Nami Cafe - Chapter 13

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================


Naruto baru saja duduk di sofa ruang tamu saat handphone di dalam tasnya berdering. Dia pun segera membuka tas dan melihat nama yang muncul di layar. Kurama, nama itu membuatnya menghela napas panjang.

“Halo, Ku-nii?”

“Kau pergi menemui Uchiha dan tidak memberitahuku?”

Naruto bisa merasakan kemarahan dalam nada suara kakaknya. “Onii-sama sedang rapat penting, bagaimana mungkin aku mengganggu?”

“Apa itu alasan terbaikmu agar bisa keluar istana?”

“Oni-samaa, kau marah karena aku keluar tanpa memberitahumu atau karena aku bertemu Sasuke?” Naruto terkadang lelah menghadapi kakaknya. itu sebabnya dia tidak mau tinggal di Kiri. Meski istana Uzushio terkadang membuatnya sesak dengan memori masa lalu, tapi setidaknya tidak ada yang melarangnya keluar istana.

“Keduanya,” jawab Kurama singkat.

“Aku bukan anak kecil lagi Ku-nii.”

“Aku tahu, tapi kau adikku satu-satunya. Aku tidak ingin hal buruk terjadi padamu di luar istana.”

Suara putus asa Kurama membuat Naruto kembali menghela napas panjang. “Aku tahu Ku-nii mengkhawatirkanku, tapi bukan berarti aku tidak boleh pergi kemana pun aku mau.”

Kurama terdiam cukup lama. Dia sadar kalau terkadang keterlaluan mengekang adiknya. “Aku menunggumu makan malam bersama,” katanya kemudian.

“Baik Onii-sama, aku akan kembali sebelum malam. Jangan khawatir, oke?”

“Hm.” Dan Kurama langsung menutup teleponnya.

Naruto terkejut saat melihat Sasuke sudah bersandar di ambang pintu, menatapnya dengan kedua tangan terlipat di dada.

“Apa kakakmu marah karena kau pergi menemuiku?”

Naruto menggeleng, “Dia hanya terlalu mengkhawatirkanku.”

“Dan aku membuat harimu kacau dengan buket bunga?”

Mata Naruto kemudian menatap buket bunga di atas meja. Dia pun mengambil dan menciumnya. “Buketnya bagus, aku suka, terima kasih.”

Hati Sasuke berdesir saat melihat Naruto mencium buket bunga pemberiannya. “Kau tidak marah?”

“Kenapa kau selalu bertanya seperti itu? Bukankah kau dengan sengaja memberiku buket bunga.”

“Aku tidak tahu.” Sasuke masih bersandar pada ambang pintu dan menatap Naruto yang duduk santai di sofa.

“Sungguh-sungguh tidak tahu?” tanya Naruto dengan mata memincing tajam. “Kau tahu kalau bahkan Hokage bisa marah jika ada yang berani memberi cucu kesayangannya bunga mawar putih? Bunga itu melambangkan ikatan dan cinta suci pernikahan.”

Sasuke mengangguk. “Aku tidak berpikir istana akan sekolot itu. Bukankah kita pernah bertemu di toko bunga sebelumnya?”

“Bunga itu untuk nenekku.”

“Hm,” Sasuke tersenyum saat Naruto kembali mencium bunganya.

“Hei Naru, apa sekarang kau sudah mencintaiku?” tanyanya sembari menyandarkan kepala pada ambang pintu.

Naruto tersenyum lalu kembali meletakkan buket bunganya ke meja. “Apa maksud pertanyaanmu, Tuan Muda Uchiha.” Wanita itu menyilangkan kaki dan duduk dengan anggun.

“Tidak ada,” Sasuke juga tersenyum, “Tolong jangan bersikap seperti itu. Kau membuatku semakin tidak sabar untuk memilikimu.”

“Huh?! Kalimat itu terdengar sangat vulgar.”

“Aku tidak dibesarkan di istana, memang apa yang kau harapkan, Naru?”

Naruto menyandarkan kepala lebih santai ke sofa. Matanya menatap keluar jendela di mana matahari bersinar cerah siang itu. “Aku iri padamu.”

“Kakakku juga pernah mengatakan hal yang sama,” Sasuke menimpali dan tersenyum saat Naruto menatapnya dengan tatapan tanya. “Tentu saja itu Itachi, mana mungkin Shisui-nii menyesali takdirnya.”

“Bagaimana rasanya hidup bebas di luar?”

“Menyenangkan.” Sasuke menatap ke luar jendela. “Kau bebas menjalani hidup sesuai pilihanmu. Tidak terikat tradisi, aturan atau buku etiket apa pun.”

“Terdengar sangat menggiurkan.” Naruto menatap Sasuke dengan kedua tangan bertopang dagu.

“Hm.” Sasuke bergumam seraya kembali menatap Naruto.

“Dan kau siap kehilangan semua itu?” mata Naruto berkedip dan Sasuke merasakan sesuatu bergolak dalam hatinya.

“Demi untuk bersamamu? Tentu saja aku siap.”

“Kau yakin?” Naruto memiringkan kepalanya.

“Aku di depanmu saat ini, apa itu belum cukup membuktikan?” Sasuke menegakkan tubuhnya dan menatap Naruto dengan penuh keyakinan.

“Apa kau sudah tahu seluruh kisah hidupku? Bahaya yang mungkin ada di depanku?” Tentu saja Naruto tidak begitu saja percaya.

“Apa kau pikir keluargaku akan membiarkanku buta tentang kisah hidupmu? Kecuali soal etiket kerajaan, aku tahu semua tentangmu.”

“Semua?” Naruto kembali memincingkan mata.

“Hm, semua,” jawab Sasuke singkat.

Naruto terdiam. Sesuatu menggelitik hatinya. “Oh Sasuke, apa yang kau lakukan padaku.” Wanita itu bersandar pada kepala sofa dengan lengan menutup wajahnya.

Sasuke tersenyum meski Naruto tidak melihatnya. “Pelan-pelan saja, aku akan menunggumu.” Dan Sasuke membiarkan Naruto larut dalam pikirannya.

***

“Ini studiomu?” Naruto mengamati para pekerja yang tengah merenovasi gedung baru milik Sasuke. Keduanya tengah berada di lantai dua, sementara Shikamaru menunggu di lantai satu.

“Ya, kau suka?” tanya Sasuke saat Naruto tengah menyentuh dinding dengan wallpaper bermotif garis hitam dan putih.

“Apa pendapatku penting? Ini studiomu.” Wanita itu menoleh hanya untuk mendapati Sasuke tersenyum padanya. “Baiklah, aku tidak perlu mendengar jawabannya,” lanjutnya sembari memalingkan wajahnya yang terasa menghangat. Dia lalu berjalan ke balkon dan melihat ke arah jalan raya. “Sejak kapan kau menyukai fotografi?”

Sasuke mengikuti Naruto lalu berdiri di sebelahnya. “Sejak remaja.”

Jawaban singkat itu membuat Naruto menoleh.

“Itu karena ibuku suka sekali menyimpan foto saat aku masih kecil. Sejak itu aku tertarik tentang bagaimana foto tak hanya menyimpan sebuah kenangan, tapi juga bercerita tentang banyak hal.”

“Lalu kenapa kau memilih pindah ke Oto? Bukankah di Konoha sekolah fotografi lebih bagus?” Setelah mendengar kalau Sasuke tahu semua hal tentangnya, Naruto menjadi semakin penasaran dengan sosok pria yang terus mengatakan cinta padanya itu.

“Alasan yang sederhana, karena Pamanku ada disana. Dia yang banyak mengajarkan padaku tentang dunia luar. Dan alasan lain adalah karena saat itu aku takut menyandang nama Uchiha.”

Naruto jadi teringat akan cerita Yamato padanya. “Apa ada hubungannya dengan penculikanmu?” tanyanya hati-hati.

“Kau tahu?” Sasuke cukup terkejut karenanya.

“Hanya pernah mendengar cerita.”

Sasuke mengangguk lalu mengalihkan pandangannya. “Begitulah, saat itu aku masih duduk di sekolah dasar yang bahkan tidak mengerti tentang beragam persaingan di dunia usaha atau pun politik. Yang aku ingat, saat itu aku ditarik ke dalam mobil lalu disekap dalam ruangan selama tiga hari.”

Mata Naruto menyendu, tiba-tiba teringat dengan peristiwa kudeta sepuluh tahun lalu. Dia tersentak saat tiba-tiba Sasuke menyentuh tangannya. Tanpa sadar wanita itu menarik tangannya dan menggenggamnya di depan dada.

Sasuke cukup terkejut dengan reaksi Naruto. “Maaf,” ucapnya kemudian.

Seketika Naruto menyadari sikapnya. Dia menghela napas perlahan untuk meredakan debaran jantungnya. “A-aku hanya terkejut,” katanya kemudian.

Sasuke cukup mengerti. Dia terlalu terburu-buru menyatakan semuanya. Naruto butuh waktu dan dia harus bersabar.

“Maaf mengganggu, Nona.”

Keduanya berbalik dan melihat Shikamaru di ambang pintu balkon.

“Sudah waktunya untuk kembali.”

Naruto dan Sasuke melihat jam tangan mereka bersamaan dan itu tampak lucu di mata Shikamaru. Keduanya memang tampak serasi.

“Ng, sudah waktunya untuk pulang,” Naruto tampak canggung dengan apa yang baru saja terjadi. Dia bahkan tidak berani menatap mata Sasuke. “Terima kasih sudah menemaniku makan siang dan menunjukkan studiomu.”

“Boleh aku mengantarmu pulang?” Pertanyaan itu membuat Naruto langsung menatap matanya. “Aku masih ingin bersamamu.”

Naruto menggeleng. “Mungkin lain kali,” lirihnya kemudian. “Ng, terima kasih juga untuk bunganya. Aku pulang.”

“Hm, hati-hati,” jawab Sasuke yang gagal menyembunyikan kekecewaan dalam nada suaranya.

Naruto mengangguk sebagai salam perpisahan lalu bergegas pergi. Dia bahkan tidak mengatakan apa pun pada Shikamaru dan membiarkan kapten muda itu mengikutinya setelah memberi salam pada Sasuke.

Dari balkon lantai dua, Sasuke melihat mobil Naruto pergi. Dia lalu menatap tangannya dan menyesali sikapnya. Ternyata bersabar bukanlah hal yang mudah.

***

“Apa kalian bertengkar?” Shikamaru merasa heran pada sahabatnya yang diam sepanjang perjalanan.

“Tidak,” jawab Naruto singkat tanpa menatap sahabatnya. Matanya menatap ke luar jendela. “Kenapa?”

“Kau tampak sangat senang saat kita berangkat tadi, tapi kemudian murung saat pulang. Tadi kalian juga terlihat, hm, canggung?” Shikamaru mengutarakan pikirannya. Dia tidak suka menebak-nebak dan lebih suka bertanya langsung.

Naruto diam, tampak enggan menjawab. Hal itu membuat Shikamaru mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh. Sahabatnya tidak sedang dalam suasana hati yang baik.

Mobil hampir sampai di istana dan Naruto masih belum bicara sepatah kata pun. Tidak bisa menahan kekhawatirannya, Shikamaru akhirnya memilih berhenti di bahu jalan. Keduanya tidak akan leluasa bicara di istana.

“Kau baik-baik saja?” Kapten muda itu menoleh setelah mematikan mesin mobil. Dia semakin khawatir karena melihat mata sahabatnya yang memerah.

Kali ini Naruto menggeleng.

“Ada apa?” tanyanya dengan suara yang melembut.

Naruto kembali menggeleng.

“Naru, kau tahu aku khawatir padamu.”

Mendengar ucapan sang sahabat membuat Naruto akhirnya menatapnya. “Shika, bagaimana rasanya jatuh cinta?”

“Hah?” Shikamaru terkejut dengan mulut terbuka.

Naruto menghela napas lalu kembali menatap ke luar jendela. “Aku hanya bingung dengan perasaanku,” lirihnya kemudian.

Shikamaru dengan bijak tidak menyela. Dia juga tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan sahabatnya. Perasaan bukanlah hal yang mudah untuk diutarakan.

“Apa kau tahu kalau Sasuke pernah menginap di Nami Café?” tanya Naruto yang dijawab dengan sebuah anggukan.

“Fuu mengatakannya padaku tadi,” tambahnya kemudian.

Naruto mengangguk mengerti. “Malam itu aku tahu dia berasal dari keluarga Uchiha. Tapi bahkan di pertemuan pertama kami, aku menyadari kalau dia berbeda dengan banyak pria yang kukenal, terlebih dengan keluarga Uchiha lainnya.” Wanita itu menatap kedepan dan bertukar pandang dengan sang sahabat melalui kaca spion tengah.

“Dia menemuiku di hari berikutnya untuk mengucapkan terima kasih dan mengembalikan pakaian yang kupinjamkan. Malam itu dia basah kuyup karena badai.” Kini Naruto menghela napas. “Aku tidak tertarik padanya, bahkan saat kami bertemu secara tidak sengaja di toko bunga, aku masih berniat untuk menjauhinya.”

“Sampai kemudian dia datang ke istana bersama Madara Ojii-sama. Dia menyatakan keterkejutannya saat tahu identitasku. Meski begitu, dia bersikeras untuk menjadi temanku. Aku hampir menertawakannya karena jelas melihat kebingungan di wajahnya, mungkin karena merasa dilema dengan statusku. Aku tahu dia tidak menyukai kehidupan bangsawan, alasan kenapa dia memilih tinggal di Oto bersama pamannya.”

“Ojii-sama dan Obaa-sama mengatakan padaku kalau dia sudah menyatakan perasaannya pada Madara Ojii-sama. Mereka hanya tersenyum padaku saat menyampaikan semua itu. Katanya semua tetap terserah padaku. Jujur saja, sejak saat itu aku beberapa kali memikirkannya.”

Naruto lalu terdiam untuk beberapa saat dan Shikamaru tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. “Dan kalian bertemu kembali di pesta ulang tahun Perdana Menteri?”

Wanita itu mengangguk. “Tapi malam itu dia sudah berbeda.”

“Berbeda?” tanya Shikamaru tidak mengerti.

“Kami sempat bertukar pandang saat dia meminta maaf. Saat itu aku tidak lagi melihat keraguan di matanya. Aku tidak heran saat Ku-nii kemudian marah karena merasa Sasuke ingin membawaku pergi. Karena aku pun merasa demikian.” Naruto tersenyum. Masih terasa lucu baginya saat membayangkan kejadian malam itu.

Shikamaru dengan bijak tetap diam dan mendengarkan.

“Aku meminta ijin keluar aula bukan hanya untuk menghimdari Ku-nii, tapi juga untuk menghindarinya. Tidak kusangka dia berani meminta ijin pada Ojii-sama untuk bicara denganku.” Lagi-lagi wanita itu menghela napas. “Dan malam itu dia dengan jelas menyatakan perasaannya dan bertanya apa aku keberatan dengan itu? Entah karena apa, malam itu akhirnya aku memberikan nomor teleponku padanya.”

Naruto tiba-tiba tertawa. “Apakah aku konyol Shika? Aku belum pernah memiliki perasan seperti ini dan ini … membuatku takut juga bingung.”

Shikamaru menghela napas panjang saat melihat Naruto menutup wajahnya dengan telapak tangan. Kini dia mengerti apa yang tengah di rasakan oleh sahabatnya. Shikamaru keluar dari mobil lalu membuka pintu belakang dan duduk di sebelah Naruto.

“Naru.”

“Shika aku takut,” gumam Naruto dari balik telapak tangannya.

“Naru, lihat aku.” Shikmaru menarik tangan yang menutupi wajah sahabatnya. “Kau jatuh cinta padanya?”

Naruto menatap sahabatnya dalam diam.

“Jawab aku, Naru.”

Perlahan Naruto mengangguk. “Aku-,” dia menghela napas panjang. “Aku merasa nyaman berbicara padanya. Terkadang tiba-tiba ingin melihat wajahnya. Apa seperti itu rasanya jatuh cinta?”

Shikamaru tersenyum lembut lalu mengusap pipi sahabatnya yang memerah. “Ya,” jawabnya singkat. Hatinya masih merasa tersengat tapi jika ini yang akan membuat Naruto bahagia, maka Shikamaru akan merelakannya.

“Tapi … bagaimana jika kemudian dia menyesal? Bagaimana jika Sasuke kemudian tidak tahan bersamaku dan … dan meninggalkanku?” Suara Naruto terdengar putus asa.

“Itukah yang kau takutkan?” tanya Shikamaru.

Naruto mengangguk. “Apa dia akan bertahan denganku?” lirihnya, masih dengan nada putus asa.

Shikamaru mengangguk.

“Kau yakin? Dia tidak pernah suka terikat dengan peraturan dan tradisi, juga-,”

“Cobalah percaya padanya,” Shikamaru menyela. “Jangan terburu-buru, siapkan hatimu untuk menerimanya dan menjalani hubungan kalian.”

“Begitukah?” Naruto memiringkan kepala menatap sahabatnya, tatapannya lebih cerah. Dan Shikamaru yakin hati wanita itu sedikit lebih ringan sekarang. Dia pun kembali mengangguk untuk meyakinkan Naruto dengan ucapannya.

“Apa aku terlihat konyol sekarang?” Naruto kembali menanyakan hal yang sama. Pipinya memerah.

Tiba-tiba Shikamaru tertawa. “Tujuh tahun lalu, aku lebih konyol darimu.” Tangannya menggenggam erat jemari Naruto.

Naruto termenung tapi kemudian mengerti apa maksud Shikamaru. “Tujuh tahun,” lirihnya sembari tersenyum.

“Hm, tujuh tahun.” Shikamaru pun melepas tangan Naruto lalu menghela napas untuk mengurangi rasa panas di dalam hatinya. “Kau tahu, mungkin Sekarang aku mulai paham dengan apa yang dirasakan oleh Namikaze-shinno.” Kerutan di kening Naruto membuat Shikamaru melanjutkan perkataannya. “Aku akan membuat Sasuke menyesal sudah lahir ke dunia kalau berani meninggalkanmu setelah apa yang sudah dilakukannya.”

Naruto akhirnya tertawa.

“Dan aku tidak bercanda, Naru.”

Naruto tersenyum. “Aku tahu, terima kasih Shika.”

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 12<<

>>Nami Cafe - Chapter 14<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments