Pure Love - Chapter 7

Warning : 20 thn +


Bahagia, haru, lega, entah bagaimana cara mengungkapkan rasa yang kini memenuhi hati seorang Masumi Hayami. Matahari bersinar terang di langit biru kota Tokyo dan beberapa menit lalu, saat matanya terbuka menyambut pagi, pemandangan indah sudah menyambutnya. Apalagi kalau bukan istri mungilnya yang masih terlelap, disebelahnya.
Masumi menyunggingkan senyum dengan masih bergeming di posisinya. Tidak mau mengganggu lelapnya sang istri yang menggunakan lengannya sebagai bantal. Lama dirinya memuaskan hati untuk memandangi wajah Maya, menikmati wajah manis yang tampak begitu tenang dan damai. Akhirnya Masumi tidak tahan juga untuk tidak menyentuh istrinya. Dengan tangannya yang bebas dia mengusap lembut sisi wajah Maya, menyingkirkan helaian rambut yang sedikit berantakan menutupi wajahnya.
"Ungh," Maya mulai terusik dengan apa yang dilakukan Masumi. Meski begitu kelopak matanya masih enggan untuk terbuka. Alih-alih terbangun, Maya justru semakin menyamankan dirinya, bergelung dan merapat ke tubuh suaminya, membuat Masumi menahan tawa karena ulah istrinya.
"Ungh," Maya kembali melenguh saat Masumi mengusap lembut puncak kepalanya. Kali ini dia sengaja ingin membangunkan Maya karena jarum jam yang baru saja dilihatnya di atas nakas sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Sudah cukup tidurnya sayang," bisik Masumi di telinga Maya, mencoba menarik istrinya ke alam sadar.
Gagal. Maya justru membalikkan tubuhnya, memunggungi Masumi tapi masih tetap bersandar di lengan suaminya.
"Hei, waktunya bangun manis," bisik Masumi lagi. Namun begitu Masumi justru merapatkan dadanya dengan punggung Maya dan melingkarkan lengan bebasnya ke pinggang istrinya, menyusupkan wajahnya diantara rambut lebat Maya.
"Aku masih ingin tidur Masumi," akhirnya Maya membuka mulutnya meski matanya masih terpejam, membiarkan saja Masumi memeluknya.
Masumi mendengus geli di belakang kepala Maya. Dia yakin seratus persen kalau istrinya masih belum sadar dari alam mimpi.
"Apa kau mau tidur sepanjang hari?" Tanya Masumi seraya mengusap lembut lengan istrinya.
"Hhmm," Maya hanya bergumam.
Seringai tipis menghiasi wajah Masumi ketika selintas ide muncul untuk membangunkan Maya. Sedikit menundukkan kepalanya dan menyibakkan rambut di bahu Maya, Masumi mendaratkan sebuah kecupan di belakang telinga istrinya seraya berbisik, "Apa kau berniat mengabaikan suamimu hari ini sayang?"
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Kata 'suami' yang diucapkan Masumi menggelitik telinga Maya. Ajaibnya kata itu langsung membangunkan semua syaraf Maya yang tertidur. Kelopak mata yang tadi menutupi iris coklatnya kini terbuka lebar karena terkejut dan dengan cepat Maya bangun, langsung menolehkan kepala menatap Masumi yang berbaring di belakangnya. Matanya semakin melebar melihat Masumi yang bertelanjang dada dengan selimut menutupi tubuh sebatas pinggangnya.
Masumi tersenyum lebar, "Selamat pagi istriku."

***
Malam sebelumnya setelah Masumi meninggalkan Kyoto.
Deru mesin helikopter berhenti seiring baling-baling yang berputar melambat. Masumi tersenyum melihat Maya yang sudah terlelap di sebelahnya.
"Sepertinya Nyonya kelelahan," kata sang pilot seraya tersenyum menatap Maya.
"Tidak heran dia kelelahan dengan semua ini," jawab Masumi.
Sang pilot yang adalah anak buah kepercayaan Masumi terkekeh pelan, "Anda memang luar biasa Tuan," ucapnya menahan geli saat teringat semua rencana Masumi.
Masumi hanya menyunggingkan senyum tipis.
Tak banyak basa-basi lagi, Masumi melepas sabuk pengaman Maya dan membawa istrinya keluar dari helikopter yang sudah mendarat di helipad, di atas sebuah kondominium mewah di Tokyo.
Sang pilot ikut turun lalu berjalan mendahului Masumi, menekan tombol panggil lift untuk mereka. Bunyi ping terdengar seiring pintu yang terbuka, Masumi dan sang pilot memasuki lift. Tak ada percakapan diantara mereka sampai layar digital di atas pintu menunjukkan angka dua puluh lima dan bunyi ping kembali terdengar, pintu terbuka.
Sang pilot berjalan mendahului Masumi dan mengambil sebuah kartu dari dalam sakunya, menekan sebuah kombinasi nomor dan menggesekkan kartu pada alat keamanan canggih yang terpasang di satu-satunya pintu di lantai itu. Kembali suara dentingan terdengar dari alat keamanan dan pintu ganda dihadapannya otomatis terbuka, bergeser perlahan dan memperlihatkan kemewahan interior kondomium yang pastinya mengundang decak kagum bagi siapa saja yang melihatnya.
"Terima kasih," ucap Masumi kemudian.
Sang pilot mengangguk hormat.
"Sudah tugas saya melayani anda Tuan. Sekali lagi selamat atas pernikahan anda, semoga bahagia," jawab sang pilot.
"Hhmm," balas Masumi seraya menganggukkan kepala.
Masumi menerima kartu kunci dari sang pilot dengan tangan kanannya yang menopang tubuh Maya, menggenggamnya erat sebelum akhirnya masuk.
"Jangan lupa, lusa jam sembilan malam, Masato," kata Masumi tanpa menoleh ke belakang lagi.
"Baik Tuan," jawabnya sebelum pintu kembali tertutup.
Dengan senyum mengembang sang pilot yang adalah Masato, orang kepercayaan Masumi sekaligus supir dan pengawal pribadi Maya itu berjalan menuju lift. Meninggalkan tuan dan nyonya yang pastinya tengah berbahagia dengan pernikahan mereka. Kedua tangan mengerat di sisi tubuhnya ketika membayangkan segala sesuatu yang bisa saja terjadi setelah ini. Namun dalam hati, tekad Masato menguatkan dirinya sendiri. Demi Masumi yang sudah menebus hidupnya, dia rela melakukan apapun, bahkan bila itu harus merelakan nyawa sekalipun, Masato tidak takut.
Deru mesin helikopter yang kembali memecah kesunyian malam, membawa Masato pergi untuk menyiapkan semua hal yang sudah ditugaskan padanya. Ya, sementara tuannya beristirahat sejenak, dia akan melakukan bagiannya dengan baik. Membuka jalan untuk kebahagiaan orang yang sangat dihormatinya.




***
Bibir mungil Maya yang biasanya menyunggingkan senyum manis, pagi ini terasa berbeda karena bukan garis senyum yang terukir disana melainkan kerutan yang justru membuat wajah cantik itu tampak semakin menggemaskan.
"Jangan marah, maafkan aku."
Entah sudah berapa kali Masumi mengucapkan kalimat itu selama satu jam terakhir sejak Maya bangun dan menyadari dimana dirinya berada.
Semalam Maya hanya bisa diam dan mengikuti semua permainan Masumi. Dia bahkan tidak berhenti untuk terkejut ketika helikopter membawanya entah kemana. Sayangnya semua kejutan Masumi membuat Maya kehabisan tenaga dan jatuh tertidur tanpa tahu tempat tujuan mereka. Dan paginya, terbangun di sebuah kamar mewah yang sama sekali asing, melihat Masumi yang tidur disebelahnya dengan tampilan mengejutkan -sebenarnya dia merona karena hal itu- kembali membuat Maya menggelengkan kepalanya. Kesal. Maya merasa seperti boneka yang sedang dimainkan Masumi.
Alhasil, beginilah nasib Masumi yang kini justru sibuk membujuk istrinya yang tengah merajuk. Sejak keduanya selesai membersihkan diri, Maya terus saja mendiamkannya yang notabene telah resmi menyandang status suami.
"Katakan apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku." Bujuk Masumi lagi.
Maya yang tengah duduk di tepi tempat tidur masih diam seraya melipat tangannya di depan dada sementara Masumi berlutut di depannya.
"Apa kau masih peduli dengan pendapatku Tuan Hayami?" Maya memulai dengan gaya sarkastiknya.
Bukan gaya Maya sebenarnya tapi banyaknya peran yang sudah dimainkannya membuat Maya piawai memainkan berbagai karakter. Dan semua kejutan Masumi telah berhasil membuat moodnya terjun bebas.
"Kau boleh memukulku atau bahkan berteriak di depanku tapi ku mohon jangan acuhkan aku." Masumi menarik tangan Maya yang terlipat di depan dada, menggenggamnya erat. Dia tahu kalau dirinya salah dengan merencanakan pernikahan tanpa persetujuan Maya. Semalam pun saat dirinya memandang wajah lelap Maya hatinya masih merasa bersalah. Dan dengan rasa sayang yang amat sangat Masumi menggantikan pakaian pengantin Maya dengan piyama dan memeluk istrinya dalam kehangatan. Berharap saat istrinya bangun nanti dia bisa menebus semua kesalahannya dengan menjaga dan membahagiankan Maya.
"Aku tidak yakin pukulan bisa menghentikan semua kegilaanmu Masumi." Maya menghela napas panjang, "Ya Tuhan...ini pernikahan Masumi dan kau membuatnya seolah-olah ini adalah pesta kejutan ulang tahun untukku hanya karena kau cemburu pada Koji? Aku tidak percaya kau sanggup melakukannya. Kemana perginya direktur utama bertangan dingin dan jenius yang aku kenal? Kau kekanakan, kau tahu?"
Masumi sedikit terkejut dengan kalimat panjang yang diucapkan istrinya. Ya, tidak ada yang salah dengan semua hal yang diucapkan Maya tapi jelas Masumi tidak menyesali semua yang sudah terjadi. Bukankah dengan begini dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, impiannya, Maya sebagai istrinya. Anggaplah kemarahan Maya adalah hukuman atas kekonyolan dari rasa cemburunya tapi sekali lagi, Masumi tidak akan pernah menyesal karenanya dan bahkan memuji dirinya sendiri atas keputusan yang akhirnya berani dibuatnya.
Masumi menatap sepasang mata coklat bulat dihadapannya, yakin bahwa tidak ada kebencian di dalamnya. Kesal, pastinya, tapi bukan rasa benci.
"Kau berhasil membuatku menjadi orang bodoh sejak kemarin." Gumam Maya, "Bagaimana kau bisa merencanakan semua ini?"
Masumi mengulas sebuah senyum tipis saat tatapan mata Maya melembut.
"Mizuki dan Hijiri, mereka yang menyiapkan semuanya. Masato dan Midori yang mengatur semua keperluanmu. Masalah Ayumi, maaf kalau aku melibatkannya karena usul Midori yang melibatkan Tuan Himekawa untuk mendapatkan alasan tepat membawamu pergi. Dia juga yang memberitahuku kalau Ayumi tahu mengenai hubungan kita."
Maya diam mengamati suaminya yang tampak tenang menjelaskan semuanya.
"Dan bagaimana dengan Rei juga Tuan Kuronuma? Setahuku mereka sedang ada latihan drama untuk pentas musim gugur nanti."
Masumi kembali mengulas senyum, "Aku tahu mereka sudah seperti keluarga bagimu dan aku ingin mereka bisa berbagi kebahagiaan denganmu. Meski sayang karena Tuan Kuronuma harus pulang lebih dulu tanpa ikut makan malam bersama kita, setidaknya beliau tahu bahwa anak emasnya bahagia. Apa aku salah dengan itu, juga?"
Lagi-lagi Maya menghela napas panjang, tidak bisa menggeleng atau juga mengiyakan perkataan Masumi. Pasrah, Maya menarik tangannya dari genggaman Masumi dan membaringkan tubuhnya, membiarkan lututnya menggantung di tepi temppat tidur dan mengabaikan Masumi yang bergeming di depannya. Tidak peduli rambutnya yang masih basah seusai mandi dan belum sempat dikeringkan akan membuat tempat tidur king size nya basah. Sejenak memejamkan mata, hal lain justru terlintas di dalam kepalanya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Pertanyaan itu menggantung begitu saja di benaknya.
"Hei, Tuan Hayami," panggil Maya tanpa membuka kelopak matanya.
Maya merasakan tekanan di atas tempat tidur dan yakin kalau sekarang Masumi sudah ikut berbaring di sebelahnya dan sedang menatapnya tanpa perlu dirinya membuka mata.
"Ya, Nyonya Hayami?" Goda Masumi sekaligus mengingatkan Maya bahwa dirinya sekarang juga menyandang nama Hayami.
Maya membuka matanya, membulatkannya hingga terlihat bahwa dirinya kesal ditambah dengan bibirnya yang kembali mengerucut. Alih-alih takut, Masumi justru terkekeh melihatnya, mengusap sisi wajah Maya dengan tangan bebasnya sementara satu tangannya yang lain bertugas menopang tubuhnya yang kini tengah berbaring menyamping, menghadap Maya.
"Wajahmu lucu saat merajuk seperti ini Nyonya Hayami," goda Masumi, lagi.
"Berhenti menggodaku," rengek Maya meski kenyataannya dia membiarkan saja jemari Masumi mengusap2 pipinya.
"Hhmm?" Masumi mengabaikan rengekan Maya.
Maya menetralkan kembali ekspresi wajahnya, menatap lekat suaminya, menumpukan tangannya di punggung tangan Masumi yang kini menangkup sisi wajahnya, mengusapnya lembut.
"Menurutmu, apa yang akan terjadi setelah ini? Kau baru bercerai sebulan yang lalu dan sekarang kau menikahiku, maksudku...keluarga Takamiya, juga ayahmu...," Tanya Maya lirih, jelas sekali keraguan di dalam nada suaranya.
Masumi tidak terkejut Maya menanyakan hal itu padanya. Bukankah memang itu yang selalu menjadi penghalang untuk keduanya bersatu? Takut akan reaksi keluarga Takamiya yang bisa berpotensi menyakiti salah satu diantara mereka sampai akhirnya Masumi sadar kalau itu salah. Sayangnya diperlukan seorang Koji untuk bisa membuat Masumi mengambil keputusan yang benar. Ketakutannya kehilangan Maya justru membuat logikanya berjalan lurus.
Masumi menyunggingkan senyum untuk menenangkan Maya, "Apapun yang terjadi aku akan menjagamu. Aku tidak mau lagi menjadi orang bodoh yang tidak pernah memperjuangkan cintanya dan melindungimu dengan tanganku sendiri."
Maya akhirnya menyunggingkan senyum di bibirnya, "Berjanjilah untuk selalu bersamaku, jangan pernah meninggalkanku, lagi."
Melandaikan tubuhnya, Masumi memberikan sebuah kecupan di sudut bibir istrinya, "Tidak akan," bisiknya di depan bibir Maya sebelum akhirnya memagut bibir mungil itu dengan lembut.
Maya memejamkan mata begitu Masumi memperdalam ciumannya. Perlahan, Masumi menyusupkan tangannya di antara lekuk leher Maya dan tempat tidur, meremas lembut tengkuk istrinya sembari terus melumat lembut bibir mungilnya. Dan Maya tidak menolak semua kemesraan yang di tawarkan suaminya, kedua lengannya kini sudah memeluk leher Masumi, membuat tubuh suaminya itu semakin merapat padanya.
"Ngghh...," Maya melenguh lirih begitu Masumi berhasil menerobos masuk melalui celah bibirnya, mengirimkan setiap friksi kenikmatan ke seluruh syarafnya saat lidah Masumi menari di dalam mulutnya.
Napas Maya memendek, membuat Masumi menghentikan cumbuannya. Mata Masumi berkedip senang begitu melihat wajah Maya yang memerah di bawahnya dengan napas terengah.
"Kau tak pernah berhenti untuk mempesonaku sayang," bisiknya di depan wajah Maya dan memberikan sebuah kecupan ringan di ujung hidung istrinya.
"Kau hampir membunuhku dan kau justru terpesona?" Maya mencoba menyembunyikan rasa malunya atas pujian Masumi dan atas apa yang baru saja terjadi. Sepanjang hubungannya dengan Masumi, ini adalah ciuman terpanas mereka. Sungguh Maya takkan bisa menebak apa yang selanjutnya akan terjadi andai tadi Masumi tidak berhenti. Pemikiran itulah yang sukses membuat wajahnya memerah.
Masumi tersenyum geli melihatnya, "Kau tidak suka sayang?"
Maya mencebik begitu melihat Masumi menggodanya, menambah semburat merah di pipinya semakin pekat.
"Jangan menggodaku!" Maya memukul dada Masumi dan mendorongnya menjauh tapi nyatanya suaminya tetap bergeming, tidak terpengaruh oleh dorongan lengan kecil Maya. Masumi masih memerangkap Maya diantara kedua lengannya.
"Sejak kapan seorang suami dilarang menggoda istrinya sendiri?"
Maya langsung memalingkan wajahnya, menyembunyikan wajahnya yang semakin terasa panas. Dan Masumi justru mengecup bawah telinga Maya membuat Maya menggigit bibir bawahnya untuk menahan desahannya keluar.
"Kau lapar sayang?" Bisik Masumi.
Alis Maya bertaut dan dengan cepat kembali menatap Masumi.
"Aku hanya bertanya, apa kau lapar? Kita sudah melewatkan waktu sarapan," terang Masumi seraya menyingkirkan poni dari kening Maya.
"Kau lapar?" Maya justru balik bertanya dan Masumi menangkap kilat kecewa di mata Maya. Masumi tertawa.
"Apa?" Maya tahu Masumi menertawakannya.
"Sabar sayang, sebesar apapun hasratku saat ini untuk memilikimu, aku tidak akan melakukannya sebelum kau makan, dalam artian sebenarnya."
"Huh! Sudah ku katakan jangan menggodaku," Maya mendorong Masumi dari atasnya, kali ini Masumi menyingkir. Sekarang mereka berbaring menyamping dan saling berhadapan dengan kaki menjuntai di tepi tempat tidur.
"Kau-me-nye-bal-kan." Maya mengeja setiap kata dengan nada kesal tapi binar bahagia tidak bisa ditutupi di matanya.
"Begitukah? Katakan, bagian mana dariku yang menyebalkan Nyonya Hayami?" Masumi menyangga kepalanya dengan tangan, mencolek hidung istrinya.
"Semua tentang dirimu menyebalkan Tuan Hayami," jawab Maya yang kali ini disertai kekehan senang.
"Oh, aku jadi merasa kasihan denganmu karena harus bersanding dengan orang menyebalkan ini, selamanya." Goda Masumi lagi seraya menarik Maya merapat padanya hingga sekarang istrinya itu berada di atas tubuhnya yang terlentang.
"Selamanya?" ulang Maya.
"Selamanya," tegas Masumi sebelum akhirnya menarik tengkuk Maya dan kembali menyatukan kedua bibir mereka dengan lembut.
"Aku akui kau sangat berpengalaman Tuan Hayami," Maya menyeringai di sela-sela napasnya yang pendek usai ciuman panas -kedua- mereka.
Kening Masumi berkerut, "Aku tidak suka dengan ironimu Maya, aku tidak-,"
"Pernah menyentuh wanita lain selain aku?" Potong Maya.
"Kau meragukanku sayang?" Tanya Masumi, jemarinya menyelipkan rambut Maya ke belakang telinga dan menyingkirkan helaian lainnya dari bahu.
"Tentang kau yang menjaga keperjakaanmu bahkan dari istri, ehm, mantan istrimu sendiri? Tidak, aku tidak meragukannya," kali ini gilaran Maya yang memberikan kecupan ringan di kening Masumi, mengurai kerutan disana.
Masumi tertawa, "Aku tidak menyangka Shiori menceritakan hal itu padamu. Apa dia mengatakannya saat datang ke apartemenmu?"
Maya mengangguk seraya terkikik geli, "Ya, aku hampir tersedak mendengar cerita insiden obat perangsang darinya. Saat itu ku pikir kau keterlaluan juga karena tidak pernah menyentuh istrimu sendiri sampai dia harus menggunakan obat perangsang padamu tapi sekarang aku justru bersyukur kau melakukannya. Apa aku jadi egois karena itu?"
Masumi menggeleng, "Aku sempat hilang akal dan hampir melakukannya tapi aku selamat dari jebakan itu karena ingat kalau hanya kau wanita yang aku cintai. Aku hanya tidak mau merusak Shiori dan membuangnya begitu saja. Aku benar-benar terkejut sekaligus senang saat akhirnya dia memutuskan untuk bercerai."
Maya tersenyum tipis, "Aku sempat marah pada Nyonya Shiori karena menuduhku bercinta denganmu malam itu. Maaf, akhirnya aku menamparnya,"
Mata Masumi membulat terkejut, "Kau apa?" Tanyanya tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Maya yang dikenalnya bukanlah tipe gadis yang akan melakukan hal seperti itu.
"Ya, aku menamparnya," ulang Maya.
Masumi menggeleng, "Aku tidak berpikir kau bisa melakukannya. Aku kadang merasa heran, dimana kau sembunyikan semua keberanian itu di dalam tubuh mungilmu ini."
"Kau memujiku karena pernah menampar Nyonya Shiori?" Maya mendengus geli.
"Tidak, bukan seperti itu meski aku tidak akan menyalahkanmu karena sudah melakukannya. Hanya saja-,"
"Iya, aku mengerti maksudmu," potong Maya kemudian.
Masumi menggeser tubuh Maya, bangun dan membawa Maya ke atas pangkuannya.
"Sebaiknya kita segera makan sebelum aku lepas kendali dan berbalik memakanmu."
Maya tertawa, mengecup ringan bibir Masumi, "Aku tidak keberatan kau lepas kendali tapi kau benar kalau aku lapar dan sepertinya aku butuh banyak makan agar bisa-," Maya turun dari pangkuan Masumi dan menunduk, berbisik di telinga suaminya, "memuaskanmu."
Masumi menganga dengan bisikan Maya sementara istri mungilnya itu terkekeh senang dan berjalan ke arah pintu.
"Maya!"

***
"Apa kau yakin kalau dia tidak ada di Tokyo?" Shiori memincingkan matanya menatap pria dengan setelan hitam yang berdiri di hadapannya sebelum menikmati teh hijau di tangannya.
"Benar Nyonya. Menurut keterangan yang saya dapatkan dari mata-mata kita di kantor Daito, Tuan Masumi sedang berada di Kyoto untuk menghadiri peresmian Gedung Teater baru Daito," jawab pria itu.
Shiori meletakkan cangkirnya di meja, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Matahari sudah terasa panas menurutnya meski waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matahari musim panas memang tak pernah kehilangan pesonanya. Sayangnya hal itu justru membatasi dirinya yang memiliki fisik lemah.
"Gadis itu...juga ada di Kyoto kan?" Tanya Shiori tanpa menatap anak buahnya, menyembunyikan raut wajah putus asa juga nyeri di hati saat pikirannya mencoba menerka apa yang sedang terjadi.
"Benar Nyonya." Jawab pria itu lagi seraya menundukkan kepala, berusaha menghargai Nyonya nya dengan pura-pura tidak melihat air mata yang kini sudah mengalir di pipi Shiori.
Beberapa saat keheningan seolah menjadi hal yang wajar di antara mereka.
"Pergilah, lanjutkan tugasmu." Kata Shiori kemudian setelah lelah dengan keheningan yang justru terasa mencekiknya.
"Baik Nyonya, saya permisi," pria dengan setelan hitam itupun membungkuk hormat sebelum keluar dari ruang peristirahatan nyonyanya.
Kembali keheningan mengisi ruangan mewah yang hanya ditempati oleh Shiori itu. Mata dari janda Hayami itu masih menerawang ke luar jendela di mana pemandangan kebun bunga miliknya terhampar indah. Namun berbanding terbalik dengan apa yang dilihatnya, rasa sakit, perih, kecewa, marah sekaligus benci justru memenuhi ruang hatinya. Tidak ada lagi keindahan yang bisa terlihat di matanya. Hatinya yang hancur berkeping-kepang sudah mematikan semua rasa bahkan juga membuat jiwanya terasa hampa.
"Jadi kalian sedang bersama, huh?" Lirih Shiori pada dirinya sendiri, "Setelah semua yang terjadi, setelah aku hancur seperti ini, kalian berdua tertawa bersama, menertawakanku, menari di atas lukaku."
Kedua tangan Shiori yang bersandar pada lengan kursi mengepal kuat, menahan gejolak rasa dalam dadanya. Jejak air mata di wajahnya sudah mengering dan kini bibirnya menyunggingkan sebuah senyum tanpa arti.
"Sebenarnya kebodohan apa yang sudah aku buat sampai aku berakhir seperti ini?" Kembali nyonya muda itu bermonolog, berharap angin mendengar isi hatinya dan menerbangkan semua perih di hatinya. Tapi bukankah hal itu tidak mungkin?
Senyum Shiori berganti menjadi seringai tipis di bibir pucatnya.
"Masumi, kalau kau bisa menghancurkanku, sanggupkah kau melihat hal yang sama terjadi pada gadis jalangmu itu?" Kekehan tawar terdengar, "Aku ingin melihat, seberapa kuat kau bisa melihat gadismu menderita," kini kekehan itu berganti menjadi sebuah tawa dengan nada sarat kepedihan.
"Salahmu Masumi, semua salahmu tapi akan aku buat gadis jalang itu membayar semuanya untukmu. Tidakkah aku baik hati Masumi? Membuat gadis itu menggantikan luka yang harusnya kau terima?"
Dan suara porselen yang beradu dengan lantai menjadi penutup drama singkat pagi itu. Setelah akhirnya para pelayan dipimpin oleh Takigawa, tergesa memasuki kamar dan menemukan sang nyonya tergeletak di lantai, diantara pecahan cangkir porselen yang berhamburan.

***
Kembali pada waktu yang sama di kondominum milik pasangan paling berbahagia di dunia saat ini.
Maya terus saja menggumamkan kata 'wah' dan 'wow' secara bergantian ketika usai sarapan singkatnya, Masumi membawanya berkeliling kondominium yang mereka tempati. Datang dalam keadaan tertidur membuat Maya tidak tahu di mana dirinya berada dan sukses terkejut ketika Masumi mengatakan bahwa kondominium tersebut adalah tempat tinggal mereka yang sudah dibelinya atas nama Maya. Lagi-lagi Maya mencebik ketika Masumi kembali mengambil alih semua keputusan.
Kondominium yang mereka tempati sangat luas. Ada tiga kamar tidur dengan satu kamar utama yang di tempatinya. Selain itu terdapat ruang keluarga, ruang tamu, ruang makan dan dapur yang semuanya di design dengan mewah dan elegan. Maya memutar otak saat melihat dapurnya yang dipenuhi oleh peralatan canggih tanpa tahu bagaimana menggunakan semua alat itu dan saat dirinya bertanya Masumi justru menertawakannya. Kemudian Maya berhenti untuk bertanya.
Sejenak Maya berpikir, bagaimana sang suami bisa menyiapkan semua itu untuknya? Tapi dia berhenti menerka ketika menyadari bahwa Masumi memang selalu melakukannya, mengatur apa yang harus dilakukannya, mempersiapkan apa yang dibutuhkannya, baik itu sebagai Masumi, Direktur Daito ataupun Mawar ungu. Maya lagi-lagi hanya bisa menghela napas panjang dan menggeleng, menyerah untuk merubah sifat posesif Masumi padanya meski terkadang hal itu membuatnya sangat putus asa karena merasa Masumi jauh lebih mengenal dirinya, dibandingkan dirinya sendiri.
"Melamun Nyonya Hayami?" Masumi memeluk Maya dari belakang ketika sang istri bergeming –menurutnya- terlalu lama di depan dinding kaca ruang keluarga mereka yang terhubung dengan balkon dan memperlihatkan sebagian pemandangan kota Tokyo di bawah sana.
Maya tersenyum saat membalikkan tubuhnya dalam pelukan Masumi dan kembali menatap ruangan tempatnya berada. Tidak ada hal yang layak di komplain dari semua yang tertata di sana. Ruangan dengan sofa bulat tanpa kaki, karpet beludru yang terbentang di depan perapian, perangkat home theater lengkap, juga foto Maya yang terpajang besar di atas perapian saat dirinya memerankan bidadari merah membuat Maya tersenyum.
"Apa yang kau pikirkan?" Masumi menyingkirkan poni dari kening Maya dan saat istrinya itu mendongak, menatapnya, Masumi mendaratkan sebuah kecupan di pelipis kirinya.
"Hanya mengagumi suamiku dan sifat posesifnya," kata Maya diiringi dengan senyuman yang justru menuai tautan alis sang suami. Maya terkekeh, menarik lengan Masumi yang masih melingkari tubuhnya lalu berjalan ke arah karpet beludru dan membaringkan tubuhnya di sana. Nyaman.
Masumi bergeming di tempatnya seraya menatap Maya yang tampaknya sangat menikmati semuanya. Dia senang, bahkan sangat senang karena meski merajuk tapi Maya tampak puas dengan apa yang disiapkannya sejauh ini.
Maya yang mengenakan blouse tanpa lengan berwarna kuning dipadukan dengan celana pendek selutut terlihat begitu santai saat menarik bantal bulat besar dari atas sofa dan kembali menyamankan dirinya di atas karpet. Mata bulat coklatnya menatap lekat suaminya yang masih bergeming di tempatnya dengan seulas senyum manis. Maya berkedip beberapa kali untuk sekedar menyadarkan dirinya untuk berhenti terpesona pada replika sosok dewa Yunani -menurutnya- yang saat ini tengah memandangnya.
Mengenakan kemeja berlengan pendek warna putih dan celana denim warna biru gelap, Masumi tampak lebih muda -dimata Maya- dan lebih segar -tentu saja-. Tuan direktur itu sepertinya memang tidak pernah kehilangan pesonanya dan sontak pipi Maya memerah karena euforia di dalam dirinya ditambah dengan rasa bangga karena berhasil menaklukkan hati sang pangeran Daito.
Sibuk dengan lamunannya membuat Maya tak menyadari kalau sosok yang tengah dikaguminya kini duduk disebelahnya, meluruskan kakinya ke arah berlawanan dengan Maya yang tengah berbaring.
"Aku akan sangat kecewa jika tokoh utama lamunanmu bukan aku," kata Masumi seraya mengusap pipi Maya dengan jemarinya.
Berkedip. Berkedip. Maya terkikik saat menyadari keberadaan Masumi disebelahnya dan berhasil mencerna perkataan Masumi yang lebih terdengar sebagai sindiran di telinganya. Maya menggeser kepalanya dan menyandarkannya di paha Masumi, lagi-lagi mencari posisi nyaman seraya memeluk bantal bulatnya. Dengan lembut Masumi mengusap kepala Maya di pangkuannya.
"Kau tahu berapa lama aku menunggu untuk bisa seperti ini bersamamu?" Ucap Masumi tanpa menghentikan belaiannya.
Maya mengulurkan tangannya ke atas dan mengusap wajah suaminya, "Aku tidak tahu berapa lama tapi aku tahu bagaimana rasanya."
Masumi tersenyum. Ya, dia tahu pasti apa yang dirasakannya selama ini juga dirasakan oleh kekasih hatinya. Cinta, penantian dan pengorbanan, mereka sama-sama tersiksa karenanya.
"Apa aku egois?"
Pertanyaan yang pagi tadi juga terlontar dari bibir Maya membuat Masumi terheran. Tangan Maya masih mengusap sisi wajah Masumi.
"Apa aku egois karena ingin memilikimu untuk diriku sendiri? Aku tidak mau membagimu dengan siapapun dan aku mau kau bersamaku sampai aku tua nanti. Hingga nanti napas terakhirku, aku ingin kau terus bersamaku."


Masumi terdiam, hatinya membuncah dengan rasa haru karena mendengar ucapan Maya. Alih-alih menjawab, Masumi justru menyelipkan telapak tangannya di tengkuk Maya, membungkukkan tubuhnya dan membawa kekasihnya dalam ciuman dalam yang penuh cinta. Kedua bibir itu saling bertaut membagi kasih.
"Kau, satu-satunya bagiku, dulu, sekarang dan selamanya," lirih Masumi di depan bibir Maya seraya mengatur napasnya yang memendek.
Maya mengurai senyumnya. Tak menahan diri lagi, Maya mengalungkan lengannya ke leher Masumi dan kembali menautkan bibir mereka.
Desahan lirih lolos dari bibir Maya saat Masumi melepas pagutannya dan mendaratkan kecupan lembut di sepanjang garis rahangnya. Maya meremas tengkuk Masumi saat suaminya kini memanja lekuk leher dan sepanjang bahunya dengan kecupan dan hisapan lembut.
"Ungh," lagi-lagi Maya hanya bisa melenguh seraya memejamkan mata. Dia bisa merasakan senyum Masumi diantara kecupannya.
"Maya," suara Masumi berubah berat.
Maya membuka matanya dan menatap Masumi.
"Jadilah milikku," ucap Masumi seraya mengusap wajah kekasih dalam pelukannya.
Maya mengulas senyum, meraih tangan Masumi yang membelai wajahnya dan memberikan kecupan di telapak tangan suaminya, "Aku milikmu."

***
"Masu-mi-," entah untuk keberapa kalinya Maya merapal nama suaminya di antara desahan yang tak sanggup di tahannya. Masumi terus memanja istrinya dengan penuh cinta.
Masumi hampir hilang akal mendengar nada memuja dari bibir Maya tapi sekuat tenaga dia menahan diri. Masumi tidak mau menyakiti istrinya dengan nafsunya. Dia ingin Maya bisa merasakan betapa besar cintanya melalui penyatuan mereka, yang pertama. Tidak peduli dengan istilah malam pengantin, first night atau apapun itu, kisah cinta mereka bukanlah roman picisan yang dihiasi dengan warna-warni mitos cinta yang kadang tidak masuk akal. Maya dan Masumi mengabaikan terik matahari di luar sana, menikmati kebersamaan mereka setelah banyak hal berat harus mereka lewati.
Tangan Masumi membelai setiap inchi tubuh Maya, memberikan remasan lembut di beberapa bagian sensitif yang sukses membuat lenguhan istrinya semakin keras.
"Ahhh," kali ini Masumi yang mendesah keras saat Maya mencengkram bahunya, menekan kuku jemari mungilnya di kulit Masumi. Bukan tanpa alasan karena Masumi baru saja menyatukan dirinya dan Maya. Masumi tahu rasa apa yang tengah di tahan istrinya. Butiran peluh sudah membasahi tubuh mereka.
"Sakit?" Masumi bergeming pada posisinya di atas tubuh mungil Maya yang di topang dengan kedua lengannya. Memberi waktu bagi istrinya untuk membiasakan diri dengan keberadaannya. Masumi tersenyum saat Maya menggeleng seraya mengeratkan cengkramannya di bahu Masumi. Jemari Masumi mengusap kening Maya, merapikan helaian rambut yang berantakan. Merendahkan tubuhnya, Masumi kembali memagut bibir Maya dan meredam teriakan istrinya ketika Masumi kembali menggerakkan tubuhnya.
Air mata mulai mengalir dari sudut mata Maya. Entah bagaimana mendeskripsikannya tapi Maya merasa dirinya dibanjiri cinta yang berlimpah hingga membuat dadanya penuh dengan rasa bahagia. Kata-kata cinta yang dibisikkan Masumi di telinganya, dekapan erat Masumi yang merengkuh tubuhnya, berhasil mengalihkan Maya dari dunia nyata, melupakan rasa sakit yang tadi sempat dirasanya, menggantikannya dengan kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Sepasang suami istri itu meneriakkan nama pasangannya bersamaan kala penyatuan mereka sampai pada puncaknya. Meleburkan semua rasa dalam satu kata, cinta.
Masumi merebahkan dirinya di sebelah Maya dan merengkuh istrinya dalam dekapan sayang.
"Terima kasih sayang," bisik Masumi sembari mengecup kening Maya.
"Uumm," Maya hanya sanggup menggumam diantara degub jantunganya yang bertalu.
Keduanya bergeming, meredakan debaran jantung juga getaran tubuh mereka. Masumi membelai punggung Maya dengan lembut, menenangkan.
"Aku lelah," lirih Maya dalam dekapan suaminya.
Masumi mengecup puncak kepala Maya, "Tidurlah."
"Aku mencintaimu, Masumi." Ucap Maya di ambang sadarnya.
Kalimat itu membuat Masumi tersenyum bahagia, mengeratkan pelukannya, Masumi membelai sayang kepala istrinya, mengantarkannya ke alam mimpi.
Masumi merenggangkan pelukannya saat yakin istrinya sudah benar-benar terlelap. Mengabaikan ruang keluarganya yang berantakan dengan pakaiannya dan Maya yang bertebaran di lantai, Masumi mengangkat Maya dengan kedua lengannya, membawa istrinya ke kamar mereka.
Dengan hati-hati Masumi merebahkan Maya di tempat tidur mereka. Menutup tubuh mungil itu dengan selimut dan memberikan ciuman di bibir Maya yang kini terlihat begitu merah.
"Aku juga mencintaimu," ucapnya penuh cinta.

***
Bruk! Mizuki meletakkan tumpukan dokumen dengan kasar di meja kerjanya. Menghempaskan dirinya ke kursi, jemari lentiknya memijat pelipisnya yang berdenyut.
"Lelah?"
Reflek Mizuki menegakkan tubuhnya begitu sebuah suara yang tidak asing menyapa gendang telinganya. Mengumpat dalam hati karena kehadiran tamu tak diundangnya yang melihat sisi lain dirinya yang biasanya selalu disembunyikannya. Ya, sebanyak apapun tugas yang dibebankan padanya, Mizuki tidak pernah mau mengeluh dan menampakkan kelelahannya di depan orang lain. Sisi perfeksionisnya membuat Mizuki selalu ingin terlihat sempurna di mata dunia dan sekarang terkhusus di mata pria yang kini berjalan menghampirinya.
"Tuan Hijiri," Mizuki berdiri dan mengangguk hormat pada wakil direktur yang juga adalah atasannya.
"Kau boleh istirahat, aku akan menyelesaikan semua dokumen itu," ucap Hijiri.
Mizuki tampak tidak suka dengan perintah Hijiri tapi dengan cepat menetralkan kembali ekspresi wajahnya, "Tidak Tuan, ini tugas saya," jawab Mizuki datar. Sejak pengakuan cinta Hijiri yang mendadak semalam, Mizuki jadi merasa aneh saat berdekatan dengan atasannya itu.
"Tidak usah memaksakan diri. Aku tahu kau lelah setelah kemarin kita disibukkan oleh rencana Tuan Masumi," kata Hijiri sama tenangnya. Dia tahu Mizuki menjaga jarak dengannya tapi dia juga tidak tega melihat wanita yang sudah berhasil merebut hatinya itu kelelahan.
"Anda berlebihan Tuan. Saya baik-baik saja. Semua ini adalah tugas dan tanggung jawab saya jadi ijinkan saya melakukan apa yang menjadi kewajiban saya." Kilah Mizuki.
Hijiri menghela napas mendengar alasan Mizuki. Wanita itu memang keras kepala. Hijiri tidak mau memaksa, diapun berbalik tanpa mengucapkan sepatah katapun, kembali ke ruangannya yang disambut desahan lega dari Mizuki. Sekretaris cantik itupun kembali menghempaskan dirinya ke kursi.
"Tuan Masumi, semua karena rencana gila anda yang membuat saya terjebak dalam situasi ini," gerutu Mizuki yang kemudian mengambil map paling atas dan mulai memeriksanya. Sadar bahwa pekerjaannya lebih penting dibanding kegalauan hatinya, Mizuki segera memfokuskan pikirannya pada dokumen di tangannya.
Bruk! Lagi-lagi dokumen tak bersalah itu kembali terhempas di atas meja.
"Menyebalkan!" Gerutu Mizuki yang ternyata gagal fokus pada pekerjaannya karena semua memori tentang kata cinta semalam dan bayangan sosok Hijiri terus berkelebatan di dalam benaknya. Tanpa disadarinya, sepasang mata tengah mengamatinya dari celah pintu dengan senyum tipis menghiasi wajah tampannya.
"Belum menyerah Saeko?" Gumamnya menahan geli.

***
Maya menggeliat tak nyaman ketika merasa aneh pada tubuhnya. Lelah, ya, dirinya merasa lelah. Membuka kelopak mata, Maya berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"Ungh!" Maya mengerang lirih saat merasakan pegal di pinggulnya.
"Eh?!" Menyadari dirinya tidak berada di tempat yang terakhir diingatnya membuat Maya segera bangun dan memutar otaknya. Lagi-lagi mengerang lirih ketika rasa perih menyapa bagian bawah tubuhnya saat duduk.
"Ahh, itu-," seketika wajah Maya memanas saat teringat apa yang sudah terjadi dan menemukan alasan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Mengamati piyama yang dipakainya, Maya merasa bodoh karena sama sekali tak sadar bahkan ketika Masumi membawanya ke kamar dan memakaikannya piyama.
Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan perhatian Maya.
"Sudah bangun rupanya," Masumi menghampiri Maya dan duduk di tepi tempat tidur. Keningnya berkerut saat melihat istrinya salah tingkah, "Ada apa sayang?"
"Uhm," Maya menggeleng, "aku ingin ke kamar mandi," tergesa, Maya melupakan kalau-
"Aww!" Pekiknya ketika mencoba untuk turun dari tempat tidur.
-bagian bawah tubuhnya masih sakit.
"Sakit?!" Masumi terkejut melihat istrinya mengernyit menahan sakit.
"Ah, jangan bertanya, kau membuatku malu," kata Maya seraya menutup mata dengan telapak tangannya.
"Malu?" Masumi hampir tertawa mendengar penuturan istrinya. Disaat dirinya cemas dengan rasa sakit Maya  -yang sebenarnya sudah diduganya- istrinya itu justru merasa malu dengan apa yang sudah terjadi.
"Aww!" Giliran Masumi yang memekik karena Maya memukul lengannya, kesal karena ditertawakan.
"Maaf," ucap Masumi kemudian seraya menarik Maya ke dalam pelukannya, "apa masih sakit?" Tanyanya kemudian.
"Sedikit," gumam Maya yang semakin menyurukkan wajahnya di dada Masumi, menahan malu.
"Berendam air panas akan membuatmu lebih baik, kau mau?" Masumi mengusap punggung istrinya dengan sayang.
Maya mengangguk.
"Kalau begitu biar aku siapkan."
Maya menegakkan tubuhnya dan menyipitkan mata pada suaminya, "Biar aku saja."
Mengacak rambut istrinya dengan sayang, Masumi menggeleng seraya beranjak dari duduknya.
"Istriku duduk manis saja, setidaknya aku bertanggung jawab sebagai suami karena menyebabkanmu sakit."
Maya mencebik, "Jangan menggodaku!" Pekik Maya yang disambut kekehan senang suaminya yang berjalan ke kamar mandi.
Suara keran air samar terdengar oleh Maya, membuatnya tersenyum karena sikap Masumi yang memanjakannya.
Tak lama kemudian Masumi keluar dari kamar mandi dan langsung tertawa saat Maya justru merentangkan kedua tangannya dengan mata berbinar senang. Mengerti keinginan istrinya, Masumi mengangkat Maya dengan kedua tangannya, menggendongnya ke kamar mandi.
"Aku baru tahu kalau memiliki suami ternyata begitu menyenangkan," Maya bahkan terkekeh dengan perkataannya sendiri. Sepertinya dirinya akan ketagihan dimanja oleh suaminya itu.
"Kau manja Nyonya," kata Masumi di sela tawanya.

***
Dering handphone terdengar di sela lamunan seorang gadis yang tengah termenung di sudut ruangan sebuah studio latihan. Kening gadis itu berkerut begitu membaca nama yang muncul di layar handphonenya.
"Halo," jawab gadis itu yang berusaha mengontrol suaranya tetap tenang meski jantungnya kini tengah berpacu. Salahkan pemuda yang tadi menjadi obyek lamunannya tiba-tiba menelepon.
"Halo Rei, apa kabarmu?"
"Baik Koji, kau sendiri?"
Rei mendengar kekehan sebelum pemuda itu menjawab pertanyaannya, "Baik untuk ukuran orang yang baru saja patah hati."
Giliran Rei yang tertawa, "Kau akan kelelahan kalau sakit hati berkepanjangan."
"Ya kau benar tapi sepertinya aku tahu cara mengobatinya," ucap Koji kemudian.
Dengan bodohnya Rei mengerutkan kening tanpa menjawab, lupa kalau lawan bicaranya tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.
"Halo?" Koji terdengar heran karena tidak ada respon dari lawan bicaranya.
"Ah, i-iya," Rei tergagap saat sadar akan kebodohannya, "apa maksud ucapanmu tadi?" Tanyanya kemudian. Gagal memgerti dengan ucapan Koji, "Apa Maya mengatakan sesuatu padamu?"
"Tidak, tidak, Maya bahkan belum datang ke lokasi syuting karena Tuan Himekawa meliburkannya dua hari. Maksudku bukan tentang Maya."
"Lalu?"
Sejenak Koji terdiam dan kening Rei kembali berkerut.
"Minggu depan aku kembali ke Tokyo, bisakah kita-,"
Tut, tut, tut!
Rei berdecak kesal saat tiba-tiba obrolan mereka terputus. Menatap layar handphonenya dengan tanda tanya besar, "Apa yang mau dikatakan Koji?" Gumamnya.
Tapi waktunya untuk memikirkan Koji harus berakhir sampai disitu karena teriakan Kuronuma langsung menarik semua perhatiannya. Ya, Rei sedang terlibat sebuah produksi drama panggung untuk pementasan musim gugur bersama Kuronuma. Menonaktifkan handphone-nya dan menyimpannya ke dalam tas, Rei bergegas kembali berlatih sebelum sang sutradara bertangan dingin itu mengeluarkan makiannya.
Sementara itu di Kyoto, Koji tengah mengumpat kesal pada handphonenya, membuat beberapa kru yang berdiri tak jauh darinya keheranan.
"Sial! Baterainya habis."

***
Purnama bertahta di langit malam. Beberapa bintang mulai terlihat meski belum banyak mengingat baru satu jam yang lalu matahari kembali ke peraduannya.
"Bulannya indah," gumam Maya seraya menatap langit. Dengan nyaman dirinya bersandar di dada Masumi yang setengah berbaring di kursi berjemur di balkon kondominum mereka. Kedua tangan mereka bertaut mesra di atas perut Maya. Masumi tampak begitu posesif memeluk istrinya.
"Hhmm," Masumi hanya bergumam lirih. Dagunya yang bersandar di puncak kepala Maya sesekali bergeser untuk sekedar memberi kecupan di sela-sela rambut lebat istrinya, menikmati aroma bunga yang segar dari sampo yang di pakai Maya.
"Kau tidak suka?" Tanya Maya dengan masih menatap bulan purnama di atasnya.
"Suka tapi aku lebih suka mendengar celotehanmu," jawab Masumi.
Maya memukul punggung tangan Masumi di atas perutnya, "Kau mau bilang aku cerewet?" Protesnya.
"Aku tidak bilang begitu," jawab Masumi santai.
"Tapi kau menyindirku berceloteh, sama saja." Gerutu Maya.
Masumi membenamkan hidungnya di sela-sela rambut Maya sementara tangannya mengusap punggung tangan istrinya, "Apa aku merusak mood baikmu?"
Maya menghela napas panjang, "Tidak juga," katanya kemudian. Entah kenapa, sulit rasanya untuk tidak bertengkar dengan Masumi meski itu adalah hal konyol.
"Aku sedang menunggu bintang," kata Masumi kemudian yang sudah kembali menyandarkan dagunya di puncak kepala Maya.
Maya tidak menanggapi tapi matanya mulai menjelajah langit malam. Bintang belum banyak terlihat karena memang baru pukul tujuh, masih terlalu dini untuk pelita-pelita itu menampakkan diri.
"Aku jadi ingat lautan bintang di kampung halaman bidadari merah." Jawab Maya.
"Hhmm, karena itulah aku ingin berterima kasih pada bintang," ucap Masumi.
Maya mendongak demi melihat wajah suaminya, gagal mengerti dengan ucapan Masumi.
"Permohonanku saat melihat bintang jatuh waktu itu-," Masumi mengusap sisi wajah Maya dengan punggung jemarinya, "sudah terkabul."
Maya semakin mengerutkan keningnya.
"Hentikan," Masumi mengetuk kening Maya dengan telunjuknya, "bisa-bisa kerutan ini jadi permanen. Tidak lucu kan kalau istri mungilku yang berusia dua puluh dua tahun tiba-tiba keriput."
Maya membulatkan mata dan langsung memukul dada Masumi dengan kepalan tangannya, "Enak saja," cibirnya kesal.
Masumi terkekeh dan langsung mengeratkan pelukannya begitu Maya kembali pada posisi awalnya, bersandar padanya.
"Jadi-," Maya kembali menatap langit.
"Aku minta agar Tuhan mempersatukan kita," potong Masumi saat Maya menggantung kalimatnya.
Gagal menyembunyikan rasa bahagianya, senyum Maya mengembang sempurna, "Terima kasih," ucapnya kemudian seraya menumpukan tangan di atas tangan Masumi yang kembali terkait di atas perutnya.
"Terima kasih?" Tanya Masumi heran.
Maya menarik lengan Masumi, sedikit merenggangkan pelukan suaminya hingga dirinya bisa memutar tubuh menghadap Masumi. Mengalungkan lengannya ke leher Masumi, Maya memperpendek jarak diantara mereka.
"Terima kasih karena sudah memohon untukku karena aku bahkan tak berani bermimpi untuk bisa memilikimu."
Keduanya tersenyum penuh arti sebelum Masumi menundukkan kepala dan memagut mesra bibir Maya. Menyesap manisnya bibir ranum itu.
Maya meremas tengkuk Masumi saat suaminya itu memperdalam ciumannya. Dengan lembut Masumi mengulum bibir mungil Maya. Desahan lirih lolos ketika Masumi menautkan kedua lidah mereka, menyatukan rasa keduanya.
Maya merasa kehilangan ketika Masumi melepaskan pagutannya namun kesadarannya kembali buyar begitu sang suami menghujani lehernya dengan kecupan dan hisapan lembut, meninggalkan tanda merah jambu tipis. Masumi tidak akan menandai Maya di tempat terbuka, tidak mau mempermalukan istrinya dengan tanda konyol. Tapi hisapan Masumi menguat begitu sampai di bahu istrinya yang sudah tersingkap, meninggalkan bekas merah keunguan yang dirinya yakin tidak akan segera hilang.
Maya sendiri sudah tidak peduli dengan dimana dan bagaimana Masumi menandai tubuhnya. Kesadarannya semakin berserak kala Masumi menyusupkan tangannya ke balik blouse yang dikenakannya. Sebuah remasan di dada membuatnya melenguh panjang memanggil nama suaminya yang reflek menuai senyum puas di wajah Masumi.
"Kau milikku," bisik Masumi yang kemudian memberi hisapan kuat di kulit putih Maya, kembali tanda merah keunguan muncul akibat perbuatannya.
"Ya-," Maya mendesah lirih, "aku milikmu," gumam Maya penuh persetujuan. Mengabaikan fakta kalau dirinya dan Masumi tengah berada di tempat terbuka.
Maya yang mendengar suara risleting, membuka matanya dan menatap mata Masumi yang menggelap.
"Bolehkah?" Masumi masih sadar untuk meminta ijin dan tidak egois memaksakan hasratnya.
Maya mengulum senyum. Melupakan bahwa siang tadi dia sempat mencebik karena sakit di bagian bawah tubuhnya, Maya mengangguk dengan wajah merona. Tidakkah Masumi dan pesonanya itu begitu hebat? Hingga seorang Maya tidak sanggup berkata tidak.
Malam itu, bulan purnama dan kerlipan bintang yang mulai muncul menjadi saksi indahnya cinta sepasang manusia yang tengah berbahagia. Sepasang kekasih yang sudah melewati banyak cobaan untuk bisa bersama, saling memiliki.
Apapun yang akan terjadi nanti, keduanya percaya bahwa kekuatan cinta suci mereka tidak akan mati. Bersama, mereka akan menyusuri jalan bernama kehidupan.

***
>>Bersambung<<

Post a Comment

22 Comments

  1. Alohaaa, ketemu lagi deh
    Ini chapter termanis yang aku janjikan kemarin -semoga iya, coz hanya menurutku sih :P- (Yang puasa bacanya malem aja yak, hehehee)
    Yang uda baca n suka silakan tinggalkan komennya
    Arigato pokoknya buat semua yang uda setia baca sampe chapter ini.
    Happy reading :D

    ReplyDelete
  2. Wkwkwkkk honeymoon nie yeeee
    Seneng tuh masumi

    ReplyDelete
  3. Untung dah buka puasa, deg deg seeerrrr wkwkwk. Ditambah gambar bergerak nambah panas ahaha. Mau lagiiiii

    ReplyDelete
  4. so sweeeett bener2 bikin diabet nii untung bacanya setelah buka puasa

    ReplyDelete
  5. aaaassssiiiikkkkkkkkk..... jd agak kasihan sm Shiori... tp krn kebahagiaan MM jd lupa deh sm Shiori... kunanti lanjutannya ya mba say..... :*

    ReplyDelete
  6. Maniiieeeesss.... mksh mb agnes cntik. Ditunggu chap lain yg super manis lagi yaaa hehehe

    ReplyDelete
  7. Ditunggu... Ditungguuu lanjutannyaaaa bwt pengisi libur lebaran :) MM dan miss rei jg doonks... Abis yg seri ini bikinin Versi yg ada anak MM si ryoichi yaaa mb agnes hehehehehe ... Maacih loooh

    ReplyDelete
  8. Asliii manisss bangeeett... Sy sukaa sy sukaaa...

    ReplyDelete
  9. ya ampunn.. tambah manis aaja.. pake d ruangaan terbuka lagi..

    arigato mba agnes. d tunggi kelanjutan nya :)

    ReplyDelete
  10. so sweet and so natural...apalagi, di karpet...awwww

    ReplyDelete
  11. Jadi pengen honeymoon kedua sama suami he3
    Jadi punya feeling setelah chapter ini bakalan nangis2 nih ngeliat balas dendam shiory

    ReplyDelete
  12. Awww di karpet n dibalkon... next dimana lagi??? Kasian juga kasur nya di anggurin...hahahaaaa. Beneran sweet n bikin ngayal tingkat tinggi. Lanjutkan sist... jangan pake lama..heheee

    ReplyDelete
  13. Btw, ada yg ketinggalan sist...
    Bukan sist agnes klo gda yg di gantung... x ini aq dibikin penasaran sm cerita hijiri n mizuki yg sist agnes gantuuuung...😭😭😭. Tolong dijabarkan.....😜

    ReplyDelete
  14. Aduhh pingin lg mba...😂😂😂
    Keren dech..😍😍

    ReplyDelete
  15. Omg... so swiiit
    Thank u mba agnes....
    Telat ih aku baru bisa baca
    Btw this is ma fav chap after all.... muahmuah...

    ReplyDelete
  16. Waaawww mantaaaapp kak agnes jempooolll bangeet buat kak agnes, lanjuuuutt kaaakk......

    ReplyDelete
  17. #sedangberkhayal

    Ditunggu kelanjutan na mba agnes..

    ReplyDelete
  18. Ampe rela tdr jam 2 pagi bacanya krn penasaran abizzx ������
    kerennn n romantis bangetttt ��������
    ohhh masumiku....dimanakah dikau???? Wkwkwkwk
    #tiba" ikut menggila ��������

    ReplyDelete
  19. Lanjuuuuttt pleaseeee ;)

    ReplyDelete
  20. Ouw, masumi doyan hikey rupanya... :v

    ReplyDelete