Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Serial “Kau Milikku”
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary
: Bidadari Merah. Karya drama agung yang menjadi legenda. Ambisi, cinta
dan benci bercampur menjadi satu. Akankah seorang Maya Kitajima mampu mengatasi
semua itu? Bukan hanya impiannya yang dipertaruhkan tapi juga kehidupan orang
terkasihnya, Masumi Hayami. Ulat menjadi kupu-kupu. Perjuangan Maya takkan
mudah tapi tidak ada kata menyerah. Karena cinta selalu punya cara untuk
menemukan jalannya.
*********************************************************************************
"Jadi kau sudah
siap berangkat?" tanya Mayuko. Pagi-pagi sekali Maya menemui gurunya untuk
berpamitan.
"Iya bu,"
jawabnya seraya meneguk teh hijau yang disediakan Genzo.
Mayuko mendesah pelan.
"Ada apa Bu
Mayuko? Apa anda sedang sakit?" Maya meletakkan gelasnya di meja dan
menatap cemas sang guru.
"Bukan waktunya
kau mengkhawatirkanku."
"Oh," Maya
sadar Mayuko mengkhawatirkannya. "Ngg, semuanya terkesan mendadak tapi
percayalah Bu, saya sudah memikirkannya. Saya memang tidak pintar tapi saya
akan terus berusaha."
"Aku percaya
padamu Maya. Aku memang bukan ibu kandungmu tapi aku lebih tahu dirimu
dibanding ibumu. Kalau tidak, kau tidak akan ada disini sekarang. Kau
satu-satunya orang yang bisa mengerti perasaanku juga perasaan Bidadari Merah."
Mayuko tersenyum. "Aneh rasanya aku membicarakan hal seperti ini padamu.
Aku sudah terlalu lama sendiri. Semangatmu selalu membuatku merasa lebih hidup.
Kau makin dewasa sekarang, aku hanya berpesan hati-hatilah disana, aku tidak
bisa banyak membantu tapi semoga orang itu bisa. Apa Genzo sudah memberikan
alamat dan nomor teleponnya padamu?"
Maya mengangguk. "Sudah
Bu, terima kasih."
"Tiga tahun Maya,
waktumu hanya tiga tahun. Kau harus kuat untuk bisa menang." Mayuko
menatap tajam muridnya.
"Saya mengerti,
Bu."
"Bagus."
Mayuko menghela napas panjang. "Apa kau sudah siap dengan peranmu
berikutnya?"
Kali ini Maya
tersenyum. "Sudah Bu."
Mayuko tersenyum puas.
"Jangan lepas topengmu sebelum tirai panggung tertutup Maya, pertarungamu baru
dimulai."
"Saya mengerti,
terima kasih untuk bimbingan Ibu selama ini."
***
Maya berdiri di depan
rumah besar Hayami. Pelayan memintanya menunggu di ruang tamu saat Maya
mengatakan ingin bertemu dengan Eisuke Hayami.
Maya terkejut saat
melihat pria tua dengan kursi roda muncul di ruang tamu untuk menemuinya.
Dengan cepat Maya menguasai ekspresinya, perannya belum selesai dan topeng
kacanya tidak boleh terlepas sekarang. Tapi dalam hati Maya menjerit.
Huaa
... aku tertipu. Kupikir Paman orang baik karena sering mentraktirku es krim.
Ternyata Paman adalah tokoh antagonis dalam peranku kali ini,
batinnya frustasi.
Keduanya saling memberi
salam.
"Mengejutkanmu,
Maya?" Eisuke tersenyum licik dan menatap tajam pada gadis mungil di
hadapannya.
"Sedikit, Anda
terlihat sehat Tuan Hayami. Sepertinya terapi di kampung halaman bidadari merah
membuahkan hasil," kata Maya penuh dengan nada ironi.
Eisuke terkejut. Ada apa ini? Dia tidak seperti Maya yang kukenal.
Maya begitu lugu dan polos. Tapi gadis ini ... dia berbeda. Mayuko?! Ya, ini
pasti ada hubungannya dengan Mayuko, geramnya dalam hati.
Eisuke tertawa,
menyembunyikan keterkejutannya. "Sekarang aku tidak heran kau terpilih
sebagai Bidadari Merah Maya. Kau mewarisi beberapa sifat gurumu."
"Saya memang
disiapkan untuk menjadi pengganti beliau Tuan Hayami, untuk menyelesaikan apa
yang tidak bisa guru saya selesaikan."
Wajah Eisuke langsung
berubah seratus delapan puluh derajat.
"Mungkin saya
sedikit terlambat menyadari tugas saya yang sebenarnya, tapi saya rasa belum
terlambat untuk memulainya sekarang." Maya mengakhiri kalimatnya dengan
senyum Origeld, manis tapi beracun.
"Apa tujuanmu
datang menemuiku?" Eisuke tidak basa-basi lagi sekarang.
Maya kembali
menyunggingkan senyum Origeld-nya, siap memulai kudetanya. Tak lama setelah Maya
bicara panjang lebar, Eisuke menegang menahan amarah, tangannya mencengkram
kuat lengan kursi rodanya.
Maya meninggalkan rumah
Hayami dengan seringai lebar penuh kemenangan. Setelah berjalan beberapa saat
sebuah sedan hitam berhenti di dekatnya. Maya bergegas masuk.
"Kau baik-baik
saja Maya?" tanya pria yang duduk di balik kemudi. Maya mengangguk meski
tangan dan kakinya gemetaran sekarang. Pria di sebelahnya tersenyum tipis.
"Ada air di dashboard."
Maya membuka dashboard
didepannya dan segera menghabiskan setengah isi botol.
"Lebih baik?"
"Hhmm." Maya
menarik napas panjang, menenangkan dirinya. Keduanya terdiam.
"Terima
kasih," kata Maya memecah keheningan.
Pria itu tertawa.
"Jika melihatmu seperti ini, aku tidak akan percaya kau sanggup
memenangkan perang ini Maya."
Maya mendengus kesal.
"Jangan meremehkan saya, Kak Hijiri."
Pria itu berhenti
menggoda Maya dan suasana kembali tenang.
"Nggg, sekali lagi
terima kasih untuk bantuannya."
"Kalau untuknya,
kau bisa minta apapun padaku Maya." Senyum lembut mengembang di wajah
Hijiri yang tampan. Maya tersenyum tulus menghargai kebaikan dan kesetiaan
Hijiri. "Kau hebat Maya. Aku tidak percaya kau melakukan semua ini
untuknya. Saat kau meneleponku tadi pagi, aku begitu cemas tapi sekarang aku
percaya kau pasti bisa." Hijiri melirik Maya yang duduk bersandar di jok.
"Hanya ini yang
bisa saya lakukan untuknya, Kak Hijiri. Saya tidak akan sanggup membalas semua
kebaikannya tapi saya akan memberikan hidup saya, untuk kebahagiannya."
Mata Maya menerawang jauh keluar jendela. Jalannya masih panjang, dia tahu ini
tidak akan mudah tapi Maya sudah mantap dengan tekadnya.
"Oh ya, sebaiknya
kau menelepon Mizuki sekarang. Dia pasti sangat marah karena kau merubah semua
rencana dengan mendadak, lagipula Tuan Masumi meminta Mizuki yang menjemputmu
bukan aku."
Maya terkesiap.
"Ah iya, gawat!" Maya segera mengambil handphonenya dan suara
teriakan Mizuki langsung menyambutnya. Setelah sepakat tentang di mana mereka
harus bertemu, Maya menutup teleponnya dan mendesah lega.
Pria itu kembali
tertawa. "Apa sekarang kau sudah siap?"
"Eh?!"
Tiba-tiba wajah Maya merona merah.
"Hhmmm, melihat
ekpresimu aku yakin kali ini kau akan kesulitan berakting Maya."
Wajah Maya semakin
merona. "Saya tidak perlu berakting didepannya!" pekiknya kesal.
Hijiri tersenyum
melihat Maya yang canggung. Menyetir dengan satu tangan, pria itu mengambil
amplop dari saku jasnya dan memberikannya pada Maya.
"Apa ini
hadiahnya?" Maya terlihat girang.
Hijiri mengangguk.
"Kau pasti akan senang sekali."
Maya menatapnya heran.
"Tidak akan, saya sudah cukup malu meminta tiket ini darinya." Dia
langsung cemberut saat membaca tiketnya. "Oh tidak, kelas satu? Saya sudah
menduganya," keluh Maya. "Dan saya tidak senang dengan ini,"
lanjutnya.
"Bukan itu yang
akan membuatmu senang." Hijiri menyeringai.
"Eh?!" Maya
kembali membaca tiketnya dengan seksama. "Tanggal dua puluh lima?"
jeritnya terkejut.
"Dia yang
mengubahnya. Dia memintaku menyampaikan kalau penerbangan kelas satu sudah
penuh di tanggal dua puluh dua. Lagipula kau memintanya mendadak sedangkan dia
tidak mau kau terbang dengan kelas ekonomi."
Maya tersenyum.
"Selalu saja memperhatikan saya," gumamnya senang.
"Kali ini aku
tidak setuju dengamu."
"Lho?!"
"Kau percaya itu
alasannya? Kau benar-benar polos Maya," Hijiri tertawa.
"Apa ada alasan
lain?"
"Kau lupa kemana
tujuan kita?" tanya Hijiri seraya tersenyum geli.
Dengan kemampuan
otaknya, butuh beberapa saat bagi Maya untuk bisa mencerna kalimat yang
didengarnya. Dan sesaat kemudian wajahnya merona merah tapi tiba-tiba dia
menjerit histeris, membuat Hijiri dengan cepat menepikan mobilnya.
"Ada apa?" tanyanya
terkejut.
"Tas pakaian saya
tertinggal."
"Hah?!"
Hijiri terbahak sembari kembali menjalankan mobilnya, melaju mulus di jalan
raya menuju pelabuhan.
***
Maya dan Hijiri sedikit
terlambat tiba di Takeshiba Ferry Terminal, Tokyo. Mereka parkir di tempat yang
cukup tersembunyi dan Mizuki terlihat sudah menunggu dengan kesal.
"Kalian
terlambat," katanya dengan ekspresi dingin.
"Maaf," jawab
Hijiri.
"Ini salah saya,
tas pakaiannya tertinggal jadi kami harus mampir ke toko untuk membeli beberapa
baju ganti." Maya menjelaskan alasan keterlambatannya.
"Dasar ceroboh dan
kau masih yakin bisa tinggal sendiri di Amerika? Kau memang gila Maya."
"Maaf," gumam
Maya malu.
"Aku serahkan Maya
padamu," Hijiri menatap Mizuki.
"Baik, ayo Maya,
kita harus bergegas," Mizuki menyunggingkan senyum langkanya pada Hijiri
sebelum dia pergi.
"Nona Mizuki, apa
Anda menyukai, Kak Hijiri?" tanya Maya saat keduanya berjalan ke
pelabuhan.
Mizuki menusuk Maya
dengan tatapan matanya. "Kau ini bicara apa Maya?"
Maya terkikik.
"Tidak, saya hanya menduganya saja karena saya belum pernah melihat Nona
Mizuki tersenyum seperti itu pada pria."
Mizuki hanya diam,
tidak menanggapi ocehan Maya tapi senyum tipis menghias bibirnya sekali lagi.
Keduanya sampai di dermaga, sudah ada speedboat yang menunggu Maya.
"Apa Nona Mizuki
tahu kemana tujuan saya?" tanya Maya sebelum menaiki speedboat-nya. Maya
menduga hanya Hijiri yang tahu kemana dia akan pergi.
"Tidak, Tuan
Masumi hanya memintaku menjemputmu di rumah dan mengantarmu kesini, sebelum kau
merubah rencana tadi pagi dan menyulitkan posisiku. Kau bisa membuatku
kehilangan kredibilitasku sebagai sekretaris terbaik Maya," ceramah Mizuki
menandakan bahwa dia sama sekali tidak menyukai sesuatu yang berantakan. Sistematis
adalah nama tengahnya ditambah disiplin sebagai nama belakangnya. Bagaimana pun
Mizuki juga pernah menjadi manajer Maya saat dirinya bekerja pada Daito, jadi
Maya sudah mengerti karakter orang kepercayaan Masumi itu.
"Maaf, ada yang
harus saya lakukan tadi. Lagipula saya kan tidak tahu kalau Tuan Masumi ingin
bertemu. Anda juga baru meneleponku pagi ini dan Kak Hijiri juga tidak
mengatakan apapun sebelumnya," kata Maya lirih, takut percakapannya
didengar oleh orang.
Mizuki mendesah.
"Sudahlah, yang penting kau sudah disini sekarang. Aku tidak tahu kau akan
kemana tapi aku yakin kau tahu. Tuan Masumi hanya berpesan selama perjalanan
jangan bicara pada orang yang tidak dikenal. Dia yang akan langsung
menjemputmu. Jadi berhati-hatilah," pesan Mizuki.
"Baik, terima
kasih." Maya membawa tasnya dan menaiki speedboat. Tak lama kemudian, dia
sudah dalam perjalanan membelah lautan.
Maya termenung
sepanjang perjalanan. Memorinya melayang pada kenangan 'one night cruise'-nya
bersama Masumi dengan kapal Astoria. Tidak menyangka jika sekarang dia menuju Izu,
untuk menepati janji mereka berdua. Membayangkan pantai, kepiting dan jutaan
bintang yang diceritakan Masumi membuat hatinya berbunga-bunga. Namun satu hal
mengganggu pikirannya, pertemuan ini akan menjadi pertemuan terakhirnya dan dia
harus menunggu tiga tahun lagi untuk bisa bertemu Masumi.
Hati Maya terasa sesak
saat membayangkan apapun bisa terjadi dalam waktu tiga tahun, namun Maya tidak
punya pilihan lain. Dia hanya bisa percaya semuanya akan baik-baik saja dan
berjalan sesuai rencananya. Lagipula pagi ini dia sudah melakukan sesuatu yang
bisa menjamin itu.
Maya menginjakkan
kakinya di pelabuhan setelah dua jam mengarungi lautan. Matanya mencari-cari
sosok yang sangat dirindukannya dan matanya berbinar saat menemukan sosok yang
dicarinya. Jika saja mereka hanya berdua, Maya pasti sudah melompat dan memeluk
Masumi.
"Maya," sapa Masumi.
Dia mengenakan kemeja putih linen tanpa dasi, dibalut mantel coklat tua dan
bagi Maya sungguh pemandangan pantai Izu tidak seindah makhluk tampan yang saat
ini berdiri di hadapannya.
"Ngg ... selamat
siang Tuan Masumi." Maya membungkuk memberi hormat.
Tapi Masumi justru
tertawa melihat Maya yang salah tingkah didepannya.
Oh
lihat, setelah sekuat tenaga berusaha sopan. Aku justru ditertawakan, keluh
Maya dalam hati. Dia masih saja canggung bertemu Masumi meski pada kenyataannya
mereka sudah tahu perasaan masing-masing.
Masumi langsung
berhenti tertawa saat melihat Maya cemberut. Diapun mengulurkan tangannya pada
Maya. "Ayo."
Pipi Maya merona saat
Masumi menerima tangannya dan menggenggamnya. Masumi membimbingnya ke mobil dan
mempersilakan Maya masuk dengan menahan pintu mobil terbuka. Maya cepat-cepat masuk
karena sadar Masumi mengamati ekspresi wajahnya. Berjalan anggun mengitari
mobil, Masumi segera duduk dibelakang kemudi.
"Sebaiknya kau
pasang sabuk pengamanmu atau aku perlu membantumu untuk itu?" goda Masumi.
"Ah, ti ... tidak Tuan
Masumi," dengan cepat Maya memasang sabuk pengamannya dan Masumi tertawa
saat mobil mulai melaju.
Mobil berhenti di depan
sebuah vila bernuansa putih. Vila itu berdiri di tepi tebing yang menjorok ke
laut dan tidak ada bangunan lain di sana. Kepolosan Maya membuatnya terlambat
berpikir tentang banyak hal yang mungkin saja terjadi, mengingat mereka hanya
berdua. Namun saat ini yang ada dalam pikiran Maya hanyalah bisa bersama dengan
Masumi sebelum kepergiannya.
"Selamat datang
Maya," kata Masumi saat membimbing Maya keluar dari mobil.
Maya langsung terpukau
melihat keindahan tempat itu. Tidak heran kalau Masumi menjadikannya sebagai
tempat bertapa.
"Mau masuk?"
"I ... iya."
Masumi yang masih belum
melepaskan tangan Maya kembali membimbingnya menaiki tangga dan masuk kedalam
vila. Tak berhenti membuat Maya kagum, Masumi membawa Maya melintasi ruang
tengah menuju balkon dan memperlihatkan hamparan pantai dan laut yang
terbentang. Hembusan angin laut membuat rambut Maya berantakan dan dirinya baru
sadar kalau Masumi belum melepaskan genggaman tangannya saat akan merapikan
rambutnya.
Masumi tersenyum melihatnya.
Tangannya langsung terulur, merapikan rambut Maya dan menyelipkannya di
belakang telinga, membuat wajah Maya merona seperti udang rebus.
"Aku seperti
bermimpi melihatmu ada disini." Akhirnya ada juga kalimat yang terucap
diantara mereka.
"Saya sudah
berjanji akan datang kan."
Masumi tersenyum,
senyum ratusan gigawatt yang membuat hati Maya meleleh. Keduanya hanya saling
memandang, lama dan tidak ada yang bicara.
"Sebaiknya aku
antar kau kekamar Maya. Kau terlihat lelah." Masumi memalingkan wajahnya
dan kembali membimbing Maya ke kamar. Sedangkan Maya hanya diam, menikmati
setiap menit kebersamaan mereka. Masumi membuka pintu kamar dan akhirnya, meski
dengan rasa enggan, melepaskan tangan Maya.
"Istirahatlah
dulu," kata Masumi. Dan setelah Maya masuk Masumi bergegas pergi ke ruang
kerjanya lalu melakukan panggilan. "Hijiri," ada kecemasan dalam
suara Masumi.
"Tuan Masumi."
"Bagaimana
keadaannya?"
"Sejauh ini
semuanya baik-baik saja, Tuan. Saya tidak melihat ada penguntit atau
tanda-tanda yang mencurigakan."
"Bagus, terus
awasi dan kabarkan padaku setiap perkembangannya. Aku mengandalkanmu Hijiri."
"Baik, Tuan."
Masumi mengakhiri
teleponnya, masih tersisa kecemasan di wajahnya meski Hijiri sudah mengatakan
semua terkendali. Instingnya mengatakan ayahnya sedang merencanakan sesuatu dan
juga ... Shiori. Ayahnya mungkin tidak tahu vila miliknya tapi tidak menutup
kemungkinan dia menyuruh orang memata-matai Maya. Masumi tahu persis bagaimana
cara kerja dan ambisi ayahnya untuk mendapatkan Bidadari Merah. Dan Shiori ... wanita
itu tahu lokasi vilanya dan dia pasti curiga kalau mengetahui Masumi tidak ada
di Tokyo. Untuk itu Masumi mengaburkan jejaknya dengan berpesan pada Mizuki
untuk memalsukan kepergiannya.
Mizuki mereservasi
hotel di luar Tokyo dengan dalih Masumi menghadiri rapat di luar kota selama
tiga hari. Dan Mizuki juga meninggalkan pesan pada Rei agar tidak menjawab
apapun jika ada yang bertanya tentang Maya. Mizuki mengatakan pada Rei kalau
dia akan membawa Maya ke Yokohama, untuk mengunjungi makam ibunya. Meski
semuanya sudah diatur sedemikian rupa tapi tetap saja Masumi tidak boleh
lengah. Karena paparazi juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Mengingat gadis
yang bersamanya saat ini adalah artis besar pemeran Bidadari Merah.
Akan tetapi satu hal
yang Masumi tidak tahu, Maya sudah melakukan sesuatu yang akan membuat mereka
berdua aman dari gangguan Eisuke Hayami, setidaknya untuk beberapa saat. Maya
sudah cukup mengerti dengan statusnya saat ini dan dia tidak mau lagi menjadi
gadis bodoh yang hanya merepotkan Masumi. Untuk itulah dia harus berpisah
sementara dengan Masumi, untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Masumi tersentak saat
mendengar jeritan Maya, secepat kilat dia berlari keluar menuju sumber suara.
Masumi mematung di tempatnya saat melihat Maya terduduk di lantai. Meski Maya
terlihat lucu tapi Masumi berusaha menahan tawanya, tidak mau Maya tersinggung
karenanya. Lagipula saat ini dia sedang tidak ingin bertengkar.
"Kau baik-baik
saja?" Masumi menghampiri Maya dan berlutut disebelahnya.
Maya tertunduk malu.
"Ah iya, saya ba-baik, maaf kalau saya mengejutkan anda."
Masumi tersenyum.
"Apa ada yang sakit?" Maya menggeleng dan Masumi meraih kedua tangan
Maya lalu membantunya berdiri. "Kenapa kau bisa jatuh?"
"Oh, itu."
Maya menunjuk pada figura foto yang ada di rak besar. Masumi menatapnya heran,
"Saya melihat foto itu dan ingin mengambilnya tapi ternyata terlalu tinggi
dan saya berusaha meraihnya tapi malah terjatuh." Maya menjelaskan.
Dan kali ini Masumi
tidak bisa lagi menahan tawa. Entah kenapa dia mudah sekali tertawa saat
bersama Maya. Semua tentang Daito, Shiori dan kecemasan yang melingkupinya
sedari tadi menguap begitu saja. Sekali lagi Maya yang cemberut membuat Masumi
menghentikan tawanya.
"Anda terlihat
senang sekali Tuan Masumi," dengus Maya kesal.
"Maaf, hanya saja
membayangkan kau berjinjit-jinjit untuk meraih sesuatu membuatku sangat terhibur."
Masumi masih menyisakan kikikan kecil.
"Anda mau bilang
saya pendek kan?" pekik Maya.
Kali ini Masumi
tersenyum geli, ternyata menghindari pertengkaran dengan Maya bukanlah hal
mudah. "Baiklah maafkan aku. Kau sudah bertambah tinggi, Maya. Tapi foto
itu memang terlalu tinggi. Apa kau mau aku membantumu mengambilnya?"
"Tidak," dan
Maya masih kesal.
Tiba-tiba Masumi
membungkuk dan mengangkat tubuh Maya, membuatnya menjerit.
"Apa yang anda
lakukan Tuan Masumi? Turunkan saya!" pekik Maya. Tapi kemudian Maya diam
saat mengerti maksud Masumi.
"Ambilah," perintah
Masumi seraya tersenyum senang.
Dengan malu Maya meraih
foto yang kali ini sangat mudah dijangkaunya. Lagi-lagi wajah Maya semerah
udang rebus saat Masumi menurunkannya.
"Itu ibuku dan
aku, saat usiaku tujuh tahun," Masumi dengan cepat mengalihkan perhatian
Maya. Dan jurusnya berhasil karena mata Maya langsung berbinar saat tahu siapa
yang ada didalam foto itu.
"Anda juga bermain
baseball?" tanya Maya girang melihat Masumi membawa stick dan
bola baseball dalam fotonya.
"Masa kecilku sama
dengan anak lain. Aku juga pernah bilang padamu kalau aku suka makan taiyaki
waktu kecil kan? Didekat sekolahku ada bibi penjual taiyaki yang sangat enak.
Biasanya sehabis bermain baseball, aku dan teman-temanku makan
taiyaki disana." Masumi tersenyum saat menceritakan masa kecilnya pada
Maya meski sebenarnya hatinya tersayat jika mengenang memori itu.
"Wah, menyenangkan
sekali, saya tidak pernah tahu Tuan Masumi juga memiliki masa kecil yang
menyenangkan." Maya masih melihat foto itu dengan mata berbinar, mengagumi
sosok yang ada didalam foto. Anak lelaki tampan dengan senyum ceria serta ibu
yang penuh kasih.
Maya mengalihkan pendangannya
pada Masumi, pria yang dikaguminya sekarang sedang melamun. Pandangannya
menerawang, entah apa yang sedang dipikirkannya. Maya mencoba menebak tapi
terlalu sulit baginya memahami pribadi Masumi yang tertutup. Dalam hati Maya
bertekad ingin mengetahui lebih banyak tentang masa lalu pria pujaannya itu. Reflek
tangan Maya mengusap pipi Masumi, membuat Masumi tersentak.
"Maya-,"
"Maukah anda
membagi kesedihan ini dengan saya?"
Masumi menatap Maya
sendu, belum pernah ada seorang pun yang bicara seperti itu padanya.
"Ini wajah anda
yang sebenarnya kan? Wajah dingin Direktur Daito itu hanya topeng. Inilah anda
yang sebenarnya. Biarkan saya ... biarkan saya juga merasakan apa yang anda
rasakan Tuan Masumi. Meringankan kesedihan anda seperti yang selalu anda lakukan
pada saya, seperti-," Maya menghentikan kata-katanya, hampir saja dia
menyebut mawar ungu.
Masumi meraih tangan
Maya yang mengusap pipinya lalu dengan lembut mencium punggung tangan mungil
itu. "Terima kasih," gumamnya. Ada rasa haru terselip dalam nada
suaranya. "Terima kasih, Maya," ulangnya.
Suasana menjadi begitu
tenang. Tapi tiba-tiba suara perut Maya yang keroncongan mengubah
segalanya.
"Ya ampun,"
Masumi terbahak.
"Maaf," kata
Maya malu.
"Aku pikir
bidadari tidak bisa kelaparan."
Maya cemberut sambil
memegangi perutnya.
"Apa kau belum
makan siang?"
Maya menggeleng.
"Saya belum makan sejak pagi."
"Pagi?!"
Masumi terkejut. "Aku harus ingatkan Mizuki untuk itu." Masumi tampak
kesal dan Maya tersentak.
Bodoh!
Bukan salah Nona Mizuki kalau aku tidak sarapan tadi, gerutu
Maya dalam hati. Takut kalau rencananya diketahui Masumi. Sebenarnya hari ini
Maya berencana pergi ketempat Mayuko lalu menemui Eisuke sore harinya. Namun
tiba-tiba, pukul enam pagi Mizuki menelepon akan menjemputnya, sehingga Maya bergegas
pergi ketempat Mayuko untuk berpamitan. Dia takut tidak akan ada waktu lagi
untuk berpamitan pada gurunya.
Mizuki sempat marah
saat Maya bilang tidak bisa pergi dengannya karena dia harus bertemu Eisuke
lebih dulu dan sangat beresiko jika sampai Mizuki terlihat menjemputnya setelah
dia keluar dari rumah Hayami. Maka dari itu Maya meminta tolong pada Hijiri
yang lebih pandai menyamar untuk menjemputnya dijalan dan Mizuki sudah menunggu
di Takeshiba Ferry Terminal. Masumi sudah meninggalkan Tokyo sejak pagi, jadi
dia tidak tahu apa yang dilakukan Mizuki dan Hijiri juga Maya.
Maya mendesah lega
karena Masumi tidak memperpanjang masalah itu dan dengan cepat menggenggam
tangannya lalu mengajaknya ke dapur. Sepertinya Masumi sangat menikmati mencuri
kesempatan menggenggam tangan Maya dan Maya pun tidak keberatan dengan itu.
"Baiklah, kita
lihat apa yang bisa kita lakukan," kata Masumi seraya membuka pintu lemari
es. "Apa yang kau mau Maya?"
Maya mengendikkan
bahunya. Dia tidak bisa memasak dan jelas akan sangat memalukan baginya kalau
Masumi yang menyiapkan makanan untuknya.
"Disini ada ikan
sarden, salmon, lalu ayam, sayuran ... hmmm ... ada juga spagheti dan saus siap
pakai." Masumi menyebutkan beberapa isi lemari esnya. Sepertinya penjaga
vila sudah menyiapkan semuanya.
Maya cukup senang
mendengar bahan terkhir yang disebut Masumi, "Kita makan spagheti
saja," usul Maya.
Masumi mengernyit.
"Hanya itu?"
"Nggg-,"
"Apa?"
"Saya tidak bisa
memasak Tuan Masumi, jadi akan lebih mudah jika saya merebus spagheti dan
memanasi sausnya." Maya tertunduk malu.
Dan Masumi tertawa
lagi. "Ya Tuhan, bisakah kau berhenti membuatku terus tertawa."
"Kalau begitu anda
tidak usah tertawa," Maya mendengus kesal dan melipat kedua tangannya di
dada.
Masumi terkikik geli.
"Jangan marah, sini." Masumi mendorong Maya dan menyuruhnya duduk di
kursi dapur. "Kau bisa memotong sayuran?"
"Tentu saja saya
bisa." Maya merasa terhina dengan ucapan Masumi.
Masumi terkikik lagi. "Tenang,
aku kan hanya bertanya." Masumi berbalik lalu mengambil ayam, sayuran,
pisau dan buah lalu meletakkannya di depan Maya.
"Nah, kau potong
ayam dan sayurannya. Aku akan menyiapkan bumbunya," kata Masumi sambil
tersenyum.
"Anda akan
memasak?"
"Hhmm, aku sudah
berjanji akan menyambutmu dengan layak kan? Tentu aku tidak akan membiarkanmu
kelaparan."
Maya cemberut dan mulai
mengerjakan tugasnya sementara Masumi sibuk meracik beberapa bumbu. Hari
semakin sore dan keduanya begitu menikmati ativitas masak bersama. Maya sambil
memotong sayuran terus bercerita tentang teman-temannya. Masumi menikmati
cerita Maya sambil terus memasak dan sesekali tertawa saat Maya menceritakan
beberapa kejadian lucu.
Maya terus mengoceh dan
sekarang dia sedang membersihkan beberapa piring dan gelas dari dalam lemari.
Masumi mematikan kompor dan tertegun melihat Maya yang masih asyik bercerita.
Apa
ini Maya? Kau membuatku merasa hidup, memasak berdua, mendengarkan kau
bercerita, aku lupa kapan terakhir kali aku menikmati waktu seperti ini. Sejak
ibu meninggal dan sejak saat itu ... ya sejak aku tenggelam di dinginnya air
laut. Aku sudah membunuh perasaanku. Saat itu, aku sudah mati. Dan kau datang
Maya. Kau menunjukkan padaku hidup yang sebenarnya, hidup yang harus
diperjuangkan. Kau memberikanku makna kehidupan yang sebenarnya … kau yang
bahkan sebelas tahun lebih muda dariku.
Masumi tersentak saat
tiba-tiba Maya menangkupkan kedua tangan mungilnya di wajah Masumi. Entah untuk
berapa lama Masumi mematung dan baru disadarinya ternyata dia ... menangis.
Mata Maya juga
berkaca-kaca saat memandangnya. "Apa yang bisa saya lakukan untuk membuat
wajah ini tersenyum. Tersenyum seperti saat dia bermain baseball, makan
taiyaki dan bahagia bersama ibunya. Katakan pada saya Tuan Masumi."
Masumi meraih tangan
Maya dan langsung mendekapnya, tidak peduli lagi dengan semuanya, hanya Maya ...
hanya Maya yang diinginkannya. Maya pun membiarkan Masumi meluapkan kesedihannya.
Jika dengan memeluknya maka kesedihan Masumi berkurang, Maya sama sekali tidak
keberatan.
***
>>Bersambung<<
Follow me on :
Facebook : Agnes FFTK
Wattpad : @agneskristina
0 Comments