Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.
Fanfiction
by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.
Happy reading.
==================================================================
Negara
Hi beribukota di Konoha. Seperti pada negara dengan sistem monarki lainnya, Negara
Hi juga dipimpin oleh Raja bergelar Hokage dari klan Senju. Saat ini Negara Hi
dipimpin oleh Hokage ke tujuh, Hashirama Senju dan Uzumaki Mito. Sedangkan
Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan di pegang oleh Madara Uchiha yang
tak lain adalah sahabat Hashirama. Sebagai seorang raja kekuasaan Hokage tak
terbatas. Semua aspek dalam pemerintahan baik bidang eksekutif, legislatif dan
yudikatif harus dipertanggung jawabkan di hadapan Hokage. Bahkan Perdana
Menteri sebagai kepala pemerintahan juga tidak bisa serta merta bebas
menetapkan kebijakan tanpa persetujuan Hokage.
Hashirama
dan Mito mempunyai tiga orang anak, Senju Nagato, Senju Sara, dan Senju
Kushina. Senju Nagato sebagai putra mahkota menikah dengan Uzumaki Konan.
Mereka mempunyai seorang putra bernama Senju Yahiko. Lalu putri kedua Senju
Sara menikah dengan Shimura Danzo yang adalah Jendral Angkatan Darat dan
memiliki dua orang anak bernama Shimura Shin dan Shimura Karin. Hashirama juga memiliki
seorang adik bernama Tobirama Senju yang menduduki jabatan sebagai Menteri luar
negeri dalam pemerintahan.
Pernikahan
Putri bungsu, Khusina, justru menarik perhatian banyak pihak. Dia jatuh cinta
pada putra mahkota Negara Mizu, Namikaze Minato, yang adalah putra dari
Namikaze Jiraiya dan Senju Tsunade. Tsunade sendiri masih memiliki kekerabatan
dengan Hashirama. Tentunya hubungan itu membuat persekutuan antara Negara Hi
dan Negara Mizu menjadi lebih erat.
Minato
kemudian menikah dengan Khusina. Keduanya dikaruniai dua orang anak bernama Namikaze
Kurama dan Namikaze Naruto. Tepat saat ulang tahun Naruto ke dua belas yang
dirayakan di istana Uzhusio, Konoha, terjadi kudeta yang menjadi sejarah kelam
Negara Hi. Klan Zetsu yang diketuai oleh Kakuzu juga Hidan menyerang kerajaan untuk
membunuh Hashirama dan Nagato. Kudeta itu berhasil digagalkan oleh Pasukan
Militer yang dipimpin oleh Nara Shikaku. Sayangnya, Minato dan Khusina justru
terbunuh demi melindungi Hashirama dan Naruto. Hal itu membuat gempar Negara Mizu
karena kehilangan putra mahkota.
Tragedi
itu membuat Naruto terguncang. Dia membenci dirinya sendiri dan hari ulang
tahunnya. Luka yang bahkan tidak sembuh hingga dia dewasa. Adik Minato,
Kakashi, menolak menjadi putra mahkota, maka Kurama yang saat itu berusia tujuh
belas tahun ditetapkan sebagai putra mahkota.
Karena
Kurama berada di Ibukota Kiri, Negara Mizu, maka Mito meminta cucu bungsunya
untuk tetap tinggal di Konoha. Tsunade pun mengijinkannya, mengingat Kushina
adalah putri kesayangan Mito. Sampai saat ini hubungan kedua negara itu tetap
terjalin baik.
Minato
dan Kushina yang dikenal sebagai pasangan jenius adalah kesayangan Madara.
Selain Hashirama dan Jiraiya, Madara adalah orang yang juga terpukul atas
meninggalnya Minato dan Khusina. Dia menjadi sangat terobsesi pada Naruto yang
memang sangat mirip dengan mendiang ayahnya. Sejak Naruto beranjak dewasa,
Madara selalu berusaha menjodohkan cucu-cucunya dengan Naruto. Hal itu sering
membuat Naruto kesal dan memilih tinggal di café kesayangannya.
Nami
Café, dibangun oleh Minato sebagai hadiah untuk ulang tahun Kushina. Saat itu Naruto
berusia sepuluh tahun dan Kurama lima belas tahun. Putra Mahkota Negara Mizu
itu memiliki hobi yang unik yaitu memanggang roti dan menikmati kopi. Di Nami
Café lah biasanya keluarga kecil itu menghabiskan waktu bersama ketika
berkunjung ke Konoha dan jauh dari gemerlapnya kehidupan istana.
***
“Ada
apa?” tanya Neji saat melihat Shikamaru mengintip dari jendela kamar. Keduanya
masih setia menjaga Naruto.
“Ada
Anbu di depan,” lirih Shikamaru. Anbu adalah pasukan pengawal khusus yang ditugaskan
untuk menjaga keselamatan anggota keluarga kerajaan dimana pun mereka berada. Anggota
Anbu adalah para penembak ahli senjata laras pendek dan ahli beladiri jarak
dekat. Anbu sendiri terbagi menjadi dua, Anbu dan Anbu Ne. Anbu berada langsung
di bawah perintah Hokage sedangkan Anbu Ne berada di bawah perintah Jendral
Angkatan Darat yang saat ini dijabat oleh menantu Hokage, Shimura Danzo.
“Apa
mereka tahu kita disini?” tanya Neji yang kemudian juga ikut mengintip keluar.
Sayangnya, dia tidak bisa melihat Anbu yang dimaksud oleh Shikamaru. Tentu saja
para pengawal itu menggunakan penyamaran. “Ck, bagaimana kau bisa mengenali
mereka?” Neji justru berdecak kesal lalu kembali duduk di sebelah Naruto.
Shikamaru
juga menjauh dari jendela. Dia duduk di ujung ranjang Naruto, tampak sedang
berpikir. “Mereka pasti tahu kita disini, tapi tidak tahu kalau Naru sakit,”
gumamnya.
“Kau
akan melapor?” Neji kembali bertanya.
“Tidak,
biarkan saja. Apa demamnya sudah turun?” Shikamaru menatap serius sang sahabat.
Neji
segera mengambil thermometer. Dia
menghela napas lega saat thermometer
menunjukkan angka 38,5 derajat. Obat yang diberikan pada Naruto bekerja dengan
baik. “38,5,” jawab Neji yang juga menuai desahan lega dari Shikamaru.
“Kau
akan menginap?” kata Shikamaru kemudian. Melihat jam dinding, waktu sudah
menunjukkan pukul 21.00.
Melihat
isi botol yang hampir habis, Neji pun mencabut botol Acetaminophen dan menggantinya dengan cairan infus saline. Kembali
duduk di tepi tempat tidur, Neji mengambil handuk kecil lalu menyeka keringat di
kening dan leher Naruto.
“Neji?”
geram Shikamaru karena sang sahabat tak kunjung menjawab.
“Aku
tetap disini,” jawab Neji dengan mantap.
Keduanya
kemudian terdiam. Tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Sampai sebuah
lenguhan lirih membuat Neji dan Shikamaru siaga.
“Naru?”
panggil keduanya bersamaan saat melihat Naruto membuka mata.
Naruto
kembali melenguh karena kepalanya berdenyut sakit saat berusaha memfokuskan
pandangannya. “Neji?” panggilnya lirih.
“Iya,
ini aku.” Neji mengusap lengan Naruto dengan lembut. “Apa yang kau rasakan?”
tanyanya kemudian.
“Kepalaku
sakit,” jawab Naruto yang kemudian memijat pelipisnya.
Langsung
saja Neji mencekal pergelangan tangan Naruto dan kembali meluruskannya. Gadis
itu belum sadar jika memakai selang IV. “Hati-hati, kau memakai selang IV,”
Neji memperingatkan.
Naruto
melihat ke atas dan mendapati cairan infus yang tergantung di atas tempat
tidurnya. “Shika,” panggilnya saat menyadari kehadiran sahabatnya yang lain.
Naruto kembali memejamkan mata karena denyut di kepalanya.
“Kau
baik-baik saja?” tanya Shikamaru. Dia tidak suka melihat gadis itu kesakitan.
“Mimpi
itu membuat kepalaku sakit,” jawab Naruto lirih, masih dengan mata terpejam.
Neji
dan Shikamaru langsung mengerti apa maksud perkataan Naruto. Mimpi yang dialami
Naruto adalah masa lalu yang belum bisa dilupakannya. Kejadian nyata dimana
kedua orang tuanya meninggal di hari ulang tahunnya. Meninggal di depan
matanya.
“Buka
matamu, Naru,” Neji membelai pipi Naruto yang masih terasa panas. Hatinya sakit
saat melihat tetesan air jatuh dari sudut mata Naruto.
“Bayangan
itu tidak mau pergi,” Naruto membuka mata. Iris sapphire itu tampak terluka.
“Aku
tahu, aku tahu, tenangkan dirimu,” kata Neji dengan lembut. Dia mengusap kepala
gadis itu untuk menenangkannya.
Kedua
pemuda itu terdiam dan membiarkan Naruto menangis. Gadis itu pasti sudah
menahan semuanya sejak kemarin.
“Neji,
buat aku tertidur,” pinta Naruto di tengah isak tangisnya. “Aku bisa gila kalau
bayangan itu tidak juga pergi. Aku lelah.”
Tentu
saja Neji dan Shikamaru terkejut mendengarnya. Keduanya saling bertukar pandang
sampai akhirnya Shikamaru mengangguk. Neji membuka tasnya lalu mengambil alat
injeksi dan satu ampul Diazepam.
Setelah mengisi alat injeksi dengan dosis yang tepat, Neji mengambil botol
alkohol dan kapas. Shikamaru pun berpindah ke sebelah Neji dan membantunya
memegang lengan Naruto.
Gadis
itu membuka mata saat obat penenang telah masuk ke tubuhnya. “Terima kasih
kalian ada di sini,” ucapnya serupa bisikan.
Shikamaru
menggenggam tangan Naruto. “Kau pasti kuat,” katanya penuh keyakinan.
Keduanya
hanya diam sampai akhirnya Naruto memejamkan mata karena pengaruh obat yang
mulai bekerja.
Shikamaru
tersentak saat handphone disakunya
bergetar. Dia pun segera menjawab panggilan yang ternyata dari sang ayah.
“Otou-san,”
jawabnya tenang.
“Kau
bersama Naru-Hime?” tanya Shikaku dari seberang sana tanpa basa-basi.
Melirik
ke arah Neji, Shikamaru lalu berjalan ke arah jendela. “Iya Otou-san.” Dia
tidak punya alasan untuk berbohong. Matanya dengan jeli mengamati sekitar café.
“Apa
terjadi sesuatu?” Tentunya Shikaku mempunyai insting yang tajam.
“Hime
demam, tapi Neji bersamaku. Saat ini demamnya sudah turun,” katanya
menjelaskan. Melihat tidak ada yang mencurigakan, membuat Shikamaru kembali
duduk di ujung ranjang.
“Temani
Hime malam ini. Katakan pada Neji untuk memastikan Hime baik-baik saja. Aku
akan melaporkan hal ini pada Hokage,” perintah Shikaku.
“Baik,
Otou-san,” jawab Shikamaru.
“Bagaimana
Oji-san tahu kau disini?” tanya Neji saat Shikamaru menutup teleponnya. Jujur dia
tidak pernah mengerti dengan akses tanpa batas orang-orang kemiliteran.
Shikamaru
menunjuk pada tindik di telinga kanannya.
“Alat
pelacak?” Neji menggeleng tak percaya.
“Hanya
padaku, karena aku adalah putranya tapi aku bekerja di bawah komando Danzo.”
Shikamaru menjelaskan.
“Aku
mengerti,” Neji mengangguk. Shimura Danzo, Jenderal Angkatan Darat yang
menakutkan. Entah kenapa Hokage mengijinkannya menikahi Sara-Hime.
“Otou-san
memintamu tetap disini dan memastikan Naru baik-baik saja. Dia akan melaporkan
kondisi Naru pada Hokage,” kata Shikamaru menyampaikan pesan ayahnya.
“Naru
pasti marah.” Neji menghela napas panjang.
“Bagaimana
pun dia adalah Hime. Keselamatannya bahkan mempengaruhi hubungan dua negara.
Yang pasti Kurama akan membunuhmu kalau sampai terjadi sesuatu padanya.”
Shikamaru menyeringai saat melihat ekspresi Neji.
“Jangan
ingatkan aku pada Putra Mahkota Gila itu,” Neji menggeleng kesal.
Shikamaru
menggeliat untuk merenggangkan ototnya yang terasa pegal. “Jadi, tidur dimana
kita malam ini?”
Mata
Neji langsung memincing tajam. “Aku akan menyuntikmu dengan racun kalau berani
tidur di sebelah Naru.”
“Dasar
dokter posesif.” Shikamaru terkekeh lalu keluar dari kamar Naru.
“Kapten
sialan,” desis Neji pada pintu yang tertutup.
***
Tobirama
berjalan di koridor panjang istana diikuti oleh Kapten Anbu, Yamato Tenzo.
Keduanya menuju ruang kerja Hokage. Dua orang anbu yang berjaga di depan ruang
kerja memberi hormat dan mempersilakan keduanya masuk.
“Selamat
malam Onii-sama,” Tobirama memberi salam diikuti Yamato yang membungkuk dalam
di belakangnya.
“Tobirama,
Yamato?” Hashirama yang tengah membaca laporan kerja langsung mengalihkan
perhatiannya. “Ada yang penting?”
“Aku
baru saja menerima pesan dari Shikaku soal Naru.” Tobirama menarik kursi lalu
duduk di hadapan sang kakak. Sementara Yamato berdiri di sudut ruangan.
Mendengar
nama cucu kesayangannya disebut membuat Hashirama menutup laporannya. “Ada apa
dengan Naru?” mengingat laporan kemarin dari Yamato, Hashirama memiliki firasat
yang tidak enak.
“Dia
demam. Saat ini Neji dan Shikamaru bersamanya. Apa aku boleh menjemputnya?”
tanya Tobirama.
Sesaat
Hashirama tampak berpikir. “Kalau Naruto memanggil Neji berarti dia belum mau
kembali ke istana. Menjemputnya hanya akan membuatnya marah. Lagipula dia sudah
bilang akan kembali lusa, saat Kurama berkunjung dari tugasnya di Suna.”
“Ya,
benar juga. Aku hanya khawatir.” Tobirama mengendikkan bahu.
“Dan
tolong jangan katakan ini pada Mito,” pesan Hashirama yang dijawab dengan
anggukan oleh adiknya. “Ada hal lain yang ingin kau sampaikan?” tanyanya seraya
kembali membuka laporannya.
Tobirama
melambaikan tangan sebagai isyarat pada Yamato untuk mendekat.
“Ini
adalah hasil penyelidikan minggu lalu.” Yamato memberikan sebuah gulungan pada
Hashirama.
“Belum
ada bukti kuat tentang keterlibatannya dengan Klan Zetsu, tapi semua hasil
penyelidikan semakin mengarah padanya. Shikaku memperingatkan agar kita lebih
berhati-hati.” Tobirama menatap serius sang kakak yang kini tengah membaca
gulungan laporan.
Hashirama
menghela napas saat bayangan kudeta sepuluh tahun lalu melintas di dalam
benaknya. Dia masih ingat bagaimana Minato berdiri di depannya dan menerima
peluru dari Kakuzu. Juga bagaimana Khusina memeluk Naruto demi melindunginya
dari pedang Hidan. Jika dirinya saja tak sanggup menghapus semua itu, apalagi
Naruto? Masih segar dalam ingatan Hashirama, jeritan cucu bungsunya saat
melihat kedua orang tuanya meninggal. Gaun cantik yang dikenakannya penuh
dengan darah. Luka sayatan di punggung Naruto juga tidak hilang sampai
sekarang.
“Aku
merindukan Kushina,” gumam sang Hokage dengan kesedihan yang terlihat jelas.
“Aku
berjanji akan membuat mereka membayar darah Kushina dan Minato.” Tobirama
berucap dengan tekad.
Meletakkan
gulungan di atas meja, Hashirama tersenyum pada sang adik. “Aku menantikan saat
itu tiba, Tobirama.”
Beranjak
dari duduknya, Tobirama membungkuk di hadapan sang kakak. “Bersabarlah
sebentarlah lagi, Onii-sama.”
***
Cahaya
matahari yang masuk melalui celah tirai jendela menerpa wajah pucat Naruto,
memaksa gadis itu membuka mata. Denyut sakit di kepalanya sedikit berkurang,
gadis itu juga masih merasa lemas. Melihat tangannya sudah bebas dari selang
IV, Naruto mencoba untuk bangun lalu bersandar pada kepala tempat tidur.
“Kau
sudah bangun?” Neji muncul dari balik pintu dengan senyumnya.
“Kau
masih disini?” Naruto justru balik bertanya.
“Aku
harus memastikan kau baik-baik saja sebelum pulang,” jawab Neji seraya duduk di
sisi tempat tidur. “Bagaimana perasaanmu? Lebih baik?” Dokter muda itu mengusap
tangan Naruto di atas pangkuannya.
“Ya,
jauh lebih baik. terima kasih,” ucap Naruto.
“Ehem!”
Suara
dehaman membuat Naruto menoleh dan Neji langsung menarik tangannya. Shikamaru
menyeringai pada Neji yang langsung berganti senyum saat menatap Naruto.
“Kau
juga masih di sini Shika?” tanya Naruto yang sepenuhnya mengabaikan interaksi
konyol kedua sahabatnya.
“Tugas,”
jawabnya singkat. Dia kemudian berjalan ke arah jendela dan mengintip keluar
melalui celah tirai. Karena semua tampak normal, Shikamaru kemudian duduk di
sebelah Naruto.
Mendengar
jawaban Shikamaru membuat Naruto menarik kesimpulan. “Apa kalian melaporkan
keadaanku pada Hokage?” Mata gadis itu memincing tajam.
“Tidak,”
jawab Shikamaru dan Neji bersamaan. Memang begitu faktanya, mereka tidak
melaporkan keadaan Naruto pada Hokage. Ayah Shikamaru lah yang melaporkannya.
Naruto
mendengkus. Dia tidak percaya dengan jawaban Neji dan Shikamaru. Naruto yakin
kakeknya sudah tahu. Tapi, melihat tidak ada pengawal istana yang datang
menjemputnya, maka dapat dipastikan kalau neneknya belum tahu.
“Otou-san
tahu aku ada bersamamu. Aku juga memberitahunya kalau kau sakit. Jadi dia
memintaku menjagamu.” Shikamaru akhirnya menjelaskan.
“Dan
Oji-san memberitahukan keadaanku pada Hokage. Bagus sekali Shika,” cibir
Naruto.
“Kau
mau apa?” tanya Neji saat melihat Naruto beringsut turun dari tempat tidur.
“Aku
ingin ke kamar mandi.” Naruto mengabaikan kedua sahabatnya lalu berjalan ke
kamar mandi dengan berpegangan pada dinding. Gadis itu marah dan pasti tidak
mau dibantu oleh Neji atau pun Shikamaru.
***
Naruto
termenung di atas tempat tidur. Neji dan Shikamaru sudah pergi, lebih tepatnya
dipaksa pergi dengan ucapan ‘aku baik-baik saja’ dari Naruto. Gadis itu
mengamati langit biru dari jendela kamarnya.
“Naru,
boleh aku masuk?”
Sebuah
seruan membuat Naruto mengalihkan perhatiannya pada pintu kamar. “Masuklah
Fuu.”
“Bagaimana
keadaanmu?” tanya gadis berkulit tan itu. Dia membawa nampan berisi makanan
lalu meletakkannya di meja nakas.
“Sudah
lebih baik, maaf kalau aku merepotkan kalian semalam,” jawab Naruto.
“Kau
ini bicara apa. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menjagamu.” Fuu justru
terkekeh mendengarnya. “Ini sarapanmu, Hyuga Sensei meninggalkan cacatan
tentang obat juga vitaminmu.”
Naruto
langsung melirik makanannya. Ada semangkuk ramen yang Naruto yakin menggunakan
banyak bawang putih, telur ayam fermentasi, juga rempah obat lainnya. Itu
adalah menu andalan koki istana saat dirinya sakit, tentu saja di buat atas
rekomendasi Hiashi Hyuga.
“Siapa
yang membuatnya?” Naruto menatap Fuu.
“Ah,
itu-,” Fuu menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. “Tadi ada laki-laki dan
perempuan datang menemui Hyuga sensei juga Nara-san. Mereka mengirimkan ramen
ini dan sebelum pergi Hyuga sensei berpesan untuk menyajikannya untukmu.”
“Baiklah,
terima kasih Fuu,” ucap Naruto. Dia tahu ramen itu di kirim dari istana.
“Panggil
aku jika butuh sesuatu, oke?” Fuu membulatkan telunjuk dan ibu jarinya.
“Oke,
terima kasih,” jawab Naruto diiringi senyum.
Sepeninggal
Fuu, Naruto meraih handphone-nya dan
mencari sebuah nama. Dua kali nada tunggu, panggilannya langsung dijawab.
“Selamat pagi, Ojii-sama,” sapanya hormat.
“Selamat
pagi, Naru-chan. Bagaimana keadaanmu? Kau sudah menerima ramennya?” tanya
Hashirama tanpa basa-basi.
Naruto
bisa merasakan kekhawatiran sang kakek melalui suaranya. “Aku baik-baik saja
Ojii-sama. Neji merawatku dengan baik. Shikamaru juga menjagaku semalam. Terima
kasih untuk ramennya dan terima kasih juga untuk tidak memberi tahu Obaa-sama.”
Sang
Hokage langsung tersenyum mendengar penuturan cucu kesayangannya. “Aku tahu
kalau kau sedang tidak ingin di ganggu. Hanya tolong, jaga kesehatanmu. Kau
tahu bagaimana aku juga nenekmu mengkhawatirkanmu.”
“Aku
mengerti Ojii-sama, maaf sudah membuat kalian khawatir.” Naruto tahu kalau
seminggu ini tingkahnya cukup keterlaluan. Dia sudah membuat keluarganya
khawatir.
“Jadi,
kau akan pulang besok?” tanya Hashirama kemudian. Jujur saja, dia sudah
merindukan Naruto.
Kali
ini giliran Naruto yang mengembangkan senyumnya. “Ojii-sama boleh kirim
pengawal untuk menjemputku siang ini.” Sudah waktunya dia kembali ke istana.
“Siang
ini?” Dan Hashirama gagal menyembunyikan rasa senangnya mendengar jawaban
Naruto.
“Iya
Ojii-sama, siang ini,” jawab Naruto masih dengan senyum diwajahnya.
“Aku
akan langsung kirim Yamato untuk menjemputmu,” jawab Hashirama cepat.
“Baik,
Ojii-sama.” Naruto masih tersenyum saat mengakhiri panggilannya. Dia pun segera
mengalihkan perhatiannya pada mangkuk ramen di atas nakas. Ah, perutnya jadi
lapar saat melihat makanan kesukaannya.
***
Selesai
mandi, Naruto bersiap sebelum Yamato datang menjemput. Dia meletakkan sisir di
meja rias kemudian melihat tas kertas di atas meja kerjanya. Ah, Sasuke, gadis itu menggumam dalam
hati. Dia pun mengambil tas kertas yang diyakininya berisi pakaian.
“Eh?”
Naruto terkejut saat melihat sesuatu terjatuh ketika menarik pakaian dari dalam
tas. Dia mengambil benda yang ternyata kertas itu dari lantai, setelah
meletakkan pakaian ke dalam lemari.
Kening
Naruto berkerut begitu menyadari kertas itu adalah sebuah kartu nama. Tulisan
hitam tercetak tebal dengan nama Uchiha Sasuke. Profesinya sebagai fotografer
juga tertulis di sana lengkap dengan nomor teleponnya.
“Sharingan
Studio, Kota Oto, distrik 9,” gumam Naruto membaca nama studio tempat Sasuke bekerja.
“Apa maksudnya kartu nama ini?” katanya lagi.
Sesaat
Naruto berpikir tentang asal Sasuke. Laki-laki itu jelas tidak tahu siapa
dirinya. Jika Sasuke memang tinggal di Kota Oto seperti yang tertulis di kartu
namanya, maka dia tidak heran.
“Sudahlah,
kenapa aku jadi memikirkan dia? Akan sangat merepotkan kalau aku berhubungan
dengan banyak anggota keluarga Uchiha.” Naruto kembali bermonolog sambil
menggeleng. Tentu saja dia teringat akan Ojii-sama
nya yang lain dari keluarga Uchiha. Madara Uchiha, yang masih belum menyerah
untuk menjadikannya cucu menantu. Meletakkan kartu nama di atas meja, Naruto
meninggalkannya begitu saja.
***
Menjelang
makan siang, Naruto turun ke café dan melihat beberapa pelanggan yang tengah
bersantai menikmati kopi dengan cake atau roti buatan Fuu. Moegi dan Udon tidak
bekerja pagi, keduanya adalah mahasiswa yang bekerja paruh waktu setiap sore
sampai malam. Darui hanya tersenyum lalu menangguk saat melihat sang Nona
berjalan menuruni tangga. Barista itu memang tidak banyak bicara. Tidak melihat
Ten Ten dibalik meja kasir, Naruto pun mencarinya ke dapur.
Di
dalam dapur, Choza, Ten Ten dan Fuu memincingkan mata menatap Naruto.
“Selamat
siang semua,” sapa Naruto. “Ten Ten, boleh aku minta laporan keuangan bulan ini?”
tanya Naruto begitu melihat gadis bercepol dua tengah membantu Fuu.
“Tentu,
akan aku ambilkan,” jawab Ten Ten yang kemudian kembali ke meja kerjanya.
“Kau
sudah sehat Nami-chan?” Choza yang pertama kali bertanya saat nona muda itu
duduk di depan meja pantry.
“Sudah
Oji-san, jangan khawatir,” jawab Naruto yang kemudian mengambil jeruk di atas
keranjang lalu mengupasnya.
“Tapi
wajahmu masih pucat Nami. Apa tidak sebaiknya kau kembali istirahat di atas?” Fuu
mengamati wajah sahabatnya lalu meletakkan adonan roti yang sedang dalam proses
proofing ke rak.
“Fuu
benar, kau yakin sudah sehat?” Ten Ten pun ikut menimpali saat kembali ke dapur
dengan membawa laporan yang diminta oleh Naruto.
Naruto
hanya tersenyum lalu menikmati jeruk yang selesai dikupasnya. Dia tidak perlu
menjelaskan, mereka jelas bisa menebak kondisinya. Kepalanya masih berdenyut
tidak nyaman, hanya berkurang sedikit meski dia sudah meminum obat yang
ditinggalkan Neji.
“Nami,”
protes Ten Ten saat sang sahabat tampak mengabaikan kekhawatiran semua orang.
“Jangan
khawatir, siang ini aku kembali ke istana. Aku akan beristirahat di sana,” kata
Naruto yang menuai gumaman setuju dari ketiganya. “Aku titipkan café pada
kalian.”
“Tentu,
kami akan bekerja dengan baik.” Choza memberikan anggukan mantap.
“Istirahatlah,
jaga kesehatanmu,” pesan Fuu dan Ten Ten.
“Terima
kasih,” ucap Naruto kemudian. Dia berpegangan pada meja saat kemudian beranjak
lalu keluar dari dapur dengan membawa laporan.
Tepat
saat Naruto keluar dari dapur bersama dengan Ten Ten, Yamato datang dengan setelan
jas hitamnya. Kapten Anbu itu menghampiri sang hime lalu mengangguk hormat.
“Selamat siang Nami-san,” sapanya hormat. Ya, semua sahabat dan pengawal Naruto
tahu untuk tidak memanggil namanya sembarangan di depan umum. Tentu akan jadi masalah
besar kalau publik tahu pemilik Nami Café adalah cucu Hokage.
Naruto
hanya tersenyum lalu mengangguk. “Keberatan jika menunggu sebentar?” tanya
gadis itu.
“Tidak
apa, Nami-san. Saya akan menunggu disini,” jawab Yamato.
“Darui,
tolong secangkir espresso untuk Yamato-san,” kata Naruto sebelum kembali ke
lantai dua.
Yamato
pun duduk di kursi depan bar minuman setelah memberikan anggukan hormat pada
Ten Ten yang kini duduk di belakang meja kasir. Mata Ten Ten mulai mengamati
beberapa pengunjung yang tengah menikmati waktu santai siang mereka. Pengunjung
café saat siang memang tidak banyak.
“Nona,
akan pulang?” tanya Darui pada sang Kapten.
Yamato
mengangguk sambil mengamati tangan Darui yang sibuk menyiapkan kopi untuknya.
“Kau terlihat sangat menikmati pekerjaan ini,” celetuk Yamato begitu secangkir
espresso tersaji di depannya.
Darui
terkekeh pelan. “Begitulah, meski terkadang aku juga merindukan tantangan.”
Kapten
Anbu itu menyeringai di balik cangkir kopinya. Darui adalah salah satu mantan
anak buah terbaiknya. Karena cidera cukup parah di bagian kaki saat bertugas,
laki-laki berkulit tan itu dipensiunkan dari pekerjaannya. Sejak lukanya
sembuh, Hokage menugaskannya sebagai penjaga pribadi Naruto di café. Setidaknya
Darui masihlah memiliki insting tajam dan penembak ahli senjata laras pendek.
Tepat
saat Yamato selesai dengan tegukan terakhir espresso-nya, langkah kaki Naruto
terdengar saat menuruni tangga. Yamato segera berdiri setelah mengucapkan
terima kasih pada Darui.
“Aku
pergi, Darui, Ten Ten,” Naruto yang sudah menyandang tote bag di bahu melambaikan tangan pada keduanya.
“Selamat
jalan, hati-hati,” Ten Ten membalas lambaian tangan sementara Darui hanya
memberi anggukan hormat. Keduanya lega saat melihat Naruto berjalan keluar café
diiringi oleh Yamato.
***
Matahari
bersinar terik di kota Konoha siang itu. Naruto masih setengah perjalanan
menuju istana Uzhusio saat melihat sebuah toko bunga di tepi jalan.
“Yamato-san,
tolong berhenti di toko bunga.”
“Baik,
Hime-sama.”
Perlahan
mobil menepi dan berhenti tepat di depan toko bunga. Naruto turun sebelum
Yamato hingga membuat sang Kapten Anbu bergegas keluar.
“Anda
yakin baik-baik saja, Nami-san?” tanya Yamato saat melihat Naruto mengernyit
sembari berpegangan pada pintu mobil. Dia sudah siaga berdiri di sebelah
Naruto.
Gadis
itu mengulas senyum saat merasa denyut sakit di kepalanya perlahan berkurang.
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” katanya yang kemudian berdiri tegak lalu
mulai berjalan ke dalam toko. Yamato dengan patuh mengikutinya.
“Selamat
datang,” sambut seorang florist dengan
ramah begitu Naruto dan Yamato masuk. Kebetulan toko dalam keadaan sepi. “Ada
yang bisa saya bantu, Nona, Tuan?” tanyanya kemudian dengan senyum manis.
“Saya
ingin buket bunga Anyelir,” jawab Naruto sopan.
Sang
florist melebarkan senyumnya, “Kami
memiliki beberapa warna. Warna apa yang Anda inginkan, Nona?”
“Merah
muda,” jawab Naruto singkat.
“Apa
ada permintaan khusus? Warna pita atau kartu ucapan?” tanya florist itu lagi.
Naruto
menggeleng pelan. “Buat saja secantik mungkin, buket itu untuk nenek saya,”
katanya menjelaskan.
“Tentu
saja, kami akan siapkan yang terbaik.” Menangkupkan kedua tangan, sang florist kembali melempar senyum untuk
meyakinkan. “Silakan menunggu sembari melihat-lihat koleksi kami.” Dia
mempersilakan Naruto ke arah rak penuh bunga yang tersusun rapi di beberapa
sudut ruangan. Rekannya yang lain menghampiri dan florist itu memberinya instruksi soal bunga, pita, dan beberapa
warna juga cara mengikat simpul.
Naruto
tidak memperhatikan lagi saat kedua florist
itu mulai sibuk memilih anyelir dan merangkainya. Dia berjalan dengan santai
melihat-lihat bunga sementara Yamato menunggu tak jauh darinya. Gadis itu
merasa nyaman karena wangi bunga juga suasana yang tenang. Untuk sesaat sakit
kepalanya terlupakan, sampai sebuah sambutan selamat datang membuatnya menoleh
ke arah pintu. Mata Naruto langsung menyipit untuk memastikan penglihatannya
tidak salah, “Sasuke?” gumamnya lirih.
A/N : Terima kasih untuk yang masih setia menanti fanfic ini. Selamat membaca.
You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.
Thank you *deep_bow
0 Comments