Nami Cafe - Chapter 3

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

==================================================================


Negara Hi beribukota di Konoha. Seperti pada negara dengan sistem monarki lainnya, Negara Hi juga dipimpin oleh Raja bergelar Hokage dari klan Senju. Saat ini Negara Hi dipimpin oleh Hokage ke tujuh, Hashirama Senju dan Uzumaki Mito. Sedangkan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan di pegang oleh Madara Uchiha yang tak lain adalah sahabat Hashirama. Sebagai seorang raja kekuasaan Hokage tak terbatas. Semua aspek dalam pemerintahan baik bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif harus dipertanggung jawabkan di hadapan Hokage. Bahkan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan juga tidak bisa serta merta bebas menetapkan kebijakan tanpa persetujuan Hokage.

Hashirama dan Mito mempunyai tiga orang anak, Senju Nagato, Senju Sara, dan Senju Kushina. Senju Nagato sebagai putra mahkota menikah dengan Uzumaki Konan. Mereka mempunyai seorang putra bernama Senju Yahiko. Lalu putri kedua Senju Sara menikah dengan Shimura Danzo yang adalah Jendral Angkatan Darat dan memiliki dua orang anak bernama Shimura Shin dan Shimura Karin. Hashirama juga memiliki seorang adik bernama Tobirama Senju yang menduduki jabatan sebagai Menteri luar negeri dalam pemerintahan.

Pernikahan Putri bungsu, Khusina, justru menarik perhatian banyak pihak. Dia jatuh cinta pada putra mahkota Negara Mizu, Namikaze Minato, yang adalah putra dari Namikaze Jiraiya dan Senju Tsunade. Tsunade sendiri masih memiliki kekerabatan dengan Hashirama. Tentunya hubungan itu membuat persekutuan antara Negara Hi dan Negara Mizu menjadi lebih erat.

Minato kemudian menikah dengan Khusina. Keduanya dikaruniai dua orang anak bernama Namikaze Kurama dan Namikaze Naruto. Tepat saat ulang tahun Naruto ke dua belas yang dirayakan di istana Uzhusio, Konoha, terjadi kudeta yang menjadi sejarah kelam Negara Hi. Klan Zetsu yang diketuai oleh Kakuzu juga Hidan menyerang kerajaan untuk membunuh Hashirama dan Nagato. Kudeta itu berhasil digagalkan oleh Pasukan Militer yang dipimpin oleh Nara Shikaku. Sayangnya, Minato dan Khusina justru terbunuh demi melindungi Hashirama dan Naruto. Hal itu membuat gempar Negara Mizu karena kehilangan putra mahkota.

Tragedi itu membuat Naruto terguncang. Dia membenci dirinya sendiri dan hari ulang tahunnya. Luka yang bahkan tidak sembuh hingga dia dewasa. Adik Minato, Kakashi, menolak menjadi putra mahkota, maka Kurama yang saat itu berusia tujuh belas tahun ditetapkan sebagai putra mahkota.

Karena Kurama berada di Ibukota Kiri, Negara Mizu, maka Mito meminta cucu bungsunya untuk tetap tinggal di Konoha. Tsunade pun mengijinkannya, mengingat Kushina adalah putri kesayangan Mito. Sampai saat ini hubungan kedua negara itu tetap terjalin baik.

Minato dan Kushina yang dikenal sebagai pasangan jenius adalah kesayangan Madara. Selain Hashirama dan Jiraiya, Madara adalah orang yang juga terpukul atas meninggalnya Minato dan Khusina. Dia menjadi sangat terobsesi pada Naruto yang memang sangat mirip dengan mendiang ayahnya. Sejak Naruto beranjak dewasa, Madara selalu berusaha menjodohkan cucu-cucunya dengan Naruto. Hal itu sering membuat Naruto kesal dan memilih tinggal di café kesayangannya.

Nami Café, dibangun oleh Minato sebagai hadiah untuk ulang tahun Kushina. Saat itu Naruto berusia sepuluh tahun dan Kurama lima belas tahun. Putra Mahkota Negara Mizu itu memiliki hobi yang unik yaitu memanggang roti dan menikmati kopi. Di Nami Café lah biasanya keluarga kecil itu menghabiskan waktu bersama ketika berkunjung ke Konoha dan jauh dari gemerlapnya kehidupan istana.

***

“Ada apa?” tanya Neji saat melihat Shikamaru mengintip dari jendela kamar. Keduanya masih setia menjaga Naruto.

“Ada Anbu di depan,” lirih Shikamaru. Anbu adalah pasukan pengawal khusus yang ditugaskan untuk menjaga keselamatan anggota keluarga kerajaan dimana pun mereka berada. Anggota Anbu adalah para penembak ahli senjata laras pendek dan ahli beladiri jarak dekat. Anbu sendiri terbagi menjadi dua, Anbu dan Anbu Ne. Anbu berada langsung di bawah perintah Hokage sedangkan Anbu Ne berada di bawah perintah Jendral Angkatan Darat yang saat ini dijabat oleh menantu Hokage, Shimura Danzo.

“Apa mereka tahu kita disini?” tanya Neji yang kemudian juga ikut mengintip keluar. Sayangnya, dia tidak bisa melihat Anbu yang dimaksud oleh Shikamaru. Tentu saja para pengawal itu menggunakan penyamaran. “Ck, bagaimana kau bisa mengenali mereka?” Neji justru berdecak kesal lalu kembali duduk di sebelah Naruto.

Shikamaru juga menjauh dari jendela. Dia duduk di ujung ranjang Naruto, tampak sedang berpikir. “Mereka pasti tahu kita disini, tapi tidak tahu kalau Naru sakit,” gumamnya.

“Kau akan melapor?” Neji kembali bertanya.

“Tidak, biarkan saja. Apa demamnya sudah turun?” Shikamaru menatap serius sang sahabat.

Neji segera mengambil thermometer. Dia menghela napas lega saat thermometer menunjukkan angka 38,5 derajat. Obat yang diberikan pada Naruto bekerja dengan baik. “38,5,” jawab Neji yang juga menuai desahan lega dari Shikamaru.

“Kau akan menginap?” kata Shikamaru kemudian. Melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00.

Melihat isi botol yang hampir habis, Neji pun mencabut botol Acetaminophen dan menggantinya dengan cairan infus saline. Kembali duduk di tepi tempat tidur, Neji mengambil handuk kecil lalu menyeka keringat di kening dan leher Naruto.

“Neji?” geram Shikamaru karena sang sahabat tak kunjung menjawab.

“Aku tetap disini,” jawab Neji dengan mantap.

Keduanya kemudian terdiam. Tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Sampai sebuah lenguhan lirih membuat Neji dan Shikamaru siaga.

“Naru?” panggil keduanya bersamaan saat melihat Naruto membuka mata.

Naruto kembali melenguh karena kepalanya berdenyut sakit saat berusaha memfokuskan pandangannya. “Neji?” panggilnya lirih.

“Iya, ini aku.” Neji mengusap lengan Naruto dengan lembut. “Apa yang kau rasakan?” tanyanya kemudian.

“Kepalaku sakit,” jawab Naruto yang kemudian memijat pelipisnya.

Langsung saja Neji mencekal pergelangan tangan Naruto dan kembali meluruskannya. Gadis itu belum sadar jika memakai selang IV. “Hati-hati, kau memakai selang IV,” Neji memperingatkan.

Naruto melihat ke atas dan mendapati cairan infus yang tergantung di atas tempat tidurnya. “Shika,” panggilnya saat menyadari kehadiran sahabatnya yang lain. Naruto kembali memejamkan mata karena denyut di kepalanya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Shikamaru. Dia tidak suka melihat gadis itu kesakitan.

“Mimpi itu membuat kepalaku sakit,” jawab Naruto lirih, masih dengan mata terpejam.

Neji dan Shikamaru langsung mengerti apa maksud perkataan Naruto. Mimpi yang dialami Naruto adalah masa lalu yang belum bisa dilupakannya. Kejadian nyata dimana kedua orang tuanya meninggal di hari ulang tahunnya. Meninggal di depan matanya.

“Buka matamu, Naru,” Neji membelai pipi Naruto yang masih terasa panas. Hatinya sakit saat melihat tetesan air jatuh dari sudut mata Naruto.

“Bayangan itu tidak mau pergi,” Naruto membuka mata. Iris sapphire itu tampak terluka.

“Aku tahu, aku tahu, tenangkan dirimu,” kata Neji dengan lembut. Dia mengusap kepala gadis itu untuk menenangkannya.

Kedua pemuda itu terdiam dan membiarkan Naruto menangis. Gadis itu pasti sudah menahan semuanya sejak kemarin.

“Neji, buat aku tertidur,” pinta Naruto di tengah isak tangisnya. “Aku bisa gila kalau bayangan itu tidak juga pergi. Aku lelah.”

Tentu saja Neji dan Shikamaru terkejut mendengarnya. Keduanya saling bertukar pandang sampai akhirnya Shikamaru mengangguk. Neji membuka tasnya lalu mengambil alat injeksi dan satu ampul Diazepam. Setelah mengisi alat injeksi dengan dosis yang tepat, Neji mengambil botol alkohol dan kapas. Shikamaru pun berpindah ke sebelah Neji dan membantunya memegang lengan Naruto.

Gadis itu membuka mata saat obat penenang telah masuk ke tubuhnya. “Terima kasih kalian ada di sini,” ucapnya serupa bisikan.

Shikamaru menggenggam tangan Naruto. “Kau pasti kuat,” katanya penuh keyakinan.

Keduanya hanya diam sampai akhirnya Naruto memejamkan mata karena pengaruh obat yang mulai bekerja.

Shikamaru tersentak saat handphone disakunya bergetar. Dia pun segera menjawab panggilan yang ternyata dari sang ayah.

“Otou-san,” jawabnya tenang.

“Kau bersama Naru-Hime?” tanya Shikaku dari seberang sana tanpa basa-basi.

Melirik ke arah Neji, Shikamaru lalu berjalan ke arah jendela. “Iya Otou-san.” Dia tidak punya alasan untuk berbohong. Matanya dengan jeli mengamati sekitar café.

“Apa terjadi sesuatu?” Tentunya Shikaku mempunyai insting yang tajam.

“Hime demam, tapi Neji bersamaku. Saat ini demamnya sudah turun,” katanya menjelaskan. Melihat tidak ada yang mencurigakan, membuat Shikamaru kembali duduk di ujung ranjang.

“Temani Hime malam ini. Katakan pada Neji untuk memastikan Hime baik-baik saja. Aku akan melaporkan hal ini pada Hokage,” perintah Shikaku.

“Baik, Otou-san,” jawab Shikamaru.

“Bagaimana Oji-san tahu kau disini?” tanya Neji saat Shikamaru menutup teleponnya. Jujur dia tidak pernah mengerti dengan akses tanpa batas orang-orang kemiliteran.

Shikamaru menunjuk pada tindik di telinga kanannya.

“Alat pelacak?” Neji menggeleng tak percaya.

“Hanya padaku, karena aku adalah putranya tapi aku bekerja di bawah komando Danzo.” Shikamaru menjelaskan.

“Aku mengerti,” Neji mengangguk. Shimura Danzo, Jenderal Angkatan Darat yang menakutkan. Entah kenapa Hokage mengijinkannya menikahi Sara-Hime.

“Otou-san memintamu tetap disini dan memastikan Naru baik-baik saja. Dia akan melaporkan kondisi Naru pada Hokage,” kata Shikamaru menyampaikan pesan ayahnya.

“Naru pasti marah.” Neji menghela napas panjang.

“Bagaimana pun dia adalah Hime. Keselamatannya bahkan mempengaruhi hubungan dua negara. Yang pasti Kurama akan membunuhmu kalau sampai terjadi sesuatu padanya.” Shikamaru menyeringai saat melihat ekspresi Neji.

“Jangan ingatkan aku pada Putra Mahkota Gila itu,” Neji menggeleng kesal.

Shikamaru menggeliat untuk merenggangkan ototnya yang terasa pegal. “Jadi, tidur dimana kita malam ini?”

Mata Neji langsung memincing tajam. “Aku akan menyuntikmu dengan racun kalau berani tidur di sebelah Naru.”

“Dasar dokter posesif.” Shikamaru terkekeh lalu keluar dari kamar Naru.

“Kapten sialan,” desis Neji pada pintu yang tertutup.

***

Tobirama berjalan di koridor panjang istana diikuti oleh Kapten Anbu, Yamato Tenzo. Keduanya menuju ruang kerja Hokage. Dua orang anbu yang berjaga di depan ruang kerja memberi hormat dan mempersilakan keduanya masuk.

“Selamat malam Onii-sama,” Tobirama memberi salam diikuti Yamato yang membungkuk dalam di belakangnya.

“Tobirama, Yamato?” Hashirama yang tengah membaca laporan kerja langsung mengalihkan perhatiannya. “Ada yang penting?”

“Aku baru saja menerima pesan dari Shikaku soal Naru.” Tobirama menarik kursi lalu duduk di hadapan sang kakak. Sementara Yamato berdiri di sudut ruangan.

Mendengar nama cucu kesayangannya disebut membuat Hashirama menutup laporannya. “Ada apa dengan Naru?” mengingat laporan kemarin dari Yamato, Hashirama memiliki firasat yang tidak enak.

“Dia demam. Saat ini Neji dan Shikamaru bersamanya. Apa aku boleh menjemputnya?” tanya Tobirama.

Sesaat Hashirama tampak berpikir. “Kalau Naruto memanggil Neji berarti dia belum mau kembali ke istana. Menjemputnya hanya akan membuatnya marah. Lagipula dia sudah bilang akan kembali lusa, saat Kurama berkunjung dari tugasnya di Suna.”

“Ya, benar juga. Aku hanya khawatir.” Tobirama mengendikkan bahu.

“Dan tolong jangan katakan ini pada Mito,” pesan Hashirama yang dijawab dengan anggukan oleh adiknya. “Ada hal lain yang ingin kau sampaikan?” tanyanya seraya kembali membuka laporannya.

Tobirama melambaikan tangan sebagai isyarat pada Yamato untuk mendekat.

“Ini adalah hasil penyelidikan minggu lalu.” Yamato memberikan sebuah gulungan pada Hashirama.

“Belum ada bukti kuat tentang keterlibatannya dengan Klan Zetsu, tapi semua hasil penyelidikan semakin mengarah padanya. Shikaku memperingatkan agar kita lebih berhati-hati.” Tobirama menatap serius sang kakak yang kini tengah membaca gulungan laporan.

Hashirama menghela napas saat bayangan kudeta sepuluh tahun lalu melintas di dalam benaknya. Dia masih ingat bagaimana Minato berdiri di depannya dan menerima peluru dari Kakuzu. Juga bagaimana Khusina memeluk Naruto demi melindunginya dari pedang Hidan. Jika dirinya saja tak sanggup menghapus semua itu, apalagi Naruto? Masih segar dalam ingatan Hashirama, jeritan cucu bungsunya saat melihat kedua orang tuanya meninggal. Gaun cantik yang dikenakannya penuh dengan darah. Luka sayatan di punggung Naruto juga tidak hilang sampai sekarang.

“Aku merindukan Kushina,” gumam sang Hokage dengan kesedihan yang terlihat jelas.

“Aku berjanji akan membuat mereka membayar darah Kushina dan Minato.” Tobirama berucap dengan tekad.

Meletakkan gulungan di atas meja, Hashirama tersenyum pada sang adik. “Aku menantikan saat itu tiba, Tobirama.”

Beranjak dari duduknya, Tobirama membungkuk di hadapan sang kakak. “Bersabarlah sebentarlah lagi, Onii-sama.”

***

Cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai jendela menerpa wajah pucat Naruto, memaksa gadis itu membuka mata. Denyut sakit di kepalanya sedikit berkurang, gadis itu juga masih merasa lemas. Melihat tangannya sudah bebas dari selang IV, Naruto mencoba untuk bangun lalu bersandar pada kepala tempat tidur.

“Kau sudah bangun?” Neji muncul dari balik pintu dengan senyumnya.

“Kau masih disini?” Naruto justru balik bertanya.

“Aku harus memastikan kau baik-baik saja sebelum pulang,” jawab Neji seraya duduk di sisi tempat tidur. “Bagaimana perasaanmu? Lebih baik?” Dokter muda itu mengusap tangan Naruto di atas pangkuannya.

“Ya, jauh lebih baik. terima kasih,” ucap Naruto.

“Ehem!”

Suara dehaman membuat Naruto menoleh dan Neji langsung menarik tangannya. Shikamaru menyeringai pada Neji yang langsung berganti senyum saat menatap Naruto.

“Kau juga masih di sini Shika?” tanya Naruto yang sepenuhnya mengabaikan interaksi konyol kedua sahabatnya.

“Tugas,” jawabnya singkat. Dia kemudian berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar melalui celah tirai. Karena semua tampak normal, Shikamaru kemudian duduk di sebelah Naruto.

Mendengar jawaban Shikamaru membuat Naruto menarik kesimpulan. “Apa kalian melaporkan keadaanku pada Hokage?” Mata gadis itu memincing tajam.

“Tidak,” jawab Shikamaru dan Neji bersamaan. Memang begitu faktanya, mereka tidak melaporkan keadaan Naruto pada Hokage. Ayah Shikamaru lah yang melaporkannya.

Naruto mendengkus. Dia tidak percaya dengan jawaban Neji dan Shikamaru. Naruto yakin kakeknya sudah tahu. Tapi, melihat tidak ada pengawal istana yang datang menjemputnya, maka dapat dipastikan kalau neneknya belum tahu.

“Otou-san tahu aku ada bersamamu. Aku juga memberitahunya kalau kau sakit. Jadi dia memintaku menjagamu.” Shikamaru akhirnya menjelaskan.

“Dan Oji-san memberitahukan keadaanku pada Hokage. Bagus sekali Shika,” cibir Naruto.

“Kau mau apa?” tanya Neji saat melihat Naruto beringsut turun dari tempat tidur.

“Aku ingin ke kamar mandi.” Naruto mengabaikan kedua sahabatnya lalu berjalan ke kamar mandi dengan berpegangan pada dinding. Gadis itu marah dan pasti tidak mau dibantu oleh Neji atau pun Shikamaru.

***

Naruto termenung di atas tempat tidur. Neji dan Shikamaru sudah pergi, lebih tepatnya dipaksa pergi dengan ucapan ‘aku baik-baik saja’ dari Naruto. Gadis itu mengamati langit biru dari jendela kamarnya.

“Naru, boleh aku masuk?”

Sebuah seruan membuat Naruto mengalihkan perhatiannya pada pintu kamar. “Masuklah Fuu.”

“Bagaimana keadaanmu?” tanya gadis berkulit tan itu. Dia membawa nampan berisi makanan lalu meletakkannya di meja nakas.

“Sudah lebih baik, maaf kalau aku merepotkan kalian semalam,” jawab Naruto.

“Kau ini bicara apa. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menjagamu.” Fuu justru terkekeh mendengarnya. “Ini sarapanmu, Hyuga Sensei meninggalkan cacatan tentang obat juga vitaminmu.”

Naruto langsung melirik makanannya. Ada semangkuk ramen yang Naruto yakin menggunakan banyak bawang putih, telur ayam fermentasi, juga rempah obat lainnya. Itu adalah menu andalan koki istana saat dirinya sakit, tentu saja di buat atas rekomendasi Hiashi Hyuga.

“Siapa yang membuatnya?” Naruto menatap Fuu.

“Ah, itu-,” Fuu menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. “Tadi ada laki-laki dan perempuan datang menemui Hyuga sensei juga Nara-san. Mereka mengirimkan ramen ini dan sebelum pergi Hyuga sensei berpesan untuk menyajikannya untukmu.”

“Baiklah, terima kasih Fuu,” ucap Naruto. Dia tahu ramen itu di kirim dari istana.

“Panggil aku jika butuh sesuatu, oke?” Fuu membulatkan telunjuk dan ibu jarinya.

“Oke, terima kasih,” jawab Naruto diiringi senyum.

Sepeninggal Fuu, Naruto meraih handphone-nya dan mencari sebuah nama. Dua kali nada tunggu, panggilannya langsung dijawab. “Selamat pagi, Ojii-sama,” sapanya hormat.

“Selamat pagi, Naru-chan. Bagaimana keadaanmu? Kau sudah menerima ramennya?” tanya Hashirama tanpa basa-basi.

Naruto bisa merasakan kekhawatiran sang kakek melalui suaranya. “Aku baik-baik saja Ojii-sama. Neji merawatku dengan baik. Shikamaru juga menjagaku semalam. Terima kasih untuk ramennya dan terima kasih juga untuk tidak memberi tahu Obaa-sama.”

Sang Hokage langsung tersenyum mendengar penuturan cucu kesayangannya. “Aku tahu kalau kau sedang tidak ingin di ganggu. Hanya tolong, jaga kesehatanmu. Kau tahu bagaimana aku juga nenekmu mengkhawatirkanmu.”

“Aku mengerti Ojii-sama, maaf sudah membuat kalian khawatir.” Naruto tahu kalau seminggu ini tingkahnya cukup keterlaluan. Dia sudah membuat keluarganya khawatir.

“Jadi, kau akan pulang besok?” tanya Hashirama kemudian. Jujur saja, dia sudah merindukan Naruto.

Kali ini giliran Naruto yang mengembangkan senyumnya. “Ojii-sama boleh kirim pengawal untuk menjemputku siang ini.” Sudah waktunya dia kembali ke istana.

“Siang ini?” Dan Hashirama gagal menyembunyikan rasa senangnya mendengar jawaban Naruto.

“Iya Ojii-sama, siang ini,” jawab Naruto masih dengan senyum diwajahnya.

“Aku akan langsung kirim Yamato untuk menjemputmu,” jawab Hashirama cepat.

“Baik, Ojii-sama.” Naruto masih tersenyum saat mengakhiri panggilannya. Dia pun segera mengalihkan perhatiannya pada mangkuk ramen di atas nakas. Ah, perutnya jadi lapar saat melihat makanan kesukaannya.

***

Selesai mandi, Naruto bersiap sebelum Yamato datang menjemput. Dia meletakkan sisir di meja rias kemudian melihat tas kertas di atas meja kerjanya. Ah, Sasuke, gadis itu menggumam dalam hati. Dia pun mengambil tas kertas yang diyakininya berisi pakaian.

“Eh?” Naruto terkejut saat melihat sesuatu terjatuh ketika menarik pakaian dari dalam tas. Dia mengambil benda yang ternyata kertas itu dari lantai, setelah meletakkan pakaian ke dalam lemari.

Kening Naruto berkerut begitu menyadari kertas itu adalah sebuah kartu nama. Tulisan hitam tercetak tebal dengan nama Uchiha Sasuke. Profesinya sebagai fotografer juga tertulis di sana lengkap dengan nomor teleponnya.

“Sharingan Studio, Kota Oto, distrik 9,” gumam Naruto membaca nama studio tempat Sasuke bekerja. “Apa maksudnya kartu nama ini?” katanya lagi.

Sesaat Naruto berpikir tentang asal Sasuke. Laki-laki itu jelas tidak tahu siapa dirinya. Jika Sasuke memang tinggal di Kota Oto seperti yang tertulis di kartu namanya, maka dia tidak heran.

“Sudahlah, kenapa aku jadi memikirkan dia? Akan sangat merepotkan kalau aku berhubungan dengan banyak anggota keluarga Uchiha.” Naruto kembali bermonolog sambil menggeleng. Tentu saja dia teringat akan Ojii-sama nya yang lain dari keluarga Uchiha. Madara Uchiha, yang masih belum menyerah untuk menjadikannya cucu menantu. Meletakkan kartu nama di atas meja, Naruto meninggalkannya begitu saja.

***

Menjelang makan siang, Naruto turun ke café dan melihat beberapa pelanggan yang tengah bersantai menikmati kopi dengan cake atau roti buatan Fuu. Moegi dan Udon tidak bekerja pagi, keduanya adalah mahasiswa yang bekerja paruh waktu setiap sore sampai malam. Darui hanya tersenyum lalu menangguk saat melihat sang Nona berjalan menuruni tangga. Barista itu memang tidak banyak bicara. Tidak melihat Ten Ten dibalik meja kasir, Naruto pun mencarinya ke dapur.

Di dalam dapur, Choza, Ten Ten dan Fuu memincingkan mata menatap Naruto.

“Selamat siang semua,” sapa Naruto. “Ten Ten, boleh aku minta laporan keuangan bulan ini?” tanya Naruto begitu melihat gadis bercepol dua tengah membantu Fuu.

“Tentu, akan aku ambilkan,” jawab Ten Ten yang kemudian kembali ke meja kerjanya.

“Kau sudah sehat Nami-chan?” Choza yang pertama kali bertanya saat nona muda itu duduk di depan meja pantry.

“Sudah Oji-san, jangan khawatir,” jawab Naruto yang kemudian mengambil jeruk di atas keranjang lalu mengupasnya.

“Tapi wajahmu masih pucat Nami. Apa tidak sebaiknya kau kembali istirahat di atas?” Fuu mengamati wajah sahabatnya lalu meletakkan adonan roti yang sedang dalam proses proofing ke rak.

“Fuu benar, kau yakin sudah sehat?” Ten Ten pun ikut menimpali saat kembali ke dapur dengan membawa laporan yang diminta oleh Naruto.

Naruto hanya tersenyum lalu menikmati jeruk yang selesai dikupasnya. Dia tidak perlu menjelaskan, mereka jelas bisa menebak kondisinya. Kepalanya masih berdenyut tidak nyaman, hanya berkurang sedikit meski dia sudah meminum obat yang ditinggalkan Neji.

“Nami,” protes Ten Ten saat sang sahabat tampak mengabaikan kekhawatiran semua orang.

“Jangan khawatir, siang ini aku kembali ke istana. Aku akan beristirahat di sana,” kata Naruto yang menuai gumaman setuju dari ketiganya. “Aku titipkan café pada kalian.”

“Tentu, kami akan bekerja dengan baik.” Choza memberikan anggukan mantap.

“Istirahatlah, jaga kesehatanmu,” pesan Fuu dan Ten Ten.

“Terima kasih,” ucap Naruto kemudian. Dia berpegangan pada meja saat kemudian beranjak lalu keluar dari dapur dengan membawa laporan.

Tepat saat Naruto keluar dari dapur bersama dengan Ten Ten, Yamato datang dengan setelan jas hitamnya. Kapten Anbu itu menghampiri sang hime lalu mengangguk hormat. “Selamat siang Nami-san,” sapanya hormat. Ya, semua sahabat dan pengawal Naruto tahu untuk tidak memanggil namanya sembarangan di depan umum. Tentu akan jadi masalah besar kalau publik tahu pemilik Nami Café adalah cucu Hokage.

Naruto hanya tersenyum lalu mengangguk. “Keberatan jika menunggu sebentar?” tanya gadis itu.

“Tidak apa, Nami-san. Saya akan menunggu disini,” jawab Yamato.

“Darui, tolong secangkir espresso untuk Yamato-san,” kata Naruto sebelum kembali ke lantai dua.

Yamato pun duduk di kursi depan bar minuman setelah memberikan anggukan hormat pada Ten Ten yang kini duduk di belakang meja kasir. Mata Ten Ten mulai mengamati beberapa pengunjung yang tengah menikmati waktu santai siang mereka. Pengunjung café saat siang memang tidak banyak.

“Nona, akan pulang?” tanya Darui pada sang Kapten.

Yamato mengangguk sambil mengamati tangan Darui yang sibuk menyiapkan kopi untuknya. “Kau terlihat sangat menikmati pekerjaan ini,” celetuk Yamato begitu secangkir espresso tersaji di depannya.

Darui terkekeh pelan. “Begitulah, meski terkadang aku juga merindukan tantangan.”

Kapten Anbu itu menyeringai di balik cangkir kopinya. Darui adalah salah satu mantan anak buah terbaiknya. Karena cidera cukup parah di bagian kaki saat bertugas, laki-laki berkulit tan itu dipensiunkan dari pekerjaannya. Sejak lukanya sembuh, Hokage menugaskannya sebagai penjaga pribadi Naruto di café. Setidaknya Darui masihlah memiliki insting tajam dan penembak ahli senjata laras pendek.

Tepat saat Yamato selesai dengan tegukan terakhir espresso-nya, langkah kaki Naruto terdengar saat menuruni tangga. Yamato segera berdiri setelah mengucapkan terima kasih pada Darui.

“Aku pergi, Darui, Ten Ten,” Naruto yang sudah menyandang tote bag di bahu melambaikan tangan pada keduanya.

“Selamat jalan, hati-hati,” Ten Ten membalas lambaian tangan sementara Darui hanya memberi anggukan hormat. Keduanya lega saat melihat Naruto berjalan keluar café diiringi oleh Yamato.

***

Matahari bersinar terik di kota Konoha siang itu. Naruto masih setengah perjalanan menuju istana Uzhusio saat melihat sebuah toko bunga di tepi jalan.

“Yamato-san, tolong berhenti di toko bunga.”

“Baik, Hime-sama.”

Perlahan mobil menepi dan berhenti tepat di depan toko bunga. Naruto turun sebelum Yamato hingga membuat sang Kapten Anbu bergegas keluar.

“Anda yakin baik-baik saja, Nami-san?” tanya Yamato saat melihat Naruto mengernyit sembari berpegangan pada pintu mobil. Dia sudah siaga berdiri di sebelah Naruto.

Gadis itu mengulas senyum saat merasa denyut sakit di kepalanya perlahan berkurang. “Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” katanya yang kemudian berdiri tegak lalu mulai berjalan ke dalam toko. Yamato dengan patuh mengikutinya.

“Selamat datang,” sambut seorang florist dengan ramah begitu Naruto dan Yamato masuk. Kebetulan toko dalam keadaan sepi. “Ada yang bisa saya bantu, Nona, Tuan?” tanyanya kemudian dengan senyum manis.

“Saya ingin buket bunga Anyelir,” jawab Naruto sopan.

Sang florist melebarkan senyumnya, “Kami memiliki beberapa warna. Warna apa yang Anda inginkan, Nona?”

“Merah muda,” jawab Naruto singkat.

“Apa ada permintaan khusus? Warna pita atau kartu ucapan?” tanya florist itu lagi.

Naruto menggeleng pelan. “Buat saja secantik mungkin, buket itu untuk nenek saya,” katanya menjelaskan.

“Tentu saja, kami akan siapkan yang terbaik.” Menangkupkan kedua tangan, sang florist kembali melempar senyum untuk meyakinkan. “Silakan menunggu sembari melihat-lihat koleksi kami.” Dia mempersilakan Naruto ke arah rak penuh bunga yang tersusun rapi di beberapa sudut ruangan. Rekannya yang lain menghampiri dan florist itu memberinya instruksi soal bunga, pita, dan beberapa warna juga cara mengikat simpul.

Naruto tidak memperhatikan lagi saat kedua florist itu mulai sibuk memilih anyelir dan merangkainya. Dia berjalan dengan santai melihat-lihat bunga sementara Yamato menunggu tak jauh darinya. Gadis itu merasa nyaman karena wangi bunga juga suasana yang tenang. Untuk sesaat sakit kepalanya terlupakan, sampai sebuah sambutan selamat datang membuatnya menoleh ke arah pintu. Mata Naruto langsung menyipit untuk memastikan penglihatannya tidak salah, “Sasuke?” gumamnya lirih.

***
>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 2<<

>>Nami Cafe - Chapter 4<<

A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments