Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
Naruto baru saja duduk di sofa ruang tamu saat handphone di dalam tasnya berdering. Dia
pun segera membuka tas dan melihat nama yang muncul di layar. Kurama, nama itu
membuatnya menghela napas panjang.
“Halo, Ku-nii?”
“Kau pergi menemui Uchiha dan tidak memberitahuku?”
Naruto bisa merasakan kemarahan dalam nada suara
kakaknya. “Onii-sama sedang rapat penting, bagaimana mungkin aku mengganggu?”
“Apa itu alasan terbaikmu agar bisa keluar istana?”
“Oni-samaa, kau marah karena aku keluar tanpa
memberitahumu atau karena aku bertemu Sasuke?” Naruto terkadang lelah
menghadapi kakaknya. itu sebabnya dia tidak mau tinggal di Kiri. Meski istana
Uzushio terkadang membuatnya sesak dengan memori masa lalu, tapi setidaknya
tidak ada yang melarangnya keluar istana.
“Keduanya,” jawab Kurama singkat.
“Aku bukan anak kecil lagi Ku-nii.”
“Aku tahu, tapi kau adikku satu-satunya. Aku tidak
ingin hal buruk terjadi padamu di luar istana.”
Suara putus asa Kurama membuat Naruto kembali menghela
napas panjang. “Aku tahu Ku-nii mengkhawatirkanku, tapi bukan berarti aku tidak
boleh pergi kemana pun aku mau.”
Kurama terdiam cukup lama. Dia sadar kalau terkadang
keterlaluan mengekang adiknya. “Aku menunggumu makan malam bersama,” katanya
kemudian.
“Baik Onii-sama, aku akan kembali sebelum malam.
Jangan khawatir, oke?”
“Hm.” Dan Kurama langsung menutup teleponnya.
Naruto terkejut saat melihat Sasuke sudah bersandar di
ambang pintu, menatapnya dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Apa kakakmu marah karena kau pergi menemuiku?”
Naruto menggeleng, “Dia hanya terlalu mengkhawatirkanku.”
“Dan aku membuat harimu kacau dengan buket bunga?”
Mata Naruto kemudian menatap buket bunga di atas meja.
Dia pun mengambil dan menciumnya. “Buketnya bagus, aku suka, terima kasih.”
Hati Sasuke berdesir saat melihat Naruto mencium buket
bunga pemberiannya. “Kau tidak marah?”
“Kenapa kau selalu bertanya seperti itu? Bukankah kau
dengan sengaja memberiku buket bunga.”
“Aku tidak tahu.” Sasuke masih bersandar pada ambang
pintu dan menatap Naruto yang duduk santai di sofa.
“Sungguh-sungguh tidak tahu?” tanya Naruto dengan mata
memincing tajam. “Kau tahu kalau bahkan Hokage bisa marah jika ada yang berani
memberi cucu kesayangannya bunga mawar putih? Bunga itu melambangkan ikatan dan
cinta suci pernikahan.”
Sasuke mengangguk. “Aku tidak berpikir istana akan
sekolot itu. Bukankah kita pernah bertemu di toko bunga sebelumnya?”
“Bunga itu untuk nenekku.”
“Hm,” Sasuke tersenyum saat Naruto kembali mencium
bunganya.
“Hei Naru, apa sekarang kau sudah mencintaiku?”
tanyanya sembari menyandarkan kepala pada ambang pintu.
Naruto tersenyum lalu kembali meletakkan buket
bunganya ke meja. “Apa maksud pertanyaanmu, Tuan Muda Uchiha.” Wanita itu
menyilangkan kaki dan duduk dengan anggun.
“Tidak ada,” Sasuke juga tersenyum, “Tolong jangan
bersikap seperti itu. Kau membuatku semakin tidak sabar untuk memilikimu.”
“Huh?! Kalimat itu terdengar sangat vulgar.”
“Aku tidak dibesarkan di istana, memang apa yang kau
harapkan, Naru?”
Naruto menyandarkan kepala lebih santai ke sofa.
Matanya menatap keluar jendela di mana matahari bersinar cerah siang itu. “Aku
iri padamu.”
“Kakakku juga pernah mengatakan hal yang sama,” Sasuke
menimpali dan tersenyum saat Naruto menatapnya dengan tatapan tanya. “Tentu
saja itu Itachi, mana mungkin Shisui-nii menyesali takdirnya.”
“Bagaimana rasanya hidup bebas di luar?”
“Menyenangkan.” Sasuke menatap ke luar jendela. “Kau
bebas menjalani hidup sesuai pilihanmu. Tidak terikat tradisi, aturan atau buku
etiket apa pun.”
“Terdengar sangat menggiurkan.” Naruto menatap Sasuke
dengan kedua tangan bertopang dagu.
“Hm.” Sasuke bergumam seraya kembali menatap Naruto.
“Dan kau siap kehilangan semua itu?” mata Naruto
berkedip dan Sasuke merasakan sesuatu bergolak dalam hatinya.
“Demi untuk bersamamu? Tentu saja aku siap.”
“Kau yakin?” Naruto memiringkan kepalanya.
“Aku di depanmu saat ini, apa itu belum cukup
membuktikan?” Sasuke menegakkan tubuhnya dan menatap Naruto dengan penuh
keyakinan.
“Apa kau sudah tahu seluruh kisah hidupku? Bahaya yang
mungkin ada di depanku?” Tentu saja Naruto tidak begitu saja percaya.
“Apa kau pikir keluargaku akan membiarkanku buta
tentang kisah hidupmu? Kecuali soal etiket kerajaan, aku tahu semua tentangmu.”
“Semua?” Naruto kembali memincingkan mata.
“Hm, semua,” jawab Sasuke singkat.
Naruto terdiam. Sesuatu menggelitik hatinya. “Oh
Sasuke, apa yang kau lakukan padaku.” Wanita itu bersandar pada kepala sofa
dengan lengan menutup wajahnya.
Sasuke tersenyum meski Naruto tidak melihatnya.
“Pelan-pelan saja, aku akan menunggumu.” Dan Sasuke membiarkan Naruto larut
dalam pikirannya.
***
“Ini studiomu?” Naruto mengamati para pekerja yang
tengah merenovasi gedung baru milik Sasuke. Keduanya tengah berada di lantai
dua, sementara Shikamaru menunggu di lantai satu.
“Ya, kau suka?” tanya Sasuke saat Naruto tengah
menyentuh dinding dengan wallpaper bermotif garis hitam dan putih.
“Apa pendapatku penting? Ini studiomu.” Wanita itu
menoleh hanya untuk mendapati Sasuke tersenyum padanya. “Baiklah, aku tidak
perlu mendengar jawabannya,” lanjutnya sembari memalingkan wajahnya yang terasa
menghangat. Dia lalu berjalan ke balkon dan melihat ke arah jalan raya. “Sejak
kapan kau menyukai fotografi?”
Sasuke mengikuti Naruto lalu berdiri di sebelahnya.
“Sejak remaja.”
Jawaban singkat itu membuat Naruto menoleh.
“Itu karena ibuku suka sekali menyimpan foto saat aku
masih kecil. Sejak itu aku tertarik tentang bagaimana foto tak hanya menyimpan
sebuah kenangan, tapi juga bercerita tentang banyak hal.”
“Lalu kenapa kau memilih pindah ke Oto? Bukankah di
Konoha sekolah fotografi lebih bagus?” Setelah mendengar kalau Sasuke tahu
semua hal tentangnya, Naruto menjadi semakin penasaran dengan sosok pria yang
terus mengatakan cinta padanya itu.
“Alasan yang sederhana, karena Pamanku ada disana. Dia
yang banyak mengajarkan padaku tentang dunia luar. Dan alasan lain adalah
karena saat itu aku takut menyandang nama Uchiha.”
Naruto jadi teringat akan cerita Yamato padanya. “Apa
ada hubungannya dengan penculikanmu?” tanyanya hati-hati.
“Kau tahu?” Sasuke cukup terkejut karenanya.
“Hanya pernah mendengar cerita.”
Sasuke mengangguk lalu mengalihkan pandangannya.
“Begitulah, saat itu aku masih duduk di sekolah dasar yang bahkan tidak
mengerti tentang beragam persaingan di dunia usaha atau pun politik. Yang aku
ingat, saat itu aku ditarik ke dalam mobil lalu disekap dalam ruangan selama
tiga hari.”
Mata Naruto menyendu, tiba-tiba teringat dengan
peristiwa kudeta sepuluh tahun lalu. Dia tersentak saat tiba-tiba Sasuke
menyentuh tangannya. Tanpa sadar wanita itu menarik tangannya dan
menggenggamnya di depan dada.
Sasuke cukup terkejut dengan reaksi Naruto. “Maaf,”
ucapnya kemudian.
Seketika Naruto menyadari sikapnya. Dia menghela napas
perlahan untuk meredakan debaran jantungnya. “A-aku hanya terkejut,” katanya
kemudian.
Sasuke cukup mengerti. Dia terlalu terburu-buru menyatakan
semuanya. Naruto butuh waktu dan dia harus bersabar.
“Maaf mengganggu, Nona.”
Keduanya berbalik dan melihat Shikamaru di ambang
pintu balkon.
“Sudah waktunya untuk kembali.”
Naruto dan Sasuke melihat jam tangan mereka bersamaan
dan itu tampak lucu di mata Shikamaru. Keduanya memang tampak serasi.
“Ng, sudah waktunya untuk pulang,” Naruto tampak
canggung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia bahkan tidak berani menatap
mata Sasuke. “Terima kasih sudah menemaniku makan siang dan menunjukkan
studiomu.”
“Boleh aku mengantarmu pulang?” Pertanyaan itu membuat
Naruto langsung menatap matanya. “Aku masih ingin bersamamu.”
Naruto menggeleng. “Mungkin lain kali,” lirihnya
kemudian. “Ng, terima kasih juga untuk bunganya. Aku pulang.”
“Hm, hati-hati,” jawab Sasuke yang gagal
menyembunyikan kekecewaan dalam nada suaranya.
Naruto mengangguk sebagai salam perpisahan lalu
bergegas pergi. Dia bahkan tidak mengatakan apa pun pada Shikamaru dan
membiarkan kapten muda itu mengikutinya setelah memberi salam pada Sasuke.
Dari balkon lantai dua, Sasuke melihat mobil Naruto
pergi. Dia lalu menatap tangannya dan menyesali sikapnya. Ternyata bersabar bukanlah
hal yang mudah.
***
“Apa kalian bertengkar?” Shikamaru merasa heran pada sahabatnya
yang diam sepanjang perjalanan.
“Tidak,” jawab Naruto singkat tanpa menatap
sahabatnya. Matanya menatap ke luar jendela. “Kenapa?”
“Kau tampak sangat senang saat kita berangkat tadi,
tapi kemudian murung saat pulang. Tadi kalian juga terlihat, hm, canggung?”
Shikamaru mengutarakan pikirannya. Dia tidak suka menebak-nebak dan lebih suka
bertanya langsung.
Naruto diam, tampak enggan menjawab. Hal itu membuat
Shikamaru mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh. Sahabatnya tidak sedang
dalam suasana hati yang baik.
Mobil hampir sampai di istana dan Naruto masih belum
bicara sepatah kata pun. Tidak bisa menahan kekhawatirannya, Shikamaru akhirnya
memilih berhenti di bahu jalan. Keduanya tidak akan leluasa bicara di istana.
“Kau baik-baik saja?” Kapten muda itu menoleh setelah
mematikan mesin mobil. Dia semakin khawatir karena melihat mata sahabatnya yang
memerah.
Kali ini Naruto menggeleng.
“Ada apa?” tanyanya dengan suara yang melembut.
Naruto kembali menggeleng.
“Naru, kau tahu aku khawatir padamu.”
Mendengar ucapan sang sahabat membuat Naruto akhirnya
menatapnya. “Shika, bagaimana rasanya jatuh cinta?”
“Hah?” Shikamaru terkejut dengan mulut terbuka.
Naruto menghela napas lalu kembali menatap ke luar
jendela. “Aku hanya bingung dengan perasaanku,” lirihnya kemudian.
Shikamaru dengan bijak tidak menyela. Dia juga tidak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan sahabatnya. Perasaan bukanlah hal yang
mudah untuk diutarakan.
“Apa kau tahu kalau Sasuke pernah menginap di Nami
Café?” tanya Naruto yang dijawab dengan sebuah anggukan.
“Fuu mengatakannya padaku tadi,” tambahnya kemudian.
Naruto mengangguk mengerti. “Malam itu aku tahu dia berasal
dari keluarga Uchiha. Tapi bahkan di pertemuan pertama kami, aku menyadari
kalau dia berbeda dengan banyak pria yang kukenal, terlebih dengan keluarga
Uchiha lainnya.” Wanita itu menatap kedepan dan bertukar pandang dengan sang
sahabat melalui kaca spion tengah.
“Dia menemuiku di hari berikutnya untuk mengucapkan
terima kasih dan mengembalikan pakaian yang kupinjamkan. Malam itu dia basah
kuyup karena badai.” Kini Naruto menghela napas. “Aku tidak tertarik padanya,
bahkan saat kami bertemu secara tidak sengaja di toko bunga, aku masih berniat
untuk menjauhinya.”
“Sampai kemudian dia datang ke istana bersama Madara
Ojii-sama. Dia menyatakan keterkejutannya saat tahu identitasku. Meski begitu,
dia bersikeras untuk menjadi temanku. Aku hampir menertawakannya karena jelas melihat
kebingungan di wajahnya, mungkin karena merasa dilema dengan statusku. Aku tahu
dia tidak menyukai kehidupan bangsawan, alasan kenapa dia memilih tinggal di
Oto bersama pamannya.”
“Ojii-sama dan Obaa-sama mengatakan padaku kalau dia
sudah menyatakan perasaannya pada Madara Ojii-sama. Mereka hanya tersenyum
padaku saat menyampaikan semua itu. Katanya semua tetap terserah padaku. Jujur
saja, sejak saat itu aku beberapa kali memikirkannya.”
Naruto lalu terdiam untuk beberapa saat dan Shikamaru
tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. “Dan kalian bertemu kembali di
pesta ulang tahun Perdana Menteri?”
Wanita itu mengangguk. “Tapi malam itu dia sudah
berbeda.”
“Berbeda?” tanya Shikamaru tidak mengerti.
“Kami sempat bertukar pandang saat dia meminta maaf.
Saat itu aku tidak lagi melihat keraguan di matanya. Aku tidak heran saat
Ku-nii kemudian marah karena merasa Sasuke ingin membawaku pergi. Karena aku
pun merasa demikian.” Naruto tersenyum. Masih terasa lucu baginya saat
membayangkan kejadian malam itu.
Shikamaru dengan bijak tetap diam dan mendengarkan.
“Aku meminta ijin keluar aula bukan hanya untuk
menghimdari Ku-nii, tapi juga untuk menghindarinya. Tidak kusangka dia berani
meminta ijin pada Ojii-sama untuk bicara denganku.” Lagi-lagi wanita itu
menghela napas. “Dan malam itu dia dengan jelas menyatakan perasaannya dan
bertanya apa aku keberatan dengan itu? Entah karena apa, malam itu akhirnya aku
memberikan nomor teleponku padanya.”
Naruto tiba-tiba tertawa. “Apakah aku konyol Shika?
Aku belum pernah memiliki perasan seperti ini dan ini … membuatku takut juga
bingung.”
Shikamaru menghela napas panjang saat melihat Naruto
menutup wajahnya dengan telapak tangan. Kini dia mengerti apa yang tengah di
rasakan oleh sahabatnya. Shikamaru keluar dari mobil lalu membuka pintu
belakang dan duduk di sebelah Naruto.
“Naru.”
“Shika aku takut,” gumam Naruto dari balik telapak
tangannya.
“Naru, lihat aku.” Shikmaru menarik tangan yang
menutupi wajah sahabatnya. “Kau jatuh cinta padanya?”
Naruto menatap sahabatnya dalam diam.
“Jawab aku, Naru.”
Perlahan Naruto mengangguk. “Aku-,” dia menghela napas
panjang. “Aku merasa nyaman berbicara padanya. Terkadang tiba-tiba ingin
melihat wajahnya. Apa seperti itu rasanya jatuh cinta?”
Shikamaru tersenyum lembut lalu mengusap pipi
sahabatnya yang memerah. “Ya,” jawabnya singkat. Hatinya masih merasa tersengat
tapi jika ini yang akan membuat Naruto bahagia, maka Shikamaru akan
merelakannya.
“Tapi … bagaimana jika kemudian dia menyesal?
Bagaimana jika Sasuke kemudian tidak tahan bersamaku dan … dan meninggalkanku?”
Suara Naruto terdengar putus asa.
“Itukah yang kau takutkan?” tanya Shikamaru.
Naruto mengangguk. “Apa dia akan bertahan denganku?”
lirihnya, masih dengan nada putus asa.
Shikamaru mengangguk.
“Kau yakin? Dia tidak pernah suka terikat dengan
peraturan dan tradisi, juga-,”
“Cobalah percaya padanya,” Shikamaru menyela. “Jangan
terburu-buru, siapkan hatimu untuk menerimanya dan menjalani hubungan kalian.”
“Begitukah?” Naruto memiringkan kepala menatap
sahabatnya, tatapannya lebih cerah. Dan Shikamaru yakin hati wanita itu sedikit
lebih ringan sekarang. Dia pun kembali mengangguk untuk meyakinkan Naruto
dengan ucapannya.
“Apa aku terlihat konyol sekarang?” Naruto kembali
menanyakan hal yang sama. Pipinya memerah.
Tiba-tiba Shikamaru tertawa. “Tujuh tahun lalu, aku
lebih konyol darimu.” Tangannya menggenggam erat jemari Naruto.
Naruto termenung tapi kemudian mengerti apa maksud
Shikamaru. “Tujuh tahun,” lirihnya sembari tersenyum.
“Hm, tujuh tahun.” Shikamaru pun melepas tangan Naruto
lalu menghela napas untuk mengurangi rasa panas di dalam hatinya. “Kau tahu,
mungkin Sekarang aku mulai paham dengan apa yang dirasakan oleh
Namikaze-shinno.” Kerutan di kening Naruto membuat Shikamaru melanjutkan
perkataannya. “Aku akan membuat Sasuke menyesal sudah lahir ke dunia kalau
berani meninggalkanmu setelah apa yang sudah dilakukannya.”
Naruto akhirnya tertawa.
“Dan aku tidak bercanda, Naru.”
Naruto tersenyum. “Aku tahu, terima kasih Shika.”
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments