Nami Cafe - Chapter 16

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================


“Jadi kau akan pergi?”

“Hm,” jawab Naruto sembari tersenyum meski Sasuke tidak bisa melihatnya. Keduanya sedang berbicara melalui telepon. Sasuke masih belum diijinkan untuk bertemu dan ini kedua kalinya bungsu Uchiha itu menghubungi Naruto untuk menanyakan kabarnya.

“Berapa lama?” tanyanya lagi.

“Sekitar dua minggu atau lebih, aku belum tahu.”

Suara tenang Naruto membuat Sasuke semakin merindukan wanita itu. “Jaga kesehatanmu selama di Mizu dan bolehkah aku tetap menghubungimu?” Keduanya masih belum membahas masalah hubungan mereka. Sasuke ingin memberi waktu untuk dirinya sendiri untuk berpikir lebih bijak. Lagipula masalah itu harus diselesaikan dengan berbicara secara langsung, bukan melalui telepon.

“Hm, terima kasih.” Naruto juga tidak bisa bicara banyak. Dia juga butuh waktu untuk berpikir.

“Setelah kau kembali, bisakah kita bertemu?”

“Sasuke, itu masih dua atau tiga minggu lagi. Dan kau jelas tahu kalau bukan aku yang berhak memutuskan itu.”

“Hm, aku tahu,” gumam Sasuke. “Aku akan menemui Hokage setelah kau kembali, kau keberatan?”

“Tidak,” jawab Naruto singkat.

“Sungguh?” Sasuke tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Kau berharap aku menjawab sebaliknya?”

“Tidak, maksudku … aku hanya terkejut.” Dalam hati Sasuke merasa begitu lega. “Terima kasih Naru.”

“Sayangnya, aku harus pergi sekarang. Aku akan matikan teleponnya sebelum Ku-nii datang.”

“Baiklah, sekali lagi terima kasih.”

Naruto tersenyum sembari menutup teleponnya. Dan seperti dugaannya, pintu kamarnya langsung diketuk.

“Kau sudah siap?” tanya Kurama saat pintu terbuka lalu melihat koper di dekat tempat tidur.

Naruto hanya mengangguk. Dia merapikan mantelnya lalu menghampiri sang kakak.

“Ayo,” katanya kemudian dengan wajah yang lebih cerah.

***

Kami akan merindukanmu.

Jaga kesehatan.

Naruto tersenyum saat pesan kakek dan neneknya kembali terngiang di telinganya. Keduanya tampak tidak rela Naruto pergi, tapi kakek dan neneknya yang lain juga merindukannya.

Saat ini Naruto sudah duduk di dalam jet pribadi milik Hashirama bersama Kurama. Zabuza tengah berbicara dengan pilot sebelum akhirnya pintu pesawat di tutup. Ada dua Anbu yang dikirim Hashirama untuk mengawal perjalanan mereka, Torune Aburame dan Muta Aburame.

“Onii-sama baik-baik saja?”

Kurama menoleh pada Naruto yang duduk di sebelahnya. “Hm, kenapa?” jawabnya sembari kembali membaca email dari tabletnya.

“Pucat dan kelihatan lelah.”

Kembali menoleh lalu tersenyum, Kurama mengacak poni adiknya. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir.”

“Baiklah, jangan sakit Ku-nii atau aku akan merasa bersalah.” Naruto memasang sabuk pengamannya saat pramugari memberi instruksi.

“Merasa bersalah?” tanya Kurama dengan kening berkerut.

Naruto menyeringai lalu memasang headset. Dia tidak menyukai sensasi lepas landas yang terkadang membuat telinganya berdenging sakit. Kurama pun tidak bisa menuntut jawaban dan duduk dengan tenang di kursinya. Baru setelah pesawat mengudara dengan stabil dan sang adik melepas headset-nya, Kurama kembali bertanya.

“Apa maksudmu?”

“Setiap malam Ku-nii menemaniku, tidur di sofa bahkan membaca dokumen hingga dini hari.”

“Kau tahu?” Kurama menghela napas karena merasa dibodohi oleh adiknya. Jujur saja, kepalanya sakit sekarang.

“Hm,” Naruto menyandarkan kepalanya lebih santai lalu mulai memejamkan mata. Dia tidak mau berdebat dengan kakaknya yang jelas terlihat sedang sakit. “Istirahatlah Ku-nii atau aku akan memaksamu dengan caraku,” ancamnya masih dengan mata yang tertutup.

Kurama mematikan tabletnya lalu memberikannya pada Zabuza. Dia pun ikut memejamkan mata dengan sebelumnya berpesan pada pengawal sekaligus asisten pribadinya.

“Bangunkan kami setelah sampai.”

“Baik Shinno-sama.”

***

Tiga jam perjalanan, satu setengah jam lebih cepat dibandingkan perjalanan dengan pesawat komersial. Setibanya dibandara, Kurama dan Naruto sudah dijemput oleh pengawal keamanan istana Kiri. Mereka melewati jalur khusus hingga tidak perlu menarik perhatian masyarakat umum. Sama halnya dengan di Konoha, identitas Naruto sebagai putri bungsu kerajaan juga tidak pernah diungkap ke publik.

Kurama yang merasakan sakit kepalanya semakin menjadi, kembali tertidur di dalam mobil. Naruto pun meminta Zabuza untuk meghubungi dokter istana. Dia cukup khawatir melihat wajah pucat kakaknya.

Naruto lega saat akhirnya mereka sampai di istana Kiri. Jiraiya dan Tsunade sudah menunggu kedatangan cucu mereka.

“Salam Ojii-sama, Obaa-sama.” Kurama dan Naruto memberi salam. “Oji-sama, Oba-sama.” Keduanya juga memberi salam pada Kakashi dan istrinya, Rin, paman juga bibi mereka.

Tsunade langsung memeluk erat Naruto. “Aku sangat merindukanmu.”

“Aku juga Obaa-sama,” jawab Naruto sembari tersenyum.

“Itu bohong Naru-chan, kau bahkan sudah lama tidak pulang.” Istri Mizukage itu menunjukkan wajah sedihnya.

“Maaf Obaa-sama.”

“Ma, ma, ma, keponakanku tersayang tidak rindu padaku, hm?” Kakashi tersenyum lebar saat Naruto tertawa lalu memeluknya.

“Aku juga merindukan Oji-sama dan Oba-sama.”

“Kalau begitu peluk aku juga.” Rin membentangkan tangannya untuk menyambut Naruto.

“Sudah, sudah, Naruto pasti lelah, sebaiknya kita masuk dulu. Sepertinya Kurama juga sedang tidak sehat.” Jiraiya menarik cucunya dari pelukan Rin lalu mengajaknya masuk ke dalam.

Kurama hanya menggeleng melihat kakek neneknya. Kakashi dan Rin tersenyum dan mengikuti ke dua orang tuanya memasuki istana. Mereka menanyakan kabar Kurama dan memintanya segera beristirahat di kamar.

“Aku baik-baik saja,” jawabnya pada sang paman. Kurama melihat adiknya yang kini tertawa bersama Jiraiya. Hatinya menghangat, cukup untuk meredakan sakit kepalanya yang sejak tadi mengganggu.

“Naru-chan tampak baik-baik saja. Kupikir dia akan sedih karena masalah kemarin.” Rin mengerutkan kening saat Kurama menatapanya dengan ekspresi terkejut. Mereka duduk berdampingan di ruang keluarga. “Ada apa?” tanyanya heran.

“Dari mana Oba-sama tahu?”

“Tentu saja nenekmu,” Kakashi yang menjawab pertanyaan Kurama.

“Obaa-sama?”

Rin tertawa. “Mito-sama tentunya tidak akan melewatkan cerita apapun tentang Naru-chan pada Okaa-sama.”

Mulut Kurama membulat dan dia mengerti.

“Apa benar Naru-chan juga jatuh cinta pada pria itu? Uchiha Sasuke?” tanya Kakashi kemudian.

“Jangan menyebut namanya Oji-sama. Aku masih kesal dengannya,” keluh Kurama sembari memijat tengkuknya yang kini ikut terasa berat. Membahas masalah Sasuke membuatnya kembali sakit kepala.

“Kenapa berbisik-bisik disana? Apa kalian membicarakanku?”

Kurama, Kakashi dan Rin langsung menoleh ke arah Naruto yang masih duduk di antara kakek dan neneknya.

“Tidak, kakakmu hanya sedang mengeluh soal sakit kepalanya.” Kakashi tersenyum dan perkataannya memang tidak bohong.

Kurama hampir memutar mata karena jawaban pamannya. “Aku ke kamar lebih dulu.” Diapun beranjak, memberi hormat pada semuanya lalu meninggalkan ruang keluarga.

“Haruno Sensei sedang dalam perjalanan, kau tidak usah khawatir,” kata Tsunade saat melihat ekspresi Naruto.

“Iya, Obaa-sama.”

“Ayo ke kamarmu, kau juga harus istirahat.”

Naruto pun hanya bisa menurut dan pergi ke kamarnya bersama sang nenek setelah memberi hormat pada kakek juga paman dan bibinya.

***

“Kapan kita akan bergerak? Aku sudah bosan menunggu!” Seorang pria bertopeng terdengar kesal saat berbicara dengan tamunya yang tampak santai duduk di depannya. Lampu ruangan yang remang-remang membuat suasana tampak semakin tidak nyaman.

“Sabar sebentar lagi, Hime sedang berada di Mizu.”

“Ck, kenapa harus menunggunya? Tujuan kita untuk membunuh Hokage,” katanya kesal.

“Memang, tapi aku juga ingin putri bungsu itu mati.”

“Dan kapan dia kembali ke Konoha?” Pria bertopeng kembali bertanya dengan tidak sabar.

“Entahlah, kabar yang kudengar sekitar dua atau tiga minggu.” Sosok tamu itu mengendikkan bahu dengan ekspresi tidak peduli.

“Jadi kita bergerak setelah dia kembali?”

Sebuah anggukan menjadi jawaban dan membuat pria bertopeng mengumpat dengan kesal.

“Sudah kukatakan kau harus bersabar. Tidak ada gunanya terburu-buru. Ingat kesalahanmu kemarin? Gara-gara kau membuat ulah, penjagaan di semua tempat di istana semakin diperketat.”

Pria bertopeng itu akhirnya diam.

Sosok tamu itu tahu kalau partner kerjanya kesal dan akhirnya beranjak dari kursi. “Aku pergi sekarang. Pasokan senjata akan datang malam nanti. Ingat untuk menjaganya baik-baik dan jangan membuat ulah sampai Hime kembali.”

“Hm, aku mengerti,” jawab pria bertopeng dengan nada tidak bersahabat.

“Aku ingin Hime mati lebih dulu untuk melemahkan mental Hokage dan Mizukage. Setelah itu kita akan menyerang istana dengan cara yang lebih elegan dibanding caramu sepuluh tahun lalu. Kau mengerti Hidan?”

Pria bertopeng yang dipanggil dengan nama Hidan itu hanya terdiam dan menatap kepergian tamunya dengan perasaan kesal. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Kendali penuh dipegang oleh partner kerjanya dan dia hanya bisa bersabar untuk menunggu kesempatan membalas dendam atas kematian saudaranya, Kakuzu, saat kudeta istana sepuluh tahun lalu.

***

Terbangun dengan suasana kamar yang berbeda sempat membuat Naruto bingung. Wanita itu mengerjapkan mata dan baru ingat kalau tengah berada di kamarnya yang lain, di istana Kiri. Kamarnya identik dengan warna biru sebagai lambang Negara Mizu yang wilayahnya dikelilingi oleh lautan.

Naruto bangun dan melihat jam dinding yang menunjukkan pukul lima pagi. Dia turun dari tempat tidur lalu berjalan ke arah jendela, membukanya dan membiarkan udara pagi yang dingin memasuki kamar. Kesukaannya saat berada di Istana Kiri adalah melihat terbitnya matahari pagi. Dia pun berdiri di balkon dan menunggu fajar.

“Ternyata kebiasaanmu belum berubah.”

Naruto menoleh dan terkejut melihat sang nenek sudah berdiri di ambang pintu kamar.

“Aku mengetuk lama tapi tak ada jawaban sama sekali.” Tsunade menjelaskan sembari berjalan ke balkon. “Kau sedang melamun, hm?” tanyanya begitu sudah berdiri di sebelah sang cucu, tangannya terulur untuk merapikan jubah luar Naruto.

“Maaf aku tidak mendengar Obaa-sama.”

“Tidak apa-apa. Tidurmu nyenyak Naru-chan?” Kini keduanya kembali menatap ke arah taman istana.

“Ya Obaa-sama.”

“Dulu ayahmu juga suka sekali melihat matahari terbit di balkon kamarnya.” Tsunade memiringkan kepala menatap cucunya. “Kau dan Minato punya banyak kesamaan, baik fisik maupun kebiasaan.”

Naruto hanya bisa tersenyum mendengarnya. Sejak menginjakkan kaki di Kiri, Naruto sudah merasakan kerinduan yang dalam pada kedua orang tuanya. Masa kecil Naruto banyak dihabiskan di Kiri karena ayahnya adalah seorang putra mahkota. Tidak disangka jika keinginannya untuk merayakan ulang tahun di Konoho justru menjadi malapetaka untuk keluarganya. Dalam hati, dia masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri.

“Otou-sama juga suka membawaku ke laut dan melihat matahari terbenam.”

Tsunade tersenyum. “Aku rindu roti dan kopi buatannya.”

Tangan Naruto mengerat pada pagar balkon. “Aku juga.”

Tsunade menarik Naruto agar bersandar di bahunya. Keduanya menyaksikan matahari terbit dalam diam. Menikmati ketenangan pagi dan kemilaunya sinar mentari yang baru saja keluar dari peraduannya.

“Baiklah, sebaiknya aku kembali ke kamar sebelum kakekmu mencariku. Kau juga bersiaplah, kita akan sarapan bersama.”

“Baik, Obaa-sama.”

Tsunade pun mencium kening Naruto dan kembali ke kamarnya.

***

“Jangan menatapku seperti itu.” Kurama tampak kesal saat sang adik mengulurkan cawan berisi obat juga segelas air putih. Di belakangnya Tsunade dan Jiraiya hanya tersenyum melihat cucu sulungnya meminum obat dengan wajah masam.

“Dokter memintamu istirahat hari ini, jadi tidak usah memaksakan diri.”

“Ojii-sama, masih banyak laporan yang belum aku selesaikan. Aku akan mati bosan jika berada di dalam kamar. Ini hanya demam dan flu biasa.”

Tentu saja Naruto langsung menaikkan alis saat mendengar keluhan sang kakak. “Ah, aku lupa kalau beberapa waktu lalu ada yang mengurungku di kamar dengan alasan sakit.”

Jiraiya dan Tsunade tertawa. Mereka tidak heran dengan sikap over protective Kurama pada adiknya.

“Itu tidak sama Imouto. Demammu empat puluh derajat, tekanan darahmu rendah dan hemoglobinmu bahkan di bawah normal. Bagaimana mungkin aku mengijinkanmu berkeliaran di istana dengan kondisi seperti itu?”

“Ha-ha-ha,” Naruto mengeja tawanya dengan nada sarkartis. Membuat Kurama gemas dan mencubit pipinya. “Itu sakit Ku-nii.”

“Kembalilah ke kamarmu, aku tidak mau kau tertular flu.”

Naruto baru akan protes saat kemudian mendengar ucapan neneknya.

“Kurama benar, sebaiknya kita keluar. Biarkan kakakmu beristirahat Naru-chan.”

“Baiklah, aku keluar. Istirahatlah Ku-nii.” Naruto mencium pipi kakaknya yang langsung mendapat pelototan tajam. Tapi tak urung Kurama mengacak poni sang adik dengan sayang. Mereka pun meninggalkan kamar.

“Apa rencanamu hari ini, Sayang?” Tsunade bertanya saat mereka berjalan di koridor. Dua pelayan dan dua pengawal mengikuti mereka di belakang.

“Aku belum tahu Obaa-sama. Apa ada yang bisa kulakukan?”

“Kau bisa menghabiskan waktu bersama Rin hari ini. Dia sedang sibuk dengan proyek rumah kaca di dekat taman kota. Bagaimana?”

Mendengar ide sang nenek membuat mata Naruto berbinar. “Aku mau, kelihatannya menyenangkan.”

“Kalau begitu aku akan siapkan pengawal tambahan. Ingat untuk jangan jauh dari Rin dan pengawalmu selama berada di luar istana,” pesan Jiraiya pada cucunya.

“Baik Ojii-sama.” Dan Naruto merasa bersemangat untuk menghabiskan harinya dengan kegiatan di luar istana.

***

Proyek rumah kaca yang dikerjakan oleh Rin berada di pusat kota Kiri. Disana dikembangkan beragam bunga dan tanaman untuk penelitian juga pengembangan obat. Negara Mizu selain terkenal dengan wilayah perairannya yang luas, pemandangan cantik, dan suhu tropisnya, juga terkenal dengan kemajuan teknologi kesehatannya. Beragam obat di produksi dan menjadi komoditas ekspor nomor dua terbesar setelah buah-buahan.

Naruto diajak berkeliling rumah kaca. Bertemu dengan beberapa ilmuan dan peneliti yang bertanggung jawab atas semua proses pengembangan di sana. Tentunya hanya orang-orang tertentu yang diperkenalkan pada Naruto.

Rin tengah bicara dengan Kepala Peneliti, Orochimaru, saat membiarkan Naruto melihat-lihat koleksi tanaman di salah satu rumah kaca.

“Rin-sama, Naru-hime semakin mirip dengan Shinno-sama.” Orochimaru adalah salah satu sahabat Tsunade dan Jiraiya. Dia mengenal Minato sejak kecil dan ikut berduka dengan tragedi yang menimpanya.

“Benar Sensei. Naru-chan memang mirip dengan Minato Onii-sama. Hanya sekarang dia lebih pendiam.”

“Tragedi itu pasti mengguncangnya, tapi melihat dia tumbuh dengan baik cukup membuatku lega.”

Rin tersenyum lalu menoleh pada keponakannya yang masih asik melihat-lihat. Dia pun kembali membahas masalah pekerjaan dengan Orochimaru dan memintanya untuk mengirimkan laporan ke istana.

Merasa sudah meninggalkan Naruto terlalu lama, Rin pun segera mencari keponakannya begitu pekerjaannya selesai.

“Dimana Hime?” tanyanya pada salah satu pengawal yang berdiri di depan rumah kaca.

“Hime masih di dalam Rin-sama.”

Rin pun masuk ke dalam rumah kaca. Dan mendapati keponakannya tengah termenung di depan deretan bunga Lavender. “Naru-chan? Naru-chan?”

Naruto tersentak. “Ah, maaf Oba-sama.”

“Kau melamum?” Rin tersenyum lalu menatap pada pot bunga Lavender.

“Hm, hanya sedang memikirkan sesuatu.” Naruto pun tersenyum pada bibinya. “Apa Oba-sama sudah selesai?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian Rin.

“Sudah, ayo kita kembali ke istana.” Dengan lembut Rin mengalungkan tangannya pada lengan Naruto. Sesaat dia kembali melirik ke arah pot bunga tapi kemudian tersenyum pada sang keponakan dan segera mengajaknya keluar.

Naruto hanya menurut saat Rin menarik tangannya. Dia juga sudah merasa lapar. Keduanya tidak banyak bicara sampai kemudian duduk di dalam mobil.

“Naru-chan, boleh aku bertanya?” tanya Rin begitu mobil melaju meninggalkan Kawasan rumah kaca.

“Ada apa Oba-sama?” Naruto menoleh pada sang bibi yang tersenyum padanya.

“Apa kau sedang merindukan seseorang?”

“Rindu?” Naruto balik bertanya dengan kening berkerut.

Rin mengangguk dengan senyum yang makin lebar. “Saat melihat bunga Lavender tadi, kau seperti sedang merindukan seseorang.”

Tentu saja Naruto terkejut mendengarnya. “Apa terlihat seperti itu?”

Rin mengangguk.

“Ng, tidak, tidak seperti itu.” Naruto memalingkan wajahnya yang menghangat. “Aku hanya teringat seseorang yang pernah membeli bunga seperti itu. Bukan merindukannya.”

“Oh, begitu rupanya.” Rin kembali tersenyum lalu menggenggam tangan Naruto di atas pangkuannya hingga membuat wanita itu kembali menoleh padanya. “Kau tahu Naru-chan, kau bisa bercerita apapun padaku. Mungkin kau malu jika Okaa-sama atau Mito-sama tahu, tapi aku bisa mendengar semuanya tanpa kau harus merasa malu, hm?”

Naruto menatap sang bibi dalam diam. Di dalam kepalanya berputar banyak persoalan. Ah, bukankah bibinya bukan berasal dari kalangan bangsawan? Rin dulu adalah seorang guru TK yang kedua orang tuanya sudah meninggal. Pamannya jatuh cinta saat melihat Rin menolong seorang anak yang mengalami kecelakaan di tepi jalan.

“Hei, kenapa melamun lagi? Tidak apa-apa jika kau belum mau bercerita.” Rin kembali mengulas senyum pada keponakannya.

“Ng, Oba-sama-,” panggilnya ragu.

“Ya?”

“Apakah Oba-sama merasa berat tinggal di istana dan menjadi menantu Mizukage?”

Pertanyaan Naruto membuat Rin mengerutkan kening. “Ah, aku mengerti. Apa ini tentang Uchiha Sasuke?”

Melihat wajah antusias bibinya justru membuat Naruto malu, tapi dia tetap mengangguk sebagai jawaban. “Oba-sama pasti tahu mengenai masalah kemarin.”

Rin tertawa canggung. “Ya, Okaa-sama menceritakannya padaku. Tapi tenang saja, aku tidak akan mengatakan apapun pada Okaa-sama masalah ini, oke?”

Sekali lagi Naruto mengangguk.

Rin menyandarkan tubuhnya lebih santai ke kursi mobil. Dia masih menggenggam tangan Naruto. “Kau tahu Sayang, tinggal di istana memang bukan hal yang mudah. Apalagi untukku yang bukan dari kalangan bangsawan. Aku harus beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Tapi-,” dia menoleh pada Naruto yang tampak serius mendengarkannya, “Menikah dengan pamanmu adalah anugrah terbesar dalam hidupku. Sekeras apapun aturan dan etiket istana, itu masih tidak sebanding dengan kebahagiaan yang kurasakan bersama Pamanmu.”

Sesaat Naruto tertunduk diam. “Sejauh ini, apa Oba-sama pernah berpikir untuk menyerah?” tanyanya kemudian dan Rin menggeleng dengan cepat.

“Aku sama sekali tidak pernah memikirkan hal itu. Pamanmu selalu bersamaku, hingga aku tidak pernah merasa berat untuk melakukan segalanya. Terlebih Okaa-sama juga Otou-sama menerimaku dengan baik. Di istana, siapa yang berani tidak hormat padaku?”

Ah, benar juga, hati Naruto membenarkan. Keluarganya bukanlah orang yang picik. Mizukage, Hokage, keduanya adalah pemimpin yang luar biasa bagi Naruto.

“Ng, apa Hokage tidak menyetujui hubungan kalian?” Rin bertanya dengan hati-hati.

“Tidak bukan begitu. Ojii-sama bahkan mendoakan aku bahagia dengan pilihanku-.”

“Jadi kau sudah menentukan pilihan? Uchiha Sasuke?” Rin menyela dengan ekspresi terkejut. Terakhir yang dia dengar dari ibunya adalah Sasuke mendapat hukuman karena berlaku tidak sopan pada Naruto.

“Ah, itu-,” Naruto tergagap. “-bukan itu masalahnya,” katanya kemudian.

“Maaf, maaf, aku terlalu terkejut sampai menyela ceritamu. Sekarang katakan, apa masalahnya setelah ternyata kau sudah menentukan pilihan.” Rin tersenyum dengan wajah cerah dan meminta sang keponakan untuk melanjutkan ceritanya.

“Ojii-sama hanya ingin Sasuke mengerti kehidupanku.” Helaan napas membuat Naruto menjeda ceritanya. “Maksudku, meski Sasuke berasal dari keluarga bangsawan, tapi dia tidak seperti kedua kakaknya. Sejak kecil dia hidup dengan bebas, berada jauh dari lingkungan bangswan. Dia hidup dengan cara yang berbeda. Dan sekarang tiba-tiba dia jatuh cinta padaku yang adalah seorang putri kerajaan. Wanita yang hidup dengan seribu aturan dan etiket yang mengikat.” Naruto mengakhiri ceritanya dengan menghela napas lagi.

Sejenak Rin tampak berpikir sebelum melemparkan pertanyaan pada keponakannya. “Jadi kau merasa kalau Sasuke tidak akan sanggup hidup denganmu?”

Naruto menggeleng. “Aku tidak mau menjadi beban hidupnya.”

“Menjadi beban?” Rin terkejut dengan pemikiran Naruto. “Apa maksudmu menjadi beban, Sayang?”

“Aku tidak mau dia tersiksa hidup bersamaku dengan seribu aturan yang mengikat.”

Seketika Rin serasa mendapat pencerahan di dalam kepalanya. “Sekarang aku mengerti kenapa Hokage sampai marah dan melarang Uchiha Sasuke bertemu denganmu.”

“Ojii-sama marah karena menurutnya Sasuke membuatku berada dalam dilema,” kata Naruto lirih.

“Dan itu memang benar!” Suara Rin meninggi. “Uchiha Sasuke juga harus mengerti posisimu. Kau adalah seorang Hime, jika dia memang benar mencintaimu maka dia akan menghargaimu sebagaimana mestinya. Jika dia memang ingin bersamamu maka dia juga harus belajar bagaimana hidup denganmu, dengan segala aturan dan etiket yang mengelilingmu.”

“Tapi aku menyukainya justru karena kebebasannya. Karena dia tidak memperlakukanku istimewa sebagai seorang Hime. Dia mencintaiku apa adanya sebagai seorang wanita biasa.”

Oh, keponakannya yang lucu ternyata sedang dimabuk cinta, kata Rin dalam hati. Dia mulai mengerti pemikiran Naruto. “Sayangnya seorang Namikaze Naruto bukanlah wanita biasa,” katanya kemudian dengan suara lembut.

“Oba-sama-,” Naruto tak tahu harus berkata apa lagi.

“Itu kenyataannya Naru-chan. Kau tidak akan pernah bisa menjadi wanita biasa. Kau adalah cucu dari Hokage dan Mizukage. Sasuke bisa mencintaimu dengan segala kebebasannya, tapi jika dia mau menjadi pendampingmu, maka Sasuke harus bisa merubah cara hidupnya.” Rin terdiam melihat Naruto menunduk. “Apa Hokage juga mengatakan hal yang sama padamu?”

Naruto mengangguk sebagai jawaban.

“Meski nanti saat kau menikah dengannya, kau akan menjadi Nyonya Uchiha, tapi statusmu tetap tidak akan pernah berubah. Bibimu Sara, menikahi seorang Jenderal, apa lantas status Hime-nya terabaikan?”

Naruto menggeleng.

“Shimura-san sebagai suaminya juga tetap menghargainya. Dia mematuhi semua aturan istana.” Melihat wajah Naruto yang sendu membuat Rin menarik keponakannya itu dalam pelukan hangat. “Ini bukan tentang status siapa yang lebih tinggi, tapi lebih ke bagaimana kalian bisa menjalani kehidupan bersama kedepannya. Sasuke tidak akan bisa bersamamu jika dia tidak merubah cara hidupnya dan kau hanya akan terbeban dengan posisimu karena itu.”

“Ini pertama kali aku merasa ingin bersama dengan seseorang.” Akhirnya Naruto jujur dengan perasaannya. Wajahnya bersandar di dada sang bibi.

“Aku mengerti,” jawab Rin sembari mengusap punggung Naruto dengan lembut. “Dan aku percaya satu hal Naru-chan, jika Uchiha Sasuke memang mencintaimu maka hal ini bukanlah masalah untuknya. Mungkin dia butuh waktu beradaptasi dengan cara hidup baru, tapi semua itu tidaklah seburuk bayanganmu.”

“Begitukah?” lirih Naruto.

Rin mendorong bahu Naruto agar lebih tegak, meminta keponakannya itu menatapnya. “Kau lihat aku? Aku bahkan bukan bangsawan, tapi aku sama sekali tidak tersiksa tinggal di istana,” katanya dengan penuh keyakinan. “Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Setelah kau pulang dari Kiri, kau pasti akan melihat perubahan sikapnya. Dan tolong jangan merasa terbeban karenanya. Dia tidak tersiksa karena itu, dia melakukannya untukmu, karena dia mencintaimu.”

“Benarkah?”

“Tentu saja,” Rin tertawa melihat Naruto dan wajah bingungnya. “Astaga, aku tidak menyangka bisa melihatmu seperti ini, keponakan tersayangku akhirnya jatuh cinta.”

“Oba-sama~, jangan menggodaku.” Naruto memalingkan wajahnya yang menghangat dan membuat Rin kembali tertawa lalu kembali memeluknya.

“Aku bahagia untukmu, Sayang.”

Dan Naruto merasakan hatinya lebih ringan. Senyum akhirnya merekah di bibir merah mudanya.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 15<<

>>Nami Cafe - Chapter 17<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments