Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
Naruto berjalan di taman untuk menghirup udara sore
yang segar. Suaminya sedang dipanggil oleh sang kakek. Dia masih malu untuk
bertemu nenek atau ibu mertuanya hingga memilih untuk berjalan di taman untuk
menghabiskan waktu. Sore nanti keluarga Uchiha akan kembali ke Konoha. Dia dan
Sasuke akan menyusul lusa bersama dengan kakek dan neneknya, sementara semua
paman dan bibinya akan pulang besok karena masalah pekerjaan.
Ketenangan Naruto terusik saat dia bertemu dengan
Karin di dekat taman mawar kesayangan bibinya, Rin. Kakak sepupunya itu tampak
sedang memetik beberapa tangkai mawar bersama seorang pelayan.
Melihat Naruto berjalan sendirian membuat Karin
menyunggingkan senyum. Itu adalah kesempatan langka. Biasanya Naruto akan
ditemani oleh pelayan. “Tolong bawa bunganya ke kamarku,” perintah Karin pada
pelayan yang menemaninya.
Pelayan itu pun mengangguk hormat. Dia memberi salam
pada Naruto sebelum masuk ke dalam istana membawa bunga. Meninggalkan Karin dan
Naruto berdua.
“Apakah Hime tidak kesepian berjalan di taman
sendirian? Kemana suami tampanmu, hm?” Karin melebarkan senyumnya saat melihat
perubahan ekspresi wajah Naruto. Dia senang karena tidak melihat pengawal di
sekitar mereka. Itu artinya Karin bisa sedikit bermain-main dengan adik
sepupunya.
“Aku hanya sedang ingin berjalan sendiri.” Naruto
berusaha untuk tidak terpancing.
“Begitukah? Keberatan kalau kutemani, Hime?”
“Tidak perlu Onee-sama, aku akan kembali ke dalam
sekarang.” Naruto sudah siap berbalik saat kemudian Karin mencekal pergelangan
tangannya.
“Kenapa terburu-buru? Apa kau sudah tidak sabar untuk
bertemu suamimu? Oh ya, aku belum bertanya, bagaimana malam pertamamu?”
Naruto menarik tangannya dari genggaman Karin. “Tolong
jaga sikapmu, Onee-sama.”
“Kenapa? Apa pertanyaanku salah? Bukankah hal biasa
jika sepasang pengantin melakukan malam pertama mereka setelah upacara pernikahan?
Atau-,” Karin tertawa saat melihat wajah Naruto yang kini memerah. Melihat apa
yang terjadi di meja makan tadi pagi, dia berani bertaruh kalau adik sepupunya
itu masih perawan dan belum melakukan malam pertamanya.
“Itu bukan urusanmu,” Naruto menjawab dengan tenang.
“Ah, kau benar, itu memang bukan urusanku.” Karin
kembali tertawa lalu memetik setangkai mawar dengan senyum sarkas yang terlihat
jelas. “Bolehkah aku memberi sedikit saran?”
Naruto tidak menjawab. Dia hanya mengamati sikap sang
kakak yang kini tengah mencium bunga mawar yang baru saja dipetiknya.
“Beberapa orang mengatakan kalau malam pertama
terkadang menyakitkan. Dan aku memperingatkanmu agar berhati-hati, Hime.” Karin
berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Naruto. “Jika sampai berdarah,
maka malam pertamamu akan kacau, bukan begitu?” bisiknya tepat di depan wajah
adik sepupunya.
Mata Naruto melebar saat kemudian melihat darah
menetes deras dari jari Karin. Kakak sepupunya itu pasti sengaja menggoreskan
jarinya pada duri bunga mawar. Dia masih bisa mendengar suara tawa Karin
sebelum pandangannya mengabur dengan napas tersengal. Naruto terduduk di atas
rumput taman, keringat dingin membasahi kening dan telapak tangannya. Jemarinya
mencengkram rumput di bawahnya, menahan rasa sesak di dada.
“Hime-sama!” Seorang pelayan memekik saat melihat
Naruto tampak kesulitan bernapas. “Anda baik-baik saja, Hime?”
“A-air,” pinta Naruto dengan suara gemetar.
Tenggorokannya terasa sangat kering.
Pelayan yang saat ini menopang tubuh lemas Naruto
tampak sangat panik. Dia bingung harus bagaimana sampai akhirnya berteriak
sekuat tenaga memanggil pengawal. Dia tidak peduli dengan aturan dan etika
istana. Beruntung tindakannya membuahkan hasil, dua orang pengawal datang dan
terkejut melihat apa yang terjadi.
“Ada apa?” tanya salah satu dari kedua pengawal itu.
“Kalian, tolong ambilkan segelas air dan tolong
beritahu siapa saja mengenai kondisi Hime. Cepat!!” Pelayan itu kembali memekik
hingga membuat kedua pengawal tadi langsung berlari ke dalam istana.
Tak lama kemudian datang dua orang pengawal lain
dimana salah satu membawa segelas air.
“Bantu Hime ke dalam dulu, temanku sedang memberitahu
Mizukage dan Uchiha-sama,” kata salah seorang pengawal.
Pelayan itu mengangguk. Dia meminta gelas air dan
membantu Naruto untuk minum. Setelahnya mereka membantu Naruto masuk dengan
memapahnya. Tidak ada dari mereka yang berani menggendong sang putri. Beruntung
Naruto masih dalam kondisi sadar meski kakinya gemetar saat berjalan.
Dalam sekejap istana digemparkan dengan kondisi
Naruto. Putri Namikaze itu dibaringkan di sofa panjang ruang keluarga istana.
Seorang pelayan kembali memberi Naruto segelas air hangat dan menyeka keringat
dingin di keningnya. Dia masih tampak kesulitan bernapas dengan tubuh gemetar.
Para pelayan menjauh dari sofa begitu Mito dan Tsunade datang dengan wajah
panik.
“Panggil Haruno Sensei, sekarang!” teriak Tsunade saat
melihat wajah pucat cucunya.
“Apa yang terjadi?” tanya Mito pada pelayan seraya
mengusap wajah Naruto yang kembali dibasahi dengan keringat dingin. “Naru?
Naru? Kau mendengarku?”
Tidak ada jawaban selain rintih kesakitan Naruto dan
itu membuat semua orang semakin khawatir. Jiraiya, Hashirama, Kurama dan Sasuke
yang memang sedang bersama di ruang kerja datang bersamaan dengan wajah sama
paniknya.
“Apa yang terjadi?” Jiraiya kembali bertanya dan
membuat pelayan sedikit takut dengan aura kelam dari para pemimpin kerajaan.
Pelayan itu pun memberanikan diri untuk menjawab. “Saya,
saya tadi sedang berjalan menuju taman untuk memberitahu Shimura-sama, ka-kalau
saya sudah meletakkan bunganya di kamar. Tapi kemudian saya melihat Hime-sama
sudah terduduk kesakitan di atas rumput.” Pelayan itu bicara dengan cepat.
“Saya, saya kemudian berteriak memanggil pengawal. Me-mereka yang membantu saya
untuk membawa Hime masuk.”
“Shimura-sama?” Hashirama dan Mito berseru bersamaan.
“I-iya Yang Mulia, putri Jendral Shimura,” jawab
pelayan itu lagi.
Wajah Mito tampak marah. “Apa sebelumnya Naru bersama
dengan Karin?” tanyanya dengan nada dingin. Dia sudah beranjak dari sisi
cucunya dan membiarkan Sasuke disamping istrinya.
“Benar Yang Mulia. Saya sedang membantu Shimura-sama
memetik bunga mawar saat Hime-sama datang. Lalu Shimura-sama meminta saya
meletakkan bunga itu di kamarnya. Dan saat saya kembali, saya, saya sudah
melihat Hime-sama dalam kondisi seperti itu.” Pelayan itu menunduk dan tidak
berani menatap wajah Mito.
Hashirama mengepalkan tangan menahan geram. Alih-alih
diam, Kurama sudah berbalik dan pergi dari ruang keluarga. Tidak ada yang
bertanya, mereka sudah tahu kemana Kurama akan pergi.
“Sasuke, bawa istrimu ke kamar. Dan jangan tinggalkan
dia sampai dokter datang,” perintah Jiraiya kemudian. Dia tahu kalau Naruto
belum bisa berkomunikasi sekarang.
“Baik Ojii-sama.” Dengan hati-hati Sasuke menggendong
Naruto dengan kedua lengannya. Istrinya tampak gelisah dengan napas tak
beraturan. Dia tidak tahu apakah Naruto dalam keadaan sadar atau tidak. Sejak
tadi istrinya itu tidak merespon panggilannya.
Sepeninggal Sasuke, Tsunade meminta semua pelayan dan
pengawal untuk pergi. Menyisakan mereka berempat di ruang keluarga.
“Hashirama, bolehkah aku menghukum cucumu atas
kesalahannya?” Jiraiya menoleh pada Hashirama yang tampak menahan amarahnya.
“Tidak perlu Jiraiya. Jika terbukti bersalah, aku yang
akan menghukumnya dengan tanganku sendiri.” Ini adalah jawaban dari Mito. Dia
tidak bisa lagi menahan diri dengan ulah Karin. Kali ini, dia pastikan akan
menghukum cucunya itu agar tidak lagi bermain-main dengan Naruto.
***
Sesampainya di kamar, Sasuke yang diikuti oleh dua
orang pelayan segera membaringkan Naruto di atas tempat tidur. Dia meminta
pelayan membuat teh dan meminta seorang pelayan lain menyiapkan handuk juga
baskom air hangat. Sasuke sendiri segera ke ruang ganti dan mengambil baju tidur
untuk istrinya.
Dibantu dengan pelayan yang baru keluar dari kamar
mandi dengan membawa baskom air, Sasuke mengganti gaun Naruto yang basah karena
keringat dingin. Dia menyeka leher dan kening istrinya dengan hati-hati. Naruto
sudah tampak lebih tenang tapi itu sama sekali tidak mengurangi
kekhawatirannya.
“Naru,” Sasuke mencoba memanggil Naruto sembari
menggenggam tangannya. Sayangnya sang istri masih tidak merespon.
“Haruno Sensei sebentar lagi akan tiba,” kata pelayan
yang berdiri di belakang Sasuke.
“Hm.”
Tepat saat itu pelayan lain datang dengan membawa teko
teh. Setelah meletakkan teh di meja nakas, Sasuke meminta kedua pelayan itu
untuk keluar. Mereka pun mengangguk patuh, memberi hormat lalu menunggu di luar
kamar.
Sasuke berbaring di sebelah Naruto dan memeluknya.
Membisikkan banyak kata cinta dan berharap Naruto bisa mendengarnya.
“Bangunlah Sayang, kumohon.”
***
“Kurama! Dimana sopan santunmu!” Karin terus berteriak
hal yang sama saat Kurama menyeretnya keluar dari kamar dan berniat membawanya
ke ruang keluarga. Dia semakin mengeratkan cengkramannya di pergelangan tangan
Karin saat wanita itu berusaha melepaskan diri.
“Kurama!!” Karin meninggikan suaranya. Dia lupa dengan
status Kurama di istana Kiri. Karin juga tidak peduli dengan para pelayan yang
melihat Kurama dengan tatapan takut.
“Lepaskan aku!!” teriak Karin lagi. Tapi itu sia-sia.
Kurama justru mempercepat langkahnya dan membuat wanita itu terseok-seok
menyamakan langkah kaki.
Kurama baru melepaskan Karin saat tiba di ruang
keluarga. Wanita itu terkejut melihat kakek dan neneknya bersama dengan
Mizukage juga istrinya. Mereka duduk dengan tenang tapi Karin tahu kalau
masalah sedang mendekatinya. Dia pun memberi hormat meski mengumpat dalam hati.
“Apa yang kau lakukan pada Naru?” Mito langsung
bertanya tanpa basa-basi.
“A-apa maksud Obaa-sama? Aku tidak mengerti.” Karin
tentu saja tidak akan mengaku.
“Pelayan mengatakan kau bersamanya tadi.”
“Ya, aku memang bersamanya Obaa-sama, tapi apa itu
salah? Kami hanya bicara sebentar lalu aku pergi. Memang ada apa?” Karin
melirik ke arah Kurama yang masih menatap tajam padanya.
“Karin, kau tahu kalau kau bisa dijatuhi hukuman berat
jika terbukti melukai Naru? Dia bukan hanya sekedar adik sepupumu, tapi dia
juga cucuku. Hukumku yang berlaku disini, kau mengerti?” Tsunade ikut bicara
karena merasa kesal melihat sikap arogan Karin.
Dalam hati Karin mengumpat, tapi tetap bersikap
tenang. “Tentu saja saya mengerti Yang Mulia, tapi apa salah saya sebenarnya?”
“Jangan bersandiwara! Katakan apa yang sudah kau
lakukan pada adikku!” Kurama tampak tidak sabar lagi menghadapi kakak
sepupunya.
“Bersikap sopanlah padaku, bagaimana pun juga aku
adalah kakakmu!” Karin balas berteriak hingga membuat semua orang terkejut.
“Akh!” Wanita itu meringis kesakitan saat Kurama mencengkeram lengannya.
“Kau pikir aku peduli?” desis Kurama di depan wajah
Karin.
Tepat saat itu Sara, Danzo dan Shin datang. Mungkin
ada pelayan yang memberitahu mereka. Sara tampak begitu panik melihat putrinya
bersama Kurama.
“Maaf, Okaa-sama, Otou-sama, apa yang terjadi? Kenapa
Karin-,” Sara menatap Kurama meminta belas kasihan. “Ku, bibi mohon lepaskan
Karin. Bi-bisakah kita membicarakannya baik-baik?”
“Tanyakan pada putrimu, apa yang sudah dia lakukan
pada Naru.” Melihat Mito enggan menjawab membuat Hashirama akhirnya bicara.
“Naru? Ada apa dengan Naru?” Sara tampak semakin
panik. “Karin, apa yang kau lakukan padanya?” tanyanya sembari menarik sang putri
dari cengkraman Kurama.
Danzo dan Shin tampak tenang dan hanya bertukar
pandang.
“Aku tidak melakukan apa-apa! Kenapa semua orang tidak
percaya padaku!” Karin mengusap lengannya yang terasa sakit.
“Naru tiba-tiba mengalami serangan panik. Kau tidak
tahu apa-apa padahal kau baru saja bersamanya? Kau pikir aku akan percaya?” Kurama
memincingkan mata pada kakak sepupunya.
Sara menutup mulut dengan tangan karena terkejut.
“Karin, bukankah sudah ibu katakan untuk tidak membuat masalah?”
“Aku tidak membuat masalah Okaa-sama! Kenapa semua
orang menyerangku seperti ini? Apa buktinya aku menyakiti putri manja itu?”
Plak! Suasana mendadak hening. Karin memegang pipinya
yang terasa panas, air mata mulai jatuh dan dia mendorong sang ayah yang baru
saja menamparnya.
“Shimura Karin, jaga ucapanmu,” desis Danzo pada putri
bungsunya. “Minta maaf pada Hokage dan Mizukage sekarang juga!”
“Ini tidak adil-,” Karin menangis, “-ini tidak adil!
Aku putrimu, harusnya kau membelaku! Apa aku harus kehilangan orang tuaku dulu
agar semua orang menyayangiku seperti Naruto!”
“Karin!” Brak! Hashirama hilang kesabaran hingga
memukul meja. Dia tidak menyangka kalau Karin sanggup mengucapkan hal selancang
itu. “Danzo, bawa putrimu keluar. Sekarang!”
“Baik Yang Mulia,” Danzo memberi hormat lalu memberi
isyarat pada Shin agar membawa Karin pergi.
Shin memberi hormat lalu menarik tangan adiknya,
menyeretnya meninggalkan ruang keluarga dan meninggalkan kedua orang tuanya.
Setelah Shin pergi, Danzo segera berlutut di depan
Hashirama dan Jiraiya hingga membuat Sara yang tengah menangis terkejut.
“Anata-,”
“Saya bertanggung jawab atas kelancangan Karin. Mohon
Yang Mulia memberikan hukuman.”
Jiraiya menghela napas berat lalu beranjak dengan
sebelumnya menepuk bahu Hashirama. Tanpa kata dia meninggalkan ruang keluarga
diikuti oleh Tsunade. Kini hanya tinggal Hashirama, Mito dan Kurama. Ketiganya
menatap Danzo yang tengah berlutut dan Sara yang sedang menangis.
“Sara, apa yang harus aku lakukan pada putrimu?” Mito
bicara dengan nada pedih hingga membuat Sara semakin terisak.
“Okaa-sama, maafkan aku yang tidak bisa mendidiknya.
Maaf-,” ucap Sara di tengah isakannya.
Kurama mengepalkan tangan menahan marah dan memilih
pergi meninggalkan ruang keluarga. Dia harus mengalihkan emosinya.
“Danzo, Sara, bersiaplah. Kalian akan kembali ke
Konoha sore ini juga.”
Danzo hanya bisa menundukkan kepala atas perintah
Hashirama. Dia bisa melihat ketidak berdayaan Hokage karena semua ucapan Karin.
“Baik Yang Mulia.”
Dan Sara tidak berani membantah perintah sang ayah.
Dia bahkan tidak berani memandang Mito yang akhirnya meninggalkan ruang
keluarga bersama Hashirama.
***
“Jangan perlakukan aku seperti ini!” Karin mendorong
kakaknya begitu mereka sampai di dalam kamar.
“Tidak puaskah kau membuat masalah?” Shin merasa
begitu kesal dengan adiknya. dia bahkan tidak akan terkejut jika Kurama
menembak adiknya tadi. Beruntung semua orang bisa menahan diri dengan baik.
Kecuali ayahnya, tentu saja, memang harus ada yang memukul mulut lancang Karin.
“Siapa yang membuat masalah, huh?” Karin melotot pada
kakaknya.
Shin menggeleng dan merasa sia-sia jika harus berdebat
dengan adiknya. Sang ibu terlalu memanjakannya hingga Karin tumbuh menjadi
wanita yang keras kepala.
“Apa yang aku katakan itu salah?” Karin kembali bicara
dengan tangan terlipat di depan dada. “Aku lebih tua dari Naruto tapi semua
orang lebih menghormatinya. Dia mendapatkan semuanya, bahkan menikah lebih dulu
dan melewatiku. Tidak pernah ada yang memarahinya, apa itu adil?”
“Ck, mereka tidak menyukaimu karena sifatmu yang
mengerikan!” Shin menunjuk dada adiknya dengan geram.
“Apa yang salah dengan sifatku? Seorang putri memang
tidak boleh direndahkan.” Karin membela diri.
“Persetan dengan itu Karin. Sadari posisimu!” Shin
semakin geram dan menatap adiknya tajam. “Suatu hari nanti kau akan menyesali
semua ini. Kau bahkan akan malu memasuki istana dan tidak akan berani menatap
Naruto dan Kurama dengan kepala tegak.”
Setelah mengatakan hal itu, Shin meninggalkan sang
adik dan menguncinya di dalam kamar. Dia menghela napas panjang saat bersandar
pada pintu yang tertutup.
***
Kepulangan keluarga Uchiha dilingkupi dengan suasana
canggung karena Danzo dan keluarganya akan ikut dalam penerbangan pribadi
mereka. Tidak ada waktu untuk menyiapkan penerbangan pribadi lagi dikarenakan
jadwal penerbangan negara Mizu yang cukup padat. Madara yang sudah mendengar
cerita tentang Naruto menjadi marah dan sama sekali tidak menatap Karin. Jika
tidak memandang Hashirama, mungkin dia akan menghukum Karin dengan caranya.
Sasuke tidak ikut mengantar keluarganya karena harus
menjaga Naruto. Tidak ada yang berani mengganggu istirahatnya setelah dokter
menyatakan agar putri Namikaze itu dibiarkan tenang tanpa banyak pertanyaan.
Alhasil, hanya Sasuke yang menjaganya di kamar.
Hari menjelang petang saat akhirnya Naruto membuka
mata setelah tertidur di bawah pengaruh obat penenang. Melihat senyum suaminya
membuat putri Namikaze itu bangun dengan perasaan linglung.
“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” Sasuke mencium kening
Naruto dan mengusap wajahnya dengan lembut.
Naruto mengedarkan pandangannya dan menyadari dirinya
berada di dalam kamar. “Kepalaku pusing, apa terjadi sesuatu?”
“Apa yang terakhir kau ingat Naru?” Sasuke menarik
tangan Naruto yang hendak memijat pelipisnya. Ibu jarinya dengan lembut memijat
pelipis sang istri dan membuatnya kembali memejamkan mata.
Naruto mencoba memutar ulang memorinya dan teringat
percakapannya dengan Karin, juga bagaimana kakak sepupunya itu dengan sengaja
melukai jarinya untuk menakutinya. Akan jadi masalah besar kalau sampai
keluarganya tahu.
“Sasuke, aku ingin minum.” Naruto kembali membuka mata
dan menatap suaminya.
“Hm.” Dengan cepat Sasuke beranjak lalu menuang teh
hangat dari dalam teko. Dia pun membantu Naruto duduk bersandar pada kepala
tempat tidur.
Sensasi hangat dari teh membuat perasaan Naruto lebih
baik. Denyut dikepalanya juga berkurang.
“Lebih baik?” tanya Sasuke saat Naruto mengulurkan
cangkir kosong padanya.
Naruto mengangguk sembari mengulas senyum tipis. Dia
bisa melihat Sasuke berusaha untuk menutupi kekhawatirannya. “Berapa lama aku
tidur?”
“Sekitar empat jam.”
Dari pintu balkon Naruto bisa melihat langit yang
mulai menggelap. “Apa kita melewatkan kepulangan Ojii-sama?”
“Ya, mereka sudah berangkat satu jam yang lalu. Begitu
juga Jenderal Danzo dan keluarganya.” Sasuke sengaja menyebutkan hal itu untuk
melihat reaksi Naruto. Istrinya itu pasti tidak akan bercerita mengenai Karin
jika tidak ‘dipaksa’.
“Maaf aku membuatmu tidak bisa mengantar kepulangan
keluarga kita.” Naruto kembali menoleh pada suaminya.
“Tidak masalah, kita akan kembali bertemu mereka lusa
nanti.” Tahu istrinya mengalihkan topik pembicaraan membuat Sasuke tak ingin
bertanya lagi. Dia pun duduk di tepi tempat tidur lalu menarik Naruto ke dalam
pelukannya.
“Aku baik-baik saja,” ucap Naruto sembari mengusap
dada suaminya, menenangkannya. Dia mendengar degub jantung Sasuke yang bertalu.
“Hm,” gumam Sasuke sembari mengecup puncak kepala
istrinya. “Apa kau lapar?” tanyanya kemudian karena tidak tahu harus berkata
apa. Sasuke sebenarnya merasa sangat marah tapi juga tidak tahu harus bagaimana
karena bahkan Naruto tidak mau menceritakan apa yang telah kakak sepupunya itu
lakukan.
“Ya, tapi aku tidak mau makan malam bersama keluarga.”
Naruto menyamankan diri dalam pelukan suaminya.
“Tidak masalah, kita akan makan malam romantis di
dalam kamar.”
Ucapan Sasuke membuat Naruto tersenyum. “Romantis?”
“Ya, romantis.” Sasuke ikut tersenyum saat Naruto
menegakkan tubuh untuk menatapnya. Wajah istrinya tak lagi pucat dan itu
membuatnya lega. “Kau ingin makan apa?”
“Apa masih bisa romantis jika aku ingin sop iga pedas
dengan nasi dan tumis sayur hijau?”
Tentu saja Sasuke tertawa dengan menu makanan yang disebutkan
oleh Naruto. “Aku berpikir untuk menghias meja balkon dengan lilin, tapi
sepertinya sop iga pedas hanya akan membuat lilinnya terlihat lucu.”
“Kau terdengar sangat berpengalaman dengan makan malam
romantis.”
“Hei, jangan memulai sesuatu yang akhirnya hanya akan
kau sesali, Sayang.” Sasuke mencolek hidung istrinya. “Apa kau tidak pernah
menonton drama dengan adegan makan malam romantis?”
“Ah, bunga, lilin dan hadiah.” Naruto tersenyum.
“Ya, bunga, lilin dan hadiah. Tidak dengan tambahan
sop iga juga tumis sayur hijau.”
Keduanya pun tertawa dengan kekonyolan mereka. Naruto
merasa lebih baik, jauh lebih baik.
***
Di waktu yang sama, di sebuah gudang senjata, Hidan
menyeringai melihat tumpukan kotak penuh senjata.
“Siapkan semua anak buah kalian. Dua hari lagi kita
akan berpesta di istana Uzushio.”
“Baik, Ketua!!” jawab semua anak buahnya serempak
hingga membuat tawa Hidan meledak. Dia merasa begitu senang karena akhirnya
bisa segera membalas dendam.
***
>>Bersambung<<
>>Nami Cafe - Chapter 25<< (Ada di dalam versi PDF. Silakan hubungi author untuk pemesanan)
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments