Nami Cafe - Chapter 4

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

=====================================================================


“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”

Naruto memiringkan kepala untuk melihat pria yang baru saja masuk ke dalam toko. “Benar, itu Sasuke,” gumamnya.

Yamato mengamati sang nona lalu melihat ke arah Sasuke. Dia mengenali pria itu tapi tidak berkomentar.

“Saya ingin satu pot lavender,” kata Sasuke yang tampaknya tergesa-gesa.

“Baik, silakan, Anda bisa memilih sendiri.” Florist itu melambaikan tangannya ke arah rak yang kebetulan tepat berada di sebelah kanan Naruto.

Melihat gadis yang berdiri menatapnya membuat jantung Sasuke tiba-tiba berdegub kencang. “Na-Nami?” Dia seakan tidak percaya dengan keberuntungannya.

“Sasuke, kita bertemu lagi,” sapa gadis itu dengan senyum simpulnya.

Dengan langkah cepat Sasuke menghampiri Naruto. “Kebetulan yang menyenangkan,” ucapnya.

“Begitukah?” Naruto kembali tersenyum mendengarnya.

Sasuke menatap wajah Naruto yang tampak pucat. “Kau masih sakit, Nami?” tanyanya khawatir.

Naruto menggeleng. “Aku baik-baik saja. Apa kau membeli bunga untuk kekasihmu?” celetuknya untuk mengalihkan perhatian Sasuke yang justru membuat kening pria itu berkerut.

“Tidak, tidak,” jawab Sasuke cepat. Tentu saja dia tidak mau Naruto salah paham. Hei, tidak tahukah kalau Sasuke sudah jatuh hati pada Naruto sejak pertemuan pertama mereka? “Aku membutuhkan bunga Lavender untuk pemotretan,” jelasnya kemudian. Sayangnya, hal itu justru mengingatkan Sasuke pada jadwalnya. Dia melihat jam tangan dan mendengkus saat waktunya semakin sedikit.

“Kau buru-buru? Silakan pilih bunganya.” Naruto bergeser untuk memberi ruang pada Sasuke memilih pot-pot Lavender yang ada di sampingnya.

“Terima kasih,” dan tanpa basa-basi lagi Sasuke memilih satu pot yang memiliki paling banyak bunga Lavender mekar. Memeluk pot bunganya, Sasuke kembali menatap Naruto. “Aku masih ingin mengobrol denganmu tapi sayang waktuku terbatas. Apa boleh aku menghubungimu lain kali? Atau mengunjungimu di café?”

“Eh?” Tentu saja Naruto terkejut. Dia tidak menyangka Sasuke akan berkata seperti itu. Dari sudut mata, Naruto melihat Yamato mengawasinya.

“Nami?” Sasuke menunggu jawaban Naruto.

“Maaf, tapi beberapa hari ke depan aku ada urusan di luar kota.” Naruto menolak secara halus. Dia melihat Yamato menghampiri florist lalu membayar pesanan buket bunganya.

Melihat gelagat Naruto yang tidak nyaman membuat Kapten Anbu itu mengambil inisiatif. “Nami-san, bunganya sudah siap,” selanya sopan.

Sasuke langsung berbalik dan mendapati pria berjas hitam membawa buket bunga Amarilis.

“Nah Sasuke, aku pergi dulu.” Naruto tersenyum sembari melambaikan tangannya. Dia bergegas keluar dari toko bunga bahkan tanpa mendengar jawaban lawan bicaranya.

“Dia menolakku,” lirih Sasuke kecewa, matanya memandang gadis yang kini sudah masuk ke dalam mobil.

“Maaf Tuan, bunganya?”

Pertanyaan sang florist mengalihkan perhatian Sasuke dari mobil Naruto yang kini mulai berjalan meninggalkan toko.

“Ah iya, tolong, Terima kasih,” ucap Sasuke seraya menyerahkan pot bunga Lavender pilihannya. Pria muda itu kemudian berjalan ke meja kasir untuk membayar. Fokusnya beralih pada pekerjaan yang harus segera diselesaikannya.

***

“Anda yakin baik-baik saja, Hime-sama? Atau kita sebaiknya ke rumah sakit?” tanya Yamato ketika melihat nonanya memijat pelipis dengan wajah pucat.

“Tidak, kita langsung ke istana. Aku hanya butuh tidur,” jawab Naruto yang kemudian menyandarkan kepalanya lebih santai pada jok mobil. Dia ingat belum meminum obatnya siang ini. Tidak heran sakit kepalanya menjadi di tengah teriknya cuaca panas kota Konoha. Sayangnya lagi, Naruto melupakan obatnya dan meninggalkan obat dari Neji di atas meja nakas. Konyol.

Yamato melirik ekspresi wajah Naruto dari kaca spion tengah. Dia tahu tidak ada gunanya memaksa Naruto. “Maaf Hime-sama, boleh saya bertanya?” tanyanya kemudian.

Naruto pun memberikan perhatian penuh pada Kapten Anbu yang memang cukup dekat dengannya itu. “Ya?”

“Anda mengenal cucu bungsu Perdana Menteri? Sebelumnya saya belum pernah melihat Anda bertemu dengannya.”

“Cucu bungsu Perdana Menteri? Maksudmu Sasuke adalah cucu Perdana Menteri Madara?” Naruto terkejut mendengarnya.

Yamato menoleh saat mobil berhenti di lampu merah. “Anda tidak tahu?”

Gadis itu menggeleng lalu memijat pelipisnya, lagi. Mendengar kalau Sasuke adalah cucu Perdana Menteri membuat kepalanya semakin sakit.

“Sasuke-sama adalah adik dari Shisui-sama dan Itachi-sama,” Yamato menjelaskan lalu menekan pedal gas saat lampu berubah hijau. Fokusnya beralih pada jalan raya Konoha yang padat.

“Yang benar saja?” lenguh gadis itu. Coba saja Madara tahu kalau cucu bungsunya pernah menginap di Nami Café, hidup Naruto pasti tidak akan tenang. “Tapi kenapa aku tidak pernah melihatnya?” tanyanya heran.

“Yang saya tahu, Sasuke-sama tinggal di Oto bersama Izuna-sama sejak lulus sekolah dasar. Dia pernah mengalami penculikan saat kecil dan tidak menyukai kehidupan ala bangsawan Uchiha. Mungkin Sasuke-sama memang seperti Izuna-sama yang memilih menjadi pelukis bebas,” jelas Yamato panjang lebar. Dia adalah Kapten Anbu, sudah jadi tugasnya untuk menghafal profil semua anggota keluarga yang terlibat dengan Kerajaan Konoha.

“Ah, masuk akal,” kata Naruto. Dia jadi ingat kartu nama yang ditinggalkannya di meja kamar. Sasuke adalah seorang fotografer. “Sepertinya aku mulai menyesal karena sudah menolongnya kemarin.”

“Anda menolong Sasuke-sama?” Yamato kembali bertanya.

“Kau ingat saat aku memarahimu di pemakaman lalu mengusirmu pulang? Setelahnya aku juga pulang dan saat itu aku bertemu Sasuke yang mobilnya rusak tepat di depan café. Dia memang mengenalkan diri sebagai Uchiha dan aku hanya bertanya apakah dia bagian dari Uchiha grup?” Naruto menghela napas pelan, mengurangi sedikit kekesalannya.

“Sasuke-sama bukan bagian dari Uchiha Grup.” Yamato menimpali.

“Ya, dia juga bilang begitu. Dia bilang ayah dan saudaranya yang berada di Uchiha Grup. Jadi aku pikir dia adalah kerabat jauh Uchiha. Sayangnya malam itu aku menawarinya untuk menginap di café,” Naruto kini benar-benar menyesali kecerobohannya.

“Jadi Sasuke-sama pernah menginap di café?” Yamato juga terkejut mendengarnya.

“Tolong rahasiakan hal ini. Kalau sampai Madara Ojii-sama mendengarnya maka-,” Naruto menggeleng untuk menghilangkan bayangan wajah Madara yang berbinar senang menatapnya.

“Baik, Hime-sama,” jawab Yamato patuh. Dia jelas tahu bagaimana obsesi Madara pada Naruto.

“Yamato-san, mungkin aku akan tidur sebentar,” kata Naruto yang akhirnya menyerah dengan sensasi berdenyut di kepalanya. Dia tidak menunggu Yamato menjawab dan langsung memejamkan mata.

Melihat wajah Naruto yang kini mulai memerah membuat Kapten Anbu itu menekan pedal gas lebih dalam. Dia harus segera sampai di istana.

***

Uchiha Tower, Kantor Utama Uchiha Grup milik keluarga besar Uchiha.

Shisui menatap tajam adiknya, Itachi, yang baru saja selesai memutar rekaman suara percakapannya dengan Sasuke semalam. “Idiot, kenapa kau justru berjanji akan membantunya dekat dengan Hime-sama?”

Tentu saja Itachi hanya bisa meringis lebar karena dipanggil idiot oleh kakaknya, yang notabene terkenal paling tenang dan ramah di keluarga Uchiha. “Maaf, aku spontan mengucapkannya. Onii-sama tahu bagaimana hubunganku dengan Sasuke selama ini,” jelasnya membela diri.

“Itachi, ini bukan masalah kecil. Sasuke bahkan tidak tahu apa yang dihadapinya. Bayangkan kalau Ojii-sama tahu Sasuke menyukai Hime-sama dan pernah menginap di Nami Café? Kalau Sasuke saja tidak tahan dengan aturan Klan Uchiha, bagaimana mungkin dia tahan dengan aturan hidup bersama Hime-sama?” Sulung Uchiha itu masih melotot pada Itachi. Niat hati meminta Itachi untuk mengorek informasi dan membuat adik bungsunya aman, kini justru semakin kacau karena mulut Itachi.

“Aku tahu, aku tahu, aku akan coba bicara lagi dengan Sasuke. Aku juga yang akan membantunya mencari studio dan apartemen,” jawab Itachi kemudian.

“Masalah apartemen sebaiknya kau bicara dengan Otou-sama. Aku yakin Okaa-sama tidak akan setuju Sasuke tinggal di luar sendiri. Lagipula akan lebih mudah kita mengawasi Sasuke kalau dia tinggal di rumah,” kata Shisui yang mulai sedikit lebih tenang.

“Ya, kau benar. Tapi sepertinya Hime-sama tidak menganggap pertemuan mereka sebagai sesuatu yang berkesan,” kata Itachi yang kembali mengingat percakapannya dengan Sasuke. Putra kedua Uchiha itu langsung meringis saat sang kakak kembali menatapnya tajam.

“Kau tahu tapi masih menjanjikan untuk membantunya?” ejek Shisui.

“Maaf, maaf,” jawabnya sembari terkekeh. Sungguh menggelikan.

“Tapi aku benar-benar khawatir, Itachi. Sasuke itu keras kepala dan berjiwa bebas. Aku menyayanginya. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Ojii-sama kalau tahu Sasuke jatuh hati pada Hime-sama,” ekspresi wajah Shisui kembali mengeras.

“Aku sudah bilang pada Sasuke untuk tidak mengatakan masalah ini pada siapa pun.” Itachi mencoba menenangkan kekhawatiran kakaknya.

Shisui justru mendengkus dengan ucapan Itachi. “Kau yakin semua berjalan semudah itu? Apa kau lupa kalau dua minggu lagi adalah pesta ulang tahun Ojii-sama? Sasuke ada di Konoha, kali ini anak itu tidak mungkin tidak datang.”

Itachi mengumpat pelan yang langsung mendapat kernyitan tidak suka dari kakaknya. Bagaimana dia bisa melupakan hal sepenting itu? Tahun-tahun sebelumnya Sasuke memang selalu menolak datang ke pesta dan memilih mengucapkan ulang tahun secara pribadi pada kakeknya. Sayangnya tahun ini Sasuke ada di Konoha.

“Ojii-sama tidak mungkin melewatkan Hime-sama sebagai tamu kehormatannya,” ucap Itachi miris.

“Kecuali Hime-sama sakit, maka kecil kemungkinan dia tidak datang,” tegas Shisui seraya menghela napas panjang. “Semoga semua baik-baik saja,” ucapnya lagi yang tidak mendapat respon apapun dari Itachi.

***


Mobil Yamato memasuki wilayah istana Uzushio. Dia berhenti di depan gerbang utama untuk diperiksa.

“Selamat siang, Kapten Yamato.” Penjaga gerbang langsung memberi hormat saat mengenali Yamato yang membuka kaca mobil.

Kapten Anbu itu hanya mengangguk lalu menunjukkan lencana tugasnya untuk di scan, penjaga itu melirik ke kursi belakang.

“Jaga matamu, aku bersama Hime-sama,” Yamato memperingkatkan hingga membuat penjaga itu terkejut. Naruto masih tertidur.

“Maaf, Kapten,” kata penjaga itu seraya kembali menegakkan tubuhnya. Dia menjauh dari mobil lalu memerintahkan rekannya untuk membuka gerbang.

Istana Uzushio terlihat megah dengan hamparan taman penuh bunga juga kolam air mancur yang berkilauan di bawah pancaran sinar matahari. Kastil-kastil berdiri anggun di belakang istana utama yang besar. Istana Uzushio juga dikelilingi dengan benteng dan gerbang tinggi, ada empat menara di setiap sudut benteng istana.

Mobil berhenti di pelataran istana bagian timur, tempat dimana keluarga kerajaan tinggal. Yamato segera keluar dari mobil dan menemui seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu ganda besar bersama dua orang pelayan wanita. Mereka pasti sudah menunggu kedatangan Naruto.

“Chiyo-san,” sapa Yamato seraya mengangguk hormat pada wanita paruh baya yang adalah Kepala Pelayan Istana, Chiyo.

“Dimana Hime-sama? Hokage mengatakan kalau kau pergi menjemput Hime-sama, Yamato-san?” tanya Chiyo.

“Hime-sama tertidur di mobil. Aku akan meminta ijin Hokage untuk membawa Hime-sama ke kamar,” jawab Yamato.

“Apa Hime-sama sakit?” Chiyo tampak khawatir.

Dan Yamato hanya mengangguk sebagai jawaban. Kapten Anbu itu berjalan ke arah mobil bersama Chiyo sambil melakukan panggilan.

“Yamato?” suara Hokage yang tenang menjawab panggilan.

“Yang Mulia, saya sudah kembali bersama Hime-sama. Tapi Hime-sama demam dan tidak bersedia ke rumah sakit. Saat ini Hime-sama tertidur di mobil,” lapor sang Kapten. Dia mendengar helaan napas di seberang sana.

“Bawa Naruto ke kamarnya dan hubungi Hiashi juga Neji. Minta mereka datang secepatnya,” kata Hashirama memberi instruksi.

“Baik Yang Mulia.” Yamato melihat wajah khawatir Chiyo. “Jangan khawatir Chiyo-san, Hime-sama pasti baik-baik saja,” katanya mencoba untuk menenangkan. Dia pun membuka pintu mobil lalu membawa Naruto ke dalam gendongannya.

Naruto merasakan telinganya berdengung, kepalanya sakit dan matanya terasa berat untuk terbuka. Samar dia mendengar suara tapi tidak jelas. Tubuhnya terasa lemas. Gadis itu bahkan tidak sadar saat Yamato menggendongnya memasuki istana.

Sementara itu di ruang kerja Hokage, Hashirama langsung menutup laporan yang tengah dibacanya saat panggilan dari Yamato berakhir. Madara, Tobirama, Shikaku dan juga Shikamaru yang saat ini duduk di sekeliling meja bundar tampak penasaran.

“Naruto pulang? Dan kau memanggil Hiashi?” Madara menatap Hashirama dengan alis bertaut.

Hashirama memang sengaja tidak memberitahu Madara kalau Naruto pulang hari ini, apalagi mengenai kondisinya. Terkadang, sahabatnya itu sama merepotkannya dengan Mito jika menyangkut Naruto.

“Dia masih demam?” kali ini Tobirama yang bertanya.

“Sepertinya begitu, Yamato bersamanya sekarang.” Dia pun mengalihkan perhatiannya pada Shikamaru. “Neji bilang demamnya sudah turun tadi pagi dan kalian pergi karena permintaan Naru?” tanya Hashirama memastikan.

“Benar Yang Mulia. Neji sensei juga sudah mengambil sampel darah Hime-sama untuk diperiksa.” Shikamaru menambahkan. Sejak datang untuk rapat tadi dia memang belum ditanyai perihal Naruto. Mereka sibuk membahas masalah peningkatan sistem pertahanan Konoha juga beberapa masalah lain terkait perangkat pengintai. Tapi Shikamaru tahu kalau Neji sudah memberi laporan soal Naruto tadi pagi. Dalam hati dia juga merasa khawatir dengan Naruto yang kembali demam.

Hashirama mengangguk tanda mengerti, cucunya memang keras kepala. “Pembahasan kita sudah selesai. Shikamaru, kembalilah bertugas,” perintahnya kemudian.

“Baik Yang Mulia,” jawab Shikamaru yang kemudian meninggalkan ruangan.

“Shikaku-san, sebaiknya kita pergi sekarang. Ada beberapa hal yang masih ingin aku bicarakan denganmu,” kata Tobirama yang juga beranjak dari kursinya.

“Baik,” Shikaku pun memberi hormat pada Hashirama dan Madara.

Hashirama menoleh pada Madara begitu Tobirama dan Shikaku meninggalkan ruangan. “Kau tidak pergi?”

Perdana Menteri itu berdecak kesal. “Aku ingin melihat keadaan cucuku, jadi jangan mengusirku.”

“Cucu siapa yang kau maksud, huh?” ejek Hashirama.

“Naruto akan menjadi cucuku juga,” jawab Madara tenang.

“Ya, ya, ya, semoga berhasil dengan impianmu, Madara.” Hashirama menyeringai di ujung kalimatnya. “Bagaimana pun juga aku masih berpikir untuk menjodohkan Naru dengan Pangeran Kaze.”

Mata Madara langsung memincing tajam menatap sahabatnya. “Aku tidak suka leluconmu. Uchiha jauh lebih baik dari pangeran negeri mana pun.”

Hashirama terkekeh. Obsesi Madara pada cucunya memang terkadang menggelikan, membuat Hashirama suka menggodanya. “Baiklah, kita ke kamar Naru sekarang. Dia sudah membuatku khawatir sejak semalam.”

Dan keduanya tidak lagi berdebat konyol.

***

Hashirama dan Madara tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya saat melihat senyum palsu Naruto yang menyambut mereka. Yamato memberi hormat begitu Hokage dan Perdana Menteri datang, Chiyo juga langsung melangkah mundur dari sisi tempat tidur Naruto.

“Tetap berbaring, Naru,” perintah Hashirama begitu melihat cucunya hendak bangun. Dia langsung duduk di sisi Naruto dan memeriksa keningnya.

“Aku baik-baik saja Ojii-sama,” kata Naruto seraya menarik tangan Hashirama dari keningnya. Lagi-lagi memaksakan diri untuk tersenyum. Dia pun beralih menatap Madara yang berdiri di belakang sang kakek. “Apa kabar, Madara Ojii-sama?”

“Hm? Kabarku lebih baik darimu,” Madara melempar sindiran untuk Naruto.

Tentu saja Naruto terkekeh mendengarnya. Sayangnya kekehan itu langsung berhenti saat sakit kepalanya kembali berulah. Membuat Hashirama dan Madara semakin khawatir.

“Sakit?” Hashirama mengusap lembut kepala cucunya dan Naruto hanya menggeleng sebagai jawaban. “Yamato, kau sudah menghubungi Hiashi?” tanya Hashirama pada Kapten Anbu yang masih siaga di kamar Naruto.

“Hyuga Sensei sedang dalam perjalan ke istana, Yang Mulia,” lapor Yamato.

“Ojii-sama, tidak perlu memanggil dokter. Aku hanya butuh tidur,” kata Naruto.

“Tidak, kau harus diperiksa. Jangan membuat kami khawatir lebih dari ini. Nenekmu bahkan belum tahu,” kata Hashirama.

“Dan memang tidak ada yang berniat memberitahuku kalau Naru sakit.”

Semua orang dalam ruangan langsung menoleh ke arah pintu dimana Mito berdiri dengan ekspresi marah. Dia baru saja pulang dari kunjungan di sebuah acara sosial saat pelayan memberitahunya kalau Naruto pulang. Hal yang membuatnya marah adalah Naruto pulang dengan demam tinggi. Konan yang berdiri di belakang Mito juga tampak khawatir.

“Aku baru akan menghubungimu,” kata Hashirama.

“Benarkah, Anata? Bukankah Naru sudah demam sejak semalam?” Mito memincingkan mata pada suaminya.

“Ah, semalam kau sudah istirahat Sayang. Aku tidak mau mengganggumu,” Hashirama membela diri. Dia langsung menjauh dari tempat tidur. Membiarkan Mito duduk di sisi Naruto, tentunya sang Hokage tidak mau membuat istrinya lebih marah lagi.

“Obaa-sama jangan marah. Aku yang meminta Ojii-sama untuk tidak mengatakan kalau aku sakit,” Naruto langsung menengahi. Dia menggenggam tangan sang nenek yang sudah duduk di sebelahnya.

“Tentu saja, siapa lagi yang bisa membuat Hokage berbohong selain dirimu, gadis nakal?” Mito mengusap kepala Naru dan mengernyit tidak suka saat merasakan suhu panas cucunya.

“Hiashi sedang dalam perjalanan ke sini,” Hashirama mencoba menenangkan istrinya.

“Aku tahu, aku langsung menghubunginya saat pelayan bilang Naru sakit. Tapi ternyata Yamato sudah menghubunginya lebih dulu.” Mito menghela napas panjang dan kembali menatap Naruto sedih. “Aku tidak suka kau berbohong pada Bibimu?”

Naruto mengalihkan pandangannya pada Konan yang berdiri di ujung tempat tidurnya. “Maafkan aku, Oba-sama,” ucapnya kemudian yang ditanggapi dengan senyum oleh Konan.

“Yang Mulia, Hyuga sensei sudah tiba,” Yamato melaporkan.

***

Naruto menahan diri untuk tidak melemparkan sarkasme saat kamarnya di penuhi banyak orang. Sungguh, dia hanya demam, merasa pusing dan ingin tidur, tapi kenapa semua orang terlalu berlebihan menanggapinya? Seolah dirinya sekarat saja.

Kelegaan memenuhi hati Naruto saat Hokage meminta semua orang keluar dan membiarkan Hiashi juga Neji memeriksanya.

“Selain pusing dan lemas, apalagi yang Anda rasakan Hime-sama?” tanya Hiashi saat melepas stetoskopnya.

“Tidak ada, aku hanya ingin tidur,” jawab Naruto.

“Neji Sensei, kau memberikan Acetaminophen tablet tadi pagi?” Hiashi bertanya pada putranya.

“Benar, Sensei,” Neji mengangguk. Dokter muda itu kemudian menatap Naruto dengan tatapan tanya.

“Maaf, itu salahku,” kata Naruto kemudian. Dia cukup mengerti arti pandangan mata Neji.

“Maksudnya? Hime-sama tidak meminum obatnya?” Hiashi memperjelas maksud ucapan Naruto. Jika benar, maka itu sangat menjelaskan keadaan Naruto saat ini.

“Terakhir aku meminumnya pagi tadi. Aku tergesa kembali ke Istana dan lupa membawa obatku,” Naruto hanya tersenyum saat Neji mengerutkan kedua alisnya. Sahabatnya itu pasti merasa kesal.

“Ah, saya mengerti,” kata Hiashi sembari mengangguk.

“Dan-,” Naruto menjeda ucapannya, “aku juga belum makan siang.”

Hiashi menghela napas perlahan. “Saya mengerti,” katanya lagi dengan nada tenang, “Neji, minta pelayan menyiapkan makanan untuk Hime-sama.”

“Baik, sensei,” dan Dokter Muda itu bergegas keluar dari kamar Naruto.

“Anda harus makan sebelum saya memberikan obat, Hime-sama,” kata Hiashi.

Naruto hanya tersenyum. Jujur saja, kalau boleh memilih Naruto ingin langsung tidur saja dan melewatkan makanan juga obatnya. “Oji-san, bisakah kau memberiku obat tidur juga?”

“Anda kesulitan tidur?” tanya Hiashi khawatir.

“Sulit tidur tanpa mimpi buruk,” jawab Naruto.

Hiashi menatap sang Hime dalam diam. Neji sudah melaporkan kalau semalam dia juga memberikan obat penenang atas permintaan Naruto. “Hime-sama, Anda sudah melewatkan dua kali jadwal terapi.”

Gadis itu menghelas napas, kepalanya kembali berdeyut sakit. “Aku tahu,” lirihnya sembari mengalihkan perhatian ke tempat lain. Tatapan mata Hiashi seolah menyalahkannya.

“Bisakah saya membuat jadwal agar Shizune Sensei bisa mengunjungi Anda?” tanya Hiashi kemudian. “Hime-sama, penggunaan obat penenang dalam jangka panjang bisa menimbulkan efek samping bagi kesehatan Anda.” Hiashi mencoba mengingatkan saat Naruto tidak merespon pertanyaannya.

“Oji-san, kepalaku sakit,” lirih Naruto dengan mata terpejam.

Dan Hiashi langsung mengerti kalau gadis itu tidak mau membahas masalahnya. “Baiklah Hime-sama, setelah makan saya akan memberikan obat. Neji dan Shion akan menjaga Anda hari ini.”

“Terima kasih Oji-san,” ucap Naruto tanpa membuka matanya. Dia merasakan Hiashi beranjak dari sisinya. Gadis itu kembali membuka mata saat mendengar suara pintu tertutup.

***

“Bagaimana Hiashi?” tanya Mito saat Hiashi duduk di depannya, di ruang kerja Hokage. Disana juga ada Hashirama dan Madara. Naruto saat ini bersama Neji dan Shion, perawat pribadi Naruto.

“Hime-sama kelelahan dan memerlukan banyak istirahat. Sepertinya selama berada di luar istana Hime-sama tidak tidur dengan baik. Hasil test darah pagi tadi juga menunjukkan kadar HB yang rendah,” jawab Hiashi.

“Masalah mimpi buruk lagi?” tanya Mito.

“Benar,” jawab Hiashi seraya mengangguk.

“Naru keluar dari istana karena masalah pesta ulang tahun juga bertengkar dengan Karin. Apa itu juga menjadi sebab mimpi buruknya?” kali ini Hashirama yang bertanya.

“Mungkin saja, Shizune Sensei akan menjelaskan lebih detailnya setelah bicara dengan Hime-sama.” Hiashi mencoba tidak gegabah mengambil kesimpulan. Dia akan membicarakan masalah ini dengan psikiater Naruto, Shizune.

“Apa Naru mau terapi lagi?” tanya Madara.

“Saya sedang membujuknya. Terapi ini penting untuk menghindarkan Hime-sama kecanduan obat penenang,” jawab Hiashi. “Beberapa hari ini tolong usahakan Hime-sama bisa beristirahat dengan tenang dan menjaga emosinya tetap stabil. Neji akan memantau perkembangannya setiap hari.”

“Kami mengerti,” kata Hashirama.

“Kalau begitu saya permisi,” Hiashi memberi salam hormat pada ketiganya lalu keluar dari ruang kerja Hokage. Dia harus segera kembali ke rumah sakit.

“Apa kita harus memberitahu Mizukage?” tanya Mito begitu Hiashi keluar.

Hashirama langsung menatap istrinya. “Jangan dulu, mereka pasti akan khawatir. Lagipula besok Kurama datang dari Suna.”

“Kalau Mizukage tahu, aku justru takut kalau Naru akan dibawa ke Kiri,” Madara ikut menimpali.

Mito melirik Madara lalu menghela napas panjang. “Tsunade memang pernah meminta agar Naru tinggal di Kiri. Sepertinya mereka juga punya rencana tentang pernikahan.”

“Jangan bilang kalau Jiraiya dan Tsunade ingin menjodohkan Naru seperti ide suamimu itu?” Madara mendengkus tidak suka.

“Sepertinya begitu-,” Mito tersenyum melihat Madara kesal, “-dan sepertinya suamiku jugaTsunade merasa cocok dengan Pangeran Kaze.”

Mendengar perkataan Mito membuat Madara semakin kesal. Dia pun beranjak sembari menatap sahabatnya dengan tatapan mengancam. “Aku pergi,” katanya kemudian, meninggalkan Hashirama dan Mito yang tersenyum.

“Kau membuatnya kesal, Mito,” celetuk Hashirama dengan mata memandang pintu yang baru saja tertutup.

Mito justru terkekeh. “Biarkan saja, aku suka melihatnya. Dia masih saja bersikukuh untuk menjodohkan salah satu cucunya.”

“Jujur Mito, apa kau memang tidak suka kalau Naru menikah dengan salah satu Uchiha?” tanya Hashirama.

“Entahlah, aku belum melihat ada diantara mereka yang cocok dengan Naru. Shisui bahkan tidak berani bicara berdua dengan Naru,” katanya Mito.

“Ah, benar juga,” Hashirama tertawa. Cucu sulung Uchiha itu memang tidak bisa diharapkan jika menyangkut urusan asmara. “Ada itachi. Dia cukup akrab dengan Naruto.”

“Sebagai kakak adik?” Mito menanggapi, membuat Hashirama kembali tertawa.

“Obito dan Sai juga menyukai Naruto. Mereka pengusaha muda yang sukses,” kata Hashirama lagi.

“Mereka penjahat wanita, Anata. Aku tidak mau cucuku sakit hati sepanjang hidupnya,” Mito memincingkan mata menatap suaminya.

“Ya, ya, berarti pilihanku soal Pangeran Kaze memang paling tepat,” Hashirama masih tertawa. Dia bisa membayangkan bagaimana kesalnya Madara kalau mendengar percakapan ini.

“Belum tentu juga, Anata. Sabaku Gaara itu pria yang dingin. Tapi aku bisa melihat kalau dia memang menyukai Naruto. Sayangnya, masalah terbesar juga ada pada cucu kita.” Mito menggeleng sembari mengusap dadanya.

“Kau benar juga. Bahkan sampai saat ini aku belum pernah melihatnya dekat dengan pria mana pun, kecuali Neji dan Shikamaru, tentu saja,” kata Hashirama.

“Mereka tidak masuk hitungan. Meski jelas Neji dan Shikamaru menyukai Naru tapi Naru tidak akan pernah mau memilih diantara keduanya. Cucumu itu sama keras kepalanya dengan Kushina.” Mito mengambil cangkir tehnya lalu meneguknya perlahan. “Dan aku juga keberatan kalau Naru memilih mereka.”

Hashirama tersenyum lalu mengambil cangkir tehnya. “Aku hanya berharap Naru bahagia dan bisa terbebas dari trauma juga mimpi buruknya.”

“Ya, Anata.”

***

“Seharusnya aku tidak meninggalkanmu tadi pagi,” gerutu Neji dengan tangan sibuk membalas pesan dari Shikamaru. Di depannya, Naruto duduk di atas tempat tidur menikmati makan siangnya. Neji juga meminta Shion untuk mengatur menu makanan untuk Naruto bersama Chiyo di dapur istana.

Gadis itu hanya melirik Neji tapi tidak berkomentar.

“Dan kenapa kau tidak meminum obatmu?” Neji masih mengomel saat memasukkan handphone-nya ke dalam saku.

“Sudah kukatakan obatnya tertinggal. Aku meminumnya tadi pagi,” jawab Naruto tak acuh, masih memaksa dirinya untuk makan agar bisa segera minum obat lalu tidur.

“Seceroboh itu Hime-sama?” alis Neji bertaut, menandakan kekesalannya.

“Jangan mengomel Neji,” gerutu Naruto seraya meletakkan sendok lalu memijat pelipisnya, membuat Neji menghela napas panjang.

“Kau tahu aku khawatir?” suara Neji melembut.

“Ah, kejutan kau mengatakannya,” gadis itu menyeringai saat Neji mengangkat nampan makan dari atas pangkuannya. Dokter muda itu kemudian memberikan obat dan segelas air putih. “Terima kasih, Neji Sensei,” kata Naruto dengan gaya sarkarsasmenya.

“Jangan bercanda, Hime-sama. Anda tahu saya benar-benar khawatir,” balas Neji sembari membantu Naruto berbaring. Dia mengernyit tidak suka saat melihat ekspresi Naruto yang memijat pelipisnya. “Jangan,” kata Neji seraya meraih tangan Naruto.

“Berapa lama obatnya membuatku tertidur?” tanya Naruto, matanya mulai terasa berat.

“Sekitar empat sampai lima jam, kalau demammu tidak turun juga, aku akan memberikan obat melalui selang IV,” jelas Neji dengan tangan sibuk menyingkirkan rambut panjang dari wajah Naruto.

Naruto menghela napas panjang dengan mata setengah terpejam. “Jadi kau bertugas menjagaku hari ini?”

“Iya, Hime-sama,” jawab Neji yang kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh Naruto.

“Hm, terima kasih Sensei,” kata Naruto di ambang sadarnya. Tak lama kemudian gadis itu terlelap.

***

Hari menjelang senja saat Mito duduk di sisi tempat tidur Naruto dan mengamati wajah sang cucu yang masih terlelap di bawah pengaruh obat. Dia memeluk buket bunga Amarilis di atas pangkuannya. Perhatiannya teralihkan saat pintu kamar terbuka.

“Mohon maaf, Yang Mulia,” Neji memberi hormat saat melihat Mito.

“Tidak apa-apa Neji,” jawab Mito seraya beranjak dari duduknya, “apa kau akan memeriksa Naru?” Mito juga melihat Shion berdiri di belakang Neji.

“Benar, Yang Mulia. Shion akan memeriksa tekanan darah dan suhu tubuh Hime-sama,” jawab Neji.

Mito mengangguk lalu menjauh dari sisi tempat tidur, membiarkan Neji juga Shion melakukan tugasnya. “Bagaimana Neji?” tanyanya kemudian saat Shion selesai memeriksa.

“Demamnya sudah mulai turun tapi tekanan darah Hime-sama masih rendah,” Neji menjelaskan.

“Dia akan baik-baik saja?” Mito kembali khawatir melihat cucunya.

“Jangan khawatir Yang Mulia, Hime-sama akan baik-baik saja,” jawab Neji.

Pintu kamar diketuk dan Chiyo masuk menemui Mito. “Yang Mulia, saya membawakan teh untuk Anda.”

“Terima kasih, Chiyo-san.” Mito berjalan ke arah sofa di tengah ruangan diikuti Chiyo yang kemudian meletakkan cangkir teh di meja. “Neji, kau menginap malam ini?” tanya Mito kemudian saat melihat sang dokter muda merapikan selimut Naruto.

Neji menegakkan tubuhnya lalu mengangguk hormat, “Benar, Yang Mulia.”

“Baguslah, aku lebih tenang kalau kau menginap,” kata Mito dengan senyumnya. Dia mengambil cangkir teh lalu meneguknya perlahan. Sesaat suasana kamar menjadi begitu tenang hingga suara ketukan pintu kembali terdengar. Kali ini seorang anggota Anbu yang masuk.

“Mohon maaf mengganggu Yang Mulia, Kapten Yamato mengirim pesan jika Namikaze Shinno sudah tiba di Aula Utama.”

“Kurama? Bukankah seharusnya dia sampai besok?” Mito terkejut mendengar laporan dari anggota Anbu. Dengan hati-hati dia meletakkan cangkir teh di meja lalu bergegas keluar kamar setelah meminta Chiyo membawa buket bunga ke kamar pribadinya.

Neji menghela napas begitu Mito meninggalkan kamar lalu menatap wajah tenang Naruto. “Hei Hime, Pangeran Rubah sudah datang, bersiaplah menerima hukuman.”

***

>>Bersambung<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments