Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
(Picture from pinterest, credit for owner)
Langit malam bertabur bintang tampak indah di langit
Konoha. Sayangnya hal itu tidak bisa membuat Sara terpesona. Putri kedua Hokage
itu tampak gelisah saat duduk di balkon kamarnya.
“Ada apa dengamu?”
Sara terkejut dan melihat ke arah pintu balkon dimana
suaminya sudah berdiri mengenakan jubah tidurnya.
“Ti-tidak, tidak ada apa-apa.” Sara tersenyum.
“Tidurlah, ini sudah malam.” Danzo mengamati ekspresi
istrinya. Dia yakin Sara sedang tidak baik-baik saja.
Dengan patuh Sara beranjak dari kursi lalu berjalan ke
dalam kamar. Dia menatap sang suami yang kini juga ikut menaiki tempat tidur.
“Hm, Anata?”
“Ya?” Danzo berhenti menarik selimut dan menatap
istrinya.
“Apa kau tahu mengenai kabar pernikahan Naruto?”
Kening Danzo berkerut mendengarnya. Dia menggeleng
pelan. “Aku belum mendengar masalah itu.”
“Ah begitu ya, aku cukup terkejut saat berkunjung ke
istana siang tadi. Keluarga Uchiha sedang membicarakan pernikahan dengan
Otou-sama.” Sara merasa lega karena ternyata suaminya juga tidak tahu dengan
berita pernikahan itu.
“Uchiha? Maksudmu Naru-hime akan menikah dengan cucu
Perdana Menteri?”
Sara mengangguk. “Putra bungsu Fugaku, kalau tidak
salah namanya Uchiha Sasuke.”
Danzo kembali menarik selimut lalu berbaring dan
menatap istrinya. “Apa itu yang mengganggumu? Pernikahan Hime?”
“Mengganggu?” Sara tampak terkejut. “Tidak, aku tidak
terganggu. Hanya sedikit terkejut karena Okaa-sama atau pun Onee-sama tidak
pernah membicarakan masalah pernikahan dengan keluarga Uchiha. Dan lagi, Naruto
adalah anak yang pendiam, aku tidak menyangka dia akan menikah secepat ini. Apa
menurutmu mereka dijodohkan?”
“Yang pernah kudengar justru Hime akan dijodohkan
dengan Pangeran Suna, Sabaku Gaara.”
Tanpa sadar Sara mengeratkan genggamannya pada selimut
dan hal itu tidak luput dari perhatian Danzo.
“Tidurlah Sara,” katanya kemudian.
“Ya, Anata.” Sara pun menarik selimut dan berbaring di
sebelah suaminya.
“Anata, apa menurutmu Karin bisa mendapat jodoh
seorang pangeran?” tanya Sara dengan suara lirih saat melihat suaminya
memejamkan mata.
“Karin harus merubah sikapnya jika ingin menjadi istri
pangeran.”
Sara menoleh pada suaminya yang menjawab tanpa membuka
mata. Dia pun menghela napas perlahan, mematikan lampu tidur lalu mulai
memejamkan mata. Hari ini terasa melelahkan baginya.
***
Sementara itu, di waktu yang sama, di sebuah bar, di salah
satu sudut Kota Konoha, dua orang sahabat tengah menghabiskan malam bersama.
“Kau baik-baik saja?” Shikamaru bertanya saat Neji
menghabiskan gelas ketiganya tanpa jeda.
“Tidak,” jawab Dokter muda itu dengan suara yang mulai
parau.
Shikamaru menyeringai, menggeleng geli lalu meneguk
vodka dari gelasnya sendiri. “Kendalikan dirimu.”
“Jangan bersandiwara di depanku, Shika.” Neji melirik
sahabatnya dengan tatapan kesal tapi justru membuat Kapten muda itu tertawa.
“Konyol,” desis Shikamaru kemudian.
“Kau tidak sakit hati?” Neji meletakkan gelas kosong
keempatnya dengan kasar lalu menoleh pada Shikamaru. Beruntung meja mereka berada
di sudut ruangan hingga tidak menarik perhatian pengunjung lain.
“Untuk apa aku sakit hati? Kita berdua jelas tahu bagaimana
akhir dari semua ini. Apa otak udangmu berharap kalau suatu hari nanti Naru
akan memilihmu?”
“Kau brengsek, Shika,” desis Neji tidak terima.
Shikamaru kembali tertawa. “Sadarlah Neji. Selamanya,
kita hanyalah sabahat Naru.”
Neji terdiam. Mengisi kembali gelas kosongnya dan
menghabiskannya dalam beberapa tegukan. Shikamaru yakin kalau sebentar lagi sahabatnya
itu akan tumbang dan dia akan direpotkan dengan membawa dokter itu pulang ke
apartemennya.
“Naru sudah bahagia dengan pilihannya. Terima itu,
Neji.” Shikamaru menepuk bahu sahabatnya.
“Darimana kau tahu Naru bahagia? Bagaimana jika
sebaliknya?” Rupanya Neji masih tidak bisa menerima kenyataan di depannya.
“Apa kau pikir Naru akan menerima pernikahan ini jika
dia tidak mencintai Sasuke? Kau dengar sendiri bukan, bagaimana nada suaranya
saat memberitahu kita mengenai pernikahannya?” Shikamaru menggeleng sembari
menghela napas. “Neji, Naru jelas mencintai Uchiha Sasuke. Perasaanmu bukanlah
alasan untuk menampik kenyataan.”
Trak!! Lagi, Neji mengosongkan gelasnya dan
meletakkannya dengan kasar di meja. “Kau seharusnya menghiburku Baka-Shika!”
sungut Neji dengan kepala tersungkur di atas meja.
“Kau bukan anak umur lima tahun, untuk apa aku
menghiburmu?” dengkus Shikamaru. Meski begitu, Shikamaru menepuk lembut bahu
sahabatnya yang kini mulai bergetar.
Tidak ada lagi yang bicara diantara mereka. Neji
menangis untuk melampiaskan sakit hatinya karena cinta yang tak terbalas.
Sementara Shikamaru menikmati rokok dan minumannya sembari menemani sahabatnya
yang tengah meratap. Malam itu, menjadi malam yang berat bagi keduanya.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Istana Uzushio disibukkan
dengan urusan kenegaraan sementara Istana Kiri disibukkan oleh persiapan
pernikahan. Kediaman Uchiha tidak kalah sibuknya. Puluhan hadiah pernikahan
sudah dipersiapkan dan Sasuke dipusingkan dengan segala tata krama juga adat
tradisi yang harus dihapalnya.
Kamar Naruto di istana Uzushio sudah didesain ulang
menjadi kamar pengantin sebagai kamuflase. Tempat tinggal Naruto dan Sasuke yang
sebenarnya sudah disiapkan. Sebuah rumah dua lantai yang terteletak tidak jauh
dari pusat kota. Tentunya sudah dengan pengamanan yang dirancang khusus. Sasuke
sendiri mulai terbiasa berinteraksi dengan Anbu atau para petugas keamanan yang
menyamar. Dia juga berlatih menembak di sela persiapan pernikahannya.
Hari itu, satu minggu menjelang pernikahan, Hokage
mengadakan rapat rahasia bersama dengan Madara, Shikaku, Danzo, Yamato, juga
Nagato.
“Bagaimana persiapannya?” Hashirama bertanya pada Shikaku.
“Semua sudah siap Hokage-sama. Mata-mata kita berhasil
mengusai sepuluh markas besar dan gudang senjata,” jawab Shikaku.
“Mereka tidak menyadarinya?” tanya Hashirama.
“Tidak, bahkan Hidan sendiri yang memberi mereka
wewenang satu minggu yang lalu,” lanjut Shikaku.
Hashirama tersenyum tipis. “Sepertinya pernikahan
Naruto berhasil mengacaukan fokusnya hingga berani menyerahkan komando pada
Hidan. Berapa jumlah pasukan yang disiapkannya untuk menyerang istana?”
tanyanya kemudian pada Danzo.
“Dia menyiapkan lima ratus prajurit angkatan darat,”
jawab Danzo.
“Lima ratus?” Nagato cukup terkejut mendengarnya.
“Benar Shinno-sama, awalnya dia hanya menyiapkan dua
ratus prajurit. Tapi setelah mendengar tentang pernikahan Hime, dia merubahnya
menjadi lima ratus. Mereka semua berada di bawah komando empat jendral.” Danzo
menjelaskan dengan tenang.
“Dan Shin yang menjadi pemimpin pasukan itu?” tanya
Tobirama.
“Benar Shinno-sama.” Danzo kembali menatap Hokage. “Dia
tidak akan membuat kekacauan di Mizu karena tidak mungkin menyelundupkan
pasukan ke dalam istana Kiri. Penyerangan akan dilakukan setelah Hime kembali
ke Konoha.”
Hashirama mengepalkan tangannya di atas meja untuk
menahan geram. “Bagaimana sistem keamanan di istana,Yamato?”
“Lapor Yang Mulia, semua sistem keamanan istana sudah
ditingkatkan. Anbu dan Divisi Pengintai berkoordinasi dengan baik. Empat menara
siaga dua puluh empat jam.”
“Bagus.” Hashirama mengangguk. “Dengar, kita harus
melakukan semua ini dengan hati-hati. Penyerangan pasti akan dilakukan malam
hari. Jangan lengah dan pastikan apa yang akan kita lakukan tidak terdengar
keluar istana. Malam penyerangan nanti, mereka yang masuk ke Istana Uzhusio
harus keluar tanpa nyawa. Pastikan kita akhiri semuanya.”
“Baik Hokage-sama,” jawab Shikaku, Danzo dan Yamato
bersamaan.
Perhatian Hashirama beralih pada Madara. “Bagaimana
dengan tempat tinggal Naru?”
“Tenang saja, semua sudah siap. Kupastikan Naru tidak
akan tahu dengan apa yang terjadi di Istana nanti.” Madara melipat tangan di
depan dada dengan ekspresi tenang.
“Nagato, kau tidak boleh jauh dari Ibiki dan pengawal
istana. Selain Naru, kau juga target yang diincarnya.” Hashirama menatap putra
sulungnya dengan ekspresi serius.
“Aku mengerti Otou-sama.”
“Hari ini Tobirama sedang mengatur pasokan senjata
yang akan didistribusikan pada sepuluh markas. Dia akan berkoordinasi dengan
anak buah Yamato. Danzo, berikan padaku daftar para jenderal yang berkhianat.
Kau dan Shin harus membereskan mereka semua dari pasukan Angkatan Darat. Aku
tidak mau lagi mendengar ada duri dalam daging di bawah pemerintahanku.”
“Baik Yang Mulia.” Danzo dan Yamato kembali menjawab
bersamaan.
***
Kau
sedang apa?
Naruto tersenyum menatap pesan di layar handphone-nya. Alih-alih membalas pesan,
Naruto justru meletakkan handphone
dan mengamati para pelayan yang sedang sibuk mendekorasi kamarnya. Tiga hari
lagi dia akan menikah dan menempati kamar itu bersama suaminya.
“Apa itu Sasuke?” Rin bertanya setelah melihat
perubahan ekspresi keponakannya. Hanya dua orang yang dia tahu bisa membuat
Naruo berekspresi lebih, Kurama dan Sasuke.
“Hm,” gumam Naruto sembari mengangguk.
“Kenapa tidak membalasnya?” tanya Rin heran.
“Dan membiarkannya menggangguku sepanjang hari?”
Naruto menggeleng dengan ekspresi geli. “Mereka sedang dalam perjalanan ke
Kiri. Malam nanti kami akan bertemu.”
Tentu saja Rin tertawa mendengarnya. Sepertinya Sasuke
harus memiliki kesabaran ekstra untuk menghadapi istrinya. “Dia pasti
merindukanmu.”
“Ah, dia memang mengatakan itu setiap waktu.” Naruto
berkata seolah itu adalah hal biasa dan membuat Rin menautkan alis karena
heran.
“Apa kau tidak merindukannya?” tanya Rin kemudian.
Naruto yang menoleh dengan ekspresi datar membuat Rin segera menjelaskan maksud
perkataannya. “Ah, maksudku kalian akan menikah jadi pasti saling merindukan
satu sama lain.”
“Tentu saja aku merindukannya,” jawab Naruto tenang. “Tapi
haruskah aku mengatakannya setiap saat?”
Rin langsung tertawa. Dia lupa kalau Naruto tidaklah
seperti dirinya atau gadis pada umumnya. Sejak kecil dia dibesarkan dengan tata
krama seorang putri yang mengharuskannya menjaga sikap dan ekspresi di depan
umum. Jadi baginya sikap Sasuke jelaslah berlebihan.
“Aku mengerti, aku mengerti,” kata Rin kemudian.
“Apa aku aneh?” Naruto balik bertanya.
“Tidak Sayang, kau tidak aneh.” Rin menjawab dengan
cepat dan merasa lega karena kemudian Naruto tersenyum dan kembali mengalihkan
perhatiannya pada para pelayan.
“Oh ya, kau sudah mencoba gaun pengantinnya?”
“Sudah Oba-sama, itu gaun yang cantik. Terima kasih
sudah memilihkannya untukku.” Naruto mengangguk hormat pada bibinya.
“Aku senang kau menyukainya. Semua orang pasti
terpesona melihatmu.”
Naruto kembali tersenyum dengan pipi merona. Meski tak
banyak bicara tapi Rin tahu kalau Naruto juga pasti berdebar dengan
pernikahannya. Dia hanya terbiasa untuk memendam semuanya sendiri.
Kedatangan Kurama mengalihkan perhatian keduanya. Para
pelayan berhenti sejenak untuk memberi salam sebelum kembali sibuk menata
kamar.
“Oba-sama, apa keberatan kalau aku membawa Naru
sebentar?” tanya Putra Mahkota Mizu itu pada bibinya.
“Tentu saja tidak, Ku.” Rin menjawab sembari
tersenyum.
“Imouto, ayo ikut denganku.” Kurama mengulurkan tangan
pada adiknya.
Naruto tidak bertanya apa-apa dan langsung menyambut
uluran tangan kakaknya. Setelah memberi salam pada Rin, Naruto dan Kurama
berjalan meninggalkan kamar.
“Ah, aku bersyukur Kakashi tidak sedingin keluarga
istana lainnya. Apa jadinya aku jika memiliki pasangan seperti mereka,” gumam
Rin pada dirinya sendiri. Dia kembali mengamati para pelayan yang sudah hampir
menyelesaikan pekerjaan mereka. Tsunade memang memintanya untuk mengawasi
langsung penataan kamar untuk mengantisipasi adanya penyusup yang mungkin saja
ingin mencelakai Naruto.
Sementara itu di luar, Kurama mengajak sang adik ke
kamarnya. Naruto heran saat Kurama menutup pintu kamar dan memintanya
berbaring.
“Tidur?” Naruto menatap kakaknya bingung.
“Hm, tidurlah.” Kurama duduk di kursi baca tanpa
menatap adiknya.
“Kenapa aku harus tidur?” tanya Naruto kemudian.
Kurama menyeringai. Dia menatap adiknya sebelum
mengambil tablet dan mulai membaca email. “Jangan pura-pura di depanku. Aku
tahu kau kurang istirahat seminggu belakangan. Malam nanti calon suamimu akan
datang bersama keluarganya, juga Ojii-sama dan Obaa-sama. Jadi sekarang
istirahatlah di sini. Kau tidak akan bisa menggunakan kamarmu sampai sore
nanti.”
Naruto tersenyum meski sang kakak tidak sedang
menatapnya. Tanpa menunggu perintah dua kali, Naruto melepas sepatunya dan naik
ke atas tempat tidur. Ah, rasanya nyaman
sekali, batin Naruto yang memang sudah merasa lelah.
“Terima kasih Onii-sama,” gumam Naruto sembari menarik
selimut.
“Hm.”
Dan senyum Kurama mengembang saat melihat Naruto
terlelap dengan cepat. Ah, rasanya dia masih tidak rela melepas adik
kesayangannya untuk menikah.
***
Keluarga Istana Uzushio sudah datang dan langsung
disibukkan dengan persiapan acara nanti malam, dimana keluarga Uchiha akan
datang dengan membawa hadiah pernikahan. Naruto sendiri masih dibiarkan
beristirahat di kamar Kurama.
Sara senang saat putrinya diijinkan ikut ke Mizu oleh
sang ibu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya Karin kalau sampai
tidak pergi ke pernikahan Naruto.
“Seperti apa Uchiha Sasuke itu Okaa-sama? Apa dia
tampan?” tanya Karin sembari menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Sang
ibu juga tengah menemaninya di kamar sementara ayah dan kakaknya sedang bersama
Hokage dan Mizukage.
“Hm, dia tampan. Wajahnya lebih mirip dengan Mikoto.
Kenapa kau bertanya?” Sara membantunya menata rambut.
“Kenapa dia menikah lebih dulu daripada aku? Bukankah
aku lebih tua darinya?” wajah Karin tampak masam.
Tangan Sara sempat berhenti saat mengikat rambut
Karin, tapi kemudian dia tersenyum dan menjawab dengan tenang. “Dia tidak hanya
mendahuluimu. Dia juga mendahului kakaknya dan Yahiko sebagai cucu tertua.”
“Bukankah ini aneh Okaa-sama?” Karin menatap ekspresi
ibunya dari cermin.
“Apanya yang aneh?”
“Kenapa Hokage setuju begitu saja atas penikahan ini?
Apalagi pasangan Naru bukanlah seorang pangeran dan hanya cucu Perdana
Menteri.”
“Apa kakekmu pernah menolak keinginan Naru?”
Wajah Karin tampak semakin masam mendengar pertanyaan
ibunya. “Tentu saja tidak, jika Naru meminta separuh wilayah Negara Hi,
Ojii-sama juga pasti akan memberikannya.”
“Lalu apa yang aneh? Ibu yakin ini adalah permintaan
Naruto.”
“Hm, Okaa-sama benar. Dia sangat menyebalkan karena bisa
mendapatkan apapun yang dia mau,” Karin mencebik. “Lihatlah dekorasi mewah di
luar! Pernikahan ini tidak diumumkan ke publik tapi mereka menyiapkannya
semegah itu?”
“Tenang saja, saat pernikahanmu nanti, Ibu akan
membuatkan dekorasi yang lebih mewah dari ini.” Sara mengusap bahu putrinya
dengan lembut.
“Tetap saja pernikahanku tidak bisa digelar di istana.
Mereka bahkan tidak memanggilku Hime sepertinya.” Wajah Karin tampak semakin
kusut.
Sara menghela napas perlahan. “Maafkan ibu yang tidak
bisa menurunkan gelar Hime padamu.”
“Kenapa Ibu dulu menikah dengan Ayah yang hanya
seorang Jenderal? Kalau Ibu menikah dengan pangeran tentunya aku akan memiliki
status lain.”
“Karin!”
Karin berjenggit saat mendengar nada tinggi dari
ibunya. Dia segera menundukkan kepala dan menggumamkan kata maaf, membuat Sara
kembali menghela napas untuk menenangkan diri.
“Kenapa kau berkata seperti itu?” Sara terdengar
kecewa dengan perkataan putrinya. “Ayahmu memiliki pengaruh besar sebagai
seorang Jenderal Besar. Jangan meremehkannya hanya karena dia bukan seorang
pangeran. Selama ini, siapa yang berani tidak hormat padamu?”
Karin menggeleng. “Aku hanya tidak suka karena semua
orang selalu mengistimewakan Naruto. Ojii-sama dan Obaa-sama menganak
emaskannya. Dia juga cucu Mizukage. Kakaknya seorang Putra Mahkota. Dia
memiliki semua yang aku mau. Gelar, kehormatan dan kasih sayang, tapi dia
justru sering mengabaikannya dan lebih suka menghabiskan waktu di luar istana.
Aku kesal melihat sikap tidak pedulinya.”
“Sudahlah, tidak perlu membandingkan dirimu dengan
orang lain.” Sara mengepalkan tangan tapi kemudian menghela napas dan mengusap
kepala putri kesayangannya. “Tolong jangan membuat ulah malam ini. Kau baru
saja lepas dari hukuman, jangan buat kakek juga nenekmu marah.”
Karin memutar mata tapi mengangguk juga pada ibunya.
“Ayo segera bersiap, kita tidak boleh terlambat.”
***
Bangun menjelang petang membuat Naruto sedikit
linglung. Apalagi melihat Konan berada di kamar sang kakak.
“Ah, calon pengantin akhirnya bangun juga. Ayo Sayang,
kita harus segera bersiap.”
“Oba-sama?”
“Hm?” Konan tertawa melihat Naruto mengusap matanya
dengan ekspresi bingung. “Aku sudah datang sejak siang tadi tapi kau sedang
tidur. Sekarang kau harus bangun untuk bersiap. Keluarga Uchiha baru saja
datang dan dua jam lagi kau harus sudah berada di aula.”
Ah, Naruto baru ingat mengenai hal itu. Dia pun
menurut saat Konan memintanya turun dari tempat tidur dan menggiringnya kembali
ke kamar. Disana ternyata Rin juga sudah menunggu bersama empat orang pelayan.
Naruto berkedip melihat suasana kamarnya yang baru.
“Kau tampak lebih segar setelah istirahat.” Rin
tersenyum pada keponakannya. Bibinya itu sudah cantik dengan gaun panjang
berwarna pastel.
“Apa kau masih sering kesulitan tidur?” tanya Konan
begitu mendengar ucapan Rin.
Naruto hanya tersenyum lalu menggeleng.
“Dia kelelahan karena persiapan pernikahan,” jawab Rin
kemudian.
“Ah, aku mengerti.” Konan mengangguk lalu kembali
menatap Naruto. “Cepatlah mandi, kami akan menyiapkan gaunmu.”
“Baik Oba-sama.”
Rin dan Konan saling bertukar pandang setelah Naruto pergi
ke kamar mandi.
“Anak itu, tidak bisakah dia sedikit lebih antusias
dengan pernikahannya sendiri?” Konan menggeleng pasrah dengan tingkah
keponakannya. “Aku jadi berpikir bagaimana Sasuke bisa menghadapinya nanti?”
Tentu saja Rin tertawa mendengarnya. Baru siang tadi
dia mengeluhkan hal yang sama.
***
Aula utama istana Kiri begitu indah dengan dekorasi
warna putih, biru dan emas. Mizukage dan Tsunade duduk berdampingan di
singgasana. Hashirama dan Mito sebagai tamu kerajaan sekaligus wakil dari ibu
Naruto duduk di sebelah kanan singgasana. Keluarga istana lainnya duduk di sisi
masing-masing kerajaan. Tampak Kurama berdampingan dengan sang paman, Kakashi.
Dan disisi lain, Nagato duduk berdampingan dengan Yahiko, disusul dengan Danzo
yang duduk bersama dengan Sara, Shin dan Karin. Tentu saja kursi Konan dan Rin
masih kosong karena keduanya sedang mendampingi Naruto di dalam.
Keluarga Uchiha, dikepalai oleh Madara dan Fugaku,
memasuki ruang aula dengan puluhan pelayan berbaris di belakang mereka.
Masing-masing pelayan membawa hadiah pernikahan. Beragam perhiasan, pakaian,
tas, sepatu, aneka peralatan dari keramik, bahkan teh kualitas terbaik dan kue
khas keluarga juga menjadi pelengkap hadiah. Hadiah-hadiah itu diserahkan
kepada Mizukage dan Hokage lalu diletakkan di meja khusus yang berada di salah
satu sudut aula.
Setelahnya, Mizukage dan Hokage sebagai kakek
sekaligus pengganti orang tua Naruto memberikan hadiah juga pada calon
pengantin laki-laki. Pelayan istana Mizu berderet keluar dengan membawa pakaian
dan beragam hadiah untuk Sasuke yang kemudian di letakkan di meja lain. Usai
acara pertukaran hadiah pernikahan. Seluruh keluarga inti saling memberi
hormat.
Sasuke sebagai calon pengantin kemudian maju dan
memberi salam hormat pada seluruh keluarga kerajaan. Dia juga mengucapkan janji
di hadapan Mizukage dan Hokage, di bawah pedang dan lambang negara Hi dan Mizu
untuk menerima, mencintai dan menjaga Naruto sebagai calon istrinya. Dia juga
disumpah untuk setia pada kerajaan Hi dan Mizu.
Mizukage dan Hokage menerima Sasuke sebagai bagian
dari keluarga yang akan dikukuhkan dalam sumpah pernikahan tiga hari
berikutnya. Keluarga Uchiha tampak begitu lega dan senang saat Sasuke berhasil
menyelesaikan sumpahnya dengan baik. Madara bahkan tidak dapat menyembunyikan
senyum bangganya pada Sasuke.
Mizukage kemudian meminta pelayan memanggil Naruto.
Sasuke langsung terpaku pada pintu masuk aula dan menunggu calon istrinya
masuk. Shisui dan Itachi yang duduk di sebelah kanan dan kiri Sasuke menahan
tawa melihat ketidak sabaran adiknya.
“Kau harus bisa menahan diri Sasuke. Ingat, malam ini
hanyalah malam pemberian hadiah dan pengambilan
sumpah kalian sebagai kesiapan untuk menjadi pasangan suami istri. Kau tidak
boleh menyentuhnya sama sekali sampai pernikahan.” Shisui berbisik pada adiknya
yang menuai seringai geli Itachi.
“Apa aku juga harus memegangnya Onii-sama, mungkin
saja Sasuke lepas kendali saat melihat Hime nanti.”
Shisui tersenyum saat Sasuke menoleh pada kakak
keduanya dengan ekspresi kesal. Itachi masih belum bosan menggodanya.
“Jangan membuatku kesal Onii-sama.”
“Hei, kalian berdua, jangan bercanda di saat seperti
ini.” Shisui menepuk bahu Sasuke dan memintanya kembali menatap ke depan.
Tepat saat itu, Naruto datang didampingi oleh Konan
dan Rin, juga deretan pelayan di belakang mereka. Naruto mengenakan gaun
kerajaan berwarna biru lengkap dengan mahkota miliknya. Dia berjalan dengan
anggun tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Naruto tidak melihat kekecewaan di
mata Sasuke karena dilewati begitu saja, tatapan kesal Karin yang merasa iri
dengannya, atau tatapan memuja dari sebagian besar keluarga Uchiha.
Tiba di tengah aula, Konan dan Rin meninggalkan Naruto
sendiri. Putri Namikaze itu kemudian memberi salam hormat pada kedua kakek dan
neneknya juga seluruh keluarga kerajaan. Setelahnya, dia berputar untuk memberi
salam hormat pada kelurga Uchiha. Saat itulah matanya bertukar pandang dengan
Sasuke, membuat jantungnya berdebar kencang.
Meski begitu, wajah Naruto masih tampak tenang saat memberi
hormat pada Madara dan kedua calon orang tuanya. Sedikit menundukkan
pandangannya, Naruto memberi salam pada Sasuke dan kedua calon kakak iparnya.
Mereka pun membalas salam Naruto. Mikoto menuang teh ke dalam cangkir porselen.
Seorang pelayan membawanya ke tengah aula dan Naruto meminumnya, sebagai tanda
bahwa dirinya telah diterima sebagai calon pengantin di keluarga Uchiha.
Selesai dengan salam penghormatan, Naruto didampingi
oleh para pelayan meninggalkan aula utama dan dilarang bertemu dengan calon
pengantin pria atau pun keluarganya sampai upacara pernikahan nanti. Sasuke
menghela napas perlahan karena hanya bisa menatap kekasih hatinya dari jauh.
Itachi hampir menggodanya lagi kalau saja Shisui tidak melarangnya. Acara malam
itu masih panjang. Mereka masih harus menghadiri perjamuan makan malam bersama
keluarga kerajaan. Ternyata menikahi seorang putri tidaklah semudah
kelihatannya. Sasuke berharap dia sanggup bertahan untuk menunggu selama tiga
hari dan tidak berlari untuk menerobos masuk ke kamar Naruto.
***
Sementara itu di dalam kamar, Naruto berbaring menatap
langit-langit sembari tersenyum. Jantungnya masih berdebar kencang, pipinya
terasa panas. Dia merasa begitu senang bisa melihat calon suaminya. Memegang
dadanya, Naruto terkadang masih tidak percaya dengan perasaannya. Inikah jatuh
cinta? Rasa yang membingungkan. Membuatnya tidak tahu harus bagaimana. Ah,
wanita itu menghela napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya.
Sasuke. Nama itu terus teringang di dalam kepalanya.
Orang mungkin akan bingung melihat sikap tenangnya saat salam penghormatan
tadi, tapi Naruto memang sekuat tenaga mengendalikan diri agar tidak berlari ke
arah Sasuke. Dia juga tidak buta untuk melihat kekecewaan di mata calon
suaminya saat mereka bertukar pandang.
Yang tidak Sasuke tahu adalah Naruto tidak yakin bisa
menahan diri jika terus menatap pria itu. Menjadi seorang putri terkadang
memang merepotkan. Sekarang dia harus bertahan untuk tetap berada di kamar
sampai upacara pernikahan dilaksanakan. Tiga hari itu tidak lama, bukan?
***
>>Bersambung<<
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments