Omiai - Chapter 7. Makan Malam

Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi

FanFiction by Agnes Kristi

Summary : Maya Ozaki, aktris terkenal berusia dua puluh tujuh tahun, tidak pernah menyangka akan dipaksa menikah oleh ibunya. Dia dijodohkan dengan pewaris tunggal DAITO Grup, Masumi Hayami. Semua orang menyebutnya beruntung karena bisa menjadi istri Masumi. Sayangnya, Maya tidak melihat pernikahannya sebagai keberuntungan. Bagaimana bisa disebut beruntung jika menikah dengan playboy tampan yang bahkan diincar oleh sebagian besar wanita Jepang. Sstt, diam-diam Maya menaruh hati pada pemuja rahasia yang sudah mendukungnya sejak pertama kali naik panggung, Mawar Ungu. Ah, sepertinya ini akan jadi kisah cinta yang panjang.

==============================================================

(Fanart by Mako - Pinterest)

Duduk di ruang makan kediaman Hayami membuat Maya menggunakan topeng artisnya. Dia tersenyum manis meski sebenarnya merasa begitu canggung. Tadi Aya langsung memeluk dan menciumnya lalu tanpa basa-basi membawanya ke ruang keluarga untuk bertemu dengan Eisuke.

Dan kini, mereka semua sudah duduk di ruang makan. Eisuke di ujung meja panjang. Di sisi lain Aya duduk bersebelahan dengan Hijiri. Maya dengan tenang duduk di sebelah Masumi yang entah sedang bicara apa dengan ayahnya. Para pelayan sibuk menyajikan makan malam dengan Aya menanyakan beberapa hal pada seorang wanita paruh baya yang Maya tebak sebagai kepala pelayan keluarga Hayami.

“Maya, ibu harap kau menyukai makan malamnya.”

Senyum manis Maya masih mengembang sempurna. Sejak tadi Aya sudah memaksa Maya untuk memanggilnya ibu. Tentu saja wanita muda itu tidak bisa menolak. “Aku pasti menyukainya Ibu, terima kasih.”

Masumi menoleh dan menahan diri untuk tidak menyeringai melihat senyum palsu kekasihnya. Dia melihat tangan Maya terkepal di bawah meja. Diam-diam, Masumi menggerakkan tangannya untuk menggenggam kepalan tangan Maya. Pria itu tahu Maya terkejut tapi tidak menepis tangannya.

“Katakan saja kalau kau tidak menyukai makanannya,” bisik Masumi kemudian.

Maya ingin mendengkus tapi akhirnya hanya bisa menoleh lalu tersenyum dingin pada calon suaminya. Dia menarik tangannya dari genggaman Masumi.

Interaksi sepasang kekasih itu tidak luput dari perhatian Hijiri. Dia cukup terhibur melihat sikap kakak sepupunya. Selama ini Hijiri selalu melihat senyum palsu Masumi saat bersama wanita. Tapi dia tahu kali ini berbeda. Kakak sepupunya itu justru terlihat bahagia sejak bibinya menceritakan perihal perjodohan dengan Maya. Tentu saja itu membuat Hijiri penasaran. Dia yakin kalau Masumi menyembunyikan sesuatu darinya.

“Kakak ipar, malam ini Bibi khusus memasak untukmu. Jadi aku yakin rasanya pasti lebih dari sekedar istimewa.”

Ucapan Hijiri langsung membuat semua orang menatapnya. Maya sendiri hampir tersedak angin mendengar panggilan kakak ipar.

“Apa ada yang salah?” Hijiri tersenyum senang kemudian mengambil cangkir teh.

“Jangan menggoda Maya.” Aya memperingatkan sembari menggeleng. Meski begitu wajahnya justru menampakkan ekspresi terhibur yang membuat Maya sama sekali tidak merasa tertolong.

“Biarkan saja Ibu. Karato hanya iri.” Masumi menimpali.

“Tentu saja aku iri melihatmu akan segera menikah dengan artis cantik.” Hijiri menyeringai.

Masumi balas menyeringai lalu menoleh pada calon istrinya. “Bukankah aku beruntung?”

Dan Maya ingin sekali menendang kaki Masumi di bawah meja karena sudah mengatakan hal konyol hingga pipinya terasa panas. Dia menahan diri untuk tidak menoleh lalu meraih gelas berisi air putih untuk meredakan kegugupannya.

“Kalau begitu kau harus mengurangi jam kerjamu lalu ajaklah wanita berkencan. Apa kau pikir jodohmu akan datang melamar ke kantor?” Omelan Aya membuat Maya terselamatkan dari rasa malu. Tentu saja Masumi yang tertawa senang dengan perkataan ibunya.

Maya melirik calon suaminya yang terlihat begitu senang. Dia berpikir kalau hubungan Masumi dan sepupunya pasti sangat dekat. Tidak heran jika keduanya memang dibesarkan bersama bak saudara kandung.

“Ada apa?”

Maya tersentak saat Masumi tiba-tiba bertanya padanya. Wanita muda itu tertangkap basah sedang terpaku menatapnya. “Ti-tidak apa-apa,” katanya seraya dengan cepat memalingkan wajah.

Aya dan Hijiri tersenyum melihat tingkah Maya sementara Eisuke hanya mengamati dalam diam meski di dalam hati juga berharap hubungan keduanya semakin membaik. Kepala keluarga Hayami itu tidak akan bisa menghabiskan masa tua dengan tenang sebelum Masumi berhasil memberinya calon pewaris.

Berdeham pelan, Eisuke menarik perhatian semua orang lalu mempersilakan semuanya untuk mulai menikmati makan malam.

>>**<<

Sudah lebih dari jam sepuluh malam saat akhirnya Maya meninggalkan kediaman Hayami. Akhirnya dia bisa bernapas lega.

“Apa ibuku membuatmu sesak napas?” Masumi bertanya saat menyadari calon istrinya berkali-kali menghelas napas panjang.

“Hm.” Maya hanya menggumam sebagai jawaban seraya mengamati pemandangan kota melalui jendela mobil.

“Maafkan Ibu,” kata Masumi kemudian. “Dia hanya terlalu antusias. Ini pertama kalinya aku membawa wanita untuk makan malam bersama keluarga. Ibu sangat tidak sabar dengan pernikahan kita jadi tolong bersabarlah dengannya.”

Mendengar penjelasan Masumi membuat Maya kembali menoleh pada calon suaminya.

“Jangan menatapku seperti itu. Aku berkata jujur.” Masumi sudah bisa menebak apa yang dipikirkan Maya hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.

“Aku benar-benar yang pertama?” Maya menyuarakan ketidak percayaannya.

“Hm.” Masumi mengangguk sembari tetap fokus menatap jalan raya di depannya.

Maya jadi teringat satu nama yang sejak kemarin mengganjal di hatinya. “Lalu bagaimana dengan Shiori Takamiya?”

“Shiori?” Masumi langsung menoleh dengan wajah berkerut. Beruntung ada lampu merah hingga Masumi bisa berhenti dan fokus pada Maya.

Melihat reaksi Masumi membuat Maya yakin Shiori Takamiya bukan wanita biasa. “Dari perkataan Tuan Besar Takamiya sepertinya kalian punya hubungan spesial,” katanya kemudian.

“Itu tidak benar.” Masumi menjawab dengan cepat. “Alasan aku membawamu kemarin adalah agar Tuan Besar Takamiya berhenti mendorong cucunya padaku.”

Hati Maya merasa iritasi mendengar alasan Masumi. “Jadi ternyata aku hanya sebagai tamengmu?”

Lampu berubah hijau dan Masumi menahan diri agar tidak terpancing ucapan Maya. Dia pun menjalankan mobil tapi kemudian menepi di bahu jalan.

“Kenapa berhenti?” protes Maya saat Masumi memutar tubuh menghadapnya.

“Pertama, kau bukanlah tameng,” jawab Masumi tanpa basa basi. “Kedua, aku memang ingin mengenalkanmu sebagai calon istriku. Ketiga, tidak ada hubungan apa pun antara aku dan Shiori Takamiya. Itu adalah ambisi Tuan Besar Takamiya yang ingin menjodohkan kami berdua. Lima tahun lalu Tuan Besar pernah mengajukan lamaran yang langsung ditolak oleh ayahku dengan alasan aku belum siap menikah. Tapi sebenarnya, ayah dan ibu tidak begitu menyukai keluarga Takamiya karena dominasi mereka.”

Penjelasan panjang lebar dari Masumi memenuhi kepala Maya. Wanita itu berusaha mencerna satu per satu. “Apa Shiori Takamiya menyukaimu? Tidak mungkin keluarganya mengajukan lamaran kalau dia tidak menaruh hati padamu.”

Masumi mengendikkan bahu dengan wajah masam. “Aku tidak peduli. Itu urusannya, bukan urusanku.”

Kening Maya berkerut mendengar ucapan ketus Masumi. “Dari yang kutahu, Shiori Takamiya memang mempunyai banyak prestasi menonjol. Baik saat masih kuliah atau pun sekarang, setelah berkarir di dunia bisnis keluarganya. Kau yakin menolak wanita seperti itu? Dia lebih sepadan untukmu.” Dan Maya langsung menggigit lidahnya sendiri karena merasa bodoh sudah bicara terlalu banyak.

“Kau mencari tahu soal Shiori?” Masumi justru terkejut mendengarnya.

Dengan cepat Maya memalingkan wajahnya karena malu. Itu adalah hasil pekerjaan isengnya semalam karena merasa penasaran dengan sosok Shiori Takamiya.

“Maya?” Masumi meraih lengan Maya dan meminta wanita itu menatapnya. “Kenapa kau mencari tahu soal Shiori?” tanyanya serius.

“A-aku hanya penasaran karena Tuan Besar Takamiya sangat membanggakannya.” Maya beralasan dengan pipi mulai memerah.

Melihat Maya malu justru membuat Masumi senang. Bolehkan dia berharap kalau Maya cemburu? Tapi Masumi tidak mau memaksakan keberuntungannya dengan mendesak Maya untuk menjawab rasa penasarannya. Itu adalah hal yang luar biasa kalau Maya memang cemburu.

“Selama ini-,” katanya kemudian, mencoba menjelaskan dengan lebih baik, “-dari sekian banyak wanita yang terlihat bersamaku, pernahkah kau melihatku bersama Shiori?”

“Tidak, huh?!” Maya kembali menggigit lidahnya. “Maksudku, mana aku tahu? Aku tidak peduli kau pergi berkencan dengan siapa.”

“Bekerja,” Masumi mengoreksi dengan cepat.

“Hum?” Maya tampak bingung.

“Aku tidak berkencan dengan para wanita itu tapi bekerja.” Masumi menjelaskan seraya tersenyum. Saat ini hatinya tengah mengembang penuh harap. Ternyata bukan hanya mencari tahu soal Shiori tapi Maya juga membaca artikel-artikel gossip tentangnya.

“Terserah apa katamu.” Maya melepaskan tangan Masumi dari lengannya lalu memalingkan wajah dengan cepat. “Ayo pulang, ini sudah malam.”

Dengan masih tersenyum Masumi menjalankan mobil dan membawa kekasihnya pulang.

>>**<<

Hari-hari Maya selanjutnya disibukkan dengan syuting dan latihan drama. Teater Tsukikage menampilkan drama Gina dan Kendi Biru untuk Festival Drama Musim Gugur dengan Maya sebagai pemeran utamanya. Disela-sela kesibukannya, dia masih harus menyempatkan diri pergi bersama Aya atau pun ibunya untuk persiapan pernikahan. Hingga tiba di akhir pekan, Maya belum bertemu dengan Masumi.

“Kau baik-baik saja?” Ayumi duduk di sebelah sahabatnya yang tengah berbaring memejamkan mata di sofa ruang rias studio 5 Daito Entertainment. Kebetulan dia juga baru selesai syuting iklan di studio 6.

“Hanya mengantuk,” jawab Maya tanpa membuka matanya.

Melihat wajah memerah Maya membuat Ayumi menatap Rei dan Taiko yang sedang sibuk berkemas, keduanya hanya tersenyum seraya menggeleng. Ayumi mengulurkan tangan memeriksa kening dan leher Maya.

“Aku baik-baik saja, Ayumi.” Akhirnya Maya membuka mata lalu menatap sahabatnya. Perlahan dia bangun lalu duduk dengan kembali bersandar di kepala sofa.

“Kau demam?” Ayumi menatap lurus sahabatnya.

Mengangkat kepalanya, Maya menggeleng. “Aku hanya kepanasan setelah syuting di luar tadi. Kami mengambil dua scene dengan api untuk kecelakaan mobil.”

“Kau ini aneh,” sungut Ayumi seraya melipat tangan di depan dada. “Menggunakan pemeran pengganti untuk adegan ciuman tapi justru terjun langsung untuk adegan berbahaya.”

Maya terkekeh masih dengan mata terpejam. “Berciuman dengan laki-laki asing itu lebih menyeramkan daripada berakting di tengah lautan api, Ayumi.”

“Konyol.” Ayumi menimpali.

Memiringkan kepala, Maya membuka matanya yang tampak sayu. Jelas sekali dia kelelahan. “Jangan menceramahiku.”

“Kau suka sekali membuat orang lain khawatir,” protes Ayumi lagi.

“Aku baik-baik saja, apa yang kau khawatirkan?” Maya tersenyum melihat sahabatnya kesal. “Oh ya, apa kau tahu kabar Koji? Dia sama sekali tidak menghubungiku dan juga tidak membalas pesanku.”

 “Dia sedang patah hati.”

“Patah hati?” Maya berkedip bingung. “Karena … aku?”

Ayumi memutar matanya. “Karena siapa lagi?”

Menghela napas perlahan, Maya kembali menyandarkan kepalanya yang kini mulai berdenyut sakit. “Dulu kami hanya sepakat pura-pura bersama jika ada yang mendekatiku,” katanya kemudian. “Menurutmu dia sakit hati karena menyukaiku atau karena aku tiba-tiba menikah?”

“Dua-duanya, Maya.” Ayumi menggeleng pasrah sementara Rei dan Taiko menahan tawa mendengarnya. “Dia jelas menyukaimu dan tiba-tiba kau akan menikah.”

“Aku tidak tahu,” lirih Maya yang semakin enggan membuka matanya. “Tapi aku tidak pernah menganggapnya lebih dari sahabat.”

“Aku tahu.” Ayumi menimpali. “Aku juga sudah berkali-kali mengingatkan Koji untuk memupus perasaanya padamu. Tapi dia terlalu keras kepala dan malah memupuk cintanya. Berharap suatu saat kau akan membalas perasaannya.” Meski kasihan tapi Ayumi juga menganggap Koji bodoh karena terlalu keras kepala.

“Dan sekarang dia marah padaku?”

“Tidak, Koji hanya sedang meratapi sakit hatinya.” Ayumi juga tidak mau membebani Maya dengan rasa bersalah menjelang pernikahannya. Kedua sahabatnya itu memang sama-sama bodoh. “Kemarin aku bertemu dengannya di Teater Undine. Kami bermain bersama untuk Festival Drama Musim Gugur.”

Mendengar kata drama musim gugur membuat Maya langsung antusias tapi kemudian mendesis sakit karena menggerakkan kepalanya terlalu cepat.

“Maya?!” Ayumi dan Rei terkejut. Taiko juga langsung siaga dan berdiri di belakang Rei yang kini sudah berlutut di depan Maya. Artis cantik itu tampak kesakitan menundukkan kepala seraya memegang tengkuknya.

Ayumi mencoba menyingkirkan tangan Maya dari tengkuk lalu menyibakkan rambut panjangnya hingga terlihat lebam merah sebesar telapak tangan. “Kau terluka?”

“Kenapa diam saja?” Mata Rei menatap artisnya dengan khawatir.

“Tidak apa-apa, aku sudah menyemprotkan spray pereda nyeri tadi,” ucap Maya yang kembali memegang tengkuknya.

Rei tampak menahan emosinya lalu menoleh pada Taiko. “Panggil paramedis, semoga mereka belum pergi,” perintahnya yang langsung ditolak Maya tapi tidak ditanggapi oleh manajer dan asistennya.

Taiko langsung berlari keluar sesuai perintah Rei. Sutradara memang sudah menyiapkan tim paramedis hari ini karena ada scene yang menggunakan api.

“Kalian berlebihan, aku baik-baik saja.” Maya masih bersikeras dan membuat Ayumi mendengkus.

“Berbaringlah,” kata Rei yang kemudian membantu Maya berbaring di sofa.

“Bagaimana dia terluka?” Ayumi langsung bertanya pada Rei karena malas menghadapi sahabatnya.

Rei menggeleng. “Tadi Maya sempat terjatuh saat melompat dari mobil tapi saat kutanya dia bilang baik-baik saja. Aku tidak tahu kalau dia terluka.”

“Aku memang tidak terluka karena melompat,” kata Maya seraya menatap manajer dan sahabatnya. “Hanya tidak sengaja terkena tongkat baseball saat scene berkelahi tadi.”

“Jadi kau sudah terluka sebelum pengambilan scene mobil terbakar?” Rei membulatkan mata terkejut sementara artisnya hanya meringis tanpa rasa bersalah.

Film Maya kali ini memang bergenre action romance. Sekarang sudah memasuki tahap akhir pengambilan gambar. Hanya tinggal tiga kali syuting lagi dan produksi filmnya selesai.

“Kenapa kau membahayakan diri sendiri? Bagaimana kalau lukanya makin parah?” Ayumi akhirnya mengomel juga.

“Ini hanya memar, Ayumi.” Maya meyakinkan sahabatnya. “Aku tidak mau memperpanjang waktu produksi hanya karena luka kecil seperti ini.”

“Tapi kesehatanmu itu lebih penting, Maya.” Ayumi tidak mau kalah. Meski terkadang dia juga memaksakan diri tapi Ayumi tidak suka melihat sahabatnya terluka.

“Apalagi sebentar lagi kau akan menikah. Kau harus menjaga diri dan kesehatanmu atau Nyonya Mayuko akan menjadikanku hidangan utama diresepsi pernikahanmu.” Rei menambah omelannya.

“Justru karena pernikahan itu aku tidak bisa break dari syuting dan harus segera menyelesaikan semua produksi sesuai jadwal.” Dan dengan segera Maya menyelesali perkataannya.

Ayumi menatap Maya seraya menyeringai sementara Rei memincingkan mata dengan alis tertaut heran.

“Jadi kau akhirnya memikirkan pernikahan juga,” celetuk Ayumi yang membuat pipi sahabatnya semakin memerah.

“A-aku hanya tidak mau membuat Ibu marah,” katanya berkilah.

Otomatis Ayumi dan Rei tertawa bersamaan.

“Apakah kau akhirnya luluh oleh pesona Tuan Muda Hayami, hm?” goda Rei dengan jahilnya.

“Omong kosong, aku hanya-, ugh!” Maya yang tiba-tiba bangun kembali mengerang kesakitan.

“Ck, kau ini,” Ayumi segera membantu sahabatnya. “Kendalikan dirimi, bodoh.”

Belum sempat Maya protes, pintu ruang rias terbuka. Taiko masuk bersama dengan dua orang paramedis. Rei segera menceritakan apa yang terjadi sementara Ayumi sedikit menjauh dari sahabatnya, memberi ruang paramedis untuk bekerja.

Mereka dengan tenang melihat Maya diobati. Tidak ada yang berkometar saat melihat memar Maya yang ternyata tidak hanya di tengkuk tapi juga sampai ke bahu kanannya. Ini bukan hal baru bagi ketiga orang itu. Sama seperti Mayuko, ibunya, Maya memang terkenal ekstrem dan tidak takut bahaya saat berakting. Itulah yang sering membuat Rei kesal karena Maya suka sekali membahayakan dirinya sendiri. Setelah ini, Rei harus bersiap menerima ceramah panjang dari Ichiren. Ayah Maya itu akan jadi orang pertama yang panik jika putrinya terluka sedangkan Mayuko hanya akan menganggapnya sebagai hal yang wajar.

Selesai membalut luka Maya dengan patch pereda nyeri, paramedis pun keluar setelah Rei mengucapkan terima kasih.

“Dengar kan? Ini hanya memar, kalian terlalu berlebihan,” kata Maya dengan bangga karena bisa menegakkan lehernya setelah menerima perawatan.

“Begitukah?” Ayumi sengaja menepuk bahu kanan sahabatnya yang langsung membuat Maya meringis. “Jangan membual di depanku,” katanya kesal.

Rei dan Taiko menahan diri untuk tidak tertawa. Tidak tega juga melihat Maya kesakitan meski keras kepalanya menjengkelkan.

Pintu ruangan yang diketuk mengalihkan perhatian semua orang. Taiko membukakan pintu yang ternyata adalah Susumu Hasegawa, manajer Ayumi yang langsung memberi salam pada semuanya.

“Maaf mengganggu tapi kita harus berangkat sekarang, Ayumi,” katanya kemudian.

Ayumi mengangguk lalu menoleh pada sahabatnya. “Istirahatlah, hubungi aku nanti. Aku pergi dulu.” Dia pun mencium pipi Maya sebelum pergi bersama sang manajer.

“Terima kasih, hati-hati.” Maya melambaikan tangan seraya tersenyum. Setelah Ayumi pergi, dia memberikan perhatian penuh pada manajernya.

“Tolong jangan katakan ini pada Ayah atau Ibu, setuju?” katanya dengan masih tersenyum manis.

“Itu tidak mungkin.” Rei menggeleng. Dia tidak akan berani selancang itu pada orang tua Maya.

“Ayolah, Rei. Ayah akan marah kalau tahu aku terluka,” bujuknya dengan wajah memelas.

“Tuan Ichiren akan murka kalau aku menyembunyikannya.” Rei bersikeras menolak.

“Kau lihat sendiri aku baik-baik saja. Jangan membesar-besarkan masalah.” Maya memasang wajah cemberut karena wajah memelasnya tidak berguna di depan Rei.

“Lukamu cukup besar untuk disembunyikan Maya,” Menejer cantik itu tetap menolak.

“Tidak akan terlihat kalau aku menggunakan long neck. Kau hanya tinggal menutup mulutmu.” Bukan Maya kalau dia menyerah begitu saja.

Taiko hanya bisa meringis seraya menggaruk pelipisnya yang tidak gatal saat Rei menatapnya.

“Anggap saja kau tidak tahu aku terluka, bagaimana?”

“Luka apa?”

Ketiganya terkesiap saat melihat seorang pria tampan sudah berdiri di ambang pintu masuk ruang rias. Masumi Hayami. Maya langsung merutuk dalam hati karena ketidak beruntungannya hari itu.

“Siapa yang terluka?” Masumi menatap ketiganya bergantian yang berakhir pada Maya. Sayangnya tidak satu pun dari mereka berani membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya.

>>**<<


>>Bersambung<<
>>Omiai - Chapter 8<<

A/N : Semoga belum pada amnesia sama serial ini (Yang amnesia authornya, wkwkwkwk)
Selamat menikmati saja bagi yang masih penasaran sama endingnya. Arigatooooo *deep_bow

Post a Comment

3 Comments

  1. Selalu sabar menunggu karya" Mba Agnes, 😍 semangat lanjutkan 😉

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak sudah setia menunggu author yang hobi hibernasi ini, hehehehe

      Delete
  2. akhirnya... ayo donk, kak agnes... jgn kelamaan hibernasinya

    ReplyDelete