Nami Cafe - Chapter 22

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================


(Picture from pinterest, credit for owner)

Hari pernikahan pun tiba. Suasana di Istana Mizu tampak begitu berbeda dengan segala hiasan dan ornamen bernuansa biru dan emas. Pernikahan Naruto tidak terbuka untuk umum. Hanya anggota Dewan Kerajaan, para Menteri dan kerabat dekat istana saja yang di undang. Penjagaan di istana Mizu pun diperketat. Beberapa pasukan Anbu juga ikut berjaga di sekitar Hokage dan keluarga Kerajaan Hi.

Pagi itu, Naruto merasakan tangannya dingin saat berlutut dan menuang teh untuk kedua kakek dan neneknya. Dia memberi salam hormat dan memohon restu untuk pernikahan yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Dibelakangnya berdiri sang kakak, juga semua paman dan bibinya.

“Tuhan memberkati hidupmu dengan segala kelimpahan, kesehatan, keturunan dan kebahagiaan.” Itu adalah doa yang diucapkan oleh Hashirama dan Jiraiya. Keduanya membantu Naruto kembali berdiri dan memeluknya bergantian.

Setelahnya, Rin, Konan, Sara tidak bisa menahan haru saat Mito dan Tsunade juga memeluk Naruto, memberinya restu secara bergantian.

“Apa kau takut, Sayang?” Mito mengusap wajah cantik cucunya setelah merasakan betapa dingin tangan Naruto.

“Hm.” Naruto mengangguk lalu menatap kedua neneknya bergantian.

Tsunade tersenyum. “Jangan takut, Sasuke pria yang baik. Aku banyak bicara dengannya kemarin. Dia akan menjagamu,” ucapnya menenangkan seraya membenarkan tudung pengantin yang dikenakan cucunya.

Sekali lagi Naruto hanya bisa mengangguk.

“Kami akan selalu ada untukmu.” Mito menambahkan dan Naruto kembali memeluk ke dua neneknya karena tidak tahu harus berkata apa.

Suara lonceng terdengar, tanda upacara pernikahan akan segera dilaksanakan. Kurama memeluk adiknya dan membisikkan banyak kata-kata sayang dengan mata memerah.

“Bahagialah selalu,” ucapnya seraya melepas pelukan mereka. “Aku tidak menyangka akan mengantarmu ke altar pernikahan secepat ini.”

“Aku juga belum percaya kalau hari ini akan menikah.” Naruto menyeka air di sudut mata lalu menatap sang kakak. Keduanya bertukar senyum dan kembali berpelukan.

Seluruh keluarga perlahan meninggalkan ruangan dan membiarkan kakak dan adik itu bersama. Mereka juga harus segera berada di ruang upacara.

“Jangan takut, oke?” Kurama menangkup wajah adiknya dengan kedua tangan. Dia memberikan kecupan di kening. “Aku tahu Sasuke pria yang baik, tapi jangan ragu untuk mengadu padaku jika dia menyakitimu.”

Naruto menahan senyumnya melebar dan kembali mengangguk. “Onii-sama akan sering mengunjungiku di Konoha bukan?” tanyanya dengan suara parau.

“Aku tidak berani berjanji. Akan kuusahakan menjengukmu sesering yang kubisa. Tapi aku ragu kalau setelah menikah nanti kau akan merindukanku. Bukankah mulai malam ini sudah ada yang menemanimu tidur, hm?”

“Onii-sama~,” Naruto memukul dada kakaknya dengan wajah memerah. “Jangan menggodaku di saat seperti ini.”

Dan Kurama pun tertawa. Dia akan selalu merindukan saat-saat seperti ini, menggoda Naruto adalah kebahagiaan tersendiri baginya. Menghela napas perlahan, Kurama kembali memeluk sang adik. “Ayo, jangan buat suamimu menunggu terlalu lama.”

Dengan menggenggam tangan kakaknya, Naruto mengangguk lalu berjalan beriringan menuju tempat upacara pernikahan.

***

Gaun pengantin Naruto berkilauan di bawah sinar lampu. Tudung pengantin yang dikenakannya tidak sanggup menutup pesona kecantikan Putri Namikaze itu. Tidak ada yang tidak terpesona. Shisui dan Itachi bahkan saling bertukar pandang dengan wajah memerah, dalam hati memuji keberuntungan Sasuke yang berhasil menaklukkan hati Naruto.

Madara tampak begitu bahagia berdiri di samping Fugaku dan Mikoto. Akhirnya keinginannya terwujud. Dia bisa memenuhi janjinya pada Minato dan Kushina untuk menjaga Naruto melalui cucunya. Dia berharap setelah ini hanya akan ada kebahagiaan di hidup Naruto.

Sementara itu di depan altar, Sasuke menunggu dengan jantung berdebar. Rasanya masih tidak percaya jika wanita yang membuatnya jatuh hati beberapa bulan lalu itu sekarang akan menjadi istrinya. Dia menatap Naruto dengan pemujaan penuh. Dalam hati kembali berjanji untuk mencintai dan menjaganya.

Di sisi lain, koridor terasa begitu panjang bagi Naruto. Berjalan berdampingan dengan Kurama tidak lantas membuatnya tenang. Semakin dekat dengan altar, semakin debaran jantungnya menggila. Bukan perhatian semua orang yang membuatnya gemetar tapi pria yang sudah menunggunya di altar. Di matanya, Sasuke terlihat begitu mempesona dengan tuxedo putih yang senada dengan gaun pengantinnya. Naruto mengakui kalau memang hanya Sasuke lah pria yang sanggup membuat hatinya bergetar.

Tiba di depan altar membuat Naruto sejenak menghela napas. Beruntung dia sudah mengenakan sarung tangan hingga sang kakak tidak tahu betapa dingin tangannya saat ini. Senyum Kurama sedikit menenangkan hatinya.

“Kau siap?” bisik Kurama sembari menangkup kedua wajah Naruto dan menyeka air di sudut mata dengan ibu jarinya.

Naruto mengangguk pelan. “Terima kasih, Onii-sama.”

Pikiran konyol Kurama mengatakan untuk membawa adiknya pergi, tapi dia sadar itu terlalu egois. “Aku menyayangimu,” lirihnya kemudian sembari mencium kening Naruto.

Tidak ada yang tidak terharu melihat interaksi keduanya. Semua tamu yang datang jelas tahu bagaimana kisah hidup kakak beradik itu.

“Aku juga sayang padamu, Ku-nii.” Naruto memeluk kakaknya tepat saat Sasuke turun dari altar untuk menjemputnya.

Dengan enggan akhirnya Kurama menyerahkan adiknya. “Jaga dia.”

“Dengan seluruh hidup saya, Shinno-sama. Terima kasih,” jawab Sasuke sembari membungkuk dan menerima uluran tangan Naruto. Ini adalah pertama kali dia bisa menyentuh tangan Naruto.

Kurama berbalik dan berdiri di samping Jiraiya yang langsung menepuk lembut bahunya sembari tersenyum. Putra Mahkota itu hanya balas tersenyum lalu mengangguk pada sang kakek. Kurama pun kembali mengalihkan perhatiannya pada altar penikahan.

Naruto dan Sasuke kini berlutut berhadapan di depan altar saat Pendeta yang memimpin upacara membacakan rangkaian doa untuk keduanya. Sasuke jelas merasakan tangan Naruto yang gemetar dalam genggamannya.

“Jangan takut,” lirih Sasuke pada wanita yang tengah menunduk dengan mata terpejam. Naruto tampak begitu tenang dari luar, siapa sangka kalau ternyata dia ketakutan.

Mendengar ucapan Sasuke membuat Naruto membuka mata dan sedikit mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu meski terhalang oleh tudung pengantin. Senyum Sasuke dan genggaman tangannya yang mengerat membuat Naruto tahu maksudnya tanpa harus bertukar kata. Dia pun mengulas senyum tipis lalu mengangguk.

Pendeta selesai membaca doa, meminta keduanya berdiri untuk mengucap sumpah pernikahan. Dua orang gadis kecil berdiri disamping pendeta dengan membawa keranjang berisi cincin pernikahan. Dengan hati-hati Sasuke pun membantu Naruto berdiri. Putra bungsu Uchiha itu kemudian dengan lantang mengucapkan janji pernikahannya.

“Aku Uchiha Sasuke, hari ini menerima Namikaze Naruto, sebagai istri dan pasangan hidupku. Berjanji untuk selalu mencintai, setia, bersama, dan saling menjaga. Selamanya, sampai waktu Tuhan memisahkan kami. Cincin ini adalah meterai dari janji yang aku ucapkan.”

Naruto berkedip saat Sasuke selesai dengan janji pernikahannya dan menyematkan cincin pernikahan di jari manisnya. Hatinya terasa begitu hangat. Menghela napas perlahan, Naruto meneguhkan hatinya untuk mengucapkan janji pernikahannya.

“Aku Namikaze Naruto, hari ini menerima Uchiha Sasuke, sebagai suami dan pasangan hidupku. Berjanji untuk selalu mencintai, setia, bersama, dan saling menjaga. Selamanya, sampai waktu Tuhan memisahkan kami. Cincin ini adalah materai dari janji yang aku ucapkan.”

“Dengan ini, Uchiha Sasuke dan Namikaze Naruto resmi menjadi sepasang suami istri.” Pendeta dengan lantang mengumumkan dan tampak kelegaan di mata semua orang yang menyaksikan semua itu. Mito dan Tsunade tidak dapat menahan air mata mereka. Begitu juga Konan dan Rin. Kurama bahkan memejamkan mata dan menghela napas berkali-kali agar air matanya tidak jatuh. Di depan altar, kelegaan juga tampak di wajah Sasuke.

“Anda boleh membuka tudung pengantin dan mencium istri anda.” Pendeta tersenyum pada Sasuke.

Naruto mengangkat wajahnya saat Sasuke membuka tudung yang sejak tadi menutupi wajahnya. Senyum keduanya mengembang saat mata mereka beradu pandang.

“Terima kasih,” ucap Sasuke lirih di depan wajah istrinya.

“Hm, terima kasih.” Naruto tersenyum tipis saat kemudian Sasuke menarik pinggulnya. Dia memejamkan mata dan merasakan bibir pria itu dengan lembut menekan bibirnya. Dalam sekejap, Naruto merasakan sensasi hangat menjalari seluruh tubuhnya. Sayangnya Sasuke langsung melepaskan bibirnya dan membuat Naruto berkedip dengan bingung.

“Apa aku membuatmu terkejut, Hime?” bisik Sasuke saat melihat rona merah di wajah Naruto yang membuat Sasuke tidak tahan untuk menggodanya.

Alih-alih menjawab, Naruto justru mundur satu langkah hingga tangan Sasuke terlepas dari pinggulnya. Dia terlalu malu dan hampir lupa jika masih berada di depan altar.

“Hati-hati,” Sasuke segera memegang tangan Naruto yang hampir jatuh karena bergerak tiba-tiba. Dia tersenyum saat sang istri kembali menatapnya.

“Jangan menggodaku,” kata Naruto dengan wajah datar.

“Baik, baik, aku tidak akan menggodamu, Hime.” Sasuke kembali melingkarkan tangannya di pinggul Naruto dan beruntung istrinya itu tidak menolaknya. Keduanya kemudian berbalik dan mengembangkan senyum pada seluruh keluarga. Ah, sungguh hari yang indah.

***

Menjaga ekspresi tetap tenang di tengah pesta dan menerima salam hormat serta ucapan selamat dari puluhan tamu bukanlah hal yang menyenangkan bagi Sasuke. Dalam hati dia merasa kagum dengan Naruto yang masih bisa duduk dengan anggun dan sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda kelelahan. Padahal Sasuke sudah merasa ingin berlari dari pesta kalau tidak mengingat ini adalah pesta pernikahannya.

Di meja perjamuan keluarga Uchiha, Sasuke bisa melihat Itachi menyeringai padanya dan Shisui yang tersenyum melihatnya. Sang ibu, meski tadi begitu terharu dengan pernikahannya kini juga tampak tersenyum di balik sapu tangannya, menertawakannya? Tanpa sadar Sasuke menghela napas hingga menarik perhatian Naruto.

“Apa kau sudah lelah?” Naruto menoleh pada suaminya.

“Tidak,” jawab Sasuke cepat.

Naruto mengedarkan pandangannya ke aula dimana seluruh keluarganya juga tampak sibuk berbincang dengan para tamu. Dia sudah mulai lelah tapi tahu belum saatnya meninggalkan ruang pesta saat Hokage dan Mizukage bahkan masih menjamu tamu. Naruto baru saja ingin memanggil pelayan untuk mengambilkannya teh hangat saat melihat seseorang menghampirinya dengan gelas tinggi di tangan.

“Apa kabar Hime?” sapa Karin dengan senyum manisnya. “Aku turut bahagia dengan pernikahanmu.” Dia mengangkat gelas dan menyesapnya perlahan sembari mengalihkan pandangan pada Sasuke.

“Terima kasih Onee-sama,” Naruto mengangguk. Sejak kemarin dia jelas menghindari kakak sepupunya yang memang suka sekali membuat masalah dengannya. Siapa sangka kalau Karin masih berani mendatanginya bahkan setelah mendapat hukuman dari sang nenek.

“Kau pasti bahagia bukan? Bisa menikah dengan pesta semegah ini dan dengan pria yang tampan seperti Sasuke. Aku cukup terkejut kau tidak menikah dengan seorang pangeran.” Ah, bukan Karin namanya jika perkataannya tidak memancing emosi. Sasuke bahkan mengepalkan tangan di balik punggung saat mendengarnya.

Naruto menoleh pada suaminya lalu tersenyum. Tanpa kata memintanya untuk tenang. “Tentu saja aku bahagia Onee-sama. Dan maaf, aku tidak membutuhkan seorang pangeran untuk membuatku bahagia.”

“Oh ya? Sayang sekali kalau begitu. Anak-anakmu nanti tidak bisa menyandang gelar putri dan pangeran, padahal kau sendiri memiliki gelar putri dari dua kerajaan.” Karin tersenyum saat melihat kilat kemarahan di mata Naruto. Dia jarang sekali melihat Naruto melawan karena sang nenek pasti akan langsung membelanya.

“Shimura-sama-,”

“Bukankah itu sama sepertimu, Onee-sama? Lalu apa masalahnya?” Naruto memotong perkataan Sasuke. Dia tidak mau suaminya terpancing emosi karena ulah Karin. Sasuke sendiri tampak terkejut mendengar Naruto bisa menjawab seperti itu.

Ekspresi wajah Karin berubah. “Ya, itu sama sepertiku. Dan aku menyayangkan hal itu juga akan terjadi pada anak-anakmu.”

Naruto tersenyum. “Bukankah terlalu dini untuk membicarakan masalah itu? Pernikahanku bahkan belum genap satu hari.”

“Aku hanya berbaik hati memperingatkanmu.” Karin menyeringai. “Uchiha Sasuke, selamat bergabung dengan keluarga Istana Uzushio. Kau beruntung bisa bersamanya, jadi nikmatilah hidupmu.” Sekali lagi Karin mengangkat gelasnya lalu berputar dengan anggun dan berjalan meninggalkan pasangan suami istri itu.

“Apa aku boleh melakukan sesuatu padanya?” tanya Sasuke dengan nada geram lalu menggenggam tangan Naruto. Dia tidak menyangka ada yang berani berkata sekasar itu pada istrinya. Tidak heran kalau Mito tidak menyukai Karin.

Naruto tersenyum lalu menepuk pelan tangan Sasuke yang menggenggamnya. “Suatu hari nanti aku akan mengijinkannya, tapi tidak hari ini.”

Sasuke menghela napas panjang. “Kau terbiasa menghadapinya?”

“Saat kami hanya berdua, perkataannya bisa sepuluh kali lebih beracun dari yang baru saja kau dengar.”

“Kau bercanda?” Sasuke tampak terkejut.

“Apa aku pernah bercanda?” Naruto balik bertanya.

“Dan kau tidak melakukan apa-apa?”

“Untuk apa? Dia kakak sepupuku. Aku masih harus menghormatinya, terlebih menghormati paman dan bibiku.”

Tangan Sasuke kembali terkepal dan dia harus menghela napas untuk meredakan emosinya. “Pantas saja semua orang over protektif padamu,” lirihnya sembari memijat pangkal hidungnya yang berdenyut.

“Keluargaku terkadang berlebihan,” kata Naruto sembari kembali duduk dengan anggun dan menatap ke arah tamu pesta. Sesaat dia melihat sang kakak menatapnya tapi dia tahu itu karena Karin baru saja menyapanya. Dengan adanya Sasuke, mereka pasti lebih tenang.

“Tidak, percayalah mereka tidak berlebihan.”

Naruto menoleh pada sang suami yang sudah kembali duduk di sebelahnya. “Jangan bilang kalau kau akan melakukan hal yang sama?”

“Tentu saja, melihatmu seperti ini-,” Sasuke melambaikan tangannya pada Naruto, “-mana mungkin aku rela istriku diperlakukan seperti itu?”

Mendengar Sasuke memanggilnya istri membuat Naruto tersipu. Dia memalingkan wajah sembari berdeham pelan. “Dasar perayu,” gumamnya dibalik telapak tangan.

“Aku tidak sedang merayumu, Sayang.” Sasuke ternyata mendengarnya dan panggilan sayang membuat pipi Naruto semakin memerah, jantungnya berdebar.

Ini memalukan sekali, batin Naruto panik.

“Naru?” Sasuke memanggil istrinya yang masih memalingkan wajah. “Kau baik-baik saja?”

Naruto menoleh setelah menenangkan dirinya. “Aku tidak akan baik-baik saja dengan mulut manis dan panggilan sayangmu.”

Sasuke tampak terkejut tapi kemudian dia mengerti dan menahan diri untuk tidak tertawa. “Aduh!” Dia pura2 merintih saat Naruto menendang kakinya di bawah meja.

“Jangan menertawakanku,” sungut Naruto dengan suara lirih dan berusaha tetap menjaga ekspresinya.

“Baik, baik, maafkan aku. Tapi apa kau benar-benar malu kalau aku memanggilmu Sayang?”

Naruto menghela napas dan meminta pelayan membawakannya secangkir teh. Dia tidak berkutik saat Sasuke kemudian benar-benar tertawa.

Sepasang pengantin itu sama sekali tidak menyadari kalau sejak tadi Kurama bersama paman dan bibinya mengamati interaksi mereka.

“Aku tidak percaya kalau Naruto bisa bersikap seperti itu selain pada Kurama.” Kakashi menoleh pada keponakan sulungnya yang kini menyeringai di balik gelas tingginya.

“Aku sama terkejutnya denganmu saat pertama kali melihat mereka.” Nagato menambahkan.

“Apakah ada yang berani bertaruh?” celetuk Yahiko yang membuat semua orang langsung menatapnya.

“Apa maksudmu?” Konan bertanya pada putranya.

Yahiko berdeham lalu melirik ke kanan dan ke kiri untuk melihat situasi di sekeliling mereka. “Apakah Sasuke sanggup menaklukkan Naru-chan malam ini?” ucapnya dengan suara nyaris berbisik dan langsung membuat Kurama tersedak.

“Ya,” seru para pria selain Kurama.

“Tidak,” jawab para wanita bersamaan.

“Onii-sama, aku akan memukulmu kalau menjadikan Naru lelucon.” Kurama mendesis pada kakak sepupunya. Andai tidak berada di tengah pesta, Kurama pasti sudah benar-benar memukul Yahiko.

“Apa kau tidak penasaran Ku?” tanya Kakashi kemudian.

“Oji-sama, jangan konyol.” Kurama menggeleng kesal sembari melipat tangan di depan dada.

“Bibimu mengatakan kalau Sasuke akan gagal malam ini. Apa pendapatmu Ku?” Nagato justru tersenyum dan sengaja membuat Kurama semakin kesal.

“Tentu saja Oba-sama benar. Mana mungkin adikku akan luluh begitu saja. Sehebat apapun Sasuke, dia tidak akan sanggup menaklukkan Naru hanya dalam waktu satu malam.” Kurama menjawab dengan penuh percaya diri.

“Jadi kau mau ikut bertaruh?” Yahiko menantang.

Alih-alih menjawab, Kurama justru mendengkus lalu kembali meneguk minumannya.

“Oke, Kurama tidak ikut. Jadi berapa jumlah taruhan kita?” Dengan senyum jahil Yahiko menatap kedua orang tua juga paman dan bibinya.

***

Apakah ini mimpi? Naruto mengalungkan tangannya pada lengan Sasuke dan berjalan meninggalkan aula pesta. Tentunya setelah mereka memberikan salam pada seluruh keluarga.

“Kau baik-baik saja, Hime?” Sasuke sedikit menunduk dan berbicara dengan nada pelan mengingat ada pengawal dan pelayan yang mengikuti mereka.

“Jangan memanggilku begitu.” Naruto menoleh pada Sasuke.

“Bukankah kau keberatan kalau aku memanggilmu Sayang, ouch!” Sasuke mengaduh dan menahan diri untuk tidak tertawa saat Naruto menusuk perutnya dengan siku yang melingkar di lengannya.

Beberapa pelayan yang menangkap kejadian itu menundukkan kepala sembari tersipu karena menganggap kalau Sasuke sedang menggoda istrinya. Ya, mereka tidak salah, hanya saja godaan Sasuke tidak seperti bayangan mereka.

Pengawal membuka pintu begitu mereka sampai di depan pintu kamar Naruto. Dua orang pelayan ikut masuk dan membantu Naruto duduk di depan meja rias.

“Uchiha-sama, ijinkan saya membantu Anda.” Seorang pelayan menghampirinya dan melambaikan tangan ke arah walk in closet.

Sasuke menatap ke arah Naruto yang duduk di depan meja rias, sementara seorang pelayan tengah membantunya melepas tudung kepala. “Bisakah kalian semua keluar?”

Kedua pelayan itu terpaku, begitu juga Naruto yang langsung menoleh ke arah suaminya.

“Biarkan aku yang membantu Hime-sama berganti pakaian.” Sasuke memperjelas perkataannya.

Pelayan di sebelah Naruto tampak bingung dan hanya saling tatap dengan temannya yang masih terpaku di depan Sasuke. “Tapi Hime-sama-,”

“Kalian keluarlah,” kata Naruto kemudian dan kedua pelayan itu tak berani membantah. Mereka membungkuk hormat pada Naruto dan Sasuke lalu bergegas meninggalkan kamar.

“Bukankah begini lebih baik?” Sasuke tersenyum lalu berjalan menghampiri sang istri yang masih duduk di depan meja rias. “Ijinkan saya membantu Anda, Hime-sama.”

“Kau yakin?” Naruto menatap suaminya melalui cermin.

“Apa kau pikir aku tidak bisa membantumu berganti pakaian? Atau menyiapkanmu air mandi?”

Naruto menggeleng geli dan tak lagi berkomentar saat Sasuke mulai melepas jepit juga hiasan rambutnya satu persatu.

“Hime, apa aku sudah mengatakan kalau kau sangat cantik hari ini?” tanya Sasuke sembari melepas tudung kepala dan meletakkannya di atas meja rias. Dengan bersandar pada meja, dia menatap istrinya yang kini kembali tersipu.

“Kau boleh mengatakannya sesuka hatimu sekarang.” Naruto menyerah pada kalimat-kalimat vulgar suaminya.

Mengulas senyum, Sasuke menggeleng geli lalu kembali berdiri di belakang istrinya. Dia melepas kalung dari leher Naruto dan meletakkannya di dalam kotak perhiasan yang sudah terbuka di atas meja. Naruto sendiri kemudian melepas anting-anting dan gelangnya lalu meletakkannya di kotak terpisah.

Sasuke mengerutkan kening saat Naruto berdiri, mengambil tudung kepalanya di atas meja lalu berjalan ke arah manekin yang terletak tidak jauh dari meja rias. Dia memasang tudung ke atas kepala manekin.

“Siapa yang memilih gaun ini?”

Naruto berjenggit saat Sasuke menyentuh bahunya.

“Bibi dan kedua nenekku,” jawab Naruto pelan. Dia tidak bisa menolak saat kemudian Sasuke melepas kaitan gaun di belakang lehernya dan menarik turun sleting dengan hati-hati. Alisnya berkerut saat teringat kalau Sasuke akan melihat bekas luka di punggungnya.

Dan benar saja, tangan Sasuke berhenti begitu mencapai punggung dan melihat bekas luka panjang yang tampak sudah memudar. Tapi dia tidak bertanya dan kembali menarik sleting hingga mencapai pinggul. Perlahan dia membantu Naruto melepas gaun pengantinnya dan memasangkannya di manekin. Sasuke berbalik dan menatap sang istri yang kini hanya memakai korset dan stoking dengan garter hitam.

“Jangan menatapku seperti itu.” Dengan wajah yang terasa panas, Naruto berbalik lalu kembali duduk di depan meja rias. Tangannya hendak melepas simpul dan gelung rambut saat kemudian Sasuke lebih dulu melakukannya.

“Aku sudah bilang untuk membantumu.” Sasuke pura-pura tidak tahu saat Naruto menatapnya melalui cermin. Tangannya dengan terampil mengurai simpul, kepang dan sanggul hingga rambut pirang itu tergerai menutup bahu dan punggung. “Selesai,” ucapnya dengan senyum bangga.

“Terima kasih.” Naruto tersenyum pada suaminya melalui cermin. Alisnya bertaut saat kemudian melihat sang suami melepas tuxedonya. Tapi apa yang dilakukan Sasuke berikutnya justru membuat Naruto tertawa.

“Aku akan siapkan air panas untukmu.” Sasuke menutup bahu polos istrinya dengan tuxedo. Dia ikut tertawa lalu berbalik dan berjalan ke kamar mandi.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 21<<

>>Nami Cafe - Chapter 23<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments