Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru."Sasuke, apa kau
sudah mengenal Naru-Hime sebelumnya?" Madara memperhatikan ekspresi
cucunya. Mereka berada di dalam mobil dan baru saja meninggalkan pelataran
istana.
Ingat akan pesan Naruto
sebelumnya, Sasuke pun menggeleng. "Tidak, Oji-sama." Ya, itu bukan
kebohongan. Sasuke memang belum mengenal Naruto sebagai Hime sebelumnya. Yang
dia tahu adalah wanita bernama Nami. "Ada apa Oji-sama?" putra bungsu
Uchiha membaca ketidak puasan di wajah kakeknya.
"Lalu apa
pendapatmu tentang Naru-hime?" Alih-alih menjawab, Madara justru kembali
bertanya.
Sasuke terdiam.
"Kau tidak
menyukainya?"
"Bukan begitu
Oji-sama. Kami baru bertemu dan Hime juga belum mengenalku sepenuhnya. Terlalu
dini untuk menyimpulkan aku menyukainya atau tidak. Dan lagi, bukan perasaanku
yang paling penting, tapi Hime. Apakah dia bisa menyukaiku?"
Kali ini Madara yang
terdiam. Dia cukup terkejut dengan jawaban Sasuke, tapi apa yang dikatakannya
itu benar. Madara menghela napas perlahan seraya melipat tangan di depan dada.
"Apa kau tahu kalau aku sangat ingin salah satu cucuku bisa menikah dengan
Naru-Hime?"
Sasuke hanya mengangguk
sebagai jawaban.
"Kau mungkin
merasa heran tapi aku benar-benar ingin menjadikannya cucuku dan menjaganya.
Semua ini bukan karena dia seorang putri kerajaan." Madara merasa Sasuke
harus mengerti keinginannya.
"Tapi bukankah
Naru-hime juga sudah menganggap Oji-sama sebagai kakeknya?" tanya Sasuke
dengan kening berkerut.
Pandangan Madara
beralih ke luar jendela saat ingatan masa lalu kembali terbayang dalam
benaknya. "Tentu saja Naru begitu. Aku sudah menyayanginya sejak lahir.
Hari itu, hari dimana terjadi kudeta di istana, akulah yang menyelamatkannya.
Minato dan Kushina menitipkan Naru padaku sebelum keduanya menghembuskan napas
terakhir. Dalam pangkuanku, Naru yang juga terluka hanya bisa menangis dalam
diam melihat kepergian kedua orang tuanya. Sejak itu Naru menjadi pendiam. Dia
lebih senang tinggal di luar istana. Maka dari itu aku ingin membawanya jauh
dari kehidupan istana."
"Bagaimanapun
Naru-Hime adalah putri kerajaan, bagaimana mungkin menjauhkannya dari kehidupan
istana?"
Seringai di bibir
Madara membuat Sasuke mengerutkan kening. "Dengan menjadi cucu menantuku,
dia jelas akan jauh dari kehidupan istana. Naru akan menyandang nama Uchiha.
Dia bisa dengan bebas berada di luar istana tanpa perlu menyembunyikan
identitasnya sebagai Namikaze. Keturunan yang lahir darinya akan menjadi
keturunan Uchiha."
"Tapi apakah
Hokage juga Mizukage tidak akan keberatan jika Naru-Hime tidak menikah dengan
seorang pangeran? Apalagi sampai tinggal di luar istana?"
"Mereka tidak akan
berkutik jika itu adalah keinginan Naru sendiri. Maka dari itu aku mengenalkan
semua cucuku padanya. Sayangnya, semua keturunan Uchiha tidak berguna karena
tidak bisa membuat Naru jatuh cinta."
Sasuke meringis dalam
hati. Bukankah dia juga bagian dari keturunan Uchiha? Ah, andai kakeknya tahu
kalau dirinya sudah jatuh cinta pada Naruto bahkan sejak pertemuan pertama mereka.
"Oji-sama, boleh
aku bertanya?"
"Hm."
"Kudeta sepuluh
tahun yang lalu, apakah masalah itu sudah selesai?"
Pertanyaan Sasuke
membuat Madara memincingkan mata. "Kenapa kau bertanya masalah itu?"
"Karena sampai
saat ini identitas Naru-Hime masih dijaga ketat. Aku berpikir mungkin masalah
itu belum selesai."
Madara mengangguk
sebagai jawaban. "Kau benar, sampai saat ini aku dan Hokage belum berhasil
mengungkap dalang yang sebenarnya dari kudeta itu. Tidak menutup kemungkinan,
'orang itu' mungkin ada di dalam istana. Naru dan Kurama juga pernah mengalami
penyerangan beberapa kali. Meski itu terjadi di luar istana tapi besar
kemungkinan informasi bocor dari dalam istana."
"Berarti membawa
Naru-Hime keluar dari istana akan membuatnya lebih aman?"
"Tidak semudah itu
Sasuke. Aku ingin membawanya keluar istana sebagai Uchiha hanya agar dia tidak
terkukung di dalam sangkar emas. Dia bisa melupakan semua kenangan buruk yang
terjadi di dalam istana. Tapi masalah kudeta ...," Madara terdiam lalu
kembali menatap keluar jendela.
"Siapapun dalang
dari kudeta itu, dia pasti berniat untuk mengambil alih posisi Hokage dan juga
pemerintahan Negara Hi. Pastinya dia akan membunuh semua keluarga istana.
Memang benar jika Naru tidak akan menyandang nama Namikaze setelah menikah dengan
Uchiha. Tapi bagaimanapun, darahnya adalah darah Namikaze juga Senju. Selama
ada kesempatan baginya mewarisi tahta maka nyawanya akan tetap terancam."
Mendengar penjelasan
Madara membuat Sasuke tanpa sadar mengepalkan tangannya yang bersandar di atas lutut.
Dia bisa membayangkan betapa rumit kehidupan yang dijalani Naruto selama ini.
"Dan akan lebih
bahaya lagi jika Naru sampai menikah dengan pangeran negeri lain."
"Menikah dengan
pangeran?" Sasuke merasa jantungnya berdebar lebih kencang. Dia langsung
ingat perkataan Madara saat acara makan malam keluarga.
"Bukankah kau
sudah tahu? Hashirama berencana menjodohkan Naru dengan Pangeran Suna, Sabaku
Gaara."
Astaga, Sasuke
benar-benar melupakan hal itu. Kemarin malam dia tidak berpikir panjang karena
tidak tahu siapa Naruto sebenarnya. Dia bahkan mengatakan kalau tidak mau
dipaksa dan kehidupan istana tidak akan cocok dengannya.
"Hashirama bodoh,
membuat Naru menikahi pangeran hanya akan membahayakan nyawanya karena menjadi
pengikat hubungan tiga negara." Madara bahkan mendengkus di akhir
kalimatnya. Melihat perubahan di wajah Sasuke membuat Madara sejenak merenung.
"Hei,
Sasuke?"
Putra bungsu Uchiha itu
mengangkat wajahnya, menatap sang kakek.
"Kau menyukai
Naru-hime bukan?"
Sasuke kembali terdiam
dan seringai di wajah Madara membuat lidahnya semakin kelu.
***
Naruto bersandar pada
kepala tempat tidur sembari mengamati Neji yang tengah membereskan
peralatannya.
"Boleh aku
bertanya?" Neji menggulung stetoskopnya, memasukkannya ke dalam tas lalu
duduk di tepi tempat tidur.
"Hm?"
"Siapa pria yang
bertemu denganmu tadi? Pelayan istana bergosip soal cucu bungsu Perdana
Menteri."
Naruto tertawa
mendengarnya. "Sejak kapan Neji Sensei juga suka bergosip, hm?"
"Bukan begitu, aku
hanya melihat dia sekilas dan kebetulan mendengar obrolan beberapa pelayan
istana," kata Neji membela diri.
"Ah, begitu."
Naruto tersenyum lebar.
"Kau tidak mau
menjawab pertanyaanku?" Neji kembali bertanya seraya mengerutkan kening.
"Namanya Uchiha
Sasuke dan benar dia adalah cucu bungsu Perdana Menteri. Untuk alasan kenapa
dia datang, kupikir kau bisa menebaknya." Putri cantik itu masih tersenyum
saat melihat ekspresi wajah sahabatnya. Naruto tidak buta untuk tahu bagaimana
perasaan Neji juga Shikamaru padanya. Hanya saja mereka bertiga sadar akan
posisi masing-masing. Selamanya mereka akan menjadi sahabat, tidak lebih.
"Baiklah, aku
harus kembali ke rumah sakit. Kau masih harus banyak istirahat, minum obatmu
tepat waktu dan jaga pola makanmu dengan baik. Aku akan berikan jadwal obatmu
yang baru pada Chiyo-san."
"Hm, terima
kasih." Naruto melihat Neji beranjak dari tepi tempat tidur dan tiba-tiba
dia teringat akan sesuatu. "Neji?"
"Ya?"
"Minggu depan
acara ulang tahun Perdana Menteri."
"Ah iya, ayahku
baru mendapat undangannya semalam. Kau ingin aku dan Shikamaru
menemanimu?"
"Bukankah setiap
tahun seperti itu? Atau kau ada acara lain?" Naruto justru merasa heran
dengan pertanyaan Neji.
"Bukan begitu, aku
tidak ada acara dan Shikamaru juga pasti sudah mengosongkan jadwalnya seperti
biasa. Tapi kupikir tadi-,"
"Sasuke?"
tebak Naruto yang dijawab dengan anggukan oleh Neji. "Aku dan Sasuke hanya
berteman. Kami baru bertemu dan aku tidak mau melambungkan harapan Madara
Oji-sama terlalu tinggi."
Jawaban Naruto membuat
hati Neji menjadi lebih ringan. Dia pun mengembangkan senyum lalu mengangguk.
"Aku akan menemanimu."
"Terima kasih,
Neji."
***
"Dimana
Hime?"
Chiyo membungkuk hormat
pada dua pangeran yang berdiri di depannya, Kurama dan Yahiko. "Hime-sama
sedang berada di taman belakang."
"Ck, anak itu,
bukankah aku sudah melarangnya untuk terlalu lama di luar?" gerutu Kurama.
Dia baru saja kembali ke istana bersama dengan neneknya juga Yahiko, sepupunya.
"Maaf Shinno-sama,
Hime-sama baru saja bangun setelah istirahat siang cukup lama." Chiyo
mencoba menjelaskan agar Kurama tidak marah.
"Naru pasti bosan
di kamar, jangan terlalu keras padanya." Yahiko tersenyum pada Chiyo
sembari menepuk bahu adik sepupunya. Seluruh penghuni istana tahu kalau
Kurama overprotective pada adik semata wayangnya. "Apa demamnya
sudah turun Chiyo-san?"
"Sudah
Shinno-sama, tadi Hyuga Sensei juga sudah memeriksanya." Chiyo menjawab
sembari mengangguk hormat pada Yahiko.
"Hiashi jii-san
atau Neji?" Kurama memperjelas pernyataan Chiyo.
"Neji
Sensei."
"Sudahlah Ku, ayo
kita temani Naru saja." Yahiko segera menyeret adik sepupunya ke luar
istana. Kurama bisa sangat menyebalkan kalau menyangkut Naruto dan kedua
sahabatnya.
Keduanya tiba di taman
belakang dan melihat Naruto tengah duduk berdua bersama Konan di Gazebo.
"Okaa-sama,
Naru-chan." Yahiko yang pertama menyapa kedua wanita itu dengan senyum
lebar.
"Oh, kalian sudah
kembali?" Konan tersenyum pada putranya yang langsung mencium kening
Naruto. Yahiko memang berada di luar kota sejak lima hari yang lalu hingga
belum bertemu Naruto.
"Oba-sama."
Kurama juga memberi salam hormat pada bibinya.
"Bagaimana kabar
Onii-sama?" tanya Naruto begitu Yahiko duduk di sebelahnya. Kurama duduk
di sebelah Konan, di hadapan adiknya.
"Baik, kau yang
tidak baik. Dasar anak nakal." Yahiko mencubit pipi adik sepupu
kesayangannya.
"Berhentilah
memperlakukanku seperti anak kecil," protes Naruto sembari mengusap
pipinya yang memerah.
"Memang sejak
kapan kau jadi dewasa, imouto?" seloroh Kurama yang langsung disambut tawa
Konan juga Yahiko.
Naruto hanya mencebik
lalu meraih cangkir tehnya. Percuma berdebat dengan kakaknya. Di mata seluruh
keluarga dirinya memang selalu menjadi anak-anak.
"Tapi Naru-chan
memang sudah dewasa. Kalian berdua akan terkejut kalau melihat surat dari
banyak pangeran yang ditujukan pada Hokage untuk melamar Naru." Konan
tertawa di balik telapak tangannya saat melihat Naruto hampir tersedak.
"Oba-sama, jangan
membahas masalah itu lagi," kata Naruto seraya menyeka bibirnya dengan
sapu tangan linen.
"Itu aku sudah
tahu." Kurama menyeringai saat adiknya justru cemberut.
"Oh ya, kudengar
tadi Perdana Menteri kembali mengenalkan cucunya," kata Yahiko pada
Naruto.
"Aku juga sedang
menanyakan hal itu sebelum kalian datang," kata Konan kemudian.
"Uchiha Sasuke,
bagaimana orangnya?" Kali ini Kurama yang bertanya.
"Uchiha Sasuke?
Aku belum pernah mendengar namanya? Dia benar putra Fugaku-san?" Yahiko
kembali bertanya sebelum Naruto sempat menjawab pertanyaan kakaknya.
"Kau memang belum
mengenalnya. Aku juga belum pernah melihatnya. Dari yang kudengar Sasuke
tinggal di Negara Oto sejak lulus sekolah dasar bersama dengan Izuna-san. Dia
baru kembali ke Konoha beberapa minggu ini karena permintaan Mikoto-san. Oh ya,
dia seorang fotografer," jelas Konan panjang lebar yang membuat Naruto
meletakkan cangkirnya sembari menggeleng.
"Oba-sama sudah
tahu sebanyak itu dan masih mendesakku bercerita?"
"Hei, aku bertanya
bagaimana pendapatmu tentangnya. Bukankah dia tampan seperti kedua
kakaknya?"
"Hm, dia
tampan," jawaban singkat Naruto ternyata membuat Konan memekik.
"Sungguh menurutmu
dia tampan?" Konan kembali bertanya karena penasaran.
"Iya Oba-sama,
memang aku harus menjawab apa? Pada kenyataannya Sasuke memang tampan."
Naruto mencoba mengutarakan jawabannya.
"Dan kau tertarik
padanya?" Yahiko ikut bertanya.
"Tidak,"
tegas Kurama cepat dan semua orang langsung menatapnya heran. "Kenapa? Aku
memang tidak setuju kalau Naru menikah dengan Sasuke yang hanya seorang
fotografer. Bukankah lebih baik kalau Naru menikah dengan Gaara?"
"Gaara? Sabaku
Gaara? Pangeran Negeri Suna? Adik Kankurou dan Temari?" Yahiko tampak
terkejut.
"Onii-sama, jangan
mencoba menjodohkanku," kata Naruto dengan wajah masam.
"Ah, soal itu,
sepertinya bukan hanya Kurama, tapi Otou-sama dan Okaa-sama juga berpikir hal
yang sama." Konan tersenyum saat Naruto menatapnya dengan kening berkerut.
"Sepertinya hanya
aku yang tidak tahu masalah ini." Yahiko terkekeh lalu mengambil kue beras
di atas meja.
"Belum ada
pembicaraan resmi. Kami hanya mempertimbangkan hal itu karena sudah banyak
lamaran datang dari pangeran negeri lain," jawab Konan.
"Aku sudah cukup
lama mengenal Gaara, kupikir memang akan cocok dengan Naru," Kurama
menambahkan.
"Tapi bukankah
Gaara itu pria yang dingin? Aku belum pernah mendengar berita dia menjalin
hubungan dengan putri atau wanita manapun." Kali ini Yahiko memberikan
komentarnya.
"Bukankah itu
justru hal yang bagus? Dia bisa menjaga diri sebagai seorang pangeran,"
jawab Kurama.
"Sudahlah, aku
tidak mau membahas masalah ini," sela Naruto sembari memijat pangkal
hidungnya yang tiba-tiba berdenyut.
"Tenang saja
Naru-chan, tidak akan ada yang memaksamu untuk menikah. Semua keputusan tetap
ada padamu," Konan mencoba menenangkan. Dia takut jika Naruto merajuk lalu
kembali meninggalkan istana.
Chiyo yang datang
bersama dengan dua pelayan mengalihkan perhatian semua orang. "Mohon maaf
Hime-sama, Shinno-sama, sudah waktunya Naru-Hime untuk minum obat."
"Ayo kembali ke
kamar, Naru." Kurama yang pertama beranjak lalu mengulurkan tangan pada
adiknya. Keduanya memberi salam pada Konan juga Yahiko lalu segera meninggalkan
taman belakang.
"Okaa-sama, apa
benar Ojii-sama dan Obaa-sama setuju jika Naru menikah dengan Pangeran
Suna?" tanya Yahiko lagi seraya memandang kedua adik sepupunya yang kini
memasuki istana.
"Sepertinya
begitu, kenapa? Kau tidak setuju?" Konan menatap putranya dengan alis
bertaut.
"Bukan begitu
Okaa-sama, tapi-," Yahiko ragu untuk melanjutkan.
"Ada apa?"
tanya Konan yang semakin penasaran dengan sikap putranya.
Sejenak menghela napas
panjang, Yahiko menatap ke arah bangunan istana. "Yang kudengar dari
Temari, adik bungsunya sudah memiliki kekasih."
"Ah?! Tapi tadi
kau bilang kalau belum pernah mendengar Gaara memiliki kekasih?" Konan
justru heran pada perkataan putranya.
"Karena
keluarganya tidak setuju. Wanita yang dicintai Gaara adalah rakyat biasa.
Temari memintaku untuk menjaga rahasia ini. Tapi itu perkataan Temari satu
tahun yang lalu, jadi aku tidak tahu bagaimana kondisinya sekarang. Mungkin aku
akan menanyakan hal itu pada Temari lagi."
"Sebaiknya kau
segera tanyakan sebelum kakek atau nenekmu membicarakan perjodohan ini lebih
lanjut."
Dan Yahiko mengangguk
sebagai jawaban atas perintah ibunya.
***
Malam harinya di
kediaman Uchiha. Fugaku terkejut saat tiba di rumah bersama ke dua putranya dan
mendapati Madara sudah duduk dengan tenang di ruang keluarga, di rumahnya.
"Otou-sama, apa
terjadi sesuatu?" bisik Shisui pada ayahnya. Dia menduga ada sesuatu yang
penting hingga sang kakek berada di rumah mereka tanpa pemberitahuan
sebelumnya.
"Mungkin ada
hubungannya dengan kunjungan Oji-sama ke istana hari ini bersama Sasuke."
Itachi mencoba menebak dan langsung mendapat tatapan tajam dari ayah juga
kakaknya. "Aku ... hanya menduga," lanjutnya sembari menggaruk
kepalanya yang tidak gatal. Tapi mungkin tebakanku benar, lanjut Itachi
dalam hati.
Tidak mau menduga-duga,
Fugaku segera menghampiri sang ayah dan memberi salam, diikuti oleh kedua
putranya.
"Oh, kalian sudah
pulang?" Madara meletakkan buku yang tengah dibacanya ke atas meja.
Wajahnya yang tampak cerah membuat Fugaku semakin heran.
"Apa ada sesuatu
yang penting sampai Ayah datang?" Akhirnya Fugaku bertanya setelah duduk
di sofa di depan Madara.
"Apa aku tidak
boleh datang ke rumahmu?"
"Bukan begitu
Ayah, hanya saja tidak biasanya Ayah-,"
"Ya, ya, aku
mengerti maksudmu," sela Madara sembari melipat tangan di depan dada.
"Tapi memang ada hal penting yang ingin aku bicarakan."
Di belakang Fugaku,
Shisui dan Itachi yang masih berdiri saling bertukar pandang. Keduanya seolah
bisa bicara melalui telepati.
"Ah, Anata, maaf
aku terlalu sibuk di dapur sampai tidak menyambutmu pulang." Mikoto yang
tiba-tiba datang mengalihkan perhatian semua orang.
"Tidak
apa-apa." Fugaku memberikan senyum datar terbaiknya pada sang istri begitu
Mikoto duduk di sebelahnya.
"Ayah ingin aku
menghidangkan makan malam istimewa. Jadi sejak sore tadi kami semua sibuk
memasak." Istri Fugaku itu kemudian tersenyum pada ayah mertuanya dan
tidak tahu kalau sudah membuat suami juga kedua anaknya semakin penasaran.
"Kalian sebaiknya mandi, sebentar lagi makan malam siap."
Shisui dan Itachi tidak
membantah. Keduanya dengan patuh beranjak, memberi hormat pada sang kakek lalu
segera masuk ke kamar masing-masing. Fugaku masih duduk dengan tenang sembari
memperhatikan ayahnya yang kembali membaca buku dengan tenang.
"Apa terjadi
sesuatu yang aku tidak tahu?" Fugaku setengah berbisik pada istrinya.
Mikoto melirik ayah
mertuanya lalu kembali menatap sang suami seraya tersenyum. "Ayah tidak
ingin aku memberitahumu sebelum kita selesai makan malam," jawabnya dengan
suara yang sama lirihnya.
"Sebaiknya kau
segera membersihkan diri agar kita bisa segera makan malam," ucap Madara
sembari membuka halaman buku.
"Baik Ayah."
Tentu saja Fugaku tidak berani membantah. Dia pun segera beranjak diikuti oleh
Mikoto.
***
Tok! Tok! Tok!
"Onii-san, ini
aku."
Itachi yang baru saja
keluar dari kamar mandi mengerutkan kening saat mendengar suara adik bungsunya.
Dia pun bergegas membuka pintu. "Sasuke? Ada apa?" tanyanya heran.
"Boleh masuk? Aku
ingin bertanya sesuatu," jawab Sasuke dengan nada canggung.
"Tentu saja,
masuklah." Itachi membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan adiknya
masuk. Dia tersenyum melihat tingkah Sasuke yang kikuk. Ini adalah pertama kali
Sasuke memasuki kamarnya sejak kembali dari Oto.
"Duduklah dimana
saja kau mau," kata Itachi kemudian lalu Sasuke memilih duduk di sofa
single tak jauh dari tempat tidur. Itachi sendiri kemudian duduk di tepi tempat
tidurnya sembali mengeringkan rambut dengan handuk.
"Ehem,"
Sasuke berdeham dan hampir membuat Itachi terbahak. Adiknya itu sungguh lucu.
"Kau baik-baik
saja?" tanya Itachi seraya tersenyum. Dalam hati dia sudah bisa menebak
alasan Sasuke mencarinya.
"Hm," jawab
bungsu Uchiha itu sembari mengangguk. "Siang tadi aku sudah bertemu dengan
Hime-sama," katanya kemudian tanpa basa-basi.
"Ah iya."
Itachi meletakkan handuk di atas pangkuannya. "Lalu bagaimana?"
"Sejak awal aku
bercerita soal Nami padamu, apa kau sudah tahu kalau dia sebenarnya adalah
Naru-hime? Apa itu alasanmu memintaku untuk merahasiakan pertemuan kami?"
Masalah ini sudah menganggu Sasuke sejak kembali dari Istana.
Itachi tertawa sembari
menggaruk pelipisnya.
"Jadi benar?"
Kali ini Itachi
mengangguk. "Aku sudah tahu sejak Sakon mengatakan kalau kau menginap di
Nami Café. Sayangnya Shisui-nii melarangku memberitahumu identitas Hime,
apalagi setelah tahu kau benar-benar jatuh hati padanya."
"Kenapa?"
tanya Sasuke dengan kening berkerut.
"Kenapa? Kau pasti
bisa menebaknya. Lihat kakek, lalu lihat kau sekarang." Itachi menunjuk
adiknya lalu beranjak dari tempat tidur. Dia berjalan ke arah walk in closet di
dekat kamar mandi untuk berganti pakaian.
Sasuke termenung lalu
menghela napas panjang. Dia masih membisu sampai Itachi kembali muncul lalu
duduk di sofa single, di sebelahnya.
"Kau benar-benar
jatuh cinta pada Hime?" tanya Itachi tanpa basa-basi.
Sasuke melirik kakaknya
tapi tidak menjawab.
"Awalnya aku dan
Shisui-nii berharap kalau pesona Nami padamu akan luntur seiring dengan
berjalannya waktu. Dengan kesibukan barumu di Konoha, kau akan melupakannya.
Sayangnya kami salah. Aku dan Shisui-nii tahu bagaimana sifat dan karaktermu.
Ini pasti tidak akan mudah, benar bukan?" Itachi menilai ekspresi suram
adiknya sebagai jawaban iya.
"Apa yang
dikatakan Hime saat bertemu denganmu tadi?" Itachi kembali bertanya saat
Sasuke tak kunjung bicara.
"Hanya beberapa
hal mengenai pertemuan pertama kami. Awalnya aku berharap kalau aku salah. Berharap
Nami dan Naru-hime adalah wanita yang berbeda." Sasuke menghela napas
panjang seraya bersandar lebih santai pada sofa.
"Kau masih
menyukainya?" tanya Itachi dengan hati-hati.
"Apa kau masih
harus bertanya setelah melihatku seperti ini?" Sasuke menoleh pada
kakaknya dengan tatapan mencemooh.
Tentu saja hal itu
justru membuat Itachi meringis lebar. "Dan aku menebak kalau kakek tahu.
Alasan kenapa kakek ada disini?"
Sasuke menghembuskan
napas dengan kasar lalu mengangguk. "Tapi Nami-, maksudku Naru-hime memintaku
merahasiakan pertemuan kami di malam badai itu. Kau juga jangan bercerita pada
siapapun."
"Tentu saja tidak.
Sejak awal aku dan Shisui-nii bahkan sudah meminta Sakon untuk tutup
mulut."
"Hm."
"Lalu apa
rencanamu setelah ini? Kakek pasti akan lebih sering menyuruhmu menemui
Hime."
Sasuke menggeleng.
"Entahlah."
Itachi beranjak lalu
menepuk bahu adiknya. "Pikirkan nanti, sebaiknya kita segera turun untuk
makan malam."
"Hm." Sasuke
pun mengikuti kakaknya dalam diam menuju ruang makan.
***''
>>Bersambung<<
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments