Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
Hari masih pagi saat Tsunade dan Mito masuk ke kamar
Naruto dengan membawa setumpuk katalog gaun pernikahan. Dia dipaksa duduk di
antara kedua neneknya, meletakkan katalog di atas pangkuannya dan mulai memilih
dengan antusias tinggi. Rin yang juga ikut datang hanya bisa tertawa.
“Naru, gaun ini cantik.” Tsunade menunjuk sebuah gaun
panjang berwarna biru langit di dalam katalog.
“Ah, ini juga cantik.” Sekarang Mito yang ikut
menunjuk gaun di dalam katalog.
Naruto menghela napas saat Rin berusaha menahan tawa.
Pernikahan akan digelar di Istana Kiri satu bulan lagi. Tsunade dan Mito sudah
begitu bersemangat mempersiapkan segala sesuatunya.
“Bisakah aku tidak memilih?” kata Naruto kemudian. Dia
sebenarnya ingin mengenakan gaun pengantin milik mendiang sang ibu tapi kedua
neneknya tidak setuju.
“Kau tidak ingin memilih?” Tsunade menatap cucunya
tidak percaya.
Naruto menggeleng. “Aku akan menurut pada pilihan
Obaa-sama.”
“Tapi ini pernikahanmu.” Mito tampak tidak setuju.
“Ini memang pernikahanku dan aku akan merasa bahagia
jika Obaa-sama juga bahagia, itu lebih dari cukup.” Naruto menggenggam tangan
Tsunade dan Mito di atas pangkuannya. “Jadi silakan Obaa-sama tetapkan
semuanya, aku akan menurutinya.” Dia tersenyum.
“Kau … yakin?” tanya Tsunade.
“Ya, Obaa-sama,” Naruto pun menatap bibinya yang
tampak heran. “Maaf jika aku akan membuatmu repot Oba-sama. Mohon bantuannya.”
Rin ikut tersenyum. “Kau ini bicara apa, aku sangat
senang bisa membantumu.”
Tanpa sadar Tsunade dan Mito menghela napas bersamaan.
“Naru-chan, apa kau bahagia dengan rencana pernikahan
ini?” Mito tiba-tiba berpikir kalau mereka telah memaksakan semuanya.
Tentu saja Naruto merasa bingung mendengar pertanyaan
itu. Dia pun menatap neneknya yang kini berwajah sendu. “Kenapa Obaa-sama
berpikir aku tidak bahagia?”
“Kau tidak bersemangat dengan pernikahanmu sendiri,
bagaimana mungkin kami tidak berpikir seperti itu?” Tsunade menimpali.
Naruto berdeham dan menunduk untuk menyembunyikan
wajahnya yang tersipu. “A-aku bahagia,” lirihnya. “Hanya saja-,” dia menghela
napas pelan, “a-aku justru terlalu bahagia hingga tidak tahu harus berbuat apa.
Memintaku untuk menentukan pilihan gaun, acara, bunga dan segalanya, hanya akan
membuatku semakin bingung. Jadi-,” dia kembali berdeham, “-aku memilih untuk
duduk dengan tenang. Membiarkan Obaa-sama dan Oba-sama yang mengaturnya. Aku
hanya ingin memiliki waktu untuk mempersiapkan mental menghadapi pernikahanku.
Maksudku Sasuke, -ehem, i-ini pertama kalinya aku benar-benar menyukai
seseorang dan penikahan mendadak ini membuatku merasa sedikit … takut.”
Tsunade dan Mito saling bertukar pandang lalu
tersenyum bersamaan. Mereka mengerti.
“Aku senang kau mengatakannya.” Tsunade menarik Naruto
ke dalam pelukan hangat.
Mito mengusap bahu cucunya dengan sayang. “Aku tidak
berpikir kau akan merasa takut, Naru.”
“Obaa-sama, hidupku akan berubah setelah menikah.
Bagaimana mungkin aku tidak takut?” kata Naruto yang kini menyandarkan kepala
di bahu Tsunade sembari tetap menggenggam tangan Mito. Duduk di antara kedua
neneknya membuatnya merasa nyaman.
“Kau tahu kalau kami akan selalu ada untukmu,” Mito menenangkan.
“Aku tahu Obaa-sama.” Naruto tersenyum.
“Apa kau tidak ingin bertanya dengan Sasuke tentang
pernikahan yang diinginkannya?” Kali ini Rin yang bertanya.
Dan Naruto tertawa karenanya. “Dia hanya akan menjawab
‘kalau tujuannya adalah menikah denganku, tidak peduli dengan bagaimana dan
seperti apa upacara itu dilakukan’.”
“Ah, tidak heran kau bisa cocok dengannya.” Rin ikut
tertawa.
“Sebenarnya aku ingin melakukan sesuatu sebelum
upacara pernikahan.” Naruto menatap kedua neneknya bergantian.
“Katakan,” pinta Tsunade.
“Bolehkah aku mengunjungi makam Otou-sama dan
Okaa-sama bersama dengan Sasuke?”
Dan semua orang langsung terpaku.
“Kau … ingin ke Konoha?” Mito menatap cucunya dengan
alis berkerut.
Naruto mengangguk. “Aku ingin mengenalkan Sasuke pada
Otou-sama dan Okaa-sama, bolehkah?”
“Ng, bagaimana kalau kau melakukannya setelah
pernikahan? Atau Yahiko bisa membawa Sasuke ke makam?”
Mendengar jawaban Mito membuat Naruto mengerutkan
kening. “Apa aku tidak boleh ke Konoha bersama Sasuke?”
“Bukan begitu-,” Mito tersenyum canggung. Suasana di
dalam kamar berubah.
“Jangan salah paham Naru-chan. Mito hanya khawatir
denganmu, lihat tanganmu! Kau bahkan belum sembuh dan melakukan perjalanan jauh
menjelang pernikahan bukanlah ide yang baik.” Tsunade mencoba memberi alasan
yang masuk akal.
Naruto menunduk dan melihat tangannya yang masih
dibebat meski tak lagi menggunakan penyangga lengan. “Jadi aku tetap harus
berada di Kiri sampai pernikahan selesai?” tanyanya lirih.
“Ya.” Jawab Mito dan Tsunade bersamaan.
“Kau akan kembali ke Konoha dengan Sasuke sebagai
pasangan suami istri.” Mito menambahkan.
“Hm, begitu ya,” gumam Naruto.
“Jangan sedih. Minato dan Khusina melihatmu dari surga
dan mereka juga pasti bahagia untukmu.” Tsunade mengusap lembut lengan cucunya.
Sejenak menghela napas, Naruto kemudian tersenyum.
“Ya, Obaa-sama benar.”
“Nah, karena Sasuke akan kembali ke Konoha bersamaku
besok, bagaimana jika sekarang kau menemuinya. Kalian pasti punya banyak hal
yang ingin dibicarakan sebelum pernikahan.” Mito memberi usul untuk mengalihkan
perhatian Naruto.
“Apa boleh?” Naruto bertanya dengan ragu dan pipinya
mulai kembali merona.
“Tentu saja boleh,” jawab Mito sembari tertawa.
“Pergilah, aku akan minta pelayan untuk memanggil
Sasuke.” Tsunade menambahkan.
“Terima kasih Obaa-sama, aku akan menunggu di paviliun
barat.” Naruto mencium pipi kedua neneknya, memberi salam lalu meninggalkan
kamar.
Mito langsung menghela napas begitu pintu kamar di
tutup. “Terima kasih Tsunade, tolong jangan biarkan dia ke Konoha sebelum
pernikahan selesai.”
“Aku tahu, aku tahu, kau tenang saja.” Tsunade ikut
menghela napas.
***
Naruto duduk di pavilun barat sembari menikmati
secangkir teh dan menikmati suasana siang yang cerah. Dia menahan senyumnya
melebar saat melihat seorang pria berjalan menghampirinya bersama dua orang
pelayan.
Menaiki tangga paviliun, Sasuke membungkuk memberi
hormat. Kedua pelayan dibelakangnya juga memberi hormat sampai Naruto menyuruh
mereka pergi dan mempersilakan Sasuke duduk.
“Ada apa Anda memanggil saya, Hime-sama.”
Kening Naruto berkerut, tidak suka dengan ucapan
Sasuke. “Apa kau melihat ada orang lain disini?” Beberapa pengawal memang
berjaga di sekitar paviliun tapi tidak mungkin mereka bisa mendengar
pembicaraan keduanya.
Sasuke pun tersenyum. Dia suka sekali menggoda Naruto.
“Bagaimana lukamu?” Dia lalu duduk di depan Naruto dan memperhatikan tangan
kirinya yang masih dibebat.
“Sudah lebih baik, tidak sakit lagi,” jawab Naruto
santai.
“Aku baru saja bertemu dengan kakakmu.” Sasuke
tersenyum saat Naruto menuang teh untuknya.
“Ah, apa dia mengomel padamu? Memberitahumu tentang
bagaimana bersikap di depanku sebelum pernikahan? Atau mengatakan padamu agar
tidak besar kepala?”
Sasuke tertawa lalu meneguk tehnya. “Kau sangat
mengenal kakakmu.”
“Itulah kenapa aku lebih suka tinggal di Konoha.”
“Setelah menikah, dia tidak akan bisa memarahiku,”
ucap Sasuke yang sengaja ingin memancing reaksi Naruto. Tentu saja calon
istrinya itu langsung tersipu.
“Aku akan mengadukanmu kalau terus menggodaku,” ucap
Naruto kemudian.
“Benarkah?” Sasuke mengambil kue di atas piring
sembari tersenyum saat melihat Naruto melotot padanya. “Naru, apa kau bisa
memasak?” tanyanya kemudian seraya memotong kue dengan garpu.
“Ng, tidak,” jawab Naruto santai. “Kenapa? Apa aku
tidak sesuai dengan kriteria istri idamanmu?”
Sasuke tertawa lalu memakan sisa kuenya. “Aku tidak
punya kriteria semacam itu.”
“Lalu kenapa bertanya?”
“Hanya ingin tahu karena hal itu tidak disebutkan di
daftar yang diberikan oleh ayahku. Oh ya, apa Ramen benar-benar makanan
kesukaanmu?”
“Fugaku-san sangat mendukungmu ternyata.” Naruto
merasa geli membayangkan Sasuke mempelajari semua hal tentangnya dari daftar
pemberian ayahnya. “Ya, aku suka ramen. Aku juga suka makanan tradisional
berempah.”
“Apa kau tahu kalau aku bisa memasak?” Sasuke balik
bertanya.
Naruto menggeleng. “Selain keluargamu, profesimu dan
apa yang pernah kau ceritakan padaku, aku tidak tahu apa-apa tentangmu.”
“Apa tidak ada yang memberimu daftar tentangku?”
Naruto kembali menggeleng. “Mungkin kedua kakekku dan
kakakku memilikinya. Tapi mereka tidak memberiku daftar seperti itu.”
“Hm, aku mengerti.” Sasuke tersenyum. “Kau akan
belajar mengenalku secara pribadi setelah kita menikah.”
Naruto meneguk kembali tehnya dan pura-pura tidak mendengar
kalimat terakhir Sasuke.
“Kulihat banyak tamu tadi. Seorang perancang pakaian
bahkan sudah mengambil ukuran tubuhku. Kenapa kau tidak terlihat sibuk?” Sasuke
melihat ke arah taman di mana air mancur berkilau di bawah pancaran sinar
matahari.
“Nenek sudah memintaku memilih gaun pernikahan dan aku
menolak. Biarkan mereka yang memilihkannya untukku,” jawab Naruto santai.
“Kau tidak memilih gaunmu sendiri?” Sasuke tampak
terkejut. “Kupikir semua wanita tidak akan puas jika tidak memilih gaun
pernikahannya sendiri.”
“Aku tidak masalah.” Naruto mengendikkan bahu.
“Lagipula aku akan tetap terlihat cantik dengan gaun apapun.”
Dan Sasuke yang sedang meneguk tehnya langsung
tersedak. Dia terbatuk dan meletakkan cangkir ke atas meja. Naruto tersenyum
dan mengulurkan sapu tangan padanya, membuat Sasuke tertawa di sela batuknya.
Sasuke menyeka mulut dan menatap Naruto yang masih
tersenyum padanya. “Keluargaku pasti akan terkejut saat aku pulang nanti.”
“Aku bisa membayangkan reaksi Mikoto-san yang pasti
akan menangis.”
“Ya, ibuku pasti akan menangis, tapi menangis karena
bahagia.”
“Tentu saja dia akan bahagia, kau adalah putra
kesayangannya.”
“Darimana kau tahu?”
“Nenekku pernah bercerita.” Naruto beranjak dari
kursinya lalu menoleh pada Sasuke. “Kau mau menemaniku jalan-jalan di taman?”
Sasuke mengangguk lalu beranjak dan keduanya berjalan
berdampingan meninggalkan paviliun.
***
Waktu yang sama di Konoha. Nagato tengah sibuk bersama
dengan Iruka di ruang kerja saat seorang pengawal masuk memberi laporan.
“Lapor Shinno-sama, Sara-hime datang berkunjung dan
ingin bertemu.”
Nagato saling bertukar pandang dengan Iruka lalu
kembali menatap pengawal di depannya. “Persilakan Sara-hime masuk.”
Pengawal itupun kembali membungkuk hormat lalu keluar.
Selanjutnya, pintu kembali terbuka dan Sara memberi salam hormat pada kakaknya.
“Bagaimana kabarmu Sara?” Nagato beranjak dari
kursinya dan memberikan pelukan pada adiknya. Di belakangnya Iruka juga memberi
salam hormat pada Sara.
“Baik Onii-sama.”
Mereka pun duduk berdampingan di sofa sementara Iruka
kembali sibuk memilah dokumen di meja kerja.
“Aku datang untuk bertemu Okaa-sama, mengirimkan teh
dan kue kesukaannya tapi ternyata Okaa-sama pergi ke Kiri. Apa ada hal
penting?”
Nagato tersenyum pada adiknya. “Beberapa hari lalu
Naru mengalami penyerangan. Otou-sama dan Okaa-sama khawatir karena Naruto
terluka dan segera terbang ke Kiri.”
“Astaga! Bagaimana keadaan Naru-chan sekarang? Apa aku
boleh mengunjunginya juga?” Sara tampak begitu terkejut.
“Sekarang dia baik-baik saja. Tangannya hanya terkilir,
besok Otou-sama dan Okaa-sama juga akan kembali ke Konoha.” Nagato menenangkan.
“Syukurlah kalau begitu, aku lega mendengarnya. Kenapa
Naru-chan selalu menjadi target penyerangan?”
“Dengan statusnya, tentu saja dia akan menjadi target
bagus untuk musuh Hokage juga Mizukage. Bahkan membatasi publisitas tentangnya
juga tak banyak membantu.” Nagato menggeleng sembari menghela napas panjang.
“Ya, pasti berat menyandang gelar Hime kesayangan
Hokage dan Mizukage,” gumam Sara kemudian. “Beruntung pada penyerangan di
Konoha kemarin dia tidak terluka.”
“Eh? Darimana kau tahu?” Nagato terkejut dan menatap
adiknya heran. Insiden penyerangan di Yayasan Disabilitas masuk ke dalam file
rahasia.
Sara berkedip pada kakaknya. “Suamiku yang
mengatakannya. Dia baru bertemu Otou-sama beberapa waktu lalu.”
“Oh begitu.” Nagato mengangguk tanda mengerti.
“Onii-sama pasti masih sibuk. Sebaiknya aku pulang
sekarang. Besok aku akan datang lagi. Sampaikan salamku pada Onee-sama.” Sara
pun beranjak dan kembali memeluk kakaknya.
“Baiklah, berhati-hatilah dijalan.” Nagato tersenyum
pada adiknya. Dia meminta pengawal dan pelayan untuk mengantar Sara keluar.
Iruka tersenyum saat melihat Nagato yang kembali duduk
di kursi kerjanya menghela napas panjang. ”Semua akan baik-baik saja,
Shinno-sama.”
Nagato menatap Iruka sembari menggeleng. “Kau tahu itu
tidak mungkin Iruka.”
***
Naruto dan Sasuke menghabiskan waktu bersama hingga
sore. Keduanya banyak berbincang sembari berjalan di taman. Tidak ada yang
mengganggu mereka.
“Kau akan kembali ke Konoha besok?”
Keduanya kini tengah berdiri berdampingan di tepi
kolam ikan.
“Hm, kau mau ikut bersamaku?” Sasuke kembali
menggodanya.
Naruto menghela napas. “Sebenarnya aku ingin
mengajakmu ke makam ayah dan ibuku sebelum pernikahan kita tapi kakek dan nenek
tidak mengijinkan aku ke Konoha. Aku hanya boleh pergi ke luar istana setelah
pernikahan.”
“Bukankah memang seharusnya begitu?” Sasuke tentu saja
tahu alasan keluarga Naruto melarangnya ke Konoha.
“Ah, kau sudah membaca buku etiket kerajaan?”
Dan pertanyaan polos Naruto membuat Sasuke tertawa. Di
buku etiket memang tertulis kalau seorang putri yang akan menikah dilarang
meninggalkan tempat tinggalnya tiga puluh hari sebelum hari pernikahan. “Ya,
aku sudah membacanya. Aku tidak mau membuat kesalahan yang sama dan membuatmu
mendapat masalah.”
“Berarti kau benar-benar mempersiapkan diri untuk
menikah denganku?” Naruto menutup senyum gelinya dengan telapak tangan.
“Awalnya aku hanya tidak ingin membuatmu terbeban
denganku. Aku ingin menunjukkan padamu kalau aku siap dengan aturan apapun
untuk bisa bersamamu. Siapa yang menyangka Hokage tiba-tiba memanggilku dan
ingin segera menikahkan kita. Aku benar-benar beruntung bukan? Atau kau membujuk
kakekmu, Naru? Aw!!” Sasuke mengusap lengannya sembari tertawa.
“Aku tidak pernah membujuk kakek untuk hal seperti
itu.” Naruto mencebik.
“Aku tahu, Itachi selalu mengatakan kalau kau bukan
putri yang manja.”
“Ah, kau membicarakanku dengannya?” Naruto tampak
penasaran.
“Hm, dia bersimpati padaku.”
“Bersimpati?” Naruto tampak bingung.
“Bagaimana tidak? Aku menghabiskan separuh hidupku di
Oto. Menjauh dari kehidupan bangsawan. Dan setelah kembali ke Konoha, aku
justru jatuh cinta padamu.”
Naruto tertawa. “Jadi, apa aku adalah karma karena kau
menolak takdirmu sebagai bangsawan?”
“Mungkin saja, tapi aku berbahagia dengan karma itu.
Jadi, tidak masalah.” Sasuke tersenyum. Tangannya tiba-tiba terulur dan meraih ujung
rambut panjang Naruto. “Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu denganmu malam
itu.”
Naruto terpaku melihat ujung rambutnya terlilit di
jari manis Sasuke. Matanya berkedip lalu menatap pria yang kini tengah
tersenyum dan mencium rambutnya.
“Terima kasih kau mau menerimaku,” ucap Sasuke lirih
tapi sanggup membuat pipi Naruto memerah dan jantungnya berdebar kencang.
“Sasuke …,” Naruto tidak tahu harus berkata apa.
“Aku mencintaimu Namikaze Naruto.”
***
“Brengsek!! Kenapa kau kembali membuat ulah, huh?
Bukankah aku sudah mengatakan untuk jangan bertindak sebelum Hime kembali ke
Konoha!”
Raungan di speakerphone
membuat Hidan menguap. “Kau mengganggu tidurku hanya karena hal itu?”
“Aku akan membunuhmu kalau sampai kau mengacaukan
rencanaku!”
“Jujur saja, aku lelah mendengarnya.” Hidan bangun
lalu berdiri di depan jendela kamarnya yang menampakkan gelapnya malam.
“Ayolah, kau membutuhkanku, jadi kau tidak akan membunuhku semudah itu.”
“Jangan besar kepala!” maki orang itu. “Aku pemegang
kunci dari semua markas besar kita. Anak buahku lebih banyak daripada milikmu!
Aku bisa membunuhmu kapan saja aku mau!”
Hidan tertawa. “Ya, ya, ya, terserah apa katamu. Tapi
cepatlah bertindak karena aku sudah bosan menunggu. Ingat! Dengan atau tanpa
bantuanmu, aku tetap akan membalas dendam pada Hokage.”
Dan Hidan mengakhiri telepon begitu saja. Menuai
raungan dan makian dari lawan bicaranya.
***
“Jangan memasang wajah seperti itu. Satu bulan
bukanlah waktu yang lama. Setelah itu kau akan bersamanya sampai bosan, ouch!”
Kurama mengibaskan kakinya yang baru saja diinjak oleh Naruto. Adiknya itu kini
menghentakkan kaki dan berjalan menghampiri Hashirama juga Mito di ruang
keluarga. Kurama sengaja menjemput adiknya di kamar hanya untuk menggodanya.
Di ruang keluarga, Hashirama dan Mito sudah duduk
bersama Jiraiya dan Tsunade. Disana juga ada Kakashi dan Rin, tentu saja juga
Sasuke. Bungsu Uchiha itu langsung berdiri dan memberi hormat begitu melihat
Naruto datang diikuti Kurama di belakangnya.
“Akhirnya kau turun juga. Kupikir kau tidak akan
mengantar kepergian kakek dan nenekmu ini,” goda Hashirama saat sang cucu
memeluk istrinya.
“Ojii-sama, kenapa berkata seperti itu~,” Naruto
mencebik tapi tetap memeluknya. “Aku terlambat bangun karena semalam tidak bisa
tidur,” katanya memberi alasan atas ketidak hadirannya di meja makan.
“Dia tidak bisa tidur karena memikirkan Sasuke,”
celetuk Kurama yang duduk di sebelah Kakashi sembari melirik ke arah Sasuke
yang ikut tersenyum atas perkataannya.
“Onii-sama!” Naruto membulatkan mata pada kakaknya. “Kau
yang menggangguku semalam, jangan mengarang cerita.”
Semua orang tertawa. Mereka senang melihat Naruto yang
penuh semangat.
“Kau terus menggodanya, jangan menangis saat Naru
menikah nanti.” Kakashi menepuk bahu keponakannya.
“Aku justru ingin melihat siapa yang akan menangis
saat meninggalkan istana nanti.”
“Aku tidak akan menangis.” Naruto melirik pada Sasuke
yang ternyata tengah menatapnya sembari tersenyum.
“Saya tidak akan membuat Hime-sama menangis,” ucap
Sasuke yang justru membuat Naruto langsung memalingkan wajahnya yang merona.
“Ara, lihatlah anak muda yang sedang dimabuk cinta
ini. Sasuke, kau harus penuhi janjimu.” Kakashi tersenyum pada calon
keponakannya.
“Baik Shinno-sama.” Sasuke mengangguk.
“Kenapa harus menuntut Sasuke melakukan hal itu?
Jangan bilang kalau semua orang menekannya di belakangku?” Naruto mengedarkan
pandangan pada seluruh keluarganya.
“Apa salah kalau aku ingin dia menjagamu?” Kakashi
bicara dengan senyum di wajahnya.
“Tidak, hanya terkesan berlebihan saat Oji-sama
mengatakannya.” Naruto mengendikkan bahu. “Saat aku menikah nanti aku adalah
istrinya.”
Melihat wajah serius Naruto justru membuat semua orang
menahan tawa. Naruto membela calon suaminya sungguh menjadi pemandangan yang
lucu. Sasuke sendiri juga tersenyum melihatnya.
“Apa kau akan menjadi istri yang protektif pada
suaminya?” Mito mengusap lengan cucunya.
Ah! Naruto baru menyadari sikapnya. “Bu-bukan begitu
Obaa-sama. Hei, kalian semua menggodaku~.” Naruto menutup wajah dengan telapak
tangan.
“Lihat, cucuku sudah dewasa. Kurasa akulah yang akan
menangis saat kau meninggalkan istana nanti, bukan begitu Jiraiya?” Hashirama
tertawa.
“Akulah yang akan menjadi kakek paling malang. Naru pasti
akan semakin jarang berkunjung ke Kiri setelah menikah nanti.” Jiraiya
menimpali.
“Anata, aku bisa menangis sekarang kalau kau
mengaatakan hal itu lagi.” Tsunade ikut menggoda cucunya.
“Ojii-sama, Obaa-sama, jangan menggodaku.”
Dan ruangan keluarga kembali dipenuhi dengan tawa.
***
Setelah drama perpisahan dengan Naruto. Sasuke
akhirnya kembali ke Konoha bersama Hashirama dan Mito. Mereka tiba di bandara
dan langsung menuju istana Uzushio. Bungsu Uchiha itu terkejut saat tiba di
istana dan mendapati sang kakek sudah menunggu bersama kedua orang tuanya.
Nagato dan Konan juga sudah menunggu mereka.
“Sasuke, Sasuke, cucu kesayanganku sudah kembali.”
Madara langsung memeluk cucunya dan membuat Mikoto menahan senyum di balik sapu
tangannya. Nagato bahkan hampir tertawa kalau bukan Konan yang menahannya.
Fugaku dan Mikoto segera memberi salam pada Hashirama
dan Mito.
“Ah, Fugaku-san, Mikoto-san, senang bisa bertemu.”
Mito tersenyum pada calon mertua cucunya.
“Kehormatan bagi saya bisa kembali bertemu Yang
Mulia,” jawab Mikoto.
“Jangan sungkan, jangan sungkan. Ayo kita masuk,
banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu.” Mito meminta semua orang masuk
ke ruang tamu istana timur.
Baru saja mereka duduk, seorang pengawal datang dan
melaporkan kedatangan Sara pada Hokage.
“Persilakan Hime masuk,” jawab Hashirama setelah
bertukar pandang dengan istrinya.
“Baik Yang Mulia.” Pengawal itu pun membungkuk lalu
pergi meninggalkan ruang tamu.
“Kemarin Sara juga datang mencari Okaa-sama,” Nagato
tersenyum pada ibunya.
“Ya, dia mengirim pesan kemarin,” jawab Mito.
Sara masuk ke ruang tamu dan keluarga Uchiha segera
berdiri lalu memberi salam padanya. Sara sendiri memberi salam pada orang tua
dan kakaknya.
“Apa aku menganggu?” Sara merasa aneh dengan kehadiran
keluarga Uchiha di ruang tamu. Pandangannya tertuju pada sosok Sasuke yang
duduk di sebelah Madara.
“Tidak Sayang, kemarilah.” Mito meminta Sara duduk di
sebelahnya. “Aku ingin mengenalkanmu pada Uchiha Sasuke, calon suami Naruto.”
“Naru akan menikah?” Sara tampak terkejut
mendengarnya.
“Ya, kami baru saja menerima lamaran dari Perdana
Menteri dan keluarganya, bukan begitu Madara?” Mito melempar senyum pada
keluarga Uchiha.
“Hm, Sara-hime, ini adalah cucu bungsuku,” Madara
menjawab dengan tenang.
“Ah, aku baru tahu kalau Fugaku-san memiliki tiga
orang putra. Fugaku-san, Mikoto-san, selamat, selamat. Kita akan menjadi
keluarga.” Sara mengembangkan senyumnya.
“Terima kasih Hime-sama,” jawab Fugaku dan Mikoto
bersamaan.
“Jadi kapan pernikahan akan dilaksanakan? Aku tidak
sabar untuk bertemu dengan Naru, dimana dia?” tanya Sara dengan antusias.
“Naru masih berada di Kiri karena pernikahan akan
dilaksanakan di sana. Kau juga harus bersiap. Bulan depan tanggal lima belas
adalah hari pernikahan Naru dan Sasuke.” Mito menjelaskan dan tersenyum melihat
kerutan di kening putrinya. “Kenapa?”
“Okaa-sama, kenapa pernikahan digelar di Kiri? Apa
tidak sebaiknya kita selenggarakan di Konoha. Bagaimana pun Naru adalah-,”
“Sara,” Hashirama menyela perkataan putrinya dengan tenang.
“Naru adalah putri dari mendiang Putra Mahkota Namikaze. Untuk menghormati
leluhur ayahnya, maka pernikahan akan dilaksanakan di Kiri. Belum lagi status
Kurama sebagai Putra Mahkota Kiri, bagaimana mungkin pernikahan akan digelar di
Konoha?”
“Ah, Otou-sama benar,” Sara tersenyum canggung dengan
ucapan ayahnya. “Oh ya, kabarnya Naru kemarin terluka, bagaimana keadaannya
sekarang?”
Sasuke tanpa sadar mengepalkan tangannya, sementara
Fugaku dan Mikoto tampak terkejut mendengarnya. Mereka tidak diberitahu
mengenai penyerangan Naruto. Keduanya hanya tahu kalau Sasuke di bawa ke Kiri
untuk diperkenalkan pada Mizukage.
“Dia baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir. Naru
anak yang kuat. Butuh usaha besar untuk musuh bisa melukai cucu kesayanganku
dan Jiraiya.” Hashirama kembali melempar senyum pada putrinya.
Sara mengangguk dengan ekspresi senang. “Aku lega
mendengarnya.” Dia pun beralih menatap keluarga Uchiha lalu tersenyum. “Sekali
lagi selamat untuk Perdana Menteri juga Fugaku-san. Sebaiknya aku menunggu
Okaa-sama selesai di ruang keluarga.”
“Kau bisa tetep di sini Sara,” kata Mito saat melihat
putrinya beranjak.
“Tidak Okaa-sama. Aku akan menunggu Okaa-sama di dalam
saja.” Sara tersenyum lalu memberi hormat pada keluarganya. Dia pun
meninggalkan ruang tamu dan berjalan menuju ruang keluarga. Dia tidak menyadari
kalau seluruh keluarga menatap punggungnya dengan tatapan sedih.
***
“Menikah?!” Shisui dan Itachi memekik karena terkejut
saat sang ayah memberitahu mereka tentang rencana pernikahan Sasuke.
“Ta-tapi bagaimana mungkin?” Itachi melotot pada
adiknya.
“Apanya yang tidak mungkin?” tanya Sasuke heran.
“Kau tidak memberitahuku Otouto,” protes Itachi lagi.
“Aku juga baru tahu setelah bertemu dengan Hokage.”
“Kenapa secepat ini? Maksudku, bukankah kemarin Hokage
bahkan masih marah padamu?” Shisui juga tampak bingung.
“Kalian berdua tenanglah.” Fugaku menyela sementara
Mikoto tertawa. “Ini sudah menjadi keputusan Hokage dan Mizukage. Pernikahan
akan digelar bulan depan di Kiri. Kalian berdua bantulah Sasuke untuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Minggu depan akan datang pengajar tata krama
dari istana untuk mengajari Sasuke tentang segala hal mengenai adat dan tradisi
pernikahan. Aku dan kakek kalian akan mempersiapkan semua dokumen dan ibumu
akan mengatur semua hadiah pernikahan yang akan diberikan untuk Naru-hime.”
Shisui dan Itachi bertukar pandang lalu mengangguk bersamaan.
“Baik Otou-sama.”
Setelahnya Fugaku meninggalkan ruang keluarga bersama
Mikoto dan membiarkan Sasuke bersama kedua kakaknya.
“Ouch!” Sasuke menangkap bantal sofa yang hampir
mengenai wajahnya.
“Kau sama sekali tidak membalas pesanku dan pulang
dengan berita pernikahan?!” Itachi tampak kesal.
“Apa yang terjadi Sasuke? Kenapa tiba-tiba ada rencana
pernikahan? Maksudku, kau dan Hime-,” Shisui tampak ragu melanjutkan
perkatannya, “-tidak terlibat skandal kan?”
“Skandal? Tentu saja tidak.” Sasuke tertawa.
“Lalu bagaimana bisa Hokage tiba-tiba merencanakan
pernikahan untukmu?” Shisui masih tidak percaya.
“Aku dan Hime saling mencintai, jadi wajar saja kalau
Hokage ingin kami cepat menikah,” jawab Sasuke datar.
“Omong kosong,” jawab Shisui dan Itachi bersamaan.
“Apa kalian tidak berbahagia untukku, hm?”
“Ish, Otouto, bukan begitu. Aku hanya merasa ada yang
aneh dengan-,”
“Sshh,” Sasuke menepuk bahu Itachi. “Berbahagialah
denganku, itu cukup, Onii-sama.”
Itachi terpaku saat Shisui menghela napas panjang.
Sulung Uchiha itu tahu kalau ada hal yang tidak boleh mereka tahu.
“Aku harap kau siap dengan segala konsekuensinya,
Sasuke.”
Mendengar ucapan Shisui membuat Sasuke menoleh.
“Jangan khawatir Onii-sama.”
Shisui pun beranjak lalu menepuk bahu adik bungsunya.
“Semoga bahagia,” ucapnya sembari tersenyum lalu berjalan meninggalkan ruang
keluarga.
Itachi menatap punggung sang kakak sebelum akhirnya
kembali menatap Sasuke. “Kau sungguh-sungguh akan menikah, Sasuke?”
“Hm,” gumamnya lirih, “Baka-tachi,” lanjutnya yang
langsung menghindar ketika Itachi kembali ingin memukulnya dengan bantal sofa.
***
>>Bersambung<<
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments