Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
Fugaku dan Sasuke tiba lima belas menit lebih awal di
istana. Seorang Anbu mengantar keduanya ke ruang kerja Hokage, dimana Hashirama
sudah menunggu. Fugaku duduk berdampingan dengan Sasuke di sofa, dihadapan
Hokage.
“Apa kau tahu kenapa aku memanggilmu Fugaku-san?” Suara
tenang dan dalam milik Hashirama membuat suasana di dalam ruangan terasa tidak
nyaman.
Fugaku mengangguk. “Saya tahu tidak layak meminta maaf
untuk kesalahan Sasuke.”
“Dan kau, Uchiha Sasuke, apa kau tahu kesalahanmu?”
Suara Hashirama semakin berat.
“Saya tahu Hokage,” jawab Sasuke dengan tenang.
Sepertinya dia sama sekali tidak terintimidasi dengan aura kelam Hokage.
“Apa kau melakukannya dengan sengaja?” Hashirama
kembali bertanya.
“Tidak,” jawab Sasuke cepat. Pria itu menatap Hokage
tanpa keraguan di matanya. “Saya hanya berpikir kalau Hime-sama akan senang
jika saya membawakan bunga favoritnya. Sama sekali tidak berpikir kalau
ternyata memberi bunga adalah hal yang terlarang bagi keluarga kerajaan.”
“Kau sadar dengan apa yang kaukatakan, Sasuke? Kau
pikir siapa Naruto? Kalau kau, yang bahkan belum memiliki ikatan dengannya
berani merayunya dengan bunga, kau anggap apa aku ini? Apa kau samakan cucuku
dengan wanita di luar sana? Yang akan luluh dengan bunga dan hadiah?”
Sasuke terdiam. Dia sedang memikirkan jawaban terbaik.
Bungsu Uchiha itu sama sekali tidak menyangka kalau memberikan bunga pada
Naruto akan menjadi masalah besar.
“Hokage-sama, Sasuke belum mengerti tentang peraturan
di Istana, jadi-,”
“Bukankah itu menjadi tugasmu untuk mengajarinya?”
sela Hashirama. “Sebelum mendekati cucuku, kenapa dia tidak berpikir lebih dulu
tentang etiketnya? Tentang batasannya? Juga tentang bagaimana dia seharusnya
memperlakukan cucuku dengan hormat.”
“Hokage-sama, maafkan saya, tapi bisakah ini menjadi
kesalahan pribadi saya?”
“Sasuke-,”
“Otou-sama, ini adalah tanggung jawabku. Tidak
seharusnya aku melibatkan Otou-sama dalam kecerobohanku.”
Hashirama mengamati pria muda di depannya. Sasuke
jelas tidak takut padanya. Dia bahkan berani mengambil tanggung jawabnya dan
tidak berlindung di balik nama keluarganya. Sejak pertama bertemu di pesta,
Hashirama sudah merasakan keberanian Sasuke.
“Fugaku-san, kau keluarlah. Aku ingin bicara empat
mata dengan putramu.”
Fugaku tampak terkejut tapi tidak bisa menolak. Dia
pun memberi hormat pada Hokage lalu meninggalkan ruangan dengan sebelumnya
menepuk bahu Sasuke. Dia berharap putranya baik-baik saja.
“Jadi, bagaimana kau akan mempertanggung jawabkan
kecerobohanmu itu Uchiha Sasuke?”
“Hokage-sama, sebelumnya bolehkah saya menjelaskan
sesuatu?” Sekarang Sasuke merasa lebih leluasa bicara.
“Hm,” gumam Hashirama sebagai jawaban.
“Pertama kali saya bertemu Hime-sama, dia mengenalkan
diri dengan nama Nami, pemilik Nami Café.”
“Kapan pertama kali kau bertemu dengannya?” Hashirama
cukup terkejut mendengarnya.
“Beberapa minggu lalu, saat badai besar di kota.”
Kening Hashirama berkerut, tampak memikirkan sesuatu.
Dia kemudian ingat hari peringatan kematian Kushina, hujan badai yang membuat
Naruto sakit.
“Setelah itu saya kembali menemuinya di café untuk
mengucapkan terima kasih.” Sasuke melanjutkan ceritanya. Dia masih ingat
larangan Naruto untuk tidak menceritakan perihal dirinya yang menginap di café.
“Secara tidak sengaja, kami juga kembali bertemu di toko bunga. Yang saya tahu
sampai saat itu, Nami adalah wanita yang sudah menolong saya dan saya jatuh cinta
padanya sejak pertama bertemu.”
“Jadi, pertemuan di istana bukanlah yang pertama?”
Sasuke menggeleng. Mengingat pertemuan pertama mereka
di istana membuatnya tersenyum tipis. “Saat bertemu di istana, Hime tahu kalau
saya sempat merasa kecewa dengan statusmya. Saya tidak berharap banyak, Hime
bahkan masih berpikir saat saya menyatakan ingin menjadi temannya.”
Dengan berani Sasuke kembali menatap Hashirama.
“Sayangnya setelah pertemuan itu, saya justru semakin tidak bisa melupakan
Hime. Saya terus memikirkannya. Saya juga sempat merasa tidak layak untuknya. Hingga
pada saat malam ulang tahun, saya menyadari bahwa saya benar-benar
mencintainya. Dan saya juga ingin dia mencintai saya apa adanya. Saya mencintai
seorang wanita bernama Namikaze Naruto dan saya ingin dia mencintai saya
sebagai Uchiha Sasuke. Bukan karena status kami. Saya ingin membuatnya bahagia
berada di dalam dunia saya.”
“Karena itu kau mengabaikan semua etika? Mengabaikan
kehormatannya dengan merayunya sembarangan?”
“Hime menyukainya,” Sasuke menjawab tanpa ragu. “Dia
suka jika saya tidak memperlakukannya sebagai seorang putri kerajaan. Dia suka
bercerita panjang tanpa mendengar panggilan Hime untuknya. Apa salah jika saya
hanya ingin membahagiakannya?”
Kali ini Hashirama yang terdiam. Dia mencoba mencerna
semua ucapan Sasuke. Pria muda itu memang tidak salah. Hashirama juga tahu
kalau cucunya tidak nyaman berada di istana. Oleh karena itu dia melarang semua
publisitas tentang Naruto. Hanya agar sang cucu tidak merasa terbebani dengan
statusnya.
“Kau begitu yakin dengan perasaanmu. Kau juga yakin
bahwa caramu mencintainya adalah hal yang benar dan sanggup membuatnya bahagia.
Tapi apa Naruto juga merasakan hal yang sama? Apa dia tidak akan terbeban
dengan cara hidupmu yang bebas dan mengabaikan statusnya begitu saja? Apa kau
pernah memikirkan hal itu?”
Mendengar perkataan Hokage membuat Sasuke merasa
sesuatu meremas hatinya. Dia pun mengangguk. “Naru-hime mengatakan kalau dia hanya
akan membuat hidup saya menjadi rumit. Dan saya mengerti maksudnya.”
“Dan kau tidak membuatnya lebih mudah? Kau semakin
menunjukkan keberanianmu dengan melanggar etika istana? Apa kau tahu kalau pada
akhirnya itu hanya akan membuatnya bingung memilih antara kau atau keluarganya?
Kau sadar itu Uchiha Sasuke!”
“Saya ….” lidah Sasuke terasa kelu.
Hashirama menghela napas untuk meredakan emosinya. Dia
beranjak lalu berjalan ke arah jendela, menatap keluar dimana taman istana
tampak indah di bawah cerahnya sinar matahari. Hashirama merasa harus
mengalihkan pikirannya. “Sasuke,” panggilnya dengan suara yang lebih tenang.
“Kemarahanku bukan hanya karena kau melanggar etika.
Tapi lebih karena kau tidak memikirkan perasaan Naruto. Kau berusaha
menunjukkan duniamu dan bagaimana caramu hidup tapi kau tidak mau masuk ke
dalam dunianya dan tidak tahu bagaimana cara dia hidup. Pada akhirnya, semua
itu hanya akan membuat Naruto berada dalam dilema.”
Suasana di kantor Hokage menjadi semakin berat bagi
Sasuke. Perkataan Hokage seolah memukul kepalanya dan meletakkan pikirannya di
tempat yang benar. Ternyata dirinya begitu egois? “Maafkan saya Hokage-sama.” Bungsu
Uchiha itu menundukkan kepala dengan mata terpejam.
“Apa kau benar-benar mencintainya?”
Pertanyaan Hokage membuat Sasuke kembali mengangkat
kepalanya. “Ya, Hokage-sama.”
“Kalau begitu perbaiki sikapmu dan tunjukkan padaku
kalau kau memang layak dan bisa membuatnya bahagia.”
Menarik napas dalam, Sasuke bangkit lalu membungkuk
dalam pada Hashirama. “Baik Hokage-sama. Saya akan memperbaiki semuanya.”
“Hm.” Hashirama kembali berbalik menatap ke luar
jendela. “Pergilah dan jangan temui Naruto sampai aku mengijinkannya.”
Sasuke cukup terkejut dengan keputusan Hokage tapi
tentu saja dia tidak bisa membantah. Dengan berat hati dia pun undur diri.
“Baik, saya permisi Hokage-sama.”
Hashirama tak menjawab lagi dan membiarkan bungsu
Uchiha itu meninggalkan ruang kerjanya. Dia menatap ke arah langit biru dengan
perasaan bersalah di dalam hati. “Minato, Kushina,” gumamnya dengan sudut mata
yang basah.
***
Plak!!
Mikoto menahan pekikannya dengan telapak tangan. Sudut
matanya basah dan hatinya terluka melihat putra bungsunya mendapat hukuman. Di
ruang keluarga kediaman Uchiha, Madara yang baru saja datang menampar Sasuke di
depan seluruh keluarganya. Fugaku juga tidak bisa berbuat banyak, mengingat
sang putra memang sudah melakukan kesalahan.
“Aku kecewa padamu!” Madara sama sekali tidak menahan
amarahnya.
“Maaf, Ojii-sama.” Sasuke menunduk dengan kedua tangan
terkepal di sisi tubuhnya.
“Kau pikir masalah ini akan selesai dengan kata maaf?”
Madara menahan tangan di belakang punggungnya agar tidak kembali melayang ke
wajah cucunya. “Kau sudah kuberitahu betapa aku menyayangi Naru-hime dan kau
justru memperlakukannya seperti itu?”
Hati Sasuke kembali merasa diremas. Sejak pulang dari
istana siang tadi, Sasuke tidak berhenti untuk merutuki kebodohan dan
keegoisannya. Tanpa sadar dia menempatkan Naruto dalam posisi sulit.
Madara berbalik lalu menatap seluruh keluarganya.
Fugaku berdiri memeluk istrinya yang kini menangis. Sementara Shisui dan Itachi
berdiri berdampingan dan menatap sang kakek dengan tatapan bersalah.
“Ojii-sama, ini tanggung jawabku. Jangan salahkan
siapapun.” Sasuke segera mencegah sang kakek yang tampak siap meluapkan
kemarahan pada keluarganya.
Madara mendengkus sembari kembali menatap cucu bungsunya.
“Kau masih berani bicara soal tanggung jawab,” ucapnya dengan nada dingin.
“Mungkin memang benar kalau tidak ada satu pun dari cucuku yang pantas
bersanding dengan Hime-sama. Aku menyesal mengenalkanmu padanya.”
Kalimat itu kembali meremas hati Sasuke. Dia hanya
bisa menunduk dalam diam saat kemudian kakeknya pergi bahkan tanpa mengucapkan
sepatah katapun pada keluarganya.
***
Naruto duduk di balkon kamarnya. Memandang langit
malam penuh bintang dan mengabaikan hembusan angin malam yang dingin. Pikirannya
melayang. Dia tidak tahu bagaimana keadaan Sasuke sekarang dan apa yang
dibicarakan sang kakek padanya. Naruto juga belum menghubunginya, dia butuh
waktu. Kemarahan Hashirama sudah cukup untuk membuatnya kembali pada realita.
Siapa dirinya, statusnya.
Sementara itu di luar pintu kamar Hashirama mengetuk.
Tidak ada jawaban dari sang cucu membuatnya perlahan membuka pintu. Matanya
langsung terpaku pada sosok Naruto yang tampak termenung di balkon kamar.
Keningnya berkerut saat melihat cucunya hanya mengenakan piyama tidur tanpa
jubah luar, padahal angin malam musim gugur terasa dingin.
Hashirama meraih mantel yang tergantung di sudut
kamar. Perlahan menghampiri Naruto yang bahkan masih belum menyadari
kehadirannya.
“Kau bisa sakit jika diluar terlalu lama,” ucapnya
sembari menyampirkan mantel ke bahu Naruto.
“Ojii-sama?” Naruto terkejut. “Ada apa?” tanyanya
kemudian yang berniat untuk berdiri tapi Hashirama menahan bahunya.
Hokage berlutut di depan Naruto lalu memeluknya.
“Maafkan aku, kau tahu kalau aku menyayangimu bukan?”
Naruto mengangguk dalam pelukan kakeknya. Perasaanya
menghangat saat Hashirama kemudian mencium puncak kepalanya.
“Aku sudah bicara padanya.” Hashirama merasakan tubuh
Naruto menegang dalam pelukannya. “Tenang saja, aku tidak menghukumnya. Hanya
melarangnya bertemu denganmu.”
Naruto menarik diri dari pelukan kakeknya. “Kenapa?”
matanya yang memerah menatap Hashirama.
Masih berlutut di depan cucunya, Hashirama mengusap
lembut wajah Naruto. “Dia harus belajar. Dia harus mengerti bagaimana cara
mencintaimu dengan benar.”
Melihat Naruto menatapnya dalam diam membuat Hashirama
bertanya. “Kau mengerti apa maksudku?”
Cucu bungsunya itu mengangguk.
Hashirama menghela napas panjang. Kali ini menggenggam
tangan Naruto di atas pangkuannya. “Aku tidak akan melarang hubungan kalian
jika kau memang mencintainya. Tapi Sasuke harus bisa memahami bagaimana dirimu.
Ini bukan tentang dia yang berani mencintaimu dengan caranya, tapi ini tentang
bagaimana dia harus memahami dirimu.”
“Aku mengerti Ojii-sama,” jawab Naruto kemudian.
“Bagaimana pun juga kau adalah cucuku. Jiraiya dan
Tsunade juga pastinya tidak ingin kau memiliki pasangan yang bahkan tidak
mengerti posisimu. Statusmu tidak bisa dirubah oleh apapun. Sekali pun menikah
dengannya, kau tetaplah bagian dari istana Uzushio dan Kiri. Sasuke tidak bisa
memisahkanmu dengan semua ini.”
Naruto mengangguk.
“Maka dari itu dia harus belajar. Dia bisa mencintaimu
dengan caranya tapi dia juga harus tahu bagaimana menempatkan dirinya dan
menyadari bagaimana posisimu. Aku tidak mau kau berada dalam dilema yang
mengharuskanmu memilih antara cara hidupnya atau cara hidupmu. Bukankah ini
juga yang menjadi ketakutanmu?”
Sekali lagi Naruto mengangguk.
“Setelah Sasuke menyadari kesalahannya, aku akan mengijinnya
bertemu denganmu.” Hashirama tersenyum saat wajah Naruto tak lagi masam. “Apa
kau juga sudah jatuh cinta padanya?”
Naruto ingin menjawab tapi kemudian kembali menutup
mulutnya. Dia menunduk saat merasakan wajahnya menghangat hingga membuat Hashirama
tertawa dan kembali memeluknya. “Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian.”
Alih-alih menjawab, Naruto hanya membalas pelukan
kakeknya dan mengeratkan tangannya pada jubah Hashirama.
“Terima kasih, Ojii-sama.”
***
Setelah insiden amukan Madara lalu tangisan Mikoto,
akhirnya kediaman Uchiha kembali tenang. Sasuke sudah kembali ke kamarnya
ditemani oleh kedua kakaknya. Itachi memberinya kompres es untuk meredakan
pipinya yang memerah.
“Apa itu sakit?” Shisui ikut meringis saat Sasuke
menekan pipinya dengan kompres. Adik bungsunya itu menggeleng, membuatanya
sedikit lega.
“Kau mau minum sesuatu?” Kali ini Itachi yang
bertanya.
Sasuke tersenyum melihat tingkah kedua kakaknya. jujur
saja dia belum pernah melihat keduanya seperti itu. “Apa kalian khawatir
padaku?”
“Tentu saja!” seru keduanya bersamaan. Shisui dan
Itachi bertukar pandang lalu mengehela napas panjang.
“Tentu saja kami khawatir. Aku belum pernah melihat Ojii-sama
semarah itu, apalagi sampai-,” Shisui menghentikan ucapannya lalu menatap
Sasuke yang masih tersenyum. “Kau yakin baik-baik saja?”
“Sasuke, kami tidak sedang bercanda.” Itachi mengerang
frustasi melihat adik bungsunya.
“Aku tahu,” Sasuke meletakkan kompres di atas meja
kerjanya lalu menatap kedua kakaknya. “Terima kasih Onii-sama. Maaf kalau aku
membuat kalian khawatir.”
“Sebenarnya inilah yang kami khawatirkan sejak awal.
Alasan kenapa aku dan Itachi tidak berharap kau berhubungan lebih jauh dengan
Hime.”
Sasuke menatap kakak sulungnya. “Sekarang aku mengerti
Onii-sama. Aku akan lebih berhati-hati lagi dalam bersikap.”
“Kau-,” Itachi menggantung perkataannya dengan ragu,
“-tidak ingin menyerah?”
“Tidak akan, aku tidak akan menyerah.” Sasuke
menyeringai dengan bangga.
“Aku penasaran dengan apa yang Hokage katakan padamu,”
kata Itachi lagi.
Kali ini Sasuke terdiam, memikirkan jawaban terbaik
untuk kakaknya. “Tidak banyak, Hokage hanya-,” Seketika Sasuke merasa
tenggorokannya kering. “-sudahlah, yang penting aku tahu dimana kesalahanku dan
tidak akan mengulanginya.”
“Apa kau benar-benar jatuh cinta pada Hime?” Shisui
menatap adiknya khawatir.
Sasuke tersenyum tipis lalu mengangguk. “Hime juga
memiliki perasaan yang sama tapi aku justru mengacaukannya.”
“Huh?! Kau yakin?” Itachi tidak percaya.
Bungsu Uchiha itu berdeham pelan di balik kepalan
tangannya. Merasa malu membahas hal itu di hadapan kedua kakaknya. “Setidaknya
itu yang aku rasakan,” lirihnya kemudian.
“Yakin sekali,” ucap Itachi lagi yang membuat Shisui
menusuk perutnya dengan siku. “Aku hanya mengatakan pendapatku Onii-sama.”
“Tidak apa-apa,” kata Sasuke kemudian. “Aku yakin
setidaknya Hime memang memiliki perasaan padaku. Aku hanya tidak tahu bagaimana
keputusannya nanti.” Dia menarik napas panjang, menyandarkan kepala pada kursi
kerjanya lalu menatap langit-langit kamarnya. “Aku hanya ingin
memperjuangankannya.”
Shisui dan Itachi terdiam. Keduanya menatap Sasuke
yang tampak tenang menghadapi masalahnya.
“Kau butuh bantuan kami?” tanya Shisui kemudian.
Sasuke menoleh tanpa mengangkat kepalanya dari kursi.
“Tidak Onii-sama,” jawabnya, “tapi terima kasih untuk semuanya.”
Shisui tersenyum, begitu juga Itachi. Keduanya
kemudian beranjak dari tepi tempat tidur.
“Sudah malam, istirahatlah Sasuke.” Shisui menepuk
bahu adiknya lalu berjalan keluar kamar.
Itachi menjentikkan jarinya di kening Sasuke lalu
pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Meski begitu Sasuke tetap tersenyum
melihat kedua kakaknya meninggalkan kamar. Dia pun kembali menatap
langit-langit kamar.
“Namikaze Naruto, aku merindukanmu.”
***
Keringat dingin membasahi kening Naruto, dadanya
terasa sesak hingga dia bernapas lebih cepat. Suara teriakan sarat kesedihan
menggema di dalam kepalanya, memaksanya untuk tersadar dengan napas tersengal
dan teriakan.
“Naru?!” Kurama terbangun dan segera menghampiri sang
adik yang kini tampak mengalami disorientasi waktu. Dia segera memeluk Naruto
dan memintanya menarik napas panjang. “Hanya mimpi, hanya mimpi, kau baik-baik
saja,” bisik Kurama dengan suara lembut, tangannya mengusap punggung Naruto perlahan
untuk meredakan tubuhnya yang gemetar.
Setelah hening yang cukup lama, Naruto menarik diri
dari pelukan kakaknya. Kurama menuang air dari pitcher kaca di atas nakas dan
mengulurkan segelas air pada Naruto.
“Lebih baik, hm?” tanya Kurama sembari mengusap air di
sudut mata adiknya.
Naruto mengangguk lalu minum dengan perlahan. Dia
mengulurkan gelas pada sang kakak yang langsung diterima oleh Kurama dan
meletakkannya kembali ke atas nakas.
“Tidurlah, ini masih dini hari,” kata Kurama sembari merapikan
rambut adiknya yang berantakan di bahu.
Naruto melirik jam dinding yang menunjukkan pukul satu
dini hari. Dia lalu mengalihkan pandangannya ke sofa panjang dimana bantal dan
selimut jatuh di lantai. Sang kakak pasti bangun karena terkejut mendengar
teriakannya.
“Ku-nii menemaniku lagi? Kembalilah ke kamar, tidak
nyaman tidur di sofa,” kata Naruto yang menatap kakaknya dengan rasa bersalah.
“Tidak apa-apa, kau tidurlah.” Kurama tersenyum seraya
mengacak poni adiknya. Dia senang karena Naruto tidak mengajaknya berdebat dan
kembali berbaring.
Rasa kantuk dan lelah membuat Naruto dengan cepat
kembali memejamkan mata. Kurama menggenggam tangan adiknya. Dia tahu Naruto
masih sering bermimpi buruk. Masalah yang membuatnya tergantung pada obat
penenang. Beruntung akhir-akhir ini kondisinya membaik. Tapi masalah Sasuke
siang tadi pasti membuatnya banyak berpikir.
Melihatnya adiknya sudah terlelap, Kurama kembali
berbaring di sofa, memijat pelipisnya yang berdenyut. Dua hari lagi dia harus
kembali ke Kiri, tapi masalah terus datang silih berganti. Rasanya begitu
melelahkan. Sejenak menoleh ke arah Naruto, Kurama akhirnya menyerah pada
kantuk yang menggelayut di matanya. Putra Mahkota Mizu itu pun tertidur dan
tidak lagi menyadari saat sepasang mata biru menatapnya sendu dari atas tempat
tidur.
***
>>Bersambung<<
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments