Nami Cafe - Chapter 6

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

========================================================================


Sasuke berdiri di depan cermin dengan setelan resmi dan tampilan sempurna. Mikoto sendiri yang memilihkan pakaian Sasuke hari itu. Dia ingin putra bungsunya tampil tanpa cela di hadapan keluarga kerajaan.

“Okaa-sama, sebenarnya seperti apa Naru-hime? Aku tahu dia adalah putri bungsu kerajaan. Tapi anehnya tidak satu pun informasi muncul tentangnya saat aku mencoba mencari di internet semalam?” Sasuke menatap ibunya yang sedang merapikan dasi juga vest yang dikenakannya.

Mikoto tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan putranya. “Apa kau tahu tragedi kudeta kerajaan sepuluh tahun lalu?”

Tentu saja Sasuke mengangguk. Peristiwa itu masuk dalam materi pelajaran sejarah meski hanya secara garis besar. Tidak dijelaskan secara rinci kecuali motif kudeta Klan Zetsu untuk menggulingkan pemerintahan dan meninggalnya putra mahkota Namikaze Minato beserta istrinya Senju Kushina. Saat tragedi itu terjadi, Sasuke berusia enam belas tahun dan sudah tinggal di Oto bersama pamannya.

“Kudeta itu terjadi di hari ulang tahun Naru-hime. Sejak saat itu hingga sekarang, keberadaan Naru-hime dijaga ketat oleh istana. Semua pemberitaan tentangnya terlarang untuk dipublikasikan. Itu berlaku di Negara ini ataupun di negara Mizu. Jadi kau takkan menemukan informasi apapun tentangnya. Paparazi atau media yang berani mempublikasikan foto atau berita tentang Naru-hime tanpa ijin akan mendapat hukuman.”

“Kenapa begitu?” Sasuke kembali bertanya. Dia mulai penasaran dengan sosok Hime yang diagungkan oleh sang kakek. Sayangnya semalam Sasuke malas bertanya pada Shisui atau pun Itachi.

“Melihat kedua orang tuanya meninggal di depan mata tentu meninggalkan trauma. Karena itu Naru-hime tidak begitu suka tinggal di istana dan Hokage juga tidak mengekangnya. Kau bisa bayangkan bagaimana tidak nyamannya Hime di luar sana jika semua orang tahu statusnya. Siapa pun yang pernah bertemu dengannya juga dilarang memberikan informasi pada media. Biasanya Naru-hime hanya akan menghadiri acara-acara khusus yang sudah disetujui oleh Hokage ataupun Mizukage.” Mikoto tersenyum pada putranya yang kini tampak merenung.

“Sudah tidak perlu dipikirkan. Terlepas dari statusnya, Naru-hime wanita yang baik meski pendiam jika bertemu orang asing. Dan yang terpenting dia sangat cantik. Justru ibu sebenarnya sedikit khawatir kalau kau sampai jatuh hati padanya.”

“Hime tidak akan cocok denganku, Okaa-sama.” Sasuke kembali bercermin sebelum kembali menatap ibunya.

Mendengar keyakinan sang putra bungsu membuat Mikoto tertawa. “Jangan terlalu yakin, kau belum bertemu dengannya. Setahu ibu, tidak ada pria yang tidak jatuh hati setelah bertemu dengan Naru-hime.”

“Shisui-nii? Itachi?” Sasuke menatap ibunya heran.

“Shisui hanya tidak mau terlibat urusan istana. Ibu yakin dia sangat mengagumi sosok Naru-hime,” jawab Mikoto penuh keyakinan. “Kalau soal Itachi, hm, ibu pikir dia hanya menghormati Namikaze-shinno.”

“Namikaze-shinno? Namikaze Kurama? Putra Mahkota kerajaan Mizu?” tanya Sasuke kemudian.

Mikoto mengangguk. “Namikaze-shinno sempat satu sekolah dengan Itachi sebelum pindah ke Kerajaan Mizu.” Wanita itu pun menghela napas pelan. “Kau ini terlalu lama tinggal di Oto dan menyibukkan diri dengan fotografi.”

Sasuke mengulas senyum tipis melihat ibunya merajuk. “Apa salahnya Oka-sama? Aku bahagia tinggal di Oto bersama Paman. Aku juga tidak melupakan Okaa-sama. Tidak tahu isu keluarga kerajaan tidak akan membuatku mati, bukan begitu?”

“Ya, ya, ya, kau dan Izuna sama keras kepalanya.” Mikoto memeluk lengan putranya sembari menghela napas. “Jangan pergi lagi.”

Dengan lembut Sasuke mengusap lengan sang ibu yang memeluknya. Jika sudah seperti ini rasanya akan sulit mengatakan jika Sasuke ingin tinggal sendiri di luar.

“Berjanjilah, kau tidak akan meninggalkan ibu lagi, hm? Ibu dan Ayah tidak akan memaksamu untuk mengikuti aturan keluarga besar juga yang lainnya. Cukup dengan tetap tinggal bersama kami,” pinta Mikoto dengan sepenuh hati.

Mau tidak mau Sasuke mengangguk. Dia tidak mau membuat ibunya bersedih. Lagipula saat sudah mendapatkan studio baru nanti, Sasuke juga pasti akan lebih banyak berada di tempat kerjanya.

Mikoto melebarkan senyumnya. Dia pun kembali merapikan jas Sasuke. “Baiklah, jangan buat kakekmu menunggu. Ayahmu berpesan agar kau menjaga sikap, jangan terlalu dingin padanya.”

“Aku mengerti.”

“Oh ya, Ayahmu juga bilang kalau Naru-hime baru sembuh dari sakit. Jadi ibu menyiapkan teh dengan aroma mint kesukaan Naru-hime. Sampaikan juga salam ibu padanya,” pesan Mikoto lagi.

“Hm.”

***

Pagi ini suasana di ruang makan keluarga istana Uzushio tampak lebih ramai karena kehadiran Kurama, Naruto juga Tobirama.

“Senang melihatmu sudah sehat Naru,” Tobirama yang duduk di sebelah Kurama tampak lega melihat keponakannya tidak lagi berwajah pucat.

“Maaf sudah membuat Ojii-sama juga semua keluarga khawatir.”

“Yang terpenting kau sudah sehat. Sekarang makanlah yang banyak, menu pagi ini kesukaanmu.” Mito memberikan sup ikan yang baru saja dihidangkan oleh pelayan.

Naruto mengamati hidangan yang tersaji di depannya. Selain sup ikan juga ada telur rebus setengah matang dan bola udang. “Tidak ada ramen?” tanyanya sembari tersenyum dan membuat Hashirama juga Tobirama tertawa.

Mito melirik cucu sulungnya sebelum menjawab. “Kau bisa makan ramen dengan puas setelah Kurama pulang.”

Tentu saja Naruto langsung menatap sang kakak.

“Sayangnya aku masih disini sampai pesta ulang tahun Madara Ojii-san.” Kurama langsung menimpali.

Kening Naruto berkerut dan dalam hati dia menghitung. “Ah, itu masih sepuluh hari lagi.”

“Hm.” Dengan santai Kurama menikmati sarapannya dan mengabaikan wajah mencebik sang adik. Dia memang tidak suka melihat adiknya memakan makanan penuh lemak itu. Pencernaan Naruto sebenarnya lemah dan sering sakit perut jika makan sembarangan.

“Lagipula kau baru sembuh, jangan sampai di tambah sakit perut.” Mito menenangkan cucu kesayangannya.

Mendengar perkataan istrinya membuat Hashirama hampir tersedak. Jangan sampai Mito dan Kurama tahu kalau dirinya sudah mengirimkan ramen. Naruto yang tengah melirik sang kakek hanya tersenyum. Dia bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Hashirama.

“Baiklah, Putri cantik ini akan menurut,” ucap wanita itu hingga membuat Mikoto tersenyum dan Kurama menarik sudut bibirnya.

“Kau akan lebih cantik jika menurut sepanjang tahun,” seloroh Kurama kemudian.

“Jangan terlalu berharap Ku-nii.”

Dan semua orang terkekeh mendengarnya.

***

Sasuke duduk dengan tenang di sebelah sang kakek selama perjalanan menuju istana Uzushio. Keduanya tidak banyak bicara. Madara hanya berpesan agar Sasuke bisa bersikap ramah di hadapan Naruto dan berharap hubungan mereka kedepannya terjalin dengan baik. Sasuke sendiri hanya mengangguk patuh dan tidak menjanjikan apapun pada kakeknya.

Sedan mewah dengan lambang negara Hi memasuki gerbang istana. Setelah melalui pemeriksaan, mobil itu kembali melaju menuju istana bagian timur. Empat orang pelayan wanita dan dua pengawal menyambut Madara di pintu ganda besar dengan lambang kerajaan.

“Sampaikan pada Hokage, Perdana Menteri meminta ijin untuk bertemu dengan Naru-Hime.”

Seorang pengawal mengangguk hormat kemudian segera melapor. Madara dan Sasuke dipersilakan masuk lalu duduk di ruang tamu besar, tempat keluarga kerajaan menerima kerabat. Sasuke meletakkan kotak teh di meja saat kemudian matanya mengenali sosok yang tidak asing diantara foto keluarga kerajaan yang terpajang rapi di dinding bagian tengah. Foto wanita cantik berambut pirang yang berdiri anggun dengan pakaian kebesaran kerajaan Hi, berdampingan dengan seorang pria yang dikenali Sasuke sebagai Putra Mahkota Negara Mizu. Foto itu berada di sebelah foto Hokage dan istrinya.

“Ada apa Sasuke?” tanya Madara yang heran melihat cucunya terpaku.

“Ojii-sama, siapa wanita itu?” Sasuke justru balik bertanya pada kakeknya.

Madara menoleh untuk melihat foto yang ditunjuk Sasuke. Dia tidak heran kalau cucu bungsunya tidak mengenali Naruto mengingat ini pertama kali dia memasuki istana. “Dialah Naru-hime. Namikaze Naruto, cucu bungsu Hokage.”

“Naru-hime?” ulang Sasuke dengan nada ragu.

Sang kakek mengangguk dengan kening berkerut. “Ada apa?”

Bungsu Uchiha itu tidak langsung menjawab, dia justru kembali menatap foto Naruto. Tanda tanya besar muncul dalam benaknya. Apakah ini hanya sebuah kebetulan jika Nami yang dikenalnya memiliki wajah yang begitu mirip dengan Naru-hime?

“Sasuke?” Madara semakin heran saat cucunya hanya diam sembari terus menatap foto Naruto. Mungkinkah Sasuke jatuh hati pada sang putri hanya dengan melihat fotonya? Hati Madara membuncah penuh harap. Belum sempat dia bertanya, suara derap langkah mengalihkan perhatian Madara.

Naruto tampak berjalan dengan anggun memasuki ruang tamu bersama dengan Chiyo dan empat orang pelayan di belakangnya.

“Bagaimana kabarmu, Hime-sama?” Madara pun memberi salam hormat pada Naruto yang menyambutnya dengan senyum.

“Seperti yang Ojii-sama lihat, aku baik-baik saja.” Naruto balas mengangguk pada pria yang sudah dianggapnya sebagai kakek itu. Chiyo dan keempat pelayan lain juga membungkuk hormat memberi salam pada Madara.

Pandangan Naruto langsung teralihkan pada pria yang bergeming menatapnya. Dia tidak menyangka kalau akan bertemu lagi dengan Sasuke secepat ini.

“Ah, maaf.” Madara salah paham saat melihat arah pandangan Naruto. “Perkenalkan, dia adalah cucu bungsuku, Uchiha Sasuke. Ini pertama kalinya Sasuke mengunjungi istana”

Mendengar sang kakek memperkenalkan dirinya, Sasuke segera tersadar lalu berdiri di sebelah Madara, membungkuk hormat untuk membeli salam. “Uchiha Sasuke, memberi salam pada Hime-sama.”

Wanita itu menahan tawa saat melihat ekspresi datar Sasuke. “Selamat datang di istana Uzushio, Uchiha-san. Senang bisa bertemu denganmu.”

“Sebuah kehormatan bisa bertemu Hime-sama,” jawab Sasuke sopan. Dia kemudian mengambil kotak teh berbalut kain dengan bordir bunga merah di atas meja. “Ibu mengirimkan salam juga sedikit hadiah untuk Hime-sama.”

Melihat kotak merah yang familiar membuat Naruto merasa senang. “Sampaikan salam dan terima kasihku pada Mikoto-san,” ucapnya yang dibalas dengan anggukan hormat oleh Sasuke. Naruto menerima kotak berisi teh kesukaannya itu lalu memberikannya pada Chiyo. “Obaa-san, tolong minta pelayan menyimpannya.”

“Baik, Hime-sama.” Chiyo pun menerima kotak itu dan memberikannya pada salah seorang pelayan yang kemudian pergi meninggalkan ruang tamu.

“Ojii-sama, Uchiha-san, silakan duduk.” Naruto melambaikan tangan ke arah sofa tamu, tapi Madara justru menggeleng.

“Aku ingin bertemu dengan Hokage. Ini bukan hari libur dan aku juga masih harus mengurus banyak pekerjaan. Apa kau keberatan jika bersama Sasuke, Naru?” Madara jelas menjebak cucunya yang kini mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak melawan sang kakek.

Naruto melirik ke arah Sasuke sebelum tersenyum pada Madara. Jelas dia mengerti maksud sang Perdana Menteri. “Apa Uchiha-san keberatan?”

Madara menyela dengan tawa saat Sasuke membuka mulut untuk menjawab. “Tentu saja dia tidak akan keberatan. Bukan begitu Sasuke?”

Cucu bungsu Hokage itu menahan senyumnya melebar saat melihat ekspresi enggan Sasuke. Madara memang selalu membuat cucunya tersiksa dengan obsesi perjodohannya.

“Ojii-sama, aku tidak ingin mengganggu istirahat Hime-sama,” jawab Sasuke tanpa sungkan pada kakeknya. Wajah bahagia Madara langsung berubah muram. “Ojii-sama, aku-,”

“Kau tetap disini sampai aku menyelesaikan urusanku dengan Hokage. Naru-hime, aku pergi.” Dan Madara meninggalkan ruang tamu dengan wajah keras. Dia sama sekali tidak memberi kesempatan Sasuke untuk menolak.

“Hime-sama, saya mohon maaf jika membuat Anda tidak nyaman.” Sasuke mengangguk hormat dan merasa sungkan pada wanita yang kini menatapnya.

Melihat sikap formal Sasuke membuat Naruto bertanya-tanya dalam hati. Apakah pria itu memang tidak mengenalinya atau justru bingung dengan keberadaannya?

“Tidak perlu, Ojii-sama memang selalu begitu.” Naruto pun menoleh pada Chiyo. “Obaa-san, tolong minta pelayan menyiapkan hidangan untuk Uchiha-san. Aku ingin mengobrol dengannya di taman,” perintahnya kemudian lalu melambaikan tangan pada para pelayan agar menjauh sementara dia berjalan ke luar ruang tamu menuju taman samping istana. Tempat dimana dia sering menghabiskan waktu sambil membaca dan minum teh.

Sasuke mengikuti dengan langkah tenang. Dari belakang dia memperhatikan postur tubuh Naruto yang juga sama dengan postur tubuh Nami, kecuali gaya berpakaian mereka. Saat ini Naruto memakai gaun panjang berwarna biru yang membuatnya tampak begitu anggun sebagai seorang putri. Sasuke masih diam saat mereka akhirnya duduk di gazebo, di antara kolam ikan dan taman bunga. Semilir angin menggoyangkan rambut panjang Naruto yang tergerai di bahu, membuat hati Sasuke ikut berdesir.

Melirik sekilas ke arah para pelayan yang berdiri cukup jauh dari gazebo, Naruto kemudian menatap Sasuke yang sejak tadi belum mengalihkan pandangan darinya. “Ada yang aneh dengan wajahku Uchiha-san?”

Sasuke menautkan alis tapi kemudian menyadari kebodohannya. “Maaf.”

“Kau-,” Naruto ingin bertanya tapi kemudian menelan kembali perkataannya karena melihat Chiyo mendekat bersama dua orang pelayan yang baru datang membawa teh juga beberapa piring kudapan berupa kue berbentuk bunga berwarna-warni.

“Hime-sama, Yang Mulia Senju-sama berpesan agar Anda jangan terlalu lama berada di luar.” Chiyo mengangguk hormat setelah menyampaikan pesan sementara dua pelayan lain menghidangkan makanan dan minuman. Teko, cangkir dan piring-piring porselen kini tertata rapi di atas meja marmer.

“Obaa-sama tahu aku sedang menerima tamu?” tanya Naruto kemudian. Pasalnya tadi saat Madara datang, dia sedang bersama dengan kakeknya sementara sang nenek sedang pergi bersama kakaknya.

Chiyo mengangguk. “Namikaze-shinno juga berpesan hal yang sama.”

“Hm, terima kasih Obaa-san.” Naruto tidak mengiyakan perintah dari neneknya dan kembali melambaikan tangan agar mereka pergi. Chiyo dan kedua pelayan itu kembali memberi hormat sebelum berjalan menjauh dari gazebo.

Mendengar pesan dari Chiyo membuat Sasuke berpikir. Bukankah saat terakhir bertemu Nami, wanita itu juga tampak sedang sakit dan mengatakan akan pergi keluar kota? Dia pun kembali menatap wajah Naruto, mungkinkah?

Melihat Sasuke kembali menatapnya membuat Naruto tersenyum tipis. “Kenapa kau terus memandangku?”

Sasuke berdeham pelan sembari mengalihkan pandangannya. “Maaf, Hime-sama.”

“Ada yang menarik dari wajahku?”

“Saya hanya merasa penasaran,” jawab Sasuke kemudian.

“Penasaran? Tentang apa?” tanya Naruto tanpa menatap lawan bicaranya. Wanita itu meraih teko porselen lalu menuangkan teh ke cangkir Sasuke.

Pandangan mata Sasuke mengikuti setiap gerakan anggun Naruto yang kini menuang teh ke cangkirnya sendiri. Melihat bagaimana dengan anggun wanita itu mengambil cangkir lalu menyesap tehnya perlahan.

“Saya memiliki seorang teman yang wajahnya mirip dengan Anda, Hime-sama,” jawab Sasuke tanpa basa-basi.

Naruto menyembunyikan senyumnya di balik cangkir dan tetap menikmati teh dengan tenang. “Temanmu? Dia mirip denganku?”

Sasuke mengangguk tapi kemudian berpikir sejenak. “Mungkin kami belum bisa disebut teman tapi saya menganggapnya demikian. Anda memang mirip dengannya atau mungkin orang yang sama, entahlah.” Pria itu meraih cangkir dan meneguk tehnya dengan mata tak lepas menatap Naruto yang kini tersenyum padanya.

“Jadi kau mengenaliku, Sasuke?” Naruto meletakkan cangkir perlahan dan menatap lawan bicaranya yang juga melakukan hal yang sama.

“Nami?” Sasuke cukup terkejut karena dugaannya benar.

Naruto tertawa dengan suara lembut. “Ah, ternyata kau hanya menebak.”

“Anda adalah Nami?” Sasuke mengulang pertanyaannya dengan tatapan heran. “Tapi bagaimana bisa?”

“Namaku memang Namikaze,” jawab Naruto tenang. “Oh ya, tolong jangan memanggilku dengan nama itu di Istana dan jangan sampai Madara Ojii-sama tahu kalau kau pernah menginap di Nami Cafe.”

Tidak menjawab perkataan Naruto, Sasuke diam untuk meredakan debaran jantungnya yang menggila. Naruto dan Nami adalah orang yang sama? Bagaimana mungkin takdir mempermainkannya seperti ini? Dewa tahu bagaimana dia tidak menyukai kehidupan para bangsawan yang penuh dengan aturan yang mengekang. Dan sekarang, dia justru jatuh hati pada cucu bungsu Hokage?

“Sasuke?” panggil Naruto saat melihat pria itu terpaku menatapnya dengan pandangan kosong. “Sasuke? Hei, Sasuke?”

Pria itu tersentak lalu berdeham pelan. Kembali meraih cangkir teh dan meneguk setengah isinya untuk menenangkan diri.

“Ada apa?” tanya Naruto dengan kening berkerut saat Sasuke menghindari kontak mata dengannya.

“Tidak apa-apa Hime-sama.” Sasuke mencoba tersenyum dengan sopan. Sungguh fakta ini menghantamnya keras.

“Oh ya? Kenapa aku justru melihat kalau kau kecewa?”

“Kecewa?” beo Sasuke lirih.

“Kau tampak kecewa saat tahu aku dan Nami adalah orang yang sama,” terang Naruto kemudian.

Sasuke menatap wanita yang duduk dengan anggun di hadapannya. “Tidak Hime-sama, saya tidak kecewa.”

Entah kenapa Naruto merasa lucu dengan jawaban Sasuke. Wanita itu kembali tertawa di balik telapak tangannya. “Jangan berbohong. Aku sempat kecewa saat tahu kau adalah putra bungsu Fugaku-san. Bagaimana mungkin kau tidak kecewa saat tahu aku dan Nami adalah orang yang sama?”

Ah, Naruto benar. Dalam hati Sasuke tidak bisa menyangkal. “Sejak awal Hime-sama sudah tahu kalau saya adalah putra bungsu Uchiha Fugaku?”

Naruto langsung menggeleng. “Malam itu kau mengatakan bukan bagian dari Uchiha Grup, kupikir kau hanyalah kerabat jauh Uchiha. Maka dari itu aku menawarkanmu untuk menginap. Siapa sangka kalau Fugaku-san memiliki putra yang tinggal di Oto dan tidak tertarik menjalankan kerjaan bisnis mereka. Yamato yang menceritakan hal itu padaku setelah kita bertemu di toko bunga.”

Ingatan Sasuke langsung berputar pada pertemuan mereka beberapa hari lalu. Yamato pastilah nama pria yang bersama dengan Naruto siang itu. “Jadi, jika saat itu Anda tahu siapa saya, maka Anda tidak akan mengijinkan saya menginap?”

“Entahlah, aku tidak mau berandai-andai untuk sesuatu yang sudah terjadi. Tapi aku bisa menebak kalau kau tidak suka statusku sebagai putri kerajan, benar kan?”

Lagi-lagi Naruto benar tapi kali ini Sasuke harus menyangkal. “Bukan begitu Hime-sama, saya hanya-,”

“Tidak perlu bicara formal padaku saat kita hanya berdua atau di luar istana.” Naruto menyela karena tidak mau mendengar alasan Sasuke. Dia yakin pria itu hanya akan berbohong.

Sasuke pun terdiam. Berbohong bukanlah kebiasaannya. Tapi tidak mungkin jika dia mengatakan kalau sudah jatuh hati pada sosok Nami dan ingin menghapus fakta jika Nami adalah seorang putri kerajaan.

“Bolehkah setelah ini kita menjadi teman?” Hanya kalimat itu yang terpikir oleh Sasuke saat ini.

Teman?” Naruto mengerutkan kening atas pertanyaan Sasuke yang tiba-tiba. Dia pikir setelah tahu identitas aslinya, Sasuke akan menjauhinya. Kenapa sekarang pria itu justru meminta untuk berteman? Sejak awal Naruto tidak pernah berpikir kalau pertemuan mereka akan berujung pada hubungan pertemanan.

“Jika kau tidak keberatan. Lagipula aku sudah berhutang budi padamu. Tidak ada salahnya jika kita berteman. Mungkin suatu saat nanti aku bisa membalas kebaikanmu,” terang Sasuke yang bahkan sudah tidak berbicara formal pada Naruto. Suara dalam hati mendorongnya untuk lebih dekat dengan wanita itu.

Sejenak Naruto termenung, dia menatap Sasuke sembari berpikir. “Kau yakin? Kita bahkan belum saling mengenal. Bagaimana mungkin bisa menjadi teman?

Jawaban itu sempat membuat Sasuke kecewa tapi dia tidak patah semangat. “Kalau begitu kita mulai dengan saling mengenal lebih dulu,” lanjutnya tenang. “Aku Uchiha Sasuke, dua puluh enam tahun. Aku seorang fotografer. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Sejak lulus sekolah dasar, aku tinggal di Negara Oto bersama pamanku. Di sana aku melanjutkan pendidikan dan merintis jalanku menjadi fotografer. Aku baru kembali ke Konoha dua minggu yang lalu dan berencana untuk menetap di sini.”

Naruto tersenyum geli mendengar penuturan Sasuke. Apakah Uchiha muda itu serius ingin berteman dengannya? Atau hanya ingin mempermainkannya? Tapi dilihat bagaimana pun, Sasuke tidak tampak seperti Sai dan Obito yang bermulut manis pada setiap wanita.

“Kenapa?” Sasuke khawatir saat Naruto justru terdiam. Apakah wanita itu menolak untuk berteman dengannya?

“Kau pria yang unik, Sasuke,” komentar Naruto kemudian.

“Jadi? Kau tidak mau melewatkan kesempatan untuk menjadi teman pria unik ini kan?”

Naruto justru tertawa mendengarnya. Dalam hati dia memuji kalau Sasuke cocok menjadi adik Uchiha Itachi, sahabat kakaknya. “Aku tidak tahu apakah kita cocok berteman atau tidak. Tapi tidak ada salahnya mencoba. Jangan kecewa jika nanti aku tidak bisa menjadi teman seperti yang kau bayangkan.”

“Bukankah teman yang baik harus bisa menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain?” Sasuke tidak kurang akal membujuk Naruto. Biasanya dia tidak akan bersusah payah untuk wanita. Tapi kali ini hati Sasuke menjerit untuk bisa terus berhubungan dengan wanita yang sudah berhasil membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama.

Lagi-lagi Naruto tertawa. “Baiklah Tuan Muda Uchiha, aku ikuti permainanmu,” katanya kemudian. “Kau boleh memanggilku Naru seperti yang lain dan panggil aku Nami saat berada di luar istana. Ingat pesanku untuk tidak mengatakan pada kakekmu kalau kau pernah menginap di Nami Cafe.

Sasuke tersenyum tipis, cukup puas dengan jawaban Naruto. Dia tahu wanita itu masih enggan untuk terbuka padanya. Tapi biarlah, ini awal yang bagus. Perjuangannya akan dimulai dari sekarang. “Terima kasih,” ucapnya kemudian.

“Hm.” Naruto hanya bergumam seraya mengendikkan bahu. “Makanlah.” Wanita itu mengambil piring kecil lalu menikmati kue bunga berwarna hijau muda dengan garpu peraknya.

Sasuke mengamati hidangan yang tersaji di atas meja. Giginya sudah merasa linu membayangkan rasa manis dari kue warna-warni itu.

“Kue ini tidak manis, jadi kau bisa memakannya,” celetuk Naruto yang membuat Sasuke langsung menatapnya.

Melihat tatapan heran lawan bicaranya membuat Naruto menghela napas perlahan. “Percayalah, kau bukan satu-satunya Uchiha yang dibawa Madara Ojii-sama untuk bertemu denganku. Bahkan seluruh pelayan istana tahu, selain Itachi dan ibumu, tidak ada Uchiha yang menyukai kue manis.”

Dan Sasuke hanya bisa tersenyum mendengarnya. Mulai sekarang, haruskah dia belajar menyukai kue manis?

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 5<<

>>Nami Cafe - Chapter 7<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments