Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Summary : Maya Ozaki, aktris terkenal berusia dua puluh tujuh tahun, tidak pernah menyangka akan dipaksa menikah oleh ibunya. Dia dijodohkan dengan pewaris tunggal DAITO Grup, Masumi Hayami. Semua orang menyebutnya beruntung karena bisa menjadi istri Masumi. Sayangnya, Maya tidak melihat pernikahannya sebagai keberuntungan. Bagaimana bisa disebut beruntung jika menikah dengan playboy tampan yang bahkan diincar oleh sebagian besar wanita Jepang. Sstt, diam-diam Maya menaruh hati pada pemuja rahasia yang sudah mendukungnya sejak pertama kali naik panggung, Mawar Ungu. Ah, sepertinya ini akan jadi kisah cinta yang panjang.
==============================================================
Duduk di ruang makan kediaman Hayami
membuat Maya menggunakan topeng artisnya. Dia tersenyum manis meski sebenarnya
merasa begitu canggung. Tadi Aya langsung memeluk dan menciumnya lalu tanpa
basa-basi membawanya ke ruang keluarga untuk bertemu dengan Eisuke.
Dan kini, mereka semua sudah duduk di ruang
makan. Eisuke di ujung meja panjang. Di sisi lain Aya duduk bersebelahan dengan
Hijiri. Maya dengan tenang duduk di sebelah Masumi yang entah sedang bicara apa
dengan ayahnya. Para pelayan sibuk menyajikan makan malam dengan Aya menanyakan
beberapa hal pada seorang wanita paruh baya yang Maya tebak sebagai kepala
pelayan keluarga Hayami.
“Maya, ibu harap kau menyukai makan malamnya.”
Senyum manis Maya masih mengembang
sempurna. Sejak tadi Aya sudah memaksa Maya untuk memanggilnya ibu. Tentu saja
wanita muda itu tidak bisa menolak. “Aku pasti menyukainya Ibu, terima kasih.”
Masumi menoleh dan menahan diri untuk tidak
menyeringai melihat senyum palsu kekasihnya. Dia melihat tangan Maya terkepal
di bawah meja. Diam-diam, Masumi menggerakkan tangannya untuk menggenggam
kepalan tangan Maya. Pria itu tahu Maya terkejut tapi tidak menepis tangannya.
“Katakan saja kalau kau tidak menyukai
makanannya,” bisik Masumi kemudian.
Maya ingin mendengkus tapi akhirnya hanya
bisa menoleh lalu tersenyum dingin pada calon suaminya. Dia menarik tangannya
dari genggaman Masumi.
Interaksi sepasang kekasih itu tidak luput
dari perhatian Hijiri. Dia cukup terhibur melihat sikap kakak sepupunya. Selama
ini Hijiri selalu melihat senyum palsu Masumi saat bersama wanita. Tapi dia
tahu kali ini berbeda. Kakak sepupunya itu justru terlihat bahagia sejak
bibinya menceritakan perihal perjodohan dengan Maya. Tentu saja itu membuat
Hijiri penasaran. Dia yakin kalau Masumi menyembunyikan sesuatu darinya.
“Kakak ipar, malam ini Bibi khusus memasak
untukmu. Jadi aku yakin rasanya pasti lebih dari sekedar istimewa.”
Ucapan Hijiri langsung membuat semua orang
menatapnya. Maya sendiri hampir tersedak angin mendengar panggilan kakak ipar.
“Apa ada yang salah?” Hijiri tersenyum senang
kemudian mengambil cangkir teh.
“Jangan menggoda Maya.” Aya memperingatkan
sembari menggeleng. Meski begitu wajahnya justru menampakkan ekspresi terhibur
yang membuat Maya sama sekali tidak merasa tertolong.
“Biarkan saja Ibu. Karato hanya iri.”
Masumi menimpali.
“Tentu saja aku iri melihatmu akan segera
menikah dengan artis cantik.” Hijiri menyeringai.
Masumi balas menyeringai lalu menoleh pada
calon istrinya. “Bukankah aku beruntung?”
Dan Maya ingin sekali menendang kaki Masumi
di bawah meja karena sudah mengatakan hal konyol hingga pipinya terasa panas.
Dia menahan diri untuk tidak menoleh lalu meraih gelas berisi air putih untuk
meredakan kegugupannya.
“Kalau begitu kau harus mengurangi jam kerjamu
lalu ajaklah wanita berkencan. Apa kau pikir jodohmu akan datang melamar ke
kantor?” Omelan Aya membuat Maya terselamatkan dari rasa malu. Tentu saja
Masumi yang tertawa senang dengan perkataan ibunya.
Maya melirik calon suaminya yang terlihat
begitu senang. Dia berpikir kalau hubungan Masumi dan sepupunya pasti sangat
dekat. Tidak heran jika keduanya memang dibesarkan bersama bak saudara kandung.
“Ada apa?”
Maya tersentak saat Masumi tiba-tiba bertanya
padanya. Wanita muda itu tertangkap basah sedang terpaku menatapnya. “Ti-tidak
apa-apa,” katanya seraya dengan cepat memalingkan wajah.
Aya dan Hijiri tersenyum melihat tingkah
Maya sementara Eisuke hanya mengamati dalam diam meski di dalam hati juga berharap
hubungan keduanya semakin membaik. Kepala keluarga Hayami itu tidak akan bisa
menghabiskan masa tua dengan tenang sebelum Masumi berhasil memberinya calon
pewaris.
Berdeham pelan, Eisuke menarik perhatian
semua orang lalu mempersilakan semuanya untuk mulai menikmati makan malam.
>>**<<
Sudah lebih dari jam sepuluh malam saat
akhirnya Maya meninggalkan kediaman Hayami. Akhirnya dia bisa bernapas lega.
“Apa ibuku membuatmu sesak napas?” Masumi
bertanya saat menyadari calon istrinya berkali-kali menghelas napas panjang.
“Hm.” Maya hanya menggumam sebagai jawaban
seraya mengamati pemandangan kota melalui jendela mobil.
“Maafkan Ibu,” kata Masumi kemudian. “Dia
hanya terlalu antusias. Ini pertama kalinya aku membawa wanita untuk makan
malam bersama keluarga. Ibu sangat tidak sabar dengan pernikahan kita jadi
tolong bersabarlah dengannya.”
Mendengar penjelasan Masumi membuat Maya
kembali menoleh pada calon suaminya.
“Jangan menatapku seperti itu. Aku berkata
jujur.” Masumi sudah bisa menebak apa yang dipikirkan Maya hanya dengan melihat
ekspresi wajahnya.
“Aku benar-benar yang pertama?” Maya
menyuarakan ketidak percayaannya.
“Hm.” Masumi mengangguk sembari tetap fokus
menatap jalan raya di depannya.
Maya jadi teringat satu nama yang sejak
kemarin mengganjal di hatinya. “Lalu bagaimana dengan Shiori Takamiya?”
“Shiori?” Masumi langsung menoleh dengan
wajah berkerut. Beruntung ada lampu merah hingga Masumi bisa berhenti dan fokus
pada Maya.
Melihat reaksi Masumi membuat Maya yakin
Shiori Takamiya bukan wanita biasa. “Dari perkataan Tuan Besar Takamiya
sepertinya kalian punya hubungan spesial,” katanya kemudian.
“Itu tidak benar.” Masumi menjawab dengan
cepat. “Alasan aku membawamu kemarin adalah agar Tuan Besar Takamiya berhenti
mendorong cucunya padaku.”
Hati Maya merasa iritasi mendengar alasan
Masumi. “Jadi ternyata aku hanya sebagai tamengmu?”
Lampu berubah hijau dan Masumi menahan diri
agar tidak terpancing ucapan Maya. Dia pun menjalankan mobil tapi kemudian
menepi di bahu jalan.
“Kenapa berhenti?” protes Maya saat Masumi
memutar tubuh menghadapnya.
“Pertama, kau bukanlah tameng,” jawab Masumi
tanpa basa basi. “Kedua, aku memang ingin mengenalkanmu sebagai calon istriku. Ketiga,
tidak ada hubungan apa pun antara aku dan Shiori Takamiya. Itu adalah ambisi
Tuan Besar Takamiya yang ingin menjodohkan kami berdua. Lima tahun lalu Tuan Besar
pernah mengajukan lamaran yang langsung ditolak oleh ayahku dengan alasan aku
belum siap menikah. Tapi sebenarnya, ayah dan ibu tidak begitu menyukai keluarga
Takamiya karena dominasi mereka.”
Penjelasan panjang lebar dari Masumi
memenuhi kepala Maya. Wanita itu berusaha mencerna satu per satu. “Apa Shiori
Takamiya menyukaimu? Tidak mungkin keluarganya mengajukan lamaran kalau dia
tidak menaruh hati padamu.”
Masumi mengendikkan bahu dengan wajah
masam. “Aku tidak peduli. Itu urusannya, bukan urusanku.”
Kening Maya berkerut mendengar ucapan ketus
Masumi. “Dari yang kutahu, Shiori Takamiya memang mempunyai banyak prestasi
menonjol. Baik saat masih kuliah atau pun sekarang, setelah berkarir di dunia bisnis
keluarganya. Kau yakin menolak wanita seperti itu? Dia lebih sepadan untukmu.” Dan
Maya langsung menggigit lidahnya sendiri karena merasa bodoh sudah bicara
terlalu banyak.
“Kau mencari tahu soal Shiori?” Masumi justru
terkejut mendengarnya.
Dengan cepat Maya memalingkan wajahnya
karena malu. Itu adalah hasil pekerjaan isengnya semalam karena merasa
penasaran dengan sosok Shiori Takamiya.
“Maya?” Masumi meraih lengan Maya dan
meminta wanita itu menatapnya. “Kenapa kau mencari tahu soal Shiori?” tanyanya serius.
“A-aku hanya penasaran karena Tuan Besar
Takamiya sangat membanggakannya.” Maya beralasan dengan pipi mulai memerah.
Melihat Maya malu justru membuat Masumi
senang. Bolehkan dia berharap kalau Maya cemburu? Tapi Masumi tidak mau
memaksakan keberuntungannya dengan mendesak Maya untuk menjawab rasa
penasarannya. Itu adalah hal yang luar biasa kalau Maya memang cemburu.
“Selama ini-,” katanya kemudian, mencoba
menjelaskan dengan lebih baik, “-dari sekian banyak wanita yang terlihat
bersamaku, pernahkah kau melihatku bersama Shiori?”
“Tidak, huh?!” Maya kembali menggigit
lidahnya. “Maksudku, mana aku tahu? Aku tidak peduli kau pergi berkencan dengan
siapa.”
“Bekerja,” Masumi mengoreksi dengan cepat.
“Hum?” Maya tampak bingung.
“Aku tidak berkencan dengan para wanita itu
tapi bekerja.” Masumi menjelaskan seraya tersenyum. Saat ini hatinya tengah
mengembang penuh harap. Ternyata bukan hanya mencari tahu soal Shiori tapi Maya
juga membaca artikel-artikel gossip tentangnya.
“Terserah apa katamu.” Maya melepaskan
tangan Masumi dari lengannya lalu memalingkan wajah dengan cepat. “Ayo pulang,
ini sudah malam.”
Dengan masih tersenyum Masumi menjalankan
mobil dan membawa kekasihnya pulang.
>>**<<
Hari-hari Maya selanjutnya disibukkan
dengan syuting dan latihan drama. Teater Tsukikage menampilkan drama Gina dan Kendi
Biru untuk Festival Drama Musim Gugur dengan Maya sebagai pemeran utamanya. Disela-sela
kesibukannya, dia masih harus menyempatkan diri pergi bersama Aya atau pun ibunya
untuk persiapan pernikahan. Hingga tiba di akhir pekan, Maya belum bertemu
dengan Masumi.
“Kau baik-baik saja?” Ayumi duduk di
sebelah sahabatnya yang tengah berbaring memejamkan mata di sofa ruang rias studio
5 Daito Entertainment. Kebetulan dia juga baru selesai syuting iklan di studio
6.
“Hanya mengantuk,” jawab Maya tanpa membuka
matanya.
Melihat wajah memerah Maya membuat Ayumi menatap
Rei dan Taiko yang sedang sibuk berkemas, keduanya hanya tersenyum seraya
menggeleng. Ayumi mengulurkan tangan memeriksa kening dan leher Maya.
“Aku baik-baik saja, Ayumi.” Akhirnya Maya
membuka mata lalu menatap sahabatnya. Perlahan dia bangun lalu duduk dengan
kembali bersandar di kepala sofa.
“Kau demam?” Ayumi menatap lurus
sahabatnya.
Mengangkat kepalanya, Maya menggeleng. “Aku
hanya kepanasan setelah syuting di luar tadi. Kami mengambil dua scene dengan
api untuk kecelakaan mobil.”
“Kau ini aneh,” sungut Ayumi seraya melipat
tangan di depan dada. “Menggunakan pemeran pengganti untuk adegan ciuman tapi justru
terjun langsung untuk adegan berbahaya.”
Maya terkekeh masih dengan mata terpejam. “Berciuman
dengan laki-laki asing itu lebih menyeramkan daripada berakting di tengah
lautan api, Ayumi.”
“Konyol.” Ayumi menimpali.
Memiringkan kepala, Maya membuka matanya
yang tampak sayu. Jelas sekali dia kelelahan. “Jangan menceramahiku.”
“Kau suka sekali membuat orang lain
khawatir,” protes Ayumi lagi.
“Aku baik-baik saja, apa yang kau
khawatirkan?” Maya tersenyum melihat sahabatnya kesal. “Oh ya, apa kau tahu kabar
Koji? Dia sama sekali tidak menghubungiku dan juga tidak membalas pesanku.”
“Dia
sedang patah hati.”
“Patah hati?” Maya berkedip bingung. “Karena
… aku?”
Ayumi memutar matanya. “Karena siapa lagi?”
Menghela napas perlahan, Maya kembali
menyandarkan kepalanya yang kini mulai berdenyut sakit. “Dulu kami hanya
sepakat pura-pura bersama jika ada yang mendekatiku,” katanya kemudian. “Menurutmu
dia sakit hati karena menyukaiku atau karena aku tiba-tiba menikah?”
“Dua-duanya, Maya.” Ayumi menggeleng pasrah
sementara Rei dan Taiko menahan tawa mendengarnya. “Dia jelas menyukaimu dan
tiba-tiba kau akan menikah.”
“Aku tidak tahu,” lirih Maya yang semakin
enggan membuka matanya. “Tapi aku tidak pernah menganggapnya lebih dari sahabat.”
“Aku tahu.” Ayumi menimpali. “Aku juga
sudah berkali-kali mengingatkan Koji untuk memupus perasaanya padamu. Tapi dia
terlalu keras kepala dan malah memupuk cintanya. Berharap suatu saat kau akan
membalas perasaannya.” Meski kasihan tapi Ayumi juga menganggap Koji bodoh
karena terlalu keras kepala.
“Dan sekarang dia marah padaku?”
“Tidak, Koji hanya sedang meratapi sakit
hatinya.” Ayumi juga tidak mau membebani Maya dengan rasa bersalah menjelang
pernikahannya. Kedua sahabatnya itu memang sama-sama bodoh. “Kemarin aku bertemu
dengannya di Teater Undine. Kami bermain bersama untuk Festival Drama Musim
Gugur.”
Mendengar kata drama musim gugur membuat Maya
langsung antusias tapi kemudian mendesis sakit karena menggerakkan kepalanya
terlalu cepat.
“Maya?!” Ayumi dan Rei terkejut. Taiko juga
langsung siaga dan berdiri di belakang Rei yang kini sudah berlutut di depan
Maya. Artis cantik itu tampak kesakitan menundukkan kepala seraya memegang
tengkuknya.
Ayumi mencoba menyingkirkan tangan Maya
dari tengkuk lalu menyibakkan rambut panjangnya hingga terlihat lebam merah
sebesar telapak tangan. “Kau terluka?”
“Kenapa diam saja?” Mata Rei menatap
artisnya dengan khawatir.
“Tidak apa-apa, aku sudah menyemprotkan spray
pereda nyeri tadi,” ucap Maya yang kembali memegang tengkuknya.
Rei tampak menahan emosinya lalu menoleh
pada Taiko. “Panggil paramedis, semoga mereka belum pergi,” perintahnya yang
langsung ditolak Maya tapi tidak ditanggapi oleh manajer dan asistennya.
Taiko langsung berlari keluar sesuai perintah
Rei. Sutradara memang sudah menyiapkan tim paramedis hari ini karena ada scene yang menggunakan api.
“Kalian berlebihan, aku baik-baik saja.”
Maya masih bersikeras dan membuat Ayumi mendengkus.
“Berbaringlah,” kata Rei yang kemudian membantu
Maya berbaring di sofa.
“Bagaimana dia terluka?” Ayumi langsung
bertanya pada Rei karena malas menghadapi sahabatnya.
Rei menggeleng. “Tadi Maya sempat terjatuh
saat melompat dari mobil tapi saat kutanya dia bilang baik-baik saja. Aku tidak
tahu kalau dia terluka.”
“Aku memang tidak terluka karena melompat,”
kata Maya seraya menatap manajer dan sahabatnya. “Hanya tidak sengaja terkena
tongkat baseball saat scene berkelahi tadi.”
“Jadi kau sudah terluka sebelum pengambilan
scene mobil terbakar?” Rei membulatkan mata terkejut sementara artisnya hanya
meringis tanpa rasa bersalah.
Film Maya kali ini memang bergenre action romance. Sekarang sudah memasuki
tahap akhir pengambilan gambar. Hanya tinggal tiga kali syuting lagi dan
produksi filmnya selesai.
“Kenapa kau membahayakan diri sendiri? Bagaimana
kalau lukanya makin parah?” Ayumi akhirnya mengomel juga.
“Ini hanya memar, Ayumi.” Maya meyakinkan
sahabatnya. “Aku tidak mau memperpanjang waktu produksi hanya karena luka kecil
seperti ini.”
“Tapi kesehatanmu itu lebih penting, Maya.”
Ayumi tidak mau kalah. Meski terkadang dia juga memaksakan diri tapi Ayumi
tidak suka melihat sahabatnya terluka.
“Apalagi sebentar lagi kau akan menikah. Kau
harus menjaga diri dan kesehatanmu atau Nyonya Mayuko akan menjadikanku
hidangan utama diresepsi pernikahanmu.” Rei menambah omelannya.
“Justru karena pernikahan itu aku tidak
bisa break dari syuting dan harus
segera menyelesaikan semua produksi sesuai jadwal.” Dan dengan segera Maya
menyelesali perkataannya.
Ayumi menatap Maya seraya menyeringai
sementara Rei memincingkan mata dengan alis tertaut heran.
“Jadi kau akhirnya memikirkan pernikahan
juga,” celetuk Ayumi yang membuat pipi sahabatnya semakin memerah.
“A-aku hanya tidak mau membuat Ibu marah,”
katanya berkilah.
Otomatis Ayumi dan Rei tertawa bersamaan.
“Apakah kau akhirnya luluh oleh pesona Tuan
Muda Hayami, hm?” goda Rei dengan jahilnya.
“Omong kosong, aku hanya-, ugh!” Maya yang
tiba-tiba bangun kembali mengerang kesakitan.
“Ck, kau ini,” Ayumi segera membantu
sahabatnya. “Kendalikan dirimi, bodoh.”
Belum sempat Maya protes, pintu ruang rias
terbuka. Taiko masuk bersama dengan dua orang paramedis. Rei segera
menceritakan apa yang terjadi sementara Ayumi sedikit menjauh dari sahabatnya,
memberi ruang paramedis untuk bekerja.
Mereka dengan tenang melihat Maya diobati. Tidak
ada yang berkometar saat melihat memar Maya yang ternyata tidak hanya di tengkuk
tapi juga sampai ke bahu kanannya. Ini bukan hal baru bagi ketiga orang itu. Sama
seperti Mayuko, ibunya, Maya memang terkenal ekstrem dan tidak takut bahaya
saat berakting. Itulah yang sering membuat Rei kesal karena Maya suka sekali
membahayakan dirinya sendiri. Setelah ini, Rei harus bersiap menerima ceramah
panjang dari Ichiren. Ayah Maya itu akan jadi orang pertama yang panik jika
putrinya terluka sedangkan Mayuko hanya akan menganggapnya sebagai hal yang
wajar.
Selesai membalut luka Maya dengan patch pereda nyeri, paramedis pun keluar
setelah Rei mengucapkan terima kasih.
“Dengar kan? Ini hanya memar, kalian terlalu
berlebihan,” kata Maya dengan bangga karena bisa menegakkan lehernya setelah
menerima perawatan.
“Begitukah?” Ayumi sengaja menepuk bahu
kanan sahabatnya yang langsung membuat Maya meringis. “Jangan membual di
depanku,” katanya kesal.
Rei dan Taiko menahan diri untuk tidak
tertawa. Tidak tega juga melihat Maya kesakitan meski keras kepalanya
menjengkelkan.
Pintu ruangan yang diketuk mengalihkan
perhatian semua orang. Taiko membukakan pintu yang ternyata adalah Susumu
Hasegawa, manajer Ayumi yang langsung memberi salam pada semuanya.
“Maaf mengganggu tapi kita harus berangkat
sekarang, Ayumi,” katanya kemudian.
Ayumi mengangguk lalu menoleh pada sahabatnya.
“Istirahatlah, hubungi aku nanti. Aku pergi dulu.” Dia pun mencium pipi Maya sebelum
pergi bersama sang manajer.
“Terima kasih, hati-hati.” Maya melambaikan
tangan seraya tersenyum. Setelah Ayumi pergi, dia memberikan perhatian penuh pada
manajernya.
“Tolong jangan katakan ini pada Ayah atau
Ibu, setuju?” katanya dengan masih tersenyum manis.
“Itu tidak mungkin.” Rei menggeleng. Dia tidak
akan berani selancang itu pada orang tua Maya.
“Ayolah, Rei. Ayah akan marah kalau tahu
aku terluka,” bujuknya dengan wajah memelas.
“Tuan Ichiren akan murka kalau aku
menyembunyikannya.” Rei bersikeras menolak.
“Kau lihat sendiri aku baik-baik saja. Jangan
membesar-besarkan masalah.” Maya memasang wajah cemberut karena wajah memelasnya
tidak berguna di depan Rei.
“Lukamu cukup besar untuk disembunyikan
Maya,” Menejer cantik itu tetap menolak.
“Tidak akan terlihat kalau aku menggunakan
long neck. Kau hanya tinggal menutup mulutmu.” Bukan Maya kalau dia menyerah
begitu saja.
Taiko hanya bisa meringis seraya menggaruk
pelipisnya yang tidak gatal saat Rei menatapnya.
“Anggap saja kau tidak tahu aku terluka,
bagaimana?”
“Luka apa?”
Ketiganya terkesiap saat melihat seorang
pria tampan sudah berdiri di ambang pintu masuk ruang rias. Masumi Hayami. Maya
langsung merutuk dalam hati karena ketidak beruntungannya hari itu.
“Siapa yang terluka?” Masumi menatap ketiganya
bergantian yang berakhir pada Maya. Sayangnya tidak satu pun dari mereka berani
membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya.
>>**<<
3 Comments
Selalu sabar menunggu karya" Mba Agnes, 😍 semangat lanjutkan 😉
ReplyDeleteTerima kasih banyak sudah setia menunggu author yang hobi hibernasi ini, hehehehe
Deleteakhirnya... ayo donk, kak agnes... jgn kelamaan hibernasinya
ReplyDelete