Nami Cafe - Chapter 23

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================

(Picture from pinterest, credit for owner)

Terbangun dengan Sasuke berada di sebelahnya sempat membuat Naruto terkejut. Dia lalu ingat kalau kemarin sudah menikah dengan bungsu Uchiha itu. Ah, semua masih terasa seperti mimpi baginya.

Senyum Naruto mengembang saat teringat apa yang terjadi semalam. Selesai mandi, Sasuke memintanya untuk segera tidur. Suaminya itu sama sekali tidak menyinggung mengenai malam pertama atau semacamnya. Sasuke benar-benar membiarkannya beristirahat dengan tenang tanpa menyentuhnya. Apa suaminya tahu kalau dia masih malu dan canggung? Atau memang Sasuke tidak berhasrat padanya?

Naruto menggeleng cepat sembari menghela napas, menyingkirkan opsi kedua dari pikirannya. Sasuke mencintainya dan Naruto percaya itu. Dia yakin kalau suaminya itu hanya menahan diri karena tahu dia kelelahan bukan karena tidak menginginkannya.

Melihat wajah tenang Sasuke yang sedang tidur membuat tangan Naruto gatal. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah sang suami untuk pertama kalinya. Ternyata menyenangkan bisa menyentuh orang yang kau cintai. Inikah sebabnya Sasuke selalu menggoda dan berkata ingin selalu memeluk atau menciumnya? Ciuman pertamanya sudah diambil Sasuke di atas altar, ehem, itu bisa disebut dengan ciuman bukan? Batin Naruto meringis geli.

Merasakan sesuatu membelai wajahnya membuat Sasuke akhirnya terbangun. Tapi itu tidak lantas membuat Naruto menarik tangannya. “Selamat pagi,” sapanya saat Sasuke menatapnya bingung.

Bagaimana tidak bingung? Sasuke melihat Naruto berbaring menghadapnya dan membelai wajahnya. Sudah berapa lama istrinya itu terbangun. “Naru? Apa aku bermimpi?” ucapnya dengan suara parau khas bangun tidur.

Pertanyaan suaminya membuat Naruto tersenyum. “Aku juga bertanya hal yang sama saat bangun tadi.”

“Sudah berapa lama kau bangun dan menikmati waktu menatapku, hm?” Sasuke tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda istrinya. Dia memiringkan tubuhnya, membuat mereka berbaring berhadapan. Tangan Naruto masih membelai pipinya dan membuat rambut halus di sekitar lehernya berdiri, memberi penghormatan atas sentuhan istrinya.

“Belum lama,” jawab Naruto tenang. Sekarang dia sama sekali tidak keberatan jika Sasuke akan semakin menggodanya. “Apa salah kalau aku menatap suamiku sendiri?” ucapnya kemudian yang langsung membuat Sasuke tertawa.

“Kau tahu, Naru? Melihatmu seperti ini membuat jantungku berada dalam bahaya.” Sasuke menarik tangan Naruto dari pipi dan meletakkan di atas dadanya, dimana jantungnya berdebar kencang. Menggila karena ucapan dan panggilan suami dari Naruto.

“Kau melakukan hal yang sama padaku setiap waktu.” Naruto tersenyum. Dia baru tahu kalau ternyata Sasuke juga mengalami hal yang sama dengannya.

“Benarkah?” tanya Sasuke sembari melengkungkan alis.

“Hm, kau dan kalimat vulgarmu.”

“Aku bangga mendengarnya.” Sasuke tersenyum saat Naruto justru tertawa mendengar perkataannya. “Kau keberatan kalau aku ingin memelukmu sekarang?”

Naruto masih tertawa tapi tidak menolak saat Sasuke kemudian menariknya ke dalam sebuah pelukan.

“Aku mencintaimu, Naruto.” Sasuke berbisik dan mendaratkan kecupan lembut di pelipis istrinya. Kedua tangannya memeluk tubuh ramping itu dengan erat.

“Hm, terima kasih sudah mencintaiku,” jawab Naruto dengan wajah tersuruk di dada Sasuke. Rasanya sungguh nyaman.

***

“Apa aku harus selalu berpakaian seperti ini saat berada di istana?” Sasuke menatap dirinya di cermin. Lagi-lagi dia harus mengenakan pakaian resmi kerajaan.

“Tidak juga, kau bisa berpakaian biasa di hari biasa. Hanya pagi ini kita akan sarapan pertama bersama keluarga kerajaan di ruang makan utama. Keluargamu juga pasti akan ikut di jamuan pagi ini, bersabarlah.”

Sasuke mengamati Naruto yang tengah duduk di depan meja rias, mengepang rambut dan melilitkannya sebagai sanggul lalu menyematkan beberapa jepit kristal sebagai hiasan.

“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Naruto pada sang suami yang kini berdiri di belakangnya. Kedua tangan Sasuke bersandar di bahunya.

“Kau terlalu cantik,” ucap Sasuke dengan ekspresi sedih. “Ini menyiksaku karena melihatmu begitu mempesona setiap hari. Bagaimana aku rela melihat istriku dipuja oleh semua orang?”

“Pamanku akan memberimu hadiah jika mendengarnya.” Naruto tak menaggapi rayuan Sasuke sebagai hal yang serius. Dia lebih memilih untuk menyelesaikan riasannya. Pagi ini tidak ada pelayan yang membantunya karena Naruto merasa suaminya tidak nyaman dengan keberadaan pelayan di dalam kamar.

“Paman?” Sasuke mencium puncak kepala Naruto lalu menatap istrinya melalui cermin dengan tatapan tanya.

“Nagato Oji-sama dan Kakashi Oji-sama adalah perayu ulung. Mereka akan sangat menyukaimu.” Naruto menjelaskan. Dia menahan napas sesaat karena terkejut Sasuke tiba-tiba mengusap bahu polosnya. “Sasuke,” ucap Naruto dengan nada memperingatkan.

“Hm?” Putra bungsu Uchiha itu menatap istrinya tanpa dosa.

“Kita harus berada di ruang makan dalam dua puluh menit, jadi tolong biarkan aku menyelesaikan riasanku.”

“Tentu,” jawab Sasuke sembari tersenyum.

Naruto menghela napas lelah. “Jauhkan tanganmu dari bahuku, itu-,” dia berdeham, “jangan menggangguku.”

Sasuke tertawa. Sebenarnya dia hanya mencoba apakah hal itu bisa digunakan untuk menggoda Naruto dan senang karena percobaannya berhasil. Sasuke mencatat dalam hati kalau sebenarnya Naruto cukup sensitif terhadap sentuhannya.

Tidak ingin membuat Naruto kesal, Sasuke pun menjauh dan memilih duduk di sofa kamar sembari membuka handphone-nya. Notifikasi pesan dari Itachi adalah yang pertama dilihatnya begitu membuka layar utama.

Bagaimana malam pertamamu?

Sasuke menggerutu dalam hati membaca pesan yang sangat tidak bermoral dari kakaknya itu. Dia yakin Itachi akan mendapat hukuman jika sampai ayahnya tahu. Dengan cepat dia menghapus pesan itu tanpa membalasnya. Sasuke membaca beberapa pesan lain terkait pekerjaan di Oto dari rekan kerjanya dan membalas dengan cepat. Renovasi studionya hampir selesai, dia bisa segera memulai pekerjaanya di Konoha.

“Naru?” Sasuke kembali menarik perhatian istrinya.

“Hm?” gumam wanita itu sembari memulas bibirnya dengan lipstik yang senada dengan gaunnya.

“Pagi ini aku belum menciummu.”

“Hah?!” Naruto menoleh dengan mata memincing tajam pada suaminya.

***

Perjamuan makan pagi ini dihadiri oleh semua anggota keluarga inti Istana Kiri dan Uzushio, ditambah dengan keluarga Uchiha tentu saja. Ini adalah tradisi untuk mendekatkan keluarga pengantin yang baru saja menikah.

Ruang jamuan di dekor dengan nuansa putih dan emas. Sasuke dan Naruto memasuki ruang jamuan bersama empat orang pelayan. Ternyata keluarga Uchiha sudah datang lebih dulu. Naruto dan Sasuke segera memberi salam pada kakek, orang tua juga kedua kakak mereka. Shisui berdeham pelan karena merasa canggung saat mendengar Naruto memanggilnya kakak, membuat Itachi menahan diri untuk tidak tertawa.

“Sasuke, siang ini kami akan kembali ke Konoha. Ingat, kau harus menjaga Hime dengan baik. Jangan membuat masalah.” Madara menatap cucu bungsunya dengan tatapan memperingatkan.

“Baik Ojii-sama.” Sasuke mengangguk hormat.

“Kami akan menunggumu di Konoha, Hime.” Mikoto tersenyum pada menantunya.

“Baik Okaa-sama,” jawab Naruto dengan senyum tipis. Ada getar halus di hatinya ketika memanggil Mikoto dengan sebutan ibu. Sudah lama sekali dia tidak mengucapkan panggilan itu.

Pengawal mengumumkan kedatangan keluarga kerajaan. Membuat semua orang berdiri untuk memberi hormat pada Mizukage dan Hokage.

“Kupikir kau akan sarapan di kamarmu, Sayang.” Tsunade menatap cucunya sembari tersenyum.

Semua orang menahan senyum mereka melebar saat Sasuke berdeham pelan dengan telinga memerah. Tapi itu sama sekali tidak berpengaruh pada Naruto. Putri Namikaze itu masih tampak tenang dan mengabaikan keluarganya yang menatap dengan rasa penasaran.

“Madara Ojii-sama akan kembali ke Konoha hari ini bersama Otou-sama dan Okaa-sama. Tentunya tidak sopan jika aku dan Sasuke melewatkan sarapan pertama bersama keluarga besar.”

“Ah, kau benar.” Tsunade dan Mito tertawa saat mendengar jawaban Naruto. Sepertinya mereka memang berharap terlalu banyak.

Di sisi lain meja tampak Kakashi dan Nagato menghela napas panjang. Sementara Rin, Konan dan Yahiko tampak begitu bahagia.

Jiraiya dan Hashirama yang tahu maksud dari sikap istri-istri mereka hanya bisa menggeleng pasrah. Kedua nenek itu sudah semangat membahas masalah cicit dan euphoria mereka baru saja dipatahkan oleh Naruto. Keduanya bahkan lupa kalau berada di meja makan bersama keluarga Uchiha.

“Ini hanya perasaanku atau memang kalian semua tidak suka melihatku sarapan bersama?” Naruto menyapukan pandangannya pada seluruh keluarga.

“Naru-chan, kenapa bicara seperti itu. Tentu saja kami senang.” Mito langsung angkat bicara.

“Kami hanya takut kau kelelahan setelah pesta kemarin, itu saja,” Tsunade menambahkan dengan senyum lebar.

Naruto pun tersenyum. “Terima kasih untuk perhatian Obaa-sama. Aku beristirahat dengan baik malam tadi dan sekarang baik-baik saja.”

Sasuke yang duduk di sebelah Naruto tidak buta untuk melihat ekspresi beragam semua orang. Mereka pasti sudah membayangkan hal liar semalam yang sayangnya tidak terwujud. Beruntung Naruto bangun pagi dan memintanya segera bersiap. Sasuke tidak bisa membayangkan kalau mereka berdua benar-benar absen dalam sarapan pertama bersama keluarga besar, pastinya imajinasi mereka akan semakin liar. Tapi sepertinya sang istri sama sekali tidak mengerti situasi yang terjadi dan itu terlihat sangat lucu bagi Sasuke.

“Senang mendengarnya Naru,” Jiraiya menyela sebelum istrinya kembali bicara. “Pelayan, segera hidangkan sajiannya.”

Dengan itu tak ada lagi yang berani bicara. Mereka sarapan dengan tenang dan Naruto masih tidak menyadari kalau sudah membuat keluarganya kecewa. Sungguh menggelikan.

***

“Sasuke, ini hanya perasaanku atau memang keluargaku tampak aneh tadi?” Naruto duduk di tepi tempat tidur dan menatap Sasuke yang baru saja keluar dari kamar ganti. Suaminya kini sudah mengenakan kemeja biasa dan tampak lebih santai.

Sasuke menarik sudut bibirnya sembari menggeleng. “Itu hanya perasaanmu saja.”

“Bagitukah?” Alis Naruto bertaut. Merasa tidak puas dengan jawaban suaminya.

Perlahan Sasuke berjalan menghampiri Naruto lalu berlutut di depannya.

“Ada apa?” Naruto merasa aneh melihat tingkah suaminya.

“Hime-ku sayang, mereka hanya terlalu khawatir padamu.” Sasuke menarik kedua tangan sang istri dan melingkarkannya di lehernya.

“Aku justru terkejut jika sebaliknya,” jawab Naruto kemudian. Dia tidak keberatan dengan tindakan Sasuke dan justru jarinya memainkan rambut di belakang kepala suaminya.

“Mereka keluargamu, itu wajar jika mereka sayang dan selalu mengkhawatirkanmu.” Sasuke mengusap wajah istrinya yang tampak begitu cantik.

Naruto terdiam, dia mengamati wajah sang suami yang begitu dekat di depannya. Melihat ke dalam manik hitam Sasuke, Naruto merasakan sesuatu bergerak di dalam dirinya.

“Sasuke, maukah kau menciumku lagi?” Naruto terlambat menyesali perkataannya. Dia menggigit bibir bawahnya saat melihat ekspresi terkejut suaminya.

Sasuke tahu jika dia menjawab maka Naruto justru akan mengatakan sebaliknya. Jadi dia tidak bicara. Tangannya menutup mata Naruto yang masih menatapnya lalu mencium bibir merah muda itu dengan lembut.

Naruto terkejut, tentu saja. Dengan mata terpejam di balik telapak tangan, Naruto merasakan bibir hangat suaminya. Ini … terasa berbeda dengan ciuman mereka di altar pernikahan. Naruto merasakan debaran jantungnya menggila saat Sasuke mengulum bibirnya dengan lembut.

Merasa tidak ada penolakan dari Naruto membuat Sasuke perlahan memperdalam ciuman mereka. Tangannya tak lagi menutup mata istrinya, tapi perlahan turun, menyusup ke balik leher jenjang dan rambut panjang Naruto.

Secara naluri Naruto memiringkan kepalanya, mengikuti gerakan Sasuke. Bolehkah dia meminta lebih? batin Naruto menggumam. Hisapan lembut Sasuke pada bibir bawahnya membuat wanita itu mendesah lembut di dalam mulutnya. Tangan Naruto mencengkram rambut Sasuke di belakang kepala.

Sasuke melepas tautan bibir mereka saat merasa Naruto mulai kesulitan bernapas. Pipi istrinya tampak merah dengan napas tak beraturan.

“Kau baik-baik saja, Hime?” Dengan lembut Sasuke mengusap bibir Naruto yang memerah dengan ibu jarinya.

Alih-alih menjawab, Naruto justru memeluk Sasuke dan menyembunyikan wajahnya di lekuk leher sang suami. Dia sangat malu hingga tidak tahu harus menjawab apa.

Dengan penuh pengertian, Sasuke hanya tersenyum dan mengusap lembut kepala Naruto yang bersandar di bahunya. Dia tahu ini masih terlalu dini bagi istrinya. Hubungan mereka berawal dari ketidak sengajaan. Cinta sepihak, lalu pernikahan yang terlalu cepat dengan alasan yang bahkan sang istri tidak tahu. Sasuke mengerti, bahkan sangat mengerti bagaimana perasaan Naruto saat ini.

“Apa ini terlalu berlebihan bagimu, Hime?” Sasuke berbisik dan hanya mendapat pelukan erat di leher sebagai jawaban. Dia pun tersenyum. Naruto belum mau menjawab dan kini dia mengusap punggung istrinya dengan lembut.

Sasuke merasa lega saat napas Naruto mulai ringan dan teratur. Tanpa meminta ijin, dia berdiri dan membawa Naruto dalam pelukannya. Perlahan Sasuke membaringkan sang istri yang masih memeluk lehernya di tempat tidur. Keduanya kini berbaring, berpelukan. Sasuke bahkan masih dengan senang hati mengusap kepala dan punggung istrinya.

Ketenangan yang menyenangkan itu berhenti saat akhirnya Naruto melepas pelukannya. Sasuke tersenyum ketika sang istri menatapnya dengan wajah memerah.

“Kau baik-baik saja?” tanya Sasuke kemudian.

“Ya,” jawab Naruto lirih. Matanya berkedip lucu dan itu membuat Sasuke tertawa.

“Apa kau pernah melakukannya sebelumnya?”

Pertanyaan Naruto sontak membuat Sasuke berhenti tertawa. Menantu Namikaze itu kini menatap istrinya dengan alis bertaut. “Apa maksudmu?”

“Em, berciuman seperti itu … apa kau pernah melakukannya sebelumnya?” Entah kenapa Naruto menanyakan hal itu. Pikiran itu muncul begitu saja. Naruto tiba-tiba merasa tidak rela kalau dia bukanlah wanita pertama yang mendapatkan ciuman suaminya. Apa itu berlebihan?

Sasuke tampak berpikir. Dia mengamati ekspresi wajah Naruto dan matanya yang menatap penuh harap. “Bolehkah aku tidak menjawab? Kau tidak akan menyukai jawabanku.”

“Hm.” Naruto kemudian menghela napas perlahan. “Aku tahu jawabannya,” dan dia gagal menyembunyikan rasa kecewa dalam ucapannya.

“Hei, itu tidak seperti yang kau bayangkan.” Sasuke mengangkat dagu sang istri agar kembali menatapnya. Ada dorongan dalam hati Sasuke untuk segera menjelaskan semuanya. “Itu sebuah ketidak sengajaan. Ehem, tidak juga sebenarnya.”

“Saat ulang tahun Perdana Menteri kau mengatakan kalau aku yang pertama.” Naruto masih ingat dengan jelas setiap perkataan Sasuke.

“Memang, kau adalah cinta pertamaku. Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya.” Sasuke menjawab tanpa ragu.

“Tapi kau-,”

“Jatuh cinta dan berciuman adalah hal yang berbeda,” potong Sasuke dan dia sedikit menyesal sudah mengatakannya karena Naruto tampak begitu terkejut mendengarnya. “Dengarkan dulu, oke?” katanya kemudian dengan lembut.

Naruto terdiam lalu memutar tubuhnya hingga berbaring menatap langit-langit kamar.

Sasuke menyangga kepala dengan tangan dan mengusap wajah Naruto dengan hati-hati. “Saat itu aku mabuk. Aku dan teman-temanku sedang berada di bar. Mereka memanggil beberapa wanita dan ya-,” bungsu Uchiha itu menelan ludah perlahan saat Naruto kemudian menoleh padanya.

“-wanita itu menciumku. Setelahnya aku memutuskan untuk pulang dan meninggalkan mereka.” Sasuke mengakhiri ceritanya dengan cepat. Dia tidak perlu mengatakan hal lain tentang apa yang dilakukan wanita itu. Yang jelas Sasuke belum kehilangan keperjakaannya.

“Hanya itu?” Naruto masih tampak kecewa tapi nada suaranya lebih ringan.

“Hm, hanya itu,” jawab Sasuke cepat.

“Ng, apa kau menciumnya seperti … tadi?” Meski merasa bodoh tapi Naruto tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Membayangkan Sasuke mencium dan menyentuh wanita lain membuat hatinya merasa begitu kesal.

Tentu saja Sasuke bingung harus menjawab apa. Apa dia harus mendeskripsikan seberapa panas ciuman malam itu? Astaga, dia berusia dua puluh dua pada waktu itu dan teman kuliahnya adalah para pemuda kelebihan hormon yang terkadang merepotkan. Bagaimana mungkin dia tahu kalau sebuah ciuman akan membawa petaka pada pernikahannya? Ya, andai dirinya tidak menikahi seorang putri kerajaan, mungkin hal itu tidak akan terjadi. Sasuke meringis dalam hati dengan pemikirannya sendiri.

“Aku mabuk, jadi tidak begitu mengingatnya,” Sasuke berusaha tetap tenang.

“Benarkah?”

Sasuke mengangguk.

“Kau tidak tidur dengan wanita itu?”

“Tentu saja tidak! Kakek dan ayahku akan mengebiriku kalau hal itu sampai terjadi.” Sasuke untungnya masih ingat segala aturan kolot keluarganya tentang menjaga keperjakaan.

“Tapi kau menciumnya-,” suara Naruto melirih dan matanya mulai memerah.

Sasuke menahan napas saat Naruto mengusap sudut matanya. Apakah fakta dirinya pernah berciuman begitu menyakitkan? “Na-naru?” Sasuke segera menarik sang istri ke dalam pelukannya. Dan di luar dugaan, Naruto benar-benar menangis di dadanya.

“Kau menciumnya-,” racau Naruto di tengah isakannya, “-kau pernah mencium wanita lain.”

Hati Sasuke merasa begitu berat. “Maaf, maaf,” gumamnya kemudian seraya menciumi puncak kepala istrinya. Dia bisa merasakan tubuh Naruto bergetar dalam pelukannya dan Sasuke tiba-tiba merasa benci dengan kenakalan masa mudanya.

“Maafkan aku,” gumam Sasuke lagi saat merasa istrinya sudah lebih tenang. Naruto masih menyembunyikan wajahnya di dada Sasuke.

“Jangan lakukan lagi,” lirih Naruto setelah berhasil menemukan suaranya kembali.

“Tidak akan pernah.” Sasuke mengeratkan pelukannya. “Aku memilikimu, bagaimana mungkin aku mencium wanita lain?” dengan lembut dia mencium pelipis istrinya. “Maafkan kenakalanku dulu.”

Naruto meremas kemeja Sasuke di bagian dada. Hidungnya menyentuh kulit dada suaminya karena kancing kemeja yang terbuka. Aroma tubuh Sasuke menciptakan sensasi tersendiri bagi Naruto. Dia tidak merasakan hal ini saat dipeluk oleh Kurama atau keluarganya yang lain. Inikah yang dinamakan hasrat?

“Berjanjilah kalau aku adalah wanita pertama dan terakhir bagimu.”

“Aku berjanji, aku berjanji bahwa kau adalah satu-satunya, wanita pertama dan terakhir bagiku.” Dengan patuh Sasuke berjanji. Dia menunduk untuk melihat wajah Naruto yang kini tampak sembab. “Maafkan aku,” bisiknya lagi.

“Hm,” Naruto hanya menggumam. Dia melingkarkan tangan ke tubuh sang suami, memeluknya.

Kelegaan tersirat di wajah Sasuke saat merasakan pelukan erat istrinya. Dia tidak lagi bicara. Mereka menikmati kebersamaan itu dalam keheningan.

Sayangnya, ketenangan pasangan suami istri itu harus terganggu karena ketukan pintu. Naruto yang pertama kali menarik dari sampai Sasuke menyadari tampilan istrinya yang tampak kacau.

“Biar aku yang membuka pintu,” ucap Sasuke kemudian. Dia pun turun dari tempat tidur, merapikan kemejanya yang tampak kusut dengan sia-sia. Sejenak menghela napas lalu tersenyum pada istrinya yang kini kembali berbaring dan membalasnya dengan senyum malu-malu. Oh, Sasuke ingin segera mengusir siapa pun yang mengganggunya saat ini.

Sayangnya harapan Sasuke langsung pupus begitu membuka pintu dan melihat Kurama berdiri bersama dengan Mito dan ibunya. Adakah yang lebih buruk dari ini? Batin Sasuke mengerang.

“Salam Yang Mulia,” ucap Sasuke canggung.

Melihat Sasuke membuka pintu dengan kemeja kusut membuat Kurama memincingkan mata. Tapi nenek dan ibu Sasuke justru menyembunyikan senyum di balik telapak tangan.

“Ku, sepertinya kita datang di waktu yang tidak tepat.” Mito akhirnya tertawa.

Dan Sasuke tidak tahu harus menjawab apa.

***

Extra Chapter

“Bukankah sudah kukatakan kalau tidak mungkin Sasuke bisa melakukannya.” Kurama menyeringai saat melihat wajah Kakashi dan Nagato. Keduanya jelas kalah taruhan.

“Harusnya aku mendengarmu,” keluh Kakashi.

“Aku hanya tidak percaya ada yang sanggup melewatkan ritual malam pertama. Keponakanku itu memang luar biasa.” Nagato menggeleng sembari menghela napas panjang. Mereka bertiga sedang berjalan di koridor istana usai sarapan untuk menuju ruang kerja.

“Yang kalian bicarakan adalah Namikaze Naruto, adikku yang memiliki tingkat kepekaan di bawah rata-rata. Bahkan dengan ucapan Obaa-sama tadi, anak itu tetap tidak mengerti apa-apa.”

“Ah, kau benar Kurama.” Kakashi dan Nagato menjawab bersamaan.

“Memang Oji-sama bertaruh apa?” Melihat ekspresi kedua pamannya membuat Kurama penasaran.

“Yahiko meminta mobil sport terbaru dan bibimu meminta tas dengan harga ratusan juta rio.” Nagato tampak menyesal.

“Oh, hanya itu.” Kurama menyeringai saat pamannya tampak kesal. “Lalu Rin Oba-sama?”

“Dia meminta lukisan dari pelukis idolanya yang saat ini sedang mengadakan pameran di pusat seni kota.” Kakashi menjawab dengan lebih santai.

“Apa itu mahal?” tanya Nagato penasaran. Pasalnya dia harus membayar kekalahan pada istri dan anaknya. Tidak adil rasanya kalau Kakashi hanya mengeluarkan sedikit uang untuk istrinya.

Kakashi melirik Nagato lalu menatap Kurama yang menahan diri agar tidak tertawa. “Kau bisa bertanya pada Kurama.”

Nagato mengalihkan pandangan pada keponakannya.

“Tenang saja Oji-sama, kerugianmu tidak seberapa jika dibanding dengan Kakashi Oji-sama.” Kurama akhirnya tertawa.

Tentu saja Nagato tidak percaya begitu saja. “Memang seberapa mahal harga sebuah lukisan?”

“Deidara, seniman idola Rin Oba-sama adalah seniman yang mendonasikan sebagian besar hasil penjualan karyanya untuk kegiatan amal. Pameran kali ini juga bertujuan untuk membantu korban kekeringan di kota Iwa, Negara Tsuci. Aku menebak kalau lukisan yang diinginkan oleh Rin Oba-sama adalah yang termahal, bukan begitu Oji-sama?”

“Hm.” Kakashi hanya bergumam sebagai jawaban.

“Dan berapa harganya?” Nagato masih penasaran.

“Seratus milyar rio.” Kurama akhirnya menyebut harga yang langsung membuat Nagato tertawa senang.

“Haruskah sebahagia itu?” Kakashi menautkan alis karena reaksi Nagato.

“Ya, aku bahagia karena kau lebih menderita dariku.” Nagato menepuk bahu Kakashi dengan ekspresi simpati yang jelas palsu.

Kurama menggeleng geli melihat sikap kekanakan kedua pamannya. “Hati-hati saja, jangan sampai Mizukage atau Hokage mendengar hal ini.”

Nagato dan Kakashi langsung menoleh pada keponakannya. “Apa kau juga ingin hadiah Ku?” tanya mereka bersamaan.

“Sebuah villa di pulau O’uzu,” jawab Kurama tanpa basa-basi. Dia akan menikmati villa itu bersama Sakura setelah mereka menikah nanti.

Kakashi menelan ludah dan Nagato menghela napas. Pulau O’uzu berada di bagian selatan Negara Mizu. Pulau tropis dengan pantai dan pemandangan yang luar bisa cantik. Tapi jangan lupakan harga property yang mahal.

Kurama tertawa dan meninggalkan pamannya yang hanya bisa meratapi nasib.

“Seharusnya kita tidak pernah memulai taruhan itu Kakashi.” Nagato tampak benar-benar lesu.

“Itu ide putramu.” Kakashi menghela napas panjang.

“Ah, kau benar,” jawabnya semakin sedih.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 22<<

>>Nami Cafe - Chapter 24<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments