Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
===========================================================
Di istana Uzushio. Naruto tengah duduk sendiri di
ruang keluarga istana sembari membaca buku. Seluruh keluarganya sedang sibuk
dan mereka masih belum mengijinkan Naruto untuk banyak beraktivitas. Padahal dia
merasa sudah sehat dan mulai bosan dikurung di kamar.
Perhatian Naruto teralihkan saat seorang pelayan
menghampirinya dan memberitahukan kedatangan bibinya, Sara. Naruto segera
menutup bukunya lalu berdiri saat melihat sang bibi sudah memasuki ruangan. “Naruto
memberi salam pada Oba-sama.”
“Sayang, senang melihatmu sudah kembali sehat. Maafkan
Bibi baru bisa mengunjungimu.” Sara langsung memeluk keponakannya.
“Aku senang Oba-sama datang. Jangan khawatir, aku
baik-baik saja,” jawab Naruto menenangkan bibinya.
“Syukurlah, syukurlah, saat kau sakit aku sedang
berada di luar kota. Kakakmu juga sedang merengek di rumah,” kata Sara saat
keduanya sudah duduk bersebelahan.
Kali ini Naruto mengulas senyum. “Apa Karin-nee
baik-baik saja?”
“Dia baik, hanya masih kesal karena ayahnya juga
mengurungnya di rumah.”
“Oji-sama juga menghukumnya?”
Sara mengangguk lalu mengusap pelan lengan Naruto. “Aku
belum sempat meminta maaf padamu soal Karin.” Wajahnya berubah sendu.
“Tidak perlu meminta maaf Oba-sama. Aku tidak marah pada
Karin-nee.”
“Benarkah? Tapi dia keterlaluan padamu.”
“Karin pantas dihukum.”
Seruan bernada tegas itu mengalihkan perhatian
keduanya. Melihat Mito dan Konan sudah berdiri di ambang pintu membuat Naruto
juga Sara segera berdiri untuk memberi salam.
“Sara, jangan coba bujuk Naru untuk mencabut hukuman
Karin,” kata Mito begitu mereka kembali duduk. Kali ini Mito yang duduk di
sebelah Naruto.
“Tidak, bukan begitu Okaa-sama. Aku tidak membujuk
Naru-chan.”
“Obaa-sama, jangan membesar-besarkan masalah.” Naruto
mengusap tangan Mito di atas pangkuannya. “Lagipula itu hanya kesalah pahaman
saja.”
“Salah paham? Naru-chan, Karin membentakmu di aula.
Mempermalukanmu di depan semua pelayan dan pengawal istana. Bagaimana bisa
disebut sebagai salah paham? Dia jelas melakukannya dengan sengaja.” Konan
tampak tidak suka Naruto membela Karin. Dia bahkan tidak peduli kalau adik
iparnya, Sara, duduk di sebelahnya.
“Naru, Konan-nee benar, kali ini Karin keterlaluan. Aku
tetap memohon maaf padamu atas namanya.” Sara yang merasa tidak enak hati
kembali memohon maaf.
“Sudahlah, semua sudah berlalu. Aku tidak suka
membesar-besarkan masalah. Lupakan saja.” Naruto tersenyum pada kedua bibinya.
“Obaa-sama juga, jangan marah lagi,” bujuknya dengan senyum manis.
Mito memalingkan wajah, menghindari tatapan membujuk
cucu kesayangannya. “Aku memaafkannya tapi tetap tidak akan mencabut
hukumannya.”
Naruto kembali menatap Sara dengan senyum simpati.
“Katakan pada Karin-nee kalau Obaa-sama sudah memaafkannya. Aku juga tidak marah
padanya.”
“Aku akan sampaikan,” jawab Sara sembari tersenyum. “Terima
kasih Naru-chan. Aku akan ingatkan Karin untuk bersikap lebih baik.”
Konan menoleh pada adik iparnya. “Aku masih tidak
mengerti kenapa Karin selalu mencari masalah dengan Naru-chan.”
“Itu juga aku tidak mengerti Onee-sama. Aku sudah
berkali-kali mengatakan padanya agar tidak mencari masalah, tapi anak itu, ah
sudahlah! Onee-sama tahu sendiri betapa keras kepalanya Karin.” Sara menggeleng
sembari menghela napas panjang. Wajahnya menyiratkan keputus asaan menghadapi
putri bungsunya.
“Bisakah kita membicarakan hal lain? Atau aku akan
kembali ke kamar saja?” Naruto mulai tampak kesal karena mereka terus membahas
masalah yang sama. Jujur saja dia tidak suka. Hubungannya dengan Karin memang
tidak baik sejak mereka kecil. Jadi Naruto sudah menganggap hal itu bukan
masalah. Dia sendiri juga tidak mengerti kenapa kakak sepupunya itu tidak
menyukainya.
“Kau ini, kenapa merajuk hanya untuk membelanya,” Mito
membelai kepala Naruto. Dia memang kesal pada Karin tapi juga tidak mau melihat
Naruto marah. “Oh ya, kau bosan bukan? Sore ini ada kunjungan ke Yayasan Disabilitas
bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Sosial, apa kau mau ikut?”
“Jika Obaa-sama mengijinkan tentu saja aku akan ikut.”
“Kalau begitu aku akan meminta Shikamaru untuk
bersiap.” Konan menimpali. Sebelum menjadi Kapten, Shikamaru memang bertugas
sebagai pengawal pribadi Naruto.
“Tidak biasanya Okaa-sama mengijinkan Naru-chan ikut
dalam kunjungan?” tanya Sara heran.
“Kunjungan sore ini tidak diliput media. Peresmian
Yayasan baru akan digelar minggu depan. Tapi para penyandang disabilitas yang
dikumpulkan dari seluruh kota di Negara Hi akan tiba sore ini. Apa kau juga mau
ikut?” Mito menawarkan pada putrinya.
“Tidak Okaa-sama. Aku sudah memiliki janji malam ini
untuk datang ke acara perjamuan para jenderal.” Ah, Sara adalah istri dari
Jendral Angkatan Darat. Pastinya dia juga memiliki banyak kesibukan dalam
mendampingi suaminya.
“Baiklah Okaa-sama, sebaiknya aku pulang sekarang.
Bukankah kalian juga harus bersiap-siap?” Sara berdiri lalu memberi hormat pada
ibu juga kakak iparnya disusul Naruto yang memberi salam hormat padanya.
Mito kembali memperhatikan Naruto begitu Sara meninggalkan
ruang keluarga. “Naru-chan, lain kali, jika bibimu Sara datang, bisakah kau
kirim pelayan untuk memberitahuku atau Konan?”
Tentu saja permintaan Mito membuat Naruto mengerutkan
kening. “Ada apa Obaa-sama? Bukankah hal biasa jika Sara Oba-sama mengobrol
denganku saat berkunjung ke istana?”
“Tidak apa-apa, Okaa-sama hanya khawatir jika Sara
mencoba membujukmu agar mencabut hukuman Karin. Bukan begitu Okaa-sama?” Konan
tersenyum saat Naruto menoleh padanya.
“Benar kata Konan. Aku hanya tidak mau Karin kembali
membuat masalah denganmu.” Mito menambahkan.
Meski masih merasa aneh tapi Naruto tak lagi menjawab
dan hanya mengangguk. Mito dan Konan tampak lega melihatnya dan membuat Naruto
semakin bertanya-tanya.
***
Prang!!
“Karin!! Bersikap baiklah!” Sara menggeleng frustasi
melihat tingkah putrinya. Vas kesayangannya hancur berantakan.
“Apa maksud Okaa-sama? Obaa-sama memaafkanku? Dan Hime
menyebalkan itu juga memaafkanku?! Tapi Okaa-sama tidak berhasil mencabut
hukumanku? Lalu apa gunanya?!” Karin berteriak frustasi. Hukuman Karin bukan
hanya dilarang masuk ke istana, tapi juga dilarang keluar dari rumah selama dua
bulan. Ini baru dua minggu dan Karin sudah mengamuk.
“Ini salahmu! Kalau kau tidak membuat masalah maka
nenek dan ayah tidak akan menghukummu.”
“Semua orang membela Hime menyebalkan itu. Okaa-sama
juga! Aku dikurung di rumah seperti hewan peliharaan dan tidak ada yang
membelaku!” teriak Karin lagi.
“Ada apa ini?”
Sara dan Karin terkesiap. Keduanya menoleh dan melihat
Danzo menatap dingin pada lantai dimana pecahan vas bunga bertebaran.
“A-Anata, kau sudah pulang?” Sara segera menyambut
suaminya dan memberi isyarat pada putrinya agar tenang.
“Hm,” Danzo hanya menggumam sebagai jawaban lalu
menatap Karin yang kini menunduk dengan wajah kesal. “Kau membuat ulah lagi?”
“Tidak Anata, Karin hanya masih kesal.” Sara mencoba
membela putrinya.
Danzo pun mengalihkan perhatiannya pada sang istri. “Kudengar
kau datang ke istana hari ini?”
Sara segera mengangguk seraya mengulas senyum. “Aku
mengirimkan beberapa kue juga teh untuk Okaa-sama sekaligus menjenguk
Naru-chan. Dia baru sembuh.”
“Kau tidak membujuknya?” Danzo menatap istrinya heran.
“Mem-membujuk apa Anata?” Sara tersenyum canggung.
“Tentu saja membujuk Hime untuk mencabut hukuman
Karin. Kau selalu melakukannya.”
Karin mendengkus pelan dan menggepalkan tangan erat.
Ayahnya itu terkadang menyebalkan.
“Tidak Anata, aku tidak membujuk Hime.” Sara segera
memperbaiki ekspresi wajahnya. Tentu saja dia takut suaminya marah.
“Baguslah, Karin memang pantas dihukum.” Dan setelah
mengatakan itu, Danzo hanya melirik pada putrinya lalu berlalu begitu saja
menuju kamar.
Sara tidak bisa berbuat banyak. Dia segera memberi
isyarat pada putrinya untuk kembali ke kamar lalu meminta pelayan membersihkan
semua kekacauan di ruang keluarga. Setelahnya, dia bergegas ke kamar untuk
menemui suaminya. Menjadi Nyonya Jenderal tidak semudah kelihatannya meski
dirinya adalah seorang Hime.
***
Menjelang sore jajaran Anbu sudah siap bertugas.
Shikamaru juga sudah berdiri di antara para Anbu. Yamato menghampirinya lalu
menyerahkan earphone dan seperangkat
alat komunikasi.
“Selama dilokasi tugasmu menjaga Hime. Yang Mulia
Senju-sama menjadi tanggung jawabku. Konan-sama akan dijaga oleh Ibiki.”
“Baik.” Shikamaru bukanlah bagian Anbu tapi misi kali
ini dia berada di bawah komando Yamato, Kapten Anbu.
Shikamaru memasang seperangkat alat komunikasi itu
pada seragamnya. Dia baru saja menyelipkan earphone
dan mencobanya bersama Yamato saat melihat Naruto menuruni tangga bersama Konan.
Tak lama kemudian Mito datang bersama Hashirama, Nagato juga Kurama. Asisten
Mito dan Konan, Kurenai Yuhi dan Anko Mitarashi, juga ikut serta dalam
kunjungan ini.
Semua anggota Anbu segera berdiri dalam posisi siap.
Mereka memberi hormat pada Hokage. Yamato melaporkan semua sudah siap dan mereka
pun berangkat.
Cuaca hari itu cukup cerah tapi udara sore di musim
gugur memang lebih dingin. Beruntung semua kegiatan sore itu dilakukan di dalam
ruangan. Naruto menikmati kunjungan bersama nenek dan bibinya. Dia bertemu
dengan para penyandang disabilitas yang akan dibina oleh yayasan.
Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan juga terkejut saat
melihat Naruto ikut datang. Tentunya mereka tahu untuk tetap bersikap biasa dan
tidak menyebutkan identitas Naruto. Pengurus Yayasan hanya tahu kalau Naruto
adalah salah satu staff kerajaan yang membantu Mito juga Konan. Kegiatan
selesai menjelang petang dan mereka bersiap untuk kembali ke istana.
Naruto merapikan syalnya lalu mengikuti nenek juga
bibinya yang berjalan ke luar aula, tempat acara berlangsung. Dia baru saja
akan menuruni tangga menuju pelataran parkir saat tiba-tiba seseorang menarik
lengannya lalu memeluknya.
“Tutup matamu,” bisik orang itu.
“Ada apa Shika?” tanya Naruto terkejut dengan wajah
tersuruk di dada sahabatnya. Meski begitu dia menurut dengan menutup matanya.
Telinga Naruto mendengar pekikan Mito dan Konan juga suara gaduh dari benda
keras yang terjatuh atau semacamnya.
“Tetap tutup matamu,” bisik Shikamaru lagi. “Yang
Mulia maafkan saya,” katanya kemudian seraya merenggangkan pelukannya.
“Aku mengerti, terima kasih sudah melindungi Naru,”
jawab Mito.
Perkataan sang nenek semakin membuat Naruto bingung
dan penasaran. Dia merasakan Shikamaru melepaskan pelukannya dan lengan lain
memeluknya.
“Yang Mulia? Konan-sama?” tanya Naruto masih dengan
mata terpejam.
“Hm, ini kami, jangan khawatir.” Konan memeluk
keponakannya.
Naruto mendengar perintah Yamato pada anggotanya untuk
membawa seseorang. “Ada apa?” tanya Naruto lagi.
“Tidak apa-apa, buka matamu,” kata Konan kemudian.
Putri bungsu Namikaze itu membuka mata lalu menatap
sekelilingnya. Konan masih merangkul bahunya sementara Mito berdiri tak jauh
darinya didampingi Anko dan Kurenai. Naruto melihat sebuah kursi roda dalam
posisi terjungkal di ujung tangga. Dia lalu menatap Konan, berharap bibinya itu
mau menjelaskan sesuatu padanya.
“Konan, bawa Naru-chan ke mobil,” perintah Mito.
“Yang Mu-,”
“Sstt, semua baik-baik saja. Kau pulanglah lebih
dulu.” Mito tersenyum pada cucunya lalu memberi isyarat pada Konan untuk segera
membawa Naruto pergi. Sementara itu dia kembali masuk ke dalam gedung bersama
Kurenai untuk menyusul Yamato dan Shikamaru.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Naruto saat sudah duduk di
dalam mobil. Dia masih penasaran dengan apa yang terjadi.
“Sepertinya ada penyusup yang menyamar sebagai
penyandang disabilitas. Dia berniat menabrakkan kursi roda ke arahmu. Andai Shikamaru
tidak menarikmu, kau pasti sudah terjatuh dari atas tangga,” jelas Konan
kemudian.
Tentu saja Naruto terkejut mendengarnya. “Lalu dimana
orang itu? Dimana Shika?” tanyanya sembari melihat ke luar jendela dimana
beberapa anggota Anbu tampak siaga di sekitar mobil.
“Shikamaru dan Yamato sudah menangkap orang itu. Kau
jangan khawatir.”
Naruto kembali melayangkan pandangannya ke luar
jendela. “Kenapa Obaa-sama belum kembali?” tanyanya khawatir.
“Kita akan pulang lebih dulu bersama Ibiki.” Konan
mengusap bahu keponakannya yang masih tampak cemas.
Naruto tidak lagi menjawab saat kemudian Ibiki masuk
ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Anko pun duduk di kursi depan dan
Konan memasangkan sabuk pengaman pada keponakannya. Mobil mereka meninggalkan
pelataran gedung yayasan bersama satu mobil pasukan Anbu yang akan mengawal
dalam perjalanan.
***
Sementara itu di dalam salah satu ruangan di gedung yayasan,
Mito menatap dingin seorang pria yang tersungkur di lantai dengan luka lebam di
tubuh juga wajahnya. Dibelakangnya berdiri Yamato dan Shikamaru. Kurenai
menunggu di luar ruangan, sementara para Anbu tengah sibuk memeriksa sekeliling
gedung juga mengintrogasi staff yayasan. Para Menteri dan staffnya sudah
diminta untuk kembali dan diberi peringatan untuk tidak menyebarkan berita
terkait penyerangan Naruto.
“Kau keras kepala juga, masih tidak mau bicara?” Mito
menyeringai pada pria itu.
“Cuih, aku lebih baik mati.” Pria itu meludahkan darah
ke lantai dan menatap Mito dengan pandangan meremehkan.
Mito justru tersenyum melihatnya. “Tentu saja kau akan
mati. Kau berani menyerang cucuku lalu melukai Kapten Kerajaan. Kau pikir aku
akan melepaskanmu, hm?”
Yamato dan Shikamaru saling melirik dalam diam. Bulu
kuduk mereka meremang mendengar nada bicara Mito. Meski ini bukan pertama kali
mereka melihat sikap dingin istri Hokage, tapi tetap saja Yamato dan Shikamaru
tidak terbiasa.
Pria itu kembali menyeringai. “Ini hanya awal.
Peringatan bagi kalian kalau perjuangan kami belum selesai. Kejayaan Senju Hokage
akan berakhir sebentar lagi.”
Mito terdiam, begitu juga Yamato dan Shikamaru. Mereka
jelas mengerti maksud ucapan pria itu. Mengingat kudeta sepuluh tahun lalu
membuat kemarahan memenuhi hati Mito. Dalam diam, istri Hokage itu mengulurkan
tangan pada Yamato tanpa menatapnya. Yamato yang mengerti maksud Mito segera
mengulurkan sebuah revolver hitam dengan peredam di bagian ujungnya.
Yamato dan Shikamaru menatap pria yang menjerit saat
dua tembakan menembus pahanya. Sungguh hanya orang bodoh yang berani menantang
Hokage dan istrinya. Kedua penguasa Negeri Hi itu tidaklah selembut
kelihatannya.
“Yang Mulia, sebaiknya kita membawanya ke markas Anbu.
Yang Mulia juga harus segera kembali ke istana. Dia tidak akan bicara hanya
dengan cara seperti ini,” kata Yamato kemudian.
“Hm, kau benar.” Mito mengembalikan revolver pada
Yamato lalu mengalihkan perhantiannya pada Shikamaru. “Bagaimana lukamu?”
tanyanya sembari mengamati lengan kanan Shikamaru yang terbalut kassa putih.
Dia bersyukur Kapten muda itu bertindak cepat dan melindungi Naruto dengan
tubuhnya.
“Saya baik-baik saja Yang Mulia.” Shikamaru mengangguk
hormat.
“Aku tahu kau kuat, tapi kau tetap harus memeriksakan lukamu
setelah sampai di istana.”
“Baik, terima kasih untuk perhatian Yang Mulia.”
“Hm, bereskan semuanya. Kita segera pulang.”
“Baik Yang Mulia.” Yamato dan Shikamaru mengangguk
hormat.
Mito meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi dan
membiarkan pria yang kini memaki dan mengumpatinya sesuka hati. Tentu saja itu
tidak lama karena Shikamaru menendang perutnya dan membuat pria itu pingsan
hingga seorang Anbu masuk dan membawanya keluar.
***
Hari sudah gelap saat Naruto dan Konan tiba di istana.
“Kau baik-baik saja?” tanya Konan pada keponakannya
yang tampak pucat.
“Hm, hanya lelah Oba-sama.”
“Kalau begitu cepatlah istirahat. Aku akan minta
Chiyo-san untuk mengantarkan makan malammu ke kamar.”
Naruto hanya mengangguk lalu turun mengikuti bibinya.
Memasuki istana, Naruto langsung disambut tatapan khawatir kakek juga kakaknya.
Ah, tentu saja mereka sudah tahu apa yang terjadi.
“Aku baik-baik saja,” kata Naruto bahkan sebelum
keduanya bertanya.
“Kami tahu kau baik-baik saja.” Hashirama memeluk sang
cucu lalu mengecup keningnya.
“Sekarang istirahatlah.” Kurama mengacak poni adiknya
sembari tersenyum tipis yang juga dibalas Naruto dengan senyum manisnya.
Putri bungsu Namikaze itu kemudian memberi hormat pada
semuanya sebelum berbalik dan berjalan menuju kamarnya.
Mito menghela napas begitu Naruto pergi, membuat
Hashirama juga Kurama langsung menatapnya.
“Kau membiarkan ibumu disana?” Hashirama bertanya dengan
tenang, kedua tangannya bertaut di belakang punggung.
“Otou-sama jelas tahu bagaimana Okaa-sama. Dia
terlihat sangat marah saat penyerang itu hampir mencelakai Naru-chan. Beruntung
sekali Shikamaru bergerak cepat, kalau tidak Naru-chan pasti sudah terluka.”
“Hm, aku mengerti.”
“Ojii-sama, ijinkan aku pergi ke markas Anbu.”
Hashirama menoleh lalu menggeleng pada cucunya. “Tidak
Kurama, kau pasti akan membunuhnya karena marah. Aku masih membutuhkannya untuk
mendapatkan informasi. Biarkan Anbu yang bekerja.”
“Aku tidak yakin kalau Obaa-sama tidak membuatnya
babak belur,” gerutu Kurama kesal.
“Setidaknya nenekmu tidak membunuhnya, mungkin satu
atau dua tembakan jika orang itu beruntung.” Ah, Hashirama ternyata sangat
mengenali istri tercintanya.
Konan tersenyum seraya menepuk bahu keponakannya.
“Mungkin lebih baik kau temani Naru-chan malam ini. Dia pasti sakit kepala
dengan kejadian tadi.”
“Ya, Oba-sama benar. Semoga dia tidak bermimpi buruk
malam ini.” Kurama menghela napas panjang.
“Aku akan menunggu Yamato di ruang kerja, kalian
berdua istirahatlah,” kata Hashirama kemudian.
Konan dan Kurama mengangguk. Keduanya pun memberi
salam hormat dan mengucapkan selamat malam sebelum Hashirama berbalik dan pergi
ke ruang kerjanya.
***
Suara tembakan terdengar nyaring di sebuah gudang tua,
di tepi hutan perbatasan Negara Hi. Seorang pria dengan topeng memaki dengan
suara keras. Tak hanya itu, dia juga menendang meja hingga terbalik dan membuat
kacau seluruh ruangan. Lima orang pria yang berdiri di depannya hanya bisa
menundukkan kepala.
“Maafkan kami Ketua,” ucap salah satu diantara lima
pria itu.
“Kalian semua bodoh!! Brengsek!!” makinya lagi. “Aku
hanya menugaskan kalian untuk melukai wanita itu, tapi kalian justru membuat semuanya
kacau!”
Dering handphone
yang nyaring mengejutkan mereka semua. Melihat nama yang muncul di layar
membuat pria bertopeng itu kembali mengumpat. Meski begitu, dia tetap menjawab
panggilan teleponnya.
“Hm, ada apa?” jawabnya dengan nada datar.
“Oh, kau masih bisa menjawabku dengan santai rupanya.”
Pria bertopeng itu mendengkus mendengar sarkasme lawan
bicaranya. “Jangan membesar-besarkan masalah. Anggap saja itu sebagai salam
hangat untuk Hokage.”
“Idiot!! Apa otak kecilmu itu sekarang sudah diganti
dengan otak udang, huh?!”
“Semua sudah terjadi, jangan menyalahkanku!”
“Anak buahmu tertangkap dan aku tidak boleh
menyalahkanmu? Kalau sampai dia bicara dan menyebut nama kita berdua, maka aku
adalah orang pertama yang akan membunuhmu.”
“Ck, seperti kau bisa saja,” ejek sang pria bertopeng.
Suara tawa menggema di speaker phone. “Jangan
lupa siapa yang sudah menyelamatkanmu, huh!”
“Ya, ya, ya, aku berhutang seluruh sisa hidupku
padamu, PUAS?!” seru pria bertopeng dengan kesal.
“Bagus kalau kau sadar. Aku mau ini menjadi tindakan
bodohmu yang terakhir. Jangan bergerak kecuali ada perintah dariku, atau perjuanganku
menyembunyikanmu selama sepuluh tahun ini akan sia-sia.”
Dan pria bertopeng itu hampir membanting handphone-nya saat sambungan telepon
putus begitu saja.
“Ketua-,”
“Jangan bicara lagi! Keluar semua!”
Mereka berjenggit saat melihat pria bertopeng itu
marah. Tidak ada yang berani membantah, semua orang bergegas pergi dan
membiarkan ketua mereka sendiri untuk menenangkan diri.
“Brengsek!!” Dan suara tembakan kembali terdengar di
tengah sunyinya malam.
***
“Imouto.” Kurama mengetuk pintu kamar adiknya. Dia
membuka pintu saat tidak ada jawaban dari dalam. “Imouto?”
Putra Mahkota Mizu itu menghela napas saat mendengar
suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Dia pun memutuskan untuk duduk di
sofa kamar menunggu adiknya. Tak lama kemudian, Naruto keluar dari kamar mandi
dengan sudah mengenakan piyama juga jubah tidurnya.
“Onii-sama?”
“Hm.”
“Ada apa?”
“Tidak ada, hanya ingin menemanimu. Kau sudah makan
malam?”
“Sudah,” jawab Naruto singkat sembari tersenyum lalu
duduk di sebelah sang kakak. Dia merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kurama.
“Kapan Onii-sama kembali ke Kiri?”
“Minggu depan, setelah ulang tahun perdana Menteri,”
jawab Kurama seraya mengusap lembut kepala sang adik. “Ada apa? Kau mau ikut
denganku? Obaa-sama dan Ojii-sama merindukanmu.”
Naruto tersenyum dengan mata terpejam. “Aku juga
merindukan mereka. Sepertinya aku akan ikut.”
Tangan Kurama berhenti karena terkejut. “Benarkah?”
“Hm,” gumam Naruto sebagai jawaban.
“Aku senang mendengarnya.”
“Ku-nii,” lirih Naruto.
“Hm?”
“Tadi Shika terluka karena melindungiku.” Ah, ternyata
Naruto tahu kalau sahabatnya terluka.
Kurama berhenti membelai kepala adiknya. Dengan mudah
dia mengangkat tubuh ramping itu hingga duduk disebelahnya lalu memeluknya.
“Semua orang terluka karena melindungiku.” Naruto
menyandarkan kepala di dada sang kakak.
“Jangan berkata seperti itu. Shikamaru juga tidak akan
suka jika kau bersedih karenanya. Dia baik-baik saja, aku sudah bertemu
dengannya.” Kurama mencium puncak kepala Naruto dengan sayang.
“Apa Obaa-sama juga sudah kembali?”
“Sudah, Obaa-sama juga baik-baik saja. Dia sudah
beristirahat sekarang.”
“Kalian tidak pernah mengijinkanku melawan mereka
sendiri,” lirih Naruto dengan nada menggerutu.
“Dan membiarkamu terluka? Tentu saja tidak akan.”
Dengan lembut Kurama kembali membelai kepala adiknya.
“Tapi aku lelah melihat semua orang terluka karenaku.”
Kurama tidak menjawab.
“Onii-sama~,” rengek Naruto seraya memukul dada sang
kakak seperti anak umur lima tahun yang tengah merajuk.
“Jangan merajuk, aku tidak akan membiarkan siapapun
melukaimu. Kau pikir kenapa selama ini aku menahan diri kau dekat dengan
Shikamaru, hm?”
“Ish, lalu apa gunanya aku lulus sabuk hitam Karate?
Kemampuan menembakku juga di atas rata-rata. Aku lebih dari mampu untuk melindungi
diriku sendiri.” Naruto mengangkat wajahnya dan mendengkus saat sang kakak
justru menyeringai padanya.
“Aku akan melukai jariku sampai berdarah lalu kita
akan lihat berapa lama kau bisa bertahan melihatnya, bagaimana?” Kurama mengusap
pipi adiknya yang tengah mencebik lalu tertawa.
Ya, alasan kenapa Naruto tidak pernah dibiarkan untuk
melindungi dirinya sendiri meski menguasai beladiri adalah karena Naruto phobia
pada darah. Dan yang mengetahui hal itu hanyalah keluarga, Yamato, anggota Nami
Café, juga kedua sahabatnya, Shikamaru dan Neji. Itulah sebabnya sampai hari
ini, Shikamaru masih sering ditugaskan untuk mengawal Naruto secara pribadi.
Dengan wajah kesal Naruto melepaskan diri dari pelukan
kakaknya lalu berjalan ke tempat tidur. “Aku mau tidur.”
Kurama tersenyum melihat adiknya kesal. Dia sudah
hafal dengan tabiat juga sifat keras kepala Naruto. “Hm, tidurlah, aku masih
ingin duduk di sini,” katanya sembari mengeluarkan handphone dari saku kemejanya.
“Selamat malam, Onii-sama.”
“Selamat malam, Imouto.” Dan Kurama merasa lega
melihat mood adiknya sudah membaik dan bisa tidur dengan nyenyak.
***
>>Bersambung<<
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments