Nami Cafe - Chapter 8

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================


Fugaku termenung menatap putra bungsunya yang duduk di seberang meja, dihadapannya, di ruang keluarga. "Apa itu benar Sasuke?" tanyanya dengan suara tenang meski hatinya tidak. Bagaimana mungkin dia percaya kalau Sasuke ternyata menyukai Naruto?

Sasuke menatap ayahnya lalu mengangguk dalam diam.

"Tapi bagaimana mungkin?" Akhirnya Fugaku menyatakan isi kepalanya. "Bukankah kau baru bertemu dengan Hime siang tadi?"

"Tentu saja semua itu mungkin. Kau pikir siapa yang bisa menolak pesona Naru yang cantik dan menawan itu?" Ini adalah jawaban Madara yang membuat Fugaku melirik kedua putranya yang lain. "Hmph. Shisui dan Itachi tidak termasuk dalam hitungan pria normal. Jadi jangan samakan Sasuke dengan kedua kakaknya."

"Oji-sama, kami normal." Itachi tidak terima sementara Shisui masih menahan diri. Euforia Madara karena Sasuke menyukai Naruto sungguh menakutkan.

"Kalau begitu kalian berdua bodoh."

"Ehem, Otou-sama," lirih Fugaku untuk mengingatkan ayahnya.

Madara menyilangkan tangan di depan dada. Mood baiknya usai makan malam kini hancur berantakan.

"Otou-sama, sebenarnya kami tidak keberatan kalau Sasuke memang menyukai Hime. Hanya saja ini terlalu dini untuk memutuskan masalah pernikahan. Biarkan Sasuke dan Hime saling mengenal lebih dulu. Lagipula, meskipun Sasuke jelas menyukai Hime tapi apakah Hime juga menyukainya?"

Pertanyaan Mikoto membuat Madara terdiam. Tentu saja dia juga memikirkan hal itu. "Kalau aku tidak segera melamar Naru maka Hashirama akan segera menjodohkannya dengan Sabaku Gaara."

"Oji-sama, maaf." Akhirnya Sasuke memberanikan diri bicara. "Apa yang Okaa-sama katakan memang benar. Naru-hime belum menyukaiku."

"Dan kau menyerah begitu saja?" Madara melengkungkan alis tinggi.

Sasuke menggeleng. "Bukan begitu, tapi biarkan Hime mengenalku dulu. Aku juga-," bungsu Uchiha itu menghela napas pelan, "-aku juga harus menyiapkan hati untuk segala sesuatunya. Ini juga hal baru bagiku."

"Akan lebih baik kalau mulai besok kau ikut bergabung ke dalam Uchiha Grup." Tiba-tiba Madara mengambil keputusan.

"Tidak," jawab Sasuke tegas. "Aku tidak akan merubah kepribadianku hanya agar Hime menyukaiku. Jika Hime memang bersedia bersamaku maka dia akan menerimaku juga profesiku."

"Kau sadar apa yang kau katakan?" tanya Madara sembari memincingkan mata.

Dengan mantap Sasuke mengangguk.

Fugaku menatap bangga putra bungsunya. Meski dibesarkan jauh darinya tapi Sasuke memang memiliki tekad dan kepribadian yang kuat. Dia sendiri tidak masalah dengan apapun pilihan hidup putranya. Asal bisa bertanggung jawab dengan pilihannya dan tidak melanggar norma, Fugaku pasti akan tetap mendukungnya.

Dengan wajah suram Madara beranjak dari sofa. "Aku pulang," katanya dengan nada datar. Pembicaraan malam ini mengecewakannya. Tidak ada yang setuju jika dia langsung melamar Naruto. Dia tidak bisa memaksakan kehendaknya begitu saja. Bagaimana pun, Sasuke lah yang nantinya akan menjalani semua itu.

Melihat Madara hendak pergi, seluruh keluarga langsung berdiri lalu memberi hormat. Mereka pun mengantar kepulangan Madara sampai ke pintu utama. Itachi yang pertama menghela napas setelah mobil kakeknya menghilang dari pelataran kediaman Uchiha.

"Malam yang melelahkan," gumam putra kedua Fugaku itu.

Shisui tersenyum pada Itachi lalu menepuk bahu adik bungsunya. "Mulai sekarang biasakan dirimu menghadapi Oji-sama."

Fugaku dan Mikoto hanya tersenyum melihat Sasuke terdiam. Apa yang terjadi malam ini memang mengejutkan semua orang.

"Lihat adik bungsu kalian, dia sudah menemukan wanita yang disukainya. Lalu kapan kalian berdua akan membawa calon menantu ke rumah ini, hm?" goda Mikoto sembari memeluk lengan Sasuke.

"Okaa-sama," seru ketiga putranya dengan nada dan ekspresi berbeda. Shisui tampak malu, Itachi tampak terkejut sementara Sasuke harus berdeham beberapa kali untuk menutupi kegugupannya.

Tentu saja Mikoto tertawa melihatnya. "Lihat Anata, ketiga putramu sungguh lucu."

Fugaku menarik sudut bibirnya menyerupai senyum. "Hm, mereka putra kita," jawabnya sembari berjalan masuk, kembali ke ruang keluarga.

"Aiya, tentu saja mereka putra kita." Dan Mikoto tertawa senang dengan masih memeluk lengan Sasuke dan menyeretnya mengikuti sang suami.

Sepertinya malam ini akan benar-benar menjadi malam yang panjang bagi Sasuke.

***

Tumpukan dokumen di ruang kerja Hokage membuat Hashirama sakit kepala. Meski sudah dibantu oleh Nagato, Putra Mahkota juga Madara, sang Perdana Menteri, tetap saja setiap hari dokumen dan berbagai persoalan datang silih berganti.

Pagi itu, Umino Iruka, sekretaris Hokage, sedang membacakan jadwal kerja juga beberapa perencanaan yang akan dilaksanakan dalam dua hari ke depan. Nagato membaca map di depannya sembari mendengarkan dengan seksama, sementara Hashirama duduk tenang dengan tangan terlipat di depan dada.

"Pertemuan dengan Menteri Pertahanan dan juga Jenderal Shimura untuk membahas masalah perbatasan akan dijadwalkan lusa. Sementara perpanjangan kerja sama ekspor teh dengan negara Mizu akan dijadwalkan besok. Malam ini Menteri Perdagangan Luar Negeri Mizu akan tiba."

"Hm, masalah perbatasan Perdana Menteri akan menjadi pemimpin pertemuan. Katakan pada Menteri Perdagangan untuk mengirimkan hasil pertemuan dengan negara Mizu dalam dua hari. Aku ingin pembaharuan perjanjian ditanda tangani sebelum Kurama pulang."

"Baik, Hokage." Iruka segera mencatat untuk membuat memo pada Menteri Perdangangan.

"Madara, aku ingin kau terus memantau masalah perbatasan. Anak buah Yamato sudah menemukan beberapa kejanggalan sebulan terakhir." Hashirama menatap sahabatnya yang masih duduk dengan tenang.

"Aku mengerti. Mata-mataku juga terus siaga disana," jawab Madara. "Shinno-sama, bagaimana hasil perjalananmu dengan Nara dua hari lalu?" tanyanya kemudian pada Nagato.

"Aku akan berikan salinan laporannya pada Perdana Menteri siang ini. Yang jelas, kami sudah menemukan beberapa bukti baru yang mungkin akan mempercepat semuanya."

"Bagus, aku sudah lelah bermain kucing-kucingan dengan mereka."

Hashirama tersenyum melihat wajah masam sahabatnya. Kesabaran memang bukan menjadi bagian Madara.

"Kita sudah menunggu selama sepuluh tahun, jangan gegabah." Hashirama mengingatkan.

"Aku tahu," jawab Madara.

"Baiklah, sebaiknya kalian kembali ke ruangan masing-masing. Aku masih harus menandatangani banyak dokumen."

Nagato segera berdiri lalu memberi hormat pada ayahnya sebelum pergi meninggalkan ruangan.

"Kau tidak kembali?" Hashirama menatap heran sahabatnya yang masih duduk dengan tenang.

"Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk pesta ulang tahunku akhir pekan."

Hashirama tertawa mendengarnya. "Aku tidak tahu kalau kau bisa seantusias ini hanya karena sebuah pesta ulang tahun."

"Ck, jangan mengejekku. Kau tahu alasanku yang suka merayakan pesta ulang tahun," jawab Madara dengan wajah tertekuk.

"Ya, ya, ya, kau ingin mengumpulkan semua cucumu dan mengenalkannya pada cucu kesayanganku," goda Hashirama.

"Tahun ini berbeda."

"Hm, apanya yang berbeda?"

"Sasuke sudah jatuh cinta pada Hime. Aku ingin mereka lebih dekat." Madara tersenyum puas saat melihat ekspresi wajah sang Hokage.

"Kau bercanda?" tanya Hashirama dengan kening berkerut.

"Tentu saja tidak."

"Tapi mereka baru bertemu sekali?" Hashirama masih tidak percaya.

"Kau juga jatuh cinta pada pandangan pertama," dengkus Madara yang membuat Hashirama menganga dan tidak bisa menjawab.

"Sudahlah, aku tidak mau berdebat. Aku hanya ingin kau mengijinkan Hime untuk datang ke pesta ulang tahunku," kata Madara kemudian sembari beranjak dari sofa.

"Dia memang akan datang. Shikamaru dan Neji sudah meminta ijin untuk mendampinginya."

Madara sudah membuka mulut untuk memprotes kehadiran dua pengawal setianya, tapi dengan bijak kembali diam. Dia tahu itu pasti keinginan Naruto.

"Aku kembali keruanganku," katanya kemudian seraya meninggalkan ruangan.

Hashirama menghela napas panjang begitu pintu ruangannya tertutup. "Iruka, minta Yamato mengirimkan semua data lengkap mengenai Uchiha Sasuke."

"Baik, Hokage."

"Madara, kau menambah sakit kepalaku saja."

***

Tiga hari kemudian di Uchiha Tower. Sasuke memandang gedung tinggi yang menjulang di hadapannya. Kalau tidak salah ingat, ini adalah ketiga kalinya dia mengunjungi perusahaan keluarganya setelah entah berapa tahun yang lalu. Merapikan blazer abu-abunya, Sasuke memberikan kartu berwarna hitam kepada penjaga keamanan di pintu masuk lobi.

Penjaga keamanan tersebut sesaat tertegun melihat kartu yang jarang dilihat kecuali untuk anggota keluarga Uchiha. Dia pun mempersilakan Sasuke masuk dan menunjuk lift khusus yang berada di sisi paling barat lobi.

Dengan tenang Sasuke berjalan menuju lift dan mengabaikan beberapa karyawan yang menatapnya heran. Mungkin karena dia menjinjing tas kamera dan hanya memakai t-shirt V-neck di balik blazernya. Terlalu casual, memang. Para karyawan itu semakin heran saat melihat Sasuke berdiri di depan lift VIP. Karena hanya jajaran direktur ke atas saja yang diijinkan menggunakan lift tersebut. Sesampainya di lantai atas, Sasuke segera menuju ruangan Itachi.

"Selamat siang, aku Uchiha Sasuke, memiliki janji dengan Direktur Uchiha Itachi," kata Sasuke seraya menunjukkan kembali kartu hitamnya.

"Selamat siang Sasuke-sama, Itachi-sama sudah menunggu Anda. Silakan masuk." Wanita yang diduga Sasuke sebagai sekretaris itu mengantarnya sampai ke pintu ruangan Itachi lalu mengetuknya. "Itachi-sama, Sasuke-sama sudah datang."

Itachi yang duduk di belakang meja kerjanya langsung tersenyum begitu melihat sang adik. "Sasuke, masuklah." Dia langsung membereskan dokumennya.

"Kau masih banyak pekerjaan?" tanya Sasuke begitu duduk di kursi tamu yang tak jauh dari meja kerja kakaknya.

"Tidak, pekerjaanku sudah selesai. Hanya sedang membaca beberapa dokumen untuk rapat lusa sembari menunggumu datang. Kau mau langsung pergi atau kita menemui ayah lebih dulu?"

Sasuke menoleh dengan wajah datar yang membuat Itachi tertawa.

"Baiklah, baiklah, kita langsung pergi." Itachi mengerti tanpa adiknya perlu bicara. Dia pun beranjak lalu meraih jas kerjanya yang tersampir di kursi. "Kau sudah makan siang?"

"Belum."

"Kita lihat tempatnya dulu, setelah itu makan siang, bagaimana?"

"Hm," gumam Sasuke sembari mengangguk.

***

Mobil yang dikemudikan Sasuke berjalan sesuai dengan arahan Itachi. Keduanya menuju ke bagian selatan pusat kota Konoha.

"Bukankah ini jalan menuju Café milik Hime?" Sasuke mengerutkan kening begitu Itachi memintanya berbelok ke kanan setelah lampu merah.

"Tempatnya memang tidak jauh dari sana," jawab Itachi sembari tersenyum lebar saat sang adik menoleh padanya.

"Bagaimana kau mendapatkannya? Sudah satu minggu aku berkeliling di sekitar sini dan tidak ada info mengenai gedung yang akan dijual atau disewakan." Sasuke menginjak pedal gas lalu melaju saat lampu lalu lintas berubah hijau. Dia berbelok ke arah kanan dan matanya langsung menangkap sebuah bagunan bercat putih dengan neon box bertuliskan 'Nami Café'.

Itachi tertawa lalu menepuk bahu adiknya. "Biasakanlah untuk menggunakan nama Uchiha dengan benar. Kau bisa membeli semua gedung dikawasan ini jika mau."

Mendengar perkataan Itachi membuat Sasuke menggeleng dengan ekspresi datar. Terkadang dia memang lupa dengan kekuatan yang bisa diperoleh dari nama keluarganya.

"Berhentilah di sebelah sana." Itachi menunjuk pada bangunan dengan cat biru dan hitam yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari café milik Naruto.

Parkir dengan sempurna dan Sasuke langsung menoleh pada kakaknya. "Kenapa membantuku mendapat tempat di sini? Kupikir Onii-san tidak setuju jika aku dekat dengan Hime."

"Tidak setuju?" Itachi justu balik bertanya dengan alis bertaut. "Ah, maksudmu karena aku dan Shisui-nii tidak memberitahu perihal identitas Hime?"

Sasuke mengangguk sebagai jawaban.

"Tidak, bukan begitu. Alasan aku dan Shisui-nii tidak memberitahumu karena takut kau kecewa. Kami jelas tahu bagaimana sifatmu. Kami juga berpikir kalau mungkin saja perasaanmu hanya sesaat dan akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Hanya tidak menyangka kau bisa bertemu Hime lagi secepat itu."

"Dan sekarang kalian berdua mendukungku?" Sasuke kembali bertanya.

"Bukankah aku pernah mengatakan kalau apapun keputusanmu, kami akan mendukungmu? Kau jelas sudah menetapkan hatimu untuk tetap menyukai Hime dan ingin dekat dengannya. Aku dan Shisui-nii hanya ingin membantu. Itu saja."

Memalingkan wajah ke luar jendela, Sasuke memperhatikan beberapa pejalan kaki dalam diam.

"Tidak perlu dipikirkan, ayo kita lihat ke dalam." Itachi tersenyum saat Sasuke menoleh lalu keluar dari mobil.

Keduanya pun memasuki gedung yang akan digunakan sebagai studio foto. Gedung itu memiliki tiga lantai dan cukup luas.

"Sepertinya tempat ini sudah dirapikan." Sasuke menatap beberapa bekas partisi di dinding.

"Memang, tempat ini sudah kosong sejak tiga hari lalu. Awalnya sudah ada penyewa lain yang siap menempati minggu depan. Tapi kemarin Shisui-nii tiba-tiba memberitahuku kalau sudah membeli gedung ini dan aku langsung menyuruh orang untuk membongkar semua partisi agar kau lebih mudah merenovasinya."

"Membeli?" Sasuke berbalik dengan ekspresi terkejut. "Shisui-nii membeli tempat ini?"

"Yups, dia bilang agar kau tidak kembali ke Oto kalau-kalau patah hati karena Hime."

"Huh?!"

Melihat reaksi Sasuke membuat Itachi tertawa. "Aku bercanda."

"Itu sama sekali tidak lucu," dengkus Sasuke kesal.

"Aku tahu, tapi ekspresi wajahmu itu lucu sekali." Itachi kembali tertawa dan baru berhenti saat Sasuke tiba-tiba meninggalkannya ke lantai dua. "Hei!" serunya sembari menyusul sang adik.

"Tempat ini paling dekat dengan Nami Café dan menurut kami cocok untuk studiomu. Tapi pemilik tempat ini tidak memberikannya padaku karena ada penyewa yang sudah lebih dulu membayar. Maka dari itu Shisui-nii langsung membelinya."

Sasuke mendengarkan penjelasan Itachi yang kini sudah berdiri di sebelahnya.

"Kau suka?" tanyanya kemudian.

Sasuke masih diam tapi dia mengangguk sebagai jawaban. Bungsu Uchiha itu sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

"Kenapa?" Itachi bertanya lagi karena sang adik hanya diam sembari terus mengamati dan melihat-lihat sekeliling ruangan.

Sasuke menoleh pada kakaknya yang kini duduk di atas sebuah kotak kayu. "Bagaimana aku menggantinya?"

Itachi yang tengah mengambil rokok dan bersiap menyalakannya justru terpaku menatap adiknya. "Apa maksudmu dengan mengganti?"

"Mengganti uang pembelian gedung," jawab Sasuke kemudian dan itu sukses membuat Itachi terbahak.

"Onii-san."

Mendengar Sasuke berseru dengan panggilan hormat membuat Itachi berhenti tertawa. "Tidak perlu, ini hadiah dari kami."

"Hm," gumam bungsu Uchiha kemudian. Tentu saja itu membuatnya lega. Dia masih membutuhkan banyak uang untuk renovasi juga memulai bisnis barunya. Selama berada di Konoha, studionya di Oto dikelola oleh dua rekannya. Salah satu rekannya akan pindah ke Konoha setelah studio siap.

Itachi menikmati waktu santainya dengan merokok dan membiarkan Sasuke memuaskan diri melihat-lihat tempat barunya. Dia tetap di lantai dua saat Sasuke kemudian naik ke lantai tiga. Sepuluh menit kemudian, adik bungsunya itu kembali turun dengan wajah yang lebih cerah.

"Sudah selesai?"

Sasuke mengangguk. "Terima kasih."

"Tidak masalah, tapi kau tetap harus mengucapkan terima kasih pada Shisui-nii," kata Itachi sembari menggoyangkan jarinya yang masih mengapit rokok.

"Hm."

"Kau harus lebih banyak berkomunikasi dengannya. Dia juga sayang padamu," lanjut Itachi sembari beranjak lalu berjalan ke arah tangga. Mengikuti Sasuke yang sudah berjalan di depannya.

"Aku-," Sasuke menjeda ucapannya lalu menoleh, "-hanya belum terbiasa."

"Aku mengerti. Selama ini dia memang disibukkan dengan banyak tanggung jawab sebagai putra sulung, maka dari itu dia jarang mengunjungimu ke Oto. Tapi dia selalu peduli padamu. Shisui-nii bahkan selalu memarahiku jika keterlaluan menggodamu. Lagipula dia juga pendiam sepertimu."

Melihat Sasuke meliriknya dari sudut mata membuat Itachi bisa menebak apa yang sedang dipikirkan adiknya. "Hei, aku hanya lebih ramah seperti ibu jika dibandingkan kalian berdua yang menuruni sifat ayah."

Dan Sasuke pun tidak mendebat kakaknya. Itachi memang lebih mudah bergaul dan menjalin hubungan dengan orang dibanding dengan dirinya dan Shisui. Tidak heran kalau di kantor dia menjabat sebagai Direktur Pemasaran.

"Ayo makan siang Otouto, kau harus mentraktirku di Nami Café."

Dan keterkejutan di wajah Sasuke kembali membuat Itachi tertawa. Ah, semoga saja dia tidak sakit perut karena hari ini terlalu banyak tertawa.

***

"Ah, Itachi-sama, sudah lama Anda tidak datang." Ten Ten menyapa dengan ramah begitu melihat tamu istimewa yang berdiri di depan meja kasir.

"Baik sekali kau masih mengingatku Ten Ten. Bagaimana kabarmu?" tanya Itachi dengan senyum lebar.

"Baik Itachi-sama. Silakan duduk atau Anda ingin langsung memesan?"

"Aku pesan makanan paling istimewa dari Akamichi-san," jawab Itachi.

Ten Ten tertawa. "Baik, baik, semoga Choza masih ingat makanan istimewa kesukaan Anda," kelakarnya. "Lalu teman Anda?" Tenten memiringkan kepala dan mengenali pria muda yang berdiri di belakang Itachi.

"Ah, ini adikku, Sasuke, dan jangan katakan kalau kau baru pertama bertemu dengannya karena aku tidak akan percaya."

Ten Ten menyembunyikan senyum gelinya di balik buku menu. "Baiklah, Sasuke-sama, Anda ingin memesan apa?"

"Berikan buku menunya, biarkan dia memilih," sela Itachi kemudian saat melihat wajah datar Sasuke. Dia menerima buku menu dari Ten Ten lalu mengajak Sasuke untuk duduk dengan sebelumnya menghampiri Darui.

"Darui-san, tolong dua black coffee."

"Baik Itachi-sama." Barista itu pun mengangguk hormat.

Itachi memilih tempat duduk di ujung ruangan yang tidak terlalu ramai. "Kau ingin makan apa? Disini hanya menyediakan rice bowl untuk makan siang. Selebihnya kau hanya akan menemukan roti dan dessert," jelas Itachi begitu keduanya sudah duduk.

"Tadi kau pesan apa?" Sasuke justru balik bertanya tapi matanya fokus membaca daftar menu makanan.

"Oh, aku paling suka Oyakodon buatan Akamichi-san. Kau lebih suka daging sapi, maka kusarankan memesan nasi kare daging."

Mendengar saran Itachi membuat Sasuke langsung menutup buku menunya. "Aku pesan itu."

Ten Ten datang membawakan pesanan Itachi juga dua cangkir kopi. Dia lalu mencatat pesanan Sasuke dan segera kembali ke dapur.

"Itachi-nii, aku ingin bertanya."

Itachi yang sudah siap dengan sumpit di tangan mengurungkan niatnya untuk makan. "Ada apa?"

Sasuke mengamati sekelilingnya sebelum kembali bicara. "Apa para pekerja itu tahu status Nami?"

Ah, Itachi lupa belum menceritakan hal itu pada adiknya. Dia pun tersenyum lalu mengangguk. "Akamichi-san, dulu adalah salah satu juru masak terbaik istana," ucapnya lirih. "Masakannya adalah kesukaan Kushina-hime. Dia memilih untuk mengabdikan hidupnya disini untuk mengenang Hime juga Namikaze-shinno, sekaligus tetap bisa menjaga Naru-hime saat berada di luar istana."

Sasuke kemudian melirik ke arah Darui dan Ten Ten.

"Darui, barista itu, dia adalah mantan anggota Anbu, pasukan pengawal khusus kerajaan. Ten Ten, wanita yang menjaga kasir itu adalah bagian dari pasukan khusus wanita yang dibesarkan di Negara Mizu. Dia dan seorang wanita lagi bernama Fuu, datang atas permintaan kakak dari Nami agar menjaganya selama di café."

Mendengar penjelasan kakaknya membuat Sasuke mengerutkan kening.

"Kenapa menatapku begitu? Wanita yang kau sukai adalah putri dari dua kerajaan. Mana mungkin Hokage dan Mizukage membiarkannya diluar tanpa pengamanan?" kata Itachi yang kemudian mulai menikmati makan siangnya. Obrolan mereka terhenti saat Ten Ten kembali datang mengantar makan siang untuk Sasuke.

Mengucapkan terima kasih, Sasuke masih sempat mengamati Ten Ten yang berjalan kembali ke meja kasir. "Café ini benar didirikan oleh ayah Nami?" tanyanya lagi dengan suara lirih.

Itachi yang masih mengunyah hanya mengangguk. "Ayah Nami suka membuat roti sembari menikmati kopi. Tempat ini dulu hanya menjual roti dan dessert. Belum lama menyajikan rice bowl sebagai menu makan siang," jawabnya kemudian setelah menelan makanannya.

"Kau sering datang?" Melihat sikap Ten Ten yang tampak akrab dengan kakaknya membuat Sasuke penasaran.

"Sesekali," jawabnya singkat. "Ng, dan bukan hanya aku, Shisui-nii, bahkan Sai dan Obito juga."

"Untuk apa kalian datang kesini? Apa Nami sering berada di café?" Entah kenapa tiba-tiba Sasuke merasa tidak nyaman mendengar banyak saudaranya yang datang mengunjungi café.

"Kalau aku dan Shisui-nii datang karena perintah Ojii-sama. Sebelum kau pulang, Ojii-sama selalu meminta kami untuk mendekati Nami." Itachi menahan senyumnya melebar saat melihat Sasuke makan dengan ekspresi masam.

"Lalu bagaimana dengan Sai dan Obito?" tanya Sasuke kemudian.

"Ah mereka berdua ya," Itachi sengaja menjeda perkataannya dengan meneguk kopinya sedikit lebih lama. Menggoda adik bungsunya sungguh menyenangkan.

"Baka-tachi," sungut Sasuke kemudian saat menyadari sang kakak tengah mengerjainya.

Itachi menahan tawa di balik telapak tangannya. "Kau lucu sekali, Sasuke."

"Berhenti mengejekku."

"Baiklah, baiklah, jangan marah. Obito dan Sai tentu saja ingin merayu Nami. Kau tahu sendiri bagaimana sifat keduanya. Tapi tenang saja, Nami sama sekali tidak tertarik dengan mereka. Bahkan aku secara pribadi menaruh rasa kagum padamu yang berhasil menginap disini meski Nami tahu kau bermarga Uchiha. Jujur saja, Nami terkadang alergi mendengar nama keluarga kita."

"Alergi?" Sumpit Sasuke berhenti tepat di depan mulut dan menatap kakaknya penasaran.

"Dia sering kesal karena Ojii-sama sering memaksanya untuk bertemu dengan kami."

Sasuke mengangguk tanda mengerti lalu kembali melanjutkan makan siangnya. Rasa kare yang awalnya begitu nikmat kini justru terasa hambar. Mendengar cerita Itachi membuat Sasuke berpikir tentang bagaimana dia harus bersikap di depan Naru saat mereka bertemu lagi.

"Apa Nami sering berada di café? Ada jadwal khusus untuknya keluar istana?" tanya Sasuke kemudian. Dia terus bertanya-tanya dalam hati kapan bisa bertemu lagi dengan wanita itu.

Kali ini Itachi menggeleng. "Biasanya Ojii-sama akan memberitahu kami jika Nami keluar dari istana. Selebihnya aku tidak tahu. Kenapa?" tanyanya kemudian saat melihat alis Sasuke bertaut. "Ah, aku mengerti, kau sedang berpikir kapan bisa bertemu dengannya lagi, bukan?"

Mau tidak mau Sasuke mengangguk. Dia menunduk dan pura-pura melanjutkan makan untuk menutupi rasa malunya, membuat Itachi terkikik.

Putra kedua Uchiha itu meletakkan mangkuk kosongnya lalu menikmati kopi dengan santai. "Tenang saja, akhir pekan nanti kau pasti bisa bertemu dengannya."

"Akhir pekan?" Seringai di wajah Itachi membuat Sasuke semakin penasaran.

"Pesta ulang tahun Ojii-sama. Nami pasti diundang. Tapi pesanku, kau harus benar-benar siap untuk bertemu dengan kakaknya."

"Namikaze-shinno?"

Itachi mengangguk dengan wajah serius. "Dia rubah yang mengerikan."

Ah, kenapa sepertinya sulit sekali mendekati Hime? Batin Sasuke menggerutu. Dan bungsu Uchiha itu kembali melanjutkan makan siangnya dengan tenang.

***

>>Bersambung <<

>>Nami Cafe - Chapter 7<<

>>Nami Cafe - Chapter 9<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

 

Post a Comment

0 Comments