Nami Cafe - Chapter 21

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================

                                       (Picture from pinterest, credit for owner) 

Langit malam bertabur bintang tampak indah di langit Konoha. Sayangnya hal itu tidak bisa membuat Sara terpesona. Putri kedua Hokage itu tampak gelisah saat duduk di balkon kamarnya.

“Ada apa dengamu?”

Sara terkejut dan melihat ke arah pintu balkon dimana suaminya sudah berdiri mengenakan jubah tidurnya.

“Ti-tidak, tidak ada apa-apa.” Sara tersenyum.

“Tidurlah, ini sudah malam.” Danzo mengamati ekspresi istrinya. Dia yakin Sara sedang tidak baik-baik saja.

Dengan patuh Sara beranjak dari kursi lalu berjalan ke dalam kamar. Dia menatap sang suami yang kini juga ikut menaiki tempat tidur. “Hm, Anata?”

“Ya?” Danzo berhenti menarik selimut dan menatap istrinya.

“Apa kau tahu mengenai kabar pernikahan Naruto?”

Kening Danzo berkerut mendengarnya. Dia menggeleng pelan. “Aku belum mendengar masalah itu.”

“Ah begitu ya, aku cukup terkejut saat berkunjung ke istana siang tadi. Keluarga Uchiha sedang membicarakan pernikahan dengan Otou-sama.” Sara merasa lega karena ternyata suaminya juga tidak tahu dengan berita pernikahan itu.

“Uchiha? Maksudmu Naru-hime akan menikah dengan cucu Perdana Menteri?”

Sara mengangguk. “Putra bungsu Fugaku, kalau tidak salah namanya Uchiha Sasuke.”

Danzo kembali menarik selimut lalu berbaring dan menatap istrinya. “Apa itu yang mengganggumu? Pernikahan Hime?”

“Mengganggu?” Sara tampak terkejut. “Tidak, aku tidak terganggu. Hanya sedikit terkejut karena Okaa-sama atau pun Onee-sama tidak pernah membicarakan masalah pernikahan dengan keluarga Uchiha. Dan lagi, Naruto adalah anak yang pendiam, aku tidak menyangka dia akan menikah secepat ini. Apa menurutmu mereka dijodohkan?”

“Yang pernah kudengar justru Hime akan dijodohkan dengan Pangeran Suna, Sabaku Gaara.”

Tanpa sadar Sara mengeratkan genggamannya pada selimut dan hal itu tidak luput dari perhatian Danzo.

“Tidurlah Sara,” katanya kemudian.

“Ya, Anata.” Sara pun menarik selimut dan berbaring di sebelah suaminya.

“Anata, apa menurutmu Karin bisa mendapat jodoh seorang pangeran?” tanya Sara dengan suara lirih saat melihat suaminya memejamkan mata.

“Karin harus merubah sikapnya jika ingin menjadi istri pangeran.”

Sara menoleh pada suaminya yang menjawab tanpa membuka mata. Dia pun menghela napas perlahan, mematikan lampu tidur lalu mulai memejamkan mata. Hari ini terasa melelahkan baginya.

***

Sementara itu, di waktu yang sama, di sebuah bar, di salah satu sudut Kota Konoha, dua orang sahabat tengah menghabiskan malam bersama.

“Kau baik-baik saja?” Shikamaru bertanya saat Neji menghabiskan gelas ketiganya tanpa jeda.

“Tidak,” jawab Dokter muda itu dengan suara yang mulai parau.

Shikamaru menyeringai, menggeleng geli lalu meneguk vodka dari gelasnya sendiri. “Kendalikan dirimu.”

“Jangan bersandiwara di depanku, Shika.” Neji melirik sahabatnya dengan tatapan kesal tapi justru membuat Kapten muda itu tertawa.

“Konyol,” desis Shikamaru kemudian.

“Kau tidak sakit hati?” Neji meletakkan gelas kosong keempatnya dengan kasar lalu menoleh pada Shikamaru. Beruntung meja mereka berada di sudut ruangan hingga tidak menarik perhatian pengunjung lain.

“Untuk apa aku sakit hati? Kita berdua jelas tahu bagaimana akhir dari semua ini. Apa otak udangmu berharap kalau suatu hari nanti Naru akan memilihmu?”

“Kau brengsek, Shika,” desis Neji tidak terima.

Shikamaru kembali tertawa. “Sadarlah Neji. Selamanya, kita hanyalah sabahat Naru.”

Neji terdiam. Mengisi kembali gelas kosongnya dan menghabiskannya dalam beberapa tegukan. Shikamaru yakin kalau sebentar lagi sahabatnya itu akan tumbang dan dia akan direpotkan dengan membawa dokter itu pulang ke apartemennya.

“Naru sudah bahagia dengan pilihannya. Terima itu, Neji.” Shikamaru menepuk bahu sahabatnya.

“Darimana kau tahu Naru bahagia? Bagaimana jika sebaliknya?” Rupanya Neji masih tidak bisa menerima kenyataan di depannya.

“Apa kau pikir Naru akan menerima pernikahan ini jika dia tidak mencintai Sasuke? Kau dengar sendiri bukan, bagaimana nada suaranya saat memberitahu kita mengenai pernikahannya?” Shikamaru menggeleng sembari menghela napas. “Neji, Naru jelas mencintai Uchiha Sasuke. Perasaanmu bukanlah alasan untuk menampik kenyataan.”

Trak!! Lagi, Neji mengosongkan gelasnya dan meletakkannya dengan kasar di meja. “Kau seharusnya menghiburku Baka-Shika!” sungut Neji dengan kepala tersungkur di atas meja.

“Kau bukan anak umur lima tahun, untuk apa aku menghiburmu?” dengkus Shikamaru. Meski begitu, Shikamaru menepuk lembut bahu sahabatnya yang kini mulai bergetar.

Tidak ada lagi yang bicara diantara mereka. Neji menangis untuk melampiaskan sakit hatinya karena cinta yang tak terbalas. Sementara Shikamaru menikmati rokok dan minumannya sembari menemani sahabatnya yang tengah meratap. Malam itu, menjadi malam yang berat bagi keduanya.

***

Waktu berlalu begitu cepat. Istana Uzushio disibukkan dengan urusan kenegaraan sementara Istana Kiri disibukkan oleh persiapan pernikahan. Kediaman Uchiha tidak kalah sibuknya. Puluhan hadiah pernikahan sudah dipersiapkan dan Sasuke dipusingkan dengan segala tata krama juga adat tradisi yang harus dihapalnya.

Kamar Naruto di istana Uzushio sudah didesain ulang menjadi kamar pengantin sebagai kamuflase. Tempat tinggal Naruto dan Sasuke yang sebenarnya sudah disiapkan. Sebuah rumah dua lantai yang terteletak tidak jauh dari pusat kota. Tentunya sudah dengan pengamanan yang dirancang khusus. Sasuke sendiri mulai terbiasa berinteraksi dengan Anbu atau para petugas keamanan yang menyamar. Dia juga berlatih menembak di sela persiapan pernikahannya.

Hari itu, satu minggu menjelang pernikahan, Hokage mengadakan rapat rahasia bersama dengan Madara, Shikaku, Danzo, Yamato, juga Nagato.

“Bagaimana persiapannya?” Hashirama bertanya pada Shikaku.

“Semua sudah siap Hokage-sama. Mata-mata kita berhasil mengusai sepuluh markas besar dan gudang senjata,” jawab Shikaku.

“Mereka tidak menyadarinya?” tanya Hashirama.

“Tidak, bahkan Hidan sendiri yang memberi mereka wewenang satu minggu yang lalu,” lanjut Shikaku.

Hashirama tersenyum tipis. “Sepertinya pernikahan Naruto berhasil mengacaukan fokusnya hingga berani menyerahkan komando pada Hidan. Berapa jumlah pasukan yang disiapkannya untuk menyerang istana?” tanyanya kemudian pada Danzo.

“Dia menyiapkan lima ratus prajurit angkatan darat,” jawab Danzo.

“Lima ratus?” Nagato cukup terkejut mendengarnya.

“Benar Shinno-sama, awalnya dia hanya menyiapkan dua ratus prajurit. Tapi setelah mendengar tentang pernikahan Hime, dia merubahnya menjadi lima ratus. Mereka semua berada di bawah komando empat jendral.” Danzo menjelaskan dengan tenang.

“Dan Shin yang menjadi pemimpin pasukan itu?” tanya Tobirama.

“Benar Shinno-sama.” Danzo kembali menatap Hokage. “Dia tidak akan membuat kekacauan di Mizu karena tidak mungkin menyelundupkan pasukan ke dalam istana Kiri. Penyerangan akan dilakukan setelah Hime kembali ke Konoha.”

Hashirama mengepalkan tangannya di atas meja untuk menahan geram. “Bagaimana sistem keamanan di istana,Yamato?”

“Lapor Yang Mulia, semua sistem keamanan istana sudah ditingkatkan. Anbu dan Divisi Pengintai berkoordinasi dengan baik. Empat menara siaga dua puluh empat jam.”

“Bagus.” Hashirama mengangguk. “Dengar, kita harus melakukan semua ini dengan hati-hati. Penyerangan pasti akan dilakukan malam hari. Jangan lengah dan pastikan apa yang akan kita lakukan tidak terdengar keluar istana. Malam penyerangan nanti, mereka yang masuk ke Istana Uzhusio harus keluar tanpa nyawa. Pastikan kita akhiri semuanya.”

“Baik Hokage-sama,” jawab Shikaku, Danzo dan Yamato bersamaan.

Perhatian Hashirama beralih pada Madara. “Bagaimana dengan tempat tinggal Naru?”

“Tenang saja, semua sudah siap. Kupastikan Naru tidak akan tahu dengan apa yang terjadi di Istana nanti.” Madara melipat tangan di depan dada dengan ekspresi tenang.

“Nagato, kau tidak boleh jauh dari Ibiki dan pengawal istana. Selain Naru, kau juga target yang diincarnya.” Hashirama menatap putra sulungnya dengan ekspresi serius.

“Aku mengerti Otou-sama.”

“Hari ini Tobirama sedang mengatur pasokan senjata yang akan didistribusikan pada sepuluh markas. Dia akan berkoordinasi dengan anak buah Yamato. Danzo, berikan padaku daftar para jenderal yang berkhianat. Kau dan Shin harus membereskan mereka semua dari pasukan Angkatan Darat. Aku tidak mau lagi mendengar ada duri dalam daging di bawah pemerintahanku.”

“Baik Yang Mulia.” Danzo dan Yamato kembali menjawab bersamaan.

***

Kau sedang apa?

Naruto tersenyum menatap pesan di layar handphone-nya. Alih-alih membalas pesan, Naruto justru meletakkan handphone dan mengamati para pelayan yang sedang sibuk mendekorasi kamarnya. Tiga hari lagi dia akan menikah dan menempati kamar itu bersama suaminya.

“Apa itu Sasuke?” Rin bertanya setelah melihat perubahan ekspresi keponakannya. Hanya dua orang yang dia tahu bisa membuat Naruo berekspresi lebih, Kurama dan Sasuke.

“Hm,” gumam Naruto sembari mengangguk.

“Kenapa tidak membalasnya?” tanya Rin heran.

“Dan membiarkannya menggangguku sepanjang hari?” Naruto menggeleng dengan ekspresi geli. “Mereka sedang dalam perjalanan ke Kiri. Malam nanti kami akan bertemu.”

Tentu saja Rin tertawa mendengarnya. Sepertinya Sasuke harus memiliki kesabaran ekstra untuk menghadapi istrinya. “Dia pasti merindukanmu.”

“Ah, dia memang mengatakan itu setiap waktu.” Naruto berkata seolah itu adalah hal biasa dan membuat Rin menautkan alis karena heran.

“Apa kau tidak merindukannya?” tanya Rin kemudian. Naruto yang menoleh dengan ekspresi datar membuat Rin segera menjelaskan maksud perkataannya. “Ah, maksudku kalian akan menikah jadi pasti saling merindukan satu sama lain.”

“Tentu saja aku merindukannya,” jawab Naruto tenang. “Tapi haruskah aku mengatakannya setiap saat?”

Rin langsung tertawa. Dia lupa kalau Naruto tidaklah seperti dirinya atau gadis pada umumnya. Sejak kecil dia dibesarkan dengan tata krama seorang putri yang mengharuskannya menjaga sikap dan ekspresi di depan umum. Jadi baginya sikap Sasuke jelaslah berlebihan.

“Aku mengerti, aku mengerti,” kata Rin kemudian.

“Apa aku aneh?” Naruto balik bertanya.

“Tidak Sayang, kau tidak aneh.” Rin menjawab dengan cepat dan merasa lega karena kemudian Naruto tersenyum dan kembali mengalihkan perhatiannya pada para pelayan.

“Oh ya, kau sudah mencoba gaun pengantinnya?”

“Sudah Oba-sama, itu gaun yang cantik. Terima kasih sudah memilihkannya untukku.” Naruto mengangguk hormat pada bibinya.

“Aku senang kau menyukainya. Semua orang pasti terpesona melihatmu.”

Naruto kembali tersenyum dengan pipi merona. Meski tak banyak bicara tapi Rin tahu kalau Naruto juga pasti berdebar dengan pernikahannya. Dia hanya terbiasa untuk memendam semuanya sendiri.

Kedatangan Kurama mengalihkan perhatian keduanya. Para pelayan berhenti sejenak untuk memberi salam sebelum kembali sibuk menata kamar.

“Oba-sama, apa keberatan kalau aku membawa Naru sebentar?” tanya Putra Mahkota Mizu itu pada bibinya.

“Tentu saja tidak, Ku.” Rin menjawab sembari tersenyum.

“Imouto, ayo ikut denganku.” Kurama mengulurkan tangan pada adiknya.

Naruto tidak bertanya apa-apa dan langsung menyambut uluran tangan kakaknya. Setelah memberi salam pada Rin, Naruto dan Kurama berjalan meninggalkan kamar.

“Ah, aku bersyukur Kakashi tidak sedingin keluarga istana lainnya. Apa jadinya aku jika memiliki pasangan seperti mereka,” gumam Rin pada dirinya sendiri. Dia kembali mengamati para pelayan yang sudah hampir menyelesaikan pekerjaan mereka. Tsunade memang memintanya untuk mengawasi langsung penataan kamar untuk mengantisipasi adanya penyusup yang mungkin saja ingin mencelakai Naruto.

Sementara itu di luar, Kurama mengajak sang adik ke kamarnya. Naruto heran saat Kurama menutup pintu kamar dan memintanya berbaring.

“Tidur?” Naruto menatap kakaknya bingung.

“Hm, tidurlah.” Kurama duduk di kursi baca tanpa menatap adiknya.

“Kenapa aku harus tidur?” tanya Naruto kemudian.

Kurama menyeringai. Dia menatap adiknya sebelum mengambil tablet dan mulai membaca email. “Jangan pura-pura di depanku. Aku tahu kau kurang istirahat seminggu belakangan. Malam nanti calon suamimu akan datang bersama keluarganya, juga Ojii-sama dan Obaa-sama. Jadi sekarang istirahatlah di sini. Kau tidak akan bisa menggunakan kamarmu sampai sore nanti.”

Naruto tersenyum meski sang kakak tidak sedang menatapnya. Tanpa menunggu perintah dua kali, Naruto melepas sepatunya dan naik ke atas tempat tidur. Ah, rasanya nyaman sekali, batin Naruto yang memang sudah merasa lelah.

“Terima kasih Onii-sama,” gumam Naruto sembari menarik selimut.

“Hm.”

Dan senyum Kurama mengembang saat melihat Naruto terlelap dengan cepat. Ah, rasanya dia masih tidak rela melepas adik kesayangannya untuk menikah.

***

Keluarga Istana Uzushio sudah datang dan langsung disibukkan dengan persiapan acara nanti malam, dimana keluarga Uchiha akan datang dengan membawa hadiah pernikahan. Naruto sendiri masih dibiarkan beristirahat di kamar Kurama.

Sara senang saat putrinya diijinkan ikut ke Mizu oleh sang ibu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya Karin kalau sampai tidak pergi ke pernikahan Naruto.

“Seperti apa Uchiha Sasuke itu Okaa-sama? Apa dia tampan?” tanya Karin sembari menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Sang ibu juga tengah menemaninya di kamar sementara ayah dan kakaknya sedang bersama Hokage dan Mizukage.

“Hm, dia tampan. Wajahnya lebih mirip dengan Mikoto. Kenapa kau bertanya?” Sara membantunya menata rambut.

“Kenapa dia menikah lebih dulu daripada aku? Bukankah aku lebih tua darinya?” wajah Karin tampak masam.

Tangan Sara sempat berhenti saat mengikat rambut Karin, tapi kemudian dia tersenyum dan menjawab dengan tenang. “Dia tidak hanya mendahuluimu. Dia juga mendahului kakaknya dan Yahiko sebagai cucu tertua.”

“Bukankah ini aneh Okaa-sama?” Karin menatap ekspresi ibunya dari cermin.

“Apanya yang aneh?”

“Kenapa Hokage setuju begitu saja atas penikahan ini? Apalagi pasangan Naru bukanlah seorang pangeran dan hanya cucu Perdana Menteri.”

“Apa kakekmu pernah menolak keinginan Naru?”

Wajah Karin tampak semakin masam mendengar pertanyaan ibunya. “Tentu saja tidak, jika Naru meminta separuh wilayah Negara Hi, Ojii-sama juga pasti akan memberikannya.”

“Lalu apa yang aneh? Ibu yakin ini adalah permintaan Naruto.”

“Hm, Okaa-sama benar. Dia sangat menyebalkan karena bisa mendapatkan apapun yang dia mau,” Karin mencebik. “Lihatlah dekorasi mewah di luar! Pernikahan ini tidak diumumkan ke publik tapi mereka menyiapkannya semegah itu?”

“Tenang saja, saat pernikahanmu nanti, Ibu akan membuatkan dekorasi yang lebih mewah dari ini.” Sara mengusap bahu putrinya dengan lembut.

“Tetap saja pernikahanku tidak bisa digelar di istana. Mereka bahkan tidak memanggilku Hime sepertinya.” Wajah Karin tampak semakin kusut.

Sara menghela napas perlahan. “Maafkan ibu yang tidak bisa menurunkan gelar Hime padamu.”

“Kenapa Ibu dulu menikah dengan Ayah yang hanya seorang Jenderal? Kalau Ibu menikah dengan pangeran tentunya aku akan memiliki status lain.”

“Karin!”

Karin berjenggit saat mendengar nada tinggi dari ibunya. Dia segera menundukkan kepala dan menggumamkan kata maaf, membuat Sara kembali menghela napas untuk menenangkan diri.

“Kenapa kau berkata seperti itu?” Sara terdengar kecewa dengan perkataan putrinya. “Ayahmu memiliki pengaruh besar sebagai seorang Jenderal Besar. Jangan meremehkannya hanya karena dia bukan seorang pangeran. Selama ini, siapa yang berani tidak hormat padamu?”

Karin menggeleng. “Aku hanya tidak suka karena semua orang selalu mengistimewakan Naruto. Ojii-sama dan Obaa-sama menganak emaskannya. Dia juga cucu Mizukage. Kakaknya seorang Putra Mahkota. Dia memiliki semua yang aku mau. Gelar, kehormatan dan kasih sayang, tapi dia justru sering mengabaikannya dan lebih suka menghabiskan waktu di luar istana. Aku kesal melihat sikap tidak pedulinya.”

“Sudahlah, tidak perlu membandingkan dirimu dengan orang lain.” Sara mengepalkan tangan tapi kemudian menghela napas dan mengusap kepala putri kesayangannya. “Tolong jangan membuat ulah malam ini. Kau baru saja lepas dari hukuman, jangan buat kakek juga nenekmu marah.”

Karin memutar mata tapi mengangguk juga pada ibunya.

“Ayo segera bersiap, kita tidak boleh terlambat.”

***

Bangun menjelang petang membuat Naruto sedikit linglung. Apalagi melihat Konan berada di kamar sang kakak.

“Ah, calon pengantin akhirnya bangun juga. Ayo Sayang, kita harus segera bersiap.”

“Oba-sama?”

“Hm?” Konan tertawa melihat Naruto mengusap matanya dengan ekspresi bingung. “Aku sudah datang sejak siang tadi tapi kau sedang tidur. Sekarang kau harus bangun untuk bersiap. Keluarga Uchiha baru saja datang dan dua jam lagi kau harus sudah berada di aula.”

Ah, Naruto baru ingat mengenai hal itu. Dia pun menurut saat Konan memintanya turun dari tempat tidur dan menggiringnya kembali ke kamar. Disana ternyata Rin juga sudah menunggu bersama empat orang pelayan. Naruto berkedip melihat suasana kamarnya yang baru.

“Kau tampak lebih segar setelah istirahat.” Rin tersenyum pada keponakannya. Bibinya itu sudah cantik dengan gaun panjang berwarna pastel.

“Apa kau masih sering kesulitan tidur?” tanya Konan begitu mendengar ucapan Rin.

Naruto hanya tersenyum lalu menggeleng.

“Dia kelelahan karena persiapan pernikahan,” jawab Rin kemudian.

“Ah, aku mengerti.” Konan mengangguk lalu kembali menatap Naruto. “Cepatlah mandi, kami akan menyiapkan gaunmu.”

“Baik Oba-sama.”

Rin dan Konan saling bertukar pandang setelah Naruto pergi ke kamar mandi.

“Anak itu, tidak bisakah dia sedikit lebih antusias dengan pernikahannya sendiri?” Konan menggeleng pasrah dengan tingkah keponakannya. “Aku jadi berpikir bagaimana Sasuke bisa menghadapinya nanti?”

Tentu saja Rin tertawa mendengarnya. Baru siang tadi dia mengeluhkan hal yang sama.

***

Aula utama istana Kiri begitu indah dengan dekorasi warna putih, biru dan emas. Mizukage dan Tsunade duduk berdampingan di singgasana. Hashirama dan Mito sebagai tamu kerajaan sekaligus wakil dari ibu Naruto duduk di sebelah kanan singgasana. Keluarga istana lainnya duduk di sisi masing-masing kerajaan. Tampak Kurama berdampingan dengan sang paman, Kakashi. Dan disisi lain, Nagato duduk berdampingan dengan Yahiko, disusul dengan Danzo yang duduk bersama dengan Sara, Shin dan Karin. Tentu saja kursi Konan dan Rin masih kosong karena keduanya sedang mendampingi Naruto di dalam.

Keluarga Uchiha, dikepalai oleh Madara dan Fugaku, memasuki ruang aula dengan puluhan pelayan berbaris di belakang mereka. Masing-masing pelayan membawa hadiah pernikahan. Beragam perhiasan, pakaian, tas, sepatu, aneka peralatan dari keramik, bahkan teh kualitas terbaik dan kue khas keluarga juga menjadi pelengkap hadiah. Hadiah-hadiah itu diserahkan kepada Mizukage dan Hokage lalu diletakkan di meja khusus yang berada di salah satu sudut aula.

Setelahnya, Mizukage dan Hokage sebagai kakek sekaligus pengganti orang tua Naruto memberikan hadiah juga pada calon pengantin laki-laki. Pelayan istana Mizu berderet keluar dengan membawa pakaian dan beragam hadiah untuk Sasuke yang kemudian di letakkan di meja lain. Usai acara pertukaran hadiah pernikahan. Seluruh keluarga inti saling memberi hormat.

Sasuke sebagai calon pengantin kemudian maju dan memberi salam hormat pada seluruh keluarga kerajaan. Dia juga mengucapkan janji di hadapan Mizukage dan Hokage, di bawah pedang dan lambang negara Hi dan Mizu untuk menerima, mencintai dan menjaga Naruto sebagai calon istrinya. Dia juga disumpah untuk setia pada kerajaan Hi dan Mizu.

Mizukage dan Hokage menerima Sasuke sebagai bagian dari keluarga yang akan dikukuhkan dalam sumpah pernikahan tiga hari berikutnya. Keluarga Uchiha tampak begitu lega dan senang saat Sasuke berhasil menyelesaikan sumpahnya dengan baik. Madara bahkan tidak dapat menyembunyikan senyum bangganya pada Sasuke.

Mizukage kemudian meminta pelayan memanggil Naruto. Sasuke langsung terpaku pada pintu masuk aula dan menunggu calon istrinya masuk. Shisui dan Itachi yang duduk di sebelah kanan dan kiri Sasuke menahan tawa melihat ketidak sabaran adiknya.

“Kau harus bisa menahan diri Sasuke. Ingat, malam ini hanyalah malam pemberian hadiah dan  pengambilan sumpah kalian sebagai kesiapan untuk menjadi pasangan suami istri. Kau tidak boleh menyentuhnya sama sekali sampai pernikahan.” Shisui berbisik pada adiknya yang menuai seringai geli Itachi.

“Apa aku juga harus memegangnya Onii-sama, mungkin saja Sasuke lepas kendali saat melihat Hime nanti.”

Shisui tersenyum saat Sasuke menoleh pada kakak keduanya dengan ekspresi kesal. Itachi masih belum bosan menggodanya.

“Jangan membuatku kesal Onii-sama.”

“Hei, kalian berdua, jangan bercanda di saat seperti ini.” Shisui menepuk bahu Sasuke dan memintanya kembali menatap ke depan.

Tepat saat itu, Naruto datang didampingi oleh Konan dan Rin, juga deretan pelayan di belakang mereka. Naruto mengenakan gaun kerajaan berwarna biru lengkap dengan mahkota miliknya. Dia berjalan dengan anggun tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Naruto tidak melihat kekecewaan di mata Sasuke karena dilewati begitu saja, tatapan kesal Karin yang merasa iri dengannya, atau tatapan memuja dari sebagian besar keluarga Uchiha.

Tiba di tengah aula, Konan dan Rin meninggalkan Naruto sendiri. Putri Namikaze itu kemudian memberi salam hormat pada kedua kakek dan neneknya juga seluruh keluarga kerajaan. Setelahnya, dia berputar untuk memberi salam hormat pada kelurga Uchiha. Saat itulah matanya bertukar pandang dengan Sasuke, membuat jantungnya berdebar kencang.

Meski begitu, wajah Naruto masih tampak tenang saat memberi hormat pada Madara dan kedua calon orang tuanya. Sedikit menundukkan pandangannya, Naruto memberi salam pada Sasuke dan kedua calon kakak iparnya. Mereka pun membalas salam Naruto. Mikoto menuang teh ke dalam cangkir porselen. Seorang pelayan membawanya ke tengah aula dan Naruto meminumnya, sebagai tanda bahwa dirinya telah diterima sebagai calon pengantin di keluarga Uchiha.

Selesai dengan salam penghormatan, Naruto didampingi oleh para pelayan meninggalkan aula utama dan dilarang bertemu dengan calon pengantin pria atau pun keluarganya sampai upacara pernikahan nanti. Sasuke menghela napas perlahan karena hanya bisa menatap kekasih hatinya dari jauh. Itachi hampir menggodanya lagi kalau saja Shisui tidak melarangnya. Acara malam itu masih panjang. Mereka masih harus menghadiri perjamuan makan malam bersama keluarga kerajaan. Ternyata menikahi seorang putri tidaklah semudah kelihatannya. Sasuke berharap dia sanggup bertahan untuk menunggu selama tiga hari dan tidak berlari untuk menerobos masuk ke kamar Naruto.

***

Sementara itu di dalam kamar, Naruto berbaring menatap langit-langit sembari tersenyum. Jantungnya masih berdebar kencang, pipinya terasa panas. Dia merasa begitu senang bisa melihat calon suaminya. Memegang dadanya, Naruto terkadang masih tidak percaya dengan perasaannya. Inikah jatuh cinta? Rasa yang membingungkan. Membuatnya tidak tahu harus bagaimana. Ah, wanita itu menghela napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya.

Sasuke. Nama itu terus teringang di dalam kepalanya. Orang mungkin akan bingung melihat sikap tenangnya saat salam penghormatan tadi, tapi Naruto memang sekuat tenaga mengendalikan diri agar tidak berlari ke arah Sasuke. Dia juga tidak buta untuk melihat kekecewaan di mata calon suaminya saat mereka bertukar pandang.

Yang tidak Sasuke tahu adalah Naruto tidak yakin bisa menahan diri jika terus menatap pria itu. Menjadi seorang putri terkadang memang merepotkan. Sekarang dia harus bertahan untuk tetap berada di kamar sampai upacara pernikahan dilaksanakan. Tiga hari itu tidak lama, bukan?

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 20<<

>>Nami Cafe - Chapter 22<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments