Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
Terbangun dengan Sasuke berada di sebelahnya sempat
membuat Naruto terkejut. Dia lalu ingat kalau kemarin sudah menikah dengan
bungsu Uchiha itu. Ah, semua masih terasa seperti mimpi baginya.
Senyum Naruto mengembang saat teringat apa yang
terjadi semalam. Selesai mandi, Sasuke memintanya untuk segera tidur. Suaminya
itu sama sekali tidak menyinggung mengenai malam pertama atau semacamnya.
Sasuke benar-benar membiarkannya beristirahat dengan tenang tanpa menyentuhnya.
Apa suaminya tahu kalau dia masih malu dan canggung? Atau memang Sasuke tidak
berhasrat padanya?
Naruto menggeleng cepat sembari menghela napas,
menyingkirkan opsi kedua dari pikirannya. Sasuke mencintainya dan Naruto
percaya itu. Dia yakin kalau suaminya itu hanya menahan diri karena tahu dia
kelelahan bukan karena tidak menginginkannya.
Melihat wajah tenang Sasuke yang sedang tidur membuat
tangan Naruto gatal. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh wajah sang suami
untuk pertama kalinya. Ternyata menyenangkan bisa menyentuh orang yang kau
cintai. Inikah sebabnya Sasuke selalu menggoda dan berkata ingin selalu memeluk
atau menciumnya? Ciuman pertamanya sudah diambil Sasuke di atas altar, ehem, itu bisa disebut dengan ciuman
bukan? Batin Naruto meringis geli.
Merasakan sesuatu membelai wajahnya membuat Sasuke
akhirnya terbangun. Tapi itu tidak lantas membuat Naruto menarik tangannya. “Selamat
pagi,” sapanya saat Sasuke menatapnya bingung.
Bagaimana tidak bingung? Sasuke melihat Naruto
berbaring menghadapnya dan membelai wajahnya. Sudah berapa lama istrinya itu
terbangun. “Naru? Apa aku bermimpi?” ucapnya dengan suara parau khas bangun tidur.
Pertanyaan suaminya membuat Naruto tersenyum. “Aku
juga bertanya hal yang sama saat bangun tadi.”
“Sudah berapa lama kau bangun dan menikmati waktu
menatapku, hm?” Sasuke tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda istrinya. Dia
memiringkan tubuhnya, membuat mereka berbaring berhadapan. Tangan Naruto masih
membelai pipinya dan membuat rambut halus di sekitar lehernya berdiri, memberi
penghormatan atas sentuhan istrinya.
“Belum lama,” jawab Naruto tenang. Sekarang dia sama
sekali tidak keberatan jika Sasuke akan semakin menggodanya. “Apa salah kalau
aku menatap suamiku sendiri?” ucapnya kemudian yang langsung membuat Sasuke
tertawa.
“Kau tahu, Naru? Melihatmu seperti ini membuat
jantungku berada dalam bahaya.” Sasuke menarik tangan Naruto dari pipi dan
meletakkan di atas dadanya, dimana jantungnya berdebar kencang. Menggila karena
ucapan dan panggilan suami dari Naruto.
“Kau melakukan hal yang sama padaku setiap waktu.”
Naruto tersenyum. Dia baru tahu kalau ternyata Sasuke juga mengalami hal yang
sama dengannya.
“Benarkah?” tanya Sasuke sembari melengkungkan alis.
“Hm, kau dan kalimat vulgarmu.”
“Aku bangga mendengarnya.” Sasuke tersenyum saat
Naruto justru tertawa mendengar perkataannya. “Kau keberatan kalau aku ingin
memelukmu sekarang?”
Naruto masih tertawa tapi tidak menolak saat Sasuke
kemudian menariknya ke dalam sebuah pelukan.
“Aku mencintaimu, Naruto.” Sasuke berbisik dan
mendaratkan kecupan lembut di pelipis istrinya. Kedua tangannya memeluk tubuh
ramping itu dengan erat.
“Hm, terima kasih sudah mencintaiku,” jawab Naruto
dengan wajah tersuruk di dada Sasuke. Rasanya sungguh nyaman.
***
“Apa aku harus selalu berpakaian seperti ini saat
berada di istana?” Sasuke menatap dirinya di cermin. Lagi-lagi dia harus
mengenakan pakaian resmi kerajaan.
“Tidak juga, kau bisa berpakaian biasa di hari biasa.
Hanya pagi ini kita akan sarapan pertama bersama keluarga kerajaan di ruang
makan utama. Keluargamu juga pasti akan ikut di jamuan pagi ini, bersabarlah.”
Sasuke mengamati Naruto yang tengah duduk di depan
meja rias, mengepang rambut dan melilitkannya sebagai sanggul lalu menyematkan
beberapa jepit kristal sebagai hiasan.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Naruto pada sang
suami yang kini berdiri di belakangnya. Kedua tangan Sasuke bersandar di
bahunya.
“Kau terlalu cantik,” ucap Sasuke dengan ekspresi
sedih. “Ini menyiksaku karena melihatmu begitu mempesona setiap hari. Bagaimana
aku rela melihat istriku dipuja oleh semua orang?”
“Pamanku akan memberimu hadiah jika mendengarnya.”
Naruto tak menaggapi rayuan Sasuke sebagai hal yang serius. Dia lebih memilih
untuk menyelesaikan riasannya. Pagi ini tidak ada pelayan yang membantunya
karena Naruto merasa suaminya tidak nyaman dengan keberadaan pelayan di dalam kamar.
“Paman?” Sasuke mencium puncak kepala Naruto lalu
menatap istrinya melalui cermin dengan tatapan tanya.
“Nagato Oji-sama dan Kakashi Oji-sama adalah perayu
ulung. Mereka akan sangat menyukaimu.” Naruto menjelaskan. Dia menahan napas
sesaat karena terkejut Sasuke tiba-tiba mengusap bahu polosnya. “Sasuke,” ucap
Naruto dengan nada memperingatkan.
“Hm?” Putra bungsu Uchiha itu menatap istrinya tanpa
dosa.
“Kita harus berada di ruang makan dalam dua puluh
menit, jadi tolong biarkan aku menyelesaikan riasanku.”
“Tentu,” jawab Sasuke sembari tersenyum.
Naruto menghela napas lelah. “Jauhkan tanganmu dari
bahuku, itu-,” dia berdeham, “jangan menggangguku.”
Sasuke tertawa. Sebenarnya dia hanya mencoba apakah
hal itu bisa digunakan untuk menggoda Naruto dan senang karena percobaannya
berhasil. Sasuke mencatat dalam hati kalau sebenarnya Naruto cukup sensitif
terhadap sentuhannya.
Tidak ingin membuat Naruto kesal, Sasuke pun menjauh
dan memilih duduk di sofa kamar sembari membuka handphone-nya. Notifikasi pesan dari Itachi adalah yang pertama
dilihatnya begitu membuka layar utama.
Bagaimana
malam pertamamu?
Sasuke menggerutu dalam hati membaca pesan yang sangat
tidak bermoral dari kakaknya itu. Dia yakin Itachi akan mendapat hukuman jika
sampai ayahnya tahu. Dengan cepat dia menghapus pesan itu tanpa membalasnya.
Sasuke membaca beberapa pesan lain terkait pekerjaan di Oto dari rekan kerjanya
dan membalas dengan cepat. Renovasi studionya hampir selesai, dia bisa segera
memulai pekerjaanya di Konoha.
“Naru?” Sasuke kembali menarik perhatian istrinya.
“Hm?” gumam wanita itu sembari memulas bibirnya dengan
lipstik yang senada dengan gaunnya.
“Pagi ini aku belum menciummu.”
“Hah?!” Naruto menoleh dengan mata memincing tajam
pada suaminya.
***
Perjamuan makan pagi ini dihadiri oleh semua anggota
keluarga inti Istana Kiri dan Uzushio, ditambah dengan keluarga Uchiha tentu saja.
Ini adalah tradisi untuk mendekatkan keluarga pengantin yang baru saja menikah.
Ruang jamuan di dekor dengan nuansa putih dan emas. Sasuke
dan Naruto memasuki ruang jamuan bersama empat orang pelayan. Ternyata keluarga
Uchiha sudah datang lebih dulu. Naruto dan Sasuke segera memberi salam pada
kakek, orang tua juga kedua kakak mereka. Shisui berdeham pelan karena merasa
canggung saat mendengar Naruto memanggilnya kakak, membuat Itachi menahan diri
untuk tidak tertawa.
“Sasuke, siang ini kami akan kembali ke Konoha. Ingat,
kau harus menjaga Hime dengan baik. Jangan membuat masalah.” Madara menatap
cucu bungsunya dengan tatapan memperingatkan.
“Baik Ojii-sama.” Sasuke mengangguk hormat.
“Kami akan menunggumu di Konoha, Hime.” Mikoto
tersenyum pada menantunya.
“Baik Okaa-sama,” jawab Naruto dengan senyum tipis.
Ada getar halus di hatinya ketika memanggil Mikoto dengan sebutan ibu. Sudah
lama sekali dia tidak mengucapkan panggilan itu.
Pengawal mengumumkan kedatangan keluarga kerajaan.
Membuat semua orang berdiri untuk memberi hormat pada Mizukage dan Hokage.
“Kupikir kau akan sarapan di kamarmu, Sayang.” Tsunade
menatap cucunya sembari tersenyum.
Semua orang menahan senyum mereka melebar saat Sasuke
berdeham pelan dengan telinga memerah. Tapi itu sama sekali tidak berpengaruh
pada Naruto. Putri Namikaze itu masih tampak tenang dan mengabaikan keluarganya
yang menatap dengan rasa penasaran.
“Madara Ojii-sama akan kembali ke Konoha hari ini
bersama Otou-sama dan Okaa-sama. Tentunya tidak sopan jika aku dan Sasuke
melewatkan sarapan pertama bersama keluarga besar.”
“Ah, kau benar.” Tsunade dan Mito tertawa saat
mendengar jawaban Naruto. Sepertinya mereka memang berharap terlalu banyak.
Di sisi lain meja tampak Kakashi dan Nagato menghela
napas panjang. Sementara Rin, Konan dan Yahiko tampak begitu bahagia.
Jiraiya dan Hashirama yang tahu maksud dari sikap
istri-istri mereka hanya bisa menggeleng pasrah. Kedua nenek itu sudah semangat
membahas masalah cicit dan euphoria
mereka baru saja dipatahkan oleh Naruto. Keduanya bahkan lupa kalau berada di
meja makan bersama keluarga Uchiha.
“Ini hanya perasaanku atau memang kalian semua tidak
suka melihatku sarapan bersama?” Naruto menyapukan pandangannya pada seluruh
keluarga.
“Naru-chan, kenapa bicara seperti itu. Tentu saja kami
senang.” Mito langsung angkat bicara.
“Kami hanya takut kau kelelahan setelah pesta kemarin,
itu saja,” Tsunade menambahkan dengan senyum lebar.
Naruto pun tersenyum. “Terima kasih untuk perhatian
Obaa-sama. Aku beristirahat dengan baik malam tadi dan sekarang baik-baik
saja.”
Sasuke yang duduk di sebelah Naruto tidak buta untuk
melihat ekspresi beragam semua orang. Mereka pasti sudah membayangkan hal liar
semalam yang sayangnya tidak terwujud. Beruntung Naruto bangun pagi dan
memintanya segera bersiap. Sasuke tidak bisa membayangkan kalau mereka berdua
benar-benar absen dalam sarapan pertama bersama keluarga besar, pastinya
imajinasi mereka akan semakin liar. Tapi sepertinya sang istri sama sekali
tidak mengerti situasi yang terjadi dan itu terlihat sangat lucu bagi Sasuke.
“Senang mendengarnya Naru,” Jiraiya menyela sebelum
istrinya kembali bicara. “Pelayan, segera hidangkan sajiannya.”
Dengan itu tak ada lagi yang berani bicara. Mereka
sarapan dengan tenang dan Naruto masih tidak menyadari kalau sudah membuat
keluarganya kecewa. Sungguh menggelikan.
***
“Sasuke, ini hanya perasaanku atau memang keluargaku
tampak aneh tadi?” Naruto duduk di tepi tempat tidur dan menatap Sasuke yang baru
saja keluar dari kamar ganti. Suaminya kini sudah mengenakan kemeja biasa dan
tampak lebih santai.
Sasuke menarik sudut bibirnya sembari menggeleng. “Itu
hanya perasaanmu saja.”
“Bagitukah?” Alis Naruto bertaut. Merasa tidak puas
dengan jawaban suaminya.
Perlahan Sasuke berjalan menghampiri Naruto lalu
berlutut di depannya.
“Ada apa?” Naruto merasa aneh melihat tingkah
suaminya.
“Hime-ku sayang, mereka hanya terlalu khawatir
padamu.” Sasuke menarik kedua tangan sang istri dan melingkarkannya di lehernya.
“Aku justru terkejut jika sebaliknya,” jawab Naruto
kemudian. Dia tidak keberatan dengan tindakan Sasuke dan justru jarinya
memainkan rambut di belakang kepala suaminya.
“Mereka keluargamu, itu wajar jika mereka sayang dan
selalu mengkhawatirkanmu.” Sasuke mengusap wajah istrinya yang tampak begitu
cantik.
Naruto terdiam, dia mengamati wajah sang suami yang
begitu dekat di depannya. Melihat ke dalam manik hitam Sasuke, Naruto merasakan
sesuatu bergerak di dalam dirinya.
“Sasuke, maukah kau menciumku lagi?” Naruto terlambat
menyesali perkataannya. Dia menggigit bibir bawahnya saat melihat ekspresi
terkejut suaminya.
Sasuke tahu jika dia menjawab maka Naruto justru akan
mengatakan sebaliknya. Jadi dia tidak bicara. Tangannya menutup mata Naruto
yang masih menatapnya lalu mencium bibir merah muda itu dengan lembut.
Naruto terkejut, tentu saja. Dengan mata terpejam di
balik telapak tangan, Naruto merasakan bibir hangat suaminya. Ini … terasa
berbeda dengan ciuman mereka di altar pernikahan. Naruto merasakan debaran
jantungnya menggila saat Sasuke mengulum bibirnya dengan lembut.
Merasa tidak ada penolakan dari Naruto membuat Sasuke
perlahan memperdalam ciuman mereka. Tangannya tak lagi menutup mata istrinya,
tapi perlahan turun, menyusup ke balik leher jenjang dan rambut panjang Naruto.
Secara naluri Naruto memiringkan kepalanya, mengikuti
gerakan Sasuke. Bolehkah dia meminta lebih? batin Naruto menggumam. Hisapan
lembut Sasuke pada bibir bawahnya membuat wanita itu mendesah lembut di dalam
mulutnya. Tangan Naruto mencengkram rambut Sasuke di belakang kepala.
Sasuke melepas tautan bibir mereka saat merasa Naruto
mulai kesulitan bernapas. Pipi istrinya tampak merah dengan napas tak
beraturan.
“Kau baik-baik saja, Hime?” Dengan lembut Sasuke
mengusap bibir Naruto yang memerah dengan ibu jarinya.
Alih-alih menjawab, Naruto justru memeluk Sasuke dan
menyembunyikan wajahnya di lekuk leher sang suami. Dia sangat malu hingga tidak
tahu harus menjawab apa.
Dengan penuh pengertian, Sasuke hanya tersenyum dan
mengusap lembut kepala Naruto yang bersandar di bahunya. Dia tahu ini masih
terlalu dini bagi istrinya. Hubungan mereka berawal dari ketidak sengajaan.
Cinta sepihak, lalu pernikahan yang terlalu cepat dengan alasan yang bahkan sang
istri tidak tahu. Sasuke mengerti, bahkan sangat mengerti bagaimana perasaan
Naruto saat ini.
“Apa ini terlalu berlebihan bagimu, Hime?” Sasuke
berbisik dan hanya mendapat pelukan erat di leher sebagai jawaban. Dia pun
tersenyum. Naruto belum mau menjawab dan kini dia mengusap punggung istrinya
dengan lembut.
Sasuke merasa lega saat napas Naruto mulai ringan dan
teratur. Tanpa meminta ijin, dia berdiri dan membawa Naruto dalam pelukannya.
Perlahan Sasuke membaringkan sang istri yang masih memeluk lehernya di tempat
tidur. Keduanya kini berbaring, berpelukan. Sasuke bahkan masih dengan senang
hati mengusap kepala dan punggung istrinya.
Ketenangan yang menyenangkan itu berhenti saat
akhirnya Naruto melepas pelukannya. Sasuke tersenyum ketika sang istri
menatapnya dengan wajah memerah.
“Kau baik-baik saja?” tanya Sasuke kemudian.
“Ya,” jawab Naruto lirih. Matanya berkedip lucu dan
itu membuat Sasuke tertawa.
“Apa kau pernah melakukannya sebelumnya?”
Pertanyaan Naruto sontak membuat Sasuke berhenti
tertawa. Menantu Namikaze itu kini menatap istrinya dengan alis bertaut. “Apa
maksudmu?”
“Em, berciuman seperti itu … apa kau pernah
melakukannya sebelumnya?” Entah kenapa Naruto menanyakan hal itu. Pikiran itu
muncul begitu saja. Naruto tiba-tiba merasa tidak rela kalau dia bukanlah
wanita pertama yang mendapatkan ciuman suaminya. Apa itu berlebihan?
Sasuke tampak berpikir. Dia mengamati ekspresi wajah Naruto
dan matanya yang menatap penuh harap. “Bolehkah aku tidak menjawab? Kau tidak
akan menyukai jawabanku.”
“Hm.” Naruto kemudian menghela napas perlahan. “Aku
tahu jawabannya,” dan dia gagal menyembunyikan rasa kecewa dalam ucapannya.
“Hei, itu tidak seperti yang kau bayangkan.” Sasuke
mengangkat dagu sang istri agar kembali menatapnya. Ada dorongan dalam hati
Sasuke untuk segera menjelaskan semuanya. “Itu sebuah ketidak sengajaan. Ehem,
tidak juga sebenarnya.”
“Saat ulang tahun Perdana Menteri kau mengatakan kalau
aku yang pertama.” Naruto masih ingat dengan jelas setiap perkataan Sasuke.
“Memang, kau adalah cinta pertamaku. Aku belum pernah
jatuh cinta sebelumnya.” Sasuke menjawab tanpa ragu.
“Tapi kau-,”
“Jatuh cinta dan berciuman adalah hal yang berbeda,”
potong Sasuke dan dia sedikit menyesal sudah mengatakannya karena Naruto tampak
begitu terkejut mendengarnya. “Dengarkan dulu, oke?” katanya kemudian dengan
lembut.
Naruto terdiam lalu memutar tubuhnya hingga berbaring
menatap langit-langit kamar.
Sasuke menyangga kepala dengan tangan dan mengusap
wajah Naruto dengan hati-hati. “Saat itu aku mabuk. Aku dan teman-temanku
sedang berada di bar. Mereka memanggil beberapa wanita dan ya-,” bungsu Uchiha
itu menelan ludah perlahan saat Naruto kemudian menoleh padanya.
“-wanita itu menciumku. Setelahnya aku memutuskan
untuk pulang dan meninggalkan mereka.” Sasuke mengakhiri ceritanya dengan cepat.
Dia tidak perlu mengatakan hal lain tentang apa yang dilakukan wanita itu. Yang
jelas Sasuke belum kehilangan keperjakaannya.
“Hanya itu?” Naruto masih tampak kecewa tapi nada
suaranya lebih ringan.
“Hm, hanya itu,” jawab Sasuke cepat.
“Ng, apa kau menciumnya seperti … tadi?” Meski merasa
bodoh tapi Naruto tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Membayangkan
Sasuke mencium dan menyentuh wanita lain membuat hatinya merasa begitu kesal.
Tentu saja Sasuke bingung harus menjawab apa. Apa dia
harus mendeskripsikan seberapa panas ciuman malam itu? Astaga, dia berusia dua
puluh dua pada waktu itu dan teman kuliahnya adalah para pemuda kelebihan
hormon yang terkadang merepotkan. Bagaimana mungkin dia tahu kalau sebuah
ciuman akan membawa petaka pada pernikahannya? Ya, andai dirinya tidak menikahi
seorang putri kerajaan, mungkin hal itu tidak akan terjadi. Sasuke meringis
dalam hati dengan pemikirannya sendiri.
“Aku mabuk, jadi tidak begitu mengingatnya,” Sasuke
berusaha tetap tenang.
“Benarkah?”
Sasuke mengangguk.
“Kau tidak tidur dengan wanita itu?”
“Tentu saja tidak! Kakek dan ayahku akan mengebiriku
kalau hal itu sampai terjadi.” Sasuke untungnya masih ingat segala aturan kolot
keluarganya tentang menjaga keperjakaan.
“Tapi kau menciumnya-,” suara Naruto melirih dan
matanya mulai memerah.
Sasuke menahan napas saat Naruto mengusap sudut
matanya. Apakah fakta dirinya pernah berciuman begitu menyakitkan? “Na-naru?”
Sasuke segera menarik sang istri ke dalam pelukannya. Dan di luar dugaan,
Naruto benar-benar menangis di dadanya.
“Kau menciumnya-,” racau Naruto di tengah isakannya,
“-kau pernah mencium wanita lain.”
Hati Sasuke merasa begitu berat. “Maaf, maaf,”
gumamnya kemudian seraya menciumi puncak kepala istrinya. Dia bisa merasakan
tubuh Naruto bergetar dalam pelukannya dan Sasuke tiba-tiba merasa benci dengan
kenakalan masa mudanya.
“Maafkan aku,” gumam Sasuke lagi saat merasa istrinya
sudah lebih tenang. Naruto masih menyembunyikan wajahnya di dada Sasuke.
“Jangan lakukan lagi,” lirih Naruto setelah berhasil
menemukan suaranya kembali.
“Tidak akan pernah.” Sasuke mengeratkan pelukannya.
“Aku memilikimu, bagaimana mungkin aku mencium wanita lain?” dengan lembut dia
mencium pelipis istrinya. “Maafkan kenakalanku dulu.”
Naruto meremas kemeja Sasuke di bagian dada. Hidungnya
menyentuh kulit dada suaminya karena kancing kemeja yang terbuka. Aroma tubuh
Sasuke menciptakan sensasi tersendiri bagi Naruto. Dia tidak merasakan hal ini
saat dipeluk oleh Kurama atau keluarganya yang lain. Inikah yang dinamakan
hasrat?
“Berjanjilah kalau aku adalah wanita pertama dan
terakhir bagimu.”
“Aku berjanji, aku berjanji bahwa kau adalah
satu-satunya, wanita pertama dan terakhir bagiku.” Dengan patuh Sasuke
berjanji. Dia menunduk untuk melihat wajah Naruto yang kini tampak sembab. “Maafkan
aku,” bisiknya lagi.
“Hm,” Naruto hanya menggumam. Dia melingkarkan tangan
ke tubuh sang suami, memeluknya.
Kelegaan tersirat di wajah Sasuke saat merasakan
pelukan erat istrinya. Dia tidak lagi bicara. Mereka menikmati kebersamaan itu
dalam keheningan.
Sayangnya, ketenangan pasangan suami istri itu harus
terganggu karena ketukan pintu. Naruto yang pertama kali menarik dari sampai
Sasuke menyadari tampilan istrinya yang tampak kacau.
“Biar aku yang membuka pintu,” ucap Sasuke kemudian.
Dia pun turun dari tempat tidur, merapikan kemejanya yang tampak kusut dengan
sia-sia. Sejenak menghela napas lalu tersenyum pada istrinya yang kini kembali
berbaring dan membalasnya dengan senyum malu-malu. Oh, Sasuke ingin segera
mengusir siapa pun yang mengganggunya saat ini.
Sayangnya harapan Sasuke langsung pupus begitu membuka
pintu dan melihat Kurama berdiri bersama dengan Mito dan ibunya. Adakah yang
lebih buruk dari ini? Batin Sasuke mengerang.
“Salam Yang Mulia,” ucap Sasuke canggung.
Melihat Sasuke membuka pintu dengan kemeja kusut
membuat Kurama memincingkan mata. Tapi nenek dan ibu Sasuke justru
menyembunyikan senyum di balik telapak tangan.
“Ku, sepertinya kita datang di waktu yang tidak
tepat.” Mito akhirnya tertawa.
Dan Sasuke tidak tahu harus menjawab apa.
***
Extra Chapter
“Bukankah sudah kukatakan kalau tidak mungkin Sasuke
bisa melakukannya.” Kurama menyeringai saat melihat wajah Kakashi dan Nagato.
Keduanya jelas kalah taruhan.
“Harusnya aku mendengarmu,” keluh Kakashi.
“Aku hanya tidak percaya ada yang sanggup melewatkan
ritual malam pertama. Keponakanku itu memang luar biasa.” Nagato menggeleng
sembari menghela napas panjang. Mereka bertiga sedang berjalan di koridor
istana usai sarapan untuk menuju ruang kerja.
“Yang kalian bicarakan adalah Namikaze Naruto, adikku
yang memiliki tingkat kepekaan di bawah rata-rata. Bahkan dengan ucapan
Obaa-sama tadi, anak itu tetap tidak mengerti apa-apa.”
“Ah, kau benar Kurama.” Kakashi dan Nagato menjawab
bersamaan.
“Memang Oji-sama bertaruh apa?” Melihat ekspresi kedua
pamannya membuat Kurama penasaran.
“Yahiko meminta mobil sport terbaru dan bibimu meminta
tas dengan harga ratusan juta rio.” Nagato tampak menyesal.
“Oh, hanya itu.” Kurama menyeringai saat pamannya
tampak kesal. “Lalu Rin Oba-sama?”
“Dia meminta lukisan dari pelukis idolanya yang saat
ini sedang mengadakan pameran di pusat seni kota.” Kakashi menjawab dengan
lebih santai.
“Apa itu mahal?” tanya Nagato penasaran. Pasalnya dia
harus membayar kekalahan pada istri dan anaknya. Tidak adil rasanya kalau
Kakashi hanya mengeluarkan sedikit uang untuk istrinya.
Kakashi melirik Nagato lalu menatap Kurama yang
menahan diri agar tidak tertawa. “Kau bisa bertanya pada Kurama.”
Nagato mengalihkan pandangan pada keponakannya.
“Tenang saja Oji-sama, kerugianmu tidak seberapa jika
dibanding dengan Kakashi Oji-sama.” Kurama akhirnya tertawa.
Tentu saja Nagato tidak percaya begitu saja. “Memang
seberapa mahal harga sebuah lukisan?”
“Deidara, seniman idola Rin Oba-sama adalah seniman
yang mendonasikan sebagian besar hasil penjualan karyanya untuk kegiatan amal.
Pameran kali ini juga bertujuan untuk membantu korban kekeringan di kota Iwa,
Negara Tsuci. Aku menebak kalau lukisan yang diinginkan oleh Rin Oba-sama
adalah yang termahal, bukan begitu Oji-sama?”
“Hm.” Kakashi hanya bergumam sebagai jawaban.
“Dan berapa harganya?” Nagato masih penasaran.
“Seratus milyar rio.” Kurama akhirnya menyebut harga
yang langsung membuat Nagato tertawa senang.
“Haruskah sebahagia itu?” Kakashi menautkan alis
karena reaksi Nagato.
“Ya, aku bahagia karena kau lebih menderita dariku.”
Nagato menepuk bahu Kakashi dengan ekspresi simpati yang jelas palsu.
Kurama menggeleng geli melihat sikap kekanakan kedua
pamannya. “Hati-hati saja, jangan sampai Mizukage atau Hokage mendengar hal
ini.”
Nagato dan Kakashi langsung menoleh pada keponakannya.
“Apa kau juga ingin hadiah Ku?” tanya mereka bersamaan.
“Sebuah villa di pulau O’uzu,” jawab Kurama tanpa
basa-basi. Dia akan menikmati villa itu bersama Sakura setelah mereka menikah
nanti.
Kakashi menelan ludah dan Nagato menghela napas. Pulau
O’uzu berada di bagian selatan Negara Mizu. Pulau tropis dengan pantai dan
pemandangan yang luar bisa cantik. Tapi jangan lupakan harga property yang
mahal.
Kurama tertawa dan meninggalkan pamannya yang hanya
bisa meratapi nasib.
“Seharusnya kita tidak pernah memulai taruhan itu
Kakashi.” Nagato tampak benar-benar lesu.
“Itu ide putramu.” Kakashi menghela napas panjang.
“Ah, kau benar,” jawabnya semakin sedih.
>>Bersambung<<
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments