....muaaahhhhhh
Hahahah....maya gokil udh tahan nafas aja neh kirain oohhh kirain
ReplyDeleteQiqiqq kasian masumi dikerjain
pasti uda mikir yang iya-iya aja ya...hahhahaa, habis itu iya-iya kok, eh?! wkkwkwkwk
ReplyDeleteHaduh mba agnes, dibanyakin yg iya iya nya juga gpp lho
ReplyDeleteWkwkwk....
Hepi bday lagi yaaaaa
Cb ultahny tiap bulan, dapet apdetan tiap bulan deh
Qiqiqi..
*Mintadikeplak
jiahahah ga kebayang ya masumi dborgol d ranjang.tapi apa sih yang ga bisa doi lakukan bwt maya...heheh lanjut sist...
ReplyDeleteBagus! 4 jempol buat Agnes. Well done!
ReplyDeletePanaaaaaaashhh 😍😍
ReplyDeleteDitunggu lanjutannya mbak agnes
Kirain...kirain... Eh ga tanya dikerjain. Hahaha... 😅😆
ReplyDeleteHuahaha...pembaca pun sukses dikerjain.
ReplyDeleteDi malam yang dingin dan sesunyi ini
ReplyDeleteAku sendiri..... baca update an yang bikin panas dingin :D
Hadeeeeewwww......ci Agnes sadis nian nih......pake borgol-borgol an segala.....bikin jadi pengen....praktek ;)
Kiraiinnn... eh trnyta dikerjain haha
ReplyDeletegood mb agnes, ditunggu chapter berikutnyaa ��
Yaah, kirain hehe.
ReplyDeleteAda 3 kisah cinta yang menarik. MM, HM sama SR seruuuu.
Makasih mbak Agnes, mmmuach
waduh..digantung lagi sama mba Agnes...kayaknya mau kasih kejutan juga nih buat pembaca ya?..hahaha
ReplyDeleteHuhuhuhuuw mba agnes jgn lama2 ya updatenyaa... Semangaat menulis :D btw kelanjutan ms rei gmn yaaa
ReplyDeleteWedeeeewwww.... dikirain bakal sweet honeymoon... udh siap" baca nya tengah malem ternyata malag dibikin cekikikan tengah malag...😂😂😂😂. Four thumb up sista... lanjutannua ga pake lama lagi kaaaaannnn... semua mengacu pada adegan diabetes...😜
ReplyDelete