Nami Cafe - Chapter 24

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================


(Picture from pinterest, credit for owner)

Naruto berjalan di taman untuk menghirup udara sore yang segar. Suaminya sedang dipanggil oleh sang kakek. Dia masih malu untuk bertemu nenek atau ibu mertuanya hingga memilih untuk berjalan di taman untuk menghabiskan waktu. Sore nanti keluarga Uchiha akan kembali ke Konoha. Dia dan Sasuke akan menyusul lusa bersama dengan kakek dan neneknya, sementara semua paman dan bibinya akan pulang besok karena masalah pekerjaan.

Ketenangan Naruto terusik saat dia bertemu dengan Karin di dekat taman mawar kesayangan bibinya, Rin. Kakak sepupunya itu tampak sedang memetik beberapa tangkai mawar bersama seorang pelayan.

Melihat Naruto berjalan sendirian membuat Karin menyunggingkan senyum. Itu adalah kesempatan langka. Biasanya Naruto akan ditemani oleh pelayan. “Tolong bawa bunganya ke kamarku,” perintah Karin pada pelayan yang menemaninya.

Pelayan itu pun mengangguk hormat. Dia memberi salam pada Naruto sebelum masuk ke dalam istana membawa bunga. Meninggalkan Karin dan Naruto berdua.

“Apakah Hime tidak kesepian berjalan di taman sendirian? Kemana suami tampanmu, hm?” Karin melebarkan senyumnya saat melihat perubahan ekspresi wajah Naruto. Dia senang karena tidak melihat pengawal di sekitar mereka. Itu artinya Karin bisa sedikit bermain-main dengan adik sepupunya.

“Aku hanya sedang ingin berjalan sendiri.” Naruto berusaha untuk tidak terpancing.

“Begitukah? Keberatan kalau kutemani, Hime?”

“Tidak perlu Onee-sama, aku akan kembali ke dalam sekarang.” Naruto sudah siap berbalik saat kemudian Karin mencekal pergelangan tangannya.

“Kenapa terburu-buru? Apa kau sudah tidak sabar untuk bertemu suamimu? Oh ya, aku belum bertanya, bagaimana malam pertamamu?”

Naruto menarik tangannya dari genggaman Karin. “Tolong jaga sikapmu, Onee-sama.”

“Kenapa? Apa pertanyaanku salah? Bukankah hal biasa jika sepasang pengantin melakukan malam pertama mereka setelah upacara pernikahan? Atau-,” Karin tertawa saat melihat wajah Naruto yang kini memerah. Melihat apa yang terjadi di meja makan tadi pagi, dia berani bertaruh kalau adik sepupunya itu masih perawan dan belum melakukan malam pertamanya.

“Itu bukan urusanmu,” Naruto menjawab dengan tenang.

“Ah, kau benar, itu memang bukan urusanku.” Karin kembali tertawa lalu memetik setangkai mawar dengan senyum sarkas yang terlihat jelas. “Bolehkah aku memberi sedikit saran?”

Naruto tidak menjawab. Dia hanya mengamati sikap sang kakak yang kini tengah mencium bunga mawar yang baru saja dipetiknya.

“Beberapa orang mengatakan kalau malam pertama terkadang menyakitkan. Dan aku memperingatkanmu agar berhati-hati, Hime.” Karin berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Naruto. “Jika sampai berdarah, maka malam pertamamu akan kacau, bukan begitu?” bisiknya tepat di depan wajah adik sepupunya.

Mata Naruto melebar saat kemudian melihat darah menetes deras dari jari Karin. Kakak sepupunya itu pasti sengaja menggoreskan jarinya pada duri bunga mawar. Dia masih bisa mendengar suara tawa Karin sebelum pandangannya mengabur dengan napas tersengal. Naruto terduduk di atas rumput taman, keringat dingin membasahi kening dan telapak tangannya. Jemarinya mencengkram rumput di bawahnya, menahan rasa sesak di dada.

“Hime-sama!” Seorang pelayan memekik saat melihat Naruto tampak kesulitan bernapas. “Anda baik-baik saja, Hime?”

“A-air,” pinta Naruto dengan suara gemetar. Tenggorokannya terasa sangat kering.

Pelayan yang saat ini menopang tubuh lemas Naruto tampak sangat panik. Dia bingung harus bagaimana sampai akhirnya berteriak sekuat tenaga memanggil pengawal. Dia tidak peduli dengan aturan dan etika istana. Beruntung tindakannya membuahkan hasil, dua orang pengawal datang dan terkejut melihat apa yang terjadi.

“Ada apa?” tanya salah satu dari kedua pengawal itu.

“Kalian, tolong ambilkan segelas air dan tolong beritahu siapa saja mengenai kondisi Hime. Cepat!!” Pelayan itu kembali memekik hingga membuat kedua pengawal tadi langsung berlari ke dalam istana.

Tak lama kemudian datang dua orang pengawal lain dimana salah satu membawa segelas air.

“Bantu Hime ke dalam dulu, temanku sedang memberitahu Mizukage dan Uchiha-sama,” kata salah seorang pengawal.

Pelayan itu mengangguk. Dia meminta gelas air dan membantu Naruto untuk minum. Setelahnya mereka membantu Naruto masuk dengan memapahnya. Tidak ada dari mereka yang berani menggendong sang putri. Beruntung Naruto masih dalam kondisi sadar meski kakinya gemetar saat berjalan.

Dalam sekejap istana digemparkan dengan kondisi Naruto. Putri Namikaze itu dibaringkan di sofa panjang ruang keluarga istana. Seorang pelayan kembali memberi Naruto segelas air hangat dan menyeka keringat dingin di keningnya. Dia masih tampak kesulitan bernapas dengan tubuh gemetar. Para pelayan menjauh dari sofa begitu Mito dan Tsunade datang dengan wajah panik.

“Panggil Haruno Sensei, sekarang!” teriak Tsunade saat melihat wajah pucat cucunya.

“Apa yang terjadi?” tanya Mito pada pelayan seraya mengusap wajah Naruto yang kembali dibasahi dengan keringat dingin. “Naru? Naru? Kau mendengarku?”

Tidak ada jawaban selain rintih kesakitan Naruto dan itu membuat semua orang semakin khawatir. Jiraiya, Hashirama, Kurama dan Sasuke yang memang sedang bersama di ruang kerja datang bersamaan dengan wajah sama paniknya.

“Apa yang terjadi?” Jiraiya kembali bertanya dan membuat pelayan sedikit takut dengan aura kelam dari para pemimpin kerajaan.

Pelayan itu pun memberanikan diri untuk menjawab. “Saya, saya tadi sedang berjalan menuju taman untuk memberitahu Shimura-sama, ka-kalau saya sudah meletakkan bunganya di kamar. Tapi kemudian saya melihat Hime-sama sudah terduduk kesakitan di atas rumput.” Pelayan itu bicara dengan cepat. “Saya, saya kemudian berteriak memanggil pengawal. Me-mereka yang membantu saya untuk membawa Hime masuk.”

“Shimura-sama?” Hashirama dan Mito berseru bersamaan.

“I-iya Yang Mulia, putri Jendral Shimura,” jawab pelayan itu lagi.

Wajah Mito tampak marah. “Apa sebelumnya Naru bersama dengan Karin?” tanyanya dengan nada dingin. Dia sudah beranjak dari sisi cucunya dan membiarkan Sasuke disamping istrinya.

“Benar Yang Mulia. Saya sedang membantu Shimura-sama memetik bunga mawar saat Hime-sama datang. Lalu Shimura-sama meminta saya meletakkan bunga itu di kamarnya. Dan saat saya kembali, saya, saya sudah melihat Hime-sama dalam kondisi seperti itu.” Pelayan itu menunduk dan tidak berani menatap wajah Mito.

Hashirama mengepalkan tangan menahan geram. Alih-alih diam, Kurama sudah berbalik dan pergi dari ruang keluarga. Tidak ada yang bertanya, mereka sudah tahu kemana Kurama akan pergi.

“Sasuke, bawa istrimu ke kamar. Dan jangan tinggalkan dia sampai dokter datang,” perintah Jiraiya kemudian. Dia tahu kalau Naruto belum bisa berkomunikasi sekarang.

“Baik Ojii-sama.” Dengan hati-hati Sasuke menggendong Naruto dengan kedua lengannya. Istrinya tampak gelisah dengan napas tak beraturan. Dia tidak tahu apakah Naruto dalam keadaan sadar atau tidak. Sejak tadi istrinya itu tidak merespon panggilannya.

Sepeninggal Sasuke, Tsunade meminta semua pelayan dan pengawal untuk pergi. Menyisakan mereka berempat di ruang keluarga.

“Hashirama, bolehkah aku menghukum cucumu atas kesalahannya?” Jiraiya menoleh pada Hashirama yang tampak menahan amarahnya.

“Tidak perlu Jiraiya. Jika terbukti bersalah, aku yang akan menghukumnya dengan tanganku sendiri.” Ini adalah jawaban dari Mito. Dia tidak bisa lagi menahan diri dengan ulah Karin. Kali ini, dia pastikan akan menghukum cucunya itu agar tidak lagi bermain-main dengan Naruto.

***

Sesampainya di kamar, Sasuke yang diikuti oleh dua orang pelayan segera membaringkan Naruto di atas tempat tidur. Dia meminta pelayan membuat teh dan meminta seorang pelayan lain menyiapkan handuk juga baskom air hangat. Sasuke sendiri segera ke ruang ganti dan mengambil baju tidur untuk istrinya.

Dibantu dengan pelayan yang baru keluar dari kamar mandi dengan membawa baskom air, Sasuke mengganti gaun Naruto yang basah karena keringat dingin. Dia menyeka leher dan kening istrinya dengan hati-hati. Naruto sudah tampak lebih tenang tapi itu sama sekali tidak mengurangi kekhawatirannya.

“Naru,” Sasuke mencoba memanggil Naruto sembari menggenggam tangannya. Sayangnya sang istri masih tidak merespon.

“Haruno Sensei sebentar lagi akan tiba,” kata pelayan yang berdiri di belakang Sasuke.

“Hm.”

Tepat saat itu pelayan lain datang dengan membawa teko teh. Setelah meletakkan teh di meja nakas, Sasuke meminta kedua pelayan itu untuk keluar. Mereka pun mengangguk patuh, memberi hormat lalu menunggu di luar kamar.

Sasuke berbaring di sebelah Naruto dan memeluknya. Membisikkan banyak kata cinta dan berharap Naruto bisa mendengarnya.

“Bangunlah Sayang, kumohon.”

***

“Kurama! Dimana sopan santunmu!” Karin terus berteriak hal yang sama saat Kurama menyeretnya keluar dari kamar dan berniat membawanya ke ruang keluarga. Dia semakin mengeratkan cengkramannya di pergelangan tangan Karin saat wanita itu berusaha melepaskan diri.

“Kurama!!” Karin meninggikan suaranya. Dia lupa dengan status Kurama di istana Kiri. Karin juga tidak peduli dengan para pelayan yang melihat Kurama dengan tatapan takut.

“Lepaskan aku!!” teriak Karin lagi. Tapi itu sia-sia. Kurama justru mempercepat langkahnya dan membuat wanita itu terseok-seok menyamakan langkah kaki.

Kurama baru melepaskan Karin saat tiba di ruang keluarga. Wanita itu terkejut melihat kakek dan neneknya bersama dengan Mizukage juga istrinya. Mereka duduk dengan tenang tapi Karin tahu kalau masalah sedang mendekatinya. Dia pun memberi hormat meski mengumpat dalam hati.

“Apa yang kau lakukan pada Naru?” Mito langsung bertanya tanpa basa-basi.

“A-apa maksud Obaa-sama? Aku tidak mengerti.” Karin tentu saja tidak akan mengaku.

“Pelayan mengatakan kau bersamanya tadi.”

“Ya, aku memang bersamanya Obaa-sama, tapi apa itu salah? Kami hanya bicara sebentar lalu aku pergi. Memang ada apa?” Karin melirik ke arah Kurama yang masih menatap tajam padanya.

“Karin, kau tahu kalau kau bisa dijatuhi hukuman berat jika terbukti melukai Naru? Dia bukan hanya sekedar adik sepupumu, tapi dia juga cucuku. Hukumku yang berlaku disini, kau mengerti?” Tsunade ikut bicara karena merasa kesal melihat sikap arogan Karin.

Dalam hati Karin mengumpat, tapi tetap bersikap tenang. “Tentu saja saya mengerti Yang Mulia, tapi apa salah saya sebenarnya?”

“Jangan bersandiwara! Katakan apa yang sudah kau lakukan pada adikku!” Kurama tampak tidak sabar lagi menghadapi kakak sepupunya.

“Bersikap sopanlah padaku, bagaimana pun juga aku adalah kakakmu!” Karin balas berteriak hingga membuat semua orang terkejut. “Akh!” Wanita itu meringis kesakitan saat Kurama mencengkeram lengannya.

“Kau pikir aku peduli?” desis Kurama di depan wajah Karin.

Tepat saat itu Sara, Danzo dan Shin datang. Mungkin ada pelayan yang memberitahu mereka. Sara tampak begitu panik melihat putrinya bersama Kurama.

“Maaf, Okaa-sama, Otou-sama, apa yang terjadi? Kenapa Karin-,” Sara menatap Kurama meminta belas kasihan. “Ku, bibi mohon lepaskan Karin. Bi-bisakah kita membicarakannya baik-baik?”

“Tanyakan pada putrimu, apa yang sudah dia lakukan pada Naru.” Melihat Mito enggan menjawab membuat Hashirama akhirnya bicara.

“Naru? Ada apa dengan Naru?” Sara tampak semakin panik. “Karin, apa yang kau lakukan padanya?” tanyanya sembari menarik sang putri dari cengkraman Kurama.

Danzo dan Shin tampak tenang dan hanya bertukar pandang.

“Aku tidak melakukan apa-apa! Kenapa semua orang tidak percaya padaku!” Karin mengusap lengannya yang terasa sakit.

“Naru tiba-tiba mengalami serangan panik. Kau tidak tahu apa-apa padahal kau baru saja bersamanya? Kau pikir aku akan percaya?” Kurama memincingkan mata pada kakak sepupunya.

Sara menutup mulut dengan tangan karena terkejut. “Karin, bukankah sudah ibu katakan untuk tidak membuat masalah?”

“Aku tidak membuat masalah Okaa-sama! Kenapa semua orang menyerangku seperti ini? Apa buktinya aku menyakiti putri manja itu?”

Plak! Suasana mendadak hening. Karin memegang pipinya yang terasa panas, air mata mulai jatuh dan dia mendorong sang ayah yang baru saja menamparnya.

“Shimura Karin, jaga ucapanmu,” desis Danzo pada putri bungsunya. “Minta maaf pada Hokage dan Mizukage sekarang juga!”

“Ini tidak adil-,” Karin menangis, “-ini tidak adil! Aku putrimu, harusnya kau membelaku! Apa aku harus kehilangan orang tuaku dulu agar semua orang menyayangiku seperti Naruto!”

“Karin!” Brak! Hashirama hilang kesabaran hingga memukul meja. Dia tidak menyangka kalau Karin sanggup mengucapkan hal selancang itu. “Danzo, bawa putrimu keluar. Sekarang!”

“Baik Yang Mulia,” Danzo memberi hormat lalu memberi isyarat pada Shin agar membawa Karin pergi.

Shin memberi hormat lalu menarik tangan adiknya, menyeretnya meninggalkan ruang keluarga dan meninggalkan kedua orang tuanya.

Setelah Shin pergi, Danzo segera berlutut di depan Hashirama dan Jiraiya hingga membuat Sara yang tengah menangis terkejut.

“Anata-,”

“Saya bertanggung jawab atas kelancangan Karin. Mohon Yang Mulia memberikan hukuman.”

Jiraiya menghela napas berat lalu beranjak dengan sebelumnya menepuk bahu Hashirama. Tanpa kata dia meninggalkan ruang keluarga diikuti oleh Tsunade. Kini hanya tinggal Hashirama, Mito dan Kurama. Ketiganya menatap Danzo yang tengah berlutut dan Sara yang sedang menangis.

“Sara, apa yang harus aku lakukan pada putrimu?” Mito bicara dengan nada pedih hingga membuat Sara semakin terisak.

“Okaa-sama, maafkan aku yang tidak bisa mendidiknya. Maaf-,” ucap Sara di tengah isakannya.

Kurama mengepalkan tangan menahan marah dan memilih pergi meninggalkan ruang keluarga. Dia harus mengalihkan emosinya.

“Danzo, Sara, bersiaplah. Kalian akan kembali ke Konoha sore ini juga.”

Danzo hanya bisa menundukkan kepala atas perintah Hashirama. Dia bisa melihat ketidak berdayaan Hokage karena semua ucapan Karin. “Baik Yang Mulia.”

Dan Sara tidak berani membantah perintah sang ayah. Dia bahkan tidak berani memandang Mito yang akhirnya meninggalkan ruang keluarga bersama Hashirama.

***

“Jangan perlakukan aku seperti ini!” Karin mendorong kakaknya begitu mereka sampai di dalam kamar.

“Tidak puaskah kau membuat masalah?” Shin merasa begitu kesal dengan adiknya. dia bahkan tidak akan terkejut jika Kurama menembak adiknya tadi. Beruntung semua orang bisa menahan diri dengan baik. Kecuali ayahnya, tentu saja, memang harus ada yang memukul mulut lancang Karin.

“Siapa yang membuat masalah, huh?” Karin melotot pada kakaknya.

Shin menggeleng dan merasa sia-sia jika harus berdebat dengan adiknya. Sang ibu terlalu memanjakannya hingga Karin tumbuh menjadi wanita yang keras kepala.

“Apa yang aku katakan itu salah?” Karin kembali bicara dengan tangan terlipat di depan dada. “Aku lebih tua dari Naruto tapi semua orang lebih menghormatinya. Dia mendapatkan semuanya, bahkan menikah lebih dulu dan melewatiku. Tidak pernah ada yang memarahinya, apa itu adil?”

“Ck, mereka tidak menyukaimu karena sifatmu yang mengerikan!” Shin menunjuk dada adiknya dengan geram.

“Apa yang salah dengan sifatku? Seorang putri memang tidak boleh direndahkan.” Karin membela diri.

“Persetan dengan itu Karin. Sadari posisimu!” Shin semakin geram dan menatap adiknya tajam. “Suatu hari nanti kau akan menyesali semua ini. Kau bahkan akan malu memasuki istana dan tidak akan berani menatap Naruto dan Kurama dengan kepala tegak.”

Setelah mengatakan hal itu, Shin meninggalkan sang adik dan menguncinya di dalam kamar. Dia menghela napas panjang saat bersandar pada pintu yang tertutup.

***

Kepulangan keluarga Uchiha dilingkupi dengan suasana canggung karena Danzo dan keluarganya akan ikut dalam penerbangan pribadi mereka. Tidak ada waktu untuk menyiapkan penerbangan pribadi lagi dikarenakan jadwal penerbangan negara Mizu yang cukup padat. Madara yang sudah mendengar cerita tentang Naruto menjadi marah dan sama sekali tidak menatap Karin. Jika tidak memandang Hashirama, mungkin dia akan menghukum Karin dengan caranya.

Sasuke tidak ikut mengantar keluarganya karena harus menjaga Naruto. Tidak ada yang berani mengganggu istirahatnya setelah dokter menyatakan agar putri Namikaze itu dibiarkan tenang tanpa banyak pertanyaan. Alhasil, hanya Sasuke yang menjaganya di kamar.

Hari menjelang petang saat akhirnya Naruto membuka mata setelah tertidur di bawah pengaruh obat penenang. Melihat senyum suaminya membuat putri Namikaze itu bangun dengan perasaan linglung.

“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” Sasuke mencium kening Naruto dan mengusap wajahnya dengan lembut.

Naruto mengedarkan pandangannya dan menyadari dirinya berada di dalam kamar. “Kepalaku pusing, apa terjadi sesuatu?”

“Apa yang terakhir kau ingat Naru?” Sasuke menarik tangan Naruto yang hendak memijat pelipisnya. Ibu jarinya dengan lembut memijat pelipis sang istri dan membuatnya kembali memejamkan mata.

Naruto mencoba memutar ulang memorinya dan teringat percakapannya dengan Karin, juga bagaimana kakak sepupunya itu dengan sengaja melukai jarinya untuk menakutinya. Akan jadi masalah besar kalau sampai keluarganya tahu.

“Sasuke, aku ingin minum.” Naruto kembali membuka mata dan menatap suaminya.

“Hm.” Dengan cepat Sasuke beranjak lalu menuang teh hangat dari dalam teko. Dia pun membantu Naruto duduk bersandar pada kepala tempat tidur.

Sensasi hangat dari teh membuat perasaan Naruto lebih baik. Denyut dikepalanya juga berkurang.

“Lebih baik?” tanya Sasuke saat Naruto mengulurkan cangkir kosong padanya.

Naruto mengangguk sembari mengulas senyum tipis. Dia bisa melihat Sasuke berusaha untuk menutupi kekhawatirannya. “Berapa lama aku tidur?”

“Sekitar empat jam.”

Dari pintu balkon Naruto bisa melihat langit yang mulai menggelap. “Apa kita melewatkan kepulangan Ojii-sama?”

“Ya, mereka sudah berangkat satu jam yang lalu. Begitu juga Jenderal Danzo dan keluarganya.” Sasuke sengaja menyebutkan hal itu untuk melihat reaksi Naruto. Istrinya itu pasti tidak akan bercerita mengenai Karin jika tidak ‘dipaksa’.

“Maaf aku membuatmu tidak bisa mengantar kepulangan keluarga kita.” Naruto kembali menoleh pada suaminya.

“Tidak masalah, kita akan kembali bertemu mereka lusa nanti.” Tahu istrinya mengalihkan topik pembicaraan membuat Sasuke tak ingin bertanya lagi. Dia pun duduk di tepi tempat tidur lalu menarik Naruto ke dalam pelukannya.

“Aku baik-baik saja,” ucap Naruto sembari mengusap dada suaminya, menenangkannya. Dia mendengar degub jantung Sasuke yang bertalu.

“Hm,” gumam Sasuke sembari mengecup puncak kepala istrinya. “Apa kau lapar?” tanyanya kemudian karena tidak tahu harus berkata apa. Sasuke sebenarnya merasa sangat marah tapi juga tidak tahu harus bagaimana karena bahkan Naruto tidak mau menceritakan apa yang telah kakak sepupunya itu lakukan.

“Ya, tapi aku tidak mau makan malam bersama keluarga.” Naruto menyamankan diri dalam pelukan suaminya.

“Tidak masalah, kita akan makan malam romantis di dalam kamar.”

Ucapan Sasuke membuat Naruto tersenyum. “Romantis?”

“Ya, romantis.” Sasuke ikut tersenyum saat Naruto menegakkan tubuh untuk menatapnya. Wajah istrinya tak lagi pucat dan itu membuatnya lega. “Kau ingin makan apa?”

“Apa masih bisa romantis jika aku ingin sop iga pedas dengan nasi dan tumis sayur hijau?”

Tentu saja Sasuke tertawa dengan menu makanan yang disebutkan oleh Naruto. “Aku berpikir untuk menghias meja balkon dengan lilin, tapi sepertinya sop iga pedas hanya akan membuat lilinnya terlihat lucu.”

“Kau terdengar sangat berpengalaman dengan makan malam romantis.”

“Hei, jangan memulai sesuatu yang akhirnya hanya akan kau sesali, Sayang.” Sasuke mencolek hidung istrinya. “Apa kau tidak pernah menonton drama dengan adegan makan malam romantis?”

“Ah, bunga, lilin dan hadiah.” Naruto tersenyum.

“Ya, bunga, lilin dan hadiah. Tidak dengan tambahan sop iga juga tumis sayur hijau.”

Keduanya pun tertawa dengan kekonyolan mereka. Naruto merasa lebih baik, jauh lebih baik.

***

Di waktu yang sama, di sebuah gudang senjata, Hidan menyeringai melihat tumpukan kotak penuh senjata.

“Siapkan semua anak buah kalian. Dua hari lagi kita akan berpesta di istana Uzushio.”

“Baik, Ketua!!” jawab semua anak buahnya serempak hingga membuat tawa Hidan meledak. Dia merasa begitu senang karena akhirnya bisa segera membalas dendam.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 23<<

>>Nami Cafe - Chapter 25<< (Ada di dalam versi PDF. Silakan hubungi author untuk pemesanan)

>>Nami Cafe - Chapter 26<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments