Pure Love - Chapter 8



Duduk di sofa single di kamarnya, Maya memandangi cincin platina berhiaskan permata ungu dengan ukiran indah yang melingkar di jari manisnya. Sesekali menghela napas panjang, entah sudah berapa lama dia melakukannya, seolah matanya terpatri secara permanen pada kilauan berlian di jemarinya.
"Jangan dipikirkan," sebuah usapan lembut di puncak kepala Maya membuatnya tersadar kalau dia tak lagi sendiri. Sepasang mata coklatnya langsung bertemu dengan sepasang iris gelap milik suaminya yang kini sudah mendudukkan dirinya di lengan sofa dengan tangan bersandar di bahunya.
"Jangan dipikirkan," lagi-lagi kalimat itu diucapkan Masumi. Seolah dia tahu apa yang tengah dipikirkan oleh istrinya sejak tadi sampai-sampai mengabaikan dirinya yang sudah masuk ke kamar sejak sepuluh menit yang lalu.
"Aku hanya, ehm, tidak yakin," jawab Maya lirih. Keraguan jelas terlihat di matanya bahkan tak tertinggal dalam nada suaranya.
"Hei," Masumi sekarang berlutut di hadapan istrinya, menggenggam tangannya, berusaha menyalurkan ketenangan padanya, "aku berjanji semua akan baik-baik saja."
"Tapi Masumi, aku tidak keberatan kalau harus menyembunyikan semua ini," Maya terdiam, merasa tidak nyaman dengan perkataannya sendiri, "untuk sementara waktu," lanjutnya.
"Aku tidak akan menyembunyikanmu," ucap Masumi dengan penuh penekanan pada setiap katanya, "tidak lagi," tegasnya kemudian.
Maya membuka mulutnya hanya untuk menutup kembali, tidak ada kata terucap atau bantahan yang bisa dilontarkannya.
"Sudah cukup Maya. Cukup aku menyakitimu selama ini, sekarang ijinkan aku untuk menebusnya. Aku ingin membahagiakanmu, sebagai istriku bukan simpananku."
Hati Maya seolah dirambati oleh sulur kebahagian namun disaat yang bersamaan juga merasakan sakit yang entah bagaimana mendiskripsikannya.
"Aku takut," lirih Maya. Hanya kata itu yang saat ini bisa mewakili sedikit dari beribu rasa yang berkecamuk di dalam hati dan pikirannya.
"Sshhh," Masumi berdiri dengan lututnya lalu merengkuh Maya ke dalam pelukannya, membenamkan wajah cantik yang kini tampak sendu itu ke dada bidangnya, "aku tahu," bisik Masumi di puncak kepala Maya.
Keduanya terdiam. Tenggelam dalam pemikiran masing-masing seraya menikmati hangatnya dekapan satu sama lain. Masumi mengerti, sangat mengerti dengan apa yang menjadi ketakutan istrinya. Satu hal yang sampai saat ini belum berhasil Masumi lakukan, meyakinkan istrinya, bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa dirinya akan selalu ada untuk Maya, bahwa seorang Masumi takkan pernah membiarkan Maya nya terluka dan tersakiti.
Meski sumpah setia pernikahan itu sudah diucapkan Masumi, meski dirinya sudah berjanji bahwa tidak akan pernah meninggalkan seorang Maya tapi tetap saja ketakutan itu masih saja menggelayuti hati dan pikiran istrinya. Masumi mengerti, lebih dari mengerti tapi kali ini Masumi tidak akan menyerah pada keinginan Maya. Dia akan menunjukkan pada dunia bahwa Maya adalah miliknya yang paling berharga, bukan status keluarganya, bukan jabatan direkturnya ataupun perusahaan entertainment terbesarnya tapi Maya, Maya lah yang paling penting dan berharga baginya.
"Dengar sayang," Masumi mengusap lembut punggung istrinya, "aku tahu semua tidak akan semudah yang aku janjikan tapi percayalah aku akan mengusahakan yang terbaik, untuk kita. Karena itu aku butuh dukunganmu, tetaplah kuat di sisiku, kita akan menghadapi semua ini bersama," Masumi terus mengusap punggung istrinya, menyalurkan ketenangan sementara dirinya mencoba kembali -entah untuk yang keberapa kalinya sejak mereka menikah- meyakinkan Maya atas semua rencana yang sudah disusunnya.
"Aku hanya tidak mau kau-,"
"Sshh," Masumi menyela, menghentikan belaiannya dan mengeratkan pelukannya pada Maya, membenamkan sebuah kecupan sayang di puncak kepala istrinya, "seperti dirimu yang tidak mau aku terluka, begitupun denganku sayang. Kau istriku sekarang dan aku akan memperlakukanmu sebagaimana mestinya."
Maya mengangguk pelan dalam dekapan Masumi yang langsung disambut senyum oleh sang suami.
"Jadi-," Masumi merenggangkan pelukannya dan menaikkan dagu istrinya untuk mereka bertukar pandang.
"Aku mengerti," sela Maya, "aku akan tinggal disini bersamamu. Lagipula semua barang di apartemenku sudah kau pindahkan ke sini, tidak mungkin juga aku kembali ke sana. Aku akan menurut apa yang kau katakan."
Masumi tersenyum lega, "Aku senang mendengarnya."
Maya mengangguk, tersenyum lebar pada suaminya.
Masumi beranjak dari tempatnya dan kini duduk di sebelah Maya, di tepi tempat tidur.
"Aku pasti akan kesepian saat kau kembali ke Kyoto malam nanti," ucapnya kemudian.
Maya tertawa, pertama kalinya sejak mereka bangun pagi tadi, "Hanya satu minggu, setelah itu kau pasti akan bosan karena setiap hari melihatku."
"Kau tahu itu tidak mungkin," elak Masumi.
Kembali suara tawa Maya pecah, mengisi kesunyian yang tadi menggelayut di kamar mereka, "Gombal."
Giliran Masumi yang terkekeh senang, "Tidak ada yang salah kalau aku menggombali istriku sendiri."
"Ah, kau membuatku kelaparan Tuan Hayami," Maya tiba-tiba mengganti topik pembicaraan mereka, tahu kalau dirinya akan kalah jika Masumi sudah dalam mode raja gombalnya.
Melihat ke luar jendela kaca, Masumi baru sadar kalau saat ini matahari sudah berada di atas kepala. Ternyata pembicaraan mereka berlangsung cukup lama.
"Kau ingin makan apa?" Tanya Masumi seraya beranjak dari tepi tempat tidur dan mengikuti langkah Maya menuju pintu.
"Aku akan lihat apa yang kita punya untuk untuk makan siang," jawab Maya tanpa menatap suaminya, "aku peringatkan untuk tidak meminta makanan yang sulit karena kau sendiri tahu bagaimana kemampuanku, Tuan Hayami," Maya sedikit menolehkan kepalanya seraya mengacungkan telunjuk ke udara yang sukses membuat Masumi kembali tergelak.
Tentu Masumi tahu betapa ‘mahirnya’ istrinya itu di dapur mengingat pagi tadi dirinya harus rela untuk sarapan dengan semangkuk sereal karena sup miso buatan Maya terlalu asin untuk dipaksakan sebagai menu pagi mereka. Tapi tidak, Masumi tidak pernah keberatan dengan hal itu. Maya dan segala apa yang ada padanya adalah sempurna di mata Masumi.
Brak!
Maya terkejut saat dirinya yang memutar handle pintu di cegah oleh Masumi. Membuat pintu yang sudah terbuka kembali menutup dengan keras. Maya kini terperangkap antara pintu dan kedua lengan Masumi di sisi wajahnya. Tubuhnya reflek tersentak saat punggungnya bersentuhan dengan dada bidang Masumi. Sungguh meski sejak kemarin -entah sudah berapa kali- mereka terus saja bersentuhan secara intim, tetap saja Maya masih merasa canggung ketika Masumi berada begitu dekat dengannya.
"Ku harap kau makan dengan baik karena aku mau hidangan penutup yang spesial untuk makan siang kita," bisik Masumi di sebelah telinga Maya.
Otomatis wajah Maya memerah dan dengan cepat warna merah itu menjalar ke telinganya.
"Aww!"
Siku Maya yang mendarat di rusuk Masumi sukses membuat suaminya itu mengaduh dengan tidak elit meski kemudian terkekeh saat sang istri membuka pintu dengan kasar dan berlari ke dapur dengan kecepatan tinggi. Sungguh Masumi tidak akan pernah bosan menggoda istri mungilnya.
***
"Apa maksudmu Masumi belum kembali?" Suara datar namun sarat kemarahan itu menggelitik telinga Hijiri. Sungguh dalam hati dia mengumpat ketika pagi tadi, saat dirinya tengah sibuk menyelesaikan pekerjaan Masumi yang terbengkalai, Eisuke datang menemuinya tanpa pemberitahuan.
"Maaf Tuan Besar, tapi pekerjaan di Kyoto ternyata meleset dari perkiraan kami. Ini adalah hari terakhir Tuan Masumi di Kyoto, malam ini beliau sudah kembali ke Tokyo," jawab Hijiri, tidak sepenuhnya berbohong karena memang malam ini Masumi akan kembali. Ya, walaupun sebenarnya tuannya itu sekarang berada di kondominium barunya di Tokyo dan nanti malam helikopter akan membawa Nyonya mudanya kembali ke Kyoto untuk menyelesaikan syuting film.
Eisuke menyipitkan mata menatap Hijiri yang dengan tenang memandangnya. Entah karena bawahannya itu sudah terlalu mahir dalam menyembunyikan ekspresi atau dirinya yang sudah terlalu tua untuk bisa menilai tapi yang jelas Eisuke gagal menemukan kecanggungan karena berusaha berbohong padanya. Lulus sensor, Hijiri berhasil meyakinkan Eisuke.
"Apa ada yang terjadi selama aku pergi terapi?" Tanya Eisuke kemudian, menyerah untuk meragukan penjelasan tangan kanannya, yang tanpa dia duga sudah beralih kesetiannya.
"Sejauh ini semua berjalan dengan baik seperti apa yang sudah saya laporkan pada anda kemarin," jawab Hijiri tenang.
"Hm," Eisuke terdiam, tampak menimbang sesuatu, "gadis itu juga sedang syuting di Kyoto bukan?" Tanyanya kemudian.
Hijiri berusaha untuk tidak terkejut dengan pertanyaan tuan besarnya. Dia cukup paham dengan cara kerja Eisuke yang tidak akan percaya begitu saja padanya dan memiliki mata-mata lain untuk mencocokkan laporan yang diperolehnya.
"Jika yang anda maksud adalah Nona Kitajima, ya, dia sedang syuting di Kyoto," jawab Hijiri.
"Rupanya anak itu belum menyerah," gumam Eisuke geram.
Hijiri bersyukur dengan geraman yang didengarnya. Setidaknya Eisuke berpendapat bahwa Masumi sengaja mengejar Maya ke Kyoto, ya tidak ada yang salah dengan itu, tapi mengingat fakta bahwa keduanya sekarang sudah menikah, Hijiri bersyukur pada siapa saja yang menjadi mata-mata Eisuke karena kebodohannya. Rencana Masumi tetap tersimpan aman.
"Terus amati perkembangan Masumi. Cih, aku ingin anak itu bisa kembali pada Shiori, bagaimanapun caranya," Eisuke benar-benar tampak kesal sekarang. Obsesinya untuk membuat Masumi dan Shiori rujuk kembali ternyata belum juga surut. Dalam hati Hijiri tertawa sekaligus merasa kasihan pada pria tua yang terus saja di perbudak oleh obsesi gilanya.
"Baik Tuan Besar," Hijiri mengangguk hormat begitu Eisuke berputar pada kursi roda dan meninggalkan ruang kerjanya. Pintu kantor yang tertutup langsung disambut desahan lega sang wakil direktur.
"Melelahkan," gumamnya seraya menghempaskan dirinya di kursi kerja, memijat pelipisnya yang berdenyut. Beberapa detik kemudian senyum tipis menghiasi wajahnya ketika pintu kantornya kembali terbuka.
"Terima kasih," ucapnya saat secangkir kopi mendarat mulus di mejanya, dibawa oleh seorang wanita yang selalu menjadi bunga mimpinya entah sejak kapan.
"Apa Tuan Besar curiga?" Tanya Mizuki tanpa basa-basi, mengabaikan ekspresi senang dan senyum atasannya.
Hijiri meraih cangkir kopi dan menikmatinya dengan tenang, memberi jeda kesunyian di antara mereka. Tiga kali tegukan dan Hijiri kembali meletakkan cangkirnya.
"Kau pasti sudah bisa menebaknya kan?" Katanya kemudian.
Mizuki menghela napas lelah, memutar tubuh pada tumitnya, Mizuki hendak melangkah ke pintu sebelum sebuah panggilan menghentikannya.
"Mau kemana?" Tanya Hijiri yang seolah tidak rela kekasih hatinya pergi begitu saja.
Mizuki mengerutkan keningnya, "Tentu saja kembali bekerja. Anda tidak berharap saya disini dan mengobrol seharian bukan?"
"Ide bagus," jawab Hijiri tenang diiringi dengan senyum manisnya.
Mata Mizuki membulat dan layaknya remaja yang merajuk, dia menghentakkan kaki menuju pintu, kesal dengan Hijiri yang selalu menggodanya. Hijiri sendiri hanya terkekeh ringan melihat tingkah Mizuki yang sangat-sangat jarang itu. Sebuah kebanggaan tersendiri baginya melihat Mizuki bisa menunjukkan sisi lain dirinya yang tidak pernah dilihat orang.
***
"Nghh, Masumi, hentikan," rengek Maya seraya menjauhkan bahunya dari kecupan suaminya.
Mustahil karena saat ini Maya sedang duduk diantara ke dua kaki suaminya yang terjulur di atas karpet beludru di ruang keluarga. Tubuh mungil Maya di dekap oleh kedua lengan kokoh Masumi.
"Kenapa?" Bisik Masumi seduktif tanpa berniat menuruti keinginan istrinya.
"Sebentar lagi Masato datang, jangan buat aku terlihat berantakan," kata Maya beralasan.
Masumi terkekeh. Ya, hobi baru Masumi sejak mereka menikah kemarin adalah menggoda Maya dan selalu sukses membuat istrinya itu bertekuk lutut juga, ahhh, rasanya tidak perlu dijelaskan lagi. Tidak salah kalau sekarang Maya menolak, mengingat saat ini dirinya sudah rapi karena menunggu Masato yang akan menjemputnya untuk kembali ke Kyoto. Waktu dua harinya sudah selesai dan besok, Maya harus kembali menjalankan pekerjaannya.
"Aku pasti akan sangat merindukanmu," bisik Masumi seraya menyandarkan dagunya di bahu mungil Maya.
"Hhmm," sang istri hanya menggumam setuju.
"Berjanjilah untuk merindukanku Maya," bisik Masumi yang langsung disambut tawa renyah Maya.
"Jangan konyol Masumi, permintaan macam apa itu?" Ucap Maya di tengah tawanya.
"Kau tidak mau merindukanku?" Masumi terlihat tersinggung dan Maya justru semakin tergelak dengan sikap kekanakan Masumi.
"Kemana Tuan Hayami-ku yang sangat berwibawa itu?" Goda Maya, "Kau terlihat seperti remaja SMA yang takut kehilangan cinta pertamanya," Maya kembali tergelak.
"Apa begitu?" Masumi menautkan alisnya ketika Maya memutar tubuhnya dan kedua manik mata mereka bertemu. Maya mengangguk.
"Ah, salahkan dirimu. Kenapa aku harus memiliki istri menggemaskan sepertimu yang membuatku tidak pernah ingin jauh darimu," kata Masumi kemudian seraya mengacak rambutnya sendiri.
"Kau menggerutu?" Tanya Maya yang kini sudah duduk menghadap suaminya.
"Tidak,"
"Lalu? Kelihatannya kau keberatan dengan frasa 'istri menggemaskan',"
"Terlalu berat membagimu dengan dunia ini sayang," Masumi menyentuhkan hidungnya dengan hidung mungil Maya, memiringkan kepalanya lalu mendaratkan sebuah kecupan di belahan bibir kenyal merah muda istrinya.
"Hal yang sama berlaku untukmu," bisik Maya didepan bibir suaminya.
Masumi tersenyum, "Aku bisa pastikan kalau hanya kau yang berhak atasku."
Maya tersenyum dan kali ini berinisiatif mengecup lebih dulu bibir suaminya, "Begitupun denganku."
Keduanya kemudian berbagi pelukan, menyatakan apa yang baru saja mereka utarakan, bahwa mereka saling memiliki satu sama lain.
Suara bel menyela kebersamaan mereka dan tidak perlu bertanya siapa yang datang. Masato pasti sudah siap membawa Maya dengan helikopternya.
"Sudah waktunya," ucap Maya.
Masumi mengangguk, "Jaga dirimu. Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu."
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Masumi memacu mobilnya, menerjang gelap malam menuju rumah besarnya. Sebenarnya, dia tidak ingin kembali ke rumah besar yang terlihat selalu dingin itu, terlebih sekarang dirinya tinggal seorang diri. Akan lebih menyenangkan kalau Masumi menghabiskan waktu di kondominium barunya dimana dia mempunyai banyak harapan kebahagiaan disana. Tapi apa daya kalau harapan indahnya terkadang tidak bisa terwujud begitu saja. Sore tadi Hijiri sudah melapor padanya tentang inspeksi mendadak ayahnya ke kantor.
Masumi berjanji akan mengutuk siapa saja yang menjadi mata-mata ayahnya itu hingga membuat sang Eisuke harus pulang lebih cepat dari jadwal terapi yang seharusnya. Sementara ini dirinya harus mengatur strategi agar tidak menuai kecurigaan dari sang ayah. Meski sebenarnya Masumi tahu kalau kepergiannya ke Kyoto sudah membuat ayahnya kesal.
Bukan rahasia lagi bagi Eisuke kalau putra angkat semata wayangnya itu terobsesi begitu dalam dengan Bidadari Merah. Mungkin itu adalah karma yang harus ditanggung oleh pria penyandang nama Hayami, mengingat dosa besar yang pernah dilakukan Eisuke di masa lalu. Baiklah, lupakan tentang semua itu, Masumi kini tengah sibuk memikirkan beberapa rencana sementara matanya tetap berusaha fokus pada jalan di depannya.
Masumi memarkirkan mobilnya di garasi dan dua orang pelayannya menyambut di pintu masuk. Masumi menatap heran keduanya.
"Istirahatlah Bi, ini sudah malam," perintah Masumi.
"Maaf Tuan, anda di tunggu oleh Tuan Besar di kamar tamu," kata seorang pelayan yang lebih senior seraya membungkukkan tubuhnya. Keiko, kepala pelayan yang baru menggantikan Takigawa yang sudah pergi bersama Shiori.
Masumi tidak terkejut dan hanya menghela napas panjang menanggapinya.
"Apa anda akan menemui Tuan Besar sekarang?" Keiko memberanikan diri untuk bertanya ketika Masumi tak juga merespon laporannya.
"Nanti, aku mau mandi, tolong siapkan air panas." Perintah Masumi kemudian.
Keiko memberi perintah pada pelayan di sebelahnya dan membiarkan tuannya masuk ke kamar utama sementara dirinya memberikan laporan pada Eisuke tentang kepulangan Masumi.
Mandi membuat Masumi lebih segar. Rasa lelahnya hilang seketika begitu mengingat ayahnya yang pasti sedang menunggunya. Tidak mau mengulur-ulur waktu lagi, Masumi segera menemui Eisuke dan menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan sejak dulu.
"Akhirnya kau pulang juga."
Kalimat sarat ironi itu langsung menyambut Masumi ketika dirinya dipersilakan masuk ke kamar tamu oleh Keiko. Wanita paruh baya itupun segera meninggalkan kamar begitu Masumi menolak tawarannya untuk membuatkan secangkir kopi. Dengan tenang Masumi duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi roda ayahnya. Tidak melihat adanya Asa di kamar membuat Masumi yakin kalau Eisuke sedang dalam mode seriusnya.
"Bagaimana kabar ayah? Apakah terapinya lancar?" Tanya Masumi basa-basi.
"Ck, hentikan omong kosongmu Masumi," jawab Eisuke datar.
Masumi menyeringai tipis, "Apakah sebuah omong kosong jika seorang anak mengkhawatirkan kesehatan ayahnya?"
"Bukankah kau lebih senang jika aku tidak sehat? Atau bahkan mati?" Lagi-lagi kalimat sarkasme itu keluar dari bibir Eisuke. Tidak adanya orang di kamar itu membuat ayah dan anak itu tidak perlu menjaga image mereka karena nama Hayami. Kekesalan Eisuke akan pembangkangan Masumi membuatnya tak sudi untuk sekedar basa-basi dengan anak angkatnya itu.
"Katakan padaku apa yang kau lakukan di Kyoto selama empat hari?"
"Apa yang ayah tahu mengenai apa yang aku lakukan di Kyoto?"
Masumi justru balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan yang dilontarkan ayahnya. Eisuke mengepalkan kedua tangannya geram di atas lengan kursi roda.
"Aku memerintahkanmu untuk membujuk Shiori agar kembali rujuk denganmu. Kenapa kau justru pergi menemui gadis itu, hah?"
"Berapa kali lagi harus aku katakan agar ayah mengerti. Aku tidak mencintai Shiori, ini adalah keputusan terbaik bagi kami."
"Jangan menguji kesabaranku Masumi!" Hardik Eisuke, "Aku mengangkatmu sebagai anak bukan untuk membantahku tapi untuk melakukan perintahku!"
Masumi menyeringai. Kata-kata yang diucapkan Eisuke melukai hatinya. Kalau boleh memilih, sungguh Masumi tidak ingin menyandang nama Hayami. Betapapun Fujimura bukanlah keluarga orang terpandang, paling tidak dirinya pasti bisa lebih bebas hidup dengan nama itu. Nama Hayami hanya membawa luka pada hatinya dan membuatnya kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya, ibunya. Kali ini Masumi tidak akan menyerah. Tidak peduli dengan nama Hayami atau apapun itu, dia tidak akan melepaskan orang tercintanya lagi. Tidak akan, meski nyawa yang menjadi taruhannya.
"Keputusanku sudah bulat ayah, apapun konsekuensinya," tegas Masumi.
Seketika Eisuke terbahak, seolah apa yang diucapkan Masumi adalah sebuah lelucon.
"Kau terlalu percaya diri Masumi! Kau pikir bisa semudah itu lepas dariku, huh?!"
Masumi menahan diri untuk tidak meledak saat mendengar ancaman ayahnya. Dia harus tetap tenang untuk bisa menghadapi Eisuke.
"Jadi kau sudah putuskan untuk tetap mengejar gadis itu?" Tanya Eisuke setelah tawanya mereda dan Masumi tak kunjung menanggapi perkataannya.
"Aku tidak akan pernah melepaskannya," tegas Masumi lagi.
"Baiklah, kalau begitu kau sudah mengibarkan bendera perang denganku," Eisuke menyipitkan matanya menatap Masumi, "pergilah, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."
"Selamat malam ayah," Masumi segera beranjak dari duduknya. Di dalam kepalanya sudah terbayang berbagai rencana untuknya dan Maya. Setidaknya Masumi masih memiliki waktu untuk mempersiapkan segalanya karena beruntung ayahnya belum tahu mengenai pernikahannya. Tidak lama lagi, akan tiba waktunya Masumi menyatakan semuanya.
"Masumi!"
Langkah Masumi terhenti tepat di depan pintu. Berbalik, Masumi mendapati ayahnya yang menatapnya tajam.
"Jaga barang kesayanganmu itu dengan baik karena barang serapuh itu pasti akan pecah jika tersentuh."
Masumi masih sempat menyeringai sebelum membalas perkataan Eisuke, "Aku mengerti."
***
Siang yang terik di taman kota, Kyoto. Kru film dan para aktor juga aktris Daito entertainment sedang sibuk menyelesaikan proses syuting mereka. Terlebih lagi Maya. Setelah absen selama dua hari, sekarang Maya disibukkan dengan jadwal syuting yang semakin padat. Tapi tak salah gelar aktris terbaik yang disandang oleh Maya. Dengan kepiawaiannya dalam berakting, scene demi scene dapat diselesaikan dengan baik oleh Maya tanpa kendala yang berarti. Sutradara meneriakkan kata break lima belas menit dan Maya segera menghempaskan dirinya di kursi hitam tempatnya beristirahat.
"Hari yang berat?" Tanya Koji yang kemudian duduk di sebelah Maya.
"Hhmm, Tuan Himekawa sudah menyiksaku sejak pukul lima pagi," gerutu Maya sebelum menghabiskan setengah botol air mineral yang diberikan oleh Midori.
"Ku pikir itu setimpal dengan libur dua harimu," goda Koji seraya tertawa.
Otomatis wajah Maya merona merah karena malu dan kedatangan Ayumi semakin memperparah keadaan Maya.
"Hentikan, jangan menggodaku terus," rengek Maya.
Ayumi dan Koji juga Midori justru semakin tergelak dibuatnya.
"Jadi kapan kau akan mengumumkan pernikahan kalian?" Tanya Ayumi.
Maya mengendikkan bahu, "Entahlah, Masumi bilang dia sudah punya rencana dan aku hanya tinggal mengikutinya, yang jelas dia melarangku menyembunyikan cincin ini," jelas Maya sambil mengangkat tangannya dan memperlihatkan jemarinya yang dilingkari cincin indah bertahtakan berlian mahal.
"Kau tahu, sepertinya aku bisa menebak rencana Tuan Masumi," celetuk Koji.
Langsung saja Ayumi dan Maya menatapnya penasaran. Hei, bahkan Maya yang notabene adalah istri Masumi tidak bisa menebaknya.
"Kemungkinan Tuan Masumi akan membiarkan para paparazi melihat cincinmu dan membiarkan tanda tanya besar bertengger di kepala mereka. Otomatis mereka akan menjadikanmu 'the most wanted', kenapa Bidadari Merah memakai cincin di jari manisnya?"
Koji mulai menjabarkan analisanya.
"Semakin panas berita ini tersebar semakin baik. Kau tahu kenapa? Begitu berita pernikahanmu terungkap maka rating film kita dapat ku pastikan akan berada di posisi puncak dan penghargaan Cannes bukanlah omong kosong," Koji mengakhirinya dengan senyum lebar dan langsung di sambut tawa Ayumi dan dengusan kesal Maya.
"Kenapa suamiku terdengar begitu memanfaatkanku untuk bisnis?" Gerutu Maya.
"Hipotesamu terdengar begitu masuk akal mengingat reputasi Tuan Masumi yang tidak pernah mau rugi. Tapi kau melupakan satu hal Koji," kata Ayumi begitu selesai dengan tawanya.
"Oh ya, apa itu?" Tanya Koji. Sekarang giliran Ayumi yang mendapat tatapan penasaran kedua sahabatnya.
"Kau lupa kalau berita pernikahan Maya adalah bendera perang untuk Tuan Besar Hayami. Dari yang ku dengar, Tuan Besar masih mengharapkan Tuan Masumi untuk rujuk dengan Nyonya, maaf Maya," jelas Ayumi, "aku pikir Tuan Masumi tidak akan sebodoh itu memanfaatkan berita pernikahannya untuk publikasi film mengingat konsekuensinya tidak kecil. Kalau tidak, kenapa pernikahan mereka harus di tutupi? Aku benar kan Maya?"
Maya menghela napas panjang, semua yang dikatakan Ayumi memang benar. Tak hanya Eisuke, keluarga Takamiya juga pasti tidak akan tinggal diam. Maya jadi membayangkan sosok kakek baik hati yang dulu pernah di kenalnya. Sedikit kecewa karena ternyata Eisuke tidak seperti apa yang sudah pernah di kenalnya. Sang Tuan Besar itu ternyata sosok yang menyeramkan, jauh berbeda dengan kakek ice creamnya. Belum lagi bayangan Shiori yang tiba-tiba melintas di kepalanya. Maya tanpa sadar menggeleng, berharap semua imajinasinya rontok seiring dengan gerakan kepalanya. Maya...bingung.
"Hei," tangan Koji yang mengusap lengan Maya menariknya ke alam sadar, "tidak usah dipikirkan. Aku percaya Tuan Masumi tahu yang terbaik untuk kalian. Dia pasti akan menjagamu," ucap Koji yang mencoba menenangkan.
"Percaya saja pada suamimu," tambah Ayumi.
Maya mengembangkan sebuah senyum tipis, mengurai kecemasan yang tadi tersirat di wajahnya. Sungguh Maya bersyukur memiliki sahabat yang mengerti akan keadaannya dan memberikan dukungan penuh padanya. Biasanya, Maya hanya bisa berkeluh kesah pada Rei, mengingat Rei tak sedang bersamanya membuat Maya lega bisa berbicara dengan Koji juga Ayumi.
Midori memberi tanda pada mereka untuk mengganti topik pembicaraan ketika para kru juga para pemain pendukung lainnya mulai berdatangan, tanda bahwa waktu istirahat mereka hampir habis.
"Terima kasih," ucap Maya kemudian sebelum akhirnya perhatian mereka teralihkan oleh pengumuman dari pimpinan produksi mengenai rangkaian syuting mereka.
***
Lain di Kyoto lain pula di Tokyo. Masumi tengah sibuk berkutat dengan tumpukan dokumen yang harus di tanda tanganinya, sementara Hijiri menggantikannya untuk memimpin beberapa rapat.
Sejak pagi hingga saat ini, siang menjelang sore, Masumi dan Mizuki belum beristirahat demi untuk menyelesaikan semua urusan yang sempat terbengkalai karena pernikahan Masumi. Jarum jam tepat menunjukkan pukul empat sore ketika Masumi selesai dengan dokumen terakhirnya. Desahan lega segera lolos dari bibir sang direktur utama, menyandarkan punggungnya di kursi kerja, Masumi memijat pangkal hidungnya perlahan.
"Istirahatlah Mizuki, kau bahkan melewatkan waktu makan siang tadi," perintah Masumi ketika melihat sekretarisnya masih sibuk memilah dokumen ke dalam beberapa tumpukan yang berbeda.
"Saya sudah makan roti dan minum kopi tadi, justru anda yang sama sekali belum istirahat Tuan. Bersedia kalau saya minta office boy membelikan makan untuk anda?" Mizuki menatap bosnya yang tampak lelah.
Belum sempat Masumi menjawab sebuah ketukan pintu terdengar dan mengurungkan niat Masumi untuk menjawab pertanyaan sekretarisnya.
"Masuk," seru Masumi.
"Selamat siang tuan." Sapa seorang pria yang baru saja memasuki ruangan.
Masumi hanya menganggukkan kepala untuk menjawab sapaannya. Namun lain halnya dengan Mizuki yang otomatis menghentikan gerakan tangannya yang sedang memilah dokumen ketika mendengar suara yang sangat familiar itu. Sesaat, matanya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri di sebelahnya, di depan meja kerja Masumi. Menahan senyumnya melebar, sang pria hanya sekedar melirik sebelum akhirnya memfokuskan perhatiannya pada Masumi.
"Bagaimana rapatnya Hijiri?"
Pertanyaan Masumi membuat Mizuki terkesiap. Dengan cepat dia kembali fokus pada dokumen di depannya dan melewatkan tatapan heran Masumi atas sikapnya.
"Rapat berjalan dengan lancar dan ini hasilnya," jawab Hijiri seraya memberikan sebuah map berwarna coklat pada atasannya. Setelah itu, Hijiri pun duduk dan sebisa mungkin menganggap wanita yang berdiri di sebelahnya itu tidak ada. Sebuah tarikan napas tajam terdengar lirih di telinga Hijiri dan tidak perlu bertanya siapa yang melakukannya meski dia tidak melihatnya.
Suasana tiba-tiba berubah menjadi hening. Masumi yang tengah membaca laporan Hijiri merasakan aura yang tidak nyaman dari dua orang yang berada di hadapannya. Mengalihkan perhatiannya, Masumi mendapati Hijiri yang menatap lurus padanya dengan tenang dan wajah Mizuki yang tampak kesal dengan gerakan tangan kasar memilah tumpukan dokumen.
"Apa kalian sedang ada masalah?" Tanya Masumi tiba-tiba.
Mizuki langsung mengangkat kepalanya dan menatap heran atasannya.
"Tidak Tuan," jawab Hijiri tenang.
Mizuki segera menoleh dengan tatapan kesal pada Hijiri. Tentu saja hal itu membuat Masumi menautkan alis. Sejak kapan sekretaris dinginnya itu bisa memiliki beragam ekspresi seperti itu? Sejak kapan pula Mizuki bisa tampak begitu kesal di hadapan orang lain? Bukankah wanita itu selalu unggul dalam hal pengendalian diri? Jawabannya pasti...Masumi beralih fokus pada Hijiri.
"Kau apakan sekretarisku?" Tanya Masumi to the point.
"Heh?!" Mizuki sontak terkejut.
"Tidak ada Tuan," jawab Hijiri santai.
"A-apa maksud anda Tuan Masumi?" Protes Mizuki.
"Tidak ada, aku hanya bertanya karena sikapmu aneh sekali," jawab Masumi sama santainya. Hijiri menarik sudut bibirnya menjadi seringai tipis yang segera saja menuai dengusan kesal dari Mizuki.
"Apa hubungannya sikap saya dengan pertanyaan anda pada Tuan Hijiri?" Mizuki sepertinya masih tidak terima dengan pertanyaan Masumi yang menurutnya mengaitkan dirinya dengan...Hijiri.
"Apa ada yang salah?" Tanya Masumi kemudian.
"Heh? Te-tentu saja Tuan. Memang apa hubungannya saya dengan-,"
"Oh, jadi tidak ada hubungannya ya?" Potong Masumi cepat seraya mengangguk-angguk tanpa dosa, "Kalau begitu aku minta maaf," lanjutnya lagi dan mengabaikan Mizuki yang menganga dengan tidak elitnya. Masumi kembali membaca dokumennya sementara Hijiri menahan tawanya melihat Masumi yang jelas sekali mengerjai sekretarisnya.
"Jika tidak ada lagi yang anda butuhkan, saya permisi Tuan Masumi," kata Mizuki kemudian. Menumpuk dokumennya dengan kesal, tidak peduli kalau sejak tadi dia sudah memilah semua dokumen itu, dia akan melanjutkannya lagi di ruangannya.
"Hhmm, pergilah," jawab Masumi santai tanpa menatap Mizuki dan masih terpaku pada dokumennya.
"Permisi Tuan Hijiri," kata Mizuki sambil lalu, tidak peduli jika etika yang biasanya dia junjung tinggi. Saat ini dia yakin kalau kedua atasannya ini tengah bersorak dalam hati melihatnya mati kutu.
Pintu yang tertutup dengan cukup keras menuai kekehan geli Hijiri.
"Anda mengerjainya Tuan," bukan terdengar sebagai pertanyaan, pernyataan itu dilontarkan Hijiri di sela tawanya.
"Kau menikmatinya kan?" Jawab Masumi tanpa dosa.
"Sedikit," lagi-lagi Hijiri menunjukkan sisi lain dirinya yang ternyata menikmati wajah kesal kekasih, ehm, calon kekasih mungkin. Mizuki cukup tangguh untuk ditaklukkan.
"Kau sengaja mengacuhkannya?"
"Tidak juga, hanya saja dia terlalu keras kepala untuk didekati dengan cara biasa."
Masumi mengangguk-angguk lagi, seolah mengerti benar apa isi kepala Hijiri.
"Anda tidak keberatan?" Tanya Hijiri penuh harap.
"Keberatan?" Masumi kembali mengalihkan fokusnya dari dokumen pada Hijiri.
"Jika saya menjalin hubungan dengan Nona Mizuki," tegas Hijiri.
"Ah itu, aku rasa sekretarisku itu memang perlu sentuhan cinta," Masumi terkekeh, terhibur dengan leluconnya sendiri dan Hijiri tersenyum puas.
"Terima kasih," jawab Hijiri kemudian.
"Ya, ku doakan kalian bahagia," imbuh Masumi.
"Seperti anda dan nyonya," Hijiri tersenyum melihat wajah malu atasannya.
"Hmm," gumam Masumi lirih, "ah, kau membuatku mengingatnya lagi," gerutu Masumi yang kini menutup kasar dokumennya. Giliran Hijiri yang terkekeh senang.
"Senang melihat anda bahagia Tuan," ucap Hijiri tulus.
***
Waktu berlalu begitu cepat, hari berganti tanpa sempat jari menghitungnya lagi. Hari ini adalah hari special, setidaknya bagi seorang wanita yang kini tengah menatap lega koper yang tertutup rapat di hadapannya.
"Anda terlihat senang sekali Nyonya," celetuk Midori yang mengulas senyum melihat ekspresi bahagia nyonya mudanya.
"Hhmm, aku pulang hari ini," sahut Maya girang, sama sekali tidak berusaha untuk menutupi perasaannya. Toh menejernya itu tahu apa alasan di balik kebahagiannya. Ya, setelah jadwal syuting panjangnya yang ternyata benar-benar diperpanjang hingga sepuluh hari -yang tentunya menuai kekesalan dari suaminya di Tokyo sana- akhirnya Maya bisa kembali.
"Saya berani bertaruh kalau saat ini Tuan Masumi pasti sudah sangat merindukan Nyonya,"
Midori tampak terhibur saat membayangkan Masumi yang selalu gagal mempertahankan topeng pangeran esnya saat bersama Maya.
Maya terkekeh, "Kau belum memberitahunya kan?"
"Tentu tidak Nyonya," jawab Midori.
"Baguslah, aku tidak mau kejutanku gagal," Maya tersenyum lebar begitu membayangkan skenarionya akan berjalan lancar. Anggap saja ini balasan untuk suaminya yang selalu saja membuat jantungnya hampir lepas. Sesekali Maya juga ingin membalas.
Midori terkekeh melihat sifat kekanakan Maya. Sungguh tak pernah bosan dirinya bersama aktris kelas satu yang notabene sudah menjadi nyonya muda itu. Maya memang berbeda dengan aktris yang dulu pernah ditanganinya. Tidak pernah ada sifat sombong dan angkuh pada Maya meski dia menyandang gelar aktris terbaik. Padahal di luar sana, banyak sekali aktris yang belum seberapa kemampuannya namun sudah bergaya bak primadona kelas satu dengan tingkah yang menyebalkan. Tidak heran kenapa seorang direktur seperti Masumi bisa jatuh hati pada seorang Maya. Polos, baik hati, lemah lembut meski tingkat cerobohnya tergolong parah tapi Maya tetaplah pribadi hangat yang layak untuk dicintai dan dirindukan.
"Nona Midori?"
Sebuah panggilan menyentakkan Midori dari lamunan panjangnya.
"Kau melamun?" Tanya Maya heran. Menejernya itu sangat jarang kehilangan fokus, berbeda dengan dirinya yang memang hobi melamun, apalagi jika obyek lamunannya adalah Masumi, rasanya Maya enggan untuk tersadar.
"Maaf, saya hanya sedang memikirkan beberapa jadwal," jawab Midori bohong, tentu saja sungkan baginya untuk mengatakan kalau topik lamunannya adalah Maya sendiri.
Maya mengangguk-angguk tanpa curiga. Kepolosan Maya memang tiada bandingannya. Midori menahan senyumnya melebar ketika lagi-lagi teringat akan keisengan Masumi yang selalu sukses mengerjai Maya yang terlalu polos itu.
"Sudah waktunya Nyonya," kata Midori kemudian.
Maya mengangguk lagi, diapun mengambil tas tangannya sementara Midori memerintahkan room boy yang baru saja masuk untuk membawa semua barangnya ke bawah. Maya dan para aktris akan kembali ke Tokyo hari ini tapi kru produksi baru akan kembali besok. Karena itu Maya berharap hari ini dia bisa memberi kejutan untuk suaminya setelah selama sepuluh hari mereka tidak bertemu.
Tiba-tiba wajah Maya dihiasi rona merah dan dia segera mengibaskan tangan di depan wajahnya yang terasa panas. Beruntung tidak ada yang melihatnya sekarang. Entah apa yang sebenarnya direncanakan Maya untuk suaminya malam ini.
***
Jika Maya sedang menikmati perjalanan pulangnya dengan shinkansen maka lain halnya dengan sang suami yang tengah berada di kantornya, di Gedung Daito.
Masumi tampak serius menatap tumpukan pekerjaannya yang sepertinya tidak pernah ada habisnya itu. Entah bagaimana tumpukan dokumen itu datang setiap harinya dengan jumlah yang semakin banyak meski setiap harinya Masumi bekerja untuk menyelesaikannya. Beruntung saat ini sang istri sedang bekerja di luar kota, Masumi mulai kesal saat memikirkan saat istrinya kembali nanti dan dia tetap harus berkutat dengan tumpukan pekerjaan yang membuatnya pulang larut.
Tidak, tidak! Masumi tanpa sadar menggeleng. Dulu hal itu bukan masalah baginya, justru sebaliknya. Masumi selalu senang membunuh waktunya dengan tumpukan pekerjaan tapi tidak dengan sekarang. Masumi ingin lebih banyak menghabiskan waktu bersama istri tercintanya. Sebuah seringai tipis terulas dibibir Masumi, membayangkan 'pekerjaan' yang lebih menyenangkan saat istrinya kembali nanti.
Seketika seringai di wajah Masumi menghilang dan tanpa sadar bibirnya mengumpat lirih. Menutup kasar dokumen di pangkuannya dan mengacak rambut lebatnya dengan kesal. Gila, Masumi merasa gila karena Maya sekarang. Masumi dengan pengendalian diri sempurnanya kini tak ubahnya dengan remaja labil dengan hormon yang mengamuk. Setelah sukses menahan gejolak hasrat hingga mencapai usia dewasanya, kini Masumi dibuat stress karena harus menahan diri yang lamanya hanya dalam hitungan sepuluh jari. Maya sudah seperti candu baginya.
Masumi memincingkan mata saat menatap bagian selatan tubuhnya yang mulai lepas kendali sejak dirinya membayangkan 'pekerjaan' bersama istrinya itu. Lagi-lagi mengumpat lirih, Masumi berjanji tidak akan mengijinkan Maya untuk pergi jauh darinya dalam waktu yang lama. Oh, jangan sampai Mizuki atau Hijiri tahu akan pemikirannya saat ini jika tidak mau dirinya, sang Direktur Dingin Daito, mati kutu di hadapan anak buahnya. Mizuki dan Hijiri selalu menjadi pasangan kompak jika untuk mengerjainya.
Sebuah desahan panjang lolos dari bibir Masumi bersamaan dengan suara ketukan pintu.
"Masuk," seru Masumi yang sudah berhasil mengendalikan dirinya. Mengabaikan tuntutan di bawah sana dan mengalihkan pikirannya pada sosok yang muncul di balik pintu kantornya.
"Perubahan jadwal untuk anda," Mizuki memberikan sebuah agenda pada Masumi.
"Kenapa Hijiri menggantikan jadwal rapatku sore ini?" Masumi menautkan alis menatap jadwal di tangannya, "dan besok pagi? Rajin sekali dia," gumam Masumi tanpa sadar.
Mizuki hampir terkekeh melihat reaksi tidak biasa atasannya.
"Kau tampak senang," kata Masumi begitu melihat ekspresi Mizuki. Entah sejak kapan Masumi jadi suka memperhatikan ekspresi orang lain terlebih ekspresi milik sekretarisnya itu.
"Saya? Tidak," elak Mizuki.
Sesaat Masumi tampak berpikir, "Apa kau mau menjadi sekretaris resmi Hijiri?"
Pertanyaan spontan Masumi membuat Mizuki tergagap.
"A-apa mak-sud a-anda?"
Masumi terkekeh, "Keluarlah, panggilkan Hijiri untukku."
"Baik Tuan, permisi," Mizuki sedikit menekuk wajahnya karena lagi-lagi Masumi mengerjainya. Entah apa yang terjadi dengan bos dinginnya itu. Sejak adanya Hijiri terlebih sejak menikah, Masumi jadi suka menggodanya. Dalam hati Mizuki merutuki wakil direktur yang selalu sukses membuatnya menjadi obyek candaan Masumi.
Setelah sampai di mejanya, Mizuki segera menekan tombol interkom, menghela napas panjang sebelum mulai bicara.
"Selamat siang Tuan Hijiri,"
"Ah, Nona Mizuki, apa kau merindukanku?"
Mizuki melotot meski tahu lawan bicaranya tidak bisa melihat itu. Hatinya geram mendengar kalimat santai itu terlontar dari bibir atasannya.
"Maaf mengecewakan anda Tuan Hijiri tapi Tuan Masumi meminta anda untuk ke ruangannya," jawab Mizuki dengan masih mempertahankan sikap tenangnya.
Dari seberang sana terdengar suara kekehen dan Mizuki menautkan alisnya heran, tidak merasa apa yang dikatakannya itu lucu. Apa atasannya itu sudah gila? Pikir Mizuki.
"Aku tidak akan terkejut jika kali ini kau mengecewakanku Nona Mizuki. Tidak setelah drama hari sabtu lalu," jawab Hijiri, masih setia dengan kekehannya.
Mizuki terhenyak dengan kalimat yang didengarnya. Mengabaikan tentang tetek bengek etika dan segala aturannya, Mizuki langsung memutuskan sambungan interkomnya, berdecak kesal lalu meneguk botol air mineral di depannya.
"Sial!" Umpatnya pelan.
***
Hijiri menghela napas seraya melonggarkan simpul dasinya. Alih-alih bergegas menemui Masumi, pria yang kini menjabat sebagai wakil direktur Daito itu justru bergeming di tempatnya seraya menatap sendu interkom yang baru saja dimatikan secara sepihak.
"Saeko," nama itu lirih terucap dari belahan bibirnya, "kau benar-benar keras kepala," gumamnya kemudian.
Ingatannya langsung terlempar pada memori akhir pekan kemarin. Hari Sabtu, hari dimana dia berjanji akan menjemput Mizuki untuk makan malam. Sebuah permintaan, ah salah, sebuah paksaan yang dia katakan sebagai usaha untuk mendekatkan diri lebih lagi dengan wanita yang sudah berhasil merebut hatinya itu.
Namun ungkapan dimana khayal tak pernah seindah kenyataan sepertinya memang benar. Nyatanya, Sabtu malam kemarin, Hijiri harus berdiri di depan pintu apartemen 'calon kekasihnya' selama tiga jam tanpa sambutan apapun. Jangankan penolakan ataupun pembatalan janji, membukakan pintupun Mizuki enggan. Sungguh Hijiri harus menahan diri untuk tidak mendobrak pintu apartemen Mizuki dan menarik keluar wanita keras kepala itu.
Bukannya besar kepala tapi Hijiri bisa melihat bahwa sebenarnya wanita berambut panjang itu juga memiliki perasaan yang sama padanya. Hijiri sudah membuktikannya dengan nekat mencium bibir calon kekasihnya itu di malam pernikahan Maya dan Masumi. Hijiri juga sudah menyatakan cintanya. Namun entah mengapa Mizuki masih saja menutup hatinya bahkan terkesan menjauhinya setelah hari dimana dia menyatakan perasaannya.
Memijat pangkal hidungnya perlahan, baru kali ini Hijiri merasa tak berdaya. Dirinya adalah orang kepercayaan Hayami yang terlatih, orang yang memiliki pengendalian diri sempurna, ahli dalam melakukan berbagai pekerjaan baik berat ataupun ringan. Hijiri adalah pria tangguh yang sudah terlatih dalam tempaan hidup yang berat. Tapi apa nyatanya sekarang? Semenjak dirinya diijinkan untuk membuka identitasnya, melepas perannya sebagai mata-mata, Hijiri juga menemukan sisi lain dari dirinya yang bahkan tidak disadarinya. Dia bahkan terkejut dengan kenyataan bahwa dirinya yang dulu sedingin es ternyata bisa memiliki perasaan hangat bernama cinta untuk seorang wanita yang dulu hanya bisa dipandanginya dari jauh. Wanita yang lama diamatinya hanya sebagai seorang sekretaris namun dalam sekejap berubah menjadi sosok bidadari kala sosok itu berdiri nyata di hadapannya. Saeko Mizuki, wanita dingin yang sanggup melelehkan hati esnya.
Sayangnya perjuangan Hijiri tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Mengeratkan kembali simpul dasinya, Hijiri meraih jas yang tadi tersampir rapi di lengan kursinya. Hijiri menyingkirkan sejenak sisi melankolisnya, menyimpan semua pemikirannya untuk bekal nanti sebelum dirinya tidur.
Sekarang dia beranjak dan melangkahkan kaki untuk menemui atasannya, Masumi pasti sudah menunggu. Dia tahu apa yang akan dibicarakan oleh Masumi. Sebuah senyum tipis singgah di wajahnya yang sejak tadi tampak sendu, kejutan balasan dari Nyonya mudanya.
Setidaknya perjalanan cinta Maya dan Masumi itu membuatnya sedikit bisa berharap, tidak ada yang mustahil dalam cinta. Dia tidak akan menyerah. Tidak, Hijiri tidak akan pernah menyerah. Dia yakin, suatu hari, Saeko Mizuki pasti akan menjadi miliknya. Dia hanya harus bersabar. Sabar seperti apa yang dilakukan tuannya. Hanya satu doanya, semoga bukan belasan tahun dia harus menunggu, karena tentu saja usia mereka berpengaruh saat ini. Hijiri jadi terkekeh sendiri, mengabaikan beberapa karyawan yang menatapnya heran di koridor. Konyol.
***
Ctak!
Masumi menekan saklar lampu yang seketika membuat ruang tengah kondominiumnya terang benderang. Menghempaskan dirinya di sofa bulat di tengah ruangan, Masumi melempar jasnya ke lengan sofa lalu melepas simpul dasi di lehernya. Melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangannya, jarum yang menunjuk angka tujuh membuatnya mendesah. Matanya berputar untuk sekedar menyapu setiap sudut ruangan yang terlihat lengang itu.
Hijiri menghandle semua jadwal kerjanya sore tadi termasuk menghadiri perjamuan pesta malam ini. Sedikit heran tapi mendengar alasan Hijiri yang katanya merasa bosan karena tidak ada kegiatan malam membuat Masumi membiarkan saja wakil direktur sekaligus sahabatnya itu untuk menggantikannya.
Tapi disinilah Masumi sekarang. Di kondominium mewahnya, sendirian, bosan. Kenapa juga dirinya harus pulang awal jika memiliki alasan sama dengan Hijiri. Kesepian tanpa pekerjaan justru membuat Masumi tersiksa karena teringat dengan istri mungilnya. Sempat terpikir untuk pergi ke pub sepulang kerja tadi tapi ancaman Mizuki membuatnya bergidik. Entah kenapa sekretaris yang biasanya cuek itu kini melarangnya untuk pergi ke pub meski sekedar untuk minum satu dua gelas, membunuh waktu tentunya. Katanya karena dia sudah mendapat mandat dari Maya untuk memastikan kalau sang direktur itu akan langsung pulang ke rumah dan beristirahat setelah kerja. Memang di akuinya jika selama sepuluh hari ini, Masumi menggila di meja kerja untuk mengalihkan kerinduannya. Bahkan akhir pekanpun digunakannya untuk bekerja. Salahkan saja Daito yang tak pernah kehabisan pekerjaan.
Masumi hampir memejamkan matanya dengan kepala bersandar di sofa sebelum suara ping keras dari handphone menyentakkannya.
Sebuah senyum tersungging di bibir sang direktur kala matanya membaca sebuah kalimat yang ternyata dikirim oleh sang pujaan hati.

Aku merindukanmu

Hanya dua kata tapi Masumi merasakan kehangatan menjalari hatinya. Lelah dan bosan yang tadi dirasanya hilang seketika. Jarinya reflek mengetik barisan kata untuk membalas pesan istrinya.

Aku juga merindukanmu. Aku tidak sabar untuk bertemu. Ingatkan aku untuk membuat perhitungan dengan Tuan Himekawa yang memperpanjang jadwalmu hingga menyiksaku seperti ini.

Ibu jari Masumi menekan tombol kirim. Bibirnya kembali mengulas senyum saat membayangkan ekspresi Maya ketika membaca pesan balasannya. Kurang dari dua menit sebuah pesan kembali masuk. Sebuah emoticon gadis yang tertawa dan sebuah gambar hati. Masumi terkekeh, sadar betapa muda istri mungilnya itu.
Ibu jari Masumi kembali menari, mencari gambar yang cocok diantara deretan emoticon yang tersedia di aplikasi pesannya. Sedikit merasa konyol karena jujur, Masumi belum pernah berbalas pesan dengan emoticon yang menurutnya kekanakan itu. Setelah mendapat emoticon yang cocok, Masumi segera menekan tombol kirim. Sebuah gambar pemuda chibi yang mengerucutkan bibirnya seolah minta di cium. Dan beberapa menit kemudian Masumi benar-benar tertawa saat membaca pesan balasan istrinya, sebuah emoticon pasangan cibhi dimana sang istri tengah di gendong oleh suaminya dan keduanya berbagi ciuman diiringi banyak tanda cinta di kepala mereka. Ah, betapa Masumi tak pernah bosan dengan Maya. Bahkan hanya dengan bertukar emoticon, istrinya itu sanggup membuatnya merasa bahagia.
Tanpa sadar sudah empat puluh lima menit dirinya berdiam di atas sofa dan bertukar pesan dengan istrinya. Membalas pesan dengan mengatakan bahwa dirinya merasa lapar dan ingin mandi membuat Maya segera membalas dan memakai mode capslock untuk menyuruh suaminya makan dan mandi.
Dengan masih terkekeh Masumi berjalan ke arah dapur lalu membuka lemari es. Menemukan seporsi lasagna beku dalam mangkuk aluminium foil. Masumi memasukkan menu makan malamnya itu ke dalam microwave lalu bergerak ke sisi lain dapur untuk membuat secangkir kopi. Kurang dari sepuluh menit, Masumi sudah duduk di meja makan dan menikmati makan malamnya. Tanpa disadari Masumi, sepasang mata bulat tengah mengamati semua gerak-geriknya dari celah pintu kamar tamu.
Cangkir kopi telah kosong dan mangkuk aluminium foil sudah berakhir di tempat sampah. Masumi melewati ruang tengah untuk mengambil jasnya lalu melangkahkan kaki menuju kamarnya. Mandi adalah agenda selanjutnya malam hari ini. Masumi menghilang di balik pintu kamarnya dan beberapa saat kemudian sosok mungil tampak keluar dari kamar tamu, berjingkat menuju kamar utama dengan senyum lebar menghiasi wajah imutnya.
***
Seorang pemuda berdiri di bawah pohon, di depan sebuah cafe di kawasan Ginza. Dia tampak tidak sabar menoleh ke kanan dan ke kiri, pastinya menunggu seseorang. Sesekali pandangannya beralih ke pergelangan tangannya, mengernyit saat melihat jarum jam yang terus bergerak, menunjukkan berapa lama dia sudah berdiri di tempat itu.
Beberapa menit kemudian desahan napas lega diiringi sebuah senyum menghiasi wajah sang pemuda. Dari kejauhan tampak seseorang berlari ke arahnya.
"Maaf," satu kata itu langsung terucap pada pemuda yang berdiri di depan cafe, "kau sudah...lama menunggu...Koji?" Tanyanya di tengah napasnya yang terengah karena berlari.
Koji terkekeh melihat gadis yang kini membungkuk dengan kedua lengan menopang di atas lututnya. Gadis unik yang mengenakan blouse biru muda dipadukan dengan celana jeans warna hitam, di bahu kirinya tersampir tote bag warna biru tua dengan motif garis putih.
"Tiga puluh tujuh menit," jawab Koji singkat, "tidak biasanya kau terlambat Rei."
Rei sedikit mencebik ketika ingat alasannya terlambat. Bus yang ditumpanginya bermasalah dan dia harus menunggu bus lain untuk bisa sampai ke Ginza tepat waktu meski nyatanya tetap terlambat. Koji terkekeh saat mendengar penuturan Rei.
"Ayo kita masuk, ku harap segelas ice cappucino bisa meredakan emosimu," kata Koji kemudian.
Rei tersenyum, mengikuti langkah Koji menuju cafe di depannya.
"Kau baru kembali sore tadi kan?" Tanya Rei kemudian.
Koji mengangguk.
"Kau tidak lelah?" Tanya Rei heran. Pertanyaan yang dia simpan sejak sore tadi. Koji mengajaknya bertemu padahal pemuda itu baru saja pulang dari Kyoto.
Koji tersenyum tipis, "Ku rasa lelahku hilang setelah melihatmu."
Rei menganga dan dengan segera menutup kembali mulutnya. Saat Koji menoleh, Rei menunduk dalam, menyembunyikan semburat merah di pipinya. Gagal, karena Koji kembali mengulas senyum saat melihat ekspresi manis di depannya.
Koji mendorong pintu cafe diikuti Rei yang berusaha mengendalikan degub jantungnya yang liar. Seorang waitress menyambut mereka dengan ucapan selamat datang dan senyum yang terlalu lebar -menurut Rei-.
"Meja untuk dua orang," kata Koji kemudian.
Waitress itu merona dibawah tatapan mata Koji, dia tahu siapa Koji. Jelas saja, wajah Koji terlalu sering muncul di layar kaca.
Rei mengernyit melihat ekspresi malu-malu kucing waitress itu, ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Entahlah, Rei tidak bisa mendeskripsikan perasaannya saat ini. Tidak suka? Cemburu?...err, mungkin, tidak, tidak mungkin. Hatinya menyangkal.
Koji dan Rei berjalan dalam diam mengikuti waitress yang menunjukkan meja mereka.
"Eng, maaf, Tuan Sakurakoji, bo-bolehkah saya minta tanda tangan anda?" Tanya waitress itu ketika Koji dan Rei sudah duduk di meja mereka.
"Tentu," Koji menerima buku memo berukuran sedang yang diulurkan oleh waitress itu dan menorehkan tanda tangan di atasnya.
Rei bergeming menatap gadis berseragam yang berdiri di depannya itu. Lagi-lagi sesuatu menggelitik hatinya, tidak nyaman.
"Terima kasih," waitress itu tersenyum lebar saat menerima kembali buku memonya. Perhatiannya kemudian beralih pada Rei.
"Ya?" Rei bertanya karena melihat tatapan aneh gadis di depannya.
"Maaf, apakah anda, ngg, aktor juga? Boleh saya minta tanda tangannya? Anda, hmm, tampan sekali," waitress itu menggaruk pipinya dengan ekspresi malu. Kalimatnya terbata.
Koji sukses tertawa mendengarnya, "Sepertinya aku kalah tampan."
Rei menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan seraya menggerutu panjang. Keduanya mengabaikan waitress yang berdiri menatap mereka dengan tatapan tidak mengerti.
***
Masumi keluar dari kamar mandi dengan masih mengenakan jubah mandinya. Kepalanya tertutup handuk kecil sementara tangannya sibuk mengeringkan rambut basahnya.
"Ehem."
Seketika tangan Masumi membeku di atas kepala dan kakinya berhenti melangkah. Mengangkat wajahnya, mata Masumi melebar, terkejut melihat pemandangan yang tersaji di depannya. De javu, ya, Masumi merasa de javu dengan apa yang terjadi saat ini. Dirinya keluar dari kamar mandi dan mendapati sosok...err, seksi -kalau boleh dibilang begitu- berbaring di tempat tidur king size-nya.
"Kau...," Masumi kehilangan kata-katanya saat sosok yang mengejutkannya itu turun dari tempat tidur dan berjalan ke arahnya.
Sepasang lengan melingkar di pinggang Masumi, sementara pipi nan lembut bersandar di dada bidang yang hanya tertutup setengah oleh jubah mandi. Rasa hangat menjalar di dada Masumi kala kulitnya bersentuhan dengan kulit halus nan lembut itu. Sedikit gesekan membuat Masumi memejamkan mata, menikmati friksi kenikmatan yang dikirimkan oleh saraf-saraf sensitif di dadanya.
Handuk kecil di tangan Masumi terjatuh kala tangannya membalas pelukan sosok manis yang mengejutkannya itu.
"Aku pulang," lirih Maya tanpa menatap wajah suaminya. Sungguh Maya menekan semua rasa malunya demi kejutan istimewa ini. Wajahnya kini memerah karena ulahnya sendiri.
Masumi mengeratkan pelukannya, mendaratkan beberapa kecupan di puncak kepala istrinya. Masumi sungguh merindukan ini, aroma bunga dari shampo istrinya memanja indra penciumannya.
Masumi menundukkan kepala dan berbisik di telinga istrinya, "Selamat datang sayang."
Maya menggigit bibir bawahnya ketika Masumi menyibak rambut di bahunya dan mengecup lembut belakang telinganya. Wajah Maya semakin merona.
Pelukan keduanya terurai dan Masumi terkekeh melihat wajah merah istrinya.
"Kejutan yang menyenangkan," kata Masumi, "jangan bilang ini alasan Hijiri menggantikan semua jadwalku malam ini?" Jemari Masumi menyusuri wajah Maya.
"Uhm," Maya mengangguk, "sekali-kali aku juga mau membuat kejutan untukmu," ujar Maya.
Masumi tertawa lebih keras sekarang, "Aku akan memintanya setiap hari kalau begini caramu mengejutkanku."
Maya menunduk malu, tangannya menggenggam ujung lingerie transparan yang menutupi tubuhnya hingga sebatas paha. Jangan tanya darimana Maya mendapat lingerie manis berwarna ungu yang begitu pas membungkus tubuh mungilnya. Salahkan Ayumi yang memberinya 'kado' istimewa beserta petunjuk 'cara menyenangkan suami' yang dibaca Maya dengan mata melotot tak percaya.
"Siapa yang mengajarimu?" Masumi mengangkat dagu Maya, membuat manik mata mereka bertemu. Masumi seolah tahu apa yang dipikirkan oleh istrinya.
"Ngg, Ayumi," lirih Maya seraya tersenyum canggung.
Masumi tersenyum menahan geli.
"Lingerie ini?" Telunjuk Masumi dengan nakal menyusuri seutas tali yang menggantung di bahu Maya. Jari itu terus bergerak turun sesuai bentuk tepian lingerie hingga mendarat di belahan dada istrinya. Maya menepis tangan Masumi saat jari nakal itu ingin masuk lebih jauh. Masumi terkekeh.
"Kado dari Ayumi," lirih Maya lagi seraya memalingkan wajahnya.
Tidak tahan dengan godaan bidadari cantik di depan matanya, Masumi kembali menarik dagu Maya, merendahkan kepalanya dan menautkan bibir mereka. Sesaat Maya terkejut namun saat matanya terpejam, Maya menikmati kelembutan bibir Masumi yang memanjanya.
"Ungh," Maya melenguh lirih dalam mulut Masumi kala tangan nakal suaminya mulai membelai setiap inchi tubuhnya, meremas bagian-bagian sensitif yang membuat tubuh Maya memanas.
"M...ahh, sumi...," Maya mendesah panjang kala Masumi menyelipkan tangannya diantara lingerie dan menyentuh kulit tubuh istrinya secara langsung. Sementara bibirnya dengan lincah membuai sepanjang garis leher Maya.
Maya menautkan alis kesal saat merasakan senyum Masumi di lehernya. Kepalan tangan kecilnya memukul lengan Masumi yang dengan erat memeluknya.
"Ingatkan aku untuk berterima kasih pada Ayumi," bisik Masumi.
"Jangan menggodaku," rengek Maya dan Masumi terkekeh dibuatnya.
Mengeluarkan tangannya dari dalam lingerie, kini kedua lengan Masumi melingkar di pinggang ramping istrinya. Maya yang merasakan kakinya tak lagi menyentuh lantai langsung melingkarkan kedua lengannya di leher sang suami. Langkah kaki Masumi membawa tubuh mungil Maya ke tempat tidur mereka.
Dengan lembut Masumi menurunkan Maya hingga sepasang kaki mungil itu menyentuh lantai. Maya merasakan betisnya tertekan pada badan tempat tidur saat Masumi semakin merapatkan tubuhnya. Maya bahkan hampir terdorong ke tempat tidur kalau saja Masumi tidak dengan cepat melingkarkan salah satu lengannya di pinggul Maya. Masumi tertawa renyah, sungguh saat-saat bersama istrinya seperti sekarang ini membuatnya sangat bahagia hingga rasanya sulit untuk berhenti tertawa.
"Apa?" Tanya Maya saat merasakan arti lain dari tatapan mata suaminya.
"Aku hanya sedang bertanya-tanya, apa yang Ayumi ajarkan lagi padamu," Masumi menyeringai dan wajah Maya kembali memanas.
"Me-memang apa yang kau harapkan?" Tanya Maya yang berusaha menahan rasa malu dan gugupnya. Masa bodoh dengan tips agresif dan percaya diri yang diajarkan oleh Ayumi.
Masumi mengetuk-ngetuk dagunya dengan jemari, seolah berpikir, sementara tangannya yang lain masih dengan posesif memeluk istrinya. Kerutan di keningnya menambah kesan serius dari akting berpikirnya.
"Apa?!" Tanya Maya dengan nada tinggi, jengah dengan Masumi yang terus menggodanya. Maya sempat memakin di dalam hati, ternyata menyenangkan suami tidak semudah bayangannya. Masih lebih mudah baginya menghapal lima buku skenario dalam waktu satu hari daripada menghapal semua tips yang diberikan Ayumi, terlebih lagi mempraktekkannya.
"Entahlah," Masumi mengendikkan bahu, menatap mata bulat istrinya, "hal yang menyenangkan?" Goda Masumi seraya mengerlingkan sebelah matanya.
Maya menggaruk pipinya yang tidak gatal dengan telunjuk, ragu.
"Ada?" Tebak Masumi kemudian.
"Ngg, sebenarnya...ada," Maya memberi jeda pada kalimatnya, "tapi aku ragu kau akan menyukainya," lanjutnya.
Masumi menahan senyumnya melebar, tidak mau istrinya itu membatalkan semua rencana -yang entah apapun itu- di dalam kepalanya. Masumi yakin Maya sudah mempersiapkan dirinya untuk semua ini. Istrinya itu pasti sudah mati-matian berusaha membuat kejutan untuknya. Sebagai suami tentu Masumi tidak ingin Maya kecewa, lagipula dirinya memang penasaran, apa yang sebenarnya direncanakan oleh istri mungilnya itu.
"Kau yakin?" Tanya Maya tiba-tiba.
Salah satu alis Masumi terangkat, tak mengerti, "Maksudmu?"
"Err, kau yakin mau aku melakukannya?" Terang Maya.
"Melakukan apa?" Masumi lagi-lagi menggoda istrinya.
Maya mengerucutkan bibirnya. Masumi terkekeh.
"Baik, baik, jangan marah," bujuk Masumi saat Maya berusaha lepas dari kungkungan lengannya. Wajah imutnya tampak kesal.
"Sshh, dengar," Masumi kembali mengeratkan pelukannya, "pertama, aku tidak tahu apa yang kau rencanakan tapi tidak, aku tidak keberatan dengan apapun yang akan kau lakukan," Masumi menatap lembut istrinya, jarinya mengusap sisi wajah Maya yang masih dihiasi semburat merah.
"Kedua, bagaimana kau tahu aku menyukainya atau tidak kalau kau bahkan tidak mencobanya?" Lanjut Masumi.
Maya menghela napas panjang. Kali ini Masumi membiarkan saat Maya menarik lengannya, melepaskan pelukannya. Istri mungilnya kini berjalan memutari tempat tidur dan berhenti di depan nakas di sisi lain tempat tidur. Masumi hanya mengikuti setiap gerakan Maya dengan pandangan matanya. Tanda tanya kembali terbaca di wajah tampan Masumi saat Maya menatapnya ragu.
"Berbaringlah," perintah Maya lirih.
"Eh?" Masumi sedikit terkejut dengan perintah istrinya.
"Berbaringlah!" Maya mengulang perintahnya dengan nada yang lebih tinggi.
Meski tidak mengerti tapi Masumi tetap melakukan perintah Maya. Diapun naik ke atas tempat tidur dan berbaring dengan dua bantal menyangga kepalanya, membuatnya setengah duduk.
"Kau bilang tidak keberatan dengan apapun yang akan aku lakukan?" Maya menegaskan kembali pernyataan Masumi sebelumnya.
Sedikit rasa tidak nyaman menjalari hati Masumi namun dia tetap mengangguk. Masumi tidak mau dibilang sebagai suami yang tidak konsisten dengan ucapannya.
Maya tersenyum dan senyum itu membuat kening Masumi berkerut. Masumi yakin sesuatu...entahlah, sepertinya ada sesuatu yang akan disesalinya karena membiarkan Maya menjalankan rencananya.
Benar saja, Maya membungkuk membuka laci nakas dan sesuatu yang kini di genggamnya membuat Masumi membulatkan matanya.
"Kau ingin aku mengikatmu?" Masumi menahan diri untuk tidak memekik. Menahan pikirannya untuk lepas kendali karena benda yang sekarang di genggam Maya.
Namun senyum di wajah Maya membuat Masumi menekan euforia di dalam dirinya yang datang terlalu cepat. Perkirannya pasti salah. Ya, pasti salah! Karena saat ini istrinya justru tersenyum lebar, terlalu lebar menurutnya.
"Maya...," Masumi menelan ludah perlahan, membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering, "jangan bilang kalau-," Masumi bahkan menahan napas saat Maya justru terkikik geli. Sungguh berbeda dengan istrinya yang malu-malu tadi. Akting?
"Sepertinya kau bisa menebak apa yang aku rencanakan?" Maya terkikik lagi.
Masumi hanya bisa menganga saat Maya naik ke tempat tidur dan memakaikan benda yang sejak tadi dipegangnya. Sebuah borgol yang dilapisi kain berbulu.
"Ng, Ma-Maya...kau tidak serius kan?" Masumi menatap horor istrinya yang kini justru duduk di atas perutnya.
Maya terkikik lagi, sejenak terpesona oleh pemandangan dada bidang di depannya akibat jubah mandi Masumi yang tersingkap. Maya menggeleng tanpa sadar, mengusir pikiran tidak senonoh -namun menyenangkan- yang sempat singgah di kepalanya.
"Ku mohon jangan," pinta Masumi dengan wajah yang tidak bisa dideskripsikan lagi. Sesuatu miliknya di bawah sana cukup terkejut saat bongkahan kembar bertekstur kenyal milik istrinya menggeseknya perlahan.
"Ungh, Maya," Masumi menahan desahannya dan dalam hati mengumpat karena borgol yang membuatnya tidak bebas bergerak.
"Kau bilang aku bisa melakukan apapun yang kumau," Maya mengerling nakal pada suaminya, "anggap saja ini pembalasanku," bersamaan dengan itu Maya mengangkat kedua tangannya dan menggoyangkan kesepuluh jarinya, Masumi menggeleng kerasa.
"Ma-Mayaaa...haaaa...haaa...haaa...," Masumi tak sanggup menahan tawanya saat jemari Maya menggelitik pinggangnya, "ku-mohon...aku tidak tahan...haaa...haaa...," wajah Masumi memerah menahan geli sekaligus kesal karena dikerjai oleh istrinya.
Ah, memang benar kalau ada ungkapan pembalasan itu lebih kejam. Kali ini Maya sukses membuat suaminya 'tak berkutik'. Poor Masumi.
"MAYAAAAA...haaa...haaa...hen-ti-kannnn...,"
Dan Maya menulikan telinganya.
***
Di sisi lain di kota Tokyo, seorang wanita tengah menikmati teh rosemary favoritenya bersama seorang pria di ruang keluarga rumah mewahnya
"Kau tampak senang?" Tanya sang pria yang adalah suami dari wanita yang tengah menyembunyikan seringai tipis di balik tegukan tehnya.
"Hhmm, bisa dibilang begitu," jawabnya santai, sekali lagi meneguk tehnya perlahan, menikmati cairan hangat itu menuruni kerongkongannya.
"Ada apa?" Tanya sang suami lagi.
Sang istri meletakkan cangkirnya dan menatap suaminya, menggeleng pelan, "Hanya sedang membayangkan sesuatu," jawabnya diiringi dengan sebuah senyum.
Kening suaminya berkerut melihat ekspresi istrinya yang penuh teka-teki itu.
"Kau tahu Peter, aku rasa beberapa minggu ke depan aku harus menghindari pertemuan dengan Tuan Masumi," kata Ayumi santai. Lagi-lagi bibirnya mengulas senyum dengan mata penuh kilat canda.
Kerutan di kening sang suami semakin dalam, "Kau kenapa Ayumi? Tiba-tiba saja membicarakan Tuan Masumi," tanyanya heran.
Ayumi terkekeh lalu menggeleng lagi, "Tidak, tidak apa-apa," jawabnya menahan geli, "lupakan saja," Ayumi tersenyum lagi lalu beranjak dari kursinya.
"Ke mana?" Peter mendongak menatap istrinya.
Ayumi membungkukkan tubuhnya dan berbisik di telinga suaminya, "Ayo ke kamar, aku punya kejutan untukmu."
Peter menarik sudut bibirnya menjadi sebuah senyum penuh arti, "Ah, iya, aku suka kejutan," jawabnya yang kemudian menarik istrinya hingga Ayumi jatuh di atas pangkuannya. Tanpa basa-basi Peter melumat lembut bibir Ayumi.
"Di kamar?" Bisik Ayumi ketika bibir mereka terlepas.
Peter hanya tersenyum senang dan mengangkat istrinya dalam rengkuhan kedua lengannya.
Hhhh, malam yang indah.
***
>>Bersambung<<

Post a Comment

15 Comments

  1. Holaaaaaaaa.....hehheee, lama ya nunggunya? maaf ya, tenang aja, tetep lanjut kok.
    nongol2 pas ultah nih ya...kadonya komen buatku yak, hahahahaaa
    35 halaman word ya, moga suka deh, sebagian uda ku post di FB sih.
    Ya, selamat membaca
    sampe ketemu lagi di chap selanjutnya....muaaahhhhhh

    ReplyDelete
  2. Hahahah....maya gokil udh tahan nafas aja neh kirain oohhh kirain
    Qiqiqq kasian masumi dikerjain

    ReplyDelete
  3. pasti uda mikir yang iya-iya aja ya...hahhahaa, habis itu iya-iya kok, eh?! wkkwkwkwk

    ReplyDelete
  4. Haduh mba agnes, dibanyakin yg iya iya nya juga gpp lho
    Wkwkwk....
    Hepi bday lagi yaaaaa
    Cb ultahny tiap bulan, dapet apdetan tiap bulan deh
    Qiqiqi..
    *Mintadikeplak

    ReplyDelete
  5. jiahahah ga kebayang ya masumi dborgol d ranjang.tapi apa sih yang ga bisa doi lakukan bwt maya...heheh lanjut sist...

    ReplyDelete
  6. Bagus! 4 jempol buat Agnes. Well done!

    ReplyDelete
  7. Panaaaaaaashhh 😍😍
    Ditunggu lanjutannya mbak agnes

    ReplyDelete
  8. Kirain...kirain... Eh ga tanya dikerjain. Hahaha... 😅😆

    ReplyDelete
  9. Huahaha...pembaca pun sukses dikerjain.

    ReplyDelete
  10. Di malam yang dingin dan sesunyi ini
    Aku sendiri..... baca update an yang bikin panas dingin :D
    Hadeeeeewwww......ci Agnes sadis nian nih......pake borgol-borgol an segala.....bikin jadi pengen....praktek ;)

    ReplyDelete
  11. Kiraiinnn... eh trnyta dikerjain haha
    good mb agnes, ditunggu chapter berikutnyaa ��

    ReplyDelete
  12. Yaah, kirain hehe.
    Ada 3 kisah cinta yang menarik. MM, HM sama SR seruuuu.

    Makasih mbak Agnes, mmmuach

    ReplyDelete
  13. waduh..digantung lagi sama mba Agnes...kayaknya mau kasih kejutan juga nih buat pembaca ya?..hahaha

    ReplyDelete
  14. Huhuhuhuuw mba agnes jgn lama2 ya updatenyaa... Semangaat menulis :D btw kelanjutan ms rei gmn yaaa

    ReplyDelete
  15. Wedeeeewwww.... dikirain bakal sweet honeymoon... udh siap" baca nya tengah malem ternyata malag dibikin cekikikan tengah malag...😂😂😂😂. Four thumb up sista... lanjutannua ga pake lama lagi kaaaaannnn... semua mengacu pada adegan diabetes...😜

    ReplyDelete