Nami Cafe - Chapter 5

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

=====================================================================


(Pict from pinterest)

Neji menghela napas perlahan saat selesai menyuntikkan satu ampul obat ke lengan  Naruto. Dalam hati dia bersyukur karena wanita itu masih tertidur. Namikaze Kurama, Putra Mahkota Negara Mizu sekaligus kakak Naruto, saat ini tengah duduk di sofa dan mengamatinya dengan ekspresi dingin. Melihat Naruto sakit pasti membuatnya geram. Tetapi, jika saat ini Naruto bangun maka keduanya pasti akan beradu mulut.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Kurama begitu Neji berbalik dan membereskan alat injeksinya ke dalam tas. Shion, perawat yang bersamanya, menerima tas dari Neji lalu membungkuk hormat pada Kurama sebelum akhirnya meninggalkan kamar.

“Demamnya sudah turun. Hime hanya perlu beristirahat dua hari ini,” jelas Neji seraya berdiri di depan Kurama.

Tatapan Kurama melembut. Di balik wajah garangnya, Kurama pasti khawatir dengan kesehatan adik semata wayangnya. “Keluarlah, aku akan memanggilmu nanti.”

“Baik, saya permisi.” Neji membungkuk hormat lalu keluar dari kamar Naruto. Dia tidak terkejut dengan sikap Kurama. Sang Putra Mahkota itu memang tidak suka dengannya.

Sepeninggal Neji, Kurama segera berpindah ke sisi tempat tidur adiknya. Dia mengusap lembut kening Naruto dan masih bisa merasakan suhu hangat di telapak tangannya. “Kenapa kau keras kepala sekali?” Kening Kurama berkerut. “Eh?”

“Onii-sama.” Naruto membuka mata dan menyapa sang kakak dengan suara parau.

“Kau sudah bangun?” Kurama menatap adiknya tidak suka.

“Hm.” Wanita muda itu perlahan bangun lalu dibantu sang kakak untuk bersandar pada kepala tempat tidur.

“Jangan bercanda, Naru,” tegur Kurama sembari menaikkan selimut ke atas pangkuan adiknya.

“Aku tidak bercanda. Hanya tidak mau sahabatku malu karena Ku-nii mengusirnya.” Naruto memberi alasan. Dia sebenarnya sudah bangun saat Kurama memasuki kamar. Tapi dia juga tahu kalau Kurama pasti akan memarahinya jadi memilih untuk pura-pura tidur. Tidak disangka sang kakak justru mengusir Neji.

“Tugasnya hanya untuk memeriksamu,” Kurama berkilah.

“Jangan terlalu kejam Ku-nii. Neji sudah merawatku sejak kemarin.” Naruto mengulas senyum lalu meraih tangan Kurama. “Bagaimana kabar Onii-sama?” tanyanya untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Hm, aku baik, tapi kau tidak.”

“Aku baik-baik saja. Kalian semua terlalu berlebihan, aw!” Naruto memekik saat Kurama menarik telinganya.

“Kau yang berlebihan. Seharian berada di bawah guyuran hujan, pulang saat badai, beruntung Obaa-sama tidak menahanmu di rumah sakit sekarang.”

“Tidak akan,” jawab Naruto dengan penuh percaya diri. Tapi memang benar, siapa yang bisa memaksa Naruto?

“Aku akan minta pelayan menyiapkan makan malammu.” Berhenti mendebat sang adik, Kurama beranjak dari sisi tempat tidur lalu berjalan ke arah meja, mengambil handphone-nya.

“Tapi aku tidak lapar,” jawab Naruto sembari melihat kakaknya serius dengan handphone.

“Lapar atau tidak, kau tetap harus makan.” Dan itu adalah perintah.

***

“Selamat malam, Neji Sensei.”

Neji menoleh dan langsung mendengkus saat melihat Shikamaru berjalan menghampirinya. Saat ini Neji tengah berdiri di tepi kolam, di taman samping istana.

“Kau menginap?” tanya Shikamaru begitu berdiri di samping sang sahabat. Sama seperti Neji, matanya mengamati ikan koi yang berenang.

“Hm, aku harus memeriksa Hime setiap enam jam,” jawab Neji tanpa menatap lawan bicaranya. “Kau baru selesai bertugas?”

“Tidak, tugasku sudah selesai sore tadi. Aku datang karena panggilan Hokage.” Shikamaru berbalik lalu berjalan ke arah bangku taman. Neji mengikuti langkahnya dan keduanya duduk bersebelahan.

“Apa ada masalah?” tanya Neji kemudian.

“Tidak ada, aku hanya diberi tugas tambahan untuk mengawal Namikaze Shinno besok. Kau sudah bertemu dengannya?” Shikamaru balik bertanya.

“Tentu saja sudah, kau pikir kenapa aku disini?” Neji melirik sahabatnya malas.

Shikamaru terkekeh. Sahabatnya sedang kesal, dia tahu. Neji selalu memilih tempat sepi dan tenang saat merasa marah. Shikamaru juga bisa menebak kalau Kurama pasti membuat Neji tidak leluasa berada di dekat adiknya. Tidak hanya pada Neji, sikap Kurama juga sama padanya.

“Kau akan lebih menderita besok,” ejek Neji kesal.

“Aku tidak bersama Naru, jadi dia tidak punya alasan untuk memakiku. Lagipula dia pergi untuk menghadiri pertemuan dengan Uchiha Fugaku di Uchiha Tower. Kami tidak akan banyak berinteraksi.” Shikamaru mengeluarkan sebatang rokok juga pemantik.

Neji melirik sahabatnya lalu menggeleng. “Berhentilah merokok.” Entah sudah berapa ribu kali dia mengatakan ‘petuah kuno’ itu.

“Kau tahu itu tidak mungkin,” jawab Shikamaru santai.

“Keras kepala,” sungut Neji.

“Hm.” Shikamaru tidak membantahnya. “Bagaimana keadaannya?”

“Demamnya sudah turun. Tapi masalahnya bukan itu,” jawab Neji.

“Masalah tidurnya?” tebak Shikamaru.

“Benar, Otou-san akan menjadwalkan terapi lagi untuknya.” Neji menghela napas panjang. Seringai tipis dibibir Shikamaru membuat Neji mengerutkan kening. “Kau tidak terlihat khawatir.”

Nada tidak suka Neji membuat Shikamaru terkekeh. “Aku? Tentu saja aku khawatir, tapi tidak panik sepertimu.”

“Aku tidak panik,” elak Neji tidak terima.

“Ya, ya, katakan itu pada lampu taman di sebelah sana.” Shikamaru menghirup dalam rokoknya dan mengepulkan asap perlahan. “Naru tidak akan suka melihatmu mengkhawatirkannya.”

“Aku hanya tidak suka dia sakit.” Neji mengambil handphone dari sakunya lalu melihat layar berkedip dengan nama sang ayah muncul di layar. Dia pun menjawab panggilan itu dan menjelaskan keadaan Naruto. Dokter muda itu menghela napas panjang saat panggilannya berakhir. “Hei Shika, jika suatu saat nanti Naru menikah, apa kau akan merasa sedih?”

Seringai tipis menghiasi sudut bibir Shikamaru sebelum kembali menghisap rokoknya. “Entahlah.”

***

Sarapan pagi di ruang makan istana Uzushio terasa tenang. Di ujung meja duduk Hashirama, Mito dan Kurama duduk di kedua sisinya.

“Ku, hari ini kau akan keluar?” tanya Mito memecah keheningan diantara mereka.

“Ya Obaa-sama, ada pertemuan dengan Fugaku Ojisan,” jawab Kurama.

“Aku sudah memerintahkan Shikamaru sebagai pengawal pribadimu hari ini. Dia dan Zabuza yang akan mengawalmu ke Uchiha Tower,” kata Hashirama. Momichi Zabuza adalah pengawal pribadi Kurama dari Negara Mizu.

Kurama mengangguk meski wajahnya terlihat masam setelah mendengar nama Shikamaru. Hashirama dan Mito saling bertukar pandang.

“Jangan memasang wajah seperti itu. Shikamaru salah satu prajurit terbaik.” Sebenarnya Hashirama tahu alasan Kurama tidak menyukai Shikamaru.

“Aku tahu,” jawab Kurama singkat. Selesai dengan sarapannya, Kurama menyeka mulutnya dengan serbet lalu menikmati kopinya.

“Dia juga sahabat baik Naru, jangan membuat adikmu kesal, hm?” tatapan Mito melembut saat Kurama memandangnya.

“Aku hanya kesal karena mereka berdua lebih dekat dengan Naru,” kata Kurama dengan wajah yang semakin masam.

Hashirama dan Mito tertawa.

“Kau terlalu keras pada adikmu,” kata Hashirama.

“Ojii-sama terlalu memanjakannya. Anak keras kepala itu selalu membuatku ingin menarik telinganya sampai merah. Dia bahkan menolak tinggal di Kiri,” sungut Kurama.

Mito menghela napas perlahan. “Kau akan membuat nenekmu ini sedih kalau Naru tinggal di Kiri.”

“Bukan begitu Obaa-sama, setidaknya hanya beberapa waktu tinggal di sana. Sepanjang tahun ini Jiraiya Ojii-sama dan Tsunade Obaa-sama juga mengeluh karena Naru tidak berkunjung.” Kurama mencoba memberi pengertian pada Nenek dari pihak ibunya.

“Hm, aku akan bicara dengan Naru. Mungkin akhir tahun nanti Naru bisa tinggal beberapa pekan di Kiri. Tsunade juga mengeluh padaku,” Mito mengulas senyumnya.

“Dan kau juga Ku, jangan memarahi adikmu lagi. Kau tahu dia melewati hari yang berat belakangan ini.” Hashirama mengingatkan Kurama.

“Aku hanya memarahinya sebentar kemarin,” elak Kurama sembari kembali meneguk kopinya.

Hashirama dan Mito hanya bisa menggeleng dengan senyum geli di wajah mereka.

***

Aroma segar mint dan lemon menguar di kamar Naruto. Wanita muda itu duduk bersandar di sofa kamarnya, menikmati aroma terapi yang disiapkan Neji. Sakit kepalanya tak lagi menyiksa, Naruto merasa jauh lebih baik setelah tidur nyenyak semalam.

“Jangan menatapku seperti itu.” Naruto tersenyum pada sahabatnya.

Neji ikut tersenyum kemudian duduk di sebelahnya sembari meletakkan cawan berisi dua butir obat di meja. “Minumlah,” perintahnya lembut.

Dengan patuh Naruto mengambil obatnya dan menerima segelas air putih hangat dari Neji. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Naruto hampir tersedak saat melihat tatapan tajam sang kakak. Neji langsung beranjak dari sisi Naruto, membuat Shikamaru yang berdiri di belakang Kurama menahan seringainya.

“Shinno-sama.” Neji membungkuk hormat pada Putra Mahkota.

“Selamat pagi, Onii-sama.” Senyuman manis Naruto juga menyambutnya. Wanita muda itu kembali meminum obatnya. Dia hanya melirik saat Kurama kemudian duduk di sebelahnya.

“Hime-sama.” Shikamaru yang berdiri di seberang meja juga membungkuk memberi hormat.

“Pagi, Shika. Kau bertugas pagi ini?” tanya Naruto saat melihat seragam lengkap yang dipakai sahabatnya.

“Benar Hime-sama. Saya bertugas mengawal Shinno-sama hari ini.” Dalam hati Shikamaru merasa lega melihat Naruto tampak lebih sehat.

“Ku-nii akan pergi keluar?” Naruto mengalihkan perhatiannya pada sang kakak.

Dengan hati-hati Kurama menyibak poni Naruto dan menyelipkan rambut pirang itu kebelakang telinga. “Aku ada pertemuan dengan Fugaku-ji. Kau tampak lebih segar.” Kurama tersenyum melihat wajah Naruto yang tak lagi pucat.

“Berhenti mengkhawatirkanku.” Naruto kembali mengulas senyumnya.

Kurama mengerutkan kening tapi tidak menanggapi perkataan adiknya. Dia justru menoleh pada Neji yang saat ini berdiri di belakang adiknya. “Bagaimana keadaannya?”

“Kondisi Hime-sama sudah membaik. Suhu tubuh dan tekanan darahnya sudah normal. Hanya saja Hime-sama masih belum diijinkan untuk beraktivitas terlalu banyak.” Dokter muda itu menjelaskan.

“Apa Hyuga Sensei akan datang?” Kurama menanyakan Hiashi, Kepala Dokter Kerajaan.

Sejenak melirik ke arah Naruto, Neji kemudian mengangguk pada Kurama. “Hyuga Sensei akan datang bersama dengan Shizune Sensei.”

“Shizune Sensei?” seru Kurama dan Naruto bersamaan.

“Kenapa tidak memberitahuku?” tanya Naruto kemudian.

“Neji, apa Naru melewatkan terapinya?” Kurama langsung menoleh pada dokter muda itu.

Mata Naruto yang membulat tidak menghentikan Neji untuk menjawab. Lagipula tidak ada gunanya berbohong pada Kurama. “Benar, Namikaze-shinno. Naru-hime sudah melewatkan dua kali jadwal terapinya dan sepertinya kembali mengalami insomnia hingga kesulitan untuk beristirahat dengan baik.”

“Ck, Hyuga Neji,” Naruto mendesis tidak suka dan beralih menatap Shikamaru yang masih berdiri di depannya. “Shika, segera antar Onii-sama ke Uchiha Tower. Akan sangat tidak sopan kalau Namikaze-shinno terlambat nanti,” katanya dengan nada kesal.

Alih-alih menanggapi sarkasme sang adik, Kurama justru beranjak lalu mencium kening Naruto. “Istirahatlah,” gumamnya lembut. “Neji, pastikan Hime tidak melewatkan terapinya hari ini,” pesannya kemudian sembari berjalan meninggalkan kamar dengan Shikamaru dibelakangnya.

Pintu kamar sudah kembali tertutup dan hanya ada Neji juga Naruto di dalam kamar.

“Aku juga baru tahu pagi ini dan belum sempat mengatakannya padamu.” Neji membela diri begitu Naruto menoleh padanya dengan wajah masam.

Naruto melipat tangan di depan dada.

“Istirahatlah, aku akan pergi ke rumah sakit hari ini. Ayah yang akan memeriksamu siang nanti.” Neji mengulas senyum lalu mengambil tas kerjanya. Membungkuk hormat di depan sang sahabat, Neji mengabaikan decakan kesal Naruto. “Saya permisi, Hime-sama.”

Naruto tidak menjawab dan hanya menatap punggung Neji yang menghilang di balik pintu dengan ekspresi masam.

***

Uchiha Tower, gedung pencakar langit sebagai Gedung utama milik Uchiha Group di pusat kota Konoha. Uchiha Group sendiri adalah perusahaan turun temurun milik keluarga Uchiha. Sebelum menjabat sebagai perdana Menteri, Madara Uchiha juga memulai karirnya sebagai pengusaha. Tapi minatnya pada politik dan pemerintahan lebih besar, hingga memilih menyerahkan semua itu pada putranya Fugaku Uchiha dan Madara membantu sahabatnya, yang juga adalah Hokage, Hashirama Senju.

Bukan rahasia lagi kalau hubungan keluarga Uchiha dan Senju sangat dekat. Tapi kali ini, kunjungan Kurama ke Uchiha Tower adalah atas perintah kakeknya, Jiraiya Namikaze. Mizukage sudah meminta ijin pada Hokage untuk meminta bantuan Uchiha Grup guna mengembangkan mobil dengan keamanan khusus untuk keluarga istana Kiri. Salah satu bisnis andalan Uchiha Grup adalah bidang otomotif.

Turun dari mobilnya, Kurama disambut oleh jajaran petugas pengamanan dan direksi Uchiha Grup. Fugaku, Shisui juga Itachi juga ikut menyambut sang Putra Mahkota Negara Mizu. Shikamaru dan Zabuza mengikuti Kurama dengan mata siaga mengawasi sekitar.

“Selamat datang Namikaze-shinno,” Fugaku memberi salam untuk Kurama. Dulu dia cukup dekat dengan orang tua Kurama karena istrinya, Mikoto, adalah sahabat baik Kushina, mendiang ibu Kurama.

“Namikaze-shinno.” Shisui dan Itachi juga memberi salam.

“Terima kasih Uchiha-san,” Kurama mengangguk untuk menjawab salam.

Tidak banyak berbasa-basi, Fugaku segera mengajak Kurama ke ruangannya. Petugas keamanan Uchiha Grup tetap bersiaga di depan sementara Shikamaru dan Zabuza mengikuti Kurama dan keluarga Uchiha.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Fugaku saat mereka sudah duduk di ruang kerja President. Shisui dan Itachi juga ikut menemani.

“Baik Oji-san,” jawab Kurama. Mereka menanggalkan formalitas saat tidak berada di depan umum.

“Aku dan Shisui sudah membaca surat dari Mizukage, kami juga sudah mendapat ijin dari Hokage.” Fugaku yang duduk di depan Kurama menatap lawan bicaranya dengan serius. Shisui dan Itachi yang duduk di kedua sisinya juga belum berani membuka suara.

“Oji-san pasti sudah diberitahu mengenai penyerangan mobil Mizukage minggu lalu,” kata Kurama kemudian. Dia melanjutkan saat Fugaku juga Shisui mengangguk. Itachi hanya diam mendengarkan. “Penyerangan itu direncanakan dengan baik. Kaca mobil bagian belakang pecah hanya dengan dua tembakan peluru. Beruntung Ojii-sama dan Obaa-sama baik-baik saja. Dan karena kejadian itu penjagaan di istana Kiri diperketat. Sampai saat ini beritanya memang disembunyikan.”

“Bukankah itu sesuatu yang aneh? Kaca mobil pecah hanya dengan dua tembakan peluru?” Shisui mengerutkan kening dalam. Mobil yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah mobil dengan pengamanan ekstra tinggi. Bagaimana mungkin bisa hancur semudah itu? Bahkan mobil Hokage yang mereka rancang tidak akan rusak dengan lima puluh tembakan sekaligus.

Kurama mengangguk. “Tentu saja aneh.”

“Mizukage menduga ada orang dalam yang terlibat, sehingga meminta kami membuat mobil dengan pengamanan khusus?” tanya Fugaku.

“Benar.” Kurama mengangguk lagi.

“Orang gila mana yang berani menyerang Mizukage secara terang-terangan?” kali ini Itachi buka suara.

“Psikopat gila,” jawab Kurama dengan ekspresi wajah mengeras. “Pelaku yang tertangkap tidak memberikan petunjuk apa pun. Dia hanya tertawa saat diintrogasi. Memprovokasi Mizukage untuk memberinya hukuman mati.”

“Ish,” Itachi menggeleng dengan wajah jijik.

“Kau memajukan jadwal pertemuan, apa ada yang penting selain itu?” tanya Fugaku kemudian.

“Oh, masalah itu. Tidak Oji-san, aku datang lebih awal karena Naru sakit. Aku ingin membahas masalah ini secepatnya agar bisa menemaninya lebih lama.” Kurama tersenyum tipis pada sosok yang sudah dianggap bagian dari keluarganya itu.

“Naru sakit?” Fugaku tampak terkejut, sementara Shisui dan Itachi saling bertukar pandang. “Ah, ulang tahunnya. Aku memang tidak melihatnya saat upacara peringatan Minato dan Kushina.” Fugaku adalah salah satu saksi mata kejadian sepuluh tahun yang lalu. Dia juga tahu kalau Naruto tidak pernah mau menghadiri upacara peringatan kedua orang tuanya yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya.

Kurama mengangguk. “Dia berada di makam sendirian. Seharian berdiri di bawah hujan.” Tanpa sadar kedua tangannya terkepal erat. Hal itu tidak luput dari ketiga Uchiha yang duduk di depannya.

“Bagaimana keadaan Naru sekarang?” tanya Itachi kemudian. Berusaha mengalihkan emosi Kurama.

“Sudah lebih baik, demamnya sudah turun. Hanya harus banyak istirahat,” jawab Kurama.

“Syukurlah kalau begitu,” kata Fugaku sembari mengangguk dengan wajah lega. “Oh ya, kau baru kembali dari Suna bukan? Kudengar kalau Hokage dan Mizukage ingin menjodohkan Naru dengan Pangeran Kaze, Sabaku Gara. Apa itu benar?”

“Hah?”

“Apa?”

Kurama dan Fugaku menatap wajah Shisui juga Itachi yang tanpa sengaja memekik bersamaan.

“Kenapa dengan kalian berdua?” tanya Fugaku dengan mata memincing tajam.

“A-ayah dapat berita itu darimana?” tanya Itachi cepat. Dia yang paling panik mendengar kabar mengejutkan ini. Hei, saingan cinta adiknya adalah seorang pangeran. Betapa miris nasib Sasuke.

“Ehem,” Shisui berdeham sembari menatap tajam Itachi, memintanya mengendalikan diri.

Sadar akan sikap impulsifnya membuat Itachi tertawa canggung. “Maaf, maaf, aku hanya terkejut,” katanya sembari menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

“Jangan bilang kau tertarik pada adikku?” tanya Kurama dengan wajah masam.

“Hei, itu tidak mungkin kan. Jangan bercanda Ku, aku sudah menganggap Naru seperti adik kandungku,” elak Itachi dengan wajah serius.

“Kami berdua hanya terkejut, itu saja. Maaf Kurama-sama,” kata Shisui kemudian. Tidak seperti Itachi atau ayahnya yang bisa bersikap santai pada Kurama, Shisui masih tetap menjaga sikapnya di depan sang putra mahkota.

“Kau tidak tertarik dengan adikku?” tanya Kurama sembari menyeringai pada Shisui.

“Maaf, Kurama-sama, Naru-sama juga sudah seperti adik bagiku,” jawab Shisui sopan dengan senyum tipis tersungging di bibirnya.

Kurama terkekeh mendengarnya. “Aku tidak heran kalau Madara Ojii-sama sedih akhir-akhir ini.”

“Ya, kau benar, Otou-sama memang tampak sedih akhir-akhir ini. Aku juga mendengar tentang perjodohan itu dari Otou-sama,” kata Fugaku kemudian.

Shisui menghela napas pelan. Dalam hati dia berdoa semoga Sasuke tidak memiliki perasaan yang dalam pada Naruto. Hatinya masih tidak tenang jika memikirkan masalah itu.

“Selain hal ini masih ada lagi masalah yang ingin aku sampaikan pada Oji-san,” kata Kurama yang kemudian melirik dua Uchiha muda.

“Ah, kami mengerti. Ayo Itachi,” Shisui segera beranjak dan mengajak Itachi keluar.

Begitu pintu tertutup, Kurama menatap Fugaku dengan ekspresi yang lebih serius.

***

“Makan malam bersama Oji-sama?” Sasuke menatap ibunya dengan alis bertaut. Dia baru saja pulang dan langsung disambut Mikoto dengan berita mengejutkan. Sasuke secara pribadi memang jarang bertemu dengan kakeknya, Madara.

Mikoto mengangguk, menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Kemarilah.”

“Apa ada acara khusus Okaa-sama?” tanya Sasuke yang sudah duduk di sebelah sang ibu.

“Tidak ada, sepertinya kakekmu hanya sedang ingin berkumpul bersama keluarga. Lagipula sejak kembali ke Konoha kau belum mengunjungi kakekmu, dia juga pasti merindukanmu.”

Sasuke mengangguk patuh.

“Aku sudah menghubungi ayah juga kakakmu. Mereka akan langsung ke sana sepulang dari kantor. Sebaiknya kau bersiap sekarang, kita berangkat satu jam lagi. Oh ya, pakailah kemeja,” Mikoto tersenyum pada putranya.

“Baiklah, aku bersiap sebentar,” Sasuke kembali mengangguk patuh pada perintah Mikoto dan bergegas kembali kekamarnya untuk bersiap.

Di dalam kamar, Sasuke meletakkan tas dan kameranya ke atas meja. Laki-laki itu menghela napas panjang setelah menjatuhkan dirinya di atas tempat tidur. Dia mengambil handphone dari saku jaket dan menatap layar gelapnya.

“Dia belum juga menghubungiku,” gumam Sasuke, “Dia juga tidak ada di cafenya. Apa dia memang masih diluar kota?”

Sasuke melempar handphone-nya ke atas bantal begitu saja. Dia masih belum melupakan pesona Nami malam itu. Cinta pada pandangan pertama, ternyata menyakitkan.

“Aku akan mengunjungi kafe beberapa hari lagi, semoga dia sudah kembali,” lirihnya kemudian.

Ingat akan acara makan malam bersama kakeknya, Sasuke akhirnya beranjak dan bergegas untuk mandi.

***

Dua mobil mewah berhenti di depan sebuah mansion megah dengan gaya mediterania. Keluarga Uchiha tiba di kediaman Perdana Menteri, Madara Uchiha. Mereka dipersilakan masuk oleh kepala pelayan dimana Madara sudah menunggu di ruang makan.

“Selamat malam, Otou-sama.” Fugaku dan Mikoto memberi salam.

“Selamat malam, Oji-sama.” Shisui, Itachi dan Sasuke memberi hormat pada sang kakek.

“Duduklah, aku senang kalian bisa datang,” Madara meneguk teh hijuanya dan menyambut keluarganya.

“Bagaimana kabar Otou-sama?” Mikoto memberikan kotak berisi kue kesukaan Madara pada pelayan sebelum duduk di meja makan, di sebelah suaminya.

“Aku baik Mikoto, sepertinya kau cukup sibuk akhir-akhir ini,” kata Madara pada menantu kesayangannya.

Mikoto tertawa. “Maaf kalau aku jarang berkunjung Otou-sama, Sasuke baru kembali dari Oto juga ada beberapa urusan perusahaan yang tidak bisa diwakilkan sehingga aku harus menemani suamiku ke luar kota.”

Madara mengangguk lalu menatap cucu bungsunya. “Sasuke, bagaimana kabarmu?”

“Baik Oji-sama. Maaf belum berkunjung sejak kembali ke Konoha,” jawab Sasuke.

“Aku tahu anak muda jaman sekarang selalu sibuk,” kata Madara kemudian. Dia menatap cucu bungsunya penuh minat. “Sasuke, berapa umurmu?”

Semua orang tampak heran mendengar pertanyaan Madara pada Sasuke.

“Dua puluh enam, Oji-sama,” jawab Sasuke canggung.

“Ah, dua puluh enam,” Madara mengangguk-angguk. Perhatiannya teralihkan saat pelayan menghidangkan makan malam dan minuman untuk mereka.

“Ada apa Otou-sama?” tanya Fugaku tanpa basa-basi setelah meneguk tehnya. Dia curiga ayahnya sedang merencanakan sesuatu yang melibatkan putra bungsunya.

“Fugaku, aku ingin mengenalkan Sasuke pada Naru-hime, bagaimana menurutmu? Sasuke, apa kau sudah punya kekasih?” Madara kembali mengalihkan perhatiannya pada Sasuke.

Shisui dan Itachi langsung tersedak teh, sementara Sasuke menatap sang kakek dengan bingung.

“Oji-sama, Sasuke baru kembali ke Konoha, apa tidak terlalu cepat mengenalkannya pada Hime?” Shisui langsung angkat bicara dan sukses membuat Madara juga Fugaku menaikkan alisnya.

“Kenapa Shisui? Tidak ada salahnya mengenalkan Sasuke pada Naru-hime. Hanya Sasuke satu-satunya keluarga inti Uchiha yang belum pernah bertemu dengan Hime.” Madara tampak tidak suka dengan perkataan Shisui.

Itachi yang tahu benar maksud sang kakak mencoba membantu. “Jangan salah paham Oji-sama. Onii-sama bukan tidak setuju mengenalkan Sasuke pada Hime-sama, hanya memang menurutku juga terlalu cepat. Bagaimana pun juga Sasuke belum pernah ke Istana dan bertemu dengan keluarga kerajaan. Dia baru kembali ke Konoha atas bujukan Okaa-sama, jadi sebaiknya ijinkan Sasuke untuk beradaptasi dulu dengan Konoha.”

“Omong kosong apalagi itu?” dengkus Madara yang kemudian meneguk teh hijaunya untuk menenangkan diri.

Shisui menggerutu dalam hati. Dia benar-benar tidak ingin adik bungsunya berhubungan lebih jauh dengan Naruto, apalagi jika rencana perjodohan dengan Pangeran Kaze itu benar adanya. Shisui menatap adik bungsunya yang kebetulan juga sedang menatapnya.

“Siapa Naru-hime?”

Pertanyaan polos Sasuke membuat semua orang menatapnya dalam diam. Itachi dan Mikoto kemudian terkekeh dan memecah suasana canggung diantara mereka.

Madara menghela napas panjang, tiba-tiba kehilangan minat untuk membahas masalah Naruto. Dia merasa miris karena keinginannya untuk memiliki Naruto sebagai cucu menantu semakin sulit saja. Tanpa sadar Madara menggeleng sedih.

“Makanlah, makanannya mulai dingin,” kata Madara kemudian. Semua keluarga pun patuh pada perintahnya.

Melihat wajah sendu sang ayah membuat Fugaku kembali bicara. “Otou-sama, apa ini karena rencana perjodohan Naru-hime?”

Madara pun menatap putra sulungnya. “Bukankah aku sudah mengatakannya padamu kemarin,” jawabnya menahan kesal. Dia sempat mendesak Fugaku agar salah satu putranya bersedia dijodohkan dengan Naruto.

Fugaku mengangguk, kembali menyantap makanannya dengan tenang.

“Otou-sama ingin mencoba menjodohkan Sasuke dan Hime-sama?” kali ini Mikoto yang bertanya. Dia pun melirik Sasuke yang tampak serius menyantap makan malamnya, sepertinya berusaha menghindari percakapan.

“Mikoto, putra sulungmu tidak tertarik pada Hime-sama, entah wanita seperti apa yang diharapkannya,” gerutu Madara, “Itachi juga berkali-kali menegaskan dia hanya menganggap Naru-hime sebagai adik. Menurutmu siapa lagi yang bisa kuharapkan? Sasuke seharusnya cocok dengan Naru-hime, usianya tidak beda jauh.”

Shisui dan Itachi menunduk dalam diam. Mereka tidak berani menjawab dan diam-diam melirik ke arah Sasuke yang juga tengah melirik pada kedua kakaknya.

“Otou-sama, perasaan tidak bisa dipaksakan,” Mikoto mencoba menenangkan ayah mertuanya dan membela putra-putranya.

“Perasaan bisa tumbuh seiring berjalannya waktu,” kata Madara tidak mau kalah. “Sasuke, apa kau keberatan kalau aku mengajakmu ke istana besok?” tanyanya kemudian.

“Otou-sama-,”

“Aku bertanya pada Sasuke,” potong Madara saat Mikoto dan Fugaku mencoba membujuknya.

Sasuke menatap keluarganya yang tampak khawatir lalu mengalihkan fokusnya pada sang kakek. Dia pun mencoba menjawab dengan tenang. “Aku bersedia ke istana besok, Oji-sama. Tapi bolehkah aku mengajukan syarat?”

Kening Madara berkerut tapi tetap mengangguk atas pertanyaan cucu bungsunya.

“Aku hanya akan bertemu dengan Naru-hime atau siapa pun itu yang Oji-sama inginkan. Selebihnya, Oji-sama tidak boleh memaksaku untuk menyukainya. Maaf Oji-sama, tapi jujur saja, apakah pria sepertiku akan cocok jika bersanding dengan seorang Hime? Kehidupan istana juga pastinya tidak akan cocok denganku.” Sasuke mencoba jujur dengan perasaannya.

Shisui langsung memijat pangkal hidungnya yang berdenyut. Dia sudah bisa membayangkan rumitnya hubungan Sasuke dan Naruto kedepannya. Takdir tidak memihaknya. Shisui ingin menjauhkan adiknya dari Naruto tapi sang kakek justru ingin mempertemukan mereka. Dia sudah menduga jawaban Sasuke akan seperti itu, tapi bagaimana jika Sasuke tahu kalau hime yang dimaksud adalah wanita yang disukainya? Renungannya terputus saat Itachi diam-diam menepuk tangannya yang terkepal di atas pangkuannya. Putra kedua Uchiha itu tahu kakaknya sedang khawatir. Tapi keduanya hanya bisa diam.

“Baiklah, aku tidak akan memaksamu,” Madara akhirnya memutuskan dengan raut wajah yang lebih cerah.

Sasuke mencoba tersenyum dan mengangguk pada kakeknya. “Terima kasih Oji-sama.”

Keempat Uchiha lainnya hanya bisa menghela napas. Mereka pun kembali makan dengan tenang.

“Tapi aku yakin Sasuke akan menyukai Naru-hime,” tiba-tiba Madara kembali mengutarakan pikirannya, membuat Shisui dan Itachi hampir tersedak, lagi.

***

“Sasuke, kau yakin akan pergi ke istana besok?” Itachi langsung bertanya begitu mobil meninggalkan kediaman Perdana Menteri. Dia, Shisui dan Sasuke berada dalam satu mobil dengan seorang supir sementara kedua orang tuanya berada dalam mobil lain.

“Hanya agar Oji-sama senang dan tidak terus memaksaku,” jawab Sasuke santai.

Shisui yang duduk di depan menoleh pada adiknya. “Sasuke, bagaimana jika kau benar-benar menyukai Hime nantinya?” Jujur saja, sulung Uchiha itu penasaran sekaligus khawatir.

Sasuke langsung menatap kakaknya. “Apa itu mungkin?” dia justru balik bertanya.

Jelas saja mungkin, batin Itachi dan Shisui bersamaan. Tapi keduanya sama-sama diam.

“Lagipula aku sudah memiliki wanita yang aku sukai,” celetuk Sasuke kemudian yang justru membuat kedua kakaknya menghela napas bersamaan.

Justru itu masalahnya, batin keduanya.

Ingin rasanya Itachi menjelaskan semuanya pada Sasuke, tapi bagaimana memulainya? Jelas tidak mungkin Itachi mengatakan kalau Shisui dan dirinya berusaha menjauhkan Sasuke dari Naruto. Akhirnya, Itachi hanya bisa tertawa dengan semua kerumitan itu.

“Apa yang lucu?” tanya Sasuke kemudian.

Itachi menggeleng sembari menepuk bahu adiknya. “Apa pun yang terjadi besok, aku dan Onii-sama akan tetap mendukungmu.”

Sasuke mengerutkan kening, menatap kedua kakaknya bergantian. Shisui hanya tersenyum lalu kembali menatap jalan raya. Tidak ada lagi yang bicara setelah itu.

***

>> Bersambung <<

>> Nami Cafe - Chapter 4 <<

>> Nami Cafe - Chapter 6 <<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments