Nami Cafe - Chapter 17

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================


Tidak terasa sudah empat hari Naruto berada di Istana Kiri. Sejak percakapannya dengan Rin, dia tampak lebih tenang. Saat ini, dia tengah berada di kamar Kurama yang sedang diperiksa oleh seorang dokter wanita. Kurama mengenalkannya dengan nama Haruno Sakura. Dia adalah putri tunggal Kepala Dokter Kerajaan Haruno Kizashi.

“Kondisi Anda sudah jauh lebih baik, tapi tetap harus menjaga istirahat.” Sakura melepas stetoskop dan memasukkannya ke dalam tas.

Kurama mengangguk. “Apa aku sudah boleh memakan sesuatu yang pedas?”

Dokter muda itu tersenyum manis. “Sebaiknya jangan dulu Shinno-sama. Perbanyak sayuran dan buah. Radang tenggorokan Anda juga belum pulih sepenuhnya. Dan tolong jangan minum alkohol juga.”

“Aku sudah bosan memakan sup,” keluhnya pada sang dokter.

Naruto yang sejak tadi duduk si sofa langsung mengerutkan kening begitu mendengar perkataan kakaknya. Sejak kapan Kurama suka mengeluh soal makanan dengan nada seperti itu? Dia lalu menatap Sakura yang masih tersenyum pada Kurama.

“Jika Anda menurut maka kondisi Anda akan lebih cepat pulih. Anda juga bisa beraktivitas seperti biasa lagi, Shinno-sama.”

“Bukankah aku selalu menurut? Aku hanya mengatakan kalau aku bosan, tapi tetap memakan semua menu makanan yang sudah kau-,”

“Ehem, itu bagus Shinno-sama,” potong Sakura cepat seraya berdeham pelan. Dia kembali tersenyum tapi kali ini wajahnya tampak gugup. “Saya harap kondisi Anda segera pulih.”

“Hm, terima kasih,” jawab Kurama kemudian. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian diam dan mengalihkan pandangannya pada sang adik. “Kenapa kau melihatku seperti itu?”

Naruto menggeleng lalu beralih menatap Sakura yang berdiri di sebelah tempat tidur.

“Hime-sama, apa ada yang ingin Anda tanyakan?” tanya Sakura saat melihat Naruto menatapnya dengan kening berkerut.

Lagi-lagi Naruto menggeleng. “Tidak,” jawabnya singkat seraya beranjak dari sofa. “Onii-sama istirahatlah, aku pergi dulu. Sampai jumpa Haruno Sensei.”

Sakura memberi hormat saat Naruto meninggalkan kamar. Dia kemudian menghela napas panjang lalu menoleh ke arah Kurama yang ternyata tengah menatapnya.

“Ng, apa menurutmu Hime-sama curiga?” tanya Sakura ragu.

“Aku tidak tahu dan tidak peduli.” Kurama mengendikkan bahu. “Aww! Itu sakit Saku-chan.”

“Ish, jangan memanggilku dengan nama itu. Dan bagaimana kau bisa tidak peduli, huh?” Sakura mengomel dengan suara lirih. Padahal tidak mungkin pengawal atau pelayan di luar mendengar percakapan mereka.

“Tidak masalah kalau Naru tahu. Bahkan jika seluruh keluargaku tahu, itu juga bukan masalah.” Kurama bersandar pada kepala tempat tidur, melipat tangan di depan dada dan menatap Sakura, yang adalah kekasihnya.

“Jangan, kumohon jangan katakan sekarang. Aku belum siap.” Sakura duduk di tepi tempat tidur lalu menarik tangan Kurama dan menggenggamnya.

“Jangan menatapku seperti itu.” Kurama menghela napas sembari menutup mata Sakura dengan telapak tangannya.

Dengan cepat Sakura kembali menarik tangan kekasihnya. “Kumohon Ku,” pintanya lagi.

“Iya, iya, aku tidak akan mengatakannya. Tapi ingat, kalau kesabaranku ada batasnya.” Kurama menepuk lembut pipi Sakura.

“Aku mengerti.” Senyum Sakura mengembang. “Terima kasih, Ku.”

“Hm,” gumam Kurama sebagai jawaban.

“Baiklah, aku harus kembali ke rumah sakit. Istirahatlah dan minum obatmu.” Sakura beranjak dari sisi tempat tidur lalu meraih tas kerjanya di atas nakas.

“Hm, Zabuza akan mengantarmu.” Kurama meraih tangan kanan Sakura dan mengusap punggung tangannya. Sebagai Putra Mahkota, dia juga punya batasan etika.

Sakura tersenyum saat Kurama melepas genggamannya. Dia memberi hormat sebelum akhirnya meninggalkan kamar dan membiarkan kekasihnya beristirahat.

***

Naruto termenung menatap langit sore di taman istana. Dia merasa aneh dengan sikap Kurama pada Dokter Haruno. Kakaknya bukanlah tipe pria yang akan banyak bicara pada wanita asing, lagipula sejak kapan dia mau diperiksa oleh dokter wanita? Pikirannya mulai menduga-duga. Apakah keduanya memiliki hubungan dekat sebelumnya?

Sayangnya, renungan Naruto harus terputus karena getar handphone di sakunya. Wanita itu langsung tersenyum saat melihat notifikasi pesan di layar utama. Itu adalah pesan dari Sasuke yang kembali menanyakan kabarnya. Mereka hanya bertukar pesan singkat tapi itu cukup untuk membuat hati Naruto berbunga.

“Hormat Hime-sama, Mizukage meminta Anda datang ke ruang kerjanya.”

Naruto hampir menjatuhkan handphone-nya karena terkejut dan menoleh pada pengawal yang berdiri di luar gazebo. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban lalu beranjak dan segera memasuki istana. Tak lama kemudian, Naruto tiba di depan ruang kerja Mizukage dan penjaga membuka pintu untuknya.

“Salam Ojii-sama, Obaa-sama.”

“Naru-chan, duduklah.” Jiraiya dan Tsunade tampak senang melihat cucunya.

“Ada apa Ojii-sama memanggilku?”

Jiraiya beranjak dari kursi kerjanya lalu duduk di hadapan Tsunade dan Naruto yang duduk berdampingan di sofa panjang. “Hari ini Pangeran dari Negeri Kaze datang berkunjung. Dan malam nanti, akan ada jamuan makam malam untuk menyambutnya. Aku ingin kau ikut dalam perjamuan, bagaimana?”

“Maksud Ojii-sama adalah Sabaku Kankurou atau Sabaku Gaara?” tanya Naruto hati-hati. Seingatnya Negeri Kaze memiliki dua pangeran. Kankurou lebih sering dipanggil dengan gelar Putra Mahkota Kaze dan adik bungsunya, Gaara, lebih dikenal dengan gelar Pangeran Suna. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan keduanya. Naruto hanya pernah dua kali bertemu dengan Sabaku Temari, putri sulung Kerajaan Kaze yang adalah sahabat baik Yahiko.

Tsunade dan Jiraiya saling bertukar pandang lalu tersenyum pada cucunya. Sepertinya mereka berdua paham dengan maksud pertanyaan Naruto.

“Sabaku Gaara,” jawab Tsunade kemudian.

“Tapi kau tidak perlu khawatir, dia datang karena urusan kenegaraan bukan perjodohan,” Jiraiya melanjutkan.

“Ah, bukan itu maksudku.” Naruto tampak gugup saat kakek dan neneknya justru tertawa.

“Awalnya kami dan Hokage memang ingin menjodohkan kalian. Tapi setelah mendengar cerita soal Uchiha Sasuke, kami pikir itu tidak perlu lagi.” Jiraiya kembali tersenyum saat melihat pipi Naruto yang memerah. Kini dia percaya kalau cucunya memang menyukai Sasuke.

“Dan kau belum menceritakannya pada nenekmu ini, Naru-chan.”

“Obaa-sama, aku dan Sasuke masih belum memiliki hubungan yang jelas. Jadi apa yang akan aku ceritakan?” Naruto membuat alasan. Dia sendiri masih harus menetapkan hatinya, bagaimana dia harus bercerita pada neneknya soal itu?

“Sudah, sudah, ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya. Jika kau memang sudah siap, kau bisa mengatakannya pada kami.” Jiraiya dengan bijak menengahi. “Sekarang kembalilah ke kamar dan bersiaplah, hari hampir petang.”

Naruto merasa lega karena sang kakek menyelamatkannya. Dia pun beranjak dan memberi hormat lalu bergegas meninggalkan ruang kerja.

Melihat Naruto keluar membuat Tsunade menghela napas untuk meredakan kekecewaannya. “Dia tidak mau bercerita padaku, Anata.”

“Hei, jangan mengeluh seperti itu.” Jiraiya beralih duduk di sebelah istrinya. “Kau sendiri tahu kalau Naruto juga tidak bercerita pada Mito. Kalian berdua terlalu tidak sabar dan itu membuat Naru tidak nyaman.”

“Tapi aku ingin dia bermanja padaku seperti dulu, selalu menceritakan semua hal yang dilakukannya dengan penuh semangat.” Ingatan Tsunade melayang pada sosok kecil Naruto yang ceria.

“Tsunade,” Jiraiya memeluk bahu istrinya dan mengusapnya dengan lembut. Sepuluh tahun sudah berlalu tapi rasa sakit itu masih sama.

“Aku merindukan Minato,” lirih Tsunade seraya bersandar di bahu suaminya. Sudut matanya basah dan Jiraiya menyekanya dengan lembut.

“Hm, aku juga. Tapi jangan sampai kerinduan kita pada Minato menjadi beban bagi Naru. Kau sendiri tahu kalau Naru masih belum bisa memaafkan dirinya.”

Tsunade mengangguk dalam diam sembari menatap pintu yang tertutup.

***

Waktu makan malam hampir tiba saat Naruto keluar dari kamarnya didampingi oleh dua orang pelayan. Dia mengenakan gaun panjang berwarna peach. Dengan hati-hati dia mengangkat bagian depan gaun dan berjalan menuruni tangga. Naruto tersenyum saat sampai di ruang keluarga dan melihat sang kakak sudah menunggunya.

“Kau tampak cantik, Imouto.” Kurama mencium kening adiknya.

“Apa aku pernah terlihat jelek di matamu, Onii-sama?” jawab Naruto sembari tersenyum.

“Tentu saja tidak,” jawab Kurama sembari meraih lengan Naruto dan melingkarkannya di lengannya. Keduanya berjalan menuju ruang perjamuan istana.

Para pengawal yang berjajar di koridor memberi hormat pada Kurama dan Naruto. Keduanya memasuki ruang perjamuan setelah pengawal penjaga mengumumkan kedatangan mereka. Kakashi dan Rin sudah lebih dulu datang. Kurama dan Naruto pun memberi salam pada paman dan bibinya.

Suara pengawal kembali terdengar dan menyerukan kedatangan Mizukage bersama dengan Pangeran Suna. Kurama berdiri di sebelah kakaknya berdampingan dengan Kakashi juga Rin. Mereka semua saling bertukar salam lalu duduk di meja besar perjamuan.

Jiraiya duduk di ujung meja bersama dengan Tsunade. Di sisi kiri duduk keluarga Kerajaan dan di sisi kanan, Gaara duduk bersama dengan Akasuna Sasori, paman sekaligus Menteri Hubungan Luar Negeri yang bertugas mendampingi Gaara dalam kunjungan kenegaraan kali ini.

“Kami merasa senang Sabaku-shinno bisa kembali berkunjung ke Istana Kiri.”

“Saya juga senang bisa berkunjung ke Istana Kiri, terima kasih untuk jamuan Yang Mulia Mizukage.” Gaara menjawab dengan suara dalam dan tenang, terlihat jelas kalau dia dibesarkan dengan etiket baik seorang pangeran.

“Dan sepertinya kunjungan kami kali ini beruntung karena bisa bertemu dengan Namikaze-hime.” Sasori tersenyum saat Jiraiya mengalihkan perhatian padanya.

Mendengar namanya disebut membuat Naruto mau tak mau mengulas senyum untuk menunjukkan rasa hormat. “Senang bisa menyambut Sabaku-shinno dan Akasuna-san.”

“Adikku ini terlalu cantik, akan sangat merepotkan kalau dia bertemu banyak pangeran dan membuat mereka terpesona.” Kurama menimpali dan sukses membuat Naruto kesal hingga menendang kakinya di bawah meja. Sayangnya Kurama justru tersenyum dengan tingkah adiknya.

“Ah, Anda benar Putra Mahkota.” Sasori tersenyum pada Naruto dan Kurama.

Pemimpin negara Mizu itu ikut tersenyum mendengar jawaban cucunya. “Naruto lebih banyak tinggal Konoha dan memang tidak pernah dilibatkan untuk urusan kenegaraan. Tapi jamuan malam ini tentunya sebuah hal yang istimewa mengingat hubungan Mizu dan Kaze yang sudah terjalin dengan sangat baik, karena itu aku juga meminta Naruto untuk datang.”

Sasori mengangguk hormat. “Saya mengerti Yang Mulia Mizukage. Maka dari itu saya merasa sangat beruntung. Namikaze-hime sangat mirip dengan mendiang Putra Mahkota Mizu.”

Gaara langsung menoleh pada pamannya sembari berdeham pelan hingga membuat Sasori tersentak dan menyadari kebodohannya.

“Ma-maaf Yang Mulia, saya sudah bicara lancang.”

“Tidak apa-apa, Akasuna-san memang benar, Naru memang mirip dengan Minato.” Jiraiya kembali mengulas senyum tipis. Dia melihat cucunya yang duduk dengan tenang. Meski begitu Jiraiya tahu kalau Naruto mulai merasa tidak nyaman.

Gaara mencuri pandang ke arah Naruto yang tampak tidak terganggu dengan ucapan Sasori. Dalam hati dia membenarkan ucapan Kurama, Naruto memang sangat cantik. Tidak heran dia mendengar rumor tentang banyak pangeran yang melayangkan pinangan ke Negara Hi meski mereka juga belum pernah bertemu langsung dengan Naruto. Gaara sendiri pernah sekilas mendengar ayahnya membicarakan masalah perjodohan dengan Naruto.

Rombongan kereta makan yang datang mengalihkan perhatian semua orang. Jamuan makan malam pun dihidangkan. Dan sisa malam itu berlangsung dengan tenang.

***

Keesokan paginya, Naruto terbangun karena mendengar denting handphone yang menandakan pesan masuk. Tangannya terulur ke atas nakas dengan mata masih setengah terpejam.

“Huh?!” Seketika matanya terbuka lebar saat membaca nama yang muncul di layar utama.

Apa kau bertemu dengan Pangeran Suna?

Naruto menggosok mata lalu kembali membaca pesannya. Keningnya berkerut lalu bangun dan bersandar pada kepala tempat tidur.

“Darimana Sasuke tahu?” gumam wanita itu heran. Dia lalu membuka internet dan mengetik portal berita internasional. Dan benar dugaan Naruto, foto kakeknya dan Gaara terpampang di halaman utama berita dengan headline besar yang menyebutkan kunjungan Pangeran Suna itu ke Istana Kiri.

Anehnya hal itu terasa lucu bagi Naruto. “Apa Sasuke merasa cemburu?”

Ya

Jawab Naruto singkat tanpa penjelasan apapun. Dia ingin melihat reaksi Sasuke lagi. Sayangnya, balasan yang ditunggu Naruto tak kunjung datang. Dia akhirnya meletakkan handphone di atas bantal lalu beranjak ke kamar mandi.

Sementara itu di luar kamar, Kurama mengetuk pintu dan tak kunjung mendapat jawaban. Dia pun masuk ke kamar sang adik dan merasa heran karena tidak melihat Naruto di atas tempat tidurnya. Mendengar suara di dalam kamar mandi membuat Kurama tahu dimana adiknya. Dia baru saja akan keluar saat mendengar suara denting handphone di atas bantal. Rasa penasaran menggiring kaki Kurama menuju tempat tidur.

Layar handphone Naruto masih terbuka dan menampilkan percakapannya dengan Sasuke.

Apa dia datang untuk melamarmu?

Kurama hampir tertawa membaca pesan Sasuke yang baru saja masuk. “Ternyata mereka berdua sudah sedekat ini,” gumamnya seraya menggeser layar ke atas dan membaca percakapan Sasuke dan adiknya. “Ck Naru, kau harus banyak menonton drama romantis. Wanita macam apa yang membalas pesan seperti ini, huh?”

Tapi kemudian Kurama meringis pada dirinya sendiri. Adiknya itu tidak pernah memiliki hubungan romansa dengan siapa pun dan dirinya juga melarang sang adik untuk dekat dengan pria sembarangan. Jadi tidak heran kalau akhirnya Naruto kaku dalam berkomunikasi dengan lawan jenis. Ah, itu salahnya juga, Kurama menghela napas.

Jujur saja Kurama tidak begitu menyukai Sasuke. Tapi jika Naruto menyukainya dan bahagia bersamanya, maka dia akan memberikan restunya.

“Onii-sama?” Naruto yang baru saja keluar dari kamar mandi merasa terkejut melihat sang kakak di kamarnya. “Ada apa?” tanyanya kemudian sembari berjalan menghampiri Kurama.

“Aku berniat membangunkanmu dan mengajakmu olah raga pagi, ternyata kau sudah bangun.” Kurama tersenyum lalu mengulurkan handphone pada adiknya.

Naruto melirik ke atas bantal lalu menatap handphone di depannya. Wanita itu menghela napas sembari menerima handphone dan menggeleng dengan ekspresi masam.

“Aku tidak sengaja melihat harena handphone-mu berbunyi dan aku merasa penasaran,” kata Kurama tanpa dosa. “Darimana dia tahu kau bertemu dengan Gaara?”

“Berita Internasional, mungkin,” jawab Naruto singkat.

“Ah, masuk akal.” Alih-alih keluar dari kamar, Kurama justru duduk di tepi tempat tidur, di sebelah Naruto. Dia penasaran dengan balasan yang diketik oleh adiknya.

Tidak.

Dan kening Kurama berkerut membacanya. “Kau hanya menjawab seperti itu?”

“Memang aku harus menjawab apa?” Naruto menoleh dan menatap kakaknya heran.

“Astaga Naru,” Kurama menepuk keningnya. Tiba-tiba dia merasa kasihan dengan Sasuke. Kurama sendiri pasti akan mengamuk kalau Sakura berani menjawab pesannya seperti itu.

“Apa yang salah?” Naruto kembali bertanya.

“Tidak ada, tidak ada yang salah.” Kurama meringis. “Apa kau selalu menjawab pesan seperti itu?” dia balik bertanya.

“Kenapa bertanya? Ku-nii pasti sudah membacanya sendiri.” Naruto beranjak menuju walk in closet untuk berganti pakaian.

Kurama menatap handphone yang kembali berdenting lalu membaca pesan balasan Sasuke.

Aku tenang.

“Pasangan macam apa mereka ini?” gerutu Kurama kemudian.

“Ku-nii, kau jadi mengajakku olah raga atau tidak?” Naruto sudah berkacak pinggang dengan setelan olah raganya karena melihat sang kakak kembali membuka handphone-nya.

“Eh, i-iya.”

***

Baru setengah jam Naruto jogging di taman istana bersama dengan Kurama dan dia langsung menyesali keputusannya. Tak jauh darinya, tampak Gaara berlari mengenakan jaket dan celana training berwarna merah marun.

“Kau mau menyapanya?” Kurama menoleh pada adiknya.

“Tidak, kalau bisa.”

Kurama tertawa dan itu cukup untuk membuat Gaara menoleh ke arah mereka. Pangeran Suna itu berbalik dan menghentikan larinya lalu mengangguk hormat pada Kurama dan Naruto. Cahaya matahari pagi yang baru saja terbit membuat rambut pirang Naruto tampak berkilauan.

“Kau suka olah raga juga Gaara-san.”

“Hanya sesekali di waktu luang, Kurama-san. Yang kudengar kaulah yang hobi olah raga dan bela diri.”

“Sama sepertimu, hanya untuk mengisi waktu luang dan menghabiskan waktu bersama adikku. Dia juga suka olah raga.” Kurama menoleh pada adiknya diikuti oleh Gaara.

“Silakan nikmati waktu Anda Sabaku-shinno, kakakku bisa menemani, permisi.” Naruto mengangguk hormat lalu melanjutkan joggingnya tanpa sang kakak.

Kurama memberi senyum tipis saat Gaara kemudian menoleh padanya. “Adikku tidak begitu suka mengobrol,” katanya memberi alasan.

“Hm, tidak masalah, aku juga seperti itu.” Gaara mencoba mengerti sikap Naruto. Keduanya kini memilih berjalan santai.

“Gaara-san, apa kau sudah memiliki kekasih?”

Pertanyaan Kurama membuat Gaara kembali menoleh. “Aku mencintai seseorang tapi belum saatnya untuk kami bersama. Kau sendiri bagaimana Kurama-san?”

“Aku memiliki kekasih tapi sama sepertimu, masih menunggu waktu yang tepat.”

Keduanya saling bertukar seringai.

“Kau tidak bertanya soal adikku?”

Gaara menggeleng. “Sudah jelas dia tidak suka padaku, untuk apa bertanya.”

Dan jawaban itu kembali membuat Kurama tertawa. “Kupikir kalian bisa jadi teman baik. Adikku itu terlalu menutup diri, senang kalau bisa melihatnya memiliki teman baru.”

“Kenapa tidak sering mengajaknya untuk kunjungan kenegaraan? Bukankah itu akan membuatnya lebih dikenal?”

Kurama tiba-tiba bergidik saat membayangkannya. “Tidak, tidak, aku juga tidak akan rela kalau Naru dekat dengan banyak pangeran atau putri dari negara lain.”

“Tapi kau tidak keberatan kalau dia berteman denganku?”

“Karena aku sudah mengenalmu dan keluarga Istana Suna.”

Gaara mengangguk tanda mengerti. “Dengan tampilannya, Namikaze-hime sudah pasti akan menarik banyak perhatian. Ditambah latar belakangnya sebagai putri dari dua kerajaan-,” dia menghela napas panjang, “-aku bisa membayangkan orang-orang seperti apa yang akan mengelilinginya.”

“Mereka hanya akan menawarkan hubungan palsu.” Kurama menimpali yang kembali ditanggapi anggukan Gaara.

Melihat matahari yang semakin cerah membuat Gaara menyadari waktu yang sudah berlalu. “Sebaiknya aku kembali. Kau bisa menemani Hime lagi. Terima kasih Kurama-san.”

Kurama mengangguk lalu mengucapkan salam dan menatap Gaara yang berjalan ke arah istana. Dia lalu kembali berlari dan mencari adiknya yang kini pasti tengah merajuk. Bukankah dia yang mengajaknya olah raga tadi?

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 16<<

>>Nami Cafe - Chapter 18<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments