Nami Cafe - Chapter 9

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================


Di istana Uzushio. Naruto tengah duduk sendiri di ruang keluarga istana sembari membaca buku. Seluruh keluarganya sedang sibuk dan mereka masih belum mengijinkan Naruto untuk banyak beraktivitas. Padahal dia merasa sudah sehat dan mulai bosan dikurung di kamar.

Perhatian Naruto teralihkan saat seorang pelayan menghampirinya dan memberitahukan kedatangan bibinya, Sara. Naruto segera menutup bukunya lalu berdiri saat melihat sang bibi sudah memasuki ruangan. “Naruto memberi salam pada Oba-sama.”

“Sayang, senang melihatmu sudah kembali sehat. Maafkan Bibi baru bisa mengunjungimu.” Sara langsung memeluk keponakannya.

“Aku senang Oba-sama datang. Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” jawab Naruto menenangkan bibinya.

“Syukurlah, syukurlah, saat kau sakit aku sedang berada di luar kota. Kakakmu juga sedang merengek di rumah,” kata Sara saat keduanya sudah duduk bersebelahan.

Kali ini Naruto mengulas senyum. “Apa Karin-nee baik-baik saja?”

“Dia baik, hanya masih kesal karena ayahnya juga mengurungnya di rumah.”

“Oji-sama juga menghukumnya?”

Sara mengangguk lalu mengusap pelan lengan Naruto. “Aku belum sempat meminta maaf padamu soal Karin.” Wajahnya berubah sendu.

“Tidak perlu meminta maaf Oba-sama. Aku tidak marah pada Karin-nee.”

“Benarkah? Tapi dia keterlaluan padamu.”

“Karin pantas dihukum.”

Seruan bernada tegas itu mengalihkan perhatian keduanya. Melihat Mito dan Konan sudah berdiri di ambang pintu membuat Naruto juga Sara segera berdiri untuk memberi salam.

“Sara, jangan coba bujuk Naru untuk mencabut hukuman Karin,” kata Mito begitu mereka kembali duduk. Kali ini Mito yang duduk di sebelah Naruto.

“Tidak, bukan begitu Okaa-sama. Aku tidak membujuk Naru-chan.”

“Obaa-sama, jangan membesar-besarkan masalah.” Naruto mengusap tangan Mito di atas pangkuannya. “Lagipula itu hanya kesalah pahaman saja.”

“Salah paham? Naru-chan, Karin membentakmu di aula. Mempermalukanmu di depan semua pelayan dan pengawal istana. Bagaimana bisa disebut sebagai salah paham? Dia jelas melakukannya dengan sengaja.” Konan tampak tidak suka Naruto membela Karin. Dia bahkan tidak peduli kalau adik iparnya, Sara, duduk di sebelahnya.

“Naru, Konan-nee benar, kali ini Karin keterlaluan. Aku tetap memohon maaf padamu atas namanya.” Sara yang merasa tidak enak hati kembali memohon maaf.

“Sudahlah, semua sudah berlalu. Aku tidak suka membesar-besarkan masalah. Lupakan saja.” Naruto tersenyum pada kedua bibinya. “Obaa-sama juga, jangan marah lagi,” bujuknya dengan senyum manis.

Mito memalingkan wajah, menghindari tatapan membujuk cucu kesayangannya. “Aku memaafkannya tapi tetap tidak akan mencabut hukumannya.”

Naruto kembali menatap Sara dengan senyum simpati. “Katakan pada Karin-nee kalau Obaa-sama sudah memaafkannya. Aku juga tidak marah padanya.”

“Aku akan sampaikan,” jawab Sara sembari tersenyum. “Terima kasih Naru-chan. Aku akan ingatkan Karin untuk bersikap lebih baik.”

Konan menoleh pada adik iparnya. “Aku masih tidak mengerti kenapa Karin selalu mencari masalah dengan Naru-chan.”

“Itu juga aku tidak mengerti Onee-sama. Aku sudah berkali-kali mengatakan padanya agar tidak mencari masalah, tapi anak itu, ah sudahlah! Onee-sama tahu sendiri betapa keras kepalanya Karin.” Sara menggeleng sembari menghela napas panjang. Wajahnya menyiratkan keputus asaan menghadapi putri bungsunya.

“Bisakah kita membicarakan hal lain? Atau aku akan kembali ke kamar saja?” Naruto mulai tampak kesal karena mereka terus membahas masalah yang sama. Jujur saja dia tidak suka. Hubungannya dengan Karin memang tidak baik sejak mereka kecil. Jadi Naruto sudah menganggap hal itu bukan masalah. Dia sendiri juga tidak mengerti kenapa kakak sepupunya itu tidak menyukainya.

“Kau ini, kenapa merajuk hanya untuk membelanya,” Mito membelai kepala Naruto. Dia memang kesal pada Karin tapi juga tidak mau melihat Naruto marah. “Oh ya, kau bosan bukan? Sore ini ada kunjungan ke Yayasan Disabilitas bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Sosial, apa kau mau ikut?”

“Jika Obaa-sama mengijinkan tentu saja aku akan ikut.”

“Kalau begitu aku akan meminta Shikamaru untuk bersiap.” Konan menimpali. Sebelum menjadi Kapten, Shikamaru memang bertugas sebagai pengawal pribadi Naruto.

“Tidak biasanya Okaa-sama mengijinkan Naru-chan ikut dalam kunjungan?” tanya Sara heran.

“Kunjungan sore ini tidak diliput media. Peresmian Yayasan baru akan digelar minggu depan. Tapi para penyandang disabilitas yang dikumpulkan dari seluruh kota di Negara Hi akan tiba sore ini. Apa kau juga mau ikut?” Mito menawarkan pada putrinya.

“Tidak Okaa-sama. Aku sudah memiliki janji malam ini untuk datang ke acara perjamuan para jenderal.” Ah, Sara adalah istri dari Jendral Angkatan Darat. Pastinya dia juga memiliki banyak kesibukan dalam mendampingi suaminya.

“Baiklah Okaa-sama, sebaiknya aku pulang sekarang. Bukankah kalian juga harus bersiap-siap?” Sara berdiri lalu memberi hormat pada ibu juga kakak iparnya disusul Naruto yang memberi salam hormat padanya.

Mito kembali memperhatikan Naruto begitu Sara meninggalkan ruang keluarga. “Naru-chan, lain kali, jika bibimu Sara datang, bisakah kau kirim pelayan untuk memberitahuku atau Konan?”

Tentu saja permintaan Mito membuat Naruto mengerutkan kening. “Ada apa Obaa-sama? Bukankah hal biasa jika Sara Oba-sama mengobrol denganku saat berkunjung ke istana?”

“Tidak apa-apa, Okaa-sama hanya khawatir jika Sara mencoba membujukmu agar mencabut hukuman Karin. Bukan begitu Okaa-sama?” Konan tersenyum saat Naruto menoleh padanya.

“Benar kata Konan. Aku hanya tidak mau Karin kembali membuat masalah denganmu.” Mito menambahkan.

Meski masih merasa aneh tapi Naruto tak lagi menjawab dan hanya mengangguk. Mito dan Konan tampak lega melihatnya dan membuat Naruto semakin bertanya-tanya.

***

Prang!!

“Karin!! Bersikap baiklah!” Sara menggeleng frustasi melihat tingkah putrinya. Vas kesayangannya hancur berantakan.

“Apa maksud Okaa-sama? Obaa-sama memaafkanku? Dan Hime menyebalkan itu juga memaafkanku?! Tapi Okaa-sama tidak berhasil mencabut hukumanku? Lalu apa gunanya?!” Karin berteriak frustasi. Hukuman Karin bukan hanya dilarang masuk ke istana, tapi juga dilarang keluar dari rumah selama dua bulan. Ini baru dua minggu dan Karin sudah mengamuk.

“Ini salahmu! Kalau kau tidak membuat masalah maka nenek dan ayah tidak akan menghukummu.”

“Semua orang membela Hime menyebalkan itu. Okaa-sama juga! Aku dikurung di rumah seperti hewan peliharaan dan tidak ada yang membelaku!” teriak Karin lagi.

“Ada apa ini?”

Sara dan Karin terkesiap. Keduanya menoleh dan melihat Danzo menatap dingin pada lantai dimana pecahan vas bunga bertebaran.

“A-Anata, kau sudah pulang?” Sara segera menyambut suaminya dan memberi isyarat pada putrinya agar tenang.

“Hm,” Danzo hanya menggumam sebagai jawaban lalu menatap Karin yang kini menunduk dengan wajah kesal. “Kau membuat ulah lagi?”

“Tidak Anata, Karin hanya masih kesal.” Sara mencoba membela putrinya.

Danzo pun mengalihkan perhatiannya pada sang istri. “Kudengar kau datang ke istana hari ini?”

Sara segera mengangguk seraya mengulas senyum. “Aku mengirimkan beberapa kue juga teh untuk Okaa-sama sekaligus menjenguk Naru-chan. Dia baru sembuh.”

“Kau tidak membujuknya?” Danzo menatap istrinya heran.

“Mem-membujuk apa Anata?” Sara tersenyum canggung.

“Tentu saja membujuk Hime untuk mencabut hukuman Karin. Kau selalu melakukannya.”

Karin mendengkus pelan dan menggepalkan tangan erat. Ayahnya itu terkadang menyebalkan.

“Tidak Anata, aku tidak membujuk Hime.” Sara segera memperbaiki ekspresi wajahnya. Tentu saja dia takut suaminya marah.

“Baguslah, Karin memang pantas dihukum.” Dan setelah mengatakan itu, Danzo hanya melirik pada putrinya lalu berlalu begitu saja menuju kamar.

Sara tidak bisa berbuat banyak. Dia segera memberi isyarat pada putrinya untuk kembali ke kamar lalu meminta pelayan membersihkan semua kekacauan di ruang keluarga. Setelahnya, dia bergegas ke kamar untuk menemui suaminya. Menjadi Nyonya Jenderal tidak semudah kelihatannya meski dirinya adalah seorang Hime.

***

Menjelang sore jajaran Anbu sudah siap bertugas. Shikamaru juga sudah berdiri di antara para Anbu. Yamato menghampirinya lalu menyerahkan earphone dan seperangkat alat komunikasi.

“Selama dilokasi tugasmu menjaga Hime. Yang Mulia Senju-sama menjadi tanggung jawabku. Konan-sama akan dijaga oleh Ibiki.”

“Baik.” Shikamaru bukanlah bagian Anbu tapi misi kali ini dia berada di bawah komando Yamato, Kapten Anbu.

Shikamaru memasang seperangkat alat komunikasi itu pada seragamnya. Dia baru saja menyelipkan earphone dan mencobanya bersama Yamato saat melihat Naruto menuruni tangga bersama Konan. Tak lama kemudian Mito datang bersama Hashirama, Nagato juga Kurama. Asisten Mito dan Konan, Kurenai Yuhi dan Anko Mitarashi, juga ikut serta dalam kunjungan ini.

Semua anggota Anbu segera berdiri dalam posisi siap. Mereka memberi hormat pada Hokage. Yamato melaporkan semua sudah siap dan mereka pun berangkat.

Cuaca hari itu cukup cerah tapi udara sore di musim gugur memang lebih dingin. Beruntung semua kegiatan sore itu dilakukan di dalam ruangan. Naruto menikmati kunjungan bersama nenek dan bibinya. Dia bertemu dengan para penyandang disabilitas yang akan dibina oleh yayasan.

Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan juga terkejut saat melihat Naruto ikut datang. Tentunya mereka tahu untuk tetap bersikap biasa dan tidak menyebutkan identitas Naruto. Pengurus Yayasan hanya tahu kalau Naruto adalah salah satu staff kerajaan yang membantu Mito juga Konan. Kegiatan selesai menjelang petang dan mereka bersiap untuk kembali ke istana.

Naruto merapikan syalnya lalu mengikuti nenek juga bibinya yang berjalan ke luar aula, tempat acara berlangsung. Dia baru saja akan menuruni tangga menuju pelataran parkir saat tiba-tiba seseorang menarik lengannya lalu memeluknya.

“Tutup matamu,” bisik orang itu.

“Ada apa Shika?” tanya Naruto terkejut dengan wajah tersuruk di dada sahabatnya. Meski begitu dia menurut dengan menutup matanya. Telinga Naruto mendengar pekikan Mito dan Konan juga suara gaduh dari benda keras yang terjatuh atau semacamnya.

“Tetap tutup matamu,” bisik Shikamaru lagi. “Yang Mulia maafkan saya,” katanya kemudian seraya merenggangkan pelukannya.

“Aku mengerti, terima kasih sudah melindungi Naru,” jawab Mito.

Perkataan sang nenek semakin membuat Naruto bingung dan penasaran. Dia merasakan Shikamaru melepaskan pelukannya dan lengan lain memeluknya.

“Yang Mulia? Konan-sama?” tanya Naruto masih dengan mata terpejam.

“Hm, ini kami, jangan khawatir.” Konan memeluk keponakannya.

Naruto mendengar perintah Yamato pada anggotanya untuk membawa seseorang. “Ada apa?” tanya Naruto lagi.

“Tidak apa-apa, buka matamu,” kata Konan kemudian.

Putri bungsu Namikaze itu membuka mata lalu menatap sekelilingnya. Konan masih merangkul bahunya sementara Mito berdiri tak jauh darinya didampingi Anko dan Kurenai. Naruto melihat sebuah kursi roda dalam posisi terjungkal di ujung tangga. Dia lalu menatap Konan, berharap bibinya itu mau menjelaskan sesuatu padanya.

“Konan, bawa Naru-chan ke mobil,” perintah Mito.

“Yang Mu-,”

“Sstt, semua baik-baik saja. Kau pulanglah lebih dulu.” Mito tersenyum pada cucunya lalu memberi isyarat pada Konan untuk segera membawa Naruto pergi. Sementara itu dia kembali masuk ke dalam gedung bersama Kurenai untuk menyusul Yamato dan Shikamaru.

“Ada apa sebenarnya?” tanya Naruto saat sudah duduk di dalam mobil. Dia masih penasaran dengan apa yang terjadi.

“Sepertinya ada penyusup yang menyamar sebagai penyandang disabilitas. Dia berniat menabrakkan kursi roda ke arahmu. Andai Shikamaru tidak menarikmu, kau pasti sudah terjatuh dari atas tangga,” jelas Konan kemudian.

Tentu saja Naruto terkejut mendengarnya. “Lalu dimana orang itu? Dimana Shika?” tanyanya sembari melihat ke luar jendela dimana beberapa anggota Anbu tampak siaga di sekitar mobil.

“Shikamaru dan Yamato sudah menangkap orang itu. Kau jangan khawatir.”

Naruto kembali melayangkan pandangannya ke luar jendela. “Kenapa Obaa-sama belum kembali?” tanyanya khawatir.

“Kita akan pulang lebih dulu bersama Ibiki.” Konan mengusap bahu keponakannya yang masih tampak cemas.

Naruto tidak lagi menjawab saat kemudian Ibiki masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Anko pun duduk di kursi depan dan Konan memasangkan sabuk pengaman pada keponakannya. Mobil mereka meninggalkan pelataran gedung yayasan bersama satu mobil pasukan Anbu yang akan mengawal dalam perjalanan.

***

Sementara itu di dalam salah satu ruangan di gedung yayasan, Mito menatap dingin seorang pria yang tersungkur di lantai dengan luka lebam di tubuh juga wajahnya. Dibelakangnya berdiri Yamato dan Shikamaru. Kurenai menunggu di luar ruangan, sementara para Anbu tengah sibuk memeriksa sekeliling gedung juga mengintrogasi staff yayasan. Para Menteri dan staffnya sudah diminta untuk kembali dan diberi peringatan untuk tidak menyebarkan berita terkait penyerangan Naruto.

“Kau keras kepala juga, masih tidak mau bicara?” Mito menyeringai pada pria itu.

“Cuih, aku lebih baik mati.” Pria itu meludahkan darah ke lantai dan menatap Mito dengan pandangan meremehkan.

Mito justru tersenyum melihatnya. “Tentu saja kau akan mati. Kau berani menyerang cucuku lalu melukai Kapten Kerajaan. Kau pikir aku akan melepaskanmu, hm?”

Yamato dan Shikamaru saling melirik dalam diam. Bulu kuduk mereka meremang mendengar nada bicara Mito. Meski ini bukan pertama kali mereka melihat sikap dingin istri Hokage, tapi tetap saja Yamato dan Shikamaru tidak terbiasa.

Pria itu kembali menyeringai. “Ini hanya awal. Peringatan bagi kalian kalau perjuangan kami belum selesai. Kejayaan Senju Hokage akan berakhir sebentar lagi.”

Mito terdiam, begitu juga Yamato dan Shikamaru. Mereka jelas mengerti maksud ucapan pria itu. Mengingat kudeta sepuluh tahun lalu membuat kemarahan memenuhi hati Mito. Dalam diam, istri Hokage itu mengulurkan tangan pada Yamato tanpa menatapnya. Yamato yang mengerti maksud Mito segera mengulurkan sebuah revolver hitam dengan peredam di bagian ujungnya.

Yamato dan Shikamaru menatap pria yang menjerit saat dua tembakan menembus pahanya. Sungguh hanya orang bodoh yang berani menantang Hokage dan istrinya. Kedua penguasa Negeri Hi itu tidaklah selembut kelihatannya.

“Yang Mulia, sebaiknya kita membawanya ke markas Anbu. Yang Mulia juga harus segera kembali ke istana. Dia tidak akan bicara hanya dengan cara seperti ini,” kata Yamato kemudian.

“Hm, kau benar.” Mito mengembalikan revolver pada Yamato lalu mengalihkan perhantiannya pada Shikamaru. “Bagaimana lukamu?” tanyanya sembari mengamati lengan kanan Shikamaru yang terbalut kassa putih. Dia bersyukur Kapten muda itu bertindak cepat dan melindungi Naruto dengan tubuhnya.

“Saya baik-baik saja Yang Mulia.” Shikamaru mengangguk hormat.

“Aku tahu kau kuat, tapi kau tetap harus memeriksakan lukamu setelah sampai di istana.”

“Baik, terima kasih untuk perhatian Yang Mulia.”

“Hm, bereskan semuanya. Kita segera pulang.”

“Baik Yang Mulia.” Yamato dan Shikamaru mengangguk hormat.

Mito meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi dan membiarkan pria yang kini memaki dan mengumpatinya sesuka hati. Tentu saja itu tidak lama karena Shikamaru menendang perutnya dan membuat pria itu pingsan hingga seorang Anbu masuk dan membawanya keluar.

***

Hari sudah gelap saat Naruto dan Konan tiba di istana.

“Kau baik-baik saja?” tanya Konan pada keponakannya yang tampak pucat.

“Hm, hanya lelah Oba-sama.”

“Kalau begitu cepatlah istirahat. Aku akan minta Chiyo-san untuk mengantarkan makan malammu ke kamar.”

Naruto hanya mengangguk lalu turun mengikuti bibinya. Memasuki istana, Naruto langsung disambut tatapan khawatir kakek juga kakaknya. Ah, tentu saja mereka sudah tahu apa yang terjadi.

“Aku baik-baik saja,” kata Naruto bahkan sebelum keduanya bertanya.

“Kami tahu kau baik-baik saja.” Hashirama memeluk sang cucu lalu mengecup keningnya.

“Sekarang istirahatlah.” Kurama mengacak poni adiknya sembari tersenyum tipis yang juga dibalas Naruto dengan senyum manisnya.

Putri bungsu Namikaze itu kemudian memberi hormat pada semuanya sebelum berbalik dan berjalan menuju kamarnya.

Mito menghela napas begitu Naruto pergi, membuat Hashirama juga Kurama langsung menatapnya.

“Kau membiarkan ibumu disana?” Hashirama bertanya dengan tenang, kedua tangannya bertaut di belakang punggung.

“Otou-sama jelas tahu bagaimana Okaa-sama. Dia terlihat sangat marah saat penyerang itu hampir mencelakai Naru-chan. Beruntung sekali Shikamaru bergerak cepat, kalau tidak Naru-chan pasti sudah terluka.”

“Hm, aku mengerti.”

“Ojii-sama, ijinkan aku pergi ke markas Anbu.”

Hashirama menoleh lalu menggeleng pada cucunya. “Tidak Kurama, kau pasti akan membunuhnya karena marah. Aku masih membutuhkannya untuk mendapatkan informasi. Biarkan Anbu yang bekerja.”

“Aku tidak yakin kalau Obaa-sama tidak membuatnya babak belur,” gerutu Kurama kesal.

“Setidaknya nenekmu tidak membunuhnya, mungkin satu atau dua tembakan jika orang itu beruntung.” Ah, Hashirama ternyata sangat mengenali istri tercintanya.

Konan tersenyum seraya menepuk bahu keponakannya. “Mungkin lebih baik kau temani Naru-chan malam ini. Dia pasti sakit kepala dengan kejadian tadi.”

“Ya, Oba-sama benar. Semoga dia tidak bermimpi buruk malam ini.” Kurama menghela napas panjang.

“Aku akan menunggu Yamato di ruang kerja, kalian berdua istirahatlah,” kata Hashirama kemudian.

Konan dan Kurama mengangguk. Keduanya pun memberi salam hormat dan mengucapkan selamat malam sebelum Hashirama berbalik dan pergi ke ruang kerjanya.

***

Suara tembakan terdengar nyaring di sebuah gudang tua, di tepi hutan perbatasan Negara Hi. Seorang pria dengan topeng memaki dengan suara keras. Tak hanya itu, dia juga menendang meja hingga terbalik dan membuat kacau seluruh ruangan. Lima orang pria yang berdiri di depannya hanya bisa menundukkan kepala.

“Maafkan kami Ketua,” ucap salah satu diantara lima pria itu.

“Kalian semua bodoh!! Brengsek!!” makinya lagi. “Aku hanya menugaskan kalian untuk melukai wanita itu, tapi kalian justru membuat semuanya kacau!”

Dering handphone yang nyaring mengejutkan mereka semua. Melihat nama yang muncul di layar membuat pria bertopeng itu kembali mengumpat. Meski begitu, dia tetap menjawab panggilan teleponnya.

“Hm, ada apa?” jawabnya dengan nada datar.

“Oh, kau masih bisa menjawabku dengan santai rupanya.”

Pria bertopeng itu mendengkus mendengar sarkasme lawan bicaranya. “Jangan membesar-besarkan masalah. Anggap saja itu sebagai salam hangat untuk Hokage.”

“Idiot!! Apa otak kecilmu itu sekarang sudah diganti dengan otak udang, huh?!”

“Semua sudah terjadi, jangan menyalahkanku!”

“Anak buahmu tertangkap dan aku tidak boleh menyalahkanmu? Kalau sampai dia bicara dan menyebut nama kita berdua, maka aku adalah orang pertama yang akan membunuhmu.”

“Ck, seperti kau bisa saja,” ejek sang pria bertopeng.

Suara tawa menggema di speaker phone. “Jangan lupa siapa yang sudah menyelamatkanmu, huh!”

“Ya, ya, ya, aku berhutang seluruh sisa hidupku padamu, PUAS?!” seru pria bertopeng dengan kesal.

“Bagus kalau kau sadar. Aku mau ini menjadi tindakan bodohmu yang terakhir. Jangan bergerak kecuali ada perintah dariku, atau perjuanganku menyembunyikanmu selama sepuluh tahun ini akan sia-sia.”

Dan pria bertopeng itu hampir membanting handphone-nya saat sambungan telepon putus begitu saja.

“Ketua-,”

“Jangan bicara lagi! Keluar semua!”

Mereka berjenggit saat melihat pria bertopeng itu marah. Tidak ada yang berani membantah, semua orang bergegas pergi dan membiarkan ketua mereka sendiri untuk menenangkan diri.

“Brengsek!!” Dan suara tembakan kembali terdengar di tengah sunyinya malam.

***

“Imouto.” Kurama mengetuk pintu kamar adiknya. Dia membuka pintu saat tidak ada jawaban dari dalam. “Imouto?”

Putra Mahkota Mizu itu menghela napas saat mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Dia pun memutuskan untuk duduk di sofa kamar menunggu adiknya. Tak lama kemudian, Naruto keluar dari kamar mandi dengan sudah mengenakan piyama juga jubah tidurnya.

“Onii-sama?”

“Hm.”

“Ada apa?”

“Tidak ada, hanya ingin menemanimu. Kau sudah makan malam?”

“Sudah,” jawab Naruto singkat sembari tersenyum lalu duduk di sebelah sang kakak. Dia merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kurama. “Kapan Onii-sama kembali ke Kiri?”

“Minggu depan, setelah ulang tahun perdana Menteri,” jawab Kurama seraya mengusap lembut kepala sang adik. “Ada apa? Kau mau ikut denganku? Obaa-sama dan Ojii-sama merindukanmu.”

Naruto tersenyum dengan mata terpejam. “Aku juga merindukan mereka. Sepertinya aku akan ikut.”

Tangan Kurama berhenti karena terkejut. “Benarkah?”

“Hm,” gumam Naruto sebagai jawaban.

“Aku senang mendengarnya.”

“Ku-nii,” lirih Naruto.

“Hm?”

“Tadi Shika terluka karena melindungiku.” Ah, ternyata Naruto tahu kalau sahabatnya terluka.

Kurama berhenti membelai kepala adiknya. Dengan mudah dia mengangkat tubuh ramping itu hingga duduk disebelahnya lalu memeluknya.

“Semua orang terluka karena melindungiku.” Naruto menyandarkan kepala di dada sang kakak.

“Jangan berkata seperti itu. Shikamaru juga tidak akan suka jika kau bersedih karenanya. Dia baik-baik saja, aku sudah bertemu dengannya.” Kurama mencium puncak kepala Naruto dengan sayang.

“Apa Obaa-sama juga sudah kembali?”

“Sudah, Obaa-sama juga baik-baik saja. Dia sudah beristirahat sekarang.”

“Kalian tidak pernah mengijinkanku melawan mereka sendiri,” lirih Naruto dengan nada menggerutu.

“Dan membiarkamu terluka? Tentu saja tidak akan.” Dengan lembut Kurama kembali membelai kepala adiknya.

“Tapi aku lelah melihat semua orang terluka karenaku.”

Kurama tidak menjawab.

“Onii-sama~,” rengek Naruto seraya memukul dada sang kakak seperti anak umur lima tahun yang tengah merajuk.

“Jangan merajuk, aku tidak akan membiarkan siapapun melukaimu. Kau pikir kenapa selama ini aku menahan diri kau dekat dengan Shikamaru, hm?”

“Ish, lalu apa gunanya aku lulus sabuk hitam Karate? Kemampuan menembakku juga di atas rata-rata. Aku lebih dari mampu untuk melindungi diriku sendiri.” Naruto mengangkat wajahnya dan mendengkus saat sang kakak justru menyeringai padanya.

“Aku akan melukai jariku sampai berdarah lalu kita akan lihat berapa lama kau bisa bertahan melihatnya, bagaimana?” Kurama mengusap pipi adiknya yang tengah mencebik lalu tertawa.

Ya, alasan kenapa Naruto tidak pernah dibiarkan untuk melindungi dirinya sendiri meski menguasai beladiri adalah karena Naruto phobia pada darah. Dan yang mengetahui hal itu hanyalah keluarga, Yamato, anggota Nami Café, juga kedua sahabatnya, Shikamaru dan Neji. Itulah sebabnya sampai hari ini, Shikamaru masih sering ditugaskan untuk mengawal Naruto secara pribadi.

Dengan wajah kesal Naruto melepaskan diri dari pelukan kakaknya lalu berjalan ke tempat tidur. “Aku mau tidur.”

Kurama tersenyum melihat adiknya kesal. Dia sudah hafal dengan tabiat juga sifat keras kepala Naruto. “Hm, tidurlah, aku masih ingin duduk di sini,” katanya sembari mengeluarkan handphone dari saku kemejanya.

“Selamat malam, Onii-sama.”

“Selamat malam, Imouto.” Dan Kurama merasa lega melihat mood adiknya sudah membaik dan bisa tidur dengan nyenyak.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 8<<

>>Nami Cafe - Chapter 10<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow


Post a Comment

0 Comments