Rate : 20 thn +
Setting : Pertemuan Maya dan Masumi di Pulau Izu
Setting : Pertemuan Maya dan Masumi di Pulau Izu
Turun dari fast ferry di pelabuhan, mata Maya melihat
sekeliling. Menikmati pemandangan pulau Izu yang indah.
"Nona Maya, silakan,"
Panggilan itu menginterupsi lamunan Maya dan dia bergegas mengikuti pria yang sejak tadi setia menemaninya dalam perjalanan.
"Pak Hijiri, apa mawar ungu juga sudah sampai?"
Hijiri mengangguk, "Iya Nona, beliau sudah menunggu anda,"
"Oh,"
Maya terdiam, tidak tahu harus berkomentar apa.
"Silakan Nona," Hijiri membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk Maya.
"Terima kasih," jawab Maya seraya masuk ke dalam mobil.
Hijiri berjalan memutar lalu duduk dibelakang kemudi. Mobilpun melaju.
Maya memandang keluar jendela. Duduk dengan gelisah, dia memainkan jari-jarinya yang saling terkait di atas lututnya.
Setelah sekian lama akhirnya mawar ungu mau menemuinya. Dalam hati Maya berdebar tidak karuan, akankah Masumi benar-benar mengakui identitasnya nanti? Maya sendiri masih tidak percaya. Semua hal yang terjadi belakangan ini membuatnya sangat kacau. Beberapa hari yang lalu bahkan Masumi sangat dingin kepadanya dan mengatakan kalau apa yang terjadi di Astoria hanyalah keisengan belaka. Tapi dia tidak mau percaya itu. Maya lebih memilih percaya apa yang dikatakan Mayuko padanya, kalau belahan jiwanya pasti memiliki alasan untuk melakukan hal itu.
Belahan jiwa? Ya, Maya sudah yakin dengan apa yang dirasakannya. Masumi adalah belahan jiwanya, bukan hanya karena dia adalah mawar ungu tapi memang karena Maya sudah menyadari kebaikan dan kehangatan hati dari seorang Masumi.
Mobil terus melaju seperti pikiran dan hati Maya yang terus berkutat dengan gelisah. Apa yang akan dikatakan mawar ungu padanya nanti? Beribu pertanyaan memenuhi hati Maya. Namun akhirnya saat Hijiri mengatakan mereka sudah hampir sampai, Maya mulai menenangkan dirinya.
Mobil berhenti didepan sebuah vila putih di atas tebing. Satu-satinya bangunan yang ada di tempat itu.
Benar-benar sendiri, batin Maya miris. Inikah tempat Masumi menyendiri?
Entah kenapa hati Maya jadi begitu sedih saat memikirkan Masumi harus menyendiri di tempat seperti ini. Ketenangan apa yang sebenarnya dia cari.
"Nona Maya, mawar ungu sudah menunggu anda di dalam," Hijiri mempersilakan Maya menaiki tangga menuju teras.
Maya berjalan dalam diam, tangannya menggenggam erat tas pakaian yang dibawanya. Ya, hari ini mawar ungu yang mengundangnya, bukan Masumi. Tapi toh dia sudah tahu siapa sebenarnya mawar ungunya. Yang Maya bingungkan adalah Masumi pernah berjanji padanya untuk mengajak Maya secara layak ke vila ini tapi kenapa sekarang justru Masumi melakukannya sebagai mawar ungu? Hati Maya merasakan getaran aneh yang entah Maya sendiri tidak dapat mengerti. Menarik napas berkali-kali, Maya berusaha menenangkan dirinya.
"Nona tunggu dulu disini," kata Hijiri sopan saat dia meminta Maya menunggu di ruang tamu.
Maya mengangguk dan duduk di sofa, jarinya kembali bertaut dengan gelisah. Tak lama menunggu, Hijiri yang tadi naik kelantai dua sudah turun kembali menemui Maya.
"Tuan ingin bicara pada anda," Hijiri memberikan Maya sebuah handphone.
Maya terkejut, handphone? Dengan tangan sedikit gemetar Maya menerimanya.
"Ha..lo," Maya gugup.
"Halo Maya," jawab suara diseberang.
Jantung Maya berdegub semakin kencang, suara itu sedikit teredam, mungkin ditutup kain atau semacamnya tapi Maya mengenali suara itu.
"Nona Maya, silakan,"
Panggilan itu menginterupsi lamunan Maya dan dia bergegas mengikuti pria yang sejak tadi setia menemaninya dalam perjalanan.
"Pak Hijiri, apa mawar ungu juga sudah sampai?"
Hijiri mengangguk, "Iya Nona, beliau sudah menunggu anda,"
"Oh,"
Maya terdiam, tidak tahu harus berkomentar apa.
"Silakan Nona," Hijiri membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk Maya.
"Terima kasih," jawab Maya seraya masuk ke dalam mobil.
Hijiri berjalan memutar lalu duduk dibelakang kemudi. Mobilpun melaju.
Maya memandang keluar jendela. Duduk dengan gelisah, dia memainkan jari-jarinya yang saling terkait di atas lututnya.
Setelah sekian lama akhirnya mawar ungu mau menemuinya. Dalam hati Maya berdebar tidak karuan, akankah Masumi benar-benar mengakui identitasnya nanti? Maya sendiri masih tidak percaya. Semua hal yang terjadi belakangan ini membuatnya sangat kacau. Beberapa hari yang lalu bahkan Masumi sangat dingin kepadanya dan mengatakan kalau apa yang terjadi di Astoria hanyalah keisengan belaka. Tapi dia tidak mau percaya itu. Maya lebih memilih percaya apa yang dikatakan Mayuko padanya, kalau belahan jiwanya pasti memiliki alasan untuk melakukan hal itu.
Belahan jiwa? Ya, Maya sudah yakin dengan apa yang dirasakannya. Masumi adalah belahan jiwanya, bukan hanya karena dia adalah mawar ungu tapi memang karena Maya sudah menyadari kebaikan dan kehangatan hati dari seorang Masumi.
Mobil terus melaju seperti pikiran dan hati Maya yang terus berkutat dengan gelisah. Apa yang akan dikatakan mawar ungu padanya nanti? Beribu pertanyaan memenuhi hati Maya. Namun akhirnya saat Hijiri mengatakan mereka sudah hampir sampai, Maya mulai menenangkan dirinya.
Mobil berhenti didepan sebuah vila putih di atas tebing. Satu-satinya bangunan yang ada di tempat itu.
Benar-benar sendiri, batin Maya miris. Inikah tempat Masumi menyendiri?
Entah kenapa hati Maya jadi begitu sedih saat memikirkan Masumi harus menyendiri di tempat seperti ini. Ketenangan apa yang sebenarnya dia cari.
"Nona Maya, mawar ungu sudah menunggu anda di dalam," Hijiri mempersilakan Maya menaiki tangga menuju teras.
Maya berjalan dalam diam, tangannya menggenggam erat tas pakaian yang dibawanya. Ya, hari ini mawar ungu yang mengundangnya, bukan Masumi. Tapi toh dia sudah tahu siapa sebenarnya mawar ungunya. Yang Maya bingungkan adalah Masumi pernah berjanji padanya untuk mengajak Maya secara layak ke vila ini tapi kenapa sekarang justru Masumi melakukannya sebagai mawar ungu? Hati Maya merasakan getaran aneh yang entah Maya sendiri tidak dapat mengerti. Menarik napas berkali-kali, Maya berusaha menenangkan dirinya.
"Nona tunggu dulu disini," kata Hijiri sopan saat dia meminta Maya menunggu di ruang tamu.
Maya mengangguk dan duduk di sofa, jarinya kembali bertaut dengan gelisah. Tak lama menunggu, Hijiri yang tadi naik kelantai dua sudah turun kembali menemui Maya.
"Tuan ingin bicara pada anda," Hijiri memberikan Maya sebuah handphone.
Maya terkejut, handphone? Dengan tangan sedikit gemetar Maya menerimanya.
"Ha..lo," Maya gugup.
"Halo Maya," jawab suara diseberang.
Jantung Maya berdegub semakin kencang, suara itu sedikit teredam, mungkin ditutup kain atau semacamnya tapi Maya mengenali suara itu.
Masumi, benar-benar Masumi.
"Anda....,"
"Aku memberimu kesempatan terakhir Maya," potong Masumi tiba-tiba.
"Kesempatan terakhir?" Alis Maya bertaut dan menatap Hijiri yang bergeming di depannya.
"Kau masih punya kesempatan untuk memilih kembali ke Tokyo bersama dengan Hijiri. Karena setelah dia pergi kau tidak akan bisa pergi sampai besok dia...,"
"Tidak! Tidak! Saya datang untuk menemui anda! Saya tidak akan pergi! Saya mohon temuilah saya!" Maya menyela perkataannya dengan setengah berteriak. Dia benar-benar tidak mau kembali. Bertahun-tahun dia menantikan hari ini.
Masumi terdiam di ujung teleponnya.
"Halo?! Saya mohon jangan minta saya pulang, saya ingin bertemu dengan anda," Maya memelas.
"Aku memang ingin menemuimu tapi mungkin...justru kau yang tidak ingin bertemu denganku. Aku hanya tidak mau kau menyesali semuanya setelah bertemu denganku,"
Dada Maya terasa sesak mendengar perkataan Masumi. Air matanya bahkan sudah menggenang di sudut mata.
"Tidak, saya tidak akan menyesal. Siapapun anda, bagaimanapun anda, saya tidak akan pernah menyesal, saya...saya akan menerima anda, berterima kasih pada anda," Maya terdiam dan mulai terisak, dan saya mencintai anda, lanjut Maya dalam hati.
"Baiklah kalau itu maumu. Tolong berikan teleponnya pada Hijiri,"
"Baik,"
Maya memberikan handphone pada Hijiri. Berbicara sebentar dengan tuannya lalu Hijiri mematikan telepon. Pria yang sudah lama menjadi penghubung mawar ungu itu begitu prihatin menatap pada Maya yang terisak. Tapi dia mengerti apa yang Maya rasakan, dia juga mengerti apa yang tuannya rasakan sekarang. Dia tahu akhir dari pertemuan ini tapi dia sudah mengusahakan yang terbaik dan dia juga mengharapkan yang terbaik bagi keduanya.
"Nona Maya, tugas saya sudah selesai. Besok saya akan datang kembali untuk menjemput nona." Kata Hijiri.
"Ng, terima kasih Pak Hijiri," kata Maya.
Hijiri mengulum seulas senyum untuk Maya, mengangguk hormat lalu pergi meninggalkan Maya.
Maya berdiri dalam diam, entah apa yang akan dilakukannya sekarang. Masumi atau mawar ungunya masih belum menemuinya. Tiba-tiba Maya mendengar suara pintu terbuka dan suara orang berjalan di lantai kayu. Jantung Maya seakan mau melompat keluar. Seorang pria muncul, menuruni tangga dan berdiri tanpa cela dihadapannya. Wajah dingin Masumi menatapnya, entah bagaimana perasaanya Maya tidak bisa menebaknya tapi Maya melihat jauh ke dalam mata Masumi. Kedua mata itu saling bertaut dan Maya menemukan sebuah kehangatan dalam tatapan mata itu.
"Selamat datang Maya," kata Masumi kemudian, memecah kesunyian yang terbentang diantara keduanya.
Air mata Maya tidak lagi dapat dibendung dan tubuh Maya bergerak dengan sendirinya. Seketika itu juga Maya berlari ke arah Masumi dan menubrukkan dirinya pada sosok yang sangat dirindukannya, Maya memeluk Masumi.
Masumi terkejut dengan reaksi Maya, tubuhnya mematung saat tubuh mungil itu memeluknya.
"Akhirnya, akhirnya saya dapat bertemu dengan anda." Kata Maya di tengah isak tangisnya.
"Maya...," Masumi masih terkejut dengan reaksi Maya padanya. Gadis itu sama sekali tidak terkejut dengan identitas yang selama ini disembunyikannya.
"Terima kasih, terima kasih untuk segalanya." Maya melepaskan pelukannya dan mundur dua langkah, memberi jarak antara dirinya dan Masumi. Maya membungkuk dalam, "Terima kasih Pak Masumi,"
"Maya...kau..."
"Saya sudah katakan tidak akan menyesal bertemu dengan anda. Justru sebaliknya, saya sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama, anda mau menemui saya...Pak Masumi," Maya menatap Masumi penuh rindu. Masumi menyadari apa yang terjadi dan itu menohok hatinya.
"Kau sudah tahu siapa aku?" Tandas Masumi.
Maya menunduk, tidak menjawab.
Meraih kedua bahu Maya, "Maya, kau sudah tahu? Katakan?" Desak Masumi bingung.
Maya mengangguk pelan.
Masumi terhenyak, "Apa Hijiri...,"
"Tidak, tidak. Bukan Pak Hijiri yang memberi tahu saya." Sanggah Maya.
"Lalu?"
"Saya memang sudah lama tahu siapa anda," jawab Maya lirih.
"Sudah lama?!"
Masumi melepaskan bahu Maya, berbalik, berjalan dengan gelisah meninggalkan Maya. Gadis itu hanya mengikuti Masumi, mereka sekarang berada di ruang tengah.
Maya takjub melihat pemandangan yang terlihat dari pintu kaca di ruang tengah itu. Pintu kaca itu terbuka menuju balkon yang menghadap ke laut lepas. Semilir angin berhembus dan menerpa wajahnya.
Maya segera menyadarkan dirinya sendiri dari pesona laut yang luar biasa dan mengalihkan perhatiannya pada Masumi yang bergeming berdiri dihadapannya, menatapnya. Entah berapa lama Masumi sudah menatapnya.
"Kau suka?" Tanya Masumi menilai ekspresi wajah Maya, ya ekspresi Maya selalu mudah ditebak.
"I..iya, indah sekali," jawab Maya malu-malu.
"Duduklah," Masumi melambaikan tangannya ke sofa.
Maya duduk ke tempat yang ditunjuk Masumi, matanya masih belum berani menatap Masumi.
"Jadi, maukah kau menceritakan padaku bagaimana kau bisa tahu tentang mawar ungu,"
Maya mengangguk.
"Apa anda masih ingat warna syal Steward yang dipakai Jane?"
Masumi tertegun sejenak, "Ya, biru,"
Maya tersenyum, Masumi memandang heran gadis dihadapannya.
"Hanya anda yang tahu kalau syal Steward berwarna biru."
"Hanya aku?"
"Setelah anda pulang syal itu terbakar rokok Pak Kuronuma dan setelah itu saya tidak lagi mengenakan syal biru melainkan merah. Dan dimalam penghargaan itu mawar ungu....,"
"Memberikan kartu ucapan dengan menyebutkan syal biru Steward," Masumi tiba-tiba terbahak. Menyangga kepalanya dengan tangan yang bersandar di atas lututnya. Masumi menertawakan kebodohannya.
"Dan juga....," lanjut Maya saat Masumi berhenti tertawa dan menatapnya, "Saya menemukan ballpoint anda di makam ibu bersama dengan buket bunga mawar ungu. Saya melihat anda meninggalkan makam ibu dan saat saya mengembalikan ballpoint itu lewat karyawan anda....anda menerimanya,"
Masumi terdiam seribu bahasa saat Maya selesai bicara.
Dia ingat benar kejadian itu sudah lama, lebih dari satu tahun yang lalu. Sebelum Maya pergi ke kampung halaman Bidadari Merah. Dan Masumi terkesiap saat menyadari sesuatu.
"Saat kita terjebak dikuil dan kau memintaku untuk...," Masumi menutup mulutnya. Bingung.
Maya tertunduk malu, pipinya merona.
"Perasaanmu padaku saat itu....,"
"Saya...," Maya berusaha memotong perkataan Masumi tapi ternyata dia juga kehilangan kata-kata dan akhirnya hanya mengangguk.
Masumi mengeratkan rahangnya, pikiran dan hatinya bergulat. Tujuannya bertemu dengan Maya sekarang adalah untuk menjelaskan keadaannya tapi melihat Maya justru mengungkapkan segalanya membuat Masumi bingung.
Tanpa kata Masumi beranjak dari duduknya dan berjalan ke balkon. Maya menangkap ekspresi gelap Masumi. Dia tidak mengerti apa yang salah sehingga Masumi justru terlihat begitu sedih setelah dia menjelaskan semuanya.
Lama keduanya terdiam di tempat masing-masing. Masumi berdiri di balkon menatap lautan dan Maya masih duduk di sofa menatap punggung Masumi.
Tidak tahan untuk berlama-lama diam, Maya akhirnya bangkit dan menghampiri Masumi. Dia berhenti beberapa langkah dibelakang Masumi. Kedua tangannya bertaut di atas dada. Bingung. Apa yang harus dilakukannya.
"Maafkan aku," kata Masumi tiba-tiba tanpa menatap Maya, dia masih memandang lautan luas dihadapannya.
"Maaf?" Ulang Maya tidak mengerti.
Masumi berbalik dan menatap Maya yang terlihat gelisah di depannya.
"Aku sudah berjanji akan menjemputmu datang ke vila ini dengan keadaan yang layak tapi nyatanya aku justru menjemputmu dengan cara seperti ini." Masumi terdiam dan melihat Maya yang terpaku menatapnya.
"Aku sudah berjanji akan menunggumu tapi....,"
"Apa yang sebenarnya terjadi Pak Masumi?"
"Maya...,"
"Anda pasti memiliki alasan kan? Kenapa anda harus mengingkari janji anda? Anda tidak pernah melakukannya sebelumnya, jadi...jadi pasti ada alasannya kenapa anda...tidak bisa menunggu saya," Maya tertunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapan Masumi dan menahan air matanya tidak mengalir. Kalimat terakhir yang diucapkannya, menyesasakkan seluruh rongga dadanya.
Maya tersentak saat sedetik kemudian Masumi memeluknya. Diapun membalas pelukan itu, mengeratkan lengannya ke tubuh kekar pria yang sangat dirindukannya.
"Maya maafkan aku." Bisik Masumi, "Tujuanku mengundangmu ke tempat ini adalah untuk mengatakan bahwa aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk bersamamu tapi aku ingin kau tahu bahwa mawar ungu akan selalu ada untuk melindungimu, menjagamu. Aku ingin kau tahu bahwa mawar ungu tidak akan pernah berhenti untuk....mencintaimu,"
Air mata Maya mengalir tanpa bisa ditahan lagi.
"Anda...akan meninggalkan saya?" Maya terisak.
"Aku...akan menikah dengan Shiori,"
Maya merasakan seluruh tubuhnya gemetar. Masumi mengeratkan pelukannya saat merasakan tubuh Maya merosot dalam pelukannya.
"Maafkan aku Maya," bisik Masumi lagi.
Mulut Maya terdiam tapi hati Maya berteriak. Bukan ini yang diinginkannya, bukan ini yang dibayangkannya. Rasanya seluruh dunianya runtuh saat ini. Maya hanya bisa menangis. Deburan ombak yang menderu kaki tebing sama kuatnya dengan gelombang keputus asaan yang mendera hatinya saat ini.
***
"Anda....,"
"Aku memberimu kesempatan terakhir Maya," potong Masumi tiba-tiba.
"Kesempatan terakhir?" Alis Maya bertaut dan menatap Hijiri yang bergeming di depannya.
"Kau masih punya kesempatan untuk memilih kembali ke Tokyo bersama dengan Hijiri. Karena setelah dia pergi kau tidak akan bisa pergi sampai besok dia...,"
"Tidak! Tidak! Saya datang untuk menemui anda! Saya tidak akan pergi! Saya mohon temuilah saya!" Maya menyela perkataannya dengan setengah berteriak. Dia benar-benar tidak mau kembali. Bertahun-tahun dia menantikan hari ini.
Masumi terdiam di ujung teleponnya.
"Halo?! Saya mohon jangan minta saya pulang, saya ingin bertemu dengan anda," Maya memelas.
"Aku memang ingin menemuimu tapi mungkin...justru kau yang tidak ingin bertemu denganku. Aku hanya tidak mau kau menyesali semuanya setelah bertemu denganku,"
Dada Maya terasa sesak mendengar perkataan Masumi. Air matanya bahkan sudah menggenang di sudut mata.
"Tidak, saya tidak akan menyesal. Siapapun anda, bagaimanapun anda, saya tidak akan pernah menyesal, saya...saya akan menerima anda, berterima kasih pada anda," Maya terdiam dan mulai terisak, dan saya mencintai anda, lanjut Maya dalam hati.
"Baiklah kalau itu maumu. Tolong berikan teleponnya pada Hijiri,"
"Baik,"
Maya memberikan handphone pada Hijiri. Berbicara sebentar dengan tuannya lalu Hijiri mematikan telepon. Pria yang sudah lama menjadi penghubung mawar ungu itu begitu prihatin menatap pada Maya yang terisak. Tapi dia mengerti apa yang Maya rasakan, dia juga mengerti apa yang tuannya rasakan sekarang. Dia tahu akhir dari pertemuan ini tapi dia sudah mengusahakan yang terbaik dan dia juga mengharapkan yang terbaik bagi keduanya.
"Nona Maya, tugas saya sudah selesai. Besok saya akan datang kembali untuk menjemput nona." Kata Hijiri.
"Ng, terima kasih Pak Hijiri," kata Maya.
Hijiri mengulum seulas senyum untuk Maya, mengangguk hormat lalu pergi meninggalkan Maya.
Maya berdiri dalam diam, entah apa yang akan dilakukannya sekarang. Masumi atau mawar ungunya masih belum menemuinya. Tiba-tiba Maya mendengar suara pintu terbuka dan suara orang berjalan di lantai kayu. Jantung Maya seakan mau melompat keluar. Seorang pria muncul, menuruni tangga dan berdiri tanpa cela dihadapannya. Wajah dingin Masumi menatapnya, entah bagaimana perasaanya Maya tidak bisa menebaknya tapi Maya melihat jauh ke dalam mata Masumi. Kedua mata itu saling bertaut dan Maya menemukan sebuah kehangatan dalam tatapan mata itu.
"Selamat datang Maya," kata Masumi kemudian, memecah kesunyian yang terbentang diantara keduanya.
Air mata Maya tidak lagi dapat dibendung dan tubuh Maya bergerak dengan sendirinya. Seketika itu juga Maya berlari ke arah Masumi dan menubrukkan dirinya pada sosok yang sangat dirindukannya, Maya memeluk Masumi.
Masumi terkejut dengan reaksi Maya, tubuhnya mematung saat tubuh mungil itu memeluknya.
"Akhirnya, akhirnya saya dapat bertemu dengan anda." Kata Maya di tengah isak tangisnya.
"Maya...," Masumi masih terkejut dengan reaksi Maya padanya. Gadis itu sama sekali tidak terkejut dengan identitas yang selama ini disembunyikannya.
"Terima kasih, terima kasih untuk segalanya." Maya melepaskan pelukannya dan mundur dua langkah, memberi jarak antara dirinya dan Masumi. Maya membungkuk dalam, "Terima kasih Pak Masumi,"
"Maya...kau..."
"Saya sudah katakan tidak akan menyesal bertemu dengan anda. Justru sebaliknya, saya sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama, anda mau menemui saya...Pak Masumi," Maya menatap Masumi penuh rindu. Masumi menyadari apa yang terjadi dan itu menohok hatinya.
"Kau sudah tahu siapa aku?" Tandas Masumi.
Maya menunduk, tidak menjawab.
Meraih kedua bahu Maya, "Maya, kau sudah tahu? Katakan?" Desak Masumi bingung.
Maya mengangguk pelan.
Masumi terhenyak, "Apa Hijiri...,"
"Tidak, tidak. Bukan Pak Hijiri yang memberi tahu saya." Sanggah Maya.
"Lalu?"
"Saya memang sudah lama tahu siapa anda," jawab Maya lirih.
"Sudah lama?!"
Masumi melepaskan bahu Maya, berbalik, berjalan dengan gelisah meninggalkan Maya. Gadis itu hanya mengikuti Masumi, mereka sekarang berada di ruang tengah.
Maya takjub melihat pemandangan yang terlihat dari pintu kaca di ruang tengah itu. Pintu kaca itu terbuka menuju balkon yang menghadap ke laut lepas. Semilir angin berhembus dan menerpa wajahnya.
Maya segera menyadarkan dirinya sendiri dari pesona laut yang luar biasa dan mengalihkan perhatiannya pada Masumi yang bergeming berdiri dihadapannya, menatapnya. Entah berapa lama Masumi sudah menatapnya.
"Kau suka?" Tanya Masumi menilai ekspresi wajah Maya, ya ekspresi Maya selalu mudah ditebak.
"I..iya, indah sekali," jawab Maya malu-malu.
"Duduklah," Masumi melambaikan tangannya ke sofa.
Maya duduk ke tempat yang ditunjuk Masumi, matanya masih belum berani menatap Masumi.
"Jadi, maukah kau menceritakan padaku bagaimana kau bisa tahu tentang mawar ungu,"
Maya mengangguk.
"Apa anda masih ingat warna syal Steward yang dipakai Jane?"
Masumi tertegun sejenak, "Ya, biru,"
Maya tersenyum, Masumi memandang heran gadis dihadapannya.
"Hanya anda yang tahu kalau syal Steward berwarna biru."
"Hanya aku?"
"Setelah anda pulang syal itu terbakar rokok Pak Kuronuma dan setelah itu saya tidak lagi mengenakan syal biru melainkan merah. Dan dimalam penghargaan itu mawar ungu....,"
"Memberikan kartu ucapan dengan menyebutkan syal biru Steward," Masumi tiba-tiba terbahak. Menyangga kepalanya dengan tangan yang bersandar di atas lututnya. Masumi menertawakan kebodohannya.
"Dan juga....," lanjut Maya saat Masumi berhenti tertawa dan menatapnya, "Saya menemukan ballpoint anda di makam ibu bersama dengan buket bunga mawar ungu. Saya melihat anda meninggalkan makam ibu dan saat saya mengembalikan ballpoint itu lewat karyawan anda....anda menerimanya,"
Masumi terdiam seribu bahasa saat Maya selesai bicara.
Dia ingat benar kejadian itu sudah lama, lebih dari satu tahun yang lalu. Sebelum Maya pergi ke kampung halaman Bidadari Merah. Dan Masumi terkesiap saat menyadari sesuatu.
"Saat kita terjebak dikuil dan kau memintaku untuk...," Masumi menutup mulutnya. Bingung.
Maya tertunduk malu, pipinya merona.
"Perasaanmu padaku saat itu....,"
"Saya...," Maya berusaha memotong perkataan Masumi tapi ternyata dia juga kehilangan kata-kata dan akhirnya hanya mengangguk.
Masumi mengeratkan rahangnya, pikiran dan hatinya bergulat. Tujuannya bertemu dengan Maya sekarang adalah untuk menjelaskan keadaannya tapi melihat Maya justru mengungkapkan segalanya membuat Masumi bingung.
Tanpa kata Masumi beranjak dari duduknya dan berjalan ke balkon. Maya menangkap ekspresi gelap Masumi. Dia tidak mengerti apa yang salah sehingga Masumi justru terlihat begitu sedih setelah dia menjelaskan semuanya.
Lama keduanya terdiam di tempat masing-masing. Masumi berdiri di balkon menatap lautan dan Maya masih duduk di sofa menatap punggung Masumi.
Tidak tahan untuk berlama-lama diam, Maya akhirnya bangkit dan menghampiri Masumi. Dia berhenti beberapa langkah dibelakang Masumi. Kedua tangannya bertaut di atas dada. Bingung. Apa yang harus dilakukannya.
"Maafkan aku," kata Masumi tiba-tiba tanpa menatap Maya, dia masih memandang lautan luas dihadapannya.
"Maaf?" Ulang Maya tidak mengerti.
Masumi berbalik dan menatap Maya yang terlihat gelisah di depannya.
"Aku sudah berjanji akan menjemputmu datang ke vila ini dengan keadaan yang layak tapi nyatanya aku justru menjemputmu dengan cara seperti ini." Masumi terdiam dan melihat Maya yang terpaku menatapnya.
"Aku sudah berjanji akan menunggumu tapi....,"
"Apa yang sebenarnya terjadi Pak Masumi?"
"Maya...,"
"Anda pasti memiliki alasan kan? Kenapa anda harus mengingkari janji anda? Anda tidak pernah melakukannya sebelumnya, jadi...jadi pasti ada alasannya kenapa anda...tidak bisa menunggu saya," Maya tertunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapan Masumi dan menahan air matanya tidak mengalir. Kalimat terakhir yang diucapkannya, menyesasakkan seluruh rongga dadanya.
Maya tersentak saat sedetik kemudian Masumi memeluknya. Diapun membalas pelukan itu, mengeratkan lengannya ke tubuh kekar pria yang sangat dirindukannya.
"Maya maafkan aku." Bisik Masumi, "Tujuanku mengundangmu ke tempat ini adalah untuk mengatakan bahwa aku tidak bisa memenuhi janjiku untuk bersamamu tapi aku ingin kau tahu bahwa mawar ungu akan selalu ada untuk melindungimu, menjagamu. Aku ingin kau tahu bahwa mawar ungu tidak akan pernah berhenti untuk....mencintaimu,"
Air mata Maya mengalir tanpa bisa ditahan lagi.
"Anda...akan meninggalkan saya?" Maya terisak.
"Aku...akan menikah dengan Shiori,"
Maya merasakan seluruh tubuhnya gemetar. Masumi mengeratkan pelukannya saat merasakan tubuh Maya merosot dalam pelukannya.
"Maafkan aku Maya," bisik Masumi lagi.
Mulut Maya terdiam tapi hati Maya berteriak. Bukan ini yang diinginkannya, bukan ini yang dibayangkannya. Rasanya seluruh dunianya runtuh saat ini. Maya hanya bisa menangis. Deburan ombak yang menderu kaki tebing sama kuatnya dengan gelombang keputus asaan yang mendera hatinya saat ini.
***
Sudah dua kali Shiori berusaha bunuh diri dan sekarang
kondisinya dalam depresi berat. Aku yang bertanggung jawab atas kondisinya
Maya
Maya memejamkan matanya erat dan membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya saat perkataan Masumi itu kembali terngingang ditelinganya. Duduk diatas tempat tidur dengan memeluk lututnya, Maya meratapi kisah cintanya.
"Boleh aku masuk?" Tiba-tiba Masumi sudah berada diambang pintu. "Maaf, aku khawatir. Sejak tadi mengetuk pintu tapi kau tidak menjawab,"
Dengan cepat Maya menghapus air matanya. Sepertinya tangisan membuatnya tidak mendengar ketukan pintu. Maya mengangguk lemah menjawab pertanyaan Masumi.
"Boleh aku duduk disini?" Masumi kembali meminta ijin sambil menunjuk tepi tempat tidur Maya. Sekali lagi Maya hanya mengangguk lemah menjawabnya.
"Aku selalu saja membuatmu menangis," keluh Masumi pada dirinya sendiri.
Maya menggeleng cepat, "Ti, tidak, bukan begitu Pak Masumi. Bukan salah anda," Maya kembali mengusap kasar air mata yang tidak mau berhenti mengalir di pipinya.
"Tidak Maya, aku memang hanya bisa menyakitimu,"
Dengan berani Maya meraih tangan Masumi dan menggenggamnya, kembali terisak karenanya.
"Anda...sudah sangat baik pada saya. Jangan berkata seperti itu, saya...saya...sungguh.... pokoknya jangan
menyalahkan diri anda Pak Masumi," kata Maya dengan kembali terisak-isak
menatap Masumi dan menggenggam erat tangannya.
"Kau tidak menyalahkanku?" Masumi tersanjung dengan semua ucapan Maya yang begitu mempercayainya.
Maya menggeleng, "Anda sudah melakukan yang terbaik."
Masumi menatap gadisnya yang terlihat tegar dihadapannya, meski dia tahu hati Maya pasti tersayat dalam sekarang, terluka. Sama seperti hatinya.
"Yang terpenting bagi saya...," Maya menatap Masumi dalam, "Anda tahu bahwa saya mencintai anda dan saya tahu kalau anda....," Maya terdiam lalu menunduk.
Masumi menarik tangannya yang digenggam Maya lalu menarik gadis itu mendekat dan tanpa sungkan memeluknya.
"Aku juga mencintaimu Maya, selalu," bisik Masumi, meneruskan ucapan Maya yang terhenti.
Maya mengangguk penuh haru dibahu Masumi. Cukup, cukup baginya mendengar ungkapan cinta itu. Dia tidak akan menuntut lebih, tidak akan meminta lebih. Semua ini sudah lebih cukup baginya. Maya akan merelakan cintanya.
Keduanya terdiam dan hanya saling memeluk. Lama, waktu berlalu dan akhirnya Masumi merenggangkan pelukannya saat Maya sudah berhenti menangis.
Masumi menatap lembut dan menangkupkan kedua tangan ke wajah gadisnya. Miris, hati Masumi merasa begitu miris. Setelah sekian lama dia ingin menjadi pria yang bisa menghapus air mata di wajah Maya, dia justru melakukannya saat ini, setelah dia sendiri yang membuat Maya menangis dan bahkan saat sekarang dia dan Maya justru harus berpisah.
"Maya, aku mungkin egois. Tapi selama kau disini, malam ini. Bisakah kita melupakan semua masalah, perbedaan dan segalanya? Biarlah hari ini hanya ada aku dan kau, semua tentang ...kita?"
Dan untuk pertama kalinya sejak Maya menginjakkan kaki di vila itu, dia tersenyum tulus dan bahagia. Mengangguk, Maya setuju dengan perkataan Masumi. Diapun ingin menikmati kebersamaan ini. Biarlah walau hanya satu malam, dia ingin menjadikan malam ini malam yang berharga baginya dan Masumi.
"Kau mau?" Masumi menegaskan.
"Iya," ucap Maya tanpa menanggalkan senyumnya.
Masumi mengulum senyumnya lalu membelai kepala Maya.
"Bersihkan dirimu, aku akan menunggumu diluar,"
Sekali lagi Maya hanya mengangguk untuk menjawabnya dan Masumi keluar dari kamar.
Maya sudah lebih segar setelah mandi meski matanya masih terlihat sembab sehabis menangis. Dia menggerutu pada dirinya sendiri yang tidak juga bisa mengendalikan air matanya. Maya keluar dari kamar dan mendapati Masumi sudah menunggunya di ruang tengah. Hari sudah semakin sore.
Masumi mengamati Maya yang terlihat cantik didepannya. Ya, gadis kecilnya sekarang sudah dewasa. Maya mengenakan celana jeans dan atasan warna biru laut yang dibungkus dengan cardigan panjang biru tua dengan motif garis putih. Dia tahu semua keadaan ini terasa begitu ganjil, tapi Masumi sedang tidak ingin memikirkannya sekarang. Dia hanya ingin menikmati waktunya bersama Maya.
"Kau sudah makan?" Tanya Masumi.
Maya tertegun dengan pertanyaan Masumi, nafsu makannya yang besar itu rasanya sudah menghilang entah kemana saat Masumi membuat pernyataan tadi.
"Ngg, belum," jawab Maya.
Masumi tersenyum melihat Maya yang kebingungan. Diapun beranjak dan menghampiri gadisnya.
"Ayo," ajaknya dan kembali tanpa sungkan Masumi meraih tangan Maya.
"Ngg, Pak Masumi, kita mau kemana?" Tanya Maya ragu saat Masumi terus menggandengnya keluar.
Masumi melirik gadis disebelahnya dan hanya melempar senyum tipis tanpa menjawab. Masumi membuka pintu mobil, "Masuklah,"
Maya hanya menurut dan saat mobil melaju Maya juga hanya diam.
Ternyata tempat tujuan mereka tidak jauh. Mobil hanya menuruni bukit dan langsung berbelok ke arah pantai.
Maya memejamkan matanya erat dan membenamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya saat perkataan Masumi itu kembali terngingang ditelinganya. Duduk diatas tempat tidur dengan memeluk lututnya, Maya meratapi kisah cintanya.
"Boleh aku masuk?" Tiba-tiba Masumi sudah berada diambang pintu. "Maaf, aku khawatir. Sejak tadi mengetuk pintu tapi kau tidak menjawab,"
Dengan cepat Maya menghapus air matanya. Sepertinya tangisan membuatnya tidak mendengar ketukan pintu. Maya mengangguk lemah menjawab pertanyaan Masumi.
"Boleh aku duduk disini?" Masumi kembali meminta ijin sambil menunjuk tepi tempat tidur Maya. Sekali lagi Maya hanya mengangguk lemah menjawabnya.
"Aku selalu saja membuatmu menangis," keluh Masumi pada dirinya sendiri.
Maya menggeleng cepat, "Ti, tidak, bukan begitu Pak Masumi. Bukan salah anda," Maya kembali mengusap kasar air mata yang tidak mau berhenti mengalir di pipinya.
"Tidak Maya, aku memang hanya bisa menyakitimu,"
Dengan berani Maya meraih tangan Masumi dan menggenggamnya, kembali terisak karenanya.
"Anda...sudah sangat baik pada saya. Jangan berkata seperti itu, saya...saya...sungguh....
"Kau tidak menyalahkanku?" Masumi tersanjung dengan semua ucapan Maya yang begitu mempercayainya.
Maya menggeleng, "Anda sudah melakukan yang terbaik."
Masumi menatap gadisnya yang terlihat tegar dihadapannya, meski dia tahu hati Maya pasti tersayat dalam sekarang, terluka. Sama seperti hatinya.
"Yang terpenting bagi saya...," Maya menatap Masumi dalam, "Anda tahu bahwa saya mencintai anda dan saya tahu kalau anda....," Maya terdiam lalu menunduk.
Masumi menarik tangannya yang digenggam Maya lalu menarik gadis itu mendekat dan tanpa sungkan memeluknya.
"Aku juga mencintaimu Maya, selalu," bisik Masumi, meneruskan ucapan Maya yang terhenti.
Maya mengangguk penuh haru dibahu Masumi. Cukup, cukup baginya mendengar ungkapan cinta itu. Dia tidak akan menuntut lebih, tidak akan meminta lebih. Semua ini sudah lebih cukup baginya. Maya akan merelakan cintanya.
Keduanya terdiam dan hanya saling memeluk. Lama, waktu berlalu dan akhirnya Masumi merenggangkan pelukannya saat Maya sudah berhenti menangis.
Masumi menatap lembut dan menangkupkan kedua tangan ke wajah gadisnya. Miris, hati Masumi merasa begitu miris. Setelah sekian lama dia ingin menjadi pria yang bisa menghapus air mata di wajah Maya, dia justru melakukannya saat ini, setelah dia sendiri yang membuat Maya menangis dan bahkan saat sekarang dia dan Maya justru harus berpisah.
"Maya, aku mungkin egois. Tapi selama kau disini, malam ini. Bisakah kita melupakan semua masalah, perbedaan dan segalanya? Biarlah hari ini hanya ada aku dan kau, semua tentang ...kita?"
Dan untuk pertama kalinya sejak Maya menginjakkan kaki di vila itu, dia tersenyum tulus dan bahagia. Mengangguk, Maya setuju dengan perkataan Masumi. Diapun ingin menikmati kebersamaan ini. Biarlah walau hanya satu malam, dia ingin menjadikan malam ini malam yang berharga baginya dan Masumi.
"Kau mau?" Masumi menegaskan.
"Iya," ucap Maya tanpa menanggalkan senyumnya.
Masumi mengulum senyumnya lalu membelai kepala Maya.
"Bersihkan dirimu, aku akan menunggumu diluar,"
Sekali lagi Maya hanya mengangguk untuk menjawabnya dan Masumi keluar dari kamar.
Maya sudah lebih segar setelah mandi meski matanya masih terlihat sembab sehabis menangis. Dia menggerutu pada dirinya sendiri yang tidak juga bisa mengendalikan air matanya. Maya keluar dari kamar dan mendapati Masumi sudah menunggunya di ruang tengah. Hari sudah semakin sore.
Masumi mengamati Maya yang terlihat cantik didepannya. Ya, gadis kecilnya sekarang sudah dewasa. Maya mengenakan celana jeans dan atasan warna biru laut yang dibungkus dengan cardigan panjang biru tua dengan motif garis putih. Dia tahu semua keadaan ini terasa begitu ganjil, tapi Masumi sedang tidak ingin memikirkannya sekarang. Dia hanya ingin menikmati waktunya bersama Maya.
"Kau sudah makan?" Tanya Masumi.
Maya tertegun dengan pertanyaan Masumi, nafsu makannya yang besar itu rasanya sudah menghilang entah kemana saat Masumi membuat pernyataan tadi.
"Ngg, belum," jawab Maya.
Masumi tersenyum melihat Maya yang kebingungan. Diapun beranjak dan menghampiri gadisnya.
"Ayo," ajaknya dan kembali tanpa sungkan Masumi meraih tangan Maya.
"Ngg, Pak Masumi, kita mau kemana?" Tanya Maya ragu saat Masumi terus menggandengnya keluar.
Masumi melirik gadis disebelahnya dan hanya melempar senyum tipis tanpa menjawab. Masumi membuka pintu mobil, "Masuklah,"
Maya hanya menurut dan saat mobil melaju Maya juga hanya diam.
Ternyata tempat tujuan mereka tidak jauh. Mobil hanya menuruni bukit dan langsung berbelok ke arah pantai.
Pantai? Mata Maya langsung berbinar dan melirik pada
Masumi yang masih bergeming di belakang kemudi tanpa menatapnya.
"Uhmm, Pak Masumi, kita akan ke pantai?"
Masumi menoleh pada Maya yang masih canggung duduk di sebelahnya.
"Kau ingat apa yang pernah aku ceritakan padamu di Astoria?"
"Anda suka berjalan-jalan dipantai?"
Masumi mengangguk, senang karena ternyata Maya tidak melupakan kenangan bersamanya di Astoria.
"Ayo,"
Masumi kembali memberikan instruksinya pada Maya. Senang, Maya pun bersemangat turun dari mobil. Sekarang vila Masumi terlihat kecil di atas bukit.
Maya terheran saat Masumi berjalan ke belakang mobil dan membuka bagasi dan dia terkejut ketika melihat apa yang dibawa Masumi, keranjang piknik dan tikar lipat.
"Kita akan piknik di pantai. Penjaga vila sudah menyiapkan semuanya siang tadi," kata Masumi menjawab keterkejutan Maya.
Maya menahan dirinya untuk tidak cekikikan senang dan berjalan mengikuti Masumi.
Keduanya membuka tikar lipat dan meletakkan keranjang piknik di atasnya. Masumi dan Maya duduk beralas tikar.
"Wah! Menyenangkan!" Seru Maya girang, lupa dengan tekad menahan dirinya tadi. Sifat kekanakannya langsung muncul.
"Kau senang?"
"Tentu saja Pak Masumi. Lihat! Pemandangannya indah sekali, kita bisa melihat matahari terbenam," serunya kali ini sambil tertawa.
"Aku senang kalau kau menikmatinya," kata Masumi.
Ketenangan Masumi langsung menyurutkan semangat Maya.
"Uhhmm, maaf ya," ucap Maya sungkan.
"Maaf?" Alis Masumi bertaut, bingung.
"Saya, uhm, seperti anak-anak ya?" aku Maya, menyalahkan dirinya sendiri. Seolah itu adalah hal yang memalukan.
Masumi terbahak, "Bukankah kau memang masih anak-anak, mungil?" goda Masumi.
Maya langsung cemberut, "Pak Masumi! Saya sudah dewasa dan anda sudah berjanji untuk tidak memanggilku mungil lagi,"
Masumi masih terkikik geli, bersama dengan Maya memang selalu menyenangkan.
"Iya, iya, maaf. Aku senang kau menikmatinya mung...hhmm, Maya," Masumi melempar senyum manisnya pada Maya.
Tiba-tiba Maya tersipu melihat senyum Masumi padanya, jantungnya berdebar, "Sa...saya menikmatinya. Sangat menikmati. Terima kasih," ucap Maya seraya memalingkan wajahnya yang merona.
Masumi bukannya tidak tahu apa yang dirasakan gadisnya saat ini. Bukankah dirinya juga merasakan hal yang sama? Hanya saja wajah Masumi tidak semerah Maya dan dia sudah terbiasa memakai topeng untuk menutupi perasaannya.
Maya akhirnya terdiam menatap lautan yang sekarang mulai berwarna orange karena matahari berangsur turun keperaduannya.
"Indah sekali ya," gumam Maya.
"Iya," jawab Masumi tapi bukan untuk mengiyakan perkataan Maya atas keindahan laut melainkan mengiyakan kekagumamnya akan gadis cantik yang sejak tadi dipandanginya. Maya tenang menatap laut sedangkan Masumi lebih memilih tenang melihat Maya.
Gadis itu menoleh dan wajahnya kembali semerah kepiting rebus saat sadar kalau Masumi tengah menatapnya.
"Uhmm, bo, boleh saya makan?" Maya gugup dan berusaha mencari bahan pelarian, keranjang piknik yang terletak diantara mereka berdua menjadi sebuah alasan yang paling tepat menurutnya.
"Tidak," jawab Masumi.
"Eh?!"
Masumi mengangkat keranjang piknik dan memindahkan ke belakang tubuhnya. Kemuadian dia menggeser duduknya merapat pada Maya. Gadis itu langsung terdiam bak patung. Kaku dan bingung.
"Aku ingin menikmati matahari terbenam bersamamu," kata Masumi kemudian.
"Ngg...," Maya hanya bergumam, hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi dan akhirnya hanya diam memandang lautan. Bahkan saat Masumi kemudian menyandarkan lengannya di bahu Maya dan membuat Maya merapat ke tubuhnya, gadis itu hanya diam. Membiarkannya. Menikmatinya.
"Uhmm, Pak Masumi, kita akan ke pantai?"
Masumi menoleh pada Maya yang masih canggung duduk di sebelahnya.
"Kau ingat apa yang pernah aku ceritakan padamu di Astoria?"
"Anda suka berjalan-jalan dipantai?"
Masumi mengangguk, senang karena ternyata Maya tidak melupakan kenangan bersamanya di Astoria.
"Ayo,"
Masumi kembali memberikan instruksinya pada Maya. Senang, Maya pun bersemangat turun dari mobil. Sekarang vila Masumi terlihat kecil di atas bukit.
Maya terheran saat Masumi berjalan ke belakang mobil dan membuka bagasi dan dia terkejut ketika melihat apa yang dibawa Masumi, keranjang piknik dan tikar lipat.
"Kita akan piknik di pantai. Penjaga vila sudah menyiapkan semuanya siang tadi," kata Masumi menjawab keterkejutan Maya.
Maya menahan dirinya untuk tidak cekikikan senang dan berjalan mengikuti Masumi.
Keduanya membuka tikar lipat dan meletakkan keranjang piknik di atasnya. Masumi dan Maya duduk beralas tikar.
"Wah! Menyenangkan!" Seru Maya girang, lupa dengan tekad menahan dirinya tadi. Sifat kekanakannya langsung muncul.
"Kau senang?"
"Tentu saja Pak Masumi. Lihat! Pemandangannya indah sekali, kita bisa melihat matahari terbenam," serunya kali ini sambil tertawa.
"Aku senang kalau kau menikmatinya," kata Masumi.
Ketenangan Masumi langsung menyurutkan semangat Maya.
"Uhhmm, maaf ya," ucap Maya sungkan.
"Maaf?" Alis Masumi bertaut, bingung.
"Saya, uhm, seperti anak-anak ya?" aku Maya, menyalahkan dirinya sendiri. Seolah itu adalah hal yang memalukan.
Masumi terbahak, "Bukankah kau memang masih anak-anak, mungil?" goda Masumi.
Maya langsung cemberut, "Pak Masumi! Saya sudah dewasa dan anda sudah berjanji untuk tidak memanggilku mungil lagi,"
Masumi masih terkikik geli, bersama dengan Maya memang selalu menyenangkan.
"Iya, iya, maaf. Aku senang kau menikmatinya mung...hhmm, Maya," Masumi melempar senyum manisnya pada Maya.
Tiba-tiba Maya tersipu melihat senyum Masumi padanya, jantungnya berdebar, "Sa...saya menikmatinya. Sangat menikmati. Terima kasih," ucap Maya seraya memalingkan wajahnya yang merona.
Masumi bukannya tidak tahu apa yang dirasakan gadisnya saat ini. Bukankah dirinya juga merasakan hal yang sama? Hanya saja wajah Masumi tidak semerah Maya dan dia sudah terbiasa memakai topeng untuk menutupi perasaannya.
Maya akhirnya terdiam menatap lautan yang sekarang mulai berwarna orange karena matahari berangsur turun keperaduannya.
"Indah sekali ya," gumam Maya.
"Iya," jawab Masumi tapi bukan untuk mengiyakan perkataan Maya atas keindahan laut melainkan mengiyakan kekagumamnya akan gadis cantik yang sejak tadi dipandanginya. Maya tenang menatap laut sedangkan Masumi lebih memilih tenang melihat Maya.
Gadis itu menoleh dan wajahnya kembali semerah kepiting rebus saat sadar kalau Masumi tengah menatapnya.
"Uhmm, bo, boleh saya makan?" Maya gugup dan berusaha mencari bahan pelarian, keranjang piknik yang terletak diantara mereka berdua menjadi sebuah alasan yang paling tepat menurutnya.
"Tidak," jawab Masumi.
"Eh?!"
Masumi mengangkat keranjang piknik dan memindahkan ke belakang tubuhnya. Kemuadian dia menggeser duduknya merapat pada Maya. Gadis itu langsung terdiam bak patung. Kaku dan bingung.
"Aku ingin menikmati matahari terbenam bersamamu," kata Masumi kemudian.
"Ngg...," Maya hanya bergumam, hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi dan akhirnya hanya diam memandang lautan. Bahkan saat Masumi kemudian menyandarkan lengannya di bahu Maya dan membuat Maya merapat ke tubuhnya, gadis itu hanya diam. Membiarkannya. Menikmatinya.
Dia juga tidak tahu harus berkomentar apa, Maya
tidak keberatan Masumi melakukannya. Bahkan sebenarnya Maya ingin bersandar di
dada bidang Masumi yang sejak tadi sudah diliriknya namun gadis itu tidak punya
cukup keberanian dan akhirnya hanya duduk dengan kaku disebelah Masumi yang
sekarang semakin mengeratkan lengannya di bahu Maya.
"Uhhmm, Pak Masumi...,"
"Kau boleh bersandar padaku kalau mau," kata Masumi seolah bisa membaca pikiran Maya.
Maya menoleh dan Masumi tersenyum saat melihat Maya kembali merona. Hatinya berbunga saat kemudian Maya bersandar di dadanya.
Dan sekali lagi keheningan menelan keduanya. Hanya deburan ombak yang terdengar.
"Apa kau menyesal Maya?" Tanya Masumi setelah lama keduanya terdiam.
"Menyesal untuk apa?" Maya sudah tidak lagi canggung. Dekapan Masumi membuat semua syaraf tubuhnya santai. Dia baru menyadari bahwa bersandar di dada Masumi ternyata begitu menenangkan.
"Menyesal karena sudah mencintaiku, orang yang bahkan selalu membuatmu menangis."
"Bukankah anda yang selalu mendukung saya? Seharusnya saya yang bertanya, apakah anda tidak menyesal telah melakukan semua hal itu untuk saya,"
Masumi menyeringai, dia tahu Maya membaicarakan dirinya sebagai mawar ungu.
"Dari semua hal yang sudah kulakukan untukmu, menyesal bukanlah salah satunya Maya,"
Maya menegakkan tubuhnya dan bergeser duduk menghadap Masumi. Cahaya orange yang melingkupi keduanya membuat suasana sore semakin hangat meski angin musim gugur berhembus cukup kencang.
"Kalau begitu saya juga tidak menyesal," aku Maya.
"Maafkan aku,"
"Untuk apa?"
"Segalanya, semua yang pernah ku lakukan padamu sebagai...Masumi Hayami,"
Maya terdiam, memikirkan apa yang sudah dilakukan Masumi padanya. Apa yang perlu dimaafkan? Kehancuran teaternya? Kematian ibunya? Karirnya yang hancur? Apalagi?
"Itu...," Maya sudah lama tidak mengingat itu semua sejak tahu Masumi adalah mawar ungu dan sekarang dia tidak lagi merasa benci pada pria yang ada didepannya.
"Uhhmm, Pak Masumi...,"
"Kau boleh bersandar padaku kalau mau," kata Masumi seolah bisa membaca pikiran Maya.
Maya menoleh dan Masumi tersenyum saat melihat Maya kembali merona. Hatinya berbunga saat kemudian Maya bersandar di dadanya.
Dan sekali lagi keheningan menelan keduanya. Hanya deburan ombak yang terdengar.
"Apa kau menyesal Maya?" Tanya Masumi setelah lama keduanya terdiam.
"Menyesal untuk apa?" Maya sudah tidak lagi canggung. Dekapan Masumi membuat semua syaraf tubuhnya santai. Dia baru menyadari bahwa bersandar di dada Masumi ternyata begitu menenangkan.
"Menyesal karena sudah mencintaiku, orang yang bahkan selalu membuatmu menangis."
"Bukankah anda yang selalu mendukung saya? Seharusnya saya yang bertanya, apakah anda tidak menyesal telah melakukan semua hal itu untuk saya,"
Masumi menyeringai, dia tahu Maya membaicarakan dirinya sebagai mawar ungu.
"Dari semua hal yang sudah kulakukan untukmu, menyesal bukanlah salah satunya Maya,"
Maya menegakkan tubuhnya dan bergeser duduk menghadap Masumi. Cahaya orange yang melingkupi keduanya membuat suasana sore semakin hangat meski angin musim gugur berhembus cukup kencang.
"Kalau begitu saya juga tidak menyesal," aku Maya.
"Maafkan aku,"
"Untuk apa?"
"Segalanya, semua yang pernah ku lakukan padamu sebagai...Masumi Hayami,"
Maya terdiam, memikirkan apa yang sudah dilakukan Masumi padanya. Apa yang perlu dimaafkan? Kehancuran teaternya? Kematian ibunya? Karirnya yang hancur? Apalagi?
"Itu...," Maya sudah lama tidak mengingat itu semua sejak tahu Masumi adalah mawar ungu dan sekarang dia tidak lagi merasa benci pada pria yang ada didepannya.
Benci?
Marahpun tidak. Dia mengerti kejamnya Masumi sebagai direktur Daito dan
lembutnya Masumi sebagai mawar ungu.
"Kenapa? Kesalahanku terlalu banyak ya?" Masumi tersenyum kecut.
"Bukan, hanya saja....saya...uhmm, sudah lama tidak memikirkan semua itu. Sejak saya tahu kalau anda adalah....mawar ungu. Saya mulai mengerti kalau semua hal yang anda lakukan pasti ada alasannya. Hanya saja terkadang saya yang terlalu bodoh untuk memahami semuanya," jelas Maya.
"Benarkah itu?"
Maya mengangguk.
"Kau mengerti apa yang aku lakukan?"
Maya mengangguk lagi.
"Awalnya tidak tapi akhirnya saya mengerti,"
Tangan Masumi tiba-tiba terulur lalu menyingkirkan rambut yang terbang tertiup angin di wajah Maya.
"Ternyata kau memang sudah dewasa ya," puji Masumi.
Maya tersenyum malu-malu.
"Aku tidak tahu kenapa takdir begitu kejam padaku,"
"Takdir? Kenapa anda menyalahkan takdir?"
"Aku tidak pernah jatuh cinta pada siapapun. Hanya padamu, sejak pertama melihatmu. Entah berapa lama waktu berlalu sampai akhirnya aku sadar aku sudah terperangkap dalam pesonamu. Aku selalu berpikir kau membenciku, ya kau layak membenciku setelah semua hal yang ku lakukan padamu. Terlebih pada ibumu," Masumi tersenyum pahit, berpaling dari Maya yang masih menatapnya sendu, matanya memandang matahari yang hampir tenggelam.
"Kenapa? Kesalahanku terlalu banyak ya?" Masumi tersenyum kecut.
"Bukan, hanya saja....saya...uhmm, sudah lama tidak memikirkan semua itu. Sejak saya tahu kalau anda adalah....mawar ungu. Saya mulai mengerti kalau semua hal yang anda lakukan pasti ada alasannya. Hanya saja terkadang saya yang terlalu bodoh untuk memahami semuanya," jelas Maya.
"Benarkah itu?"
Maya mengangguk.
"Kau mengerti apa yang aku lakukan?"
Maya mengangguk lagi.
"Awalnya tidak tapi akhirnya saya mengerti,"
Tangan Masumi tiba-tiba terulur lalu menyingkirkan rambut yang terbang tertiup angin di wajah Maya.
"Ternyata kau memang sudah dewasa ya," puji Masumi.
Maya tersenyum malu-malu.
"Aku tidak tahu kenapa takdir begitu kejam padaku,"
"Takdir? Kenapa anda menyalahkan takdir?"
"Aku tidak pernah jatuh cinta pada siapapun. Hanya padamu, sejak pertama melihatmu. Entah berapa lama waktu berlalu sampai akhirnya aku sadar aku sudah terperangkap dalam pesonamu. Aku selalu berpikir kau membenciku, ya kau layak membenciku setelah semua hal yang ku lakukan padamu. Terlebih pada ibumu," Masumi tersenyum pahit, berpaling dari Maya yang masih menatapnya sendu, matanya memandang matahari yang hampir tenggelam.
Masumi mendesah pelan,
"Dan setelah sekian lama aku memendam semua perasaan ini, aku bahagia saat
di Astoria akhirnya aku tahu bahwa kau juga memiliki perasaan yang sama
terhadapku. Hari itu aku bertekad untuk memperjuangkanmu dengan semua
kekuatanku. Aku ingin menjadikanmu milikku. Tapi ternyata garis takdir kita berkata
lain. Aku tidak mau melibatkanmu dalam keadaan rumit ini. Maafkan aku,"
Mata Masumi kembali menatap Maya.
"Maafkan saya juga yang selama ini selalu salah paham pada anda, tidak sopan bahkan berteriak-teriak pada anda,"
Masumi menggeleng dan mengusap air mata Maya yang sekarang kembali menetes dengan jarinya.
"Ku mohon jangan menangis," pinta Masumi.
"Bisakah anda memeluk saya Pak Masumi?"
Masumi terkesiap tapi sedetik kemudian dia menegakkan duduknya dan merentangkan tangannya. Maya segera menjatuhkan dirinya dalam pelukan Masumi.
"Mataharinya terbenam," bisik Masumi.
"Iya," sahut Maya lirih.
Maya meringkuk dalam pelukan Masumi, keduanya melihat matahari yang akhirnya tenggelam di telan lautan. Cahaya berpendar orange di batas garis cakrawala. Keduanya terdiam menikmati momen itu, sampai akhirnya cahaya benar-benar hilang dan bulan bertahta di singgasananya menerangi malam.
"Aku mencintaimu Maya,"
"Saya juga mencintai anda Pak Masumi,"
Keduanya saling berbisik.
***
"Maafkan saya juga yang selama ini selalu salah paham pada anda, tidak sopan bahkan berteriak-teriak pada anda,"
Masumi menggeleng dan mengusap air mata Maya yang sekarang kembali menetes dengan jarinya.
"Ku mohon jangan menangis," pinta Masumi.
"Bisakah anda memeluk saya Pak Masumi?"
Masumi terkesiap tapi sedetik kemudian dia menegakkan duduknya dan merentangkan tangannya. Maya segera menjatuhkan dirinya dalam pelukan Masumi.
"Mataharinya terbenam," bisik Masumi.
"Iya," sahut Maya lirih.
Maya meringkuk dalam pelukan Masumi, keduanya melihat matahari yang akhirnya tenggelam di telan lautan. Cahaya berpendar orange di batas garis cakrawala. Keduanya terdiam menikmati momen itu, sampai akhirnya cahaya benar-benar hilang dan bulan bertahta di singgasananya menerangi malam.
"Aku mencintaimu Maya,"
"Saya juga mencintai anda Pak Masumi,"
Keduanya saling berbisik.
***
Masumi dan Maya tertawa di ruang makan karena akhirnya mereka
memakan bekal piknik dirumah. Angin malam yang kencang membuat Maya kedinginan
dan Masumi memutuskan untuk kembali ke vila.
"Enak," kata Maya senang saat menggigit tempuranya. "Anda tidak makan Pak Masumi?" Tanya Maya kemudian ketika melihat Masumi hanya memandangnya dan tidak menyentuh makan malamnya.
"Aku suka melihatmu makan, kau memang selalu bersemangat ya,"
Maya cemberut, "Anda mau mengejek saya?"
Masumi tertawa, "Tidak Maya sayang, aku memang suka melihatmu bersemangat,"
"Eh?!" Maya tersipu malu dan menunduk dalam.
"Kenapa?" Tanya Masumi heran melihat Maya tiba-tiba tersipu.
"Ngg itu...anda...,"
"Aku kenapa?"
"Anda memanggil saya....sa..yang?" Maya masih menunduk.
Masumi mengulum senyum, dia juga tidak sadar saat mengatakannya.
"Kau tidak suka?"
"Hhhmm, ti, tidak,"
"Maaf kalau kau tidak suka,"
"Bu, bukan begitu. Maksud saya tidak suka, eh, bukan saya suka...saya...aduh...apa sih," Maya kebingungan sendiri.
Masumi tersenyum dan memiringkan wajahnya, mencari mata Maya.
"Jadi kau suka aku memanggilmu sayang?" Tanya Masumi saat mata mereka kembali berpaut.
Maya mengangguk malu.
"Kalau begitu kau juga harus berhenti bicara formal padaku dan berhenti memanggilku Pak."
"Lalu saya harus memanggil anda apa?"
"Panggil namaku,"
"Nama anda?"
"Apa kau lupa namaku?"
Maya terkikik, lalu menggeleng.
"Jadi saya...memanggil anda...hhmm, Masumi?" Maya berbisik di ujung kalimatnya membuat Masumi kembali tertawa karena wajah Maya kembali semerah kepiting rebus.
"Ya sayang,"
Maya menggigit tipis bibirnya untuk menahan senyum konyolnya karena panggilan Masumi. Hati Maya berbunga, ya meski mungkin hanya malam ini dia akan mendengar Masumi memanggilnya seperti itu tapi dia senang.
"Selesaikan makanmu, masih ada yang ingin aku perlihatkan padamu." Perintah Masumi.
Maya mengangguk dan kembali menekuni makanannya, nafsu makannya sudah kembali.
***
"Enak," kata Maya senang saat menggigit tempuranya. "Anda tidak makan Pak Masumi?" Tanya Maya kemudian ketika melihat Masumi hanya memandangnya dan tidak menyentuh makan malamnya.
"Aku suka melihatmu makan, kau memang selalu bersemangat ya,"
Maya cemberut, "Anda mau mengejek saya?"
Masumi tertawa, "Tidak Maya sayang, aku memang suka melihatmu bersemangat,"
"Eh?!" Maya tersipu malu dan menunduk dalam.
"Kenapa?" Tanya Masumi heran melihat Maya tiba-tiba tersipu.
"Ngg itu...anda...,"
"Aku kenapa?"
"Anda memanggil saya....sa..yang?" Maya masih menunduk.
Masumi mengulum senyum, dia juga tidak sadar saat mengatakannya.
"Kau tidak suka?"
"Hhhmm, ti, tidak,"
"Maaf kalau kau tidak suka,"
"Bu, bukan begitu. Maksud saya tidak suka, eh, bukan saya suka...saya...aduh...apa sih," Maya kebingungan sendiri.
Masumi tersenyum dan memiringkan wajahnya, mencari mata Maya.
"Jadi kau suka aku memanggilmu sayang?" Tanya Masumi saat mata mereka kembali berpaut.
Maya mengangguk malu.
"Kalau begitu kau juga harus berhenti bicara formal padaku dan berhenti memanggilku Pak."
"Lalu saya harus memanggil anda apa?"
"Panggil namaku,"
"Nama anda?"
"Apa kau lupa namaku?"
Maya terkikik, lalu menggeleng.
"Jadi saya...memanggil anda...hhmm, Masumi?" Maya berbisik di ujung kalimatnya membuat Masumi kembali tertawa karena wajah Maya kembali semerah kepiting rebus.
"Ya sayang,"
Maya menggigit tipis bibirnya untuk menahan senyum konyolnya karena panggilan Masumi. Hati Maya berbunga, ya meski mungkin hanya malam ini dia akan mendengar Masumi memanggilnya seperti itu tapi dia senang.
"Selesaikan makanmu, masih ada yang ingin aku perlihatkan padamu." Perintah Masumi.
Maya mengangguk dan kembali menekuni makanannya, nafsu makannya sudah kembali.
***
"Bintangnya mulai terlihat," Maya menunjuk langit
dengan mata berbinar. Dia dan Masumi sedang duduk di balkon menikmati lautan
bintang di angkasa.
"Ini baru pukul delapan, semakin malam akan semakin banyak," kata Masumi, matanya juga memandang luasnya langit.
Angin berhembus dan Masumi melihat Maya bergidik disebelahnya. Masumi beranjak dan masuk ke dalam, tidak lama kemudian dia kembali membawa jaket rajut dari wol dan mengenakannya pada Maya.
"Aku tidak mau kau sakit," katanya lembut.
"Terima kasih," kata Maya.
"Kemarilah," pinta Masumi sambil menepuk bagian depan kursinya.
Maya beralih dari kursinya dan duduk di depan Masumi, diantara dua kakinya. Kedua lengan Masumi langsung mengurung Maya.
"Aku pernah bermimpi kita melihat bintang bersama seperti ini. Dan aku bahagia karena akhirnya mimpiku menjadi kenyataan," bisik Masumi. Meski hanya semalam, batinnya kembali tersayat.
"Anda...ngg...kau memimpikanku?" Maya memiringkan wajahnya kebelakang, melihat wajah Masumi.
"Setiap malam,"
"Setiap malam?"
Masumi mengangguk.
"Apa kau pernah memimpikanku?" Masumi balik bertanya.
"Hhmm, ya, beberapa kali," Maya sedikit malu mengatakannya.
"Kau memimpikanku seperti apa?" Tanya Masumi senang.
Maya terkikik.
"Apa yang lucu? Jangan-jangan kau memimpikanku yang tidak-tidak?" Goda Masumi.
"Ah! Tentu saja tidak. Aku...aku bermimpi...Pak..uhmm, kau dan aku jalan-jalan ke Disneyland."
"Disneyland?" Masumi tertawa, gadisnya memang begitu polos.
"Kenapa tertawa?" Maya tersinggung Masumi menertawakan mimpinya.
"Tidak, hanya saja membayangkan aku pergi ke Disneyland bersamamu...," Masumi kembali terkikik, "Bisa-bisa aku dikira paman yang mengasuh keponakannya,"
Maya memiringkan tubuhnya dan memukul lengan Masumi, "Aku kan tidak sekecil itu," gerutunya.
"Iya, iya, kau sudah makin dewasa sekarang. Daripada saat pertemuan pertama kita." Masumi terkikik lagi.
Maya kembali memunggungi Masumi dan melipat tangannya kesal.
"Kau selalu saja menganggapku anak kecil,"
"Kau kan memang kecil dan menggemaskan," Masumi melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Maya dan menarik gadisnya merapat.
"Menggemaskan? Aku bukan anak kucing," sanggah Maya kesal.
"Aku kan tidak bilang kau anak kucing," Masumi tersenyum geli di bahu Maya.
"Tapi kau bilang aku menggemaskan,"
"Kau memang menggemaskan dan membuatku ingin terus memelukmu seperti ini," kata Masumi.
Maya menunduk melihat tangan Masumi yang terkait diperutnya, wajahnya memerah. Dia baru menyadari kalau Masumi memeluknya begitu erat.
"Kau kenapa?" Tanya Masumi saat Maya hanya terdiam.
"Ngg...kau...memeluk pinggangku," katanya lirih.
"Sejak tadi aku melakukannya dan kau baru menyadarinya. Ternyata jika sedang kesal kau benar-benar tidak bisa fokus ya," Masumi tertawa tapi tidak melepaskan tangannya.
"Apa kau selalu seperti ini jika bersama dengan...ngg...wanita lain?" Maya menelan ludahnya, mulutnya tidak sanggup mengucapkan nama orang ke tiga dalam hubungan mereka.
Pelukan Masumi semakin mengerat.
"Maaf," gumam Maya lirih, menyadari Masumi tidak menyukai pertanyaannya. Mereka sudah sepakat tadi untuk tidak membicarakan hal lain selain tentang mereka berdua.
"Tidak Maya, aku tidak pernah seperti ini selain denganmu. Tidak akan pernah,"
Maya menghela napas lega, punggungnya bersandar lebih santai di dada Masumi.
Keduanya terdiam sekarang, kembali memandang langit. Sejak tadi keduanya seperti itu, berbicara lalu diam, berbicara lagi lalu terdiam lagi.
"Kau akan datang pada pentas percobaan Bidadari Merahku kan?" Tanya Maya tiba-tiba ketika dirinya sudah lelah untuk diam.
"Aku pasti datang," Masumi bicara dengan nada setengah berbisik didekat telinga Maya.
"Aku kadang tidak percaya akhirnya bisa memerankan Bidadari Merah. Jika bukan karenamu aku pasti tidak akan pernah sampai pada titik ini," pandangan Maya menerawang jauh ke angkasa.
"Tidak Maya, itu semua karena usaha dan kerja kerasmu. Kau memang luar biasa. Bidadari Merah pasti akan menjadi milikmu." Masumi meyakinkan.
Maya tersenyum, "Kau selalu percaya padaku,"
"Aku akan selalu percaya padamu, sayang,"
Maya merasa terbang ke angkasa saat Masumi begitu lembut bicara padanya.
Maya dan Masumi seperti enggan beranjak dari tempat mereka. Keduanya berbicara banyak hal, sebentar saling menggoda lalu tertawa, sebentar kemudian terdiam lalu kembali bercerita. Dan saat malam semakin larut Maya sudah tertidur dalam pelukan Masumi.
Dengan hati-hati Masumi mengangkat tubuh Maya dan memindahkannya ke kamar. Maya tidak juga bangun saat Masumi membaringkannya di tempat tidur.
Termenung, Masumi mengamati wajah tenang Maya yang terlelap. Tanpa sadar tangannya membelai kepala gadisnya.
"Aku tidak pernah menyangka bahwa kau memiliki perasaan yang sama denganku. Maafkan aku Maya, andai saja aku punya keberanian lebih untuk melangkah. Andai hanya nyawaku yang menjadi taruhannya," Masumi mendesah pelan, "Tapi sekarang nyawa Shiori dan dirimu. Aku tidak mau melibatkanmu dalam urusan rumit ini. Aku sudah terlalu banyak menumpahkan air matamu. Maafkan aku sayang. Aku mencintaimu, hanya kau yang ada dihatiku. Sekarang, besok dan selamanya,"
"Ini baru pukul delapan, semakin malam akan semakin banyak," kata Masumi, matanya juga memandang luasnya langit.
Angin berhembus dan Masumi melihat Maya bergidik disebelahnya. Masumi beranjak dan masuk ke dalam, tidak lama kemudian dia kembali membawa jaket rajut dari wol dan mengenakannya pada Maya.
"Aku tidak mau kau sakit," katanya lembut.
"Terima kasih," kata Maya.
"Kemarilah," pinta Masumi sambil menepuk bagian depan kursinya.
Maya beralih dari kursinya dan duduk di depan Masumi, diantara dua kakinya. Kedua lengan Masumi langsung mengurung Maya.
"Aku pernah bermimpi kita melihat bintang bersama seperti ini. Dan aku bahagia karena akhirnya mimpiku menjadi kenyataan," bisik Masumi. Meski hanya semalam, batinnya kembali tersayat.
"Anda...ngg...kau memimpikanku?" Maya memiringkan wajahnya kebelakang, melihat wajah Masumi.
"Setiap malam,"
"Setiap malam?"
Masumi mengangguk.
"Apa kau pernah memimpikanku?" Masumi balik bertanya.
"Hhmm, ya, beberapa kali," Maya sedikit malu mengatakannya.
"Kau memimpikanku seperti apa?" Tanya Masumi senang.
Maya terkikik.
"Apa yang lucu? Jangan-jangan kau memimpikanku yang tidak-tidak?" Goda Masumi.
"Ah! Tentu saja tidak. Aku...aku bermimpi...Pak..uhmm, kau dan aku jalan-jalan ke Disneyland."
"Disneyland?" Masumi tertawa, gadisnya memang begitu polos.
"Kenapa tertawa?" Maya tersinggung Masumi menertawakan mimpinya.
"Tidak, hanya saja membayangkan aku pergi ke Disneyland bersamamu...," Masumi kembali terkikik, "Bisa-bisa aku dikira paman yang mengasuh keponakannya,"
Maya memiringkan tubuhnya dan memukul lengan Masumi, "Aku kan tidak sekecil itu," gerutunya.
"Iya, iya, kau sudah makin dewasa sekarang. Daripada saat pertemuan pertama kita." Masumi terkikik lagi.
Maya kembali memunggungi Masumi dan melipat tangannya kesal.
"Kau selalu saja menganggapku anak kecil,"
"Kau kan memang kecil dan menggemaskan," Masumi melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Maya dan menarik gadisnya merapat.
"Menggemaskan? Aku bukan anak kucing," sanggah Maya kesal.
"Aku kan tidak bilang kau anak kucing," Masumi tersenyum geli di bahu Maya.
"Tapi kau bilang aku menggemaskan,"
"Kau memang menggemaskan dan membuatku ingin terus memelukmu seperti ini," kata Masumi.
Maya menunduk melihat tangan Masumi yang terkait diperutnya, wajahnya memerah. Dia baru menyadari kalau Masumi memeluknya begitu erat.
"Kau kenapa?" Tanya Masumi saat Maya hanya terdiam.
"Ngg...kau...memeluk pinggangku," katanya lirih.
"Sejak tadi aku melakukannya dan kau baru menyadarinya. Ternyata jika sedang kesal kau benar-benar tidak bisa fokus ya," Masumi tertawa tapi tidak melepaskan tangannya.
"Apa kau selalu seperti ini jika bersama dengan...ngg...wanita lain?" Maya menelan ludahnya, mulutnya tidak sanggup mengucapkan nama orang ke tiga dalam hubungan mereka.
Pelukan Masumi semakin mengerat.
"Maaf," gumam Maya lirih, menyadari Masumi tidak menyukai pertanyaannya. Mereka sudah sepakat tadi untuk tidak membicarakan hal lain selain tentang mereka berdua.
"Tidak Maya, aku tidak pernah seperti ini selain denganmu. Tidak akan pernah,"
Maya menghela napas lega, punggungnya bersandar lebih santai di dada Masumi.
Keduanya terdiam sekarang, kembali memandang langit. Sejak tadi keduanya seperti itu, berbicara lalu diam, berbicara lagi lalu terdiam lagi.
"Kau akan datang pada pentas percobaan Bidadari Merahku kan?" Tanya Maya tiba-tiba ketika dirinya sudah lelah untuk diam.
"Aku pasti datang," Masumi bicara dengan nada setengah berbisik didekat telinga Maya.
"Aku kadang tidak percaya akhirnya bisa memerankan Bidadari Merah. Jika bukan karenamu aku pasti tidak akan pernah sampai pada titik ini," pandangan Maya menerawang jauh ke angkasa.
"Tidak Maya, itu semua karena usaha dan kerja kerasmu. Kau memang luar biasa. Bidadari Merah pasti akan menjadi milikmu." Masumi meyakinkan.
Maya tersenyum, "Kau selalu percaya padaku,"
"Aku akan selalu percaya padamu, sayang,"
Maya merasa terbang ke angkasa saat Masumi begitu lembut bicara padanya.
Maya dan Masumi seperti enggan beranjak dari tempat mereka. Keduanya berbicara banyak hal, sebentar saling menggoda lalu tertawa, sebentar kemudian terdiam lalu kembali bercerita. Dan saat malam semakin larut Maya sudah tertidur dalam pelukan Masumi.
Dengan hati-hati Masumi mengangkat tubuh Maya dan memindahkannya ke kamar. Maya tidak juga bangun saat Masumi membaringkannya di tempat tidur.
Termenung, Masumi mengamati wajah tenang Maya yang terlelap. Tanpa sadar tangannya membelai kepala gadisnya.
"Aku tidak pernah menyangka bahwa kau memiliki perasaan yang sama denganku. Maafkan aku Maya, andai saja aku punya keberanian lebih untuk melangkah. Andai hanya nyawaku yang menjadi taruhannya," Masumi mendesah pelan, "Tapi sekarang nyawa Shiori dan dirimu. Aku tidak mau melibatkanmu dalam urusan rumit ini. Aku sudah terlalu banyak menumpahkan air matamu. Maafkan aku sayang. Aku mencintaimu, hanya kau yang ada dihatiku. Sekarang, besok dan selamanya,"
Masumi mengecup kening Maya. "Tidurlah gadisku, besok mimpi indah kita
akan berakhir,"
Maya mendengar suara pintu tertutup, diapun membuka matanya. Tangannya menyentuh kening yang tadi dikecup oleh Masumi. Air matanya langsung meleleh.
Tidurlah gadisku, besok mimpi indah kita akan berakhir Ya, kebersamaan indah malam ini hanya akan menjadi mimpi baginya. Kenangan cintanya dan Masumi.
Maya tidak bisa tidur lagi dia masih terisak diatas bantalnya. Dadanya sesak, mengingat bahwa besok semuanya akan berakhir.
Pentas percobaan tinggal dua hari lagi dan setelah pengumuman pemenang hak pementasan Masumi akan menikah dengan Shiori. Pria yang dicintainya akan menjadi milik orang lain.
Maafkan aku sayang. Aku mencintaimu, hanya kau yang ada dihatiku. Sekarang, besok dan selamanya
Perkataan Masumi kembali terngiang ditelinganya. Meski Maya tahu hati Masumi hanya miliknya tapi tetap saja, membayangkan pria yang dicintai akan bersanding dengan wanita lain membuatnya begitu sakit.
Maya membenamkan wajahnya ke bantal untuk meredam suara tangisnya. Dia tidak mau Masumi sampai mendengar isakannya, itu hanya akan semakin membebani Masumi.
Aku mencintaimu....sangat mencintaimu, Masumi
Air mata Maya semakin deras mengalir ketika dia mengungkapkan perasaannya. Dalam hati Maya menyebut nama Masumi berkali-kali seperti sebuah rangkaian doa. Berharap nama itu bisa menyembuhkan luka hatinya.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Maya terkejut. Mata Masumi memandang sendu pada gadisnya yang tampak kacau berurai air mata. Dengan langkah panjang Masumi menghampiri Maya dan dengan satu gerakan cepat Masumi mengangkat tubuh Maya dan menempatkannya di atas pangkuannya. Memeluknya erat. Sisi wajah Maya bersandar didada Masumi.
"Jangan menangis," bisik Masumi.
Isakan Maya masih tersisa.
"Ternyata rasanya sakit sekali....hanya membayangkan kau akan menjadi milik....wanita lain....dadaku langsung sesak. Aku tidak tahu apa aku sanggup,"
"Maya...,"
"Masumi...maaf...aku tidak mau membebanimu dengan kelemahanku...hanya saja...hanya saja...aku...aku tidak tahu harus bagaimana,"
"Maafkan aku Maya, maafkan aku,"
Hanya itu yang terucap dari bibir Masumi.
***
Maya mendengar suara pintu tertutup, diapun membuka matanya. Tangannya menyentuh kening yang tadi dikecup oleh Masumi. Air matanya langsung meleleh.
Tidurlah gadisku, besok mimpi indah kita akan berakhir Ya, kebersamaan indah malam ini hanya akan menjadi mimpi baginya. Kenangan cintanya dan Masumi.
Maya tidak bisa tidur lagi dia masih terisak diatas bantalnya. Dadanya sesak, mengingat bahwa besok semuanya akan berakhir.
Pentas percobaan tinggal dua hari lagi dan setelah pengumuman pemenang hak pementasan Masumi akan menikah dengan Shiori. Pria yang dicintainya akan menjadi milik orang lain.
Maafkan aku sayang. Aku mencintaimu, hanya kau yang ada dihatiku. Sekarang, besok dan selamanya
Perkataan Masumi kembali terngiang ditelinganya. Meski Maya tahu hati Masumi hanya miliknya tapi tetap saja, membayangkan pria yang dicintai akan bersanding dengan wanita lain membuatnya begitu sakit.
Maya membenamkan wajahnya ke bantal untuk meredam suara tangisnya. Dia tidak mau Masumi sampai mendengar isakannya, itu hanya akan semakin membebani Masumi.
Aku mencintaimu....sangat mencintaimu, Masumi
Air mata Maya semakin deras mengalir ketika dia mengungkapkan perasaannya. Dalam hati Maya menyebut nama Masumi berkali-kali seperti sebuah rangkaian doa. Berharap nama itu bisa menyembuhkan luka hatinya.
Tiba-tiba pintu terbuka dan Maya terkejut. Mata Masumi memandang sendu pada gadisnya yang tampak kacau berurai air mata. Dengan langkah panjang Masumi menghampiri Maya dan dengan satu gerakan cepat Masumi mengangkat tubuh Maya dan menempatkannya di atas pangkuannya. Memeluknya erat. Sisi wajah Maya bersandar didada Masumi.
"Jangan menangis," bisik Masumi.
Isakan Maya masih tersisa.
"Ternyata rasanya sakit sekali....hanya membayangkan kau akan menjadi milik....wanita lain....dadaku langsung sesak. Aku tidak tahu apa aku sanggup,"
"Maya...,"
"Masumi...maaf...aku tidak mau membebanimu dengan kelemahanku...hanya saja...hanya saja...aku...aku tidak tahu harus bagaimana,"
"Maafkan aku Maya, maafkan aku,"
Hanya itu yang terucap dari bibir Masumi.
***
Matahari pagi bersinar mengganti malam yang gelap dan panjang
bagi Maya dan Masumi.
Mengusap lembut wajah gadis yang terbaring di atas lengannya, Masumi juga merasakan kehancuran yang sama. Mata sembab Maya membuktikan betapa sedihnya gadis itu sekarang dan Masumi kembali merasa terhakimi karena menjadi penyebab itu semua. Dalam hati Masumi mengutuki dirinya sendiri, kenapa semua justru berakhir seperti ini? Saat dia dan gadisnya sudah menyatakan perasaan masing-masing? Saat dua hati mereka bersatu.
Masumi masih menatap wajah Maya yang tampak kuyu.
Tuhan, jika kau memang ada maka aku mohon persatukanlah kami, Masumi merapal doanya dalam hati. Dia masih ingin berharap meski dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa.
Tapi apakah mungkin? Akankah semua bisa menjadi lebih baik? Adakah jalan keluar dari semua ini? Keraguan itu kembali merayapi hati Masumi.
"Ungg....," Maya terbangun dan Masumi menghentikan pikirannya yang melayang.
"Selamat pagi sayang," sapa Masumi lembut.
Maya mengerjap beberapa kali. Bingung. Tapi kemudian dia tersenyum ketika teringat dirinya sudah menangis semalamam dalam pelukan kekasihnya.
"Selamat pagi sayang," sapa Maya malu-malu, ini pertama kalinya dia memanggil Masumi dengan sebutan sayang.
Masumi mengusap wajah Maya dan tersenyum.
"Ngg, apa kau menemaniku semalaman?" Maya bertanya juga meski sudah tahu jawabannya.
"Kau pasti akan menangis lagi kalau sendirian," jawab Masumi.
Maya tersenyum senang, menikmati perhatian Masumi padanya yang hanya tinggal.....
Wajah Maya berubah sendu, sebentar lagi dia akan berpisah dengan Masumi.
"Ada apa?"
"Sebentar lagi, kita...,"
"Ssttt," Masumi kembali mendekap Maya.
Maya terdiam dan keduanya kembali tidak bisa bicara.
***
"Wah, lezat," kata Maya seraya menyantap sarapannya. Masumi menyiapkan roti bakar, telur dan susu untuk Maya. "Terima kasih," ucap Maya lagi, sedikit malu karena Masumi yang menyiapkan sarapan untuknya.
"Kopimu juga enak, terima kasih,"
Maya meringis. Diapun berdiri lalu membereskan piring kotor mereka, membersihkannya. Masumi masih duduk di kursinya, mengamati Maya yang sibuk mencuci piring.
"Selesai," kata Maya girang. Berbalik dan dia melihat Masumi mengamatinya.
"Apa apa?" Tanyanya.
Masumi menggeleng, "Hanya melihatmu,"
"Melihatku?"
Masumi mengangguk, "Tujuh tahun aku mengenalmu dan ini adalah waktu terlama yang kita habiskan berdua tanpa bertengkar,"
Maya tersipu malu, "Maaf," gumamnya, masih berdiri bersandar pada kitchen set.
"Maaf? Untuk apa?"
"Karena selalu bertengkar denganmu,"
Masumi tertawa.
"Tapi sepertinya kau suka bertengkar denganku," Maya sedikit cemberut.
"Karena itu satu-satunya cara aku bisa berkomunikasi denganmu,"
"Eh?!"
"Benarkan?"
Maya jadi teringat bagaimana dia dulu menganggap Masumi sebagai pengganggu. Mereka memang tidak pernah berkomunikasi dengan baik dan itu karena dirinya memang tidak pernah mau bersikap sopan pada Masumi.
"Hei, sudah lupakan." Kata Masumi saat melihat Maya kembali sendu. Beranjak dari kursinya, Masumi mendekat pada Maya yang masih bergeming di tempatnya.
"Aku gadis yang menyebalkan ya?" Maya menengadah, melihat Masumi yang lebih tinggi berdiri didepannya.
"Tidak, kau gadis yang menyenangkan,"
"Benarkah?"
Masumi tersenyum, "Aku selalu senang berada didekatmu,"
"Meski aku selalu kasar padamu?"
"Aku pantas kau perlakukan seperti itu,"
"Tidak, kau...," Maya berhenti saat Masumi menempelkan telunjuk di bibirnya.
"Bibir mungil ini memang selalu bersemangat kan. Aku suka," kata Masumi dan jarinya menyusuri garis bibir Maya, ibu jarinya mengusap lembut.
Maya terpaku, sentuhan jari Masumi dibibirnya membuatnya membeku. Keduanya saling menatap.
Menarik dagu Maya, Masumi melandaikan tubuhnya dan sebuah kecupan berakhir dibibir mungil merah muda.
Mata Maya terpejam. Sekali, dua kali, Masumi kembali mengecup bibir Maya, namun hasrat dalam diri Masumi berkata lain saat Maya tidak menolaknya.
Masumi mencium Maya lebih dalam lagi, mengulum lembut bibir mungil itu. Maya merasakan sesuatu yang lain bergerak dalam dirinya saat Masumi menciumnya semakin dalam. Maya membalasnya, tanpa sadar tangannya mencengkram lengan Masumi.
"Maya...," desah Masumi saat kedua bibir mereka terpisah.
Maya membuka matanya, terengah.
"Maaf," gumam Masumi dibibir Maya.
Maya menggeleng, dia tahu tidak ada yang patut disalahkan atas apa yang baru saja terjadi.
Mayapun melingkarkan tangannya ketubuh gagah Masumi. Memeluknya.
Teett ! Teett!
Bel pintu berbunyi, mengakhiri drama diam keduanya.
"Itu pasti Hijiri," gumam Masumi saat merenggangkan pelukannya. Masumi hendak berbalik namun Maya tidak mau melepaskan pelukannya.
"Ada apa?"
"Cium aku, sekali lagi," pinta Maya lirih, dia mengabaikan wajahnya yang sekarang merona, dia hanya belum rela semuanya berakhir begitu saja.
Masumi terdiam memandang gadisnya, matanya kembali berkaca-kaca.
"Kumohon," pinta Maya lagi dan setetes air mata jatuh disudut matanya.
Masumi mengangkat tubuh Maya dan mendudukannya di atas kitchen set, wajah mereka berhadapan.
Maya menyandarkan dahinya ke dahi Masumi. Kedua hidung mereka bersentuhan.
"Aku mencintaimu," bisik Maya seraya memejamkan matanya erat dan kembali air matanya terurai. Kedua tangan Maya masih memeluk Masumi, mencengkram belakang kemejanya.
Masumi tidak lagi peduli Hijiri sudah berdiri di depan pintu. Kerapuhan Maya membuatnya juga tidak rela untuk meninggalkannya begitu saja.
Masumi melingkarkan tangannya di pinggul Maya sementara tangannya yang lain menyelinap diantara rambut lebat Maya, mencengkram lembut tengkuk gadis itu. Memiringkan kepalanya, Masumi kembali memagut bibir gadisnya. Maya terisak saat cumbuan keduanya semakin dalam. Lidah mereka saling mencari dan membutuhkan. Rasa sayang, sakit hati, ketidak relaan, semua emosi itu bercampur menjadi satu.
"Maya-ku...,"
"Masumi-ku...,"
Keduanya mendesahkan nama satu sama lain saat sejenak bibir mereka terpisah untuk bernapas. Namun itu tidak lama, keduanya kembali tersesat ketika kedua bibir mereka kembali saling memuja.
"Aku mencintaimu sayang, hanya kau," Masumi kembali mendeklarasikan cintanya. Meski sebenarnya semua itu tidak akan ada gunanya. Mereka akan berpisah. Tapi dia hanya ingin Maya tahu kalau hatinya hanya milik Maya.
"Terima kasih," gumam Maya sendu.
Setelah diam terlalu lama keduanya sadar bahwa Hijiri sudah menunggu mereka.
"Sudah waktunya," bisik Masumi.
Maya mengangguk.
***
Mengusap lembut wajah gadis yang terbaring di atas lengannya, Masumi juga merasakan kehancuran yang sama. Mata sembab Maya membuktikan betapa sedihnya gadis itu sekarang dan Masumi kembali merasa terhakimi karena menjadi penyebab itu semua. Dalam hati Masumi mengutuki dirinya sendiri, kenapa semua justru berakhir seperti ini? Saat dia dan gadisnya sudah menyatakan perasaan masing-masing? Saat dua hati mereka bersatu.
Masumi masih menatap wajah Maya yang tampak kuyu.
Tuhan, jika kau memang ada maka aku mohon persatukanlah kami, Masumi merapal doanya dalam hati. Dia masih ingin berharap meski dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa.
Tapi apakah mungkin? Akankah semua bisa menjadi lebih baik? Adakah jalan keluar dari semua ini? Keraguan itu kembali merayapi hati Masumi.
"Ungg....," Maya terbangun dan Masumi menghentikan pikirannya yang melayang.
"Selamat pagi sayang," sapa Masumi lembut.
Maya mengerjap beberapa kali. Bingung. Tapi kemudian dia tersenyum ketika teringat dirinya sudah menangis semalamam dalam pelukan kekasihnya.
"Selamat pagi sayang," sapa Maya malu-malu, ini pertama kalinya dia memanggil Masumi dengan sebutan sayang.
Masumi mengusap wajah Maya dan tersenyum.
"Ngg, apa kau menemaniku semalaman?" Maya bertanya juga meski sudah tahu jawabannya.
"Kau pasti akan menangis lagi kalau sendirian," jawab Masumi.
Maya tersenyum senang, menikmati perhatian Masumi padanya yang hanya tinggal.....
Wajah Maya berubah sendu, sebentar lagi dia akan berpisah dengan Masumi.
"Ada apa?"
"Sebentar lagi, kita...,"
"Ssttt," Masumi kembali mendekap Maya.
Maya terdiam dan keduanya kembali tidak bisa bicara.
***
"Wah, lezat," kata Maya seraya menyantap sarapannya. Masumi menyiapkan roti bakar, telur dan susu untuk Maya. "Terima kasih," ucap Maya lagi, sedikit malu karena Masumi yang menyiapkan sarapan untuknya.
"Kopimu juga enak, terima kasih,"
Maya meringis. Diapun berdiri lalu membereskan piring kotor mereka, membersihkannya. Masumi masih duduk di kursinya, mengamati Maya yang sibuk mencuci piring.
"Selesai," kata Maya girang. Berbalik dan dia melihat Masumi mengamatinya.
"Apa apa?" Tanyanya.
Masumi menggeleng, "Hanya melihatmu,"
"Melihatku?"
Masumi mengangguk, "Tujuh tahun aku mengenalmu dan ini adalah waktu terlama yang kita habiskan berdua tanpa bertengkar,"
Maya tersipu malu, "Maaf," gumamnya, masih berdiri bersandar pada kitchen set.
"Maaf? Untuk apa?"
"Karena selalu bertengkar denganmu,"
Masumi tertawa.
"Tapi sepertinya kau suka bertengkar denganku," Maya sedikit cemberut.
"Karena itu satu-satunya cara aku bisa berkomunikasi denganmu,"
"Eh?!"
"Benarkan?"
Maya jadi teringat bagaimana dia dulu menganggap Masumi sebagai pengganggu. Mereka memang tidak pernah berkomunikasi dengan baik dan itu karena dirinya memang tidak pernah mau bersikap sopan pada Masumi.
"Hei, sudah lupakan." Kata Masumi saat melihat Maya kembali sendu. Beranjak dari kursinya, Masumi mendekat pada Maya yang masih bergeming di tempatnya.
"Aku gadis yang menyebalkan ya?" Maya menengadah, melihat Masumi yang lebih tinggi berdiri didepannya.
"Tidak, kau gadis yang menyenangkan,"
"Benarkah?"
Masumi tersenyum, "Aku selalu senang berada didekatmu,"
"Meski aku selalu kasar padamu?"
"Aku pantas kau perlakukan seperti itu,"
"Tidak, kau...," Maya berhenti saat Masumi menempelkan telunjuk di bibirnya.
"Bibir mungil ini memang selalu bersemangat kan. Aku suka," kata Masumi dan jarinya menyusuri garis bibir Maya, ibu jarinya mengusap lembut.
Maya terpaku, sentuhan jari Masumi dibibirnya membuatnya membeku. Keduanya saling menatap.
Menarik dagu Maya, Masumi melandaikan tubuhnya dan sebuah kecupan berakhir dibibir mungil merah muda.
Mata Maya terpejam. Sekali, dua kali, Masumi kembali mengecup bibir Maya, namun hasrat dalam diri Masumi berkata lain saat Maya tidak menolaknya.
Masumi mencium Maya lebih dalam lagi, mengulum lembut bibir mungil itu. Maya merasakan sesuatu yang lain bergerak dalam dirinya saat Masumi menciumnya semakin dalam. Maya membalasnya, tanpa sadar tangannya mencengkram lengan Masumi.
"Maya...," desah Masumi saat kedua bibir mereka terpisah.
Maya membuka matanya, terengah.
"Maaf," gumam Masumi dibibir Maya.
Maya menggeleng, dia tahu tidak ada yang patut disalahkan atas apa yang baru saja terjadi.
Mayapun melingkarkan tangannya ketubuh gagah Masumi. Memeluknya.
Teett ! Teett!
Bel pintu berbunyi, mengakhiri drama diam keduanya.
"Itu pasti Hijiri," gumam Masumi saat merenggangkan pelukannya. Masumi hendak berbalik namun Maya tidak mau melepaskan pelukannya.
"Ada apa?"
"Cium aku, sekali lagi," pinta Maya lirih, dia mengabaikan wajahnya yang sekarang merona, dia hanya belum rela semuanya berakhir begitu saja.
Masumi terdiam memandang gadisnya, matanya kembali berkaca-kaca.
"Kumohon," pinta Maya lagi dan setetes air mata jatuh disudut matanya.
Masumi mengangkat tubuh Maya dan mendudukannya di atas kitchen set, wajah mereka berhadapan.
Maya menyandarkan dahinya ke dahi Masumi. Kedua hidung mereka bersentuhan.
"Aku mencintaimu," bisik Maya seraya memejamkan matanya erat dan kembali air matanya terurai. Kedua tangan Maya masih memeluk Masumi, mencengkram belakang kemejanya.
Masumi tidak lagi peduli Hijiri sudah berdiri di depan pintu. Kerapuhan Maya membuatnya juga tidak rela untuk meninggalkannya begitu saja.
Masumi melingkarkan tangannya di pinggul Maya sementara tangannya yang lain menyelinap diantara rambut lebat Maya, mencengkram lembut tengkuk gadis itu. Memiringkan kepalanya, Masumi kembali memagut bibir gadisnya. Maya terisak saat cumbuan keduanya semakin dalam. Lidah mereka saling mencari dan membutuhkan. Rasa sayang, sakit hati, ketidak relaan, semua emosi itu bercampur menjadi satu.
"Maya-ku...,"
"Masumi-ku...,"
Keduanya mendesahkan nama satu sama lain saat sejenak bibir mereka terpisah untuk bernapas. Namun itu tidak lama, keduanya kembali tersesat ketika kedua bibir mereka kembali saling memuja.
"Aku mencintaimu sayang, hanya kau," Masumi kembali mendeklarasikan cintanya. Meski sebenarnya semua itu tidak akan ada gunanya. Mereka akan berpisah. Tapi dia hanya ingin Maya tahu kalau hatinya hanya milik Maya.
"Terima kasih," gumam Maya sendu.
Setelah diam terlalu lama keduanya sadar bahwa Hijiri sudah menunggu mereka.
"Sudah waktunya," bisik Masumi.
Maya mengangguk.
***
"Maaf membuatmu menunggu lama Hijiri," kata Masumi
ketika membuka pintu.
"Tidak apa-apa Tuan," Hijiri mengangguk hormat pada tuannya.
"Masuklah, tolong bawakan tas Maya ke mobil,"
Sekali lagi Hijiri mengangguk dan masuk mengikuti Masumi. Hijiri sudah bisa menebak apa yang terjadi ketika melihat Maya duduk termenung di ruang tengah. Wajah kuyu, mata sembab dan merah. Melirik tuannya, Hijiri juga melihat wajah sendu Masumi. Dalam hati dia berharap semua takdir ini bisa dirubah.
"Selamat pagi Nona Maya," sapa Hijiri saat Maya melihatnya.
"Selamat pagi Pak Hijiri," balas Maya, memaksakan dirinya tersenyum.
Masumi menyerahkan tas pakaian miliknya dan Maya pada Hijiri, tak banyak bertanya, orang kepercayaan Masumi itu langsung meninggalkan keduanya.
Masumi berlutut di hadapan Maya, menangkupkan kedua tangannya di wajah kekasihnya.
"Maafkan aku,"
Maya menggeleng.
"Terima kasih untuk segalanya,"
***
Maya terdiam duduk di jok belakang. Bersandar pada Masumi yang merengkuh bahunya.
Hijiri mengamati keduanya dari kaca spion. Kediaman mereka menjelaskan segalanya. Betapa keduanya terlihat begitu tersiksa. Saat ini hati keduanya telah bersatu, bahkan dari cara mereka bersandar dan memeluk sangat terlihat bahwa keduanya saling memiliki. Apa daya semua itu harus berakhir.
Perjalanan panjang yang terasa pendek. Mobil berhenti didepan rumah kontrakan Maya. Hijiri diam, cukup tahu diri untuk tidak menyakiti keduanya lebih dalam lagi dengan mengingatkan bahwa mereka sudah sampai tujuan.
"Sudah sampai sayang," bisik Masumi.
"Iya," jawab Maya sama lirihnya.
"Boleh aku antar kau kedalam?"
Maya menengadah, melihat tatapan mata penuh harap dari kekasihnya. Diapun mengangguk.
"Terima kasih Pak Hijiri," ucap Maya sebelum turun dari mobil.
Hijiri hanya mengamati Masumi dan Maya yang berjalan memasuki rumah kontrakan.
"Aku pulang," kata Maya lesu.
"Kau sudah pulang Maya. Eh?! Anda?" Rei terkejut saat melihat Maya datang bersama Masumi.
"Selamat siang Nona Aoki," sapa Masumi sopan.
"Selamat siang Pak Masumi, silakan masuk," balas Rei sopan.
"Tidak usah, aku hanya sebentar. Mengantar Maya," tangan Masumi mengepal erat saat menyadari detik-detik terakhirnya.
Maya tertunduk lesu berdiri disebelahnya.
"Ini tasmu," kata Masumi.
Maya menerima tasnya sambil menatap Masumi, "Terima kasih,"
"Aku pulang dulu,"
Maya menghela napas panjang lalu mengangguk lemah.
"Jaga dirimu, besok kau ada pementasan. Kau pasti bisa, aku percaya padamu,"
Sekali lagi Maya hanya mengangguk. Ingin rasanya dia memeluk Masumi tapi dia sadar ada Rei disana yang sedang mengamati keduanya. Benar saja Rei terheran melihat Maya dan Masumi yang tampak berbeda dan sepertinya enggan untuk berpisah.
"Aku pulang dulu," kata Masumi lagi.
"Ha...hati-hati. Terima kasih," gumam Maya.
"Jangan menangis,"
Masumi menyeka air mata Maya yang mulai menetes. Mata Rei membulat melihatnya.
"Selamat tinggal," akhirnya kata itu terucap dari bibir Masumi.
Maya menggigit bibir bawahnya seolah tidak mengijinkan kata itu keluar dari mulutnya.
"Se...selamat tinggal," akhirnya Maya mengucapkannya juga.
Masumi tahu sudah waktunya dia pergi, mengangguk pada Rei diapun berbalik menuju pintu.
"Jaga dirimu, Maya," katanya sesaat sebelum meninggalkan pintu.
Dengan kaki gemetar Maya masuk ke kamarnya.
"Maya...," Rei bergumam bingung saat Maya melintas didepannya dalam diam. Tanda tanya besar bersandar di kepalanya. Ada apa antara Maya dan Masumi?
***
"Tidak apa-apa Tuan," Hijiri mengangguk hormat pada tuannya.
"Masuklah, tolong bawakan tas Maya ke mobil,"
Sekali lagi Hijiri mengangguk dan masuk mengikuti Masumi. Hijiri sudah bisa menebak apa yang terjadi ketika melihat Maya duduk termenung di ruang tengah. Wajah kuyu, mata sembab dan merah. Melirik tuannya, Hijiri juga melihat wajah sendu Masumi. Dalam hati dia berharap semua takdir ini bisa dirubah.
"Selamat pagi Nona Maya," sapa Hijiri saat Maya melihatnya.
"Selamat pagi Pak Hijiri," balas Maya, memaksakan dirinya tersenyum.
Masumi menyerahkan tas pakaian miliknya dan Maya pada Hijiri, tak banyak bertanya, orang kepercayaan Masumi itu langsung meninggalkan keduanya.
Masumi berlutut di hadapan Maya, menangkupkan kedua tangannya di wajah kekasihnya.
"Maafkan aku,"
Maya menggeleng.
"Terima kasih untuk segalanya,"
***
Maya terdiam duduk di jok belakang. Bersandar pada Masumi yang merengkuh bahunya.
Hijiri mengamati keduanya dari kaca spion. Kediaman mereka menjelaskan segalanya. Betapa keduanya terlihat begitu tersiksa. Saat ini hati keduanya telah bersatu, bahkan dari cara mereka bersandar dan memeluk sangat terlihat bahwa keduanya saling memiliki. Apa daya semua itu harus berakhir.
Perjalanan panjang yang terasa pendek. Mobil berhenti didepan rumah kontrakan Maya. Hijiri diam, cukup tahu diri untuk tidak menyakiti keduanya lebih dalam lagi dengan mengingatkan bahwa mereka sudah sampai tujuan.
"Sudah sampai sayang," bisik Masumi.
"Iya," jawab Maya sama lirihnya.
"Boleh aku antar kau kedalam?"
Maya menengadah, melihat tatapan mata penuh harap dari kekasihnya. Diapun mengangguk.
"Terima kasih Pak Hijiri," ucap Maya sebelum turun dari mobil.
Hijiri hanya mengamati Masumi dan Maya yang berjalan memasuki rumah kontrakan.
"Aku pulang," kata Maya lesu.
"Kau sudah pulang Maya. Eh?! Anda?" Rei terkejut saat melihat Maya datang bersama Masumi.
"Selamat siang Nona Aoki," sapa Masumi sopan.
"Selamat siang Pak Masumi, silakan masuk," balas Rei sopan.
"Tidak usah, aku hanya sebentar. Mengantar Maya," tangan Masumi mengepal erat saat menyadari detik-detik terakhirnya.
Maya tertunduk lesu berdiri disebelahnya.
"Ini tasmu," kata Masumi.
Maya menerima tasnya sambil menatap Masumi, "Terima kasih,"
"Aku pulang dulu,"
Maya menghela napas panjang lalu mengangguk lemah.
"Jaga dirimu, besok kau ada pementasan. Kau pasti bisa, aku percaya padamu,"
Sekali lagi Maya hanya mengangguk. Ingin rasanya dia memeluk Masumi tapi dia sadar ada Rei disana yang sedang mengamati keduanya. Benar saja Rei terheran melihat Maya dan Masumi yang tampak berbeda dan sepertinya enggan untuk berpisah.
"Aku pulang dulu," kata Masumi lagi.
"Ha...hati-hati. Terima kasih," gumam Maya.
"Jangan menangis,"
Masumi menyeka air mata Maya yang mulai menetes. Mata Rei membulat melihatnya.
"Selamat tinggal," akhirnya kata itu terucap dari bibir Masumi.
Maya menggigit bibir bawahnya seolah tidak mengijinkan kata itu keluar dari mulutnya.
"Se...selamat tinggal," akhirnya Maya mengucapkannya juga.
Masumi tahu sudah waktunya dia pergi, mengangguk pada Rei diapun berbalik menuju pintu.
"Jaga dirimu, Maya," katanya sesaat sebelum meninggalkan pintu.
Dengan kaki gemetar Maya masuk ke kamarnya.
"Maya...," Rei bergumam bingung saat Maya melintas didepannya dalam diam. Tanda tanya besar bersandar di kepalanya. Ada apa antara Maya dan Masumi?
***
Akhirnya tiba waktunya Maya harus berjuang untuk meraih
mimpinya. Dia akan menunjukkan Bidadari Merah terbaiknya, Akoya miliknya.
"Kau yakin tidak apa-apa?" Tanya Koji saat keduanya sudah berdiri di depan pintu ruang ganti. "Kau terlihat kurang sehat Maya," Koji kembali mengungkapkan kekhawatirannya.
"Kau yakin tidak apa-apa?" Tanya Koji saat keduanya sudah berdiri di depan pintu ruang ganti. "Kau terlihat kurang sehat Maya," Koji kembali mengungkapkan kekhawatirannya.
Dia dan Maya sudah berbaikan kembali dan Maya
sudah mengembalikan kalung lumba-lumbanya. Koji akhirnya menyerah. Meski Maya
tidak mengatakan bahwa dia mencintai Masumi tapi Koji menduga bahwa direktur
muda itu pasti ada kaitannya dengan semua hal yang terjadi. Hanya saja Koji
tidak tahu hubungan seperti apa yang sebenarnya terjadi diantara Maya dan
Masumi.
"Aku tidak apa-apa," jawab Maya.
Sudah dua malam dia tidak tidur, tentu saja tubuhnya lelah saat ini. Maya teringat bagaimana Rei memarahinya habis-habisan tapi apa daya karena matanya memang tidak bisa terpejam. Pikirannya masih penuh dengan Masumi.
"Nona Kitajima, ada kiriman bunga untuk anda,"
Maya langsung berbalik saat menyadari suara yang dikenalnya. Matanya berbinar ketika melihat Hijiri membawa buket bunga.
"Terima kasih," kata Maya, dia langsung memeluk dan mencium buket bunga itu. Hati Hijiri ikut sedih karenanya.
Koji hanya diam melihat Maya yang begitu mencintai penggemar rahasianya. Masumi dan Mawar ungu, sepertinya mereka sudah memenuhi hati Maya sehingga sudah tidak ada tempat lagi baginya.
"Tuan juga memberikan ini untuk Nona," Hijiri menyerahkan sebuah kotak beludru berwarna ungu dan sepucuk kartu ucapan di dalam amplop.
"Terima kasih," hanya itu yang Maya ucapkan sebelum Hijiri akhirnya pergi.
"Aku masuk sebentar," Maya permisi pada Koji untuk kembali keruang gantinya.
Maya kembali memeluk dan menciumi buket bunganya.
Masumi..., gumamnya penuh rindu. Diapun membuka kartu ucapannya.
Maya-ku
Berjuanglah, raihlah mimpimu.
Mawar unguku tidak akan pernah layu untukmu
Aku percaya padamu
Aku menantikan Akoya-mu
Mawar ungu-mu
Ps : aku harap kau menyukai hadiahnya.
Maya melihat kotak beludru diatas meja dan membukanya. Sebuah kalung dengan rantai emas putih dan liontin berbentuk bintang dari permata berwarna ungu.
Kartu ucapan kecil tersemat disudut kotak.
Malam langit penuh bintang akan menjadi kenangan paling indah bersamamu.
Maya mengulum senyumnya dan mengambil kalung itu. Memakainya dan menyembunyikan di balik kostumnya.
Aku akan berjuang untukmu Masumi, lihatlah Akoyaku. Hanya untukmu.
***
Bidadari Merah, malam itu Maya sudah menunjukkan keajaiban aktingnya. Cinta dan pengorbanan Akoya, ketulusan dan kepedihan hati Akoya, semuanya tersampaikan dengan sempurna. Bukan hanya sekedar akting, hati Maya benar-benar merasakannya. Perasaan Akoya adalah perasaannya. Kepedihan hati Akoya adalah kepedihan hatinya.
Masumi bergeming di kursinya, terpesona oleh bidadarinya. Keyakinannya tidak akan salah, gadisnya pasti akan menang.
Curtain call, Masumi dan Ketua Asosiasi Drama memberikan standing ovation saat Maya berdiri di tengah panggung terbuka. Tepuk tangan bergemuruh di arena panggung terbuka.
Di belakang panggung terbuka Maya mendapat banyak ucapan selamat. Maya terpaksa menebar senyumnya untuk menghormati semuanya.
"Kau baik-baik saja?" Koji kembali bertanya ketika melihat Maya menyeka keringat di keningnya dengan tisu. Koji tahu dibalik riasan bidadari itu tersembunyi wajah pucat Maya.
"Ya, aku hanya sedikit lelah," aku Maya, meski sebenarnya tubuhnya merasa sangat lelah sekarang, kepalanya berdenyut sakit dan keringat dingin juga terus membasahi keningnya sejak dia turun panggung. Kurang istirahat dan tidak cukup makan ternyata sangat mempengaruhi kesehatannya.
"Selamat Maya, Bidadari Merahmu luar biasa,"
Jantung Maya berdebar kencang saat menyadari siapa yang memberinya ucapan selamat. Masumi dan Ketua Asosiasi Drama Nasional, Gen Yamagishi, juga beberapa anggota asosiasi drama sudah berdiri dihadapannya.
"Memang layak kau sebagai murid kesayangan Mayuko, Kitajima. Bidadari Merahmu sangat mempesona. Isshinmu juga bagus Sakurakoji," puji Yamagishi.
"Terima kasih," Maya tersenyum, dia dan Koji membungkuk hormat.
Maya sedikit terhuyung ketika kembali menegakkan tubuhnya.
"Maya!" Dengan cepat Koji memegang kedua lengan Maya.
Masumi mengepalkan tangannya erat melihat gadisnya disentuh pria lain.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Masumi cemas.
"Apa kau sedang sakit Kitajima?" Yamagishi juga sedikit terkejut.
"Ti, tidak. Saya baik-baik saja," jawab Maya, berusaha kembali menyeimbangkan tubuhnya.
"Sebaiknya kau cepat beristirahat. Selama ini kau pasti sudah latihan dengan keras," saran Yamagishi.
"Terima kasih Pak Yamagishi," jawab Maya.
"Aku tidak apa-apa," jawab Maya.
Sudah dua malam dia tidak tidur, tentu saja tubuhnya lelah saat ini. Maya teringat bagaimana Rei memarahinya habis-habisan tapi apa daya karena matanya memang tidak bisa terpejam. Pikirannya masih penuh dengan Masumi.
"Nona Kitajima, ada kiriman bunga untuk anda,"
Maya langsung berbalik saat menyadari suara yang dikenalnya. Matanya berbinar ketika melihat Hijiri membawa buket bunga.
"Terima kasih," kata Maya, dia langsung memeluk dan mencium buket bunga itu. Hati Hijiri ikut sedih karenanya.
Koji hanya diam melihat Maya yang begitu mencintai penggemar rahasianya. Masumi dan Mawar ungu, sepertinya mereka sudah memenuhi hati Maya sehingga sudah tidak ada tempat lagi baginya.
"Tuan juga memberikan ini untuk Nona," Hijiri menyerahkan sebuah kotak beludru berwarna ungu dan sepucuk kartu ucapan di dalam amplop.
"Terima kasih," hanya itu yang Maya ucapkan sebelum Hijiri akhirnya pergi.
"Aku masuk sebentar," Maya permisi pada Koji untuk kembali keruang gantinya.
Maya kembali memeluk dan menciumi buket bunganya.
Masumi..., gumamnya penuh rindu. Diapun membuka kartu ucapannya.
Maya-ku
Berjuanglah, raihlah mimpimu.
Mawar unguku tidak akan pernah layu untukmu
Aku percaya padamu
Aku menantikan Akoya-mu
Mawar ungu-mu
Ps : aku harap kau menyukai hadiahnya.
Maya melihat kotak beludru diatas meja dan membukanya. Sebuah kalung dengan rantai emas putih dan liontin berbentuk bintang dari permata berwarna ungu.
Kartu ucapan kecil tersemat disudut kotak.
Malam langit penuh bintang akan menjadi kenangan paling indah bersamamu.
Maya mengulum senyumnya dan mengambil kalung itu. Memakainya dan menyembunyikan di balik kostumnya.
Aku akan berjuang untukmu Masumi, lihatlah Akoyaku. Hanya untukmu.
***
Bidadari Merah, malam itu Maya sudah menunjukkan keajaiban aktingnya. Cinta dan pengorbanan Akoya, ketulusan dan kepedihan hati Akoya, semuanya tersampaikan dengan sempurna. Bukan hanya sekedar akting, hati Maya benar-benar merasakannya. Perasaan Akoya adalah perasaannya. Kepedihan hati Akoya adalah kepedihan hatinya.
Masumi bergeming di kursinya, terpesona oleh bidadarinya. Keyakinannya tidak akan salah, gadisnya pasti akan menang.
Curtain call, Masumi dan Ketua Asosiasi Drama memberikan standing ovation saat Maya berdiri di tengah panggung terbuka. Tepuk tangan bergemuruh di arena panggung terbuka.
Di belakang panggung terbuka Maya mendapat banyak ucapan selamat. Maya terpaksa menebar senyumnya untuk menghormati semuanya.
"Kau baik-baik saja?" Koji kembali bertanya ketika melihat Maya menyeka keringat di keningnya dengan tisu. Koji tahu dibalik riasan bidadari itu tersembunyi wajah pucat Maya.
"Ya, aku hanya sedikit lelah," aku Maya, meski sebenarnya tubuhnya merasa sangat lelah sekarang, kepalanya berdenyut sakit dan keringat dingin juga terus membasahi keningnya sejak dia turun panggung. Kurang istirahat dan tidak cukup makan ternyata sangat mempengaruhi kesehatannya.
"Selamat Maya, Bidadari Merahmu luar biasa,"
Jantung Maya berdebar kencang saat menyadari siapa yang memberinya ucapan selamat. Masumi dan Ketua Asosiasi Drama Nasional, Gen Yamagishi, juga beberapa anggota asosiasi drama sudah berdiri dihadapannya.
"Memang layak kau sebagai murid kesayangan Mayuko, Kitajima. Bidadari Merahmu sangat mempesona. Isshinmu juga bagus Sakurakoji," puji Yamagishi.
"Terima kasih," Maya tersenyum, dia dan Koji membungkuk hormat.
Maya sedikit terhuyung ketika kembali menegakkan tubuhnya.
"Maya!" Dengan cepat Koji memegang kedua lengan Maya.
Masumi mengepalkan tangannya erat melihat gadisnya disentuh pria lain.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Masumi cemas.
"Apa kau sedang sakit Kitajima?" Yamagishi juga sedikit terkejut.
"Ti, tidak. Saya baik-baik saja," jawab Maya, berusaha kembali menyeimbangkan tubuhnya.
"Sebaiknya kau cepat beristirahat. Selama ini kau pasti sudah latihan dengan keras," saran Yamagishi.
"Terima kasih Pak Yamagishi," jawab Maya.
Melirik pada Masumi, Maya tahu pria itu
mencemaskannya dan Maya juga tidak nyaman Masumi harus melihat kedekatannya
dengan Koji. Tapi dia memang merasa sangat lelah sekarang, kepalanya juga
semakin sakit.
"Kami permisi dulu,"
Koji membantu Maya berjalan. Baru beberapa langkah, Maya merasa kepalanya semakin berat dan pandangannya mengabur.
Bruk!!
Maya jatuh pingsan dalam pelukan Koji. Masumi mematung ditempatnya.
"Kami permisi dulu,"
Koji membantu Maya berjalan. Baru beberapa langkah, Maya merasa kepalanya semakin berat dan pandangannya mengabur.
Bruk!!
Maya jatuh pingsan dalam pelukan Koji. Masumi mematung ditempatnya.
***
>>Bersambung<<
>>Secret Angel - Chapter 2<<
>>Secret Angel - Chapter 2<<
12 Comments
Huhuhu.... maya masumi
ReplyDeleteHaaaaaaaaaahhhhh... mulai deh gantung" penasaran.... update lagi say.... muach
ReplyDeleteSuka slalu sm ceritanya ditunggu lanjutannya.. btw slalu gagal leave msg. Vonnyros
ReplyDeletenaaahhh kan....jd harap2 cemas....bisaaaa banget nih mba agnes bikin malem minggu ni jd galau....mudah2n updatenya bisa ngaciirrr....amiiin, thaks ya mba....good starting fftk
ReplyDeleteðŸ˜
ReplyDeleteT.T galau nungguin next chapternya..
ReplyDeleteHuaaaa sedih banget... mb agnes bruan ya lnjutannya. Aku suka banget fanficnya XD
ReplyDeleteHuwaaaaaa..... berderai-derai nangis bombay aku bacanya mbaaa.... tolong itu Maya nya digendong ya Masumi.... hehehehe
ReplyDeleteSist agnes... Kok bgt sih... Huhuhu... Teganya dirimu.. :'-(
ReplyDeleteG rela masumi jdi milik shiori...
Dasar shiori, penyihir... Bakar aja napa sist...
(#Iblis mode on##wkwkwk)
Lanjut....
cerita menarik tapi pertama udah bikin sedih.. hu..hu..hu.. ga rela aku kalo masumi harus nikah ama shiodong-odong...
ReplyDeleteLanjut mba.. menyentuh bangeeet seperti arah cerita aslinya.
ReplyDeleteWaaah keren bikin 2 cerita ngelanjutin tk. Yg pertama keren bgt mililkku sama sekuelnya. Mkasi bgt. Klo bs dlanjutin lgi critany hg gppp. Tp tetep pmeran utamany maya n masumi kekeke....
ReplyDelete