Warning : 20 thn +
Bahagia, haru, lega, entah bagaimana cara
mengungkapkan rasa yang kini memenuhi hati seorang Masumi Hayami. Matahari
bersinar terang di langit biru kota Tokyo dan beberapa menit lalu, saat matanya
terbuka menyambut pagi, pemandangan indah sudah menyambutnya. Apalagi kalau
bukan istri mungilnya yang masih terlelap, disebelahnya.
Masumi menyunggingkan senyum dengan masih
bergeming di posisinya. Tidak mau mengganggu lelapnya sang istri yang
menggunakan lengannya sebagai bantal. Lama dirinya memuaskan hati untuk
memandangi wajah Maya, menikmati wajah manis yang tampak begitu tenang dan
damai. Akhirnya Masumi tidak tahan juga untuk tidak menyentuh istrinya. Dengan
tangannya yang bebas dia mengusap lembut sisi wajah Maya, menyingkirkan helaian
rambut yang sedikit berantakan menutupi wajahnya.
"Ungh," Maya mulai terusik dengan apa
yang dilakukan Masumi. Meski begitu kelopak matanya masih enggan untuk terbuka.
Alih-alih terbangun, Maya justru semakin menyamankan dirinya, bergelung dan
merapat ke tubuh suaminya, membuat Masumi menahan tawa karena ulah istrinya.
"Ungh," Maya kembali melenguh saat
Masumi mengusap lembut puncak kepalanya. Kali ini dia sengaja ingin membangunkan
Maya karena jarum jam yang baru saja dilihatnya di atas nakas sudah menunjukkan
pukul sepuluh pagi.
"Sudah cukup tidurnya sayang," bisik
Masumi di telinga Maya, mencoba menarik istrinya ke alam sadar.
Gagal. Maya justru membalikkan tubuhnya, memunggungi
Masumi tapi masih tetap bersandar di lengan suaminya.
"Hei, waktunya bangun manis," bisik
Masumi lagi. Namun begitu Masumi justru merapatkan dadanya dengan punggung Maya
dan melingkarkan lengan bebasnya ke pinggang istrinya, menyusupkan wajahnya diantara
rambut lebat Maya.
"Aku masih ingin tidur Masumi,"
akhirnya Maya membuka mulutnya meski matanya masih terpejam, membiarkan saja
Masumi memeluknya.
Masumi mendengus geli di belakang kepala Maya.
Dia yakin seratus persen kalau istrinya masih belum sadar dari alam mimpi.
"Apa kau mau tidur sepanjang hari?"
Tanya Masumi seraya mengusap lembut lengan istrinya.
"Hhmm," Maya hanya bergumam.
Seringai tipis menghiasi wajah Masumi ketika
selintas ide muncul untuk membangunkan Maya. Sedikit menundukkan kepalanya dan
menyibakkan rambut di bahu Maya, Masumi mendaratkan sebuah kecupan di belakang
telinga istrinya seraya berbisik, "Apa kau berniat mengabaikan suamimu
hari ini sayang?"
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Kata 'suami' yang diucapkan Masumi menggelitik
telinga Maya. Ajaibnya kata itu langsung membangunkan semua syaraf Maya yang
tertidur. Kelopak mata yang tadi menutupi iris coklatnya kini terbuka lebar
karena terkejut dan dengan cepat Maya bangun, langsung menolehkan kepala
menatap Masumi yang berbaring di belakangnya. Matanya semakin melebar melihat
Masumi yang bertelanjang dada dengan selimut menutupi tubuh sebatas
pinggangnya.
Masumi tersenyum lebar, "Selamat pagi
istriku."
***
Malam sebelumnya setelah Masumi meninggalkan
Kyoto.
Deru mesin helikopter berhenti seiring
baling-baling yang berputar melambat. Masumi tersenyum melihat Maya yang sudah
terlelap di sebelahnya.
"Sepertinya Nyonya kelelahan," kata
sang pilot seraya tersenyum menatap Maya.
"Tidak heran dia kelelahan dengan semua
ini," jawab Masumi.
Sang pilot yang adalah anak buah kepercayaan
Masumi terkekeh pelan, "Anda memang luar biasa Tuan," ucapnya menahan
geli saat teringat semua rencana Masumi.
Masumi hanya menyunggingkan senyum tipis.
Tak banyak basa-basi lagi, Masumi melepas sabuk
pengaman Maya dan membawa istrinya keluar dari helikopter yang sudah mendarat
di helipad, di atas sebuah kondominium mewah di Tokyo.
Sang pilot ikut turun lalu berjalan mendahului Masumi, menekan tombol panggil lift untuk mereka. Bunyi ping terdengar seiring pintu yang terbuka, Masumi dan sang pilot memasuki lift. Tak ada percakapan diantara mereka sampai layar digital di atas pintu menunjukkan angka dua puluh lima dan bunyi ping kembali terdengar, pintu terbuka.
Sang pilot ikut turun lalu berjalan mendahului Masumi, menekan tombol panggil lift untuk mereka. Bunyi ping terdengar seiring pintu yang terbuka, Masumi dan sang pilot memasuki lift. Tak ada percakapan diantara mereka sampai layar digital di atas pintu menunjukkan angka dua puluh lima dan bunyi ping kembali terdengar, pintu terbuka.
Sang pilot berjalan mendahului Masumi dan
mengambil sebuah kartu dari dalam sakunya, menekan sebuah kombinasi nomor dan
menggesekkan kartu pada alat keamanan canggih yang terpasang di satu-satunya
pintu di lantai itu. Kembali suara dentingan terdengar dari alat keamanan dan
pintu ganda dihadapannya otomatis terbuka, bergeser perlahan dan memperlihatkan
kemewahan interior kondomium yang pastinya mengundang decak kagum bagi siapa
saja yang melihatnya.
"Terima kasih," ucap Masumi kemudian.
Sang pilot mengangguk hormat.
"Sudah tugas saya melayani anda Tuan. Sekali
lagi selamat atas pernikahan anda, semoga bahagia," jawab sang pilot.
"Hhmm," balas Masumi seraya
menganggukkan kepala.
Masumi menerima kartu kunci dari sang pilot
dengan tangan kanannya yang menopang tubuh Maya, menggenggamnya erat sebelum
akhirnya masuk.
"Jangan lupa, lusa jam sembilan malam,
Masato," kata Masumi tanpa menoleh ke belakang lagi.
"Baik Tuan," jawabnya sebelum pintu
kembali tertutup.
Dengan senyum mengembang sang pilot yang adalah
Masato, orang kepercayaan Masumi sekaligus supir dan pengawal pribadi Maya itu berjalan
menuju lift. Meninggalkan tuan dan nyonya yang pastinya tengah berbahagia
dengan pernikahan mereka. Kedua tangan mengerat di sisi tubuhnya ketika
membayangkan segala sesuatu yang bisa saja terjadi setelah ini. Namun dalam
hati, tekad Masato menguatkan dirinya sendiri. Demi Masumi yang sudah menebus
hidupnya, dia rela melakukan apapun, bahkan bila itu harus merelakan nyawa
sekalipun, Masato tidak takut.
Deru mesin helikopter yang kembali memecah
kesunyian malam, membawa Masato pergi untuk menyiapkan semua hal yang sudah
ditugaskan padanya. Ya, sementara tuannya beristirahat sejenak, dia akan
melakukan bagiannya dengan baik. Membuka jalan untuk kebahagiaan orang yang
sangat dihormatinya.
***
Bibir mungil Maya yang biasanya menyunggingkan
senyum manis, pagi ini terasa berbeda karena bukan garis senyum yang terukir
disana melainkan kerutan yang justru membuat wajah cantik itu tampak semakin
menggemaskan.
"Jangan marah, maafkan aku."
Entah sudah berapa kali Masumi mengucapkan
kalimat itu selama satu jam terakhir sejak Maya bangun dan menyadari dimana
dirinya berada.
Semalam Maya hanya bisa diam dan mengikuti
semua permainan Masumi. Dia bahkan tidak berhenti untuk terkejut ketika
helikopter membawanya entah kemana. Sayangnya semua kejutan Masumi membuat Maya
kehabisan tenaga dan jatuh tertidur tanpa tahu tempat tujuan mereka. Dan
paginya, terbangun di sebuah kamar mewah yang sama sekali asing, melihat Masumi
yang tidur disebelahnya dengan tampilan mengejutkan -sebenarnya dia merona
karena hal itu- kembali membuat Maya menggelengkan kepalanya. Kesal. Maya
merasa seperti boneka yang sedang dimainkan Masumi.
Alhasil, beginilah nasib Masumi yang kini
justru sibuk membujuk istrinya yang tengah merajuk. Sejak keduanya selesai
membersihkan diri, Maya terus saja mendiamkannya yang notabene telah resmi
menyandang status suami.
"Katakan apa yang harus aku lakukan agar
kau memaafkanku." Bujuk Masumi lagi.
Maya yang tengah duduk di tepi tempat tidur
masih diam seraya melipat tangannya di depan dada sementara Masumi berlutut di
depannya.
"Apa kau masih peduli dengan pendapatku
Tuan Hayami?" Maya memulai dengan gaya sarkastiknya.
Bukan gaya Maya sebenarnya tapi banyaknya peran
yang sudah dimainkannya membuat Maya piawai memainkan berbagai karakter. Dan
semua kejutan Masumi telah berhasil membuat moodnya terjun bebas.
"Kau boleh memukulku atau bahkan berteriak
di depanku tapi ku mohon jangan acuhkan aku." Masumi menarik tangan Maya
yang terlipat di depan dada, menggenggamnya erat. Dia tahu kalau dirinya salah
dengan merencanakan pernikahan tanpa persetujuan Maya. Semalam pun saat dirinya
memandang wajah lelap Maya hatinya masih merasa bersalah. Dan dengan rasa
sayang yang amat sangat Masumi menggantikan pakaian pengantin Maya dengan
piyama dan memeluk istrinya dalam kehangatan. Berharap saat istrinya bangun
nanti dia bisa menebus semua kesalahannya dengan menjaga dan membahagiankan
Maya.
"Aku tidak yakin pukulan bisa menghentikan
semua kegilaanmu Masumi." Maya menghela napas panjang, "Ya
Tuhan...ini pernikahan Masumi dan kau membuatnya seolah-olah ini adalah pesta
kejutan ulang tahun untukku hanya karena kau cemburu pada Koji? Aku tidak
percaya kau sanggup melakukannya. Kemana perginya direktur utama bertangan
dingin dan jenius yang aku kenal? Kau kekanakan, kau tahu?"
Masumi sedikit terkejut dengan kalimat panjang
yang diucapkan istrinya. Ya, tidak ada yang salah dengan semua hal yang
diucapkan Maya tapi jelas Masumi tidak menyesali semua yang sudah terjadi.
Bukankah dengan begini dia sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, impiannya,
Maya sebagai istrinya. Anggaplah kemarahan Maya adalah hukuman atas kekonyolan
dari rasa cemburunya tapi sekali lagi, Masumi tidak akan pernah menyesal
karenanya dan bahkan memuji dirinya sendiri atas keputusan yang akhirnya berani
dibuatnya.
Masumi menatap sepasang mata coklat bulat
dihadapannya, yakin bahwa tidak ada kebencian di dalamnya. Kesal, pastinya,
tapi bukan rasa benci.
"Kau berhasil membuatku menjadi orang
bodoh sejak kemarin." Gumam Maya, "Bagaimana kau bisa merencanakan
semua ini?"
Masumi mengulas sebuah senyum tipis saat
tatapan mata Maya melembut.
"Mizuki dan Hijiri, mereka yang menyiapkan
semuanya. Masato dan Midori yang mengatur semua keperluanmu. Masalah Ayumi,
maaf kalau aku melibatkannya karena usul Midori yang melibatkan Tuan Himekawa
untuk mendapatkan alasan tepat membawamu pergi. Dia juga yang memberitahuku
kalau Ayumi tahu mengenai hubungan kita."
Maya diam mengamati suaminya yang tampak tenang
menjelaskan semuanya.
"Dan bagaimana dengan Rei juga Tuan
Kuronuma? Setahuku mereka sedang ada latihan drama untuk pentas musim gugur
nanti."
Masumi kembali mengulas senyum, "Aku tahu
mereka sudah seperti keluarga bagimu dan aku ingin mereka bisa berbagi
kebahagiaan denganmu. Meski sayang karena Tuan Kuronuma harus pulang lebih dulu
tanpa ikut makan malam bersama kita, setidaknya beliau tahu bahwa anak emasnya
bahagia. Apa aku salah dengan itu, juga?"
Lagi-lagi Maya menghela napas panjang, tidak
bisa menggeleng atau juga mengiyakan perkataan Masumi. Pasrah, Maya menarik
tangannya dari genggaman Masumi dan membaringkan tubuhnya, membiarkan lututnya
menggantung di tepi temppat tidur dan mengabaikan Masumi yang bergeming di depannya.
Tidak peduli rambutnya yang masih basah seusai mandi dan belum sempat
dikeringkan akan membuat tempat tidur king size nya basah. Sejenak memejamkan mata, hal lain justru terlintas di
dalam kepalanya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Pertanyaan itu
menggantung begitu saja di benaknya.
"Hei, Tuan Hayami," panggil Maya
tanpa membuka kelopak matanya.
Maya merasakan tekanan di atas tempat tidur dan
yakin kalau sekarang Masumi sudah ikut berbaring di sebelahnya dan sedang
menatapnya tanpa perlu dirinya membuka mata.
"Ya, Nyonya Hayami?" Goda Masumi
sekaligus mengingatkan Maya bahwa dirinya sekarang juga menyandang nama Hayami.
Maya membuka matanya, membulatkannya hingga terlihat
bahwa dirinya kesal ditambah dengan bibirnya yang kembali mengerucut. Alih-alih
takut, Masumi justru terkekeh melihatnya, mengusap sisi wajah Maya dengan
tangan bebasnya sementara satu tangannya yang lain bertugas menopang tubuhnya
yang kini tengah berbaring menyamping, menghadap Maya.
"Wajahmu lucu saat merajuk seperti ini
Nyonya Hayami," goda Masumi, lagi.
"Berhenti menggodaku," rengek Maya
meski kenyataannya dia membiarkan saja jemari Masumi mengusap2 pipinya.
"Hhmm?" Masumi mengabaikan rengekan Maya.
Maya menetralkan kembali ekspresi wajahnya,
menatap lekat suaminya, menumpukan tangannya di punggung tangan Masumi yang
kini menangkup sisi wajahnya, mengusapnya lembut.
"Menurutmu, apa yang akan terjadi setelah
ini? Kau baru bercerai sebulan yang lalu dan sekarang kau menikahiku,
maksudku...keluarga Takamiya, juga ayahmu...," Tanya Maya lirih, jelas
sekali keraguan di dalam nada suaranya.
Masumi tidak terkejut Maya menanyakan hal itu
padanya. Bukankah memang itu yang selalu menjadi penghalang untuk keduanya
bersatu? Takut akan reaksi keluarga Takamiya yang bisa berpotensi menyakiti
salah satu diantara mereka sampai akhirnya Masumi sadar kalau itu salah.
Sayangnya diperlukan seorang Koji untuk bisa membuat Masumi mengambil keputusan
yang benar. Ketakutannya kehilangan Maya justru membuat logikanya berjalan
lurus.
Masumi menyunggingkan senyum untuk menenangkan
Maya, "Apapun yang terjadi aku akan menjagamu. Aku tidak mau lagi menjadi
orang bodoh yang tidak pernah memperjuangkan cintanya dan melindungimu dengan
tanganku sendiri."
Maya akhirnya menyunggingkan senyum di
bibirnya, "Berjanjilah untuk selalu bersamaku, jangan pernah
meninggalkanku, lagi."
Melandaikan tubuhnya, Masumi memberikan sebuah
kecupan di sudut bibir istrinya, "Tidak akan," bisiknya di depan
bibir Maya sebelum akhirnya memagut bibir mungil itu dengan lembut.
Maya memejamkan mata begitu Masumi memperdalam
ciumannya. Perlahan, Masumi menyusupkan tangannya di antara lekuk leher Maya
dan tempat tidur, meremas lembut tengkuk istrinya sembari terus melumat lembut
bibir mungilnya. Dan Maya tidak menolak semua kemesraan yang di tawarkan
suaminya, kedua lengannya kini sudah memeluk leher Masumi, membuat tubuh
suaminya itu semakin merapat padanya.
"Ngghh...," Maya melenguh lirih
begitu Masumi berhasil menerobos masuk melalui celah bibirnya, mengirimkan
setiap friksi kenikmatan ke seluruh syarafnya saat lidah Masumi menari di dalam
mulutnya.
Napas Maya memendek, membuat Masumi menghentikan cumbuannya. Mata Masumi berkedip senang begitu melihat wajah Maya yang memerah di bawahnya dengan napas terengah.
Napas Maya memendek, membuat Masumi menghentikan cumbuannya. Mata Masumi berkedip senang begitu melihat wajah Maya yang memerah di bawahnya dengan napas terengah.
"Kau tak pernah berhenti untuk mempesonaku
sayang," bisiknya di depan wajah Maya dan memberikan sebuah kecupan ringan
di ujung hidung istrinya.
"Kau hampir membunuhku dan kau justru
terpesona?" Maya mencoba menyembunyikan rasa malunya atas pujian Masumi
dan atas apa yang baru saja terjadi. Sepanjang hubungannya dengan Masumi, ini
adalah ciuman terpanas mereka. Sungguh Maya takkan bisa menebak apa yang
selanjutnya akan terjadi andai tadi Masumi tidak berhenti. Pemikiran itulah
yang sukses membuat wajahnya memerah.
Masumi tersenyum geli melihatnya, "Kau
tidak suka sayang?"
Maya mencebik begitu melihat Masumi
menggodanya, menambah semburat merah di pipinya semakin pekat.
"Jangan menggodaku!" Maya memukul
dada Masumi dan mendorongnya menjauh tapi nyatanya suaminya tetap bergeming,
tidak terpengaruh oleh dorongan lengan kecil Maya. Masumi masih memerangkap
Maya diantara kedua lengannya.
"Sejak kapan seorang suami dilarang
menggoda istrinya sendiri?"
Maya langsung memalingkan wajahnya,
menyembunyikan wajahnya yang semakin terasa panas. Dan Masumi justru mengecup
bawah telinga Maya membuat Maya menggigit bibir bawahnya untuk menahan
desahannya keluar.
"Kau lapar sayang?" Bisik Masumi.
Alis Maya bertaut dan dengan cepat kembali
menatap Masumi.
"Aku hanya bertanya, apa kau lapar? Kita
sudah melewatkan waktu sarapan," terang Masumi seraya menyingkirkan poni
dari kening Maya.
"Kau lapar?" Maya justru balik
bertanya dan Masumi menangkap kilat kecewa di mata Maya. Masumi tertawa.
"Apa?" Maya tahu Masumi
menertawakannya.
"Sabar sayang, sebesar apapun hasratku
saat ini untuk memilikimu, aku tidak akan melakukannya sebelum kau makan, dalam
artian sebenarnya."
"Huh! Sudah ku katakan jangan
menggodaku," Maya mendorong Masumi dari atasnya, kali ini Masumi
menyingkir. Sekarang mereka berbaring menyamping dan saling berhadapan dengan
kaki menjuntai di tepi tempat tidur.
"Kau-me-nye-bal-kan." Maya mengeja
setiap kata dengan nada kesal tapi binar bahagia tidak bisa ditutupi di
matanya.
"Begitukah? Katakan, bagian mana dariku
yang menyebalkan Nyonya Hayami?" Masumi menyangga kepalanya dengan tangan,
mencolek hidung istrinya.
"Semua tentang dirimu menyebalkan Tuan
Hayami," jawab Maya yang kali ini disertai kekehan senang.
"Oh, aku jadi merasa kasihan denganmu
karena harus bersanding dengan orang menyebalkan ini, selamanya." Goda
Masumi lagi seraya menarik Maya merapat padanya hingga sekarang istrinya itu
berada di atas tubuhnya yang terlentang.
"Selamanya?" ulang Maya.
"Selamanya," tegas Masumi sebelum
akhirnya menarik tengkuk Maya dan kembali menyatukan kedua bibir mereka dengan
lembut.
"Aku akui kau sangat berpengalaman Tuan
Hayami," Maya menyeringai di sela-sela napasnya yang pendek usai ciuman
panas -kedua- mereka.
Kening Masumi berkerut, "Aku tidak suka
dengan ironimu Maya, aku tidak-,"
"Pernah menyentuh wanita lain selain
aku?" Potong Maya.
"Kau meragukanku sayang?" Tanya
Masumi, jemarinya menyelipkan rambut Maya ke belakang telinga dan menyingkirkan
helaian lainnya dari bahu.
"Tentang kau yang menjaga keperjakaanmu
bahkan dari istri, ehm, mantan istrimu sendiri? Tidak, aku tidak
meragukannya," kali ini gilaran Maya yang memberikan kecupan ringan di
kening Masumi, mengurai kerutan disana.
Masumi tertawa, "Aku tidak menyangka
Shiori menceritakan hal itu padamu. Apa dia mengatakannya saat datang ke
apartemenmu?"
Maya mengangguk seraya terkikik geli, "Ya,
aku hampir tersedak mendengar cerita insiden obat perangsang darinya. Saat itu
ku pikir kau keterlaluan juga karena tidak pernah menyentuh istrimu sendiri
sampai dia harus menggunakan obat perangsang padamu tapi sekarang aku justru
bersyukur kau melakukannya. Apa aku jadi egois karena itu?"
Masumi menggeleng, "Aku sempat hilang akal
dan hampir melakukannya tapi aku selamat dari jebakan itu karena ingat kalau
hanya kau wanita yang aku cintai. Aku hanya tidak mau merusak Shiori dan
membuangnya begitu saja. Aku benar-benar terkejut sekaligus senang saat
akhirnya dia memutuskan untuk bercerai."
Maya tersenyum tipis, "Aku sempat marah
pada Nyonya Shiori karena menuduhku bercinta denganmu malam itu. Maaf, akhirnya
aku menamparnya,"
Mata Masumi membulat terkejut, "Kau
apa?" Tanyanya tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Maya yang
dikenalnya bukanlah tipe gadis yang akan melakukan hal seperti itu.
"Ya, aku menamparnya," ulang Maya.
Masumi menggeleng, "Aku tidak berpikir kau
bisa melakukannya. Aku kadang merasa heran, dimana kau sembunyikan semua
keberanian itu di dalam tubuh mungilmu ini."
"Kau memujiku karena pernah menampar
Nyonya Shiori?" Maya mendengus geli.
"Tidak, bukan seperti itu meski aku tidak
akan menyalahkanmu karena sudah melakukannya. Hanya saja-,"
"Iya, aku mengerti maksudmu," potong
Maya kemudian.
Masumi menggeser tubuh Maya, bangun dan membawa
Maya ke atas pangkuannya.
"Sebaiknya kita segera makan sebelum aku
lepas kendali dan berbalik memakanmu."
Maya tertawa, mengecup ringan bibir Masumi,
"Aku tidak keberatan kau lepas kendali tapi kau benar kalau aku lapar dan
sepertinya aku butuh banyak makan agar bisa-," Maya turun dari pangkuan
Masumi dan menunduk, berbisik di telinga suaminya, "memuaskanmu."
Masumi menganga dengan bisikan Maya sementara
istri mungilnya itu terkekeh senang dan berjalan ke arah pintu.
"Maya!"
***
"Apa kau yakin kalau dia tidak ada di
Tokyo?" Shiori memincingkan matanya menatap pria dengan setelan hitam yang
berdiri di hadapannya sebelum menikmati teh hijau di tangannya.
"Benar Nyonya. Menurut keterangan yang
saya dapatkan dari mata-mata kita di kantor Daito, Tuan Masumi sedang berada di
Kyoto untuk menghadiri peresmian Gedung Teater baru Daito," jawab pria
itu.
Shiori meletakkan cangkirnya di meja,
mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Matahari sudah terasa panas
menurutnya meski waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matahari musim
panas memang tak pernah kehilangan pesonanya. Sayangnya hal itu justru membatasi
dirinya yang memiliki fisik lemah.
"Gadis itu...juga ada di Kyoto kan?"
Tanya Shiori tanpa menatap anak buahnya, menyembunyikan raut wajah putus asa
juga nyeri di hati saat pikirannya mencoba menerka apa yang sedang terjadi.
"Benar Nyonya." Jawab pria itu lagi
seraya menundukkan kepala, berusaha menghargai Nyonya nya dengan pura-pura
tidak melihat air mata yang kini sudah mengalir di pipi Shiori.
Beberapa saat keheningan seolah menjadi hal
yang wajar di antara mereka.
"Pergilah, lanjutkan tugasmu." Kata
Shiori kemudian setelah lelah dengan keheningan yang justru terasa mencekiknya.
"Baik Nyonya, saya permisi," pria
dengan setelan hitam itupun membungkuk hormat sebelum keluar dari ruang peristirahatan
nyonyanya.
Kembali keheningan mengisi ruangan mewah yang hanya
ditempati oleh Shiori itu. Mata dari janda Hayami itu masih menerawang ke luar
jendela di mana pemandangan kebun bunga miliknya terhampar indah. Namun
berbanding terbalik dengan apa yang dilihatnya, rasa sakit, perih, kecewa,
marah sekaligus benci justru memenuhi ruang hatinya. Tidak ada lagi keindahan
yang bisa terlihat di matanya. Hatinya yang hancur berkeping-kepang sudah
mematikan semua rasa bahkan juga membuat jiwanya terasa hampa.
"Jadi kalian sedang bersama, huh?"
Lirih Shiori pada dirinya sendiri, "Setelah semua yang terjadi, setelah
aku hancur seperti ini, kalian berdua tertawa bersama, menertawakanku, menari
di atas lukaku."
Kedua tangan Shiori yang bersandar pada lengan
kursi mengepal kuat, menahan gejolak rasa dalam dadanya. Jejak air mata di
wajahnya sudah mengering dan kini bibirnya menyunggingkan sebuah senyum tanpa
arti.
"Sebenarnya kebodohan apa yang sudah aku
buat sampai aku berakhir seperti ini?" Kembali nyonya muda itu bermonolog,
berharap angin mendengar isi hatinya dan menerbangkan semua perih di hatinya.
Tapi bukankah hal itu tidak mungkin?
Senyum Shiori berganti menjadi seringai tipis
di bibir pucatnya.
"Masumi, kalau kau bisa menghancurkanku,
sanggupkah kau melihat hal yang sama terjadi pada gadis jalangmu itu?"
Kekehan tawar terdengar, "Aku ingin melihat, seberapa kuat kau bisa
melihat gadismu menderita," kini kekehan itu berganti menjadi sebuah tawa
dengan nada sarat kepedihan.
"Salahmu Masumi, semua salahmu tapi akan
aku buat gadis jalang itu membayar semuanya untukmu. Tidakkah aku baik hati
Masumi? Membuat gadis itu menggantikan luka yang harusnya kau terima?"
Dan suara porselen yang beradu dengan lantai
menjadi penutup drama singkat pagi itu. Setelah akhirnya para pelayan dipimpin
oleh Takigawa, tergesa memasuki kamar dan menemukan sang nyonya tergeletak di
lantai, diantara pecahan cangkir porselen yang berhamburan.
***
Kembali pada waktu yang sama di kondominum
milik pasangan paling berbahagia di dunia saat ini.
Maya terus saja menggumamkan kata 'wah' dan
'wow' secara bergantian ketika usai sarapan singkatnya, Masumi membawanya
berkeliling kondominium yang mereka tempati. Datang dalam keadaan tertidur
membuat Maya tidak tahu di mana dirinya berada dan sukses terkejut ketika
Masumi mengatakan bahwa kondominium tersebut adalah tempat tinggal mereka yang
sudah dibelinya atas nama Maya. Lagi-lagi Maya mencebik ketika Masumi kembali mengambil
alih semua keputusan.
Kondominium yang mereka tempati sangat luas.
Ada tiga kamar tidur dengan satu kamar utama yang di tempatinya. Selain itu
terdapat ruang keluarga, ruang tamu, ruang makan dan dapur yang semuanya di
design dengan mewah dan elegan. Maya memutar otak saat melihat dapurnya yang
dipenuhi oleh peralatan canggih tanpa tahu bagaimana menggunakan semua alat itu
dan saat dirinya bertanya Masumi justru menertawakannya. Kemudian Maya berhenti
untuk bertanya.
Sejenak Maya berpikir, bagaimana sang suami
bisa menyiapkan semua itu untuknya? Tapi dia berhenti menerka ketika menyadari
bahwa Masumi memang selalu melakukannya, mengatur apa yang harus dilakukannya,
mempersiapkan apa yang dibutuhkannya, baik itu sebagai Masumi, Direktur Daito
ataupun Mawar ungu. Maya lagi-lagi hanya bisa menghela napas panjang dan
menggeleng, menyerah untuk merubah sifat posesif Masumi padanya meski terkadang
hal itu membuatnya sangat putus asa karena merasa Masumi jauh lebih mengenal
dirinya, dibandingkan dirinya sendiri.
"Melamun Nyonya Hayami?" Masumi
memeluk Maya dari belakang ketika sang istri bergeming –menurutnya- terlalu
lama di depan dinding kaca ruang keluarga mereka yang terhubung dengan balkon
dan memperlihatkan sebagian pemandangan kota Tokyo di bawah sana.
Maya tersenyum saat membalikkan tubuhnya dalam
pelukan Masumi dan kembali menatap ruangan tempatnya berada. Tidak ada hal yang
layak di komplain dari semua yang tertata di sana. Ruangan dengan sofa bulat
tanpa kaki, karpet beludru yang terbentang di depan perapian, perangkat home
theater lengkap, juga foto Maya yang terpajang besar di atas perapian saat
dirinya memerankan bidadari merah membuat Maya tersenyum.
"Apa yang kau pikirkan?" Masumi
menyingkirkan poni dari kening Maya dan saat istrinya itu mendongak,
menatapnya, Masumi mendaratkan sebuah kecupan di pelipis kirinya.
"Hanya mengagumi suamiku dan sifat
posesifnya," kata Maya diiringi dengan senyuman yang justru menuai tautan
alis sang suami. Maya terkekeh, menarik lengan Masumi yang masih melingkari
tubuhnya lalu berjalan ke arah karpet beludru dan membaringkan tubuhnya di
sana. Nyaman.
Masumi bergeming di tempatnya seraya menatap
Maya yang tampaknya sangat menikmati semuanya. Dia senang, bahkan sangat senang
karena meski merajuk tapi Maya tampak puas dengan apa yang disiapkannya sejauh
ini.
Maya yang mengenakan blouse tanpa lengan berwarna
kuning dipadukan dengan celana pendek selutut terlihat begitu santai saat
menarik bantal bulat besar dari atas sofa dan kembali menyamankan dirinya di
atas karpet. Mata bulat coklatnya menatap lekat suaminya yang masih bergeming
di tempatnya dengan seulas senyum manis. Maya berkedip beberapa kali untuk
sekedar menyadarkan dirinya untuk berhenti terpesona pada replika sosok dewa
Yunani -menurutnya- yang saat ini tengah memandangnya.
Mengenakan kemeja berlengan pendek warna putih
dan celana denim warna biru gelap, Masumi tampak lebih muda -dimata Maya- dan
lebih segar -tentu saja-. Tuan direktur itu sepertinya memang tidak pernah
kehilangan pesonanya dan sontak pipi Maya memerah karena euforia di dalam
dirinya ditambah dengan rasa bangga karena berhasil menaklukkan hati sang
pangeran Daito.
Sibuk dengan lamunannya membuat Maya tak
menyadari kalau sosok yang tengah dikaguminya kini duduk disebelahnya,
meluruskan kakinya ke arah berlawanan dengan Maya yang tengah berbaring.
"Aku akan sangat kecewa jika tokoh utama
lamunanmu bukan aku," kata Masumi seraya mengusap pipi Maya dengan
jemarinya.
Berkedip. Berkedip. Maya terkikik saat
menyadari keberadaan Masumi disebelahnya dan berhasil mencerna perkataan Masumi
yang lebih terdengar sebagai sindiran di telinganya. Maya menggeser kepalanya
dan menyandarkannya di paha Masumi, lagi-lagi mencari posisi nyaman seraya
memeluk bantal bulatnya. Dengan lembut Masumi mengusap kepala Maya di
pangkuannya.
"Kau tahu berapa lama aku menunggu untuk
bisa seperti ini bersamamu?" Ucap Masumi tanpa menghentikan belaiannya.
Maya mengulurkan tangannya ke atas dan mengusap
wajah suaminya, "Aku tidak tahu berapa lama tapi aku tahu bagaimana
rasanya."
Masumi tersenyum. Ya, dia tahu pasti apa yang
dirasakannya selama ini juga dirasakan oleh kekasih hatinya. Cinta, penantian
dan pengorbanan, mereka sama-sama tersiksa karenanya.
"Apa aku egois?"
Pertanyaan yang pagi tadi juga terlontar dari
bibir Maya membuat Masumi terheran. Tangan Maya masih mengusap sisi wajah
Masumi.
"Apa aku egois karena ingin memilikimu
untuk diriku sendiri? Aku tidak mau membagimu dengan siapapun dan aku mau kau
bersamaku sampai aku tua nanti. Hingga nanti napas terakhirku, aku ingin kau
terus bersamaku."
Masumi terdiam, hatinya membuncah dengan rasa
haru karena mendengar ucapan Maya. Alih-alih menjawab, Masumi justru menyelipkan
telapak tangannya di tengkuk Maya, membungkukkan tubuhnya dan membawa
kekasihnya dalam ciuman dalam yang penuh cinta. Kedua bibir itu saling bertaut
membagi kasih.
"Kau, satu-satunya bagiku, dulu, sekarang
dan selamanya," lirih Masumi di depan bibir Maya seraya mengatur napasnya
yang memendek.
Maya mengurai senyumnya. Tak menahan diri lagi,
Maya mengalungkan lengannya ke leher Masumi dan kembali menautkan bibir mereka.
Desahan lirih lolos dari bibir Maya saat Masumi
melepas pagutannya dan mendaratkan kecupan lembut di sepanjang garis rahangnya.
Maya meremas tengkuk Masumi saat suaminya kini memanja lekuk leher dan
sepanjang bahunya dengan kecupan dan hisapan lembut.
"Ungh," lagi-lagi Maya hanya bisa
melenguh seraya memejamkan mata. Dia bisa merasakan senyum Masumi diantara
kecupannya.
"Maya," suara Masumi berubah berat.
Maya membuka matanya dan menatap Masumi.
"Jadilah milikku," ucap Masumi seraya
mengusap wajah kekasih dalam pelukannya.
Maya mengulas senyum, meraih tangan Masumi yang
membelai wajahnya dan memberikan kecupan di telapak tangan suaminya, "Aku
milikmu."
***
"Masu-mi-," entah untuk keberapa
kalinya Maya merapal nama suaminya di antara desahan yang tak sanggup di
tahannya. Masumi terus memanja istrinya dengan penuh cinta.
Masumi hampir hilang akal mendengar nada memuja
dari bibir Maya tapi sekuat tenaga dia menahan diri. Masumi tidak mau menyakiti
istrinya dengan nafsunya. Dia ingin Maya bisa merasakan betapa besar cintanya
melalui penyatuan mereka, yang pertama. Tidak peduli dengan istilah malam
pengantin, first night atau apapun itu, kisah cinta mereka bukanlah roman
picisan yang dihiasi dengan warna-warni mitos cinta yang kadang tidak masuk
akal. Maya dan Masumi mengabaikan terik matahari di luar sana, menikmati kebersamaan
mereka setelah banyak hal berat harus mereka lewati.
Tangan Masumi membelai setiap inchi tubuh Maya,
memberikan remasan lembut di beberapa bagian sensitif yang sukses membuat
lenguhan istrinya semakin keras.
"Ahhh," kali ini Masumi yang mendesah
keras saat Maya mencengkram bahunya, menekan kuku jemari mungilnya di kulit
Masumi. Bukan tanpa alasan karena Masumi baru saja menyatukan dirinya dan Maya.
Masumi tahu rasa apa yang tengah di tahan istrinya. Butiran peluh sudah
membasahi tubuh mereka.
"Sakit?" Masumi bergeming pada
posisinya di atas tubuh mungil Maya yang di topang dengan kedua lengannya.
Memberi waktu bagi istrinya untuk membiasakan diri dengan keberadaannya. Masumi
tersenyum saat Maya menggeleng seraya mengeratkan cengkramannya di bahu Masumi.
Jemari Masumi mengusap kening Maya, merapikan helaian rambut yang berantakan.
Merendahkan tubuhnya, Masumi kembali memagut bibir Maya dan meredam teriakan
istrinya ketika Masumi kembali menggerakkan tubuhnya.
Air mata mulai mengalir dari sudut mata Maya.
Entah bagaimana mendeskripsikannya tapi Maya merasa dirinya dibanjiri cinta
yang berlimpah hingga membuat dadanya penuh dengan rasa bahagia. Kata-kata
cinta yang dibisikkan Masumi di telinganya, dekapan erat Masumi yang merengkuh
tubuhnya, berhasil mengalihkan Maya dari dunia nyata, melupakan rasa sakit yang
tadi sempat dirasanya, menggantikannya dengan kenikmatan yang belum pernah
dirasakannya. Sepasang suami istri itu
meneriakkan nama pasangannya bersamaan kala penyatuan mereka sampai pada
puncaknya. Meleburkan semua rasa dalam satu kata, cinta.
Masumi merebahkan dirinya di sebelah Maya dan
merengkuh istrinya dalam dekapan sayang.
"Terima kasih sayang," bisik Masumi
sembari mengecup kening Maya.
"Uumm," Maya hanya sanggup menggumam
diantara degub jantunganya yang bertalu.
Keduanya bergeming, meredakan debaran jantung
juga getaran tubuh mereka. Masumi membelai punggung Maya dengan lembut,
menenangkan.
"Aku lelah," lirih Maya dalam dekapan
suaminya.
Masumi mengecup puncak kepala Maya,
"Tidurlah."
"Aku mencintaimu, Masumi." Ucap Maya
di ambang sadarnya.
Kalimat itu membuat Masumi tersenyum bahagia,
mengeratkan pelukannya, Masumi membelai sayang kepala istrinya, mengantarkannya
ke alam mimpi.
Masumi merenggangkan pelukannya saat yakin
istrinya sudah benar-benar terlelap. Mengabaikan ruang keluarganya yang
berantakan dengan pakaiannya dan Maya yang bertebaran di lantai, Masumi
mengangkat Maya dengan kedua lengannya, membawa istrinya ke kamar mereka.
Dengan hati-hati Masumi merebahkan Maya di
tempat tidur mereka. Menutup tubuh mungil itu dengan selimut dan memberikan
ciuman di bibir Maya yang kini terlihat begitu merah.
"Aku juga mencintaimu," ucapnya penuh
cinta.
***
Bruk! Mizuki meletakkan tumpukan dokumen dengan
kasar di meja kerjanya. Menghempaskan dirinya ke kursi, jemari lentiknya
memijat pelipisnya yang berdenyut.
"Lelah?"
Reflek Mizuki menegakkan tubuhnya begitu sebuah
suara yang tidak asing menyapa gendang telinganya. Mengumpat dalam hati karena
kehadiran tamu tak diundangnya yang melihat sisi lain dirinya yang biasanya
selalu disembunyikannya. Ya, sebanyak apapun tugas yang dibebankan padanya,
Mizuki tidak pernah mau mengeluh dan menampakkan kelelahannya di depan orang
lain. Sisi perfeksionisnya membuat Mizuki selalu ingin terlihat sempurna di mata
dunia dan sekarang terkhusus di mata pria yang kini berjalan menghampirinya.
"Tuan Hijiri," Mizuki berdiri dan
mengangguk hormat pada wakil direktur yang juga adalah atasannya.
"Kau boleh istirahat, aku akan
menyelesaikan semua dokumen itu," ucap Hijiri.
Mizuki tampak tidak suka dengan perintah Hijiri
tapi dengan cepat menetralkan kembali ekspresi wajahnya, "Tidak Tuan, ini
tugas saya," jawab Mizuki datar. Sejak pengakuan cinta Hijiri yang
mendadak semalam, Mizuki jadi merasa aneh saat berdekatan dengan atasannya itu.
"Tidak usah memaksakan diri. Aku tahu kau
lelah setelah kemarin kita disibukkan oleh rencana Tuan Masumi," kata
Hijiri sama tenangnya. Dia tahu Mizuki menjaga jarak dengannya tapi dia juga
tidak tega melihat wanita yang sudah berhasil merebut hatinya itu kelelahan.
"Anda berlebihan Tuan. Saya baik-baik
saja. Semua ini adalah tugas dan tanggung jawab saya jadi ijinkan saya
melakukan apa yang menjadi kewajiban saya." Kilah Mizuki.
Hijiri menghela napas mendengar alasan Mizuki.
Wanita itu memang keras kepala. Hijiri tidak mau memaksa, diapun berbalik tanpa
mengucapkan sepatah katapun, kembali ke ruangannya yang disambut desahan lega
dari Mizuki. Sekretaris cantik itupun kembali menghempaskan dirinya ke kursi.
"Tuan Masumi, semua karena rencana gila
anda yang membuat saya terjebak dalam situasi ini," gerutu Mizuki yang
kemudian mengambil map paling atas dan mulai memeriksanya. Sadar bahwa
pekerjaannya lebih penting dibanding kegalauan hatinya, Mizuki segera
memfokuskan pikirannya pada dokumen di tangannya.
Bruk! Lagi-lagi dokumen tak bersalah itu
kembali terhempas di atas meja.
"Menyebalkan!" Gerutu Mizuki yang
ternyata gagal fokus pada pekerjaannya karena semua memori tentang kata cinta
semalam dan bayangan sosok Hijiri terus berkelebatan di dalam benaknya. Tanpa
disadarinya, sepasang mata tengah mengamatinya dari celah pintu dengan senyum
tipis menghiasi wajah tampannya.
"Belum menyerah Saeko?" Gumamnya
menahan geli.
***
Maya menggeliat tak nyaman ketika merasa aneh
pada tubuhnya. Lelah, ya, dirinya merasa lelah. Membuka kelopak mata, Maya
berusaha mengumpulkan kesadarannya.
"Ungh!" Maya mengerang lirih saat
merasakan pegal di pinggulnya.
"Eh?!" Menyadari dirinya tidak berada
di tempat yang terakhir diingatnya membuat Maya segera bangun dan memutar
otaknya. Lagi-lagi mengerang lirih ketika rasa perih menyapa bagian bawah
tubuhnya saat duduk.
"Ahh, itu-," seketika wajah Maya
memanas saat teringat apa yang sudah terjadi dan menemukan alasan sakit di
beberapa bagian tubuhnya. Mengamati piyama yang dipakainya, Maya merasa bodoh
karena sama sekali tak sadar bahkan ketika Masumi membawanya ke kamar dan
memakaikannya piyama.
Suara pintu kamar yang terbuka mengalihkan
perhatian Maya.
"Sudah bangun rupanya," Masumi
menghampiri Maya dan duduk di tepi tempat tidur. Keningnya berkerut saat
melihat istrinya salah tingkah, "Ada apa sayang?"
"Uhm," Maya menggeleng, "aku
ingin ke kamar mandi," tergesa, Maya melupakan kalau-
"Aww!" Pekiknya ketika mencoba untuk
turun dari tempat tidur.
-bagian bawah tubuhnya masih sakit.
"Sakit?!" Masumi terkejut melihat
istrinya mengernyit menahan sakit.
"Ah, jangan bertanya, kau membuatku
malu," kata Maya seraya menutup mata dengan telapak tangannya.
"Malu?" Masumi hampir tertawa
mendengar penuturan istrinya. Disaat dirinya cemas dengan rasa sakit Maya
-yang sebenarnya sudah diduganya- istrinya itu justru merasa malu dengan apa
yang sudah terjadi.
"Aww!" Giliran Masumi yang memekik
karena Maya memukul lengannya, kesal karena ditertawakan.
"Maaf," ucap Masumi kemudian seraya
menarik Maya ke dalam pelukannya, "apa masih sakit?" Tanyanya
kemudian.
"Sedikit," gumam Maya yang semakin
menyurukkan wajahnya di dada Masumi, menahan malu.
"Berendam air panas akan membuatmu lebih
baik, kau mau?" Masumi mengusap punggung istrinya dengan sayang.
Maya mengangguk.
"Kalau begitu biar aku siapkan."
Maya menegakkan tubuhnya dan menyipitkan mata
pada suaminya, "Biar aku saja."
Mengacak rambut istrinya dengan sayang, Masumi
menggeleng seraya beranjak dari duduknya.
"Istriku duduk manis saja, setidaknya aku
bertanggung jawab sebagai suami karena menyebabkanmu sakit."
Maya mencebik, "Jangan menggodaku!"
Pekik Maya yang disambut kekehan senang suaminya yang berjalan ke kamar mandi.
Suara keran air samar terdengar oleh Maya,
membuatnya tersenyum karena sikap Masumi yang memanjakannya.
Tak lama kemudian Masumi keluar dari kamar
mandi dan langsung tertawa saat Maya justru merentangkan kedua tangannya dengan
mata berbinar senang. Mengerti keinginan istrinya, Masumi mengangkat Maya
dengan kedua tangannya, menggendongnya ke kamar mandi.
"Aku baru tahu kalau memiliki suami
ternyata begitu menyenangkan," Maya bahkan terkekeh dengan perkataannya
sendiri. Sepertinya dirinya akan ketagihan dimanja oleh suaminya itu.
"Kau manja Nyonya," kata Masumi di
sela tawanya.
***
Dering handphone terdengar di sela lamunan
seorang gadis yang tengah termenung di sudut ruangan sebuah studio latihan.
Kening gadis itu berkerut begitu membaca nama yang muncul di layar
handphonenya.
"Halo," jawab gadis itu yang berusaha
mengontrol suaranya tetap tenang meski jantungnya kini tengah berpacu. Salahkan
pemuda yang tadi menjadi obyek lamunannya tiba-tiba menelepon.
"Halo Rei, apa kabarmu?"
"Baik Koji, kau sendiri?"
Rei mendengar kekehan sebelum pemuda itu
menjawab pertanyaannya, "Baik untuk ukuran orang yang baru saja patah
hati."
Giliran Rei yang tertawa, "Kau akan
kelelahan kalau sakit hati berkepanjangan."
"Ya kau benar tapi sepertinya aku tahu
cara mengobatinya," ucap Koji kemudian.
Dengan bodohnya Rei mengerutkan kening tanpa
menjawab, lupa kalau lawan bicaranya tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.
"Halo?" Koji terdengar heran karena
tidak ada respon dari lawan bicaranya.
"Ah, i-iya," Rei tergagap saat sadar
akan kebodohannya, "apa maksud ucapanmu tadi?" Tanyanya kemudian.
Gagal memgerti dengan ucapan Koji, "Apa Maya mengatakan sesuatu
padamu?"
"Tidak, tidak, Maya bahkan belum datang ke
lokasi syuting karena Tuan Himekawa meliburkannya dua hari. Maksudku bukan
tentang Maya."
"Lalu?"
Sejenak Koji terdiam dan kening Rei kembali
berkerut.
"Minggu depan aku kembali ke Tokyo,
bisakah kita-,"
Tut, tut, tut!
Rei berdecak kesal saat tiba-tiba obrolan
mereka terputus. Menatap layar handphonenya dengan tanda tanya besar, "Apa
yang mau dikatakan Koji?" Gumamnya.
Tapi waktunya untuk memikirkan Koji harus
berakhir sampai disitu karena teriakan Kuronuma langsung menarik semua
perhatiannya. Ya, Rei sedang terlibat sebuah produksi drama panggung untuk
pementasan musim gugur bersama Kuronuma. Menonaktifkan handphone-nya dan
menyimpannya ke dalam tas, Rei bergegas kembali berlatih sebelum sang sutradara
bertangan dingin itu mengeluarkan makiannya.
Sementara itu di Kyoto, Koji tengah mengumpat
kesal pada handphonenya, membuat beberapa kru yang berdiri tak jauh darinya
keheranan.
"Sial! Baterainya habis."
***
Purnama bertahta di langit malam. Beberapa
bintang mulai terlihat meski belum banyak mengingat baru satu jam yang lalu
matahari kembali ke peraduannya.
"Bulannya indah," gumam Maya seraya
menatap langit. Dengan nyaman dirinya bersandar di dada Masumi yang setengah
berbaring di kursi berjemur di balkon kondominum mereka. Kedua tangan mereka
bertaut mesra di atas perut Maya. Masumi tampak begitu posesif memeluk
istrinya.
"Hhmm," Masumi hanya bergumam lirih.
Dagunya yang bersandar di puncak kepala Maya sesekali bergeser untuk sekedar
memberi kecupan di sela-sela rambut lebat istrinya, menikmati aroma bunga yang
segar dari sampo yang di pakai Maya.
"Kau tidak suka?" Tanya Maya dengan
masih menatap bulan purnama di atasnya.
"Suka tapi aku lebih suka mendengar celotehanmu,"
jawab Masumi.
Maya memukul punggung tangan Masumi di atas
perutnya, "Kau mau bilang aku cerewet?" Protesnya.
"Aku tidak bilang begitu," jawab
Masumi santai.
"Tapi kau menyindirku berceloteh, sama
saja." Gerutu Maya.
Masumi membenamkan hidungnya di sela-sela
rambut Maya sementara tangannya mengusap punggung tangan istrinya, "Apa
aku merusak mood baikmu?"
Maya menghela napas panjang, "Tidak
juga," katanya kemudian. Entah kenapa, sulit rasanya untuk tidak
bertengkar dengan Masumi meski itu adalah hal konyol.
"Aku sedang menunggu bintang," kata
Masumi kemudian yang sudah kembali menyandarkan dagunya di puncak kepala Maya.
Maya tidak menanggapi tapi matanya mulai
menjelajah langit malam. Bintang belum banyak terlihat karena memang baru pukul
tujuh, masih terlalu dini untuk pelita-pelita itu menampakkan diri.
"Aku jadi ingat lautan bintang di kampung
halaman bidadari merah." Jawab Maya.
"Hhmm, karena itulah aku ingin berterima
kasih pada bintang," ucap Masumi.
Maya mendongak demi melihat wajah suaminya, gagal
mengerti dengan ucapan Masumi.
"Permohonanku saat melihat bintang jatuh
waktu itu-," Masumi mengusap sisi wajah Maya dengan punggung jemarinya,
"sudah terkabul."
Maya semakin mengerutkan keningnya.
"Hentikan," Masumi mengetuk kening
Maya dengan telunjuknya, "bisa-bisa kerutan ini jadi permanen. Tidak lucu
kan kalau istri mungilku yang berusia dua puluh dua tahun tiba-tiba
keriput."
Maya membulatkan mata dan langsung memukul dada
Masumi dengan kepalan tangannya, "Enak saja," cibirnya kesal.
Masumi terkekeh dan langsung mengeratkan
pelukannya begitu Maya kembali pada posisi awalnya, bersandar padanya.
"Jadi-," Maya kembali menatap langit.
"Aku minta agar Tuhan mempersatukan
kita," potong Masumi saat Maya menggantung kalimatnya.
Gagal menyembunyikan rasa bahagianya, senyum
Maya mengembang sempurna, "Terima kasih," ucapnya kemudian seraya
menumpukan tangan di atas tangan Masumi yang kembali terkait di atas perutnya.
"Terima kasih?" Tanya Masumi heran.
Maya menarik lengan Masumi, sedikit
merenggangkan pelukan suaminya hingga dirinya bisa memutar tubuh menghadap
Masumi. Mengalungkan lengannya ke leher Masumi, Maya memperpendek jarak
diantara mereka.
"Terima kasih karena sudah memohon untukku
karena aku bahkan tak berani bermimpi untuk bisa memilikimu."
Keduanya tersenyum penuh arti sebelum Masumi
menundukkan kepala dan memagut mesra bibir Maya. Menyesap manisnya bibir ranum
itu.
Maya meremas tengkuk Masumi saat suaminya itu
memperdalam ciumannya. Dengan lembut Masumi mengulum bibir mungil Maya. Desahan
lirih lolos ketika Masumi menautkan kedua lidah mereka, menyatukan rasa
keduanya.
Maya merasa kehilangan ketika Masumi melepaskan
pagutannya namun kesadarannya kembali buyar begitu sang suami menghujani
lehernya dengan kecupan dan hisapan lembut, meninggalkan tanda merah jambu
tipis. Masumi tidak akan menandai Maya di tempat terbuka, tidak mau
mempermalukan istrinya dengan tanda konyol. Tapi hisapan Masumi menguat begitu
sampai di bahu istrinya yang sudah tersingkap, meninggalkan bekas merah
keunguan yang dirinya yakin tidak akan segera hilang.
Maya sendiri sudah tidak peduli dengan dimana
dan bagaimana Masumi menandai tubuhnya. Kesadarannya semakin berserak kala
Masumi menyusupkan tangannya ke balik blouse yang dikenakannya. Sebuah remasan
di dada membuatnya melenguh panjang memanggil nama suaminya yang reflek menuai
senyum puas di wajah Masumi.
"Kau milikku," bisik Masumi yang
kemudian memberi hisapan kuat di kulit putih Maya, kembali tanda merah keunguan
muncul akibat perbuatannya.
"Ya-," Maya mendesah lirih, "aku
milikmu," gumam Maya penuh persetujuan. Mengabaikan fakta kalau dirinya
dan Masumi tengah berada di tempat terbuka.
Maya yang mendengar suara risleting, membuka
matanya dan menatap mata Masumi yang menggelap.
"Bolehkah?" Masumi masih sadar untuk
meminta ijin dan tidak egois memaksakan hasratnya.
Maya mengulum senyum. Melupakan bahwa siang
tadi dia sempat mencebik karena sakit di bagian bawah tubuhnya, Maya mengangguk
dengan wajah merona. Tidakkah Masumi dan pesonanya itu begitu hebat? Hingga
seorang Maya tidak sanggup berkata tidak.
Malam itu, bulan purnama dan kerlipan bintang
yang mulai muncul menjadi saksi indahnya cinta sepasang manusia yang tengah
berbahagia. Sepasang kekasih yang sudah melewati banyak cobaan untuk bisa
bersama, saling memiliki.
Apapun yang akan terjadi nanti, keduanya
percaya bahwa kekuatan cinta suci mereka tidak akan mati. Bersama, mereka akan
menyusuri jalan bernama kehidupan.
***
>>Bersambung<<
22 Comments
Alohaaa, ketemu lagi deh
ReplyDeleteIni chapter termanis yang aku janjikan kemarin -semoga iya, coz hanya menurutku sih :P- (Yang puasa bacanya malem aja yak, hehehee)
Yang uda baca n suka silakan tinggalkan komennya
Arigato pokoknya buat semua yang uda setia baca sampe chapter ini.
Happy reading :D
Wkwkwkkk honeymoon nie yeeee
ReplyDeleteSeneng tuh masumi
Untung dah buka puasa, deg deg seeerrrr wkwkwk. Ditambah gambar bergerak nambah panas ahaha. Mau lagiiiii
ReplyDeleteso sweeeett bener2 bikin diabet nii untung bacanya setelah buka puasa
ReplyDeleteaaaassssiiiikkkkkkkkk..... jd agak kasihan sm Shiori... tp krn kebahagiaan MM jd lupa deh sm Shiori... kunanti lanjutannya ya mba say..... :*
ReplyDeleteAww aww i can't see ��
ReplyDeleteManiiieeeesss.... mksh mb agnes cntik. Ditunggu chap lain yg super manis lagi yaaa hehehe
ReplyDeleteDeg..deg...ser.. Hatiku.
ReplyDeleteDitunggu... Ditungguuu lanjutannyaaaa bwt pengisi libur lebaran :) MM dan miss rei jg doonks... Abis yg seri ini bikinin Versi yg ada anak MM si ryoichi yaaa mb agnes hehehehehe ... Maacih loooh
ReplyDeleteAsliii manisss bangeeett... Sy sukaa sy sukaaa...
ReplyDeleteya ampunn.. tambah manis aaja.. pake d ruangaan terbuka lagi..
ReplyDeletearigato mba agnes. d tunggi kelanjutan nya :)
so sweet and so natural...apalagi, di karpet...awwww
ReplyDeleteJadi pengen honeymoon kedua sama suami he3
ReplyDeleteJadi punya feeling setelah chapter ini bakalan nangis2 nih ngeliat balas dendam shiory
Awww di karpet n dibalkon... next dimana lagi??? Kasian juga kasur nya di anggurin...hahahaaaa. Beneran sweet n bikin ngayal tingkat tinggi. Lanjutkan sist... jangan pake lama..heheee
ReplyDeleteBtw, ada yg ketinggalan sist...
ReplyDeleteBukan sist agnes klo gda yg di gantung... x ini aq dibikin penasaran sm cerita hijiri n mizuki yg sist agnes gantuuuung...😭😭😭. Tolong dijabarkan.....😜
Aduhh pingin lg mba...😂😂😂
ReplyDeleteKeren dech..😍😍
Omg... so swiiit
ReplyDeleteThank u mba agnes....
Telat ih aku baru bisa baca
Btw this is ma fav chap after all.... muahmuah...
Waaawww mantaaaapp kak agnes jempooolll bangeet buat kak agnes, lanjuuuutt kaaakk......
ReplyDelete#sedangberkhayal
ReplyDeleteDitunggu kelanjutan na mba agnes..
Ampe rela tdr jam 2 pagi bacanya krn penasaran abizzx ������
ReplyDeletekerennn n romantis bangetttt ��������
ohhh masumiku....dimanakah dikau???? Wkwkwkwk
#tiba" ikut menggila ��������
Lanjuuuuttt pleaseeee ;)
ReplyDeleteOuw, masumi doyan hikey rupanya... :v
ReplyDelete