Nami Cafe - Chapter 7

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

========================================================================


"Sasuke, apa kau sudah mengenal Naru-Hime sebelumnya?" Madara memperhatikan ekspresi cucunya. Mereka berada di dalam mobil dan baru saja meninggalkan pelataran istana.

Ingat akan pesan Naruto sebelumnya, Sasuke pun menggeleng. "Tidak, Oji-sama." Ya, itu bukan kebohongan. Sasuke memang belum mengenal Naruto sebagai Hime sebelumnya. Yang dia tahu adalah wanita bernama Nami. "Ada apa Oji-sama?" putra bungsu Uchiha membaca ketidak puasan di wajah kakeknya.

"Lalu apa pendapatmu tentang Naru-hime?" Alih-alih menjawab, Madara justru kembali bertanya.

Sasuke terdiam.

"Kau tidak menyukainya?"

"Bukan begitu Oji-sama. Kami baru bertemu dan Hime juga belum mengenalku sepenuhnya. Terlalu dini untuk menyimpulkan aku menyukainya atau tidak. Dan lagi, bukan perasaanku yang paling penting, tapi Hime. Apakah dia bisa menyukaiku?"

Kali ini Madara yang terdiam. Dia cukup terkejut dengan jawaban Sasuke, tapi apa yang dikatakannya itu benar. Madara menghela napas perlahan seraya melipat tangan di depan dada. "Apa kau tahu kalau aku sangat ingin salah satu cucuku bisa menikah dengan Naru-Hime?"

Sasuke hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Kau mungkin merasa heran tapi aku benar-benar ingin menjadikannya cucuku dan menjaganya. Semua ini bukan karena dia seorang putri kerajaan." Madara merasa Sasuke harus mengerti keinginannya.

"Tapi bukankah Naru-hime juga sudah menganggap Oji-sama sebagai kakeknya?" tanya Sasuke dengan kening berkerut.

Pandangan Madara beralih ke luar jendela saat ingatan masa lalu kembali terbayang dalam benaknya. "Tentu saja Naru begitu. Aku sudah menyayanginya sejak lahir. Hari itu, hari dimana terjadi kudeta di istana, akulah yang menyelamatkannya. Minato dan Kushina menitipkan Naru padaku sebelum keduanya menghembuskan napas terakhir. Dalam pangkuanku, Naru yang juga terluka hanya bisa menangis dalam diam melihat kepergian kedua orang tuanya. Sejak itu Naru menjadi pendiam. Dia lebih senang tinggal di luar istana. Maka dari itu aku ingin membawanya jauh dari kehidupan istana."

"Bagaimanapun Naru-Hime adalah putri kerajaan, bagaimana mungkin menjauhkannya dari kehidupan istana?"

Seringai di bibir Madara membuat Sasuke mengerutkan kening. "Dengan menjadi cucu menantuku, dia jelas akan jauh dari kehidupan istana. Naru akan menyandang nama Uchiha. Dia bisa dengan bebas berada di luar istana tanpa perlu menyembunyikan identitasnya sebagai Namikaze. Keturunan yang lahir darinya akan menjadi keturunan Uchiha."

"Tapi apakah Hokage juga Mizukage tidak akan keberatan jika Naru-Hime tidak menikah dengan seorang pangeran? Apalagi sampai tinggal di luar istana?"

"Mereka tidak akan berkutik jika itu adalah keinginan Naru sendiri. Maka dari itu aku mengenalkan semua cucuku padanya. Sayangnya, semua keturunan Uchiha tidak berguna karena tidak bisa membuat Naru jatuh cinta."

Sasuke meringis dalam hati. Bukankah dia juga bagian dari keturunan Uchiha? Ah, andai kakeknya tahu kalau dirinya sudah jatuh cinta pada Naruto bahkan sejak pertemuan pertama mereka.

"Oji-sama, boleh aku bertanya?"

"Hm."

"Kudeta sepuluh tahun yang lalu, apakah masalah itu sudah selesai?"

Pertanyaan Sasuke membuat Madara memincingkan mata. "Kenapa kau bertanya masalah itu?"

"Karena sampai saat ini identitas Naru-Hime masih dijaga ketat. Aku berpikir mungkin masalah itu belum selesai."

Madara mengangguk sebagai jawaban. "Kau benar, sampai saat ini aku dan Hokage belum berhasil mengungkap dalang yang sebenarnya dari kudeta itu. Tidak menutup kemungkinan, 'orang itu' mungkin ada di dalam istana. Naru dan Kurama juga pernah mengalami penyerangan beberapa kali. Meski itu terjadi di luar istana tapi besar kemungkinan informasi bocor dari dalam istana."

"Berarti membawa Naru-Hime keluar dari istana akan membuatnya lebih aman?"

"Tidak semudah itu Sasuke. Aku ingin membawanya keluar istana sebagai Uchiha hanya agar dia tidak terkukung di dalam sangkar emas. Dia bisa melupakan semua kenangan buruk yang terjadi di dalam istana. Tapi masalah kudeta ...," Madara terdiam lalu kembali menatap keluar jendela.

"Siapapun dalang dari kudeta itu, dia pasti berniat untuk mengambil alih posisi Hokage dan juga pemerintahan Negara Hi. Pastinya dia akan membunuh semua keluarga istana. Memang benar jika Naru tidak akan menyandang nama Namikaze setelah menikah dengan Uchiha. Tapi bagaimanapun, darahnya adalah darah Namikaze juga Senju. Selama ada kesempatan baginya mewarisi tahta maka nyawanya akan tetap terancam."

Mendengar penjelasan Madara membuat Sasuke tanpa sadar mengepalkan tangannya yang bersandar di atas lutut. Dia bisa membayangkan betapa rumit kehidupan yang dijalani Naruto selama ini.

"Dan akan lebih bahaya lagi jika Naru sampai menikah dengan pangeran negeri lain."

"Menikah dengan pangeran?" Sasuke merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Dia langsung ingat perkataan Madara saat acara makan malam keluarga.

"Bukankah kau sudah tahu? Hashirama berencana menjodohkan Naru dengan Pangeran Suna, Sabaku Gaara."

Astaga, Sasuke benar-benar melupakan hal itu. Kemarin malam dia tidak berpikir panjang karena tidak tahu siapa Naruto sebenarnya. Dia bahkan mengatakan kalau tidak mau dipaksa dan kehidupan istana tidak akan cocok dengannya.

"Hashirama bodoh, membuat Naru menikahi pangeran hanya akan membahayakan nyawanya karena menjadi pengikat hubungan tiga negara." Madara bahkan mendengkus di akhir kalimatnya. Melihat perubahan di wajah Sasuke membuat Madara sejenak merenung.

"Hei, Sasuke?"

Putra bungsu Uchiha itu mengangkat wajahnya, menatap sang kakek.

"Kau menyukai Naru-hime bukan?"

Sasuke kembali terdiam dan seringai di wajah Madara membuat lidahnya semakin kelu.

***

Naruto bersandar pada kepala tempat tidur sembari mengamati Neji yang tengah membereskan peralatannya.

"Boleh aku bertanya?" Neji menggulung stetoskopnya, memasukkannya ke dalam tas lalu duduk di tepi tempat tidur.

"Hm?"

"Siapa pria yang bertemu denganmu tadi? Pelayan istana bergosip soal cucu bungsu Perdana Menteri."

Naruto tertawa mendengarnya. "Sejak kapan Neji Sensei juga suka bergosip, hm?"

"Bukan begitu, aku hanya melihat dia sekilas dan kebetulan mendengar obrolan beberapa pelayan istana," kata Neji membela diri.

"Ah, begitu." Naruto tersenyum lebar.

"Kau tidak mau menjawab pertanyaanku?" Neji kembali bertanya seraya mengerutkan kening.

"Namanya Uchiha Sasuke dan benar dia adalah cucu bungsu Perdana Menteri. Untuk alasan kenapa dia datang, kupikir kau bisa menebaknya." Putri cantik itu masih tersenyum saat melihat ekspresi wajah sahabatnya. Naruto tidak buta untuk tahu bagaimana perasaan Neji juga Shikamaru padanya. Hanya saja mereka bertiga sadar akan posisi masing-masing. Selamanya mereka akan menjadi sahabat, tidak lebih.

"Baiklah, aku harus kembali ke rumah sakit. Kau masih harus banyak istirahat, minum obatmu tepat waktu dan jaga pola makanmu dengan baik. Aku akan berikan jadwal obatmu yang baru pada Chiyo-san."

"Hm, terima kasih." Naruto melihat Neji beranjak dari tepi tempat tidur dan tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. "Neji?"

"Ya?"

"Minggu depan acara ulang tahun Perdana Menteri."

"Ah iya, ayahku baru mendapat undangannya semalam. Kau ingin aku dan Shikamaru menemanimu?"

"Bukankah setiap tahun seperti itu? Atau kau ada acara lain?" Naruto justru merasa heran dengan pertanyaan Neji.

"Bukan begitu, aku tidak ada acara dan Shikamaru juga pasti sudah mengosongkan jadwalnya seperti biasa. Tapi kupikir tadi-,"

"Sasuke?" tebak Naruto yang dijawab dengan anggukan oleh Neji. "Aku dan Sasuke hanya berteman. Kami baru bertemu dan aku tidak mau melambungkan harapan Madara Oji-sama terlalu tinggi."

Jawaban Naruto membuat hati Neji menjadi lebih ringan. Dia pun mengembangkan senyum lalu mengangguk. "Aku akan menemanimu."

"Terima kasih, Neji."

***

"Dimana Hime?"

Chiyo membungkuk hormat pada dua pangeran yang berdiri di depannya, Kurama dan Yahiko. "Hime-sama sedang berada di taman belakang."

"Ck, anak itu, bukankah aku sudah melarangnya untuk terlalu lama di luar?" gerutu Kurama. Dia baru saja kembali ke istana bersama dengan neneknya juga Yahiko, sepupunya.

"Maaf Shinno-sama, Hime-sama baru saja bangun setelah istirahat siang cukup lama." Chiyo mencoba menjelaskan agar Kurama tidak marah.

"Naru pasti bosan di kamar, jangan terlalu keras padanya." Yahiko tersenyum pada Chiyo sembari menepuk bahu adik sepupunya. Seluruh penghuni istana tahu kalau Kurama overprotective pada adik semata wayangnya. "Apa demamnya sudah turun Chiyo-san?"

"Sudah Shinno-sama, tadi Hyuga Sensei juga sudah memeriksanya." Chiyo menjawab sembari mengangguk hormat pada Yahiko.

"Hiashi jii-san atau Neji?" Kurama memperjelas pernyataan Chiyo.

"Neji Sensei."

"Sudahlah Ku, ayo kita temani Naru saja." Yahiko segera menyeret adik sepupunya ke luar istana. Kurama bisa sangat menyebalkan kalau menyangkut Naruto dan kedua sahabatnya.

Keduanya tiba di taman belakang dan melihat Naruto tengah duduk berdua bersama Konan di Gazebo.

"Okaa-sama, Naru-chan." Yahiko yang pertama menyapa kedua wanita itu dengan senyum lebar.

"Oh, kalian sudah kembali?" Konan tersenyum pada putranya yang langsung mencium kening Naruto. Yahiko memang berada di luar kota sejak lima hari yang lalu hingga belum bertemu Naruto.

"Oba-sama." Kurama juga memberi salam hormat pada bibinya.

"Bagaimana kabar Onii-sama?" tanya Naruto begitu Yahiko duduk di sebelahnya. Kurama duduk di sebelah Konan, di hadapan adiknya.

"Baik, kau yang tidak baik. Dasar anak nakal." Yahiko mencubit pipi adik sepupu kesayangannya.

"Berhentilah memperlakukanku seperti anak kecil," protes Naruto sembari mengusap pipinya yang memerah.

"Memang sejak kapan kau jadi dewasa, imouto?" seloroh Kurama yang langsung disambut tawa Konan juga Yahiko.

Naruto hanya mencebik lalu meraih cangkir tehnya. Percuma berdebat dengan kakaknya. Di mata seluruh keluarga dirinya memang selalu menjadi anak-anak.

"Tapi Naru-chan memang sudah dewasa. Kalian berdua akan terkejut kalau melihat surat dari banyak pangeran yang ditujukan pada Hokage untuk melamar Naru." Konan tertawa di balik telapak tangannya saat melihat Naruto hampir tersedak.

"Oba-sama, jangan membahas masalah itu lagi," kata Naruto seraya menyeka bibirnya dengan sapu tangan linen.

"Itu aku sudah tahu." Kurama menyeringai saat adiknya justru cemberut.

"Oh ya, kudengar tadi Perdana Menteri kembali mengenalkan cucunya," kata Yahiko pada Naruto.

"Aku juga sedang menanyakan hal itu sebelum kalian datang," kata Konan kemudian.

"Uchiha Sasuke, bagaimana orangnya?" Kali ini Kurama yang bertanya.

"Uchiha Sasuke? Aku belum pernah mendengar namanya? Dia benar putra Fugaku-san?" Yahiko kembali bertanya sebelum Naruto sempat menjawab pertanyaan kakaknya.

"Kau memang belum mengenalnya. Aku juga belum pernah melihatnya. Dari yang kudengar Sasuke tinggal di Negara Oto sejak lulus sekolah dasar bersama dengan Izuna-san. Dia baru kembali ke Konoha beberapa minggu ini karena permintaan Mikoto-san. Oh ya, dia seorang fotografer," jelas Konan panjang lebar yang membuat Naruto meletakkan cangkirnya sembari menggeleng.

"Oba-sama sudah tahu sebanyak itu dan masih mendesakku bercerita?"

"Hei, aku bertanya bagaimana pendapatmu tentangnya. Bukankah dia tampan seperti kedua kakaknya?"

"Hm, dia tampan," jawaban singkat Naruto ternyata membuat Konan memekik.

"Sungguh menurutmu dia tampan?" Konan kembali bertanya karena penasaran.

"Iya Oba-sama, memang aku harus menjawab apa? Pada kenyataannya Sasuke memang tampan." Naruto mencoba mengutarakan jawabannya.

"Dan kau tertarik padanya?" Yahiko ikut bertanya.

"Tidak," tegas Kurama cepat dan semua orang langsung menatapnya heran. "Kenapa? Aku memang tidak setuju kalau Naru menikah dengan Sasuke yang hanya seorang fotografer. Bukankah lebih baik kalau Naru menikah dengan Gaara?"

"Gaara? Sabaku Gaara? Pangeran Negeri Suna? Adik Kankurou dan Temari?" Yahiko tampak terkejut.

"Onii-sama, jangan mencoba menjodohkanku," kata Naruto dengan wajah masam.

"Ah, soal itu, sepertinya bukan hanya Kurama, tapi Otou-sama dan Okaa-sama juga berpikir hal yang sama." Konan tersenyum saat Naruto menatapnya dengan kening berkerut.

"Sepertinya hanya aku yang tidak tahu masalah ini." Yahiko terkekeh lalu mengambil kue beras di atas meja.

"Belum ada pembicaraan resmi. Kami hanya mempertimbangkan hal itu karena sudah banyak lamaran datang dari pangeran negeri lain," jawab Konan.

"Aku sudah cukup lama mengenal Gaara, kupikir memang akan cocok dengan Naru," Kurama menambahkan.

"Tapi bukankah Gaara itu pria yang dingin? Aku belum pernah mendengar berita dia menjalin hubungan dengan putri atau wanita manapun." Kali ini Yahiko memberikan komentarnya.

"Bukankah itu justru hal yang bagus? Dia bisa menjaga diri sebagai seorang pangeran," jawab Kurama.

"Sudahlah, aku tidak mau membahas masalah ini," sela Naruto sembari memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba berdenyut.

"Tenang saja Naru-chan, tidak akan ada yang memaksamu untuk menikah. Semua keputusan tetap ada padamu," Konan mencoba menenangkan. Dia takut jika Naruto merajuk lalu kembali meninggalkan istana.

Chiyo yang datang bersama dengan dua pelayan mengalihkan perhatian semua orang. "Mohon maaf Hime-sama, Shinno-sama, sudah waktunya Naru-Hime untuk minum obat."

"Ayo kembali ke kamar, Naru." Kurama yang pertama beranjak lalu mengulurkan tangan pada adiknya. Keduanya memberi salam pada Konan juga Yahiko lalu segera meninggalkan taman belakang.

"Okaa-sama, apa benar Ojii-sama dan Obaa-sama setuju jika Naru menikah dengan Pangeran Suna?" tanya Yahiko lagi seraya memandang kedua adik sepupunya yang kini memasuki istana.

"Sepertinya begitu, kenapa? Kau tidak setuju?" Konan menatap putranya dengan alis bertaut.

"Bukan begitu Okaa-sama, tapi-," Yahiko ragu untuk melanjutkan.

"Ada apa?" tanya Konan yang semakin penasaran dengan sikap putranya.

Sejenak menghela napas panjang, Yahiko menatap ke arah bangunan istana. "Yang kudengar dari Temari, adik bungsunya sudah memiliki kekasih."

"Ah?! Tapi tadi kau bilang kalau belum pernah mendengar Gaara memiliki kekasih?" Konan justru heran pada perkataan putranya.

"Karena keluarganya tidak setuju. Wanita yang dicintai Gaara adalah rakyat biasa. Temari memintaku untuk menjaga rahasia ini. Tapi itu perkataan Temari satu tahun yang lalu, jadi aku tidak tahu bagaimana kondisinya sekarang. Mungkin aku akan menanyakan hal itu pada Temari lagi."

"Sebaiknya kau segera tanyakan sebelum kakek atau nenekmu membicarakan perjodohan ini lebih lanjut."

Dan Yahiko mengangguk sebagai jawaban atas perintah ibunya.

***

Malam harinya di kediaman Uchiha. Fugaku terkejut saat tiba di rumah bersama ke dua putranya dan mendapati Madara sudah duduk dengan tenang di ruang keluarga, di rumahnya.

"Otou-sama, apa terjadi sesuatu?" bisik Shisui pada ayahnya. Dia menduga ada sesuatu yang penting hingga sang kakek berada di rumah mereka tanpa pemberitahuan sebelumnya.

"Mungkin ada hubungannya dengan kunjungan Oji-sama ke istana hari ini bersama Sasuke." Itachi mencoba menebak dan langsung mendapat tatapan tajam dari ayah juga kakaknya. "Aku ... hanya menduga," lanjutnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tapi mungkin tebakanku benar, lanjut Itachi dalam hati.

Tidak mau menduga-duga, Fugaku segera menghampiri sang ayah dan memberi salam, diikuti oleh kedua putranya.

"Oh, kalian sudah pulang?" Madara meletakkan buku yang tengah dibacanya ke atas meja. Wajahnya yang tampak cerah membuat Fugaku semakin heran.

"Apa ada sesuatu yang penting sampai Ayah datang?" Akhirnya Fugaku bertanya setelah duduk di sofa di depan Madara.

"Apa aku tidak boleh datang ke rumahmu?"

"Bukan begitu Ayah, hanya saja tidak biasanya Ayah-,"

"Ya, ya, aku mengerti maksudmu," sela Madara sembari melipat tangan di depan dada. "Tapi memang ada hal penting yang ingin aku bicarakan."

Di belakang Fugaku, Shisui dan Itachi yang masih berdiri saling bertukar pandang. Keduanya seolah bisa bicara melalui telepati.

"Ah, Anata, maaf aku terlalu sibuk di dapur sampai tidak menyambutmu pulang." Mikoto yang tiba-tiba datang mengalihkan perhatian semua orang.

"Tidak apa-apa." Fugaku memberikan senyum datar terbaiknya pada sang istri begitu Mikoto duduk di sebelahnya.

"Ayah ingin aku menghidangkan makan malam istimewa. Jadi sejak sore tadi kami semua sibuk memasak." Istri Fugaku itu kemudian tersenyum pada ayah mertuanya dan tidak tahu kalau sudah membuat suami juga kedua anaknya semakin penasaran. "Kalian sebaiknya mandi, sebentar lagi makan malam siap."

Shisui dan Itachi tidak membantah. Keduanya dengan patuh beranjak, memberi hormat pada sang kakek lalu segera masuk ke kamar masing-masing. Fugaku masih duduk dengan tenang sembari memperhatikan ayahnya yang kembali membaca buku dengan tenang.

"Apa terjadi sesuatu yang aku tidak tahu?" Fugaku setengah berbisik pada istrinya.

Mikoto melirik ayah mertuanya lalu kembali menatap sang suami seraya tersenyum. "Ayah tidak ingin aku memberitahumu sebelum kita selesai makan malam," jawabnya dengan suara yang sama lirihnya.

"Sebaiknya kau segera membersihkan diri agar kita bisa segera makan malam," ucap Madara sembari membuka halaman buku.

"Baik Ayah." Tentu saja Fugaku tidak berani membantah. Dia pun segera beranjak diikuti oleh Mikoto.

***

Tok! Tok! Tok!

"Onii-san, ini aku."

Itachi yang baru saja keluar dari kamar mandi mengerutkan kening saat mendengar suara adik bungsunya. Dia pun bergegas membuka pintu. "Sasuke? Ada apa?" tanyanya heran.

"Boleh masuk? Aku ingin bertanya sesuatu," jawab Sasuke dengan nada canggung.

"Tentu saja, masuklah." Itachi membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan adiknya masuk. Dia tersenyum melihat tingkah Sasuke yang kikuk. Ini adalah pertama kali Sasuke memasuki kamarnya sejak kembali dari Oto.

"Duduklah dimana saja kau mau," kata Itachi kemudian lalu Sasuke memilih duduk di sofa single tak jauh dari tempat tidur. Itachi sendiri kemudian duduk di tepi tempat tidurnya sembali mengeringkan rambut dengan handuk.

"Ehem," Sasuke berdeham dan hampir membuat Itachi terbahak. Adiknya itu sungguh lucu.

"Kau baik-baik saja?" tanya Itachi seraya tersenyum. Dalam hati dia sudah bisa menebak alasan Sasuke mencarinya.

"Hm," jawab bungsu Uchiha itu sembari mengangguk. "Siang tadi aku sudah bertemu dengan Hime-sama," katanya kemudian tanpa basa-basi.

"Ah iya." Itachi meletakkan handuk di atas pangkuannya. "Lalu bagaimana?"

"Sejak awal aku bercerita soal Nami padamu, apa kau sudah tahu kalau dia sebenarnya adalah Naru-hime? Apa itu alasanmu memintaku untuk merahasiakan pertemuan kami?" Masalah ini sudah menganggu Sasuke sejak kembali dari Istana.

Itachi tertawa sembari menggaruk pelipisnya.

"Jadi benar?"

Kali ini Itachi mengangguk. "Aku sudah tahu sejak Sakon mengatakan kalau kau menginap di Nami Café. Sayangnya Shisui-nii melarangku memberitahumu identitas Hime, apalagi setelah tahu kau benar-benar jatuh hati padanya."

"Kenapa?" tanya Sasuke dengan kening berkerut.

"Kenapa? Kau pasti bisa menebaknya. Lihat kakek, lalu lihat kau sekarang." Itachi menunjuk adiknya lalu beranjak dari tempat tidur. Dia berjalan ke arah walk in closet di dekat kamar mandi untuk berganti pakaian.

Sasuke termenung lalu menghela napas panjang. Dia masih membisu sampai Itachi kembali muncul lalu duduk di sofa single, di sebelahnya.

"Kau benar-benar jatuh cinta pada Hime?" tanya Itachi tanpa basa-basi.

Sasuke melirik kakaknya tapi tidak menjawab.

"Awalnya aku dan Shisui-nii berharap kalau pesona Nami padamu akan luntur seiring dengan berjalannya waktu. Dengan kesibukan barumu di Konoha, kau akan melupakannya. Sayangnya kami salah. Aku dan Shisui-nii tahu bagaimana sifat dan karaktermu. Ini pasti tidak akan mudah, benar bukan?" Itachi menilai ekspresi suram adiknya sebagai jawaban iya.

"Apa yang dikatakan Hime saat bertemu denganmu tadi?" Itachi kembali bertanya saat Sasuke tak kunjung bicara.

"Hanya beberapa hal mengenai pertemuan pertama kami. Awalnya aku berharap kalau aku salah. Berharap Nami dan Naru-hime adalah wanita yang berbeda." Sasuke menghela napas panjang seraya bersandar lebih santai pada sofa.

"Kau masih menyukainya?" tanya Itachi dengan hati-hati.

"Apa kau masih harus bertanya setelah melihatku seperti ini?" Sasuke menoleh pada kakaknya dengan tatapan mencemooh.

Tentu saja hal itu justru membuat Itachi meringis lebar. "Dan aku menebak kalau kakek tahu. Alasan kenapa kakek ada disini?"

Sasuke menghembuskan napas dengan kasar lalu mengangguk. "Tapi Nami-, maksudku Naru-hime memintaku merahasiakan pertemuan kami di malam badai itu. Kau juga jangan bercerita pada siapapun."

"Tentu saja tidak. Sejak awal aku dan Shisui-nii bahkan sudah meminta Sakon untuk tutup mulut."

"Hm."

"Lalu apa rencanamu setelah ini? Kakek pasti akan lebih sering menyuruhmu menemui Hime."

Sasuke menggeleng. "Entahlah."

Itachi beranjak lalu menepuk bahu adiknya. "Pikirkan nanti, sebaiknya kita segera turun untuk makan malam."

"Hm." Sasuke pun mengikuti kakaknya dalam diam menuju ruang makan.

***''

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 6<<

>>Nami Cafe - Chapter 8<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

 


Post a Comment

0 Comments